Kisah Para Pendekar Pulau Es -1 | Kho Ping Hoo



Buku 1

Kaisar Kian Liong atau Chien Lung merupakan kaisar Kerajaan Ceng-tiauw (Mancu) yang paling terkenal dan paling besar sepanjang sejarah Bangsa Mancu, semenjak bangsa yang tadinya dianggap bangsa liar di utara itu menguasai Tiongkok mulai tahun 1644. Kaisar Kian Liong adalah seorang kaisar yang telah terkenal semenjak dia masih menjadi pangeran, dihormati dan dikagumi oleh rakyat dari semua lapisan, bahkan dicinta oleh para pendekar karena pangeran itu memang berjiwa gagah perkasa, mencinta rakyat jelata, adil dan bijaksana. Oleh karena itu, setelah dia diangkat menjadi kaisar dalam tahun 1735, pada waktu itu dia baru berusia sembilan belas tahun, boleh dibilang seluruh rakyat mendukungnya. Biarpun dia juga seorang Bangsa Mancu, namun cara hidupnya, sikapnya dan jalan pikirannya adalah seorang Han tulen.

Baru saja dia memerintah selama lima tahun, sudah nampak kemajuan-kemajuan pesat dalam pemerintahannya. Pemberontakan-pemberontakan rakyat padam dan kehidupan rakyat mulai makmur. Taraf kehidupan rakyat kecil terangkat dan mulailah rakyat mengenal pembesar dan pejabat sebagai bapak-bapak pelindung, bukan sebagai pemeras dan penindas seperti di waktu-waktu yang lampau.

Tidak mungkin seorang manusia dapat bertindak tanpa ada yang menentangnya. Kalau seorang kaisar bertindak bijaksana terhadap rakyat, melindungi rakyat, secara otomatis dia harus menentang penindasan, harus menentang pembesar-pembesar yang korup dan yang menindas rakyat. Sebaliknya, kalau seorang kaisar berpihak kepada penindasan dan korupsi, tentu saja berarti diapun menjadi penindas rakyat. Dalam hal pertama, dengan sendirinya kaisar akan ditentang oleh mereka yang merasa dirugikan oleh keadilan kaisar yang tentu saja dapat ditegakkan dengan kekerasan, dia akan ditentang oleh para koruptor yang merasa terhalang dan terhenti sumber kemuliaannya. Dan sebaliknya, menindas rakyat tentu akan dihadapi dengan pemberontakan di sana-sini.

Akan tetapi, ternyata Kaisar Kian Liong yang muda itu memilih untuk menjadi pelindung rakyat dan menghadapi para koruptor dan penindas dengan kekerasan dan keadilan. Inilah yang membuat rakyat mendukungnya dan para pendekar di empat penjuru juga mendukungnya. Kenyataan inilah yang membuat pemerintahannya menjadi kuat. Sejarah menyatakan bahwa dengan dukungan rakyat jelata, pemerintah menjadi kuat, sebaliknya kalau ditentang rakyat, hanya mengandalkan bala tentara saja, pemerintah akan menjadi rapuh.

Kaisar Kian Liong pada waktu itu, kurang lebih tahun 1740 setelah lima tahun dia menjadi kaisar, seolah-olah merupakan bintang yang mengeluarkan sinar terang. Sinarnya menerangi hati rakyat sampai jauh ke pelosok-pelosok, bahkan sinar itu terasa sekali di tempat yang terpencil sekalipun, seperti di Pulau Es.

Pulau Es adalah sebuah pulau terpencil jauh di utara, sebuah pulau di antara ribuan pulau kecil yang berserakan di sekitar Lautan Kuning, Lautan Timur dan Lautan Jepang. Pulau Es ini merupakan pulau rahasia dan jarang ada manusia yang tahu di mana letaknya yang tepat, jarang pula ada yang pernah menyaksikannya, apalagi mendarat di sana. Akan tetapi namanya sudah terkenal sekali, terutama di kalangan para pendekar di dunia kang-ouw. Bahkan Pulau Es menjadi semacam dongeng bagi mereka, menjadi semacam nama yang mereka kagumi, hormati, akan tetapi juga takuti. Siapakah orangnya yang tidak segan dan gentar mendengar nama Pulau Es, yang menjadi tempat Istana Pulau Es dengan penghuninya Pendekar Super Sakti atau juga Pendekar Siluman, penghuni Pulau Es? Pendekar ini yang namanya Suma Han, memiliki kesaktian seperti dewa dalam dongeng, pernah menggegerkan dunia kang-ouw dan karena dia merupakan seorang pendekar sejati yang bijaksana dan budiman, maka dia dipuja-puja oleh para pendekar sebagai seorang datuk yang dikagumi.

Para pembaca dari cerita-cerita terdahulu yang menjadi serial dari kisah mengenai Pulau Es tentu telah mengenal siapa itu Pendekar Super Sakti Suma Han yang hidup dengan tenteram dan tenang di Pulau Es bersama kedua orang isterinya yang tercinta. Isterinya yang pertama adalah Puteri Nirahai, seorang puteri berdarah keluarga Kaisar Mancu yang amat gagah perkasa dan agung, yang karena cinta kasihnya yang mendalam terhadap suaminya, telah rela meninggalkan kehidupan di istana sebagai puteri dan juga sebagai panglima yang banyak jasanya, rela hidup di tempat sunyi itu bersama suami dan madunya.

Madunya itu, isteri ke dua dari Pendekar Super Sakti, juga bukan orang sembarangan. Wanita ini namanya Lulu, sebenarnya juga seorang puteri Bangsa Mancu walaupun bukau keluarga kaisar seperti Puteri Nirahai. Juga Lulu ini memiliki kepandaian yang hebat karena ia pernah menjadi majikan Pulau Neraka! Dalam hal ilmu silat, agaknya ia tidak kalah jauh dibandingkan dengan madunya itu, apalagi setelah keduanya menjadi isteri Pendekar Super Sakti dan menerima bimbingan sang suami yang memiliki kepandaian seperti dewa itu.

Bagaimanakah Suma Han dapat hidup bersama dua orang isterinya dalam keadaan rukun dan tenteram? Mengapa kedua orang isterinya itu tidak saling cemburu atau iri? Dapatkah Pendekar Super Sakti Suma Han membagi-bagi cinta kasihnya kepada dua orang isterinya itu?

Sesungguhnya, tidak mungkin cinta kasih dibagi-bagi! Cinta kasih itu memancar dari batin dan terasa oleh siapapun juga. Demikian pula cinta kasih Suma Han terhadap dua orang isterinya, sebulat hatinya dan tidak berat sebelah. Kedua orang wanita itu merasa benar akan hal ini dan oleh karena itu merekapun tidak pernah merasa iri atau cemburu. Bahkan kedua orang wanita ini saling mencinta seperti kakak beradik sendiri saja. Tidak ada keinginan untuk mengejar pemuasan kesenangan dirinya sendiri saja bagi cinta kasih. Yang ada hanyalah kemesraan, belas kasih, dan kalaupun ada suatu keinginan, kalau boleh dinamakan keinginan, maka keinginan itu mungkin hanya satu, yakni ingin melihat orang yang dikasihinya itn berbahagia! Hanya orang yang memiliki sinar cinta kasih di dalam batinnya sajalah yang akan mengenal cinta kasih, yang akan mengenal kebahagiaan dalam hidupnya. Bahagia adalah tidak adanya sedikitpun konflik batin atau konflik lahir. Bahagia adalah keadaan hebas dari ikatan apapun juga, jadi batinnya hening dan tidak mempunyai apa-apa walaupun boleh jadi secara lahiriah dia memiliki segalanya. Dan karena batin tidak memiliki apa-apa, tidak terikat apa-apa inilah maka dia telah memiliki segala-galanya!

Siapakah sebenarnya pendekar yang disebut Pendekar Super Sakti, atau Pendekar Siluman, atau juga Tocu (Majikan) Pulau Es itu? Orang macam apakah dia itu? Suma Han adalah seorang yang kini telah tua sekali. Usianya telah mendekati seratus tahun, atau tepatnya sembilan puluh lima tahun! Seorang kakek yang bertubuh tinggi sedang, perutnya tidak gendut, kaki tangannya masih nampak kokoh kuat walaupun kakinya hanya sebelah saja. Kaki kirinya buntung sebatas paha dan untuk melangkah dia dibantu oleh tongkat. Rambutnya panjang terurai, tidak pernah digelung, dibiarkan terurai di pundak. Akan tetapi rambut itu terpelihara sekali, bersih dan halus seperti benang-benang perak yang mengkilap kalau tertimpa cahaya matahari. Selain rambutnya, juga alisnya, kumis dan jenggotnya semua telah putih. Tidak ada sehelaipun yang hitam. Namun wajahnya masih nampak segar kemerahan, matanya masih awas dan tajam pandangannya, walaupun bersinar lembut sekali. Pendengarannya masih amat baik, juga giginya tidak ompong. Pendeknya panca indranya masih tidak banyak menurun, masih kuat. Kesehatannya memang amat mengagumkan. Tidak pernah dia sakit. Tentu saja, usia tua telah membuat tubuhnya agak layu dan tenaga otot dan tulangnya tidaklah sekuat dahulu lagi. Pakaiannya sederhana, akan tetapi selalu bersih dan rapi berkat rawatan kedua orang isterinya yang amat mencintanya. Dan dalam usia hampir satu abad itu, harus diakui bahwa masih membayang bekas ketampanan wajah pendekar ini.

Pendekar tua ini dihormati dan disegani oleh semua tokoh kang-ouw karena dia memang lihai bukan main. Banyak sekali ilmu-ilmu silat tinggi yang dikuasainya, di antaranya yang hebat-hebat adarah Ilmu Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api), Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju), Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) yang dimainkan dengan tongkatnya, dan terutama sekali Ilmu Soan-hong Lui-kun (Silat Sakti Badai Petir) yang membuat tubuhnya dapat bergerak sedemikian cepatnya seperti pandai menghilang saja. Dan di samping ilmu silat tinggi yang banyak ragamnya, juga pendekar ini mempunyai kekuatan sihir yang luar biasa, yang membuat dia dijuluki Pendekar Siluman!

Isterinya yang pertama, Puteri Nirahai juga sudah tua sekali, selisihnya hanya beberapa tahun dengan suaminya. Nirahai ini berdarah Mancu aseli, dan sudah beberapa kali namanya menjadi terkenal ketika ia menjadi panglima dan menggerakkan pasukan pemerintah menumpas pemberontakan-pemberontakan dengan hasil baik. Ia bukan saja pandai ilmu silat, akan tetapi juga mahir dalam ilmu perang. Ia mewarisi ilmu-ilmu dari dua orang pendekar wanita yang berjuluk Mutiara Hitam dan Tok-siauw-kwi yang menjadi ibu kandung Pendekar Suling Emas, maka Nirahai ini amat lihai dengan Ilmu-ilmu Sin-coa-kun (Ilmu Silat Ular Sakti), Pat-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Setan), Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa) yang digabungnya dengan Pat-mo Kiam-hoat, juga senjata rahasianya Siang-tok-ciam (Jarum Beracun Harum) amat berbahaya. Di waktu mudanya, Nirahai cantik sekali, dengan pakaian bergaya Mancu dan topi bulu selalu menghias rambut kepalanya yang dahulunya panjang dan hitam berombak akan tetapi sekarang telah menjadi putih itu. Dan di dalam usianya yang sembilan puluh tahun lebih, ia masih belum kehilangan kerampingan tubuhnya dan kecantikan wajahnya masih membayang pada garis-garis mukanya. Wataknya halus akan tetapi tegas, agung dan agak tinggi hati karena ia memiliki darah bangsawan tinggi di tubuhnya.

Isteri ke dua yang bernama Lulu, sesungguhnya tidak dapat dikatakan isteri pertama atau ke dua di antara kedua wanita ini karena mereka tidak merasa berbeda dalam tingkat menjadi isteri-isteri Pendekar Super Sakti, juga merupakan seorang nenek yang luar biasa lihainya. Karena ia pernah menjadi ketua Pulau Neraka, maka sampai tuapun Lulu lebih suka mengenakan pakaian serba hitam yang sederhana namun bersih dan rapi. Ia juga berdarah Mancu yang lihai sekali karena ia telah mewarisi ilmu-ilmu simpanan dari Pendekar Suling Emas, terutama sekali Ilmu Hong-in Bun-hoat (Silat Sastera Hujan Angin) dan Toat-beng Bian-kun (Silat Lemas Pencabut Nyawa), dua ilmu yang berasal dari manusia dewa Bu Kek Siansu. Watak Lulu ini keras dan ganas, namun ia berjiwa pendekar dan dalam membela keadilan ia seperti seekor naga betina yang pantang undur. Di waktu mudanya, ia pernah meliar sampai menjadi ketua Pulau Neraka, akan tetapi akhirnya ia dapat “dijinakkan” oleh Pendekar Super Sakti dan menjadi isterinya. Usianya hanya setahun lebih muda dari Nirahai, sehingga ia kini sudah berusia sembilan puluh tahun dan menjadi seorang nenek yang gerak-geriknya masih gesit.

Demikianlah keadaan suami isteri yang sudah tua renta itu. Karena mereka sudah tua, mereka tidak mau lagi memusingkan diri dengan urusan dunia dan sudah bertahun-tahun mereka bertiga tidak meninggalkan Pulau Es, hidup tenteram dan tenang di tempat terasing itu, dan setiap hari lebih banyak duduk bersamadhi di kamar masing-masing. Urusan rumah tangga ditangani oleh keluarga yang lebih muda, yaitu tiga orang cucu mereka yang tinggal di Pulau Es untuk belajar ilmu dari kakek dan nenek-nenek mereka.

Bagi para pembaca yang telah mengenal keluarga Pu1au Es, tentu tahu bahwa Puteri Nirahai dan Suma Han mempunyai seorang putera yang bernama Suma Kian Bu yang juga pernah menggemparkan dunia kang-ouw dengan sepak terjangnya sehingga dia mendapatkan julukan Pendekar Siluman Kecil! Pendekar ini, selain mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es, juga mempunyai sebuah ilmu yang membuat dia terkenal sekali, yaitu Ilmu Sin-ho Coan-in, dan juga Ilmu Jouw-sang-hui-teng (Terbang Di Atas Rumput). Suma Kian Bu ini menikah dengan seorang pendekar wanita pula bernama Teng Siang In yang pandai ilmu silat dan ilmu sihir. Suami isteri pendekar ini sekarang tinggal di lembah Sungai Huang-ho, di luar kota Cin-an, di dusun dekat hutan yang sunyi dan indah, hidup tenteram sebagai petani yang juga berdagang rempah-rempah dan hasil bumi ke kota Cin-an. Mereka hanya mempunyai seorang putera yang kini telah berusia sepuluh tahun, bernama Suma Ceng Liong.

Lulu juga mempunyai seorang putera dengan Suma Han, yaitu Suma Kian Lee yang usianya setahun lebih tua daripada Suma Kian Bu. Suma Kian Lee menikah dengan seorang pendekar wanita yang berwatak keras dan ganas, puteri angkat Hek-tiauw Lo-mo iblis yang amat jahat, yang bernama Kim Hwee Li, cantik jelita dan berpakaian serba hitam, namun berjiwa pendekar. Suami isteri ini hidup saling mencinta dan keliaran Kim Hwee Li dapat dijinakkan oleh suaminya yang tercinta, yaitu Suma Kian Lee yang berwatak halus lembut dan bijaksana. Suami isteri ini sekarang telah berusia hampir lima puluh tahun dan tinggal di Thian-cin sebelah selatan kota raja di mana mereka membuka toko obat. Suami isteri ini telah mempunyai dua orang anak, seorang anak perempuan berusia delapan belas tahun bernama Suma Hui dan seorang anak laki-laki bernama Suma Ciang Bun yang sudah berusia lima belas tahun.

Tiga orang cucu inilah, yaitu Suma Hui yang berusia delapan belas tahun, Suma Ciang Bun yang berusia lima belas tahun, dan Suma Ceng Liong yang berusia sepuluh tahun, yang kini menemani kakek dan kedua orang nenek mereka di Pulau Es. Orang tua mereka menempatkan anak-anak itu di Pulau Es, bukan hanya untuk menerima pendidikan dari kakek nenek mereka, mewarisi semua ilmu Pulau Es sebagai ahli waris-ahli waris, juga di samping itu untuk menemani dan menghihur hati tiga orang tua renta yang hidup kesepian itu.

Selain tiga orang tua renta dan tiga orang cucu mereka itu, di Pulan Es masih terdapat lima orang pelayan, dua orang wanita dan tiga orang pria. Mereka ini tidak termasuk murid, hanya pelayan-pelayan biasa biarpun mereka juga tidak urung terpercik sedikit ilmu dari keluarga berilmu itu dan biarpun mereka itu tadinya hanya kaum nelayan kasar belaka namun kini mereka telah memiliki kekuatan yang akan mengejutkan orang biasa. Demikianlah sekelumit tentang para penghuni Pulau Es pada waktu cerita ini terjadi.

Pulau itu sendiri merupakan pulau yang penuh dengan batu karang yang diselimuti es sehingga selalu nampak putih dan hawanya dingin sekali. Di situ tidak dapat ditanami tumbuh-tumbuhan, oleh karena itu kebutuhan pangan dari tumbuh-tumbuhan para penghuni harus didatangkan dari pulau-pulau lain di sekitar daerah lautan itu, dan hal ini dikerjakan oleh para pelayan. Sebulan sekalipun cukuplah untuk berbelanja sayur-sayuran, kebutuhan makanan lain seperti daging dapat mereka peroleh dari ikan-ikan di laut. Pulau itu cukup besar, ada lima hektar luasnya dan dari merupakan dataran yang di bagian tengahnya berbukit. Di tengah pulau itu nampaklah sebuah bangunan kuno yang kokoh kuat, kelihatan sederhana saking tuanya.

Bangunan besar itu memang dahulunya merupakan sebuah istana. Dan karena kini para penghuninya kekurangan tenaga untuk merawat, maka tembok di luar istana itu sudah lama tidak dikapur, bahkan kapurnya ada yang terlepas nampak bata yang tua dan besar tebal. Di depan istana terdapat pintu yang besar dan kokoh. Kalau pintu ini dibuka, nampaklah ruangan depan istana kuno itu yang luas. Sampai kini, bagian dalam istana yang dijadikan tempat tinggal masih terpelihara baik-baik dan masih nampak indah walaupun perabot-perabot rumahnya amat kuno. Tentu saja tidak sekuno bangunan itu sendiri. Ruangan depan itu masih terpelihara, nampak bersih dan perabot-perabotnya yang kuno itu menimbulkan pandangan yang nyeni dan indah. Dindingnya terawat dan dikapur putih. Lukisan-lukisan kuno yang tentu merupakan benda langka dan mahal di kota, menghias dinding, bersaing dengan tulisan-tulisan pasangan yang merupakan huruf-huruf indah dalam kalimat-kalimat bersajak, perpaduan yang amat indah dari coretan huruf dan keindahan sajak. Lantai ruangan itu terbuat dari batu mengkilap bersih. Perabot-perabot seperti meja kursi dan lemari-lemari kayu terbuat daripada kayu besi yang kuat, terukir nyeni berbentuk kepala naga. Piring-piring hiasan, guci-guci berukir naga dan burung hong dan bunga-bunga menghias ruangan itu. Ada tiga buah pintu di ruangan depan yang luas itu. Pintu tengah yang terbesar menuju ke ruangan tengah dan dua pintu agak kecil di kanan kiri menembus ke halaman samping dan ke sebuah lorong yang menuju ke bangunan kecil. Di sudut ruangan, juga merupakan penghias yang selain mendatangkan keindahan juga keangkeran, terdapat sebuah rak senjata yang penuh dengan delapan belas macam senjata. Akan tetapi senjata-senjata itu bukan sekedar hiasan belaka, karena melihat betapa senjata-senjata itu mengeluarkan sinar gemilang saking tajam dan runcingnya, mudah diketahui bahwa senjata-senjata itu adalah benda-benda pilihan yang ampuh!

Keadaan di sebelah dalam istana ini, setelah pintu depan ditutup, tidaklah sedingin di luar. Dan istana yang dari luar hanya mendatangkan rasa serem karena pautasnya dihuni oleh setan-setan dan iblis-iblis, ternyata di sebelah dalamnya amat bersih dan terawat, juga enak ditinggali, walaupun harus diakui bahwa hawanya amat dingin. Perabot-perabot rumah yang serba kuno memenuhi seluruh ruangan, dan istana itu mempunyai banyak kamar tidur, juga ruangan makan, ruangan duduk dan perpustakaan. Ruangan paling belakang merupakan semacam lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) yang enak untuk berlatih silat.

Demikianlah penggambaran singkat tentang Pulau Es, istananya dan penghuni-penghuninya, dan suasana di pulau itu selalu tenteram dan wajah para penghuninya selalu nampak cerah. Di pulau inilah, Pulau Es yang terkenal sebagai dongeng, sebagai tempat yang ditakuti dan juga disegani, cerita ini dimulai!

“Bun-koko, ajarkan padaku Swat-im Sin-ciang! Kenapa engkau begini pelit untuk mengajarnya kepadaku, Bun-koko?” terdengar rengekan seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun. Suaranya nyaring dan biarpun dia merengek dan memohon, namun jelas dia bukan seorang anak manja atau cengeng. Anak ini bertubuh tinggi besar bagi seorang anak berusia sepuluh tahun, wajahnya agak lonjong dengan dagu runcing namun garisnya kuat membayangkan keteguhan hati, sepasang matanya amat tajam seperti mata harimau, alisnya tebal dan mulutnya selalu membayangkan senyum nakal. Anak ini adalah Suma Ceng Liong, putera dan anak tunggal dari pendekar Suma Kian Bu atau Pendekar Siluman Kecil dan isterinya, Teng Siang In. Para pembaca ceritaSuling Emas dan Naga Siluman tentu masih ingat betapa suami isteri ini baru memperoleh keturunan setelah mereka berdua berhasil membunuh seekor ular hijau yang besar dan mengambil sebuah benda sebesar telur ayam kecil yang disebut cu (mustika). Oleh karena itu, setelah Teng Siang In mengandung dan kemudian melahirkan anak, anak itu diberi nama Ceng Liong (Naga Hijau) untuk menyatakan perasaan bersyukur kepada ular hijau itu yang mereka anggap membantu mereka dapat memperoleh keturunan setelah lebih sepuluh tahun menikah dan belum juga dikaruniai putera.

Pagi hari itu, hawa masih luar biasa dinginnya bagi orang biasa, akan tetapi tidak begitu terasa mengganggu bagi para penghuni Pulau Es yang sudah terbiasa. Ceng Liong sudah berada di luar istana bersama kedua orang kakaknya, yaitu putera dan puteri Suma Kian Lee yang merupakan kakak-kakak misannya.

“Ah, Liong-te, bukan aku pelit, akan tetapi sesungguhnya aku sendiri belum mahir Ilmu Swat-im Sin-ciang. Kakek sedang memperdalam Ilmu Hwi-yang Sin-ciang kepadaku dan baru memberi dasar-dasarnya saja dari Ilmu Swat-im Sin-ciang. Kalau mau mempelajari ilmu itu, mintalah kepada cici,” jawab Suma Ciang Bun. Pemuda putera Suma Kian Lee ini berwatak halus dan pendiam seperti ayahnya, biarpun usianya baru lima belas tahun akan tetapi sikapnya serius dan tindak-tanduknya selalu berhati-hati. Wajahnya bulat dengan kulit muka agak kecoklatan tidak seputih kulit muka Ceng Liong dan matanya lebar, membayangkan kesungguhan dan kejujuran. Pemuda ini persis seperti ayahnya di waktu muda, baik wajah maupun sikapnya.

Mendengar jawaban kakaknya itu, Ceng Liong lalu menoleh kepada Suma Hui. “Hui-cici, bolehkah aku belajar Swat-im Sin-ciang darimu?” Sikap dan kata-kata Ceng Liong terhadap gadis itu berbeda daripada sikapnya terhadap Ciang Bun. Terhadap Ciang Bun, Ceng Liong yang lincah itu kadang-kadang berani bergurau, akan tetapi menghadapi dara itu dia tidak berani main-main. Suma Hui ini memang bisa bersikap jenaka dan baik sekali, akan tetapi kadang-kadang, kalau sedang “kumat” menurut istilah Ceng Liong, dara itu bisa menjadi galak dan tidak segan-segan untuk menyerang dan menghukum kenakalan Ceng Liong dengan kata-kata maupun dengan cubitan dan jeweran! Karena inilah maka Ceng Liong agak takut untuk menggoda dan selalu bersikap hormat seperti layaknya seorang adik terhadap saudara yang lebih tua, kalau bicara dengan Suma Hui.

