Pusaka Pulau Es -4 | Kho Ping Hoo



Pusaka Pulau Es -4 | Kho Ping Hoo
Lo Cit merasa penasaran dan mulailah dia mengayun pedangnya dan menyerang dari segala jurusan dan dengan kecepatan kilat. Memang tidak kosong saja julukannya Dewa Pedang karena memang hebat sekali ilmu pedangnya. Namun, Keng Han juga memiliki ilmu Hong-in Bun-hoat yang sakti. Dengan berloncatan ke sana-sini dan pedang bengkoknya mencorat-coret menuliskan huruf-huruf, dia dapat menghindarkan diri dari semua serangan kakek itu.

“Jurus ke dua.... ke tiga....ke em­pat....!” Souw Cu In menghitung terus jurus-jurus yang dimainkan oleh kakek itu.

Pada jurus ke enam, Keng Han sama sekali belum tersentuh pedang lawan, bahkan kini dia mampu membalas dengan gerakan corat-coretnya yang membingungkan lawan.

“Jurus ke delapan....!”

Toat-beng Kiam-sian menjadi marah bukan main. Sudah delapan jurus lewat dan lawannya masih mampu menandinginya, bahkan mampu membalas serangan­nya. Dan dia sendiri tidak mengenal ilmu silat pedang lawan yang seperti corat-coret menuliskan huruf itu. Dia membentak keras sambil berjongkok dan menyabetkan pedangnya untuk membabat kedua kaki lawan.

“Hyaaaaattttt....!”

Keng Han meloncat ke atas dengan gerakan ringan seperti seekor buruhg terbang sehingga babatan itu hanya lewat di bawah kedua kakinya.

“Jurus ke sembilan....!” Cu In berseru girang, akan tetapi tiba-tiba wajahnya menjadi pucat dan ia memandang, dengan hati cemas ketika melihat serangan jurus ke sepuluh. Kini Lo Cit menggerakkan pedangnya ke atas, menyambut tubuh Keng Han yang melompat turun dan bukan pedangnya saja yang menyerang, akan tetapi juga tangan kirinya menghantam dengan ilmu pukulan Halilintar! Bukan main hebatnya pukulan dan tusukan pedang ini dan tubuh Keng Han masih berada di udara.

Sementara itu, melihat serangan lawan yang nekat dan berbahaya, Keng Han menggerakkan pedang bengkoknya untuk menangkis dan tangan kirinya juga dihantamkan ke depan menyambut pukul­an Halilintar lawan.

“Tranggg.... desss....!” Hebat bukan main pertemuan kedua pedang itu, akan tetapi lebih dahsyat lagi pertemuan kedua telapak tangan. Akibatnya, tubuh Lo Cit terdorong sehingga dia terhuyung ke belakang, sedangkan Keng Han turun ke bawah dengan selamat.

Jurus ke sepuluh!” bentak Cu In.

Akan tetapi agaknya Lo Cit tidak mempedulikan teriakan itu dan kini bahkan menyerang lagi dengan lebih dahsyat ke arah Keng Han. Dan bersama dengan majunya Lo Cit, kini beberapa orang murid, di antaranya Gan Bu Tong juga hendak melakukan pengeroyokan. Melihat gelagat yang tidak baik ini, Cu In sudah meluncurkan sabuk suteranya yang berubah menjadi sinar putih menyerang kearah Lo Siu Lan. Siu Lan terkejut akan tetapi tidak sempat mengelak dan tahu-tahu pinggangnya telah terlibat ujung sabuk dan sekali Cu In menarik, tubuh Siu Lan terdorong ke arahnya dan ia sudah menangkap gadis itu dan menodongkan jari-jari tangan kirinya ke atas ubun-ubun kepala Siu Lan.

“Tahan semua senjata atau aku akan membunuh Siu Lan!” teriak Cu In dengan suara nyaring. Toat-beng Kiam-sian Lo Cit menengok dan wajahnya berubah ketika dia melihat puterinya telah berada dalam ancaman tangan Cu In. Dia maklum bahwa sekali menggerakkan tangan itu ke arah ubun-ubun kepala anaknya, gadis itu tentu akan tewas!

“Tahan semua senjata dan mundur!” bentaknya kepada para muridnya. Semua mundur dan memandang ke arah Cu In yang masih mengancam Siu Lan.

“Keng Han, mari kita pergi dari sini. Awas, jangan ada yang mengikuti kami kalau ingin gadis ini selamat!” kembali Cu In membentak dan ia mendorong Siu Lan berjalan di depan sedangkan ia dan Keng Han berjalan di belakangnya. Dengan cara ini mereka dapat keluar dari sarang Kwi-kiam-pang tanpa ada yang berani menghalangi.

Setelah tiba di luar, Cu In menotok Siu Lan sehingga gadis ini menjadi lemas dan roboh tak berdaya, kemudian mereka berdua berlari cepat meninggalkan tempat itu.

Belasan li mereka berlari meninggalkan tempat itu sampai mereka memasuki sebuah hutan di lereng bukit. Mereka berhenti melepas lelah dan Keng Han berkata dengan nada suara menegur, “Su­i, kenapa menggunakan cara yang curang itu untuk menyelamatkan diri?”

“Curang katamu? Bagaimana dengan Toat-beng Kiam-sian itu? Sudah sepuluh jurus engkau bertahan terhadap serangannya, ehhh, dia malah menyerang lagi dan maju mengeroyok. Mereka demikian banyak, bagaimana mungkin kita dapat melawan mereka? Kalau aku tidak menggunakan akal itu, apa kaukira kita bisa keluar dengan selamat.

Keng Han menundukkan mukanya, harus mengaku kebenaran ucapan gadis itu. “Ah, mengapa di dunia ini banyak orang yang tidak sungkan berlaku curang seperti ketua Kwi-kiam-pang tadi?”

“Itulah! Merupakan pelajaran pertama bagimu kalau engkau memasuki dunia kang-ouw, yaitu, jangan mudah percaya kepada siapapun juga atau engkau akan tertipu. Lebih banyak orang yang curang daripada yang jujur, lebih banyak yang jahat daripada yang baik. Nah, sekarang tiba saatnya kita harus berpisah mengambil jalan masing-masing.

“Su-i,” kata Keng Han dengan suara sungguh-sungguh. “Kalau perjalanan kita sama, menuju ke satu jurusan, yaitu kota raja, kenapa kita tidak melakukan perjalanan bersama saja?”

“Tidak pantas seorang pemuda melakukan perjalanan bersama seorang gadis!”

“Aih, Su-i, bukankah engkau ini bibi guruku? Kenapa tidak pantas? Yang penting kita tidak melakukan sesuatu yang tidak pantas. Pula, agaknya memang sudah semestinya kita melakukan perjalanan bersama sehingga dapat saling melindungi. Bayangkan saja, kalau kita tidak melakukan perjalanan bersama, engkau sudah celaka di tangan Tung­hai Lo-mo dan aku sudah celaka di tangan Toat-beng Kiam-sian! Dengan berdua, kita dapat mengatasi semua bahaya itu.”

Souw Cu In termenung, agaknya melihat kebenaran dalam ucapan pemuda itu dan ia mempertimbangkan. Tiba-tiba ia mengangkat mukanya dan bertanya. “Keng Han, apakah engkau murid keluarga Pulau Es?”

“Bukan, Su-i. Bahkan aku selama hidup belum pernah bertemu dengan mereka.”

“Akan tetapi ilmu silatmu itu.... aku pernah mendengar subo bercerita tentang ilmu-ilmu keluarga itu. Katanya ada ilmu yang sifatnya seperti mencorat­coret dengan tangan atau pedang, yang disebut Hong-in Bun-hoat, dan tadi engkau menggunakan ilmu itu, bukan?”

Terhadap gadis ini Keng Han tidak ingin berbohong. “Memang sesungguhnya aku tadi memainkan ilmu Hong-in Bun­hoat.”

“Dan kau bilang bukan murid Pulau Es?”

“Bukan, Su-i. Aku tidak berbohong. Kudapatkan ilmu ini di sebuah gua di Pulau Hantu, bersama ilmu-ilmu lain.”

“Ilmu apa saja? Ah, kau tidak perlu mengaku kalau hendak merahasiakannya.”

“Kepadamu aku tidak ingin menyembunyikan apa-apa, Su-i. Selain Hong-in Bun-hoat, aku juga menemukan pelajaran ilmu silat Toat-beng Bian-kun, ilmu tenaga sakti Hwi-yang Sin-kang dan Swat­im Sin-kang.”

Gadis itu terbelalak dan Keng Han terpesona. Sepasang mata itu demikian indahnya ketika terbelalak, seperti bin­tang kembar yang bercahaya terang. “Tapi semua itu adalah ilmu-ilmu keluarga Pulau Es!”

“Entahlah, Su-i. Aku hanya menemukannya di Pulau Hantu dan telah kupelajari semua itu selama lima tahun.”

“Pantas saja engkau mampu menandingi Swat-hai Lo-kwi dan Toat-beng Kiam-sian. Dan suci telah mengangkatmu sebagai murid! Betapa lucunya. Padahal suci sendiri tak mungkin mampu menandingimu. Bahkan subo sendiri belum tentu mampu. Engkau telah menguasai ilmu­ilmu langka yang sakti, Keng Han.”

Keng Han tersipu. “Aih, Bibi Guru terlalu memuji. Aku hanya seperti seekor burung yang baru belajar terbang dan baru saja meninggalkan sarangnya. Aku tidak mempunyai pengalaman apa-apa, maka kalau Su-i sudi melakukan perjalanan bersamaku, aku dapat belajar banyak.”

“Tidak bisa! Kalau subo mengetahui aku melakukan perjalanan dengan seorang pemuda, tentu ia akan marah sekali dan aku harus membunuhmu! Nah, pergilah!”

“Akan tetapi, Su-i.... Suara Keng Han penuh permohonan dan penuh kekecewaan.

“Tidak ada tapi-tapian, Keng Han. Kita harus berpisah. Pergilah, atau aku akan marah kepadamu!”

“Su-i....!” kata Keng Han, akan tetapi melihat sinar mata itu mencorong marah, dia lalu memberi hormat dan berkata, “Baiklah, Su-i, aku tidak berani membantah. Harap Su-i berhati-hati di jalan dan jagalah dirimu baik-baik, Su-i.” Dengan wajah sedih sekali Keng Han lalu memutar tubuhnya dan pergi meninggalkan gadis itu. Dia merasa tubuhnya menjadi lemas dan segala sesuatu nampak buruk baginya. Dia merasa kesepian, merasa ditinggalkan oleh sesuatu yang amat berharga baginya. Kalau tadinya, segala hal nampak menyenangkan, kini menjadi menyedihkan. Dia menengok dan tidak melihat lagi bayangan Cu In. Kesedihan dan kesepian melanda dirinya sehingga Keng Han tidak mampu melangkah lagi. Dia menjatuhkan dirinya duduk di atas batu dan termenung. Hidupnya terasa hampa. Kerinduan kepada Cu In begitu mencengkeram hatinya. Membayangkan bahwa dia tidak akan dapat bertemu lagi dengan gadis itu, membuat matanya menjadi basah dan hampir saja dia menangis seperti anak kecil kalau tidak ditahan-tahannya.

Tiba-tiba dia, menyadari keadaannya dan menepuk kepalanya sendiri. “Huh! Kenapa engkau menjadi cengeng seperti itu?” Dia merasa malu kepada diri sendiri, malu kepada Souw Cu In. Kalau bibi gurunya itu melihat keadaannya, tentu ia akan menegurnya.

“Tolol! Cengeng!” Keng Han memaki diri sendiri sambil bangkit berdiri dan dengan langkah tegap dia melanjutkan perjalanannya menuju ke timur, ke kota raja! Dia masih memiliki tugas yang teramat penting. Mencari ayah kandungnya.


***

Souw Cu In sendiri merasa kesepian dan hatinya terasa berat harus berpisah dari Keng Han. Gadis ini merasa heran sekali. Belum pernah ia merasa kehilangan seperti ini! Apalagi kehilangan seorang sahabat, seorang pria. Tekanan yang diberikan subonya sejak ia masih kecil membuat ia menganggap setiap orang pria itu palsu dan jahat. Apalagi setelah ia melihat sendiri betapa kaum pria selalu bersikap menjemukan kalau bertemu dengannya di manapun. Pria semua mata keranjang dan ingin menggoda kalau bertemu dengannya. Akan tetapi kini ia bertemu Keng Han yang sama sekali berlainan dengan pria yang seringkali ia bayangkan dan yang pernah ia temukan. Keng Han sama sekali tidak kurang ajar, bahkan amat sopan dan bersikap baik sekali kepadanya. Maka, begitu Keng Han meninggalkannya dengan sikap demikian kecewa dan sedih, ia merasa kasihan sekali dan ikut pula berduka dan kehilangan. Baru sekarang ia merasa kesepian melanda hatinya.

Akan tetapi gadis yang dididik menjadi keras hati ini dapat menekan perasaannya dan ia pun melakukan perjalanan seorang diri dengan cepat sekali. Pada suatu hari tibalah ia di sebuah dusun yang cukup besar dan ramai. Bahkan ia menemukan sebuah kedai makan di dusun itu. Karena perutnya sudah lapar Souw Cu In memasuki kedai itu dan memesan makanan dan minuman teh. Kedai teh itu sudah banyak tamu yang sedang makan. Seperti biasa dialami Cu In, begitu ia memasuki kedai makan itu, banyak mata memandang dan banyak kepala menengok lalu terdengar suara berbisik-bisik dan tawa yang dibuat-buat. Namun ia tidak mempedulikan,itu semua dan memesan makanannya kepada pela­yan yang menghampirinya.

Tiga orang pria yang duduk di meja sebelahnya, menghentikan makan mereka ketika melihat Cu In. Mereka itu terdiri dari orang-orang yang berpakaian, gagah, berusia antara tiga puluh dan empat puluh tahun. Seorang di antara mereka, yang berusia tiga puluh tahun, agaknya menjadi pemimpin mereka.

“Sayang ia bercadar sehingga kita tidak dapat melihat. mukanya,” kata seorang di antara mereka yang berusia hampir empat puluhan tahun.

“Aku yakin ia cantik seperti bidadari,” kata orang kedua yang usianya empat puluhan tahun.

“Sudahlah, lanjutkan makan kalian dan jangan pedulikan orang lain.” kata pemuda yang berusia tiga puluhan tahun. Dia itu bertubuh tinggi besar dan nampak gagah dan tampan, mukanya bundar dan sepasang matanya lebar sehingga wajah itu nampak asing.

“Akan tetapi, Kongcu, yang ini berbeda dengan wanita biasa. Kami berani bertaruh bahwa ia seorang yang luar biasa sekali, penuh rahasia karena muka itu bercadar.” kata orang pertama.

Orang yang disebut kongcu itu mencela, “Kalau orang menutupi mukanya, apalagi kalau ia wanita, tentu itu cacat. Sudahlah, mari kita cepat selesaikan makan, kita harus melanjutkan perjalanan!”

Mereka melanjutkan makan minum dan karena Cu In makan cepat dan tidak banyak, gadis ini lebih dulu selesai dan segera membayar makanan dan pergi meninggalkan kedai makanan itu tanpa mempedulikan orang lain. Tiga orang itu juga sudah selesai makan dan mereka juga cepat-cepat meninggalkan kedai.

Ketika Cu In berjalan keluar dari dusun itu, ia pun tahu bahwa tiga orang itu membayanginya. Ia pura-pura tidak tahu dan melangkah terus. Akan tetapi setelah tiba di jalan yang sepi, tiga orang ini berlari cepat menyusulnya.

“Tahan dulu, Nona!” terdengar suara pria pertama yang berkumis dan berjenggot seperti kambing.

Cu In berhenti dan menghadapi tiga orang itu. Ia melihat bahwa dua, diantara mereka memandangnya dengan mulut menyeringai, akan tetapi pemuda berusia tiga puluhan tahun yang berwajah tam­pan dan gagah itu bersikap acuh tak acuh.

“Nona, tadi kita melihatmu di rumah makan.” kata orang kedua yang hidungnya pesek.

“Lalu, mengapa kalian mengejarku?” tanya Cu In dengan ketus.

“Begini, Nona. Aku dan temanku ini bertaruh. Aku yakin bahwa wajahmu cantik seperti bidadari, sebaliknya dia yakin bahwa wajahmu cacat dan buruk. Nah, karena itu kami harap Nona suka membuka cadar Nona itu sebentar saja agar kami dapat melihatnya dan menen­tukan siapa yang menang bertaruh.”

“Aku tidak peduli kalian bertaruh atau tidak, akan tetapi aku tidak akan membuka cadarku!” kata Cu In dengan suara ketus dan marah.

“Aih, Nona. Mengap Nona begitu pelit? Memperlihatkan muka sebentar saja, apa keberatan. Nah, kalau begitu biarlah aku yang membuka dan menying­kap cadar itu!” kata si jenggot kambing dan tangannya meraih ke arah cadar di muka Cu In. Gadis ini mengelak mundur dan sambaran tangan itu luput.

“Siapa berani membuka cadarku dia akan mati!” kata Cu In dengan suara membentak.

Akan tetapi agaknya si jenggot kambing dan si hidung pesek menganggap kosong gertakan Cu In ini. Bahkan si hidung pesek tertawa, “Ha-ha-ha, Thian­ko. Mari kita bertaruh lagi, siapa di antara kita yang lebih dulu dapat mem­buka cadar Nona ini!”

Si jenggot kambing tertawa. “Ha-ha­ha, baik sekali! Jadi taruhan kita ada dua, mengenai muka gadis ini dan siapa yang lebih dulu menyingkap cadar!” Keduanya lalu menerjang maju dan tangan mereka meraih untuk menyambar cadar putih yang menutupi muka Cu In. Laki-laki ketiga yang berwajah tampan itu masih memandang dengan tidak peduli.

Marah sekali hati Cu In. Cepat ia mengelak sambil berloncatan dari serangan kedua orang yang hendak merenggut cadarnya dan ia pun menampar dengan pukulan Tangan Beracun. Akan tetapi kagetlah ia melihat betapa dua orang itu pun mampu mengelak dengan cepat. Kini keadaannya berubah. Dua orang itu bukan berebutan membuka cadar melainkan mengeroyok gadis itu. Terjadilah perkelahian yang seru.

Akan tetapi, dua orang itu kecelik karena kini mereka bertemu batunya. Ternyata gadis bercadar itu lihai bukan main dan mereka terdesak hebat oleh pukulan dan tendangan Cu In. Padahal, kedua orang itu mengira bahwa mereka adalah orang-orang lihai yang jarang bertemu tanding! Melihat ini, sepasang mata lebar dari pemuda tampan itu bersinar-sinar. “Kalian mundurlah!” bentaknya, dan kini dia sendiri yang maju melawan Cu In. Dua orang kawannya menaati perintahnya dan mundur menjadi penonton.

Cu In terkejut setengah mati. Pemuda itu ternyata lihai bukan main, berani menangkis Tangan Beracunnya dan setiap kali tertangkis ia merasa lengannya tergetar hebat. Pemuda itu memiliki ilmu silat yang aneh dan juga memiliki tenaga sinkang amat kuatnya.

