Tanah Warisan -buku 7 | SH Mintardja

Buku 7
“Aku mencemaskannya. Mungkin ia menahan sesuatu. Mungkin tentang Panembahan Sekar Jagat. Supaya kami tidak menjadi gelisah, ia tidak memberitahukan apapun kepada kami. Atau tentang yang lain lagi.”

Panjang menggeser dirinya. Dipandanginya seluruh halaman dengan tajamnya, seolah-olah ia sedang mencari seseorang yang sedang bersembunyi di balik pepohonan atau di belakang gardu.

“Tidak ada orang.”

Panjang menggigit bibirnya. Namun kemudian ia berkata, “Tetapi jangan mengatakannya kepada orang lain. Kau janji?”

“Tentang apa?”

“Bramanti.”

Temunggul terdiam sejenak, namun kemudian ia menganggukkan kepalanya, “Ya. Aku berjanji.”

“Hanya akulah yang diberitahu. Dan ia pun berpesan untuk tidak memberitahukannya kepada orang lain.”

Temunggul menjadi semakin ingin tahu karenanya. Dengan demikian ia segera menjawab, “Baik, baik. Aku berjanji.”

Panjang bergeser semakin dekat. Sambil berbisik ia berkata, “Bramanti memang sedang resah.”

“Kenapa?” bertanya Temunggul.

“Ternyata Panggiring kini berada di sekitar Kademangan ini.”

“He?” Temunggul pun menjadi terbelalak.

“Panggiring yang ingin pulang ke rumah ibunya, dan minta kepada Bramanti sepotong tanah untuk membuat rumah tempat tinggal.”

“Bukankah ia seorang perampok di pesisir Utara?”

Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya. “Itulah keberatan Bramanti. Selama ini ia selalu mencoba memberantas kejahatan yang dilakukan oleh Panembahan Sekar Jagat. Sudah tentu ia tidak akan dapat menyimpan seorang penjahat dirumahnya.”

“Tentu. Kademangan ini pun tidak.”

“Bramanti memang menolak. Bahkan aku bertanya kepadanya, apakah tidak mungkin, bahwa orang yang menyebut dirinya Panembahan Sekar Jagat itu Panggiring sendiri, atau orang yang dipasangnya.”

Temunggul mengerutkan keningnya. Wajahnya semakin lama menjadi semakin tegang. Sementara itu Panjang telah berceritera tentang Panggiring. Tidak saja seperti yang diceriterakan Bramanti, tetapi ia sendiri telah ikut berceritera menurut seleranya sendiri.

“Kita harus membantunya,” desis Temunggul.

“Tentu,” jawab Panjang.

Namun tiba-tiba Temunggul mengerutkan keningnya. Terbayang di dalam angan-angannya Panggiring dan Bramanti yang berhadapan sebagai lawan. Sebagai laki-laki yang memiliki kelebihan masing-masing. Meskipun mereka bersaudara seibu, namun agaknya ada jurang yang telah menganga di antara mereka.

“Siapakah yang lebih unggul di antara mereka?” pertanyaan itu menggelepar di dalam hatinya, kemudian, “Kalau saja Bramanti binasa oleh Panggiring, maka Ratri akan terbebas daripadanya,” Namun kemudian, “Tetapi bagaimana kalau Panggiring yang binasa?”

Temunggul menarik nafas dalam-dalam. Dan tiba-tiba ia menggeram, “Untuk kali ini, kita memang harus membantu Bramanti.”

Tetapi Temunggul itu terkejut ketika ia mendengar Panjang bertanya, “Kenapa untuk kali ini?”

“Oh, tidak,” Temunggul tergagap. “Maksudku kita harus membantu Bramanti apabila timbul benturan di antara mereka. Apalagi apabila ternyata bahwa Panggiringlah yang menyebut dirinya Panembahan Sekar Jagat.”

Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ditatapnya halaman yang telah menjadi semakin terang. Sinar matahari pagi telah mulai membayang didedaunan.

“Aku akan pulang. Sebentar lagi anak-anak yang seharusnya bertugas akan segera datang.”

“Kawani aku sambil menunggu anak-anak itu.”

Panjang berpikir sejenak. Tetapi jawabnya, “Maaf, kali ini aku tidak dapat. Mungkin lain kali. Aku mempunyai kepentingan di rumah.”

Temunggul menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Apaboleh buat. Tetapi aku akan segera membuat peraturan baru, sehingga tidak setiap pagi aku terkungkung disini.”

Panjang tidak menjawab. Tetapi ia tersenyum sambil menggeliat. Katanya, “Tetapi ingat, jangan kau katakan kepada orang lain. Sementara kita melihat perkembangan keadaan Bramanti. Mungkin ia memerlukan pertolongan.”

Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah.”

Sepeninggalan Panjang, Temunggul duduk seorang diri di tangga Pendapa Kademangan sambil bertopang dagu. Angan-angannya membumbung menggapai kedunia yang riuh. Bayangan yang bercampur baur saling melintas. Ratri, Bramanti, Panembahan Sekar Jagat, Ki Demang Candisari dan yang terakhir yang baru saja didengarnya adalah tentang Panggiring.

Temunggul mengerutkan keningnya. Dicobanya untuk memusatkan perhatiannya kepada anak muda ini. Ia pernah mengenalnya semasa kanak-kanak. Panggiring agak lebih tua daripadanya. Bukan seorang periang, tetapi bukan pula seorang anak yang nakal.

“Apakah anak itu pernah aku kenal jugalah yang menjadi seorang perampok yang ganas di pesisir Utara?” pertanyaan itu tumbuh di dalam hatinya.

Tetapi Temunggul itu tidak sempat berangan-angan terus. Sebuah derit pintu dibelakangnya telah mengejutkannya. Dan ketika ia berpaling, dilihatnya Ki Demang menjengukkan kepalanya.

Tiba-tiba sesuatu bergetar di dalam dada Temunggul. Ki Demang itu kini terasa sangat asing baginya. Dan bahkan disaat-saat terakhir orang ini seakan-akan sudah dilupakan. Kademangan Candisari seakan-akan sudah tidak mempunyai Demang lagi. Semuanya berjalan dengan sendirinya. yang memegang peranan di dalam pemerintahan sehari-hari adalah Ki Jagabaya, Bramanti, Ki Tambi dan dirinya sendiri.

Bulu-bulu tengkuk Temunggul meremang ketika ia mendengar Ki Demang itu tertawa pendek sambil bertanya, “Kau sendiri Temunggul?”

Sama sekali diluar sadarnya, apabila kemudian ia berdiri dan tangannya meraba hulu pedang dibawah kain panjang yang diselimutkan ditubuhnya karena dinginnya udara pagi.

“He? Apakah kau sendiri?”

Temunggul menganggukkan kepalanya, “Ya Ki Demang.”

Debar jantung Temunggul serasa semakin cepat berdenyut. Dengan tegangnya dipandanginya Ki Demang yang kemudian melangkahkan kakinya keluar dari pintu rumahnya.

“Duduklah, duduklah.”

Temunggul masih juga mematung.

“Kenapa kau diam saja? He, kenapa kau memandang aku seperti belum pernah melihatnya?”

Temunggul tergagap. Tetapi ia harus menjawab, “Bukan begitu Ki Demang. Tetapi aku menjadi heran, kenapa Ki Demang semakin tidak pernah kelihatan, justru keadaan Kademangan ini menjadi semakin hangat.”

Dan tengkuk Temunggul menjadi semakin meremang oleh suara tertawa Ki Demang yang menjadi semakin berkepanjangan.

Ketika Ki Demang maju mendekatinya, Temunggul surut selangkah.

“He, kenapa kau menjadi takut seperti melihat hantu?” bertanya Ki Demang. “Duduklah. Aku ingin berbicara dengan kau. Jangan takut. Aku tidak akan menyalahkanmu karena kau masih juga belum berhasil. Bramanti memang seorang yang luar biasa. Apalagi kau terlampau sulit untuk mendapatkan kesempatan berdua saja dengan anak muda itu.”

Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya Ki Demang.”

“Nah duduklah. Kau akan mendengar semuanya, kenapa aku menjadi semakin jauh dari orang-orang Kademangan Candisari yang kebetulan sekarang sedang berpengaruh.”

Temunggul mengerutkan keningnya.

“Kemarilah. Jangan cemas. Kau tidak termasuk di antaranya, apabila kau menempati janjimu.”

Temunggul tidak segera menjawab. Ia masih berdiri saja seakan-akan membeku ditempatnya.

“He, kenapa kau Temunggul? Kemarilah, duduklah. Kau tidak sedang berhadapan sesosok hantu.”

Temunggul menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ditatapnya wajah Ki Demang. Masih juga Ki Demang yang dahulu. Meskipun demikian ia tidak berhasil mengusir keasingan yang mencengkeramnya.

Namun tiba-tiba Temunggul menyadarinya. Sebagai pimpinan pengawal, maka ia tidak dapat melepaskan setiap perasaan yang aneh seperti yang kini sedang bergolak di dalam dadanya. Bahkan ia pernah berniat untuk mengetahui, apakah maksud Ki Demang yang sebenarnya dengan usuhanya untuk menyingkirkan Bramanti.

Karena itu, maka dimantapkannya niatnya. Ia harus menemukan jawaban, apakah sebenarnya maksud Ki Demang itu.

Perlahan-lahan Temunggul melangkah maju. Ketika ia berada di depan tangga, maka Ki Demang pun melangkah turun. Ditepuknya bahu anak muda itu sambil berkata, “Duduklah.”

Temunggul pun kemudian duduk di samping Ki Demang. Namun sekali-kali ia masih merasa aneh atas sikapnya. Sambil tersenyum-senyum Ki Demang itu pun kemudian berkata, “Aku tahu kesulitanmu Temunggul.”

Temunggul tidak menjawab. Tetapi kepalanya tertunduk.

“Tetapi itu bukan berarti bahwa kau harus membatalkan niatmu. Kau harus yakin, bahwa jika kau berhasil, seluruh Kademangan ini akan berterima kasih kepadamu.”

Temunggul masih belum menjawab.

“Temunggul,” berkata Ki Demang, “Tindakan yang akan kau lakukan itu memang tidak dibatasi oleh waktu. Kau harus mendapat kesempatan untuk melakukannya. Tetapi meskipun demikian tidak berarti bahwa hal itu dapat berlarut-larut berkepanjangan. Sadarilah, bahwa pada suatu saat Panembahan Sekar Jagat akan kehilangan kesabaran.”

Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Apakah kau dapat mengerti?”

Temunggul mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba saja ia bertanya, “Tetapi kepentinganku sama sekali tidak terbatas oleh waktu itu Ki Demang. Ratri tidak akan pergi dari Kademangan ini. Dengan demikian aku dapat menunggu kapan saja kesempatan itu akan datang.”

“Kau memang bodoh.”

“Aku tidak mau gagal. Kalau sekali aku gagal, maka leherku akan menjadi taruhan.”

Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Tetapi seperti yang sudah aku katakan. Persoalan itu bersangkut paut dengan matinya seorang kepercayaan Panembahan Sekar Jagat yang bernama Sapu Angin. Kau tahu. Semakin cepat Bramanti tersingkirkan akan menjadi semakin baik, “Ki Demang menelan ludahnya, lalu, “He, Temunggul. Apakah kau benar-benar dapat aku percaya?”

“Kenapa?”

“Bahwa kau benar-benar berani menyingkirkan Bramanti.”

“Ada atau tidak ada orang yang mempercayai aku, itu adalah persoalan pokok bagiku. Tanpa orang lain, aku akan melakukannya.”

“Bagus. Bagus. Aku memang lebih baik berterus terang kepadamu.”

Temunggul mengerutkan keningnya.

“Tetapi ingat. Setiap usaha mengkhianatinya, maka akan berhadapan dengan Panembahan Sekar Jagat.”

Temunggul masih tetap berdiam diri.

“Temunggul,” berkata Ki Demang itu perlahan-lahan hampir berbisik. Sekali-kali dipandanginya regol halaman kalau ada seorang yang memasukinya, “Aku akan berterus terang. Panembahan Sekar Jagat akan segera datang. Segera. Untuk meyakinkan bahwa kehadirannya di Kademangan ini tidak akan menemui rintangan yang berarti, maka Bramanti harus disingkirkan lebih dahulu dengan caramu itu. Lebih daripada itu, Panembahan Sekar Jagat akan sangat berterimakasih kepadamu, dan kau akan mendapat tempat yang baik sekali di Kademangan ini kelak. Sudah tentu Panembahan Sekar Jagat akan menyingkirkan orang-orang yang tidak disukainya. Ki Tambi, Panjang dan bahkan Ki Jagabaya.”

Dada Temunggul berguncang mendengar keterangan Ki Demang itu. Kini sedikit banyak ia telah dapat membayangkan, apakah niat Ki Demang yang sebenarnya. Agaknya orang ini telah berhubungan dengan Panembahan Sekar Jagat yang menuntut kematian Bramanti sebagai ganti Sapu Angin. Namun lebih daripada itu, Temunggul jadi semakin curiga, bahwa selama ini Ki Demang selalu menakut-nakuti dan menghalang-halangi usaha perlawanan terhadap Panembahan Sekar Jagat itu.

“Agaknya Ki Demang mamang mempunyai hubungan sejak lama dengan Panembahan Sekar Jagat.”

Namun Temunggul mencoba menahan gejolak di dalam dadanya, supaya tidak berkesan diwajahnya.

“Apakah kau sekarang menjadi jelas?” bertanya Ki Demang.

Temunggul menganggukkan kepalanya, “Ya Ki Demang.”

Dan Ki Demang itu berkata seterusnya, “Dan kau harus menyadari, bahwa tidak akan ada kekuatan yang dapat melawan Panembahan Sekar Jagat. Seandainya kau tidak berhasil sekalipun, Panembahan Sekar Jagat tidak akan mengurungkan niatnya. Bahkan kau sendiri akan dilibatkan pula dalam persoalan ini, karena terbukti kau ikut serta dalam pertempuran di halaman rumah Bramanti. Namun akulah yang berusaha dengan susah payah untuk menyisihkan kau. Selama ini kau adalah pembantuku yang paling baik.”

Temunggul masih saja mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Tetapi ingat pula akan waktu. Kalau kau mungkin melakukannya, lakukanlah hari ini.”

“Hari ini?” Temunggul terperanjat.

“Ya, hari ini. Carilah kesempatan. Kau dapat datang kerumahnya, atau dibendungan atau ditengah sawah atau dimana saja.”

“Kenapa hari ini?”

Ki Demang menarik nafas. Jawabnya, “Begitu pesannya.”

Dada Temunggul menjadi semakin terguncang-guncang. Namun untuk menyembunyikannya ia menjawab, “Baiklah. Aku akan berusaha. Mudah-mudahan usahaku berhasil.”

Ki Demang menepuk pundak Temunggul, “Tentu. Kau tentu berhasil. Aku percaya kepadamu.”

Temunggul mengangguk-angguk.

“Sayang, sebenarnya aku masih akan berbicara agak panjang. Tetapi itu, seorang pengawal telah datang. Bagiku lebih baik untuk sementara mengasingkan diri sampai pada saatnya aku akan bekerja bersama dengan orang-orang yang dapat mempergunakan otaknya.”

“Baiklah Ki Demang, aku pun akan segera minta diri setelah ada orang lain yang menggantikanku disini.”

“Hati-hatilah,” desis Ki Demang sambil berdiri dan melangkah menyeberangi pendapa, masuk ke pringgitan.

Temunggul kemudian berdiri termangu-mangu. Yang di dengarnya itu adalah sebuah berita yang sangat berharga baginya. Ia dapat memanfaatkannya dari dua segi. Melanjutkan pesan Ki Demang, dengan harapan-harapan yang dapat diberikan oleh Panembahan Sekar Jagat kepadanya, atau berdiri teguh di atas keyakinannya selama ini.

Wajah Ratri yang kadang-kadang membayang memang dapat mempengaruhinya. Tetapi tiba-tiba ia menggeram, “Bramanti harus segera mengetahui masalah ini.”

Ketika seorang lagi telah datang, maka Temunggul pun kemudian minta diri kepada kedua orang pengawal yang akan menggantikan tugasnya, berjaga-jaga di gardu Kademangan.

Di sepanjang jalan, Temunggul masih saja bergulat di dalam angan-angan. Tanpa disadarinya ia telah berdiri di pinggir desa. Namun ia tidak tahu, kemana ia akan pergi.

Sejenak, Temunggul berdiri saja termenung memandangi dedaunan yang hijau terhampar dihadapannya. Cahaya yang segar, bekejar-kejaran sambil berloncatan dengan riangnya.

Temunggul menarik nafas. Serasa segarnya udara pagi akan dihirupnya sepuas-puasnya.

Temunggul terkejut ketika ia mendengar sapa seorang gadis. Ketika ia berpaling, dilihatnya gadis yang menyapanya itu menjinjing sebuah bakul penuh dengan cucian yang akan dibawanya ke bendungan.

“Sepagi ini kau sudah berada disini Temunggul?”

“Ya, ya,” Temunggul tergagap.

“Apakah kau akan pergi ke bendungan?”

Temunggul ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia menjawab, “Tidak. Aku tidak bermaksud ke bendungan.”

“Kenapa?”

Pertanyaan itu telah membingungkan Temunggul. Namun kemudian ia menjawab, “Aku baru saja pulang dari Kademangan. Semalam aku berada disana. Aku ingin pulang dan beristirahat.”

Gadis itu mengerutkan keningnya. “Dimana rumahmu sekarang?”

Temunggul menjadi semakin bingung. Ia tahu gadis itu telah menyindirnya, karena jalan simpang yang menuju ke rumahnya telah lewat.

“Aku tahu,” sambung gadis itu. “Kau menunggu seseorang.”

Temunggul menggeleng, “Aku tidak menunggu siapapun.”

“Jalan ini adalah jalan ke rumahku. Di sebelah rumahku ada rumah yang paling kau kenal.”

“Ah,” segores sentuhan telah membekas dihatinya. Ia tahu bahwa rumah yang dimaksud adalah rumah Ratri. Gadis ini adalah gadis yang rumahnya tidak begitu jauh dari rumah Ratri. Gadis yang pernah di antarnya bersama Ratri dimalam hari, setelah pertunjukan di Kademangan selesai. Ketika kedua gadis ini bersama Ratri, hampir saja diterkam oleh kebuasan orang-orang Panembahan Sekar Jagat.

“Bukan begitu?” bertanya gadis itu sambil tersenyum.

“Tidak. Aku tidak menunggunya.”

Gadis itu tertawa. Dan dengan manjanya ia berkata. “Tetapi tanpa Ratri kau pasti akan mau mengantarkan aku.”

“Ah.”

“Aku berani bertaruh hitam kukuku.”

“Jangan mengganggu. Kalau kau memerlukan kawan, marilah aku kawani kau ke bendungan.”

“Tidak mau. Kecuali bersama Ratri.”

“Tidak ada bedanya bagiku, siapapun orang itu. Ratri, atau Sumi, atau Sari atau kau.”

Gadis itu memandang Temunggul dengan sorot matanya yang cerah. Namun ketika tatapan mata mereka bertemu, gadis itu memalingkan wajahnya.

Temunggul menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak pernah merasa tertarik oleh seorang gadis selain Ratri. Gadis ini pun tidak, meskipun ia telah lama mengenalnya, sepanjang perkenalannya dengan Ratri. Bahkan sejak mereka masih berlari-larian dengan telanjang di pematang sawah.

Tetapi tiba-tiba Temunggul menangkap sorot mata yang cerah itu dengan hati yang berdebar-debar.

Temunggul berpaling ketika ia mendengar gadis itu berkata, “Jalan inilah yang akan dilewatinya. Tunggulah disini.”

“Ah,” sekali lagi berdesah. “Aku tidak menunggunya.”

Gadis itu mencibirkan bibirnya sambil mengerling. Tiba-tiba ia melangkah sambil berkata, “Selamat pagi Temunggul.”

Temunggul memandangnya dengan tajam. Namun kemudian ia pun tersenyum. “Marilah, aku bawakan bakulmu.”

“Jangan.”

Tetapi gadis itu tidak mempertahankannya ketika Temunggul meraih bakul cuciannya.
Keduanya kemudian berjalan di sepanjang pematang menuju ke bendungan.

Hari pun ternyata memang masih terlampau pagi, sehingga belum ada seorang pun yang mendahului keduanya. Meskipun demikian keduanya hampir tidak berbicara apapun. Gadis itu langsung mencelupkan pakaian-pakaian kotor yang dibawanya ke dalam air. Terasa tubuhnya menggeramang karena air yang masih terlampau dingin.

“Kau tidak mandi?” bertanya gadis itu.

Temunggul menggeleng, “Tidak. Aku tidak membawa ganti pakaian.”

Gadis itu tersenyum. Wajahnya menjadi semburat merah.

“Aku akan menunggu Bramanti di sini,” tiba-tiba Temunggul berkata.

“He? Kenapa?” tiba-tiba gadis itu menjadi cemas. Ia pernah mendengar kabar bahwa keduanya pernah bertengkar, meskipun akhirnya mereka menjadi baik kembali.

“Tidak apa-apa. Aku mengharap ia tidak terlampau cepat datang, sebelum kau habis mandi.”

Sekali lagi wajah gadis itu menjadi semburat merah dan tertunduk dalam-dalam. Meskipun demikia ia masih sempat menyahut, “Temunggul. Ratri juga akan mandi nanti.”

Temunggul tidak menjawab. Tetapi ia melangkah ke atas pasir tepian menjauh. Sekilas terngiang kata-kata Ki Demang kepadanya. Tentang Bramanti, Panembahan Sekar Jagat dan tentang Ratri.

“Ratri berhak menentukan sikapnya,” katanya, “Agaknya ia tidak menanggapi perasaanku. Buat apa aku menjadi gila karenanya.”

Tetapi tiba-tiba teringat otaknya, bahaya yang mengancam Kademangannya seperti yang dikatakan oleh Ki Demang. Sehingga ia berdesis di dalam hatinya, “Aku harus segera bertemu dengan Bramanti.” Tetapi ketika terpandang olehnya gadis yang sedang mencuci sambil membenamkan dirinya di dalam air yang jernih itu, ia mengurungkan niatnya, “Biarlah aku menunggu Bramanti di sini. Hari masih cukup panjang.”

Dan Temunggul itu pun kemudian duduk berjuntai di atas sebuah batu sebesar kerbau.

Ketika matahari menjadi semakin tinggi, dan kawan-kawan gadis yang sedang mencuci itu berdatangan, Temunggul memutar dirinya, membelakangi bendungan. Dan bendungan itu kemudian sama sekali sudah tidak menarik lagi baginya.

Karena itu, tanpa memberitahukan kepada siapapun juga, Temunggul melangkah naik ke atas tebing yang landai, kemudian berjalan menyusur tanggul. Kepalanya sekali-kali tertunduk dan sekali-kali menengadah, oleh kepepatan isi dadanya.

Temunggul tertegun ketika ia melihat Suwela sedang sibuk memperbaiki pematang sawahnya. Perlahan-lahan ia mendekatinya sambil berkata, “Kenapa pematangmu?”

“Anak-anak nakal,” jawabnya, “Mereka mencuri belut disini, sehingga pematangku hampir putus.”

Temunggul menarik nafas dalam-dalam. Suwela adalah orang yang pertama-tama ditemuinya, kecuali gadis-gadis dan orang-orang yang tidak begitu dekat. Sedang Suwela adalah salah seorang dari para pengawal yang dipimpinnya.

Tiba-tiba saja Temunggul yang merasa dadanya terlampau pepat itu pun ingin mengurangi beban yang serasa memberatinya. Maka katanya berbisik, “He, aku mendengar sebuah berita yang menarik. Apakah kau mau mendengar?”

Suwela meletakkan cangkulnya. “Tentang?”

Temunggul menjadi agak bingung. Yang manakah yang akan dikatakan kepada Suwela untuk mengurangi beban perasaannya. Tentang hubungan Ki Demang dengan Panembahan Sekar Jagat? Tentang Bramanti dan Panggiring atau tentang gadis yang sudah lama dikenalnya, tetapi baru pagi ini ia melihat matanya yang lincah dan cerah.

“Tentang apa?”

Temunggul menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat menyimpan semuanya di dalam hati tanpa menumpahkannya kau harus berjanji bahwa kau tidak akan mengatakannya kepada siapapun.”

Suwela berpikir sejenak, kemudian, “Baiklah, aku berjanji.”

“Panggiring ada disini sekarang.”

“He? Panggiring kakak seibu Bramanti?”

“Ya. Dan Bramanti menjadi gelisah. Ia berusaha menolak kedatangan perampok yang ganas itu.”