Dara itu mengerutkan alisnya ketika mendengar permintaan Ceng Liong. Alis yang hitam kecil dan panjang melengkung seperti dilukis saja, di atas wajah yang berkulit putih kemerahan, wajah yang berdagu runcing, bermata tajam dan bening, dengan bulu mata panjang lentik, hidung mancung dan mulut kecil yang bibirnya selalu merah membasah, wajah yang manis! Memang Suma Hui seorang dara yang manis, seperti ibunya di waktu muda, akan tetapi juga wataknya yang keras, lincah, kadang-kadang ganas dan liar walaupun pada dasarnya watak itu gagah dan selalu menentang segala yang tidak benar dan jahat. Dara berusia delapan belas tahun ini sungguh amat menarik hati, bagaikan setangkai bnnga yang sedang mulai mekar mengharum, memiliki daya tarik yang amat kuat sehingga setiap gerakan anggauta tubuhnya yang manapun, kerling mata, senyum bibir, gerakan cuping hidung, gerakan kepala atau tangan, semua itu mempunyai daya tarik yang indah tersendiri.

“Ceng Liong, apakah engkau sudah melupakan semua nasihat kakek dan kedua orang nenek kita yang bijaksana? Ilmu silat tidak mungkin dipelajari secara serampangan atau sembarangan saja. Belajar ilmu silat seperti membangun rumah, harus dimulai dari dasarnya dulu. Tanpa dasar dan kerangka yang kokoh kuat,jang an harap akan dapat menguasai ilmu silat dengan sempurna. Mempelajari gerakan-gerakannya saja memang mudah, akan tetapi semua itu hanya akan menjadi gerakan-gerakan kosong untuk menggertak orang belaka, tanpa isi yang bermutu. Engkau tergesa-gesa hendak mempelajari Swat-im Sin-ciang, apakah kaukira mempelajari ilmu itu sama mudahnya dengan membuat istana pasir di pantai saja? Engkau harus bersabar dan mengikuti semua pelajaran dengan seksama, jangan ingin melangkah terlalu jauh kalau kakimu belum kuat. Mengerti?”

“Mengerti, ibu guru!” tiba-tiba Ciang Bun yaug menjawab. Adik ini biarpun pendiam dan serius, namun dia amat sayang kepada Ceng Liong dan kiranya hanya dia yaug berani membantah atau mengejek Suma Hui karena dia tahu bahwa encinya itu terlalu amat sayang kepadanya sehingga tidak akan pernah memarahinya. Melihat Ceng Liong tidak diajari ilmu itu malah diberi nasihat dan teguran, hati Ciang Bun membela dan diapun mengejek encinya yang bersikap seperti seorang guru memberi kuliah.

“Hushh!” Suma Hui mendengus kepada adik kandungnya. “Aku tidak bicara denganmu!”

“Engkau tidak mau mengajarnya, bilang saja tidak mau, kenapa masih harus menegurnya?” Ciang Bun membela Ceng Liong.

“Huh, engkau yang tolol!” Suma Hui membanting kaki kirinya. Sungguh kebiasaan ini persis kebiasaan ibunya di waktu muda, hanya bedanya kalau Hwee Li, ibunya, suka membanting-banting kaki kanan, dara ini membanting-banting kaki kiri kalau hatinya sedang kesal. “Bun-te, engkau ini hanya akan merusak watak Ceng Liong saja dengan cara-caramu yang memanjakannya. Engkau sendiri tentu tahu betapa bahayanya mengajarkan Swat-im Sin-ciang pada orang yang belum kuat benar sin-kangnya. Engkau sendiri baru memperdalam Hwi-yang Sin-ciang, bagaimana mungkin anak sebesar Ceng Liong ini dilatih Swat-im Sin-ciang? Apa kau ingin melihat Liong-te celaka dengan mempelajari ilmu itu sebelum waktunya?”

Ciang Bun maklum bahwa melawan encinya ini, tak mungkin dia akan menang berdebat, maka dia lalu diam saja, tidak dapat membantah lagi. Melihat ini, Ceng Liong lalu berkata, “Aih, sudahlah, enci Hui, Bun-ko hanya main-main saja dan akupun tadi hanya minta dengan iseng-iseng saja.”

Suma Hui memang mudah kesal dan marah, akan tetapi iapun mudah sekali melupakan kemarahannya. Ia menarik napas panjang dan wajahnya yang cantik manis itu nampak ramah lagi. “Adikku yang baik, ketahuilah bahwa biarpun Ilmu Swat-im Sin-ciang tidak dapat dikata lebih tinggi tingkatnya dari pada Hwi-yang Sin-ciang, akan tetapi mempelajari kedua ilmu itu di Pulau Es, tentu saja Hwi-yang Sin-ciang jauh lebih mudah. Kita tinggal di tempat ini secara otomatis telah berlatih. Di dalam tubuh kita sudah ada kelengkapan-kelengkapan untuk menyesuaikan diri dengan hawa di luar tubuh. Daya kekuatan melawan dingin di tempat ini bekerja sepenuhnya dan ditambah dengan latihan-latihan, maka otomatis kita mudah sekali mengerahkan tenaga panas untuk menahan serangan hawa dingin di pulau ini. Maka, dengan latihan melawan hawa dingin, kita mudah saja dapat menguasai Hwi-yang Sin-ciang yang mengandalkan tenaga panas di tubuh. Sebaliknya, karena kita sudah biasa mengerahkan hawa panas melawan serangan dingin, agak sukarlah bagi kita untuk menguasai Swat-im Sin-ciang. Ilmu ini lebih mudah dipelajari di tempat-tempat panas karena otomatis daya tahan dalam tubuh kita bergerak melawan udara panas. Mari kita berlatih, Bun-te. Engkau berlatih Hwi-yang Sin-ciang dan aku berlatih Swat-im Sin-ciang. Biarlah adik Ceng Liong menyaksikan dan memperhatikan baik-baik agar kelak setelah tiba waktunya dia belajar, dia sudah tahu cukup banyak.”

Mereka bertiga lalu berjalan menuju ke ujung pulau di sebelah barat. Setelah kini lenyap kekesalan hatinya, Suma Hui menggandeng tangan kedua orang adiknya itu dan mereka berjalan dengan gembira menuju ke ujung pulau itu di mana terdapat sebuah teluk kecil. Teluk ini banyak mengandung gumpalan-gumpalau es yang mengambang di atas air laut.

“Ceng Liong, coba kaulatih Sin-coa-kun yang telah kaupelajari dari nenek Nirahai!” kata Suma Hui. “Aku mendengar dari nenek bahwa engkau berbakat sekali dalam ilmu silat tangan kosong. Coba mainkanlah agar kami melihatnya.”

Ceng Liong meloncat ke depan lalu berkata kepada mereka. “Hui-cici dan Bun-koko, kalau ada yang belum benar harap kalian suka memberi petunjuk kepadaku!” Kemudian, anak laki-laki berusia sepuluh tahun ini lalu bersilat. Gerakannya memang mantap, cepat dan juga mengandung tenaga yang kuat, lincah dan lemas. Tubuhnya dan kedua lengannya berliuk-liuk seperti tubuh ular dan kedua tangan itu membentuk kepala ular, mematuk ke sana-sini. Biarpun usianya baru sepuluh tahun, namun gerakan tangannya ketika menyerang itu sudah mengandung hawa pukulan yang mengeluarkan suara bersuitan. Ini tandanya bahwa anak ini telah memiliki tenaga sin-kang yang cukup kuat! Inilah hasil gemblengan yang diperolehnya selama dua tahun di Pulau Es. Ilmu Sin-coa-kun (Silat Ular Sakti) itu memang hebat, membuat tubuhnya lincah dan terutama sekali menjadi lemas dan sukar dapat dipukul lawan. Suma Hui dan Suma Ciang Bun memandang kagum. Memang benar ucapan nenek Nirahai, anak ini sungguh berbakat sekali. Ilmu silat ini tidak mudah namun Ceng Liong dapat menguasainya dengan baik dan gerakan-gerakannya demikian lemas sehingga hampir tidak ada kelemahannya.

Setelah selesai bersilat, wajah Ceng Liong nampak merah, ada uap putih mengepul dari kepalanya. Akan tetapi, napasnya biasa saja, tidak terengah-engah, padahal untuk memainkan Sin-coa-kun sampai habis membutuhkan pengerahan tenaga luar dalam yang cukup berat.

“Gerakanmu bagus sekali, Liong-te. Sekarang engkau Bun-te, perlihatkan sampai di mana kemajuan latihanmu dalam Ilmu Hwi-yang Sin-ciang.” Suma Hui menyuruh adiknya.

“Aku hanya baru dapat mencairkan gumpalan es saja, cici,” kata Ciang Bun dengan sikap malu-malu.

“Itupun sudah merupakan kemajuan yang hebat, adikku,” kakaknya menghibur.

Ciang Bun lalu mulai bersilat, mainkan ilmu silat yang amat hebat dan aneh, gerak-geriknya seperti orang menari-nari saja, dengan tangan membuat gerakan seperti orang menulis huruf-huruf di udara. Itulah Ilmu Silat Hong-in Bun-hoat yang amat luar biasa, karena ilmu ini adalah ilmu yang diturunkan oleh manusia dewa Bu Kek Siansu dan yang pernah diwarisi oleh Lulu, nenek dari pemuda ini. Jarang ada orang yang berkesempatan menyaksikan ilmu silat yang langka ini. Setelah mainkan ilmu silat ini beberapa jurus, akhirnya Ciang Bun menghentikan gerakan-gerakannya dan berdiri di tepi teluk dengan kedua tangan terangkap seperti menyembah di depan dada. Inilah yang disebut kedudukan Hoan-khi-pai-hud (Memindahkan Hawa Menyembah Buddha) dan pemuda berusia lima belas tahun ini sedang mengerahkan tenaga Hwi-yang Sin-ciang. Nampak uap mengepul dari seluruh tubuhnya dan Ceng Liong yang sejak tadi memandang kagum merasa betapa ada hawa panas keluar dari tubuh kakaknya itu, makin lama semakin panas. Akhirnya, tiba-tiba Ciang Bun mengeluarkan suara melengking tinggi dan mcngejutkan, tubuhnya bergerak dan kedua tangannya mendorong-dorong ke arah gumpalan-gumpalan es yang mengambang di air laut di dekat tepi. Hawa panas menyambar-nyambar ke arah gumpalan-gumpalan es itu dan gumpalan es sebesar kepala kerbau itu seketika mencair seperti didekati api panas!

“Hebat sekali, engkau sungguh lihai, Bun-koko!” Ceng Liong memuji sambil bertepuk tangan dengan hati gembira sekali. Setelah mencairkan empat gumpal es, Ciang Bun menghentikan gerakannya dan sambil tersenyum malu-malu dia mengusap peluh yang membasahi dahi dan lehernya. “Ah, aku masih harus banyak berlatih, Liong-te,” katanya merendah. Demikianlah watak Ciang Bun, pemalu dan rendah hati, sungguh amat berbeda dengan cicinya yang lincah jenaka dan kadang-kadang dapat saja bersikap angkuh. “Sekarang, harap engkau suka memberi petunjuk dan memperlihatkan kehebatan Swat-im Sin-ciang, Hui-cici.” Ciang Bun menyambung untuk menutupi rasa jengahnya oleh pujian Ceng Liong tadi.

Suma Hui menarik napas panjang. “Berlatih Swat-im Sin-ciang di Pulau Es sungguh tidak mudah, membutuhkan pengerahan tenaga yang lipat dibandingkan dengan kalau berlatih Hwi-yang Sin-ciang. Baiklah, aku akan berlatih dan kalian lihatlah baik-baik, siapa tahu kelak kalian dapat melampaui aku dalam ilmu ini.”

Dara cantik jelita ini lalu mempererat ikat pinggangnya dan iapun mulai memperlihatkan kemahiran dan kelincahannya. Ia mainkan ilmu silat yang kelihatannya amat lembut dan halus indah, namun sesungguhnya ilmu silat ini adalah ilmu yang ganas bukan main, karena ini adalah Ilmu Toat-beng Bian-kun (Silat Lemas Pencabut Nyawa) yang dipelajarinya dari neneknya, yaitu nenek Lulu. Ilmu inipun sesungguhnya berasal dari Bu Kek Siansu, akan tetapi asalnya tidaklah begitu ganas. Hanya setelah terjatuh ke tangan nenek sakti Maya, maka menjadi ganas dan setelah terjatuh ke tangan nenek Lulu semakin ganas! Seperti juga perbuatan adiknya tadi, sambil bersilat itu Suma Hui mendekati pantai teluk dan tiba-tiba iapun mengeluarkan lengkingan-lengkingan tinggi nyaring dan kedua tangannya memukul-mukul ke air di tepi teluk. Air laut itu muncrat-mucrat ke darat dan ketika tiba di atas batu, terdengar suara berketikan karena air laut itu ternyata telah membeku dan menjadi butiran-butiran es! Sungguh merupakan ilmu pukulan yang dahsyat dan mengerikan, dan menjadi kebalikan dari ilmu pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang dapat mencairkan es tadi. Swat-im Sin-ciang ini mengandung hawa sedemikian dinginnya sehingga dapat membuat air menjadi beku! Lawan yang kurang kuat sin-kangnya, kalau terkena pukulan ini mana mampu menahannya? Darahnya mungkin bisa menjadi beku!

“Hebat....! Hebat....!” Ceng Liong bertepuk tangan memuji dan diapun meleletkan lidahnya saking kagum melihat betapa air yang muncrat-muncrat itu berobah menjadi es.

Tiga orang ini lalu berbincang-bincang di tepi teluk, membicarakan tentang ilmu-ilmu silat yang mereka pelajari dan beberapa kali mereka saling memperlihatkan ilmu yang sedang mereka latih di mana Suma Hui memberi petunjuk-petunjuk kepada dua orang adiknya. Mereka bertiga adalah ahli waris-ahli waris langsung dari keluarga Pulau Es dan tentu saja merekalah yang berhak untuk mewarisi semua ilmu dari Pendekar Super Sakti dan keluarganya.

Sementara itu, di dalam Istana Pulau Es itu sendiri, di dalam ruangan samadhi, Pendekar Super Sakti Suma Han sedang duduk bersila di atas lantai bertilam babut tebal, berhadapan dengan kedua orang isterinya, yaitu nenek Nirahai dan nenek Lulu. Mengharukan juga melihat pendekar sakti yang kini sudah menjadi seorang kakek tua renta itu duduk berhadapan dengan kedua isterinya yang sudah menjadi nenek-nenek tua renta pula, dalam keadaan yang demikian penuh kedamaian dan ketenteraman, juga penuh dengan getaran kasih sayang di antara mereka. Bagi orang lain mungkin mereka bertiga itu hanya merupakan kakek dan nenek yang tua renta dan buruk digerogoti usia. Namun bagi mereka masing-masing, mereka masih saling merasa kagum dan tiada bedanya dengan dahuhu di waktu mereka masih muda belia. Tentu saja merekapun sadar bahwa mereka telah amat tua, seperti yang dapat diikuti dari percakapan mereka di dalam ruangan samadhi yang sunyi itu. Tidak ada seorangpun pelayan berani mendekati ruangan samadhi ini tanpa dipanggil. Mereka bertiga sejak tadi bercakap-cakap setelah pada pagi hari itu mereka menghentikan samadhi mereka.

“Kematian telah berada di depan mata....” Terdengar suara halus Suma Han, suara yang keluar seperti tanpa disengaja, dan tidak ada tanda-tanda perasaan tertentu di balik pernyataan ini. Kedua orang nenek itu, yang tadinya duduk bersila dengan muka tunduk, kini mengangkat muka memandang wajah suami mereka. Pandang mata mereka itu masih penuh kagum, penuh rasa kasih, dan pengertian. Akan tetapi ucapan tadi memancing datangnya kerut di kening mereka.

“Suamiku, apa artinya ucapanmu tadi?” tanya nenek Nirahai.

“Mengapa tiba-tiba menyinggung tentang kematian di pagi hari secerah ini?” Nenek Lulu juga menyambung dengan nada suara penuh teguran dan pertanyaan.

Kakek Suma Han mengangkat mukanya dan wajahnya yang masih kemerahan itu kini penuh senyum ketika dia bertemu dengan pandang mata kedua orang isterinya. “Apakah kalian terkejut dan merasa takut mendengar kata kematian itu?” tanyanya, suaranya halus penuh kasih sayang.

“Hemmm, siapa yang takut mati?” Nirahai mencela.“Akupun tidak pernah takut kepada kematian!” nenek Lulu juga menyambung.

Kakek itu mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya, masih menatap wajah kedua orang isterinya itu berganti-ganti. “Kalian memang benar. Kematian hanya merupakan kelanjutan daripada kehidupan. Hidup takkan mungkin pernah terpisah dari pada mati. Ada hidup tentu ada mati seperti ada awal tentu ada akhir, walaupun kematian bukan merupakan akhir segala-galanya. Orang sesungguhnya tidak takut akan kematian itu sendiri, melainkan ngeri karena harus berpisah dari segala-galanya yang disayangnya, harus terlepas dari segala macam bentuk pengikatan manis dalam hidupnya. Kematian adalah suatu hal yang wajar. Jadi, kalian sama sekali tidak pernah merasa ngeri menghadapi kematian?”

“Nanti dulu, suamiku,” kata nenek Nirahai. “Kita sekarang ini masih segar-bugar, masih sehat walaupun usia kita telah mendekati satu abad, akan tetapi mengapa kita bicara tentang kematian? Kalau kematian itu merupakan suatu kewajaran, dan kalau kita tidak takut menghadapinya, perlu apa kita membicarakannya seperti orang yang ketakutan menghadapinya?”

Kini kakek Suma Han tertawa. Suara ketawanya masih seperti suara ketawa orang muda dan giginyapun masih baik sehingga ketika dia tertawa, wajahnya nampak jauh lebih muda walaupun rambut, kumis dan jenggotnya telah putih semua.

“Engkau masih dapat tertawa seperti itu akan tetapi bicara tentang kematian. Sungguh tidak lucu!” Nenek Lulu berkata.

Ucapan isterinya yang biasanya galak ini membuat Suma Han semakin gembira tertawa. “Kita membicarakan kematian bukan karena takut, melainkan membicarakannya sebagai suatu hal yang tak terhindarkan dan suatu hal yang amat akrab di dalam hatiku. Sesungguhnya, bukankah kita bertiga ini sudah lama mati? Mati dalam hidup, yaitu mati daripada segala ikatan yang memberatkan batin. Kita bertiga sudah berusia begini lanjut. Kiranya jarang ada yang dapat mencapai usia selanjut kita dan hal ini terjadi karena cara hidup kita yang bersih dan selalu menjaga diri tidak menyalahi hukum-hukum kehidupan dan mempunyai tertib diri. Terutama sekali, karena kita bertiga hidup berbahagia. Kalau tadi aku bertanya, aku hanya ingin mendengar kepastian bahwa kalian berdua tidak takut akan kematian yang sudah berada di depan mata karena usia kita yang sudah sangat tua. Kita tidak mungkin hidup tanpa akhir, jasmani kita akan melapuk dan melemah dimakan usia....”

“Sudahlah, suamiku. Perlu apa kita bicara tentang kematian? Bukan berarti bahwa aku takut menghadapi kematian. Tidak, sejak dahulu aku tidak takut. Sudah berapa puluh kali kita semua menghadapi ancaman maut, namun tidak sekalipun kita merasa takut, bukan? Nah, kalau ada yang kutakuti, hanya satu, yaitu....”

“Heh-heh, engkau....? Engkau.... takut....? Aih, adik Lulu, siapa bisa percaya kalau engkau mengatakan bahwa engkau takut? Aku yakin akan keberanian dan ketabahanmu, sehingga, andaikata Giam-lo-ong sendiri muncul di depanmu, tentu akan kausambut dia dengan senyum mengejek.” Nirahai mencela dengan kelakar karena memang nenek ini sudah tahu benar akan keberanian madunya yang tidak pernah mengenal takut itu.

“Benar, enci, aku memang takut akan suatu hal. Aku takut kalau-kalau aku akan mati sebagai seekor harimau betina yang telah ompong dan kehilangan cakar kakinya.”

Suma Han menatap wajah isterinya ini lalu bertanya, “Apa maksudmu?”

“Semenjak kecil aku mempelajari ilmu silat. Memang tidak sia-sia karena ilmu itu telah banyak menolongku di waktu dahulu, dan kini dapat pula kuturunkan kepada anak cucu. Akan tetapi, memikirkan semua itu lalu membayangkan bahwa aku kelak akan mati dalam keadaan lemah dan sakit-sakitan, sungguh.... ngeri juga hatiku. Aku ingin mati sebagai seekor harimau betina yang gagah perkasa, biarpun sudah tua, seekor harimau betina yang mati dalam amukannya dikeroyok segerombolan serigala misalnya! Tidak mati sakit dan lemah menyedihkan....”

Nenek Nirahai mengangguk-angguk. “Tepat! Akupun seringkali merasa ngeri membayangkan mati dalam keadaan seperti ini. Berilah aku pasukan, aku akan maju perang membasmi gerombolan jahat, pengacau-pengacau dan pemberontak. Biarkan aku gugur dalam pertempuran, mati dengan pedang di tangan, bukan mati sebagai seorang nenek yang lumpuh dan lemah sakit-sakitan. Hih, mengerikan!”

Mendengar ucapan kedua orang isterinya itu, Pendekar Super Sakti menarik napas panjang.

“Aihh, kiranya setua ini kalian masih saja menyimpan kekerasan di dalam sanubari kalian. Belum cukupkah kekeruhan yang kita lakukan selama kita hidup, mengandalkan ilmu-ilmu kekerasan yang ada pada kita?”

“Akan tetapi, bukan kita yang mencari kekerasan. Kita hanya menanggapi saja, menghadapi lawan yang merajalela bertindak sewenang-wenang dengan ilmu mereka. Kita hanya membela si lemah yang tertindas, menentang si kuat yang lalim,” kedua orang isterinya menjawab hampir berbareng.

Pendekar tua itu mengangguk-angguk. “Aku tidak akan membantah pendapat kalian, walaupun kebenaran pendapat itu hanya menjadi hasil pandangan sebelah saja. Sekarang kita hidup tenang dan tenteram, mengapa merindukan kekerasan?”

“Suamiku, jangan salah duga,” kata nenek Lulu. “Aku tidak merindukan kekerasan, hanya aku ingin mati sebagai seorang gagah. Biarpun sudah tua begini, ngeri aku membayangkan mati sebagai seorang nenek yang lemah dan berpenyakitan.”

Suaminya mengangguk-angguk. “Harapan sih boleh saja, akan tetapi yang menentukan adalah kenyataan. Memang kematian telah berada di depan mata, dan aku merasa lega bahwa kita bertiga akan berani menghadapinya dengan bebas rasa takut.”

“Suamiku, sudahlah, tidak enak rasanya bicara tentang kematian selagi kita masih hidup. Apakah engkau ingin minum air buah seperti biasa?” tanya Nirahai. Setelah menghentikan samadhi mereka yang kadang-kadang sampai makan waktu tiga hari tiga malam, mereka bertiga suka memulai makan dengan minum air buah. Suma Han mengangguk dan Nirahai lalu menggunakan kedua tangannya untuk bertepuk dan tidak lama kemudian muncullah seorang pelayan wanita yang usianya kurang lebih empat puluh tahun. Nirahai lalu menyuruh pelayan itu menghidangkan air buah dan makanan-makanan lembut dan ringan untuk mengisi perut mereka yang kosong. Setelah mereka bertiga mengisi perut yang kosong dengan sari buah dan makanan-makanan ringan, Suma Han bertanya, “Di manakah cucu-cucu kita? Kenapa tidak ada suara mereka di dalam?”

“Mereka tentu berada di luar istana,” kata nenek Nirahai. “Aku mulai memikirkan apakah tidak sebaiknya kalau mereka itu sekali waktu disuruh melakukan perjalanan ke kota raja? Keadaan negara sedang aman tenteram, baik sekali kalau mereka itu meluaskan pemandangan dan pengetahuan pergi ke kota raja.”

“Menurut berita yang dibawa oleh para pelayan, memang kaisar muda Kian Liong amat bijaksana,” kata Suma Han. “Syukurlah kalau akhirnya negara memiliki seorang kaisar yang benar-benar bijaksana dan dapat membuat rakyat hidup adil makmur, negara kuat dan keamanan hidup terjamin. Betapa sejak dahulu aku merindukan keadaan seperti itu.”