Cu In yang maklum bahwa kawannya tangguh, segera melolos sabuk suteranya yang menjadi senjatanya yang ampuh, dan mulai menyerang dengan sabuk su­teranya. Akan tetapi pemuda itu dapat mengelak atau menangkis sambil men­coba untuk menangkap ujung sabuk sutera putih itu. Akan tetapi usahanya selalu gagal. Sabuk sutera itu seolah hidup di tangan Cu In, bergerak seperti seekor ular dan setiap kali ditangkap dapat melesat cepat menghindar lalu menyerang lagi dengan patukan yang mengarah jalan darah karena sesungguhnya senjata lemas itu dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah.

Selagi ramai-ramainya kedua orang ini bertanding, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan terdengar suara Keng Han, “Bibi guru harap minggir biar aku yang menghadapinya?”

Bagaimana Keng Han dapat tiba di situ! Perjalanannya dengan Cui In memang searah, sama-sama ke timur sehingga tidak aneh kalau dia juga lewat di situ. Ketika dari jauh melihat perkelahian itu, jantungnya berdebar penuh kegembiraan dan ketegangan karena seorang wanita yang berpakaian putih bersenjata sabuk sutera putih itu siapa lagi kalau bukan Souw Cu In? Melihat orang yang dirindukannya ini hatinya merasa girang sekali, akan tetapi juga tegang melihat betapa lawan bibi gurunya itu amat tangguh. Apalagi setelah dekat dia mengenal pemuda itu sebagai Gulam Sang yang pernah ditandinginya! Gulam Sang, putera mendiang gurunya! Bahkan gurunya sebelum meninggal dunia berpesan agar dia bekerja sama dengan puteranya itu. Maka cepat dia meloncat datang dan menyuruh bibi gurunya minggir.

Gulam Sang juga mengenal Keng Han sebagai pemuda tangguh yang pernah dilawannya. Dia menjadi penasaran karena tadi belum sempat mengalahkan Cu In yang sudah didesaknya.

“Siapakah engkau yang mencampuri urusan kami?” bentaknya dan dia memandang kepada Keng Han dengan mata yang lebar itu mencorong.

“Bukankah namamu Gulam Sang dan engkau adalah putera dari Gosang Lama?” tanya Keng Han sambil membalas pan­dang mata mencorong itu.

Gulam Sang nampak terkejut dan melangkah mundur setindak mendengar pertanyaan itu. “siapa engkau? Apa hubunganmu dengan Gosang Lama?” Keng Han melihat betapa kekejutan pemuda tinggi besar itu dibuat-buat karena suaranya Masih biasa saja, hanya tadi seolah sengaja melangkah mundur.

“Aku adalah muridnya. Sebelum suhu Gosang Lama meninggal dunia, dia berpesan kepadaku agar dapat bekerja sama denganmu. Akan, tetapi kenapa engkau bertempur melawan bibi guruku ini? Ia adalah bibi guruku dan mustahil ia melakukan kesalahan sehingga engkau turun tangan bertempur dengannya.”

Wajah Gulam Sang berubah kemerahan dan dia menoleh kepada dua orang kawannya. “Kawan-kawanku ini yang usil maka terjadi perkelahian. Mereka hendak menyingkap tabir yang menutupi wajah Nona ini.”

Keng Han mengerti mengapa mereka berkelahi. Tentu saja bibi gurunya tidak sudi dibuka cadarnya dan masih beruntung mereka berdua itu tidak sampai dipukul mati.

“Kalian sudah bertindak lancang. Mengingat engkau putera suhu Gosang Lama, biarlah aku mintakan ampun kepada bibi guruku.” kata Keng Han sambil menoleh. Akan tetapi ternyata Cui In sudah tidak nampak, sudah pergi dari tempat itu tanpa pamit. Ketika tadi Keng Han muncul, Cu In juga merasa berbahagia sekali. Akan tetapi ketika mendengar bahwa pemuda tinggi besar itu putera guru Keng Han, Cu In menjadi marah dan pergi tanpa pamit.

“Eh, ke mana bibi guru?”

Si jenggot kambing yang menjawab. “Ia sudah pergi sejak tadi.”

Keng Han memandang kepada si jenggot kambing dan si hidung pesek dengan marah. “Kalian berdua telah melakukan kesalahan, hayo cepat minta maaf kepadaku dan aku akan memaafkan atas nama bibi guruku!”

Kedua orang itu memandang kepada Gulam Sang yang mengangguk. Keduanya lalu mengangkat kedua tangan di depan dada, memberi hormat kepada Keng Han, “Harap sampaikan maaf kami kepada nona tadi.”

“Saudara yang baik, siapakah namamu dan sejak kapan engkau menjadi murid ayahku?”

“Namaku Si Keng dan sejak berusia sepuluh tahun aku menjadi murid Gosang Lama selama lima tahun.”

“Kalau begitu engkau masih saudaraku sendiri walaupun aku sendiri sejak kecil tidak pernah bertemu dengan mendiang ayahku. Apa saja yang dipesankan ayah kepadamu sebelum dia meninggal?”

“Dia berpesan agar aku bekerja sama denganmu, saling bantu.”

“Bagus sekali! Mari kita kembali ke dusun dan mencari penginapan agar kita leluasa bicara.”

Keng Han tidak menolak, karena percuma saja andaikata dia akan mengejar Cu In yang pergi tanpa pamit . Dan dia pun ingin mengenal lebih baik putera suhunya ini yang berkepandaian tinggi dan yang menurut Dalai Lama pernah menjadi murid Dalai lama yang sakti. Mereka kembali ke dusun dan menyewa kamar, kemudian bercakap-cakap berdua saja di kamar yang disewa Keng Han.

“Nah, sekarang katakan apa yang hendak kaubicarakan, Gulam Sang. Kerja sama yang bagaimana yang dapat kita bersama lakukan.”

“Nanti dulu, Keng Han. Aku ingin tahu siapakah orang tuamu dan sekarang ini engkau hendak ke mana? Kita harus terbuka dan menceritakan keadaan masing-masing, baru kita dapat bekerja sama, bukan?”

Keng Han mengangguk-angguk. Dia belum percaya kepada pemuda tinggi besar ini, akan tetapi bagaimanapun juga, pemuda ini adalah putera Gosang Lama yang pernah menjadi gurunya yang baik. “Terus terang saja, saudara Golam Sang. Ibuku adalah seorang wanita Khitan, puteri seorang kepada suku di sana dan ayahku....” Ia berhenti dan meragu. Ha­rus dikatakankah rahasia tentang ayah­nya?

“Dan ayahmu tentu bukan orang Khi­tan!” kala Golam Sang.

“Engkau benar. Ayahku adalah seorang pangeran kerajaan Ceng.”

“Ahhh....!” Gulam Sang nampak ter­kejut. “Siapa nama ayahmu yang pangeran itu?”

“Nama ayahku adalah Tao Seng, jadi aku she Tao Keng Han.”

“Ahhh....!” kembali Golam Sang terkejut. “Apakah Pangeran Tao Seng yang dihukum buang itu?”

“Agaknya engkau mengetahui banyak hal tentang ayahku, saudara Golam Sang.”

“Aku hanya mendengar saja bahwa ada dua orang pangeran yang dihukum buang.”

“Dan tahukah engkau di mana ayahku itu sekarang?”

“Aku tidak tahu, mungkin di kota raja, mungkin masih di tempat pembuangannya, di Barat. Akan tetapi engkau tentu dapat mencari keterangan di kota raja. Kebetulan aku mengenal seorang pensiunan pejabat tinggi yang dahulu berhubungan erat dengan ayahmu. Kau carilah dia di kota raja dan dia pasti akan dapat memberitahu di mana ayahmu. Namanya Ji Soan dan dikenal dengan sebutan Ji-wangwe (hartawan Ji) karena sekarang dia telah menjadi seorang saudagar yang kaya raya. Kau tanyakan kepada siapa saja di mana ru­mahnya Ji-wangwe dan tentu engkau akan dapat menemukannya.”

Ah, terima kasih, Gulam Sang. Ke­teranganmu ini penting sekali bagiku. Besok pagi-pagi aku akan langsung menuju ke kota raja untuk mencari Ji­wangwe itu.”

“Kabarnya, ayahmu itu difitnah dan dia dihukum dalam keadaan penasaran sekali.”

“Difitnah?” tanya Keng Han, ingin sekali tahu.

“Ya, kabarnya yang melakukan fitnah adalah seorang pangeran lain yang kini menjadi Pangeran Mahkota.”

“Aku mendengar dari ibuku bahwa ayahku itu adalah Pangeran Mahkota.”

“Mungkin benar demikian. Mungkin karena dia seorang Pangeran Mahkota, ada pangeran lain yang iri hati dan melakukan fitnah sehingga dia dihukum buang.”

“Siapakah pangeran jahat itu?”

“Dia adalah Pangeran Mahkota Tao Kuang. Akan tetapi urusan itu aku pun tidak tahu banyak. Yang lebih mengetahui adalah Hartawan Ji itulah. Bagaimanapun juga, Pangeran Tao Kuang dan Kaisar Cia Cing itu adalah musuh be­sarmu karena merekalah yang mencelakakan dan menghukum ayahmu.”

“Kalau benar ayah terhukum dengan penasaran, aku akan membalas dendam!” kata Keng Han dengan hati panas.

“Bagus! Dalam hal ini, kita dapat bekerja sama. Kita sama-sama berjuang menggulingkan pemerintahan Ceng yang dipegang oleh Cia Cing dan kelak di­pegang oleh Pangeran Tao Kuang itu!. Kita bekerja sama dengan teman-teman seperjuangan.”

“Hemmm, kau maksudkan orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai yang dulu kaubantu mengeroyok kami itu? Mereka itu bukan orang-orang baik. Aku sudah mendengar sepak terjang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai itu. Mereka adalah orang­orang jahat yang berkedok perjuangan. Bagaimana kita dapat bekerja sama de­ngan mereka?”

“Nah, di sini letaknya kesalah-pahaman itu. Engkau berpikiran seperti ketua Thian-li-pang itu. Kalau kita benar-benar hendak berjuang menentang pemerintahan, kita harus mempersatukan semua tenaga dari pihak manapun. Kita harus bersatu padu tanpa mempedulikan watak masing-masing, untuk bersama-sama mengadapi pasukan pemerintah yang kuat. Aku lebih condong menyetujui pendapat ketua Bu-tong-pai!”

“Ah, engkau juga hadir ketika ada rapat besar itu?”

“Tentu saja. Aku hadir sebagai pendengar saja. Nah, bagaimana pendapatmu?”

Keng Han meragu. “Agaknya engkau benar. Aku harus membalas dendam atas kematian ayahku kalau benar dia sudah mati secara penasaran dan difitnah. Aku suka bekerja sama denganmu, Gulam Sang.”

Gulam Sang menjabat tangan Keng Han. “Bagus, kita akan bekerja sama kelak. Kau tunggu saja di rumah Hartawan Ji, karena dia pun telah menjadi sekutu kami untuk melakukan pemberon­takan. Pergilah engkau ke sana, cari keterangan tentang ayahmu dan katakan kepada Ji-wangwe bahwa engkau adalah sahabat dan sekutuku yang suka untuk bekerja sama.”

Demikianlah, Keng Han yang masih hijau dalam pengalamannya itu percaya sepenuhnya kepada Gulam Sang karena orang ini adalah putera gurunya yang sudah meninggalkan pesan agar dia be­kerja sama dengan Gulam Sang.


***

Yo Han dan Tan Sian Li tidak dapat membantah atau melarang lagi ketika Yo Han Li menyatakan pendapatnya bahwa ia ingin merantau untuk mencari pengalaman.

“Bukankah Ibu dahulu ketika masih muda juga suka merantau mencari pe­ngalaman di dunia kang-ouw sehingga Ibu dijuluki Si Bangau Merah di dunia kang­ouw? Juga Ayah mendapat julukan Pen­dekar Tangan Sakti karena perantauannya di dunia kang-ouw. Saya hanya ingin merantau dan meluaskan pengalaman saja. Saya tidak ingin mendapatkan nama julukan dan saya akan selalu berhati-hati agar jangan terpancing dalam per­musuhan.” Demikian ucapan Yo Han Li yang membuat ayah ibunya tidak dapat membantah lagi dan terpaksa memberi ijin kepada puterinya untuk merantau. Siapa tahu dalam perantauannya itu pu­teri mereka akan bertemu dengan jodoh­nya. Mereka tidak perlu khawatir karena sekarang Han Li sudah memiliki tingkat kepandaian yang sebanding dengan ting­kat ibunya, sudah cukup kuat untuk men­jaga diri.

“Baiklah, kami mengijinkan engkau untuk pergi merantau meluaskan pengalaman. Akan tetapi engkau harus berjanji tidak akan pergi lebih lama dari setahun. Dalam waktu setahun engkau harus sudah pulang.” kata Yo Han. “Di dunia kang­-ouw sedang kacau karena partai besar seperti Bu-tong-pai hendak memberontak dan mengajak partai-partai sesat untuk bekerja sama. Engkau jangan terpikat oleh mereka itu. Perjuangan kita lain sifatnya. Kita pantang bekerja sama dengan penjahat dan kita bergerak me­lihat suasana.”

“Aku berjanji, Ayah.” kata Han Li.

“Hati-hatilah, anakku,” kata Tan Sian Li. “Jangan engkau mencari permusuhan dengan siapapun. Biarpun engkau harus membela kebenaran dan keadilan, mem­bela yang tertindas dan menentang yang jahat, namun kalau tidak terpaksa sekali jangan engkau membunuh orang. Dan yang harus kau ingat benar, jangan sekali-kali percaya begitu saja kepada mulut manis seseorang, karena di dunia kang-ouw banyak sekali penjahat yang bermuka dan bermulut manis. Engkau harus pandai menjaga harga dirimu, walaupun tidak perlu tinggi hati. Kalau sekiranya ada bahaya mengancam, sebut nama julukan ayahmu dan nama julukanku, mungkin dapat menolongmu.”

“Baik, Ibu. Aku akan selalu ingat akan nasihat Ayah dan Ibu.”

Tiga hari kemudian, Yo Han Li berangkat meninggalkan Thian-li-pang yang berpusat di Bukit Naga itu dan turun gunung untuk memulai dengan perantau­annya. Ia membawa sebuah buntalan pakaian dan sekantung uang. Tidak lupa ia membawa pula sebatang pedang pemberian ayahnya yang selalu dipakainya untuk berlatih silat pedang.

Ayah dan ibunya mengantar puteri mereka sampai keluar pintu gerbang. Bagaimanapun juga, kedua orang tua ini mengkhawatirkan puteri mereka yang merupakan anak tunggal. Mereka tahu bahwa justeru kecantikan gadis itu yang akan banyak mendatangkan gangguan pada puteri mereka.

Yo Han Li yang berusia delapan belas tahun itu memang cantik. Wajahnya mirip dengan ibunya. Mukanya bulat telur kulitnya putih mulus, mata agak lebar dan hidungnya mancung, mulutnya selalu tersenyum agak menengejek dan dihias lesung pipit di pipi kiri. Tubuhnya sedang dan ramping. Ia berpakaian sederhana, dari sutera berwarna biru dan kuning, sepatunya dari kulit berwarna hitam. Ia membawa pedang di pinggangnya dan buntalan pakaiannya berada di punggungnya.Apa yang dikhawatirkan ayah ibu gadis itu ternyata terbukti, bahkan baru sehari setelah gadis itu meninggalkan rumahnya. Sore itu tibalah ia di sebuah bukit yang masih bertetangga dengan Bukit Naga. Dari bukit itu, kalau ia menoleh, ia akan melihat Bukit Naga yang dari situ nampak memanjang dan berlekuk-lekuk, seperti tubuh seekor naga dan karena bentuknya itulah maka bukit itu disebut Bukit Naga.

Ketika Han Li sedang melangkah maju dengan cepat untuk mencari dusun di mana ia boleh melewatkan malam, tiba-tiba muncul dua belas orang laki-laki yang kelihatan kasar. Pakaian mereka tidak karuan dan sikap mereka kasar sekali, mata mereka liar dan bengis, dipimpin oleh seorang laki-laki tinggi besar yang muka codet, yaitu terdapat cacat bekas goresan senjata pada pipi kirinya. Melihat seorang gadis berjalan seorang diri, dua belas orang itu tertawa senang dan si muka codet itu tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, sungguh tidak kusangka di tempat sesunyi ini terdapat seorang nona yang cantiknya seperti bidadari! Eh, Manis, engkau siapakah dan hendak pergi ke mana?”

Han Li belum pernah bertemu dengan orang-orang macam itu, akan tetapi ia sudah mendengar banyak cerita tentang orang-orang kasar yang biasanya menjadi perampok dari ibu dan ayahnya. Maka kini ia pun dapat menduga bahwa ia berhadapan dengan segerombolan perampok.

“Aku seorang gadis perantau yang hendak mencari dusun di depan sana. Harap kalian tidak menghalangiku pergi.”

“Ha-ha-ha, untuk apa mencari dusun? Kalau hanya hendak melewatkan malam, ikutilah bersama kami dan kita ber­senang-senang. Kami mempunyai banyak arak dan kami telah menangkap beberapa ekor lembu dari dusun yang kami lewati. Kita berpesta pora. Mari, Nona!” katanya dan tangan si codet itu sudah dijulurkan ke depan untuk merangkul pinggang yang ramping itu. Dengan cepat Han Li sudah menangkah mundur. Pandang matanya mencorong ketika ia berkata, suaranya masih lembut namun mengandung ancaman.

“Sudah kukatakan, harap jangan halangi dan ganggu aku atau kalian akan menyesal nanti!”

“Ehhh? Engkau mengancam kami? Ho-ho-ho-ha-ha, agaknya karena engkau membawa pedang engkau dapat mengancam kami? Menyerahlah, Nona, dan aku akan bersikap manis padamu. Kalau engkau berkeras, terpaksa aku akan meng­gunakan kekerasan menangkapmu!”

“Hemmm, sombongnya! Boleh kaucoba kalau engkau mampu menangkap aku!” kata Han Li dan seluruh urat syaraf di tubuhnya siap untuk menghadapi penyerangan lawan.

“Heiii, kalian dengar, kawan-kawan? Ia menantangku, ha-ha-ha!”

Semua anak buah juga tertawa. “Jangan sampai ia terluka, sayang kalau sampai terluka, Toako!”

“Jangan sampai kulit yang putih mulus itu lecet!”

“Ha-ha-ha, sekali ringkus saja ia pun akan berada dalam pelukanku. Kalian lihat saja!”

Tiba-tiba si codet menubruk dengan amat cepatnya, kedua lengan yang panjang dikembangkan dan jari-jari kedua tangannya menyambar ke depan untuk menerkam Han Li. Namun dengan lincah dan mudah saja Han Li menyelinap dan mengelak dari terkaman itu. Ia melihat bahwa lawannya itu hanya seorang yang mengandalkan kekuatan otot saja dan gerakannya terlalu lamban baginya. Be­gitu mengelak, ia sudah menyelinap ke belakang si codet dan sekali kaki kirinya bergerak, sepatu hitamnya sudah menen­dang pantat si codet sehingga tubuh tinggi besar itu jatuh tersungkur!

