Kisah Si Bangau Putih -3 | Kho Ping Hoo
Buku 3
Orang pertama yang melompat keluar dari dalam ruangan itu adalah seorang gadis berusia kurang lebih delapan belas tahun yang manis sekali. Gadis ini bertubuh sedang, dengan sepasang kaki nampak panjang, tubuh yang padat dan ranum, tubuh seorang dara yang mulai dewasa. Rambutnya hitam lebat dan panjang sekali,d ikuncir menjadi dua diikat dengan pita merah. Dua kuncir itu bergantungan sampai ke pinggulnya. Pinggangnya ramping ketika ia bergerak meloncat ke luar dengan pedang di tangan kanan dan sebuah lentera besar dan baru saja dinyalakan di tangan kiri. Dari cahaya lampu ini, nampak jelas oleh Sin Hong wajah gadis itu. Kulitnya agak hitam, akan tetapi manis bukan main, terutama sekali mulutnya. Sepasang bibirnya berbentuk indah seperti gendewa terpentang, dengan garis yang jelas dan bibir itu penuh dan merah basah, sedikit terbuka memperlihatkankilauan gigi putih seperti mutiara dan sepasang matanya tajam memandang Sin Hong penuh selidik. Agaknya gadis itu tertegun dan agak heran melihat betapa “maling” yang mampu mengelak dari serangannya tadi tidak melarikan diri melainkan berdiri di situ menanti dan tak disangkanya bahwa penjahat itu seorang laki-laki muda yang berpakaian serba putih, wajahnya biasa saja, akan tetapi sinar matanya demikian lembut dan mulutnya terhias senyum ramah dan menarik! Sama sekali bukan wajah seorang pencuri atau penjahat yang kejam dan ganas, melainkan wajah seorang pemuda yang ramah dan baik hati. Akan tetapi karena ia merasa curiga melihat munculnya pemuda tak dikenal, di tengah malam, memasuki ruangan gelap dimana ia tadi berlatih samadhi, iapun kini mendekati dan menodongkan pedangnya dengan sikap mengancam.
“Menyerahlah sebelum pedangku yang bicara!” Pedangnya menodong dada dan lampu di tangannya diangkat menerangi muka Sin Hong.
“Tahan, jangan serang dia!” Tiba-tiba terdengar suara memerintah. Mendengar suara ayahnya, gadis itu melangkah mundur dan menurunkan pedangnya, namun sikapnya masih mengancam.
“Ayah, dia telah memasuki ruangan lian-bu (latihan silat) seperti seorang pencuri!” bantahnya.
Kwee Tay Seng atau Kwee-piauwsu tidak menjawab, hanya melangkah menghampiri Sin Hong. Sejak tadi dia menatap wajah itu dan kini dia sudah berhadapan dengan Sin Hong, matanya masih terus mengamati wajah pemuda berpakaian putih yang berdiri di situ dengan sikap tenang dan juga sedang memandangnya.
“Kau....kau seperti pernah melihatmu....ah, engkau mirip sekali dengannya....!Bukankah engkau ini putera mendiang Tan-piauwsu.
Sin Hong merasa heran mendengar ini, akan tetapi dia pun teringat akan hubungan pria yang gagah ini dengan mendiang ibunya, dan dia tahu bahwa wajahnya memang mirip dengan wajah ibunya.
“Ayah, kalau dia benar putera Tan-piauwsu, jelas bahwa dia datang bukan dengan niat baik.Tadi dia meloncat turun dari atas genteng dan menyelinap masuk seperti pencuri. Aku yang berada di dalam ruangan gelap, dapat melihat dengan jelas. Begitu dia melangkah masuk, aku telah menyerangnya, akan tetapi dia meloncat keluar lagi.” Kwee Ci Hwa, puteri Kwee-piauwsu itu, berkata lagi.
“Orang muda, aku mengenal mendiang ayahmu sebagai seorang gagah, dan engkau tentu seorang pemuda yang gagah pula. Marilah kita bicara secara jantan dan terbuka, daripada engkau harus datang secara gelap begini. Silakan masuk dan mari kita bicara di dalam.”
Sin Hong merasa malu sendiri dan diapun mengangguk, lalu mengikuti tuan rumah memasuki ruangan tadi, diikuti oleh Ci Hwa yang membawa lampu. Ternyata ruangan itu luas dan bersih, hanya terdapat beberapa buah bangku di dekat dinding dan selanjutnya kosong karena ruangan itu adalah sebuah tempat berlatih silat. Ci Hwa menaruh lampu itu di atas meja kecil, dan dinyalakan lagi tiga buah lentera lain dan digantungkan di dinding sehingga kini ruangan itu menjadi terang. Kwee-piauwsu mempersilakan Sin Hong duduk di atas bangku, kemudian dia sendiri dan puterinya duduk menghadapinya.
“Orang muda, katakanlah siapa engkau sebenarnya,” kata Kwee-piauwsu.
“Tidak salah dugaanmu tadi, Paman Kwee. Aku adalah Tan Sin Hong, dan yang menyebabkan aku malam ini datang menyelundup seperti seorang pencuri adalah karena aku hendak menyelidiki tentang kematian ayahku dan kematian paman Tang Lun.”
“Sungguh aneh,” kata Ci Hwa yang sejak tadi diam saja. “Menyelidiki kematian mereka, kenapa harus mencari disini? Apakah pembunuh mereka berada disini?”
Kwee-piauwsu mengeluh panjang dan pada saat itu, terdengar suara berisik dan ternyata ada beberapa orang anggauta piauwkiok yang meronda dan agaknya mereka merasa heran dan curiga melihat betapa ada suara orang bicara di lian-bu-thia yang juga nampak terang.
“Ci Hwa, engkau keluarlah dan tenangkan mereka. Aku hendak bicara berdua dengan Tan Sin Hong.”
Biarpun gadis itu memandang kecewakarena ia pun ingin sekali mengetahuikelanjutan dari munculnya pemuda itu,namun ia tidak membantah ayahnya, dania pun segera keluar dan tak lama kemudian, para anggauta piauwkiok pergi meninggalkan tempat itu, melanjutkan perondaan.
“Sin Hong, sudah dua kali ini orang mencurigai aku sebagai pembunuh ayahmu dan Tang-piauwsu. Padahal, aku sama sekali tidak tahu menahu tentang peristiwa itu. Ketahuilah, bahwa dahulu persaingan yang terjadi antara aku dan ayahmu adalah persaingan sehat dua orang yang memiliki perusahaan yang sama. Kami sama-sama bersaing untuk memperoleh kepercayaan langganan dengan pelayanan sebaiknya, bukan persaingan dengan saling menjatuhkan. Pernah Ciu Hok Kwi, piauwsu muda yang belum lama menjadi piauwsu itu pun menuduh aku yang membunuh Tang-piauwsu sehingga dia datang ke sini dan mendatangkan keributan. Dan sekarang engkau sendiri, putera Tan-piauwsu datang ke sini tentu mempunyai dugaan pula bahwa aku yang telah membunuh ayahmu dan Tang-piauwsu. Sungguh membuat aku merasa penasaran sekali!” Kakek itu mengeluh dan mengepal tinju. “Tidak kusangkal bahwa aku dan ayahmu bersaingan dalam memajukan perusahaan masing-masing, akan tetapi aku, Kwee Tay Seng, selama hidupku belumlah demikian rendah untuk menggunakan cara-cara kotor, apalagi sampai melakukan pembunuhan dengan curang!”
Sejak tadi Sin Hong menatap wajah kakek itu dengan penuh perhatian dan melihat sikap dan suara Kwee-piauwsu, memang sukar dipercaya orang segagah ini melakukan kecurangan seperti itu, membunuh dengan sembunyi-sembunyi. Akan tetapi masih ada sesuatu yang membuat Sin Hong penasaran, maka dengan terus terang dia berkata, “Paman Kwee, selain persaingan dalam perusahaan, aku pernah mendengar dari Tang-piauwsu bahwa dahulu, antara mendiang ibuku dan engkau....“
“Aihhhhh....!” Kwee Tay Seng menghela napas panjang dan mengangguk-angguk, mukanya berubah lesu. “Inilah sebabnya mengapa aku menyuruh Ci Hwa pergi meninggalkan kita. Aku memang hendak membicarakan hal ini,karena aku sudah menduga bahwa tentu ini merupakan satu di antara sebab mengapa aku yang dicurigai. Tadi pun, ketika melihatmu, aku sudah dapat menduga bahwa engkau tentulah putera Bwee Hwa, wajahmu demikian mirip dengannya. Sin Hong, tidak perlu kusangkal lagi. Memang di waktu kami muda, terdapat pertalian cinta antara aku dan ibumu, akan tetapi sungguh sayang, orang tua kedua pihak tidak setuju sehingga kami terpaksa saling berpisah. Namun, kemudian aku melihat betapa ia, ibumu yang dulu pernah menjadi kekasihku itu, hidup dengan bahagia bersama Tan Hok, ayahmu. Aku cinta kepada ibumu, maka, lebih tak masuk di akal lagi kalau aku ingin membikin ia sengsara dengan membunuh suaminya! Aku belumlah gila, dan cintaku adalah cinta suci, bukan cinta nafsu belaka yang menimbulkan iri. Tidak, Sin Hong, aku tidak akan mengganggunya, seujung rambut pun, akan tetapi aku mendengar bahwa ketika menyusul suaminya ke utara, rombongannya dihadang perampok dan ia meninggal....“
Sunyi sejenak dan Sin Hong termangu-mangu. Dia sedikit pun tidak meragukan kebenaran Kwee-piauwsu. Yang mencelakakan dia dan ibunya, yang melakukan penghadangan terhadap rombongan ibunya, juga orang-orang berkedok. Tidak mungkin Kwee-piauwsu yang memimpin penghadangan itu dan membikin celaka ibunya, wanita yang dicintanya. Keterangan dan perasaan hatinya itu melegakan hatinya, akan tetapi juga mendatangkan rasa kecewa dan penasaran. Hatinya lega karena dia yakin orang tua gagah ini bukan pembunuh ayahnya dan Tang-piauwsu, akan tetapi dia penasaran dan kecewa karena kini putuslah sudah jalur penyelidikannya. Setelah Kwee-piauwsu terlepas dari daftar orang yang dicurigai, maka tidak ada lagi orang yang dapat dicurigainya! Pada saat itu terdengar suara Ci Hwa dari luar.
“Ayah, bolehkah aku masuk?” Gadis itu masih ingin melihat bagaimana kelanjutan dari urusan dengan pemuda she Tan itu.
Karena cerita tentang Bwee Hwa, ibu Sin Hong, sudah mereka bicarakan dan tidak akan diulang lagi, maka Kwee Tay Seng lalu menjawab.
“Masuklah, Ci Hwa.”
Gadis itu masuk dan duduk di dekat ayahnya. “Bagaimana urusannya dengan dia ini, Ayah?”
Sin Hong memandang kepada gadis itu dan membungkuk. “Nona, akulah yang bersalah. Ayahmu tidak tahu apa-apa tentang kematian ayahku dan Paman Tang, karena itu maafkan aku. Paman Kwee, maafkan aku....“
Melihat sikap pemuda itu yang nampak kecewa, Kwee-piauwsu berkata, “Sin Hong, aku dapat merasakan kekecewaanmu. Engkau kehilangan ayah ibu, tentu saja engkau ingin membalas dendam kepaca mereka yang telah membunuhnya.”
“Ibu, bukan dibunuh orang, melainkan meninggal karena badai di gurun pasir, Paman” Dengan singkat dia pun lalu menceritakan betapa rombongan ibunya yang dikawal oleh mendiang Tang-piauwsu diserang oleh orang-orang berkedok dan dia bersama ibunya menunggang onta melarikan diri memasuki gurun pasir sampai ibunya meninggal di gurun pasir. Sampai di sini dia menghentikan ceritanya karena dia tidak ingin bercerita tentang guru-gurunya hanya menyambung dengan kata-kata yang tegas. “Dan aku sama sekali tidak ditekan dendam Paman. Kalau aku mencari pembunuh-pembunuh itu, bukan terdorong dendam pribadi, melainkan karena perbuatan yang sedemikian jahatnya itu harus kuselidiki. Apa sebabnya ayah dibunuh, dan kalau pembunuhnya memang melakukannya karena kejahatan, maka kejahatan harus ditentang dan dihukum, Paman.”
Kwee-piauwsu mengangguk-angguk. “Akan tetapi, sampai sejauh mana penyelidikanmu? Aku....aku ingin membantumu, orang muda, karena aku pun merasa penasaran sekarang, apalagi karena akulah yang dituduh melakukan perbuatan kejam itu.” Suara Kwee-piauwsu terdengar penuh kesedihan dan memang dia merasa berduka sekali mendengar tentang kematian Bwee Hwa, bekas kekasihnya dan biarpun Bwee Hwa tidak mati dibunuh, namun sama saja, ada orang yang menyebabkan ia sampai lari ke gurun pasir dan menemui kematiannya di sana.
Dengan singkat Sin Hong bercerita tentang penyelidikannya terhadap Lay-wangwe, orang yang dia curigai karena hartawan itulah yang mula-mula menemui ayahnya dan mengirim barang berharga itu. “Kurasa hanya dialah satu-satunya orang yang mengetahui persoalan ini, Paman, karena dia yang mengirim emas itu, dan dia pula yang menuntut ganti rugi sehingga perusahaan ayah berikut rumah dan seisinya disita. Akan tetapi, penyelidikanku gagal. Di kota raja tidak pernah ada seorang Lay-wangwe yang berkepala botak dan berperut gendut seperti itu.”
Kwee-piauwsu mengangguk-angguk. “Aku juga mendengar tentang penyitaan itu dan menurut anak buahku, kini Peng-an Piauwkiok telah menjadi perusahaan pengawal yang baru, dengan rumah dan kantornya sudah dibetulkan menjadi cukup megah. Dan kabarnya, Ciu-piauwsu yang kini menjadi pengurusnya.”
Sin Hong mengangguk. “Memang benar, Paman. Paman Ciu yang telah mencarikan seorang sahabat, atau keluarganya yang kaya untuk memberi pinjaman uang untuk membayar sebagian kerugian itu, dan kini karena perusahaan mundur dan tidak mampu bayar pinjaman, semua rumah dan kantor terjatuh ke tangan orang yang memberi pinjaman uang. Dan agaknya perusahaan itu diperbarui, dilanjutkan dan Ciu-piauwsu yang menjadi pemimpinnya, mengingat bahwa majikannya adalah keluarganya.”
“Orang yang kausebutkan tadi, Lay-wangwe itu, pernah datang ke sini....“
“Ah, benarkah, Paman? Harap Paman ceritakan....!” Sin Hong memotong, mendapatkan harapan baru.
“Hal itu terjadi beberupa hari sebelum dia menyerahkan angkutan barang berharga yang harus dikawal ke Tuo-lun itu kepada ayahmu. Dia datang dan membawa peti besar yang tertutup rapat, minta kepadaku untuk mengawal ke Tuolun dengan janji upah besar. Aku menerimanya dengan syarat bahwa isi peti itu harus dibuka dan dihitung lebih dahulu. Dia menolak dan marah-marah karena aku dianggap tidak percaya kepadanya. Akhirnya aku mendengar dia mengirim barangnya itu melalui pengawalan Peng-an-piauwkiok.”
“Akan tetapi, apakah Paman mengetahui di mana dia tinggal?”
Seperti yang telah dikhawatirkannya, piauwsu itu menggeleng kepala. “Kami semua tidak ada yang tahu, akan tetapi karena ada beberapa orang anak buahku pernah melihatnya, biarlah aku membantumu dengan menyebar mereka agar suka mencarinya. Seorang di antara mereka, baru dua hari yang lalu pernah mengatakan kepadaku bahwa si gendut botak itu nampak berkeliaran di kota ini.”
Sin Hong merasa girang sekali dan anak buah itu segera dipanggil. “Memang saya melihatnya dua hari yang lalu, ia gaknya masih seperti dulu, seperti seorang hartawan besar, dengan pakaian mewah dan royal dengan uangnya.”
“Sekarang juga, ajak teman-temanmu yang pernah melihatnya untuk melakukan pencarian secara berpencar dan kalau menemukannya, cepat memberi kabar ke sini!”
Setelah orang itu pergi, Kwee Ci Hwa juga bangkit berdiri. “Aku dulu juga melihatnya biar aku membantu mencarinya!” Tanpa menanti jawaban, gadis itu lalu meloncat keluar. Sin Hong merasa tidak enak sekali.
“Ah, aku ternyata selain membikin ribut di sini, juga membikin repot saja, Paman Kwee”
“Jangan berkata begitu, Sin Hong. Sudah semestinya dalam hal seperti ini kita saling bantu.”
“Akan tetapi sampai nona....eh, adik Kwee sendiri ikut repot....“
“Aku mengerti isi hatinya. rentu ia merasa tidak enak karena tadinya aku yang disangka sehingga ia ingin sekali membantu untuk membersihkan nama ayahnya. Engkau tunggu saja di sini malam ini sampai ada berita dari mereka tentang hasil penyelidikan mereka.”
“Terima kasih, Paman. Akan tetapi aku tidak berani mengganggu lebih lama lagi malam ini. Biarlah besok pagi saja aku datang lagi untuk mendengar keterangan hasil penyelidikan itu. Sekarang saya lebih baik pergi saja dulu.”
“Tidak ada yang terganggu, Sin Hong. Setelah terjadinya peristiwa ini, aku pun tidak akan dapat tidur lagi. Biarlah kita bercakap-cakap di sini sambil menanti mereka. Karena kota ini kecil saja kiranya tidak akan lama mereka mencari.”
Karena ditahan-tahan, Sin Hong merasa tidak enak juga kalau tidak mau menerimanya dan ketika mereka bercakap-cakap, dia mendengar kenyataan bahwa orang she Kwee ini memang memiliki sikap yang amat menyenangkan. Dia gagah dan jujur dan Sin Hong merasa tertarik sekali, juga semakin percaya karena orang seperti ini tidak mungkin melakukan kejahatan yang keji dan curang. Juga Kwee Tay Seng mempunyai pengalaman yang luas di dunia kang-ouw, mengenal tokoh-tokoh kang-ouw yang pandai. Dalam ilmu kepandaian, pernah dia melihat ketika Kwee-piauwsu menghadapi amukan Ciu Hok Kwi dan dia tahu bahwa dalam hal ilmu silat, agaknya sukar dicari orang di daerah Ban-goan yang akan mampu menandingi piauwsu ini.
Karena mereka asyik bercakap-cakap, tak terasa waktu berlalu dengan cepatnya dan menjelang pagi, muncullah Kwee Ci Hwa dan dua orang anak buah piauwkiok.
“Ayah, kami telah menemukan dia!” kata gadis itu. Sin Hong merasa berterima kasih sekali, apalagi melihat betapa gadis itu nampak kedinginan dan lelah.
“Ah, terima kasih! Dia berada di mana Nona?”
“Sin Hong, anakku yang hanya satu ini bernama Kwee Ci Hwa, harap engkau jangan sungkan-sungkan dan menyebut nona kepadanya,” kata Kwee-piauwsu yang diam-diam merasa suka kepada pemuda yang sederhana itu.
“Maaf, adik Ci Hwa, akan tetapi aku ingin sekali tahu di mana adanya si gendut botak she Lay itu.”
“Dia .... dia....Gu-toako, engkau saja yang menerangkan,” kata gadis itu dan mukanya berubah merah.
Anak buah piauwkiok itu lalu menerangkan dengan jelas. “Orang she Lay yang gendut botak itu sudah beberapa hari berada di Ban-goan dan agaknya memang hanya kalau malam saja dia berkeliaran keluar, kalau siang entah bersembunyi di mana. Kami menemukan jejaknya dan kini dia berada di rumah pelesir di ujung timur kota. Selama beberapa hari ini memang dia langganan di situ dan menurut penyelidikan kami, dia amat royal dengan uangnya, dan di sana pun dia dipanggil Lay-wangwe (Hartawan Lay) yang royal memberi hadiah kepada para pelacur.”
Kini mengertilah Sin Hong mengapa gadis itu malu untuk menceritakan, dan dia sendiri sungguhpun kelahiran kota itu, namun tidak tahu di mana letaknya rumah pelesir atau rumah pelacuran itu.
“Di manakah rumah itu? Ujung timur kota? Jauhkah dari jembatan merah?”
“Tepat di sebelah timur jembatan itu,” kata Kwee-piauwsu, “Hanya terhalang dua buah rumah. Rumah pelesir itu bercat merah, besar dan di depannya tumbuh sekelompok mawar.”
“Kalau begitu, aku akan pergi ke sana sekarang juga!” kata Sin Hong sambil bangkit berdiri dan menjura kepada Kwee-piauwsu, puterinya dan beberapa orang piauwsu yang tadi mencari jejak Lay-wangwe. “Terima kasih atas segala kebaikan Paman, juga engkau adik Ci Hwa, dan para saudara piauwsu yang telah membantuku dan para saudara piauwsu yang telah membantuku.”
“Nanti dulu, Sin Hong” kata Kwee piauwsu, Engkau.... apa yang hendak kaulakukan terhadap orang gendut botak itu?”
“Akan kutangkap dia dan kupaksa mengaku tentang peristiwa yang terjadi.”
“Sin Hong, engkau tidak boleh memandang rendah mereka yang telah melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap ayahmu dan Tang-piauwsu itu. Mereka itu lihai dan berbahaya, dan siapa tahu kalau-kalau dugaanmu benar dan di belakang Lay-wangwe itu terdapat gerombolan jahat itu. Engkau harus berhati-hati....“
“Biarlah aku yang menemaninya, Ayah! Tan-toako, mari kutunjukkan engkau tempatnya dan aku yang akan membantumu kalau muncul orang-orang jahat itu!” kata Ci Hwa dengan gagah. Tentu saja Sin Hong merasa semakin tidak enak dan melihat keraguannya, Kwee-piauwsu berkata, dengan suara yang tegas.
“Benar Ci Hwa, Sin Hong. Engkau boleh mengandalkan ia yang sudah memiliki ilmu silat cukup tinggi untuk membela diri dan juga membantumu. Nah, kalian pergilah, akan tetapi hati-hati dan jangan bertindak sembrono.”
Sin Hong tak dapat menolak lagi dan terpaksa dia bersama Ci Hwa lalu keluar dari rumah keluarga Kwee. Mereka berjalan berdampingan. Malam menjelang pagi itu dingin dan sunyi bukan main, juga agak gelap karena kini bulan sudah lenyap, tinggal bintang-bintang yang suram cahayanya.