“Semenjak masih muda sekali, ketika masih menjadi pangeran, memang Pangeran Kian Liong sudah nampak sebagai seorang yang bijaksana,” kata nenek Nirahai.

“Aku jadi ingin sekali melihat kota raja dalam keadaan makmur seperti sekarang,” kata nenek Lulu.

“Sebaiknya panggil mereka itu masuk, aku ingin bicara dengan mereka,” kata kakek itu.

“Biar aku yang mencari mereka!” Nenek Lulu bangkit dari lantai dan dengan langkah masih gesit nenek ini lalu meninggalkan ruangan samadhi dan keluar dari istana mencari tiga orang cucunya.

“Jangan lepaskan pandang matamu dari tubuh lawan, terutama sepasang pundaknya dan gerak kakinya. Gerakan sendiri tidak perlu kita ikuti dengan mata, melainkan dengan perasaan saja, karena itulah maka gerakan perlu dilatih agar menjadi otomatis sehingga seluruh pandang mata dan perhatian kita tak pernah terlepas daripada gerakan lawan.” Demikian Suma Hui memberi nasihat kepada kedua orang adiknya. Kemudian dara yang cantik manis ini lalu mengeluarkan sepasang pedang dan mulai memainkan sepasang pedang ini dalam Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis). Namanya saja menyeramkan, akan tetapi sesungguhnya ilmu pedang ini amat hebat, dahsyat dan kalau dimainkan oleh seorang dara seperti Suma Hui nampak indah seolah-olah dara itu bukan sedang bersilat melainkan sedang menari-nari saja. Sepasang pedangnya lenyap bentuknya dan berobah menjadi dua gulung sinar yang saling belit dan saling sambung.

Ciang Bun dan Ceng Liong nonton dengan penuh kagum. Memang indah sekali tarian pedang yang dimainkan oleh Suma Hui itu. Bagi orang-orang tidak mengerti, atau yang ilmu silatnya masih rendah, tentu akan memandang ringan dan akan mengira bahwa itu hanya merupakan tarian pedang yang indah saja akan tetapi yang tidak berbahaya kalau dipakai dalam perkelahian yang sungguh-sungguh. Perkiraan seperti itu sungguh akan membuat orangnya kecelik bukan main. Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut itu bukan hanya indah dipandang, akan tetapi juga amatlah dahsyatnya, dan merupakan ilmu pedang yang sukar dicari bandingnya di dunia persilatan pada waktu itu. Saking asyiknya Suma Hui bersilat pedang dan kedua orang adiknya nonton dengan hati kagum, mereka bertiga sampai tidak melihat adanya perubahan aneh yang terjadi di lautau di sekitar Pulau Es. Ternyata pada pagi hari itu, tidak seperti biasanya, nampak belasan buah layar bermunculan di sekitar pulau, bahkan sebuah perahu besar di antara sekian banyak perahu itu telah memasuki teluk dan mendarat!

“Bagus! Bagus dan indah sekali!”

“Cantik jelita seperti bidadari!”

Suara pujian-pujian dan tertawa gembira itu mengejutkan tiga orang cucu Pendekar Super Sakti. Tentu saja Suma Hui cepat menghentikan permainan pedangnya dan menyimpan sepasang pedang itu di sarung pedang yang tergantung di punggungnya. Dua orang anak laki-laki itupun cepat menengok dan mereka bertiga kini berhadapan dengan tujuh orang laki-laki yang berloncatan turun dari perahu, sedangkan di atas perahu besar itu masih terdapat beberapa orang anak buah perahu. Tiga orang cucu Pendekar Super Sakti itu telah dua tahun berada di Pulau Es dan mereka belum pernah melihat ada perahu asing mengunjungi pulau, maka mereka memandang dengan penuh keheranan dan mengira bahwa tentu mereka ini merupakan tamu-tamu kakek mereka. Akan tetapi, Suma Hui mengerutkan alisnya yang hitam karena dara yang sudah berusia delapan belas tahun ini, sebagai puteri suami isteri pandekar, dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan orang-orang yang termasuk dalam kelompok kaum sesat. Hal ini mudah saja dikenalnya, dari cara mereka berpakaian, dari wajah yang penuh dengan watak keras itu, dan terutama sekali dari sikap mereka yang kelihatan sombong, mengagulkan diri, dan juga tidak sopan. Hatinya sudah dipenuhi rasa tidak suka melihat betapa tujuh orang yang dihadapinya itu memandang kepadanya dengan cengar-cengir dan menyeringai memuakkan. Suara pujian akan kecantikannya tadi mengandung kekurangajaran, walaupun tujuh orang itu bukan muda lagi, antara empat puluh sampai enam puluh tahun. Namun, dari gerakan mereka ketika berloncatan turun tadi, mudah diketahui bahwa mereka itu rata-rata pandai main silat.

Seorang di antara mereka yang usianya kurang lebih empat puluh tahun melangkah maju sambil tertawa. Laki-laki ini kurus tinggi dan berkulit hitam, mukanya kecil seperti muka tikus, kumisnya melintang dan kedua ujungnya melengkung ke bawah, di punggungnya nampak tergantung sebatang golok, sikapnya congkak bukan main.

“Ha-ha, Nona manis. Siapakah engkau? Sungguh tak kusangka, di tempat kosong seperti ini akan bertemu dengan seorang gadis yang begini cantik manis dan memiliki kepandaian menari amat indah lagi. Aih, nona, daripada hidup di tempat terasing seperti ini, mari kau ikut saja denganku dan menjadi muridku yang terkasih. Ha-ha-ha! Jangan khawatir, menjadi murid Sian-to (Dewa Golok) hidupmu tentu akan senang!” Berkata demikian, orang ini mengulur lengannya yang panjang dan jari-jari tangannya mencoba untuk mencolek ke arah dada Suma Hui.

“Jahanam....!” Suma Hui memaki dan hanya dengan sedikit melangkah ke belakang saja, colekan itu mengenai tempat kosong. Dara itu membanting-banting kaki kirinya beberapa kali dan sinar matanya seperti mengeluarkan sinar berapi ketika ia memandang kepada orang yang memakai julukau Dewa Golok itu. Kalau dara ini sudah membanting-banting kaki kiri, itu tandanya berbahaya sekali karena ia sudah marah bukan main. Akan tetapi, orang bermuka tikus itu memang tak tahu diri saking congkaknya. Memang, sebagai seorang jagoan, entah sudah berapa banyaknya orang yang dia robohkan karena tidak taat kepadanya dan hal ini membuat dia menjadi tekebur sekali dan tidak sudi menghargai orang lain, selalu memandang rendah dan merasa bahwa dialah jagoan paling hebat di dunia.

“Eh, eh, engkau memaki?” Bentaknya dan kini kedua tangannya sudah mencengkeram ke depan, dan kembali cengkeraman itu ditujukan ke arah dada Suma Hui.

“Setan!” Makian ini keluar dari mulut kecil Suma Ceng Liong dan tiba-tiba saja tubuhnya sudah menerjang ke depan. Biarpun usianya baru sepuluh tahun, akan tetapi dia adalah putera Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu! Sejak kecil, bahkan sejak dapat berjalan kaki, dia sudah digembleng oleh ayah dan ibunya sehingga ilmu silat sudah mendarah daging padanya! Tubuhnya juga digembleng menjadi kuat. Apalagi selama dua tahun ini, sejak berusia delapan tahun, dia digembleng oleh neneknya, yaitu nenek Nirahai dan menerima petunjuk-petunjuk dari kakeknya. Tentu saja dia bukanlah anak laki-laki berusia sepuluh tahun sembarangan saja! Terjangannya itu memakai perhitungan dan dilakukan dengan pengerahan tenaga. Tubuh yang sudah dua tahun menahan dinginnya Pulau Es itu telah dapat menghimpun tenaga panas yang cukup kuat dan ketika dia menerjang, dia telah mempergunakan tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Angin Taufan) yang dipelajarinya dari ayahnya. Tubuhnya meluncur ke depan dan kedua kakinya melakukan tendangan terbang. Si muka tikus terkejut sekali, mencoba untuk menangkis, akan tetapi tangkisannya dapat dipatahkan oleh kaki kiri Ceng Liong sedangkan kaki kanan tetap meluncur menghantam perut.

“Dukkk....!” Tubuh Dewa Golok itu terjengkang dan terbanting keras. Agaknya belakang kepalanya terbanting cukup keras karena ketika dia bangkit duduk, kepalanya bergoyang-goyang dan sepasang matanya menjadi agak juling. Akau tetapi dia sudah marah sekali dan sambil berteriak dia sudah mencabut golok dari punggungnya, lalu bangkit berdiri. Akan tetapi, Ceng Liong sudah menyeruduk lagi ke depan, sekali ini dia membuat serangan dengan jurus dari Sin-coa-kun, tangan kirinya yang membentuk kepala ular itu “mematuk” ke arah dada lawan yang baru hendak bangkit berdiri dengan kepala masih pening.

“Tukkk!” Dan tubuh itu kembali terjengkang, kini golok yang dipegangnya terlepas dan dia roboh pingsan karena pukulan itu merupakan totokan yang disertai hawa pukulan panas.Dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya enam orang lain yang tadi turun dari perahu. Mereka itu adalah orang-orang yang biasa mempergunakan kekerasan dan merupakan orang-orang terkenal di dunia kang-ouw. Tentu saja mereka pernah melihat orang-orang pandai, akan tetapi baru sekarang mereka melihat betapa seorang teman mereka yang mereka tahu cukup tangguh itu roboh pingsan melawan seorang anak kecil, hanya dalam dua gebrakan saja!

Seorang yang bertubuh gendut, perutnya besar sekali sampai seperti gajah bunting bengkak, dan biarpun tubuhnya tidak dapat dikatakan pendek namun besar perutnya membuat dia nampak pendek, segera melangkah maju. Orang ini memiliki tenaga besar, hal ini dapat dirasakan ketika kakinya dibanting ke atas tanah sampai tanah itu tergetar. Dia termasuk seorang di antara mereka yang merasa penasaran melihat rekannya roboh sedemikian mudahnya oleh seorang anak kecil, maka begitu maju diapun segera menubruk ke arah Ceng Liong.

“Dukkk!” Si gendut itu terkejut dan meloncat kemba1i ke belakang ketika ada tangan yang amat kuat menangkis lengannya. Kiranya pemuda remaja belasan tahun yang bermuka bulat itu yang menangkisnya, bukan sembarang tangkisan karena si gendut ini merasa tadi betapa ada kekuatan besar dalam tangan kecil itu yang mendorongnya. Dengan mata melotot dia memandang pemuda remaja itu. Seorang pemuda belasan tahun yang kelihatannya masih hijau. Dia menjadi penasaran sekali.

“Engkau berani melawanku?” bentaknya, dan tanpa menanti jawaban lagi si gendut ini langsung saja melakukan serangan dahsyat. Agaknya dia ingin memamerkan kepandaiannya dan ingin membalas kekalahan temannya tadi, ingin merobohkan Ciang Bun dengan sekali pukul. Maka begitu menyerang dia telah menggerakkan kaki tangannya, pertama-tama kakinya menendang kuat ke arah perut pemuda itu lalu disusul pukulan beruntun dengan kedua tangannya mengarah leher dan kepala Ciang Bun. Tiga serangan berantai itu amat cepat dan kuatnya, dan si gendut sudah merasa yakin bahwa pemuda remaja itu pasti tidak akan mampu menghindarkan diri dan tentu satu di antara serangannya itu akan mengenai sasaran.

Akan tetapi, dia dan teman-temannya kecelik. Ciang Bun yang melihat sambaran kaki tangan itu sudah dapat mengukur dari sambaran anginnya bahwa si gendut ini biarpun jauh lebih lihai daripada si Dewa Golok tadi, tetap saja hanya besar mulut dan besar tenaga otot belaka. Maka diapun tidak mengelak, melainkan sengaja menangkis sambil mengerahkan tenaga Hwi-yang Sin-ciang di kedua tangannya.

“Duk-tak-takk!” Tiga kali tendangan dan pukulan itu ditangkis oleh lengan yang mengandung tenaga sin-kang panas itu dan akibatnya, tubuh gendut itu terlempar ke belakang.

“Bresss! Ngekkk!” Bunyi pertama adalah bunyi daging pinggulnya menghantam tanah dan bunyi ke dua adalah bunyi perut gendutnya yang terbanting. Yang membuat dia tidak dapat bangkit dengan cepat dan hanya meringis kesakitan adalah berat badannya sendiri yang membuat bantingan itu menjadi berat dan hebat sekali.

Kini semua orang memandang terbelalak. Kiranya kemenangan anak laki-laki kecil tadi melawan si Dewa Golok bukan hanya merupakan hal yang kebetulan saja, melainkan karena memang anak-anak ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat! Tosu berusia enam puluhan tahun yang agaknya menjadi pimpinan kelompok orang yang turun dari perahu itu kini melangkah maju. Tosu ini wajahnya merah, bahkan matanya juga agak kemerahan, mulutnya tersenyum sinis dan dia maju sambil mengebut-ngebutkan lengan bajunya yang lebar. Jubahnya berwarna kuning dan di dadanya ada gambaran bulat lambang Im Yang.

“Siancai.... siancai....!” katanya dengan alim. “Kiranya di tempat sunyi ini terdapat orang-orang muda yang pandai. Sungguh mengagumkan sekali. Orang-orang muda, siapakah kalian dan apa hubunganmu dengan tocu (majikan pulau) dari Pulau Es?”

Karena masih menduga bahwa mungkin sekali mereka ini adalah kenalan-kenalan kakeknya walaupun hal ini sungguh amat meragukan, maka Suma Hui lalu menjawab, “Tocu Pulau Es adalah kakek kami.”

Terdengar seruan-seruan kaget mendengar pengakuan ini dan tosu itu juga berseru, “Siancai! Kiranya kalian adalah cucu-cucu dari Pendekar Siluman Suma Han?”

“Kakekku adalah Pendekar Super Sakti, bukan siluman!” Tiba-tiba Ceng Liong membentak. Bagi keluarga ini, julukan Pendekar Siluman dari kakek mereka dianggap kurang sedap dan lebih membanggakan kalau kakek mereka dijuluki Pendekar Super Sakti. Akan tetapi anehnya, Ceng Liong sendiri tidak merasa keberatan dengan julukan ayah kandungnya, yaitu Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu.

“Bagus! Kebetulan sekali kalau begitu! Sebelum menebang batangnya, lebih baik menebangi cabang-cabang dan ranting-rantingnya lebih dulu!” Kata-kata ini belum dapat dimengerti atau ditangkap artinya oleh Suma Hui ketika tiba-tiba saja tosu itu sudah menyerangnya dengan hebat. Gerakan tosu ini cepat dan kuat sekali, sungguh sama sekali tidak boleh disamakan dengan dua orang terdahulu yang dirobohkan oleh Ceng Liong dan Ciang Bun. Jelaslah bahwa tosu ini lihai sekali dan memiliki ilmu silat tinggi. Dan memang sesungguhnyalah. Tosu ini adalah seorang tokoh dari partai Im-yang-pai dan memiliki ilmu silat yang tinggi dan tenaga sin-kang yang kuat. Kalau tidak lihai, tentu dia tidak akan dipercaya untuk memimpin rombongan orang-orang gagah dalam perahu itu.

Suma Hui telah memiliki tingkat ilmu silat yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kedua adiknya. Dara ini selain lincah dan cepat, juga memiliki kecerdikan. Dalam menghadapi serangan tosu itu, ia bersikap tenang saja dan dengan waspada ia mengikuti gerakan lawan yang melakukan serangan. Tosu itu menamparnya dengan tangan kiri, akan tetapi tamparan yang dilakukan dengan keras itu hanya merupakan pancingan atau gertakan belaka, sedangkan yang lebih berbahaya adalah tangan kanannya yang melakukan dorongan lembut saja ke arah dadanya. Dorongan inilah yang berbahaya karena Suma Hui dapat merasakan kekuatan besar yang panas tersembunyi dalam dorongan lembut itu! Dalam sekejap mata saja dara perkasa inipun maklum bahwa lawannya menggunakan sin-kang yang keras atau panas, maka iapun sudah siap untuk menyambutnya.

Ia sengaja membiarkan dirinya terpancing, mengangkat lengan kanannya untuk menangkis tamparan tangan kiri lawan seolah-olah ia tidak tahu bahwa dorongan tangan kanan lawan itulah yang berbahaya.

“Plakk!” Lengan kanannya menangkis tamparan dan pada saat itu, dorongan tangan kanan lawan yang kuat dan panas itupun menyambar masuk. Suma Hui mengerahkan tenaga Swat-im Sin-ciang ke dalam lengan kirinya dan iapun menangkis dorongan itu sambil mengerahkan sebagian dari tenaga dingin.

“Dukk....!”

Pertemuan kedua tangan dan lengan itu membuat si tosu terdorong ke belakang beberapa langkah dan biarpun dia tidak sampai terguling jatuh, akan tetapi tubuhnya menggigil dan mukanya seketika menjadi pucat. Matanya terbelalak memandang kepada wajah dara itu, seolah-olah tidak percaya. Dia sendiri adalah ahli sin-kang dan telah menguasai tenaga Im dan Yang dari ilmu partainya, akan tetapi di tempat dingin seperti Pulau Es itu, di mana dia sudah harus mengerahkan sin-kang untuk melawan hawa dingin, dia tahu bahwa tidak mungkin dia mempergunakan Im-kang atau tenaga dingin di tempat ini. Karena itu, dia tadi telah mempergunakan tenaga panas atau Yang-kang ketika menyerang lawan. Siapa kira, dara itu malah mempergunakan tenaga dingin yang amat kuat untuk melawannya, membuat tubuhnya seketika kedinginan! Tosu Im-yang-pai itu menjadi penasaran sekali. Cepat dia mengerahkan tenaga untuk mengusir hawa dingin itu, kemudian dia mengeluarkan teriakan nyaring dan menyerang lagi kalang kabut dengan amat dahsyatnya. Namun Suma Hui telah siap siaga dan menyambut serangan-serangannya dengan lincah, bukan hanya mengelak dan menangkis, bahkan juga balas menyerang dengan sengit. Dara ini telah mempergunakan Ilmu Toat-beng Bian-kun yang lembut namun dahsyat itu. Tentu saja tosu Im-yang-pai iku tidak mengenal ilmu silat ini dan segera dia mulai terdesak hebat.

“Pergilah!” Suma Hui berseru nyaring dan tangan kirinya yang kecil itu menyambar halus ke arah leher lawan. Tosu itu cepat berusaha mengelak dan balas memukul, akan tetapi tiba-tiba dia berteriak kaget karena tahu-tahu tangan itu sudah menyambar dan mengenai ujung pundaknya, biarpun dia sudah melempar tubuh ke belakang.

“Brettt!” Jubahnya di bagian pundak hancur dan ujung pundak itu terasa nyeri seperti hancur daging kulitnya. Untung baginya bahwa tulang pundaknya tidak terkena serempet pukulan itu. Bagaimanapun juga, hal itu membuatnya terkejut dan ketika dia melempar tubuh ke belakang tadi, dia terus menjatuhkan diri bergulingan menjauh. Ketika dia meloncat bangun, keringat dingin membasahi dahinya, maklum bahwa hampir saja dia celaka oleh dara muda itu. Dia maklum bahwa biarpun dara itu masih muda sekali, namun sebagai cucu Pendekar Super Sakti, ternyata telah memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat dan kalau dilanjutkannya melawan dara itu, besar bahayanya dia akan kalah dan celaka. Maka diapun memberi isyarat kepada kawan-kawannya lalu mencabut pedangnya. Enam orang kawannya itu, dua orang yang tadi dirobohkan oleh Ciang Bun dan Ceng Liong dan yang sudah pulih kembali, segera menerjang dengan senjata masing-masing di tangan! Jelas bahwa mereka itu berniat membunuh, seperti sekumpulan serigala yang haus darah.Akan tetapi, Suma Hui sudah melolos pula sepasang pedangnya, melemparkan sebatang kepada Ceng Liong, sedangkan Ciang Bun juga sudah mengeluarkan pedang yang biasanya dipakai berlatih. Tiga orang cucu Pendekar Super Sakti ini lalu memutar pedang di tangan masing-masing dan mengamuk menyambut serbuan tujuh orang penjahat itu

Terjadiiah perkelahian yang amat hebat dan berat sebelah. Di satu pihak adalah tiga orang yang masih amat muda, bahkan yang seorang masih anak-anak, sedangkan di lain pihak adalah tujuh orang tokoh-tokoh dunia persilatan yang sudah memiliki nama besar. Bagaimanapun juga, tujuh orang ini sama sekali tidak mampu mendesak, bahkan ujung pedang Ciang Bun telah melukai paha seorang lawan, juga ujung pedang Suma Hui telah melukai lengan kiri lawan. Ceng Liong yang masih kecil itupun masih mampu mempertahankan diri, mengelak, menangkis bahkan balas menyerang walaupun dia dikeroyok oleh dua orang jagoan! Tentu saja Ciang Bun tidak sampai hati membiarkan adik kecil ini dikeroyok dua, maka sambil menghadapi pengeroyokan dua orang lainnya, dia selalu mendekati Ceng Liong dan sewaktu-waktu membantunya agar jangan terlalu dihimpit. Suma Hui sendiri dikeroyok tiga, seorang di antaranya adalah tosu Im-yang-pai, akan tetapi dara ini jelas dapat mendesak tiga orang lawannya dan kalau dilanjutkan, agaknya tak lama lagi dara ini akan mampu merobohkan mereka bertiga.

Akau tetapi, pada saat itu, dua buah perahu didayung ke tepi oleh para penumpangnya dan dari masing-masing perahu berlompatan lima orang yang memiliki gerakan ringan, terutama sekali seorang di antaranya yang berpakaian seperti pertapa dan rambutnya digelung ke atas, mukanya penuh cambang bauk dan tangannya memegang sebatang cambuk baja yang hitam panjang! Sepuluh orang ini nampak terkejut dan terheran-heran menyaksikan betapa tujuh orang rekan mcreka yang mengeroyok tiga orang muda setengah anak-anak itu terdesak dan kewalahan.

“Tahan! Mundur semua! Tar-tar-tar!” Tiba-tiba terdengar bunyi lecutan cambuk baja yang meledak-ledak di atas kepala tiga orang cucu Pendekar Super Sakti. Mereka terkejut sekali dan Suma Hui maklum akan kehebatan tenaga yang terkandung dalam ujung cambuk itu, maka iapun meloncat ke belakang sambil meneriaki kedua orang adiknya untuk mundur. Dua orang anak laki-laki itupun tahu akan kelihaian tosu ini, maka merekapun cepat mundur sambil melintangkan pedang melindungi dirinya.

Kakek itu bukanlah orang sembarangan. Dialah tokoh utama Im-yang-pai yang telah membawa perkumpulan itu menyeleweng ke jalan sesat. Nama julukannya adalah Ngo-bwe Sai-kong (Kakek Muka Singa Berekor Lima). Mukanya memang penuh cambang bauk seperti muka singa, dan julukan Lima Ekor itu didapatnya dari senjatanya. Senjata Thi-pian (Cambuk Besi) yang ujungnya lima sehingga merupakan ekor yang lima buah banyaknya. Cambuknya ini berbahaya sekali dan jarang dia menemui tandingan. Tentu saja, sebagai seorang tokoh besar bahkan dia berani mengangkat diri dengan sebutan ciangbujin atau datuk setelah tewasnya Im-kan Ngo-ok (Lima Jahat Dari Akhirat), dia malu kalau harus menghadapi tiga orang anak-anak muda dengan pengeroyokan.

Para pembaca ceritaSuling Emas dan Naga Siluman tentu telah tahu bahwa sepuluh atau sebelas tahun yang lalu, di dunia persilatan terdapat lima orang datuk sesat yang terkenal yaitu Im-kan Ngo-ok. Im-kan Ngo-ok pada sebelas tahun yang lalu telah tewas semua di tangan pendekar-pendekar muda. Tak dapat disangkal bahwa selain lima orang datuk ini, di dalam dunia kaum sesat masih terdapat banyak orang yang kepandaiannya tidak kalah atau tidak selisih jauh dibandingkan dengan mereka, akan tetapi yang menonjol hanyalah Im-kan Ngo-ok. Baru setelah lima orang itu tewas, bermunculan datuk-datuk baru dan satu di antaranya adalah Ngo-bwe Sai-kong inilah!