“Tentu. Tentu Bramanti menolaknya.”

Sejenak mereka masih berbicara. Kening mereka berkerut merut. Dan pembicaraan mereka tampaknya menjadi bersunguh-sungguh.

“Tetapi ingat, jangan kau katakan kepada siapapun juga.”

Suwela menganggukkan kepalanya, “Tentu. Aku tidak akan mengatakannya kepada siapapun.”

Temunggul pun kemudian meninggalkan Suwela yang melanjutkan kerjanya, memperbaiki pematang sawahnya. Namun Suwela itu pun terhenti pula ketika ia melihat kawannya, seorang pengawal yang lain lewat di atas pematang yang sedang diperbaiki.

“Hus, seharusnya kau mencari jalan lain.”

“Kenapa?”

“Bukankah kau lihat bahwa pematangku sedang aku perbaiki? Kalau kau injak juga, maka bagian yang baru saja aku tambal itu akan longsor.”

“Dukung aku, supaya pematangmu tidak rusak.”

“Aku memang ingin melemparkan kau ke dalam parit itu.”

Kawan Suwela itu tersenyum. Tetapi ia berjalan turun. Ketika ia sampai ke bagian yang baru diperbaiki, ia pun turun ke dalam parit sambil bergumam, “Aku masih menaruh belas kasihan kepadamu. Biarlah kakiku menjadi agak kotor dan dingin.”

“Kalau kau tidak mau turun, aku seret kau.”

Kawannya tertawa. Tetapi tiba-tiba Suwela berbisik, “He berhentilah sebentar.”

Kawannya mengerutkan keningnya. Dan Suwela mendekatinya, “Kau mau mendengar? Tetapi janji, bahwa kau tidak akan mengatakannya kepada orang lain.”

“Apa?”

“Bramanti telah siap melawan Panggiring.”

“He,” pengawal itu pun terkejut.

“Ya. Mereka memang sudah saling mendendam. Dan agaknya mereka akan bertempur.”

“Darimana kau dengar?”

“Temunggul. Tetapi ingat jangan kau katakan kepada orang lain lagi. Nanti aku dicekiknya.”

Pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia masih bertanya beberapa hal. Dan Suwelapun telah mengarang sebuah ceritera yang paling menyeramkan tentang Panggiring dan Bramanti.

“Baiklah. Aku tidak akan mengatakannya kepada siapapun.”

Sepeninggalan kawannya, Suwela pun telah tenggelam lagi di dalam kerjanya. Namun sementara itu berita tentang Panggiring telah merambat ke setiap telinga. Setiap kata mereka berpesan, “Ingat, jangan kau katakan kepada orang lain,” Namun belum tengah hari hampir seisi Kademangan telah mendengar bahwa Panggiring telah berada di sekitar Kademangan itu.

Dalam pada itu Ki Tambi telah memerlukan datang ke rumah Nyai Pruwita untuk menyampaikan permintaan Panggiring yang terakhir. Bagaimanapun juga, ia masih ingin bertemu dengan ibu dan adiknya. Sebentar saja, untuk melepaskan kerinduan dari anak yang selama ini terasing untuk menyampaikan bakti dan salam kepada keluarganya yang lebih dari dua orang itu saja.

Tetapi sekali lagi Ki Tambi menjadi kecewa. Sekali lagi Nyai Pruwita harus menitikkan air mata.

Dengan bersungguh-sungguh Bramanti berkata, “Aku tidak cepat mempercayainya paman,” Bahkan kemudian terngiang kembali ditelinganya kecurigaan Panjang. “Apakah tidak mungkin bahwa Panggiring itu juga menyebut dirinya Panembahan Sekar Jagat?” Dan kata-kata itupun diulangnya dihadapan Ki Tambi dan ibunya.

“Tidak. Tidak mungkin,” bantah Ki Tambi dengan serta merta, “Aku bertemu dengan Panggiring di pesisir Utara, sedang Panembahan Sekar Jagat berada di daerah ini. “Panggiring bukan seorang anak yang dungu paman. Ia dapat berbuat lebih daripada itu. Ia dapat berada disepuluh tempat sekaligus meskipun hanya nama-namanya yang mungkin berbeda-beda.”

“Tidak. Aku yakin tidak. Ia tidak selicik itu. Meskipun ia seorang penjahat, tetapi ia adalah seorang lelaki jantan. Ia jantan sebagai seorang penjahat yang besar.”

Bramanti menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Tidak ada seorang penjahat yang dapat berlaku jujur. Ia mesti seorang yang tidak lagi dibatasi oleh adab yang manapun juga.”

“Sudahlah,” potong Nyai Pruwita di sela-sela tangisnya, “Jangan saling memaki. Biarlah anak-anakku masing-masing berada ditempatnya,” suara perempuan itu tenggelam di dalam isaknya yang mengeras, namun kemudian, “Ki Tambi sampaikan kepada Panggiring, bahwa kali ini aku jugalah yang menolak kehadirannya. Aku tidak dapat menerimanya.”

Ki Tambi menundukkan kepalanya. Tangis perempuan itu semakin mengeras, sehingga amben tempat duduknya itu pun terguncang-guncang. Sebelah tangannya memegangi dadanya, dan sebelah tangannya yang lain berpegangan pada bingkai amben bambunya, seakan-akan ia sedang mencari kekuatan untuk menahan kepahitan perasaannya.

Ki Tambi menarik nafas melihat perempuan itu menangis sampai terbungkuk-bungkuk ditempat duduknya.

Bramanti pun menjadi iba melihat ibunya menangis. Bahkan matanya pun menjadi basah, dan tenggorokannya serasa tersumbat.

Namun ia tidak dapat membiarkan Panggiring memasuki halaman rumahnya, bahkan memasuki Kademangan ini. Penjahat yang mengerikan itu dapat berbuat apa saja tanpa diduga-duga. Apabila tiba-tiba saja Ratri mengetahui kedatangannya dan menyongsongnya dalam kerinduan.

“Gila,” tiba-tiba Bramanti menggeram di dalam hatinya. “Ia harus segera pergi. Kalau perlu dengan kekerasan. Ia telah meninggalkan ibu dan ayah ada waktu itu. Bramanti mengerutkan keningnya, “Selama ini, selama ibu dalam kesulitan, ia tidak pernah memperhatikannya. Kini setelah semuanya menjadi baik, tiba-tiba saja ia datang dengan tuntutan-tuntutannya yang gila itu.”

“Aku tidak menyangka,” desis Ki Tambi perlahan hampir kepada dirinya sendiri.

Bramanti berpaling. Dipandanginya wajah orang tua yang suram itu. Namun wajah itu tiba-tiba menjadi merah seakan-akan membara. Dengan nada yang berat Ki Tambi berkata, “Bramanti, sayang. Selama ini aku telah mengagumimu. Kau aku anggap sebagai manusia yang terbaik didunia. Karena telah berhasil melepaskan dendam atas kematian ayahmu. Tetapi ternyata semua itu berhasil kau lakukan atas dasar nalar. Tetapi tidak dasar perasaanmu yang paling halus. Ternyata kau juga seorang pendendam, justru terhadap saudaramu sendiri. Sampai permintaannya yang begitu lembut dari dasar hati manusianya, sebagai seorang anak yang merasa berdosa itu pun kau tolak. Aku kecewa Bramanti. Kecewa sekali. Aku tidak menyangka bahwa ternyata kau berhati batu.”

Dada Bramanti berdesir mendengar tuduhan itu. Secercah warna merahpun membayang pulang di wajahnya. Bagaimana pun juga terasa kata-kata Ki Tambi itu menyengat telinganya, dan membekas dijantungnya.

Meskipun ia masih berusaha menahan hati, namun terloncat pula jawabannya, “Paman tergesa-gesa melontarkan kata-kata itu. Apakah paman yakin bahwa kakang Panggiring berkata sebenarnya? Apakah paman percaya sepenuhnya bahwa kakang Panggiring mengatakan penyesalannya itu dari lubuk hatinya, dari dasar hati manusianya? Bagaimanakah jadinya apabila pada suatu ketika kakang Panggiring itu sendiri telah menelan paman dan seluruh Kademangan ini? Aku tidak percaya. Kalau dengan demikian paman menuduh aku tidak berperikemanusiaan, terserahlah. Tetapi aku ingin berhati-hati.”

Ki Tambi mengatubkan giginya rapat-rapat. Tetapi ia pun segan bertengkar dengan Bramanti yang selama ini dikaguminya.

“Tidak ada gunanya kalian berbantah,” terdengar suara Nyai Pruwita yang tersendat-sendat. “Aku memang sudah mengambil keputusan, bahwa seandainya Panggiring meninggalkan Kademangan ini. Seandainya ia memaksa dan berkeras hati, akibatnya sama sekali tidak akan aku inginkan.”

Ki Tambi menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Baik Nyai. Aku akan mengatakannya. Aku bukan sanak dan bukan kadangnya. Apapun yang akan terjadi atas anak itu sama sekali bukan tanggung jawabku. Aku sudah menyampaikan pesan yang seharusnya aku sampaikan, dan aku sudah mendengar jawabannya.”

“Ki Tambi,” potong perempuan tua itu.

Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. Dengan lesu ia berdiri dan berkata hambar, “Aku minta diri. Nanti malam aku akan menyampaikan jawaban ini kepadanya.”

Ki Tambi tidak menunggu jawaban siapapun. Segera ia melangkah meninggalkan ruangan itu.

Sejenak ruangan yang ditinggalkan oleh Ki Tambi itu serasa membeku. Nyai Pruwita masih tetap ditempatnya dan Bramanti pun belum beranjak pula.

Dan tiba-tiba saja kebekuan itu telah dipecahkan oleh tangis Nyai Pruwita yang tidak dapat ditahankannya pula. Sekali lagi ia menangis sejadi-jadinya, sehingga tubuhnya terguncang-guncang.

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Perlahan-lahan ia melangkah mendekati ibunya dan kemudian berjongkok di hadapannya. Dengan nada yang dalam ia berkata, “Ibu, aku telah menyakiti hati ibu.”

Nyai Pruwita mengangkat wajahnya, tetapi air matanya masih tetap mengalir tanpa tertahankan lagi.

Tiba-tiba diraihnya kepala anaknya sambil berdesis, “Kau tidak bersalah Bramanti. Kau tidak bersalah.”

Bramanti tidak menjawab. Dibiarkannya ibunya memeluk kepalanya dan dibiarkannya rambutnya dibasahi dengan air mata.

Meskipun tidak terucapkan namun perempuan tua itu melanjutkannya di dalam hati. “Akulah yang bersalah di masa muda itu. Akulah yang bersalah, sehingga terentang jurang yang dalam di antara kedua anak-anakku.”

Dan kata-kata itu selalu diulang-ulang. Selalu terucapkan didalam hatinya. Sehingga dengan demikian maka hati itupun terasa menjadi semakin pedih.

Ketika kemudian tangis perempuan itu mereda, dilepaskannya kepala anaknya. Perlahan-lahan perempuan itu berdiri. Alangkah hausnya. Serasa sudah berhari-hari ia tidak menenguk air.

Setelah menengguk air dari dalam kendi yang terletak digeledek kayu, maka perempuan itu pun berkata, “Aku akan menanak nasi, Bramanti.”

Bramanti mengangguk kaku. Jawabnya, “Sebaiknya ibu beristirahat meskipun hanya sejenak, untuk menentramkan perasaan ibu.”

“Aku tidak apa-apa.”

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Dengan lesu ia menyeret kakinya keluar dari rumahnya, melintasi pendapa dan turun ke halaman. Dipandanginya kehijauan dedaunan yang selama ini dipeliharanya baik-baik. Pohon sawo yang sedang berbuah. Beberapa potong bambu anyaman dibawah pohon sawo itu. Kandang yang telah diberinya berdinding. Pagar batu, regol yang telah rapat dan atap rumahnya yang tidak berbahaya lagi. Keseluruhan rumahnya telah menjadi utuh lagi, meskipun belum berisi seperti masa hidup ayahnya.

Tiba-tiba ia menggelengkan kepalanya. Terbayang dikepalanya tangan-tangan yang halus sedang membersihkan regol rumahnya. Tangan Ratri. Tetapi apakah Ratri telah melakukan untuknya? Tidak untuk Panggiring.

Bramanti menggeram di dalam hatinya. “Tidak. Panggiring tidak akan pernah menyentuh halaman, regol dan apalagi rumah ini. Aku tidak akan memberikannya walaupun secuil tanah disudut yang paling jauh.”

Bramanti terperanjat ketika ia mendengar pintu regol itu bergerit. Ketika ia berpaling, dilihatnya sesosok tubuh menyelinap masuk. Temunggul.

“O, kau,” sapa Bramanti.

Temunggul menganggukkan kepalanya. Dengan ragu-ragu ia melangkah masuk, “Tidak ada seorang pun yang datang kemari?” bertanya Temunggul.

“Baru saja paman Tambi datang kemari.”

“O,” Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya. “Apakah ada sesuatu yang penting?”

Bramanti menggelengkan kepalanya, “Tidak. Tidak ada sesuatu apapun. Paman Tambi hanya singgah sebentar.”

Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas terngiang pesan Ki Demang untuk membunuh anak muda itu. Dimana saja ada kesempatan. Di rumah, di sawah atau di manapun. Dengan demikian ia akan memiliki Ratri dan kesempatan yang baik.

“Tetapi Ratri acuh tak acuh kepadaku. Buat apa aku melakukan kegilaan itu apabila kelak justru Ratri akan mengutukku?”

“Marilah,” ajak Bramanti. Dan Temunggul yang bimbang itu tergagap.

Bramanti kemudian mengajak Temunggul duduk di bawah pohon sawo yang sedang berbuah, seperti kebiasaan mereka, apabila mereka tidak duduk di dalam kandang.

“Darimana kau Temunggul?” bertanya Bramanti.

Temunggul mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Itu tidak penting, Bramanti.”

“Apakah kau membawa berita atau pesan atau ada yang lebih penting?”

Temunggul masih saja dicekam oleh keragu-raguan. Apakah bijaksana untuk mengatakan keseluruhannya dibumbui oleh prasangka yang belum dapat dibuktikannya atas Ki Demang.

“Kau tampak ragu-ragu,” tebak Bramanti.

“Ya, aku ragu-ragu,” jawab Temunggul. Namun kemudian ia mengambil keputusan untuk mengatakan sebagian saja dari apa yang menggelepar di dalam dadanya. Kalau ia mengatakan seluruhnya tentang Ki Demang ia khawatir apabila Bramanti segera bertindak. Dengan demikian maka ia tidak akan dapat melihat peran apakah yang sebenarnya dilakukan oleh Ki Demang.

Karena itu, maka Temunggul pun kemudian berkata, “Bramanti, aku mendengar keterangan, bahwa Panembahan Sekar Jagat sudah merasa perlu untuk bertindak.”

Bramanti mengerutkan keningnya. Dengan bersungguh-sungguh ia bertanya, “Dari siapa kau tahu?”

“Seseorang telah mengatakan kepadaku bahwa sehari dua hari ini, mereka akan datang. Terutama mereka ingin melepaskan sakit hati atas kekalahan Sapu Angin dan bahkan orang itu telah terbunuh pula.”

“Apakah kabar itu dapat dipercaya?”

“Aku menganggap bahwa kita harus meningkatkan kewaspadaan.”

“Ya, tetapi dari siapa kau mendengar?”

“Dari Ki Demang?.”

“Darimana ia tahu.”

Itulah yang ingin aku ketahui. Tetapi biarlah kita tidak menghiraukannya. Mungkin yang dikatakan itu mengandung kebenaran, meskipun maksudnya bukan suatu pemberitahuan untuk bersiap menyambut kedatangan mereka.”

Bramanti semakin tidak mengerti. Karena itu ia bertanya pula, “Apakah sebenarnya yang dikatakan oleh Ki Demang?”

“Aku memang sedang mencari. Tetapi tentang Panembahan Sekar Jagat itu agaknya dapat kita percaya. Selebihnya aku belum dapat mengatakan sekarang. Meskipun aku sedang menduga bahwa perbuatan Ki Demang kurang menguntungkan. Mungkin ia dicengkam oleh ketakutan bahwa Kademangan ini benar-benar akan hancur atau kecemasan yang lain, sesuai dengan kepentingan pribadinya.”

“Supaya ia tetap menjadi seorang Demang, maksudmu?”

“Ya.”

“Bukankah tidak ada orang lain yang membayangkan jabatan itu sekarang?”

Temunggul menganggukkan kepalanya. Tetapi ia menjawab, “Meskipun demikian, ia harus berhati-hati.”

Bramanti mengangguk pula. “Tetapi apakah sebenarnya maksudnya dengan keterangannya itu?”

Temunggul menarik nafas. Ia harus menahan dulu untuk menyimpan sebagian dari persoalan yang masih akan dibuktikannya itu. Maka jawabnya, “Aku masih kabur menangkap sikap Ki Demang, Bramanti. Tetapi yang penting bagi kita, Panembahan Sekar Jagat dapat datang setiap saat.”

“Sudah tentu kita harus semakin berhati-hati.”

Dan tiba-tiba saja Temunggul berkata, “Dan justru pada saat Panggiring ada di Kademangan ini.”

“He,” Bramanti terkejut, “Darimana kau tahu?”

Temunggul pun terkejut pula. Tanpa disengaja kata-kata itu terloncat dari mulutnya, sehingga karena itu, sejenak ia terdiam. Namun dadanya telah berdebaran. Terngiang pesan Panjang kepadanya, “Jangan kau katakan kepada orang lain. Kau janji?” Dan ia sudah berjanji.

“Darimana kau dengar bahwa kakang Panggiring telah berada disini?”

Temunggul tidak dapat ingkar lagi. Jawabnya, “Tetapi bukan salah Panjang, Bramanti. Aku memang melihat kegelisahan padamu dalam saat-saat terakhir ini. Aku sudah mencoba bertanya kepada Ki Tambi, tetapi ia tidak dapat memberikan jawaban. Bahkan Ki Tambi sendiripun tampaknya seperti orang bingung,” Temunggul berhenti sejenak lalu, “Kemudian aku berusaha mendesak Panjang untuk bertanya kepadamu tentang hal itu. Mula-mula ia berkeberatan, tetapi karena aku selalu mendesaknya akhirnya ia mengatakannya. Agaknya kau digelisahkan oleh kehadiran Panggiring di Kademangan ini.”

Bramanti mendengar keterangan itu dengan hati berdebar-debar. Kepalanya tertunduk, namun nafasnya serasa menjadi semakin cepat mengalir.

“Ya,” desisnya kemudian. “Kakang Panggiring memang telah berada di Kademangan ini.”

“Nah, apakah kau tidak mencoba menghubungkan kehadirannya dengan keterangan tentang Panembahan Sekar Jagat itu?”

Bramanti tidak segera menjawab. Tetapi kegelisahan padanya serasa menjadi semakin memuncak. Dicobanya untuk menarik kesimpulan seperti yang dilakukan oleh Temunggul. Tetapi untuk mengurangi getar di dadanya sendiri ia beratnya di dalam hati, “Tidak. Bukan Panggiring.”

Namun ia tidak dapat ingkar. Kecemasan di dalam dadanya serasa menggelepar semakin tajam.
“Tetapi apabila demikian,” katanya di dalam hati. “Langkah pahitnya. Apakah aku benar-benar harus bertempur melawan kakang Panggiring? Seandainya aku tidak menaruh keberatan apapun, namun bagaimana dengan ibu? Bagaimana pun juga kakang Panggiring adalah anaknya. Kebinasaannya pasti akan meruntuhkan kepedihan yang tidak ada taranya. Meskipun kakang Panggiring tidak pernah berbakti sebagai seorang anak, namun ibu tidak akan dapat memutuskan ikatan yang ada di antara mereka.”

Dengan demikian maka sejenak kemudian keduanya terdiam. Tetapi tampak guratan-guratan yang dalam di kening mereka. Berbagai gambaran telah membayang di dalam angan-angan.

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Terdengar ia berdesis lambat, “Memang hal itu mungkin terjadi.”

“Ya,” sahut Temunggul, “Kematian Sapu Angin telah menurunkan keberanian Panembahan Sekar Jagat serta anak buah. Kemudian Panggiring mencoba menempuh jalan lain. Sebagai seorang kakak ia akan menyusup di antara kita. Terutama di rumahmu.”

Bramanti mengerutkan keningnya. Katanya di dalam hati, “Kalau ia sampai hati berbuat demikian, apakah salahnya kalau aku tidak selalu dibayangi oleh keragu-raguan tentang dia.”

“Sudahlah Bramanti,” berkata Temunggul kemudian, “Aku hanya ingin memperingatkan kau supaya kau semakin hati-hati. Agaknya kaulah sasaran utama bagi Panembahan Sekar Jagat, karena kau telah membunuh Sapu Angin. Kemudian orang kedua adalah Ki Tambi yang telah membakar hati anak-anak muda Kademangan ini untuk melawan Panembahan Sekar Jagat.”

“Terima kasih Temunggul,” berkata Bramanti kemudian, “Aku akan sangat memperhatikan peringatanmu.”

“Mudah-mudahan kita dapat mengatasi setiap kesulitan. Panjagaan atas segala sudut Kademangan akan aku perkuat. Aku akan menganjurkan agar anak-anak muda yang meskipun tidak sedang bertugas dan tidak mempunyai keperluan lain, selalu berada di tempat-tempat yang dapat dihubungi. Di halaman Kademangan atau di gardu-gardu perondan. Mereka dapat tidur disana. Tetapi apabila sesuatu terjadi, tidak terlalu lama untuk mengumpulkan mereka.”

“Rencana yang bagus Temunggul. Kalau gardu-gardu tidak menampung, mereka dapat memilih rumah-rumah yang memungkinkan.”

“Ya. Aku masih mempunyai waktu setengah hari.”

“Lakukanlah.”

Temunggul pun kemudian minta diri. Setiap kali ia bertemu dengan anak-anak muda, apalagi para pengawal maka dianjurkannya anak-anak muda itu berkumpul dimanapun dimalam hari apabila mereka tidak sedang mempunyai keperluan pribadi yang mendesak.

“Untuk keselamatan kalian masing-masing dan untuk keselamatan Kademangan ini,” berkata Temunggul.

“Apakah keadaan menjadi semakin gawat?” bertanya seorang anak muda.

“Ya,” jawab Temunggul.

“Yang manakah yang menyebabkannya? Panembahan Sekar Jagat atau kehadiran Panggiring?”

“He,” Temunggul mengerutkan keningnya, “Apakah kau telah mendengar bahwa Panggiring ada di Kademangan ini?”

“Ya. Aku mendengar. Apakah kau belum? Tetapi ingat, jangan mengatakan kepada siapapun.”

Temunggul tertawa kecil sambil mengumpat-umpat di dalam hati. Pesan itu ternyata sama sekali tidak ada artinya, “Jangan mengatakannya kepada orang lain. Janji.”

Karena Temunggul tidak segera menjawab, maka orang itu pun mendesaknya, “Janji yang mana?”

“Kedua-duanya,” jawab Temunggul, “Kedua-duanya harus mendapat perhatian.”

Anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia bertanya, “Bagaimana kalau keduanya berbareng menyerang Kademangan ini?”

Temunggul mengerutkan keningnya. Ia melihat kecemasan membayang di wajah anak muda itu. Agaknya kecemasan itu adalah kecemasan yang memang sedang menghinggapi Kademangan ini.

“Jangan takut,” jawab Temunggul. “Keduanya tidak sepaham karena keduanya agaknya sedang bersaing. Kau bahkan tidak ada dua. Keduanya adalah satu.”

Anak muda itu mengerutkan keningnya. Ia menjadi bingung. Namun sejenak kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Nah, katakan kepada kawan-kawanmu. Nanti malam sebaiknya kalian berkumpul. Kalau terjadi sesuatu, kalian tidak berdiri sendiri. Betapapun lemahnya seseorang, tetapi bersama-sama dengan beberapa orang kawan akan menjadi jauh lebih baik daripada seorang diri. Dan dalam keadaan tergesa-gesa, kalian akan segera dapat menempatkan diri kawan di dalam kelompok-kelompok yang telah ditentukan.”

Anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baik. Baik.”

Dan seperti menjalarnya ceritera tentang kedatangan Panggiring, maka pesan Temunggul itu pun segera memenuhi Kademangan. Hampir setiap anak muda mendengarnya. Dan hampir setiap anak muda membenarkannya. Namun bersama dengan merayapnya pesan itu ke seluruh telinga, maka merayap pulalah perasaan cemas ke setiap dada anak-anak muda dan bahkan orang-orang tua, laki-laki dan perempuan.

