Suling Naga -13 | Kho Ping Hoo



Buku 13

Sementara itu, Lie Tek San yang mengenal jalan mengajak dua orang pendekar yang telah menyelamatkannya itu untuk melarikan diri ke sebuah perkampungan besar yang berada di balik bukit. Hari telah pagi ketika mereka tiba di perkampungan itu dan dari cara penduduk perkampungan itu berpakaian, tahulah Sim Houw bahwa itu adalah perkampungan suku Bangsa Hui! Sebagian besar kaum pria suku Bangsa Hui ini mengenakan sorban putih pada kepalanya dan semua orang Hui, hanya sebagian kecil saja yang tidak beragama Islam. Mereka adalah sekelompok suku bangsa yang bahasanya hanya sedikit berbeda dengan Bangsa Han, bahkan segalanya tidak berbeda dengan Bangsa Han, kecuali agama mereka. Suku Bangsa Hui tersebar di daerah utara yang amat luas, sampai ke sudut-sudut barat utara Propinsi Sin-kiang dan sudut timur utara Propinsi Mongol dan Mancuria, Suku Bangsa Hui terkenal sebagai peternak-peternak, pejagal-pejagal dan terkenal pula pandai membuat masakan yang lezat. Akan tetapi di samping itu, juga mereka terkenal sebagai pejuang-pejuang yang gagah dan gigih. Di mana-mana nampak mereka itu bangkit menentang penjajah Mancu dan banyak pula yang membantu perjuangan Bangsa Han secara terbuka dalam usaha mengusir penjajah Mancu.

Kedatangan Lie Tek San yang menjadi sahabat para penduduk perkampungan Hui itu disambut meriah dan setelah diperkenalkan, juga Sim Houw dan Bi Lan disambut dengan penuh kehormatan. Mereka bertiga dianggap sebagai tamu-tamu agung dan menerima hidangan yang serbaneka dan lezat dan terutama sekali daging domba. Diam-diam Sim Houw dan Bi Lan kagum sekali melihat mereka. Mereka adalah suku bangsa yang ramah, yang taat beragama, namun berjiwa patriotik dan gagah, walaupun dalam hanyak hal, terutama sekali kebudayaan dan pendidikan, mereka agak terbelakang dan kehidupan mereka sebagian besar sebagai kelompuk nomad yang suka berpindah-pindah mencari daerah yang subur.

Mereka bertiga disambut oleh para pimpinan suku bangsa Hui dan Lie Tek San bercakap-cakap dengan mereka, didengarkan dengan penuh perhatian oleh Sim Houw dan Bi Lan. Yang dibicarakan adalah mengenai perjuangan dan dalam percakapan ini sepasang pendekar itu mendengar banyak sekali hal yang sebelumnya tak pernah mereka ketahui. Tentang kegagah an para pejuang, tentang perjuangan mereka yang mulia. Kalau tadinya Sim Houw dan Bi Lan menganggap para pejuang tiada bedanya dengan para pendekar, kini setelah mendengar keterangan Lie Tek San, mereka dapat melihat betapa terdapat perbedaan besar sekali.

“Perjuangan para pendekar dalam menegakkan kebenaran dan keadilan, dalam membela kaum lemah tertindas dan menentang kejahatan, hanya memiliki daerah yang amat sempit. Para pendekar hanya mengurus masalah perorangan yang tidak begitu besar artinya bagi bangsa dan tak mungkin para pendekar menyelesaikan masalah perorangan yang teramat banyak. Permusuhan dan dendam pribadi terjadi di mana-mana dan biarpun para pendekar turun tangan mempertahankan kebenaran dan keadilan namun kejahatan takkan pernah berakhir. Keadaan kacau-balau dan munculnya kejahatan itu terjadi karena kaadaan, maka yang perlu dirubah adalah keadaan itu sendiri. Perjuangan para pendekar hanya seperti usaha mengurangi atau melenyapkan rasa nyeri, akan tetapi sebaliknya usaha kami para pejuang adalah melenyapkan penyakitnya!” demikian antara lain Lie Tek San berkata penuh semangat, dan para pemimpin suku Bangsa Hui mengangguk-angguk mengerti dan mereka memandang kepada Lie Tek San penuh kagum.

Akan tetapi Sim Houw dan terutama sekali Bi Lan, merasa biagung. “Lie-enghiong, apakah bedanya antara keduanya itu?” tanya Bi Lan penasaran karena mendengar betapa tindakan para pendekar tidak dihargai seperti tindakan para pejuang.

Lie Tek San tersenyum. “Besar sekali bedanya. Keadaan masyarakat bagaikan orang sakit yang tentu saja menderita nyeri karena penyakitnya. Kalau hanya rasa nyeri itu saja yang dilenyapkan, tanpa mengobati penyakitnya, maka rasa nyeri itu hanya akan lenyap untuk sementara saja dan akan muncul kembali. Sebaliknya, kalau penyakitnya yang diobati, begitu penyakitnya sembuh, otomatis rasa nyeri itupun akan lenyap. Bukankah demikian?”

“Apa hubungannya urusan penyakit dengan urusan sepak terjang para pendekar?” Bi Lan mendesak karena masih belum mengerti.

“Can-lihiap (pendekar wanita Can), biarpun engkau memiliki ilmu kepandaian tinggi, agaknya belum begitu luas pengetahuanmu sehingga belum dapat menangkap apa yang kumaksudkan. Para pendekar bertindak menolong sesama manusia, berarti hanya mengurus masalah perorangan yang kecil saja dan selama hidupnya takkan pernah dia mampu menyelamatkan seluruh manusia dari pada tekanan kejahatan. Akan tetapi para pejuang bertindak menolong negara, menolong bangsa dan rakyat pada umumnya. Rakyat kita terjajah, tertindas dan hidup dalam kemelaratan dan kesengsaraan karena diperas dan ditindas oleh penjajah, dan dari keadaan inilah timbul banyak perbuatan yang menyeleweng dari pada kebenaran. Kami kaum pejuang bergerak untuk menyembuhkan penyakit ini, penyakit tertindas penjajah. Sekali penjajah lenyap dan rakyat kita hidup merdeka, keadaan menjadi adil dan makmur, maka kejahatanpun akan berkurang atau lenyap dengan sendirinya. Kalau para pendekar hanya menolong perorangan, maka para pejuang menolong seluruh rakyat dan bangsa, bahkan menolong pula anak cucu bangsa kita. Mengertikah engkau sekarang, lihiap?”

Bi Lan menjadi bengong. Baru sekarang ini ia mendengar tentang persoalan yang demikian besarnya, menyangkut seluruh rakyat, menyangkut bangsa. Ia hanya mengangguk, pada hal masih banyak hal yang meragukan hatinya karena belum dapat dimengertinya benar.

“Karena itu, banyak sekali para pendekar yang dianggap sebagai pendekar besar dan budiman, namun sebenarnya mereka itu kosong, bahkan banyak pula yang menyeleweng tanpa mereka sadari karena mereka sama sekali tidak memperhatikan tentang kesengsaraan rakyat seluruhnya, hanya memperhatikan kesengsaraan perorangan bahkan yang tidak ada artinya.”

Sim Houw mengerutkan alisnya, merasa tidak setuju mendengar orang gagah ini mencela para pendekar besar yang budiman. “Maaf, Lie-enghiong, setahuku, para locianpwe yang gagah perkasa selalu hidup melalui jalan kebenaran. Siapa yang tidak mendengar akan sepak terjang yang gagah dari keluarga Pulau Es misalnya, atau keluarga Istana Gurun Pasir, juga keluarga besar Siauw-lim-pai dan lain-lainnya?”

“Keluarga Pulau Es?” Lie Tek San menarik napas panjang dan mengerutkan alisnya. “Siapa yang tidak tahu bahwa mereka adalah keluarga para pendekar yang gagah perkasa dan sakti? Akan tetapi, semua orangpun tahu bahwa mereka itu condong untuk memihak penjajah Mancu! Bahkan di dalam darah mereka terdapat darah keluarga kerajaan Mancu! Mana bisa mereka dibandingkan dengan para pejuang yang siap setiap saat mengorbankan nyawa untuk negara dan bangsa? Tidak, bagaimanapun juga, aku tidak dapat mengagumi keluarga Pulau Es! Siapa tidak tahu betapa isteri pertama dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es adalah seorang puteri Mancu, bahkan seorang panglima terkenal yaitu Puteri Nirahai, dan puteri merekapun menjadi panglima terkenal yaitu Puteri Milana? Dan isterinya yang ke dua, yaitu Nenek Lulu juga seorang berdarah Mancu! Keturunan mereka memiliki darah Mancu dan betapapun gagahnya mereka itu, tentu mereka setia kepada Mancu dan membela penjajah yang menindas rakyat kita. Bangsa Han dari suku-suku bangsa lainnya!” Lie Tek San bicara penuh semangat. Sim Houw dan Bi Lan mendengarkan dengan mata terbelalak. Baru sekarang mereka mendengar ada orang gagah yang terang-terangan berani mencela keluarga Pulau Es!

“Bagaimana dengan keluarga Istana Gusan Pasir?” Bi Lan bertanya, suaranya menantang, ingin melihat apakah pejuang itu berani mencela keluarga kedua gurunya.

“Hemmm, tidak banyak bedanya. Bukankah putera tunggal mereka, pendekar Kao Cin Liong, pernah menjadi seorang panglima kerajaan Mancu?”

“Akan tetapi sekarang dia sudah mengundurkan diri!” Bi Lan membantah.

Lie Tek San mengangguk-angguk dan tersenyum. “Maaf, lihiap, bukan maksudku untuk secara membabi-buta mencela para pendekar. Mereka adalah orang-orang sakti yang mengagumkan. Akan tetapi sayang bahwa mereka itu hanya tertarik oleh urusan pribadi. Kalau saja orang-orang sakti seperti mereka itu memikirkan nasib rakyat dan bersama-sama maju menentang penjajah, tentu pemerintah penjajah akan segera dapat dihancurkan dan rakyat kita terbebas dari pada cengkeramannya! Memang benar bahwa akhirnya pendekar Kao Cin Liong mengundurkan diri, akan tetapi kapankah keluarga itu menentang penjajah? Tidak pernah! Bahkan mereka itu, para pendekar yang gagah perkasa itu, baru-baru ini melakukan suatu kesalahan besar sekali ketika mereka membasmi kaki tangan pembesar Hou Seng!”

“Ahhh....!?!” Sim Houw dan Bi Lan terkejut dan berbareng mereka mengeluarkan seruan kaget sambil menatap wajah pejuang itu. Adapun para pimpinan suku Bangsa Hui sejak tadi hanya mendengarkan saja, kadang-kadang mengangguk-angguk membenarkan ucapan Lie Tek San. “Kebetulan sekali kami berdua juga membantu para pendekar membasmi kaki tangan Hou Seng yang amat jahat itu! Kenapa perbuatan itu dianggap suatu kesalahan besar?”

Kembali pejuang itu menarik napas panjang. Mencela para pendekar bukan merupakan tugas yang menyenangkan, akan tetapi harus dia lakukan untuk membangkitkan semangat mereka yang dianggapnya melempem. “Dipandang secara umum, memang perbuatan menentang dan membasmi kaki tangan Hou Seng itu benar dan gagah, akan tetapi kalau dikaitkan dengan kepentingan perjuangan rakyat yang hendak membebaskan diri dari cengkeraman penjajah, maka perbuatan para pendekar itu sungguh merupakan suatu kesalahan besar yang amat merugikan perjuangan.”

“Eh, bagaimana mungkin bisa demikian?” Bi Lan penasaran.

“Lihiap, kami sudah menyelidiki keadaan Hou Seng. Dia seorang pembesar yang korup dan berambisi, dia memelihara jagoan-jagoan yang terdiri dari datuk-datuk sesat yang lihai. Dia meryuruh jagoan-jagoannya untuk menculik dan membunuh para pembesar yang menentangnya. Semua perbuatannya itu sungguh amat menguntungkan perjuangan rakyat. Bukankah dengan demikian, kedudukan kerajaan Mancu menjadi semakin lemah? Hou Seng merupakan penyakit yang menggerogoti dari dalam, melemahkan pemerintah penjajah. Biarpun aku pribadi amat membencinya, namun perbuatannya itu justeru menguntungkan kita, merusak pihak lawan. Seyogianya dia itu dibiarkan saja, biar dia merusak kedudukan kerajaan penjajah, biar terjadi saling hantam di kalangan mereka sendiri. Akan tetapi, para pendekar muncul, membasmi kaki tangan Hou Seng, dan keadaan di istana kerajaan menjadi aman dan bersih kembali, yang berarti memperkuat kerajaan dan kami para pejuang yang rugi. Di dalam diri Hou Seng kami seolah menemukan pembantu yang amat berharga. Mengertikah sekarang ji-wi yang gagah?”

Sim Houw dan Bi Lan saling pandang dan memang mereka mulai mengerti. Kiranya perjuangan membutuhkan pemikiran yang mendalam. Perjuangan harus mengesampingkan perasaan dan urusan pribadi dan semua harus ditujukan demi kepentingan perjuangan rakyat itu sendiri. Betapa besar dan mulianya! Memang jauh lebih besar dari pada sikap dan tindakan para pendekar yang hanya memikirkan nasib orang yang dihadapinya dan ditolongnya. Betapa kecil bantuan kepada perorangan ini kalau dibandingkan degan perjuangan yang mengingat akan nasib rakyat jelata!

Akan tetapi, Sim Houw adalah seorang pendekar yang luas pengetahuannya dan dalam pemikirannya sudah banyak pula dia membaca dan merenungkan permasalahan dunia dan kehidupan manusia pada umumya, maka menghadapi perbandingan antara pejuang dan pendekar, dia melihat perbedaan lain yang membuat para pendekar nampak lebih unggul baginya. Diapun melihat betapa Bi Lan amat tertarik dan dia tidak akan merasa heran kalau gadis yang masih muda itu lebih mudah terseret dan terjun dalam perjuangan dan untuk menyadarkan gadis itu, dia harus mengemukakan pendapatnya sekarang juga.

“Akan tetapi maafkan saya, Lie-enghiong. Saya juga melihat kesalahan besar sekali dilakukan orang dalam perjuangan, yang membuat tindakan pejuang-pejuang menjadi tidak murni lagi.”

Lie Tek San memandang tajam, akan tetapi mulutnya tersenyum tanda kelapangan hatinya. “Tidak ada gading yang tidak retak, tidak ada manusia tanpa cacat, Sim-taihiap. Akan tetapi apakah kesalahan itu?”

“Kalau sebagian besar perbuatan para pendekar menentang kejahatan dan menolong orang-orang lemah tertindas timbul ari dorongan hati pada saat dia melihat ketidakadilan itu, pada saat itu perdekar bertindak memberantas kejahatan tanpa pamrih, sebaliknya tindakan para pejuang merupakan tindakan yang telah direncanakan dan diatur untuk jangka waktu yang lama dan panjang. Dan biasanya, di dalam tindakan berencana ini, terdapat pamrih untuk diri sendiri walaupun nampaknya mereka berjuang untuk membela rakyat. Bukankah perjuangan itu bermaksud mengalahkan pemerintah penjajah yang lama dan bukankah perjuangan itu bercita-cita untuk menang dan kalau sudah menang, para pejuang tentu saja memperoleh kekuasaan dan kedudukan? Nah biasanya, walaupun ketika pejuang-pejuang itu masih melakukan perjuangan cita-cita mereka murni dan ditujukan untuk membebaskan rakyat jelata dari penindasan, akan tetapi kalau sudah memperoleh kemenangan dan para pejuang itu memperoleh kedudukan dan kekuasaan, mereka menjadi lupa diri. Mereka akan mabok kemenangan, mabok kekuasaan dan hanya menjejali diri sendiri dengan kesenangan yang mereka anggap sebagai hasil dan upah dari perjuangan mereka.”

Para pimpinan suku Bangsa Hui atu saling pandang, dan Lie Tek San mengangguk-angguk dan menarik napas panjang, wajahnya nampak berduka dan khawatir. “Ah, engkau telah membuka dan menelanjangi kekotoran manusia dalam perjuangan. Sim taihiap! Akan tetapi tak dapat disangkal akan kebenaran ucapanmu itu. Memang terdapat perbedaan antara kemenangan pendekar dan kemenangan pejuang. Kemenangan pendekar terhadap musuhnya tidak mendatangkan suatu keuntungan maka tidak akan menyelewengkan hati pendekar itu, dan sebaliknya kemenangan pejuang memang dapat mendatangkan pahala besar yang mudah menyelewengkan hati manusia yang lemah. Akan tetapi, kiranya tidak semua manusia seperti itu. Dan kita akan menjadi manusia yang berbahagia kalau teringat akan kelemahan itu sehingga penyakit itu tidak akan menghinggapi batin kita. Mudah-mudahan saja kita tidak akan seperti mereka yang kelak dimabok oleh kemenangan dan kekuasaan.”

Setelah bercakap-cakap dan berjanji kepada Lie Tek San bahwa mereka akan berpikir tentang perjuangan setelah menyelesaikan urusan pribadi mereka, Sim Houw dan Bi Lan meninggalkan perkampungan suku Bangsa Hui dan mendapat petunjuk dari mereka tentang letak Istana Gurun Pasir yang mereka cari.

***

Istana Gurun Pasir terletak di tengah-tengah gurun pasir, di suatu daerah yang aneh karena di tengah-tengah gurun pasir yang luas itu terdapat sebidang tanah yang subur! Istana tua itu terpencil jauh dari pedusunan dan biarpun mereka lihai, Sim Houw dan Bi Lan tentu akan mengalami kesukaran menemukan tempat ini sungguhpun Bi Lan pernah mendapat keterangan yang cukup jelas dari subonya, kalau saja mereka tidak memperoleh petunjuk dari suku Bangsa Hui.

Suami isteri sakti yang tinggal di istana tua dan kuno itu kini sudah menjadi seorang kakek dan nenek yang usianya sudah lanjut. Kakek Kao Kok Cu yang namanya pernah menggemparkan dunia persilatan sebagai Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, kini telah menjadi seorang kakek yang usianya hampir delapanpuluh tahun. Walaupun dia masih nampak gagah dan sehat, namun dia sudah jarang sekali keluar dari istana tua itu, kecuali untuk keluar ke kebun merawat tanaman sayuran sambil menikmati hawa segar dan sinar matahari yang menyehatkan. Isterinya yang dulu merupakan seorang pendekar wanita yang lihai, kinipun sudah menjadi seorang nenek berusia kurang lebih tujuhpuluh lima tahun.

Meteka berdua hidup di tempat terpencil dan sunyi itu. Masa gemilang kehidupan mereka telah lalu. Dulu mereka adalah sepasang suami isteri yang gagah perkasa dan disegani kawan ditakuti lawan, akan tetapi kini mereka hanya sepasang kakek dan nenek yang sudah menjauhkan diri dari keramaian dunia, makin hari semakin lemah dan tua dimakan usia dari dalam. Yang menemani mereka hanyalah sepasang suami isteri berusia empatpuluh tahun lebih, dari suku bangsa Mongol peranakan Han, yang menjadi pelayan dan membantu pekerjaan di kebun dan di rumah. Tanah di daerah itu memang subur, bahkan terdapat sumber airnya sehingga kehidupan empat orang ini cukup makan dari tumbuh-tumbuhan yang mereka tanam sendiri. Untuk keperluan barang lain, mereka dapat memperolehnya dari pedagang-pedagang keliling di balik bukit, atau bertukar barang dengan penghuni dusun di balik bukit.

Agaknya suami isteri tua renta itu memang hanya menanti saat panggilan Tuhan saja dan mereka memilih tempat sunyi ini dari pada kota yang ramai. Berkali-kali putera tunggal mereka, Kao Cin Liong minta agar ayah dan ibu ini suka ikut tinggal bersama keluarganya di kota, namun kakek dan nenek itu tidak mau, sudah terlanjur betah tinggal di tempat yang sunyi itu. Biarpun keduanya sudah tua, untuk menjaga kesehatan, mereka tidak perrah lupa untuk melatih otot-otot tubuh mereka di samping duduk bersamadhi untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan lain di alam baka.

Ketika mereka tiba di puncak bukit dan melihat istana tua itu di kejauhan, di tengah-tengah gurun pasir, mereka memandang kagum bukan main. Seperti dalam dongeng saja. Sebuah istana yang dari jauh nampak indah sekali, berdiri megah di tengah-tengah padang pasir yang luas dan mati. Dan di sekitar istana itu nampak nyata tumbuh-tumbuhan yang segar dan kehijauan. Benar-benar mentakjubkan.

“Mari kita cepat ke sana!” Bi Lan berteriak girang, membayangkan bahwa ia akan segera bertemu dengan kakek dan nenek yang telah menjadi guru-gurunya dan yang telah menyelamatkannya dari maut ketika ia keracunan oleh ilmu-ilmu yang sengaja diajarkan secara keliru dan menyeleweng oleh Bi-kwi, sucinya.

Sim Houw tersenyum, maklum akan ketegangan dan kegembiraan hati gadis itu. Dia sendiri merasa tegang, akan tetapi bukan gembira melainkan khawatir. Istana kuno itu demikian megah dan nama besar suami isteri sakti itu membuat dia merasa seolah-olah kedatangannya akan merupakan gangguan terhadap kehidupan mereka yang tenteram seperti kehidupan sepasang dewa. Dia khawatir kalau-kalau Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya akan merasa terganggu oleh kunjungannya dan dia merasa terasing. Namun dia menghibur diri sendiri. Bagaimanapun juga, kunjungannya ini hanya untuk mengantar Bi Lan, dan bukankah Bi Lan merupakan murid dari mereka?

Saking gembiranya dan besar keinginannya untuk segera dapat bertemu dengan suhu dan subonya. Bi Lan mengerahkan tenaganya dan berlari cepat menuju ke istana itu, menuruni bukit. Kedua kakinya bergerak cepat ketika berlari di atas pasir dan Sim Houw mengikutinya sambil tersenyum, terbawa oleh kegembiraan Bi Lan. Sebentar saja Bi Lan sudah tiba di depan istana, di dalam pekarangan depan yang penuh dengan tanaman bunga beraneka ragam dan warna. Seorang laki-laki berbangsa Mongol dengan wajah dingin sedang mencangkul, membuangi rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar bunga-bunga itu.

Laki-laki itu adalah pelayan di istana itu dan dia sama sekali tidak menengok ketika Sim Houw dan Bi Lan memasuki pekarangan. Wajahnya tetap dingin seperti arca, sehingga Bi Lan yang tadinya ingin menegurnya dan bertanya, tidak jadi membuka mulut, hanya memandang dengan penuh harapan ke arah pintu depan istana itu yang nampak terbuka sebagian.

Sinar matanya berseri gembira ketika yang diharapkannya muncul. Seorang kakek dan seorang nenek, keduanya sudah sangat tua akan tetapi wajah mereka masih nampak segar dan tubuh mereka masih lurus, muncul dari dalam pintu, melangkah ke luar dan berdiri di serambi.