Setelah mengamati tiga orang muda itu, akhirnya pandang mata saikong ini melekat pada wajah Suma Hui. Saikong ini telah berusia lanjut, paling sedikit enam puluh lima tahun. Akan tetapi wajahnya masih nampak gagah dan tubuhnya tinggi besar dan kokoh kuat, dan pandang matanya masih penuh nafsu berahi, ciri seorang laki-laki yang besar nafsunya dan mata keranjang. Memang inilah satu di antara cacat saikong itu.

“Nona manis, mari engkau ikut denganku, akan kuajari bagaimana caranya bermain pedang!” katanya sambil tersenyum dan melangkah maju menghampiri Suma Hui.

“Setan tua jangan ganggu ciciku!” Ceng Liong yang masih terengah-engah karena perkelahian tadi, dan pandang matanya penuh dengan kemarahan, sudah menggerakkan pedangnya dan menusuk ke arah perut saikong itu. Kakek itu sama sekali tidak mengelak, melainkan menerima saja tusukan itu.

Ceng Liong adalah seorang anak keturunan pendekar sakti dan cucu dari Pendekar Super Sakti. Sejak kecil bukan hanya telah digembleng ilmu-ilmu silat tinggi, akan tetapi juga digembleng oleh ajaran-ajaran tentang kegagahan. Oleh karena itu, melihat betapa lawannya tidak mengelak atau menangkis, tentu saja dia terkejut sekali. Merupakan pantangan bagi seorang gagah untuk menyerang orang yang tidak mau melawan. Akan tetapi, tusukannya telah dilakukan dan dia tidak dapat menariknya kembali, kecuali mengurangi tenaga sin-kang yang tadinya telah dikerahkannya.

“Tukk!” Pedang itu tepat menusuk perut, akan tetapi mental kembali dan Ceng Liong malah terdorong mundur dua langkah!

“Heh-heh, anak nakal, pergilah!” Kakek itu berkata dan tangan kirinya bergerak, ujung lengan baju yang lebar itu menyambar ke arah kepala Ceng Liong. Serangan yang kelihatannya sederhana saja akan tetapi di dalam ujung lengan baju itu terkandung tenaga kuat yang mampu membuat ujung lengan baju itu memecahkan batu karang! Ceng Liong biarpun masih kecil namun dia sudah tahu akan ilmu-ilmu yang hebat dan dia mengenal serangan berbahaya, maka diapun menggerakkan tangan kirinya menangkis ujung lengan baju.

“Plakk!” Dan akibatnya, tubuh Ceng Liong terbanting keras. Anak ini cepat menggulingkan tubuhnya, membiarkan dirinya bergulingan dan akhirnya dia dapat meloncat bangun tanpa luka. Dengan pedang di tangan, anak ini hendak menyerang lagi, akan tetapi dia didahului oleh Ciang Bun yang sudah meloncat ke depan.

“Kakek siluman, berani engkau memukul adikku?” Ciang Bun juga menggerakkan pedangnya. Serangannya tentu saja berbeda dengan serangan Ceng Liong tadi, jauh lebih kuat dan lebih berbahaya. Ngo-bwe Sai-kong tahu akan hal ini, maka diapun tidak berani ceroboh menerima sambaran pedang itu dengan tubuhnya. Tangan kanannya bergerak dan terdengar bunyi ledakan ketika ujung cambuk besinya melecut dan menangkis pedang itu.

“Cringgg!” Ciang Bun terkejut sekali dan cepat menggunakan sin-kang untnk melawan getaran hebat yang dirasakannya ketika pedangnya bertemu dengan ujung cambuk. Di lain pihak, Ngo-bwe Sai-kong juga terkejut dan terheran-heran. Dia telah mengerahkan tenaga sin-kangnya, dan sudah merasa yakin bahwa tentu pedang pemuda remaja itu akan terlempar jauh, bahkan lengan pemuda itu tentu akan menjadi lumpuh. Akan tetapi, pedang itu tidak terlepas dan lengan itupun sama sekali tidak lumpuh karena pada detik berikutnya, pedang itu kembali telah menyerangnya dengan amat ganas!

“Hemm, bocah bandel!” katanya dan kembali terdengar ledakan-ledakan ketika pecut besi itu menyambar-nyambar, menahan pedang ke manapun pedang itu bergerak. Dan setiap kali pedang bertemu dengan ujung cambuk besi, Ciang Bun merasa betapa lengannya tergetar hebat.

“Bun-te, mundurlah!” Tiba-tiba Suma Hui yang maklum bahwa adiknya kewalahan dan kalau dilanjutkan adiknya itu akan terancam bahaya, berteriak dan iapun sudah meloncat ke depan menyerang kakek itu dengan pedangnya. Serangannya amat hebat karena dara ini yang maklum akan kelihaian lawan telah mengerahkan tenaga dan telah mainkan jurus dari Siang-mo Kiam-sut setelah dengan cekatan ia menerima pedang dari Ceng Liong yang meugembalikan pedang itu kepada Suma Hui. Dengan sepasang pedang di tangannya dan mainkan Siang-mo Kiam-sut, dara ini benar-benar merupakan lawan yang amat berbahaya

Ngo-bwe Sai-kong maklum akan hal ini maka diapun beberapa kali mengeluarkan seruan kaget ketika nyaris ujung pedang dara itu mengenai tubuhnya. Dia tahu bahwa dara ini amat lihai, dan karena dia dapat menduga bahwa tentu dara ini ada hubungannya dengan majikan pulau, yaitu Pendekar Super Sakti, maka diapun tidak berani memandang rendah. Cambuk besinya lalu digerakkan dan terjadilah perkelahian yang seru antara mereka, ditonton oleh semua orang yang menjadi semakin kagum saja melihat betapa seorang dara muda seperti itu dapat menandingi seorang datuk seperti Ngo-bwe Sai-kong yang amat lihai dan ditakuti orang.

Biarpun masih muda, baru delapan belas tahun usianya, namun dara itu sebenarnya telah memiliki dasar ilmu silat yang jauh lebih tinggi daripada lawannya. Akan tetapi, ia kalah jauh dalam pengalaman, siasat dan juga latihan. Suma Hui merupakan batu mulia yang belum tergosok, pengalamannya masih jauh kurang, dan juga latihannya masih belum matang. Oleh karena itulah, setelah menandingi kakek yang seperti iblis itu selama tiga puluh jurus, ia mulai terdesak dan bingung oleh bunyi cambuk yang meledak-ledak dan lima ujung cambuk yang seperti telah berobah menjadi lima ekor ular yang mematuk-matuk itu. Akhirnya, satu di antara lima ujung cambuk itu telah menyerempet pundaknya. Suma Hui terhuyung. Pundaknya tidak terluka berat dan hanya terasa panas, akan tetapi kedudukannya menjadi terhuyung, kuda-kudanya terbongkar dan pertahanannya terbuka. Pada saat itu, cambuk sudah meledak-ledak lagi, siap menyambar turun dengan serangan maut selagi keadaan Suma Hui lemah seperti itu. Dan agaknya kakek itupun tidak merasa sayang lagi untuk membunuh dara yang dianggapnya berbahaya ini, maka cambuknyapun meledak dan meluncur ke bawah.

“Trangggg....!” Bunga api muncrat dan kakek itu terkejut, cepat melompat ke belakang dan mengangkat muka memandang wanita tua berpakaian serba hitam itu. Dia makin terkejut karena melihat betapa nenek tua renta ini memiliki sepasang mata yang mencorong seperti mata naga dalam dongeng! Tak dapat disangsikan lagi bahwa nenek ini tentulah seorang yang memiliki ilmu sangat tinggi. Ngo-bwe Sai-kong tahu diri, maka diapun cepat menjura dengan sikap hormat.

“Siancai....! Siapakah toanio yang terhormat dan masih ada hubungan apa dengan tocu Pulau Es?”

Nenek itu bukan lain adalah nenek Lulu yang tadi meninggalkan suami dan madunya untuk keluar dari istana mencari tiga orang cucunya. Ketika tadi ia keluar dan mencari-cari, ia mendengar sesuatu yang tidak wajar dari arah tepi teluk, maka iapun segera menuju ke tempat itu. Dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya melihat begitu banyaknya orang di situ, mengurung tiga orang cucunya dan melihat betapa Suma Hui terdesak hebat oleh cambuk besi seorang kakek saikong berpakaian pendeta. Ia menjadi marah sekali dan segera turun tangan menangkis ujung cambuk besi itu. Kini, dengan sinar matanya yang berapi-api, nenek tua renta ini menyapu keadaan di situ dengan sikap marah. Ada tujuh belas orang di situ, dan kesemuanya memiliki ilmu silat yang kuat, terutama sekali kakek yang berhadapan dengannya ini. Ia menyapu keadaan tiga oraug cucunya dengan pandang mata dan hati merasa lega. Cucu-cucunya selamat, tidak ada yang terluka nampaknya. Dan orang-orang ini pasti bukan orang baik-baik.

“Hemm, kalian ini orang-orang lancang agaknya sudah bosan hidup, berani mendarat di Pulau Es tanpa ijin. Bahkan kalian berani mati mengganggu cucu-cucuku ini, sungguh dosa kalian hanya dapat ditebus dengan nyawa!” Suaranya lembut akan tetapi di dalam kelembutannya mengandung ancaman yang menyeramkan. Banyak di antara tujuh belas orang itu seketika menjadi pucat wajahmya mendengar kata-kata itu.

Juga Ngo-bwe Sai-kong terkejut. Kiranya nenek ini adalah isteri Pendekar Super Sakti. Dia dan kawan-kawannya telah mempelajari dan mencari tahu akan keadaan keluarga Pulau Es dan dia mendengar bahwa Pendekar Super Sakti mempunyai dua orang isteri. Yang pertama sudah amat terkenal dan dia sendiri pernah melihatnya ketika Puteri Nirahai menjadi panglima. Dan kabarnya yang seorang lagi adalah seorang wanita yang juga amat lihai dan agaknya inilah orangnya!

“Bagus sekali, kedatangan kami justeru untuk mencabut nyawa keluarga Pulau Es, dan akan kami mulai dengan nyawamu!” kata Ngo-bwe Sai-kong tanpa banyak komentar lagi. Cambuknya sudah meledak-ledak dan menyambar ke arah ubun-ubun kepala nenek itu dan diapun sudah memberi tanda kepada teman-temannya yang segera menyerbu.

Suma Hui, Ciang Bun, dan Ceng Liong sudah melawan lagi dan mereka bertiga dikeroyok oleh tujuh orang pertama tadi yang ditambah lagi dengan lima orang. Sedangkan nenek Lulu dikeroyok oleh lima orang yang lain, yaitu Ngo-bwe Sai-kong dan empat orang temannya. Ternyata bahwa empat orang teman Ngo-bwe Sai-kong ini merupakan yang terpandai di antara rombongan itu, dengan kepandaian yang hanya setingkat di bawah Ngo-bwe Sai-kong! Dan mengamuklah nenek Lulu! Tubuhnya yang berpakaian hitam itu lenyap berobah menjadi bayangan hitam yang menyelinap di antara senjata-senjata lima orang pengeroyoknya dan kadang-kadang terdengar lengkingan-lengkingannya kalau ia balas menyerang. Sepak terjangnya menggiriskan dan dalam waktu belasan jurus saja ia sudah berhasil menampar kepala dua orang pengeroyok secara beruntun.

“Krakk! Krakk!” Dua orang itu roboh dengan kepala remuk dan tewas seketika! Tentu saja Ngo-bwe Sai-kong menjadi terkejut dan cepat memberi tanda kepada pembantu-pembantunya untuk maju mengeroyok. Lima orang yang tadi ikut mengeroyok tiga orang cucu majikan Pulau Es itu lalu menerjang dan membantu saikong itu. Nenek Lulu dikeroyok oleh delapan orang, dan tiga orang anak muda itu masih tetap dikepung oleh tujuh orang lawan yang dipimpin oleh tosu Im-yang-pai yang menjadi murid keponakan Ngo-bwe Sai-kong.

Dikeroyok oleh delapan orang itu, nenek Lulu tidak terdesak, bahkan ia mengamuk seperti seekor naga betina. Wajahnya berseri, gembira dan juga ganas, bibirnya tersenyum dan matanyaberkilat-kilat. Ia tetap bertangan kosong, akan tetapi kepandaian nenek ini sudah sedemikian hebatnya sehingga tangkisan lengannya pada senjata lawan menimbulkan bunyi seolah-olah senjata itu bertemu dengan logam yang keras!

Akan tetapi, bagaimanapun juga, nenek Lulu yang usianya telah sembilan puluh tahun lebih itu tidaklah sekuat dahulu lagi daya tahannya. Selain usia tua telah menggerogoti tubuh dan kekuatannya dari dalam, juga selama puluhan tahun ia tinggal di Pulau Es, tidak pernah lagi bertanding dengan siapapun juga sehingga bagaimanapun juga ia sudah kehilangan banyak kelincahannya, kurang latihan. Maka, setelah mengamuk hebat selama kurang lebih seratus jurus saja, napasnya sudah mulai terengah-engah dan kelelahan mulai membuatnya merasa lemas. Akan tetapi, akibat dari amukannya itu memang hebat. Ia telah merobohkan tujuh orang yang tewas seketika dan selain itu, juga ia mampu melindungi tiga orang cucunya karena selama mengamuk, nenek ini terus memperhatikan cucu-cucunya dan setiap kali menolong kalau ada cucunya yang terancam bahaya senjata para pengeroyok. Akan tetapi, akhirnya ia sendiri terdesak hebat, apalagi oleh desakan cambuk besi di tangan Ngo-bwe Sai-kong yangamat lihai dan ganas. Nenek ini tahu bahwa ia sudah mulai kehilangan kekuatannya dan hal ini amat membahayakan tiga orang cucunya.

“Hui...., Bun...., Liong.... larilah, beritahu kakek kalian....!” Akan tetapi pada saat itu, sebatang pedang telah menusuk paha kaki kirinya. Nenek ini terhuyung akan tetapi tangan kirinya dapat menangkap pedang itu, merenggutnya lepas dan sekali melontarkan pedang itu ke depan, terdengar jerit mengerikan karena si pemilik pedang roboh dengan dada tertembus pedangnya sendiri. Akan tetapi pada saat itu, sebuah di antara lima ujung cambuk besi Ngo-bwe Sai-kong menyambar sedemikian cepatnya sehingga tidak sempat dielakkan lagi oleh nenek Lulu.

“Tukk....!” Tubuh nenek itu nampak kejang seketika, akan tetapi tiba-tiba ia mengeluarkan lengking panjang dan tahu-tahu tubuhnya meluncur ke depan, kedua tangannya bergerak menusuk dengan jari tangan terbuka.

“Plak! Dukkk....!” Tubuh Ngo–bwe Sai-kong yang tinggi besar itu terjengkang dan dari mulutnya terdengar teriakan menyayat hati dibarengi semburan darah segar, lalu kaki tangan kakek itu berkelojotan, matanya melotot dan dari tenggorakannya terdengar suara mengorok.

Nenek Lulu sendiri terhuyung, akan tetapi terdengar suara ketawa dari mulutnya, sungguh amat menyeramkan hati. Dan pada saat itu, nampak berkelebat dua bayangan orang, yang satu langsung menyambar tubuh nenek Lulu dan memondongnya sebelum tubuh itu terguling, sedangkan bayangan yang satu lagi mengamuk, membuat para pengeroyok jatuh bangun. Dua bayangan ini adalah Pendekar Super Sakti Suma Han dan isterinya, Puteri Nirahai. Kakek Suma Han sudah melihat keadaan isterinya maka diapun langsung menyambar tubuh nenek Lulu, sedangkan nenek Nirahai mengamuk, menggunakan kaki tangannya, menampar dan menendang ke sana-sini. Para pengeroyak menjadi panik setelah melihat robohnya Ngo-bwe Sai-kong, apalagi dengan munculnya Pendekar Super Sakti yang nampak sibuk memeriksa keadaan nenek Lulu sedangkan nenek Nirahai mengamuk seperti naga sakti beterbangan. Maka, sisa para pengeroyok itu lalu berloncatan ke dalam tiga buah perahu mereka sambil membawa teman-teman yang tewas dan terluka.

“Jangan harap dapat lari dari sini!” bentak nenek Nirahai sambil mengejar, akan tetapi tiba-tiba ada bayangan berkelebat di depannya dan tahu-tahu lengannya telah dipegang oleh suaminya.

“Tidak perlu dikejar, biarkan mereka pergi....” kata Suma Han dengan suara halus. Sejenak ada kekerasan dan perlawanan dalam sinar mata nenek Nirahai, akan tetapi seperti biasanya, kekerasannya mencair setelah bertemu dengan pandang mata suaminya. Seperti baru sadar dari mimpi buruk, nenek Nirahai memejamkan mata dan menyandarkan mukanya di dada suaminya itu sebentar, kemudian ia teringat lagi dan cepat melepaskan dirinya dan lari menghampiri tubuh nenek Lulu. Tiga orang cucunya juga telah berlutut di dekat tubuh nenek Lulu, kelihatan bingung melihat nenek itu rebah dengan napas lemah sekali dan mata terpejam, akan tetapi mulut nenek itu tersenyum!

“Bagaimana keadaannya....?” Nenek Nirahai bertanya khawatir.

“Kita bawa ia pulang,” kata kakek Suma Han tanpa menjawab pertanyaan itu, memondong tubuh isterinya ke dua itu lalu membawanya kembali ke istana, diikuti oleh nenek Nirahai yang menundukkan mukanya menyembunyikan kedukaan karena ia sudah dapat merasakan dari sikap suaminya bahwa keadaan madunya itu tidak dapat tertolong lagi.

Mereka disambut oleh tiga orang pria dan dua orang wanita pelayan mereka. Para pelayan itulah yang tadi melaporkan kepada Suma Han dan Nirahai tentang adanya perkelahian di tepi pantai teluk itu. Mereka sendiri tidak berani sembarangan turun tangan melihat betapa para penyerbu itu adalah orang-orang pandai.

Tubuh nenek Lulu direbahkan di atas dipan di dalam kamarnya. Kakek Suma Han dan nenek Nirahai lalu mempergunakan sin-kang mereka untuk membantu nenek Lulu, menempelkan telapak tangan mereka pada dada dan punggung. Akhirnya nenek Lulu mengeluarkan suara keluhan lirih dan membuka kedua matanya. Mula-mula ia seperti orang keheranan melihat suaminya, madunya, dan tiga orang cucunya menunggunya di dalam kamarnya. Akan tetapi ia segera teringat dan mulutnya bergerak, akan tetapi tidak ada suara yang keluar, melainkan darah yang mengalir dari ujung bibirnya yang kiri karena ia miring sedikit ke kiri.

“Tenanglah, engkau terluka parah....” kata suaminya dengan suara halus.

“Me.... mereka....?” bibirnya bergerak tanpa mengeluarkan suara, akan tetapi pandang matanya berseri lega ketika ia melihat keadaan tiga orang cucunya sehat-sehat saja.

“Mereka sudah kuhajar dan tentu sudah kubunuh semua kalau saja suami kita yang selalu berhati lunak ini tidak menghalangiku!” kata nenek Nirahai. “Engkau terluka oleh saikong itu, dia lihai sekali akan tetapi engkau telah berhasil melempar nyawanya ke neraka!”

Nenek Lulu tersenyum dan melirik kepada suaminya. Sungguh mengherankan sekali. Dalam keadaan terluka parah itu, sampai ia tidak mampu mengeluarkan suara, nenek ini tersenyum-senyum gembira dan seperti hendak menggoda suaminya yang dicela oleh madunya! Mulutnya kembali bergerak-gerak hendak bicara akan tetapi ia terbatuk-batuk. Kakek Suma Han lalu menotok beberapa jalan darah di leher dan kedua pundaknya dan napas nenek Lulu kelihatan lega sekarang dan setelah beberapa kali berusaha, akhirnya ia mampu juga mengeluarkan suara.

“Aku gembira.... aku.... aku dapat mati seperti.... harimau betina.... yang gagah....! Aku.... senang sekali.... cucu-cucuku.... jadilah orang gagah....” Sampai di sini suaranya habis, kepalanya terkulai dan matanya kehilangan cahayanya.

Kakek Suma Han menggunakan tangannya untuk menutupkan mata dan mulut isterinya, dan nenek Nirahai menahan isak membetulkan letak kaki tangan madunya. Tiga orang cucu mereka itu terbelalak memandang, kemudian tiba-tiba pecahlah suara tangis Suma Hui.

“Nenek....! Nenek telah meninggal dunia....!”

Melihat encinya menangis, Ciang Bun juga menangis, akan tetapi tangisnya tidak bersuara, hanya mengucurkan air mata saja yang diusapnya dengan lengan bajunya. Akan tetapi, Ceng Liong menangis terisak-isak seperti encinya. Melihat mereka bertiga menangis, para pelayan wanita juga menangis dan akhirnya Nirahai tidak dapat menahan lagi air matanya yang mengalir turun. Telah puluhan tahun ia hidup bersama suaminya dan madunya itu dan ia sudah menganggap Lulu sebagai adiknya sendiri.

“Aku ingin seperti Lulu! Aku ingin mati seperti Lulu!” Berkali-kali nenek Nirahai berkata sambil mengepal tinju dan air mata yang menetes-netes menuruni kedua pipinya itu didiamkannya saja.

Kakek Suma Han yang duduk bersila di dekat jenazah isterinya, tersenyum sendiri menyaksikan bagaimana kedukaan terbentuk dalam dirinya. Mula-mula dia melihat kenyataan bahwa isterinya yang tercinta itu mati. Kenyataan yang tak dapat dirobah oleh siapapun juga, kenyataan yang wajar dan tidak mengandung suka maupun duka. Siapakah orangnya yang dapat menghindarkan diri dari kematian? Dan matinya Lulu wajar, juga tidak perlu dibuat penasaran. Usianya sudah sembilan puluh tahun dan tewas dalam tangan seorang lawan yang amat lihai, masih dikeroyok banyak orang lagi. Kematian yang wajar. Lalu pada saat dia mendengar semua orang menangis, dan melihat wajah nenek Lulu, pikirannya membayangkan segala hal yang dilalui dalam hidupnya bersama Lulu. Terbayang dan terkenanglah kembali masa-masa muda mereka, saat-saat manis mereka, suka duka mereka yang mereka hadapi dengan bahu-membahu, dan saling mencinta. Pikirannya membayangkan pula bahwa dia telah kehilangan orang yang amat dicintanya. Semua kenangan ini lalu mendatangkan rasa iba diri dan muncullah duka! Suma Han melihat ini semua dan diapun tersenyum di dalam hati. Duka timbul dari pikiran yang mengenangkan hal-hal lampau, timbul dari pikiran yang membayangkan hal-hal yang tidak menyenangkan di masa depan, sehingga timbullah rasa iba diri, rasa kesepian dan perasaan nelangsa yang menimbulkan duka.

Pendekar Super Sakti membiarkan tiga orang cucunya dan juga isterinya tenggelam sebentar dalam iba diri dan duka, kemudian dia berkata, suaranya halus, ditujukan kepada mereka semua, isterinya, cucu-cucunya, dan para pelayan.

“Sudahlah, cukup sudah semua tangis yang tidak ada gunanya ini. Kematian adalah suatu kewajaran yang akan menimpa setiap orang manusia hidup di dunia ini. Kenapa harus ditangisi? Tangis tidak menguntungkan yang mati, juga merugikan dan melemahkan batin sendiri. Andaikata yang mati dapat mengetahui, maka tangis merupakan ikatan yang menahan dirinya dengan dunia dan kehidupan. Dan bagi yang hidup, tangis itu hanya merupakan kelemahan batin yang penuh dengan perasaan iba diri.”

Nenek Nirahai yang sudah mengerti benar akan hakekat mati hidup, mengerti akan apa yang dimaksudkan oleh suaminya, hanya menundukkan muka saja. Para pelayan baru setengah mengerti, akan tetapi mereka tentu saja tidak berani membantah maupun bertanya. Tidak demikian dengan Suma Hui. Ia seorang dara yang sejak kecil memiliki daya cipta, tidak hanya mengekor terhadap pendapat orang-orang tua atau siapapun juga. Segala perasaan dan keinginan tahunya tidak mudah dipuaskan oleh pendapat orang dan harus diselidikinya sendiri. Maka, mendengar ucapan kakeknya tadi iapun membantah.

“Akan tetapi saya sama sekali tidak iba diri, kong-kong! Saya tidak kasihan kepada diri sendiri, melainkan kasihan kepada nenek!”