Namun berita itu telah menyentuh hati seorang gadis yang memang sudah lama menunggu berita itu. Ratri.

Dengan dada yang berdebar-debar, ia mendengar kawannya bertanya kepadanya, “Kau dengar bahwa Panggiring telah datang?”

“He, Panggiring telah datang?”

“Ya.”

“O, begitu cepatnya.”

“Apa yang cepat?”

Ratri tergagap. Tetapi kemudian ia menjawab, “Berita itu. Tetapi dari siapa kau mendengar?”

‘’Setiap mulut sudah mempercakapkannya’’.

“Apakah sudah ada yang melihatnya?”

“Ia datang seperti hantu. Tetapi Bramanti tidak takut.”

“Kenapa takut? Bukankah mereka kakak beradik.”

“Tetapi Bramanti tidak senang menerima kedatangan seorang perampok yang ganas dirumahnya. Itu akan sangat berbahaya bagi dirinya dan bagi Kademangan ini. Mungkin Panggiring ingin merampok setiap rumah seperti yang dilakukan oleh Panembahan Sekar Jagat.”

Sepercik kekecewaan membayang di wajah Ratri. Dengan suara yang dalam ia bertanya, “Jadi bagaimana dengan Panggiring sekarang?”

“Ia harus pergi. Bramanti dan seluruh Kademangan ini tidak akan menerimanya.”

“Mustahil,” sahut Ratri, “Meskipun barangkali setiap orang Kademangan ini membencinya, tetapi Bramanti pasti akan menerimanya. Bukankah Panggiring itu kakaknya.

“Kakak seibu, tetapi tidak seayah.”

“Apakah salahnya? Mereka dilahirkan oleh seorang perempuan yang sama.”

Kawannya menjadi heran, “Kenapa kau begitu menaruh perhatian kepadanya?”

“O,” Ratri tergagap pula, “Tidak. Aku sama sekali tidak menaruh perhatian apapun.”

Namun ketika kawannya itu pergi meninggalkannya, maka mulailah Ratri tenggelam di dalam angan-angannya. Serasa masih baru kemarin saja terjadi.

Ratri menarik nafas dalam-dalam. Terbayang kembali masa kanak-kanaknya yang manis. Terbayang di dalam ingatannya, seorang anak muda yang masih sangat remaja, yang sering dijumpainya duduk seorang diri dibawah bendungan. Wajahnya kelihatan pucat, tetapi ia sangat baik dan ramah.

“Kenapa kau selalu menyendiri?” bertanya Ratri.

Panggiring menarik nafas dalam-dalam. Dipaksanya bibirnya tersenyum sambil menjawab, “Tidak apa-apa,” lalu, “Hei kenapa kau kemari seorang diri? Tebing itu licin. Kau dapat tergelincir.”

“Ibu dan ayah berada di sawah, disebelah tanggul itu.”

Panggiring mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Tetapi jangan disini seorang diri. Mari, aku antar kau naik.”

Panggiring kemudian menggandengnya dan membawanya naik. Kemudian kembali Panggiring turun dan duduk seorang diri di atas sebuah batu.

Ratri menarik nafas dalam-dalam. Saat itu ia masih seorang kanak-kanak. Tetapi ia sangat tertarik kepada seorang yang bernama Panggiring. Meskipun ia seorang pendiam, tetapi terasa hatinya yang halus dan lembut.

“Panggiring bersikap manis pula terhadap Bramanti sejak kanak-kanak,” katanya di dalam hati. Sekilas terbayang anak itu mendukung adiknya berjalan di pematang. Mencarikan permainan apa saja yang diinginkannya.

“O,” desisnya. “Bramanti harus ingat hal itu. Kenapa ia menolaknya? Panggiring menangis kalau adiknya menangis, dan Panggiring tertawa kalau Bramanti tertawa.”

Ratri mengerutkan keningnya. Ia masih ingat jelas bagaimana Panggiring berkelahi dengan anak yang lebih besar daripadanya, karena anak itu telah memukul Bramanti.

“Luar biasa,” desis Ratri. Tiba-tiba ia tersenyum. Meskipun Panggiring lebih kecil dari lawannya, dan meskipun Panggiring kemudian berlumuran darah yang keluar dari mulutnya, namun ia berhasil mengusir anak itu.

Ratri menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia mengeluh, “Memang sayang, Panggiring tidak sepantasnya menjadi seorang penjahat. Ia sama sekali tidak jahat.”

Tetapi Ratri tidak dapat melupakan kenangan dimasa kanak-kanaknya, meskipun hal itu sudah lama sekali lampau.

Sementara itu, anak-anak muda Kademangan Candi Sari menjadi sibuk, berkeliaran kian kemari. Mereka saling memberitahukan pesan Temunggul, agar mereka menjadi semakin berhati-hati. Keadaan serasa menjadi semakin panas. Kemungkinan-kemungkinan yang tidak mereka harapkan akan dapat terjadi setiap saat.

Tidak saja anak-anak muda, tetapi hampir semua laki-laki telah menjadi siaga. Mereka meletakkan senjata-senjata mereka dekat dengan pembaringan. Setiap saat mereka akan dapat meraih dan segera mempergunakan senjata-senjata itu.

Yang dibakar oleh kegelisahan yang hampir tidak tertahankan adalah Ki Demang. Matahari sudah menjadi semakin jauh ke Barat, namun Temunggul masih belum menemuinya dan mengatakan bahwa Bramanti telah dibunuhnya.

“Apakah anak itu tidak berhasil?” desisnya, “Jika demikian maka Panembahan Sekar Jagat akan mengambil cara yang disukainya. Menghancurkan Kademangan ini apabila Bramanti masih tetap melawan dan apalagi apabila di dalam pertempuran itu jatuh korban. Kematian Sapu Angin telah merupakan perlawanan yang tidak dapat dimaafkannya lagi.”

“Apa boleh buat,” Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. “Tetapi dengan demikian pekerjaanku menjadi semakin berat. Aku harus membangun kembali Kademangan ini.”

Dalam kegelisahan setiap kali Ki Demang selalu menjenguk langit yang semakin suram. Warna merahpun kemudian membayang di ujung pepohonan. Satu-satu burung blekok beterbangan kembali kesarangnya.

“Gila,” desis Ki Demang itu, “Temunggul tidak mampu melakukan pekerjaannya, atau....” Ki Demang berhenti sejenak. “Atau anak itu akan berkhianat?”

Ki Demang menjadi semakin gelisah karenanya. Semakin rendah matahari yang menggantung di udara, semakin suram cahaya langit, maka hati Ki Demang menjadi semakin berdebar-debar.

Setiap kali ia mengintip ke halaman, dan setiap kali ia melihat anak-anak muda yang berjalan hilir mudik, hatinya serasa menjadi semakin kecut. Agaknya ia benar-benar telah semakin jauh dari mereka. Ki Demang itu telah menjadi semakin jauh dari lingkungannya.

Dalam kesibukan yang memuncak di Kademangan Candisari, Ki Demang merasa terlampau terasing. Terlampau sendiri. Dan bahkan kesibukan di halaman rumahnya itu serasa telah menyengat-nyengat perasaannya.

“Apakah Temunggul benar-benar berkhianat?” Ki Demang menjadi semakin cemas. Kesiagaan di halaman rumahnya membuatnya seperti berdiri di atas bara. “Mereka akan menangkap aku. Setan, Temunggul benar-benar berkhianat. Ia sama sekali tidak membunuh Bramanti. Tetapi agaknya ia bahkan telah bersepakat dengan Bramanti.”

Ki Demang mengumpat-umpat tidak habis-habisnya, “Mungkin mereka telah bersetuju untuk membagi kepentingan masing-masing. Yang seorang akan menjadi seorang Demang setelah aku mereka singkirkan dan yang seorang akan mendapatkan Ratri. Gila, anak-anak sekarang memang sudah menjadi gila.”

Dan dalam kegelisahannya, Ki Demang pun membenahi pakaiannya. Kemudian menyandang sebilah pedang dilambung dan kerisnya di punggung.

“Aku tidak akan dapat tinggal diam. Ternyata tidak seorang pun lagi yang dapat aku percaya di Kademangan ini. Terpaksa aku mengorbankan segala-galanya.”

Ki Demang pun kemudian menutup semua pintu. Tidak seorang pun lagi yang tinggal di dalam rumah itu. Keluarganya benar-benar telah diungsikannya. Dan di Kademangan itu sendiri kemudian dengan hati-hati keluar dari pintu belakang. Melintasi kebun dan keluar dari regol butulan yang hampir tidak pernah dibuka.

Dengan tergesa-gesa Ki Demang menyusur jalan padukuhannya yang sudah mulai gelap. Tanpa berpaling ia meninggalkan rumah dan halamannya, bahkan lingkungannya. Namun dengan harapan, bahwa ia akan kembali dan membangun Kademangannya yang sudah tidak menghiraukannya lagi itu menjadi sebuah Kademangan yang baru.

Tidak seorang pun yang mengetahui dan memperhatikan bahwa rumah Ki Demang itu sebenarnya telah kosong sama sekali. Mereka yang ada di halaman masih melihat sinar lampu minyak yang meloncat dari celah-celah genting dan lubang-lubang dinding, sehingga mereka menyangka, bahwa Ki Demang masih berada di dalam rumahnya dan tidak menampakkan dirinya seperti biasanya.

Demikianlah kesibukan di halaman rumah Ki Demang itu menjadi semakin meningkat. Sebentar kemudian ternyata bahwa Temunggul dan Bramanti telah hadir pula di halaman itu. Mereka segera memberikan beberapa petunjuk kepada para pengawal yang sedang bertugas untuk menghubungi gardu-gardu yang tersebar di seluruh Kademangan Candisari. Mereka harus menyiapkan alat-alat yang dapat dipergunakan untuk memberikan tanda-tanda. Kentongan, panah api atau panah sendaren atau apapun yang dapat menyalurkan tanda-tanda dengan cepat. Bahkan Temunggul telah meminjam beberapa ekor kuda yang disediakan ditempat-tempat yang penting.

“Aku selalu merasa cemas,” desis Temunggul. “Seakan-akan sesuatu memang akan terjadi.”

Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Tidak ada salahnya untuk berhati-hati. Seandainya tidak terjadi sesuatu pun, kita tidak boleh lengah untuk saat-saat mendatang.”

Temunggul menganggukkan kepalanya. Namun ia merasa bangga juga melihat kesiapan anak-anak muda Candisari. Bukan saja para pengawal, tetapi yang belum dapat diterima menjadi pengawal pun telah menunjukkan kesiagaan mereka, berbuat sesuatu untuk Kademangan ini. Bahkan di halaman itu pun terdapat sekelompok orang-orang yang sudah lebih tua, berbicara satu dengan yang lain dalam satu lingkaran bersama Ki Jagabaya.

Bukan saja di halaman Kademangan, tetapi disetiap gardu pun anak-anak muda Candisari telah berkumpul dalam kelompok-kelompok. Bukan saja mereka yang bertugas, tetapi anak-anak muda disekitar gardu itu telah berkumpul memenuhi pesan Temunggul.

“Bagaimana kami akan dapat tidur disini?” bertanya salah seorang dari mereka kepada kawannya.

“Apakah kau sekadar akan pindah tidur saja?”

“Bukankah menurut Temunggul, yang tidak sedang bertugas dapat tidur saja seenaknya? Kedatangan kami semata-mata hanya sekadar untuk mempercepat hubungan apabila terjadi sesuatu. Kalau tidak terjadi sesuatu, kami memang hanya sekadar pindah tidur.”

“Tidurlah di atap atau dimana saja kau suka,” sahut yang lain.

Anak muda itu mengerutkan keningnya. Namun ia berkata, “Kami tidak perlu berjejal-jejal berada di dalam gardu. Kami dapat meminjam tempat untuk kepentingan ini,” ia berhenti sebentar, lalu, “He, apakah kita dapat meminjam rumah sebelah.”

“Cobalah.”

Anak muda itu mengerutkan keningnya. Kemudian, “Baiklah, aku akan menemui pemiliknya. Kalau diperkenankan, maka sebagian dari kita akan dapat tidur di pendapa rumah itu. Kalau kalian memerlukan kami, kalian dapat dengan cepat menghubungi dan membangunkan kami yang berada disana. Begitu?”

“Terserah kepadamu.”

Anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian didatanginya penghuni rumah sebelah untuk meminjam pendapa rumahnya.

“Silakan, silakan. Dengan senang hati kami persilakan.”

Anak muda itu tersenyum. Kemudian dibawanya sebagian dari kawan-kawannya untuk naik ke pendapa. Beberapa helai tikar telah dibentangkan. Dan beberapa saat kemudian pendapa itu telah menjadi sepi. Anak-anak muda itu telah terbaring dan sebagian besar dari mereka pun segera tertidur.

“Bukan main,” gumam kawan-kawannya yang masih berada di gardu, “Sebagian terbesar dari mereka sudah tidur.”

“Baik. Mereka akan menghemat tenaga mereka, yang apabila perlu setiap saat akan kita pergunakan.”

Demikianlah, maka di gardu-gardu yang lainpun, sekelompok anak-anak muda telah berkerumun. Rasa-rasanya malam itu memang lain dari malam-malam sebelumnya. Meskipun hampir setiap malam mereka selalu diganggu oleh kecemasan, namun malam itu serasa menjadi lebih hangat.

Meskipun sebagian dari anak-anak muda itu tertidur, namun ada juga di antara mereka yang sibuk bermain-main. Macanan, bas-basan dan permainan-permainan yang lain. Bahkan ada juga di antara mereka yang berteka-teki dan ada juga yang sibuk berbantah tentang sesuatu yang sama-sama tidak mereka mengerti.

Demikianlah malam semakin lama menjadi semakin larut.

Dalam keremangan malam itu, sesosok tubuh yang berkerudung dalam-dalam, hampir menutup seluruh wajahnya, tertatih-tatih keluar dari rumahnya. dengan kaki gemetar dan dada berdebaran ia berjalan tersorok-sorok di sepanjang jalan padukuhan. Sekali-kali ia berhenti, menarik nafas dalam-dalam.

Kadang-kadang dengan kedua tangannya bertelekan pinggangnya ia mencoba untuk menggeliat. Dan sesaat kemudian dilanjutkannya langkahnya.

Dengan hati-hati ia memilih jalan yang jarang-jarang dilalui oleh para penjaga. Jalan-jalan sempit dan jalan-jalan memintas. Dihindarinya gardu-gardu peronda dan tikungan-tikungan yang mungkin diawasi.

Meskipun nafasnya seakan-akan berkejaran dilubang hidungnya, namun ia berjalan juga didalam gelapnya malam.

Orang itu menghirup udara malam yang segar ketika ia telah berada diluar padukuhan. Kini langkahnya satu-satu menyusur pematang yang terbujur disisi sebuah parit.

Ketika ia sampai ketempat yang ditujunya, ia menarik nafas sekali lagi. Belum ada seorangpun ditempat itu. Karena itu, maka ia pun segera mencari tempat untuk menyembunyikan dirinya, berjongkok di dalam rimbunnya daun padi yang mulai subur.

Nyamuk yang menggigit bagian-bagian tubuhnya tidak dihiraukannya. Bahkan dinginnya air yang tergenang dibawah kakinya pun sama sekali tidak terasa. Hatinya telah terampas oleh ketegangan yang mencekamnya selama ini.

Orang itu semakin meringkas dirinya ketika ia melihat seseorang berjalan kearahnya. Perlahan-lahan dan kemudian berhenti beberapa langkah dari padanya.

Orang yang bersembunyi itu menarik nafas dalam-dalam. Orang yang datang itu memang orang yang diharapkannya. Ki Tambi. Namun dengan demikian ia masih harus menunggu sejenak.

Alangkah tersiksanya ia menunggu sambil berendam di dalam air. Namun ia sudah bertekad untuk menunggu. Karena itu, maka ia masih tetap pula berada di tempatnya.

Akhirnya yang ditunggunya itu pun datang pula. Sesosok tubuh yang hampir tidak dikenalnya sama sekali. Panggiring.

“Kau Panggiring?” terdengar suara Ki Tambi yang menyongsongnya.

“Ya paman. Aku datang memenuhi janjiku kemarin. Aku ingin mendengar apakah aku diijinkan untuk datang, meskipun hanya sekejap.”

“Duduklah,” desis Ki Tambi. Ia menjadi bingung, bagaimanapun ia harus menyampaikan kepada anak muda itu. Permintaannya yang paling sederhana tetapi merupakan ungkapan perasaan yang paling dalam itu pun tidak dikabulkannya.

“Terima kasih paman,” jawab Panggiring. “Tetapi agaknya aku tidak akan terlalu lama disini.”

“Kenapa?”

Panggiring mengangkat wajahnya.

“Apakah kau mendengar sesuatu?”

Bagaimana pun juga, telinga Panggiring adalah telinga yang memiliki ketajaman yang luar biasa. Tanpa dikehendaki sendiri, ia masih juga mendengar desah nafas seseorang disekitarnya, meskipun ia belum melihat orang itu. Namun beberapa saat kemudian, ia segera dapat mengetahui, dimana orang itu bersembunyi.

“Katakan, apakah kau mendengar atau melihat sesuatu?”

“Kalau begitu duduklah.”

Panggiring pun kemudian duduk pula di sampingnya. Dicobanya untuk mengendapkan perasaannya, agar ia dapat menyampaikan jawab keluarga Panggiring itu dengan baik.

“Bagaimana paman, apakah paman sudah sempat menemui ibu dan Bramanti?”

Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak segera dapat menjawab.

Namun ternyata tanggapan perasaan Panggiring terlampau tajam sehingga sebelum Ki Tambi menjawab, sudah terasa dihati anak muda itu. Seolah-olah ia dapat membaca wajah Ki Tambi yang bimbang.

Maka sejenak kemudian terdengar suara Panggiring di antara tarikan nafasnya, “Agaknya paman segan menyampaikan jawaban itu. Tetapi dengan demikian aku sudah dapat menduganya,” Panggiring berhenti sejenak. Suaranya merendah dan bergetar, “Baiklah paman. Aku memang sudah terlampau kotor untuk menyentuh keluargaku dan menginjak halaman rumah ibu. Aku menyadari hal itu. Namun alangkah berat hukuman yang harus aku sandang. Terpisah sama sekali dari ibu dan adikku. Agaknya pintu sudah tertutup rapat. Tidak ada kesempatan sama sekali, meskipun hanya sekadar menjenguk.”

Terasa sesuatu menyumbat kerongkongan Ki Tambi yang tua itu. Tiba-tiba saja ditepuknya pundak Panggiring kemudian diguncangkannya sambil berkata tersendat-sendat, “Panggiring, sudah aku katakan. Kau tinggal dirumahku.”

“Terima kasih paman. Aku harus menyadari sekarang, bahwa bukan saja keluargaku, tetapi seisi Kademangan itu tidak akan dapat menerima aku kembali.”

“Tidak. Bohong. Darimana kau dengar?”

“Aku melihat penjagaan yang menjadi demikian ketatnya. Agaknya memang sudah dipersiapkan, bahwa aku tidak boleh mendekati Kademangan ini. Mereka masih dipengaruhi oleh cara hidupku yang lama, sehingga cara yang mereka pergunakan untuk mencegah akupun masih dengan cara yang sesuai untuk Panggiring yang kotor itu.”

“Apakah kau melihat sendiri?”

Panggiring menganggukkan kepalanya.

“Tetapi kau salah Panggiring. Penjagaan yang ketat itu sama sekali tidak diperuntukkan bagimu. Mereka tidak dengan sengaja menjada Kademangan ini agar kau tidak memasukinya.”

Panggiring mengerutkan keningnya.

“Mereka berada dalam kesiap siagaan penuh karena mereka mendengar.....,” Ki Tambi berhenti sejenak. Tiba-tiba terbersit dugaan seperti yang pernah didengarnya dari mulut-mulut anak-anak muda, “Apakah tidak mungkin bahwa Panembahan Sekar Jagat itu juga Panggiring?"

“Tidak, tidak mungkin,” Ki Tambi berteriak di dalam hatinya. “Menurut perhitungan waktu, Panembahan Sekar Jagat telah ada disekitar daerah ini seperti yang mereka katakan, pada saat Panggiring masih berkuasa di pesisir Utara.”

Dan Ki Tambi itu berpaling ketika ia mendengar Panggiring bertanya, “Lalu, kenapa mereka kelihatan terlampau sibuk?”

“Kau pasti pernah mendengar Panggiring, bahwa Panembahan Sekar Jagat sering datang ke padukuhan ini.”

Panggiring mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Menurut pendengaran kami yang terakhir, Panembahan Sekar Jagat akan segera datang. Bahkan mungkin malam ini. Ia merasa terhina sekali karena kepercayaannya terbunuh oleh Bramanti.”

Panggiring mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba saja dadanya menjadi berdebar-debar.

“Jika demikian paman,” berkata Panggiring kemudian, “Sebaiknya aku tidak mengganggu kalian. Bukankah Ki Tambi pun memegang peranan dalam kesiapsiagaan itu?”

“Tidak Panggiring. Semuanya ada ditangan Bramanti dan Temunggul meskipun aku tidak dapat mencuci tangan. Tetapi tenagaku adalah tenaga orang tua. Dan orang tua yang paling bertanggung jawab adalah Ki Jagabaya.”

“Tetapi paman pasti diperlukan,” sahut Panggiring, “Karena itu, aku minta diri paman. Aku sangat berterima kasih kepada paman. Aku akan menjalani hukuman yang terasa terlampau berat bagiku. Tetapi percayalah, bahwa aku tidak akan tergelincir ke dalam dunia yang hitam itu kembali. Aku akan mencoba memenuhi nasehat ibu, untuk mencari daerah yang baru sama sekali. Daerah yang belum pernah mengenal Panggiring. Aku akan hidup seperti kebanyakan orang dan bekerja keras untuk mendapatkan makan dan minum seperti yang harus dijalani oleh setiap orang.”

Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sayang. Sayang sekali Panggiring. Aku tidak dapat berbuat lebih banyak.”

“Paman sudah berbuat terlampau banyak. Aku sangat berterima kasih,” Panggiring berhenti sejenak, kemudian, “Paman, karena aku tidak mendapat kesempatan untuk bertemu dengan ibu dan Bramanti, maka biarlah aku menyampaikan baktiku lewat paman. Salamku buat Bramanti, mudah-mudahan ia kelak menjadi manusia yang berguna bagi dirinya sendiri, bagi keluarganya yang kecil dan bagi Kademangannya.”

Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab.

“Aku akan segera minta diri, supaya aku tidak mengganggu. Panembahan Sekar Jagat memang bukan seorang yang dapat dianggap ringan. Karena itu, tenaga paman dan setiap orang di Candisari pasti diperlukan.”

Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih tetap berdiam diri.

Panggiring pun kemudian perlahan-lahan berdiri. Sekali ia berpaling kesuatu arah sambil mengerutkan keningnya. Namun ia tidak berkata apapun tentang pendengarannya.

Ki Tambi yang kemudian juga berdiri memegang kedua bahu Panggiring sambil berkata, “Maafkan aku Panggiring. Aku sudah berusaha. Tetapi aku tidak berhasil.”

“Paman tidak bersalah. Memang sudah sepantasnya aku dihukum. Karena aku tidak terkena hukuman yang seharusnya dilakukan oleh orang lain atau oleh orang-orang yang memang berkewajiban, maka aku telah menerima hukuman dari keluargaku sendiri,” dan suara Panggiring merendah, “Tetapi hukuman ini terasa terlampau berat. Berat sekali.”

Ki Tambi tidak menyahut. Kepalanya pun kemudian tertunduk. Ia tidak sampai hati menatap wajah anak muda yang muram itu. Wajah itu sama sekali bukan wajah Panggiring yang ditemuinya di pesisir Utara. Bukan wajah seorang perampok yang ganas. Tetapi wajah itu adalah wajah yang sedih.

“Aku minta diri paman. Mungkin aku tidak akan pernah menjenguk paman lagi. Tanah kelahiran ini harus aku tinggalkan untuk selama-lamanya,” Panggiring berhenti sejenak, “Tetapi aku tidak akan pernah melupakannya. Di masa kanak-kanak aku bermain disini, disawah, dibendungan dan di halaman Candi tua itu. Tetapi semuanya itu hanya akan tinggal menjadi kenangan.”

Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Terasa jantungnya menjadi berdentang dan dadanya menjadi pepat.

“Selamat tinggal paman. Aku masih tetap menyimpan lencana bergambar Candi. Lencana itu akan dapat merangkum semua kenangan hidupku yang pahit.”