“Siauw-moi (adik kecil), sungguh aku hanya membikin repot engkau saja,” karena merasa tidak enak oleh sikap gadis itu yang diam saja, Sin Hong bertanya.
“Ah, tidak, Toako. Bagaimanapun juga, aku merasa berkewajiban untuk ikut membantumu menangkap penjahat itu, yang telah membunuh ayahmu dan Tang-piauwsu, karena aku harus membersihkan nama ayah yang tadinya ternoda oleh dugaan bahwa ayah yang melakukan kejahatan itu.”
Sin Hong tidak bicara lagi, diam-diam dia kagum kepada gadis ini. Seorang gadis yang tidak banyak bicara, akan tetapi memiliki semangat besar, keberanian dan kegagahan.
“Nah, itulah rumahnya,” kata Ci Hwa menunjuk ke sebuah rumah yang cukup besar dan bercat merah, di halaman depan tumbuh bunga-bunga mawar. Semua daun pintu dan jendela rumah itu masih tertutup dan suasananya sunyi sekali.
“Aku akan segera mengetuk pintu dan minta bicara dengan Lay-wangwe,” kata Sin Hong sambil melangkah lebar untuk menghampiri pintu depan.
“Nanti dulu, Toako. Kalau engkau datang begitu saja ingin menemuinya, tentu dia curiga dan kalau dia melarikan diri, engkau akan kehilangan dia dan akan sukar kalau harus mencari orang yang sembunyi-sembunyi. Sebaiknya kalau aku berjaga di bagian belakang agar dia tidak dapat melarikan diri. Kalau dia lari dari pintu belakang, aku akan menahannya.”
Sin Hong merasa semakin kagum. Dibandingkan gadis ini, dia kalah jauh dalam hal pengalaman dan kecerdikan. “Baiklah, Hwa-moi, engkau benar sekali.”
Gadis itu lalu berkelebat dan dengan cepat berlari memutari rumah itu untuk mengintai dan berjaga di belakang rumah. Setelah menunggu beberapa lamanya untuk memberi kesempatan kepada Ci Hwa tiba di belakang rumah dan mencari tempat pengintaian yang tepat, Sin Hong lalu menghampiri pintu depan. Dia tidak ingin menimbulkan keributan dengan masuk sebagai seorang pencuri. Dia mengetuk pintu depan beberapa kali.
Tak lama kemudian daun pintu terbuka dan seorang kakek berusia enam puluh tahun muncul sambil menggosok-gosok mata dengan punggung tangan dan dia nampak masih mengantuk, juga ketika pintu terbuka, dia agak menggigil kedinginan oleh angin pagi yang menerpa masuk.
“Ahhh, Kongcu, sungguh merupakan waktu yang aneh untuk mengunjungi rumah pelesiran!” Dia terkekeh. “Kongcu datang terlalu pagi atau terlalu malam. Anak-anak manis itu masih tidur pulas semua, nanti kurang lebih jam sepuluh mereka baru akan bangun. Apakah Kongcu menghendaki seorang di antara mereka? Dengan tambahan istimewa, kiranya ia mau dibangunkan pagi-pagi begini.”
Wajah Sin Hong berubah merah. Sialan, pikirnya, dia disangka ingin melacur! Dia menggeleng kepala dan berkata, “Tidak, Lopek. Aku bukan datang untuk pelesir, melainkan mencari seorang tamu, yaitu Lay-wangwe.”
Mendadak pandang mata orang itu berubah, penuh kecurigaan dan alisnya berkerut. “Tidak ada yang bernama Lay-wangwe di sini.” katanya ketus.
Sin Hong tidak mau menggunakan kekerasan yang akan meributkan suasana dan membikin takut Lay-wangwe. “Lopek, aku tahu bahwa Lay-wangwe bermalam di sini. Ketahuilah, aku adalah seorang sahabat baiknya yang perlu sekali bicara dengan dia sekarang juga. Amat penting!” Sin Hong mengeluarkan sepotong perak dan menyerahkannya kepada pelayan itu.
Melihat berkilaunya perak, pandang mata kakek itu silau dan sikapnya berubah walaupun dia masih ragu-ragu
“Akan tetapi aku tidak mengenal siapa Kongcu, dan selain itu tamu yang sedang tidur nyenyak tentu akan marah sekali kalau kuganggu dan kuketuk pintunya. Apa yang harus kukatakan kalau dia terbangun dan marah-marah kepadaku karena gangguanku?”
Uang itu telah diterima dan lenyap ke dalam saku baju pelayan itu. Sin Hong sudah merasa menang, akan tetapi dia pun harus berhati-hati dan jangan sampai menimbulkan kecurigaan. Dia tahu bahwa Lay-wangwe telah memesan kepada para pelayan di tempat itu untuk merahasiakan kehadirannya di rumah itu.
“Kalau dia sudah terbangun dan marah-marah, katakan saja bahwa aku seorang sahabatnya datang untuk memberi tahu kepadanya bahwa ada bahaya mengancam dirinya, dan dia harus cepat pergi bersamaku kalau ingin selamat.”
Mendengar ini, pelayan itu terbelalak. “Wah, kalau begitu gawat!” katanya dan dia pun lari masuk ke dalam rumah besar itu setelah menutup kembali pintu depan. Sin Hong menanti sambil mendekatkan telinganya ke daun pintu agar dapat mendengar lebih baik. Dia siap untuk mempergunakan kekerasan kalau jalan halus ini gagal.
Akan tetapi siasatnya tadi berhasil baik. Ketika pelayan itu mengetuk daun pintu kamar di mana Lay-wangwe masih tidur mengorok sambil merangkul dua orang wanita pelacur yang mengapitnya, dia terbangun dan tentu saja dia marah-marah karena merasa terganggu.
“Lay-wangwe, ada keperluan penting sekali, harap bangun!” demikian suara pelayan yang mengetuk pintu kamar itu. Dua orang pelacur terbangun lebih dahulu dan mereka segera menutupi tubuh mereka dengan selimut, sementara itu Lay-wangwe bangkit dan duduk dengan sukar karena perutnya amat gendut. Dia pun menutupi tubuhnya dengan selimut dan mengomel.
“Keparat, siapa berani menggangguku?” Kepada seorang di antara dua orang pelacur itu dia memberi isyarat untuk membuka daun pintu. Ketika daun pintu terbuka dan dengan takut-takut pelayan tua itu terbungkuk-bungkuk masuk. Laywangwe membentak marah.
“Apa kau sudah bosan hidup, berani mengganggu aku sepagi ini?”
“Maafkan saya, Lay-wangwe, akan tetapi di luar telah datang seorang tamu yang mengaku sahabat baik Wangwe dan dia mengatakan bahwa ada bahaya mengancam diri Wangwe dan kalau Wangwe menghendaki agar selamat, Wangwe harus cepat-cepat pergi bersama dia sekarang juga.”
Laki-laki pendek gendut itu terbelalak, wajahnya berubah pucat dan cepat-cepat dia meraih pakaiannya secepat mungkin.
“Bagaimana orangnya? Masih mudakah? Atau sudah tua? Dan siapa namanya?” Dia bertanya sambil mengenakan pakaiannya.
“Dia belum sempat mengaku siapa namanya, akan tetapi orangnya masih muda dan orangnya ramah sekali, baik sekali, Lay-wangwe. Dan dia nampaknya bersungguh-sungguh....“
“Kalau begitu aku harus cepat pergi dari sini!” katanya sambil melemparkan beberapa potong uang perak kepada dua orang pelacur itu. Dia keluar dari kamar dan melihat betapa beberapa buah kamar yang berderet di situ juga nampak terbuka, agaknya ribut-ribut itu membangunkan tamu-tamu lain. Hal ini sebenarnya biasa saja, namun orang she Lay yang sudah ketakutan itu kini memandang penuh kecurigaan, seolah-olah bahaya yang disebutkan tadi datang dari kamar-kamar itu. Dia pun cepat-cepat melangkah keluar, tidak tahu betapa beberapa buah kancing bajunya salah memasuki lubangnya dan kedua matanya kemerahan dan ujungnya dihias kotoran mata.
Setelah membuka pintu depan dia berhadapan dengan Sin Hong! Sekali lihat saja tahulah Sin Hong bahwa dia berhadapan dengan orang yang dimaksudkan oleh Tang-piauwsu dan Ciu-piauwsu, orang gendut botak yang terkenal dengan nama Lay-wangwe, pengirim emas yang mengakibatkan tewasnya ayahnya dan membuat perkara menjadi berlarut-larut sampai kematian Tang-piauwsu itu. Akan tetapi, dia belum yakin benar bahwa si gendut ini hanya merupakan umpan untuk menjebak ayahnya. Bagaimana kalau dia ini benar-benar pengirim emas, sama sekali tidak bersalah?
“Siapa....siapakah engkau....? Lay-wangwe bertanya dengan sangsi ketika melihat seorang pemuda yang sama sekali tidak pernah dikenalnya. Akan tetapi, Sin Hong melangkah maju.
“Apakah engkau yang bernama Lay-wangwe?”
Karena tidak mengenal pemuda itu, muncullah lagak Lay-wangwe yang memandang rendah orang lain, apalagi orang ini mengganggunya dan dia tidak melihat adanya gangguan dan dia tidak melihat adanya bahaya mengancam seperti yang dikatakan pelayan tadi.
“Benar, akulah Lay-wangwe. Engkau siapa dan mau apa?” Kemudian dia menoleh ke kanan kiri dan menyambung, “Engkau bilang ada bahaya? Engkaulah yang mengatakan ada bahaya tadi, dan di mana bahaya itu?”
Sin Hong tersenyum. “Lay-wangwe, di sinilah letaknya bahaya kalau engkau tidak mau bicara terus terang padaku. Ketahuilah, aku adalah putera dari mendiang Tan-piauwsu, pemimpin Peng-an Piauwkiok yang dahulu mengangkut emasmu ke Tuo-lun! Ingatkah engkau? Engkau datang kepada ayah, mengirim peti berisi emas ke Tuo-lun, kemudian di tengah jalan, ayah dibunuh orang dan engkau menuntut ganti kerugian dan menyita rumah dan perusahaan ayah. Kemudian, terjadi pembunuhan pula atas diri Tang-piauwsu belum lama ini. Nah, katakanlah, apa yang kauketahui tentang semua pembunuhan itu?”
Lay-wangwe terbelalak memandang kepada Sin Hong, kemudian dia tersenyum lebar, mengejek. “Orang muda, hanya untuk itu engkau berani mengganggu aku? Memang aku yang mengirim emas itu, dan karena hartaku hilang, aku menyita rumah dan perusahaan ayahmu. Aku telah menderita rugi besar dan engkau masih hendak menggangguku? Aku tidak tahu apa-apa tentang pembunuhan itu!” Dan dia pun membalikkan tubuhnya hendak masuk lagi.
“Tunggu dulu!” Sin Hong berseru dengan suara keras. Lay-wangwe membalik dan kini matanya menjadi semakin merah dan alisnya berkerut karena dia sudah marah sekali. “Engkau mengaku sebagai seorang hartawan di kota raja, akan tetapi ternyata engkau bukan hartawan kota raja karena di sana tidak ada seorang pun mengenalmu! Dan ketika engkau hendak mengirim peti berisi emas itu melalui Ban-goan Piauw-kok, engkau menolak ketika petinya hendak dibuka dan isinya diperiksa, bahkan engkau membatalkan pengiriman itu, lalu mengirimkannya tanpa membuka peti melalui ayahku. Siapakah engkau ini sebenarnya dan apa maksudmu memancing ayah dengan umpan kiriman emas itu untuk menjebaknya?”
“Bocah kurang ajar! Berani engkau menyelidiki keadaanku? Engkau patut dihajar!” Dan tiba-tiba saja, orang yang gendut itu bergerak cepat sekali, menyerang Sin Hong dengan pukulan kedua tangannya dengan bertubi-tubi! Orang akan terkejut sekali melihat betapa “hartawan” Lay itu tiba-tiba saja menjadi seorang laki-laki yang ganas dan dapat melakukan penyerangan secepat dan sekuat itu padahal tubuhnya bulat dengan perutnya yang gendut.
Sin Hong tentu saja tidak gugup, akan tetapi dia pun agak terkejut karena tidak mengira bahwa Lay-wangwe itu ternyata mampu menyerangnya, bukan hanya dengan cepat sekali, akan tetapi juga dia dapat melihat betapa pukulan-pukulannya mengandung tenaga yang cukup kuat! Kiranya si gendut ini bukan orang sembarangan dan tentu saja kecurigaannya semakin bertambah.
“Hemmm, kiranya engkau seorang tukang pukul!” katanya sambil miringkan tubuhnya dan ketika kedua tangannya melancarkan pukulan bertubi-tubi itu lewat, tangannya sendiri bergerak menotok dan robohlah tubuh yang berperut gendut itu, tidak mampu bangkit lagi karena tubuh itu terasa lemas oleh totokan Sin Hong! Kini muka orang itu nampak ketakutan karena baru dia tahu bahwa dia berhadapan dengan lawan yang luar biasa lihainya, yang dapat merobohkannya dalam satu gebrakan saja! Sulit untuk dipercaya, akan tetapi kenyataannya demikianlah dan dia mulai merasa ngeri dan takut.
“Nah, sekarang ceritakan yang sebenarnya. Siapa yang mengatur pancingan dan jebakan itu, siapa yang telah membunuh ayahku dan Tang-piauwsu? Katakan sebetulnya kalau tidak ingin aku terpaksa menggunakan kekerasan memaksamu!”
Sin Hong sengaja menekankan jari tangannya ke pundak orang gendut itu dan orang itu pun menyeringai kesakitan. Penekanan pada jalan darah di pundaknya itu membuat seluruh tubuh bagian atasnya demikian nyeri seperti ditusuki ribuan jarum dan keringat dingin membasahi muka dan lehernya.
“Aku....aku tidak tahu siapa pembunuhnya....aku hanyalah anak buah saja....“ katanya dengan suara terputusputus saking hebatnya rasa nyeri yang dideritanya. Sin Hong melepaskan jarinya.
“Lalu siapa pemimpinmu? Siapa yang mengutusmu? Jawab!”
“....Tiat....Tiat-liong-pang....!” Tiba-tiba dia menjerit dan berkelojotan. Sin Hong terkejut bukan main karena pada saat orang itu tadi mulai membuat pengakuan, ada belasan jarum dan paku beracun menyambar ke arahnya dari depan. Dia cepat mengelak dengan loncatan ke samping dan tangannya mendorong sehingga sisa senjata rahasia itu terpukul angin dorongannya dan runtuh. Akan tetapi ketika dia memandang, dia melihat orang gendut itu sudah berkelojotan dengan muka membiru dan mata melotot. Dia melihat bayangan orang berkelebat lari ke dalam rumah itu. Terlambat untuk menyelamatkan si gendut dan dia pun cepat meloncat dan mengejar ke dalam rumah.
Bayangan yang kelihatan berpakaian hitam itu ternyata memiliki gerakan yang amat cepat. Terdengar jeritan-jeritan wanita ketika Sin Hong berlari cepat memasuki rumah itu. Ternyata wanita-wanita pelacur yang keluar dari kamar masing-masing, terkejut dan ketakutan melihat kejar-kejaran itu, apalagi yang dikejar adalah seorang yang memakai pakaian hitam dan kedok hitam pula!
Dengan penuh semangat Sin Hong melakukan pengejaran karena dia merasa yakin bahwa orang itulah yang menjadi kunci rahasia pembunuhan-pembunuhan itu, setidaknya orang itu tentu yang telah membunuh Tang-piauwsu. Maka dia harus dapat menangkapnya!
Orang itu menerjang pintu belakang dan terus melompat ke dalam kegelapan pagi yang masih remang-remang itu. Tiba-tiba ada orang menyambutnya dengan bentakan nyaring.
“Berhenti!” Bentakan itu dibarengi munculnya Ci Hwa dengan pedang telanjang di tangan. Melihat betapa ada seorang gadis berpedang menghadang di depannya, orang itu tidak berhenti, bahkan menerjang dan menyerang Ci Hwa! Tentu saja Ci Hwa terkejut akan kenekatan orang itu dan ia pun menyambut dengan tusukan pedangnya! Akan tetapi, orang itu menangkis dengan tangan kiri dan tangan kanannya tetap saja mencengkeram ke arah dada Ci Hwa!
“Plakkk!” Pedangnya tertangkis oleh tangan kosong itu begitu saja sampai hampir terlepas dari pegangannya dan dadanya terancam cengkeraman. Terpaksa Ci Hwa melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik, kemudian ia membalikkan tubuhnya. Terlambat! Orang yang ternyata luar biasa lihainya itu sudah menendang lututnya dan Ci Hwa terguling. Orang itu menubruk dengan hantaman tangan kanannya ke arah kepala Ci Hwa yang sudah tidak sempat untuk mengelak atau menangkis lagi!
“Dukkk!” Pukulan hebat dari orang berkedok hitam itu tertangkis oleh tangan Sin Hong yang datang tepat pada saat nyawa Ci Hwa terancam bahaya itu.
Orang itu mengeluarkan seruan kaget, lalu menyerang dengan kedua tangan didorongkan ke arah dada Sin Hong. Pukulan jarak jauh! Ini membuktikan bahwa orang berkedok itu memang lihai bukan main. Sin Hong menyambut dengan dorongan penuh tenaga sin-kang dan orang itu terjengkang! Kembali dia mengeluarkan seruan kaget dan terus meloncat jauh dan menghilang ke dalam kegelapan pagi buta itu. Sin Hong tidak mengejar karena mengkhawatirkan keselamatan Ci Hwa melihat kelihaian orang itu. Siapa tahu masih ada kawanan penjahat di situ yang akan mencelakai Ci Hwa.
“Engkau terluka, Hwa-moi (adik Hwa)?” tanyanya sambil memegang pundak gadis itu.
Ci Hwa menggeleng kepala, lalu bangkit berdiri dan kakinya tidak terluka parah, hanya agak terpincang. “Mari kita kejar dia!” kata Sin Hong dan sambil memegang tangan gadis itu, dia pun meloncat dan Ci Hwa merasa seolah-olah tubuhnya diangkat dan dibawa terbang! Sampai beberapa lamanya Sin Hong dan Ci Hwa mencari-cari, namun si kedok hitam itu sudah lenyap.
“Sayang, dia telah pergi....!” kata Sin Hong yang terpaksa menghentikan larinya.
Gadis itu mengangkat muka memandangnya dengan sinar mata penuh kagum, kemudian ia merunduk dan merasa malu sekali untuk bertemu pandang dengan pemuda itu.
“Hong-ko....“
“Ya. Kenapa, Moi-moi, engkau tidak terluka parah, bukan?”
Gadis itu menggeleng kepalanya. “Tidak, dan aku terbebas dari maut, berkat pertolonganmu, Hong-ko.”
“Aih, sudahlah, hal itu tidak perlu disebut-sebut lagi. Sayang jahanam itu dapat lolos. Dia tentu tahu banyak tentang rahasia pembunuhan-pembunuhan itu.”
“Siapakah orang berkedok yang lihai itu, Hong-ko?”
“Aku tidak tahu. Aku berhasil bertemu dengan Lay-wangwe yang gendut itu dan ketika aku mulai mengancamnya untuk mengaku, tiba-tiba dia diserang senjata rahasia dan tewas. Penyerangnya adalah orang berkedok itu maka aku mengejarnya.”
“Ahhh....!” Tentu saja Ci Hwa terkejut mendengar bahwa orang she Lay itu tewas pula oleh orang berkedok tadi. “Sungguh aku merasa malu dan menyesal sekali, Hong-ko. Aku memandang rendah padamu, mengira engkau tidak sedemikian pandainya sehingga aku ikut membantumu, ternyata bahkan menghalangimu menangkap orang berkedok itu. Kiranya engkau memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa tingginya.”
“Sudahlah, Hwa-moi, kalau tidak ada engkau yang menghadangnya, tentu aku tidak sempat bentrok dengannya dan dia sudah lebih dahulu menghilang. Mari kita pulang dan melaporkan hal ini kepada ayahmu karena aku memperoleh keterangan yang cukup penting dari Lay-wangwe. Menurut pengakuannya sebelum dia terbunuh dia hanya diperalat oleh Tiat-liong-pang.”
“Tiat-liong-pang? Perkumpulan apa itu dan di mana?”
“Aku tidak tahu, sebaiknya kalau kita tanyakan hal itu kepada ayahmu, mungkin dia lebih tahu.”
Benar saja, ketika Kwee-piauwsu mendengar bahwa si gendut Lay itu diperalat oleh Tiat-liong-pang, dia terkejut bukan main. “Tiat-liong-pang? Perkumpulan besar di bawah pimpinan Siangkoan Lohan! Sungguh aneh sekali! Perkumpulan itu terkenal amat kuat, dan Siangkoan Lohan adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi. Perkumpulannya terkenal kuat pula dan dia memiliki hubungan dekat dengan istana, bahkan kabarnya dihadiahi puteri dari istana yang menjadi isterinya karena dia banyak berjasa terhadap kerajaan. Apa artinya ini? Mengapa perkumpulan besar seperti Tiat-liong-pang ada hubungannya dengan pembunuhan-pembunuhan ayahmu dan Tang-piauwsu, bahkan kini membunuh Lay-wangwe, kaki tangannya sendiri untuk menutup mulutnya? Apa yang dikehendaki perkumpulan macam Tiat-liong-pang di sini? Sungguh aneh dan sukar dipercaya keterangan orang she Lay itu!”
“Bagaimanapun juga, keterangan itu mendatangkan jejak baru dan saya akan melakukan penyelidikan ke sana, paman Kwee. Sayang bahwa orang berkedok itu dapat lolos, karena dia pasti tahu akan semua peristiwa pembunuhan itu, bahkan mungkin sekali dialah yang melakukan pembunuhan terhadap ayah dan paman Tang.”
Kwee-piauwsu mengangguk-angguk. “Memang tidak ada jalan lain untuk melakukan penyelidikan setelah orang she Lay itu terbunuh. Akan tetapi berhati-hatilah, Sin Hong, karena Tiat-liong-pang adalah sebuah perkumpulan yang amat kuat dan berpengaruh, juga bukan perkumpulan penjahat.”
“Baik, Paman dan terima kasih atas semua nasihat dan bantuan Paman.”