“Suhu! Subo....!” Bi Lan berseru dan cepat ia lari naik ke atas serambi dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek dan nenek itu. Sim Houw melihat betapa kakek dan nenek itu berdiri tegak dengan sikap agung dan berwibawa, maka dia pun cepat mengikuti Bi Lan dan menjatuhkan diri berlutut pula di depan mereka.

“Suhu dan subo, teecu datang berkunjung,” kata Bi Lan dengan suara mengandung kegembiraan dan keharuan. “Suhu dan subo selama ini dalam sehat saja, bukan?”

Kakek dan nenek itu diam saja dan sampai beberapa lamanya mereka hanya mengamati Bi Lan dan Sim Houw dengan penuh perhatian. Akhirnya terdengar nenek Wan Ceng berkata, suaranya lembut akan tetapi dingin dan tidak terkandung kegembiraan seperti yang diharapkan Bi Lan.

“Bi Lan, keluarkan Ban-tok-kiam dan berikan kepadaku.”

Diam-diam Bi Lan terkejut bukan main. Dahulu, biasanya sikap subonya terhadap dirinya amat ramah dan manis, bahkan terkandung rasa sayang di dalam kata-katanya kalau bicara kepadanya. Ia masih ingat benar. Akan tetapi kenapa kini di dalam suara subonya terkandung nada yang dingin dan seperti orang marah. Akan tetapi ia tidak membantah.

“Baik, subo.” Dikeluarkannya Ban-tok-kiam dari dalam buntalan pakaiannya dan dengan kedua tangan, diserahkannya pedang pusaka itu kepada subonya. Ketika melakukan ini, ia menengadah dan memandang wajah subonya penuh perhatian. Kembali ia terkejut. Wajah subonya itu kelihatan tidak senang! Juga wajah Suhunya yang biasanya penuh kesabaran dan kecerahan agak muram.

Tanpa memandang lagi kepada muridnya, nenek Wan Ceng mencabut Ban-tok-kiam dari sarungnya, lalu mendekatkan pedang itu kepada hidungnya. Ia mengerutkan alisnya dan berkata dengan galak. “Hemm, Ban-tok-kiam ternoda darah yang masih baru! Can Bi Lan, darah siapa yang menodai Ban-tok-kiam dan kenapa engkau mempergunakannya untuk membunuh orang?”

Gadis itu terkejut dan cepat memberi hormat. “Harap subo sudi mengampuni teecu. Sesungguhnya, belum lama ini teecu mempergunakan Ban-tok-kiam dalam perkelahian. Teecu terpaksa mempergunakannya karena lawan berjumlah banyak dan cukup kuat.”

“Hemm, masih ingatkah engkau apa pesanku ketika meminjamkan Ban-tok-kiam kepadamu?” kembali suara nenek itu terdengar melengking tinggi tanda kemarahan hatinya.

“Teecu masih ingat, subo,” kata Bi Lan, jantungnya berdebar tegang dan merasa tidak enak, tidak mengira bahwa kunjungannya diterima dengan kemarahan oleh suhu dan subonya, tidak seperti yang dibayangkannya semula, yaitu melihat suhu dan subonya menerimanya dengan gembira. “Subo memesan agar pedang pusaka itu teecu pergunakan untuk menjaga diri dan hanya mempergunakan kalau keadaan terdesak dan teecu berada dalam bahaya.”

“Hemm, bagus kalau kau masih ingat. Apakah ketika engkau mempergunakan Ban-tok-kiam baru-baru ini, engkau juga dalam ancaman bahaya?”

Ditanya demikian, Bi Lan menjadi bingung. Sejenak ia melirik ke arah Sim Houw yang juga menundukkan muka dengan hati merasa tidak enak. “Maaf, subo. Teecu tidak terancam bahaya, akan tetapi ada orang lain yang terancam bahaya dan teecu harus menolongnya. Dia dikepung banyak anak buah pasukan yang dipimpin oleh perwira-perwira yang lihai. Akan tetapi teecu berani bersumpah bahwa Ban-tok-kiam tidak teecu pergunakan untuk membunuh, hauya melukai ringan saja....”

“Cukup. Nenek Wan Ceng membentak. “Biar hanya luka sedikit, kalau terkena Ban-tok-kiam, kaukira akan dapat hidup mereka itu tanpa kauberi obat?”

Dengan penuh semangat karena mengharapkan agar sekali ini ia dibenarkan kedua gurunya, Bi Lan berkata, “Dia adalah seorang pendekar perkasa, seorang pejuang yang gagah berani bernama Lie Tek San. Teecu melihat dia dikeroyok di dekat Tembok Besar, maka teecu turun tangan membantunya.”

“Lie Tek San pemberontak dari Siauw-lim-pai itu?” tanya Kao Kok Cu.

“Benar, suhu!” kata Bi Lan gembira karena gurunya ternyata mengenal nama besar pejuang itu.

“Hemm, kiranya bocah ini malah sudah membantu pemberontak!” Tiba-tiba nenek Wan Ceng berseru marah, mengejutkan Bi Lan dan Sim Houw. “Dan orang muda ini tentulah yang bernama Sim Houw dan berjuluk Pendekar Suling Naga. Benarkah?”

Sim Houw terkejut dan cepat memberi hormat, lalu memandang wajah nenek itu.

“Benar sekali, locianpwe, saya bernama Sim Houw....”

“Dan berjuluk Pendekar Suling Naga?” nenek itu menyambung.

“Hal itu adalah karena saya suka mempergunakan senjata Pedang Suling Naga, maka orang-orang menyebut saya demikian.” Sim Houw mengaku.

“Bi Lan, semenjak kita saling berpisah, kami banyak mendengar hal-hal buruk tentang dirimu! Dan sekarang aku melihat kenyataan sendiri bahwa bukan saja engkau telah meninggalkan kesusilaan, akan tetapi juga engkau telah menggunakan Ban-tok-kiam unntuk membunuh banyak orang, dan engkau bahkan telah menjadi seorang pemberontak.”

“Subo....!” Bi Lan berseru kaget.

“Diam!” bentak nenek Wan Ceng, kini tidak lagi menyembunyikan kemarahannya. “Kami dahulu telah keliru sangka terhadap dirimu, sehingga kami bersusah payah menyembuhkan dan mendidikmu. Kiranya engkau tetap menjadi murid yang baik dari Sam Kwi, tindakanmu memang seperti golongan hitam. Engkau membantu sucimu yang jahat itu, bahkan membantunya berhadapan dengan keluarga Pulau Es yang gagah perkasa! Sungguh kami merasa ikut malu bukan main. Nah, katakan, tidak benarkah engkau dan Pendekar Suling Naga ini membantu sucimu yang berjuluk Bi-kwi itu melakukan kejahatan dan melawan keluarga Pulau Es? Jawab!”

“Teecu memang membantu suci Bi-kwi, subo, akan tetapi.... teecu membantunya hanya karena suci kini sudah sadar dan menjadi orang baik. Teecu bukan membantu ia melakukan kejahatan, melainkan melindunginya dari ancaman. Teecu sama sekali tidak menggunakan Ban-tok-kiam untuk kejahatan itu....”

“Hemmm, karena keteledoranmu menjaga Ban-tok-kiam, pedang pusaka ini terjatuh ke tangan Sai-cu Lama sehingga Teng Siang In menjadi korban Ban-tok-kiam! Bi Lan, sungguh aku kecewa dan menyesal sekali telah mengambilmu sebagai murid. Maka, sekarang engkau sudah datang dan membawa Ban-tok-kiam yang sudah ternoda, aku akan mencabut kepandaian yang pernah kuberikan kepadamu. Bersiaplah engkau!”

Nenek itu lalu menggerakkan tangannya untuk menotok ke arah pundak Bi Lan. Totokan itu mengarah jalan darah pusat dekat leher dan kalau terkena tentu gadis itu akan menjadi lumpuh dan kehilangan semua tenaga dalamnya, bahkan mungkin membahayakan keselamatan nyawanya.

“Dukkk....!” Totokan nenek itu, yang tidak berani dielakkan atau ditangkis oleh Bi Lan, kini tertangkis oleh tangan Sim Houw. Dia tadi terkejut sekali dan melupakan segalanya, menangkis totokan maut itu untuk melindungi Bi Lan.

Nenek Wan Ceng melangkah mundur, matanya mencorong ditujukan kepada Sim Houw yang masih berlutut. Tangkisan tadi menyadarkan nenek Wan Ceng betapa kuat tenaga sin-kang yang dipergunakan pemuda itu untuk menangkisnya tadi. Ia menjadi marah, merasa ditantang.

“Sim Houw, Pendekar Suling Naga, berani engkau mencampuri urusan antara aku dan muridku sendiri. Apakah engkau menantangku?”

“Maaf, locianpwe, saya masih belum begitu gila untuk berani menantang locianpwe. Akan tetapi, kalau locianpwe berkeras untuk menghukumnya, biarlah saya saja yang mewakilinya. Hukumlah saya, locianpwe, karena selama ini ia hanya mengikuti jejak saya. Sayalah yang bertanggung jawab, sayalah yang bersalah dan locianpwe boleh menghukum atau membunuh saya, akan tetapi mohon bebaskan Lan-moi.”

Sikap dan suara Sim Houw demikian tegas dan mantap sehingga nenek itu terbelalak tidak percaya. “Engkau menyerahkan diri untuk menggantikan Bi Lan, dan engkau tidak akan melawan?” tanyanya heran.

“Saya bersumpah tidak akan melawan. Hukumlah saya sebagai pengganti adik Bi Lan.”

“Hemm, kalau begitu agaknya memang benar engkau yang menjadi biang keladinya sehingga murid kami menjadi jahat dan menyeleweng. Nah, terimalah hukumannya!”

Akan tetapi sebelum nenek Wan Ceng melancarkan pukulan yang lebih hebat dari pada tadi, tangannya telah disentuh suaminya. “Perlahan dulu, aku ingin bicara dengannya,” kata kakek Kao Kok Cu yang lengan kirinya buntung itu. Wan Ceng memandang heran. Biasanya, suaminya sudah tidak mau perduli lagi dengan semua urusan dan kalau sekarang dia mencampuri, itu berarti bahwa suaminya sebenarnya merasa sayang kepada Bi Lan, murid mereka yang hanya setahun berguru kepada mereka itu. Maka ia pun melangkah mundur, membiarkan suaminya yang agaknya akan menghadapi sendiri dua orang muda itu.

Kao Kok Cu melangkah perlahan ke depan. “Orang muda, bangkitlah, aku ingin bicara denganmu,” katanya lirih, namun suaranya penuh wibawa yang memaksa Sim Houw untuk bangkit dan dengan sopan dia mengangkat muka memandang wajah kakek itu. Dia merasa kagum dan tunduk melihat seorang kakek yang biarpun lengan kirinya buntung dan pakaiannya sederhana, namun penuh dengan wibawa yang amat kuat ini. Wajah kakek itu nampak bersih dan terang, sepasang matanya seperti mata naga saja, lembut namun mencorong penuh kekuatan.

“Pendekar Suling Naga Sim Houw, apamukah Can Bi Lan ini?”

Ditanya demikian, Sim Houw menjawab dengan sopan, “Bukan apa-apa, locianpwe, hanya teman seperjalanan. Saya mengantarnya untuk mencari Istana Gurun Pasir karena ia hendak mengembalikan Ban-tok-kiam.”

“Kalau bukan apa-apa, mengapa engkau hendak berkorban diri, rela dihukum bahkan dibunuh untuk menyelamatkannya?”

Wajah Sim Houw menjadi merah dan beberapa kali dia melirik ke arah Bi Lan yang masih menundukkan mukanya. Menghadapi seorang tokoh seperti Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir ini, tentu saja dia harus berterus terang. Berbohongpun tidak akan ada gunanya, dan dia berpendapat bahwa sekaranglah saatnya dia berterus terang kepada Bi Lan pula, sebelum terlambat, yaitu sebelum seorang di antara mereka atau keduanya tewas di tangan suami isteri yang sakti ini.

“Locianpwe, terus terang saja, saya rela berkorban nyawa untuk melindunginya karena saya amat mencintanya.”

Mendengar ucapan itu, kakek dan nenek itu saling pandang, dan ketika mereka memandang kepada Bi Lan, mereka melihat betapa gadis itu makin menunduk, akan tetapi tetap saja ada dua butir air mata mengalir turun di sepanjang pipi Bi Lan. Gadis itu merasa terharu bukan main mendengarkan pengakuan Sim Houw. Dia memang sudah dibisiki sucinya, Bi-kwi, bahwa Sim Houw mencintanya, akan tetapi betapapun ia memancing pengakuan Sim Houw, selalu gagal dan orang muda itu tak pernah menyatakan cintanya melalui mulut. Baru sekarang Sim Houw membuat pengakuan, di depan suhu dan subonya, dengan suara lantang. Hal ini mendatangkan kegembiraan, kelegaan akan tetapi juga keharuan hatinya sehingga walaupun ia sudah menundukkan mukanya, ia tidak dapat menahan beberapa butir air mata mengalir turun.

Kakek itu lalu mundur selangkah dan dengan sepasang mata yang mencorong, dia memperhatikan Sim Houw. Pandang matanya yang tajam dapat melihat bahwa orang muda ini benar-benar “berisi”, mudah saja nampak oleh pandang matanya yang tajam dalam sikap dan pandang mata pemuda itu.

“Demi cinta engkau berani melindungi Bi Lan. Aku sudah pernah mendengar akan nama besarmu. Karena itu, ingin aku melihat apakah benar engkau mencintanya, dan sampai di mana pembelaanmu terhadap Bi Lan. Engkau majulah dan lawan aku, baru aku akan mempertimbangkan nanti apakah engkau cukup berharga untuk melindungi Bi Lan. Nah, bersiaplah untuk melayani aku bertanding, orang muda!”

Sim Houw mengerti. Sikap Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir ini tidaklah mengherankan karena banyak tokoh persilatan yang sakti memiliki kelemahan terhadap ilmu silat. Agaknya kakek inipun ingin menguji kepandaiannya, dan kalau memang merasa bahwa dia memiliki kepandaian cukup, kakek itu tentu akan merasa sayang untuk membunuh atau mencabut kepandaiannya dan mungkin sekali mereka akan dapat mengampuni Bi Lan. Jadi nasib Bi Lan ditentukan oleh perlawanannya terhadap kakek sakti itu.

“Baiklah, locianpwe, saya mentaati perintah!” berkata demikian, Sim Houw juga melangkah mundur sampai ke pekarangan yang luas di bawah serambi itu, dan dia sudah mencabut senjatanya, yaitu Liong-siauw-kiam atau Pedang Suling Naga, dipegang dengan tangan kanannya dan dia berdiri dengan sikap hormat menanti lawannya yang melangkah lambat menuruni anak tangga itu ke serambi.

Kini kedua orang itu sudah saling berhadapan, keduanya tidak memasang kuda-kuda, seperti halnya dua orang yang hendak bertanding ilmu silat. Hal ini saja sudah menunjukkan bahwa keduanya bukanlah ahli silat sembarangan dan tidak lagi memerlukan kuda-kuda yang khusus. Setiap posisi merupakan kuda-kuda yang baik bagi mereka, karena dari segala posisi mereka dapat saja melakukan gerakan silat, baik membela diri maupun menyerang.

Sejak tadi, Bi Lan sudah mengangkat muka dan memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak. Ia tahu benar betapa lihainya kakek berlengan buntung sebelah itu. Bagaimanapun juga, Sim Houw pasti bukan lawannya dan timbul perasaan ngeri dan takut dalam hatinya. Maka, melihat betapa keduanya sudah berdiri dan siap untuk saling serang, tiba-tiba ia mengeluarkan suara tertahan dan iapun meloncat turun dari keadaan berlutut tadi tahu-tahu ia sudah berdiri di antara Sim Houw dan Kao Kok Cu, lalu ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki suhunya sambil menangis!

“Suhu....ah, suhu.... jangan suhu menyerang Sim-toako. Lebih baik suhu bunuh saja teecu. Dia tentu akan tewas di tangan suhu dan teecu.... teecu tidak mungkin dapat hidup tanpa dia suhu. Teecu.... mencintanya.... ah, teecu mencintanya....” Bi Lan menangis tersedu-sedu di depan kaki kakek itu. Sim Houw berdiri dengan muka pucat dan kedua kakinya menggigil. Benarkah apa yang didengarnya itu? Benarkah itu Bi Lan yang mengaku cinta padanya di depan kakek itu? Tanpa malu-malu menyatakan cinta kepadanya, bahkan menangis karena khawatir dia akan terbunuh dalam pertandingan ini? Ingin dia merangkul Bi Lan, ingin dia menghiburnya, akan tetapi tentu saja dia tidak berani melakukan hal itu di depan kakek dan nenek yang nampaknya masih marah itu.

“Siapa akan membunuh orang? Anak bodoh, minggirlah dan biarkan aku menguji kepandaian Pendekar Suling Naga. Setelah itu, kalian berdua boleh pergi,” kata Kao Kok Cu. Mendengar ini, bukan main girangnya hati Bi Lan dan iapun cepat mundur dan berdiri di pinggiran untuk menonton. Ia percaya bahwa suhunya akan memegang teguh janjinya, tidak akan membunuh Sim Houw?

Tanpa disengaja, ia berdiri di dekat Wan Ceng yang juga sudah turun dari serambi, dan melihat subonya, Bi Lan berbisik, “Subo, teecu bersumpah bahwa kami berdua tidak pernah menyeleweng, tidak pernah melakukan kejahatan.”

Nenek Wan Ceng melirik kepadanya dan menjawab lirih, suaranya masih dingin.

“Hemm, akan tetapi apa yang kami dengar tentang dirimu tidak seperti yang kaukatakan ini, Bi Lan.”

“Subo, untuk setiap persoalan, teecu dapat menjawab dan memberi penjelasan. Setidaknya teecu berhak untuk membela diri, Subo, dari segala berita yang dijatuhkan kepada teecu.”

“Sudahlah, nanti saja kita bicara lagi,” kata nenek itu yang memperhatikan dua orang yang sudah mulai bergerak saling mendekati. Bi Lan memandang ke arah Sim Houw dari Kao Kok Cu yang sudah saling mendekati, Sim Hoaw memegang sulingnya, kakek itu seperti biasa, tidak memegang senjata apapun kecuali kedua ujung lengannya. Melihat betapa gagahnya Sim Houw, dan betapa gurunya itu sudah nampak tua dan lemah, agak berkurang kekhawatiran di hati Bi Lan. Ia tidak khawatir kalau Sim Houw akan melukai gurunya. Ia mengenal benar siapa Sim Houw, tahu benar akan kebaikan hati Sim Houw dan kegagahannya. Jelas bahwa pendekar itu tidak akan mau melukai kakek yang tua renta itu.

“Engkau mulailah, orang muda!” kata Kao Kok Cu.

Tadinya Sim Houw merasa sungkan untuk mendahului, akan tetapi mendengar ucapan kakek itu yang dianggapnya sebagai perintah, diapun lalu menggerakkan sulingnya dan berkata, “Baik, locianpwe, saya mulai menyerang!” Berkata demikian, suling itu berkelebat dan menotok ke arah pundak kiri yang tak berlengan itu!

Kakek itu tersenyum dan cepat meloncat ke belakang untuk menghindarkan pundaknya. Orang muda ini cerdik sekali, pikirnya, agaknya dapat menduga bahwa justeru lengan baju kiri tanpa isi itulah yang berbahaya, maka dalam serangan pertama itu dia menyerang pundak kiri yang berarti melemahkan bagian yang berbahaya dan kuat! Sambil meloncat ke belakang, kaki kakek itu melayang dengan tendangan yang amat cepat dan tidak terduga datangnya dari samping menyerong ke arah lambung Sim Houw. Namun pemuda ini sudah dapat mengelak dengan baik, bahkan sulingnya sudah berkelebat lagi menotok ke arah lutut dari kaki yang menendang. Kao Kak Cu sudah menarik kembali kakinya dan kini tangan kanannya menampar dengan amat dahsyatnya dari atas, mengarah ubun-ubun kepala Sim Houw dan hampir berbareng, ujung lengan baju kiri menyambar dari bawah, menotok ke arah ulu hati pemuda itu dengan kecepatan luar biasa.

Sim Houw terkejut, akan tetapi dia tidak menjadi gugup. Sudah diduganya bahwa kakek itu merupakan lawan yang amat lihai, maka sejak tadipun dia sudah tidak berani memandang ringan, selalu waspada dan siap siaga setiap urat syarafnya menghadapi serangan yang aneh dan hebat.

“Takkkk....!” Sulingnya menangkis tangan yang menampar dari atas, sedangkan totakan ujung lengan baju kiri itupun disampoknya dengan tangan kirinya sambil memutar tubuh. Kini sulingnya berubah menjadi sinar bergulung-gulung, mengeluarkan bunyi menderu lalu melengking seperti ditiup, mendatangkan angin keras dan hawa yang panas. Sim Houw mulai mengeluarkan kepandaiannya, memainkan sulingnya dengan ilmu gabungan dari Koai-liong-kiam-sut dan Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman dan Ilmu Pedang Suling Emas). Kedua ilmu ini telah digabung dan menjadi ilmu yang dinamakan Liong-siauw-kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Naga) dan cocok sekali dimainkan dengan pedang suling naga itu sebagai pengganti sepasang senjata yang sudah dikembalikannya kepada keluarga Cu di Lembah Naga Siluman, yaitu sebatang suling emas dan sebatang pedang pusaka Koai-liong-kiam.

“Bagus....!” Nenek Wan Ceng sampai memuji dan memandang kagum sekali ketika ia melihat sinar bergulung-gulung seperti seekor naga mengamuk di sekeliling tubuh suaminya. Belum pernah ia melihat ilmu pedang sehebat itu, apa lagi ditambah dengan suara melengking seolah-olah ada orang yang sedang meniup suling dengan amat pandai dan merdunya.

Juga kakek Kao Kok Cu merasa kagum bukan main. Orang ini masih muda, akan tetapi telah menguasai ilmu yang demikian tingginya! Demikian hebatnya ilmu pedang yang dimainkan dengan suling itu. Suaranya merupakan serangan tenaga khi-kang melalui suara, menggetarkan jantung dan membuyarkan pencurahan perhatian lawan, anginnya juga mengandung hawa panas yang dahsyat dan dapat membingungkan lawan, sedangkan suling aneh itu dapat dipergunakan untuk menotok, akan tetapi juga membacok dan menusuk seperti pedang. Di tangan pemuda itu, suling itu bergerak dengan gulungan sinar seperti seekor naga bermain-main di angkasa. Kakek itu segera terdesak oleh sinar bergulung-gulung itu dan hanya karena dia telah memiliki ilmu yang matang dan mendarah daging maka dia dapat mengenal atau menangkis dengan tepat pada saat terancam bahaya. Beberapa kali usahanya untuk melilit pedang atau suling itu dengan ujung lengan baju kiri tak pernah berhasil karena begitu terlilit begitu pula terlepas seolah-olah benda berupa suling atau pedang itu licin seperti tubuh ular. Karena terdesak, kakek itu lalu merobah gerakannya dan kini dia mainkan ilmu silatnya yang paling ampuh, yaitu Sin-liong Ciang–hoat (Ilmu Tangan Naga Sakti).