“Panggiring,” desis Ki Tambi.

Dan Ki Tambi masih mendengar Panggiring, orang yang selama ini tidak pernah mendesah itu mengeluh, “Hidupku memang pahit paman.” Ki Tambi tidak dapat menjawab. Mulutnya serasa tersumbat.

“Selamat tinggal paman,” lalu dipandainginya bayangan hitam yang membujur dihadapannya, seperti sebuah bukit karang yang mencuat di atas lautan yang hijau, “Selamat tinggal kampung halaman, ibu dan Bramanti.”

Suasana jadi hening sejenak. Sepi. Yang terdengar adalah derik-derik bilalang bersahut-sahutan. Di atas daun-daun padi yang terhampar berkeredipan cahaya kunang-kunang yang muram.

Tiba-tiba suasana itu pecah oleh suara isak tangis. Ki Tambi terperanjat bukan kepalang. Dan Panggiring terkejut pula karenanya. Meskipun ia tahu benar, bahwa seseorang sedang mengintainya, namun ia tidak tahu siapakah orang itu. Dan kini tiba-tiba saja ia mendengar orang itu terisak.

Dari balik daun padi muncullah sesosok tubuh yang berkerundung dalam-dalam. Tanpa dapat mengendalikan dirinya, orang itu menangis sejadi-jadinya.

“Panggiring,” terdengar suara di antara isak tangis itu.

Panggiring tertegun.

Tertatih-tatih orang yang berkerudung itu melangkah mendekat. Sekali-kali kakinya terperosok ditanah berlumpur.

“Panggiring,” sekali lagi orang itu memanggil.

Dan kini Panggiring dan Ki Tambi tidak ragu-ragu lagi. Suara itu adalah suara Nyai Pruwita.

Sejenak Panggiring membeku ditempatnya. Wajahnya menjadi tegang. Bibirnya tampak bergerak-gerak, tetapi tidak sepatah katapun yang dapat diucapkan.

Ketika orang yang berkerundung itu telah berdiri dipematang, maka Panggiring tidak dapat menahan diri lagi. Dengan serta merta ia meloncat dan berjongkok dihadapannya, “Ibu, ibu.”

Tangan yang lemah itu pun kemudian meraih kepala Panggiring. Didekapnya kepala itu erat- erat. Namun justru mulut perempuan tua itu terasa terbungkam. Hanya air matanya saja yang meleleh, menitik di atas kepala anaknya.

Tetapi tangannya semakin erat memeluk kepala anaknya itu. Anaknya yang telah hilang dan kini diketemukannya kembali.

Ki Tambi berdiri tegak seperti patung. Ia melihat pertemuan yang tidak disangka-sangka itu dengan mata tuanya yang basah. Betapa hati seorang ibu yang merasa menemukan kembali apa yang telah hilang daripadanya.

“Ternyata Nyai Pruwita tidak dapat menahan perasaannya. Alangkah pedihnya hati perempuan itu,” berkata Ki Tambi dalam hatinya, “Ia tidak dapat melawan kehendak Bramanti, tetapi ia juga tidak dapat melawan perasaan seorang ibu.”

Dan Ki Tambi itu pun menyaksikannya sambil menyapu dadanya dengan telapak tangannya.
Dalam pada itu, seorang pengawal telah berlari-lari masuk kehalaman Kademangan dengan nafas terengah-engah. Ketika kawannya bertanya kepadanya, maka tanpa menghiraukan pertanyaan itu ia berdesis, "Dimana Bramanti?"

"Kenapa? Apakah kau melihat sesuatu? Panembahan Sekar Jagat barangkali?"

Tetapi pengawal itu tidak menjawab. Langsung ia naik kependapa sambil bertanya-tanya, "Dimana Bramanti?"

"He," terdengar suara Bramanti justru dihalaman, "Aku disini."

"O," pengawal itu pun kemudian berlari menemuinya. Nafasnya menjadi semakin cepat mengalir.

Bramanti pun menjadi berdebar-debar karenanya. Karena itu, maka ia pun menyongsong anak itu pula. Sejenak kemudian, para pengawal telah mengerumuni kawannya yang barlari-lari itu. Dengan tidak sabar lagi, terdengar beberapa orang bertanya, "Kenapa kau berlari-lari he?"

"Bramanti," katanya disela-sela nafasnya. "Adalah kebetulan sekali bahwa aku berada dipinggir desa melihat sawahku sebelum aku pergi ke gardu."

"Ya."

"Diperjalanan kembali, aku melihat sesosok yang mencurigakan. Yang berjalan terbungkuk-bungkuk sambil berkerudung. Karena itu maka aku segera bersembunyi dan mengintipnya."

"Ya, lalu?"

"Orang itu pergi ketengah sawah."

"Ya. Tetapi kau belum menyebutkan siapa orang itu."

Pengawal itu menelan ludahnya. Dipandanginya wajah-wajah yang tegang diseputarnya. Kemudian dengan suara parau ia berkata, "Orang itu ternyata seorang perempuan."

"Ya, tetapi siapa dan kenapa dengan perempuan itu?"

"Aku tidak tahu apa yang dilakukannya. Tetapi perempuan itu adalah ibumu Bramanti."

"Ibu? Ibuku?"

Pengawal itu mengaku, "Ya."

"Apakah kau tidak salah lihat?"

"Tidak. Aku pasti bahwa perempuan itu adalah ibumu."

Darah Bramanti serasa menjadi semakin cepat mengalir. Sejenak ia berpikir. Apakah yang sedang dilakukan oleh ibunya itu?"

Tiba-tiba teringat olehnya ceritera Ki Tambi, bahwa malam ini Panggiring akan menemui Ki Tambi untuk mendapatkan jawaban atas permintaannya.

"Apakah ibu berusaha bertemu dengan kakang Panggiring?" terbersit pertanyaan di dalam hatinya.

Dengan demikian maka keringat dingin telah mengalir di punggung Bramanti. Dengan serta merta ia berkata kepada para pengawal yang ada disekitarnya, "Aku akan pergi menyusul," dan diluar sadar ia melanjutkan, "Mungkin ibu sedang pergi menemui Panggiring."

"Panggiring?" hampir bersamaan beberapa buah mulut telah mengulang nama itu.

Bramanti tertegun sejenak. Barulah ia menyadari kekeliruannya. Tetapi ia tidak akan dapat lagi mencabut kata-kata yang sudah terucapkan, sehingga sambil mengangguk ia menjawab dengan nada dalam. "Ya Panggiring."

Anak muda itu tidak menunggu lebih lama lagi. Tanpa sesadarnya pula ia meraba hulu pedang pendeknya. Kemudian dengan langkah yang tergesa-gesa ia meninggalkan halaman Kademangan.

Beberapa orang anak muda yang ada di halaman itu saling berpandangan sejenak. Tanpa berjanji maka mereka pun kemudian bergerak serentak menyusul langkah Bramanti.

Bramanti seakan-akan tidak sabar lagi dengan langkah kakinya. Ingin agaknya ia dapat melompat langsung ke tengah sawah. Sawah Ki Tambi. Pertemuan itu pasti telah terjadi disana.

Sekilas terngiang kata-kata anak-anak muda tentang Panggiring, “Apakah bukan orang itu pula yang telah menyebut dirinya Panembahan Sekar Jagat?”

Bramanti menggeram, “Siapapun orang itu, tetapi Panggiring tidak boleh kembali ke rumah dan Kademangan ini. Ia telah melumuri dirinya dengan noda dan darah.” Namun kemudian ia tidak dapat mengibaskan bayangan yang mengambang di angan-angannya, “Panggiring tidak boleh menyentuh gadis itu, Ratri.”

Langkah Bramanti menjadi semakin cepat. Berbondong-bondong anak-anak muda yang menyusulnya menjadi semakin cepat pula. Disepanjang jalan iring-iringan itu selalu bertambah. Meskipun tidak seorangpun yang membunyikan tanda bahaya, tetapi berita tentang Panggiring itu telah merambat secepat suara kentongan.

Tanpa diminta, setiap orang yang mendengar berita itu telah mengikuti dibelakang iring-iringan yang menjadi semakin panjang. Anak-anak muda dan para pengawal yang bertugas mengumpat di dalam hati, bahwa mereka tidak sempat mengikuti mereka, untuk melihat apa yang bakal terjadi.

Namun anak-anak muda dan para pengawal yang berbondong-bondong pergi mengikuti Bramanti itu tidak berani terlampau mendekat. Mereka merasa bahwa hal itu mungkin tidak menyenangkan Bramanti yang sedang menghadapi persoalan keluarga. Mungkin persoalan keluarga ini tidak sewajarnya menjadi persoalan orang diluar lingkungan mereka.

“Tetapi bagaimana kalau yang menyebut dirinya Panggiring itu juga Panembahan Sekar Jagat, dan Bramanti terjebak karenanya? Sehingga dengan demikian, maka kekuatan pokok dari Kademangan ini akan lebih dahulu diruntuhkannya.”

“Kita harus melihat?” Temunggul pun ternyata ikut pula di dalam iring-iringan itu. Panjang, Suwela, bahkan kemudian Ki Jagabaya yang mendengar juga tentang kehadiran Panggiring itu.

Bukan saja anak-anak muda, tetapi orang-orang tua yang mendengar pun telah tertarik pula untuk pergi ke pinggir desa, melihat apa yang akan terjadi.

Bahkan mereka yang sedang terbangun dari tidur, dan mendengar hiruk pikuk di sepanjang jalan, segera menyambar senjata-senjata mereka dan menghambur keluar.

“Ada apa?” salah seorang yang menjengukkan kepalanya dari dalam regol halaman bertanya kepada dua orang yang berlari-lari di jalan kecil di depan regol itu.

“Panggiring.”

“Kenapa dengan Panggiring?”

Dan ternyata Ratri tidak dapat melawan dorongan itu. Meskipun debar jantungnya menjadi kian cepat, namun ia berjalan juga melintasi halaman rumahnya. Ia terhenti di regol ketiga ia melihat dua orang itu agaknya ingin juga pergi ke sawah untuk melihat apa yang bakal terjadi.
“Aku akan mengikuti mereka,” desis Ratri di dalam hatinya.

Tanpa setahu kedua orang itu, Ratri berjalan berloncat-loncat beberapa langkah di belakang mereka.

Dalam pada itu Ki Tambi masih berdiri tegak seperti patung. Nyai Pruwita serasa tidak akan pernah melepaskan kepala anaknya yang telah dianggapnya hilang itu.

“Sama sekali bukan maksud kami menolak kedatanganmu Panggiring,” desis ibunya disela-sela isaknya.

“Aku mengerti ibu,” jawab Panggiring, “Aku memang sudah tidak pantas lagi berada di dalam lingkungan keluarga.”

“Tidak, tidak Panggiring, bukan itu,” cepat-cepat ibunya memotong.

“Sudahlah ibu,” berkata Panggiring sareh. Perlahan-lahan diangkatnya tangan ibunya, “Ibu jangan menangis lagi. Aku dapat mengerti semuanya. Dan aku sama sekali tidak bersakit hati.”

Ibunya terdiam sejenak. Dipandanginya wajah anaknya dalam keremangan malam ketika Panggiring kemudian berdiri. Berkata anak muda itu kemudian, “Aku sudah merasa sangat berbahagia dapat menyampaikan baktiku kepada ibu. Salamku kepada Bramanti, semoga ia mampu melakukan tugasnya dengan baik.”

Perempuan tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Lalu kau akan pergi kemana Panggiring?” bertanya ibunya.

Panggiring menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Aku akan mencari daerah baru ibu, seperti yang ibu katakan beberapa hari yang lalu. Daerah yang sama sekali belum mengenal Panggiring. Mudah-mudahan aku dapat hidup tentram. Hidup tanpa kegelisahan dan tanpa diburu oleh angan-angan mimpi buruk.”

“Berbahagilah anakku. Mudah-mudahan kau berhasil,” perempuan itu berhenti sejenak, lalu, “Tetapi kau jangan lupa kepada ibumu.”

“Tentu ibu. Aku tidak akan lupa kepada ibu, kepada Bramanti dan kepada kampung halaman. Disini aku dilahirkan. Maka ikatan antara tanah ini dengan hati di dalam dadaku tidak akan pernah terurai.”

Titik-titik air mata perempuan itu masih deras mengalir dari kedua matanya yang cekung.

Namun perempuan tua itu tertegun sejenak, ketika ia melihat Panggiring mengangkat kepalanya. Bahkan Ki Tambi pun mengerutkan keningnya sambil bertanya, “Panggiring, apakah kau mendengar sesuatu disekitar tempat ini?”

Panggiring mengangkat alisnya. Ia memang mendengar suara. Berbeda dengan suara yang tadi didengarnya. Tarikan nafas ibunya memberi tahukan kepadanya, bahwa orang yang ada didekatnya sama sekali tidak berbahaya baginya.

Tetapi telinga Panggiring yang terlatih baik itu dapat membedakan. Kali ini ia memahami benar, bahwa suara nafas yang didengarnya adalah nafas yang terkendali. Hampir tidak dapat didengarnya.

Panggiring terdiam sejenak. Namun kemudian ia menjawab, “Tidak paman. Tidak ada apa-apa.”

Tetapi Ki Tambi menjadi curiga karenanya. Sikap Panggiring menjadi agak berubah. Dan sejenak kemudian Panggiring itu berkata, “Pertemuan kita tidak akan dapat berlangsung terlampau lama ibu. Aku akan segera minta diri.”

Ibunya menyadari keadaan anaknya mengangguk-anggukkan kepalanya dan menjawab, “Baiklah Panggiring. Setiap saat hubungi aku. Aku ingin mengetahui, meskipun hanya sekadar kabar, tentang kau.”

"Ya, ibu. Aku akan melakukannya," jawab Panggiring, kemudian, "Sudahlah ibu, aku minta diri. Aku berterima kasih atas kesediaan ibu datang ke tempat ini menemui aku," lalu kepada Ki Tambi, "Paman telah memberikan kesempatan yang luar biasa kepadaku. Terima kasih paman."

Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan nada yang dalam ia berkata, "Maafkan aku Panggiring."

Panggiring tersenyum, "Kenapa paman minta maaf kepadaku?"

"Aku akan selalu menyediakan diri apabila kau memerlukan sesuatu."

"Aku akan memberitahukan kepada paman, apabila aku sudah menetap kelak."

Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi katanya tidak terucapkan.

Panggiring yang bertubuh tinggi kekar itu sekali lagi berjongkok dimuka ibunya sambil berkata lirih, "Doa ibu bagiku setiap saat."

Titik air mata Nyai Pruwita semakin menderas. Sekali lagi ia meraih kepala itu sambil berkata, "Baik, baik Panggiring. Kau harus mengerti, kenapa kau tidak dapat aku terima di rumah itu. Kau adalah anakku yang sulung. Dengan demikian maka kau hendaknya dapat menerima keadaan ini dengan dada yang longgar."

"Aku ikhlas ibu."

Dekapan tangan perempuan tua itu menjadi semakin keras, seakan-akan tidak akan dilepaskannya kembali. Dibelainya rambut anaknya yang panjang tersembul dibawah ikat kepalanya.

Namun tiba-tiba suasana itu telah dirobek oleh sebuah suara, "Sebaiknya ibu berterus terang. Akulah yang berkeberatan.

Nyai Pruwita dan Ki Tambi terkejut bukan buatan, sehingga mereka serentak berpaling dalam kebingungan.

"Bramanti," hampir bersamaan mereka berdesis.

Tetapi Panggiring sama sekali sudah tidak terkejut. Ia sadar, bahwa yang dapat mendekat kali ini bukan seorang perempuan dengan nafas terengah-engah. Tetapi kali ini yang datang adalah seorang yang mumpuni. Sejak semula Panggiring memang sudah menduga bahwa yang datang itu adalah Bramanti.

Perlahan-lahan Bramanti melangkah tanpa menghiraukan tanaman yang diinjaknya. Setapak demi setapak. Sedang Panggiring masih tetap saja membeku ditempatnya.

Namun ketika Bramanti menjadi semakin dekat, perlahan-lahan Panggiring berdiri menghadapnya.

"Bramanti," berkata ibunya tergagap, "Aku hanya sekadar menemuinya. Aku hanya ingin melihat anakku."

"Itu adalah hak ibu. Bukan saja menemui anaknya, tetapi menemui siapapun," jawab Bramanti. "Tetapi aku minta ibu berterus terang, bahwa akulah yang berkeberatan. Aku dan seisi Kademangan ini. Selama ini kami telah berbuat sesuatu untuk Kademangan Candisari. Aku adalah salah seorang dari mereka yang mati-matian menentang Panembahan Sekar Jagat. Apakah kini aku akan mengundang seorang lagi dan bahkan langsung bertempat tinggal di halaman rumahku?"

Ibunya seakan-akan telah terbungkam. Betapa dadanya bergolak, tetapi mulutnya serasa tersumbat.

"Bramanti," Ki Tambilah yang menjawab, "Semuanya telah didengar oleh Panggiring. Panggiring sudah mengakuinya bahwa dirinya memang telah ternoda. Tidak sepantasnya ia tinggal lagi bersama keluarganya," Ki Tambi berhenti sejenak, lalu, "Kalau kau sudah cukup lama menunggui pertemuan ini Bramanti, kau pasti sudah mendengar, bahwa Panggiring dengan ikhlas menerima keadaan dan kenyataan itu. Kau tidak perlu mengulanginya, karena sebenarnya persoalan ini sudah selesai."

“Tidak. Belum selesai. Selama masih ada hubungan antara Candisari dengan kakang Panggiring, maka persoalan masih akan berkepanjangan.”

“Terlalu kau Bramanti. Hubungan manusia adalah wajar. Jangankan dengan seorang yang memang dilahirkan ditempat ini. Dengan siapapun kau tidak akan dapat menghalang-halangi.”

“Tetapi tidak dengan seorang yang tangannya berbau darah.”

“Bramanti,” Ki Tambilah yang berteriak. “Begitukah sambutanmu atas kedatangan kakakmu, saudaramu? Ingat, apakah yang kau alami pada saat kau menginjakkan kakimu di Kademangan ini. Setiap orang mencurigaimu. Setiap orang membencimu. Tetapi kau dapat diterima oleh ibumu, kau tahu itu. Dan ternyata kau tidak sejahat yang dikatakan tentang dirimu. Setiap orang telah dimabukkan oleh prasangka. Dan sekarang kau, kau juga telah dicengkeram oleh prasangka serupa itu.”

“Tetapi prasangkaku beralasan,” jawab Bramanti.

“Sudahlah paman,” suara Panggiring berat, “Aku memang sudah minta diri. Aku akan pergi,” kemudian kepada Bramanti. “Baiklah Bramanti. Aku akan pergi jauh sekali.”

“Apakah aku dapat mempercayaimu?”

“Aku berkata sesuai dengan detak dalam dadaku. Terserahlah kepadamu, apakah kau akan mempercayainya atau tidak.”

“Tidak seorang pun lagi yang dapat mempercayai kau.”

“Bramanti,” potong Ki Tambi.

“Aku dapat mengerti paman. Tetapi baiklah, aku akan minta diri.” Kemudian kepada ibunya, “Ibu, anggaplah, bahwa ibu tidak mempunyai dua orang anak laki-laki. Anak yang seorang itu telah mati ditelan oleh kejahatan yang pernah dilakukannya sendiri. Agaknya Bramanti telah cukup bagi ibu.”

Nyai Pruwita yang berdiri mematung itu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Tangisnya menjadi semakin keras dan air matanya semakin banyak meleleh di sela-sela jari tangannya.

“Sudahlah ibu,” berkata Panggiring kemudian, “Semuanya akan menjadi baik kelak. Keluarga yang aku tinggalkan, Kademangan Candisari, dan seluruh isinya.”

“Panggiring,” isak perempuan tua itu.

“Aku minta diri.”

Ibunya tidak dapat segera menyahut. Tangisnya sajalah yang terdengar di antara isaknya.

Namun sejenak kemudian terdengar hiruk pikuk orang-orang Candisari yang menyusul Bramanti. Mereka berjalan disepanjang pematang, menebar di beberapa jalur.

Panggiring mengangkat wajahnya. Sesuatu bergetar di dalam dirinya. Sekilas dipandanginya wajah Ki Tambi yang tegang, sekilas kemudian ibunya, lalu Bramanti.

“Jangan takut,” desis Bramanti. “Orang-orang Candisari bukan orang-orang yang curang. Meskipun sebagian dari mereka menyangka bahwa kau adalah orang yang sama dengan orang yang menyebut dirinya Panembahan Sekar Jagat, namun mereka tidak akan menjebakmu. Kalau kau ingin mendapat jalan untuk meninggalkan tempat ini, mereka pasti akan menyibak.”

Panggiring mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya, “Ya, aku mengenal mereka. Agaknya mereka tidak berubah sampai sekarang.”

“Karena itu saya persilakan kakang Panggiring segera meninggalkan tempat ini.”

“Bramanti,” suara ibunya seakan-akan meledak, “Apakah kau tidak dapat merubah putusanmu itu?”

“Tidak ibu. Aku tetap pada pendirianku.”

“Kau terlampau kikir Bramanti. Kenapa kau tidak dapat merelakan secuwil tanah itu?”

“Bukan itu soalnya ibu. Bukan secuwil tanah itu yang penting bagiku. Tetapi seluruh isi Kademangan mengenal siapa Panggiring.”

Ki Tambi menundukkan kepalanya. Ia adalah sumber berita itu. Kalau ia tidak menyebutnya, mungkin keadaan akan berbeda.

“Itu karena salahku Panggiring.”

“Paman tidak bersalah,” jawab Panggiring. “Baiklah, aku pergi. Selamat tinggal ibu, selamat tinggal Bramanti, paman Tambi dan semuanya. Salamku buat kawan-kawan sepermainan di masa kecil, buat semua orang di Candisari. Mungkin aku sudah tidak akan dapat melihat Candisari. Mungkin aku sudah tidak akan dapat melihatnya lagi,” Panggiring berhenti sejenak. Ditatapnya Kademangan Candisari dalam keremangan malam. Tidak ada yang dapat dilihatnya dengan jelas. Selain bayangan hitam seperti puntuk-puntuk yang bertebaran, “Selamat tinggal Candisari.”

Tangis Nyai Pruwit meledak-ledak tanpa tertahankan. Dan disela-sela suara tangis itu terdengar suara Ki Tambi. “Kau sudah menjadi gila Bramanti. Kau sudah gila. Kenapa kalian tidak melakukan perang tanding saja? Ayo siapa yang menang, ia adalah orang yang berhak menentukan siapakah yang akan tinggal di rumah itu. Apakah ia seorang penjahat apakah ia anak seorang penjahat. Ayo sebaiknya kalian berkelahi. Bukankah kalian adalah anak-anak jantan?”

Segera terdengar suara Panggiring berat, “Tidak paman. Aku tidak ingin menyelesaikan masalah di antara keluarga dengan cara itu.”

Tetapi Ki Tambi seakan-akan tidak mendengarnya, “Ayo Bramanti. Kau mempunyai pe dang pendek itu. Kau sudah berhasil membunuh Sapu Angin, orang itu yang paling ditakuti oleh siapapun di Kademangan ini dan sekitarnya. Sedang Panggiring adalah seorang perampok yang mengerikan di pesisir Utara. Ayo, kalau kau tidak membawa senjata pakai pedangku.”

Tetapi Panggiring segera menyahut, “Tidak ada gunanya.”

“Kenapa kau diam saja Bramanti. Cepat, tarik pedangmu.”

Wajah Bramanti menjadi tegang. Tetapi tanpa sesadarnya tangannya telah meraba hulu pedangnya. Namun yang terdengar masih suara Panggiring, “Paman, tanganku telah menjadi terlampau kotor. Di saat-saat terakhir aku merasa, bahwa tanganku sudah tidak akan menjadi semakin kotor lagi. Berapa puluh orang telah mati oleh tangan ini. Karena itu aku tidak akan menambahnya lagi.”

“Kau terlampau sombong,” geram Bramanti. “Apakah kau kira bahwa kau dapat membunuh aku.”

“Bukan, bukan itu maksudku,” cepat-cepat Panggiring menyahut, “Aku tidak bermaksud demikian. Maaf Bramanti. Maksudku, aku sama sekali sudah tidak bernafsu lagi untuk berkelahi.”

“Apakah lukamu disaat terakhir telah membuatmu cacat. Membuat tanganmu lumpuh, atau kakimu atau apapun padamu Panggiring?” teriak Ki Tambi.

“Tidak paman. Ternyata hatikulah yang lumpuh selama ini. Justru baru disaat terakhir hati itu mampu bekerja keras.”