Semua anak buah kaget bukan main melihat betapa pimpinan mereka terten­dang roboh oleh gadis itu hanya dalam se­gebrakan saja. Akan tetapi si codet menjadi penasaran dan marah sekali karena malu. Dia merangkak bangun kemudian menghadapi Han Li dengan muka bengis dan kemerahan, kedua tangannya dibuka seperti cakar harimau dan tanpa banyak cakap lagi kini dia menyerang dengan pukulan dan tamparan. Sepak terjangnya ganas dan liar seperti seekor harimau. Namun bagi Han Li gerakan itu terasa amat lambat sehingga amat mudah baginya untuk mengelak ke kanan kiri dan setelah mendapatkan kesempatan, tangan kirinya menampar, kini mengenai leher si codet yang kembali terpelanting roboh dan sekali ini agak lambat dapat bantuan. Kepalanya terasa pening dan lehernya terasa seperti patah!

Akan tetapi hajaran kedua kali itu agaknya tidak membuat kepala gerombolan perampok itu jera. Dia bahkan mencabut golok besarnya dari pinggang dan memutar-mutar golok itu di atas kepala dengan sikap mengancam. Dia tidak lagi menyayang gadis cantik itu dan kalau perlu akan disembelihnya untuk meredakan kemarahannya.

Melihat cara orang mencabut golok dan memutar-mutar di atas kepalanya, tahulah Han Li bahwa orang ini hanya memiliki ilmu silat biasa saja, maka ia pun tidak mau mencabut pedangnya. Ia siap menghadapi serbuan orang bergolok itu dengan tangan kosong saja.

“Bocah setan, mampuslah kau seka­rang!” bentak si codet dan dia sudah menyerang dengan ganasnya. Goloknya berayun dari kanan ke kiri membabat ke arah leher Han Li. Dengan menunduk­kan kepala Han Li sudah mengelak. Go­lok lewat menyambar di atas kepalanya, lalu membalik menyambar dari kiri ke kanan membabat pinggangnya! Dengan geseran kaki ke belakang kembali Han Li membiarkan golok itu lewat.

Setelah dua kali tacokannya dapat dielakkan lawan, si codet menjadi semakin penasaran. “Hyaaaaattt....!” Dia berteriak nyaring dan kini goloknya menusuk ke arah perut gadis itu. Han Li menggeser kaki ke kiri dan ketika golok itu lewat dekat perutnya, ia melangkah maju dan secepat kilat tangannya menampar, kini dengan tenaga lebih dan tamparan tangannya menghantam bawah leher kepala perampok itu.

“Plakkk.... ughhhhh....!” Tubuh itu terbanting keras dan tidak dapat bangun kembali. Tamparan tadi amat hebatnya dan membuat kepalanya seperti remuk, bumi berputar dan matanya menjadi juling.

Sebelas orang anak buahnya melihat betapa pimpinan mereka roboh segera mencabut golok masing-masing dan de­ngan teriakan-teriak dahsyat mereka menyerbu dan mengeroyok Han Li yang bertangan kosong dari berbagai jurusan. Akan tetapi mereka terkejut bukan main. Gadis yang tadi berada di tengah-tengah mereka tiba-tiba melayang ke atas dan sudah berada di belakang mereka. Mereka membalik, akan tetapi dua kali kaki Han Li melayang dan dua orang di antara mereka roboh. Han Li mengamuk di antara pengeroyokan gerombolan itu dan membagi-bagi tendangan dan tamparan tangannya yang ampuh. Dalam waktu beberapa menit saja dua belas orang itu sudah jatuh bangun dan akhirnya, dipimpin oleh si codet, mereka melarikan diri seperti sekawanan monyet melihat singa betina mengamuk.

Han Li tersenyum geli dan mengibas-ngibaskan kedua tangannya, mengebutkan pakaiannya agar bebas dari kotoran debu, kemudian ia pun melanjutkan perjalanan seperti tak pernah terjadi sesuatu. Ia sudah mendapatkan pengalaman yang menarik dan ia sudah memenuhi pesan ayah ibunya, yaitu menentang kejahatan dan tidak sembarangan membunuh orang. Kalau ia menghendaki, kiranya tidak sukar baginya untuk membunuh semua lawan tadi.

Han Li melanjutkan perjalanannya. Yang dituju adalah ke kota raja. Ia sudah mendapat keterangan dari ayah ibunya di manakah adanya kota raja, dan ia ingin sekali melihat kota yang besar dan indah itu. Sudah banyak ia mende­ngar tentang keindahan kota raja, namun belum pernah ia melihatnya. Dengan cepat ia menuruni lereng bukit itu menuju ke sebuah dusun yang dilihatnya dari lereng bukit tadi dan mencari tempat untuk bermalam di dusun itu. Sepasang suami isteri petani yang sederhana de­ngan senang hati memberikan kamar mereka untuk Han Li yang menyewanya.


***

Beberapa pekan telah lewat tanpa ada halangan sesuatu yang mengganggu perjalanan Yo Han Li. Pada suatu pagi tibalah ia di tepi Sungai Kuning di daerah Propinsi Shansi. Niatnya akan pergi ke kota Tai-goan dan dari sana terus ke kota Peking. Ia berjalan menyusuri sungai besar itu untuk mencari tumpangan perahu yang akan dapat menyeberangkannya. Akan tetapi tepi di mana ia tiba itu sunyi, tidak ada dusun nelayan di situ. dan perahu-perahu yang sedang berlayar itu berada di tengah sungai sehingga ia tidak dapat menghubungi mereka.

Tiba-tiba ia melihat seorang kakek sedang memancing ikan. Kakek itu duduk di atas sebongkah batu di tepi sungai dan memegangi tangkai pancing dari batang bambu kecil, matanya penuh perhatian memandang joran pancingnya. Memang itulah nikmatnya seorang pemancing ikan. Memperhatikan joran pancingnya dengan penuh harapan dan begitu joran pancingnya bergerak, begitu tangan yang memegang tangkai pancing itu merasakan sentakan, itu tandanya umpan disambar ikan dan pada saat yang tepat menggerakkan tangkai pancingnya ke atas agar pancing dapat menusuk mulut ikan!

Han Li tidak mengerti tentang seni memancing ikan. Kalau pemancing ikan sedang mencurahkan segenap perhatian kepada joran pancingnya, dia sama sekali tidak boleh ditegur atau diganggu. Karena tidak tahu, Han Li menghampiri kakek itu dari belakang dan bertanya, “Kakek yang baik, tahukah engkau di mana aku bisa menyewa perahu untuk menyeberangkan aku?”

Kakek yang mencurahkan seluruh perhatiannya kepada joran pancingnya dan melupakan segala yang berada di sekelilingnya itu terkejut dan marah.

“Apakah engkau tidak melihat bahwa aku sedang memancing?” bentaknya tanpa menoleh.

Han Li terkejut. “Maafkan kalau aku mengganggu. Kalau engkau dapat memberi keterangan padaku di mana aku dapat menyewa perahu, biarlah aku beri sedikit uang agar engkau dapat membeli ikan, daripada susah payah memancing.”

Tapi kakek itu menjadi lebih marah lagi. “Aku butuh ikannya! Aku membutuhkan ketenangan memancingnya. Kalau aku ingin ikan, tidak usah beli dan menangkap ikan apa sih sukarnya? Kaulihat!” Tiba-tiba kakek itu menggerakkan ujung tangkai pancingnya ke dalam air seperti orang menusuk dengan tombak dan ketika dia mengangkat tangkai pancing itu.... di ujung tangkai dari bambu itu sudah tertusuk seekor ikan besar yang menggelepar-gelepar.

Han Li terkejut sekali. Ia maklum bahwa kakek ini seorang yang berkepandaian tinggi, maka ia memberi hormat dan berkata, “Harap Locianpwe suka memaafkan kalau aku sudah mengganggu ketenangan Locianpwe.”

“Enak saja mengganggu ketenangan, engkau bahkan sudah menghilangkan seleraku mancing!” Kakek itu melemparkan ikan dan tangkai pancingnya ke air lalu membalikkan tubuhnya sambil melompat berdiri. Ternyata kakek itu gemuk dan pendek sekali masih kalah tinggi dibandingkan Han Li. Wajahnya seperti kanak-kanak, telinganya lebar dan matanya kemerahan. Wajah itu mendatangkan rasa ngeri dalam hati Han Li.

Ketika kakek itu melihat Han Li, matanya terbelalak dan mulutnya menyeringai. “Aha, kiranya yang menggangguku adalah seorang gadis yang cantik jelita. Nona, engkau ini manusia ataukah penunggu sungai ini?”

Dalam ucapan dan pandang mata itu terkandung keceriwisan seorang yang mata keranjang, maka Han Li lalu memutar tubuhnya hendak pergi dari situ tanpa menjawab pertanyaan tadi. Akan tetapi ketika ia memutar tubuh dan melangkah, tiba-tiba ada bayangan orang melewatinya dan tahu-tahu kakek itu telah berdiri di depannya.”

“Ho-ho-ho, nanti dulu, Nona. Engkau sudah menggangguku dan hendak pergi begitu saja. Tidak bisa, tidak boleh! Engkau harus dihukum untuk gangguanmu tadi.”

“Locianpwe, atas kesalahan itu aku telah minta maaf dan bersedia mengganti kerugianmu. Harap Locianpwe tidak menghalangiku dan biarkan aku melanjutkan perjalananku.”

“Ha-ha-ha, enak saja! Orang yang sudah menggangguku selagi memancing, seharusnya dihukum mati. Akan tetapi melihat engkau begini cantik, biarlah hukuman itu kuubah. Engkau tidak akan kuhukum mati, melainkan harus menjadi pelayanku selama satu minggu!”

“Engkau keterlaluan, Locianpwe. Aku tidak mau menjadi pelayanmu walau hanya sehari, apalagi seminggu.”

“Hemmm, keputusan hukumanmu tidak dapat diubah lagi. Mau atau tidak engkau harus menjadi pelayanku selama semingu.”

Aku tidak sudi dan harap jangan halangi aku pergi!” kata Han Li dengan marah dan ia lalu membalikkan tubuh lagi untuk meninggalkan kakek pendek gemuk itu. Akan tetapi kembali ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu kakek itu telah berada di depannya lagi, mengembangkan kedua tengannya sambil menyeringai.

Engkau tidak boleh pergi sebelum aku membebaskanmu! katanya.

Han Li menjadi marah sekali. Dengan tangan kirinya ia mendorong pundak kakek itu sambil mengerahkan tenaga sinkangnya. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika tangannya bertemu dengan pundak yang sekokoh baja dan tubuh itu sama sekali tidak tergoyangkan dorongannya!

Ha-ha-ha, mana bisa engkau menyuruhku pergi! Kakek itu mengejek.

Dalam kemerahannya, Han Li lalu menggunakan tangan kanannya untuk menampar dada kakek itu. Tamparannya ini kuat sekali karena ia mengerahkan, tenaga sin-kang.

Wuuuuuttt....plakkk! Untuk kedua kalinya ia terkejut dan merasa heran. Tamparannya tadi sedemikian kuatnya sehingga akan mampu menghancurkan sebongkah batu. Akan tetapi ketika mengenai dada kakek itu, pukulannya tidak berarti sama sekali, tenaga sinkangnya seperti tenggelam dan hilang sendiri. Ini hebat! Karena maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang kakek sakti yang agaknya berniat jahat terhadap dirinya, Han Li lalu menyerang dengan ilmu silat Ang-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Merah) yang dipelajari dari ibunya!

Kakek itu pun mengeluarkan seruan heran dan tubuhnya demikian cepatnya mengelak ke sana sini, lalu dia berseru sambil meloncat ke belakang. Hei, bukankah ini Ang-ho Sin-kun? Apa hubunganmu dengan Si Bangau Merah?

Han Li merasa bangga bahwa kakek ini mengenal ilmu silat ibunya. Beliau adalah ibu kandungku!

Ho-ho-ho, kebetulan sekali, tidak dapat menghajar ibunya, anaknya pun boleh mewakilinya. Nah, sekarang hukumanmu ditambah lagi. Engkau harus menjadi pelayanku selama satu bulan penuh. Tidak boleh ditawar-tawar lagi dan kelak engkau boleh bercerita kepada Si Bangau Merah bahwa engkau pernah menjadi pelayanku selama satu bulan! Ha-ha-ha!” Kakek yang sesat! Kalau ayahku mengetahui hal ini, engkau tentu akan dihajar sampai setengah mampus! Ayah kandungku adalah Pendekar Tangan Sakti Yo Han!

Ha-ha-ha, aku sudah tahu karena aku mendengar bahwa Si Bangau Merah telah menikah dengan Si Tangan Sakti. Karena itu, sampai hari ini perasaan penasaran di hatiku kupendam saja. Dan sekarang engkau muncul tanpa kusangka-sangka. Biarlah rasa penasaran ini kutumpahkan kepadamu!

Apa kesalahan ibuku sehingga engkau hendak membalas dendam melalui penghinaan atas diriku? Dulu, di waktu mudanya, Si Bangau Merah pernah mencampuri urusanku dan membikin malu sehingga belasan tahun aku tidak ada muka untuk muncul di dunia kang-ouw. Akan tetapi sekarang, ha-ha-ha, biar ia dibantu suaminya, aku tidak akan merasa gentar. Nah, hayo cepat berlutut dan beri hormat kepada majikanmu!

Aku tidak sudi! jawab Han Li.

Kalau begitu aku akan memaksamu berlutut! Kakek itu lalu menggerakkan tangan kirinya ke arah pundak Han Li. Han Li cepat mengelak, akan tetapi tetap saja merasa pundaknya dilanda angin yang mengandung hawa panas. Ia meloncat ke belakang dan cepat mencabut pedangnya. “Kalau engkau tidak menghentikan perbuatanmu, terpaksa pedangku ikut bicara!”

“Ha-ha-ha, pedang mainan kanak-kanak itu kaupakai untuk menakut-nakuti aku? Ha-ha-ha-ho-ho!”

Han Li maklum bahwa kakek ini sudah nekat, maka ia lalu memainkan ilmu silat Koai-liong-kiamsut (Ilmu Pedang Naga Siluman) yang ia pelajari dari ibunya pula. ilmu pedang ini hebat bukan main, ketika ia menggerakkan pedangnya, pedang itu mengaum-aum seperti seekor singa marah. Pedangnya berkelebatan dan membentuk gulungan sinar pedang yang dahsyat. Ilmu pedang ini berasal dari Lembah Naga Siluman yang dikuasai oleh Kam Hong. Kam Hong mengajarkan kepada puterinya, Kam Bi Eng dan Kam Bi Eng menurunkan kepada Tan Sian Li Si Bangau Merah. Kini Tan Sian Li menurunkan kepada puterinya, Yo Han Li.

Sebetulnya, ilmu pedang ini merupakan gabungan ilmu pedang dan ilmu silat suling dan biasanya Tan Sian Li memainkannya dengan sebatang suling berselaput emas. Akan tetapi Yo Han Li tidak suka menggunakan suling maka oleh ibunya lalu diganti pedang. Biarpun dengan pe dang ilmu itu menjadi Ilmu Pedang Naga Siluman namun unsur-unsur ilmu Suling Emas masih terkandung di dalamnya, maka kehebatannya luar biasa.

Kakek itu berilmu tinggi karena sesungguhnya dia adalah seorang tokoh datuk selatan yang berjuluk Lam-hai Koai-jin (Orang Aneh Laut Selatan). Biarpun usianya sudah enam puluh tahun namun wajahnya seperti kanak-kanak dan wataknya keras, bahkan dia mempunyai watak mata keranjang pula. Melihat Han Li yang demikian cantiknya, timbul nafsunya dan ingin dia mempermainkan gadis itu. Apalagi ketika mendengar bahwa gadis itu puteri Si Bangau Merah, nafsunya makin menjadi. Dahulu, dua puluhan tahun yang lalu, ketika dia masih bertualang di selatan, pernah dia bertemu dengan Si Bangau Merah dan hendak mempermainkannya, akan tetapi dia dikalahkan oleh pendekar wanita itu. Maka, kini dia hendak membalas dendamnya kepada puteri musuh besarnya itu.

Namun, menghadapi permainan pedang Han Li, kakek itu menjadi sibuk dan kewalahan juga. Setelah berloncatan mundur dan ke kanan kiri untuk mengelak, akhirnya dia menyambar tangkai pancingnya dan dengan senjata istimewa ini dia melakukan perlawanan. Tangkai pancing dari bambu itu bersiutan menyambar-nyambar dan dapat dipergunakan untuk menangkis pedang lawan tanpa khawatir patah atau putus. Juga tangkai pancing itu lebih panjang dari pedang sehingga kakek itu lebih leluasa menyerang Han Li.

Gadis ini terkejut bukan main. Ia memang sudah menduga bahwa kakek itu lihai sekali, akan tetapi sama sekali tidak mengira, bahwa dengan tangkai pancing bambu seperti itu kakek itu mampu melawan bahkan mendesaknya! Ujung tangkai itu kini menyerang dengan totokan-totokan ke arah jalan darahnya. Selain itu, juga tangkai pancing itu berputar-putar seperti dayung lebar dan ujungnya seperti seekor lebah yang mengancam kepala dan lehernya.

Pada saat yang amat gawat bagi Han Li, tiba-tiba terdengar suara tawa terkekeh-kekeh, Heh-heh-heh, datuk Lam-hai Koai-jin sekarang telah menjadi seorang pengecut yang menyerang seorang gadis yang pantas menjadi cucunya!

Mendengar suara tawa ini, kakek itu menahan gerakan tangkai pancingnya dan kesempatan ini dipergunakan oleh Han Li yang sudah terdesak itu untuk melompat ke belakang. Ternyata yang datang dan tertawa itu adalah seorang laki-laki berusia enam puluhan tahun, tubuhnya tinggi kurus seperti orang kurang makan, pakaiannya juga penuh tambalan walaupun bersih dan tangannya memegang sebatang tongkat bambu. Dari pakaiannya saja sudah dapat diduga bahwa kakek ini seorang pengemis. Rambutnya sudah putih semua dibiarkan tergantung di sekeliling pundak dan lehernya.

Melihat pengemis tua ini, Lam-hai Koai-jin terkejut. dan segera mengenalnya. Lu Tong Ki, gembel tua bangka busuk, mau apa engkau mencampuri urusanku? Gadis ini telah mengganggu aku yang sedang enak-enak memancing ikan,maka perlu kuberi hukuman. Bukankah itu sudah adil? Memang adil, heh-heh-heh. Akan tetapi bagaimana caranya gadis ini mengganggumu dan hukuman apa yang hendak kauberikan kepadanya?

Ia mengganggu ketenanganku memancing ikan.

Dia bohong, Kek Han Li cepat berkata. Aku hanya menghampiri dia dan bertanya di mana aku bisa mendapatkan tukang perahu untuk menyeberangkan aku ke seberang sana. Tahu-tahu dia marah dan menyerangku!

Heh-heh-heh, dan hukuman apa yang akan kauberikan kepada Nona ini, Koai-jin?

Aku hanya minta agar ia menjadi pelayanku selama beberapa hari....

Tidak begitu, Kek. Dia minta aku berlutut di depannya sebagai majikanku dan dia hendak menjadikan aku pelayannya selama satu bulan! kata pula Han Li dengan suara nyaring.