Pada hari itu juga, Sin Hong meninggalkan rumah keluarga Kwee, dan setelah pemuda itu pergi, wajah Ci Hwa nampak murung dan sinar matanya suram. Ayahnya melihat hal ini dan diam-diam merasa heran, akan tetapi belum sempat dia bertanya, pada keesokan harinya pagi-pagi sekali dia mendapatkan bahwa puterinya itu telah pergi meninggalkan rumah tanpa pamit! Hanya terdapat surat di atas meja dalam kamarnya yang memberitahukan ayah ibunya bahwa ia pergi untuk membantu menyelidiki pembunuh Tan-piauwsu dan Tang-piauwsu, untuk mencuci nama ayahnya yang tadinya disangka menjadi pembunuh.
Nyonya Kwee menangis dan merasa khawatir sekali, membujuk suaminya agar mencari dan mengajak kembali Ci Hwa. Akan tetapi suaminya menghiburnya. “Ia sudah dewasa dan sudah memiliki bekal kepandaian silat yang cukup kuat untuk menjaga diri sendiri. Biarlah ia mencari pengalaman selagi masih bebas.” Demikian dia berkata kepada isterinya, akan tetapi diam-diam dia mengharapkan puterinya itu dapat bertemu dan bekerja sama dengan Sin Hong karena Kwee-piauwsu merasa suka sekali kepada Sin Hong yang mirip ibunya, wanita yang pernah dikasihinya itu, dia mengharapkan untuk menjodohkan puterinya dengan pemuda itu!.
Sementara itu, setelah meninggalkan rumah keluarga Kwee, Sin Hong tidak langsung pergi ke luar kota untuk menyelidiki Tiat-liong-pang, melainkan singgah di bekas rumah orang tuanya. Dia melihat betapa bangunan itu, baik kantor piauwkiok maupun rumah tinggalnya, telah dibikin betul, kelihatan baru dan dicat baru pula. Hampir dia tidak mengenal lagi tempat di mana dia tinggal sejak lahir sampai berusia belasan tahun.
Ciu-piauwsu menyambutnya dengan wajah gembira. “Tan Sin Hong, engkau baru datang? Bagaimana dengan hasil penyelidikanmu?” tanyanya langsung setelah pemuda itu dipersilakan.
Karena Ciu-piauwsu merupakan satu-satunya orang dari pihak ayahnya yang mengetahui akan semua urusannya itu Sin Hong lalu menceritakan dengan singkat tentang semua hasil usahanya. Betapa dia gagal menemukan Lay-wangwe di kota raja, betapa kemudian dia menyelidiki keluarga Kwee-piauwsu dan atas bantuan keluarga itu dia berhasil menemukan Lay-wangwe di Ban-goan dan kembali ada pembunuhan, yaitu terhadap diri si gendut itu, oleh seorang berkedok.
“Sayang aku tidak dapat menangkap orang berkedok itu,” Dia mengakhiri ceritanya. “Akan tetapi Lay-wangwe telah meninggalkan suatu pengakuan yang dapat merupakan jejak baru dalam penyelidikanku, paman Ciu.”
“Ah, benarkah? Apa saja yang diakuinya?” Ciu-piauwsu mendesak.
“Menurut pengakuannya sebelum dia tewas oleh senjata rahasia orang berkedok itu, dia hanya diperalat oleh Tiatliong-pang.”
“Ohhh....!” Wajah Ciu-piauwsu berubah dan matanya terbelalak, dia nampak terkejut bukan main.
“Kenapa, Paman?”
“Celaka, tentu orang gendut botak itu telah membohongimu. Mana mungkin Tiat-liong-pang mencampuri urusan ini? Tiat-liong-pang adalah sebuah perkumpulan besar dan kuat dipimpin oleh Siangkoan Lohan, seorang kakek yang gagah perkasa dan memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mana mungkin melakukan kejahatan? Tentu si gendut itu membohongimu!”
“Kurasa tidak, Paman. Betapapun juga, setidaknya kini terdapat jejak baru sehingga aku dapat melanjutkan penyelidikanku.”
“Aku lebih condong untuk menyelidiki Ban-goan Piauwkiok. Orang she Kwee itu lebih mencurigakan....“
“Tidak, Paman. Dugaan kita telah keliru. Paman Kwee Tay Seng sama sekali tidak bersalah....“
“Ah, jangan engkau sampai tertipu oleh sikap manisnya!”
“Tidak, Paman. Aku yakin bahwa dia tidak bersalah dan aku akan melakukan penyelidikan terhadap Tiat-liong-pang.”
Ciu-piauwsu mengangguk-angguk. “Terserah kepadamu, Sin Hong. Akan tetapi berhati-hatilah. Jangan sampai engkau menuduh pihak yang tidak berdosa dan Tiat-liong-pang merupakan perkumpulan yang kuat sekali, bahkan dekat dengan istana karena ketuanya masih termasuk keluarga kerajaan!”
Pada hari itu, Sin Hong meninggalkan Ban-goan setelah menerima banyak nasihat dari Ciu-piauwsu agar berhati-hati kalau menyelidiki Tiat-liong-pang. Dia melakukan perjalanan cepat menuju ke kota San-cia-kou karena perkumpulan itu terletak di lereng sebuah bukit di luar kota itu.
***
Sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan Beng-san disebut Puncak Telaga Warna karena di puncak itu terdapat sebuah telaga kecil yang amat indah. Telaga itu dikelilingi pohon-pohon dan karena airnya jernih dan tenang, maka bayangan terpantul amat jelasnya dan membuat air telaga seolah-olah berwarna-warni.
Puncak ini amatlah indahnya. Hawanya selalu sejuk, bahkan kadang-kadang teramat dinginnya. Karena hawa yang terlalu dingin inilah maka penduduk tinggal di lereng bawah atau kaki puncak. Akan tetapi, di antara pohon-pohon besar dekat telaga itu nampak sebuah bangunan terselip di antara pohon-pohon raksasa. Sebuah bangunan yang kokoh kuat dan sedang saja besarnya. Rumah itu tidak mempunyai tetangga dan nampak sunyi, namun melihat betapa pekarangannya selalu bersih, dan di belakang rumah terdapat taman bunga dan kebun sayur dan pohon-pohon buah, dapat diketahui bahwa rumah ini dihuni orang.
Memang demikianlah, dan penghuni rumah itu bukanlah orang sembarangan, karena orang biasa saja tentu tidak akan tahan tinggal terlalu lama di tempat yang sunyi dan hawanya amat dingin itu. Penghuninya adalah dua orang kakek kembar. Mereka berusia kurang lebih lima puluh delapan tahun, dan mereka amat terkenal di dunia kang-ouw dengan sebutan Beng-san Sian-eng (Sepasang Garuda dari Beng-san). Dua orang kakek ini serupa benar wajah dan bentuk tubuh mereka mirip satu sama lain sehingga sukarlah bagi orang luar untuk membuat perbedaan di antara mereka. Orang-orang kang-ouw jarang ada yang mengetahui bahwa mereka sesungguhnya adalah cucu-cucu dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Mereka adalah putera kembar dari kakek Gak Bun Beng yang kini berjuluk Bu Beng Lokai.
Biarpun orang luar sukar untuk mengenal mana yang bernama Gak Jit Kong dan mana yang Gak Goat Kong, namun tentu saja isteri mereka dengan mudah dapat membedakan mereka, isteri mereka berdua hanya seorang, yaitu bekas murid dan angk angkat mereka sendiri yang bernama Souw Hui Lian. Dua orang kembar ini telah jatuh cinta kepada murid mereka sendiri, dan Souw Hui Lian juga mencinta mereka. Maka kedua orang kakek kembar ini pun menikahlah dengan bekas murid mereka walaupun ayah mereka sebenarnya tidak setuju mendengar kedua orang putera kembarnya itu menikah dengan seorang wanita saja.
Peristiwa pernikahan itu membuat hati ayah mereka, Gak Bun Beng, menjadi kecewa dan berduka. Kakek ini sudah berduka karena ditinggal mati isterinya yang bernama Milana, puteri Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai. Dalam keadaan berduka, lalu menghadapi kekecewaan karena kedua orang puteranya yang dianggap tidak begitu berbakat dalam ilmu silat kini bahkan menikah dengan seorang wanita saja. Maka, pergilah kakek Gak Bun Beng meninggalkan Puncak Telaga Warna dan hidup merana bahkan terlunta-lunta sebagai Bu Beng Lokai, sampai kemudian dia menemukan Suma Lian, cucu keponakannya sendiri yang kemudian menjadi muridnya dan pertemuan ini memulihkan kembali gairah hidupnya.
Semenjak ditinggal pergi ayah mereka, Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong hidup di Puncak Telaga Warna, bersama isteri mereka, Souw Hui Lian dan kini mereka telah mempunyai seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Gak Ciang Hun dan kini sudah berusia kurang lebih sepuluh tahun. Tentu saja mereka berdua pun merasa berduka bahwa ayah mereka tidak merestui pernikahan mereka bahkan meninggalkan mereka. Mereka sudah berusaha mencari ayah mereka, namun tak pernah berhasil sehingga akhirnya mereka putus asa dan menanti saja di Puncak Telaga Warna dengan penuh keprihatinan kalau mereka teringat kepada ayah mereka yang sudah amat tua itu. Adanya Gak Ciang Hun, putera mereka, merupakan hiburan terbesar bagi mereka dan mengurangi rasa dosa mereka terhadap ayah mereka karena bagaimanapun juga, pernikahan mereka dengan Hui Lian telah menghasilkan seorang putera. Bukankah itu berarti bahwa Tuhan memberkahi mereka dan memberkahi pernikahan itu?
Pada suatu pagi yang amat sejuk dan indah karena matahari pagi mulai mengusir kegelapan dan memandikan puncak Telaga Warna itu dengan cahaya keemasan setelah semalam suntuk puncak itu diselimuti kabut yang menciptakan embun pagi, Gak Ciang Hun telah berada di dalam taman bunga. Anak ini memang suka sekali bangun pagi dan bermainmain seorang diri di dalam taman, sepasang matanya penuh kebahagiaan memandang burung-burung pagi berloncatan dan beterbangan dari dahan ke dahan, sambil berkicau penuh keriangan. Anak ini baru berusia sepuluh tahun dan dia hanya hidup bersama dua orang ayahnya dan seorang ibunya. Memang kadang-kadang ayahnya atau ibunya membawanya menuruni puncak pergi ke dusun-dusun, atau ke pasar dusun untuk membeli segala keperluan rumah tangga mereka dan menjual hasil kebun atau buruan mereka sehingga anak ini beberapa kali sebulan dapat bertemu dengan banyak orang di dusun-dusun. Namun karena setiap harinya hanya bermain-main sendiri saja maka tentu anak ini merasa kesepian dan mencari hiburan dengan bermain-main sendiri di tempat-tempat indah, di mana dia dapat melihat binatang-binatang dan mendengarkan suara mereka.
Pagi hari itu, selain menikmati kicau burung yang ramai menyambut datangnya pagi, dia pun melihat banyak kupu-kupu kuning. Sebetulnya untuk kupu-kupu itulah maka sepagi itu dia sudah duduk di taman. Semenjak beberapa hari ini, sampai kurang lebih sebulan, taman itu akan penuh kupu-kupu kecil kuning. Sedang musimnya. Indah sekali kupu-kupu yang puluhan ribu banyaknya itu, membuat taman itu menjadi lebih cerah, seolah-olah taman itu sedang penuh dengan bunga-bunga kuning yang sedang berkembang. Karena ingin segera menikmati keindahan pagi itu, Ciang Hun hanya sebentar saja berlatih silat di kebun belakang tadi. Di kebun belakang, tak jauh dari taman itu, oleh orang tuanya dibuatkan sebuah petak rumput yang luas dan tempat ini dipergunakan keluarga itu untuk berlatih silat. Memang setiap pagi Ciang Hun harus berlatih silat, akan tetapi pagi ini hanya sebentar saja dia berlatih dan dia segera berlari-lari memasuki taman setelah melihat kupu-kupu kuning mulai beterbangan.
Tiba-tiba ada beberapa ekor burung beterbangan dari atas pohon, meluncur turun dan menyambari kupu-kupu kuning kecil itu. Melihat ini, Ciang Hun menjadi marah. Dia meloncat dan menggunakan kedua tangannya untuk mengusir burung-burung itu sambil mengeluarkan teriakan-teriakan sehingga burung-burung itu terbang ketakutan. Akan tetapi, tak lama kemudian ada saja beberapa ekor yang menyambar turun sehingga Ciang Hun segera mengambil batu-batu kecil untuk menyambiti dan mengusir mereka, melindungi kupu-kupu kuning kecil. Setelah dia mempergunakan batu-batu kecil, barulah burung-burung itu terbang pergi, tentu saja untuk menyambari kupu-kupu yang beterbangan jauh dari taman itu.
Ciang Hun duduk kembali di atas bangku taman dan merasa lega. Kini kupu-kupu kuning itu beterbangan bebas, di antara bunga-bunga, bahkan ada yang terbang tinggi ke atas pohon tanpa diganggu burung-burung itu! Memang sejak kecil anak ini telah digembleng oleh orang tuanya sehingga dalam usia sepuluh tahun, selain menguasai dasar-dasar ilmu silat, juga di dalam batinnya telah bersemi watak yang gagah dan tidak rela melihat yang lemah dijadikan korban keganasan yang kuat. Sudah bersemi watak seorang pendekar, watak membela golongan lemah yang tertindas.
“Indah sekali kupu-kupu itu!” Tiba-tiba terdengar suara halus. Ciang Hun cepat menoleh dan dia melihat seorang wanita muda telah berdiri di situ sambil memandangi kupu-kupu kuning kecil yang beterbangan kian kemari. Anak itu merasa heran sekali dan perhatiannya kini beralih dari kupu-kupu ke arah gadis itu. Seorang gadis yang usianya kurang lebih dua puluh tahun. Sekali pandang saja tahulah Ciang Hun bahwa gadis itu tak pernah dikenalnya dan bukanlah seorang gadis dari dusun di lereng bawah. Bukan gadis dusun! Pakaiannya amat berbeda, juga sikapnya berbeda. Gadis ini mengenakan pakaian yang aneh sekali. Pakaian yang penuh tambal-tambalan! Seperti pakaian pengemis saja. Akan tetapi, kalau pakaian pengemis tambal-tambalan dan kotor sekali, sebaliknya pakaian yang menutupi tubuh gadis ini, tambal-tambalan akan tetapi amat bersih! Juga potongannya tidak seperti pakaian gadis dusun yang kebesaran, melainkan ringkas, dan ketat membungkus tubuh gadis itu sehingga nampak pinggangnya yang ramping kecil, seperti pinggang lebah. Sepatunya yang kecil terbuat dari kulit hitam dan nampak kuat. Rambutnya juga berbeda lipatannya dengan rambut para gadis dusun. Rambut itu hitam lebat dan panjang, kini digelung ke atas secara aneh, ditusuk dengan tusuk konde panjang sederhana, seperti sebatang sumpit merah. Sepasang mata gadis itu seperti mencorong, dan mulutnya tersenyum-senyum ketika ia membalas pandangan Ciang Hun.
“Adik yang baik, engkau benar sekali. Burung-burung itu memang jahat dan perlu diusir! Mereka itu menyambari dan membunuh kupu-kupu yang tidak berdosa!” kata pula gadis itu dan pandang matanya nampak ramah sekali.
Ciang Hun mengerutkan alisnya, lalu menjawab, “Aku mengusir burung-burung itu bukan karena menganggap mereka jahat, melainkan karena tidak tega melihat kupu-kupu itu dimakan. Burung-burung itu pun tidak jahat!”
Gadis itu melebarkan matanya, nampak heran mendengar jawaban itu. “Akan tetapi, bukankah mereka itu memakani kupu-kupu yang tidak berdosa?”
“Kita pun suka makan ayam, babi, kelinci dan binatang lain yang tidak berdosa, apakah kita pun jadi jahat?” Anak itu membantah. “Agaknya kupu-kupu itu memang menjadi makanan burung, jadi burung-burung itu pun tidak bersalah. Tidakkah begitu?”
Kini gadis itu yang nampak heran dan bingung, lalu mengangguk-angguk.
“Wah, agaknya benar juga engkau.” Lalu ia tertawa cerah, suara ketawanya nyaring dan merdu sekali. “Adik kecil, engkau sungguh cerdik sekali. Jawabanmu itu membikin aku takluk dan mengaku kalah! Siapa sih engkau ini? Siapa namamu?”
“Namaku Ciang Hun.”
“Apakah ada hubunganmu dengan Beng-san Siang-eng?”
“Mereka itu adalah ayahku! Aku bernama Gak Ciang Hun.”
Gadis itu kelihatan girang bukan main. “Aih, pantas engkau cerdik dan pintar sekali! Kiranya adik ini putera Beng-san Siang-eng? Engkau harus menyebut enci (kakak perempuan) padaku!”
Biarpun Ciang Hun jarang bergaul dengan orang asing, namun dia bukan seorang anak pemalu. Ia lalu menghampiri dan agaknya senang melihat gadis yang berwajah manis, kalau tersenyum muncul lesung pipit di kedua pipinya dan pandang matanya ramah sekali.
“Enci, engkau siapakah?”
“Namaku Suma Lian dan engkau boleh memanggil aku enci Lian.”
Anak itu terbelalak memandang kepada Suma Lian, pandang matanya penuh kekagetan, keheranan dan kekaguman. “Suma....? Enci, shemu sama dengan she dari kakek buyut. Kata ayah, kakek buyutku bernama Suma Han adalah seorang pendekar sakti, penghuni Istana Pulau Es yang tidak ada lawannya di dunia ini!”
Suma Lian tersenyum dan membelai kepala anak itu. “Tidak salah keterangan ayahmu, adik Ciang Hun. Kakek buyutmu bernama Suma Han itu juga kakek buyutku, karena itu kita adalah enci dan adik sendiri.”
Gadis bernama Suma Lian itu adalah puteri dari pendekar Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng yang tinggal di dusun Hong-cun, dekat kota Cin-an. Biarpun ayah ibunya merupakan pendekar-pendekar yang sakti, namun gadis ini sejak berusia dua belas tahun, telah menjadi murid Bu Beng Lokai, paman kakeknya sendiri (baca cerita SULING NAGA).
Pada saat itu berkelebat tiga bayangan orang. Gerakan mereka cepat sekali namun Suma Lian dapat melihat mereka. Seorang di antaranya menyambar ke arah Ciang Hun dan dua orang yang lain menerjang dan menyerang Suma Lian! Gadis itu terkejut, tidak menyangka bahwa dirinya akan diserang secara tiba-tiba oleh dua orang itu, maka cepat ia pun mempergunakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh), meloncat menjauhi dua orang penyerangnya. Ketika ia turun dan menengok, ternyata Ciang Hun telah dirangkul dan dilindungi seorang wanita cantik, sedangkan dua orang penyerangnya tadi adalah dua orang laki-laki berusia hampir enam puluh tahun yang kembar dan keduanya nampak gagah perkasa! Kini kedua orang kakek kembar itu, yang juga terkejut dan penasaran melihat betapa serangan mereka tadi dengan amat mudahnya dihindarkan lawan yang ternyata hanyalah seorang gadis muda, sudah siap untuk menyerang lagi.
“Tahan dulu, kedua paman Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong! Aku bukan orang lain dan tidak berniat buruk!” seru Suma Lian melihat mereka sudah hendak menyerangnya lagi itu karena sekali lihat pun ia dapat menduga bahwa ia tentu berhadapan dengan dua orang putera kembar gurunya, dan tentu wanita itu ibu dari Ciang Hun.
“Ia adalah enci Suma Lian, cucu buyut dari kakek buyut Suma Han!” teriak Ciang Hun kepada ayah ibunya. Mendengar ini, tentu saja sepasang kakek kembar itu terkejut dan juga merasa heran, saling pandang lalu mereka menghadapi dengan pandang mata penuh selidik.
“Nanti dulu!” kata Souw Hui Lian yang tadi bergerak cepat lebih dahulu menyelamatkan dan melindungi puteranya. “Ia harus dapat membuktikannya!” Ia lalu melepaskan Ciang Hun dan sekali meloncat ia sudah berhadapan dengan Suma Lian yang merasa kagum melihat kecepatan gerakan wanita itu. Ia sudah mendengar bahwa wanita itu dahulu adalah murid dari kedua kakek kembar dan ternyata ilmu kepandaiannya sudah lumayan.
“Bibi, apakah engkau tidak percaya kepadaku!” tanyanya sambil tersenyum. “Apakah wajah dan potonganku ini mirip penjahat dan tidak pantas menjadi keturunan keluarga para Pendekar Pulau Es?” Suma Lian memang memiliki watak yang jenaka, berani, lucu dan kadang-kadang ugal-ugalan, mewarisi watak ayahnya ketika muda. Ia lalu bergaya memutar-mutar tubuh di depan kakek kembar dan isteri mereka itu.
Hui Lian mengerutkan alisnya. Seorang gadis muda yang pakaiannya aneh, tambal-tambalan, dengan sikap yang demikian ugal-ugalan, bagaimana ia dapat percaya begitu saja?
“Kalau engkau benar she Suma dan keturunan para Pendekar Pulau Es, apa buktinya?” bentak Hui Lian.
Suma Lian tersenyum manis dan menjura dengan hormat dan lucu kepada Hui Lian. “Bibi yang baik, namaku benar Suma Lian, ayahku Suma Ceng Liong dan ibuku Kam Bi Eng. Dan bukan itu saja, aku pun menjadi murid dari paman kakek Bu Beng Lokai, ayah mertuamu sendiri.”
“Hemmm, gadis muda, jangan engkau bicara sembarangan. Ayah mertuaku tidak bernama Bu Beng Lokai!” kata pula Hui Lian, semakin curiga walaupun nanama ayah ibu gadis itu sempat mengejutkannya.
“Aih, maafkan aku, Bibi. Mungkin kalian tidak mengenal nama Bu Beng Lokai, akan tetapi sebelum mempergunakan nama itu, paman kakekku yang kini menjadi guruku itu bernama Gak Bun Beng....“
“Kong-kong....!” Seru Ciang Hun gembira mendengar nama kakeknya disebut. Walaupun dia belum pernah melihat kakeknya, namun seringkali kedua ayahnya bercerita tentang kakeknya dan dia amat merindukannya.