“Pengecut,” teriak Ki Tambi.

Panggiring menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa Ki Tambi tidak dapat mengekang perasaannya yang melonjak-lonjak lagi. Orang tua itu menjadi sangat kecewa melihat dua orang saudara yang tidak dapat berada di dalam satu lingkungan keluarga yang kecil.

“Sudahlah,” berkata Panggiring kemudian, “Malam telah larut. Aku akan pergi.” Kemudian kepada ibunya, “Jangan menangis lagi ibu. Semuanya sudah selesai. Ibu akan dapat hidup tentram seperti pada masa saat aku belum mengguncang ketentraman itu. Maafkan aku ibu.”

“Panggiring,” isak ibunya, “Kenapa kau harus pergi?”

“Tidak apa-apa ibu.”

“Seharusnya kau tetap tinggal bersamaku.”

Yang terdengar kemudian adalah suara Bramanti, “Kalau Panggiring tetap tinggal bersama ibu, lebih baik akulah yang pergi.”

“Bramanti,” teriak ibunya, “Tidak ngger. Kau tidak boleh pergi. Kau juga tidak.”

Sejenak setiap orang seakan-akan menjadi terbungkam. Yang terdengar hanya isak tangis Nyai Pruwita dan derik ilalang di pematang.

Panggiring kemudian mengangkat kakinya dan melangkah sambil berkata, “ Selamat tinggal semuanya. Akulah sumber persoalan. Kalau aku pergi, semuanya akan selesai.”

Panggiring tidak menunggu jawaban siapapun. Perlahan-lahan ia melangkah pergi. Sementara itu terdengar suara Nyai Pruwita memanggil, “Panggiring, Panggiring.”

Tetapi Panggiring tidak berpaling. Bahkan langkahnya menjadi semakin cepat, sedang kepalanya pun menunduk dalam-dalam. Suara ibunya terdengar setiap kali seperti goresan sembilu di dinding jantung. Tetapi ditahankannya hatinya. Dan ia benar-benar tidak berpaling, meskipun terasa pelupuk matanya menjadi hangat.

Beberapa orang yang berdiri di sepanjang pematang tiba-tiba telah menyibak. Mereka berloncatan turun ke sawah ketika Panggiring lewat di pematang itu juga.

Beberapa orang saling berpandangan. Dan beberapa orang berkata di dalam hatinya, “Apakah Panggiring ini adalah Panggiring yang dulu?”

Tetapi Panggiring berjalan terus. Suara panggilan ibunya terdengar semakin jauh.

Ketika Panggiring beranjak dari tempatnya, dan ketika ibunya berteriak memanggilnya, ia berkata, “Biarlah anak itu pergi ibu. Sudah menjadi keputusanku. Panggiring tidak boleh berada di Kademangan ini.”

“Kau terlampau kejam Bramanti,” desis ibunya.

“Bukan aku, tetapi adalah salah Panggiring sendiri. Ia telah melumuri tangannya dengan darah dan noda. Tidak ada tempat di halaman rumahku baginya. Halaman yang kotor itu telah aku bersihkan. Demikian juga nama keluargaku.”

“Tetapi ia berhak berbuat demikian.”

“Tidak,” suara Panggiring pun menjadi semakin keras. “Terserah kepadaku, apakah aku memberikan ijin itu kepadanya atau tidak. Tanah itu tinggal satu-satunya peninggalan ayahku yang masih dapat aku raba, karena semuanya telah lenyap dilingkaran judi. Dan tanah itu sekarang akan dikotori dengan darah yang meleleh dari tangan Panggiring.

“Bramanti,” potong ibunya.

Tetapi Bramanti berkata terus, “Aku tidak akan merelakannya. Setiap sentuhan pada selembar daun, maka daun itu akan aku gugurkan. Dan setiap bekas kakinya akan aku cukil dan aku lembar kegerojogan.”

“Terlalu, terlalu kau Bramanti. Kau benar-benar kejam. Kejam sekali. Sebenarnya kau tidak dapat berbuat begitu.”

“Kenapa? Tanah itu adalah tanah peninggalan ayahku. Kenapa?”

“Tidak, tidak. Kau keliru.”

Wajah Bramanti menjadi tegang.

“Baiklah Bramanti. Kini kau sudah dewasa. Kau sudah cukup mempunyai pertimbangan atas baik dan buruk. Ketahuilah bahwa tanah itu sama sekali bukan tanah ayahmu seperti yang kau sangka sampai sekarang. Meskipun hak atas tanah itu kemudian berada di tangan ayahmu, tetapi tanah itu adalah tanah Demang Candisari yang dahulu. Ayah Panggiring. Sepeninggalan ayahnya, datanglah ayahmu. Pruwita. Laki-laki yang hanya pandai merayu. Tetapi salahku. Salahku. Salahku,” Nyai Pruwita terjatuh di atas lututnya. Cepat Ki Tambi memeganginya. Tetapi tubuhnya sendiri telah menjadi gemetar dibakar oleh perasaannya. Tanpa dapat menahan perasaan lagi, sambil memegangi pundak Nyai Pruwita, Ki Tambi berkata lantang, “Terkutuklah laki-laki yang bernama Pruwita itu. Ia benar-benar hanya pandai merayu. Tetapi ibumu yang ditinggal mati muda itu pun tidak teguh iman, sehingga akhirnya jatuhlah ia ke dalam dekapan setan itu. Kekayaan yang ditinggalkan oleh suaminya, Demang Candisari, ayah Panggiring, sedikit demi sedikit dilemparkannya kelingkaran judi, setelah ia berhasil merampas hak itu dan memindahkannya kepada dirinya sendiri,” Ki Tambi berhenti sejenak, lalu, “Alangkah bodohnya ibumu. Dan alangkah gilanya Pruwita itu,” suara Ki Tambi menjadi gemetar,

“Bramanti, kalau kau tidak percaya, bertanyalah kepada orang tua-tua. Bertanya kepada setiap orang Candisari sebayaku. Bahkan yang ikut membunuh ayahmu sekarang masih ada yang tetap hidup. Bertanyalah kepada mereka, apa yang dilakukan ayahmu setelah menghabiskan segala harta milik ibumu yang lemah iman karena rayuan seorang laki-laki iblis. Dan apakah yang pernah dilakukannya atas Panggiring, anak tirinya itu? Dengar Bramanti, dengar. Senja itu, kau terjatuh dari tangga. Kau masih kecil. Namun barangkali kau masih ingat. Dengan penuh kasih seorang kakak kau didukung oleh Panggiring masuk kedalam rumah. Tetapi karena terkejut dan benturan pada kepalamu, maka kau pingsan. Ibumulah yang menyuruh Panggiring menyusul ayahmu. Tetapi apa yang terjadi, Panggiring dipukuli habis-habisan. Diusirnya ia seperti anjing. Ternyata ayahmu yang sedang asyik berjudi itu sama sekali tidak mau terganggu, seandainya kau mati sama sekali. Dan aku tahu pasti,” suara Ki Tambi merendah. “Saat itulah Panggiring meninggalkan Kademangan ini.”

Nafas Ki Tambi menjadi terengah-engah. Tetapi dadanya serasa menjadi lapang. Semua gejolak di dalam dadanya telah dimuntahkannya. Dan bahkan kemudian ia berkata, “Nah, kau sudah mendengar semuanya. Sekarang, terserah kepadamu. Apa yang kau lakukan atasku. Kalau kau menganggap aku telah memfitnah nama ayahmu, kau dapat menuntut. Bahkan membunuh aku sekali.”

Dan pada saat itulah, tubuh Nyai Pruwita menjadi lemah. Kini ia tidak dapat lagi bertahan pada lututnya. Perlahan-lahan ia terkulai jatuh di tangan Ki Tambi. Nyai Pruwita menjadi pingsan pula karenanya.

Sementara itu Bramanti berdiri dengan tubuh gemetar. Giginya terkatub rapat-rapat. Namun dadanya serasa dilanda oleh angin pusaran yang tiada tara dahsyatnya. Gelombang perasaannya menjadi semakin gemuruh seperti perut gunung berapi yang hampir meledak.

Selangkah ia maju mendekati ibunya. Perlahan-lahan berlutut dan meraba tangan perempuan tua itu. Sejenak anak muda itu merenung. Namun tiba-tiba ia tegak berdiri. Ditatapnya pematang yang tadi dilalui oleh Panggiring. Dengan serta merta ia pun meloncat berdiri dan melangkah menyusuri pematang itu dengan tergesa-gesa.

“Bramanti, Bramanti,” teriak Ki Tambi. Tetapi Bramanti tidak menyahut. “He, apakah kau sudah gila he?”

Bramanti melangkah terus. Semakin cepat, semakin cepat.

Dan suara Ki Tambi itu menggelepar seperti keluhan angin dipesisir. Hilang tanpa bekas. Sedang Bramanti sama sekali tidak berpaling. Ia berjalan terus di atas pematang menyusul Panggiring. Tidak seorang pun yang mengerti apakah maksudnya.

Orang-orang yang berada di pematang segera menyibak pula ketika Bramanti lewat, seperti mereka telah memberikan jalan kepada Panggiring.

Namun kini mereka menjadi semakin ingin tahu, apakah yang akan terjadi. Karena itu, maka setelah sejenak mereka saling berpandangan, maka satu demi satu mereka pun segera menyusul Bramanti pula.

Ki Tambi melihat semua itu dengan dada yang bergelora. Seperti orang-orang lain ia tidak tahu, apakah yang akan dilakukan oleh Bramanti. Tetapi sudah terang, bahwa ia tidak akan dapat meninggalkan Nyai Pruwita begitu saja di pematang sawah.

Dengan demikian, maka betapa gelora melanda dinding dadanya, namun Ki Tambi terpaksa menunggu sehingga Nyai Pruwita yang pingsan itu menjadi sadar.

Ketika perempuan itu mulai membuka matanya, setelah Ki Tambi menyeka keningnya dengan sejuknya air embun di daun padi, maka dengan sareh ia berkata, “Sudahlah Nyai. Jangan kau risaukan lagi persoalan anak-anakmu. Mereka sudah dewasa, dan mereka seharusnya sudah dapat melihat baik dan buruk, salah dan benar.”

“Tetapi aku tidak pernah mengajarkannya Ki Tambi,” jawab Nyai Pruwita terputus-putus. “Aku tidak pernah menunjukkan kepada anak-anakku, apakah yang baik dan apakah yang buruk. Dan itu adalah pertanda betapa salahnya tingkah lakuku semasa mudaku.”

“Jangan menyalahkan diri sendiri, desis Ki Tambi kemudian, “Tetapi, marilah kita kembali. Kau perlu beristirahat. Kita akan menjadi semakin kedinginan disini.”

Nyai Pruwita mengangguk, “Tetapi tubuhku serasa sudah tidak bertulang lagi.”


“Marilah aku tolong.”

Kemudian dengan susah payah Ki Tambi menolong Nyai Pruwita berjalan menyusuri pematang.

Sementara itu langkah Bramanti menjadi semakin cepat. Sejenak ia ragu-ragu ketika ia sampai ke jalan yang membujur di tengah-tengah persawahan. Namun sejenak kemudian tanpa diminta salah seorang yang melihatnya ragu-ragu berkata kepadanya, “Kebetulan aku berada disini ketika ia meloncati parit ini. Ia pergi ke Timur.”

Bramanti memandangi orang itu sejenak. Mula-mula ia menjadi heran, kenapa orang itu tanpa dimintanya telah memberitahukan kepada Panggiring pergi.

“Apakah mereka memang menghendaki sesuatu akan terjadi? Ataukah mereka telah terlampau lama tidak melihat kekerasan terjadi di Kademangan ini? Atau maksud-maksud yang lain?”

Tetapi Bramanti tidak mau memikirkannya lagi. Ia pun segera melangkah ke arah Timur, menyusul langkah Panggiring.

Dalam pada itu, orang-orang Candisari yang mengikutinya, beriring-iringan pergi ke arah yang sama. Dengan wajah-wajah yang tegang mereka berjalan semakin cepat pula, mengikuti langkah Bramanti.

Tetapi sejenak langkah-langkah mereka tertegun. Langkah orang-orang Candisari, dan langkah Bramanti yang berada agak jauh dihadapan iring-iringan itu.

Lamat-lamat mereka mendengar tengara, suara kentongan dikejauhan. Nada kentongan itulah yang membuat dada mereka berdebar-debar. Titir. Dan mereka menjadi semakin yakin, ketika suara titir itu segera menjalar keseluruh padesaan di Kademangan Candisari.

“He, kau dengar suara titir itu?” bertanya salah seorang pengawal kepada kawannya.

“Ya, titir.”

“Dan kau tahu artinya?”

“Bahaya yang paling mengancam Kademangan.”

Tiba-tiba di antara mereka Temunggul menjadi gemetar. Terngiang kata-kata Ki Demang di Kademangan pagi tadi. Jika demikian maka suara titir itu adalah pertanda datangnya bahaya dari padepokan Panembahan Sekar Jagat.

Dengan suara gemetar ia berkata kepada Ki Jagabaya yang berada di antara mereka pula, “Kita harus segera kembali.”

Wajah Ki Jagabaya pun menjadi tegang, “Ya, tetapi bagaimana dengan Bramanti?”

“Ia sedang mengurusi keluarganya.”

“Seharusnya ia mendengar suara titir itu.”

Temunggul mengerutkan keningnya. Katanya, “Panggiring sudah ada disini, dan kini kita mendengar kentongan titir. Apakah ada hubungannya antara kegagalan Panggiring membujuk keluarganya untuk mendapatkan tempat tinggal di Kademangan ini dengan suara titir itu?”

“Maksudmu, bahwa Panggiring itu pulalah yang kini datang ke Kademangan dengan nama Panembahan Sekar Jagat?”

Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian katanya, “Persetan. Tetapi kita harus berada di Kademangan. Mungkin gardu-gardu yang hanya ditunggui oleh beberapa orang itu kini telah disapu bersih, justru sebagian terbesar anak-anak muda yang tidak sedang bertugas lagi berada disini.”

“Ya, kau benar,” sahut Ki Jagabaya.

Namun sebelum mereka mengambil keputusan, mereka melihat sesosok bayangan berlari-lari. Bramanti.

“Bagaimana dengan suara titir itu?” bertanya Temunggul ketika Bramanti telah berada di lingkungan anak-anak muda yang kebingungan.

“Kita pergi ke Kademangan. Aku urungkan niatku untuk menemui kakang Panggiring. Kita selesaikan dulu persoalan kita dengan Panembahan Sekar Jagat.”

“Justru setelah usaha Panggiring gagal.”

Bramanti mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Aku tidak tahu. Siapapun yang bernama Panembahan Sekar Jagat itu, kita harus menyelesaikan.”

Bramanti tidak menunggu jawaban lagi. Segera ia berlari-lari menuju ke Kademangan. Menurut perhitungannya Panembahan Sekar Jagat pasti akan langsung menuju ke tempat itu, karena ia tahu bahwa pusat penjagaan para pengawal berada di Kademangan itu.

Para pengawal, anak-anak muda dan bahkan orang tua-tua pun segera mengikutinya. Mereka sadar, bahwa apabila benar Panembahan Sekar Jagat datang, maka Kademangan Candisari akan berada dalam kesulitan. Menurut beberapa orang, Panembahan Sekar Jagat adalah seorang yang tidak dapat dikalahkan oleh siapapun juga. Bahkan satu dua orang telah menambah keterangan, bahwa Panembahan Sekar Jagat mempunyai aji Pancasona. Ia tidak akan dapat mati, selama ia masih menyentuh tanah.

Sambil berlari-lari Bramanti masih sempat berteriak, “Temunggul, anak-anak muda seluruh Kademangan harus bersiap. Mereka harus membawa senjata mereka. Yang sempat membuat diharap membawa obor-obor dari jenis apapun juga.

Tidak ada yang menjawab. Namun dengus nafas mereka, seakan-akan dengus nafas seekor harimau yang terluka. Satu dua orang sempat singgah ke rumah masing-masing untuk mengambil obor minyak jarak, atau obor kecil dari biji-biji jarak kepyar, atau obor belarak.

Dalam pada itu, Ki Tambi yang sedang memapah Nyai Pruwita pun mendengar suara titir itu pula, sehingga dadanya menjadi berdebar-debar.

“Titir itu?” bertanya Nyai Pruwita.

Ki Tambi menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Itu adalah suatu sikap hati-hati. Mungkin tidak ada apa-apa, namun mungkin anak-anak itu melihat sesuatu yang mereka curigai.”

“Bukankah kentong titir pertanda ada Rajapati.”

“Maksud Nyai, pembunuhan?”

Perempuan tua itu mengangguk.

“Ya. Tetapi kali ini kita disini telah mempunyai semacam perjanjian. Kentong titir mempunyai arti tersendiri. Bahaya yang besar sedang mengancam Candisari.”

Nyai Pruwita itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun terasa tubuhnya memang agak gemetar.

“Kita pergi kemana?” bertanya perempuan itu kemudian.

“Aku ingin mengantarkan Nyai dahulu, kemudian aku akan pergi ke Kademangan, untuk melihat, apakah yang datang itu benar-benar yang kita tunggu selama ini.”

“Siapa?”

“Panembahan Sekar Jagat.”

“Panembahan Sekar Jagat?” perempuan itu menjadi tegang, “Dimana Bramanti? Ia adalah salah seorang yang telah melawan Panembahan Sekar Jagat atau utusannya secara terbuka. Bramantilah yang akan mendapat perhatian khusus dari Panembahan Sekar Jagat itu. Ia harus bersembunyi. Ia harus bersembunyi.”

“Ia akan dapat menjaga dirinya Nyai. Anakmu adalah seorang anak muda yang luar biasa. Ilmunya telah meyakinkan seluruh isi Kademangan, bahwa hanya anakmulah yang akan dapat melawan Panembahan Sekar Jagat.”

“Tetapi tidak seorang pun yang dapat meremehkan, siapakah yang lebih unggul di antara mereka berdua.”

“Seluruh Kademangan meletakkan harapan kepada Bramanti.”

“Aku tidak peduli. Kademangan ini telah merampas kebahagiaanku. Kademangan ini pulalah yang telah menolak kehadiran Panggiring, dan sekarang Kademangan ini akan merampas Bramanti. Tidak. Tidak. Aku tidak mau kehilangan semuanya. Suamiku, Panggiring dan sekarang Bramanti.”

Kita Tambi menjadi bingung menghadapi Nyai Pruwita yang kehilangan akal. Perempuan itu agaknya memang sudah tidak dapat diajak berbicara lagi.

“Baiklah Nyai,” berkata Ki Tambi kemudian, “Aku akan mencari Bramanti. Tetapi sebaiknya Nyai pulang dahulu. Suara titir itu pun masih belum dapat kita pastikan artinya.”

Nyai Pruwita mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba ia berbisik, “Apakah kentong itu ditujukan kepada Panggiring?”

“Tidak. Tentu tidak. Panggiring bukan seorang pengecut. Ia adalah laki-laki jantan. kalau ia berkata pergi, maka ia pun akan pergi. Aku kira suara itu tidak ada sangkut pautnya lagi dengan Panggiring.”

Perempuan tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun lambat, namun mereka berdua akhirnya telah memasuki pedesaan. Betapa gelisahnya Ki Tambi namun ia masih mencoba menahan diri. Dengan sareh ia memapah Nyai Pruwita naik ke pendapa, kemudian membawanya masuk ke rumahnya. Perlahan-lahan dilayaninya perempuan itu duduk di amben bambu di ruang tengah.

“Nyai,” berkata Ki Tambi, “Aku langsung mita diri. Mudah-mudahan tidak ada apa-apa di pedesaan ini.”

Nyai Pruwita mengangguk-anggukkan kepa-lanya. Katanya, “Ki Tambi. Bawa anakku pulang. Bawa Bramanti kembali kepadaku. Aku menyesali sekali bahwa aku telah mengatakan keadaannya yang sebenarnya.”

Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. Ia pun telah mengatakannya pula. Jauh lebih banyak dari yang dikatakan oleh Nyai Pruwita. Tetapi Ki Tambi tidak mempunyai banyak waktu. Sambil melangkah ia menjawab, “Aku akan membawa Bramanti pulang. Tunggulah dengan tenang disini Nyai.”

Sejenak kemudian Ki Tambi telah melangkah tlundak pintu. Setelah menutup pintu itu kembali, maka ia pun langsung menghambur ke halaman dan berlari-lari ke Kademangan. Belum lagi ia melampaui gardu pertama, ia telah melihat kesibukan yang luar biasa. Anak-anak muda di gardu itu telah berdiri berderet-deret di pinggir jalan dengan senjata telanjang.

“Apa yang telah terjadi?” bertanya Ki Tambi.

“Panembahan Sekar Jagat telah datang.”

“Panembahan Sekar Jagat sendiri?”

“Kamai belum melihatnya sendiri.”

Ki Tambi mengerutkan keningnya. Kemudian ia berkata, “Panembahan Sekar Jagat hanya satu. Seandainya Panembahan Sekar Jagat benar-benar orang yang tidak terkalahkan, namun anak buahnya adalah orang-orang yang berdaging lunak seperti kalian. Ujung-ujung senjata kalian tidak akan mengulang untuk kedua kalinya. Sedang Panembahan Sekar Jagat sendiri, serahkan kepada Bramanti.”

Anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Namun mereka sudah bukan anak-anak muda Candisari beberapa saat yang lalu. Kini mereka bertekad untuk mempertahankan kampung halaman mereka sampai kemampuan yang penghabisan.

“Inilah saatnya,” berkata Ki Tambi, “Kalian tidak dapat lagi tidur bermalas-malasan. Atau memanjakan diri kalian sendiri. Kalian harus berhadapan dengan kenyataan, bahwa pada suatu saat kalian harus bersikap terhadap tanah ini.

Anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepala mereka.

“Hati-hatilah,” pesan Ki Tambi yang kemudian segera melangkah dengan tergesa-gesa meninggalkan gardu itu.

Semakin dekat dengan Kademangan, Ki Tambi merasakan, bahwa suasana memang menjadi semakin panas. Tidak hanya anak-anak muda, tetapi hampir setiap laki-laki telah keluar dari rumahnya dengan senjata di tangan.

Ketika Ki Tambi sampai ketikungan terakhir, maka langkahnya terhenti. Ia melihat sekelompok anak-anak muda berdiri disebelah menyebelah jalan. Beberapa orang di antara mereka berada di dalam pagar batu.

“He, kenapa kalian berada disini?”

“Di depan itu adalah laskar Panembahan Sekar Jagat,” jawab salah seorang dari mereka.

“He?” Ki Tambi terkejut, “Mereka sudah berada di Kademangan?”

“Ya. Sebagian dari mereka berada di halaman. Sebagian yang lain berada di luar.”

“Apakah kau melihat Bramanti?”

“Bramanti berada di halaman itu pula.”

“Jadi, maksudmu Bramanti tidak mengadakan perlawanan?”

“Bukan begitu. Mereka sedang berbicara. Panembahan Sekar Jagat mempunyai beberapa tuntutan.”

“Apakah Bramanti hanya seorang diri?”

“Tidak. Temunggul, Ki Jagabaya dan hampir semua pengawal berada disana. Mereka telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Dan kami pun hanya menunggu perintah. Kami berada di luar kepungan laskar Panembahan Sekar Jagat. Tugas kami adalah memecahkan kepungan itu dari luar.

“Apakah hanya kalian saja yang berada disini?”

“Ya. Tetapi disetiap jalan yang menuju ke Kademangan, telah dipersiapkan sekelompok pasukan. Kami akan menyerang dari segala arah apabila pertempuran terjadi. Sedang di dalam kepungan terdapat para pengawal yang dipimpin oleh Bramanti.

Dada Ki Tambi menjadi berdebar-debar. Ia ingin masuk ke halaman Kademangan supaya ia dapat melihat perkembangan keadaan. Tetapi apakah ia dapat menerobos kepungan yang dilakukan oleh orang-orang Panembahan Sekar Jagat?

Karena itu maka ia pun bertanya pula, “Apakah kepungan itu terlampau rapat?”

“Kami tidak tahu pasti. Mungkin kepungan itu tidak tertembus sama sekali.”

Tetapi Ki Tambi bukan orang yang mudah berputus asa. Maka katanya, “Aku akan mencari celah-celah yang dapat aku susupi. Aku tidak yakin bahwa lingkaran kepungan itu demikian rapatnya, sampai kerumpun-rumpun bambu dikebun belakang, atau sampai ke pinggir parit dibawah pohon cangkring.”

Anak-anak muda itu tidak menyahut. Tetapi kepala mereka terangguk-angguk.