Barulah keadaan mereka seimbang. Sim Houw terkejut bukan main ketika melihat kakek buntung itu memainkan ilmu silat yang luar biasa kuatnya. Dia merasa seperti menghadapi tembok benteng baja yang amat kuat, sukar ditembus oleh sinar senjatanya, bahkan setiap kali sulingnya bertemu dengan lengan atau lengan baju kiri, tangannya terasa panas dan lengannya tergetar. Bergidik dia membayangkan ada kekuatan sin-kang sehebat itu. Setelah lewat limapuluh jurus, tiba-tiba kakek itu mengeluarkan suara melengking dan tiba-tiba tubuhnya seperti rebah memanjang, seperti seekor naga saja, dan begitu bergerak, tangan kanannya mengeluarkan angin pukulan yang luar biasa dahsyatnya. Sim Houw berusaha mempertahankan dengan tangkisan putaran sulingnya, namun tenaga itu mendorong terlampau dahsyat. Itulah ilmu sakti Sin-liong-hok-te yang hanya dapat dilakukan dengan sempurna oleh seorang yang berlengan sebelah! Sim Houw yang mempertahankan diri, tetap saja terdorong ke belakang dan terhuyung-huyung! Kalau kakek itu berniat jahat dan mendesak, agaknya sukar baginya untuk menyelamatkan diri. Dengan demikian, jelaslah bahwa dengan ilmu terakhir itu, kakek Kao Kok Cu masih menang satu dua tingkat dibandingkan Sim Houw yang kalah tenaga dalam dan kalah pengalaman.

“Orang muda, engkau hebat dan tidak mengecewakan berjuluk Pendekar Suling Naga!” kata kakek Kao Kok Cu sambil melangkah mundur tiga langkah, berarti dia mengakhiri pertandingan itu.

Bukan main girang dan lega rasa hati Sim Houw. Diapun cepat menyimpan suling, menjatuhkan diri berlutut dan berkata, “Terima kasih banyak saya haturkan atas kemurahan hati locianpwe yang telah memberi petunjuk kepada saya.”

Kakek itu menarik napas panjang dan menoleh kepada isterinya yang juga memandang kepadanya dan mengangguk. Tanpa kata, suami isteri yang sudah saling mengenal lahir batin ini bermufakat bahwa seorang pemuda yang berilmu demikian tinggi dengan sikap demikian rendah hati seperti Sim Houw, agaknya sukar dipercaya kalau sampai melakukan penyelewengan dan kejahatan!

Bi Lan juga sudah mendekati Sim Houw dan berlutut di sebelah pemuda itu, hatinya lega dan girang bukan main. “Suhu, terima kasih bahwa suhu tidak melukai Sim-toako.”

Kakek itu kini tersenyum dan kembali menarik napas. “Siancai.....! Semoga Tuhan akan memberkahi kalian dalam cinta kasih kailan. Mari kita masuk ke dalam dan bicara di dalam. Agaknya banyak hal-hal yang perlu dibicarakan dan dibikin terang.”

“Benar,” kata Wan Ceng. “Akupun mulai ragu-ragu apakah benar Bi Lan telah melakukan penyelewengan yang mengecewakan hatiku.”

Sim Houw merasa girang sekali, menghaturkan terima kasih dan bangkit berdiri bersama-sama Bi Lan. Ketika bangkit, tanpa disengaja, tangan kiri Bi Lan menyentuh tangan kanan Sim Houw dan otomatis kedua tangan itu saling genggam dan mereka berdua mengikuti kakek dan nenek itu masuk ke dalam istana dengan saling berpegang dan bergandeng tangan. Beberapa kali mereka menoleh saling pandang yang memancing senyum penuh bahagia di kedua mulut mereka.

Mereka dibawa masuk oleh kedua orang tua itu ke dalam ruangan yang luas dan indah walaupun perabot di dalam ruangan itu sederhana. Di sudut terdapat rak senjata dan sebuah almari penuh dengan buku-buku dan di tengah-tengah ruangan terdapat meja kursi terukir dari kayu hitam yang kuno. Mereka berempat duduk di sekeliling meja itulah dan Bi Lan merasa betapa tubuhnya ditelan oleh kursi yang besar dan cekung itu. Ia merasa dirinya kecil lahir batin di tempat yang megah namun kuno ini, apa lagi di depan suhu dan subonya yang baru saja tadi marah kepadanya, bahkan kini agaknya hendak minta keterangan secara serius darinya.

Tak lama setelah mereka duduk, muncul seorang wanita Mongol yang memasuki ruangan itu menghidangkan minuman teh. Setelah wanita yang mukanya dingin seperti arca, persis sikap pria Mongol yang tadi bekerja di pekarangan, nenek Wan Ceng yang merasa penasaran itu mulai dengan pertanyaannya.

“Bi Lan, terus terang saja, kami berdua yang tinggal di tempat sunyi ini baru saja menerima kunjungan dari selatan dan kami mendengar banyak hal yang membuat kami ikut merasa prihatin, terutama ketika kami mendengar tentang sepak terjangmu yang membuat kepalaku pening dan hatiku kecewa, juga menyesal sekali.”

Bi Lan terseryum memandang wajah subonya. Betapa ia merindukan wajah ini, akan tetapi sekarang ia harus bersikap sungguh-sungguh. “Subo, kenapa subo belum apa-apa sudah mempercayai berita tentang diri teecu? Seperti teecu katakan tadi, setiap persoalan tentu teecu dapat menjawab dan memberi penjelasan sampai subo dan suhu mengerti benar bahwa semua akibat itu ada sebabnya dan sebabnya bukanlah karena penyelewengan atau kejahatan teecu. Teecu amat menghormat dan menyayang suhu dan subo, mana mungkin berani melakukan perbuatan jahat? Dan andaikata teecu menyeleweng dan berbuat jahat, mana teecu berani datang menghadap ke sini?”

Kakek Kao Kok Cu tersenqum dan mengangguk-angguk. “Memang benar juga pendapat Bi Lan ini....“

“Sekarang, jawablah pertanyaanku dengan keterangan yang jujur dan sejelasnya, baru aku akan menilai apakah engkau bersalah atau tidak,” kata nenek Wan Ceng. “Aku mendengar bahwa Ban-tok-kiam dipergunakan orang untuk membunuh Teng Siang In, isteri mendiang paman Suma Kian Bu. Bagaimana bisa demikian kalau Ban-tok-kiam kuserahkan kepadamu?”

Bi Lan mengangguk. “Teecu tidak berdaya ketika Sai-cu Lama merampas Ban-tok-kiam dari tangan teecu, subo. Sai-cu Lama, amat lihai dan kepandaiannya terlampau tinggi bagi teecu sehingga pedang pusaka itu dapat dirampasnya dan kemudian dia pergunakan untuk membunuh locianpwe itu. Akan tetapi ketika para pendekar menghadapi komplotan Sai-cu Lama, teecu dan Sim-toako membantu dan kami berhasil merampas kembali Ban-tok-kiam. Teecu mengaku salah bahwa Ban-tok-kiam sampai dirampas orang, akan tetapi hal itu terjadi bukan karena kelengahan, melainkan karena kebodohan dan kelemahan teecu yang tidak mampu menandingi Sai-cu Lama.”

Diam-diam Bi Lan merasa heran mendengar subonya menyebut paman kepada tokoh keluarga Pulau Es itu. Ia tidak tahu bahwa nenek Wan Ceng adalah cucu tiri Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, sehingga biarpun usianya lebih tua dari pada mendiang Suma Kian Bu, ia harus menyebut pendekar itu paman.

“Sekarang jelaskan bagaimana engkau membela dan melindungi sucimu yang bernama Bi-kwi, yang amat jahat itu. Bukankah ia dahulu bahkan telah menyelewengkan pelajaran silat padamu sehingga engkau hampir menjadi gila dan terancam maut? Aku mendengar bahwa Bi-kwi itu amat jahat, lebih jahat dari pada Sam Kwi, akan tetapi mengapa engkau malah membelanya, bahkan engkau telah membantunya ketika iblis betina itu berkelahi melawan Suma Ciang Bun dan muridnya, berarti engkau membantu seorang jahat melawan keluarga para pendekar Pulau Es. Nah, apa alasanmu?”

“Subo, biarpun teecu pernah menjadi murid Sam Kwi dari sejak kecil dididik oleh datuk-datuk sesat, namun semenjak menjadi murid suhu dan subo, teecu sudah dapat membedakan antara baik dan buruk. Apa lagi setelah teecu bertemu dengan Sim-toako yang selalu membimbing teecu, teecu tidak pernah membantu kejahatan. Biarpun suci sendiri, karena ia jahat, pernah menjadi lawan dan musuh teecu. Kalau teecu membela dan melindungi, adalah karena suci Bi-kwi telah insyaf dan mengubah kehidupannya menjadi orang baik-baik. Ia diserang oleh Hong Beng dan gurunya karena salah paham saja. Mungkin mereka itu mengira bahwa suci masih tetap jahat, akan tetapi teecu sendiri menyaksikan bahwa suci sudah bertaubat. Kalau orang sudah menyesali kesalahannya dan ingin bertaubat, apakah kita harus merdesaknya sampai ia tidak dapat memperbaiki kesalahannya lagi, subo?” Bi Lan lalu menceritakan tentang keadaan Bi-kwi, betapa Bi-kwi telah bertemu dengan seorang pemuda tani yang dicintanya dan cinta itulah yang telah mengubah watak dan sifat kehidupan Bi-kwi. Demi menyelamatkan kekasihnya itulah dia diperas dan dipaksa oleh Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin, tokoh tokoh Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai sehingga Bi-kwi membantu mereka menghadapi Suma Ciang Bun. Semua ini ia ceritakan dengan sejelasnya, seperti yang pernah ia dengar dari Bi-kwi sendiri.

“Demikianlah, subo. Ketika teecu melindunginya, ia berada dalam keadaan yang sama sekali tidak bersalah dan tidak melakukan kejahatan, dan teecu hanya membela kebenaran, dari manapun datangnya tanpa pilih bulu. Kalau hal itu subo anggap bersalah dan hendak menghukum teecu, maka teecu hanya dapat menyerahkan diri.” Bi Lan menutup keterangannya

Nenek Wan Ceng saling pandang dengan suaminya. Diam-diam mereka terharu juga mendengar penuturan Bi Lan tentang Bi-kwi. Suami isteri ini tahu apa artinya cinta dan mereka percaya bahwa cinta kasih akan mampu merobah watak seorang manusia, dari keadaan yang jahat menjadi baik, cinta kasih mampu menghidupkan kembali kepekaan hati yang tadinya beku dan mati. Mereka mendengar semua tentang Bi Lan dan Ban-tok-kiam dari kunjungan dua orang secara berturut-turut. Pertama kali datang Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng, mengunjungi mereka dan dari suami isteri inilah mereka mendengar tentang kematian Teng Siang In. yang menjadi korban pedang pusaka Ban-tok-kiam, dan betapa puteri tunggal suami isteri keluarga Pulau Es diculik pula oleh orang yang menggunakan Ban-tok-kiam membunuh Teng Siang In. Kemudian, datang pula. Gu Hong Beng mengunjungi mereka dan pemuda murid Suma Ciang Bun ini mengabarkan tentang diculiknya cucu mereka, Kao Hong Li, oleh seorang yang bernama Ang I Lama juga dari Hong Beng mereka mendengar tentang penyelewengan murid mereka, yaitu Can Bi Lan. Hong Beng yang penuh cemburu dan iri hati itu menceritakan kepada suami isteri tua itu betapa Bi Lan melakukan penyelewengan bukan saja main gila dengan Pendekar Suling Naga, bahkan Bi Lan dan Sim Houw telah membantu iblis betina Bi-kwi, dan menentang keluarga Pulau Es!

Kini, setelah mendengar penuturan Bi Lan, suami isteri ini dapat menarik kesimpulan bahwa memang terjadi salah paham antara Bi Lan berdua Sim Houw dengan Suma Ciang Bun dan muridnya, Gu Hong Beng.

Setelah saling pandang dan memberi persetujuan dengan isyarat mata, Wan Ceng lalu mewakili suaminya berkata kepada Bi Lan. “Sekarang kami ,mengerti setelah mendengar keteranganmu, Bi Lan. Akan tetapi, kalian sudah terlanjur mendatangkann kesan buruk kepada keluarga Pulau Es. Karena itu engkau harus menebusnya dengan perbuatan yang akan dapat membersihkan namamu, Bi Lan. Ketahuilah bahwa cucu kami, puteri tunggal anak kami Kao Cin Liong, yang bernama Kao Hong Li, telah diculik orang yang mengaku bernama Ang I Lama. Kauwakililah kami, karena kami sudah terlalu tua untuk melakukan perjalanan jauh. Wakili kami dan cari Hong Li sampai dapat! Kalau engkau berhasil mengembalikan Hong Li kepada orang tuanya, maka baru aku mau mengaku engkau sebagai muridku lagi.”

Bi Lan terkejut. Tugas yang amat berat karena ia tidak tahu ke mana anak itu dibawa pergi penculiknya, dan iapun tidak mengenal siapa Ang I Lama. Akan tetapi, Sim Houw yang berada di dekatnya menyentuh lengannya dan berbisik, “Terimalah saja tugas itu, Lan-moi, kita cari bersama.”

Mendengar bisikan ini, Bi Lan merasa besar hatinya dan dengan penuh semangat iapun berkata, “Baiklah, subo dan suhu, teecu akan mencari, sampai dapat menemukan kembali adik Kao Hong Li. Teecu baru akan datang menghadap suhu dan subo kalau teecu sudah berhasil dengan tugas itu dan teecu mahon doa restu dari suhu berdua subo.

“Baiklah, Bi Lan. Kami membekali doa restu dan mudah-mudahan engkau akan berhasil. Sekarang berangkatlah kalian,” kata nenek Wan Ceng.

Akan tetapi Bi Lan tidak bangkit, bahkan memberi hormat sambil berlutut, diikuti pula oleh Sim Houw yang menjatuhkan diri berlutut di depan kakek dan nenek itu. Dua orang kakek dan nenek itu bangkit berdiri, mengira bahwa dua orang muda itu berlutut untuk memberi hormat dan berpamit, akan tetapi ternyata tidak demikian karena Bi Lan berkata dengan suara penuh permohonan.

“Ada satu permohonan dari teecu kepada suhu dan subo, harap saja suhu dan subo dapat mengabulkan permohonan teecu ini.”

Wan Ceng tersenyum. “Katakanlah.”

“Seperti suhu dan subo mengetahui, teecu hidup sebatangkara, tidak ada orang tua, tanpa keluarga. Ketiga suhu Sam Kwi telah tewas dan bagi teecu, suhu dan subo merupakan pengganti orang tua. Demikian pula dengan Sim-toako yang sudah yatim piatu dan tidak ada keluarga. Oleh karena itu, kami berdua mohon agar suhu dan subo yang sudi menjadi wali kami dan mengesahkan dan merestui perjodohan antara kami.”

Diam-diam Sim Houw merasa girang dan bangga sekali. Gadis ini selain mencintanya juga bersungguh-sungguh dan demikian tabah membicarakan persoalan jodoh itu tanpa lebih dulu bertanya kepadanya. Akan tetapi, apa yang diucapkan gadis itu memang amat disetujuinya, bahkan dia akan merasa berbahagia, kalau kelak kakek dan nenek sakti itu mau mengesyahkan perjodohan antara mereka!

Kakek Kao Kok Cu dan Wan Ceng saling pandang dan kakek itu mengangguk sambil tersenyum. Dia dapat melihat cinta kasih berpancar dari wajah dan sinar mata kedua orang muda itu, maka tidak ada lagi halangan bagi mereka untuk berjodoh, apa lagi karena tidak ada keluarga mereka yang dapat dimintai persetujuan. Akan tetapi Wan Ceng yang cerdik segera menjawab.

“Tentu saja kami berdua suka sekali menjadi wali dan mengesahkan perjodohan kalian yang saling mencinta. Akan tetapi, ingat, kalian mempunyai tugas penting, oleh karena itu, laksanakan dulu tugas itu, baru kalian datang ke sini dan kami akan mengabulkan permintaan kalian.”

Bukan main girangnya hati Bi Lan. Berkali-kali ia memberi hormat dan menghaturkan terima kasih. Juga Sim Houw menghaturkan terima kasih kepada kedua orang tua itu. Akan tetapi ketika mereka hendak berpamit, tiba-tiba terdengar suara nyaring di luar istana itu.

“Kao Kok Cu dan Wan Ceng....! Apakah kalian masih hidup?”

Tentu saja empat orang itu merasa terkejut sekali mendengar suara yang mengandung tenaga khi-kang yang amat kuat itu, sehingga suara itu memasuki istana dan sampai ke ruangan itu membawa gema yang kuat. Wan Ceng mengerutkan alisnya. Sukar menduga siapa adanya orang yang berani menyebut namanya dan nama suaminya begitu saja itu! Hatinya merasa tidak senang, maka ia mendahului suaminya dan berkata kepada Bi Lan dan Sim Houw,. “Kalian keluarlah dan lihat siapa orang kasar yang datang itu!”

Nenek ini dahulu ketika muda memang berwatak keras. Mendengar ada orang berteriak-teriak di luar memanggil namanya dan nama suaminya ia merasa tidak senang dan merasa tidak perlu keluar sendiri menyambut, maka ia wakilkan kepada Bi Lan dan Sim Houw. Ia tahu bahwa muridnya itu, terutama sekali Sim Houw, telah memiliki kepandaian yang amat lihai sehingga patut mewakilinya menghadapi orang yang bagaimanapun juga.

Bi Lan dan Sim Houw cepat berlari keluar dan ketika mereka tiba di luar istana, keduanya tersenyum lebar dengan hati lega ketika melihat bahwa yang datang adalah seorang hwesio tua renta yang mereka kenal baik. Orang itu bukan lain adalah Tiong Khi Hwesio! Seperti kita ketahui, Tiong Khi Hwesio memimpin para pendekar muda menghadapi komplotan Sai-cu Lama, maka tentu saja Bi Lan dan Sim Houw mengenal baik pendeta ini.

Sebaliknya, Tiong Khi Hwesio juga mengenal dua orang muda itu. Dia tersenyum ramah dan menudingkan telunjuknya kearah mereka, “Eh-eh, kiranya kalian berdua juga berada di sini?”

Sim Houw cepat menghampiri hwesio itu dan memberi hormat, sementara itu Bi Lan sambil tertawa cepat masuk kembali ke dalam istana menemui suhu dan subonya. Dari luar ruangan ia sudah berteriak, “Suhu....! Subo....! Yang datang adalah locianpwe Tiong Khi Hwesio!”

Akan tetapi kakek dan nenek itu tidak mengenal nama Tiong Khi Hwesio dan mereka saling pandang dengan heran. Hanya saja, mendengar bahwa yang datang adalah seorang hwesio, mereka lalu melangkah keluar bersama Bi Lan untuk melihat siapa hwesio yang menyebut nama mereka begitu saja.

Ketika Kao Kok Cu dan Wan Ceng tiba di luar istana, mereka berdua memandang kepada hwesio tua yang berkepala gundul dan berjubah kuning itu. Mereka termangu, tidak mengenal hwesio tua itu. Hwesio yang bermulut sinis, senyum yang mengarah ejekan, sepasang mata yang tajam, mencorong dan tubuh yang masih nampak tegap dan membayangkan kekuatan.

Di lain pihak, Tiong Khi Hwesio memandang kepada kakek dan nenek itu, kemudian melangkah lebar menghampiri, wajahnya berseri dan terutama sekali matanya ditujukan kepada nenek Wan Ceng, kemudian dia merangkap kedua tangan ke depan dada seperti orang berdoa.

“Omitohud....! Terima kasih kepada Sang Buddha bahwa hari ini pinceng masih berkesempatan untuk bertemu dengan Wan Ceng! Ahhh, Wan Ceng, engkau kini telah menjadi seorang nenek yang tua, namun masih nampak kelincahanmu dan kegagahanmu! Suara itu menggetar penuh perasaan. Betapa tidak akan terharu rasa hati kakek hwesio ini bertemu dengan wanita yang di waktu mudanya dulu pernah menggetarkan kalbunya, seorang wanita yang sebenarnya adalah saudaranya sendiri, seayah berlainan ibu!

Wan Ceng terkejut sekali dan melangkah maju mendekat, memandang tajam penuh perhatian dan penuh selidik. “Siapakah engkau....? Aku.... aku tidak mengenal hwesio seperti engkau ini....” tanyanya ragu.

“Hemmm, Si Jari Maut telah menjadi seorang hwesio, sungguh mengagumkan sekali!” Tiba-tiba terdengar suara Kao Kok Cu berkata dan Wan Ceng memandang kepada hwesio itu dengan mata terbelalak.

“Kau.... kau.... Wan Tek Hoat....?” Akhirnya ia berseru, suaranya gemetar dan tiba-tiba saja kedua matanya menjadi basah.

Hwesio tua itu mengejap-ngejapkan matanya yang juga menjadi basah dan dia mengangguk-angguk. “Bertahun-tahun aku sudah menjadi hwesio dan nama pinceng adalah Tiong Khi Hwesio.”

“Aihh.... Tek Hoat.... Tek Hoat.... siapa dapat mengira bahwa engkau telah menjadi seorang pendeta? Mengapa pula demikian? Dan di mana adanya adik Syanti Dewi?”

Tiba-tiba sepasang mata hwesio itu yang tadinya berseri, kini menjadi muram dan sejenak dia menundukkan kepalanya dan mengerahkan tenaga untuk menahan rasa nyeri yang tiba-tiba menusuk jantungnya. Hanya sebentar saja dia terpukul, kemudian dia sudah dapat mengangkat mukanya lagi memandang kepada nenek Wan Ceng.

“Sudah beberapa tahun lamanya ia meninggalkan aku, meninggalkan dunia, dan sejak itu pula pinceng menjadi hwesio....”

Kalimat ini cukup bagi Wan Ceng. Ia dapat membayangkan apa yang terjadi dan hal ini memancing datangnya air mata yang lebih banyak lagi. Ia dapat mengerti bahwa tentu Wan Tek Hoat yang amat mencinta isterinya, yaitu Syanti Dewi, menjadi patah semangat dan masuk menjadi hwesio untuk menghibur dirinya.

“Tek Hoat, kasihan kau....! Syanti Dewi, kenapa engkau begitu kejam meninggalkan dia?”

Suasana menjadi hening dan mengharukan, akan tetapi hanya sebentar karena suara ketawa kakek Kao Kok Cu memecahkan keheningan dan membuyarkan keharuan. “Ha-ha-ha, kalian seperti dua orang anak kecil saja yang cengeng! Tiong Khi Hwesio, marilah masuk, kita bicara di dalam. Kunjunganmu sekali ini pastilah membawa berita yang amat penting. Sim Houw dan Bi Lan, kalianpun masuk kembali, kita semua bicara di dalam.”