“Nanti dulu!” kata pula Hui Lian. “Kalau benar engkau murid ayah mertuaku, engkau tentu dapat melayani seranganku ini!” Dan tiba-tiba saja ia lalu menyerang Suma Lian dengan jurus ampuh dari Ilmu Silat Lo-thian Sin-kun (Silat Sakti Pengacau Langit). Suma Lian tentu saja mengenal baik ilmu silat ini dan sambil mengelak dan bergerak dengan ilmu yang sama, ia pun membalas serangan lawan dengan jurus lain dari Lo-thian Sin-kun. Hui Lian masih belum merasa puas. Setelah menangkis, ia pun menyerang lagi dan dua orang wanita itu pun saling serang dengan ilmu yang sama sehingga mereka itu seperti dua orang yang berlatih silat saja. Setelah lewat belasan jurus dan ternyata gerakan Suma Lian dalam ilmu silat itu amat bagusnya, barulah Hui Lian merasa puas dan ia pun meloncat ke belakang.
Suma Lian memandang sambil tersenyum manis. “Lo-thian Sin-kun yang Bibi mainkan sungguh bagus! Apakah Bibi hendak menguji lagi!”
“Cukup engkau memang benar Suma Lian dan maafkan kecurigaan kami karena dalam beberapa hari ini kami terancam bahaya dari seorang musuh yang pandai,” kata Hui Lian.
“Ehhhhh?” Suma Lian terkejut mendengar ini dan baru sekarang ia melihat betapa wajah dua orang pamannya dan juga bibinya nampak muram dan mata mereka merah seperti orang yang kurang tidur. “Akan tetapi kalau benar demikian, mengapa tadi aku melihat adik Hun bermain sendirian di luar?”
“Aih, anak itu belum mengenal bahaya. Mari kita masuk dan bicara di dalam,” kata pula Souw Hui Lian sambil menggandeng tangan Suma Lian, kini sikapnya manis sekali.
Suma Lian tersenyum memandang kepada kedua orang pamannya. “Maaf, Paman, aku datang membikin ribut saja. Akan tetapi sikap Bibi memang amat mengagumkan, ia cerdik dan pintar!” Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong hanya tersenyum mendengar pujian itu dan mereka pun lalu masuk ke dalam rumah yang cukup luas itu. Seorang pelayan wanita setengah tua segera muncul ketika dipanggil Hui Lian dan diperintahkan untuk menyediakan minuman untuk tamu yang disebutnya Suma-siocia (nona Suma) ketika diperkenalkan kepada pelayannya.
“Aih, Bibi ini!” Suma Lian berseru memotong ucapan itu. “Kenapa harus menyebutku nona segala? Ciang Hun sudah menyebutku enci kepadaku dan sebagai bibiku, tidak sepatutnya Bibi menyebut nona. Namaku Suma Lian tanpa nona.”
Hui Lian tersenyum dan kini ia tahu bahwa Suma Lian bukan seorang gadis kasar dan kurang ajar melainkan seorang gadis yang jujur, terbuka, lincah dan tidak suka berpura-pura. “Baiklah, Suma Lian. Sekarang kami ingin sekali tahu, apakah maksud kunjunganmu ini? Kami yakin bahwa tentu kunjunganmu ini mempunyai maksud yang penting sekali.”
Suma Lian berpikir sejenak. Ia memang datang membawa keperluan penting,akan tetapi berita yang dibawanya itu bukan berita menyenangkan, melainkan berita tentang gurunya yang sakit tua dan menghendaki kedatangan kedua orang putera kembarnya itu. Sebaiknya kalau ia mengetahui lebih dahulu bahaya apa yang katanya mengancam keluarga paman dan bibinya ini.
“Nanti dulu, Bibi. Sebelum aku menceritakan keperluan kedatanganku, lebih baik kalau Bibi menceritakan kepadaku tentang bahaya apa yang mengancam kalian. Aku bersedia untuk membantu kalian. Ceritakanlah mengapa kalian tadi begitu curiga kepadaku sehingga tiba-tiba saja menyerangku.”
Gak Jit Kong kini yang menjawab. “Maafkan kami, Lian-ji (anak Lian). Kami memang sedang panik sehingga tanpa bertanya lagi menyerangmu, karena kami mengira bahwa engkau merupakan komplotan orang jahat yang mengancam hendak menculik anak kami.”
“Komplotan jahat menculik adik Ciang Hun.”
“Benar, Suma Lian,” sambung Gak Goat Kong. “Terjadinya sudah kurang lebih sepekan yang lalu. Mula-mula kami mendengar bahwa di sebuah dusun di kaki gunung terjadi kekacauan ketika ada seorang nenek yang suka menculik anak kecil. Ketika mendengar itu, kami lalu turun tangan dan berhasil mengalahkan nenek itu dan mengusirnya dari dusun yang dikacaunya. Akan tetapi, iblis itu ternyata tidak mau menerimanya begitu saja. Agaknya ia memanggil kawan yang lebih lihai lagi dan sepekan yang lalu mereka datang mengganggu kami.”
“Apa yang mereka lakukan?” Suma Lian bertanya, penasaran.
Kini Souw Hui Lian yang melanjutkan. “Sepekan yang lalu, pada malam hari, aku mendengar suara gerakan orang di belakang rumah. Ketika aku keluar melalui pintu belakang, ia sudah berada di sana, nenek iblis yang pernah mengacau dusun itu, akan tetapi kini ada seorang temannya, seorang kakek botak. Mereka lihai bukan main.”
“Kami keluar mendengar ribut-ribut di belakang,” sambung Gak Jit Kong, “dan kami bertiga melawan kakek botak itu. Namun dia sungguh lihai dan kami bertiga terdesak. Tiba-tiba mereka meloncat pergi dan, kakek itu sambil tertawa mengatakan bahwa sepekan kemudian dia akan datang lagi dan mengancam kami agar menyerahkan putera kami dengan baik-baik, kalau tidak seisi rumah akan dibunuhnya!”
Suma Lian mengerutkan alisnya. “Hemmm, sombong sekali iblis itu.”
“Karena itu, setiap malam kami tidak dapat tidur dan berjaga-jaga, dan beristirahat pada siang harinya. Tadi kami masih tidur karena semalam berjaga, dan Ciang Hun yang sudah kami larang untuk keluar sendirian nekat keluar ke taman,” kata Hui Lian.
“Aku ingin nonton kupu-kupu kuning, Ibu!” bantah Ciang Hun. “Dan pula, kata Ibu iblis itu hanya muncul di waktu malam, bukan?”
“Memang benar,” kata pula Hui Lian kepada Suma Lian. “Iblis itu mengancam akan datang pada malam hari, karena itulah kami berani tidur di waktu siang.”
“Hemmm, dan kapankah malam yang dijanjikannya itu?” tanya Suma Lian.
“Malam ini tepat sepekan.”
“Harap kedua Paman dan Bibi tidak khawatir. Kalau malam nanti dia berani muncul, biarlah aku yang akan menghadapinya,” kata Suma Lian. Biarpun suami itu merasa agak tabah dengan munculnya Suma Lian yang dapat mereka harapkan untuk membantu mereka, namun tentu saja mereka tidak yakin akan kemampuan Suma Lian. Bagaimanapun juga, Suma Lian baru beberapa tahun ini menjadi murid ayah mereka, tentu tingkat kepandaiannya tidak akan lebih tinggi daripada tingkat kedua orang kembar itu. Kalau mereka maju bertiga saja tidak mampu menandingi kakek botak itu, apalagi gadis muda ini? Betapapun juga, mereka mendapatkan tenaga bantuan dan hal ini saja sudah mendatangkan hiburan bagi mereka.
Suma Lian kelihatan tenang-tenang saja hari itu, bahkan bermain-main dengan Ciang Hun, membiarkan tiga orang itu beristirahat karena selama beberapa hari mereka itu kurang tidur selalu.Ketika malam tiba, Beng-san Siang-eng dan isterinya sudah nampak segar dan siap siaga untuk menghadapi ancaman musuh, Souw Hui Lian tak pernah mau melepaskan puteranya.
Menjelang tengah malam, mereka yang berkumpul di ruangan dalam itu mendengar suara ketawa di luar rumah, “Ha-ha-ha, Beng-san Siang-eng, agaknya kalian sudah siap menghadapi kunjungan kami. Apakah anakmu, itu sudah kau persiapkan untuk diberikan kepada kami? Keluarlah, kami tidak ingin bersikap tidak sopan menyerbu ke dalam!”
Mendengar suara ini, Beng-san Siang-eng dan isterinya nampak terkejut dan jelas kelihatan betapa mereka gentar. Hal ini membuat Suma Lian merasa penasaran dan marahsekali. Ia lalu meloncat berdiri dan dengan sikap tenang ia melangkah keluar, diikuti oleh dua orang pamannya, sedangkan Hui Lian tinggal di dalam melindungi puteranya, seperti yang sudah mereka rancangkan. Sebaiknya kalau Ciang Hun disembunyikan di dalam, dilindungi ibunya, agar dia tidak terancam bahaya langsung seperti kalau diajak keluar. Dengan langkah tegap dan sikap tenang sekali Suma Lian melangkah terus menuju ke serambi luar di mana memang sengaja dipasangi empat buah lampu gantung yang cukup terang. Dua orang kembar itu sendiri merasa kagum akan ketabahan hati keponakan mereka walaupun mereka masih merasa khawatir apakah kehadiran gadis itu akan cukup membuat mereka mampu mengusir dan mengalahkan lawan yang amat tangguh. Kalau tingkat kepandaian Suma Lian hanya sedikit lebih tinggi dari tingkat Hui Lian, tak mungkin mereka akan menang. Bahkan andaikata tingkat ilmu kepandaian gadis itu sama dengan tingkat mereka pun, masih amat disangsikan apakah mereka akan mampu mengalahkan kakek botak itu, apalagi kalau si nenek buruk itu membantunya.
Ketika mereka membuka pintu depan dan tiba di luar, ternyata benar seperti yang dikhawatirkan Beng-san Sian-eng, kakek botak pendek dan nenek bongkok buruk itu sudah berada di situ, berdiri dengan sikap memandang rendah. Nenek bongkok bermuka buruk itu memegang tongkatnya yang butut dan kakek yang bertubuh pendek berkepala botak dengan muka seperti seekor ikan itu menyeringai lebar. Dia tidak nampak memegang senjata, akan tetapi melihat pakaiannya seperti seorang tosu dengan gambar patkwa (segi delapan) di dadanya, tahulah Suma Lian bahwa ia berhadapan dengan seorang pendeta dari perkumpulan sesat Pat-kwa-pai. Ketika melihat Bong-san Siang-eng muncul bersama seorang gadis yang muda dan cantik manis, sepasang mata kakek pendek itu bersinar-sinar dan mulutnya menyeringai semakin lebar.
“Bagus, bagus....!” Beng-san Sian-eng, dari mana kalian mendapatkan seekor domba betina yang begini muda, montok dan mulus, ha-ha-ha! Apakah ia hendak kautukarkan dengan anak kalian? Gadis muda ini untuk aku, wah, aku suka sekali!”
“Hok Yang Cu, jangan gila kau! Aku tidak butuh gadis ini dan tidak sudi kalau ditukar dengan bocah laki-laki putera mereka!” tiba-tiba nenek itu membentak, nadanya marah.
Kakek botak itu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, Beng-san Sian-eng, kalian sudah mendengar sendiri, bukan? Puteramu itu tetap harus kalian berikan kepada kami, dan gadis ini untuk aku, sebagai pengganti kepala kalian! Nah, berikan gadis ini kepadaku dan keluarkan pula bocah laki-laki itu agar jangan membikin Kui-bo (Nenek Iblis) marah-marah!”
Mendengar kata-kata mereka yang amat memandang rendah, apalagi juga amat menghinanya, Suma Lian menjadi merah mukanya dan sepasang matanya yang indah itu mengeluarkan sinar mencorong. Ia melangkah maju menghadapi dua orang kakek dan nenek itu sambil menudingkan telunjuknya.
“Dua orang tua bangka tak tahu diri dan tak mengenal malu! Kalian muncul sebagai iblis-iblis yang curang, tidak memperkenalkan nama. Siapakah kalian dan mengapa kalian mengganggu kedua orang pamanku ini?”
Kakek yang sudah menjadi merah matanya melihat Suma Lian yang cantik manis, kini tertawa bergelak sambil mengelus kepala yang botak dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya menggoyang-goyangkan tangan kanan dengan sikap sombong. Ha-ha-ha, anak manis, ketahuilah bahwa pinto (aku) disebut Hok Yang Cu, dan seperti dapat kaulihat pada gambar di dadaku, aku adalah seorang tokoh Pat-kwa-pai yang terkenal! Adapun nenek buruk ini adalah Hek-sim Kui-bo (Nenek Iblis Berhati Hitam), seorang sahabatku. Ia minta bantuanku untuk mengambil putera Beng-san Sian-seng. Akan tetapi engkau muncul, anak manis, heh-heh-heh, setelah melihatmu, mana aku dapat melepaskanmu lagi?”
Tuabangka iblis! Kedua orang pamanku tidak pernah merasa bermusuhan dengan kalian, mengapa kalian datang mengganggu mereka? Mengakulah apa sebabnya kalian mengganggu, ataukah kalian hanya dua orang tuabangka pengecut yang tidak berani mengaku?” Suma Lian sengaja memanaskan hati mereka untuk mengetahui mengapa mereka itu memusuhi kedua orang pamannya.
“Bocah sombong!” bentak nenek itu yang jelas memperlihatkan sikap membenci wanita muda. “Beng-san Siang-eng adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Kenyataan ini saja sudah cukup bagi kami untuk memusuhi mereka!”
Kini mengertilah Suma Lian, juga Beng-san Siang-eng mengapa nenek dan kakek itu memusuhi mereka. Kiranya mereka itu, golongan sesat, selalu tak pernah melupakan keluarga Pendekar Pulau Es dan selalu memusuhi keluarga itu setiap kali ada kesempatan. Hal ini membuat Suma Lian menjadi semakin marah. Akan tetapi gadis yang pemberani ini tidak memperlihatkau kemarahannya, sebaliknya ia marah tertawa. Suara ketawanya nyaring dan bebas, tidak ditahan-tahan atau ditutupi mulutnya sehingga nampak rongga mulutnya yang kemerahan dan kilatan giginya yang putih.
“Heh-he-hi-hi-hik! Hek-sim Kui-bu dan Hok Yang Cu, dua orang kakek dan nenek tuabangka yang mau mampus, orang-orang macam kalian ini berani memusuhi keluarga para Pendekar Pulau Es? Dengar baik-baik, aku bernama Suma Lian? She Suma, ingat! Aku adalah cucu buyut dalam dari kakek buyut Suma Han. Hayo cepat kalian berlutut minta ampun, kemudian minggat dari sini jangan memperlihatkan ekor kalian lagi sebelum aku mewakili keluarga para Pendekar Pulau Es untuk menghajarmu!”
Mendengar ucapan yang amat merendahkan itu, si nenek sudah menjadi marah dan mencak-mencak, akan tetapi kakek itu malah menjadi girang sekali dan dia tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, sungguh baik sekali nasibku! Jadi engkau she Suma, keturunan langsung Pendekar Pulau Es? Ha-ha-ha-ha, sudah lama sekali aku ingin mendapatkan seorang wanita she Suma, dan baru sekarang agaknya akan berhasil, ha-ha-ha!” Dan tiba-tiba saja dia sudah menubruk ke arah Suma Lian, tangan kirinya mencengkeram ke arah muka gadis itu, akan tetapi dengan kecepatan kilat tangan kanannya menyusul dengan cengkeraman ke arah dada kiri Suma Lian. Serangan ini tidak sopan, akan tetapi juga amat berbahaya karena gerakannya cepat sekali dan dari kedua telapak tangan yang mencengkeram itu menyambar hawa pukulan yang cukup dahsyat!
Melihat betapa kakek yang lihai itu menyerang Suma Lian, Beng-san Siang-eng tentu saja menjadi khawatir sekali, akan tetapi mereka belum merasa perlu turun tangan karena di situ juga masih ada nenek yang mereka tahu amat lihai pula itu.
Suma Lian adalah murid terakhir dari Bu Beng Lokai di samping Pouw Li Sian yang menjadi sumoinya. Selama delapan tahun, Suma Lian dan Pouw Li Sian menerima gemblengan yang amat tekun dari Bu Beng Lokai, dan kini boleh dibilang semua inti ilmu kepandaian kakek itu telah diwariskan, tentu saja dipilih yang ampuh-ampuh saja. Sebelum menjadi murid Bu Beng Lokai, sebagai puteri ayah ibu pendekar sakti, tentu saja sejak kecil Suma Lian telah menerima gemblengan orang tuanya, maka tentu saja ia kini telah memiliki ilmu silat yang hebat. Menghadapi serangan kakek pendek botak, ia tidak menjadi gentar atau gugup, hanya gemas karena kakek itu ternyata seorang yang benar-benar tidak sopan, begitu menyerang hendak mencengkeram buah dadanya! Dengan gerakan amat lincah ia pun melangkah mundur mengelak sehingga kedua tangan kakek itu yang tadi mencengkeram dada dan kepala, tidak dapat menjangkaunya dan sebagai sambutan, kakinya melayang tinggi dari samping mengarah muka lawan!
Kaget juga kakek pendek itu ketika tiba-tiba gadis itu selain dapat menghindarkan cengkeramannya, juga membalas dengan tendangan yang demikian kuat dan cepatnya. Namun, dia tidak mengelak, melainkan memutar lengan kanannya ke kanan untuk menangkap kaki kiri gadis itu yang menyambar ke arah mukanya dari samping. Suma Lian cepat menarik kembali kakinya, maklum bahwa lawannya amat lihai sehingga dari keadaan terserang dapat mengubah kedudukan penyerang! Dan kakek itu pun tertawa bergelak melihat gadis itu menarik kembali kakinya.
“Ha-ha-ha, kakimu kecil dan indah, harum pula!” Dia memuji dengan nada mengejek. Tentu saja Suma Lian menjadi marah, akan tetapi gadis ini memang pandai sekali menyembunyikan perasaannya, bahkan ia pun tersenyum mengejek.
“Hemmm, tuabangka buruk dan busuk. Mukamu demikian jelek dan kotor sehingga untuk menjadi penjilat kaki pun belum cukup berharga!” Begitu melihat kakek itu terbelalak dan menjadi merah mukanya karena marah mendengar penghinaan itu, Suma Lian sudah menerjang dengan pukulan tangan kiri ke arah ubun-ubun kepala kakek pendek itu sedangkan tangan kanannya menampar ke arah dada. Gerakannya cepat dan kuat. Pukulan ke arah ubun-ubun itu dilakukan dengan kelima jari dibentuk paruh meruncing, seperti paruh seekor burung garuda mematuk ubun-ubun yang botak itu. Jangan dipandang ringan tangan yang berjari mungil ini karena saat itu dipenuhi tenaga Swat-im Sin-kang, yang membuat hawa yang menyambar dari tangan itu terasa dingin sekali dan kalau sampai ubun-ubun kepala itu terkena hantaman ini, tentu akan berlubang atau setidaknya tentu isinya akan terguncang hebat dan orangnya tewas. Juga tamparan ke arah dada itu bukan main-main, mengandung tenaga dahsyat sehingga sekiranya mengenai sasaran, tulang-tulang iga akan patah-patah dan jantung di dalam dada dapat copot karena guncangannya!
“Hyaaahhhhh....” Kakek itu kini terkejut dan sambil mengeluarkan seruan ini, dia melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik. Akan tetapi, gerakan Suma Lian luar biasa cepatnya, disusulnya tubuh yang berjungkir balik itu dan kini tangan kanannya menghantam pula dari atas.
Kakek itu yang baru saja berjungkir balik, tidak sempat pula untuk mengelak dan terpaksa dia pun mengangkat lengan kiri menangkis.
“Dukkk....!” Dua lengan bertemu dan akibatnya, tubuh kakek itu bergulingan sambil menggigil kedinginan!
“Swat-im Sin-jiu....!” serunya kaget.
“Hemmm, baru engkau mengenal kesaktian keluarga Pulau Es, ya? Nah, terimalah ini!” bentak Suma Lian dan dengan cepatnya ia pun menerjang terus, sekali ini tubuhnya merendah sampai hampir menelungkup dan tiba-tiba saja tubuh itu mencelat ke atas, kedua tangan mendorong dan sekali ini ia mempergunakan tenaga sakti yang diwarisi dari gurunya, yaitu Tenaga Inti Bumi! Serangan yang dilakukan dengan lebih dahulu menjatuhkan diri ke atas tanah ini sama sekali tidak terduga oleh lawan sehingga kakek itu terkejut dan tidak sempat mengelak. Dia harus menangkis lagi dan kini, maklum akan kelihaian gadis itu, dia menangkis dengan kedua tangan didorongkan sambil mengerahkan seluruh tenaga sinkangnya.
“Desss....!” Hebat sekali pertemuan tenaga itu dan akibatnya, tubuh yang pendek itu terjengkang dan kembali bergulingan. Namun, Hok Yang Cu sudah meloncat bangun dengan cepat, mukanya agak pucat dan di tepi mulutnya nampak darah. Ternyata pertemuan tenaga sinkang melalui dua telapak tangan tadi telah mengguncangkan tubuhnya dan membuat dia terluka di sebelah dalam tubuh sehingga muntahkan darah segar. Kemarahan dan penasaran membuat kakek itu lupa diri dan dia sudah meloloskan sabuknya, sabuk kulit yang ujungnya dipasangi pisau beracun.
Dua orang kakek Gak tadinya merasa kaget, kagum dan gembira bukan main melihat betapa keponakan mereka itu mampu menandingi, bahkan membuat kakek pendek botak itu dua kali roboh bergulingan! Akan tetapi kini mereka merasa khawatir lagi melihat betapa Hok Yang Cu, melolos senjata sabuk yang mengerikan itu karena mereka dapat melihat betapa kedua batang pisau yang ujungnya menghitam itu tentulah mengandung racun. Juga mereka melihat betapa nenek Hek-sim Kui-bo kini juga memutar tongkatnya, maka mereka pun cepat saling memberi tanda dan keduanya sudah mencabut pedang dan meloncat ke depan, menghadang nenek buruk itu.
“Lian-ji, apakah engkau memerlukan pedang?” teriak Gak Jit Kong kepada keponakannya. Akan tetapi Suma Lian tersenyum dan menggeleng kepalanya.