Wah-wah-wah, ini sudah keterlaluan sekali namanya. Tidak malukah engkau, Koai-jin, menghina dan mengganggu seorang gadis muda seperti itu?

Kai-ong (Raja Pengemis), jangan engkau usil dan mencampuri urusanku atau terpaksa aku harus menghajarmu pula!

Kakek yang bernama Lu Tong Ki yang berjuluk Kai-ong itu tertawa panjang. Heh-heh-heh-heh-heh! Engkau hendak menghajarku? Sejak kapan engkau berani mengeluarkan kesombongan seperti itu? Dan bagaimana engkau hendak menghajarku? Dengan apa?

Dengan ini! Lam-hai Koai-jin berteriak marah sambil menggerakkan tangkai pancingnya. Kalau tadi ketika melawan Han Li dia menggenggam pancingnya sehingga pancing itu tidak akan melukai Han Li, sekarang dia melepaskan pancingnya sehingga ketika dia menyerang, pancing berupa kaitan besi kecil menyambar dahsyat ke arah muka Kai-ong. Akan tetapi Lu Tong Ki bersikap tenang sekali. Begitu pancing itu menyambar dekat, tongkat bambu di tangannya bergerak.

Trakkk! Pancing itu terpental ketika tertangkis tongkat bambu itu dan selanjutnya kedua kakek itu saling menyerang dan tubuh mereka berkelebatan dengan cepat sekali. Bagi orang biasa yang melihatnya, tentu tidak akan mampu mengikuti gerakan, mereka karena dua orang itu seperti berubah menjadi bayang-bayang saja. Akan tetapi Han Li sudah mencapai tingkat tinggi dalam ilmu silat maka ia dapat mengikuti gerakan mereka dan ia merasa kagum bukan main. Kedua orang kakek itu mempergunakan kecepatan gerakan mereka untuk memperoleh kemenangan dan agaknya dalam hal gin-kang (ilmu meringankan tubuh) keduanya seimbang. Sinar tongkat bergumul dengan sinar tangkai pancing sedangkan pancingnya sendiri sudah sejak tadi putus talinya. Karena tidak mampu menang dalam hal kecepatan gerakan, Lam-hai Koai-jin lalu memperlambat gerakannya dan kini dia menggerakkan tangkai pancingnya dan juga menggerakkan tangan kirinya yang terisi penuh tenaga sin-kang. Melihat ini, Lu Tong Ki juga mengimbangi lawan dan dia pun mengerahkan tenaga sin-kang untuk menandingi pukulan Koai-jin. Mereka ini saling pukul dan suara pukulan mereka menderu-deru, membuat pohon-pohon di sekeliling mereka bergoyang dan daunnya runtuh berguguran. Dengan penasaran sekali Koai-jin melempar tangkai pancingnya dan kini tubuhnya berjongkok. Tubuh yang pendek itu berjongkok sampai pantatnya hampir menyentuh tanah dan dalam keadaan berjongkok itu dia memukulkan kedua tangannya yang terbuka ke depan, dan dari dalam mulutnya terdengar suara “kok-kok-kok!” nyaring sekali. Han Li merasa geli karena sikap dan suara Koai-jin seperti seekor katak besar yang menggembung perutnya.

Akan tetapi agaknya Kai-ong tidak memandang rendah serangan seperti katak besar ini. Dia pun menancapkan tongkatnya ke atas tanah, menekuk kedua lututnya dan dia juga mendorongkan kedua tangannya untuk menyambut serangan lawan.

Jarak di antara mereka ada dua meter, akan tetapi ketika dua tenaga dahsyat itu bertemu, Han Li merasa ada getaran hebat melanda dirinya sehingga ia cepat duduk bersila dan mengarahkan sin-kang agar jangan sampai terluka. Ia melihat betapa kedua orang kakek itu tergetar, akan tetapi tubuh Koai-jin terpental dan bergulingan ke belakang sedangkan tubuh Kai-ong hanya bergoyanggoyang saja.

Lam-hai Koai-jin terpental masuk ke dalam sungai. Terdengar suara berjebur dan tubuhnya lenyap ditelah air. Han Li cepat berlari ke tepi sungai dan melihat. Ternyata tubuh itu tidak tersembul kembali.

Ah, dia mati Kek....? tanyanya kepada Kai-ong yang juga sudah berdiri di dekatnya memandang ke air sungai yang dalam itu.

Heh-heh-heh, dia mati? Hemmm, agaknya engkau belum mengenal siapa Lam-hai Koai-jin. Dia datuk besar Laut Selatan, bagaimana bisa mati tercebur ke dalam sungai? Tidak, saat ini dia pasti sudah muncul jauh dari sini, entah berapa jauhnya karena ketika tercebur tadi, dia menyelam. Dia memang seekor katak buduk besar yang lihai!

Ahhh....!Gadis itu berseru kagum. Akan tetapi engkau telah dapat mengalahkannya, Locianpwe! Han Li menyebut locianpwe untuk menghormati kakek pengemis yang ternyata amat sakti itu. Heh-heh-heh, jangan sebut aku Locianpwe atau aku tidak akan sudi bicara denganmu. Namaku Lu Tong Ki, sebut saja aku kakek atau Kai-ong karena memang itu julukanku jelek-jelek aku ini raja lho, walaupun hanya raja pengemis, heh-heh-heh!

Baiklah, aku akan menyebutmu Kakek atau Kai-ong. Aku berterima kasih sekali kepadamu, Kakek, karena kalau engkau tidak datang mengusir Katak Buduk itu, entah apa jadinya dengan diriku.

Kai-ong menggeleng-geleng kepalanya dan mulutnya mengeluarkan suara tak, tak, tak, engkau tentu akan celaka sekali! Katak Buduk itu memang jahat, orang yang paling jahat di selatan dan sampai tua tetap saja dia mata keranjang dan jahat sekali. Akan tetapi aku melihat ilmu pedangmu hebat sekali, dan ilmu pedang seperti itu setahuku hanyalah Koai-liong-kiam-sut. Benarkah demikian?

Pandanganmu tajam sekali, Kek. Memang benar aku tadi memainkan Koai-liong Kiam-sut.

Aha! Kalau begitu, apa hubungannya dengan Lembah Naga Siluman? Bukankah ilmu itu milik Pendekar Suling Emas dan Naga Siluman, Locianpwe Kam Hong?

Beliau adalah kakek buyutku, Kek.

Raja Pengemis itu nampak girang bukan main. Kalau begitu engkau tentu puteri Si Bangau Merah dan Pendekar Tangan Sakti, bukan?

Benar sekali.

Heh-heh-heh, pantas saja Katak Buduk tadi hendak menghinamu karena aku mendengar dia pernah dikalahkan ibumu.

Dia juga mengatakan demikian tadi, Kek. Engkau hendak ke manakah dan siapa pula namamu?

Namaku Yo Han Li, dan aku sedang dalam perjalanan menuju ke kota raja. Aku tadi mencari tukang perahu untuk menyewa perahunya menyeberangi sungai ini.

Wah, kebetulan sekali kalau begitu. Aku pun hendak ke kota raja, sudah terlalu lama aku tidak menikmati masakan di dapur istana. Dan aku mempunyai sebuah perahu kecil. Tuh di sana perahuku. Han Li, maukah engkau menyeberang bersamaku dan melakukan perjalanan bersamaku ke kota raja?

Tentu saja aku mau, Kek. Akan tetapi.... Ia memandang pakaian kakek itu. Aku tidak mau kalau kau ajak mengemis. Aku membawa bekal uang cukup banyak.

"Ha-ha-ha, jangan khawatir. Biarpun pengemis, aku ini rajanya, tahu? Mana ada seorang raja mengemis!

Akan tetapi pakaianmu itu, Kek. Penuh tambalan. Biar nanti kubelikan pakaian yang lebih pantas untukmu.

Oho, kau kira yang kupakai ini pakaian apa? Ini adalah pakaian kebesaranku sebagai Raja Pengemis, tahukah engkau? Biar ditukar dengan pakaian kaisar sekalipun, aku tidak akan mau. Dan di dalam buntalan ini masih ada beberapa stel pakaian kebesaran. Jangan khawatir, aku setiap hari mandi dan bertukar pakaian. Biar pengemis, aku bukan pengemis busuk, heh-heh-heh!” Wajah Han Li berubah kemerahan. Aku pun tidak mengatakan engkau demikian, Kek. Akan tetapi, orang melakukan perjalanan harus ada hubungannya. Sedangkan aku tidak mempunyai hubungan apa pun denganmu. Bagaimana kalau aku menyebut suhu dan menjadi muridmu? Sebagai suhu dan muridnya, tentu tidak aneh melakukan perjalanan bersama.

Kakek itu tertawa dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Han Li. Gadis cerdik, engkau ingin aku mengajarkan ilmu silat kepadamu? Bagaimana kalau kelak Pendekar Tangan Sakti dan Si Bangau Merah mengetahui? Tentu mereka akan menjadi marah kepadaku.

Tidak, aku jamin. Kalau orang tuaku bertanya, aku akan mengaku bahwa akulah yang ingin menjadi muridmu, bukan engkau yang minta aku menjadi muridmu.

Heh-heh-heh, engkau memang cerdik sekali.

Melihat kakek itu tidak membantah lagi, Yo Han Li lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek iti sambil menyebut suhu. Lu Tong Ki segera membangunkan Han Li.

Sudahlah, tidak perlu banyak memakai peradatan. Aku memang suka menerimamu menjadi murid. Engkau puteri sepasang pendekar besar dan engkau berbakat sekali. Akan tetapi, yang dapat menandingi ilmu-ilmumu hanya sebuah saja padaku, yaitu Ta-kwi-tung (Tongkat Pemukul Iblis). Itulah yang akan kuajarkan kepadamu sambil melakukan perjalanan ke kota raja.

"Terima kasih, Suhu.

“Nah, sekarang mari kita seberangi sungai ini, Han Li.” kata kakek itu sambil meloncat ke dalam sebuah perahu kecil yang berada di pantai. Kiranya kakek itu tadi datang berperahu. Han Li juga menyusul Lu Tong Ki meloncat kedalam perahu. Kalau tadi ketika kakek itu meloncat, perahu sama sekali tidak bergoyang seolah yang hinggap di perahu itu hanya seekor burung. Akan tetapi ketika Han Li meloncat, perahu itu bergoyang sedikit. Ini saja menunjukkan bahwa dalam hal gin-kang, kakek itu telah memiliki ilmu yang tinggi sekali. Karena perahu itu hanya mempunyai sebuah dayung, Han Li lalu meminta dayung itu dari gurunya dan sebagai seorang murid yang baik, ialah yang mendayung perahu itu menyeberang ke pantai timur. Lu Tong Ki tidak membantah dan membiarkan muridnya mendayung perahu itu. Perahu meluncur dengan cepatnya karena Han Li mengerahkan sin-kang untuk mendayung perahu itu.

Ketika perahu itu tiba di seberang sungai, dari perahu mereka dapat melihat seorang wanita berpakaian putih sedang dikeroyok oleh belasan orang yang memegang pedang. Wanita itu bersenjatakan sabuk sutera putih dan gerakannya ringan seperti seekor burung bangau putih. Namun, belasan orang pengeroyoknya itu membentuk barisan pedang yang lihai sekali sehingga wanita itu agaknya berada dalam keadaah berbahaya dan ke manapun ia bergerak, selalu ia bertemu dengan pedang para pengeroyok yang sudah mengepungnya dengan barisan yang teratur rapi.

Kai-ong Lu Tong Ki berkata kepada Han Li. “Han Li, kalau melihat perkelahian itu, apa yang akan kulakukan? Kau hendak membantu pihak yang mana?”

Han Li berdiri di perahu dan memandang sejenak. “Aku akan melerai dan menegur belasan orang yang mengeroyok seorang wanita itu, Suhu. Kalau mereka tidak mau menurut, tentu aku akan membantu wanita itu. Ia amat lihai, akan tetapi para pengeroyoknya menggunakan barisan yang amat kuat.”

“Engkau benar dan lakukanlah!” kata kakek pengemis itu sambil tersenyum. Mendengar ucapan gurunya, Han Li segera melompat ke darat dan lari menghampiri mereka yang sedang bertanding. Han Li telah mencabut pedangnya dan menerjang para pengeroyok sambil berseru, “Tahan senjata!” Dua orang pengeroyok yang pedangnya bertemu dengan Han Li terkejut karena pedang mereka terpental, hampir terlepas dari pegangan. Yang lain lalu berhenti mengeroyok gadis berpakaian putih yang bukan lain adalah Souw Cu In itu “Berhenti dulu!” kata Han Li sambil memandang kepada Cu In. “Kalian ini belasan orang laki-laki mengapa mengeroyok seorang wanita? Itu curang namanya!”

“Siapa kau berani mencampuri urusan kami?”

“Tidak peduli aku siapa akan tetapi kalau melihat kecurangan aku tidak akan tinggal diam. Kalau kalian ini bertanding satu lawan satu aku tentu tidak akan campur tangan.”

“Perempuan ini lancang. Hajar saja!” terdengar teriakan mereka dan kembali mereka bergerak dengan teratur dan menggerakkan pedang untuk menyerang, sekali ini bukan hanya Cu In yang dikeroyok, akan tetapi juga Han Li.

Han Li menggerakkan pedangnya dan Cu In menggerakkan sabuk suteranya. Gerakan kedua orang gadis ini begitu hebatnya sehingga barisan pedang itu mulai menjadi kacau.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan semua pengeroyok mengundurkan diri mendengar bentakan ini dan di situ telah muncul seorang kakek berusia enam puluhan tahun yang memegang sebatang tongkat dan mendatangi tempat itu dengan terpincangpincang. Ternyata kaki kiri kakek ini timpang sehingga jalannya terpincang-pincang. Melihat kakek itu, Cu In terkejut karena dia mengenal kakek itu sebagai Toat-beng Kiam-sian Lo Cit yang amat lihai itu. Baru-baru ini dia dan Keng Han dapat meloloskan diri dari pengeroyokan kakek ini bersama anak buahnya. Tadi ketika dia menyeberangi sungai dan di daratan timur bertemu dengan belasan orang itu yang mengeroyoknya dengan pedang, dia sudah menduga bahwa mereka tentulah anak buah Kwi-kiam-pang. Agaknya di antara mereka ada yang mengenal ia yang pernah bermusuhan dengan Toat-beng Kiam-sian Lo Cit.

“Ha-ha-ha, kiranya engkau!” Kakek itu menuding ke arah Cu In. “Sekarang jangan harap engkau akan dapat lolos dari tanganku!”

Berkata demikian kakek itu lalu menggerakkan tongkat pedangnya menyerang Cu In. Gadis ini mengelak dan Han Li membantu, akan tetapi para anak buah Kwi-kiam-pang sudah maju pula mengeroyoknya. Serangan Lo Cit terhadap Cu In amat hebatnya sehingga dalam waktu pendek saja Cu In sudah terdesak hebat. Juga Han Li yang dikeroyok anak buah Kwi-kiam-pang yang mernbentuk barisan telah terdesak.

Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa. “Ha-ha-ha, Pangcu dari Kwi-kiam-pang ternyata hanyalah seorang pengecut yang mengeroyok dua orang gadis muda!”

Mendengar ucapan itu, Toat-beng Kiam-sian Lo Cit meloncat mundur untuk melihat. Ketika melihat seorang kakek berpakaian tambal-tambalan, dia mengerutkan alisnya. Dia menudingkan tongkat pedangnya ke arah muka pengemis itu dan membentak, “Bukankah engkau Lu Tong Ki yang di juluki Kai-ong? Mau apa engkau mencampuri urusan pribadiku!”

“Heh-heh-heh, tentu saja aku mencampuri karena yang dikeroyok itu adalah muridku. Bebaskan kedua orang gadis itu dan aku tidak akan mencampuri urusanmu lagi.”

Lo Cit sebetulnya merasa jerih terhadap kakek yang namanya terkenal sekali di antara para datuk itu, akan tetapi dia berbesar hati karena di situ terdapat belasan orang murid-murid utamanya yang sudah pandai membentuk barisan pedang yang amat lihai.

“Kalahkan dulu kami kalau engkau ingin bebas!” tantangnya dan dia sudah menggerakkan pedang yang tersembunyi dalam tongkatnya itu untuk menyerang Kai-ong. Melihat pimpinan mereka sudah menyerang kakek pengemis yang baru tiba itu, anak buah Kwi-kiam-pang kembali menyerbu ke arah Cu In dan Han Li. Dua orang gadis itu menggerakkan senjata mereka dan bekerja sama melakukan perlawanan.

Pertempuran antara Lo Cit melawan Kai-ong amat ramai dan hebatnya. Ternyata tingkat kepandaian mereka seimbang, hanya Kai-ong memiliki kecepatan yang lebih dari lawannya sehingga serangan tongkatnya membuat Li Cit agak kewalahan. Biarpun ilmu pedang Lo Cit amat dahsyat, akan tetapi karena gerakannya kalah cepat, dialah yang terdesak.

Sementara itu, setelah kini dibantu Han Li, Cu In mengamuk dan dapat mendesak para pengeroyoknya. Anak buah Kwi-kiam-pang yang membentuk kiamtin (barisan pedang) mulai kacau dan kocar-kacir diamuk dua orang gadis perkasa itu.

Namun Kai-ong agaknya maklum bahwa kalau datang lebih banyak anak buah Kwi-kiam-pang, tentu keadaan mereka menjadi berbahaya sekali. Juga dia maklum bahwa Dewa Pedang itu mempunyai anak perempuan dan murid yang lihai. Kalau mereka datang mengeroyok, kekuatan mereka bertambah dan tentu dia bersama dua orang gadis itu menjadi repot, dia memutar tongkatnya dengan cepat membuat Lo Cit terkejut dan mundur.

“Lo Cit, biarlah lain kali saja kita lanjutkan perkelahian ini, aku masih mempunyai banyak urusan. Han Li dan engkau Nona, mari kita pergi!”

Sebetulnya Han Li dan Cu In merasa heran mengapa orang tua itu mengajak mereka pergi, padahal keadaan mereka tidak kalah, bahkan sedang mendesak lawan. Akan tetapi Han Li tidak berani membantah perintah gurunya.

“Enci, mari kita pergi!” ajaknya kepada Cu In. Cu In sendiri maklum bahwa tanpa bantuan gadis dan gurunya itu, tentu ia akan celaka di tangan musuh, maka ia pun melompat keluar dari gelanggang perkelahian dan mengikuti Han Li yang sudah melarikan diri bersama gurunya.

Melihat tiga orang itu melarikan diri, Lo Cit yang tahu diri tidak mengejar. Keadaannya tadi sudah terdesak, jelas kekuatan musuh lebih besar. Mengejar berarti mencari penyakit, maka dia pun tidak mau mengejar, dan mengajak anak buahnya untuk kembali ke bukit Kwi-san.

Setelah yakin bahwa mereka tidak dikejar, Kai-ong berhenti berlari dan dua orang gadis itu pun berhenti. Kai-ong tertawa-tawa, “Heh-heh-heh, baru sekali ini aku berlari-larian seperti orang dikejar anjing!”