Ucapan dan sikap Kao Kok Cu ini menolong Tiong Khi Hwesio dan Wan Ceng yang tadi dilanda keharuan. Hwesio itu tertawa dan Wan Ceng juga cepat menghapus air matanya dan sikap mereka telah menjadi biasa kembali ketika mereka melangkah ke dalam istana tua itu

Setelah mereka semua duduk mengelilingi meja besar di ruangan di mana tadi Sim Houw dan Bi Lan bercakap-cakap dengan suami-isteri tua itu, Kao Kok Cu segera bertanya, “Tiong Khi Hwesio, banyak yang dapat kita bicarakan dalam pertemuan ini karena sudah puluhan tahun kita saling berpisah. Akan tetapi kami kira yang terpenting untuk didahulukan adalah urusan yang jauh-jauh kaubawa ke sini. Ada kepentingan apakah yang mendorongmu datang dari tempat yang demikian jauhnya? Engkau datang dari Bhutan, bukan?”

Tiong Khi Hwesio menggeleng kepala. “Tidak di Bhutan lagi. Sudah bertahun-tahun pinceng bertapa di Pegunungan Himalaya, dekat Tibet. Dan memang ada hal yang amat penting yang pinceng bawa dari Tibet. Pinceng mengunjungi kalian sebagai utusan dari para pendeta Lama di Tibet.” Hwesio itu berhenti dan memandang kepada kakek dan nenek itu dengan penuh perhatian. Ada bermacam perasaan terkandung dalam pandang mata itu, keraguan, juga kekhawatiran dan perasaan iba.

“Para pendeta Lama di Tibet?” Kao Kok Cu bertanya heran. Kurasa tidak pernah ada hubungan antara kami dengan mereka!”

“Heran!” kata pula nenek Wan Ceng “Aku bahkan tidak pernah bertemu dengan pendeta-pendeta Lama di Tibet. Kepentingan apakah yang membuat mereka menyuruh seorang seperti engkau untuk datang ke tempat sejauh ini, Tek Hoat?” Nenek Wan Ceng merasa kikuk dan enggan untuk menyebut saudaranya ini dengan sebutannya yang baru, yaitu Tiong Khi Hwesio!

Tiong Khi Hwesio menarik napas panjang. “Sebuah tugas yang sungguh tidak enak bagi pinceng, akan tetapi karena pinceng juga ingin sekali berjumpa dengan kalian, maka tugas ini pinceng lakukan. Masalahnya bukan lain adalah mengenai putera kalian, yaitu Kao Cin Liong....”

“Ada apa dengan dia?” Nenek Wan Ceng bertanya dengan suara penuh kegelisahan.

“Dia bersama isterinya telah membunuh seorang pendeta Lama yang sama sekali tidak berdosa, hanya karena mereka menyangka bahwa Lama itu tentu seorang jahat karena menjadi sute dari mendiang Sai-cu Lama.”

“Ahh! Apakah pendeta itu bernama Ang I Lama?” Wan Ceng bertanya cepat.

“Eh, kiranya engkau sudah tahu?” Kini Tiong Khi Hwesio yang memandang heran.

“Tentu saja aku tahu!” Wan Ceng berkata dan suaranya terdengar marah. “Dan jangan katakan bahwa orang yang bernama Ang I Lama itu demikian suci dan tidak berdosa seperti yang kaukira, Tek Hoat. Aku tahu mengapa anakku dan mantuku membunuhnya. Dia telah menculik Kao Hong Li, cucuku! Tentu anak dan mantuku melakukan pengejaran ke sana dan dalam perkelahian memperebutkan Hong Li, mereka telah membunuhnya!”

“Omitohud....!” Tiong Khi Hwesio berseru dengan kaget sekali. “Akan tetapi, pinceng sudah lama mengenal Ang I Lama, juga para pendeta Lama menanggung bahwa dia adalah seorang pertapa yang sudah bertahun tidak keluar dari guhanya, dan tidak mungkin sama sekali kalau dia melakukan penculikan terhadap cucu kalian!”

“Jangan katakan tidak mungkin, Tiong Khi Hwesio,” kata Kao Kok Cu dengan sikap dan suara tenang. “Ingat bahwa Ang I Lama adalah sute dari Sai-cu Lama yang baru saja dibasmi komplotannya, bahkan engkau yang memimpin para pendekar muda membasminya. Bukan tidak mungkin dia mendendam dan melakukan penculikan itu, karena anakku juga merupakan seorang di antara mereka yang ikut menentang Sai-cu Lama.”

“Wan Tek Hoat!” kata nenek Wan Ceng. “Engkau sudah lama mengenal Ang I Lama, akan tetapi aku telah mengenal Kao Cin Liong sejak dia kulahirkan! Dia dan isterinya tidak mungkin membunuh seorang pendeta Lama yang sama sekali tidak berdosa! Apakah engkau lebih percaya kepada pendeta Lama itu dari pada kepada keluarga kami?”

Tiong Khi Hwesio menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya. “Omitohud.... betapa sukarnya urusan ini. Pinceng sendiri tidak tahu harus berpendapat bagaimana. Memang serba salah....”

“Wan Tek Hoat, apakah setelah engkau menjadi hwesio dan menjadi tua bangka, engkau kehilangan semua kecerdikanmu yang dulu kaubanggakan?” Nenek Wan Ceng kini berkata sambil tersenyum mengejek. “Urusan begitu mudah kenapa engkau buat menjadi sukar? Apakah ada yang menyaksikan perkelahian antara anak dan mantuku dengan Ang I Lama yang membuat pendeta Lama itu tewas?”

“Tidak ada. Dua orang pendeta Lama menemukan Ang I Lama dalam keadaan hampir mati dan Ang I Lama hanya meninggalkan pesan dengan menyebut dua nama, yaitu Kao Cin Liong dan isterinya.”

“Hemm, dan hal ini kaujadikan pegangan bahwa anak dan mantuku yang membunuh Ang I Lama tanpa dosa?”

“Sebelum terjadi pembunuhan itu, beberapa waktu sebelumnya, anak dan mantumu itu telah mendatangi para pendeta Lama untuk menanyakan di mana adanya Ang I Lama. Anak dan mantumu mencari Ang I Lama dan tak lama kemudian, Ang I Lama tewas dengan meninggalkan pesan nama anak dan mantumu. Bukankah hal itu sudah jelas?”

“Kurang meyakinkan. Aku percaya bahwa anak mantuku membunuh Ang I Lama, akan tetapi jelas bukan membunuh orang tak berdosa, melainkan membunuh penculik cucuku. Apakah hal itu salah? Tentu saja anak dan mantuku membela anak mereka! Dan satu hal lagi menunjukkan kebodohanmu, Wan Tek Hoat. Yang menjadi orang tertuduh adalah anakku dan mantuku, akan tetapi kenapa engkau keluyuran ke sini? Bukankah lebih mudah kalau engkau datangi saja Cin Liong dan menanyakan hal itu? Bukankah engkau sudah mengenalnya dan sudah tahu pula di mana tempat tinggalnya?”

Menghadapi serangan kata-kata yang marah itu, Tiong Khi Hwesio tersenyum dan dia memandang kepada nenek itu dengan penuh kagum. Sudah tua renta, namun nenek ini mengingatkan dia akan seorang gadis yang lincah, jenaka dan galak, yaitu ketika Wan Ceng masih seorang gadis. Agaknya selama puluhan tahun ini, Wan Ceng masih mempertahankan wataknya yang keras!

“Jangan salah mengerti, Wan Ceng. Para pendeta Lama mengenal baik Kao Cin Liong ketika dia masih menjadi panglima, dan merekapun tahu bahwa dia adalah putera tunggal Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Karena itu, mereka merasa sungkan kepada kalian, dan akupun berpikir bahwa lebih baik kalau urusan ini kusampaikan saja kepada kalian dari pada aku harus menegur sendiri Kao Cin Liong. Lihat, aku jauh-jauh ke sini karena merasa sungkan, juga kangen kepada kalian.”

“Memang urusan ini agak ruwet,” kata Kao Kok Cu. “Kami dapat menghargai sikapmu dan sikap para pendeta Lama yang masih menghargai kami orang-orang tua. Akan tetapi, kami merasa yakin bahwa andaikata Cin Liong benar membunuh Ang I Lama, tentu hal itu dilakukan karena ada hal yang amat memaksa, dan tentu dengan alasan kuat sekali. Anakku bukanlah pembunuh kejam yang membunuh pendeta yang tanpa dosa. Hal ini hendaknya engkau yakin, Tiong Khi Hwesio. Sekarang, biarlah kubebankan tugas menerangkan perkara ini kepada Bi Lan dan Sim Houw pula. Kalian dengarlah baik-baik.” Kakek itu memandang kepada dua orang muda itu yang mendengarkan dengan penuh perhatian dan sikap menghormat.

“Kami siap melakukan perintah suhu,” kata Bi Lan.

“Kalian berdua sudah mendengar sendiri apa yang dibawa oleh Tiong Khi Hwesio. Tadinya kami mendengar bahwa cucu kami diculik Ang I Lama, dan kini dari Tiong Khi Hwesio kami mendengar bahwa Ang I Lama dibunuh oleh Kao Cin Liong dan isterinya tanpa dosa. Maka, kalau kalian meninggalkan tempat ini untuk mencari dan menemukan kembali Kao Hong Li, kalian kunjungilah rumah Kao Cin Liong di Pao-teng, dan selidiki persoalan ini baik-baik. Temui mereka dan tanyakan apa yang telah terjadi. Sukurlah kalau Hong Li sudah dapat ditemukan oleh orang tuanya, sehingga kalian tidak banyak repot. Kalau belum, cari Hong Li sampai dapat dan juga kami ingin mendengar laporanmu kelak tentang sebab Ang I Lama dibunuh mereka, kalau benar hal itu terjadi. Nah, sekarang berangkatlah kalian!”

Bi Lan dan Sim Houw lalu minta diri dari tiga orang tua sakti itu, dan meninggalkan Istana Gurun Pasir dengan cepat. Mereka melakukan perjalanan tanpa bicara, keduanya nampak berlari cepat sambil termenung sehingga menjelang malam, pada senja hari, mereka telah berhasil melewati gurun pasir pertama dan tiba di lereng sebuah bukit yang sudah banyak ditumbuhi pohon di samping banyak pula batu-batu besar dan guha-guha lebar. Mereka berhenti di sebuah guha yang besar dan melepaskan buntalan masing-masing, lalu duduk melepaskan lelah.

Sunyi sekali di situ. Lebih sunyi lagi terasa oleh Bi Lan karena sejak meninggalkan Istana Gurun Pasir, temannya seperjalanan itu tidak pernah bicara, hanya nampak berlari cepat di sampingnya seperti orangmelamun. Ia melirik ke arah Sim Houw, melihat betapa laki-laki itupun duduk termenung, menundukkan muka dan sukar melihat bagaimana bentuk wajahnya karena cuaca sudah mulai remang-remang. Beberapa kali, seperti juga tadi ketika mereka berdua lari, Bi Lan menggerakkan bibir untuk bicara, namun lehernya seperti tercekik rasanya dan tak sepatahpun kata keluar darimulutnya. Ia menelan ludah beberapa kali dan memperkuat hatinya, lalu memaksa diri berkata.

“Sim-toako....!” Betapa sukarnya kata itu keluar dari mulutnya sehingga terdengar seperti bisikan saja. Namun jelas nampak olehnya betapa Sim Houw terkejut mendengar suaranya, seolah-olah ia tadi telah menjerit keras, bukan hanya berbisik.

“Lan-moi, ada apakah....?” Dia bertanya, menoleh, bahkan lalu mendekat dengan menggeser duduknya.

Tiba-tiba saja Bi Lan yang sejak tadi merasa tegang dan penuh harapan, merasa seolah-olah meledak dan ledakan itupun menjadi tangis! Segala macam perasaan girang, terharu, bercampur dengan kekhawatiran, harapan dan kekecewaan sejak pemuda itu mengaku cinta kepadanya sampai tadi pemuda itu melakukan perjalanan tanpa bicara sepatahpun kata, tercurah keluar bersama air matanya dan iapun menangis terisak-isak, menyembunyikan mukanya di dalam kedua lengan yang memeluk lutut kaki yang diangkatnya. Tubuhnya terguncang-guncang karena isaknya.

Tentu saja Sim Houw menjadi terkejut bukan main dan tangannya kini sudah menyentuh pundak Bi Lan dan suaranya terdengar penuh perasaan khawatir ketika dia berkata, “Moi-moi, engkau kenapakah? Kenapa engkau menangis, Lan-moi? Apakah yang telah terjadi? Sakitkah enggkau?”

Bi Lan tidak dapat menjawab karena tangisnya membuat ia tersedu-sedu dan sukar untuk dapat mengeluarkan kata-kata. Sim Houw agaknya tahu akan hal ini maka dia tidak mendesak, membiarkan gadis itu menangis sampai segaia yang mengganjal hatinya mencair. Akhirnya tangis itupun mereda dan Bi Lan mulai mengangkat mukanya, menyusuti air matanya dan kadang-kadang ia memandang kepada pemuda itu dengan sepasang mata basah dan merah.

“Bi Lan moi-moi, engkau kenapakah? Sakitkah engkau?” kembali Sim Houw bertanya setelah gadis itu tidak tenggelam ke dalam isak tangisnya lagi.

Bi Lan mengangguk. “Toako, aku memang sakit....“ jawabnya dan legalah hatinya bahwa kini, setelah menangis, kata-katanya menjadi lancar.

Sim Houw mengerutkan alisnya dan mencoba untuk memandang dengan penuh perhatian di dalam cuaca remang-remang itu. “Sakit? Sakit apakah, Lan-moi?”

“Sakit.... hati! Hatiku yang sakit.”

“Ehhh?” Sim Houw terbelalak heran. “Sakit hati? Bagaimana rasanya?” Dengan sungguh-sungguh dia memperhatikan, mengira bahwa gadis itu menderita semacam penyakit yang tidak dikenalnya.

“Rasanya?” Bi Lan menelan kembali senyumnya karena merasa geli. “Rasanya.... aku ingin marah-marah, ingin mengamuk dan menangis saja.”

“Ahhh....?” Sim Houw masih belum mengerti dan menjadi bingung. “Dan kau sudah menangis tadi....“

“Ya, akan tetapi belum marah-marah, masih belum mengamuk.”

Kini Sim Houw baru agak mengerti. Kiranya ada sesuatu yang membuat gadis ini merasa mendongkol dan marah, pikirnya. Dan mengertilah dia apa artinya sakit hati tadi, bukan penyakit badan, melainkan penyakit perasaan.

“Akan tetapi, ada.... apakah, moi-moi?”

“Siapa yang tidak sakit hatinya, toako? Sejak meninggalkan istana, engkau diam saja seperti patung, atau seolah-olah menganggap aku bukan manusia lagi melainkan patung hidup yang tak dapat bicara. Kenapa engkau bersikap demikian, mendiamkan aku sampai hampir sehari lamanya? Engkau sungguh kejam!”

Baru Sim Houw mengerti dengan jelas sekarang dan diam-diam hatinya lega, akan tetapi mukanya juga menjadi merah karena dia merasa semakin salah tingkah. Lalu dengan suara lirih dan gemetar dia berkata, “Lan-moi, kau maafkanlah aku, Lan-moi. Sama sekali aku bukan menganggap engkau patung, akan tetapi aku.... ah, terus terang saja, aku.... tidak berani bicara, Lan-moi. Semua yang terjadi di istana itu.... semua bagiku bagaikan sebuah mimpi yang amat indah dan aku takut, kalau-kalau mimpi itu akan buyar dan aku akan sadar kembali dan mimpi itu akan lenyap kalau aku bicara. Aku .... sungguh aku tadi ingin sekali bicara, akan tetapi setiap kali menggerakkan bibir, aku merasa takut dan seperti tercekik leherku. Kaumaafkanlah aku, moi-moi.”

Bi Lan memandang kepada Sim Houw dan pemuda itupun memandangnya. Mereka saling pandang di antara keremangan senja sehingga hanya dapat melihat bentuk muka masing-masing. Bi Lan merasa heran sekali. Mengapa keadaan pemuda itu sama benar dengan keadaan dirinya ketika mereka melakukan perjalanan tadi? Iapun ingin sekali bicara, namun amat sukar mengeluarkan kata-kata!

“Bagaimana sekarang, toako? Apakah masih takut untuk bicara?” tanyanya, setengah menggoda.

“Tidak, moi-moi. Kalau kuingat, memang aku bodoh sekali. Kenyataan yang demikian indahnya membuat aku mabok dan seolah-olah aku tidak percaya akan kenyataan itu. Setelah kini kita bicara, aku tidak takut lagi. Maafkan aku.”

Kembali hening, keduanya seolah tidak tahu harus berbuat apa, harus bicara apa. Terutama sekali Sim Houw. Jantungnya berdebar penuh ketegangan yang luar biasa, yang tidak dikenal sebelumnya, akan tetapi dia tidak mengerti mengapa demikian. Agaknya Bi Lan yang lebih tabah dalam menghadapi keadaan yang menegangkan dan membuat mereka merasa canggung itu.

“Toako....”

“Ya, Lan-moi?”

“Toako, aku ingin sekali mengetahui apakah semua pernyataanmu di depan suhu dan subo itu benar-benar keluar dari lubuk hatimu? Apakah engkau bicara sejujurnya ketika itu?”

Pernyataan yang bagaimana, moi-moi?” Sim Houw bertanya, hanya untuk mencari ancang-ancang atau batu loncatan. menghadapi pertanyaan itu, karena sesungguhnya dia dapat mengerti apa yang dimaksudkan gadis itu.

Bi Lan mengerutkan alisnya. Kenapa sekarang orang yang selama ini dianggap sebagai sepandai-pandainya orang, lihai bijaksana dan cerdik pandai, mendadak saja berubah menjadi orang yang tolol?

“Pernyataanmu bahwa engkau cinta padaku. Benarkah itu, toako, atau hanya kaujadikan alasan saja untuk menjawab desakan suhu dan subo?”

“Lan-moi, tentu saja benar! Sama benarnya dengan pengakuanmu bahwa engkau cinta padaku. Bagaimana mungkin engkau masih meragukan cintaku kepadamu, moi-moi?”

“Tentu saja aku ragu-ragu. Kenapa selama ini, selama kita berkenalan bahkan melakukan perjalanan bersama, mengalami hal-hal yang menegangkan bersama, engkau tidak pernah menyatakan cintamu, baik dalam perbuatan atau dengan ucapan? Kenapa, toako? Apakah cintamu itu baru timbul ketika kita berada di Istana Gurun Pasir?”

“Tidak, moi-moi! Aku cinta padamu sejak kita pertama kali bertemu!”

“Kalau begitu, kenapa selama ini engkau diam saja, toako? Kenapa engkau agaknya hanya menyimpan saja perasaan cintamu di dalam hati, bahkan seperti hendak merahasiakannya terhadap diriku? Kenapa?”

Sim Houw sudah siap sekarang dengan jawabannya. Dia mengangkat muka, memandang bentuk wajah yang nampak dalam keremangan cuaca itu. “Karena aku selama ini menjadi pengecut terhadap cintaku sendiri, moi-moi. Aku tidak berani mengaku, bahkan aku selalu menyangkal akan adanya kemungkinan bahwa engkau mencintaku. Aku takut! Karena takut gagal maka aku lebih suka merahasiakan perasaan cintaku....“

“Kau takut kalau-kalau cintamu tidak kubalas?”

“Tidak, moi-moi. Bahkan aku selalu merasa bahwa tak mungkin engkau cinta padaku. Aku takut kalau-kalau aku akan kehilangan engkau, takut kalau aku mengaku cinta, engkau lalu menjauhkan diri dariku.”

“Sim-toako, engkau kuanggap secerdik-cerdiknya orang, akan tetapi dalam hal ini engkau sungguh bodoh. Apakah engkau tidak dapat melihat perasaan hatiku terhadap dirimu dalam setiap pandang mataku, kata-kataku dan perbuatanku?”

“Memang ada sekali waktu nampak olehku bahwa engkau seperti mencintaku, namun semua itu kusangkal, kuanggap hanya khayalku belaka, karena tidak patut bagi seorang gadis sepertimu ini mencinta seorang laki-laki seperti aku.”

“Ihhh....! Kenapa, toako? Kenapa tidak patut?”

“Moi-moi, engkau adalah seorang gadis yang masih muda belia, usiamu baru sembilanbelas tahun, sedangkan aku aku sudah hampir setengah baya....”

“Aduh kasihan, ratap seorang kakek-kakek....!” Bi Lan menggoda. “Sim-toako, mengapa engkau begitu merendahkan diri? Berapa sih usiamu maka engkau mengatakan bahwa engkau sudah separuh baya?”

“Usiaku sudah tigapuluh empat tahun!”

“Hemm, bagiku engkau belum tua, tentu saja lebih tua dariku. Dan di dalam cinta, apakah ada batas usia?”

“Selain usiaku jauh lebih tua darimu, hampir dua kali lipat, juga aku seorang laki-laki sebatangkara, tidak memiliki apa-apa. Kuanggap diriku sama sekali tidak berharga untuk menjadi jodohmu, moimoi. Karena perasaan itulah maka aku selalu diam dan merahasiakan cintaku. Akan tetapi di istana gurun pasir, dihadapan dua orang locianpwe yang sakti dan bijaksana itu, bukan hanya sekedar menolongmu, aku merasa bahwa aku harus berterus terang sebagai seorang laki-laki yang berani mengaku dan bertanggung jawab atas segala perbuatan dan ucapannya.”

“Aih, kasihan sekali engkau, toako. Aku.... dapatkubayangkan betapa engkau menderita.... dan aku sendiri, aku sudah tahu sejak lama bahwa engkau cinta padaku, koko....“

“Ah? Engkau sudah tahu?”

Bi Lan mengangguk. “Aku diberitahu oleh suci Ciong Siu Kwi. Ia mengatakan bahwa engkau cinta padaku, hal itu baginya mudah terlihat. Aku menjadi girang sekali, aku menjadi bahagia sekali, koko, apa lagi kalau melihat tingkahmu yang salah langkah.... aku tahu bahwa sejak lama engkau cinta padaku.”

“Anak nakal....!” Sim Houw yang merasa gembira bukan main lalu tiba-tiba merangkul leher Bi Lan dan seperti sudah selayaknya, tahu-tahu Bi Lan sudah rebah di pangkuannya dan mereka saling peluk. Sejenak mereka diam, Bi Lan menyandarkan kepalanya di dada pria yang dicintanya itu. Ia merasa aman tenteram, merasa berbahagia dan puas, dan keduanya seperti terbuai dan terpesona oleh kenyataan yang indah itu, bahwa keduanya saling mencinta, bahwa tubuh mereka saling merindukan seperti juga hati mereka.

Sambil membelai rambut kepala gadis itu yang terlepas dari sanggulnya dan terurai di atas dadanya, Sim Houw berkata, “Moi-moi, engkau sudah tahu bahwa aku cinta padamu, akan tetapi aku.... ah, aku selalu ragu-ragu, hampir tidak percaya bahwa seorang gadis seperti engkau dapat jatuh cinta padaku. Sekarangpun aku masih merasa terheran-heran bagaimana engkau dapat cinta padaku, moi-moi.”