Suma Han memandang kepada cucunya itu dan tersenyum. “Coba jelaskan, mengapa engkau kasihan kepada nenekmu Lulu, Hui?”

“Nenek tewas dalam perkelahian, terbunuh orang, tentu saja saya kasihan kepadanya!”

“Mengapa kasihan? Nenekmu adalah seorang pendekar sejak kecil, bahkan perkelahian merupakan kegemarannya. Kalau sekarang ia tewas dalam perkelahian, hal itu adalah wajar dan engkau mendengar sendiri ucapan terakhirnya tadi betapa ia merasa gembira sekali dapat tewas dalam perkelahian, pantaskah itu kalau kita malah kasihan kepadanya?”

“Tapi, matinya karena kekerasan, karena terpaksa, kong-kong! Kalau tidak ada penjahat menyerbu, sekarang nenek Lulu masih hidup bersama kita. Tidak kasihankah itu?” Suma Hui mencoba untuk membantah.

Kakek tua renta itu mengeleng kepala, masih tersenyum. “Semua bentuk kematian tentu ada sebabnya, tentu dipaksakan nampaknya, padahal sudah merupakan suatu kelanjutan yang wajar daripada kehidupan. Kalau orang mati karena penyakit, bukankah itu merupakan hal yang dipaksakan juga? Kalau penyakit itu tidak datang kepadanya, dia tidak akan mati, begitu tentu bantahannya. Cucuku yang baik, kematian merupakan kelanjutan daripada kehidupan, dan tentu saja untuk suatu peralihan keadaan pasti ada sebabnya. Sebab itu bermacam-macam, ada yang penyakit, ada kecelakaan, ada bencana alam, ada perkelahian, perang dan sebagainya. Mengertikah engkau?”

Suma Hui mengangguk dan menunduk, kini ia dapat melihat kebenaran yang dibeberkan oleh kakeknya itu. Segala peristiwa adalah wajar dan tak dapat dirobah lagi, baik buruknya tergantung dari pada penanggapan kita sendiri.

“Akan tetapi, kong-kong, bukankah semua orang menangis kalau kematian orang yang dicintanya? Kenapa tidak boleh menangis? Apa orang tidak boleh bersedih kalau kematian keluarga yang dicinta?” Tiba-tiba Ceng Liong bertanya dengan nada suara membantah.

Kakek itu memandang kepadanya dan mengangguk-angguk. Anak ini cerdas sekali, pikirnya.

“Aku tidak mengatakan boleh atau tidak boleh berduka, Liong. Aku hanya ingin kalian membuka mata melihat kenyataan dan tidak tenggelam dalam buaian perasaan dan iba diri. Kalau semua orang menangisi kematian, apakah itu berarti bahwa kitapun HARUS menangis? Lebih baik kalau kita membuka mata melihat mengapa kita menangisi kematian. Mengapa? Cobalah kalian bertiga menjawab. Kenapa kita menangisi kematian?”

“Karena tidak tega....” jawab Suma Hui.

“Karena kita kasihan kepada yang mati,” sambung Ceng Liong.

“Karena kita ditinggalkan,” tiba-tiba Ciang Bun yang sejak tadi hanya mendengarkan saja kini ikut menjawab.

“Ya, karena kita ditinggalkan, itulah jawabannya yang tepat. Bukan karena kita tidak tega atau kasihan. Bagaimana kita bisa merasa kasihan kepada orang yang mati kalau kita tidak tahu apa dan bagaimana kematian itu? Yang jelas, kematian membebaskan orang daripada segala kesengsaraan hidup, ketuaan, kelemahan dan penyakit, juga kedukaan, ketakutan dan sebagainya. Tidak masuk akal kalau kita kasihan kepada orang yang mati, akan tetapi yang jelas, kita merasa kasihan kepada diri sendiri, kita ditinggalkan, kita kehilangan, kita kesepian, itulah yang menyebabkan orang menangisi kematian.”

Nenek Nirahai mendengarkan saja dan wajahnya kelihatan diliputi awan. Melihat ini, kakek Suma Han bertanya, “Apakah kebenaran tentang kematian itu masih belum meresap di hatimu?”

Nenek itu memandang kepada suaminya. “Aku tidak memikirkan kematian, aku tidak menyedihkan kematian, melainkan prihatin melihat bahwa akupun akan mati dan betapa menyebalkan kalau mati karena digerogoti penyakit, perlahan-lahan sampai rusak jasmani ini. Adik Lulu sungguh beruntung....”

“Hemm, engkau agaknya merasa iri kepada Lulu? Mengapa meributkan soal itu?”

“Kematian memang bukan apa-apa, akan tetapi bagaimana kita mati itulah yang penting. Sungguh menyedihkan kalau orang yang menjunjung tinggi kegagahan harus mati sebagai seorang yang lemah dan yang terpaksa harus tunduk terhadap penyakit, terhadap kuman-kuman kecil yang tidak nampak oleh mata. Betapa memalukan....!”

“Hemm, serahkan saja kepada keadaan, yang penting kita harus selalu siap menghadapi saat tibanya maut, dengan mata terbuka, dengan tabah, tanpa sedikitpun rasa takut.” Suma Han lalu memerintahkan para pelayan pria untuk menggotong keluar sebuah peti jenazah, peti yang memang sudah beberapa tahun yang lalu dipersiapkan untuk nenek Lulu. Juga kakek itu dan nenek Nirahai telah lama menyediakan peti mati untuk diri mereka sendiri. Tempat itu terpencil dan untuk membeli peti mati harus didatangkan dari daratan besar, maka mereka memang telah siap dengan peti mati masing-masing beberapa tahun yang lalu.

Karena mereka tidak dapat bebas begitu saja dari pada ikatan tradisi, peti jenazah yang terisi jenazah nenek Lulu itu lalu dihias dan dipasang meja sembahyang sebagaimana lajimnya, kemudian mereka semua melakukan sembahyang dengan hio di tepi jenazah. Tidak ada air mata yang tumpah lagi sekarang setelah mereka tadi mendengar percakapan mengenai kematian antara Pendekar Super Sakti dan para cucunya. Mereka semua melihat kesia-siaan dan kepalsuan tangis perkabungan itu. Bagaimanapun juga, karena menghormat si mati dan keluarganya, para pelayan itu bersikap sungguh-sungguh dan prihatin.

Menurut keputusan kakek Suma Han, jenazah akan ditangguhkan semalam dan pada keesokan harinya baru jenazah akan diperabukan. Pendekar Super Sakti, walaupun pengagum ajaran Nabi Khong Cu, namun hatinya lebih condong kepada pembakaran jenazah daripada pemakaman, dan mungkin saja hal ini karena pengaruh Agama Buddha, atau juga karena kewaspadaannya melihat bahwa pembakaran jenazah itu jauh lebih sempurna, baik bagi yang mati maupun yang hidup daripada pemakaman jenazah yang menghabiskan teunpat, pembuangan dan penghamburan uang, berikut upacara tradisi yang berlarut-larut dari para keluarga untuk mengurus makam dan sebagainya.

Malam itu, beberapa batang lilin bernyala di atas meja sembahyang di depan peti jenazah nenek Lulu. Nenek Nirahai duduk bersila di dekat suaminya, seperti menjaga peti jenazah, dalam keadaan setengah samadhi. Akan tetapi, melihat api lilin-lilin itu bergoyang-goyang tertiup angin malam yang lewat di ruangan depan istana di mana peti jenazah ditaruh, nenek Nirahai teringat kepada madunya. Begitulah Lulu di waktu dahulu. Hidupnya seperti api lilin itu, bergoyang-goyang, lincah, berani, bergelombang naik turun, diangkat tinggi-tinggi oleh suka dan dihempaskan dalam-dalam oleh duka. Itulah Lulu. Prikehidupan nenek Lulu di waktu mudanya memang amat menarik dan hal itu dapat diikuti dalam kisahPendekar Super Sakti dan kisah-kisah lanjutan berikutnya.

Tiga orang cucunya dan lima orang pelayan tidak berada di ruangan itu karena mereka itu menyingkir dan membiarkan suami isteri itu merenung di dekat peti jenazah. Delapan orang itu diam-diam bersepakat untuk melakukan penjagaan, dan hal ini diprakarsai oleh Suma Hui.

“Para penyerbu itu adalah orang-orang jahat. Biarpun nenek Nirahai telah berhasil menghajar dan mengusir mereka, akan tetapi mereka itu masih hidup dan siapa tahu mereka itu masih merasa penasaran. Kalau mereka menghimpun teman-teman jahat mereka dan menyerbu lagi, kita harus sudah bersiap-siap menghadapi mereka,” demikian dara perkasa yang gagah berani itu berkata kepada adik-adiknya dan kepada lima orang pelayan itu. Mereka semua bersepakat untuk menghajar para penjahat itu dan membalaskan kematian nenek Lulu kalau mereka itu berani muncul lagi malam hari itu.

Dengan cara berpencar, mereka berjaga di sekeliling istana, dan Suma Hui sebagai pemimpin mereka melakukan perondaan. Malam semakin larut namun tidak terjadi sesuatu dan keadaan di Pulau Es semakin sunyi. Hawa udaranya semakin dingin malam itu. Hanya orang sinting sajalah yang akan lancang memasuki Pulau Es itu di waktu malam yang sedingin itu, apalagi kalau dia sudah tahu bahwa di pulau itu tinggal keluarga Pendekar Super Sakti yang gagah perkasa.Akan tetapi, bukan orang sinting, juga bukan iblis yang pada malam hari itu tiba-tiba muncul dari tepi pantai sebelah selatan dari Pulau Es. Dia seorang laki-laki muda yang mendarat dengan menggunakan sebuah perahu nelayan kecil yang meluncur di malam gelap dan akhirnya dapat memdarat di bagian yang datar dari pulau itu di sebelah selatan. Hanya dengan penerangan bintang-bintang di langit yang menimbulkan cuaca suram-muram kehijauan, pria itu berhasil mendarat, menyeret perahunya naik dan kemudian meninggalkan perahunya, berjalan dengan langkah terhuyung-huyung menuju ke tengah pulau. Beberapa kali dia hampir jatuh karena kakinya tersandung, akan tetapi dengan sigapnya dia dapat memperbaiki kedudukannya dan melanjutkan langkahnya. Sebagai pedoman, dia melihat lampu dari jauh, lampu yang tergantung di samping istana. Kadang-kadang sinar lampu itu lenyap lalu nampak kembali, seperti halnya cahaya yang masih jauh letaknya di malam yang cuacanya remang-remang.

Akhirnya, setelah melalui perjalanan yang agaknya tidak mudah, orang yang seperti dalam sakit keadaannya itu sampai juga ke dekat istana. Nampak bangunan istana itu menjulang tinggi dan megah di dalam cahaya bintang-bintang yang mulai cemerlang karena ditinggalkan awan tipis yang tadinya menghalang di antara langit dan bumi, dan orang itu tertegun.

“Sebuah.... istana....? Di pulau kosong ini....? Ya Tuhan, mimpikah aku.... atau sudah gilakah aku....?”

Diapun melangkah maju lagi, ke arah lampu yang tergantung di dinding, di luar istana itu. Bagaikan orang yang tidak percaya kepada diri sendiri, dia lalu meraba dinding itu, mendorong-dorongnya. Kini sinar lampu gantung menimpa mukanya dan ternyata dia adalah seorang laki-laki yaug berwajah tampan dan gagah sekali walaupun pakaiannya kusut dan pecah-pecah di sana-sini, tubuhnya nampak terluka di pundak, pangkal lengan dan paha. Di tiga tempat ini, pakaiannya tidak hanya robek, melainkan juga berlepotan darah. Laki-laki itu berpakaian seperti seorang nelayan biasa, dan usianya paling banyak dua puluh delapan atau dua puluh sembilan tahun.

Tiba-tiba tiga orang nelayan pria dari Istana Pulau Es, datang menyerbu dan menyerangnya, tanpa bertanya-tanya lagi. Tiga orang pelayan itu mempergunakan dayung besi, senjata yang paling tepat untuk mereka karena mereka itu tadinya adalah nelayan-nelayan sebelum menjadi pelayan di Pulau Es. Akan tetapi biarpun mereka juga ketularan ilmu silat dari para majikan mereka dan tubuh mereka kuat karena mereka tinggal di tempat sedingin Pulau Es, namun karena mereka tidak pernah berkelahi, serangan mereka dengan dayung itu hanya cepat dan kuat namun kaku sekali.

“Heii.... aku bukan penjahat....!” Pria itu berteriak ketika melihat menyambarnya dayung-dayung besi itu ke arah kepala dan tubuhnya. Biarpun dia sudah luka-luka dan diserang secara tiba-tiba oleh tiga orang pelayan istana itu, namun dengan mudah dan cekatan sekali dia berhasil mengelak lalu menangkap sebatang dayung, sekali renggut dayung itu pindah ke tangannya dan dua kali dia menangkis, dua dayung yang lain terlepas dari pegangan dua orang pelayan itu. Tentu saja tiga orang pelayan itu terkejut sekali. Tak mereka sangka bahwa orang ini begitu lihainya sehingga dalam segebrakan saja mampu merampas senjata mereka. Akan tetapi, orang itu tidak membalas serangan, melainkan meloncat ke belakang sambil berkata lagi, “Aku bukan penjahat....!”

Sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu Suma Hui telah berdiri di depan pria itu dengan sepasang pedang di tangan. “Orang baik-baik tidak akan berkeliaran di sini tanpa ijin! Bersiaplah untuk mampus, keparat keji!” Suma Hui sudah menggerakkan sepasang pedangnya dan iapun sudah menyerang dengan dahsyatnya.

“Trang....! Cringgg....! Eh, nanti dulu.... eh, nanti dulu, aku bukan penjahat....!” Pria itu menangkis dan mengelak, repot juga menghadapi serangan bertubi-tubi yang amat ganas itu. Untung dia tadi telah merampas dayung besi, kalau tidak, tentu akan makin repotlah dia menghadapi serangan pedang di tangan Suma Hui yang sedang marah dan mendendam atas kematian neneknya itu. Biarpun orang itu berteriak-teriak, tetap saja Suma Hui menyerang terus, bahkan semakin hebat karena dara ini mulai merasa penasaran bahwa sepasang pedangnya belum juga berhasil, padahal orang itu telah luka-luka.

“Singgg.... wuuuut, singggg....!” Sepasang pedang yang dimainkan dengan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut itu menyambar-nyambar bagaikan sepasang naga yang ganas.

“Cringgg.... cringgg....!” Pria itu terkejut sekali karena dayung besinya itu dua kali terbabat pedang dan nyaris ada pedang yang menyerempet lehernya!

“Tidak....! Aku bukan penjahat, dengar dulu, nona....!”

“Tranggg....!” Kini Suma Hui yang terkejut karena setelah dayung itu dapat ia patahkan dan tinggal sepanjang pedang, pria itu malah dapat mempergunakan dengan amat hebatnya, seperti menggerakkan pedang dan dari cara pria ini menangkisnya terbukti bahwa pria itu memiliki ilmu pedang yang hebat pula! Bukan hanya itu, kini pria itu agaknya telah mengerahkan sin-kang sehingga bukan saja potongan dayung itu menjadi kuat, juga tenaga yang menangkis pedangnya itu membuat lengannya tergetar! Tentu ini seorang tokoh sesat yang lihai, yang diutus oleh gerombolan penyerbu pagi tadi untuk memata-matai istana, pikirnya. Oleh karena itu, tanpa memperdulikan protes pria itu, ia menyerang semakin ganas. Karena marah dan mendendam, Suma Hui menjadi berkurang kewaspadaannya, tidak menyadari bahwa sejak tadi pria itu sama sekali tidak membalas serangannya, melainkan hanya mengelak dan menangkis sambil mundur saja. Juga ia tidak menyadari kenyataan bahwa tidaklah mungkin pihak musuh mengirim seorang yang sudah luka-luka itu untuk menjadi mata-mata.

Suma Hui menyerang terus sampai belasan jurus dan karena pria itu memang sudah terluka dan lemah, juga karena dia sama sekali tidak mau membalas, akhirnya ujung pedang kiri dara itu menyerempet pundaknya yang kanan.

“Crottt....!” Pundak itu terluka dan darahnya mengucur keluar, dan pria itu terhuyung ke belakang, potongan dayungnya terlepas. Suma Hui yang sudah marah dan merasa yakin bahwa orang ini adalah satu di antara musuh-musuh pembunuh neneknya, menerjang lagi untuk mengirim tusukan maut.

“Tringg....!” Pedang itu terpental dan hampir terlepas dari pegangan Suma Hui ketika tiba-tiba ada pedang payung yang menangkisnya dari samping. Ternyata neneknya yang menangkis itu menggunakan pedang payung, yaitu payung yang ujungnya runcing dan dapat dipergunakan sehagai pedang, sebuah senjata istimewa yang amat ampuh dari puteri ini.

“Tidak pantas menyerang orang yang tidak mau melawan!” kata nenek itu yang sejak tadi sudah menyaksikan perkelahian itu. Ternyata diam-diam nenek ini sudah bersiap-siap pula, pedang payungnya sudah dipersiapkan dan ketika ia mendengar suara tidak wajar di luar istana, ia meninggalkan suaminya dan peti jenazah madunya. Ia melihat betapa seorang pria yang sudah luka-luka berkelahi dengan cucunya dan melihat bahwa pria itu sama sekali tidak mau membalas menyerang, juga bahwa pria itu sudah luka-luka dan memiliki dasar gerakan yang luar biasa lihainya! Mula-mula ia terkejut dan curiga, membiarkan saja cucunya menyerang terus. Akan tetapi setelah melihat pria itu terluka oleh pedang cucunya dan tetap pria itu tidak mau membalas, bahkan terancam bahaya maut, ia lalu turun tangan mencegah cucunya melakukan pembunuhan. Merobohkan lawan dalam usaha membela diri, atau merobohkan lawan untuk membasmi kejahatan dan membela kebenaran, memang menjadi tugas seorang pendekar. Akan tetapi, merobohkan lawan yang tidak melawan, apalagi belum diketahui dengan pasti apakah orang itu bersalah, merupakan pembunuhan yang kejam dan jahat! Itulah sebabnya maka ia turun tangan mencegah Suma Hui yang kini memandang kepada neneknya dengan heran dan penasaran.

“Akan tetapi.... dia tentu seorang di antara mereka yang telah membunuh nenek Lulu!” kata Suma Hui, dan duaorang adiknya yang sejak tadi sudah berada di sita pula, bersikap membenarkan enci mereka.

Akan tetapi tiba-tiba pria itu berseru dengan napas terengah-engah penuh ketegangan hati, “Nenek Lulu.... terbunuh....? Ah, dan ini.... ini benarkah ini Pulau Es dan istananya?”

Nenek Nirahai sekali bergerak telah berada di depan pria itu, memandang tajam dan membentak, “Siapakah engkau....? Di sini benar Pulau Es dan kami keluarga penghuninya.”

Akan tetapi, pria itu mendadak mengeluh dengan lemas dan tubuhnya terkulai, roboh pingsan. Melihat itu nenek Nirahai menjadi curiga. Ia lalu menyuruh dua orang pelayan untuk menggotong pria yang pingsan itu dan membawanya masuk ke ruangan depan di mana Pendekar Super Sakti masih duduk bersila di dekat peti jenazah.

“Siapa dia? Apa yang terjadi?” tanya Pendekar Super Sakti dengan suara lembut dan sikap tenang. Agaknya, tidak ada apapun di dunia ini yang akan dapat mengguncang ketenangan hati pendekar ini. Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini baginya tidak ada yang aneh, melainkan merupakan hal-hal yang wajar saja.

Dengan singkat nenek Nirahai menceritakan bahwa orang ini muncul seorang diri di malam hari sehingga menimbulkan kecurigaan hati Suma Hui yang menyerangnya, akan tetapi orang itu sama sekali tidak mau membalas.

“Kulihat gerakannya mengandung dasar kepandaian tinggi, dan dia datang dengan luka-luka di tubuhnya. Kemudian, mendengar disebutnya nama adik Lulu oleh Hui-cu, dia terkejut lalu pingsan.”

Pendekar Super Sakti lalu mernbantu isterinya mengobati luka-luka yang diderita oleh pria itu dan ternyata bahwa luka-luka itu tidaklah terlalu parah. Apalagi mereka memperoleh kenyataan yang mengejutkan bahwa pria itu memang memiliki tenaga sin-kang yang kuat, yang timbul tanpa disadarinya dalam pingsan ketika kakek pendekar ini bersama isterinya mengobatinya. Mereka semua memandang dengan penuh perhatian, terutama sekali Suma Hui yang ingin sekali tahu siapa adanya orang yang terus mengalah terhadapnya ini, yang diam-diam harus diakuinya kelihaiannya. Dan melihat wajah di bawah sinar terang, dara ini merasa betapa jantungnya berdebar aneh. Wajah seorang laki-laki muda yang gagah sekali! Wajah yang bundar bersih, di bawah telinga kiri terdapat sebuah tahi lalat kecil dan bentuk hidung serta mulutnya juga membayangkan kelembutan di balik kegagahannya.

Setelah memperoleh perawatan suami isteri yang sakti itu, pemuda itu siuman kembali dan membuka matanya. Melihat betapa dia rebah di lantai, di dekat seorang kakek tua renta yang pandang matanya lembut sekali, dan nenek yang dia ingat telah dijumpainya, dia terkejut dan teringat lagi. Cepat dia menoleh ke kanan kiri, melihat Suma Hui, Ciang Bun dan Ceng Liong, juga peti jenazah. Dia terbelalak memandang peti jenazah, kemudian menoleh ke arah kakek tua renta itu, pandang matanya menurun ke arah kaki kiri yang buntung, dan pemuda itu lalu bangkit duduk dan seketika berlutut di depan Pendekar Super Sakti.

“Harap ampunkan saya, akan tetapi bukankah ji-wi locianpwe ini adalah Pendekar Super Sakti Suma Han, tocu dari Pulau Es bersama locianpwe Puteri Nirahai, dan yang berada di dalam peti jenazah itu adalah locianpwe Puteri Lulu?” Suaranya agak gemetar penuh perasaan.

Suma Han mengelus jenggotnya yang putih seperti benang-benang perak. “Benar. Orang muda, engkau siapakah?”

“Kong-couw (kakek buyut).... ahh, saya datang terlambat....!” Dan pemuda itu lalu maju berlutut di depan meja sembahyang sambil menangis. “Ampunkan saya.... ah, saya telah terlambat sehingga tidak dapat menyelamatkan nyawa nenek buyut....!”

Suma Han berkata halus namun penuh wibawa, “Simpan air matamu kalau benar engkau adalah cucu buyut kami! Siapakah engkau, wahai orang muda yang gagah perkasa?”

“Nama saya Kao Cin Liong. Tentu kong-couw tahu kalau saya beritahukan bahwa ayah saya adalah Kao Kok Cu dan ibu saya adalah Wan Ceng....”

“Aihh....!” Nenek Nirahai berseru kaget dan juga girang, lalu merangkul pemuda itu. “Kiranya engkau adalah putera Ceng Ceng! Hui, Ciang Bun, Ceng Liong, dia ini adalah masih keponakan kalian sendiri!”

Tentu saja tiga orang muda itu memandang heran dan terutama sekali Suma Hui menjadi terkejut, memandang kepada pria yang gagah itu dengan mata terbuka lebar-lebar. “Dia.... dia keponakanku....?” katanya tergagap, tidak percaya.

“Dengarlah, akan kujelaskan kepada kalian.” Nenek itu lalu menceritakan dengan singkat hubungan antara pemuda yang baru tiba itu dengan keluarga Pulau Es. “Mendiang nenekmu Lulu, sebelum menjadi isteri kakekmu, adalah seorang janda yang mempunyai seorang putera bernama Wan Keng In. Orang she Wan ini kemudian mempunyai seorang puteri yang diberi nama Wan Ceng. Jadi, Wan Ceng itu dengan kalian merupakan saudara-saudara misan tiri, dan karena Kao Cin Liong ini putera Wan Ceng, maka berarti dia adalah masih keponakan luar kalian sendiri.” Kemudian nenek itu memandang kepada Kao Cin Liong dan berkata, “Cin Liong, perkenalkanlah, mereka ini adalah bibimu dan paman-pamanmu. Suma Hui dan Suma Ciang Bun ini adalah putera-puteri dari paman kakekmu Suma Kian Lee, sedangkan Suma Ceng Liong ini adalah putera paman kakekmu Suma Kian Bu.”