“Paman, menghadapi tua bangka yang sudah mau mampus ini perlu apa menggunakan pedang? Sebaiknya kedua Paman mundur dan nonton saja, biarlah aku akan menghajar anjing tua betina dan jantan ini sampai mereka lari terbirit-birit menyembunyikan ekor di selangkangnya!”
“Bocah sombong lihat senjataku!” bentak Hok Yang Cu yang kembali menyerang penuh semangat walaupun tadinya dia sudah merasa gentar. Kini dia marah sekali dan masih belum mau melihat kenyataan, belum mau percaya bahwa dia kalah oleh gadis muda! Juga nenek Hek-sim Kui-bo menerjang ke depan dengan tongkat hitamnya, akan tetapi dua orang kakek kembar sudah menyambutnya dengan pedang mereka. Terjadilah perkelahian mati-matian antara nenek buruk itu melawan dua orang kakek kembar yang memainkan pedang mereka dengan cepat dan saling membantu.
Serangan sabuk berujung pisau beracun itu amat berbahaya, namun dengan tenang Suma Lian menggerakkan kakinya dan ia sudah mempergunakan langkah-langkah ajaib dari Ilmu Sam-po Cin-keng yang luar biasa. Jangankan baru diserang oleh seorang yang bersenjata sabuk berpisau, bahkan dengan ilmu langkah ajaib ini, yang sudah dikuasainya dengan baik, Suma Lian akan berani memasuki barisan senjata dengan tangan kosong, mempergunakan kelincahannya dan keampuhan ilmu langkah-langkah ajaib itu! Dengan mudah ia menghindarkan diri dari serangan bertubi-tubi yang dilakukan oleh kakek pendek botak, bahkan dapat membalas dengan tamparan atau tendangan yang membuat kakek itu kadang-kadang terdesak hebat.
Pengeroyokan kedua orang kakek kembar Gak terhadap nenek itu membuat Hek-sim Kui-bo repot juga. Biarpun tingkat kepandaiannya lebih tinggi tingkatnya dibandingkan masing-masing pendekar Gak itu, namun ketika mereka maju berbareng sebagai Beng-san Sian-eng, nenek itu kewalahan. Dua orang kakek kembar ini selain memiliki dasar ilmu silat yang tinggi dan ampuh, juga kalau maju berdua seperti satu orang berbadan dua saja. Mereka dapat bergerak otomatis saling bantu sehingga seperti seorang lawan yang berkepala dua dan bertangan kaki empat! Harus diakui bahwa biarpun mereka lebih dahulu mempelajari ilmu silat dibandingkan Suma Lian, namun pada waktu itu, tingkat kepandaian Suma Lian jauh melampaui kedua orang pamannya. Hal ini adalah karena memang bakat gadis itu jauh lebih besar, juga karena kedua orang saudara kembar ini belum menguasai inti dari ilmu-ilmu silat tinggi ayah mereka. Walaupun demikian, karena maju berdua, cukup merupakan lawan yang amat lihai dan kuat. Dengan Ilmu Pedang Pengacau Langit (Lo-thian Kiam-sut) mereka berdua dapat membendung gelombang serangan tongkat Hek-sim Kui-bo, bahkan kini dengan pedang mereka, Beng-san Siang-eng mulai mendesak nenek yang menjadi repot dan harus main mundur, gelisah sekali melihat betapa teman yang diandalkannya, si pendeta pendek itu, juga terdesak hebat oleh gadis yang amat lihai itu!
Perkelahian antara Suma Lian dan Hok Yang Cu memang berat sebelah. Tingkat kepandaian gadis itu memang jauh lebih tinggi dan wataknya yang nakal dan jenaka membuat Suma Lian sengaja mempermainkan lawan. Kalau ia menghendaki, tentu saja sejak tadi ia sudah mampu merobohkan lawan, bahkan kalau perlu membunuhnya, akan tetapi dasar gadis yang memiliki watak aneh dan kadang-kadang suka ugal-ugalan, maka ia pun lebih senang mempermainkannya!
Tiba-tiba terdengar suara kanak-kanak berseru, “Enci Lian, hajar setan pendek itu, Enci!”
Suma Lian menengok dan ternyata Souw Hui Lian menggandeng tangan Gak Ciang Hun telah muncul di ambang pintu depan. Wanita itu tentu saja merasa khawatir mendengar suara perkelahian di luar dan sampai lama tidak ada tanda kemenangan di pihak suaminya, maka sambil menuntun tangan puteranya ia pun keluar untuk menonton. Ketika ia melihat betapa suaminya mengeroyok nenek buruk itu, sedangkan keponakan wanita itu dengan tangkasnya dapat menandingi kakek bersabuk itu dengan tangan kosong saja, hati Hui Lian menjadi kagum dan girang bukan main. Jelas bahwa di situ tidak ada musuh lain kecuali dua orang itu. Maka ia pun cepat mencabut pedangnya dan meninggalkan puteranya di ambang pintu dan ia sendiri cepat meloncat dan membantu suami-suaminya untuk mengeroyok Hek-sim Kui-bo! Dan melihat betapa Suma Lian menandingi kakek pendek sambil berloncat cepat dan aneh dan gadis itu tersenyum-senyum mengejek, Ciang Hun menjadi gembira dan berseru kepada gadis itu untuk menghajar lawannya.
Ketika Suma Lian menengok, kesempatan ini dipergunakan oleh Hok Yang Cu untuk menyerangnya dengan hebat. Sabuknya bergerak dan sebatang pisau beracun meluncur ke arah tenggorokan gadis itu. Cepat bukan main serangan ini dan tahu-tahu pisau itu telah terbang menyambar ke arah tenggorokan Suma Lian yang berkulit halus mulus dan putih bersih! Namun, Suma Lian tahu akan hal ini. Ia teringat akan seruan Ciang Hun, maka kini tangannya menangkis, dan jari-jari tangannya yang kecil mungil itu menyentik ke arah pisau.
“Tringggg....!” Pisau itu terpental, membalik dan terdengar kakek ini berteriak kesakitan ketika pisau yang membalik itu tahu-tahu telah melukai pundaknya! Sebuah tendangan membuat tubuhnya yang tersentak kaget ini terlempar dan jatuh terbanting lalu bergulingan.
“Kui-bo lari....!” teriaknya dan tanpa menanti jawaban temannya lagi, dia pun terus menggelinding ke pekarangan depan dan meloncat bangun lalu melarikan diri menghilang ke dalam kegelapan malam.
Sementara itu, Hek-sim Kui-bo yang memang sudah terdesak oleh kedua orang kakek kembar itu, menjadi semakin repot ketika Hui Lian maju membantu kedua orang suaminya. Tingkat kepandaian Hui Lian tidak banyak selisihnya dengan tingkat suaminya. Apalagi ketika ia melihat betapa temannya semakin terdesak. Pada saat Hok Yang Cu terkena pisau beracunnya sendiri, hanya beberapa detik kemudian, pedang Gak Jit Kong juga sudah melukai pangkal lengan kanannya, dan tendangan Hui Lian juga mengenai pahanya, maka ia pun terhuyung ke belakang dan mendengar seruan temannya, ia pun terus meloncat ke pekarangan dan menghilang di dalam kegelapan malam.
“Kejar mereka....!” Hui Lian berseru, siap untuk mengejar. Akan tetapi sebuah tangan yang halus menyentuh tangannya.
“Sebaliknya tidak usah, Bibi. Musuh yang sudah melarikan diri tidak perlu dikejar, apalagi dalam gelap begini. Mereka adalah orang-orang yang curang dan berbahaya. Pula, menurut kata ayah, keluarga Pulau Es tidak pernah memusuhi orang-orang golongan hitam, hanya menentang perbuatan mereka yang jahat. Kalau mereka tidak menyerang, tidak perlu dilayani.”
“Ia benar. Mari kita masuk saja,” kata Gak Jit Kong dan mereka lalu memasuki rumah dan menutup daun pintu depan dengan rapat.
“Wah, enci Lian sungguh hebat! Kakek pendek yang lihai itu dijadikan bola olehnya!” kata Ciang Hun gembira.
“Itulah hasilnya kalau belajar dengan baik dan tekun,” kata Hui Lian kepada puteranya. “Engkau harus meniru encimu, Suma Lian, kami berterima kasih sekali karena kalau tidak ada engkau, entah bagaimana jadinya dengan kami berempat.”
“Ah, Bibi, kita adalah orang sekeluarga sendiri, tidak perlu bersikap sungkan. Pula, kurasa dua orang penjahat tadi tidak akan mudah saja mengalahkan Bibi dan Paman berdua.”
“Sudahlah, Lian-ji, tidak perlu memuji kami. Yang jelas, kami berdua sudah ketinggalan jauh dalam ilmu silat dibandingkan denganmu dan biarlah kami akan berlatih dengan tekun. Akan tetapi, setelah urusan yang mengganggu kami ini dapat dihindarkan, sekarang engkau harus menceritakan keperluanmu datang berkunjung ini.”
Suma Lian menarik napas panjang. Memang selalu ditahannya berita yang tidak menyenangkan itu karena keluarga ini sedang menghadapi ancaman bahaya. Setelah kini bahaya itu lewat, tentu saja ia harus menceritakannya.
“Aku datang berkunjung karena diutus oleh kong-kong, Paman, Beliau minta agar Paman berdua dan sekeluarga suka datang menengok beliau karena pada waktu ini kong-kong sedang menderita sakit....“
“Ayah sakit....?” Dua orang kakek kembar itu berseru hampir berbareng.
“Lian-ji, kenapa tidak dari kemarin engkau memberi tahu kami?” Gak Jit Kong menegur dengan muka sedih.
“Ayah sakit apakah, Suma Lian?” sambung Gak Goat Kong.
“Aku memang menahan berita ini ketika melihat keluarga Paman terancam bahaya agar jangan menambahi gelisah. Sebetulnya, penyakit kong-kong adalah penyakit biasa, yaitu kelemahan seorang yang usianya sudah terlalu tua, demikian menurut keterangan kong-kong sendiri. Karena itu, diharap agar Paman sekalian suka berkunjung ke sana sekarang juga.”
“Ah, ayah....“ Kedua orang kembar itu merasa gelisah dan berduka, mengingat betapa selama ini mereka gagal mencari ayah mereka, sampai kurang lebih sepuluh tahun semenjak ayah mereka meninggalkan Puncak Telaga Warna, mereka tidak pernah lagi mendengar tentang ayah mereka, apalagi melihatnya.
“Di mana dia?” tanya Gak Jit Kong. “Jauhkah dari sini?”
“Tidak jauh, hanya di lereng Cin-ling-san, nampak dari sini pegunungan itu kalau siang hari, Paman.”
Dua orang kembar itu terkejut dan girang. Ternyata ayah mereka berada di gunung sebelah! Malam itu mereka tidak tidur lagi dan mereka berdua bertanya tentang ayah mereka dan mereka berdua terharu bukan main mendengar betapa ayah mereka kini berjuluk Bu Beng Lokai (Pengemis Tua Tanpa Nama) dan bahkan ketika untuk pertama kalinya bertemu dengan Suma Lian, kakek itu seperti seorang jembel tua yang kotor dan tidak waras!
“Aih, akulah yang berdosa terhadap ayah mertuaku....“ Tiba-tiba Hui Lian menangis ketika melihat betapa dua orang suaminya berlinangan air mata. “Akulah yang membuat kalian berdua menjadi anak-anak yang tidak berbakti, membuat hati ayah kalian menjadi merana dan kecewa....“ Hui Lian menangis sesenggukan, tak dapat ditahan lagi kesedihannya dan ia pun merangkul puteranya. Ciang Hun ikut menangis ketika melihat betapa ibunya menangis sedih.
Melihat sikap isteri mereka itu, Beng-san Siang-eng menjadi terharu dan wajah mereka diliputi kedukaan, “Hui Lian, kamilah yang bersalah terhadap ayah!” kata Gak Jit Kong.
“Engkau tidak bersalah, dan biarlah kami yang akan mohon ampun kepada ayah.” sambung Gak Goat Kong.
Suma Lian adalah seorang gadis yang memiliki perasaan yang peka, mudah tersentuh sehingga ia mudah riang gembira dan jenaka, akan tetapi mudah pula terharu. Melihat Hui Lian menangis, diikuti puteranya, dan melihat pula sikap dua orang kakek kembar itu yang gagah perkasa dan masing-masing mengakui kesalahan dengan isteri mereka, ia pun merasa terharu sekali sampai kedua matanya menjadi basah. Ia dapat merasakan cinta kasih yang besar antara dua orang kembar itu dengan isteri mereka. Keadaan mereka itu memang amat ganjil bagi Suma Lian dan ia tidak dapat menyelaminya, namun ia dapat merasakan kasih sayang yang amat mendalam di dalam keluarga orang kembar ini.
“Paman dan Bibi, harap jangan berduka. Ketahuilah bahwa kong-kong sering membicarakan tentang Paman dan Bibi dengan sikap yang amat mencinta dan rindu, dari kata-katanya aku dapat memastikan bahwa beliau sama sekali tidak marah kepada kalian, apalagi membenci.”
Mendengar ini, dua orang saudara kembar itu memandang kepada Suma Lian dengan sinar mata penuh harapan. “Suma Lian, benarkah kata-katamu itu ataukah hanya hiburan belaka untuk kami?” tanya Gak Goat Kong.
“Paman, mana aku berani membohong?”
“Sudahlah, mari kita semua berangkat. Andaikata ayah marah-marah kepada kita sekalipun, hal itu sudah sepatutnya dan kita hanya tinggal minta maaf kepadanya. Yang penting, kita dapat bertemu dan menghadap ayah. Aih, Lian-ji, betapa kami selama bertahun-tahun ini bersusah payah mencari ayah namun selalu gagal,” kata Gak Jit Kong.
Konflik atau pertentangan yang terjadi antara kita dengan orang lain, sama sekali tidak dapat diatasi dengan prasangka, dengan sikap ingin benar sendiri dan ingin menang sendiri. Konflik akan makin memuncak kalau kita saling menilai keadaan orang lain itu, karena penilaian selalu dipengaruhi keadaan hati seseorang, didasari rasa suka dan tidak suka yang timbul dari si aku yang merasa diuntungkan atau dirugikan. Kalau kita sedang bertentangan dengan seseorang, biasanya kita selalu menilai orang itu, segala sikap dan perbuatannya terhadap kita yang tentu saja menimbulkan nilai buruk karena orang itu kita anggap merugikan dan penilaian ini akan menambah tebalnya kebencian dan permusuhan. Akan tetapi, cobalah kita mulai mengarahkan pengamatan kepada diri kita sendiri, sikap dan perbuatan kita sendiri tanpa penilaian, melainkan pengamatan yang waspada, tanpa memihak, menyalahkan atau membenarkan diri sendiri. Maka, akan nampak jelas bahwa segala sebab yang mengakibatkan pertentangan, sebagian besar terletak dalam diri kita sendiri masing-masing. Dan pengamatan terhadap diri ini akan dapat mendatangkan perubahan, dan ini menghapus pertentangan, karena konflik ke luar hanyalah pencerminan dari konflik yang terjadi dalam diri sendiri. Pengamatan kita terhadap diri sendiri, setiap saat, akan mengubah semua ulah kita terhadap orang lain, tidak mudah mata kita dibutakan oleh nafsu belaka, tidak mudah kita menjadi “mata gelap” seperti dikatakan orang-orang bijaksana di jaman dahulu bahwa musuh yang paling kuat, paling berbahaya, paling licik, adalah diri sendiri, pikiran sendiri! Setan pembujuk dan penipu bukan berada di luar diri kita sendiri! Karena itu, pengamatan yang waspada terhadap diri sendiri akan melumpuhkan setan ini!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali berangkatlah keluarga Beng-san Siang-eng yang terdiri dari dua orang suami, satu isteri dan satu anak itu, mengikuti Suma Lian, menuju ke Pegunungan Cin-ling-san yang luas dan mempunyai banyak bukit-bukit. Di satu di antara lereng bukit inilah kini tinggal Bu Beng Lokai.
***
Bukit itu mempunyai sumber air dan tanahnya amat subur, penuh dengan pohon-pohon besar. Di tengah sebuah di antara hutan-hutan yang memenuhi bukit yang merupakan anak bukit Pegunungan Cin-ling-san ini terdapat sebuah pondok. Tidak besar, hanya terbuat dari kayu-kayu pohon besar, dan mempunyai dua buah kamar saja. Namun pondok itu terawat bersih, dan di depannya bahkan terdapat sebuah taman bunga yang indah. Inilah tempat tinggal Bu Beng Lokai bersama dua orang muridnya, yaitu Suma Lian dan Pouw Li Sian. Muridnya yang bernama Suma Lian telah kita kenal, dan Suma Lian masih terhitung cucu keponakannya sendiri, atau lebih tepat, cucu keponakan mendiang isterinya. Adapun muridnya yang ke dua, juga seorang gadis yang bernama Pouw Li Sian, usianya sebaya dengan Suma Lian, hanya lebih muda beberapa bulan saja. Seperti Suma Lian, Pouw Li Sian ini juga tekun belajar silat dan kini telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Ia juga cantik manis, dengan tahi lalat kecil di dagunya yang meruncing, menambah manis. Akan tetapi, wataknya sungguh jauh berbeda dengan Suma Lian. Kalau Suma Lian seorang gadis lincah, jenaka gembira yang kadang-kadang ugal-ugalan, dengan pakaian yang nyentrik dan seenaknya, sebaliknya Pouw Li Sian adalah seorang gadis yang cantik dan halus gerak-geriknya, sopan santun tutur katanya, dan biarpun pakaiannya juga sederhana dan tambal-tambalan seperti pakaian gurunya dan pakaian Suma Lian, namun potongan pakaian itu rapi dan sopan.
Di dalam kisah SULING NAGAsudah diceritakan betapa Pouw Li Sian ini adalah seorang keturunan bangsawan tinggi. Mendiang ayahnya adalah seorang menteri, seorang bangsawan tinggi yang berjiwa satria. Ketika Pouw Tong Ki, demikian nama menteri itu, masih duduk sebagai Menteri Pendapatan, dia bentrok dengan pembesar tinggi Hou Seng, thaikam (orang kebiri) yang menjadi kekasih kaisar karenanya mempunyai kedudukan yang amat tinggi dan kekuasaan yang tak terbatas. Dalam bentrokan inilah Pouw Tong Ki kena fitnah dan bahkan terbunuh oleh kaki tangan Hou Seng yang bersekutu dengan datuk-datuk sesat dari golongan hitam. Seluruh keluarganya terbasmi dan ditangkap sebagai pemberontak karena difitnah, kecuali Pouw Li Sian, puteri menteri itu yang dapat diselamatkan oleh Bu Beng Lokai. Ketika peristiwa itu terjadi, Pouw Li Sian baru berusia dua belas tahun dan bersama Suma Lian ia lalu diajak pergi oleh Bu Beng Lokai sebagai muridnya.
Kini Li Sian telah berusia dua puluh tahun, dan selama delapan tahun itu ia ikut bersama gurunya dan sucinya (kakak seperguruannya), merantau dan hidup menempuh kesulitan dan kekerasan, kekurangan dan akhirnya, dua tahun yang lalu, gurunya menetap di dalam hutan di lereng bukit Pegunungan Cin-ling-San itu. Li Sian, seperti juga Suma Lian, amat sayang kepada gurunya, karena selain sebagai penyelamat dirinya, juga Bu Beng Lokai merupakan satu-satunya orang yang melindungi dan menyayangnya. Seperti juga Suma Lian ia tidak menyebut suhu (guru) kepada Bu Beng Lokai, melainkan kong-kong (kakek) dan hal ini diterima dengan senang oleh kakek itu karena dia merasa seolah-olah puteri menteri itu adalah seorang cucunya sendiri, seperti Suma Lian. Dan hubungan antara Suma Lian dan Pouw Li Sian juga akrab sekali karena mereka hidup berdua di bawah asuhan kakek sakti itu sehingga mereka seolah-olah kakak beradik saja.
Ketika melihat kakek itu makin lemah karena usia yang tua, sudah mendekati seratus tahun, nampak semakin malas dan lebih sering bersamadhi atau tidur, mulailah kedua orang kakak beradik seperguruan itu merasa khawatir. Akhirnya kakek itu pun harus mengalah dan mengakui keunggulan sang waktu. Segala sesuatu di dunia ini akan berakhir, akan lenyap ditelan waktu sedikit demi sedikit. Demikian pula kehidupan manusia. Sang waktu, melalui usia akan menelan manusia sedikit demi sedikit, tanpa terasa manusia mendapatkan dirinya semakin tua, makin dekat dengan saat akhir di mana dia harus mengakui kelemahan dirinya, mengakui betapa kehidupan ini tidaklah abadi, dan kematian akan menjemputnya dan mengakhiri segala perjalanan hidupnya.
Ketika kakek itu lebih banyak berbaring dengan lemah, dan seringkali dalam tidur mengigau memanggil-manggil nama kedua anak kembarnya, Suma Lian lalu memberanikan diri mengajukan usul kepada kong-kongnya, setelah berunding dengan sumoinya, Li Sian.
“Kong-kong, bagaimana kalau aku pergi ke Beng-san dan menemui kedua orang paman Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, memberitahu mereka bahwa Kong-kong berada di sini dan mengajak mereka datang ke sini?” demikian usulnya sambil duduk di tepi pembaringan kakek itu, sementara itu Li Sian memijati kaki gurunya.
Kakek itu membuka matanya dan sejenak sepasang mata itu mengeluarkan sinar, akan tetapi menjadi redup kembali, kemudian dia menghela napas panjang dan terdengar kata-katanya, seperti kepada diri sendiri, hanya lirih saja. “Ahhh, mereka tidak akan mau datang menengokku, mereka mereka telah melupakan ayah mereka....“
Melihat, sikap kong-kongnya ini, Suma Lian lalu berunding dengan sumoinya dan Pouw Li Sian juga merasa setuju untuk mengundang putera kembar guru mereka itu. Akhirnya diputuskan bahwa Suma Lian yang akan pergi mengabarkan kepada Beng-san Siang-eng, sedangkan Pouw Li Sian tinggal di rumah untuk menjaga dan melayani semua keperluan gurunya.