“Akan tetapi, Suhu. Kita sama sekali tidak kalah, malah kita mendesak lawan, kenapa Suhu mengajak kami melarikan diri?”

“Benar, Locianpwe, orang-orang Kwi-kiam-pang adalah orang-orang jahat yang perlu dihajar. Kenapa Locianpwe mengajak kami melarikan diri?” tanya pula Cu In dengan hati penasaran.

“Heh-heh-heh, kalian tahu. Kalau aku mengajak kalian melarikan diri itu adalah untuk keselamatan kalian! Aku mengenal Kwi-kiam-pang. Selain mereka itu lihai, juga mereka licik dan curang sekali, suka mempergunakan alat-alat rahasia dan jumlah mereka banyak. Kalau yang lain-lain berdatangan, bagaimana aku akan mampu menyelamatkan kalian. Lebih baik pergi selagi mereka terdesak sehingga mereka tidak berani mengejar, heh-heh-heh!”

“Sudah lama aku mendengar kecerdikan Kai-ong, dan ternyata memang Locianpwe cerdik sekali!” puji Cu In. “Eh? Engkau mengenal nama julukanku?”

“Sudah lama aku mengenalnya, Locianpwe dan hari ini aku beruntung mendapat pertolongan Locianpwe dan Adik ini.”

“Enci, tidak ada kata tolong-menolong. Sudah menjadi kewajiban kami untuk turun tangan menentang yang jahat. Enci, namaku Yo Han Li, dan bolehkah kami tahu siapa nama Enci?”

“Hemmm, melihat ilmu pedangmu tadi engkau tentu puteri dari Pendekar Tangan Sakti Yo Han dan Si Bangau Merah, bukan?”

“Ah, Enci ternyata berpandangan luas dan memiliki banyak pengalaman sehingga mengenal pula ilmu pedangku. Siapakah engkau, Enci yang baik?”

“Namaku Souw Cu In dari Beng-san.”

“He-he-heh, engkau dari Beng-san? Melihat sepak terjangmu yang hebat dengan sabuk suteramu, tentu engkau ini murid Ang Hwa Nio-nio. Benurkah?”

Cu In memberi hormat. “Locianpwe berpandangan luas dan tentu mengenal Subo.”

Kai-ong mengerutkan alisnya. “Hemm, siapa tidak mengenal Ang Hwa Nio-nio dan muridnya Bi-kiam Nio-cu yang tanpa berkedip suka membunuhi orang? Nama mereka terkenal sekali!”Mendengar ini, Cu In juga mengerutkan alisnya. Ia sendiri harus mengakui bahwa subonya dan sucinya amat kejam terhadap kaum pria. Salah sedikit saja tentu akan mereka bunuh! Ia sendiri tidak demikian dan selalu menentang perbuatan yang kejam itu. dan karena ini pula ia selalu menyembunyikan mukanya agar tidak dilihat pria dan tidak ada pria yang tertarik kepadanya, agar dia tidak usah menyakiti atau membunuh pria itu.

“Subo dan suci memang tersohor, aku lebih suka tidak dikenal orang. “ katanya perlahan dan suaranya mengandung penyesalan besar. “Sekarang aku harus pergi, dan sekali lagi terima kasih atas pertolongan Ji-wi (Kalian)!” Setelah berkata demikian, gadis berpakaian putih itu lalu berkelebat lenyap dari situ. Han Li menghela napas panjang. “Sayang sekali ia pergi. Aku ingin berkenalan lebih lanjut dan ingin melihat wajahnya, Suhu.”

“Ah, sudahlah. Lebih baik ia lekas pergi dan tidak bersama kita agar kita tidak berurusan dengannya. Ia menyembunyikan mukanya tentu bukan tanpa sebab, apalagi kalau mengingat watak suci dan subonya.”

“Kenapa suci dan subonya, Suhu?”

“Mereka adalah pembunuh-pembunuh kejam. Kalau ada laki-laki berani menegur atau memuji atau bahkan memandang mereka terlalu lama laki-laki itu tentu akan dibunuhnya! Mereka itu pembenci kaum pria yang sudah hampir gila barangkali!” “Ahhh....! Akan tetapi aku melihat enci Souw Cu In tadi begitu lemah lembut dan aku yakin dia pasti memiliki wajah yang cantik sekali.”

“Hemmm, siapa tahu? Menurut pengalamanku, wanita yang memiliki wajah cantik tentu selalu ingin memamerkan kecantikannya itu, bukan malah disembunyikan di balik cadar. Aku ragu apakah ia memiliki wajah cantik, seperti yang kauduga!”

“Akan tetapi, wajahnya bagian atas demikian indahnya, terutama sepasang matanya. Tidak mungkin kalau dari hidung ke bawah tidak sempurna.”

“Sudahlah, bagaimanapun juga, ia hendak menyembunyikan diri di balik cadar. Itu adalah haknya. Sekarang, mari kita lanjutkan perjalanan kita.”

Guru dan murid ini melanjutkan perjalanan dan makin lama Han Li semakin sayang kepada gurunya. Gurunya bersikap manis budi, lemah lembut dan mengajarkan ilmu tongkat dengan sungguh-sungguh. Ia merasa seolah melakukan perjalanan bersama kakeknya sendiri.

Para pendekar dan ketua perkumpulan persilatan besar seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai dan yang lain-lain merasa heran sekali melihat sikap Thian It Tosu ketua Bu-tong-pai yang secara tiba-tiba begitu bersemangat untuk memberontak terhadap kerajaan Ceng. Dan yang lebih mengherankan mereka lagi adalah betapa ketua ini sekarang tidak segan untuk bekerja sama dengan perkumpulan-perkumpulan sesat seperti Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Bahkan banyak tokoh Bu-tong-pai sendiri merasa heran akan sikap ketua mereka ini. Akan tetapi karena Thian It Tosu mempunyai alasan yang kuat, yaitu untuk berjuang harus menyatukan segala kekuatan, mereka pun tidak berani membantah.

Pada suatu hari Thian It Tosu memanggil para sute dan muridnya dalam suatu rapat. Ketua Bu-tong-pai ini masih merasa tidak enak dan tidak sehat badannya sehingga suaranya juga masih parau. "Pinto merasa tidak sehat dan untuk memulihkan kesehatan, pinto harus beristirahat dan bersamadhi. Selama pinto bersamadhi, tidak seorang pun boleh mengganggu pinto.”

Para sute dan murid menyatakan setuju dan tidak akan melanggar perintah ketua itu. Thian It Tosu yang bertubuh tinggi besar itu menghela napas lega.

“Masih ada satu pesanan lagi. Kalau dalam beberapa hari ini datang seorang pemuda bernama Gulam Sang, harap kalian menerimanya sebagai seorang tamu kehormatan dan melayaninya sebaik-baiknya. Dia adalah seorang tokoh Lama Jubah Kuning yang berilmu tinggi dan dia sudah menjanjikan kerja sama dengan pinto. Para Lama Jubah Kuning akan menjadi sekutu kita dalam perjuangan.”

Kembali semua orang menyatakan taat akan pesan itu. Dan sejak hari itu Thian It Tosu mengurung diri di dalam sebuah ruangan tertutup untuk bersamadhi.

Pesan Thian It Tosu benar terjadi. Tiga hari kemudian muncullah seorang pemuda gagah dan tampan, bermuka bundar dengan mata lebar, di Bu-tong-pai dan mengaku bernama Gulam Sang.

“Aku bernama Gulam Sang berasal dari Tibet. Aku sudah menerima pesan dari Thian It Tosu untuk bergabung di sini. Dapatkah aku bertemu dengan Thian It Tosu?””Ketua kami sedang bersamadhi dan sama sekali tidak boleh diganggu, akan tetapi beliau sudah memesan kepada kami agar menerima Kongcu (Tuan Muda) sebagai tamu terhormat. Silakan Kongcu menanti di sini sampai suhu keluar dari tempat pertapaannya sehingga dapat bertemu dan bicara.”

“Ah, tidak mengapa kalau begitu. Memang tidak baik mengganggu pangcu (ketua) yang sedang bersamadhi. Baiklah, aku akan tinggal di sini menunggu sampai beliau keluar dan aku dapat melewatkan waktuku dengan berjalan-jalan menikmati keindahan Pegunungan Bu-tong-pai. Para tosu dan murid Bu-tong-pai diam-diam merasa heran dan tidak senang karena Gulam Sang yang dikatakan seorang tokoh Lama Jubah Kuning itu ternyata minum arak dan makan daging.

Ketika Gulam Sang melihat keheranan mereka, dia tertawa dan memberi alasan. “Dahulu aku memang seorang pendeta Lama yang tentu saja pantang minum arak dan makan daging. Akan tetapi karena sekarang aku menjadi orang biasa, bukan pendeta lagi, maka pantangan itu pun aku tinggalkan.”

Dan setiap hari Gulam Sang meninggalkan Bu-tong-pai, setelah hari mulai gelap baru kembali. Tak seorang pun mengetahui apa saja yang dikerjakan orang aneh ini.

Tiga hari kemudian, Thian It Tosu keluar dari ruangan samadhinya. Selama tiga hari itu, hanya seorang saja diperbolehkan memasuki ruangan samadhi, yaitu Thian Tan Tosu, seorang sutenya, untuk mengirim makanan. Tentu saja begitu keluar dari ruangan samadhinya,

“Ketua kami sedang bersamadhi dan sama sekali tidak boleh diganggu, akan tetapi beliau sudah memesan kepada kami agar menerima Kongcu (Tuan Muda) sebagai tamu terhormat. Silakan Kongcu menanti di sini sampai suhu keluar dari tempat pertapaannya sehingga dapat bertemu dan bicara.”

“Ah, tidak mengapa kalau begitu. Memang tidak baik mengganggu pangcu (ketua) yang sedang bersamadhi. Baiklah, aku akan tinggal di sini menunggu sampai beliau keluar dan aku dapat melewatkan waktuku dengan berjalan-jalan menikmati keindahan Pegunungan Bu-tong-pai. Para tosu dan murid Bu-tong-pai diam-diam merasa heran dan tidak senang karena Gulam Sang yang dikatakan seorang tokoh Lama Jubah Kuning itu ternyata minum arak dan makan daging.

Ketika Gulam Sang melihat keheranan mereka, dia tertawa dan memberi alasan. “Dahulu aku memang seorang pendeta Lama yang tentu saja pantang minum arak dan makan daging. Akan tetapi karena sekarang aku menjadi orang biasa, bukan pendeta lagi, maka pantangan itu pun aku tinggalkan.”

Dan setiap hari Gulam Sang meninggalkan Bu-tong-pai, setelah hari mulai gelap baru kembali. Tak seorang pun mengetahui apa saja yang dikerjakan orang aneh ini. Tiga hari kemudian, Thian It Tosu keluar dari ruangan samadhinya. Selama tiga hari itu, hanya seorang saja diperbolehkan memasuki ruangan samadhi, yaitu Thian Tan Tosu, seorang sutenya, untuk mengirim makanan. Tentu saja begitu keluar dari ruangan samadhinya,

Thian It Tosu menerima pelaporan tentang kunjungan Gulam Sang.

“Biarkanlah kalau dia pergi setiap hari, karena tentu dia ada hubungannya dengan usaha perjuangan kita. Kalau dia pulang, suruh Thian Tan Tosu mengantarnya memasuki kamar samadhiku. Pinto akan menemuinya di sana.” Tidak lama Thian It Tosu keluar, setelah menerima laporan-laporan, dia pun masuk lagi ke dalam kamar itu. Dan sore harinya, Gulam Sang pulang ke Bu-tong-pai. Para tosu memberitahu kepadanya bahwa Thian It Tosu tadi memesan agar dia diajak masuk ke ruangan samadhi. Gulam Sang menjadi gembira dan diantar oleh Thian Tan Tosu, dia pun masuk ke dalam ruangan samadhi itu.

Tidak ada seorang pun mengetahui apa yang mereka bicarakan. Bahkan Thian Tan Tosu juga tidak tahu karena setelah membawa Gulam Sang masuk, dia pun disuruh keluar lagi. Sampai jauh malam barulah Gulam Sang keluar dari ruangan itu lalu memasuki kamarnya sendiri.

Pada keesokan harinya, Gulam Sang berpamit dari para tosu karena dia hendak pergi ke kota raja untuk mengadakan kontak hubungan dengan sekutunya di sana.

“Malam tadi hal itu sudah kubicarakan dengan Thian It Tosu dan kau sudah berpamit kepadanya. Kalau beliau keluar, katakan saja bahwa aku sudah berangkat ke kota raja.” demikian pesannya kepada para tosu Bu-tong-pai.”

Dan setelah Gulam Sang berangkat pergi, pada keesokan harinya Thian It Tosu sudah keluar dari kamar samadhinya dan memimpin Bu-tong-pai seperti biasa. Akan tetapi banyak terjadi hal yang membingungkan para tosu yang lain. Thian It Tosu seringkali menerima kunjungan tokoh-tokoh Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai dan bahkan tokoh-tokoh dari dunia sesat! Mereka tidak diijinkan hadir dalam pertemuan itu sehingga tidak tahu apa yang dibicarakan oleh ketua mereka dengan tokoh-tokoh sesat itu. Dan para tosu Bu-tong-pai hanya dapat merasa heran dan khawatir.

Pada suatu hari, terjadilah hal yang menggemparkan para tokoh dan murid Bu-tong-pai. Hari itu kembali Thian It Tosu menerima beberapa orang Pek-lian-pai. Menjelang sidang, terdengar suara gaduh dan para tosu yang berlari menuju ke ruangan sidang yang tertutup itu, melihat tubuh seorang tosu terlempar keluar dan ketika mereka semua melihat, ternyata tubuh itu adalah Beng An Tosu yang telah tewas!

Selagi mereka ramai membicarakan hal itu, Thian It Tosu muncul dengan mata bersinar-sinar penuh kemarahan, “Itulah jadinya kalau ada yang lancang berani mengintai dan mendengarkan percakapan kami. Pinto kira yang mengintai itu tentu mata-mata musuh, maka pinto menyerangnya sehingga dia tewas. Kiranya dia adalah sute (adik seperguruan) Beng An Tosu sendiri! Biarlah hal ini menjadi peringatan bagi kalian agar jangan ada yang berani lancang mendengarkan atau mengintai kami!”

Semua anggauta Bu-tong-pai benar-benar merasa heran bukan main. Beng An Tosu merupakan seorang tosu yang jujur dan setia, bahkan biasanya amat dipercaya oleh Thian It Tosu. Dan sekarang Beng An Tosu tewas di tangan ketua mereka sendiri! Mulailah para tosu Bu-tong-pai merasa tidak puas dan menduga bahwa ketua mereka agaknya sudah dipengaruhi oleh para tokoh sesat itu. Akan tetapi apa yang dapat mereka lakukan?

Pada suatu hari, banyak tamu berdatangan dan berkunjung ke Bu-tongpai. Mereka disambut oleh Thian It Tosu sendiri. Kepada para anggauta Bu-tong-pai yang terheran-heran melihat hadirnya para tokoh dan datuk sesat, Thiat It Tosu memperingatkan mereka bahwa untuk berhasilnya perjuangan, dia tidak mempedulikan golongan dari mana yang akan membantunya. Memang istimewa para tamu yang berdatangan di waktu itu. Thian-yang-cu dari Bu-tong-pai yang merupakan murid utama dari Thian It Tosu, dan juga Thian Tan Tosu, dipercaya untuk membantu ketua Bu-tong-pai itu menyambut para tamu. Selain dua orang tosu ini, tidak ada orang lain boleh mencampuri dan hanya menjadi penonton dari jauh saja.

Tokoh-tokoh besar dari dunia persilatan golongan sesat berdatangan. Koai Tosu tokoh Pat-kwa-pai bersama beberapa orang temannya anggauta Pat-kwa-pai datang lebih dulu. Kemudian Thian-yang-ji tokoh Pek-lian-pai juga bersama belasan orang kawannya. Kemudian muncul pula Swat-hai Lo-kwi yang sudah tua dan rambutnya sudah putih semua itu! Swat-hai Lo-kwi datang bersama Tung-hai Lo-mo yang tidak pernah ketinggalan membawa dayung bajanya. Bahkan Ban-tok Kwi-ong, datuk sesat dari selatan itu juga muncul. Mereka semua dipersilakan masuk ke dalam ruangan besar tertutup, mengadakan rapat yang penuh rahasia sehingga anak buah Bu-tong-pai sendiri tidak ada yang boleh mendengarkan. Thian It Tosu yang memimpin rapat itu nampak bersemangat dan gembira sekali. Dengan berapi-api dia berkata, “Saudara sekalian, kita tidak perlu mempedulikan para pejuang yang tidak mau bekerja dengan kita. Setidaknya mereka itu pasti tidak akan membantu pemerintah Mancu.”

“Pangcu kapan kita bergerak? Aku sudah tidak sabar lagi untuk melihat hancurnya kerajaan Ceng!” kata Swathai Lo-kwi.

“Benar, aku pun sudah siap dengan sedikitnya lima puluh orang teman untuk mulai bergerak menyerang musuh!” kata Tung-hai Lo-mo.

“Harap saudara sekalian bersabar. Kita harus sabar dan memakai perhitungan yang masak, “kata Thian It Tosu. “Kalian masih ingat ketika pertemuan dahulu itu? Gadis yang memperingatkan kita agar jangan memberontak itu telah kami selidiki dan ternyata dara itu adalah puteri dari Putera Mahkota!”

“Ahhh....!!” Semua orang berseru kaget.

“Jangan panik! Karena itu, kita harus berhati-hati karena tentu gadis itu akan bercerita kepada ayahnya dan tentu keadaan kita telah diamati dari jauh dan mungkin pemerintah telah menyebar mata-mata. Kalau kita bergerak, baru mengumpulkan banyak orang saja sudah akan ketahuan dan sebelum kita bergerak, tentu kita akan dipukul lebih dulu, dan kita harus ingat bahwa kekuatan pasukan pemerintah amat besar.”Lalu bagaimana kita akan bergerak dan mulai perjuang?” tanya Ban-tok Kwiong.

“Sabar! Kita harus menggunakan siasat. Kami perhitungkan, kalau beberapa orang di antara kita yang berilmu tinggi, seperti Swat-hai. Lo-kwi, Tung-hai Lomo, Ban-tok Kwi-ong dan beberapa orang lagi pergi ke kota raja dan berhasil menyusup ke dalam istana, akan mudah bagi kita untuk membunuh kaisar dan Putera Mahkota! Kalau hal itu terjadi, tentu akan terjadi kekacauan di istana dan kita akan berusah ajar yang menjadi pengganti kaisar orang yang berpihak kepada kita. Semua itu akan diatur oleh sekutu kita yang kini juga sedang berada di kota raja, yaitu Gulam Sang.””Ah, Lama Jubah Kuning itu?” terdengar beberapa orang bertanya.

“Benar, akan tetapi sekarang dia bukanlah pendeta Lama lagi. Dia sudah menghubungi beberapa orang hartawan yang akan membiayai semua rencana kita, juga dia akan berhubungan dengan para pangeran di istana. Kalau pangeran pilihan kita yang menggantikan menjadi kaisar, tentu segalanya akan mudah diatut selanjutnya.”