Bi Lan membuka matanya memandang, sinar matanya berseri dan mulutnya yang berbibir merah basah itu tersenyum. “Sejak dulu aku cinta padamu, koko. Aku sudah tidak mempunyai sanak keluarga lagi, bahkan guru-guruku jauh dariku. Sam Kwi jauh dari hatiku karena mereka jahat, sedangkan suhu dan subo di Istana Gurun Pasir juga jauh. Aku sudah tidak mempunyai orang tua, tidak mempunyai kakak atau adik, tidak berkeluarga. Karena itu, dalam dirimu aku menemukan semuanya itu. Bagiku engkau adalah pengganti orang tua, pengganti guru, juga pengganti kakak, keluarga, dan juga kekasin hatiku.”

“Tapi.... tapi kenapa justeru aku yang kau. pilih?”

Senyum di bibir Bi Lan melebar. Perasaan halus seorang wanita membuat ia merasa bahwa tentu kekasihnya ini meragukan karena tahu bahwa ada beberapa orang pemuda pilihan yang juga cinta kepadanya. Mengapa ia memilih Sim Houw dan bukan seorang di antara mereka?

“Karena engkau tidak hanya memkirkan diri sendiri, koko. Engkau selalu memikirkan kepentinganku dan meniadakan kebutuhanmu sendiri. Engkau tidak pencemburu (seperti Hong Beng, pikirnya) dan engkau tidak mengkhayal dan memikirkan wanita lain (seperti Kun Tek, pikirnya) walaupun engkau pernah kecewa dan patah hati karena wanita. Cintamu kepadaku murni dan engkau hanya ingin melihat aku berbahagia. Karena semua itulah, juga karena aku tertarik kepada pribadimu, kepada wajahmu, kepada perangaimu, kepada.... segala-galamu, maka aku cinta padamu.”

Dihujani pujian-pujian itu, Sim Houw terharu sekali dan tanpa disadarinya lagi dia menunduk, mendekatkan mukanya dan entah siapa yang mulai lebih dahulu, akan tetapi tahu-tahu mereka saling dekap dengan erat dan bibir mereka saling kecup dengan mesra sampai lama, sampai mereka akhirnya menyudahi ciuman itu dengan napas terengah-engah. Bukan terengah karena kehabisan napas, melainkan terengah karena mereka merasa tubuh mereka panas diingin dan darah dalam tubuh mereka berdesir dan bergolak. Suara seperti rintihan keluar dari leher Sim Houw dan dia menyembunyikan. mukanya pada leher yang berkulit putih mulus dan hangat itu, di antara rambut yang membelai mukanya seperti benang-benang sutera hitam. Sementara itu, dengan tubuh menggigil, Bi Lan memejamkan matanya, menggelinjang dan jantungnya berdebar, tubuhnya tiba-tiba saja terasa lemas dan dari kerongkongannya juga keluar suara seperti merintih halus.

Sampai agak lama mereka berada dalam keadaan seperti itu, sampai tiba-tiba telinga keduanya menangkap suara yang keluar dari dalam perut Bi Lan.

Suara berkeruyuknya perut yang menuntut isi! Mendengar ini, keduanya sadar dari keadaan yang asyik masyuk itu, akan tetapi biarpun hatinya merasa agak geli, Sim Houw cukup bijaksana untuk diam saja dan pura-pura tidak mendengar. Bahkan dia lalu mempergunakan kekuatan sin-kangnya menekan pada perutnya sendiri sehingga terdengarlah suara berkeruyuk yang sama dengan tadi, hanya yang ini lebih nyaring!

Bi Lan yang tadi merasa canggung dan malu, ketika mendengar keruyuk ke dua dari perut Sim Houw, lalu tertawa. “Hi-hik, ada lumba nyanyi dalam perut kita, koko....!”

Sim Houw juga tertawa dan buyarlah suasana asyik masyuk tadi dan mereka berdua tersadar. Walaupun mereka kini merenggangkan diri dan suasana masih mesra, sentuhan tangan mereka masih mengandung getaran asmara, namun mereka tidak lagi dikuasai berahi seperti tadi.

Mereka bangkit berdiri. Sim Houw memegang kedua lengan gadis itu. Mereka berdiri saling berhadapan, dekat sekali dan Sim Houw mencium dahi Bi Lan, lalu berkata, suaranya halus dan menggetarkan kasih sayang amat besar. “Lan-moi, mulai sekarang kita harus berhati-hati. Kita harus dapat berjaga diri, jangan sampai terjadi kebakaran....“

“Eh? Maksudmu?”

“Tadi ketika kita saling berciuman, aku hampir kebakaran....“

Bi Lan tersenyum dan menahan suara ketawanya. Wajahnya menjadi merah sekali. Untung cuaca sudah mulai gelap sehingga ia tak perlu menyembunyikan kemerahan wajahnya.

“Aku tahu, karena itu, sebelum kita menikah dengan sah, sebaiknya kalau kita berhati-hati, jangan terlalu dekat agar tidak terjadi kebakaran dan pelanggaran.”

“Baiklah, koko.... Bi Lan mengangguk dan semakin kagum terhadap kekasihnya itu. Demikian kuatnya! Kuat lahir batin.

“Semua itu kita lakukan demi kebahagiaan kita sendiri di kemudian hari, bukan, Lan-moi?”

“Engkau benar.”

Mereka lalu membuat api unggun, dan Sim Houw berhasil menangkap dua ekor ayam hutan. Daging dua ekor ayam hutan inilah yang mengisi perut mereka sebelum mereka akhirnya beristirahat di dalam guha itu, tubuh mereka dihangatkan oleh api unggun. Dunia nampak amat indah bagi mereka, bahkan keadaan dalam guha yang demikian sederhana, di bawah sinar api unggun, tidur di atas tanah berbatu yang kasar, bau tanah mentah, semua itu nampak amat indahnya.

Keindahan terletak di dalam batin. Batin yang berbahagia membuat segala sesuatu nampak indah menyenangkan, segala penglihatan nampak indah, segala pendengaran menjadi merdu, segala makanan menjadi lezat. Batin yang berbahagia mendatangkan sorga, sebaliknya batin yang keruh mendatangkan neraka. Apapun nampak tidak menyenangkan bagi batin yang keruh.

Batin menjadi keruh karena pikiran selalu sibuk berceloteh. Sayang bahwa kita selalu menjejali pikiran dengan segala macam persoalan sehingga pikiran tiada hentinya bekerja keras dan sibuk, oleh karena itu, batin tak pernah menjadi bening.

Sim Houw dan Bi Lan yang baru saja mendapat sinar cinta, untuk sejenak pikiran mereka tidak sibuk dan batin mereka tidak menjadi keruh. Akan tetapi hanya sebentar saja karena setelah mereka selesai makan dan kini duduk bersila menghadapi api unggun, pikiran mereka mulai bekerja lagi mengingat-ingat akan hal yang telah lalu.

“Sungguh kita beruntung sekali bahwa keadaan berakhir dengan baik di Istana Gurun Pasir,” kata Sim Houw. “Kalau aku teringat betapa tadinya subomu sudah marah sekali kepadamu, dan betapa suhu dan subomu agaknya sudah tidak percaya kepadamu, sungguh aku masih merasa ngeri. Kalau mereka menghendaki, tidak akan sukar bagi mereka untuk menghukum kita, bahkan membunuh kita sekalipun.”

“Akan tetapi aku tetap percaya akan kebijaksanaan mereka, koko. Yang menggemaskan adalah orang yang memburukkan namaku di depan suhu dan subo, dan agaknya aku tahu siapa orangnya!”

Sim Houw memandang wajah kekasihnya. Diapun dapat menduga siapa orangnya, akan tetapi dia tidak mau mendahului Bi Lan. “Siapakah dia, Lan-moi?”

“Siapa lagi kalau bukan Gu Hong Beng?”

Sim Houw pura-pura kaget. “Kenapa engkau menyangka dia?”

“Di antara tuduhan-tuduhan yang dilontarkan subo kepadaku, terdapat tuduhan bahwa kita telah melakukan perbuatan yang melanggar susila. Siapa lagi orangnya yang akan menyangka kita berbuat demikian kecuali Gu Hong Beng yang dipenuhi perasaan cemburu dan iri itu? Dia bersama gurunya yang mendesak dan menyerang kita, dan dialah yang menuduh kita secara membuta membela suci Ciong Siu KWi. Maka aku yakin tentulah dia yang telah memburukkan namaku di depan suhu dan subo.”

Sim Houw menarik napas panjang, maklum mengapa kini pemuda yang gagah perkasa itu, murid dari seorang tokoh keluarga Pulau Es, yang tadinya merupakan seorang sahabat yang setia dan baik dari Bi Lan, kini berubah memburukkan nama Bi Lan. Dia tahu bahwa pemuda itu jatuh cinta kepada Bi Lan, namun ditolak oleh kekasihnya ini, dan agaknya Hong Beng merasa iri hati dan cemburu. Diam-diam dia merasa kasihan karena dia maklum bahwa orang pertama yang tersiksa oleh cemburu bukan lain adalah diri orang yang cemburu itu sendiri.

“Sudahlah, biarkan saja kalau memang benar dia yang memburukkan namamu. Mungkin memang dia menyangka kita membela sucimu secara membuta, mungkin dia mengira bahwa kita telah menyeleweng dari pada kebenaran. Yang penting, kita yakin benar bahwa kita tidak menyeleweng, bahwa kita telah berbuat benar. Kini kita harus mencurahkan segala perhatian kita untuk mencari adik Kao Hong Li. Dan sesuai dengan pesan suhu dan subomu, sebaiknya kita langsung saja menuju ke kota Pao-teng untuk mengunjungi keluarga locianpwe Kao Cin Liong.”

Bi Lan menyatakan persetujuannya dan merekapun tidak lagi membicarakan tentang Hong Beng.

***

Dengan hati -berat oleh kegelisahan dan kedukaan, suami isteri pendekar Kao Cin Liong dan Suma Hui terpaksa meninggalkan Tibet dan daerah Himalaya.

Mereka telah gagal menemukan puteri mereka walaupun mereka telah berhasil menjumpai pertapa yang berjuluk Ang I Lama. Mereka masih menggunakan waktu berbulan-bulan untuk melakukan pencarian di daerah itu, namun tak pernah dapat menemukan jejak puteri mereka. Jejak satu-satunya hanyalah bahwa puteri mereka diculik oleh seorang berjuluk Ang I Lama dan ternyata kakek pertapa itu tidak menyembunyikan puteri mereka! Ke mana lagi mereka harus mencari?

Akhirnya Kao Cin Liong berhasil membujuk isterinya yang kini menjadi kurus dan pucat karena selalu merasa gelisah dan berduka memikirkan puteri mereka yang hilang, untuk pulang saja ke Pao-teng.

“Jelas bahwa tidak ada jejaknya di barat ini,” katanya kepada isterinya. “Sebaiknya kita pulang saja karena siapa tahu kalau adik Suma Ciang Bun dapat menemukan jejak di sana.”

Merekapun melakukan perjalanan pulang ke Pao-teng dengan hati berat. Mereka merasa lelah lahir batin ketika mereka tiba kembali di rumah mereka, dan kedukaan mereka ditambah lagi oleh kekecewaan karena Suma Ciang Bun yang sudah lama menanti mereka di situ mengabarkan bahwa diapun gagal dalam penyelidikannya.

“Aku telah melakukan penyelidikan ke delapan penjuru berpusat dari Pao-teng, akan tetapi tidak seorangpun pernah melihat kakek berjubah merah membawa seorang anak perempuan tigabelas tahun.

Agaknya, penculik itu dapat membawa Hong Li keluar dari Pao-teng dan pergi jauh tanpa ada yang melihatnya. Orang itu tentu lihai sekali.” Suma Ciang Bun menerangkan ketika begitu tiba di rumah dan bertemu dengannya, encinya, Suma Hui, mengajukan pertanyaan padanya. “Dan bagaimana dengan hasil penyelidikan kalian?”

Suma Hui lemas tak mampu bercerita, dan Kao Cin Liong yang menceritakan kepada adik isterinya itu tentang kegagalan mereka menemukan Hong Li jauh di daerah Himalaya dan Tibet sana. Suma Ciang Bun ikut merasa kecewa dan berduka, dia mengepal tinju.

“Keparat manakah yang telah berani melakukan penculikan ini? Aku hanya menanti kembalinya Hong Beng dari Gurun Pasir, dan aku akan mengajaknya untuk mencari lagi, entah ke mana.”

“Muridmu itu belum kembali?” Suma Hui ikut bicara. “Kenapa demikian lamanya? Jangan-jangan dia tidak berhasi menemukan Istana Gurun Pasir.”

“Tidak mungkin. Sebelum berangkat sudah kuberi gambaran yang jelas tentang letak tempat itu dan jalan mana yang harus diambil untuk dapat mencapainya dengan mudah,” kata Kao Cin Liong.

“Kalau begitu, aku khawatir kalau terjadi sesuatu dengannya,” kata Suma Ciang Bun. “Sudah terlalu lama aku menanti kalian kembali di sini, dan sekarang, aku akan menyusul Hong Beng dan bersama dia mencari keponakanku itu sampai dapat.”

Suami isteri itu tidak mencegah, bahkan mereka tidak mampu mengeluarkan pendapat. Dalam keadaan gelisah dan duka, mereka seperti kehabisan akal, tidak tahu apa yang harus mereka perbuat. Tidak tahu harus ke mana mencari puteri mereka, kepada siapa harus bertanya atau minta bantuan.Dalam keadaan duka dan putus asa, orang berada dalam keadaan kosong atau bening. Sayang bahwa keheningan itu merupakan keheningan di luar sadar, keheningan sebagai akibat terseret oleh duka, keheningan yang lumpuh. Pada hal, justeru kita amat membutuhkan keheningan, karena dari sumber atau dasar keheningan dan kekosongan inilah kita dapat memandang dengan penuh kewaspadaan! Batin kita tidak pernah mengendap, tidak pernah kosong dan hening, selalu penuh dengan prasangka, pendapat dari keinginan. Karena itu, panca indera kita tidak pernah bekerja dengan sempurna dan hidup, melainkan hanya bergerak karena dorongan batin yang sarat oleh beban itulah. Kalau batin sudah berprasangka, mana mungkin pandang mata kita dapat memandang dengan waspada dan awas? Semua panca indera kehilangan kepekaannya karena selalu diselubungi oleh prasangka, pendapat, atau keinginan. Kita tidak lagi melihat kenyataan apa yang ada, melainkan selalu ingin melihat sesuatu seperti yang kita kehendaki, yang kita inginkan sehingga segala kenyataan, kalau tidak cocok dengan keinginan kita, nampak buruk, bahkan amat mengganggu mata. Demikian pula dengan pendengaran, penciuman, perasaan dan semua alat tubuh yang sudah menjadi budak dari pada nafsu kita. Hilanglah semua ketajaman dan kepekaan yang pernah kita miliki ketika kita masih kanak-kanak, ketika pikiran kita belum sarat oleh beban, ketika “aku” kita belum membesar dan merajalela menguasai seluruh diri lahir batin. Lihatlah mata orang yang baru saja bangun tidur, ketika pikirannya masih mengendap, akan nampak sinar mata yang bening dan cemerlang. Namun, begitu batinnya disibukkan kembali oleh isi pikiran yang bermacam-macam, lenyap pula keheningan mata, kembali menjadi muram dan hampa, hanya dipermainkan suka duka, puas kecewa. Hanya melihat benda-benda yang disuka atau tidak disuka, mendengarkan dengan dasar senang dan benci, mata seolah-olah menjadi buta dan tidak pernah melihat segala sesuatu seperti keadaan yang sebenarnya, seperti apa adanya.!

Ada pula orang yang ingin mempertajam kembali panca indera, melahirkan kembali kepekaannya dengan jalan membius diri dengan candu dan obat-obat pembius lainnya. Memang, untuk sesaat baban akan menjadi kosong dan bebas, dan panca indera akan bebas pula sehingga kita akan dapat menikmati keadaan apa adanya, akan nampak betapa indahnya setangkai bunga, sehelai daun, sekelompok awan, atau wajah seorang manusia, indah tanpa batasan antara bagus dan jelek, indah yang bukan berarti bagus. Telinga akan menangkap suara-suara yang luar biasa indahnya, bukan bagus melainkan seperti apa adanya dengan segala nada dan iramanya, dengan segala gaungnya, gemanya, antara kosong dan isi dari serangkaian suara itu. Akan tetapi, semua itu hanya ditimbulkan oleh keadaan kosong atau hening yang dipaksakan, yang timbul karena pembiusan! Bagaikan orang minum anggur, baru menjilat percikannya saja. Dan akibatnya, orang akan menjadi kecanduan, orang akan selalu lari kembali kepada obat bius untuk dapat memasuki alam yang indah itu lagi! Dan kalau sudah begitu, maka hal itu menjadi kesenangan dan seperti biasanya, untuk mengejar kesenangan orang rela berkorban apapun juga, dalam hal ini, mengorbankan tubuhnya yang menjadi rusak oleh pengaruh obat bius.

Dapatkah kita memasuki keindahan itu tanpa bantuan obat bius? Pertanyaan ini berarti, dapatkah kita membersihkan semua debu yang mengotorkan batin kita? Dapatkah kita membuang semua beban pikiran kita? Dapatkah kita membiarkan pikiran hening dan kosong tanpa mengisinya dengan segala kesibukan yang bukan lain adalah si aku yang ingin segala itu? Dapat atau tidaknya, mari kita MENGAMATI saja. Mengamati diri sendiri, pikiran sendiri, batin sendiri. Kita amati tanpa menentangnya, tanpa berusaha menenangkan atau mengosongkannya, karena kalau ada usaha mengosongkannya, berarti TIDAK KOSONG. Kalau kita berusaha membuatnya hening, itu berarti bahwa batin kita tidak hening lagi karena terisi kesibukan INGIN HENING. Dapatkah kita mengamati saja, tanpa pro dan kontra, seperti nonton sandiwara yang terjadi di dalam pikiran kita, tanpa komentar? Yang ada hanyalah pengamatan, bukan “aku” yang mengamati, karena kalau aku yang mengamati, tentu karena aku ingin batin ini hening, aku ingin begini dan begitu. Jadi, yang ada hanya pengamatan, yang ada hanya kewaspadaan.

Kao Cin Liong dan isterinya adalah orang-orang gagah perkasa, pendekar-pendekar budiman, namun mereka juga manusia-manusia biasa dengan segala kelemahannya. Mereka tak dapat menghindarkan diri dari pada ikatan, dan ikatan dengan puteri merakalah yang membuat mereka kehilangan akal, membuat mereka berduka sekali ketika puteri mereka itu dipisahkan dari mereka. Mereka kehilangan akal, tak sedap makan tak nyenyak tidur, selalu gelisah dan akhirnya keduanya bersepakat untuk meninggalkan rumah lagi, pergi mengunjungi Suma Ceng Liong di dusun Hong-cun, di luar kota Cin-an. Kepergian mereka mengunjungi Suma Ceng Liong itu, selain untuk menghibur diri, juga untuk mengabarkan tentang kehilangan puteri mereka agar Suma Ceng Liong yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu dapat membantu mereka mencari Hong Li, atau setidaknya minta pendapatnya.

Gu Hong Beng melakukan perjalanan seorang diri dengan cepat. Dia telah meninggalkan gurun pasir dan kini tiba di luar sebuah dusun yang letaknya di sebelah utara Tembok Besar. Tidak jauh dari tembok itu karena tadi, ketika dia menuruni sebuah bukit, dia telah melihat tembok itu melingkar-lingkar seperti seekor naga di antara pegunungan di selatan.

Melihat sebuah dusun yang berada di tempat terpencil ini, hati Hong Beng tertarik sekali. Siapa tahu dia bisa mendapatkan arak atau makanan di dalam dusun itu, pikirnya. Setiap hari makan bekal makanannya, yaitu roti kering dan daging kering, amat menjemukan. Juga dia ingin sekali minum arak setelah berpekan-pekan hanya minum air saja.

Selagi dia hendak memasuki dusun itu melalui pintu gerbangnya yang rusak tiba-tiba dia mendengar teriakan suara wanita. Hong Beng melihat seorang laki-laki berbangsa Mongol sedang memondong tubuh seorang gadis Mongol dan agaknya gadis inilah yang tadi mengeluarkan teriakan. Hanya teriakan pendek karena kini gadis itu tak dapat berteriak lagi. Sebuah tangan pemondongnya menutup mulutnya dan biarpun gadis itu meronta-ronta, namun sama sekali ia tidak mampu melepaskan diri dari pelukan laki-laki yang bertubuh besar itu, bagaikan seekor kijang dicengkeram seekor harimau yang buas. Orang Mongol itu lari keluar dari dusun, langkahnya lebar dan agaknya dia telah menculik gadis itu tanpa ada yang mengetahuinya.

Biarpun Hong Beng tidak tahu apa yang telah terjadi, namun melihat seorang gadis dilarikan seorang pria secara paksa, jiwa pendekarnya bergolak dan diapun cepat meloncat dan menghadang.

“Berhenti!” bentaknya dalam Bahasa Mongol yang sudah dipelajarinya dengan baik.

Orang Mongol itu memandang dengan mata merah dan beringas, apa lagi ketika dia melihat bahwa yang menghadangnya adalah seorang pemuda Bangsa Han, bangsa yang dianggapnya sebagai musuh besar semenjak bangsanya kehilangan kekuasaannya di selatan, setelah penjajah Mongol berakhir.

“Keparat orang Han, minggir dan jangan mencampuri urusanku!” bentaknya dalam Bahasa Han yang cukup baik! Memang, Bangsa Mongol banyak yang pandai berbanasa Han, hal ini tidak mengherankan kalau diingat bahwa mereka menjajah Tiongkok selama duaratus tahun!

“Lepaskan gadis itu! Tidak pantas seorang laki-laki memaksa seorang gadis yang lemah!” kata pula Hong Beng sambil mengamati orang Mon gol itu. Seorang pemuda yang usianya sekitar tigapuluh tahun, memiliki tubuh raksasa yang membayangkan kekuatan raksasa pula. Otot-otot menonjol keluar dan mengembang di bawah kulit yang kemerahan karena terbakar matahari. Dadanya bidang dan kedua lengannya yang berotot itu nampak mengandung tenaga luar biasa. Hal ini mudah dilihat karena pemuda Mongol itu telah menanggalkan baju atasnya yang kini diikatkan di pinggangnya. Tubuhnya yang kokoh kuat itu penuh dengan keringat yang membuat kulit tubuhnya mengkilat. Wajahnya membayangkan kekerasan hati dan keberanian, namun matanya yang agak kemerahan itu memandang beringas dan liar, dan ada sesuatu yang tidak wajar pada pandang matanya itu.

Karena marah menghadapi Hong Beng, pemuda Mongol itu lupa akan gadis yang berada dalam pondongannya dan menjadi lengah. Tangannya yang menutup mulut gadis itu mengendur dan kesempatan ini dipergunakan oleh gadis itu untuk menggigit tangan itu.