Sejak tadi Cin Liong menatap wajah Suma Hui yang masih terbelalak memandangnya, dan diapun cepat menjura dengan hormat, “Bibi, dan kedua paman kecil, harap maafkan kelancangan saya tadi.”

Suma Hui dan kedua orang adiknya membalas penghormatan itu, dan Suma Hui menjawab gagap, tidak seperti biasanya yang selalu lincah, “Ah, tidak.... sayalah yang minta maaf....”

“Kao Cin Liong, ceritakanlah keadaanmu, keadaan orang tuamu, dan bagaimana engkau bisa sampai di Pulau Es dau mengapa engkau luka-luka dan apa pula artinya engkau mengatakan terlambat tadi.” Kakek Suma Han bertanya dengan suaranya yang halus dan tenang. Semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian dan semua mata ditujukan kepada pemuda yang ganteng dan gagah perkasa ini. Kao Cin Liong menarik napas panjang dan memejamkan matanya sebentar. Demikian banyaknya peristiwa yang dialaminya sehingga dia harus bercerita panjang. Diapun mulai bercerita.



***



Siapakah pemuda yang bernama Kao Cin Liong ini? Para pembaca ceritaSuling Emas dan Naga Siluman tentu telah mengenalnya dengan baik. Seperti telah diceritakan oleh nenek Nirahai tadi, pemuda ini adalah putera tunggal dari Kao Kok Cu dan Wan Ceng. Dan Kao Kok Cu adalah seorang pendekar sakti yang hebat, seorang pendekar yang ditakuti semua orang kang-ouw dengan julukannya Naga Sakti Gurun Pasir! Kao Kok Cu adalah putera mendiang Jenderal Kao yang namanya dikenal oleh seluruh pasukan dan rakyat sebagai seorang jenderal besar yang gagah perkasa dan bijaksana.

Kao Cin Liong sendiri, sejak muda sekali, sejak berusia tujuh belas tahun, telah membuat nama besar dan menjadi jenderal muda di kota raja! Jenderal Muda Kao Cin Liong ini semakin terkenal ketika beberapa kali dia berhasil menundukkan dan membasmi para pemberontak di barat. Agaknya pemuda ini meniru jejak kakeknya, yaitu Jenderal Kao Liang, dan ingin menjadi seorang jenderal yang baik. Selain berkedudukan tinggi dan memperoleh kepercayaan Kaisar Kian Liong, juga jenderal muda ini memiliki ilmu silat yang hebat. Dia digembleng oleh ayahnya sendiri, maka tentu saja kepandaiannya hebat.

Akan tetapi, ada suatu hal yang patut disayangkan. Sepuluh tahun yang lalu, jenderal muda ini jatuh cinta kepada seorang dara perkasa yang bernama Bu Ci Sian (bacaKisah Suling Emas dan Naga Siluman ), namun cintanya bertepuk tangan sebelah. Sebagai seorang pendekar yang gagah, dia menyadari keadaan ini. Dia mengalah dan mundur, akan tetapi dengan hati nelangsa dan sejak itu, dia menjauhi wanita. Ayah bundanya sudah berkali-kali mendesaknya agar dia suka memilih seorang calon isteri, atau mau dicarikan jodoh oleh orang tuanya, namun Cin Liong selalu menolak. Sampai sekarang, dalam usia dua puluh sembilan tahun dan telah memiliki kedudukan tinggi, Kao Cin Liong masih belum juga menikah, bahkan tidak mempunyai seorang selirpun. Padahal, pada umumnya, orang yang memiliki kedudukan setinggi dia itu, andaikata belum menikah juga, tentu setidaknya sudah mempunyai lima enam orang selir muda yang cantik-cantik! Akan tetapi, biarpun dia memiliki kedudukan tinggi sebagai seorang jenderal, namun jiwanya tetap adalah jiwa seorang pendekar yang tidak menyukai adanya kepincangan-kepincangan dan ketidakadilan.

Cin Liong tinggal seorang diri di sebuah gedung yang megah di kota raja, dengan beberapa orang pelayan yang bertugas merawat gedungnya. Dia sendiri jarang berada di kota raja, lebih sering dia melakukan pengamatan dan pemeriksaan terhadap kesatuan-kesatuan yang bertugas di luar kota raja, dan jenderal muda ini banyak membantu usaha Kaisar Kian Liong untuk memberantas korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang. Banyak sudah para pejabat, terutama di kalangan ketentaraan, yang dipecat dan dituntut oleh Jenderal Muda Kao Cin Liong sehingga namanya makin ditakuti dan disegani. Dia demikian sibuk dengan pekerjaannya sehingga jarang dia berkunjung ke tempat tinggal ayah bundanya yang mendiami Istana Gurun Pasir, jauh di utara, di dekat perbatasan utara.

Kesempatan berkunjung itu tiba ketika dia memperoleh tugas baru. Pada waktu itu Kaisar Kian Liong sudah menduduki tahta selama lima tahun dan sejak hari pertama menjadi kaisar, Kaisar Kian Liong bergerak melakukan pembersihan dan perbaikan-perbaikan. Akan tetapi, muncullah gangguan berupa pemberontakan di perbatasan barat dan ada berita pula bahwa di utara, di luar Tembok Besar, juga terjadi pergerakan-pergerakan. Karena itu, Jenderal Kao Cin Liong mendapatkan tugas untuk melakukan penyelidikan. Jenderal muda ini lalu berangkat sendiri, ingin melakukan penyelidikan sendiri sebelum mengambil keputusan mengirim bala tentara untuk melakukan pembersihan.

Berangkatlah dia ke utara, karena dia ingin menyelidiki ke utara lebih dulu sambil mengunjungi orang tuanya, baru kemudian berangkat ke barat. Dengan menunggang seekor kuda yang baik, Cin Liong melakukan perjalanan cepat ke utara. Dia memakai pakaian biasa, karena lebih leluasa baginya untuk melakukan penyelidikan kalau dia menjadi orang biasa. Tanpa halangan suatupun, pada suatu pagi dia tiba di benteng lama di perbatasan utara. Benteng ini telah tua dan rusak, tidak lagi dipakai karena kini pasukan pemerintah telah membangun sebuah benteng baru yang kokoh kuat, di tempat yang lebih baik dan tepat untuk menghadang masuknya pasukan musuh dari luar. Karena malam telah tiba dan perjalanan dari benteng kuno itu menuju ke Istana Gurun Pasir masih memakan waktu setengah hari, maka Cin Liong berhenti dan mengambil keputusan untuk bermalam di dalam benteng tua itu. Dia menambatkan kudanya di luar, mencarikan rumput untuk kudanya, kemudian dia memasuki bangunan kecil bekas tempat penjagaan di luar benteng itu dan membuat api unggun dari kayu bekas bangunan rusak. Dikeluarkannya ransum bawaannya, yaitu roti kering dan daging kering, dimakannya makanan sederhana ini dengan sebotol arak ringan.

Tiba-tiba Cin Liong menghentikan gerakan mulutnya yang mengunyah makanan. Telinganya mendengar derap kaki kuda yang lemah karena kelelahan. Ada tiga orang penunggang kuda menuju ke benteng tua itu. Tentu pedagang-pedagang yang kemalaman, pikirnya. Derap kaki kuda mereka menunjukkan bahwa mereka telah melakukan perjalanan jauh dan kuda mereka telah lelah. Ternyata tiga orang penunggang kuda itu berhenti di depan bangunan kecil itu pula dan terdengar suara mereka ketika mereka turun dari punggung kuda.

“Eh, ada kuda!”

“Hemm, kuda bagus!”

“Tentu orangnya di dalam. Nah, itu ada asap api unggun.”

“Wah, bau arak pula!”

Pintu bangunan kecil itu mereka dorong dan Cin Liong masih duduk menghadapi api unggun dan makan dengan tenang ketika mereka bertiga itu memasuki ruangan yang kotor itu. Tiga orang kasar yang bertubuh tinggi besar, pakaian merekapun penuh debu dan wajah mereka yang kehitaman karena banyak terbakar matahari itu nampak bahwa mereka sudah biasa dengan kekerasan dan kekasaran.

“Wah, orang muda yang tampan, sungguh berani berada seorang diri di tempat seperti ini!”

“Dan makan minum tanpa menawarkannya kepada kita yang lapar dan haus!”

Mendengar ucapan kedua orang itu, Cin Liong menjawab, “Kalau kalian lapar dan haus, mari ikutlah makan minum seadanya.”

Akan tetapi orang ke tiga, yang matanya buta sebelah, yaitu tinggal mata kanan saja yang tinggal, melangkah maju dan menghardik, “Orang muda, jangan berlagak! Hayo kautanggalkan semua pakaian itu dari tubuhmu, kemudian pergi dari sini, tinggalkan pakaian, buntalan dan kuda, dan jangan banyak cerewet lagi!”

Cin Liong mengerutkan alisnya. Dia tahu bahwa orang ini tidak bergurau, dan kini dua orang yang lain sudah pula menyeringai dan tangan mereka mengusap gagang golok. Sialan, pikirnya, bertemu dengan perampok-perampok rendah.

Dia melanjutkan minum araknya dari botol. Setelah menelan roti dan arak yang berada di dalam mulutnya, dia meletakkan botol arak di depannya, menambah kayu pada api unggun lalu berkata tenang, “Hemm, kiranya kalian hanya perampok-perampok kecil yang hendak merampok seorang kelana yang kemalaman di sini.”

“Bocah setan! Kau menghina! Kami bukan perampok-perampok kecil, kami bergerak di bidang yang lebih besar. Awas mulutmu!”

“Kalau bukan perampok, mengapa hendak merampok aku?”

“Ha-ha-ha, kami sedang bergembira. Kami tidak mau membunuhmu, hanya menukar nyawa dan badanmu dengan semua pakaian dan kuda yang kaumiliki. Hayo, cepat lakukan perintahku atau engkau akan menjadi pengiring arwah keluarga Pulau Es, ha-ha-ha!”

Tentu saja Cin Liong terkejut dan heran sekali mendengar disebutnya keluarga Pulau Es.

“Hemm, apa maksudmu membawa-bawa nama keluarga Pulau Es dalam urusan ini?” tanyanya, sikapnya tetap tenang.

“Ha-ha-ha, itulah mengapa kami bergembira dan hendak merayakannya malam ini! Kami akan membasmi keluarga Pulau Es, kemudian keluarga Gurun Pasir, dan semua tokoh pendekar akan kami basmi, dan kami akan merajai dunia kembali, akan bebas dari gangguan mereka. Ha-ha-ha!”

Cin Liong menjadi semakin heran, akan tetapi dia mengira bahwa tentu orang-orang ini sudah mabok, maka diapun lalu berkata sebal, “Sudahlah, kalian ini agaknya orang-orang gila. Pergilah dan jangan menggangguku lagi!”

“Hei, bocah lancang mulut! Berani kau memaki kami gila? Engkau sudah bosan hidup, ya?” Seorang di antara mereka sudah mencabut golok dan menerjang maju, mengayun goloknya ke arah leher Cin Liong yaug masih duduk menghadapi api. Diam-diam Cin Liong menjadi marah sekali. Sungguh orang-orang ini kejam luar biasa, begitu saja hendak membunuhnya tanpa sebab sama sekali. Orang macam ini merupakan penyakit dalam masyarakat dan tentu akan selalu mendatangkan bencana kalau tidak dibasmi atau setidakmya diberi hajaran keras.

Cin Liong menggerakkan tangannya. Sepotong kayu meluncur dan menghantam pergelangan tangan. “Takk! Aduh....!” Biarpun orang itu kuat, namun hantaman kayu itu bukan hantaman biasa, melainkan totokan yang tepat mengenai jalan darah sehingga tangannya seketika terasa lumpuh dan golok itupun terlepas. Dan sebelum orang itu dapat menyingkir, tangan kiri Cin Liong bergerak ke depan.

“Desss!” Orang itu kena dijotos perutnya dan tubuhnya terlempar ke belakang, menabrak dinding dan diapun terbanting roboh tak bergerak lagi. Semaput!

Orang ke dua yang melihat betapa kawannya roboh dalam segebrakan saja, menjadi terkejut dan marah sekali. “Keparat, berani engkau memukul kawanku?” bentaknya dan diapun sudah mencabut golok, mengeluarkan bentakan nyaring dan meloncat ke depan, goloknya terayun dan membabat dengan kecepatan kilat dan kekuatan besar ke arah tubuh Cin Liong. Akan tetapi, kembali tangan kiri Cin Liong bergerak dan segenggam pasir meluncur dan menyambar muka orang itu.

“Eh! Oh! Aughh....!” Orang itu gelagapan karena matanya penuh pasir, pedih dan gelap sehingga bacokannya ngawur dan dengan mudah Cin Liong mengelak tanpa pindah dari tempat duduknya. Ketika tubuh lawan itu terhuyung lewat, kaki Cin Liong terangkat “menyentuh” selakangnya, perlahan saja. Akan tetapi akibatnya hebat karena orang itu terpelanting, mengaduh-aduh dan berkelojotan, kedua tangannya mendekap selangkangan dan bergulingan seperti ayam disembelih, kemudian kejang dan semaput pula!

Melihat ini, agaknya si mata satu baru sadar bahwa pemuda yang masih tetap duduk di depan api unggun itu adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Dia dan dua orang kawannya bukan orang sembarangan dan sudah banyak malang melintang di dunia hitam, akan tetapi dua orang kawannya itu roboh segebrakan saja oleh pemuda yang sejak tadi tidak berpindah dari tempatnya. Tahulah dia bahwa dia takkan menang melawan pemuda itu, dan tiba-tiba si mata sebelah itu lalu membalikkan tubuhnya dan lari dari ruangan itu.

“Berhenti!” Cin Liong menghardik. Ketika orang itu tidak berhenti, dia lalu menyambar sebatang golok yang tadi terlepas dari tangan penjahat, melontarkannya ke depan. Golok itu meluncur seperti anak panah ke depan, menyambar ke arah si mata tunggal yang sudah tiba di pintu.

“Crottt! Aduuuhhh....!” Dan tergulinglah tubuh si mata tunggal, dengan paha kanan ditembus golok!

“Merangkaklah ke sini!” Cin Liong berkata sambil melanjutkan makan roti keringnya.

Si mata tunggal menoleh ragu, akan tetapi maklum bahwa kalau dia membangkang, tentu dia akan lebih celaka lagi. Maka diapun bangkit dengan susah payah, lalu merangkak dan memasuki ruangan itu kembali, mukanya penuh keringat dingin, mata tunggalnya melotot memandang ke arah pemuda yang sedang makan roti itu. Setelah minum seteguk arak untuk mendorong roti kering ke dalam perutnya, Cin Liong mengangkat muka memandang kepada si mata tunggal itu. Kembali si mata tunggal terkejut ngeri melihat betapa sinar mata pemuda itu mencorong seperti mata harimau!

“Ampun.... ampunkan saya....” Akhirnya si mata satu dapat juga mengeluarkan kata-kata setelah beberapa kali menelan ludah dengan hati penuh rasa takut.

Dengan sikap masih tenang seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu, Cin Liong berkata, “Ceritakan apa maksudmu akan membasmi keluarga Pulau Es kemudian keluarga Gurun Pasir tadi. Awas, sekali engkau berbohong, engkau akan kubakar hidup-hidup!” Ucapan itu tenang saja, tidak seperti ancaman, akan tetapi si mata satu menggigil dan mukanya semakin pucat. Sikap dingin dan tenang dari pemuda itu lebih mengerikan daripada sekedar ancaman kasar karena dia dapat merasakan bahwa ucapan itu sama sekali bukan ancaman kosong.“Kami.... ah, bukan kami yang akan melakukannya.... kami hanya orang-orang tingkat rendah saja, mana mungkin terbawa rombongan itu? Rombongan itu sudah berangkat siang tadi, akan menggunakan dua belas buah perahu layar besar menuju ke Pulau Es....”

Cin Liong tertarik. Dari sikap si mata satu yang ketakutan itu, dia dapat menduga bahwa orang ini tidak berbohong. “Mereka siapa? Berapa orang banyaknya dan siapa yang memimpin?”

“Banyak sekali, sedikitnya ada lima puluh orang, semua dari tingkat atas. Kami bertiga hanya tingkat rendahan saja, tidak terpilih. Dan rombongan itu dipimpin oleh lima orang datuk dunia kami, datuk-datuk yang menjadi pucuk pimpinan.” Tiba-tiba si mata satu itu nampak lebih berani, agaknya membicarakan tentang datuk-datuk yang menjadi pimpinan golongannya itu menimbulkan semangat baru, atau dia mengharapkan pemuda ini akan menjadi gentar mendengarnya.

“Mereka itu siapa?” Cin Liong mendesak.

“Lima orang datuk pimpinan kami yang kini memimpin rombongan ke Pulau Es adalah Hek-i Mo-ong (Raja Iblis Jubah Hitam), Ngo-bwe Sai-kong (Saikong Berekor Lima), Si Ulat Seribu, Eng-jiauw Siauw-ong (Raja Muda Kuku Garuda), dan yang ke lima adalah Jai-hwa Siauw-ok (Si Jahat Kecil Pemetik Bunga)!” Berkata demikian, si mata satu itu melupakan penderitaan pahanya yang tertembus golok dan mata tunggalnya memandang ke arah wajah pemuda itu, mengharapkan pemuda itu menjadi gentar dan bersikap lunak kepadanya. Akan tetapi dia kecelik dan menjadi semakin gelisah ketika pandang mata pemuda itu semakin tajam, seolah-olah hendak menembus jantungnya. Memang Cin Liong menjadi kaget dan marah sekali mendengar disebutnya nama-nama yang sebagian sudah dikenalnya itu. Terutama sekali nama Hek-i Mo-ong yang sudah dikenalnya sebagai seorang tokoh sesat yang luar biasa saktinya. Nama empat yang lain hanya pernah didengarnya saja sebagai kabar angin yang terlalu dilebih-lebihkan. Akan tetapi, kalau yang empat itu kini bergabung dengan Hek-i Mo-ong dan kedudukannya setingkat, berarti bahwa empat orang itupun tentu lihai sekali. Sekarang, mereka berlima itu menghimpun lima puluh orang tokoh sesat dan menuju ke Pulau Es!

“Katakan, mengapa mereka pergi ke Pulau Es?”

“Keluarga Pulau Es sejak dahulu terkenal sebagai keluarga yang banyak menyusahkan kami. Dendam kami bertumpuk-tumpuk. Apalagi kaisar yang sekarang ini amat ketat menekan kami sehingga gerakan kami tersudut. Maka, para pimpinan kami lalu berunding dan mengadakan kontak dengan tokoh-tokoh dari Korea dan Jepang untuk bersama-sama menyerbu dan membasmi keluarga Pulau Es, kemudian keluarga Istana Gurun Pasir dan semua pendekar yang menonjol di dunia kang-ouw. Setelah mereka itu terbasmi, barulah kami akan dapat bergerak dengan leluasa dan.... aduhh!” Sebuah kayu bakar menyambar dan mengenai kepala si mata satu yang segera terpelanting tak bergerak lagi, pingsan!

Cin Liong lalu melompat kehrar dari dala, bangunan kecil itu, melepaskan kendali kudanya dan menunggang kudanya meninggalkan tempat itu. “Maafkan, kuda yang baik, terpaksa kita harus melakukan perjalanan lagi secepatnya.” Diapun lalu menuju ke timur untuk menyusul rombongan kaum sesat yang hendak menyerbu Pulau Es itu.

Selama hidupnya, Cin Liong belum pernah mengunjungi Pulau Es. Akan tetapi dia sudah banyak mendengar tentang Pulau Es dari ayah bundanya dan dia dapat mengira-ngira di mana letak pulau itu. Diapun amat menghormati keluarga Pulau Es, karena ayah bundanya amat menghormatinya dan terutama sekali mendengar bahwa ibu kandungnya juga keturunan dari nenek Lulu yang kini menjadi isteri dari Pendekar Super Sakti. Biarpun belum pernah jumpa, dia banyak mendengar tentang keluarga itu dan sudah sejak lama ada keinginan di hatinya untuk dapat mengunjungi pulau yang amat terkenal dalam dunia kang-ouw sebagai dongeng itu, dan bertemu muka dengan manusia-manusia sakti yang menjadi penghuninya. Kini, mendengar bahwa rombongan besar yang dipimpin oleh para datuk sesat hendak menyerbu Pulau Es, tentu saja dia terkejut dan segera berniat untuk mencegahnya. Atau setidaknya, dia harus dapat mendahului rombongan kaum sesat itu dan memberitahu kepada para penghuni Pulau Es. Nenek Lulu, yaitu nenek dari ibunya, atau nenek buyutnya, tinggal di pulau itu, entah sudah mati ataukah masih hidup karena menurut ibunya, nenek itu tentu sudah tua sekali usianya.

Karena rombongan di depan terdiri dari banyak orang, mudah saja bagi Cin Liong untuk mengikuti jejak mereka dan melakukan pengejaran. Akhirnya, di pantai laut, dia dapat menyusul rombongan itu dan melihat kesibukan mereka mengatur belasan buah perahu layar besar. Dia menyamar sebagai seorang nelayan dan dapat mendekati mereka bersama para nelayan lainnya, bahkan ikut pula membantu dengan pemasangan layar dan sebagainya. Dia mendapat kenyataan bahwa semua penuturan si mata satu itu benar belaka. Dia mengenal Hek-i Mo-ong dan dia merasa yakin bahwa Raja Iblis itu tidak mengenalnya. Mereka hanya pernah bertemu satu kali saja dan pertemuan itu telah lewat sepuluh tahun. Juga, dia tidak pernah bertanding langsung melawan Raja Iblis ini. Dan empat orang tokoh datuk lainnya belum pernah melihatnya. Tentu saja di antara para tokoh sesat itu ada yang pernah bertemu dengannya, akan tetapi pertemuan itu terjadi ketika dia berpakaian sebagai seorang panglima. Kini, dengan menyamar sebagai seorang nelayan biasa, tentu saja tidak ada seorangpun di antara mereka yang tahu bahwa nelayan muda itu adalah Jeuderal Kao Cin Liong! Dan Cin Liong melihat pula adanya lima orang Korea dan lima orang Jepang yang sikapnya kasar-kasar, tanda bahwa mereka itupun dari golongan sesat di negara mereka yang kini bergabung dengan gerombolan Raja Iblis untuk menyerbu Pulau Es! Agaknya orang-orang Korea dan Jepang inilah yang akan menjadi petunjuk jalan.

Ketika akhirnya dua belas buah perahu layar besar itu berlayar, sebuah perahu nelayan kecil juga berlayar mengikutinya. Di dalam perahu nelayan ini terdapat Cin Liong yang memakai caping lebar menyamar sebagai nelayan. Karena di situ banyak terdapat perahu-perahu nelayan, maka kehadiran perahu Cin Liong ini tidak menarik perhatian, dan dia dapat membayangi rombongan itu dengan leluasa.

Pada hari ke tiga, barulah rombongan itu tiba di daerah di mana terdapat pulau-pulau kecil dan mereka itu berputar-putar seperti mencari-cari. Dan akhirnya, dari perahu kecilnya, Cin Liong melihat mereka menuding-nuding ke arah sebuah pulau yang kelihatan sebagian putih karena pulau itu sebagian tertutup es! Melihat semua orang berkumpul di atas perahu-perahu besar itu menuding-nuding ke arah pulau, Cin Liong merasa yakin bahwa tentu itulah yang dinamakan Pulau Es! Malam itu, dua belas buah perahu berhenti dan membuang jangkar, tidak berani melanjutkan perjalanan karena daerah itu berbahaya, banyak terdapat bukit-bukit es yang mengambang dan dapat tertabrak perahu. Apalagi malam itu gelap sekali. Cin Liong juga menghentikan perahunya dan melepas jangkar, berlindung di belakang sebuah bukit es. Akan tetapi, pada keesokan harinya, sebelum terjadi kesibukan di perahu-perahu besar itu, dia sudah mendahului mereka dan mendayung perahunya menuju ke pulau itu. Pagi itu masih gelap, kabut tebal menyelimuti pulau sehingga dengan mudah Cin Liong dapat mendarat. Dengan berindap-indap dia mendaki tebing pulau itu. Sebuah pulau batu karang yang sebagian tertutup salju. Akan tetapi, setelah tiba di tebing yang paling tinggi, yaitu di bagian barat pulau, dan memandang ke sekeliling, dia tidak melihat adanya bangunan! Padahal, menurut penuturan orang tuanya, katanya di tengah pulau itu terdapat sebuah bangunan besar yang kuno, yang disebut Istana Pulau Es! Benarkah ini pulau itu? Kalau benar, mana istananya?