“Akan tetapi, tidak mudah menyusup ke dalam istana. Pekerjaan itu berbahaya dan nyawa taruhannya.” kata Swat-hai Lo-kwi.

Harap Lo-kwi jangan khawatir. Hal itu pun serahkan saja kepada Gulam Sang Kongcu. Dia yang akan mengatur sehingga kalian semua akan menyusup ke dalam istana tanpa dicurigai. Misalnya menjadi guru silat seorang pangeran, atau ahli pengobatan dari pangeran lain, atau juga pembantu baru. Pendeknya, kalian akan dapat masuk ke istana dengan berterang, tentu saja dengan menyamar. Semua itu telah direncanakan oleh Gulam Sang Kongcu. Kalian tinggal menanti berita selanjutnya dari kami.

Telah lama kita tinggalkan Tao Seng dan Tao San, dua orang pangeran yang telah dijatuhi hukuman buang oleh kaisar karena usaha mereka untuk membunuh Putera Mahkota Tao Kuang, akan tetapi mengalami kegagalan karena Pangeran Tao Kuang ditolong oleh Liang Cun yang berjuluk Sin-tung Koai-jin dan puterinya, yaitu Liang Siok Cu. Seperti telah diceritakah di bagian depan, Liang Siok Cu kemudian menjadi selir Pangeran Tao Kuang yang kemudian melahirkan Tao Kwi Hong.

Bagaimana dengan dua orang pangeran yang dibuang itu? Mereka dijatuhi hukuman buang selama dua puluh tahun dan telah dilupakan orang. Akan tetapi, mereka tidaklah lenyap begitu saja. Juga mereka tidak mati dalam pembuangan mereka, walaupun mereka hidup sengsara. Tidak, mereka masih hidup dan pada suatu hari mereka bahkan kembali ke kota raja karena hukuman mereka telah habis. Keluarga kaisar bersikap tak acuh kepada mereka yang dianggap telah melakukan kejahatan yang memalukan.

Tao Seng dan adik tirinya, Tao San, kini telah menjadi dua orang laki-laki setengah tua. Tao Seng kini berusia empat puluh lima tahun dan Tao San berusia empat puluh empat tahun. Mereka mengumpulkan harta kekayaan mereka dan menjadi pedagang yang berhasil. Mereka menjadi kaya raya dan untuk membuang riwayat yang memalukan di waktu yang lalu. Tao Seng kini memakai nama Ji dan terkenal dengan sebutan Ji Wan-gwe (Hartawan Ji), sedangkan Tao San menggunakan nama San Wan-gwe (Hartawan San). Hanya keluarga kaisar saja yang tahu bahwa Ji Wan-gwe dan San Wan-gwe adalah bekas Pangeran Tao Seng dan Tao San. Karena ketika mereka dihukum buang masih muda, maka setelah lewat dua puluh tahun, mereka sudah tidak mempunyai keluarga lagi. Setelah menjadi hartawan, keduanya lalu mengambil isteri dan membentuk keluarga baru. Keliru kalau ada yang menganggap bahwa kedua orang pangeran itu telah menjadi jera atau sadar akan kesalahan mereka. Sama sekali tidak dan sebaliknya malah. Peristiwa hukuman bagi mereka itu mendatangkan dendam kesumat yang membuat mereka tidak segan untuk mencari jalan membalas dendam mereka.

Di dalam pembuangan mereka di barat, pada suatu hari Pangeran Tao Seng bertemu dengan seorang pemuda yang menarik hatinya. Ketika itu dia berusia empat puluh tahun dan pemuda itu berusia dua puluh lima tahun. Pemuda itu menarik perhatiannya karena pemuda itu memiliki ilmu silat yang tinggi bahkan pandai pula dalam ilmu sihir. Pemuda itu adalah Gulam Sang! Gulam Sang sendiri adalah seorang pelarian dari Tibet. Dia adalah murid para pendeta Lama termasuk Dalai Lama, akan tetapi akhirnya dia berkhianat dan memihak Pendeta Lama Jubah Kuning untuk memberontak. Maka dia dikejar-kejar dan melarikan diri ke timur sampai bertemu dengan Pangeran Tao Seng. Mungkin karena nasib sama, mereka segera menjadi akrab, dan akhirnya Pangeran Tao Seng melihat bahwa pemuda itu kelak akan amat berguna baginya, maka dia lalu mengangkat Gulam Sang sebagai puteranya! Mula-mula Gulam Sang merasa ragu untuk menerimanya, karena walaupun Tao Seng adalah seorang pangeran akan tetapi pangeran buangan! Akan tetapi Pangeran Tao Seng lalu menceritakan ambisinya. Dia hendak membalas dendam dan merebut kekuasaan kaisar! Kalau dia berhasil menjadi kaisar, maka dia akan mengangkat Gulam Sang menjadi Pangeran Mahkota yang kelak akan menggantikan dia menjadi kaisar. Janji muluk inilah yang menarik hati Gulam Sang dan akhirnya dia menerima menjadi putera Pangeran Tao Seng.

Demikianlah, setelah hukuman mereka habis dan Pangeran Tao Seng bersama Pangeran Tao San kembali ke timur, Gulam Sang juga ikut pergi ke kota raja Peking, di mana dia dikenal sebagai putera Tao Seng yang. bernama Tai Lam Sang.

Kita mempunyai cita-cita besar, demikian Tao Seng bicara kepada Tao San dan Gulam Sang. Akan tetapi jangan dikira mudah saja .untuk membuat cita-cita kita menjadi kenyataan. Selama lima tahun ini engkau banyak belajar dariku, Lam Sang. Engkau mempelajari sastra dan budaya sehingga tahu bagaimana untuk menjadi seorang pribumi. Akan tetapi untuk dapat berhasil, engkau harus pergi menghubungi orang-orang di dunia kang-ouw. Terutama sekali hubungilah Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, dan dalam hubungan itu sebaiknya kalau engkau menggunakan namamu sendiri dan mengaku saja dari Lama Jubah Kuning. Kita harus menyusun kekuatan dan untuk itu, engkaulah yang harus bertugas mengadakan hubungan-hubungan dengan mereka. Kalau saatnya sudah tiba, baru kita turun tangan.

Tao Seng mengajak Tao San dan Gulam Sang bercakap-cakap tentang rencananya.

Semua rencana diatur oleh Tao Seng dan pelaksananya adalah Gulam Sang yang memiliki kecerdikan dan kepandaian luar biasa. Dengan mudahnya, melalui ilmu silatnya yang tinggi dan ilmu sihirnya, dia dapat mempengaruhi Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Didatanginya para pimpinan kedua perkumpulan, itu dan di depan mereka dia membuktikan kehebatan kepandaiannya. Setelah mendengar bahwa Gulam Sang adalah seorang Tibet dan dari Lama Jubah Kuning, mereka semua percaya dan menariknya sebagai sekutu dan sahabat. Tercapailah rencana pertama dari Tao Seng, yaitu mencari sekutu yang memiliki banyak anak buah dan yang memusuhi pemerintah.

Lam Sang, aku tahu benar bahwa orang pribumi bangsa Han pada umumnya tidak suka akan pemerintah Mancu yang mereka anggap sebagai penjajah. Mereka itu mendendam dan mereka belum ada yang sungguh-sungguh bergerak karena merasa kekuatan mereka belum ada. Akan tetapi, begitu kekuatan mereka dianggap cukup, tentu mereka bergerak menyerang pemerintah. Karena itu, tugasmu ke dua adalah membujuk partai-partai bersih, para pendekar, terutama dari Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, dan lain-lain. Mereka itu kalau dipersatukan, merupakan kekuatan yang amat besar karena mereka memiliki pendekar-pendekar yang sakti. Nah, engkau harus mencari akal bagaimana untuk dapat mempengaruhi mereka sehingga mereka mau diajak bersekutu dan memberontak.

Kembali Tao Seng membuat rencana yang amat cerdik. Ditambah dengan kecerdikan nya sendiri, Gulam Sang lalu mulai bergerak. Dia melakukan penyelidikan terhadap perkumpulan-peckumpulan silat besar itu dan mencari kelemahan kelemahan mereka. Akan tetapi sukar sekali menemukan kelemahan mereka, sampai akhirnya dia mendengar betapa ketua Bu-tong-pai yang bernama Thian It Tosu berada dalam keadaan yang tidak sehat. Akan tetapi kekuasaan tosu itu besar sekali. Setiap katanya merupakan hukum bagi para anak murid Bu-tong-pai dan lebih dari itu, Bu-tong-pai terkenal di antara semua partai dan dihormati. Kalau saja dia dapat menguasai Bu-tong-pai! Dengan pikiran ini dia lalu mulai mempelajari keadaan Thian It Tosu, kebiasaan-kebiasaannya, tingkah lakunya. Ketua yang berusia enam puluh tahun itu bertubuh tinggi besar, mirip dengan tubuhnya. Ini merupakan modal utama baginya.

Setelah mempelajari dengan baik, mulailah dia bertindak. Mula-mula dia menguji diri sendiri. Dengan ilmunya menyamar, dia menggunakan topeng tipis terbuat dari karet yang menutupi mukanya sehingga mukanya berubah menjadi muka Thian It Tosu, lengkap dengan jenggot dan kumisnya yang panjang. Topeng itu demikian sempurna sehingga kalau tidak dikupas dari mukanya, tidak akan ada yang tahu bahwa dia memakai topeng. Pakaiannya pun persis dengan pakaian jubah tosu dan pada suatu senja, alam cuaca remang-remang, dia pun berjalan dekat Bu-tong-san dan sengaja berjalan berpapasan dengan lima orang murid Bu-tong-pai. Melihat dia serta merta lima orang murid itu memberi hormat dan menyebutnya suhu.

Dia menirukan suara Thiat It Tosu. Hemmm, sudah larut senja begini baru pulang. Kalian dari mana?

Kami pergi berburu dan sekalian mencari kayu bakar, Suhu. jawab kelima orang murid itu. Gulam Sang merasa gembira sekali karena ujiannya terhadap dirinya sendiri yang menyamar sebagai Thian It Tosu berhasil baik. Pada lain harinya, dia sengaja muncul di siang hari menemui murid-murid yang sedang bekerja di luar dan tidak ada seorang pun murid yang meragukan bahwa dia adalah Thian It Tosu.

Setelah yakin benar baru dia melanjutkan rencananya. Dia melakukan pengintaian dan pada suatu hari dia melihat Thian-tan Tosu dan Thian-yang-cu pergi berdua turun gunung. Dia sudah menyelidiki dengan jelas siapa adanya dua orang tosu ini. Thian-tan Tosu adalah sute dari Thian It Tosu sedangkan Thian-yang-cu adalah seorang murid utama, dari Thian It Tosu. Dia juga sudah mempelajari keadaan dua orang tosu ini dan maklum bahwa dia mampu menalukkannya, baik dengan ilmu silat maupun dengan ilmu sihirnya. Dengan menyamar sebagai Thian It Tosu, di tempat yang sunyi di lereng bukit dia muncul menghadang dua orang yang sedang melakukan perjalanan itu.

Begitu bertemu dengan Thian It Tosu palsu ini, Thian-tan Tosu dan Thian-yangcu segera memberi hormat.

Suheng....!

Suhu....!

Hemmm, Sute dan Thian-yang-cu, kalian hendak pergi ke mana? tanya Gulam Sang atau Thian It Tosu palsu itu.

Kedua orang itu memandang heran. Apakah Suheng sudah lupa lagi? Baru tadi Suheng yang minta kami untuk mencari sumbangan ke kota, untuk membeli bahan pakaian kita semua.
Oh, benar juga, Sute, sudah lama pinto tidak melihat kemajuan ilmu silatmu. Juga engkau Thian-yang-cu. Sebagai murid utama engkau harus memiliki ilmu silat yang tinggi.””Saya mohon petunjuk, Suheng” kata Thian-tan Tosu.

“Teecu (murid) mohon petunjuk Suhu,” kata Thian-yang-cu.

“Baik, sekarang kalian berdua coba untuk bertanding dengan pinto agar pinto dapat melihat di mana letak kekurangan-kekuranganmu. Maju dan seranglah!”

“Teecu tidak berani, Suhu.”

“Berani atau tidak, engkau harus melawanku bertanding. Kalau tidak, bagaimana pinto mengetahui kelemahanmu dan memberi petunjuk?”

“Suheng, akhir-akhir ini kesehatan Suheng terganggu, sungguh tidak baik mengeluarkan banyak tenaga untuk berlatih.” Thian-tan Tosu juga mencegah.

“Sute, engkau tidak memperoleh banyak kemajuan, untuk melawanmu bertanding, pinto tidak perlu menggunakan banyak tenaga. Kalau kalian sungkan menyerang lebih dulu, baiklah pinto yang menyerang lebih dulu. Lihat pukulan!” Dengan cepat Thian It Tosu menyerang dengan pukulan kedua tangannya ke arah dua orang itu.

Akan tetapi Thian-yang-cu dan Thiantan Tosu dapat mengelak dengan sigapnya dan kedua orang ini tidak dapat menolak lagi. Mereka harus mengeluarkan kepandaiannya agar dinilai oleh sang ketua. Akan tetapi serangan mereka dapat dielakkan oleh tosu yang selama ini nampak kurang sehat itu. Gerakannya demikian cepatnya sehingga serangan dua orang tokoh Bu-tong-pai itu mengenai angin saja. Kemudian, terdengar Thian It Tosu membentak, kedua kakinya ditekuk rendah, kedua tangan didorongkan ke depan dan akibatnya, Thian-tan Tosu terhuyung ke belakang dan Thian-yang-cu terpental beberapa meter jauhnya!

Kedua orang itu terkejut bukan main. Mereka tidak mengenal pukulan sang ketua, pukulan aneh dengan kaki ditekuk itu, akan tetapi daya pukulan itu sungguh dahsyat bukan main. Thian-yang-cu yang ilmu silatnya sudah cukup tinggi merasa sesak dadanya, sedangkan Thian-tan Tosu merasa kepalanya pening. Thian-yang-cu segera memberi hormat dan berkata dengan malu-malu. “Teecu memang bodoh dan lemah.” Dia merasa malu sekali bahwa menghadapi gurunya, mengeroyok pula dengan paman gurunya, mereka berdua dikalahkan dalam beberapa gebrakan saja! Itu pun suhunya menahan tenaganya. Kalau tenaga sinkang yang dahsyat itu dikeluarkan semua, mungkin mereka berdua tidak mampu bangkit lagi.

“Wah, suheng agaknya telah menciptakan jurus pukulan baru yang amat hebat!” kata pula Thian-tan Tosu dengan kagum.

“Hemmm, kalian yang bodoh, kalian yang lemah, tidak ada kemajuan sama sekali. Sungguh menyebalkan dan menyedihkan sekali!”

“Suhu....!”

“Suheng....!”

“Diam! Kalian membuatku kecewa. Kalau kepandaian kalian hanya sebegitu saja, padahal kalian adalah dua orang terpenting sesudah pinto, apa jadinya nanti dengan Bu-tong-pai? Akan menjadi bahan tertawaan saja. Dengar baik-baik, aku melarang kalian membicarakan lagi tentang latihan kita tadi! Mengerti?”

“Baik, Suheng.”

“Baik, Suhu.”

Thian It Tosu sudah tidak mempedulikan keduanya lagi dan membalikkan tubuhnya lalu berkelebat cepat lenyap dari situ. Thian-tan Tosu dan Thian-yang-cu saling pandang dengan heran. Mengapa ketua mereka yang biasanya ramah dan halus lembut tutur sapanya itu mendadak menjadi begitu galak? Akan tetapi larangan tadi amat berkesan di dalam hati mereka dan suara ketua itu seolah masih berdengung berulang-ulang di telinga mereka.

“Thian-yang-cu, kaupikir bagaimana baiknya sekarang?”

“Susiok (Paman Guru), sebaiknya kita kembali dan menghadap Suhu, mohon agar diajari ilmu pukulan baru yang dahsyat tadi.”

“Kalau dia marah?”

“Biar kita tanggung berdua. Pelajaran itu penting sekali untuk memperkuat Bu-tong-pai, Susiok. Dan memang sudah sepatutnya kalau suhu mengajarkan kepada kita.”

“Akan tetapi karena dia sudah melarang kita membicarkkan hal itu, tentu berarti dia tidak suka terdengar oleh orang lain. Maka, kita harus mencari saat yang tepat selagi suheng berada seorang diri untuk menghadapi dan mohon diberi pelajaran itu.”

Kedua orang itu lalu kembali ke Bu-tong-pai. Dan pada sore harinya, ketika Thian It Tosu sedang berjalan-jalan di taman bunga perkumpulan itu seorang diri dan di sekitar tempat itu sunyi tidak nampak seorang pun murid Bu-tong-pai, muncullah Thian-tan Tosu dan Thian-yang-cu, segera berlutut di depan Thian It Tosu sedangkan Thian-tan Tosu memberi hormat dengan membungkuk dan mengangkat kedua tangan di depan dada.

Thian It Tosu adalah seorang tosu yang ramah dan lembut, akan tetapi dia pun keras memegang disiplin dan semua peraturan Bu-tong-pai harus ditaati. Merasa terganggu ketika berjalan-jalah itu, dia mengerutkan alisnya dan bertanya kepada mereka dengan singkat, “Apa maksudnya ini? Kalian mau apa?”

Dua orang itu menjadi gentar mendengar pertanyaan singkat itu. Mereka mengira bahwa Thian It Tosu marah, dan sebelum mereka sempat menjawab tiba-tiba terdengar suara lembut di belakang mereka.

“Siancai-siancai-siancai....! Dari mana datangnya orang yang berani menyamar sebagai pinto?” Ketika dua orang menoleh, mereka terpengaruh melihat ada seorang Thian It Tosu yang lain berada di situ. Semuanya sama, bentuk tubuhnya, wajahnya, suaranya. Hanya bedanya, yang baru muncul ini bersuara lembut, sedangkan yang pertama tadi nampak marah. Dengan sendirinya kedua orang itu berpihak kepada yang baru datang. Yang pertama itulah yang palsu. Mereka berani memastikan hal itu. Bukankah yang pertama bersikap aneh dan keras terhadap mereka bahkan merobohkan mereka dengan pukulan aneh dan ampuh? “Suheng, orang itu adalah orang yang memalsukan dan menyamar sebagai Suheng!” kata Thian-tan Tosu kepada tosu yang baru muncul.

“Benar, Suhu! Harap Suhu memberi hajaran kepadanya. Akan tetapi dia lihai sekali, Suhu.” kata pula Thian-yang-cu dan keduanya sudah meloncat ke belakang tosu yang baru muncul.

Thian It Tosu yang pertama tercengang. “Eh, lelucon macam apa ini? Pinto Thian It Tosu. Saudara siapakah dan mengapa menyamar sebagai pinto?” ? “Siancai....! Ini yang dinamakan maling teriak maling. Sute dan kau Thian-yang-cu, karena kesehatanku masih terganggu, bantulah pinto menangkap maling ini!”

Biarpun gentar menghadapi ketua palsu yang amat lihai itu, namun karena sekarang Thian It Tosu berada dengan mereka, kedua orang itu menjadi berani dan cepat mereka menyerang Thian It Tosu yang pertama. Kakek itu mengelak dan menangkis, lalu berseru, “Sute! Thian-yang-cu, ini adalah pinto, Thian It Tosu! Kalian tertipu!”