“Ughhhh....!” Orang Mongol itu terkejut dan kesakitan, lalu melemparkan tubuh gadis itu ke atas tanah. Demikian kuat lemparannya sehingga gadis itu terbanting dan bergulingan. Hong Beng cepat menangkap dan mengangkatnya bangun. Gadis itu sejenak merasa nanar, akan tetapi ketika melihat bahwa ia telah ditolong oleh seorang pemuda Han yang tampan, ia merasa lega dan berbisik.

“Dia.... dia itu gila....“ Setelah berkata demikian, gadis ini lalu melarikan diri secepatnya kembali ke dalam dusun. Hong Beng melihat betapa gadis Mongol itu cantik dan manis sekali, akan tetapi diapun terkejut mendengar bisikan itu. Kiranya orang Mongol seperti raksasa ini adalah seorang yang gila, dan hal ini memperbesar bahaya. Melawan seorang gila amat berbahaya, karena tentu saja seorang gila berada di luar kesadarannya, dapat menjadi kuat bukan main, dan juga nekat dan tidak mengenal takut.

Melihat gadis itu melarikan diri, orang Mongol itu berseru keras dan mengejar, akan tetap Hong Beng sudah melompat di depannya dan menghadang.

“Engkau tidak boleh kejar gadis itu!” kata Hong Beng.

Orang itu berhenti, menatap wajah Hong Beng dengan matanya yang merah lalu mengeluarkan suara gerengan dari kerongkongannya seperti suara binatang buas, kemudian diapun menubruk dengan kedua lengan dipentang lebar, jari-jari tangan terbuka.

Serangan itu datang dengan mendadak dan cepat sekali, akan tetapi Hong Beng sudah siap sejak tadi. Dengan mudah dia mengelak dan menyelinap dari bawah lengan kanan lawannya. Akan tetapi orang itu membalik dan dengan kecepatan luar biasa, kini tangan kirinya menyambar untuk mencengkeram ke arah kepala Hong Beng!

“Hemm....!” Pemuda ini terkejut juga, tidak mengira bahwa lawan ini demikian cepat gerakannya dan agaknya memiliki ilmu berkelahi yang cukup kuat dan mahir. Kembali Hong Beng mengelak dan menyampok lengan yang menyambar itu dari samping.

“Plakk!” Hong Beng mendapat kenyataan betapa kuatnya tenaga yang bersembunyi di dalam lengan yang ditangkisnya itu.

Melihat betapa orang yang diserangnya itu dapat menghindarkan diri dari serangan-serangannya, orang Mongol itu menjadi semakin marah. Matanya melotot dan merah sekali, dan kini sambil mengeluarkan gerengan-gerengan menyeramkan, dia bergerak cepat menyerang Hong Beng membabi buta! Cepat dan kuat sekali serangannya, dan bertubi-tubi karena setiap kali dielakkan atau ditangkis, dia sudah menerjang lagi dengan lebih dahsyat.

Hong Beng tidak berniat memusuhi orang ini. Dia belum tahu apa yang telah terjadi dan siapa orang ini, siapa pula gadis tadi dan mengapa pula orang ini melarikan wanita itu. Siapa tahu kalau-kalau wanita itu masih keluarganya sendiri? Pula, dia tidak ingin bermusuhan dengan orang-orang Mongol karena diapun tahu bahwa orang-orang Mongol merasa sakit hati kepada orang Han dan menganggap Bangsa Han sebagai musuh mereka. Dia tidak ingin mencari gara-gara di tempat ini dan kalau dia tadi turun tangan, semata-mata karena dia ingin membebaskan seorang wanita dari tangan seorang pria yang hendak memaksanya.

Akan tetapi karena orang itu menjadi semakin ganas, serangan-serangannya menjadi semakin dahsyat, Hong Beng merasa khawatir juga. Bukan tidak berbahaya kalau sampai terkena cengkeraman karena agaknya orang ini ahli gulat, ilmu berkelahi Bangsa Mongol yang terkenal itu. Dia harus dapat merobohkan orang ini tanpa membuat dia menderita luka berat, pikirnya. Ketika orang itu kembali menubruk, dia menyelinap ke samping dan kakinya menendang ke arah paha dengan maksud agar orang itu roboh dan dia akan melarikan diri.

“Bukkk!” Hong Beng terkejut sekali karena merasa betapa sepatu kakinya bertemu dengan gumpalan daging paha yang kerasnya seperti besi saja! Kiranya orang ini selain kuat dan cepat, juga tubuhnya kebal! Dia mencoba lagi dengan memukul dan menampar ke arah pundak, dada dan bahu, namun hasilnya sama. Orang itu tidak roboh, jangankan roboh, tergoyangpun tidak oleh tamparan dan pukulannya yang dilakukan cukup keras tadi.

Pada saat itu, banyak orang berlari-lari keluar dari pintu dusun dan ternyata mereka adalah sekelompok orang Mongol. Di depan sendiri berjalan seorang laki-laki setengah tua bersama gadis yang ditolong oleh Hong Beng tadi dan kini mereka nonton perkelahian itu dengan wajah tegang. Karena tidak nampak sikap marah dari mereka, hati Hong Beng menjadi lega. Jelas bahwa mereka itu tidak berpihak kepada si gila dan tidak akan mengeroyoknya karena kalau hal itu terjadi, tentu dia sudah melarikan diri. Akan tetapi, dia menjadi semakin bingung. Bagaimana dia harus mengalahkan orang gila ini tanpa melukainya? Orang itu demikian cepat dan kuat, dan tubuhnya kebal bukan main. Sudah dicobanya untuk menampar bahkan menotok, namun hasilnya sia-sia, agaknya jalan darah orang ini terlindung oleh otot-otot kuat dan daging-daging yang keras.

Karena bingungnya, Hong Beng menjadi sedikit lengah dan tiba-tiba saja orang Mongol itu sudah menubruk dan mencengkeram lehernya! Hong Beng terkejut, membuang diri ke samping akan tetapi biarpun leher dan pundaknya luput, lengan kanannya tetap saja kena disambar dan dipegang oleh tangan kiri orang Mongol itu yang menyusul pula dengan tangan kanannya. Dipegang oleh dua tangan yang demikian kuatnya, dengan jari-jari yang panjang dan besar, Hong Beng terkejut. Dia berusaha menarik tangannya, namun lengannya seperti dijepit oleh jepitan baja yang besar dan kuat. Agaknya, biar dia menarik lengannya sampai copot dari pundaknya, cekalan orang Mongol itu takkan terlepas! Dan kini, orang itu mengerahkan tenaga. Hong Beng merasa betapa lengannya itu diremas dengan kekuatan raksasa. Kiut-miut rasanya, nyeri bukan main. Daging lengan itu bisa hancur lebur, tulangnya bisa remuk berkeping kalau dibiarkan! Dia cepat mengerahkan sin-kangnya melindungi lengan itu, kemudian dia mencari akal untuk dapat merobohkan orang itu dan membebaskan dari cengkeraman. Biarpun lengannya sudah dilindungi sin-kang, kalau dilanjutkan, lengan itu bisa rusak. Akhirnya dia mendapatkan akal.

“Haiiiittt!” Hong Beng mengeluarkan seruan nyaring dan tangan kirinya bergerak menyambar dengar cepat.

“Dukkk!” Dengan tangan miring, Hong Beng memukul ke arah belakang telinga kanan orang Mongol itu. Begitu kena pukulan, tiba-tiba tubuh orang Mongol itu terkulai lemas dan pegangannya pada lengan Hong Beng terlepas. Pemuda ini meloncat ke belakang dan tubuh lawannya roboh terkulai dalam keadaan pingsan. Perhitungan Hong Beng memang tepat. Biarpun pukulannya tidak dapat melukai lawan, namun pukulan sin-kang itu cukup kuat untuk mengguncangkan otak dan membuat lawannya roboh pingsan!

Terdengar seruan-seruan heran dan kagum di antara para penonton yang terdiri dari orang-orang Mongol itu. Agaknya mereka merasa heran bukan main melihat ada orang yang mampu merobohkan raksasa Mongol yang gila itu tanpa melukainya, apa lagi membunuhnya.

Orang Mongol setengah tua yang tadi berjalan di depan bersama gadis itu kini melangkah maju. Bahasanya cukup baik ketika dia menegur Hong Beng dalam Bahasa Han, “Orang muda, terima kasih atas pertolanganmu kepada Mayani, anak perempuan kami yang tadi akan dilarikan oleh si gila ini. Dia itu adalah keponakanku sendiri, akan tetapi telah beberapa bulan menderita penyakit gila. Orang muda yang gagah, perkenalkan aku adalah Agakai, ketua dari kelompok suku yang kini berada di dusun itu. Siapakah namamu, orang muda yang gagah?”

Hong Beng memandang kepada kakek setengah tua itu penuh perhatian. Seorang laki-laki yan bersikap anggun dan gagah, sepasang matanya bersinar penuh kewibawaan. Bukan laki-laki sembarangan, pikirnya. Dan gadis bernama Mayani yang menjadi anak perempuan kepala suku ini, memang manis sekali dan gadis itu kini memandang kepadanya dengan sinar mata tajam dan mulut tersenyum ramah dan manis.

“Nama saya Gu Hong Beng, dan saya adalah seorang perantau yang sedang dalam perjalanan. Kebetulan melihat nona ini dilarikan orang, maka dengan lancang saya turun tangan membantunya, harap dimaafkan.”

Agakai tertawa. “Ha-ha, engkau sungguh pandai merendahkan diri, orang muda. Mari, kami persilahkan engkau untuk singgah sebentar untuk mempererat perkenalan antara kita.”

Hong Beng mengerutkan alisnya. Dia tadi memang ingin sekali mencari arak atau makanan, akan tetapi setelah terjadi keributan itu, dia merasa lebih senang kalau dapat melanjutkan perjalanannya. Agaknya, kepala suku itu melihat keraguannya, maka diapun cepat berkata, “Gu-taihiap, kami mengundangmu bukan hanya sekedar mempererat persahabatan, melainkan kami ingin mengundang taihiap menghadiri pesta pertemuan antara kami dengan beberapa orang tokoh pejuang.”

“Tokoh pejuang?” Hong Beng tertarik dan merasa heran. “Siapakah mereka itu?”

“Mereka adalah pendeta-pendeta dan pertapa-pertapa yang sakti, dan mereka itu merupakan pejuang-pejuang rakyat yang melihat betapa rakyat menderita di bawah pemerintah Mancu, mereka bergerak dan berusaha menentang pemerintah Mancu. Mereka kini mengadakan pertemuan dengan kelompok kami karena mereka menawarkan kerja sama dengan kami. Kami harap engkau suka hadir, taihiap, karena kami percaya bahwa seorang pendekar sakti sepertimu tentu dapat membantu kami dalam menentukan sikap terhadap ajakan mereka.”

Hati Hong Beng semakin tertarik. Ingin dia melihat siapakah mereka yang disebut pejuang-pejuang itu. Mereka adalah pendeta-pendeta dan pertapa-pertapa! Amat menarik hati memang. Dia sudah mendengar tentang para pejuang yang menentang pemerintah Mancu dan diam-diam dia menaruh hati kagum terhadap mereka, walaupun dia sendiri tidak berminat untuk mencampuri perjuangan yang belum dimengertinya benar.

Hong Beng menerima undangan kepala suku yang bernama Agakai itu, setelah Mayani, gadis Mongol itu ikut membujuk dengan mengatakan bahwa ia ingin mendapatkan kesempatan membalas pertolongan Hong Beng dengan suguhan arak dan daging. Kelompok orang Mongol itu kembali ke dusun dan si Mongol gila tadi kini dibelenggu kaki tangannya dan dibawa masuk pula ke dalam dusun.

“Kami baru sepekan berada di sini,” kata Agakai ketika mereka memasuki dusun, kepada Hong Beng. “Kami memilih tempat ini, meminjam dari orang-orang Hui, untuk mengadakan pertemuan dengan para pejuang seperti telah kami rencanakan.”

Dusun itu sederhana saja dan Agakai berada di tempat itu bersama puterinya yang berusia sembilanbelas tahun itu. Dia sendiri seorang duda berusia empatpuluh lima tahun, dan dia membanggakan diri sebagai keturunan Jenghis Khan, itu raja besar dari Kerajaan Mongol ketika menjajah di selatan. Ayahnya, mendiang Tailu-cin, dahulu selalu menyatakan sebagai keturunan Jenghis Khan. Betul tidaknya, Agakai sendiri tidak tahu pasti. Memang banyak dahulu raja besar Jenghis Khan mempunyai anak, banyak di antaranya di luar nikah dan tidak diakuinya, bahkan mungkin tidak diketahuinya, anak-anak yang terlahir dari wanita-wanita yang pernah menjadi tawanan perang dan dijadikan isteri untuk beberapa malam saja!

Hong Beng diterima sebagai tamu kehormatan, disuguhi minum susu dan arak, dan disuguhi pula makanan dari daging, yang biarpun aneh bagi lidahnya karena bumbunya berbeda-dengan masakan yang biasa dimakannya, namun cukup lezat. Mayani sendiri lalu berdandan, bersama beberapa orang gadis lain lalu mengadakan pertunjukan tari darn nyanyi untuk menghormat pemuda Han yang tampan dan gagah perkasa, yang telah menyelamatkannya dari tangan orang gila tadi. Ngeri ia membayangkan bagaimana akan menjadi nasibnya kalau saja ia tidak ditolong oleh Hong Beng tadi karena si gila itu, sebulan yang lalu, pernah pula melarikan seorang gadis dan tiga hari kemudian, dia ditangkap di dalam sebuah guha sedangkan gadis itu yang diperkosanya secara buas, telah menjadi mayat! Hanya karena raksasa gila itu masih keponakan kepala suku, maka dia tidak dibunuh melainkan dirantai dan disekap di belakang. Akan tetapi, pagi tadi dia dapat melepaskan diri dan hampir saja membuat korban baru atas diri Mayani, saudara misannya sendiri!

Dan malam hari itu, datanglah tamu-tamu lain, yaitu para pejuang yang hendak mengadakan pertemuan rapat dengan Agakai dan anak buahnya. Hong Beng sebagai seorang tamu, tidak keluar menyambut, melainkan tinggal di dalam kamar yang disediakan untuknya. Baru setelah pertemuan dan pesta itu diadakan pada malam hari itu, Hong Beng dipersilahkan keluar dan menghadirinya.

Ternyata yang datang adalah duapuluh lebih orang-orang yang berpakaian sebagai tosu, dipimpin oleh lima orang tosu tua. Mereka disambut oleh Agakai dan para pembantunya, dan pada malam hari itu, diadakanlah pesta pertemuan itu di pekarangan rumah besar di dalam dusun, di mana telah disediakan meja kursi dan penerangan lampu yang cukup banyak. Dusun itu sederhana, tidak ada rumah yang cukup besar di situ untuk menjadi tempat pertemuan, maka pesta pertemuan itu diadakan di tempat terbuka.

Lima orang tosu itu duduk di meja besar, disambut oleh Agakai yang duduk pula di situ bersama lima orang pembantunya, yaitu mereka yang dianggap tokoh di antara kelompok mereka. Mayani duduk di barisan belakang ayahnya, tidak ikut dalam rapat, akan tetapi juga tidak menjadi pelayan, melainkan bagai pendengar saja.

Ketika Hong Beng dipersilahkan duduk, pemuda itu memandang kepada lima orang tosu tadi dengan penuh perhatian. Tiba-tiba dia terkejut karena dia mengenal bahwa dua di antara lima orang tosu itu pernah dilihatnya. Akan tetapi dia lupa lagi di mana dan kapan dia pernah berjumpa dengan dua orang tosu itu, dan dua orang tosu itupun agaknya tidak memperlihatkan tanda bahwa mereka mengenalnya. Agakai memperkenalkan Hong Beng kepada para tamunya.

“Tamu kehormatan kami yang kebetulan berada di sini adalah taihiap Gu Hong Beng yang telah menyelamatkan puteri kami dari ancaman malapetaka. Gu-taihiap, para pendeta inilah pejuang-pejuang yang pernah kami ceritakan kepadamu.”

Hong Beng memberi hormat kepada para pendeta itu yang dibalas oleh mereka, akan tetapi mereka bersikap acuh saja kepadanya. Ketika para pendeta itu bangkit membalas penghormatannya, barulah Hong Beng melihat bahwa di jubah para pendeta itu, di bagian dada, terdapat lukisan-lukisannya. Tiga orang pendeta memiliki lukisan bunga teratai di dada jubah mereka, sedangkan yang dua lagi terdapat lukisan segi delapan. Diam-diam dia terkejut. Kiranya para tosu ini adalah pendeta-pendeta Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai! Memang dia tahu bahwa kedua perkumpulan ini merupakan pemberontak-pemberontak atau menurut istilah mereka adalah pejuang-pejuang, akan tetapi pejuang macam apa! Mereka tidak segan-segan untuk mengelabuhi rakyat agar mendukung gerakan mereka, akan tetapi walaupun mereka memusuhi pemerintah Mancu, namun merekapun terkenal sebagai golongan yang tidak segan melakukan segala macam kecabulan dan kejahatan demi mencapai tujuan mereka! Orang-orang gagah dari dunia persilatan tidak suka kepada mereka dan selalu menjauhi mereka. Bahkan para pendekar yang berjiwa patriot dan berjuang pula menentang penjajah, segan untuk bekerja sama dengan orang-orang Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai. Hatinya merasa tidak enak dan penuh curiga, akan tetapi Hong Beng hanya duduk diam saja, memperhatikan percakapan antara mereka yang mulai berlangsung.

“Selamat datang dan selamat malam, para totiang yang terhormat,” kata Agakai. “Seperti telah kita sepakati bersama, kami telah berhasil membujuk dan mengusir penghuni dusun ini, orang-orang Hui, untuk meminjamkan dusun ini kepada kami selama beberapa hari agar kita dapat mengadakan pertemuan di sini. Kami masih belum yakin benar akan cerita tentang perjuangan golongan kalian, maka kami minta agar kalian suka menjelaskan lagi agar kami dapat mempertimbangkan apakah dapat menerima uluran tangan kalian untuk bekerja sama.”

Tosu berjenggot panjang dan memegang tongkat berbentuk naga hitam, segera mengelus jenggotnya dan agaknya dialah yang menjadi juru bicara kawan-kawannya. “Siancai kami hargai kejujuranmu, saudara Agakai. Pertama-tama pinto (aku) ingin menceritakan mengapa kami sengaja memilih saudara untuk bekerja sama. Kami tahu bahwa saudara Agakai adalah keturunan langsung dari Sang Maharaja Jenghis Khan yang maha besar di jaman lampau, oleh karena itu kami merasa yakin bahwa tentu saudara mempunyai semangat untuk mendirikan kembali Kerajaan Goan di mana bangsa saudara merajai seluruh Tiongkok. Nah, kami membutuhkan orang bersemangat seperti saudara untuk menggerakkan seluruh Bangsa Mongol yang jaya untuk menumbangkan kekuasaan Mancu.”

Tentu saja Agakai menjadi bangga dan gembira sekali mendengar ini. Telah tersentuh kelemahannya! Dia memang selalu ingin menonjolkan bahwa dia adalah keturunan Jenghis Khan, maka kini ucapan tosu itu seperti mengelus perasaannya dan dia menjadi senang sekali kepada para tosu itu.

“Memang tidak keliru kalau totiang beranggapan demikian,” katanya bangga. “Akulah satu-satunya orang di seluruh Mongol yang berdarah Jenghis Khan dan yang akan mampu menggerakkan seluruh bangsaku untuk bangkit lagi.”

“Itulah harapan kami, saudara Agakai. Kami menganggap bahwa gerakan yang datang dari utara lebih banyak harapan untuk berhasil, karena selain dekat dengan kota raja, juga terdapat banyak gunung dari mana kita dapat bergerak secara sembunyi. Tembok Besar tidak merupakan penghalang yang terlalu berat, bahkan para perajurit pamerintah yang melakukan tugas berjaga di Tembok Besar, kebanyakan kurang semangat dan kurang kuat, jauh dari hiburan dan sudah merasa bosan tinggal di tempat yang tandus. Kami membutuhkan bantuan saudara untuk menghimpun tenaga yang kuat, yang setiap waktu dapat kami pergunakan untuk menyerbu ke selatan. Kami akan bergerak dari dalam Tembok Besar.”

“Nanti dulu, totiang. Selain pemerintah Mancu memiliki pasukan yang amat besar dan kuat, juga Kaisar Kian Liong selalu dibantu oleh para pendekar yang setia dan mereka memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Mungkin saja menandingi pasukan dengan siasat perang, akan tetapi bagaimana akan dapat menandingi para pendekar yang memiliki ilmu silat tinggi?”

“Ha-ha-ha, tidak perlu khawatir, saudara Agakai. Kami orang-orang Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai memiliki banyak sekali tokoh yang berilmu tinggi, dan para pendekar itu tidak ada artinya bagi kami.”

“Tapi, di sana terdapat para pendekar yang lihai, seperti keluarga Pulau Es....“

“Siancai!” Tosu berjenggot panjang itu berseru “Keluarga Pulau Es hanyalah penjilat-penjilat kaisar, takut apa? Kalau ada yang muncul di sini, tentu kepalanya akan pinto hancurkan dengan tongkat ini, seperti kepala arca di sana itu!” Tiba-tiba kakek itu melemparkan tongkatnya dan sungguh aneh. Tongkat yang berbentuk seekor naga hitam itu tiba-tiba saja seperti “hidup”, terbang melayang menyambar ke arah sebuah arca batu yang berdiri sejauh duapuluh meter lebih dari tempat kakek itu duduk. Terdengar suara keras ketika tongkat menghantam kepala arca, dan pecah berantakanlah kepala arca itu, sedangkan tongkatnya kembali terbang ke arah tangan tosu tua itu! Hong Beng terkejut dan maklum bahwa tosu Pek-lian-kauw ini mempergunakan ilmu sihir bercampur ilmu silat yang amat tinggi!

Sementara itu, Agakai dan para pembantunya memandang dengan mata terbelalak dan mulut bengong. Kemudian terdengar sorak-sorai para anak buahnya yang berada di sekeliling tempat pesta itu. Merekapun melihatnya dan memberi pujian.

Sementara itu, Hong Beng, tentu saja merasa perutnya panas mendengar betapa keluarga Pulau Es dimaki sebagai penjilat dan dipandang rendah. Dan pada saat itu, diapun tiba-tiba teringat siapa adanya dua orang tosu yang duduk di situ, yang tadi diingatnya sebagai orang-orang yang pernah dikenalnya. Kini dia teringat bahwa dua orang itu bukan lain adalah dua orang pendeta yang pernah dijumpainya ketika dia mencarikan obat untuk suhunya yang terluka. Dua orang pendeta yang ditemukannya dalam keadaan luka dan menceritakan kepadanya bahwa mereka adalah dua orang yang menentang Bi-kwi, karena Bi-kwi menculiki pemuda-pemuda di dusun, akan tetapi mereka berdua kalah karena Bi-kwi dibantu oleh Bi Lan dan Sim Houw! Karena keterangan mereka itulah maka dia bersama suhunya lalu pergi mencari Bi Lan dan Sim Houw, bahkan lalu menyerang mereka. Kini timbul keraguan dalam hatinya! Benarkah keterangan mereka tempo hari? Mungkinkah seorang tosu Pek-lian-kauw dan seorang tosu Pat-kwa-pai muncul sebagai pendekar, sedangkan Bi Lan dan Sim Houw sebaliknya menjadi pembela yang jahat? Pikiran ini membuat dia menjadi semakin marah. Jangan-jangan dua orang pendeta ini dahulu hanya melakukan fitnah saja sehingga berhasil mengadu domba antara dia dan gurunya melawan Bi Lan dan Sim Houw! Kalau benar, celakalah!