Dengan hati-hati Ki Tambi pun melangkah maju. Tetapi ia kini tidak melalui lorong yang langsung menuju ke regol Kademangan. Dicarinya jalan lewat jalur-jalur setapak dikebun-kebun disekitar Kademangan menuju ke halaman belakang yang rimbun.

Ki Tambi itu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa Panembahan Sekar Jagat mempunyai kecakapan khusus sehingga anak-anak muda Candisari menganggap bahwa halaman Kademangan memang sudah terkepung rapat.

“Bahkan orang-orang di halaman itu pun pasti menyangka, bahwa kepungan ini tidak terputus,” katanya di dalam hati. “Aku kira mereka pasti sudah mengadakan gelar sandi, berkeliaran disekitar Kademangan sehingga membuat kesan seolah-olah laskar mereka cukp banyak dan berhasil mengepung Kademangan.”

Namun Ki Tambi yang pernah melakukan petualangan sampai ke pesisir Utara itu masih mampu mencari celah-celah yang dapat dilaluinya.

Sambil merunduk-runduk dan menahan pernafasannya, Ki Tambi menjadi semakin dekat. Diseberangi sebuah parit kecil, kemudian berlindung dibelakang gelapnya bayangan daun cangkring yang rimbun.

Perlahan-lahan ia maju. Setapak demi setapak. Sehingga akhirnya ia sampai ke dinding belakang Kademangan.

“Hem, jalan ini terbuka,” desisnya. Tetapi dinding bagian belakang ini agak tinggi.

Ki Tambi itu pun kemudian mencoba untuk memanjat. Dengan serta merta ia pun segera meloncat masuk.

Tetapi begitu kakinya menjejak tanah dua ujung tombak telah melekat di dadanya.

“He, lihat. Aku Tambi,” desisnya.

“Oh,” mata tombak itu pun kemudian merunduk,” Ki Tambi. Maaf, aku tidak dapat segera mengenal.”

“Bagus. Kalian menjadi kian tangkas,” desis Ki Tambi, kemudian, “Dimana Bramanti?”

“Di halaman.”

“Apakah Panembahan Sekar Jagat berada di halaman pula?”

“Ya,” jawab salah seorang dari keduanya.

Ki Tambi mengerutkan keningnya. Dipandanginya kedua orang itu berganti-ganti. Kemudian orang-orang lain yang berada disekitarnya. Ternyata bahwa di kebun belakang Kademangan itu telah penuh dengan para pengawal. Hampir pada setiap batang pohon bersandar anak-anak muda yang bersenjata telanjang.

“Aku akan menemui Bramanti,” berkata Ki Tambi. “Hati-hatilah. Tetapi tidak begitu banyak orang Panembahan Sekar Jagat yang ada di bagian belakang. Sebagian terbesar dari mereka berada di depan.”

“Justru mereka memusatkan orang-orang mereka untuk masuk dari jurusan ini,” jawab salah seorang pengawal.

Ki Tambi mengerutkan keningnya, “Mungkin. Tetapi aku baru saja menyusup dari jurusan ini. Agaknya mereka telah melakukan suatu gerakan yang dapat membingungkan kita.”

Anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Sementara Ki Tambi melangkah memutari rumah Kademangan menuju ke halaman depan.

Sejenak mereka tertegun ketika ia melihat seseorang yang duduk di atas punggung kuda putih. Ditangannya tergenggam sebuah trisula bertangkai pendek. Tidak lebih panjang dari lengan tangan orang yang memeganginya.

“Hem, inikah orang yang menyebut dirinya Panembahan Sekar Jagat?” berkata Ki Tambi di dalam hatinya. Namun Ki Tambi masih tetap berdiam diri. Perlahan-lahan ia bergeser mendekati Ki Jagabaya yang berdiri tegang. Di sampingnya Temunggul mematung dengan wajah yang merah padam.

Bramanti berdiri agak kemuka. Beberapa langkah dihadapan orang yang duduk di atas kuda putih.

“Menurut pengamatanku, orang itu sama sekali bukan Panggiring,” desis Ki Tambi di dalam hati. “Sekarang mereka akan dapat menarik kesimpulan bahwa dugaan anak-anak itu keliru.”

“Bagaimana?” terdengar suara Panembahan itu menggelegar, “Aku sudah berlaku adil.”

Ki Tambi mengerutkan keningnya. Kemudian ia berbisik kepada Temunggul, “Apa yang ditawarkannya?”

“Ia akan mengambil Bramanti, tanpa mengusik orang lain, karena yang telah membunuh Sapu Angin adalah Bramanti.”

Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia terkejut ketika ia mendengar orang yang duduk di atas kuda putih itu berkata, “He, kau orang baru, apakah yang kau tanyakan?”

“Tuntutanmu,” jawab Ki Tambi tanpa mengenal takut.

Semua orang berpaling kepadanya. Bramanti pun berpaling pula. Sementara Ki Tambi melangkah maju, “Apakah dasarmu, bahwa kau hanya sekadar ingin mengambil Bramanti? Apakah kau anggap dengan demikian persoalan akan selesai? Seandainya demikian, kami bukan tikus-tikus yang paling bodoh,” Ki Tambi berhenti sejenak, lalu, “Tetapi apakah kau yang bernama Sekar Jagat?”

Orang itu tidak segera menyahut. Dipandanginya orang tua yang dengan berani telah mendekatinya.

“Siapa kau?”

“Akulah yang bernama Ki Tambi.”

Orang itu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Kau terlampau sombong orang tua. Apakah kau sangka namamu dapat mengejutkan aku?”

“Tidak. Aku tidak ingin mengejutkan kau.”

“Terima kasih. Kau memang baik hati,” jawab Sekar Jagat sambil tersenyum. “Aku juga ingin memperkenalkan diriku. Namaku sudah kau sebut. Dan kini aku mengharap bahwa permohonanku kepada rakyat Candisari akan dikabulkan. Hanya seorang diantara kalian. Itu pun yang telah nyata bersalah.”

Ki Tambi tidak segera menjawab. Dipandanginya Bramanti yang berdiri tegak seperti patung.
Namun tiba-tiba Ki Tambi berkata lantang, “Itu omong kosong. Tidak ada orang yang pernah bersalah terhadap kalian. Kalianlah yang bersalah terhadap kami,” kemudian ia berpaling kepada Bramanti. “Apakah jawabanmu?”

“Terserah kepada rakyat Candisari,” desis Bramanti, “Kalau kita mempunyai harga diri, maka kita akan menghancurkan pasukan Sekar Jagat.”

Sebelum Ki Tambi menyahut, Ki Jagabaya, melangkah maju pula, “Aku sudah menggenggam senjata.”

“Nah, kau dengar Sekar Jagat,” teriak Ki Tambi yang perasaannya memang sedang melonjak-lonjak tidak karuan, “Kami juga bersenjata seperti kalian. Apakah kau tidak melihat? Kami bukan kambing perahan yang dapat kau perlakukan sewenang-wenang.”

Panembahan Sekar Jagat mengerutkan keningnya, kemudian, “Tetapi aku sudah mendapat kekuasaan untuk melakukannya dari pemimpin tertinggi kalian, Ki Demang Candisari.”

“Omong kosong.”

“Bertanyalah kepadanya. Ia ada bersama kami.”

Temunggul mengerutkan keningnya. Tanpa sesadarnya ia maju, ketika ia melihat seseorang muncul dari belakang beberapa pengawal terpercaya Panembahan Sekar Jagat.

“Jadi kaukah itu Ki Demang?” teriak Temunggul.

Ki Demang yang kemudian berdiri disamping Panembahan Sekar Jagat menganggukkan kepalanya, “Aku tidak akan berpura-pura lagi. Sebenarnyalah aku telah meletakkan perlindungan wilayah ini dari keganasan para penjahat di bawah kaki Panembahan Sekar Jagat. Karena itu kalian jangan berbuat bodoh. Kalian harus mengorbankan anak Pruwita ini. Anak seorang pejudi, pemeras dan seorang penjahat yang licik tidak ada taranya.”

“Cukup,” teriak Temunggul dan Bramanti hampir berbareng. Sementara Temunggul berkata terus, “Jadi inilah penjelasan dari sikapmu itu Ki Demang. Sehingga kau telah membujuk aku untuk melakukan pembunuhan atas Bramanti?”

Ki Demang tidak ingkar. Sambil menganggukkan kepalanya ia berkata, “Ya. Itulah. Nah, sekarang pertimbangkan.”

“Persetan,” Ki Tambilah yang berteriak. “Kami akan bertempur. Kami sudah siap dari ujung sampai ke ujung Kademangan. Kalian akan kami tumpas seperti menumpas tikus disawah.”

Tetapi Panembahan Sekar Jagat justru tertawa sambil berkata, “Kau memang orang tua yang sombong. Tetapi baiklah aku jelaskan. Kademangan ini telah terkepung. Kalau kalian tidak menyerahkan Bramanti, maka Kademangan ini akan menjadi karang abang.”

Ki Tambi mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, “Kau tidak dapat mengelabuhi orang tua-tua Sekar Jagat. Mungkin kau dapat menakut-nakuti anak-anak. Tetapi aku telah melihat dengan mata kepalaku sendiri, bahwa orang-orangmu tidak lebih dari sebaris laskar yang kelaparan disekitar halaman Kademangan ini. Itupun tidak melingkar rapat. Sedang diluar kepungan ini anak-anak muda telah siap untuk menghancurkan kalian. Nah, apakah kau masih akan menyombongkan dirimu dan pasukanmu?”

Panembahan Sekar Jagat mengerutkan keningnya. Dan ia masih mendengar Ki Tambi berkata, “Kemudian, seandainya kau ingin membakar Kademangan ini, kami tidak akan berkeberatan. Maksudku rumah Demang yang telah menjual Kademangannya. Bakarlah. Jadikanlah karang abang. Kami akan berterima kasih.”

Ki Demang mengumpat tidak habis-habisnya sedang Panembahan Sekar Jagat bertanya dalam nada yang berat, “Itukah permintaanmu? Permintaan kalian?”

“Persetan,” Ki Jagabaya yang menjawab, “Ayo, lakukanlah.” Panembahan Sekar Jagat merenung sejenak. Sekali ia berpaling dan beberapa orangnya melangkah maju.

Bramanti masih berdiri dengan dada berdebar-debar. Ia menyadari, bahwa orang-orang itu adalah orang-orang yang cukup buas, sehingga mereka akan dapat melakukan apa saja. Perintah Sekar Jagat bagi mereka adalah keharusan sampai saat ajalnya. Karena itu, untuk menghindari korban yang mengerikan akan berjatuhan, Bramanti berkata lantang, “Panembahan Sekar Jagat. Kau jangan mencoba menakut-nakuti rakyat Candisari sekarang. Mereka bukan lagi pengecut seperti beberapa saat yang lampau. Namun seandainya kau ingin berbuat jantan, dan untuk menghindari korban yang tidak perlu, marilah kita berbuat seperti laki-laki.”

Suara Bramanti itu menggelegar memenuhi setiap dada. Bahkan Panembahan Sekar Jagatpun menjadi termangu-mangu karenanya.

“Marilah kita bertaruh,” berkata Bramanti.

“Apakah yang akan kita pertaruhkan anak penjudi,” sahut Sekar Jagat, bahkan ia sempat menambah, “Bukankah darah ayahmu menurun juga kepadamu.”

“Diam,” teriak Bramanti, “Aku ingin mempertaruhkan nyawa. Kita berperang tanding. Kalau kau menang, kau dapat membunuh aku dan mencincang tubuhku. Tetapi kalau kau mati, maka anak buahmu akan menjadi tawanan kami, sampai saatnya kami menyerahkan mereka kepada kekuasaan tertinggi. Mataram.”

“Omong kosong dengan Mataram yang belum dapat berdiri tegak,” sahut Panembahan Sekar Jagat. “Tetapi tawaranmu sangat menarik.”

“Nah, marilah. Kita bertempur di halaman ini.”

Panembahan Sekar Jagat termenung sejenak. Sehingga sejenak halaman itu menjadi sepi. Tetapi sepi yang tegang.

Tiba-tiba tanpa mengucapkan sepatah katapun Panembahan Sekar Jagat turun dari kudanya. Dijinjingnya trisulanya sambil melangkah beberapa langkah maju. Dilepaskannya saja kudanya sehingga salah seorang anak buahnya dengan tergesa-gesa menangkap kendalinya.

“Kau adalah anak muda yang jantan Bramanti,” berkata Panembahan Sekar Jagat. “Nah, kalau begitu marilah, aku penuhi permintaanmu.”

Suasana yang tegang itu menjadi semakin tegang. Dengan hampir tidak berkedip mereka memandangi Panembahan Sekar Jagat dan Bramanti berganti-ganti.

Panembahan Sekar Jagat, adalah seorang yang bertubuh kecil pendek terpelihara rapi. Pakaiannya pun adalah pakaian yang baik dan mahal. Orang-orang di halaman itu tidak dapat melihat wajah itu dengan sempurna. Tetapi mereka menduga bahwa Panembahan Sekar Jagat berumur kira-kira dipertengahan abad.

“Bersiaplah anak muda,” suara Panembahan Sekar Jagat sareh, “Sebaiknya kita segera mulai.

Bramanti mengangkat dadanya. Ia pun maju setapak. Kemudian berkata lantang, “Menepilah. Lihatlah, apakah yang akan terjadi. Kalian sudah mendengar, apa yang akan kami lakukan.”

Ki Tambi mengerutkan keningnya. Ia masih berdiri di tempatnya. Bahkan ia pun kemudian melangkah maju mendekati Bramanti sambil berkata, “Hati-hatilah Bramanti.”

Bramanti tidak menjawab. Dipandanginya Ki Tambi sekilas. Orang tua itu baru saja mengumpatinya. Tetapi ini terasa, betapa orang tua itu mencemaskan nasibnya.

Perlahan-lahan Bramanti menganggukkan kepalanya.

“Nah, berilah anak itu petunjuk agar ia tidak mengecewakan,” desis Sekar Jagat.

“Aku tidak perlu memberinya petunjuk apapun. Tidak ada seorang pun yang dapat menyamainya. Sapu Angin itu mati dengan beberapa kejap saja,” jawab Ki Tambi.

Panembahan Sekar Jagat mengerutkan keningnya. Kemudian trisulanya pun merunduk perlahan-lahan. Desisnya, “Minggirlah. Kami memerlukan tempat yang cukup.”

Maka orang-orang yang berada di halaman itu pun segera menyibak. Namun dengan demikian, orang-orang yang berdiri agak jauh menjadi semakin mendekat. Mereka ingin melihat apa yang akan terjadi kemudian dengan kedua orang itu.

Meskipun demikian Temunggul masih sempat berbisik kepada salah seorang pengawal, “Jangan lengah, awasi anak buah Sekar Jagat. Mungkin ada di antara mereka yang akan berbuat curang.”

Pengawal itu pun menganggukkan kepalanya, dan perintah itu segera menjalar dari telinga ke telinga.

Sementara keduanya saling berhadapan, dan masing-masing telah menggenggam senjata masing-masing dengan eratnya, maka sebuah bayangan di ujung Kademangan berjalan dengan kepala tunduk. Langkahnya satu-satu seakan-akan diberati oleh segumpal batu hitam. Namun ia masih tetap berjalan meskipun semakin lambat.

Tiba-tiba bayangan itu berhenti. Sejenak ia berhenti mematung, namun kemudian dipalingkannya wajahnya. Dihisapnya udara malam yang sejuk itu dalam-dalam, seakan-akan ia mencoba mendinginkan hatinya yang sedang menggelepar.

Orang itu, Panggiring, kini berdiri tegak sambil memandangi Kademangan yang akan ditinggalkannya. Usahanya untuk kembali ke kampung halamannya ternyata sama sekali tidak memberikan buah seperti yang diharapkan.

“Aku tidak akan melihatnya lagi,” desisnya. “Tetapi itu adalah salahku.”

Tiba-tiba terbayang sejenak masa kanak-kanak. Bagaimana ia dipukuli oleh ayah Bramanti yang sedang kalah dilingkaran judi, justru pada saat ia memberitahukan bahwa Bramanti sedang dalam keadaan sakit yang gawat. Kemudian ia terusir dari kampung halaman, mengembara tidak tentu tujuan. Setiap orang selalu mengusirnya seperti mengusir burung disawah.

Terkenang olehnya, bagaimana ia hampir kelaparan di pinggir sawah tanpa seorang pun yang mengasihinya. Dan terkenang pula olehnya, bagiamana ia menjadi putus asa, dan kehilangan akal, sehingga tiba-tiba saja ia telah menerkam seorang gadis kecil yang sedang pergi ke sawah, membawa makanan untuk ayah atau kakaknya yang sedang bekerja. Kemudian dirampasnya makanan itu, dibawanya bersembunyi ke dalam gerumbul.

Panggiring menggeleng-gelengkan kepalanya. Hampir saja ia mati tercekik justru karena ia menyuapi mulutnya terlampau banyak. Sedemikian laparnya, sehingga ia ingin menelan sebungkus nasi itu sekaligus.

“Itulah permulaannya,” desisnya.

Dan seterusnya terbayang apa yang terjadi, seperti ia melihatnya sendiri dalam suatu rangkaian peristiwa yang baru saja kemarin terjadi.

Perampasan, pencurian kecil-kecilan dan perampokan terhadap penjual makanan dan minuman.

Terkenang pula olehnya, ketika pada suatu ketika ia dikejar-kejar oleh orang-orang sedesa karena ia mencuri. Dengan terengah-engah ia terperosok ke dalam sebuah gerumbul. Ia terbebas dari orang-orang yang mengejarnya ketika tiba-tiba saja bahunya ditepuk oleh seseorang yang tidak dikenalnya.

Demikian takutnya, sehingga tanpa mengucapkan sepatah katapun ia langsung menyerang orang itu. Tetapi ia terpelanting jatuh. Seakan-akan tulang-tulangnya terasa berpatahan. Hatinya menjadi semakin kecut ketika ia melihat orang itu justru tertawa. Katanya, “Kau berbakat. Kau berhasil lolos dari orang-orang bodoh yang mengejarmu. Mari ikut aku.”

Saat itu ia menjadi kebingungan sejenak. Namun akhirnya ia mengikutinya.

“Hem,” Panggiring menarik nafas dalam-dalam. Hari-hari berikutnya ia adalah seorang penjahat yang semakin lama menjadi semakin besar sebesar nama orang yang membawanya itu.

Panggiring itu pun kemudian tersandar pada sebatang pohon preh beberapa patok dari desa. Pohon preh disimpang tiga. Disitulah Bramanti duduk termangu-mangu pada saat ia datang untuk pertama kali di Kademangannya kembali setelah bertahun-tahun ditinggalkannya.

Panggiring yang bersandar pohon preh itu mendengar juga titir yang mengumandang diseluruh Kademangan yang kini justru telah berhenti. Ia sadar bahwa titir itu sama sekali tidak ditujukan untuknya, karena justru beberapa orang yang mengikutinya telah dengan tergesa-gesa bahkan berlari-lari kembali ke Kademangan.

Namun dada Panggiring itu menjadi berdebar-debar ketika ketajaman matanya menangkap sesosok tubuh yang berjalan perlahan-lahan mendekatinya. Perlahan-lahan ia ragu-ragu. Panggiring masih tetap berdiri ditempatnya. Dan sesosok tubuh itu menjadi semakin dekat. Beberapa langkah daripadanya bayangan itu berhenti.

Panggiring masih belum beranjak dari tempatnya. Tetapi ia menjadi heran ketika ia mengetahui bahwa yang mendekatinya adalah seorang perempuan.

Dan perempuan itu adalah gadis yang bernama Ratri.

Ternyata orang-orang yang mengerumuni Panggiring dan Bramanti disawah sama sekali tidak menaruh perhatian atasnya, karena perhatian mereka tertumpah pada kakak beradik itu. Ketika kemudian terdengar kentong titir, maka orang-orang lain semakin tidak memperhatikannya lagi. Mereka berlari-lari dengan tergesa-gesa ke Kademangan, sehingga Ratri kemudian tertinggal sendiri.

Tetapi ketika kini ia berdiri beberapa langkah dihadapan Panggiring, tubuhnya menjadi gemetar karenanya. Tiba-tiba saja terbersit ketakutan yang amat sangat. Kenapa ia telah berbuat begitu gila, mengikuti Panggiring yang sudah lama tidak dijumpainya? Apakah Panggiring yang sekarang masih sebaik Panggiring yang dahulu?

Bulu-bulunya meremang ketika ia sadar bahwa Panggiring adalah seorang penjahat yang tidak ada taranya. Ia bukan saja merampas hartabenda, tetapi juga merampas kehormatan gadis-gadis. Dan kini Panggiring itu berdiri dihadapannya seorang diri.

Ratri menjadi hampir pingsan ketika laki-laki yang bernama Panggiring itu melangkah mendekatinya. Apalagi ketika semakin dekat, ternyata semakin nyata bahwa Panggiring itu sama sekali sudah berubah. Wajahnya sama sekali bukan wajah yang selama ini dibayangkannya. Wajah ini adalah wajah yang kasar, dan bahkan wajah yang penuh dengan noda-noda dan bekas-bekas luka.

“Kenapa aku menjadi gila? Kenapa?” Ratri menyesal bukan buatan. Dan laki-laki berwajah kasar, sekasar batu padas itu menjadi semakin dekat.

Namun ketika ia mendengar suara laki-laki itu, hatinya tersentuh. Suara itu dikenalnya. Suara Panggiring. Tetapi ia heran bahwa laki-laki itu bertanya, “Siapa kau?”

Sejenak Ratri memandang laki-laki itu. “Kenapa ia bertanya?”

Dan pertanyaan itu diulanginya, “Siapa kau?”

Ratri menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ia menjawab, “Ratri.”

Panggiring mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia mengulangi nama itu, “Ratri, Ratri,” tetapi kemudian ia bertanya, “Dimana rumahmu?”

Ratri menjadi semakin heran. Ternyata Panggiring telah melupakannya.

“Aku anak Candisari. Apakah kakang Panggiring lupa padaku?”

Panggiring mencoba mengangguk-angguk. Tetapi ia masih belum dapat mengenal anak itu.

“Aku Ratri kakang. Ratri.”

Perlahan-lahan kepala Panggiring terangguk-angguk dan terangguk-angguk. Dan perlahan-lahan ia berhasil mengingat kembali seorang gadis kecil yang manis.

Tetapi tidak ada kesan apapun pada Panggiring selain Ratri adalah seorang anak yang manis, yang seperti anak-anak yang lain, sering nakal dan manja.

Dan tiba-tiba ia bertanya, “Kenapa kau kemari?” Suara itu masih bernada lembut seperti yang dahulu sering didengarnya. Tetapi setiap kali tatapan mata Ratri menyentuh wajah laki-laki itu, terasa kulitnya meremang.

“Bukan, bukan wajah itu yang selalu membayang,” terdengar suara didalam lubuk hatinya yang paling ujung, “Wajah yang aku sangka Panggiring ternyata adalah wajah Bramanti. Dan Bramanti ternyata tidak melupakan aku setelah sekian tahun berpisah. Tetapi Panggiring sama sekali tidak teringat lagi masa kanak-kanak itu.”

Dalam pada itu Ratri mendengar Panggiring berkata, “Pulanglah Ratri. Berbahaya bagimu disini. Apakah kau tadi tidak mendengar suara titir?”

Pertanyaan itu ternyata membuat Ratri semakin kecut. Dan tanpa sesadarnya ia berkata, “Aku takut kakang.”

“Takut?” Panggiring mengerutkan keningnya. “Kalau kau takut kenapa kau kemari?”

Ratri terdiam. Kepalanya tertunduk dalam-dalam. Tetapi hatinya menjadi bertambah ngeri. Ia tidak berani kembali karena suara titir itu, dan ia menjadi semakin ngeri berdiri dihadapan Panggiring tanpa orang lain.

Panggiring pun terdiam sejenak. Ditatapnya saja gadis yang aneh itu. Namun sejenak kemudian ia berkata, “Marilah, aku antar kau sampai ke pinggir desa.”

Ratri mengangkat wajahnya sejenak. Katanya, “Apakah kau benar-benar akan meninggalkan Kademangan ini?”

Panggiring menganggukkan kepalanya.

Sekilas terbayang dikepala Ratri, bahwa Panggiring pasti bukanlah orang kebanyakan, kalau ia mampu menjadi seorang kepala perampok yang disegani. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berkata, “Apakah kau tidak berhasrat membantu mereka yang sedang berusaha mengusir Panembahan Sekar Jagat itu?”.