Setelah Suma Lian pergi dan pada suatu pagi Bu Beng Lokai menanyakan kepada Li Sian ke mana perginya sucinya itu, Li Sian berterus terang mengatakan bahwa sucinya itu pergi ke Beng-san untuk mengundang Beng-san Siang-eng. Wajah kakek itu nampak berseri dan sinar matanya penuh harap sehingga diam-diam Li Sian merasa terharu dan bersyukur bahwa sucinya mempunyai pendapat yang amat baik untuk mengundang kedua orang pendekar kembar itu.
Beberapa hari kemudian, Li Sian duduk di depan pondok bersama gurunya. Kakek Bu Beng Lokai nampak agak segar pagi itu, dan begitu merasa tubuhnya sehat, dia pun duduk di depan pondok untuk membiarkan sinar matahari pagi memandikan dirinya. Li Sian sudah selesai berlatih dan mencuci pakaian dan kini ia menemani kakek itu duduk di luar pondok. Kakek itu sudah sarapan bubur yang tadi dipersiapkan Li Sian dan gadis itu duduk di atas sebuah bangku kecil, di sebelah kanan gurunya yang membuka baju atas membiarkan sinar matahari menghangatkan dadanya.
“Saya girang sekali, pagi ini Kong-kong nampak sehat sekali.” kata Li Sian sambil memandang kakek itu dengan sinar mata penuh hormat dan sayang.
Bu Beng Lokai memandang muridnya itu dan tersenyum. “Li Sian, aku sudah lama tidak melihat engkau berlatih. Sekarang cobalah engkau mainkan Lo-thian Sin-kun, aku ingin sekali melihat sampai di mana kemajuanmu.”
“Baik, Kong-kong,” kata Li Sian dan gadis ini bangkit berdiri lalu meloncat ke tengah pekarangan depan rumah itu, di dekat taman bunga yang dirawatnya dengan baik bersama sucinya. Ilmu Silat Lo-thian Sin-kun dan Lo-thian Kiam-sut memang merupakan ilmu silat tinggi yang telah disempurnakan oleh kakek itu dan merupakan inti daripada ilmu-ilmu yang diajarkan kepada dua orang muridnya. Setelah memberi hormat dengan mengepal tangan kanan dilekatkan tangan kiri yang terbuka di depan ulu hati dan menghadap gurunya, Li Sian lalu bersilat.
Indah bukan main gerakan gadis ini. Orangnya memang cantik, bentuk tubuhnya indah, tubuh seorang dara yang sedang masak-masaknya, dengan pinggang ramping dan lekuk lengkung tubuh yang sempurna, penuh sifat kehalusan dan kelembutan seorang wanita, maka gerakan silat itu sungguh amat indah. Memang Bu Beng Lokai yang sudah mendalami ilmu silat sampai ke intinya, menekankan segi-segi terpenting dari ilmu silat. Di dalam gerakan ilmu silat terkandung seni tari yang indah, gerakan tubuh demikian hidup dan penuh keindahan, juga mengandung seni olah raga yang menyehatkan tubuh karena gerakan-gerakan itu memperlancar jalan darah, bahkan mengendalikan hawa dan tenaga sakti dalam tubuh. Selain seni tari, dan olah raga, juga mengandung pengaruh menyehatkan batin di samping ilmu bela diri.
Permainan Li Sian memang indah sekali, juga gerakannya mantap, setiap pukulan atau tangkisan mengandung tenaga yang nampaknya halus namun sesungguhnya amat kuat karena gadis ini pun sudah menguasai penggunaan Tenaga Inti Bumi, bahkan telah mahir pula mempergunakan Hui-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang dari Pulau Es! Kecepatannya mengagumkan sehingga diam-diam Bu Beng Lokai mengangguk-angguk bangga. Keindahan, kecepatan, kekuatan, tiga hal ini sudah terujud dalam ilmu silat yang dimainkan Li Sian.
“Ambil ranting dan pergunakan sebagai pedang, mainkan Lo-thian Kiam-sut,” kata Bu Beng Lokai.
Tubuh gadis itu tiba-tiba berkelebat ke atas, ke arah sebatang pohon di tengah bunga dan ketika ia berkelebat kembali ke depan gurunya, ia sudah memegang sebatang ranting pohon. Sekali menggerakkan ranting itu, daun-daun yang melekat di situ rontok dan mulailah ia memainkan ilmu pedang yang diminta gurunya. Seperti juga ilmu silat tangan kosong yang dimainkan dengan halus namun dengan kecepatan yang luar biasa, membuat tubuhnya lenyap terbungkus sinar hijau dari ranting itu, sinar bergulung-gulung yang menyelimuti tubuhnya!
Melihat kemajuan muridnya ini, timbul kegembiraan hati Bu Beng Lokai dan tiba-tiba dia sudah bangkit berdiri. “Li Sian, mari kita latihan bersama!” katanya gembira dan kakek itu sudah meloncat memasuki gulungan sinar pada ranting pohon yang dimainkan sebagai pedang oleh gadis itu. Dia mainkan kedua tangannya dan kakinya bergerak dalam langkah-langkah ajaib Sam-po Ci-keng dan melihat ini, Li Sian girang bukan main. Ini menandakan bahwa gurunya itu telah sehat benar! Maka, ia pun melayani gurunya dan mereka berlatih bersama. Biarpun sudah tua dan baru saja sembuh dari keadaan tidak sehat, namun begitu tubuhnya bergerak dalam permainan silat, tubuh itu seperti mendapatkan kekuatan baru dan gerakannya lincah dan kuat! Li Sian juga bersilat dengan sungguh-sungguh, berusaha untuk mengalahkan gurunya. Namun, biar gurunya sudah sangat tua, bagaimanapun juga dia kalah jauh dalam hal kematangan ilmu silat dan pengalaman dan tiba-tiba ujung ranting yang dimainkan sebagai pedang itu dapat tertangkap oleh tangan kanan kakek itu. Li Sian mengerahkan tenaga untuk merampas kembali senjatanya, kakek itu mempertahankan.
“Krek!” Ranting itu patah-patah dan keduanya melompat ke belakang. Wajah Li Sian berubah merah.
“Wah, Kong-kong sudah sehat benar, sudah mampu mengalahkan saya dengan amat mudah!” kata Li Sian.
Bu Beng Lokai berkata setelah menghapus peluhnya yang membasahi tubuh atas itu dengan bajunya. “Li Sian, pada saat lawan berhasil menangkap senjata, kesempatan itulah yang teramat baik untuk menyerangnya. Biarkan dia kegirangan karena berhasil menangkap senjatamu sehingga dia lengah dan pada detik itu teramat baik untuk dijadikan kesempatan merobohkannya.”
“Maksud Kong-kong, saya tidak seharusnya mengerahkan tenaga untuk mencoba merampas kembali senjata yang sudah tertangkap, akan tetapi menggunakan saat itu untuk menyerang lawan dengan tangan kiri?”
Kakek itu mengangguk. “Benar, tertangkapnya senjatamu merupakan pancingan yang tidak disengaja dan berhasil baik. Lawan akan lengah dan saat itu engkau dapat mempergunakan tangan kiri atau kakimu untuk menyerangnya. Ini berarti membiarkan kemenangan datang melahui kekalahan. Kelihatannya saja engkau kalah karena senjatamu tertangkap, akan tetapi kekalahan itu justeru membuka kesempatan bagimu untuk memperoleh kemenangan. Mengertikah engkau?”
“Saya mengerti, Kong-kong.”
“Nah, bagus. Bagaimanapun juga, engkau telah memperoleh kemajuan cukup baik. Tentu selama aku mengaso dan tidak mampu mengawasimu, engkau terus berlatih dengan giat.”
“Ah, betapapun kerasnya saya berlatih, masih sukar bagi saya untuk mengimbangi kemajuan suci, Kong-kong.”
Kakek itu tersenyum. “Bukan salahmu. Suma Lian memang berbakat sekali, dan selain itu, ingatlah bahwa ia keturunan langsung dari ayah mertuaku, Pendekar Super Sakti Suma Han dari Pulau Es! Bahkan ayah ibunya juga merupakan sepasang pendekar yang sakti. Sejak kecil ia sudah digembleng ayah ibunya dan ketika ia menjadi muridku, ia telah memiliki dasar yang kuat sekali, berbeda dengan engkau yang ketika itu belum pernah mempelajari ilmu silat sama sekali. Ilmu kepandaian silat mendiang ayahmu, Menteri Pouw Tong Ki itu tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan tingkat ilmu silat ayah ibu Suma Lian. Ketahuilah, Li Sian, bahwa ilmu-ilmu dari Pulau Es amat tinggi dan karenanya tidak mudah dikuasai dengan sempurna. Seperti Hui-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang yang pernah kaulatih itu, kiranya sekarang ini sukar mencari orang yang mampu menguasainya sesempurna mendiang ayah mertuaku! Mungkin hanya Suma Ceng Liong ayah Suma Lian saja yang saat ini memiliki tingkat paling tinggi dalam hal ilmu silat keluarga Pulau Es. Akan tetapi, bekalmu sudah lebih dari cukup. Kalau engkau giat berlatih dan ditambah pengalaman-pengalamanmu nanti, kiranya engkau tidak akan tertinggal terlalu jauh. Eh, mengapa Suma Lian belum juga pulang?”
Li Sian duduk bersila di atas batu datar untuk mengatur pernapasan, memulihkan tenaga setelah latihan tadi. Mendengar pertanyaan yang tiba-tiba itu, ia pun menjawab. “Menurut perhitungnn Lian-suci, mestinya kemarin ia sudah pulang. Saya kira hari ini ia akan pulang, Kong-kong.”
Kakek itu mengangguk-angguk, lalu duduk bersila pula di atas batu datar lain yang banyak terdapat di pekarangan itu. “Aku harus mengaso, sedikit latihan tadi melelahkan tubuhku, akan tetapi juga menggembirakan dan memberi semangat,” katanya dan sebentar saja dia sudah tenggelam dalam samadhinya.
Belum satu jam mereka berlatih samadhi, baru saja Li Sian bangkit dari duduknya untuk melakukan pekerjaan rumah seperti biasa, tiba-tiba terdengar suara nyaring dari jauh.
“Kong-kong....! Sumoi....! Aku datang....!”
Suara sucinya, Suma Lian, siapa lagi! Suara itu demikian nyaring dan bening, seperti kepingan perak atau emas berdencing, mendatangkan kecerahan dan kegembiraan. Li Sian cepat memandang dan ia melihat sucinya datang berjalan bersama dua orang laki-laki yang usianya mendekati enam puluh tahun, sikap mereka gagah, seorang wanita cantik berusia hampir empat puluh tahun dan seorang anak laki-laki berusia kurang lebih sepuluh tahun. Ia pun segera tahu siapa mereka dan dengan girang ia lalu berseru kepada gurunya. “Kong-kong, mereka telah datang!”
Bu Beng Lokai membuka matanya, akan tetapi tidak turun dari atas batu datar, nampaknya masih lelah, hanya dia memandang ke arah rombongan yang kini sudah menghampiri tempat itu.
Ketika Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong melihat kakek tua renta yang tak berbaju, duduk di atas batu datar nampak tua dan lelah dan lemah, mereka merasa jantung mereka seperti ditusuk dan keduanya lalu berlari menghampiri sambil menangis, menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kakek itu dan mereka menangis mengguguk seperti dua orang anak kecil.
“Ayah.... bertahun-tahun kami mencari Ayah tanpa hasil “ kata Gak Jit Kong.
“Ayah, ampunkan semua dosa kami, Ayah....“ kata pula Gak Goat Kong.
Bu Beng Lokai atau Gak Bun Beng mencoba untuk tersenyum dan kedua tangannya menyentuh kepala dua orang yang berlutut di depannya itu, matanya basah dan suaranya lirih gemetar ketika dia berkata, “Anak-anakk.... anak-anakku.... mana ia, isterimu dan apakah kalian mempunyai keturunan?”
Hui Lian sejak tadi sudah menarik tangan puteranya dan berlutut tak jauh dari situ. Mendengar ucapan ini, ia pun bergeser maju sambil menggandeng tangan puteranya. Ia telah menangis sejak tadi melihat betapa dua orang suaminya mengguguk dalam tangisnya di depan kaki ayah mertuanya itu.
“Ayah.... saya Souw Hui Lian mantamu yang hina dan bodoh dan ini adalah Gak Ciang Hun, anak tunggal kami....”
Gak Bun Beng memandang mereka. “Anak baik, engkau telah membahagiakan anek-anakku.... terima kasih dan cucuku.... ke sinilah, cucuku....“
Gak Ciang Hun sudah sering mendengar dari kedua ayahnya tentang kakeknya yang dikatakan memlliki ilmu kepandaian amat tinggi seperti dewa, maka sejak tadi dia sudah memandang dengan kagum, juga agak jerih. Mendengar kini kakek itu memanggilnya, dia pun cepat maju menghampiri.
“Cucuku.... ah, sudah begini besar, cucuku....!” Dia mencoba untuk bangkit akan tetapi terhuyung. Suma Lian, juga kedua orang puteranya cepat meloncat untuk menolongnya, akan tetapi kakek itu menolak mereka dan berkata,
“Biarkan aku dengan cucuku sendiri!” Suaranya tegas sehingga Suma Lian dan Li Slan mundur kembali, hanya saling pandang dengan alis berkerut dan pandang kata khawatir. Mereka tahu benar bahwa guru mereka, juga kakek mereka itu berada dalam keadaan yang tidak sehat dan lemah, bukan hanya karena penyakit, akan tetapi terutama karena usia tua. Sementara itu, Bu Beng Lokai atau Gak Bun Beng sudah menggandeng tangan cucunya, diajak memasuki ruangan latihan silat. Kedua orang saudara kembar Gak bersama isteri mereka, juga Suma Lian dan Li Sian, hanya mengikuti dari belakang.
Setelah tiba di ruangan latihan silat, kakek Gak Bun Beng lalu berkata kepada cucunya, “Ciang Hun, engkau tentu telah dilatih silat oleh orang tuamu. Nah, perlihatkan kepada kakekmu ini sampai di mana kemampuanmu.”
Ciang Hun memang sejak kecil digembleng oleh kedua orang ayahnya dan seorang ibunya. Sebetulnya dia malu dan khawatir ditegur kakeknya karena di depan kakeknya yang kabarnya sakti itu tentu kepandaian silatnya masih belum ada artinya. Akan tetapi dia pun tidak berani membantah, melangkah ke tengah ruangan dan setelah memberi hormat, dia pun bersilat, mengeluarkan jurus-jurus ilmu silat dasar Lo-thian Sin-kun. Gerakannya cukup gesit dan penggunaan tenaga yang tepat, sesuai dengan usianya. Melihat ini, agaknya Bu Beng Lokai cukup puas. Biarpun tidak memiliki bakat yang terlalu menonjol, namun Ciang Hun cukup baik, bahkan kelak dapat lebih tinggi tingkatnya daripada orang tuanya kalau rajin berlatih.
“Nah, sekarang duduklah bersila di situ, cucuku,” kata kakek itu dan dia pun menghampiri cucunya yang duduk bersila itu. “Buka bajumu!” Ciang Hun merasa heran akan tetapi tidak berani membantah dan anak itu pun membuka bajunya. Kakek itu lalu duduk bersila di belakang cucunya. Melihat ini, Suma Lian dan Li Sian dapat menduga apa yang akan dilakukan guru mereka dan keduanya merasa khawatir sekali.
“Kong-kong....!” Mereka berdua berseru lirih.
Kakek itu menoleh kepada mereka, lalu tersenyum. “Lian dan Sian, kalian berdua telah menerima semua ilmuku dan kurasa sudah cukup bagi kalian untuk mempergunakan ilmu-ilmu itu untuk berjaga diri dan menegakkan kebenaran dan keadilan. Aku tidak punya apa-apa lagi untuk diwariskan kepada cucuku, maka semua yang ada padaku akan kutinggalkan kepadanya.
“Akan tetapi, Kong-kong sedang sakit....“ bantah Suma Lian.
“Dan Kong-kong baru saja berlatih dan dalam keadaan lelah....“ sambung Li Sian, sama khawatirnya dengan sucinya.
“Sudahlah, harap kalian jangan khawatir. Kalau tidak sekarang saatnya, kapan lagi? Hanya inilah yang dapat kulakukan untuk cucuku, dan tentang mati hidup, hal itu adalah urusan Tuhan!” Setelah berkata demikian, kakek itu menempelkan kedua telapak tangannya di punggung cucunya dan matanya terpejam. Melihat ini, barulah kedua orang bersaudara kembar Gak itu dan isteri mereka tahu apa yang akan dilakukan ayah mereka, dan mereka pun memandang dengan khawatir, akan tetapi tidak berani menghalangi.
“Kendurkan seluruh urat tubuhmu, cucuku, dan jangan melawan, terima saja hawa panas yang memasuki tubuhmu.” Kakek itu berbisik dan dia pun mengerahkan sin-kangnya untuk disalurkan ke dalam tubuh cucunya! Biarpun usianya baru sepuluh tahun, sebagai putera pendekar, Ciang Hun sudah tahu apa yang dilakukan kakeknya. Tentu kakeknya akan menyalurkan tenaga sin-kang, memindahkan tenaga sakti itu kepadanya. Diam-diam dia merasa girang bukan main walaupun hatinya tegang karena dia belum pernan merasakan hal ini dan dia pun maklum bahwa pengoperan tenaga sakti itu dapat membahayakan dirinya sendiri kalau dia tidak mentaati sepenuhnya. Maka dia pun mengendorkan semua urat di tubuhnya dan menghentikan semua pikiran seperti dalam latihan samadhi.
Tak lama kemudian, anak itu merasa betapa ada hawa yang mula-mula hangat memasuki tubuhnya. Hawa itu semakin lama semakin panas, masuk semakin banyak sampai memenuhi tubuhnya dan berputaran. Kepalanya mulai terasa pening, keringatnya keluar di seluruh tubuhnya dan hampir saja dia tidak kuat menahan. Namun, Ciang Hun mematikan semua rasa dan pasrah. Hawa yang tadinya amat panas itu kemudian menjadi hangat kembali, makin lama semakin berkurang panasnya, bahkan menjadi dingin dan semakin dingin sampai Ciang Hun menggigil dan giginya berbunyi. Akan tetapi anak itu tetap diam dan dapat mempertahankan kebekuan yang menyerang dari dalam itu! Dia lapat-lapat mendengar seruan-seruan khawatir dari dua orang gadis murid kakeknya, akan tetapi tidak dipedulikan. Rasa dingin luar biasa itu makin lama semakin berkurang dan akhirnya kembali hangat seperti semula. Akan tetapi dia merasa tengkuknya panas sekali dan ada hembusan panas meniup tengkuknya dari luar yang membuatnya sadar dari samadhinya dan kini dia mendengar betapa hembusan napas panas itu keluar dari mulut dan hidung kakeknya, dan kini terdengar terengah-engah. Kedua tangan kakeknya yang tadi tertempel di kulit punggungnya, kini terlepas.
“Kong-kong....!” Terdengar Suma Lian dan Li Sian berseru.
“Ayah....!” Kedua ayahnya juga berteriak dan mereka sudah berlutut mendekat. Ciang Hun mencoba berdiri, akan tetapi kepalanya menjadi pening seketika dan dia tentu sudah terguling roboh kalau saja tidak ada ibunya yang cepat merangkulnya. Ibu dan anak berangkulan dan memandang kepada kakek itu yang ternyata telah roboh terlentang dengan muka pucat dan napas terengah-engah, akan tetapi mulutnya yang setengah terbuka itu nampak tersenyum!
“Kong-kong.... ah, kenapa engkau melakukan ini?” Suma Lian nampak meraba dada gurunya.
“Kong-kong, kenapa engkau memaksa diri....?” Li Sian juga meraba pundak gurunya dan ia pun mulai menangis.
Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong saling pandang. Mereka pun tahu bahwa ayah mereka tadi telah memindahkan sin-kang ke tubuh putera mereka, akan tetapi hal ini amat memeras tenaga kakek itu yang sedang dalam keadaan lemah dan lelah.
“Ayah.... kembali kami yang datang hanya menyusahkan Ayah saja.” kata Goat Kong menyesal.
“Ayah, kami tidak pernah melakukan sesuatu yang menyenangkan hatimu, akan tetapi Ayah telah mewariskan sin-kang kepada Ciang Hun, dengan mengorbankan diri....!” kata pula Gak Jit Kong.
Kakek itu dengan lemah membuka kedua matanya, dan dengan napas terengah dia tersenyum, memandang kepada mereka yang merubungnya. “Aku puas.... aku tak dapat meninggalkan apa-apa.... latihlah dia dengan Hui-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang.... dia.... dia akan kuat sekali.... ah, sayang aku harus mati dalam keadaan lemah! Kalau saja ada datuk sesat datang agar dapat kulawan dia dan aku mati dalam perkelahian! Sayang.... tapi.... ah, lihat, itu.... ibu kalian datang.... Milana.... tungguuu....!” Kakek itu seperti hendak bangkit duduk, akan tetapi terkulai kembali dan napasnya pun berhenti.
Tiga orang wanita itu menjerit dan menangis. Dua orang saudara kembar Gak saling pandang dan membiarkan mereka itu menangis sepuasnya, kemudian mereka berkata dengan suara penuh penyesalan.
“Aah, semua ini kesalahan kami. Kedatangan kami hanya memperpendek usia ayah kami....“
Mendengar ini, Suma Lian dan Li Sian menghentikan tangis mereka. Suma Lian memandang mereka dengan mata basah. “Tidak perlu penyesalan itu, kedua Paman. Kedatangan Paman sekeluarga adalah atas kehendak mendiang kong-kong, dan agaknya memang sudah tiba saatnya kong-kong kembali ke alam baka. Juga, pewarisan sin-kang tadi hanya merupakan jalan belaka yang semua sudah dipastikan dan ditentukan oleh Yang Maha Kuasa.”