Pada saat itu, terdengar tosu tinggi besar perut gendut, seorang di antara dua pendeta yang pernah dijumpai Hong Beng, yaitu yang bernama Ok Cin Cu, tokoh Pat-kwa-pai, berkata kepada Agakai, “Saudara Agakai, sudah menjadi tugas kami masing-masing tosu dari perkumpulan kami untuk menyampaikan berkah dan pelajaran kepada seorang murid wanita baru. Pinto minta agar gadis yang duduk di belakangmu itu malam nanti menjadi murid pinto yang baru dan tinggal bersama pinto dalam kamar pinto.”

Agaknya Agakai sudah tahu akan kebiasaan para tosu cabul itu, maka mukanya menjadi merah karena yang dimintanya adalah puterinya! Dia tidak perduli, akan kebiasaan mereka. Dia bahkan menganggapnya wajar kalau tokoh-tokoh besar itu membutuhkun hiburan karena tugas mereka yang berat dalam perjuangan. Akan tetapi kalau puterinya yang diminta, tentu saja dia tidak dapat memaksa puterinya.

Agakai tertawa. “Totiang, agaknya engkau belum tahu bahwa ia ini adalah Mayani, puteriku sendiri. Aku tak pernah memaksa puteriku, akan tetapi kalau ia suka melayanimu dan menjadi muridmu malam ini secara suka rela, akupun tidak akan dapat melarangnya.” Dengan ucapan ini, Agakai merasa yakin bahwa puterinya tentu akan menolak. Gadis mana yang suka melayani seorang kakek yang buruk rupa dan berperut gendut seperti tosu itu? Apa lagi puterinya, gadis yang amat pemilih dan selama ini belum pernah mau menerima pinangan pemuda-pemuda yang cukup tampan.

Tosu berjenggot panjang yang memimpin para tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai itu tiba-tiba berkata, “Aha, tentu saja nona Mayani suka melayani dan menjadi murid saudara Ok Cin Cu!”

Begitu ucapan ini dikeluarkan, tiba-tiba Mayani lalu bangkit berdiri, lalu menghampiri Ok Cin Cu dan berkata, “Aku suka sekali melayanimu dan menjadi muridmu, totiang!”

Tentu saja Agakai terkejut setengah mati melihat puterinya demikian patuh dan dengan suka rela menghampiri tosu itu dan menyatakan suka malayani dan menjadi murid! Janjinya telah diucapkan dan disaksikan orang banyak ternyata Mayani dengan suka sendiri mau melayani tosu gendut itu.

“Mayani....!” Dia berseru kaget dan heran.

Tiba-tiba Hong Beng yang sudah tidak mampu menahan kesabarannya lagi karena dia maklum apa artinya sikap Mayani yang aneh itu, ialah bahwa gadis itu tentu terkena pengaruh sihir kakek berjenggot panjang, lalu bangkit berdiri, menggebrak meja dan dari mulutnya keluar suara melengking tinggi yang membuyarkan pengaruh sihir atas diri Mayani karena teriakan melengking itu mengandung tenaga khi-kang yang amat kuat. Mayani tersentak kaget, lalu menjadi bingung mengapa ia berdiri di depan tosu gendut.

“Eh, apa yang terjadi.... ayah....?” tanyanya dan iapun cepat kembali ke belakang ayahnya.

“Para tosu jahat dan cabul!” bentak Hong Beng dengan marah sehingga sepasang matanya berkilat. “Kalian telah menyebar racun fitnah, bujukan dengan ilmu hitam yang amat keji! Saudara Agakai, jangan engkau terkena bujukan iblis mereka ini. Mereka adalah tosu-tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai yang amat jahat, berkedok perjuangan. Hampir saja puterimu terjebak dalam sihir dan menjadi korban mereka yang amat jahat!”

Para tosu itu bangkit berdiri dengan marah dan sekarang Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin, dua orang tosu yang berada di situ, juga mengenal Hong Beng.

“Siancai....! Dia ini adalah murid keluarga Pulau Es! Dia mata-mata musuh, dia mata-mata pemerintah Mancu!” teriak Ok Cin Cu dengan marah, memutar tongkat hitamnya yang berbentuk ular itu ke atas kepala.

Kalau tadinya Agakai terkejut mendengar kata-kata Hong Beng dan memandang kepada para tosu penuh kecurigaan dan kemarahan, kini dia terkejut dan menghadapi Hong Beng, “Gu-taihiap, benarkah engkau murid keluarga Pulau Es?”

Dengan sikap gagah Hong Beng menjawab, “Benar, aku adalah murid keluarga Pulau Es, dan seperti semua orang gagah di seluruh dunia, akupun menentang Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw yang melakukan kejahatan dengan kedok agama dan perjuangan! Harap saudara Agakai jangan sampai terkena bujukan mereka!”

Akan tetapi, mendengar bahwa pemuda ini murid keluarga Pulau Es, Agakai yang juga telah terkena pengaruh sihir dari para tosu, segera merasa tak senang dan curiga. Bagaimanapun juga, dia tahu bahwa keluarga Pulau Es condong membantu pemerintah Mancu karena mereka itu berdarah Mancu pula.

“Tangkap mata-mata ini!” teriaknya kepada orang-orangnya.

Hong Beng terkejut dan tak sempat untuk membela diri dengan kata-kata, maka sekali meloncat dia telah berada di luar tempat pesta itu. Akan tetapi, lima orang tosu itu sudah berloncatan dan mengepungnya.

“Ha-ha-ha, orang muda mata-mata musuh, hendak lari ke mana engkau?” teriak Thian Kek Seng-jin yang sudah menggerakkan tongkatnya yang berbentuk naga hitam pula, seperti tongkat tosu berjenggot panjang yang menjadi pemimpin rombongan itu.

“Wuuuttt....!” Hong Beng mengelak, akan tetapi dia segera dikeroyok dan karena tingkat kepandaian para tosu itu amat tinggi, yang paling rendah seimbang dengan tingkatnya, tentu saja dia menjadi repot sekali menghadapi pengeroyokan mereka. Apa lagi, di luar kepungan ini masih terdapat para anggauta Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, juga orang-orang Mongol.

Ketika tongkat hitam berbentuk ular di tangan Ok Cin Cu menyambar lehernya dan sebatang pedang menusuk lambungnya, dia cepat mengelak dan pada saat itu, tosu berjenggot panjang telah mengebutkan saputangan hitam di depan muka Hong Beng. Karena dia dalam keadaan mengelak dan terkepung, Hong Beng tidak mampu mengelak lagi dan begitu saputangan itu dikebutkan dan mengeluarkan debu, diapun mencium bau keras dan roboh pingsan!

Kiranya para tosu itu tidak mau membunuh Hong Beng karena mereka ingin memanfaatkan pemuda ini. Sebagai seorang pemuda murid keluarga Pulau Es, tentu saja dia merupakan orang penting. Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin sudah pernah mempermainkannya dan mereka tahu bahwa Hong Beng merupakan seorang pemuda yang berwatak keras dan mudah ditipu. Tidak ada gunanya membunuh pemuda ini, akan tetapi mungkin dalam keadaan hidup mereka akan dapat memanfaatkan pemuda ini, setidaknya sebagai sandera karena siapa tahu kalau-kalau di belakang pemuda ini masih terdapat keluarga Pulau Es yang hendak menyerbu mereka.

Setelah Gu Hong Beng dibikin tak berdaya dengan dibelenggu kaki tangannya, dan para tosu itu menyerahkannya kepada anak buah Agakai untuk dimasukkan sebuah kamar dan dijaga ketat, dibantu penjagaannya oleh para tosu anggauta Pek-lian-kauw, para tosu lalu mengajak Agakai melanjutkan percakapan mereka. Mayani tak nampak di situ karena begitu tadi sadar bahwa ia telah bertindak aneh dan bahkan menyerahkan diri untuk melayani tosu gendut, gadis ini menjadi ngeri dan meninggalkan tempat itu. Ia menangis di dalam kamarnya, teringat akan Hong Beng yang pingsan dan ditawan. Ia tidak mengerti mengapa ayahnya berbalik memusuhi penolongnya itu dan ia merasa penasaran sekali!

Sementara itu, kakek jenggot panjang yang merupakan seorang tokoh Pek-lian-kauw, berkata kepada Agakai, “Saudara Agakai, mengingat bahwa engkau agaknya kurang setuju kalau puterimu menjadi murid seorang di antara kami, biarlah pinto membatalkan saja dan puterimu tidak akan menjadi murid kami. Tentu saja engkau tahu bahwa sebagai pengganti puterimu, engkau sepatutnya menyediakan gadis-gadis lain untuk menjadi murid-murid kami berlima malam ini “

Wajah kepala suku itu menjadi berseri. “Tentu saja! Jangan khawatir, kalau gadis-gadis suku kami tidak berbakat menjadi murid kalian, masih ada gadis-gadis Hui yang dapat kami minta untuk menjadi murid kalian.”

“Sekarang dengarkan rencana kami selanjutnya, saudara Agakai. Seperti kami katakan tadi, untuk daerah utara ini kami mempercayakan kepada saudara untuk menghimpun kakuatan dan mempersiapkan diri. Sewaktu-waktu kami akan memberi kabar kalau pasukanmu dibutuhkan. Di bagian timur, kami telah menghubungi para bajak laut Bangsa Korea dan Jepang, dan di barat kami akan mencoba nntvk menghubungi Sin-kiam Mo-li.”

“Sin-kiam Mo-li? Siapakah ia?” tanya Agakai yang tentu saja belum mengenal tokoh-tokoh di dunia kang-ouw.

“Ia seorang wanita yang sakti, jauh lebih pandai dari pada kami semua!” kata tosu berjenggot panjang. “Ia adalah anak angkat dari mendiang Kim Hwa Nio-nio yang tewas di tangan para pendekar, terutama keluarga Pulau Es. Karena itu, ia tentu mendendam kepada keluarga Pulau Es dan kami yakin ia akan suka menggabungkan diri dengan kita. Untuk daerah barat, kami akan menyerahkan kepada Sin-kiam Mo-li, tentu saja kalau ia suka bergabung seperti yang kami rencanakan. Ia tinggal di tepi Sungai Cin-sa, di kaki Pegunungan Heng-tuan-san. Ialihai dan cantik jelita walaupun usianya sudah empatpuluh tahun, seperti seorang gadis remaja saja!” Para tosu lalu memuji-muji Sin-kiam Mo-li sebagai ahli slat dan juga ahli sihir yang amat pandai. Tentu saja Agakai menjadi kagum bukan main. Dia telah melihat kelihaian Hong Beng yang dengan mudah merobohkan keponakannya yang gila dan yang memiliki tenaga luar biasa kuatnya itu. Kemudian dia melihat betapa Hong Beng yang lihai itupun roboh dengan mudah oleh para tosu ini. Maka, mendengar betapa wanita yang berjuluk Sin-kiam Mo-li itu memiliki ilmu silat dan ilmu sihir yang amat tinggi, lebih lihai dari pada para tosu itu, tentu saja sukar bagi dia untuk membayangkan kesaktian seperti itu. Diam-diam dia merasa girang dapat bekerja sama dengan orang-orang yang demikian pandainya. Agaknya dia akan dapat berhasil membangun kembali Kerajaan Goan-tiauw yang telah jatuh dari bangsanya yang jaya!

Para tosu itu dan para tokoh Mongol yang menjadi tuan rumah, sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi percakapan mereka didengarkan oleh dua orang yang mengintai tak jauh dari tempat itu. Dua orang yang memiliki gerakan amat ringan dan cepat sehingga mereka mampu mendekati tempat pesta pertemuan itu tanpa diketahui orang, bahkan ikut mendengarkan percakapan antara para tosu dan Agakai dengan menggunakan pendengaran mereka yang amat peka.

Dua orang ini bukan lain adalah Sim Huow dan Can Bi Lan. Seperti kita ketahui, dua orang ini kembali dari gurun pasir dan melakukan perjalanan cepat sehingga mereka dapat menyusul Hong Beng yang melakukan perjalanan terlebih dahulu akan tetapi karena Hong Beng pernah salah jalan sehingga membuang waktu beberapa hari maka akhirnya dia tersusul. Sim Houw dan Bi Lan sama sekali tidak menyangka di situ akan bertemu dengan Hong Beng. Mereka kebetulan lewat di dusun itu dan tadi mereka mendengar ribut-ribut di dalam dusun. Ketika mereka melihat Hong Beng dirobohkan dan tertawan, mereka tidak segera turun tangan, melainkan melakukan pengintaian untuk melihat apa yang terjadi dan mengapa pula Hong Beng dikeroyok para tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw di tempat itu. Mereka berdua mengintai dan mendengarkan percakapan antara para tosu dan Agakai, kepala suku Mongol itu. Ketika mendengar disebutnya nama Sin-kiam Mo-li anak angkat Kim Hwa Nio-nio yang mendendam kepada keluarga Pulau Es, diam-diam mereka mencatat dalam hati nama wanita itu dan alamatnya. Kemudian, melihat bahwa yang dibicarakan oleh para tosu dan kepala suku adalah urusan pemberontakan, yang mereka namakan perjuangan, maka Sim Houw memberi isyarat kepada Bi Lan untuk meninggalkan tempat persembunyian mereka di atas pohon besar itu.

Baik buruk arau benar salahnya sesuatu atau suatu perbuatan tidak terletak di dalam perbuatan itu sendiri, melainkan terletak di dalam pandangan seseorang terhadap perbuatan itu. Kalau si pemandang merasa bahwa perbuatan itu menguntungkan atau menyenangkan hatinya, tentu saja dia akan mengatakan bahwa perbuatan itu baik dan benar. Sebaliknya kalau si pemandang menganggap perbuatan itu merugikan dan tidak menyerangkan hatinya, dia akan tanpa ragu mengatakan bahwa perbuatan itu buruk dan salah. Inilah sebabnya mengapa orang-orang yang menentang pemerintah Mancu, dinamakan pemberontak jahat oleh pemerintah Mancu dan orang-orang yang tidak menyetujui perbuatan itu, sebaliknya disebut pejuang perkasa oleh mereka yang menganggap bahwa kepentingannya diwakili. Karena itu, apa yang dinamakan baik oleh seseorang, belum tentu baik bagi orang lain, juga yang dinamakan buruk atau jahat belum tentu demikian bagi pihak lain. Untuk dapat membebaskan diri dari ikatan ini, seyogianya kalau kita menghadapi segala sesuatu tanpa penilaian, melainkan membuka mata memandang dengan pengamatan yang penuh kewaspadaan dan penuh perhatian. Pengamatan yang waspada ini membebaskan kita dari penilaian dan pendapat, tidak terpengaruhi perhitungan untung rugi dalam segala hal yang kita hadapi dan dari pengamatan penuh kewaspadaan ini lahirlah perbuatan-perbuatan yang sehat dan bijak.

“Kita harus bebaskan Hong Beng,” kata Sim Houw setelah mereka keluar dari tempat itu dan berada di belakang sebuah rumah kosong yang sunyi dan gelap.

“Untuk apa bebaskan orang seperti dia?” Bi Lan membantah.

“Ah, jangan berpikir demikian, moi-moi. Ia terjatuh ke tangan para tosu Pek-lian-kauw. Jangankan Hong Beng yang sudah kita kenal sebagai seorang pendekar gagah dan murid keluarga Pulau Es, biar orang lain sekalipun kalau terjatuh ke tangan para tosu yang jahat itu, sudah sepatutnya kalau kita tolong dia.” Tanpa memberi kesempatan kepada kekasihnya untuk membantah lagi, Sim Houw sudah menggandeng tangan Bi Lan dan mengajaknya menyelinap di antara rumah-rumah dan menuju ke rumah di mana tadi mereka melihat Hong Beng dibawa masuk dalam keadaan kaki tangan terbelenggu.

Dengan kepandaian mereka yang tinggi, Sim Houw dan Bi Lan berhasil meloncat naik ke atas wuwungan rumah itu, membuka genteng dan mengintai ke dalam. Mereka melihat betapa Hong Beng diikat pada sebuah tihang di dalam rumah itu, dan di situ terdapat belasan orang Mongol dan anak buah Pek-lian-kauw, juga berjaga dengan rapat. Dua orang anggauta Pat-kwa-pai juga nampak berjalan hilir-mudik mengelilingi rumah tahanan itu.

Sebelum Sim Houw dan Bi Lan mengambil keputusan untuk berbuat sesuatu, tiba-tiba Sim Houw menyentuh lengan Bi Lan dan keduanya memandang dengan penuh perhatian ke bawah. Seorang gadis berbangsa Mongol memasuki pintu rumah itu dan para penjaga memberi jalan padanya, bahkan orang-orang Mongol itu bersikap hormat. Gadis itu cantik manis dalam pakaiannya yang berwarna merah dan hitam, dan kini ia memasuki kamar di mana Hong Beng diikat pada tihang besar. Lima orang Mongol yang berjaga di situ nampak terkejut melihat masuknya gadis ini, akan tetapi ketika gadis itu menyuruh mereka keluar, lima orang itu tidak berani membantah, setelah saling pandang mereka lalu keluar dari dalam kamar itu. Gadis itu bukan lain adalah Mayani, puteri Agakai. Setelah sekian lamanya gelisah di dalam kamarnya, akhirnya gadis itu tidak tahan lagi dan nekat mengunjungi Hong Beng dalam kamar tahanannya. Para penjaga tidak ada yang berani melarangnya, juga para anggauta Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw tidak mencegah setelah mereka mendengar bahwa gadis itu adalah puteri kepala suku.

Setelah Mayani berada seorang diri dengan Hong Beng, gadis itu mendekati dan air matanya menetes ketika ia melihat betapa pemuda itu terbelenggu kaki tangannya, dan pipi dan lehernya lecet-lecet, juga pakaiannya robek-robek. Hong Beng sudah siuman, akan tetapi dia masih belum mampu mengerahkan tenaganya karena selain obat bius itu masih memusingkan kepalanya, juga tadi tosu Pek-lian-kauw menotok jalan darahnya sehingga dia tidak mampu mengerahkan sin-kangnya. Andaikata dia sudah mampu sekalipun, belum tentu dia akan dapat membikin putus tali belenggu kaki tangannya yang terbuat dari pada kulit binatang yang amat kuat itu. Kini dia memandang kepada Mayani.

“Nona, kenapa engkau datang ke sini?” tanyanya lirih.

“Aih, Gu-taihiap, betapa hancur rasa hatiku melihat engkau dikeroyok dan ditangkap tadi. Akan tetapi, jangan khawatir, taihiap, aku datang untuk menolongmu, lihat aku sudah membawa pisau yang tajam untuk membikin putus tali belenggumu.” Gadis itu mengeluarkan sebuah pisau yang mengkilat saking tajamnya. Hong Beng tidak kelihatan girang karena walaupun belenggu kaki tangannya putus, dia tetap saja tidak berdaya karena belum mampu mengerahkan sin-kangnya. Dengan tenaga utuh saja dia tidak mampu menandingi para tosu itu, apa lagi setelah jalan darahnya tertotok. Apa artinya belenggunya terlepas kalau dia tidak mampu melarikan diri?

“Aku akan membebaskanmu, taihiap, dan aku akan melindungimu. Kalau aku mengancam akan bunuh diri, tentu ayah akan membiarkan kita pergi berdua tanpa diganggu. Akan tetapi, lebih dulu aku minta engkau berjanji.”

Hong Beng melihat kemungkinan baru untuk keselamatannya. Mungkin saja gadis ini dapat memaksa ayahnya, dan sebagai kepala suku, ayahnya tentu mempunyai kekuasaan untuk membebaskan dia dan Mayani!

“Janji apa, nona?”

“Janji bahwa setelah kubebaskan, engkau akan suka menerima aku menjadi isterimu dan mengajak aku ke manapun engkau pergi!”

Ucapan ini keluar demikian terbuka dan jujur tanpa malu-malu lagi dari mulut Mayani. Sebaliknya, Hong Beng yang mendengar ucapan ini menjadi tersipu dan mukanya berubah merah.

“Kenapa begitu, nona?” tanyanya, agak heran dengan permintaan tiba-tiba yang dianggapnya aneh ini.

“Karena aku cinta padamu, taihiap. Nah, kau berjanjilah dan aku akan membebaskanmu, mengajakmu menghadap ayah agar kita berdua diperbolehkan pergi dari sini dengan aman.”

Tentu mudah bagi Hong Beng untuk berjanji dan kemudian meninggalkan gadis ini. Akan tetapi dia adalah seorang gagah. Dia tidak mau menipu Mayani, tidak ingin melanggar janjinya sendiri. Maka dia menggeleng kepalanya. “Aku.... aku tidak bisa berjanji, Mayani,” katanya, diam-diam merasa kasihan kepada gadis ini. Jatuh cinta dan tidak terbalas! Dia sudah merasakan betapa sakitnya hal ini kalau menimpa seseorang! Mayani jatuh cinta padanya, namun dia tidak dapat membalasnya.

“Kenapa tidak bisa, taihiap?”

“Karena aku tidak ingin kelak melanggar janjiku, tidak ingin berbohong kepadamu hanya agar aku dapat kautolong. Karena aku.... terus terang saja, aku tidak.... cinta padamu, Mayani. Aku suka padamu, aku kasihan padamu, akan tetapi aku tidak cinta padamu.”

“Ahhh!” Mayani nampak kaget. “Akan tetapi, bukankah engkau telah menyelamatkan aku dari bencana, dari cengkeraman orang gila itu?

“Aku menolongmu bukan karena aku cinta padamu. Gadis manapun akan kuselamatkan dari cengkeraman orang gila itu, Mayani.”

“Ahhh....!” Kini Mayani mengusap air mata dengan tangannya. Sungguh tak disangkanya jawaban seperti ini yang akan didengarnya. “Kalau begitu.... bagaimana aku dapat menolongmu? Apa yang harus kupakai sebagai alasan menolongmu?”

Hong Beng menarik napas panjang. “Sudahlah, tidak perlu kau menolongku, Mayani. Kembalilah sebelum orang mengetahui niatmu dan engkau akan mendapat susah karena ini. Pergilah.”