“Hemmm, manusia jahat. Engkaulah yang menipu. Sejak dahulu Thian It Tosu adalah pinto!” bentak tosu kedua dan dia pun segera menyerang dan mengeroyok Thian It Tosu pertama.

Tosu itu mencoba untuk melawan, akan tetapi sebuah tamparan tosu kedua mengenai pundaknya. Agaknya tosu pertama itu memang sedang terganggu kesehatannya sehingga gerakannya. Tidaklah setangkas tosu kedua. Dia terhuyung dan kesempatan itu dipergunakan oleh tosu kedua untuk mengirim pukulan tamparan yang amat kuat ke dadanya.

“Bukkk....!!” Tosu itu terpelanting, muntah darah dan pingsan.

“Biarkan pinto yang menangani, mungkin dia masih berbahaya. Kita bawa ke tempat tahanan bawah tanah. Pinto ingin mengetahui siapa saja kawan-kawannya dan apa maksudnya menyelundup masuk menyamar sebagai pinto.” Tosu kedua dengan ringan sekali memanggul tubuh tosu pertama yang pingsan.

Thian-tan Tosu dan Thian-yang-cu mendahului Thian It Tosu pergi ke tempat tanahan bawah tanah yang kebetulan kosong. Tidak ada seorang pun murid Bu-tong-pai yang melihat semua peristiwa ini.

Setelah tiba di dalam kamar tahanan bawah tanah yang berpintu dan berjeruji besi itu, Thian It Tosu menurunkan tawanannya ke atas lantai.

“Biar kita periksa dia dan membuka kedoknya!” kata Thian-tan Tosu. Thian-yang-cu juga ingin sekali melihat siapa adanya orang yang menyamar sebagai Thian It Tosu, maka bersama susioknya dia sudah berjongkok dan keduanya lalu mulai menarik-narik kumis dan jenggot Thian, It Tosu yang palsu. Akan tetapi betapapun mereka menarik-narik, jenggot dan kumis itu tidak dapat terlepas dan ketika mereka meraba-raba muka tosu itu, juga kulit muka itu aseli dan tidak memakai kedok apa pun. Kedua orang itu saling pandang dan terkejut, lalu meloncat dan membalikkan tubuh menghadapi tosu kedua.

“Dia aseli!” kata Thian-tan Tosu dengan muka berubah pucat. Kalau begitu engkau yang palsu!”

Thian It Tosui palsu yang sebetulnya bukan lain adalah Gulam Sang itu tertawa dan berdiri menghadang di pintu kamar tahanan. “Ha-ha-ha! Memang aku bukan Thian It Tosu. Aku membutuhkan pribadinya hanya untuk beberapa bulan saja. Kalau urusanku sudah selesai, akan kukembalikan kepada Thian It Tosu. Sementara ini dia harus tinggal di sini sebagai tawananku!”

“Jahanam! Siapa engkau yang begini jahat?” bentak Thian-yang-cu marah.

“Siapa aku kau tidak perlu tahu. Yang jelas, kalian harus menurut semua kehendakku atau kakek ini akan mati di sini, baru kemudian kalian menyusulnya.”

Thian-tan Tosu dan Thian-yang-cu mendahului Thian It Tosu pergi ke tempat tanahan bawah tanah yang kebetulan kosong. Tidak ada seorang pun murid Bu-tong-pai yang melihat semua peristiwa ini. Setelah tiba di dalam kamar tahanan bawah tanah yang berpintu dan berjeruji besi itu, Thian It Tosu menurunkan tawanannya ke atas lantai.

“Biar kita periksa dia dan membuka kedoknya!” kata Thian-tan Tosu. Thian-yang-cu juga ingin sekali melihat siapa adanya orang yang menyamar sebagai Thian It Tosu, maka bersama susioknya dia sudah berjongkok dan keduanya lalu mulai menarik-narik kumis dan jenggot Thian, It Tosu yang palsu. Akan tetapi betapapun mereka menarik-narik, jenggot dan kumis itu tidak dapat terlepas dan ketika mereka meraba-raba muka tosu itu, juga kulit muka itu aseli dan tidak memakai kedok apa pun. Kedua orang itu saling pandang dan terkejut, lalu meloncat dan membalikkan tubuh menghadapi tosu kedua.

“Dia aseli!” kata Thian-tan Tosu dengan muka berubah pucat. Kalau begitu engkau yang palsu!”

Thian It Tosui palsu yang sebetulnya bukan lain adalah Gulam Sang itu tertawa dan berdiri menghadang di pintu kamar tahanan. “Ha-ha-ha! Memang aku bukan Thian It Tosu. Aku membutuhkan pribadinya hanya untuk beberapa bulan saja. Kalau urusanku sudah selesai, akan kukembalikan kepada Thian It Tosu. Sementara ini dia harus tinggal di sini sebagai tawananku!”

“Jahanam! Siapa engkau yang begini jahat?”bentak Thian-yang-cu marah.

“Siapa aku kau tidak perlu tahu. Yang jelas, kalian harus menurut semua kehendakku atau kakek ini akan mati di sini, baru kemudian kalian menyusulnya.”

“Kami akan mengadu nyawa denganmu!” Thian-tan Tosu membentak marah dan dia sudah menyerang ke arah ketua palsu itu. Akan tetapi tangan Gulam Sang menampar dan tubuh Thian-tan Tosu terlempar dan roboh. Thian-yang-cu juga menyerang, akan tetapi sama saja, dalam segebrakan saja dia pun roboh. Dan sebelum kedua orang itu bangkit lagi, secepat kilat Gulam Sang menggerakkan jari tangannya menotok dan dua orang itu tidak mampu bergerak lagi, rebah telentang di samping tubuh Thian It Tosu yang masih pingsan.

Gulam Sang kini berjongkok di dekat mereka dan suaranya terdengar penuh wibawa. Kiranya dia menggunakan sihirnya untuk mempengaruhi dua orang yang telah ditotoknya itu,

“Dengar baik-baik, Thian-tan Tosu dan Thian-yang-cu! Nyawa ketua kalian telah berada di tanganku. Dia telah kupukul dengan pukulan beracun dan hanya aku yang memegang obat penawarnya. Kalau tidak kuberi obat, dalam waktu sebulan dia akan mati dengan tubuh hancur. Kalau kuberi obat penawar, dia hanya akan menderita sakit, akan tetapi dalam waktu tiga bulan dia akan sembuh sama sekali. Kalian berdua juga berada di tanganku, akan tetapi aku akan membebaskan kalian dan memberi obat penawar kepada ketua kalian kalau kalian berjanji akan taat kepadaku. Kalau tidak taat, kalian bertiga dan semua murid Bu-tong-pai akan kubunuh!”

Biarpun berada di bawah pengaruh sihir, Thian-tan Tosu masih dapat membantah, “Kalau kami harus menaatimu untuk melakukan kejahatan, lebih baik engkau bunuh kami sekarang juga!”

“Ha-ha-ha, siapa yang akan berbuat jahat? Aku bukan penjahat, melainkan pejuang. Aku hanya hendak meminjam Bu-tonng-pai untuk mempersatukan semua tenaga dan menggerakkan mereka untuk memberontak, terhadap penjajah. Bagaimana, maukah kalian berdua berjanji?”Thian-tan Tosu berpikir sejenak. Kalau memang tidak diharuskan melakukan kejahatan, melainkan untuk perjuangan, lebih baik dia taat agar Thian It Tosu tidak terbunuh. Orang ini amat licik dan lihai bukan main, sedangkan Thian It Tosu berada dalam keadaan tidak sehat dan lemah sehingga sukar dicari lawan yang dapat mengimbangi orang aneh ini.

“Aku berjanji akan taat asal bukan untuk kejahatan!” katanya dan mendengar ucapan susioknya, Thian-yang-cu juga mengikutinya dan mengucapkan janjinya pula.

Gulam Sang tertawa senang, lalu dia membuka jubah Thian It Tosu, memperlihatkan dada tosu itu kepada dua orang tokoh Bu-tong-pai. Ternyata di dada itu terdapat tanda telapak jari lima buah yang menghitam. Orang ini bukan hanya menggertak. Pukulannya memang beracun dan nyawa Thiat It Tosu berada di tangannya.

Gulam Sang lalu memulihkan kedua orang tokoh Bu-tong-pai itu dari totokannya. Dia tidak khawatir kalau mereka itu akan memberontak, karena selain mereka sudah berjanji, juga mereka telah dipengaruhi kekuatan sihirnya sehingga dia mampu mengendalikan pikiran mereka.

“Gosokkan minyak ini pada telapak tangan hitam di dadanya dan minumkan pil ini padanya. Racun itu perlahan-lahan akan meninggalkanya dan setelah lewat tiga bulan dia akan sembuh sama sekali.” Gulam Sang mengeluarkan obat-obat itu dan Thian-tan Tosu lalu mengobati suhengnya. Ketika siuman Thian It Tosu mencoba untuk bangkit duduk, segera ditopang oleh murid dan sutenya. Dia memandang ke arah Gulam Sang. “Apa artinya semua ini? Siapakah engkau?

Thian It Tosu, aku tidak berniat buruk. Aku hanya ingin meminjam namamu dan Bu-tong-pai untuk menggerakkan semua tenaga para pejuang untuk mulai dengan pemberontakan terhadap pemerintah penjajah. Kalau niatku sudah terlaksana dan tercapai, akan kukembalikan Bu-tong-pai kepadamu. Akan tetapi kalau engkau mencoba untuk menghalangiku engkau, akan mati bersama seluruh muridmu. Bu-tong-pai akan kuhancurkan!”

“Siancai....! Melakukan pemberontakan sekarang merupakan kebodohan. Engkau tidak akan berhasil....” kata Thian It Tosu lemah.

“Ha-ha-ha, kita sama-sama melihatnya nanti!” Tiba-tiba Gulam Sang bersuit dan muncullah lima orang yang gerakannya ringan dan cekatan. Mereka adalah tokoh-tokoh Pek-lian-pai yang sudah bersekutu dengan Gulam Sang. Kiranya mereka sejak tadi melakukan pengintaian dan ketika Thian It Tosu dibawa masuk kamar tahanan bawah tanah, mereka juga membayangi.

“Apa yang harus kita lakukan, Kongcu?” tanya seorang di antara lima orang itu. “Kalian berjaga di sini dan begitu ada gerakan untuk memberontak dari orang-orang Bu-tong-pai, kalian lebih dulu bunuh kakek ini!

Baik, Kongcu.

“Nah, Thian Tan Tosu. Engkau setiap hari dua kali harus membawakan makanan dan minuman untuk Thian It Tosu dan lima orang penjaganya. Tidak boleh ada orang lain kecuali kalian berdua yang mengetahui bahwa Thian It Tosu ditawan di sini dan bahwa yang menjadi Thian It Tosu adalah aku.”

Thian It Tosu palsu itu lalu mengajak dua orang yang diaku sebagai sutenya dan muridnya itu untuk keluar dari tempat tahanan tanpa terlihat orang lain, meninggalkan Thian It Tosu bersama lima orang penjaganya.

Demikianlah, mulai hari itu yang memimpin Bu-tong-pai adalah Thian It Tosu yang palsu. Dengan pandainya Gulam Sang sebagai Thiat It Tosu menggunakan alasan bahwa badannya tidak sehat untuk beristirahat dan bersamadhi dalam kamarnya. Kalau sudah berada di kamar samadhinya, dengan mudah dia mengubah dirinya menjadi Gulam Sang yang diterima sebagai “tamu terhormat” dari Bu-tong-pai. Dan dengan penyamaran itu pula dia mengundang semua partai besar dan tokoh persilatan, menghasut mereka untuk bekerja, sama melakukan pemberontakan. Tentu saja dia juga bersekutu dengan Pek-lian-pai, Pak-kwa-pai dan para tokoh dari datuk sesat, sesuai seperti yang direncanakan Pangeran Tao Seng! Semua itu adalah siasat Pangeran Tao Seng yang dilaksahakan oleh Gulam Sang.

Akan tetapi tempat seperti yang diramalkan Thiat It tosu, pertemuan itu gagal karena penolakan Yo Han ketua Thiar-li-pang. Apalagi dengan munculnya Tao Kwi Hong yang mengancam mereka dan sepak terjang Keng Han yang mencari tahu sebab permusuhan gurunya, Gosang Lama dengan Bu-tong-pai. Ketika Thian It Tosu palsu ditanya tentang permusuhan dengan Gosang Lama, dia terkejut sekali. Akan tetapi dasar orang cerdik, Gulam Sang pandai mencari alasan tentang sebab permusuhan itu dan menjatuhkan kesalahannya di pundak Gosang Lama, atau ayah kandungnya sendiri! Ketika sebagai Gulam Sang dia bertemu, Keng Han yang dianggapnya sebagai teman karena dia adalah putera gurunya, Gulam Sang berhasil pula mengajak pemuda itu untuk bekerja sama, bahkan memberi alamat Ji Wan-gwe di kota raja yang banyak mengetahui tentang keadaan Pangeran Tao Seng. Tentu saja secepatnya dia mengirim utusan dengan pemberitahuan kepada Pangeran Tao Seng atau ayah angkatnya itu bahwa akan datang seorang pemuda bernama Keng Han yang mencari tahu tentang Pangeran Tao Seng yang diakui sebagai ayah kandungnya. Juga dia memberi tahu bahwa Keng Han memiliki ilmu silat yang amat lihai sehingga kalau perlu pemuda itu dapat dimanfaatkan.

Yang merasa tersiksa hatinya adalah Thian-yang-cu dan Thian-tan Tosu. Mereka merasa tidak berdaya karena takut akan ancaman. Gulam Sang untuk membunuh Thian It Tosu yang selalu dijaga oleh lima orang jagoan dari Pek-lian-pai itu. Juga mereka tahu benar akan kelihaian Gulam Sang yang mungkin akan melaksanakan ancamannya yaitu membasmi Bu-tong-pai kalau rahasianya terbongkar.

Keng Han merasa kagum dan terpesona ketika dia tiba di kota raja. Belum pernah dia melihat bangunan-bangunan sebesar dan seindah itu. Dia benar-benar seperti seorang dusun yang baru pertama kali memasuki sebuah kota besar.

Tidak sukar baginya mencari rumah Hartawan Ji karena nama itu sudah terkenal di kota raja. Dan dia pun mengunjungi rumah itu, sebuah gedung besar yang mempunyai pintu gerbang besar dan tebal, dijaga pula oleh orang-orang yang nampaknya seperti tukang-tukang pukul atau ahli-ahli silat.

Kepada para penjaga pintu ini dia mengaku bernama Si Keng Han dan ingin menghadap Hartawan Ji karena urusan penting. Dia disuruh menanti sebentar sementara seorang penjaga melaporkan ke dalam tak lama kemudian dipersilakan memasuki kamar tamu yang besar dan mewah. Keng Han memandangi semua keindahan itu. Gambar-gambar, sajak-sajak, hiasan-hiasan dan bahkan meja kursi di situ berukir indah. Oleh pengawal yang mengantarnya dia dipersilakan duduk menanti dan pengawal itu sendiri lalu keluar lagi.

Bunyi langkah kaki membuat jantung Keng Han berdebar tegang. Benarkah cerita Gulam Sang bahwa dia akan mendapat keterangan yang lebih jelas tentang ayahnya? Begitu tuan rumah muncul, dia cepat bangkit berdiri dan memberi hormat sambil mengamati wajah orang itu. Dia melihat seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun yang masih gagah dan tampan, berpakaian sutera sebagaimana pakaian seorang hartawan. Sebaliknya, tuan rumah itu yang bukan lain adalah Pangeran Tao Seng sendiri juga mengamati pemuda yang kini memberi hormat didepannya. Diam-diam dia merasa kagum dan bangga. Puteranya! Akan tetapi tidak terasa ada keharuan dalam hati yang sudah mengeras itu, melainkan perasaan girang karena mungkin dia akan mendapatkan seorang pembantu yang amat berguna.

“Maafkan, Tuan....”

“Jangan sebut aku tuan, panggil saja paman.” kata Pangeran Tao Seng atau Hatawan Ji ramah.

“Maafkan kalau kedatangan saya ini mengganggu kesibukan Paman.”

“Ah, tidak mengapa. Silakan duduk dan, perkenalkanlah siapa dirimu dan ada kepentingan apa ingin bertemu denganku.”Keng Han mengambil tempat duduk. Bantalan kursinya lunak sekali, enak diduduki, “Nama saya Si Keng Han, Paman, dan nama Paman diperkenalkan kepada saya oleh seorang sahabat yang bernama Gulam Sang.”

“Aha, begitukah? Gulam Sang itu adalah putera angkatku sendiri.”

Baru sekarang Keng Han mengetahui dan dia pun terkejut. Kiranya putera gurunya itu telah diambil anak oleh hartawan ini. “Kalau begitu semua keterangannya tentang Paman tentu benar semua.”

“Keterangan apakah tentang diriku?”

“Bahwa Paman pernah mengenal ayah kandung saya dan mengetahui tentang semua peristiwa yang menimpa diri ayah kandung saya.”

“Siapakah ayah kandungmu?”

“Dahulu ayah kandung saya adalah seorang pangeran, namanya Pangeran Tao Seng.”

“Akan tetapi bukankah namamu Si Keng Han nama margamu Si?”

“Itu hanya untuk penyamaran saja, Paman. Tidak baik kiranya kalau saya menggunakan nama keluarga istana, hanya akan menarik perhatian orang saja.”

Tao Seng mengangguk-angguk, menyatakan bahwa dia mengerti. Lalu apa yang hendak kautanyakan tentang Pangeran Tao Seng? Siapa pula ibumu dan di mana ia sekarang berada?”

“Saya hendak mencari ayah kandung saya akan tetapi saya mendengar bahwa ayah saya difitnah orang sehingga dihukum buang. Ibu saya adalah seorang wanita Khitan, puteri kepala suku. Ibu yang mengutus saya pergi mencari ayah kandung saya karena setelah meninggalkan ibu selama dua puluh tahun, dia tidak pernah memberi kabar sedikit pun.”

Ji Wan-gwe kini merasa yakin bahwa yang berhadapan dengan dia adalah putera kandungnya, putera Silani. Bahkan dia yang dahulu memesan kepada Silani. bahwa kalau isterinya itu melahirkan seorang anak laki-laki agar diberi nama Tao Keng Han! Akan tetapi kalau ada sedikit getaran pada jantungnya karena terharu bertemu putera kandungnya, ingatannya akan cita-citanya lebih besar dan lebih kuat sehingga dia dapat menekan perasaannya. Dia menghela napas besar seperti orang bersedih, padahal napas panjang itu untuk menekan rasa harunya.

“Menyedihkan sekali nasib ayahmu itu, Kongcu. Ketahuilah bahwa saya dahulu menjadi pengawal dari ayah kandungmu. Bahkan ketika Pangeran Tao Seng dibuang ke barat, saya tetap mengikutinya untuk menemani dan melayaninya. Dia memang terkena fitnah, Kongcu.”

“Demikian kata Gulam Sang. Bukankah ayah seorang pangeran mahkota? Bagaimana dia bisa terkena fitnah dan siapa. pula yang memfitnahnya?”