Panggiring tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah gadis yang masih berdiri kaku dihadapannya. Namun tiba-tiba ia menggelengkan kepalanya, “Aku sudah berjanji kepada diri sendiri, bahwa aku tidak akan lagi mempergunakan kekerasan untuk maksud apapun.”

“Tetapi, tetapi seisi Kademangan Candisari berada di dalam ketakutan.”

Panggiring menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan terdengar suaranya, “Candisari sudah tidak memerlukan aku lagi. Untuk melawan Panembahan Sekar Jagat, Candisari sudah memiliki Bramanti. Ia adalah seorang anak muda yang mumpuni.”

Ratri tidak segera menjawab. Tetapi tersirat kekecewaan di hati laki-laki itu. Betapa ia mencoba menerima keadaannya, namun ternyata didasar hatinya terpercik pula kekecewaan yang membekas. Tetapi ditahankannya kekecewaannya itu untuk tetap mengendap di dasar yang paling dalam.

Dalam kediamannya itu Ratri mendengar Panggiring berkata, “Lekaslah Ratri, aku antar kau sampai ke pinggir desa. Kemudian kau pergi ke gardu yang terdekat. Di dalam gardu itu pasti ada dua atau tiga orang. Dan kau dapat berlindung kepada mereka.”

Sekilas Ratri memandang wajah laki-laki yang bernama Panggiring itu. Sekali lagi terasa bulu-bulunya meremang. Wajah itu keras dan kasar sekasar batu-batu padas digerojogan. Namun demikian kata-katanya masih terasa lembut. Seperti suara dan kata-kata Panggiring yang pernah didengarnya beberapa tahun yang lampau.

“Marilah,” berkata Panggiring kemudian.

Tanpa menjawab lagi Ratri kemudian memutar dirinya dan berjalan tergesa-gesa kembali ke pedesaan beberapa patok dihadapannya. Meskipun demikian setiap kali ia berpaling untuk melihat laki-laki yang berjalan dibelakangnya. Kadang-kadang tumbuh juga kengerian dihatinya, kalau tiba-tiba saja laki-laki itu menerkamnya.

Tetapi laki-laki itu berjalan beberapa langkah daripadanya. Sama sekali tidak menjadi semakin dekat, justru menjadi semakin jauh.

“Ratri,” berkata Panggiring setelah mereka mendekati sudut desa, “Aku tidak dapat mengantarmu lebih dekat lagi. Aku akan mengotori Kademangan Candisari, karena tangan dan tubuhku telah penuh dengan noda-noda yang tidak terhapuskan. Selamat malam. Aku akan meninggalkan Kademangan ini untuk seterusnya.”

Ratri tertegun sejenak. Perlahan-lahan ia menjawab, “Jadi kau benar-benar akan pergi?”

“Ya Ratri.”

“Dan kau tidak mau membantu mengusir mereka yang sedang memeras Kademangan ini?”

“Aku tidak dapat Ratri. Aku pasti akan dianggap bersalah.”

Ratri menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu benar, bahwa di seberang tikungan itu ada sebuah gardu. Karena itu, maka tiba-tiba ia berkata sambil berlari, “Terima kasih Panggiring. Aku akan pergi ke gardu itu.”

Sepeninggalan Ratri, Panggiring masih berdiri sejenak di tempatnya. Masih ada juga seseorang yang mau menyapanya, meskipun hanya sepatah dua patah kata, dan tanpa dimengerti maksudnya.

Perlahan-lahan kepala Panggiring terangguk-angguk. Kemudian ia memutar dirinya dan berjalan meninggalkan padukuhan Candisari. Meskipun kini langkahnya terasa semakin berat, tetapi ia tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus pergi. Sekilas terbayang juga perkelahian antara orang-orang Candisari dan orang-orang Panembahan Sekar Jagat.

“Hem,” Panggiring mendesah, “Panembahan Sekar Jagat agaknya seorang yang pilih tanding. Apakah Bramanti mampu melawannya?” Tetapi kakinya masih juga melangkah satu-satu. Semakin lama semakin menjauhi kampung halaman.

Sementara itu Ratri datang berlari-lari di gardu yang pertama-tama ia jumpai. Kedatangannya benar-benar telah mengejutkan beberapa orang yang sedang berada di gardu itu.

“Ratri,” sapa salah seorang di antara mereka, “Darimanakah kau?”

“Aku?” Ratri tergagap, “Dari sawah.”

“Malam-malam begini?”

“Tetapi itu tidak penting, antarkan aku pulang.”

“Siapa yang harus mengantarmu? Kami yang dua harus segera pergi ke Kademangan, sedang yang lain, yang tiga harus tetap tinggal di gardu ini.”

“Salah seorang dari yang tiga itu.”

“Tidak berani. Terlampau berbahaya.”

“Jadi? Dua orang mengantarkan aku.”

“Yang seorang tidak berani tinggal seorang diri di gardu.”

“Lalu.”

“Pergilah bersama keduanya yang akan pergi ke Kademangan. Kau akan diantarkan pulang, kemudian mereka akan pergi ke Kademangan untuk memperkuat kesiagaan para pengawal disana.”

“Baiklah.”

Dan sejenak kemudian Ratri bersama dua orang anak-anak muda meninggalkan gardu yang kini tinggal ditunggui oleh tiga orang yang gelisah. Mereka tidak berani berada di dalam gardu. Mereka takut tiba-tiba mereka telah diterkam oleh orang-orang Panembahan Sekar Jagat. Karena itu, mereka bertiga duduk saja di atas pagar batu disamping gardu, dibelakang rimbunnya dedaunan.

Namun Ratri kemudian sama sekali tidak ingin pulang kerumahnya. Ia memaksa untuk ikut saja ke Kademangan.

“Kau gila Ratri. Apakah kau tidak tahu, bahwa disana mungkin sekali akan terjadi peperangan?”

“Tetapi aku lebih aman berada disana. Kalau keadaan memaksa aku akan bersembunyi di rumah-rumah terdekat. Tetapi kalau aku tinggal dirumah, mungkin ada di antara mereka yang mencari aku.”

Kedua anak muda itu tidak dapat memaksa Ratri pulang. Gadis itu ternyata ikut bersama mereka ke Kademangan, meskipun kemudian ia berhenti agak jauh. Dengan badan gemetar gadis itu berlindung dibalik pagar sebuah halaman rumah yang luas.

“Aku akan bersembunyi di dalam rumah ini. Dirumahku sendiri aku tidak mendapat perlindungan. Ayah pasti berada di halaman ini pula bersama Ki Jagabaya dan orang-orang lain.”

Tetapi yang sebenarnya tersirat di dalam hati Ratri adalah kecemasannya tentang kemungkinan yang dapat terjadi atas Bramanti. Seperti pada saat ia tanpa dapat dikendalikan lagi ingin bertemu dengan Panggiring, maka kini ia telah berbuat serupa. Ia ingin melihat akhir dari perkelahian yang sedang berkecamuk di halaman.

Kini perlahan-lahan ia menyadari, bahwa Panggiring bukan suatu kenyataan yang diharapkannya. Laki-laki itu tidak lebih dari orang lain yang tidak lagi dapat mengenalinya. Dan tanpa disadarinya tiba-tiba timbullah pertanyaan dihatinya, “Kenapa ia menyangka bahwa anak muda yang bernama Bramanti itu Panggiring?”

Kini ia mengerti, bahwa kenyataan yang dihadapinya itu dianggapnya sebagai suatu angan-angan yang bertolak dari perasaan kekanak-kanakannya. Tetapi dalam keadaan yang demikian Bramanti sedang berada di dalam bahaya, karena ia sedang berkelahi melawan Panembahan Sekar Jagat, seorang melawan seorang.

Demikianlah yang sedang terjadi di halaman Kademangan. Bramanti dengan pedang pendeknya bertempur mati-matian melawan Panembahan Sekar Jagat yang memegang sebatang trisula bertangkai sepanjang lengannya.

Pertempuran di antara kedua orang itu semakin lama menjadi semakin seru. Ternyata Bramanti adalah seorang anak muda yang memiliki kemampuan yang luar biasa. dan kini ternyata, bahwa dengan tangasnya ia mampu melawan trisula itu dengan pedang pendeknya. Dengan lincahnya ia berloncat-loncat seperti burung sikatan. Namun tiba-tiba saja pedang pendeknya mematuk-matuk dengan dahsyatnya.

Tetapi lawannya adalah seorang yang menyebut dirinya Panembahan Sekar Jagat. Seorang pemeras yang tidak ada taranya di daerah Selatan. Tidak hanya di sekitar Kademangan Candisari.

Dalam kesibukan membangun diri, Mataram masih belum dapat berbuat terlampau banyak, sehingga Candisari, Prambanan, membujur ke Timur, seakan-akan tidak lagi mendapat perlindungannya.

Panembahan Sekar Jagat adalah seseorang yang telah masak untuk melakukan pekerjaan yang dipilihnya. Ia adalah seorang yang dapat berbuat apa saja tanpa berkesan dihatinya. Apalagi lawan, kawan dan anak buahnya sendiri, tidak terkecuali. Kalau ia ingin membunuh, maka ia pun segera membunuh.

Meskipun demikian ia terpaksa sekali-kali mengumpat melawan anak muda yang bernama Bramanti. Anak yang tangguh dan tangkas tiada taranya. Belum pernah ia menemui lawan seperti anak ini.

Namun dengan demikian, Panembahan Sekar Jagat menjadi semakin lama semakin marah. Dari matanya seakan-akan memancar bara api yang paling panas. Sekali-kali ia menggeretakkan giginya, dan bahkan kemudian ia menggeram, “Kau memang ingin aku cincang Sabuk Tampar.”

Bramanti tidak menjawab. Peluhnya telah membasahi seluruh tubuhnya. Setiap kali ia terkejut apabila ujung trisula lawannya hampir menyentuh keningnya. Bahkan semakin lama semakin sering. Ujung trisula itu rasa-rasanya menjadi semakin lama semakin banyak. Tidak hanya bermata tiga, namun serasa menjadi bermata sepuluh, lima belas, bahkan kemudian seakan-akan trisula itulah yang menjadi sepuluh dan lima belas, sehingga ujungnya menjadi semakin banyak.

Bramanti mengerahkan segenap kemampuan dan ilmu yang ada padanya. Dipusatkannya segenap kekuatan lahir dan batinnya. Ia tidak mau terpengaruh oleh kecepatan bergerak tangan Panembahan Sekar Jagat. Ia tidak mau dibingungkan oleh ujung-ujung senjata yang hanya sekadar semu. Tetapi ia tahu pasti, ujung trisula yang hanya sebuah itu adalah tiga pucuk.

Dengan sepenuh kemampuan Bramanti mengimbangi kecepatan bergera lawannya. Pedang pendeknya menyambar-nyambar seperti seberkas kumbang yang beterbangan diseputar lawannya.

Mereka yang menyaksikan pertempuran itu terpaku ditempatnya seperti kehilangan ke- sadaran. Baik orang-orang Panembahan Sekar Jagat, maupun para pengawal Kademangan Candisari.

Wanda Geni yang memiliki kemampuan yang cukup itupun berdiri tegak seperti tiang dengan mulut ternganga. Ia belum pernah menyaksikan pertempuran demikian dahsyatnya. Desak mendesak, dorong mendorong silih berganti. Ia belum pernah melihat Panembahan Sekar Jagat memerlukan waktu yang sekian banyaknya untuk menyelesaikan lawannya. Namun kini, mereka bahkan masih saja seimbang.

Ki Demang Candisari pun berdiri termangu-mangu. Sama sekali tidak terlintas dikepalanya, bahwa anak Pruwita yang terbunuh itu benar-benar mampu bertempur melawan Panembahan Sekar Jagat. Apalagi Ki Jagabaya, Temunggul, Panjang, Suwela dan kawan-kawannya. Mereka hampir tidak mengerti, bagaimana perkelahian yang demikian itu dapat terjadi.

Malam yang semakin dalam langsung menukik ke akhirnya. Semburat warna merah membayang dilangit. Dan ayam jantan yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi di Kademangannya, masih juga berkokok bersahut-sahutan.

“Setan alas,” geram Panembahan Sekar Jagat, “Kau memang anak yang luar biasa. Agaknya kau masih sempat sekali lagi memandang fajar yang mekar dilangit.”

Bramanti tidak menjawab. Tetapi nafasnya telah menjadi semakin memburu. Segala macam kemampuan dan ilmu yang pernah diterimanya telah ditumpahkannya dalam perlawanannya atas Panembahan Sekar Jagat kali ini.

Namun ternyata bahwa kali ini ia bertemu dengan seorang yang tidak dapat dikuasainya dengan ilmunya itu. Ternyata bahwa Panembahan Sekar Jagat memiliki kelebihan dari lawannya yang masih terlampau muda itu. Sekar Jagat memiliki pengalaman yang jauh lebih banyak untuk mengenal kelemahan lawan.

Dan kali ini Panembahan Sekar Jagat dengan tersenyum di dalam hati berkata kepada diri sendiri, “Kalau kau terlampau banyak menghamburkan tenaga anak muda. Sebentar lagi kau akan kelelahan. Meskipun aku tidak dapat mengalahkan ilmumu, tetapi apabila tenagamu susut, maka kau akan segera dapat aku kuasai. Kau akan segera menjadi tontonan, bagaimana Panembahan Sekar Jagat menghukum orang yang berani menentangnya.”

Dan perhitungan Panembahan Sekar Jagat itu ternyata tepat. Betapapun dahsyatnya ilmu Bramanti, tetapi Panembahan Sekar Jagat lambat laun berhasil menguasainya.

Pengalaman yang panjang, serta sifat-sifatnya yang tidak pernah ragu-ragu melihat darah mengalir, telah membuatnya kali ini berhasil mendesak Bramanti.

Cahaya dilangitpun menjadi semakin lama semakin terang. Beberapa orang yang berdiri diseputar halaman segera dapat melihat, selain keringat, pakaian Bramanti telah diwarnai oleh bintik-bintik darahnya. Ternyata ujung trisula Panembahan Sekar Jagat telah berhasil menyentuhnya beberapa kali.

“Ha,” berkata Panembahan Sekar Jagat, “Kau akan segera melihat matahari yang terakhir. Kemudian setiap orang akan melihat kau terikat disebuah tiang ditengah-tengah halaman ini. Semua orang harus melukaimu dan menitikkan air garam ke luka itu.”

Suasana menjadi semakin lama semakin tegang. Tenaga Bramanti memang sudah mulai susut. Setiap kali ia terdesak dan berputaran. Bahkan beberapa kali Bramanti terdorong, dan hampir-hampir saja ia jatuh terlentang. Hanya karena tekadnya yang menyala di dadanya, ia masih mampu melakukan perlawanan.

Ki Tambi berdiri membeku ditempatnya. Nafasnya pun ikut terengah-engah pula. Ada juga orang yang dapat melampaui kemampuan Bramanti. Dan kini Bramanti benar-benar berada dalam bahaya.

Tetapi Ki Tambi bukan seorang pengecut. Sekilas ia sambarkan wajah Temunggul yang merah membara. Urat-uratnya seakan-akan menonjol dikeningnya. Demikian tegangnya ia menyaksikan perkelahian itu, sehingga ia tidak lagi menyadari keadaan disekitarnya.

“Kalau Bramanti memang harus kalah,” berkata Ki Tambi di dalam hatinya. “Seluruh isi Kademangan harus mengangkat senjata.”

Tetapi Ki Tambi menyadari, bahwa dengan demikian hati para pengawal pasti sudah tergetar. Bramanti adalah kebanggaan mereka, dan Bramanti telah dikalahkan.

Semua orang yang menyaksikan perkelahian itu terkejut ketika mereka melihat benturan senjata keduanya. Ketika matahari telah menjatuhkan sinarnya pada kedua orang yang sedang bertempur itu, maka sebuah benturan yang dahsyat telah terjadi. Bramanti yang kelelahan tidak dapat lagi bertahan lebih lama, sehingga ia terdorong beberapa langkah surut. Tanpa dapat mempertahankan keseimbangannya lagi ia jatuh terlentang, dan senjatanya terlepas dari tangannya.

Sejenak, semua orang diam membeku. Bahkan darah para pengawal Kademangan, Temunggul, Ki Tambi, Ki Jagabaya, serasa berhenti mengalir. Dengan pandangan kosong mereka melihat Panembahan Sekar Jagat itu berdiri bertolak pinggang beberapa langkah dari Bramanti. Kemudian terdengar suara tertawanya membelah keheningan.

“Hem,” desahnya, “Kau memang anak yang luar biasa. Kau mampu menitikkan keringatku. Aku harus bertempur mengerahkan segenap kemampuanku untuk mengalahkan kau. Tetapi akhirnya, kau hanya sekadar menunggu matahari terbit. Dan kau akan mendapat hukuman picis di halaman Kademangan ini, setelah aku merobek perutmu, dan mematahkan tanganmu. Jangan takut, kau tidak akan segera mati karena kau harus mengalami rasa sakit dan ketakutan, penyesalan dan kekecewaan.

Kemudian aku akan membutakan matamu dan membiarkan kau sembuh, karena aku mempunyai seorang dukun yang baik. Persetan dengan ceritera tentang orang-orang buta dan orang-orang cacat. Orang yang lengkap dengan ilmu Sapta Pangrungu, Sapta Pamiyat dan Sapta Pangrasa, dengan kelebihan jasmaniah dan kelengkapan indera akan pasti lebih baik dari mereka yang cacat. Aku akan membuktikannya, dan kau akan menjadi percobaan. Aku akan menyempurnakan inderaku dan kau dapat mencari dalam kegelapan butamu. Lain kali kita akan bertemu, apakah kau akan dapat mengalahkan aku.”

Bramanti tidak menjawab. Tetapi yang dilakukan oleh Panembahan Sekar Jagat adalah siksaan yang tiada taranya. Meskipun ia sadar, tetapi ia tidak mengeluh. Ketika Bramanti mencoba bangkit, tiba-tiba saja ujung trisula Panembahan Sekar Jagat telah berada setebal daun dihadapan mata Bramanti, sehingga Bramanti terpaksa mengurungkan niatnya.

“Jangan mencoba melawan. Aku masih mempunyai berjenis-jenis cara untuk menghukummu.”

Tidak terdengar sebuah desispun dari mulut Bramanti. Apalagi sebuah keluhan. Ditatapnya mata Panembahan Sekar Jagat dengan tajamnya.

Panembahan Sekar Jagat mengerutkan keningnya melihat ketajaman mata Bramanti. Sama sekali tidak terbayang ketakutan, kecemasan penyesalan dan perasaan-perasaan yang diharapkannya.

“Setan alas. Kenapa kau tidak merintih he?”

Bramanti tidak menyahut. Tetapi ia terdorong dan sekali lagi terbaring menelentang ketika kaki Panembahan Sekar Jagat mengenai dagunya.

“Kau memang keras kepala. Aku tidak tahan menunggu terlalu lama untuk melubangi matamu.”

Panembahan Sekar Jagat tiba-tiba menjadi semakin buas. Matanya menjadi merah dan giginya gemeretak menahan kekecewaannya. Ternyata Bramanti sama sekali tidak merengek dan merintih seperti yang diharapkannya.

Namun dalam keadaan itu, selagi dengan penuh nafsu yang menyala didadanya, Panembahan Sekar Jagat melangkah semakin mendekat, seluruh halaman itu seakan-akan terguncang ketika Panembahan Sekar Jagat itu tiba-tiba berhenti. Bahkan Panembahan Sekar Jagat itupun terkejut pula bukan buatan.

Dalam ketegangan itu melayanglah sebuah kepingan perak yang berkilat-kilat tepat dihadapan kaki Panembahan Sekar Jagat.

Panembahan Sekar Jagat tertegun sejenak. Dengan tangkai trisulanya ia mendorong benda itu lebih mendekat. Dan tiba-tiba dengan tangan gemetar dipungutnya kepingan perak itu, dan dengan suara gemetar ia berdesis, “Candisari.”

Dan semua jantung serasa berhenti berdetak ketika dari antara mereka yang berdiri mengitari halaman itu terdengar suara yang berat tertahan, “Panembahan Sekar Jagat, aku datang menemui tantanganmu.”

Ketika setiap mata berpaling ke arah suara itu, mereka melihat seseorang yang bertubuh kekar, berwajah sekeras batu padas di gerojogan meloncat masuk ke arena. Ternyata semula tidak ada seorang pun yang memperhatikan kehadirannya. Namun kini tiba-tiba setiap mulut berdesis, “Panggiring. Ya, Panggiring.”

Ketegangan dihalaman itu menjadi semakin memuncak. Setiap dada menjadi bergejolak. Perlahan-lahan Panggiring berjalan mendekati Panembahan Sekar Jagat. Tatapan matanya yang setajam ujung pedang itu langsung menusuk kemata Panembahan Sekar Jagat.

Baik Panembahan Sekar Jagat, maupun Bramanti yang masih terlentang ditanah, sejenak tidak bergerak. Mereka memandang langkah Panggiring yang tenang dan meyakinkan.

Bagaimanapun juga, terasa sesuatu berdetak dijantung Bramanti. Apalagi Ki Tambi. Langkah Panggiring kali ini bukan langkah Panggiring semalam yang berjalan sambil menundukkan kepalanya. Tetapi Panggiring yang ini, maju selangkah demi selangkah dengan dada tengadah.

“Maaf Panembahan Sekar Jagat,” berkata Panggiring, “Baru sekarang aku datang memenuhi undanganmu. Aku berterima kasih, karena kau telah sudi mengundang aku yang selama ini berkuasa tanpa tanding di pesisir Utara. Agaknya kaupun merasa tanpa tanding dijaluran Selatan pulau ini, apalagi pada saat Pajang tenggelam dan lahir suatu pemerintahan baru yang masih belum mapan.

Panembahan Sekar Jagat agaknya telah dapat menguasai terkejutnya. Karena itu ia berkisar sambil menjawab, “Huh, ternyata kau datang setelah sekian lama menjawab tantanganku. Kemanakah kau selama ini Panggiring?”

“Aku tidak ada ditempat Panembahan. Aku sedang mengitari semenanjung Melayu, menyusuri laut Cina Selatan, untuk melihat dengan mata kepala sendiri kekuatan Naga Kuning yang menurut ceritera menakutkan. Tetapi ternyata mereka tidak lebih dari anak-anak yang baru belajar berenang dilaut yang diam.”

“Persetan,” potong Panembahan Sekar Jagat. “Kau mengigau. Aku jangan kau takut-takuti dengan ceritera ngayawara itu.”

Tiba-tiba Panggiring tertawa. Suaranya mengerikan seakan-akan mengguncang setiap dada mereka yang mendengarnya.

“Kau takut mendengar ceritera itu? Baiklah. Aku tidak akan berceritera tentang petualangan. Sekarang, aku telah datang memenuhi tantanganmu.”

“Baik. Baik. Kita akan meminjam arena ini.”

“Aku terima usulmu,” jawab Panggiring. “Tetapi agaknya kau masih lelah bermain-main dengan anak ini. Supaya adil aku akan memberimu kesempatan beristirahat Mungkin sehari atau dua hari, supaya ilmumu yang hanya sekadarnya itu dapat pulih kembali.”

Panembahan Sekar Jagat menggeretakkan giginya. Dan tiba-tiba ia berteriak, “Tidak. Aku tidak memerlukan apa-apa. Sekarang juga kita bertempur. Aku kira kaupun tidak akan lebih baik dari anak ini. Dan aku akan menghancurkan kau lebih lumat dari Bramanti yang sombong ini.”

Panggiring menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sekali lagi ia tertawa pendek. Disapunya setiap wajah dengan tatapan matanya. Ki Tambi, Ki Jagabaya, Bramanti yang perlahan-lahan kini duduk ditanah, anak-anak muda pengawal Kademangan dan beberapa orang anak buah Panembahan Sekar Jagat. Sejenak ia menengadahkan kepalanya memandang cerahnya langit dan segarnya sinar matahari pagi yang bermain di dedaunan.

Kemudian ia menjawab, “Baiklah Panembahan. Kalau kau memang merasa cukup mampu untuk bertempur sekarang, marilah. Bagiku lebih cepat memang lebih baik. Aku harus segera meninggalkan Kademangan ini. Tetapi tentu tidak mungkin selagi aku belum memenuhi tantanganmu, supaya tidak menjadi duri dalam hidupku selanjutnya.”

“Persetan,” Panembahan Sekar Jagat menggeram.

Panggiring tersenyum. Ia bergeser beberapa langkah sambil memandang ujung trisula Panembahan Sekar Jagat yang bergetar. Tiba-tiba saja ia merunduk memungut pedang Bramanti yang tergolek di tanah.