Sejenak gadis itu bengong, seperti tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Orang ini berada dalam bahaya besar, akan tetapi menolak uluran tangannya untuk menolong dan menyelamatkannya. Kemudian, dengan kedua mata masih basah dan merah terpaksa Mayani keluar pula dari kamar itu. Begitu ia keluar, lima orang Mongol itu cepat menyerbu ke dalam dan mereka nampak lega melihat bahwa tawanan itu masih terbelenggu pada tihang. Mereka tadi sudah merasa khawatir kalau-kalau Mayani melakukan kebodohan dan hendak membebaskan tawanan.

Sementara itu, Sim Houw dan Bi Lan melihat semua peristiwa yang terjadi di dalam kamar itu. Sim Houw lalu memberi isarat kepada Bi Lan. Keduanya lalu melayang ke dalam kamar. Sim Houw lebih dulu, diikuti oleh Bi Lan. Melihat dua orang melayang turun bagaikan dua ekor burung garuda, lima orang Mongol itu terkejut bukan main. Mereka hendak menerjang, akan tetapi beberapa tamparan dan tendangan dari dua orang itu merobohkan mereka. Sim Houw cepat membikin putus belenggu pada kaki tangan Hong Beng. Melihat tubuh Hong Beng lemas, Sim Houw maklum. Yang penting melarikan pemuda ini, pikirnya. Totokan orang Pek-lian-kauw mungkin berbeda dan harus dicari dulu bagaimana untuk membebaskannya. Maka setelah dua kali mencoba dan gagal membebaskan totokan, dia lalu menyambar tubuh Hong Beng, memanggulnya dan meloncat keluar dari kamar itu, didahului oleh Bi Lan. Sesuai dengan rencana mereka tadi, yang sudah diatur oleh Sim Houw ketika mereka mendekam di atas wuwungan, Bi Lan membuka jalan keluar. Beberapa orang penjaga yang terkejut melihat keluarnya gadis yang tidak dikenal ini, roboh oleh tamparan Bi Lan.

Keadaan menjadi gempar dan para penjaga berteriak-teriak ketika dua orang yang melarikan tawanan itu mengamuk dan merobohkan banyak penjaga. Mendengar teriakan-teriakan ini, para pimpinan tosu cepat mendatangi tempat itu bersama Agakai, akan tetapi dua orang penculik tawanan itu telah menghilang di dalam gelap, meninggalkan belasan orang penjaga yang tadi mereka robohkan.

Tentu saja para tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw menjadi marah. Ada orang berani membebaskan tawanan di depan hidung mereka! Hal ini sungguh membuat mereka merasa malu dan penasaran, maka mereka lalu melakukan pencarian dan pengejaran.

Karena Sim Houw juga menyadari betapa lihainya para tosu yang mampu menawan seorang pemuda seperti Hong Beng, maka dia mengajak Bi Lan berlari terus sampai jauh meninggalkan dusun itu dan akhirnya, pada pagi hari, mereka berhenti di bawah Tembok Besar. Begitu berhenti, Sim Houw lalu mencoba beberapa totokan untuk membebaskan Hong Beng dan akhirnya dia berhasil. Hong Beng terbebas dari totokan dan setelah melemaskan otot-ototnya yang menjadi kaku, dia berdiri berhadapan dengan Sim Houw dan Bi Lan. Dia merasa canggung sekali, tidak tahu harus berkata apa. Dia pernah memusuhi kedua orang ini, bahkan sampai sekarangpun masih ada perasaan tidak suka. Bagaimanapun juga, dia dan gurunya pernah berkelahi melawan mereka ini yang telah membela Bi-kwi. Kenyataan bahwa dia telah dikelabuhi oleh dua orang tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw itu belum melenyapkan sama sekali keraguannya dan dia masih menganggap bahwa dua orang ini setidaknya pernah menyeleweng dan membela Bi-kwi yang jahat, hanya karena Bi-kwi adalah suci dari Bi Lan.

“Sim Houw,” katanya kaku, “aku tidak pernah minta pertolongan kalian, akan tetapi biarlah aku mengucapkan terima kasih atas pertolongan kalian ini, walaupun jangan mengira bahwa terima kasih ini sudah melenyapkan ketidakcocokan di antara kita.” Sejak tadi Bi Lan memang sudah tidak senang diajak oleh Sim Houw menyelamatkan Hong Beng. Kini mendengar ucapan yang dirasakannya amat menyakitkan hati itu, bangkitlah kemarahannya.

Sambil bertolak pinggang dengan tangan kanan, telunjuk kirinya menuding ke arah hidung Hong Beng dan suaranya terdengar lantang dan galak, “Gu Hong Beng manusia sombong! Siapa sudi menerima terima kasihmu? Ketahuilah, kalau aku akhirnya menyetujui Sim-koko untuk menalongmu, adalah karena aku tidak ingin melihat engkau mampus di sana. Aku ingin menghajarmu dengan kedua kaki tanganku sendiri. Engkau lancang dan banyak mulut, suka mengadu dan melancarkan fitnah, memburuk-burukkan nama kami di depan suhu dan subo di Istana Gurun Pasir!”

Hong Beng mengerutkan alisnya. Tak dapat disangkal lagi, dia mencinta gadis ini. Akan tetapi Bi Lan tidak membalas cintanya, bahkan agaknya gadis itu bermain cinta dengan Sim Houw dan mengejeknya, menghinanya. Di samping rasa cintanya, timbul perasaan penasaran dan juga kemarahan.

Mungkinkah orang mencinta dan sekaligus membenci orang yang sama? Hal ini tidak mungkin sama sekali. Benci timbul dari perasaan tidak suka, dari perasaan dirugikan dan tidak tercapai apa yang diinginkan. Cinta tidak mungkin menimbulkan benci. Yang menimbulkan benci bukan cinta, melainkan nafsu. Nafsu ini ingin memiliki, ingin disenangkan, dan kalau semua keinginan itu gagal, maka muncullah kecewa dan benci. Baik nafsu maupun benci adalah penonjolan diri pribadi, adalah pakaian badan, adalah pementingan kesenangan dan kepuasan badan. Cinta kasih tidaklah sedangkal segala macam keinginan badan, cinta kasih bukanlah sekedar kesenangan dan kepuasan jasmani.

“Aku tidak memburukkan atau menyebar fitnah, melainkan menceritakan keadaan yang sebenarnya tanpa dibuat-buat. Bagaimanapun juga, Bi Lan, engkau telah melakukan penyelewengan, membela dan melindungi perempuan jahat Bi-kwi, bahkan engkau memusuhi kami orang-orang Pulau Es!”

“Sombong! Orang macam engkau ini mengaku orang Pulau Es? Dan engkau menuduh yang bukan-bukan tanpa menyelidiki kenyataannya. Huh, suci Ciong Siu Kwi jauh lebih baik dari pada engkau. Orang macam engkau ini perlu dihajar!” Berkata demikian, Bi Lan sudah menerjang dan menyerang Hong Beng. Pemuda yang juga sudah marah ini cepat mengelak dan balas menyerang. Sim Houw memandang bingung. Tadi dia sudah membujuk Bi Lan untuk bersabar, akan tetapi gadis yang sedang marah itu tidak memperdulikannya. Dan melihat sikap Hong Beng, diam-diam Sim Houw juga merasa penasaran. Kenapa pemuda itu juga bersikap demikian kasar? Dia mengerti bahwa di antara mereka itu hanya terdapat kesalahpahaman belaka, dan tetutama karena sama-sama tidak mau mengalah!

Selagi Sim Houw merasa bingung apa yang harus dilakukan menghadapi dua orang yang kini sudah berkelahi dengan seru itu, tiba-tiba terdengar suara orang membentak, ”Kalian ini sungguh tidak tahu diri!” Dan lenyapnya suara itu dibarengi munculnya seorang laki-laki setengah tua yang gagah dan begitu tiba, laki-laki itu telah menerjang dan menyerang Sim Houw!

Tentu saja Sim Houw terkejut dan cepat melompat ke samping, apa lagi ketika dia mengenal orang ini sebagai Suma Ciang Bun, seorang tokoh keluarga Pulau Es yang pernah pula menyerangnya bersama Hong Beng! Kiranya guru dan murid ini sekarang kembali menyerang dia dan Bi Lan, seolah-olah melanjutkan perkelahian antara mereka yang pernah terjadi tempo hari!

Bagaimana Suma Ciang Bun dapat muncul secara tiba-tiba di tempat itu? Seperti kita ketahui, Suma Ciang Bun meninggalkan rumah encinya, Suma Hui atau nyonya Kao Cin Liong, untuk menyusul muridya yang pergi ke utara, mengunjungi gurun pasir unuk menghadap orang tua Kao Cih Liong, melaporkan tentang hilangnya Kao Hong Li. Ketika dia tiba di Tembok Besar itu, kebetulan saja dia melihat muridnya berkelahi melawan Bi Lan dan tentu saja kemarahannya timbul seketika ketika dia mengenal Bi Lan dan Sim Houw. Biarpun dulu dia pernah meragukan apakah kedua orang itu bersalah, kini melihat betapa muridnya kembali sudah berkelahi melawan gadis itu, tentu saja hatinya condong untuk membela muridnya dan karena khawatir kalau-kalau muridnya celaka di tangan Pendekar Suling Naga yang lihai itu, dia mendahului dan menyerang Sim Houw.

Locianpwe, perlahan dulu....!” Sim Houw kembali mengelak ketika pukulan yang amat dingin menyambar. Dia bergidik. Pukulan ini tentu yang mengandung Soat-im Sin-kang, pikirnya, yang dapat membuat darah lawan menjadi beku kalau terkena pukulan dingin ini. “Mari kita bicara!” ajaknya, dan kembali dia mengelak karena sebuah tendangan kilat menyambar ke arah lututnya.

“Suhu, mereka ini hendak menghajar teecu karena teecu melaporkan tentang mereka ke Istana Gurun Pasir!” teriak Hong Beng yang sudah marah dan yang kini menjadi besar hatinya melihat kemunculan gurunya.

“Hemmm, dua orang muda yang besar kepala!” Suma Ciang Bun mendengus dan kembali dia sudah menyerang. Seperti juga dalam perkelahian yang pertama melawan guru Hong Beng ini, Sim Houw hanya mengelak dan menangkis, belum pernah membalas karena memang dia tidak ingin bermusuhan dengan pendekar ini, tanpa sebab yang jelas.

Hong Beng sudah terdesak oleh Bi Lan, sedangkan Suma Ciang Bun sebagai seorang pendekar maklum pula bahwa kalau Pendekar Suling Naga itu membalas, belum tentu dia akan mampu mengalahkan orang muda yang perkasa ini. Maka, setelah lewat limapuluh jurus, guru dan murid ini mulai merasa sibuk. Hong Beng sibuk oleh desakan-desakan Bi Lan yang marah, sedangkan gurunya sibuk karena sebegitu jauh, belum sebuahpun dari serangannya dapat menyentuh tubuh Sim Houw!

Tiba-tiba terdengar suara ramai dan bermunculan tosu-tosu di tempat itu. Mereka adalah para tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw. Tanpa banyak cakap lagi, paratosu itu kini menyerbu dan menyerang Hong Beng dan Suma Ciang Bun yang mereka kenal sebagai seorang pendekar keluarga Pulau Es! Tentu saja Hong Beng dan Suma Ciang Bun terkejut, dan Hong Beng berseru kepada suhunya,

“Suhu, mereka ini pernah menawan teecu!”

Sementara itu, melihat betapa para tosu yang lihai itu, lima orang pimpinan disertai belasan anak buah, telah mengepung dan menyerang Suma Ciang Bun dan Hong Beng, Sim Houw lalu memberi isarat kekasihnya, dan mereka berduapun segera terjun ke dalam pertempuran, menyerang para tosu! Sikap mereka ini tentu saja membuat Suma Ciang Bun terkejut akan tetapi juga girang. Dia tadi sudah beradu lengan dengan tosu jenggot panjang dan dengan kaget mendapat kenyataan betapa kuatnya lawan. Tosu-tosu itu lihai bukan main dan agaknya dia dan muridnya belum tentu akan mampu mengalahkan mereka. Akan tetapi kini Pendekar Suling Naga dan gadis yang galak itu telah membantu mereka menghadapi para tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw!

Bi Lan mengamuk dengan hebatnya berkelahi melawan Hong Beng, ia masih membatasi serangannya karena ia hanya ingin menghajar pemuda itu, bukan berniat membunuhnya atau melukainya secara berat. Iapun tahu bahwa sikap pemuda itu berbalik tidak suka kepadanya karena cintanya ditolak dan karena cemburu, demikian pendapatnya. Akan tetapi kini, melihat betapa mereka dikepung oleh tosu-tosu yang lihai, Bi Lan lalu mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Biarpun ia tidak memegang Ban-tok-kiam lagi, namun ketika ia mainkan Ban-tok-ciang-hoat yang dipelajarinya dari subonya, diseling dengan Sin-liong-ciang-hoat yang didapatnya dari suhunya Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, maka hebatnya bukan kepalang. Seorang tosu Pat-kwa-pai yang menjadi lawannya adalah Ok Cin Cu. Tosu ini memegang sebatang tongkat hitam berbentuk ular. Tosu yang mata keranjang dan cabul ini tadi sudah menyerang Bi Lan karena dia tidak dapat melewatkan gadis secantik ini dari pandang matanya. Maksudnya tentu saja agar dia puas dapat mempermainkan gadis ini. Akan tetapi, kalau pada mulanya dia maju dengan tangan kanan saja sambil tertawa-tawa dan tersenyum-senyum, kini dia terkejut dan memainkan tongkatnya untuk melindungi tubuhnya. Tak disangkanya bahwa gadis muda itu lihai bukan main, memiliki serangan pukulan-pukulan yang amat aneh! Tosu ini harus berloncatan ke sana-sini, rambutnya yang putih riap-riapan itu berkibar-kibar, tongkat hitamnya menyambar-nyambar, namun tetap saja dia kewalahan dan terdesak oleh gerakan Bi Lan yang tidak dikenalnya.

Suma Ciang Bun diserang oleh tosu berjenggot panjang yang merupakan pemimpin para tosu dan yang bersenjata tongkat naga hitam. Pendekar ini mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu siang-kiam (sepasang pedang) dan mainkan Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) dan dengan ilmu pedang yang hebat ini barulah dia dapat mengimbangi serangan lawan. Namun harus diakui bahwa untuk mendesak diapun tidak mampu karena kakek berjenggot panjang itu memang lihai bukan main. Di samping itu, Suma Ciang Bun juga harus melindungi muridnya. Hong Beng juga memainkan pedangnya, melawan Thian Kek Seng-jin tokoh Pek-lian-kauw yang juga bersenjata tongkat naga hitam. Kakek ini bersama Ok Cin Cu pernah menipunya dan mengadunya dengan Bi Lan ketika kedua kakek itu terluka dan menyembunyikan keadaan mereka yang sebenarnya. Dalam, perkelahian ini, Hong Beng terdesak oleh tongkat naga hitam. Akan tetapi, karena kadang-kadang suhunya datang membantu, dia dapat pula bertahan dan perkelahian ini menjadi perkelahian keroyokan antara guru dan murid itu melawan dua orang tosu.

Sim Houw sendiri melayani dua orang tosu Pek-lian-kauw yang tingkat kepandaiannya sama dengan yang lain. Sim Houw sudah mencabut sulingnya. Melihat senjata ini, para tosu itu terkejut.

“Pendekar Suling Naga....!” teriak seorang di antara dua tosu yang mengeroyoknya, sambil memutar pedangnya dengan cepat. Temannya yang juga berpedang, menghujankan serangannya kepada Sim Houw. Namun dengan tenang Sim Houw memutar sulingnya. Terdengar suara suling melengking-lengking dibarengi sinar berkelebatan dan dua orang itu segera terdesak hebat! Bukan main kuatnya gerakan pedang suling itu dan dua orang tosu itu sampai terhuyung ke belakang dan mereka mengeluarkan seruan kaget. Belum pernah mereka bertemu lawan sehebat ini dan kalau mereka tadinya hanya mendengar saja nama besar Pendekar Suling Naga yang dianggap berlebihan, maka baru sekarang mereka menyaksikan bahkan mengalami sendiri kehebatan senjata aneh itu!

Bi Lan juga mengamuk hebat dan lawannya sudah dua kali terkena pukulannya. Karena pukulan itu mempergunakan jurus dari Ilmu Silat Sin-liong Cianghoat, maka tenaganya membuat lawan itu terpelanting, sedangkan pukulan ke dua yang memakai Ilmu Silat Ban-tok Ciang-hoat membuat lawannya merasa pundaknya yang terpukul seperti terbakar, terasa gatal-gatal dan nyeri bukan main. Itulah pukulan beracun yang amat ampuh. Ok Cin Cu menjadi gentar dan diapun cepat melompat jauh ke belakang, hampir berbareng dengan dua orang tosu yang mengeroyok Sim Houw yang juga sudah berlompatan ke belakang. Keduanya terluka sedikit pada bahu mereka terkena sambaran angin pedang suling itu!

Melihat ini, gentarlah hati lima orang tosu itu dan mereka berteriak mengerahkan anak buah mereka, sedangkan dari jauh datang pula rombongan orang Mongol yang akan membantu.

“Moi-moi, mari kita pergi saja!” Sim Houw berseru dengan nyaring dan kepada Suma Ciang Bun dia menjura sambil berkata, “Locianpwe, maafkan kami. Semua ini hanya merupakan salah paham belaka!” Dan diapun bersama Bi Lan cepat meloncat jauh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu, melewati Tembok Besar menuju ke selatan.

Melihat ini, Suma Ciang Bun juga mengajak muridnya untuk pergi saja, melewati Tembok Besar pula dan menuju ke selatan, tidak ingin menghadapi pengeroyokan banyak orang itu. Biarpun mereka berempat telah bekerja sama menghadapi orang-orang Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw, namun di dalam hatinya, Hong Beng masih belum merasa puas. Dia belum yakin akan kebersihan Bi Lan dan Sim Houw, sedangkan Suma Ciang Bun diam-diam kagum bukan main akan kelihaian Pendekar Suling Naga.

***

“Aih, tenangkanlah hatimu, enci Hui. Kami sudah pernah merasakan betapa bingung dan susahnya kehilangan seorang anak. Akan tetapi berduka saja tidak ada gunanya, bahkan kedukaan itu akan mengeruhkan pikiran, melemahkan semangat sehingga kita tidak dapat bertindaak bijaksana dan tepat. Tenangkan hatimu, dan kita bicarakan urusan ini dengan teliti,” demikian Suma Ceng Liong, pendekar sakti keturunan keluarga Pulau Es itu menghibur Suma Hui yang datang bersama suaminya, Kao Cin Liong, dan sambil menangis menceritakan akan malapetaka yang menimpa keluarganya dengan lenyapnya Kao Hong Li diculik orang.

“Benar sekali apa yang dikatakan suamiku, enci Hui. Kami dahulu juga merasa amat berduka dan gelisah, apa lagi karena hilangnya anak kami Suma Lian dibarengi dengan tewasnya ibu mertuaku dibunuh orang. Akan tetapi, orang yang benar selalu dilindungi Thian, enci. Aku yakin bahwa keponakanku Hong Li pasti akan dapat ditemukan kemhali dalam keadaan selamat dan sehat,” kata pula Kam Bi Eng, isteri Suma Ceng Liong sambil merangkul kakak iparnya.

Suma Hui menghapus air matanya dan ia memaksa diri tersenyum. “Maafkan aku atas kelemahanku. Akan tetapi, kami berdua sudah mencari sampai jauh ke Tibet, akan tetapi tidak berhasil, bahkan tidak dapat menemukan jejak anak kami. Bagaimana hatiku tidak akan gelisah?

“Ceng Liong,” kata Cin Liong yang memang akrab dengan ipar-iparnya. “Kami sengaja datang ke sini mengunjungimu, bukan hanya sekedar menghibur diri, akan tetapi juga kami membutuhkan pendapatmu dan bantuanmu agar anak kami itu dapat segera kami temukan kembali.”

Ceng Liong mengangguk-angguk. Dia dan isterinya adalah suami isteri yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dia sendiri adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es sedangkan isterinya adalah murid pewaris Ilmu Suling Emas. Kini Suma Lian, puteri mereka, dibawa oleh Bu Beng Lokai, yang masih terhitung pamannya sendiri karena Bu Beng Lokai yang dulu bernama Gak Bun Beng adalah mantu dari kakeknya, Suma Han. Suma Lian dibawa Bu Beng Lokai untuk digembleng. Kini mereka berdua hidup di rumah mereka yang nampak sunyi, makakunjungan Suma Hui dan suaminya itu menggembirakan, dan Ceng Liong menganggap sudah menjadi tugasnya untuk bantu memikirkan kehilangan keponakannya, Kao Hong Li itu.

Mereka bercakap-cakap dan suami isteri yang kehilangan puterinya itu lalu menceritakan dengan sejelasnya asal mula terjadinya penculikan terhadap puteri mereka. “Gambaran tentang penculik itu telah kami dapatkan dengan jelas, bahkan teman-teman Hong Li menceritakan dengan jelas si penculik mengaku bernama Ang I Lama, bertubuh tinggi kurus, pandai silat dan pandai sihir. Akan tetapi ketika kami berhadapan dengan Ang I Lama, ternyata bukan dia penculiknya. Jelas bahwa penculik itu mempergunakan nama Ang I Lama. Akan tetapi siapa dia? Dan ke mana kami harus mencarinya?” Kao Cin Liong menutup penuturannya sambil menarik napas panjang.

Ceng Liong juga menghela napas. “Hemmm, penculik itu selain lihai pandai ilmu silat dan sihir, juga cerdik sekali. Dia menyamar sebagai Ang I Lama untuk mengelabuhimu, dan untuk melenyapkan jejaknya. Untuk itu, kita harus menggunakan akal, Kao-cihu (kakak ipar Kao).”

“Akal bagaimana, adikku?” tanya Suma Hui dengan penuh harapan dan gairah. Timbul kembali semangatnya mendengar percakapan itu.

“Cihu harus dapat mengumpulkan orang-orang kang-ouw terkemuka dengan alasan tertentu yang masuk akal. Cihu mengirim undangan agar mereka itu dapat datang dan lebih baik lagi kalau mengirim undangan secara terbuka. Siapa saja yang merasa dirinya orang kang-ouw, orang-orang di dunia persilatan, dipersilahkan datang. Nah, kalau sudah banyak orang kang-ouw berkumpul, cihu dapat mengumumkan tentang lenyapnya Hong Li diculik orang. Dengan demikian, tentu peristiwa itu akan tersebar luas dan kalau di antara mereka ada yang mengetahui tentang siapa penculik Hong Li dan di mana anak kita itu sekarang, tentu dia akan memberi tahu kepada cihu. Kalaupun tidak, tentu mereka akan membuka mata lebih lebar dan dengan demikian, harapan untuk menemukan kembali Hong Li lebih besar.”

“Ah, bagus sekali usul itu!” Cin Liong berseru dan wajahnya berseri, matanya berkilat membayangkan kegirangan. “Tidak sampai dua bulan lagi adalah hari kelahiranku yang ke limapuluh! Hal ini tentu merupakan alasan yang baik sekali dan tidak dicari-cari untuk mengumpulkan orang-orang kang-ouw.”

Bersambung ke buku 14