Dia berada di puncak tebing itu, menanti sampai sinar matahari pagi perlahan-lahan mengusir kabut yang menghalangi pandangannya. Cuaca menjadi semakin terang dan dia dapat melihat jelas, akan tetapi bukan istana yang dilihatnya, melainkan serombongan orang yang mendaki tebing itu dari berbagai jurusan dengan gerakan cepat dan lincah! Dia terkejut sekali, akan tetapi tidak melihat jalan untuk menyembunyikan diri. Ketika dia berlari ke kiri, dari situpun sudah nampak beberapa orang berlarian naik, demikian pula dari kanan dan depan, sedangkan di sebelah belakangnya adalah tebing curam yang tidak mungkin dapat dituruninya. Tebing itu amat curam, dalamnya tidak karang dari seratus meter dan di bawah tebing itu nampak air laut menggelora dan menghantami dinding tebing sehingga menjadi lekuk dalam seperti guha besar.Cin Liong lalu bersikap pura-pura sebagai seorang nelayan yang tersesat ke pulau itu. Maka dia sengaja bersikap terang dan pura-pura tidak tahu bahwa ada orang-orang naik ke puncak tebing itu dari tiga jurusan. Setelah mereka dekat, barulah dia pura-pura kaget, memandang dan bangkit berdiri.

“Cu-wi siapakah dan hendak pergi ke manakah?” Cin Liong bertanya dengan muka bodoh.

“Siapa engkau?” bentak seorang di antara mereka yang usianya tidak kurang dari enam puluh tahun dan bersikap galak.

“Saya seorang nelayan yang kemalaman dan terpaksa bermalam di sini dan....”

“Tangkap pembohong ini! Dia tentu mata-mata Pulau Es!”

Empat orang menerjang maju hendak menangkap Cin Liong. Pemuda ini maklum bahwa sekali tertawan, tentu dia akan celaka. Orang-orang ini adalah gembong-gembong kaum sesat yang kejam. Andaikata dia benar seorang nelayan biasa yang tidak berdosa sekalipun tentu akan celaka kalau tertawan oleh mereka, apalagi dia yang hanya seorang nelayan palsu. Maka begitu empat orang itu menerjang maju, diapun bergerak cepat dan menggerakkan kaki tangannya. Dua orang terkena tamparannya dan terpelanting, akan tetapi yang dua orang lagi agaknya cukup lihai sehingga dapat mengelak dengan cepat! Dan mereka semua kini merasa yakin bahwa pemuda tampan itu bukan nelayan biasa, maka terjadilah pengeroyokan di atas puncak tebing karang itu! Cin Liong mengamuk untuk mempertahankan diri dan segera dia memperoleh kenyataan betapa para pengeroyok itu sungguh bukan orang sembarangan, melainkan rata-rata memiliki ilmu silat yang tangguh! Dan mereka itu menyerangnya secara bertubi-tubi, mempergunakan senjata-senjata yang ampuh. Sedikitnya ada dua puluh orang yang menyerangnya. Cin Liong adalah seorang panglima yang sudah seringkali melakukan pertempuran dan menghadapi pengeroyokan-pengeroyokan. Namun, harus diakuinya bahwa baru sekali ini dia menghadapi pengeroyokan orang-orang yang lihai ilmu silatnya. Bagaimanapun juga, tingkat kepandaian para pengeroyok itu masih jauh di bawah tingkatnya, maka biarpun dia hanya bertangan kosong menghadapi puluhan batang senjata tajam, dia masih mampu mempertahankau diri dan merobohkan beberapa orang lagi, dan hanya pakaiannya saja yang robek tergores senjata tajam sedangkan luka ringan dideritanya pada pahanya yang tergores pedang pada saat paha itu tidak dilindungi sin-kang. Pemuda ini adalah putera tunggal Naga Sakti Gurun Pasir, maka tentu saja sin-kangnya sudah kuat sekali dan dia dapat melindungi tubuhnya dengan hawa yang amat kuat terhadap serangan senjata tajam. Akan tetapi, pengerahan tenaga itu tentu saja tidak mungkin dilakukan terus-menerus dan pada saat kosong itulah pahanya tergores pedang tadi. Lukanya mengucurkan darah, akan tetapi tidak membuat gerakannya menjadi lemah, bahkan sebaliknya, dia mengamuk makin ganas bagaikan seekor naga mengamuk.

Akan tetapi, tiba-tiba muncul dua orang kakek yang begitu menyerangnya membuat pemuda ini terhuyung-huyung. Mereka itu adalah Hek-i Mo-ong sendiri dan seorang saikong yang mukanya brewokan dan yang memegang sebatang thi-pian (cambuk besi) berekor lima. Orang ini bukan lain adalah Ngo-bwe Sai-kong yang lihai, ketua dari Im-yang-pai.

“Tar-tar-tar-tarrr....!” Cambuk besi itu melecut-lecut dan meledak-ledak dengan dahsyatnya. Cin Liong sedang menghadapi serangan-serangan tangan kosong Hek-i Mo-ong yang luar biasa berbahayanya itu, kini diserang oleh cambuk besi, menjadi repot bukan main. Pundak dan pangkal lengannya, juga pahanya telah terkena lecutan yang seperti kepala ular mematuk-matuk ke arah jalan darah yang mematikan. Biarpun Cin Liong masih dapat melindungi tubuhnya, namun tetap saja kulit dan daging bagian yang terkena lecutan menjadi robek-robek. Darah mengucur keluar dan dia masih terus didesak oleh Hek-i Mo-ong yang mulai merasa penasaran sekali. Raja Iblis ini sekarang merasa pernah melihat Cin Liong, akan tetapi dia lupa lagi di mana. Dia hanya merasa yakin bahwa seorang pemuda yang memiliki kepandaian sehebat itu, tentu merupakan seorang pendekar di pihak musuh yang sudah sepatutnya kalau dibasmi. Maka diapun tidak malu-malu untuk mengeroyoknya bersama Ngo-bwe Sai-kong, walaupun dia merasa tidak akan kalah andaikata dia harus menghadapinya satu lawan satu. Kini, satu-satunya tujuan hatinya adalah membasmi semua keluarga pendekar, dimulai dengan keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir. Maka, dia menganggap perkelahian ini sebagai suatu perjuangan dan tidak lagi perduli tentang etika atau kesopanan dalam dunia persilatan.

Setelah terdesak hebat sekali, Cin Liong maklum bahwa dia harus mengadu nyawa. Tidak ada jalan untuk meloloskan diri di pulau kosong ini. Dia seperti seekor harimau yang masuk perangkap, dan tahu bahwa pihak musuh takkan mengampuninya dan pasti akan membunuhnya. Maka, jalan satu-satunya hanyalah membunuh atau dibunuh! Sejak tadi, dia hanya mempergunakan ilmu-ilmu silat biasa seperti yang pernah dipelajarinya dari ayah bundanya. Akan tetapi, melihat keadaannya yang amat berbahaya, diapun lalu teringat akan ilmu-ilmu simpanannya, ilmu-ilmu dari ayahnya yang hanya boleh dipergunakan kalau keadaan sudah terlalu memaksa. Apalagi kini dia melihat betapa dua orang kakek yang sudah terlampau berat baginya itu dibantu lagi oleh sedikitnya tujuh orang yang mulai menyerangnya dari pelbagai jurusan!

“Hyaaaaaatttt....!” Cin Liong mengeluarkan pekik melengking dan tubuhnya bergerak aneh, memanjang ke depan seperti seekor naga dan gerakan kedua lengannya seperti cakar naga, kakinya menyambar-nyambar seperti ekor naga dan empat orang pengeroyok terpelanting ke kanan kiri dan tewas seketika karena tulang-tulang tubuh mereka remuk-remuk!

“Ah, dia murid Istana Gurun Pasir!” Tiba-tiba Hek-i Mo-ong berseru kaget dan diapun mendesak ke depan. Ngo-bwe Sai-kong juga terkejut mendengar ini dan thi-pian di tangannya itu menyerang makin ganas. Sebuah di antara ujung cambuk besi itu mematuk ke arah ubun-ubun kepala Cin Liong. Bagian ini tidak dapat dilindungi terlalu kuat dan tidak mungkin dia berani menerima patukan ujung cambuk yang digerakkan dengan sin-kang kuat itu, maka Cin Liong terhuyung ke belakang ketika melompat. Kesempatan itu dipergunakan oleh Hek-i Mo-ong. Selagi tubuh pemnda itu masih berada di udara, dia mendesak maju dan mendorong dengan kedua telapak tangannya yang terbuka. Angin pukulan dahsyat menyambar keluar. Cin Liong tak dapat mengelak lagi, terpaksa mendorongkan kedua tangan untuk menyambut. Akan tetapi, karena tubuhnya belum menginjak tanah, ketika kedua tenaga bertemu, tubuhnya terdorong keras ke belakang dan tanpa dapat dicegah lagi tubuh Kao Cin Liong terjengkang dan meluncur turun ke bawah tebing yang amat curam itu! Hek-i Mo-ong tertawa bergelak dan lari ke tepi tebing, diikuti oleh Ngo-bwe Sai-kong dan para anak buah mereka. Suara ketawa kakek itu masih bergema keras bersama dengan melayangnya tubuh pemuda itu ke bawah. Mereka semua dapat melihat betapa tubuh itu menimpa air laut yang muncrat ke atas, kemudian tubuh itu tenggelam dan lenyap ditelan ombak yang membuih putih dan berkejaran menghantam karang! Tentu tubuh pemuda itu tenggelam, atau dicaplok ikan besar, atau dihempaskan oleh ombak ke batu karang dan hancur luluh! Dari atas itu saja, semua orang dapat melihat betapa tidak ada harapan sama sekali untuk hidup bagi orang yang sudah terjatuh ke tempat itu, apalagi dari ketinggian ini!Akan tetapi, Hek-i Mo-ong dan para kawannya itu lupa bahwa urusan mati hidup bukanlah urusan manusia, dalam arti kata bahwa bukan manusia yang menentukan mati hidupnya seseorang. Bahkan mati hidup dirinya sendiripun merupakan rahasia bagi manusia. Oleh karena itu, mana mungkin mereka itu dapat memastikan bahwa pemuda yang terjatuh ke dalam laut dari tebing curam itu sudah tentu akan mati? Orang baru dapat menentukan mati hidupnya seseorang kalau dia sudah melihat keadaan orang itu. Yang ada hanya kenyataan, hidup ataukah mati. Akan tetapi, selagi hidup, tidak mungkin dapat menentukan dan mengenal tentang kematian, kecuali hanya melalui kira-kira dan anggapan-anggapan dan pendapat-pendapat kosong belaka, atau ikut-ikutan menurut pendapat orang-orang terdahulu atau kepercayaan-kepercayaan yang dianut masing-masing. Selagi jasmani masih hidup, tidak mungkin dapat merasakan bagaimana kematian itu. Baru keadaan tidur saja tidak dapat diketahui oleh kesadaran, apalagi keadaan mati. Akan tetapi, kematian jasmani merupakan perobahan yang wajar. Ada kematian lain yang amat ditakuti manusia, yaitu kematian yang merupakan pelepasan dari semua ikatan! Inilah yang membuat orang menjadi takut untuk menghadapi kematian. Ikatan dengan benda yang disayangnya, dengan manusia lain yang dicintanya, dengan kedudukan, nama besar dan sebagainya yang kesemuanya itu dianggap amat menyenangkan. Jadi hakekatnya, orang takut mati karena enggan berpisah dari kesenangan!

Ketika dia terjengkang dan merasa betapa tubuhnya meluncur ke bawah, tahulah Cin Liong bahwa dia telah terjatuh ke bawah tebing. Dia sadar besar bahwa nyawanya terancam maut. Akan tetapi, gemblengan batin yang diterimanya sejak kecil membuat pemuda ini selalu waspada dan sedikitpun tidak menjadi panik. Biarpun tubuhnya melayang dari tempat begitu tinggi sedangkan di bawahnya menanti maut berupa air laut berombak yang susul-menyusul menghantam batu karang, namun dia tetap waspada dan dalam waktu beberapa detik itu saja otaknya telah membuat perhitungan yang masak. Dia tahu bahwa musuh-musuhnya yang lihai dan berjumlah banyak itu tentu mengamati kejatuhannya dari atas. Kalau mereka melihat bahwa dia dapat menyelamatkan diri, tentu mereka akan mengejarnya dengan perahu-perahu mereka dan kalau hal ini terjadi, dia akan celaka. Maka, kalau dia dapat menyelamatkan diri dari kejatuhan ini, dia harus dapat berpura-pura tewas ditelan air laut dan hal ini membutuhkan perhitungan dan tindakan seketika yang matang. Pertama-tama, dia harus dapat mengatur agar jatuhnya ke air tidak sampai terbanting keras, terutama kepalanya karena hal itu akan membuat dia pingsan dan sekali pingsan celakalah dia, tentu mati tenggelam atau kalau terapungpun tentu akan dibunuh oleh orang-orang itu, atau dihempaskan ombak menghantam batu karang! Maka, pertama-tama dia harus mengatur keseimbangan dirinya dan jatuh ke air dalam keadaan yang menguntungkan dirinya. Setelah itu, dia harus dapat menyelam dan mencari jalan agar tidak timbul kembali dan hal ini dapat dilakukan kalau dia dapat menyelam dan berenang memasuki guha di bawah tebing. Di situ dia akan selamat dan tidak akan nampak dari atas. Pikiran dan perhitungan masak ini dilakukan dalam waktu beberapa detik saja selagi tubuhnya meluncur ke bawah.

“Byurrrr....!” Air muncrat tinggi dan dia terbanting ke dalam air dengan kaki lebih dulu. Dengan demikian, kepalanya tidak terbentur air dan tubuhnya dapat meluncur dengan cepat melawan arus ombak sampai ke dasar laut di mana ombak tidak begitu besar dan kuat gerakannya. Karena dia sudah memperhitungkan dan mengatur kejatuhannya sehingga ketika kedua kaki menyentuh air tadi dia menghadap ke tebing, kini kakinya yang menyentuh dasar laut itu mengenjot kuat dan tubuhnya meluncur dan berenang cepat menuju ke tepi, kedua tangannya bergerak meraba-raba ke depan dan akhirnya, terdorong pula oleh ombak, dia dapat menyentuh dinding tebing di bawah laut. Dengan kekuatan khi-kangnya, dia menahan napas sejak tadi dan kini, berpegang kepada dinding tebing yang tidak rata, dia memanjat ke atas dan muncul di dalam guha bawah tebing, aman dan tidak kelihatan dari atas. Cepat dia mencari tempat bersembunyi yang aman dari hempasan ombak, dan tinggal di situ sampai siang. Baru setelah dia melihat perahu-perahu besar itu pergi meninggalkan pulau, menuju ke utara, dia memanjat tebing itu, keluar dan mencari perahu kecilnya.

Tubuhnya sakit-sakit dan lelah, juga lapar. Akan tetapi Cin Liong tidak mau beristirahat, tidak mau mencari makan. Dia harus cepat-cepat mencari Pulau Es dan dia yakin bahwa pulau itu tentu tidak jauh lagi dari daerah itu. Maka diapun lalu membuka layar dan perahu kecilnya meluncur dengan cepat menuju ke utara, menyusul rombongan dua belas perahu besar tadi. Akan tetapi, dia tidak dapat menyusul mereka, dan dia cepat-cepat bersembunyi di balik gumpalan es besar ketika melihat perahu-perahu itu berlayar menjauhi sebuah pulau yang nampak putih dari kejauhan. Cin Liong menjadi bingung, tidak tahu apa yang telah terjadi dan mengapa perahu-perahu itu meninggalkan pulau putih yang disangkanya tentu Pulau Es itu. Dia merasa lelah dan agak pening, mungkin terlalu banyak kehilangan darah, terlalu lelah dan juga lapar. Setelah bertemu dengan romhongan perahu itu, dia harus berhati-hati dan dia terus bersembunyi bersama perahunya di balik bongkahan es.

Setelah malam tiba, barulah dia berani mendayung perahunya keluar dari balik bongkahan es menuju ke pulau putih itu. Untung ada bintang-bintang di langit yang biarpun sinarnya muram, namun cukup untuk menerangi pulau putih itu, yang nampak seperti gunung abu-abu di malam gelap. Akhirnya tibalah dia di pulau itu lalu mendarat. Akhirnya, dia mendekati istana tengah pulau itu dan ketahuan oleh Suma Hui.

Keluarga Pulau Es mendengarkan penuturan Cin Liong dengan penuh perhatian. Pemuda itu lalu mengakhiri cerita dengan suara menyesal, “Demikianlah, Suma kong-couw, saya akhirnya dapat juga tiba di sini menghadap kong-couw. Akan tetapi sungguh menyesal sekali bahwa kedatangan saya terlambat sehingga agaknya nenek buyut Lulu menjadi korban.”

Kakek Suma Han mengangguk. “Memang ia tewas dalam pertempuran melawan sebagian dari pada para penyerbu. Akau tetapi, engkau baru saja datang dan engkau lapar. Makanlah dulu, Cin Liong.”

Nirahai lalu berkata kepada Suma Hui, “Hui, kausuruh pelayan untuk menyiapkan makanan untuk keponakanmu Cin Liong.”

Suma Hui bangkit berdiri, mengangguk kepada Cin Liong dan berkata ramah, akan tetapi sikapnya agak canggung, “Marilah....”

Cin Liong bangkit dan menjawab dengan hormat, “Baik, bibi Hui dan terima kasih.” Lalu dia mengikuti gadis itu menuju ke dalam.

“Temani dia makan minum di dalam,” kata nenek Nirahai kepada dua orang cucu lelakinya. Ciang Bun dan Ceng Liong mengangguk, bangkit dan masuk pula. Mereka tahu bahwa nenek mereka agaknya hendak bicara dengan kakek mereka dan nenek mereka tadi memberi isyarat agar mereka meninggalkan dua orang tua itu berdua saja.

Setelah semua orang muda itu pergi, nenek Nirahai lalu menoleh kepada suaminya dan berkata dengan suara yang mengandung kekhawatiran, “Menurut penuturan Cin Liong, jumlah mereka itu ada lima puluh orang lebih, dan para pemimpinnya ada lima orang, termasuk Hek-i Mo-ong. Jadi, setelah yang seorang tewas di tangan adik Lulu, masih ada empat orang lagi yang memiliki kepandaian tinggi. Aku pernah mendengar bahwa ilmu kepandaian Hek-i Mo-ong amat hebat, dan dia merupakan seorang lawan yang amat tangguh. Apalagi ada tiga orang lagi temannya, dan anak buahnya berjumlah lima puluh orang.”

Sejak tadi, kakek itu menatap wajah isterinya, lalu bertanya halus sehingga sama sekali tidak ada nada yang menyinggung, “Apakah engkau merasa takut?”

Nenek Nirahai menggeleng kepalanya. “Engkau tahu bahwa aku tidak pernah mengenal rasa takut berhadapan dengan musuh yang bagaimanapun juga. Akan tetapi, tetap saja aku merasa khawatir. Mereka itu berjumlah besar sekali dan keadaan mereka amat kuat. Oleh karena itu, tewasnya seorang di antara mereka saja tidak mungkin membuat mereka tidak berani datang lagi. Tidak, aku bahkan merasa yakin bahwa mereka tentu akan datang menyerbu dan kini sedang menghimpun kekuatan.”

“Dan engkau tidak takut....?”

“Memang, aku tidak takut. Jangankan baru sekian, biar ditambah tiga kali lipat lagipun aku tidak akan undur selangkah. Akan tetapi, kita harus mengingat cucu-cucu kita....!”

Kakek itu tetap tenang saja, bahkan tersenyum memandang isterinya. Biarpun mereka sudah tua, akan tetapi senyum suaminya itu membuat nenek Nirahai menjadi merah mukanya. Belum pernah senyum dan pandang mata suaminya itu tidak membuat hatinya runtuh! Kakek itu agaknya mengerti akan kecanggungan isterinya, maka diapun berkata, “Engkau lebih paham daripada aku mengenai bagaimana harus menghadapi serbuan orang banyak itu, isteriku.”“Baiklah, serahkan saja kepadaku,” kata nenek Nirahai yang segera keluar dari ruangan itu, membiarkan suaminya sendirian menjaga peti jenazah nenek Lulu. Ketika ia melangkah keluar istana dan memandang keluar, ke malam gelap, ke arah bintang-bintang di langit, dan merasakan hembusan angin malam pada wajahnya, membayangkan bahwa di tengah lautan itu terdapat pihak musuh yang sedang mengintai dan sewaktu-waktu akan menyerbu, wajah nenek Nirahai seketika menjadi gembira dan berseri-seri, sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi dan mulutnya mengulum senyum. Ia merasa seolah-olah sedang menunggang kuda sebagai seorang panglima yang sedang mempelajari keadaan dan mengatur siasat perang untuk menghadapi penyerbuan musuh yang amat kuat. Inilah dunianya. Inilah kesukaannya. Perang! Atau setidaknya, menghadapi ancaman musnh yang kuat, menduga-duga siasat yang diatur lawan dan merencanakan siasat tandingan untuk mencapai kemenangan!

Wajah nenek Nirahai masih berseri gembira ketika ia menemui Cin Liong, Suma Hui, Ciang Bun dan Ceng Liong, juga ia mengumpulkan lima orang pelayan, tiga pria dan dua wanita itu, mengajak mereka berkumpul di ruangan paling depan.

“Dengankan baik-baik,” ia memulai dan didengarkan oleh semua orang dengan penuh perhatian karena mereka semua dapat menduga akan adanya bahaya mengancam dari pihak musuh setelah mereka mendengar penuturan Cin Liong tadi. “Pulau kita ini agaknya sedang dikepung oleh musuh yang banyak jumlahnya. Ada dua belas perahu besar yang memuat kurang lebih lima puluh orang, semua adalah orang-orang yang pandai ilmu silat, dan mereka dipimpin oleh empat orang datuk yang sakti. Besar kemungkinan mereka itu akan datang menyerbu sewaktu-waktu, entah malam ini, entah besok pagi. Karena itu, kita sembilan orang haruslah bersiap-siap untuk mempertahankan pulau kita.”

“Baik, nyonya. Kami berlima akan mempertahankan pulau kita ini dengan taruhan nyawa!” jawab seorang di antara lima pelayan itu, yang wanita dan yang tertua, berusia empat puluh tahun. Empat orang temannya mengangguk penuh ketegasan karena mereka itu sudah merasa seperti anggauta keluarga Pulau Es, sudah jatuh cinta dengan tempat itu dan dengan keluarga yang mereka hormati dan kagumi itu. Melihat sikap mereka, nenek Nirahai merasa terharu dan bangga sekali. Banyak sudah ia melihat perajurit-perajurit yang dahulu menjadi anak buahnya bersikap gagah seperti ini, akan tetapi mereka adalah perajurit-perajurit yang memang bertugas untuk menghadapi musuh. Ada pula perajurit-perajurit yang kalau merasa terancam keselamatan mereka lalu lari tunggang-langgang tanpa menunggu komando lagi. Akan tetapi lima orang ini hanya pelayan-pelayan dan mereka itu hanya ketularan sedikit saja ilmu silat keluarga Istarna Pulau Es. Namun dalam hal kegagahan, mereka itu sungguh patut dibanggakan!

“Bagus! Kalian harus berjaga malam ini secara bergilir. Tidak boleh semua berjaga. Cukup seorang saja meronda membantuku, yang empat orang tidur. Setiap tiga jam bergilir jaga. Ini penting karena kalian harus menyimpan tenaga. Kurang tidur bisa melelahkan dan melemahkan. Agar dapat tidur akan kuberi obat. Nah, sokarang berpencar dan berjagalah sampai aku datang menyuruh siapa yang harus berjaga lebih dahulu. Bawa senjata kalian dan nyalakan lampu di bagian depan istana saja, lampu-lampu lainnya padamkan.”

Setelah lima orang pelayan itu pergi menjalankan tugas mereka, nenek Nirahai lalu berkata kepada tiga orang cucunya, “Hui, bawa kedua orang adikmu menjaga di luar halaman istana dan jangan pergi dari situ sebelum aku datang.”