Mereka lalu mengurus jenazah kakek Bu Beng Lokai atau Gak Bun Beng, mantu pertama dari Pendekar Super Sakti (riwayat Gak Bun Beng diceritakan dengan lengkap dalam kisah Sepasang Pedang Iblis). Atas pesan kakek itu sendiri kepada dua orang muridnya, maka jenazah itu lalu dibakar dengan upacara sederhana, sungguh menyedihkan hati kedua orang puteranya mengingat betapa kakek itu, ayah mereka, yang dahulu menjadi seorang pendekar besar yang pernah mengguncangkan dunia kang-ouw, kini meninggal dunia dan diperabukan tanpa ada yang menghadiri, kecuali kedua puteranya, mantunya, cucunya, dan kedua orang muridnya di tempat yang amat sunyi itu. Setelah jenazah menjadi abu, kedua orang kembar Gak lalu membawa abu jenazah ayah mereka untuk dikebumikan di Puncak Telaga Warna, bekas tempat tinggal ayah mereka itu. Mereka segera berpamit dari Suma Lian dan Li Sian, pulang bersama isteri mereka dan Ciang Hun yang masih merasa agak pening dan kadang-kadang mengeluh karena tubuhnya merasakan betapa tenaga yang amat besar membuat dia panas dingin. Kedua orang ayahnya harus sebentar-sebentar berhenti dalam perjalanan mereka untuk membiarkan anak itu berlatih siu-lian dan memberi petunjuk untuk membiarkan tenaga sakti itu mengeram di dalam tan-tian (pusar di dalam perut) dan tenang di situ sampai kelak dapat dipergunakan kalau anak itu sudah mampu mengendalikannya.
Tinggal dua orang gadis itu yang merasa kesepian. Mereka masih tinggal di pondok bekas tempat tinggal guru mereka sampai tiga hari tiga malam. Betapapun juga, dua orang gadis ini telah tinggal bertahun-tahun di tempat sunyi dan indah itu, dan di antara mereka telah terdapat pertalian kasih sayang seperti saudara kandung saja, mengalami suka duka bersama di tempat sunyi itu sehingga mereka merasa berat untuk saling berpisah. Juga mereka merasa terharu dan berat untuk meninggalkan tempat itu yang tak mungkin kiranya akan mereka datangi lagi, mengingat bahwa kakek dan juga guru mereka kini telah tiada, bahkan abunya juga sudah dibawa pergi oleh kedua orang kembar Gak yang lebih berhak. Guru mereka tidak meninggalkan apa-apa kecuali ilmu kepandaian. Sedikit pakaian dan sepatu, barang-barang yang dipakainya sehari-hari, telah diikutkan bersama jenazah ketika dibakar. Yang masih ada hanyalah batu datar yang hitam mengkilat bekas tempat orang tua itu duduk bersamadhi. Saking merasa kehilangan, selama tiga hari tiga malam itu, bergantian Suma Lian dan Li Sian duduk bersamadhi di bekas tempat duduk guru mereka ini, sambil mengenang segala budi kebaikan orang tua itu kepada mereka.
Setelah tiga hari tiga malam, dua orang gadis perkasa itu menyadari bahwa tidak ada manfaatnya membiarkan diri tenggelam dalam buaian perasaan yang penuh keharuan, kehilangan, duka yang timbul dari iba diri. Mereka lalu memutuskan untuk meninggalkan tempat itu. Suma Lian berkata dengan suara yang berat kerena bagaimanapun juga, ia merasa berat untuk berpisah dari sumoinya yang dianggap seperti adiknya sendiri itu.
“Sumoi, hari ini kita harus meninggalkan tempat ini, tidak ada gunanya tinggal lebih lama disini.”
Engkau benar, Suci, aku pun berpikir demikian. Lalu.... ke mana kita akan pergi, Suci?” Li Sian mulai bingung karena ia tak mempunyai tujuan tertentu, tidak tahu harus pergi ke mana karena orang tuanya sudah tiada.
“Aku sendiri akan pulang ke rumah orang tuaku di dusun Hong-cun. Dan bagaimana dengan engkau, Sumoi?”
“Aku....? Aku.... entah akan pergi ke mana....?” kata Li Sian dan melihat wajah Sumoinya menjadi sedih, Suma Lian segera merangkul dan mencium pipinya.
“Ah, aku lupa bahwa engkau tidak mempunyai keluarga lagi, adikku. Ah, bagaimana kalau engkau pergi bersamaku, ikut dengan aku ke rumah orang tuaku? Kita tinggal bersama di sana, alangkah akan senangnya....!”
Akan tetapi Li Sian tersenyum dan menggeleng kepalanya. “Terima kasih, Suci, Engkau baik sekali dan tidak ada kesenangan di dunia ini yang melebihi kalau aku dapat tinggal serumah denganmu. Akan tetapi, aku tidak ingin mengganggu ayah bundamu dengan kehadiranku dan....”
“Ah, mereka akan senang sekali menerimamu, Sumoi. Bukankah engkau sudah kuanggap seperti adikku sendiri? Bahkan, aku akan mohon kepada ayah ibuku untuk mengangkatmu sebagai anak mereka, dan engkau menjadi adik angkatku!”
Kini Li Sian yang merangkul sucinya dan kedua matanya basah ketika ia memandang kepada sucinya. “Suci, terima kasih. Engkau sungguh baik sekali dan percayalah, aku pun sudah menganggap engkau seperti kakak kandungku sendiri! Akan tetapi, biarpun ayah bundaku sudah tiada, akan tetapi engkau tahu bahwa aku masih mempunyai empat orang kakak laki-laki yang ketika terjadi keributan itu, ditawan oleh pemerintah. Biarlah aku akan mencari mereka terlebih dahulu, siapa tahu ada diantara mereka merupakan satu-satunya keluargaku terdekat yang kumiliki. Aku akan mencari mereka, dan kalau gagal, barulah aku akan menyusulmu di Hong-cun, Su-ci.”
Suma Lian mengangguk-angguk, mengerti dan menyetujui. Pada hari itu juga mereka turun gunung, kemudian berpisah di jalan persimpangan. Suma Lian menuju ke selatan, sedangkan Li Sian menuju ke utara. Dua orang saudara seperguruan yang berangkat dewasa bersama-sama ini baru berpisah setelah saling rangkul sampai lama tanpa kata-kata. Kemudian keduanya berpisah dan berlari cepat dengan kedua mata basah.
***
Kao Cin Liong dan isterinya, Suma Hui, tinggal di kota Pao-teng, di sebelah selatan kota raja. Bekas panglima Kao ini berdagang rempah-rempah, dan kelihatan sebagai pedagang biasa saja bagi mereka yang tidak mengenalnya. Akan tetapi, dunia kang-ouw tahu belaka siapa sesungguhnya pria yang kini usianya sudah lima puluh delapan tahun namun masih nampak gagah perkasa itu, juga siapa kira isterinya sendiri yang sudah mendekati lima puluh tahun namun masih nampak lincah dan jauh lebih muda dari usianya, tubuhnya masih tegap dan ramping. Tidaklah mengherankan kalau suami isteri ini nampak lebih muda dan sehat, karena mereka adalah suami isteri pendekar yang sesungguhnya memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali dan jarang dapat menemukan tandingan di masa itu! Kao Cin Liong adalah putera tunggal dari penghuni Istana Gurun Pasir, putera Naga Sakti Gurun Pasir, dan dia pernah menjadi seorang panglima muda yang amat berjasa memadamkan banyak api pemberontakan di selatan dan barat. Adapun isterinya, Suma Hui, juga bukan wanita sembarangan. Dari mana keturunannya juga dapat di duga bahwa ia adalah keturunan keluarga pendekar Pulau Es, dan sesungguhnya ia masih cucu dalam dari Pendekar Super Sakti, penghuni Istana Pulau Es.
Sebetulnya, dengan tingkat ilmu kepandaian silat mereka yang amat tinggi dan lihai, mereka menjadi guru-guru yang cukup baik untuk anak tunggal mereka, yang bukan lain adalah Kao Hong Li. Hanya karena Kao Hong Li merupakan anak tunggal yang manja, maka ayah ibunya tidak terlalu menekan walaupun gemblengan ilmu silat tinggi mereka berikan. Karena itu, setelah kini berusia dua puluh tahun lebih, Kao Hong Li menjadi seorang gadis dewasa yang amat tangguh, dan walaupun tidak setinggi ayahnya tingkat kepandaiannya karena kadang-kadang ia malas berlatih dan orang tuanya tidak menekannya, namun setidaknya ia sudah mampu mengimbangi tingkat kepandaian ibunya!
Kao Hong Li merupakan seorang gadis yang cantik dan cerdik. Ia manis seperti ibunya, dengan wajah bulat telur dan sepasang matanya amat menarik, mungkin memiliki daya tarik terbesar diantara semua kecantikannya, mata itu lebar dan jeli, dengan bulu mata yang panjang lentik, dan dihiasi sepasang alis yang hitam lebat, kecil dan panjang melengkung seperti dilukis saja. IA lincah dan galak seperti ibunya, cerdik dan pandai bicara seperti ibunya pula, dan gagah perkasa tak mengenal takut seperti ayahnya.
Ada satu hal yang membuat suami isteri itu akhir-akhir ini agak murung kalau teringat , yaitu bahwa sampai kini berusia dua puluh tahun lebih, puteri mereka itu belum juga mau dicarikan jodoh! Setiap kali mereka membicarakan urusan jodoh, gadis itu cemberut dan marah-marah, tidak mau mendengarkan dan lari ke dalam kamarnya. Kalau Suma Hui melakukan pendekatan dan menyusul ke dalam kamarnya, Kao Hong Li akan mencela ibunya.
“Kenapa sih Ibu dan Ayah selalu mendorongku untuk menikah? Apa Ayah dan Ibu sudah bosan dan tidak suka kepadaku, ingin melihat aku pergi dari rumah ini dan mengikuti suami?”
Ibunya segera merangkul dan tersenyum. “Hushhh! Bagaimana engkau bisa berkata demikian, Hong Li? Ayah dan ibumu sayang kepadamu, mana bisa bosan dan tidak suka? Kalau kami membujukmu untuk menikah, bukankah hal itu sudah wajar? Ingat, usiamu kini sudah mendekati dua puluh satu tahun. Mau tunggu apa dan kapan lagi? Biasanya, seorang gadis akan menikah dalam usia antara enam belas sampai dua puluh tahun, dan engkau sudah hampir dua puluh satu....”
“Ibu sendiri, berapa usia Ibu ketika menikah dengan Ayah?” Inilah senjata yang dipergunakan Hong Li kalau ibunya mendesak dengan alasan usia.
Suma Hui Menarik napas panjang. “Lain lagi dengan aku, anakku. Memang aku menikah dengan ayahmu sudah berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, akan tetapi....”
“Nah, aku pun tidak tergesa-gesa. Bagaimanapun juga, aku tidak mau menikah dengan seorang laki-laki yang asing bagiku, yang tidak kusuka!”
“Hemmm, kau maksudkan, engkau hanya akan menikah dengan seorang pemuda yang kau cinta?”
Wajah Hong Liberubah merah, akan tetapi ia menjawab juga, “Bukankah begitu sebaiknya Ibu?”
Kembali Suma Hui menghela napas dan mengangguk. “Yah memang demikian sebaiknya. Akan tetapi kapan engkau akan bertemu dengan seorang pemuda yang kaucinta? Atau.... apakah sudah ada pemuda itu?” tanyanya penuh harap.
Wajah itu menjadi semakin merah dan cepat Hong Li menggeleng kepalanya
“Tidak ada, Ibu! Mana ada pemuda yang seperti kuidamkan dan yang pantas kucinta di tempat ini? Yang ada hanya pemuda brengsek, jual lagak, pamer kekayaan dan pangkat ayahnya, menyebalkan!”
“Hemmm, jangan begitu anakku. Habis, pemuda macam apa yang kiranya akan dapat menundukkan hatimu?”
“Dia harus seperti ayah, memiliki ilmu silat dan ilmu surat yang tinggi, setidaknya dapat mengalahkan atau mengimbangi kepandaianku. Dia harus gagah perkasa, membela kebenaran, dan harus....harus orang yang dapat menimbulkan kekaguman dan rasa suka di dalam hatiku!”
Diam-diam Suma Hui terharu. Betapa sama benar keinginan anaknya dengan keinginan hatinya sendiri ketika ia masih gadis! Dan bukankah setiap orang gadis juga menginginkan hal seperti itu? Bagaimana ia dapat menyalahkan puterinya?
“Akan tetapi Hong Li, dengan ilmu silatmu seperti sekarang ini, kiranya di dunia ini tidak ada banyak pemuda yang akan mampu menandingimu!”
“Tentu ada, Ibu. Kalau memang sudah kutemukan yang cocok dengan hatiku, aku juga dapat mengalah....“
Suma Hui tertawa dan merangkul anaknya. Mengertilah ia. Ketinggian ilmu itu bukan merupakan syarat mutlak, melainkan kalau ada perasaan cinta di dalam hati puterinya, tentu puterinya itu akan mengalah terhadap pemuda yang dicintanya!
“Aih, Hong Li, aku hanya mendoakan semoga engkau akan segera bertemu dengan jodohmu. Ingatlah, ayah ibumu sudah mulai tua dan kami sungguh mendambakan seorang cucu darimu.”
“Ih, Ibu!” kata Hong Li dan ia pun merebahkan dirinya menelungkup dan menutupi telinganya dengan bantal. Ibunya tertawa dan meninggalkan kamar puterinya untuk menghibur suaminya, menceritakan percakapannya dengan Hong Li.
Biarpun demikian, tetap saja suami isteri itu merasa kecewa karena mereka tidak melihat kemungkinan puteri mereka akan bisa bertemu dengan jodohnya dalam waktu dekat. Kalau puterinya hanya tinggal di rumah saja, di kota Poa-teng yang tidak berapa besar, bagaimana mungkin bertemu dengan seorang pemuda yang sepadan menjadi calon jodohnya?
“Aih, kalau aku teringat kepada murid adikmu, itu rasanya aku akan suka kalau dia menjadi calon mantu kita,” kata Kao Cin Liong kepada isterinya.
“Kau maksudkan Gu Hong Beng, murid Suma Ciang Bun itu? Hemmm, dia memang baik, dan tentang ilmu silat, tentu masih di bawah tingkat anak kita. Akan tetapi, kita tidak tahu dia berada di mana sekarang! Ciang Bun tidak pernah singgah di sini dan tidak pernah memberi kabar sekarang berada di mana. Sudahlah, jodoh sudah diatur oleh Tuhan, kita tinggal berdoa saja.”
Kao Cin Liong kembali menarik napas panjang. “Sebaiknya kalau aku membawa ia melakukan perjalanan, berkunjung ke kakek dan neneknya.”
“Di gurun pasir?”
“Ya, ayah dan ibu sudah sangat tua, sayang bahwa mereka tidak mau kita ajak tinggal di sini. Siapa tahu dari mereka aku akan mendapatkan petunjuk tentang jodoh anak kita, dan aku pun sudah rindu kepada mereka.”
“Habis toko kita bagaimana? Kalau ditutup terlalu lama, tentu kita akan kehilangan langganan.”
“Karena itu, biar aku seorang saja yang mengajak Hong Li pergi ke utara. Engkau mengurus toko, isteriku.”
Sebetulnya Suma Hui juga ingin ikut, akan tetapi ia merasa sayang meninggalkan tokonya yang mulai maju maka ia pun akhirnya setuju. “Asal kalian pergi jangan terlalu lama.”
Akan tetapi, sebelum mereka memberitahukan Hong Li tentang maksud Kao Cin Liong, pada sore hari muncullah seorang pemuda di rumah mereka. Pemuda yang berpakaian serba putih, berusia dua puluh dua tahun, bersinar mata lembut dan wajah cerah ramah, juga bersikap sopan santun. Begitu Kao Cin Liong dan isterinya menyambut, pemuda itu segera memberi hormat kepada Kao Cin Liong.
“Suheng, saya datang menghadap....”
Tentu saja Cin Liong terkejut dan heran. Dia lupa lagi kepada Tan Sin Hong, yang pernah dilihatnya ketika pemuda itu masih remaja. Akan tetapi karena satu-satunya orang di dunia ini yang menyebutnya suheng hanya seorang, yaitu pemuda remaja yang pernah dilihatnya menjadi murid ayah ibunya di gurun pasir itu, dan kedua yang menyebutnya suheng adalah seorang wanita bernama Can Bi Lan yang pernah menjadi murid ayah ibunya pula, dia pun segera dapat menduga siapa pemuda itu.
“Engkau Tan Sin Hong?”
“Benar, Suheng.”
“Ah, engkau telah menjadi seorang pemuda dewasa sekarang. Masuklah, dan perkenalkan, ini isteriku.”
Sin Hong segera memberi hormat dengan sikap sopan kepada Suma Hui yang juga sudah pernah diceritakan suaminya bahwa di gurun pasir terdapat seorang pemuda remaja yang menjadi murid ayah bundanya. Wanita ini menerima penghormatan sute suaminya itu. sambil mengamati dengan sinar mata tajam penuh selidik. Ia mendapat kenyataan bahwa pemuda ini seorang yang berjiwa sederhana, tercermin dari keadaan pakaiannya dan gerak-geriknya, sopan dan rendah hati, tidak menonjolkan diri walaupun dia sebagai murid Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya tentu telah memiliki ilmu kepandaian tinggi. Wajah pemuda itu sedang saja, tidak buruk akan tetapi juga tidak terlalu tampan, mata yang bersinar lembut dan mulut yang selalu tersenyum ramah itu amat menarik, juga sepasang mata lembut itu kadang-kadang mengeluarkan sinar mencorong, tanda bahwa dalam diri pemuda ini ada suatu kekuatan yang dahsyat.
Pemuda itu dipersilakan duduk diruangan dalam dan pada saat itu, muncullah Kao Hong Li, melihat bahwa orang tuanya menerima tamu pria yang disangkanya tentulah seorang yang datang untuk urusan dagang rempah-rempah, ia hanya menjenguk keluar pintu dan hendak masuk ke belakang lagi. Akan tetapi ayahnya memanggilnya.
“Hong Li, kesinilah dan bertemu dengan Susiokmu!”
Mendengar ini, Hong Li memandang heran. Ia memang pernah mendengar dari ayahnya, ketika ayahnya itu berkunjung ke gurun pasir bahwa ayahnya mempunyai seorang adik seperguruan yang sedang belajar di gurun pasir. Akan tetapi, tak disangkanya bahwa susioknya (paman guru) itu adalah seorang laki-laki yang masih demikian mudanya, kiranya tak banyak selisihnya dengan usianya sendiri. Akan tetapi ia pun segera memasuki ruangan itu, menghampiri meja di mana Sin Hong duduk berhadapan dengan Kao Cin Liong dan Suma Hui.
Melihat seorang gadis yang cantik dan gagah, Sin Hong cepat bangkit berdiri dari tempat duduknya. Hong Li segera memberi hormat dan berkata dengan jujur, “Inikah Susiok dari gurun pasir? Tak kusangka masih begini muda!”
Sin Hong membalas penghormatan itu, tidak seperti seorang paman, melainkan seperti orang yang seusia, dan menjawab, “Aku sungguh merasa terlalu tinggi untuk menjadi susiokmu, Nona.”
Kao Cin Liong tersenyum. “Duduklah, Hong Li. Susiokmu Tan Sin Hong ini baru saja datang. Kami sedang bersepakat untuk berangkat berkunjung ke gurun pasir, yaitu aku dan engkau, Hong Li, dan ibumu berjaga di rumah. Aku telah rindu kepada kakek dan nenekmu, dan akan mengajak engkau berangkat besok pagi, eh, tiba-tiba saja muncul sute Sin Hong! Tentu dia membawa banyak kabar dari Istana Gurun Pasir.”
Sin Hong menarik napas panjang. Sungguh amat tidak menyenangkan harus membawa berita yang amat buruk kepada keluarga perkasa ini. Dia pun melihat betapa kegembiraan membayang di wajah gadis itu ketika mendengar kata-kata ayahnya yang hendak mengajaknya berkunjung ke gurun pasir. Maka cepat-cepat dia bangkit berdiri dan menjura kepada suhengnya.
“Suheng, sungguh saya merasa menyesal sekali bahwa saya datang berkunjung ini hanya membawa berita yang amat buruk dan mendatangkan duka. Dia menahan diri agar tidak memperlihatkan wajah duka, bahkan mengeraskan hati agar kedua matanya yang sudah terasa panas itu tidak sampai menjadi basah oleh air mata.
Namun, ayah ibu dan anak yang bermata tajam itu tentu saja melihat perubahan pada wajah Sin Hong dan ketiganya terkejut bukan main. “Sute, berita buruk apakah yang kaubawa? Ada apa dengan ayah ibuku?” tanya Kao Cin Liong, hatinya merasa tidak enak sekali.
“Ketiga orang tua itu, subo dan kedua orang suhu, kini telah....tiada lagi, Suheng.”
“Apa....apa maksudmu!” Kao Cin Liong membentak, terkejut bukan main dan matanya terbelalak, mukanya pucat.
Dengan kepala ditundukkan, Sin Hong menjelaskan. “Mereka telah meninggal dunia.”
“Ahhh....!” Kao Cin Liong terkulai lemas dan tak dapat berkata-kata lagi, sedangkan Kao Hong Li merangkul ibunya dan kedua orang wanita ini mulai menangis.
“Tan Sin Hong sute, ceritakan yang jelas apa yang telah terjadi!” kata Kao Cin Liong, suaranya parau akan tetapi tidak ada air mata keluar dari sepasang matanya yang jelas dibayangi duka itu.
Sungguh merupakan tugas yang amat tidak enak bagi Sin Hong untuk menceritakan semua yang telah terjadi di Istana Gurun Pasir. Namun, dia mengeraskan hatinya.
“Maafkan saya, Suheng. Baru sekarang saya dapat datang untuk melapor. “Peristiwa itu telah terjadi setahun yang lalu....”
“Setahun? Mereka telah meninggal dunia, selama setahun? Sute, apa artinya keterlambatan yang amat lama ini?”
“Sekali lagi maaf, Suheng. Saya terpaksa harus menyembunyikan diri selama satu tahun, karena keadaan saya. Untuk jelasnya, baik saya ceritakan semua yang telah terjadi Suheng.”
Dengan jelas Sin Hong lalu menceritakan apa yang telah terjadi setahun yang lalu itu di gurun pasir. Betapa Istana Gurun Pasir diserbu oleh tujuh belas orang datuk sesat yang menyerang tiga orang tua itu. Kao Kok Cu, Wan Ceng, dan Tiong Khi Hwesio membela diri mati-matian sehingga di antara tujuh belas orang penyerbu itu, empat belas orang tewas dan yang hidup hanya tiga orang saja, itu pun dalam keadaan terluka. Akan tetapi, tiga orang tua itu tewas semua!
“Lalu untuk apa engkau berada di sana!” bentak Suma Hui dengan marah sekali, sinar matanya seperti hendak menyerang Sin Hong.