“Aku meminjam pedang pendekmu Bramanti,” berkata Panggiring.

“Dimana senjatamu sendiri,” teriak Panembahan Sekar Jagat sebelum Bramanti menyahut.

“Aku tidak membawa senjata. Aku memang merasa tidak perlu memerlukan senjata. Hanya supaya kau merasa lebih terhormat aku meminjam senjata Bramanti.

Panembahan Sekar Jagat yang agak ketinggi-tinggian itu menggeretakkan giginya. Kemarahannya benar-benar telah membakar ubun-ubunnya, sehingga sambil melangkah maju ia berkata, “Kau memang terlampau sombong. Selama ini di pesisir Utara kau hanya melihat kelinci-kelinci. Tetapi di sini kau bertemu dengan harimau.”

“Tidak,” jawab Panggiring. “Di sebelah Timur Cirebon aku membunuh dua ekor harimau sekaligus dengan jari-jariku.”

“Gila, gila,” teriak Panembahan Sekar Jagat, “Kita akan segera melihat, siapakah yang menjadi seorang pembual diantara kita.”

Panggiring mengangguk sambil melangkah maju. “Baik. Kita segera mulai.”

Panembahan Sekar Jagat tidak berbicara lagi. Kini ia bersiaga. Kakinya seakan-akan berakar dalam-dalam menghujam kebumi, sedang kedua tangannya menggenggam tangkai trisulanya erat-erat. ia merendah sedikit diatas lututnya, sedang kakinya merenggang setengah langkah.

Panggiring masih menimang-nimang pedang pendek Bramanti yang akan dipergunakannya untuk melawan trisula Panembahan Sekar Jagat. Ditatapnya wajah lawannya yang licin, serta janggutnya yang terpelihara rapi. Pakaiannya yang bagus yang kini telah basah oleh keringat, selagi ia bertempur melawan Bramanti, dan keringat karena kemarahan yang menyesak didadanya.

Sejenak mereka berdiri berhadapan. Panggiring melihat dengan sepenuh kesadarannya, bahwa Panembahan Sekar Jagat memang seorang yang pilih tanding. Ia telah lama mengikuti perkelahian Panembahan itu melawan Bramanti, sehingga dengan demikian ia mengerti betapa besar kemampuannya menggerakkan senjatanya itu.

Panembahan Sekar Jagat yang telah bersiaga sepenuhnya itu bergeser maju selangkah. Panggiring pun kemudian menyilangkan pedang didadanya.

Kini keduanya telah berhadapan. Beberapa langkah mereka bergeser. Wajah-wajah mereka menjadi tegang, dan mata mereka tidak bergerak dari ujung senjata lawan masing-masing.

Semua orang yang berdiri diseputar arena menahan nafas. Wajah-wajah mereka pun menjadi tegang pula. Mereka sama sekali terikat oleh dua orang yang berdiri di tengah-tengah halaman Kademangan.

Sementara itu Bramanti perlahan-lahan berdiri dan bergerak menepi. Ia sadar, bahwa perkelahian yang bakal terjadi tidak akan kalah dahsyatnya dengan perkelahian yang baru saja dialaminya. Menurut pendengarannya Panggiring adalah seorang yang luar biasa. Agaknya kakaknya itu telah mengikuti perkelahian tanpa setahunya. Kalau Panggiring tidak mempunyai perhitungan tertentu, ia pasti tidak akan berani turun di arena.

Sesaat kemudian ujung trisula Panem- bahan Sekar Jagat bergetar. Panggiring yang telah bersiap sepenuhnya segera menyadari keadaan, karena itu, maka ketika ujung trisula itu tiba-tiba saja mematuknya, ia telah siap untuk menghindarinya.

Demikianlah, perkelahian telah berulang kembali dihalaman Kademangan itu. Kini antara dua orang yang merajai daerah yang luas di pesisir Utara dan didaerah sebelah Selatan. Keduanya adalah orang-orang yang namanya cukup menggetarkan. Panggiring dan Panembahan Sekar Jagat.

Sekar Jagat yang berkelahi dengan kemarahan yang menyala di dadanya, segera melibat lawannya seperti angin pusaran. Trisulanya mematuk-matuk, kemudian menyambar-nyambar dalam jarak yang mendatar. Namun lawannya adalah seekor burung rajawali yang perkasa. Tangan Panggiring kadang-kadang mengembang seperti sayap. Dengan ringannya ia melontarkan dirinya, kemudian menukik dengan ujung pedang pendeknya menerkam lawannya.

Tetapi Panembahan Sekar Jagat cukup tangkas. Ujung-ujung trisulanya yang mendebarkan itu langsung menyongsong dada lawannya. Namun Panggiring pun tidak membiarkan dadanya berlubang tiga buah. Dengan menggeliat ia menarik pedang pendeknya, kemudian memukul sisi ujung-ujung trisula itu dengan sekuat tenaganya.

Sebuah benturan kemudian terjadi sehingga bunga api memercik ke udara, menyalakan sepercik kecemasan setiap hati yang menyaksikannya.

Tetapi dengan suatu loncatan yang manis Panggiring kemudian telah berdiri tegak di atas kedua kakinya, sedang Panembahan Sekar Jagat tergeser selangkah surut. Tetapi kedua kakinya kemudian seakan-akan telah menghujam kembali dalam-dalam sampai ke pusat bumi.

Mereka yang menyaksikan perkelahian itu, seakan-akan tidak sempat untuk bernafas. Mata mereka tidak lagi berkedip meskipun debu yang putih telah membuat mata itu menjadi pedih.

Tetapi mereka tidak mau kehilangan gerak yang kadang-kadang tidak mereka mengerti itu sedikitpun juga.

Bramanti yang kini berdiri tegak dipinggir arena menyaksikan pertempuran itu dengan pandangan yang hampir tidak terlepas sesaatpun juga. Justru karena ia mengerti apa yang telah terjadi, maka hatinya menjadi tegang bukan buatan.

Ia melihat dengan pasti ujung-ujung senjata itu menyambar-nyambar, dan kemungkinan-kemungkinan yang mendebarkan jantung.

Ia dapat memperhitungkan setiap gerak Panembahan Sekar Jagat, maupun yang dilakukan oleh Panggiring dan ia pun dapat menduga, jalan pikiran keduanya untuk mengatasi keadaan masing-masing. Justru karena ia berada diluar perkelahian itulah kini ia dapat melihat, Panembahan Sekar Jagat memang memiliki ilmu yang luar biasa. Gerakannya terlampau cepat, dan kadang-kadang diluar dugaan.

Dengan demikian maka bagaimanapun juga ia kini mengakui di dalam hati, memang sulitlah baginya untuk mengalahkannya, bagaimanapun juga ia berusaha.

Tetapi sejalan dengan itu, ia tidak juga dapat melepaskan pengakuannya atas kemampuan Panggiring. Berita tentang namanya yang bergema di pesisir Utara, bukanlah cerita ngaya-wara yang tidak berdasar. Kini ia menyaksikan bagaimana Panggiring berkelahi melawan Panembahan Sekar Jagat yang telah mengalahkannya.

Kini ternyata pada Bramanti, bahwa dengan demikian, lencana Panggiring memang dapat menggetarkan setiap jantung. Dan wajarlah kiranya apabila lencana bergambar candi itu di dada Ki Tambi akan mampu melindunginya dari kejahatan.

Perkelahian yang terjadi di halaman Kademangan Candisari memang hampir tidak masuk akal mereka yang menyaksikannya. Keduanya seolah-olah sudah bukan manusia wajar lagi. Benturan kekuatan mereka yang terjadi pada ujung-ujung senjata, seakan-akan merupakan benturan lidah api yang meledak di langit musim kesanga. Kemudian disusul dengan suara gemuruhnya guntur dan meloncatnya api membakar udara yang menjadi semakin panas.

Panembahan Sekar Jagat berkelahi seperti seekor harimau yang lapar, sedang Panggiring berlaga seperti seekor burung rajawali. Ujung-ujung trisula Panembahan Sekar Jagat menerkam dari segala penjuru bagaikan kuku-kuku yang tajam dan mengerikan, sedang pedang pendek ditangan Panggiring bagaikan paruh seekor burung raksasa yang dahsyat.

Matahari memanjat dilangit semakin tinggi. Panasnya sudah mulai terasa menggatalkan kulit. Tetapi tidak seorang pun yang menghiraukan lagi keringat yang membasahi pakaian dan kulit mereka. Mata mereka terpaku di arena, menyaksikan dua orang raksasa yang sedang bertaruh nyawa.

Namun lambat laun, keseimbangan perkelahian itu mulai bergerak. Panggiring benar-benar seorang pemimpin perampok yang pilih tanding. Tangannya yang kokoh kuat dengan sebuah pedang pendek benar-benar menjadi tangan-tangan maut yang sedang menari-nari mengitari Panembahan Sekar Jagat yang mencoba mempertahankan diri.

Bramanti menahan nafasnya ketika ia melihat perkembangan dari perkelahian itu. Agaknya Panembahan Sekar Jagat benar-benar telah memeras kemampuan yang ada padanya, sedang Panggiring pun telah berkelahi sekuat-kuat tenaganya.

Dalam penumpahan segenap ilmu itu, masing-masing sampai pada puncak usahanya untuk membinasakan lawannya. Dalam saat-saat yang demikian, sekali lagi ujung-ujung senjata Panembahan Sekar Jagat berhasil menyentuh lawannya seperti pada saat ia bertempur melawan Bramanti. Sekali-kali ujung trisula itu sempat menyobek kulit Panggiring.

Bramanti menjadi semakin tegang ketika ia melihat darah menitik dari kening Panggiring yang nyaris berlubang, kemudian pakaian Panggiring menjadi merah pula, karena punggungnya sobek menyilang meskipun tidak begitu dalam.

Tetapi luka dan bau darah itu agaknya benar-benar telah membuat Panggiring menjadi garang. Sekian lama ia berusaha untuk membuang senjatanya dan tidak mau lagi mengotori tangannya dengan tindak kekerasan apapun alasannya. Namun ia adalah seorang manusia biasa. Seorang manusia yang masih dipengaruhi oleh perasaan dan sifat-sifatnya.

Agaknya luka dan darah itu telah mengaburkan tekadnya untuk tidak menodai lagi tangannya dengan darah. Dan sebenarnyalah Panggiring tidak ingin membunuh dirinya di halaman Kademangan Candisari, yang pasti akan disusul dengan pembantaian yang mengerikan.
Karena itu maka sejenak kemudian Panggiring memusatkan segenap kemampuannya. Wajahnya yang tegang menjadi semakin merah membara.

Dalam ketegangan yang semakin membara, tiba-tiba terdengar Panggiring berteriak tinggi. Pedangnya terangkat, seakan-akan hendak menusuk langit. Hanya sejenak, dan sejenak kemudian Panggiring benar-benar bagaikan burung rajawali yang kehilangan anaknya, menyambar lawannya dengan dahsyatnya.

Perkelahian yang semakin sengit telah terjadi. Tetapi kali ini Panembahan Sekar Jagat tidak dapat berbangga karena ia berhasil melukai lawannya. Dalam beberapa saat ternyata bahwa ujung pedang pendek Panggiring telah berhasil menyentuhnya pula. Ketika Panembahan Sekar Jagat menusuk Panggiring dengan trisulanya, justru Panggiring berhasil menyusup maju dan dengan ujung goloknya ia mencoba menikam dada lawannya. Tetapi dengan tangkas Panembahan Sekar Jagat mencoba menghindarinya. Kegagalan itu telah membuat Panggiring semakin marah, kemudian digerakkannya pedang itu mendatar setinggi dada. Sekali lagi Panembahan Sekar Jagat mencoba bergeser surut. Tetapi gerakan yang cepat berikutnya, Panggiring berhasil menggores pundak kiri lawannya, kemudian serangannya yang berganda, membuat Panembahan Sekar Jagat terdorong ke belakang. Untuk menghindarkan diri dari serangan-serangan berikutnya, Panembahan Sekar Jagat justru berguling ke belakang, kemudian melanting dengan lincahnya sambil memutar trisulanya.

Saat-saat yang datang berikutnya adalah saat-saat yang paling tegang. Keduanya seakan-akan telah menjadi gila. Bukan saja Panembahan Sekar Jagat, tetapi Panggiring pun seolah-olah telah berubah menjadi semakin buas dan liar. Dan dalam puncak ketegangan, terdengarlah sebuah keluhan tertahan. Bramantilah yang pertama-tama melihat Panembahan Sekar Jagat terdorong surut sambil memegangi dadanya. Dari sela-sela jarinya melelehlah darah yang merah.

Tetapi Panembahan Sekar Jagat bukan seorang yang lekas menjadi putus asa. Meskipun dadanya telah terluka, tetapi tatapan matanya justru menjadi semakin menyala. Sambil menggeram ia mengangkat trisulanya, kemudian meloncat maju seakan-akan ingin menerkam Panggiring dan merobek-robeknya. Panggiring masih sempat menghindar. Sambil menggeser diri, ia menggerakkan pedang pendeknya mendatar. Dari bawah ayunan trisula ia mencoba menjulurkan tangannya sejauh-jauhnya dapat dijangkau.

Sekali lagi Panembahan Sekar Jagat berdesah. Sekali lagi pedang pendek Panggiring menyambar. Kali ini mengenai lambung. Panembahan Sekar Jagat yang terluka itu, menjadi semakin buas. Sambil berteriak nyaring ia melontarkan dirinya kembali, seakan-akan justru menjadi semakin garang. Kini ia menyerang Panggiring dengan sebuah putaran. Karena Panggiring masih menghindar sambil meloncat, maka ia pun segera memburunya. Dengan sekuat tenaganya ia mengayunkan trisulanya. Kali ini terlampau rendah.

Panggiring yang baru saja menjejakkan kakinya, tidak segera dapat meloncat kembali. Yang dapat dilakukan adalah menangkis serangan itu. Tetapi agaknya ayunan trisula itu terlampau kuat, sehingga benturan yang terjadi kemudian adalah benturan yang sangat dahsyat. Panggiring mencoba mengungkit trisula itu ke atas. Tetapi ia tidak berhasil sepenuhnya, sehingga trisula itu sekali lagi menyambar pundaknya.

Beberapa langkah ia terhuyung-huyung. Tetapi ia tidak mau kehilangan kesempatan yang terbuka. Selagi Panembahan Sekar Jagat mencoba memperbaiki genggamannya atas senjatanya, pada saat itulah Panggiring meloncat sambil menjulurkan pedangnya lurus-lurus ke depan. Panembahan Sekar Jagat tidak sempat mengelakkan dirinya. Ia mencoba menangkis serangan itu dengan trisulanya yang belum mapan. Tetapi kali ini tidak berhasil. Tangkai trisulanya justru mengenai dada Panggiring yang berdesah tertahan. Namun dalam pada itu pedang Panggiring telah berhasil menembus dada lawannya.

Panggiring tidak sempat menarik pedangnya. Ketika Panembahan Sekar Jagat kemudian terhuyung-huyung surut, kemudian roboh ditanah. Panggiring melepaskan pedangnya, dan bahkan ia sendiri menjadi pening. Tetapi ketika terdengar desah nafas terakhir Panembahan Sekar Jagat, Panggiring masih tetap berdiri sambil merenggangkan kakinya ke arah kaki lawannya.
Sesaat arena dan seluruh halaman itu menjadi sepi. Semua mata terpaku pada apa yang telah terjadi di halaman. Dua orang yang mempunyai nama yang menakutkan agaknya telah benar-benar menyabung nyawa. Dan demikianlah akhir dari perkelahian itu. Panembahan Sekar Jagat terbunuh.
Ketika orang-orang yang menyaksikan kematian Panembahan Sekar Jagat itu masih terpukau ditempatnya, tiba-tiba Ki Tambi meloncat ke depan sambil berteriak nyaring, “Nah lihatlah kalian he orang-orang Sekar Jagat. Pemimpinmu telah mati. Dan kalian kini berhadapan dengan seluruh kekuatan Candisari. Lihat. Disini berdiri dua orang kakak beradik yang tidak ada taranya. Panggiring dan Bramanti. Apakah kalian akan melawannya.”

Orang-orang Panembahan Sekar Jagat seolah-oleh membeku ditempat masing-masing. Mereka tidak dapat mengingkari kenyataan penglihatannya, bahwa Panembahan Sekar Jagat telah terbunuh. Dan mereka pun mendengar apa yang diteriakkan oleh Ki Tambi, bahwa kini berdiri dua orang kakak beradik yang nggegirisi, Panggiring dan Bramanti.

“Kalau kalian mempunyai otak, kalian pasti akan lebih baik menyerah. Kami akan memperlakukan kalian sesuai dengan keharusan yang berlaku. Dan kami berharap bahwa dalam waktu singkat Mataram telah dapat menampung kalian, apapun hukuman yang akan ditimpakan.”

Orang pertama di dalam pasukan Sekar Jagat itu kini adalah Wanda Geni. Tanpa dapat berbuat apa-apa lagi ia melemparkan senjatanya ketanah sambil berkata, “Aku menyerah.”

Ki Tambi mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Bagus. Bagus. Kau cukup bijaksana,” kemudian diedarkannya tatapan matanya sambil berkata, “Temunggul. Lucuti mereka semua.”

Tetapi Ki Tambi tidak segera menemukan Temunggul. Ketika ia melihat Panjang, maka ia pun segera berteriak, “Panjang, lakukan bersama semua pengawal.”

Tetapi sebelum Panjang beranjak, mereka melihat Temunggul menyusup maju sambil menggandeng Ki Demang Candisari. Katanya, “Ia akan mencoba melarikan dirinya.”

Kini semua mata terpaku kepada Ki Demang. Dan Temunggul berkata, "Ialah yang pernah membujukku membunuh Bramanti. Untunglah bahwa otakku masih jernih. Ternyata bahwa Ki Demang menjadi salah seorang penunjuk jalan bagi Panembahan Sekar Jagat dan sudah barang tentu ia pun mendapat banyak daripadanya."

Ki Demang tidak menjawab, tetapi kepalanya tunduk dalam-dalam. Ia sama sekali tidak lagi berani menatap wajah rakyat di Kademangannya Candisari. Dalam pada itu terdengar suara perempuan yang berdiri di antara para pengawal, "Panggiring, kau selamat?"

Panggiring yang berdiri membeku tiba-tiba berpaling. Dilihatnya seorang perempuan tua berjalan tertatih-tatih di antara para pengawal yang lagi sibuk melucuti senjata orang-orang Panembahan Sekar Jagat.

"Ibu," desis Panggiring.

Ketika perempuan itu memasuki halaman, maka dengan serta merta Panggiring pun berlari mendapatkannya. Seperti semalam kini ia berjongkok pula di hadapan ibunya. Tetapi kali ini ditatapnya tangannya sendiri yang masih dilumuri darah yang memancar dari Panembahan Sekar Jagat. Dengan suara parau ia berkata, "Terpaksa, terpaksa aku lakukan ibu. Ternyata aku masih sekali lagi membunuh meskipun aku pernah berjanji untuk tidak melakukannya lagi. Tetapi, tetapi tangan yang sedang aku coba untuk membersihkannya, kini telah diwarnai oleh darah. Darah."
Tangan Panggiring itu menjadi gemetar.

Dibelainya kepala Panggiring sambil berdesis, "Tapi dengan demikian kau telah menyelamatkan beratus-ratus nyawa Panggiring, termasuk nyawa adikmu."

Sejenak Panggiring mengangkat kepalanya. Namun kepala itu kemudian tunduk kembali memandangi jari-jari tangannya yang merah oleh darah.

"Aku telah membunuh satu orang lagi," desisnya, "Terpaksa. Terpaksa aku melakukannya."

"Tetapi yang satu ini tidak perlu disesali," desis ibunya sambil membelai kepala anaknya itu seakan-akan tidak akan dilepaskannya lagi.

"Kau telah menyelamatkan seluruh Kademangan ini Panggiring," terdengar suara berat dibelakang anak muda yang berjongkok itu.

Panggiring perlahan-lahan berpaling. Dilihatnya Ki Jagabaya berdiri tegak berdampingan dengan Ki Tambi, sedang beberapa langkah dibelakang mereka, Bramanti berdiri termangu-mangu. "Bramanti," panggil ibunya, "Kemarilah. Bukankah kau juga selamat?"

Bramanti maju beberapa langkah. Namun kemudian langkahnya terhenti. Dipandanginya Panggiring yang kemudian berdiri pula perlahan-lahan. Sejenak keduanya saling berpandangan. Tetapi sejenak kemudian Braanti menundukkan kepalanya sambil berdesis, "Maafkan aku kakang."

"Bramanti," Nyai Pruwita terpekik. Kemudian berlari-lari ia memeluk anak laki-lakinya yang muda sambil menahan isak tangis, "Anakku."

Bramanti menundukkan kepalanya. Sementara Nyai Pruwita kemudian membimbingnya menemui kakaknya.

"Kalian telah kembali," Nyai Pruwita tidak dapat menahan air matanya yang mengalir dipipinya. Dan suaranya tersendat-sendat, "Kalian telah terluka. Marilah, aku ingin membersihkan luka-luka kalian di rumah."

Nyai Pruwita pun kemudian membimbing kedua anaknya itu tanpa menghiraukan orang lain. Baginya, ia adalah orang yang paling berhak atas kedua anak muda itu. Namun tiba-tiba langkahnya tertegun ketika ia mendengar suara seorang gadis, "Bramanti."

Bramanti berpaling, bahkan ibunya dan Panggiring berpaling pula. Seorang gadis berdiri termangu-mangu di samping regol halaman Kademangan. dan gadis itu adalah Ratri.

"Ratri," desis Bramanti.

Sejenak anak muda itu memandangi ibunya. Dan ternyata ibunya cukup bijaksana untuk melepaskannya.Perlahan-lahan Bramanti mendekati Ratri. Tatapan mata gadis itu terasa langsung menembus jantungnya seperti tetesan embun di terik panasnya udara.

Meskipun demikian ia berdesis, "Apakah kau menanyakan kakang Panggiring?"

Ratri menggelengkan kepalanya, "Tidak Bramanti. Ternyata aku tidak mengharapkannya. Aku telah mencampurbaurkan penglihatanku atasmu pada saat kita pertama bertemu setelah sekian lama berpisah, dan kenangan atas Panggiring di masa kanak-kanak."

"Sekarang?"

Ratri menundukkan kepalanya. Desisnya, "Sejak pertama kaulah yang sebenarnya aku sangka Panggiring atau barangkali kaulah yang sebenarnya aku bayangkan atau kenangan masa kanak-kanakku itu pada Panggiring."

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling ia melihat ibunya masih membimbing Panggiring berjalan tanpa menghiraukan apapun juga.

Bramanti tergagap ketika ia mendengar Ratri bertanya, "Kau terluka?" Bramanti mengangguk, "Ya. Sedikit. Kakang Panggiring telah menyelamatkan nyawaku."

”Marilah, aku bersihkan luka itu. Kamu mau pulang juga bukan?" Bramanti memandang wajah Ratri sejenak, kemudian sambil tersenyum ia mengangguk. "Ya, marilah."

Keduanya pun kemudian berjalan meninggalkan regol halaman. Kademangan yang masih ribut dengan para pengawal yang sedang melucuti senjata anak buah Wanda Geni dipimpin oleh Ki Jagabaya sendiri.

Sementara Ki Tambi memandangi langkah-langkah Panggiring bersama ibunya dan Bramanti bersama Ratri sambil tersenyum. Di belakangnya beberapa langkah, Temunggul berdiri berpegangan pada sebatang pohon manggis. Dengan dahi berkerut merut, dipandanginya langkah-langkah itu juga semakin jauh.

Tiba-tiba Temunggul terkejut. Seorang gadis telah menggamitnya sambil berbisik, "Kau tidak mengantarkannya lagi?"

Temunggul berpaling. Dilihatnya gadis bermata cerah kawan Ratri yang diantarkannya malam-malam pada saat ia dicegat oleh Wanda Geni.

Sambil tersenyum Temunggul menjawab, "Buat apa aku tergila-gila kepada seorang gadis yang tidak mencintaiku."

"Kalau ada yang mencintaimu?"

Temunggul tertawa. Keduanya kini menatap langkah-langkah Panggiring bersama ibunya dan Bramanti bersama Ratri semakin lama semakin jauh. Sedang matahari di langit semakin lama semakin cerah. Selembar awan yang putih lewat didorong oleh angin yang lembut mengalir ke Utara. Dan burung-burung liar masih saja berkicau seakan sedang mendendangkan kidung gembira. Dan Kademangan Candisari pun memang sedang bergembira, menyongsong hari depan yang cerah.

TAMAT