Suma Hui, Ciang Bun, dan Ceng Liong menyanggupi dan merekapun keluar dengan sikap gagah, sedikitpun tidak nampak gentar walaupun mereka tahu bahwa tempat tinggal mereka akan diserbu musuh yang banyak jumlahnya. Setelah tiga orang anak itu pergi, nenek Nirahai lalu memberi isyarat kepada Cin Liong untuk mengikutinya. Tentu saja pemuda ini merasa heran, akan tetapi diapun diam saja dan mengikuti nenek itu yang membawanya pergi ke halaman samping di sebelah kanan istana itu.

“Cin Liong, di antara cucu-cucuku, engkaulah satu-satunya orang yang telah dewasa, apalagi engkau adalah seorang jenderal muda yang tentu tahu akan siasat perang,” kata nenek Nirahai setelah mereka berada di halaman samping yang sunyi itu. “Maka, aku sengaja membawamu ke sini untuk kuajak berunding. Nah, terus terang saja, katakanlah bagaimana kedudukan kita dibandingkan dengan lawan dan apa akan jadinya kalau lawan menyerbu secara serentak mengerahkan seluruh kekuatan mereka?”

Cin Liong menarik napas panjang. “Mungkin saya terlalu lemah dan kecil hati, akan tetapi terus terang saja, kedudukan kita amat lemah dan kekuatan pihak musuh terlalu besar. Akan tetapi sulitlah bagi kita untuk dapat mengalahkan begitu banyaknya orang yang rata-rata lihai, apalagi empat orang pemimpin mereka itu. Kalau memang kita hendak menyelamatkan diri, jalan satu-satunya adalah diam-diam meninggalkan pulau ini sebelum mereka menyerbu. Menggunakan waktu gelap dan pengetahuan kong-couw sekeluarga yang tentu lebih mengenal daerah ini, agaknya masih banyak harapan bagi kita untuk meloloskan diri.”

“Kao Cin Liong!” Nenek itu menegur. “Ayahmu adalah Naga Sakti Gurun Pasir yang sudah lama kukagumi sebagai orang muda yang hebat luar biasa, akan tetapi engkau putera tunggalnya menyarankan kepadaku untuk melarikan diri? Jenderal muda macam apakah engkau ini?”

Wajah pemuda itu berobah merah. “Maafkan, sesungguhnya usul saya tadi bukan semata-mata karena saya takut menghadapi kenyataan, melainkan penggambaran keadaan sebagaimana adanya, dan terutama sekali saya mengingat adanya bibi Suma Hui dan dua orang paman kecil. Saya kira amatlah sayang kalau mereka itu harus menghadapi bahaya maut dengan sia-sia dalam usia semuda itu.”

Nenek itu mengangguk-angguk. “Justeru karena itulah maka engkau kuajak ke sini, Cin Liong. Engkau tentu mengerti bahwa orang-orang seperti kong-couwmu dan aku, sampai matipun tidak nanti akan melarikan diri dari serbuan orang. Akan tetapi, akupun tidak menghendaki cucu-cucuku yang masih muda itu menjadi korban dan mati konyol.”

“Jadi nenek menghendaki agar saya menyelamatkan mereka bertiga dan membawa mereka diam-diam pergi meninggalkan Pulau Es?” tanya Cin Liong.

“Benar, engkau harus menyelamatkan mereka. Akan tetapi bukan melarikan diri dari sini, melainkan membawa mereka bersembunyi kalau serbuan itu datang dan keadaan menjadi gawat. Tentu saja kita harus membiarkan mereka ikut menghadapi musuh. Hanya kalau kita kewalahan dan dalam keadaan darurat, engkau harus melarikan mereka dan bersembunyi.”

“Akan tetapi, di pulau seperti ini, ke mana saya dapat menyembunyikan mereka? Tentu akan dicari musuh dan akhirnya ketemu juga.”

“Mari kau ikut denganku,” kata nenek itu. “Dan perhatikan benar-benar tempat persembunyian itu.” Cin Liong mengikuti nenek itu memasuki sebuah pintu samping kecil dan mereka berhadapan dengan dinding tebal. Nenek Nirahai lalu meloncat sampai dua meter tingginya, jari tangannya menekan langit-langit di mana nampak seekor cecak yang ternyata adalah cecak kering yang sudah mati dan bangkai yang sudah dikeraskan itu merupakan tanda rahasia tempat penekan alat rahasia pula. Terdengar suara berderit dan lantai tempat itu tiba-tiba bergeser dan nampaklah sebuah lubang. Nenek Nirahai memasuki lubang yang merupakan anak tangga ke bawah tanah. Cin Liong mengikutinya. Begitu memasuki lubang, nenek itu memutar sebuah patung singa yang berada di kepala tangga dan lantai ruangan itupun bergeser lagi menutupi lubang. Mereka terus menuruni lorong rahasia itu dan akhirnya mereka tiba di sebuah ruangan yang cukup luas di bawah tanah, tepat di bawah istana itu. Di situ terdapat lilin yang cukup banyak, air tawar dan bahan makanan kering yang kiranya akan cukup menghidupkan tiga empat orang selama satu bulan.

“Nah, di sinilah tempat persembunyian itu. Kalau keadaan sudah mendesak, engkau harus membawa mereka ke sini. Tempat ini hanya diketahui oleh kong-couwmu dan aku, cucu-cucuku itu tidak ada yang tahu. Maukah engkau berjanji bahwa engkau akan menyelamatkan mereka dan membawanya ke sini kalau keadaan memaksa?”

“Saya berjanji!”

Nenek Nirahai tersenyum girang dan merangkul pemuda itu. “Bagus! Aku percaya akan janji putera Naga Sakti Gurun Pasir dan cucu buyut keluarga Pulau Es, juga seorang pendekar dan seorang panglima muda yang gagah perkasa. Nah, Cin Liong, mari kita keluar. Ingat, andaikata mereka itu tidak mau kaubawa lari sembunyi, jangan ragu-ragu, pergunakan kepandaianmu dan totok mereka, paksa mereka menyelamatkan diri ke sini. Mengerti?”

“Baik, nek. Saya mengerti.”

Mereka lalu keluar lagi dari tempat rahasia itu dan setelah nenek Nirahai menutup kembali lubang di lantai dengan cara memutar bangkai binatang cecak itu kembali menghadapi dinding, mereka lalu keluar ke halaman samping.“Kalau mereka sudah menyerang, sebaiknya kalau kita memancing mereka ke halaman ini. Halaman ini merupakan medan pertempuran yang paling baik bagi kita. Musuh hanya dapat datang menyerbu dari depan dan kiri saja. Sebelah kanan ada bangunan, juga sebelah belakang sehingga kita yang kalah banyak tidak sampai dapat dibokong musuh. Kita mengerahkan semua kekuatan kita di sini dan melawan sekuatnya. Bagaimana pendanatmu, Cin Liong? Apakah engkau mempunyai siasat lain untuk menghadapi pihak musuh yang jauh lebih banyak jumlahnya itu?”

Cin Liong merasa kagum sekali kepada nenek yang dapat mengatur siasat sedemikian cepatnya, dan siasatnya itu memang merupakan penyusunan kedudukan yang paling baik. Apalagi karena tempat persembunyian yang dimaksudkan untuk menyelamatkan tiga orang cucunya ini berada dekat dengan halaman ini, sehingga praktis sekali dan kalau keadaan memaksa, dia dapat melarikan mereka ke belakang halaman melalui pintu kecil tanpa diketahui oleh pihak musuh.

“Maafkan kalau saya lancang memberi pendapat saya, akan tetapi saya kira kita bertahan di tempat ini hanya kalau sudah betul-betul terdesak. Menghadapi lawan yang jauh lebih banyak jumlahnya, tidakkah sebaiknya kalau kita melakukan serangan-serangan tersembunyi agar membuat mereka terpecah-pecah kekuatan mereka? Untuk itu, saya kira nenek dan saya sendiri akan mampu melakukannya, juga kalau kong-couw sudi....”

“Kong-couwmu jangan dibawa-bawa. Bagaimanapun juga, dia tidak mau maju perang. Aku mengerti maksudmu dan memang itu baik sekali. Kalau mereka muncul, baik malam ini atau besok siang, engkau dan aku, dari dua jurusan, menyerang mereka secara sembunyi-sembunyi dengan cara pukul dan lari agar mereka kalau-balau dan terpecah-belah. Akan tetapi mengingat bahwa di antara mereka banyak terdapat orang pandai, siasat itu tidak mungkin kita lakukan terus-menerus dan akhirnya kita akan terkepung juga. Nah, kalau sudah terkepung seperti itu, kita harus cepat membawa mereka itu ke tempat ini di mana kita dapat bersama-sama menghadapi mereka dari depan dan kiri saja, dan terutama, engkau dekat dengan tempat rahasia itu.”

Cin Liong mengangguk-angguk. “Saya setuju. Dan bibi Hui bersama dua orang paman kecil, juga lima orang pelayan, dapat saja mengacau mereka dengan penyerangan-penyerangan gelap, menggunakau anak panah atau senjata rahasia lainnya dari dalam istana yang terlindung.”

Nenek itu mengangguk-angguk. “Sayang engkau dahulu tidak dapat membantuku ketika aku masih sering memimpin pasukan menghadapi para pemberontak dan pengacau. Senang sekali mempunyai seorang pembantu secerdik engkau, Cin Liong!” Wajah nenek itu berseri gembira dan semangatnya berperang timbul dan berkobar. Melihat ini, Cin Liong merasa kagum bukan main. Sungguh seorang nenek yang gagah perkasa dan luar biasa pandainya!

“Ah, sejak kecil saya telah mendengar betapa nenek adalah seorang panglima yang amat hebat dan tidak pernah gagal dalam menumpas para pemberontak dan pengacau. Saya masih harus banyak belajar dari nenek.”

Malam itu lewat tanpa adanya pcnyerbuan yang dinanti-nantikan. Suasana malam itu amat menyeramkan, dengan adanya peti jenazah dan kepulan dupa, keheningan yang menggerogoti perasaan. Sebetulnya, tiga orang cucu dan para pelayan tidak mau tidur sebentarpun juga, karena dalam suasana berkabung dan berjaga-jaga itu mereka merasa tidak sepatutnya kalau mereka tidur. Akan tetapi, nenek Nirahai memaksa mereka untuk bergilir jaga dan yang tidak jaga ia beri obat sehingga mcreka itu dapat tertidur. Dan hal ini memang sungguh penting karena pada keesokan harinya, semua orang merasa tubuhnya tetap segar dan tidak lelah atau mengantuk.

Pada keesokan harnya, tiga orang pelayan pria membawa senjata dayung besi mereka dan di samping itu merekapun membawa gendewa dan anak panah. Biarpun mereka bukan ahli panah, akan tetapi dengan mudah mereka dapat belajar cara mempergunakannya dan mereka lalu memilih tempat yang strategis di balik jendela-jendela yang menghadap ke empat penjuru, bersama dengan dua orang pelayan wanita yang memang sudah pandai mempergunakan senjata rahasia jarum. Suma Hui sudah memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, maka ia bersembunyi di wuwungan bersama Cin Liong sedangkan Ciang Bun dan Ceng Liong bersembunyi di balik tiang besar, siap dengan senjata rahasia piauw dan jarum di tangan. Nenek Nirahai sendiri tidak nampak, namun Cin Liong maklum bahwa nenek ini tentu telah menanti di suatu tempat yang tidak terduga-duga oleh pihak musuh. Dia merasa amat heran dan kagum melihat sikap kong-couwnya yang masih tetap duduk bersila di dekat peti jenazah, kelihatan tenang-tenang saja seolah-olah tidak ada bahaya apapun yang mengancam tempat itu. Menurut perhitungannya, dan juga yang sependapat dengan nenek Nirahai, pihak musuh yang telah menerima hajaran berat oleh nenek Lulu, tidak berani ceroboh melakukan penyerangan di waktu malam gelap dan tentu menanti sampai terang tanah baru akan datang menyerang dengan pengerahan kekuatan mereka.

Perhitungan ini memang benar. Setelah cuaca di pulau itu cukup terang dan sinar matahari telah mengusir semua kabut, puluhan orang berloncatan dari dua belas buah perahu yang ternyata telah menempel di pantai Pulau Es. Mereka itu segera berlari menuju ke Istana Pulau Es dan setelah dekat mereka berpencar, terpecah menjadi empat rombongan terdiri dari sepuluh orang lebih dan masing-masing rombongan dipimpin sendiri oleh seorang di antara empat orang datuk kaum sesat! Hek-i Mo-ong sendiri memimpin rombongan dari dua belas orang menyerbu ke arah istana dari depan.

Gerakan kurang lebih lima puluh orang itu rata-rata amat cepat ketika mereka berlari ke arah istana dan setiap orang memegang senjata masing-masing. Nampaknya mereka itu amat menyeramkan dan menghadapi serbuan begitu banyak orang yang datang dari empat penjuru akan dapat mengecilkan hati orang. Akan tetapi, tidak demikian dengan para penghuni Pulau Es, keluarga Pendekar Super Sakti. Bahkan para pelayan di Istana Puktu Es itupun tidak ada yang merasa gentar. Mereka itu memandang dengan mata tak pernah berkedip, yang memegang busur sudah mempersiapkan diri dan mulai memasang anak panah, yang membawa senjata rahasia telah menggenggam jarum-jarumnya, mereka menanti saat para musuh itu datang dalam jarak yang cukup dekat. Sementara itu, Cin Liong dan tiga orang muda cucu Pendekar Super Sakti juga telah bersiap-siap. Cin Liong dau Suma Hui bersiap di atas wuwungan dan kedua orang muda Ciang Bun dan Ceng Liong siap di belakang tiang besar. Cin Liong dan tiga orang muda itu telah bersepakat. Yaitu, Ciang Bun dan Ceng Liong akan menyerang dengan senjata piauw dan jarum mereka bersama dengan serangan para pelayan yang menanti di empat penjuru. Penyerangan ini bukan hanya dimaksudkan untuk mengenai sasaran, akan tetapi juga dimaksudkan untuk menjadi pancingan agar perhatian musuh tertuju kepada para penyerang gelap itu. Dan kesempatan itu, selagi mereka lengah, Cin Liong dan Suma Hui yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi akan turun tangan menyerang dengan senjata rahasia mereka! Siasat ini sesuai dengan apa yang direncanakan oleh nenek Nirahai.

Para penyerbu itu adalah orang-orang yang lihai, apalagi yang dipimpin oleh Hek-i Mo-ong adalah orang-orang pilihan di antara para anak buah yang menyerbu, maka ketika mereka sudah agak dekat dan dari istana itu menyambar anak panah dan senjata-senjata rahasia lainnya, mereka dapat bergerak cepat, mengelak atau menangkis sehingga semua anak panah, jarum dan piauw itu tidak ada yang berhasil mengenai tubuh mereka. Akan tetapi, pada saat semua perhatian tertuju ke arah jendela dan tiang dari mana senjata-senjata rahasia tadi menyambar, tiba-tiba nampak sinar kehijauan menyambar dari atas. Itulah Siang-tok-ciam (Jarum Beracun Harum) yang dilepas oleh Suma Hui. Ilmu melepas Siang-tok-ciam ini adalah kepandaian khas dari nenek Nirahai yang menurunkan kepada dara itu. Betapapun lihainya dua belas orang yang dipimpin oleh Hek-i Mo-ong itu, menghadapi serangan gelap yang tiba-tiba dari atas ini, dua orang di antara mereka tetap saja kurang cepat menghindar dan ada jarum beracun yang mengenai pundak dan leher mereka. Mereka berteriak kesakitan dan roboh, berkelojotan dan pingsan karena jarum halus dari nenek Nirahai yang diajarkan kepada Suma Hui ini benar-benar amat ampuh.

Sementara itu di bagian kanan kiri dan belakang juga mendapat sambutan yang sama, hanya tidak begitu hebat seperti sambutan di depan. Ada anak panah yang menyambar, dan ketika mereka semua dapat menghindar, tiba-tiba dari atas menyambar anak panah berturut-turut yang amat kuat dan cepat gerakannya. Itulah anak panah yang dilepas oleh Cin Liong. Sebagai seorang jenderal, tentu saja dia selalu mahir ilmu silat tinggi, juga ahli dalam hal menggunakan busur dan anak panah. Apalagi anak panah itu dilepas selagi semua orang di bawah mencurahkan perhatian ke arah jendela. Terdengar teriakan-teriakan dan dengan busur dan anak panahnya, Cin Liong berhasil merobohkan empat orang, dua di belakang dan dua di kiri. Yang paling sial adalah para penyerbu yang datang dari kanan. Mereka disambut anak panah dan berhasil menghindarkan diri, akan tetapi jarum-jarum beracun berhamburan sedemikian banyak dan cepatnya sehingga dari sebelas orang yang dipimpin oleh Si Ulat Seribu, yang dapat menghindarkan diri hanyalah wanita iblis ini dan enam orang, sedangkan yang lima lain roboh berkelojotan terkena jarum-jarum halus yang dilepas oleh nenek Nirahai sendiri!

Ternyata siasat yang dijalankan oleh nenek Nirahai itu lumayan juga hasilnya. Dalam segebrakan itu sebelas orang auggauta gerombolan penyerbu telah dapat dirobohkan. Tentu saja hal ini membuat Hek-i Mo-ong dan tiga orang kawannya marah bukan main.

“Serbu! Bunuh semua orang yang berada di dalam istana!” teriak Hek-i Mo-ong sambil meloncat ke depan, membawa senjatanya yang mengerikan yaitu sebatang tombak Long-ge-pang (Tombak Gigi Serigala). Kakek ini memang menyeramkan sekali. Usianya sudah tujuh puluh lima tahun, akan tetapi karena tubuhnya yang tinggi besar seperti raksasa, dia masih nampak kuat. Hek-i Mo-ong ini sebenarnya bernama Phang Kui, seorang peranakan Bangsa Kozak, ibunya seorang wanita utara yang juga bertulang besar. Rambutnya sudah putih semua, dan pakaiannya serba hitam, membuat wajahnya yang berkulit putih dan rambut, jenggot dan kumisnya yang juga putih itu kelihatan menyolok. Di pinggangnya nampak sebatang kipas merah yang ujungnya runcing. Di samping senjata Long-ge-pang yang dipegang oleh tangan kanannya itu, kipas merah ini merupakan senjata yang amat ampuh pula. Kipas merah ini bukan hanya dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah dengan ujungnya yang runcing, akan tetapi juga merupakan alat penarik perhatian untuk melakukan sihir terhadap lawan. Di samping ilmu silatnya yang luar biasa tingginya, Hek-i Mo -ong ini terkenal sekali dengan ilmu sihirnya. Selain itu, tubuhnya kebal terhadap segala macam senjata.

Orang ke dua dari para pimpinan gerombolan penyerbu Pulau Es adalah Ngo-bwe Sai-kong yang telah tewas oleh nenek Lulu dalam perkelahian mati-matian yang akhirnya menyebabkan keduanya mati sampyuh.

Orang ke tiga adalah Ulat Seribu, seorang wanita yang melihat keadaan wajahnya yang amat buruk, sukar untuk diketahui usianya. Wajah itu bopeng dan pletat-pletot, mengerikan dan bahkan menjijikkan. Wajah yang habis digerogoti penyakit kulit yang hehat. Akan tetapi, melihat bentuk tubuhnya yang masih padat dan indah, kulit leher dan lengannya yang putih mulus maka usia wanita ini tentu tidak akan lebih dari tiga puluh lima tahun. Wanita ini peranakan Korea dan dia bersekutu dengan gerombolan ini membawa beberapa orang anak buahnya, orang-orang Korea yang bertubuh jangkung-jangkung. Si Ulat Seribu ini amat keras wataknya, dan lihai bukan main, terutama sekali gin-kangnya yang membuat ia dapat bergerak seperti terbang cepatnya. Selain itu, yang membuat lawan menjadi ngeri dan gentar adalah kebiasaannya yang aneh. Ia suka memelihara dan membawa-bawa segala macam ulat. Dari ulat yang gundul sampai ulat-ulat berbulu dan gatal, ulat-ulat beracun. Kadang-kadang, ulat-ulat itu merayap di kedua lengannya yang putih mulus, dan ulat-ulat ini bukanlah ulat sembarangan yang dipelihara sebagai hobby belaka. Ulat-ulat itu adalah ulat beracun dan dapat ia pergunakan sebagai senjata untuk merobohkan lawan! Keadaan yang mengerikan inilah yang membuat ia dikenal dengan sebutan Si Ulat Seribu saja, dan tidak ada orang lain yang mengenal namanya. Di samping ulat-ulat beracun, wanita ini terkenal ahli bermain silat dengan sabuk merahnya yang pada ujungnya terdapat kaitan-kaitan dari emas.

Orang ke empat bernama Liok Can Sui, berjuluk Eng-jiauw Siauw-ong, berusia enam puluh tahun. Dia memang ketua dari perkumpulan Eng-jiauw-pang (Perkumpulan Kuku Garuda), sebuah perkumpulan perampok yang amat ditakuti orang, dan yang berkedudukan di daerah Se-cuan. Siauw-ong (Raja Muda) ini amat lihai ilmunya, dan ganas sekali senjatanya, yaitu sepasang sarung tangan kuku garuda dan di samping itu diapun merupakan seorang ahli racun yang ampuh.

Datuk ke lima berjuluk Jai-hwa Siauw-ok, seorang laki-laki berusia lima puluh tahun akan tetapi masih nampak ganteng dengan pakaiannya yang mewah dan pesolek. Dia memang pantas dan berhak memakai julukan Siauw-ok (Si Jahat Kecil) karena dialah satu-satunya orang yang mewarisi ilmu dari Im-kan Ngo-ok yang telah terbasmi dan tewas semua. Jai-hwa Siauw-ok ini dahulunya merupakan seorang pria tampan yang menjadi kekasih dari Ji-ok, tokoh nomor dua dari Im-kan Ngo-ok. Karena pandai menyenangkan hati iblis betina itu, dia mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari Ji-ok, di antaranya adalah Kiam-ci (Jari Pedang). Bahkan melalui wanita tua yang tergila-gila kepadanya itu, dengan jalan mencuri, dia dapat pula mempelajari Ilmu Silat Thian-te Hong-i dari Sam-ok, dan pukulan Hoa-mo-kang (Katak Buduk) yang lihai dari Su-ok. Sesuai dengan julukannya Jai-hwa (Pemetik Bunga), datuk ini memang mempunyai kelemahan, yaitu mata keranjang dan setiap kali melihat wanita muda yang menggerakkan nafsu berahinya, tentu dia akan turun tangan memperkosanya, tidak perduli anak orang atau isteri orang!

Empat orang datuk yang merasa marah karena seorang rekan mereka, Ngo-bwe Sai-kong telah tewas di Pulau Es, dan kini melihat dalam segebrakan saja ada sebelas orang anak buah mereka roboh, menjadi penasaran. Mereka lalu memimpin sisa anak buah mereka yang masih cukup banyak itu untuk menyerbu.

Akan tetapi mereka menghadapi perlawanan yang gigih dari para penghuni Pulau Es. Dan sesuai dengan siasat nenek Nirahai, Cin Liong, Suma Hui, Suma Ciang Bun dan juga Suma Ceng Liong kini menerjang keluar dan mengamuk di antara para anak buah gerombolan. Nenek Nirahai sendiripun sudah menerjang turun dari atas wuwungan samping dan begitu pedang payunngya bergerak, beberapa orang sudah terpelanting dan roboh tewas seketika! Cin Liong juga mengamuk. Dia telah memegang sebatang pedang yang dipilihnya dari rak senjata di Istana Pulau Es. Pedangnya lenyap berobah menjadi sinar bergulung-gulung dan biarpun para anak buah gerombolan itu adalah orang-orang pilihan, namun amukannya membuat tiga orang roboh binasa mandi darah! Juga Suma Hui tidak mau kalah. Dara ini mengamuk, menggunakan sepasang pedangnya dan sudah ada seorang lawan tewas dan seorang lagi luka berat. Suma Ciang Bun mengamuk dengan tangan kosong, menggunakan ihnu pukulai Hwi-yang Sin-ciang yang baru diperdalam itu untuk mengamuk dan pemuda ini berhasil merobohkan seorang lawan pula. Suma Ceng Liong, anak berusia sepuluh tahun itu juga membantu keluarganya, menggunakan sebatang tombak dan anak ini memang mengagumkan sekali. Seorang anggauta gerombolan yang bersenjata golok besar menyerangnya kalang-kabut, namun anak ini memainkan tombaknya sedemikian rupa sehingga ke manapun golok itu menyambar, selalu tertangkis atau hanya mengenai tempat kosong belaka, sedangkan ujung tombak itupun kadang-kadang melakukan serangan balasan yang tidak kalah berbahayanya!

Bersambung ke buku 2