Pemuda itu memandang wajah Suma Hui. “Maafkan saya, pada waktu itu, saya sama sekali tidak mampu bergerak. Tiga orang guru saya telah mengajarkan Pek-ho Sin-kun dan menyalurkan sin-kang mereka kepada saya, dengan syarat bahwa selama setahun, saya tidak boleh bermain silat atau menyalurkan sin-kang dan kalau pelanggaran itu saya lakukan, saya tentu seketika akan mati terpukul tenaga sendiri dari dalam! Saya menjadi seperti seorang yang lemah dan sama sekali tidak mampu melawan.”
Kao Cin Liong dapat memaklumi hal itu dan dengan suara masih serak karena duka, namun halus, dia berkata, “Lanjutkan ceritamu, Sute. Lalu bagaimana?”
“Tiga orang yang masih hidup itu adalah Sin-kiam Mo-li, Thian Kong Cinjin dari Pat-kwa-kauw, dan Thian Kek Sengjin dari Pek-lian-kauw. Mereka lalu menangkap saya dan memaksa saya menunjukkan tempat disimpannya kitab-kitab rahasia. Akan tetapi beberapa waktu yang lalu, tiga orang guru saya telah membakari semua kitab sehingga yang terambil oleh tiga orang itu hanyalah Ban-tok-kiam dan Cui-beng-kiam saja.”
Suma Hui mengepal tinjunya. “Celaka! Sungguh celaka! Dua batang pedang pusaka yang ampuh itu terjatuh ke tangan orang-orang jahat!”
Kao Cin Liong mengangkuk-angguk. “Tidak anehlah kalau yang memimpin penyerbuan itu Sin-kiam Mo-li dan para tokoh Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw. Sekarang lanjutkan ceritamu, Sute.”
“Mereka memaksa saya untuk menguburkan jenazah empat belas orang teman mereka, dan kemudian, memenuhi pula pesan ketiga orang guru saya, maka saya lalu membakar Istana Gurun Pasir setelah mengangkut jenazah mereka ke dalam sehingga jenazah itu ikut terbakar habis. Saya menjadi tawanan mereka, dan untung bahwa pada malam hari, saya mendapat kesempatan melarikan diri lalu bersembunyi di sebuah bukit sampai setahun, sampai habis waktu yang ditentukan untuk bersamadhi dan tidak boleh menggerakkan tenaga sin-kang.”
Kembali Suma Hui dan puterinya menangis dan Kao Cin Liong menghela napas, panjang berkali-kali. “Aih, ayah ibuku dan paman Wan Tek Hoat dibunuh orang-orang jahat tanpa kami sedikit pun dapat membantu, bahkan engkau sendiri tidak dapat membela mereka, Sute. Betapa menyedihkan!”
“Akan tetapi, Suheng. Sudah seringkali saya mendengar dari mereka bahwa mereka memang mendambakan kematian dalam keadaan seperti itu, menentang datuk sesat. Mereka tewas, walaupun dalam usia yang sudah amat tua, namun tetap sebagai pendekar-pendekar sakti yang mereka inginkan. Mereka sama sekali tidak menyesal dan wajah jenazah mereka tersenyum penuh kebanggaan. Andaikata saya tidak dalam keadaan tak mampu bergerak dan dapat membela mereka sekalipun, agaknya saya akan tewas pula dan jenazah mereka bahkan akan terlantar. Sekali lagi maaf, Suheng, bahwa saya datang hanya membawa berita buruk.”
“Sudahlah, Sute. Engkau tidak bersalah. Dan bagaimana dengan Istana Gurun Pasir itu?”
“Sudah rata dengan tanah, menjadi gundukan puing dan abu, menjadi kuburan ketiga guru saya.
Tiba-tiba Hong Li bangkit berdiri, kedua tangannya dikepal, kedua matanya merah dan basah dan ia berkata, “Di antara para penjahat itu masih ada tiga orang yang hidup! Sin-kiam Mo-li, Thian Kong Cinjin dan Thian Kek Sengjin! Aku harus mencari mereka untuk membuat perhitungan atas kematian kakek dan nenekku!”
“Tenanglah, Hong Li.” Mereka itu bukan orang sembarangan, melainkan datuk-datuk sesat yang lihai dan mempunyai banyak sekali kawan. Apalagi kedua orang kakek itu yang merupakan tokoh-tokoh Pat-kwa-kauw dan Pek-liankauw! Memang kita tidak boleh tinggal diam, akan tetapi juga tidak boleh sembrono. Sute, bagaimana selanjutnya ceritamu? Apa yang selama ini kaulakukan sebelum engkau datang ke sini?” tanya Kao Cin Liong kepada Sin Hong.
Sin Hong lalu menceritakan riwayat dirinya, betapa ayahnya terbunuh orang dan ibunya tewas di padang gurun pasir sampai dia ditolong oleh Tiong Khi Hwesio, kakek Kao Kok Cu dan nenek Wan Ceng, kemudian menjadi murid mereka.
Diceritakannya tentang penyelidikannya, mengenai pembunuhan terhadap ayahnya dan betapa akhirnya dia memperoleh jejak bahwa di balik semua itu terdapat Tiat-liong-pang.
“Saya hendak melakukan penyelidikan ke pusat Tiat-liong-pang, Suheng. Bagaimanapun juga, mereka yang telah membunuh ayah saya, menyebabkan kematian ibu saya, kemudian membunuh pula Tang-piauwsu, kemudian orang she Lay itu, sungguh amat jahat dan perlu diselidiki. Oleh karena itu, setelah menyampaikah berita duka tentang kematian ketiga guru saya, saya mohon diri, hendak melanjutkan penyelidikan saya terhadap Tiat-liong-pang.”
Keluarga Kao itu merasa terharu juga mendengar akan riwayat anak muda yang kini telah menjadi yatim piatu dan kehilangan tiga orang gurunya pula. “Tiat-liong-pang? Sungguh aneh, menurut pengetahuanku, Tiat-liong-pang adalah perkumpulan orang gagah yang sudah banyak berjasa kepada pemerintah, bahkan kalau tidak salah, ketuanya, Siangkoan Tek telah menikah dengan seorang puteri istana sebagai hadiah atas pahalanya terhadap pemerintah.”
“Saya pun sudah mendengar akan hal itu, Suheng. Akan tetapi ketika hendak mati oleh serangan gelap, orang she Lay itu mengaku bahwa dia hanyalah anak buah saja dari Tiat-liong-pang. Pasti ada apa-apanya di sana dan saya akan menyelidiki sampai terbuka rahasia pembunuhan ayah saya itu.”
“Memang sebaiknya demikian, Sute. Akan tetapi, hari sudah malam dan sebaiknya malam ini engkau bermalam di sini. Belum cukup kita bercakap-cakap dan aku ingin mendengar tentang kehidupan ayah ibuku pada waktu terakhir, kiranya besok pagi baru engkau dapat melanjutkan perjalanan.”
Sin Hong tidak membantah dan malam itu dia bermalam di rumah keluarga suhengnya. Mereka bercakap-cakap sampai jauh malam dan Sin Hong menceritakan keadaan ketiga orang gurunya itu sebelum malapetaka itu datang menimpa.
Dalam kesempatan itu, keluarga Kao juga bertanya tentang ilmu yang diwariskan oleh tiga orang tua sakti itu. Sin Hong berterus terang mengakui. bahwa ilmu-ilmu mereka telah dipelajarinya dengan baik, bahkan sebelum mereka meninggal, mereka telah menggabung ilmu-ilmu mereka, diambil inti sarinya dan mereka bertiga bersama-sama menciptakan Pek-ho Sin-kun, lalu mengoperkan sin-kang mereka kepada Sin Hong untuk dipergunakan dalam permainan ilmu silat tinggi itu. Kao Cin Liong berhasil pula membujuk sutenya untuk berdemonstrasi memperlihatkan ilmu silat ciptaan baru itu. Sin Hong tidak berkeberatan dan ibu ayah dan anak itu mengagumi ilmu silat yang amat dahsyat dan hebatnya, juga indah karena banyak di antara gerakan meniru gerakan burung bangau yang anggun, tenang dan gagah.
Setelah pada keesokan harinya Sin Hong pergi meninggalkan rumah suhengnya, Hong Li menghadap kedua orang tuanya. Wajahnya keruh dan alisnya berkerut. “Ayah dan Ibu, aku merasa tidak puas sama sekali melihat sikap susiok Tan Sin Hong itu!”
Ayah bundanya terkejut dan memandang puteri mereka penuh perhatian. “Eh, apa maksudmu, Hong Li?” tanya ibunya.
“Susiok itu telah diselamatkan nyawanya oleh kakek dan nenek dan juga kakek Tiong Khi Hwesio, kemudian diberi pelajaran ilmu silat bahkan mewarisi penggabungan ilmu mereka. Dia berhutang budi yang tak terhitung banyaknya kepada tiga orang tua itu. Akan tetapi, ternyata dia terlalu mementingkan diri sendiri, setelah keluar dari gurun pasir, dia sibuk mengurusi kematian orang tuanya sendiri dan tidak mencari para pembunuh ketiga orang gurunya!”
“Aih, jangan berkata demikian, anakku! Bukankah sute Tan Sin Hong juga menceritakan betapa tiga orang tua itu selalu menekan kepadanya bahwa dia tidak boleh menyimpan dendam atas kematian ayahnya? Dendam adalah racun yang membakar diri sendiri, anakku. Karena itu, Sin Hong tidak mendendam, biarpun dia melihat sendiri betapa tiga orang gurunya tewas karena dikeroyok musuh, akan tetapi ternyata pihak musuh juga ada empat belas orang yang tewas! Kalau dihitung, kematian tiga orang tua itu tidaklah rugi dan tidak ada yang harus dibuat penasaran.”
“Dia boleh saja berpendapat demikian, akan tetapi aku tidak, Ayah! Tanpa dosa, kakek dan nenekku, juga kakek Tiong Khi Hwesio, tiga orang tua yang selama ini kukagumi walaupun aku hanya mendengar penuturan ayah dan ibu saja, telah diserbu orang-orang jahat dan mereka sampai tewas. Bagaimana aku dapat tinggal diam saja kalau para pembunuhnya ada yang masih berkeliaran? Tidak, aku harus pergi mencari mereka untuk membalas kematian orang-orang tua yang tidak berdosa itu, Ayah!”
Kao Cin Liong saling pandang dengan isterinya. Setelah Istana Gurun Pasir terbakar dan kedua orang tuanya tidak ada lagi, memang tidak mungkin lagi mengajak puteri mereka itu merantau ke sana. Hong Li sudah terlalu dewasa dan cukup kuat berjaga diri, maka kalau ia hendak mencari para penjahat itu, hal ini baik sekali untuk mematangkan pengalamannya dan memungkinkannya untuk menemukan jodohnya.
“Dengarlah baik-baik, anakku! Kami tidak akan menghalangi niatmu. Kami menggemblengmu selama ini memang dengan harapan agar engkau menjadi seorang pendekar wanita yang selalu menentang kejahatan. Akan tetapi jangan engkau sesalkan kematian kakek dan nenekmu itu. Mereka adalah orang-orang yang sejak mudanya sudah berkecimpung di dunia persilatan, membuat nama besar di dunia kang-ouw, telah menentang dan membasmi entah berapa banyak orang jahat di dunia ini. Siapa bermain air basah, bermain api terbakar, dan kalau kini mereka itu tewas menentang para datuk hitam, hal itu sudah wajar. Setelah pertentangan itu hanya ada dua akibatnya, kalah atau menang, hidup atau mati. Dan mereka mati dalam tugas mereka, sama sekali mereka tidak menyesal dan tidak perlu disesalkan. Ingat, nenek moyangmu, dari ibumu, para pendekar Pulau Es, juga selalu menentang kejahatan. Kakek buyutmu, Pendekar Super Sakti di Pulau Es, bersama kedua orang nenek buyutmu, juga tewas dengan gagahnya di Pulau Es, sama dengan kematian kakek dan nenekmu di Istana Gurun Pasir. Kematian seperti itu tidak perlu disesalkan. Jadi, kalau engkau hendak mencari Sin-kiam Mo-li dan orang-orang Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw, jangan sekali-kali dasarnya membalas dendam kematian kedua orang kakek nenekmu, melainkan karena sudah menjadi tugasmu menentang mereka yang jahat. Mengertikah engkau?”
Hong Li mengangguk. “Aku mengerti Ayah.”
“Akan tetapi, nanti dulu, Hong Li. Benarkah engkau hendak Menentang Sin-kiam Mo-li? Sudah bulat benarkah tekadmu itu? Engkau harus ingat bahwa bagaimanapun juga, di waktu kecil engkau pernah mengangkatnya sebagai guru, bahkan ibu angkat! Nah, yakinkah hatimu bahwa engkau akan mampu menentangnya?”
Gadis itu tertegun sejenak dan teringatlah ia akan semua pengalamannya di waktu kecil. Ketika ia berusia tiga belas tahun, pernah ia diculik seorang pendeta Lama yang sebetulnya adalah penyamaran Sin-kiam Mo-li, dan kemudian di tengah perjalanan, Sin-kiam Mo-li bersandiwara, seolah iblis betina itu yang menyelamatkannya dari tangan pendeta Lama sehingga ia diambil menjadi anak angkat dan murid! Akan tetapi kemudian muncul Gu Hong Beng dan Bi-kwi, juga Bi Lan dan Sim Houw, dan mereka itu berhasil menyelamatkannya, dan ia pun tahu akan tipu muslihat Sin-kiam Mo-li yang berhasil melarikan diri dari tangan para pendekar itu.
“Ibu, tentu saja aku sanggup untuk menentangnya. Memang benar aku pernah menganggap ia ibu angkat dan guru, akan tetapi semua itu terjadi karena ia menipuku, berpura-pura menjadi penolongku. Tidak, aku sudah tahu betapa jahatnya iblis betina itu, bahkan justeru karena ia yang telah membawa orang-orang jahat menyerbu istana kakek dan nenek, maka aku ingin sekali mencari dan menentangnya!”
“Akan tetapi jangan engkau lengah dan memandang ringan lawan, Hong Li. Engkau tentu tahu betapa lihainya Sin-kiam Mo-li. Selain amat lihai ilmu silatnya, juga ia menguasai sihir. Biarpun kami sudah menggemblengmu dengan kekuatan sin-kang untuk menolak pengaruh sihir, namun dalam hal ilmu silat, kiranya engkau masih kalah pengalaman. Apalagi kalau ia dibantu oleh para tokoh Pek-lian-kauw yang rata-rata pandai ilmu sihir dan orang-orang Pat-kwa-pai yang juga amat tangguh. Engkau harus berhati-hati, dan sebaiknya bergabung dengan para pendekar lainnya. Bagaimana kalau engkau mengunjungi dulu pamanmu Suma Ceng Liong di dusun Hong-cun dekat Cin-an? Siapa tahu puterinya Suma Lian, kini sudah pulang dan tentu sudah sebaya denganmu dan tentu memiliki ilmu kepandaian tinggi karena selain kedua orang tuanya amat sakti, juga ia digembleng oleh paman Gak Bun Beng.”
“Akan tetapi aku tidak pernah bertemu dengannya, bahkan jarang berkunjung ke rumah paman Suma Ceng Liong. Aku merasa malu kalau harus minta bantuan mereka Ayah.”
“Maksud ayahmu bukan minta bantuan, hanya untuk singgah di sana dan menyampaikan salam kami dan kabar selamat juga memberitahu tentang kematian kakek dan nenekmu di Istana Gurun Pasir. Dan dari percakapan itu, mungkin engkau akan dapat memperoleh petunjuk mereka,” kata ibunya.
“Kalau begitu lain lagi persoalannya, Ibu. Baiklah, aku akan singgah di Hong-cun mengunjungi keluarga paman Suma Ceng Liong.”
Tentu saja di balik anjuran itu tersembunyi harapan dalam hati Kao Cin Liong dan Suma Hui agar puteri mereka itu bertemu dengan keluarga dan siapa tahu dari keluarga itu akan muncul seorang calon jodoh bagi puteri mereka yang sudah cukup dewasa itu.
Sudah lajim bagi orang-orang tua yang hatinya selalu dipenuhi harapan-harapan bagi anak-anak mereka. Di waktu berada dalam kandungan, orang tua sudah mengharapkan agar anaknya lahir laki-laki atau perempuan, biasanya orang pada jaman dahulu lebih condong menghendaki agar kandungan itu lahir laki-laki. Kemudian kalau sudah lahir, mereka mengharapkan anak itu tumbuh menjadi seorang muda yang sehat dan pandai. Kalau sudah tiba waktunya menikah, mereka juga mengharapkan anak itu segera mendapat jodoh yang baik, kemudian harapan itu mulur terus. Mengharapkan agar mendapatkan cucu yang baik, agar keluarga anaknya itu menjadi keluarga bahagia, serba berkecukupan dan selalu dalam keadaan sehat. Semua ini akan menyenangkan hati orang tua, dan kalau terjadi sebaliknya, tentu saja mengecewakan dan mendatangkan duka!
Memang harapanlah yang mendatangkan kekecewaan! Mengharapkan suatu keadaan yang lain daripada keadaan yang ada saat ini, suatu keadaan yang dibayangkan akan lebih baik dan lebih menyenangkan. Kalau harapan itu terlaksana, datanglah kepuasan, akan tetapi sebentar saja karena kepuasan ini akan pudar lagi, tertutup harapan baru yang mulur dan mengejar harapan itu yang lebih jauh lagi. Kalau harapan pertama tidak tercapai, timbullah kekecewaan! Dan ini terjadi sejak manusia mulai mengerti sampai tiba ajalnya! Betapa menyedihkan hidup seperti itu, dipermainkan harapan-harapan sendiri. Bukan berarti kita selalu menjadi orang-orang yang putus asa, putus harapan dan mandeg, muram dan frustasi. Sama sekali tidak!
Akan tetapi, lakukan saja segala sesuatu dengan sepenuh hati, dengan perasaan cinta kasih terhadap apa yang kita lakukan dan terima saja hasilnya, apa pun juga, dengan wajar tanpa mengharapkan apa-apa. Hasil itu adalah kenyataan yang ada, dan dalam hidup, dan itulah keindahan. Terimalah anak yang terlahir sebagai hasil daripada perbuatan kita sendiri, dengan pasrah, tanpa pilihan dan menikmati apa yang ada, baik laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian, maka tidak akan timbul kekecewaan apa-apa. Kemudian, dalam pendidikan, berilah cinta kasih, karena pendidikan yang terbaik adalah kasih sayang, cinta kasih yang berarti ingin melihat SI ANAK itu bebas dan berbahagia hidupnya. Bukan sekedar menjejali otaknya dengan ilmu-ilmu agar kelak menjadi ORANG, yang tentu dimaksudkan oleh ayah menjadi orang yang berharta dan berkedudukan! Kalau demikian harapannya, maka orang tua akan kecewa kelak, karena bukan harta dan kedudukan yang membahagiakan seseorang! Berilah kebebasan karena dalam kebebasan itu terletak sinar kebahagiaan. Hal ini bukan pula berarti bebas semau gua. Orang tua mengamati, mengawasi, mengingatkan tanpa terlalu mencampuri, mengarahkan tanpa terlalu mengikat.
Anak kita merupakan manusia tersendiri, dengan alam pikiran, selera dan perasaan sendiri. Dia adalah mahluk yang hidup, bukan tanah liat yang boleh kita bentuk sekehendak hati kita sendiri. Bahkan, dia dilahirkan bukan atas kehendaknya sendiri! Lebih condong menjadi korban atau akibat daripada perbuatan kita!
Jadi, biarpun dia kita namakan anak kita, namun itu hanyalah pengakuan saja. Anak kita akan tetapi bukan milik kita! Sekali batin kita memiliki, maka anak itu akan kita anggap sama dengan semua benda lain yang mengikat batin kita, yang menjadi milik kita. Ingin kita jadikan begini begitu menurut keinginan kita, kita jaga dan pelihara dengan pamrih agar menyenangkan kita. Kalau begitu, apa bedanya dengan memelihara seekor binatang peliharaan? Kita pilihkan agamanya, sekolahnya, bahkan jodohnya, dan kita gariskan bagaimana dia harus hidup! Dan semua itu dengan dasar bahwa kita melakukannya demi kebahagiaan dia! Kalau dikaji benar, bukankah dasarnya sesungguhnya adalah demi kebahagiaan kita, demi kesenangan kita karena tercapai sudah harapan dan keinginan kita?
Kewajiban kitalah untuk membimbing anak yang masih belum dewasa, yang masih belum memilih sendiri, dengan cinta kasih, dengan waspada akan minat dan seleranya. Akan tetapi kalau dia sudah dewasa, sudah sepatutnya kalau kita membebaskan dia hanya mengamati dari jauh, dari belakang yang bukan berarti acuh. Kalau toh ada pamrih, maka pamrih itu hanya satu, yaitu kita ingin melihat DIA berbahagia, tanpa memperhitungkan selera dan perasaan hati sendiri yang mungkin sekali bertolak belakang dengan selera dan perasaan hatinya. Bukankah cinta itu hanya memberi dan bukan meminta? Bukankah cinta itu berarti meniadakan diri yang berarti meniadakan nafsu pribadi?
Setelah mendapat banyak petuah dari ayah ibunya, dan membawa bekal secukupnya, baik pakaian maupun uang, berangkatlah Kao Hong Li meninggalkan rumah orang tuanya, diantar oleh ayah ibunya sampai di pintu pekarangan depan.
Setelah gadis itu tidak nampak lagi, dengan lesu Suma Hui dan suaminya masuk lagi ke dalam rumah. Melihat betapa isterinya nampak lesu dan bersedih ditinggalkan puterinya, Kao Cin Liong membimbingnya dan diajaknya duduk di ruangan dalam.
“Mudah-mudah ia akan memperoleh pengalaman dan terutama sekali dapat bertemu jodoh dalam perjalanannya,” kata Kao Cin Liong.
“Setelah melihat Tan Sin Hong, aku merasa bahwa dia pun merupakan seorang calon mantu yang baik di samping Gu Hong Beng,” kata Suma Hui melamun.
Kao Cin Liong tersenyum. “Biarkan ia memilih sendiri. Kalau memang Tuhan sudah menghendaki, tentu ia akan bertemu dengan jodohnya. Lahir, jodoh dan mati agaknya sudah ada garisnya.”
***
Bersambung ke buku 4
Label:
Kho Ping Hoo,
Kisah Si Bangau Putih