“Semua itu terjadi karena iri hati. Salah seorang pangeran lain yang bernama Tao Kuang merasa iri hati karena ayahmu yang terpilih sebagai pangeran mahkota. Maka dia lalu melakukan fitnah menuduh ayahmu hendak memberontak dan membunuh kaisar. Memang ada bukti-bukti karena bukti itu memang sudah disediakan lebih dulu oleh Pangeran Tao Kuang. Ayahmu dituduh hendak membunuh kaisar dan membunuh Pangeran Tao Kuang, maka dia dihukum buang selama dua puluh tahun. Saya mengikutinya sampai di tempat pembuangannya.””Ah, kasihan sekali ayah kandungku! Dan sekarang dia berada di mana, Paman Ji?”

Hartawan Ji menghela napas lagi. “Agaknya Pangeran Tao Kuang tidak puas karena ayahmu hanya dihukum buang. Dia menghendaki kematian ayahmu maka dia menyuruh orang untuk menyusul ke barat, dan di sana orang-orangnya berhasil meracuni ayahmu sehingga meninggal dunia!”

“Ahhh....!!” Keng Han menundukkan mukanya karena tidak ingin kelihatan menangis atau berduka. Sampai lama keduanya diam, kemudian terdengar Hartawan Ji berkata dengan suara yang mengandung kemarahan.

“Akan tetapi kita tidak tinggal diam Kongcu! Dendam sedalam lautan ini harus ditebus dengan kematian Pangeran Tao Kuang dan kaisar!”

Akan tetapi bagaimana mungkin, Paman? Kita hanyalah orang-orang biasa, bagaimana mungkin dapat menentang kekuasaan yang memiliki ratusan ribu pasukan?”

“Kita tidak bergerak sendiri, Kongcu. Dengarlah. Dengan bantuan anakku Gulam Sang kita telah menghimpun persekutuan yang cukup kuat. Banyak partai persilatan besar, para tokoh kang-ouw yang sakti, sudah siap membantu. Kalau engkau suka membantu, kiranya tidak akan sukar untuk membunuh Pangeran Tao Kuang atau bahkan kaisar sekalipun.””Tentu saja saya suka membantu. Di mana jenazah ayahku dimakamkan, Pamain Ji?”

“Atas permintaannya sendiri sebelum dia meninggal, jenazahnya diperabukan, akan tetapi sampai sekarang abunya belum dapat kukubur atau kubuang ke laut. Aku masih takut kalau-kalau ada yang tahu dan mengenalku sebagai pengawal ayahmu, bisa celaka aku. Abu jenazah itu masih kusimpan di rumah ini, kubuatkani sebuah meja abu. Kalau Kongcu hendak bersembahyang di depan meja abu, silakan, Kongcu.”

Keng Han berterima kasih sekali dan dia lalu mengikuti tuan rumah memasuki ruangan dalam yang hiasannya lebih indah dan mereka tiba di sebuah kamar di mana terdapat sebuah meja dan abu itu tersimpan didalam sebuah bejana dari perak. Tidak ada tulisan apa pun di situ dan hal ini dapat dimengerti Keng Han karena hartawan itu tidak ingin ketahuan bahwa dia bekas pengawal Pangeran Tao Seng. Keng Han lalu bersembahyang dan berlutut di depan meja abu itu. Dia terkenang kepada ibunya dan, hatinya seperti diremas. Lima tahun lebih dia meninggalkan ibunya dengan harapan akan dapat bertemu ayahnya. Siapa kira sekarang dia hanya dapat bersembahyang di depan abunya.

Ayah, saya bersumpah untuk membalas dendam kematian ayah!" katanya kuat-kuat dan Hartawan Ji yang berdiri di belakangnya tersenyum penuh arti. Setelah bersembahyang mereka bercakap-cakap lagi berdua saja, di ruangan lain. "Untuk membunuh kaisar memang merupakan hal yang sulit karena kaisar selalu terkurung rapat oleh para pengawalnya. Akan tetapi membunuh Pangeran Tao Kuang yang kini menjadi Putera Mahkota itu tentu lebih mudah. Dia tidak terjaga begitu ketat. Hanya saja, Pangeran Tao Kuang mempunyai seorang selir yang pandai ilmu silat. Tadinya ayah mertuanya juga berada di sana, akan tetapi setelah ayah mertuanya meninggal, yang perlu diperhitungkan adalah selirnya itu. Apakah engkau berani menyerbu ke sana dan melawan selirnya yang lihai itu?"

"Untuk membalas dendam, saya berani melakukan apa saya, Paman Ji!"

"Bagus! Kalau begitu engkau tinggallah disini beberapa waktu lamanya untuk mempelajari keadaan dalam Istana Pangeran Mahkota. Setelah hafal akan keadaan di sana barulah engkau bergerak. Apakah engkau membutuhkan bantuan, Tao-kongcu?"

"Tidak dalam hal ini jangan sampai Paman tersangkut. Untuk membalaskan dendam ayah, biar aku sendiri yang bertanggung jawab."

"Baiklah, kalau begitu akan kuusahakan menemukan denah istana pangeran mahkota itu sehingga engkau akan lebih mudah bergerak kalau sudah berhasil masuk ke sana."


Keng Han mengucapkan terima kasih dan merasa gembira sekali. Biarpun dia tidak dapat bertemu dengan ayahnya, kalau dia dapat membalaskan sakit hatinya, dia sudah merasa puas. Tentu hal ini juga merupakan hiburan bagi ibunya mendengar tentang kematian ayah kandungnya.

Yo Han Li dan Kai-ong Lu Tong Ki memasuki kota raja. Sejak kecil Han Li tinggal di Bukit Naga dan biarpun dia pernah melihat kota besar, akan tetapi baru sekali ini dara ini melihat kota raja, maka banyak hal yang membuatnya menjadi bengong! Banyaknya toko, rumah penginapan dan rumah makan yang serba besar, taman-taman yang besar dan indah, banyaknya orang berlalu lalang, pagoda-pagoda yang nampak dari jauh di lereng bukit, semua itu membuatnya berulang kali memuji.

"Uh, apa sih bagusnya semua itu? Hanya dapat dipandang akan tetapi tidak dapat dirasakan! Lihat nanti kalau kita bisa mendapatkan hidangan kaisar atau pangeran, baru engkau akan benar-benar kagum! Hidangan-hidangan itu bukan hanya dapat dipandang dan dicium sedapnya, akan tetapi juga dapat dirasakan dengan lidah! Wahhh, mulutku menjadi basah mengingat semua itu."

Han Li tersenyum geli. Gurunya ini yang diingat hanya makanan saja. Selama ini, hampir setiap hari ia harus memasak makanan untuk gurunya yang mengatakan bahwa ia pandai memasak dan bahwa masakannya sedap sekali.

"Engkau berbakat seni memasak, Han Li!" pujinya berulang-ulang. "Tahukah engkau bahwa memasak itu merupakan seni yang tinggi nilainya? Cara mengerat daging atau memotong sayurnya, cara membesarkan atau mengecilkan apinya berapa lamanya memasak, semua itu mengandung seni tersendiri. Bumbu-bumbu sederhana saja di tangan seorang ahli akan mendatangkan kelezatan pada masakan. Apa saja yang dimasak oleh seorang yang berbakat seni memasak, tentu enak!"

Gurunya memang tukang makan. Kalau perlu dia akan mencuri makanan! Pernah ketika mereka lewat sebuah rumah makan yang memamerkan bebek panggang, Kai-ong berjalan dekat rumah makan itu dan ketika dia keluar dari situ, di bawah baju rombengnya sudah tersembunyi seekor bebek panggang utuh. Dilahapnya bebek panggang itu di sepanjang jalan sambil memberi komentar tentang rasa bebek panggang itu. Jarang ada makanan yang dipuji kakek ini, ada saja kekurangannya, kurang asin atau terlalu manis, terlalu kering dan sebagainya. Kalau sekarang sebelum merasakan hidangan istana dia sudah memuji setinggi langit, Han Li percaya bahwa hidangan itu tentu benar-benar istimewa.

Ketika mereka berjalan lewat depan sebuah gedung seperti istana, Kai-ong berhenti. "Ahhh, itu rumah Pangeran Mahkota. Aku yakin hidangan masakan di sini tidak kalah lezat daripada yang berada di istana kaisar. Kaisar sudah terlalu tua tentu giginya sudah banyak yang ompong dan masakannya tentu yang lunak-lunak saja. Berbeda dengan masakan di istana Pangeran Mahkota, tentu lengkap dengan yang agak keras. Han Li, kitamakan di dapur Pangeran Mahkota saja!"

Han Li memandang dengan khawatir. Di depan istana itu saja sudah terdapat perajurit pengawal yang berjaga. Tentu istana itu di jaga ketat. Bagaimana mereka dapat makan di dapur istana ini? Han Li merasa ngeri kalau sampai ketahuan dan dikeroyok lalu ditangkap. Alangkah malunya. Ditangkap sebagai pencuri makanan!

"Akan tetapi gedung itu tentu dijaga ketat, Suhu." "Heh-heh-heh, tentu saja. Akan tetapi apa artinya segelintir penjaga itu untuk kita. Mari ikuti aku!" Kai-ong lalu mengambil jalan memutar dan tibalah mereka di luar tembok pagar yang mengelilingi gedung itu bagian belakang. Setelah melihat bahwa di situ tidak ada orang, Kai-ong mengajak muridnya untuk meloncati pagar tembok yang tinggi itu. Mula-mula Kai-ong yang lebih dulu melompat dan dia sudah mendekam di atas pagar tembok. Han Li menyusul. Dengan gerakan ringan bagaikan seekor burung ia melayang naik ke atas pagar tembok dan mendekam di sebelah gurunya. Ternyata di sebelah dalam pagar tembok itu terdapat sebuah taman yang amat indah.

"Nah, sudah kuduga. Tentu dalamnya sebuah taman atau kebun. Mari kita loncat ke dalam dan kau bersembunyi di belakang rumpun bambu di sana itu!" Kai-ong memberi petunjuk dan keduanya lalu berlompatan masuk. Han Li segera lari ke belakang rumpun bambu seperti yang dikehendaki Kai-ong, sementara kakek itu sendiri berindap-indap menghampiri bangunan itu dari belakang.

Han Li memandang dengan khawatir. Di depan istana itu saja sudah terdapat perajurit pengawal yang berjaga. Tentu istana itu di jaga ketat. Bagaimana mereka dapat makan di dapur istana ini? Han Li merasa ngeri kalau sampai ketahuan dan dikeroyok lalu ditangkap. Alangkah malunya. Ditangkap sebagai pencuri makanan! "Akan tetapi gedung itu tentu dijaga ketat, Suhu."

"Heh-heh-heh, tentu saja. Akan tetapi apa artinya segelintir penjaga itu untuk kita. Mari ikuti aku!" Kai-ong lalu mengambil jalan memutar dan tibalah mereka di luar tembok pagar yang mengelilingi gedung itu bagian belakang. Setelah melihat bahwa di situ tidak ada orang, Kai-ong mengajak muridnya untuk meloncati pagar tembok yang tinggi itu. Mula-mula Kai-ong yang lebih dulu melompat dan dia sudah mendekam di atas pagar tembok. Han Li menyusul. Dengan gerakan ringan bagaikan seekor burung ia melayang naik ke atas pagar tembok dan mendekam di sebelah gurunya. Ternyata di sebelah dalam pagar tembok itu terdapat sebuah taman yang amat indah. "Nah, sudah kuduga. Tentu dalamnya sebuah taman atau kebun. Mari kita loncat ke dalam dan kau bersembunyi di belakang rumpun bambu di sana itu!" Kai-ong memberi petunjuk dan keduanya lalu berlompatan masuk. Han Li segera lari ke belakang rumpun bambu seperti yang dikehendaki Kai-ong, sementara kakek itu sendiri berindap-indap menghampiri bangunan itu dari belakang.

Bagaikan sebuah bayangan, Kai-ong menyelinap masuk. Han Li yang disuruh bersembunyi hanya menanti. Jantungnya berdebar tegang. Bagaimana kalau mereka ketahuan? Ia tidak takut akan ancaman pengeroyokan, hanya merasa malu kalau sampai ketahuan masuk ke rumah orang untuk mencuri makanan!

Tak lama kemudian, Kai-ong muncul lagi dan memberi isyarat dengan tangan kepada Han Li untuk mengikutinya. Kiranya kakek tadi lebih dahulu menyelidiki di mana adanya dapur istana itu. Han Li berlari menghampirinya dan keduanya lalu menyelinap masuk melalui pintu belakang. Tiba-tiba Kai-ong menarik tangan Han Li untuk bersembunyi. Baru saja Han Li bersembunyi di balik tembok, ia melihat tiga orang pengawal yang membawa tombak lewat di dekat mereka. Untung mereka sudah bersembunyi. Terlambat sebentar saja mereka tentu sudah ketahuan!

Setelah tiga orang pengawal itu lewat, kembali Kai-ong mengajak Han Li melanjutkan perjalanan memasuki bagian yang lebih dalam di istana itu. Setibanya di dapur, Han Li melihat ada kesibukan di dalam dapur. Kai-ong memberi isyarat untuk mengikutinya dan kakek itu lalu melayang naik ke atas dapur. Han Li mencontoh perbuatan gurunya dan kini mereka mendekam di atas atap dapur mengintai ke bawah.

Sebelum dapat melihat apa-apa, lebih dulu hidung Han Li disambut bau masakan yang amat sedap. Cepat ia mengintai dan melihat lima orang koki sedang membuat masakan. Bermacam-macam masakan itu.

"Hemmm, udang besar saus tomat itu nampak menggapai-gapai kepadaku," bisik Kai-ong dan dia menjilat bibirnya sendiri. Han Li merasa geli dan juga heran ketika gurunya mengeluarkan segulung tali yang di ujungnya dipasangi besi kaitan seperti sebuah pancing! Ia baru mengerti setelah gurunya menurunkan pancing itu ke bawah dan menanti sampai para koki itu lengah, barulah dia mengayun pancingnya dan besi kaitan itu dengan tepat sekali mengait seekor udang goreng saus tomat yang segera ditariknya ke atas. Segera ditangkapnya udang yang masih panas itu dan dimakannya dengan lahap sekali.

"Wah, enaknya bukan main!" Dia memuji dan di lain saat dia sudah mengait seekor lagi yang lalu diberikan kepada Han Li. Sebetulnya Han Li tidak berselera makan masakan curian itu, akan tetapi ia tidak mau mengecewakan gurunya, maka dimakannya udang itu. Ternyata memang lezat sekali. Setelah menghabiskan lima ekor udang besar, dan selagi matanya mencari-cari masakan lain, di bawah terjadi keributan. Si tukang masak udang goreng saus tomat itu yang membuat ribut. "Heiii!! Udangku, ke mana? A Sam, jangan main-main kau!" tegurnya kepada temannya yang sedang memasak masakan ayam tanpa tulang. "Tentu engkau yang makan udang-udangku. Tinggal setengahnya!"

"Ngawur! Siapa makan udang-udangmu? Sejak tadi aku mempersiapkan masakanku sendiri, mana ada waktu untuk memperhatiakn udangmu, apalagi mencurinya dan memakannya."

"Akan tetapi udang besar itu tadinya berjumlah belasan ekor, sekarang tinggal delapan ekor lagi! Yang berada di dekatku hanya engkau. Siapa lagi yang mencurinya kalau bukan engkau!"

"Aku tidak mencuri udangmu. Jangan main tuduh sembarangan kau!"

Teman-teman yang lain melerai. "Sudahlah, mungkin dimakan kucing."

"Tidak ada kucing masuk ke sini." bantah koki udang yang merasa kehilangan. Sementara itu, di dalam keributan itu selagi para koki bicara dan lengah, seekor ayam tanpa tulang telah melayang naik ke atas. Kai-ong membaginya dengan Han Li dan mereka makan masakan istimewa. Ayam itu masih utuh, akan tetapi ketika digigit, sama sekali tidak ada tulangnya dan ayam itu diisi cacahan daging dengan bumbunya yang sedap.

"Heiii....! Mana ayamku?" tiba-tiba Asam yang tadi dituduh mencuri udang, berteriak.

"Ayam apa lagi!" tanya teman-temannya.

"Tadi masih di sini, baru saja kuangkat dari tempat masak. Semua ada lima ekor, akan tetapi lihat, hanya tingga empat ekor. Yang seekor lagi terbang ke mana?"

"Mana ada ayam tanpa tulang itu dapat terbang?"

"Tentu ada yang mencuri dan menyembunyikan. A-cui, engkau tadi menuduh aku mencuri udang-udangmu, agaknya engkau hendak membalas dan engkau yang menyembunyikan ayamku!"

"Kau gila! Aku tidak mencuri ayammu!" A-cui membentak. Dua orang itu sudah saling mengacungkan pisau dapur yang tajam, akan tetapi dilerai temantemannya. Akhirnya keributan itu mereda dan mereka melanjutkan pekerjaan mereka.

Sementara itu, seekor ayam cabut tulang tadi telah habis memasuki perut Kai-ong dan Han Li. Kai-ong menjilati jari-jari tangannya yang berlepotan minyak dan menggumam, "Wah, enak.... lezat....!"

"Suhu, aku sudah kenyang. Mari kita pergi dari sini." bisik Han Li. .

"Wah, nanti dulu. Baru mencicipi sedikit sudah mau pulang! Dan lagi, makan seperti ini kurang enak. Aku ingin mencicipi masakan rebung kaki biruang itu, dan itu ada swi-ke pemakan burung, dan panggang bebeknya, goreng burung merpati, wah, masih begitu banyak dan engkau mengajak pulang. Nanti dulu ah!" Kai-ong mematahkan ujung genting diremasnya menjadi potongan kecil-kecil lalu mulai menyambitkan ke bawah.

"Aduh, siapa memukul kepalaku?" teriak seorang koki gendut sambil menggosok-gosok kepalanya yang botak.

"Aduh! Aku juga dipukul. Kamu yang memukul kepalaku, ya?" teriak A-sam dan dia langsung saja menuduh A-cui. Acui menjadi marah lagi.

"Siapa yang memukul? Aduh, siapa mengetuk kepalaku?"

Kemudian terdengar mereka semua mengaduh dan suasana menjadi kacau. Dalam keadaan seperti itu, Kai-ong memberi isyarat kepada Han Li dan mengajak gadis itu melayang turun ke dalam dapur! Dengan cekatan, Kai-ong sudah mengambil semangkok sop ayam muda dan sambil berjongkok dan bersembunyi di belakang meja dia menyambar pula sepasang sumpit dan mulailah dia makan dengan lahapnya. Dia memberi isyarat kepada Han Li agar meniru perbuatannya. Akan tetapi Han Li yang juga ikut bersembunyi di belakang meja menggerakkan pundaknya, lalu menyambar sepotong bak-pauw dan memakannya. Bak-pauw adalah sebuah roti biasa yang berisi daging dan sayur, akan tetapi bak-pauw yang terdapat dalam dapur Pangeran Mahkota ini lain rasanya. Memang enak sekali.

Setelah mencicipi berbagai macam masakan, Kai-ong ingin minum dan merangkaklah dia ke tempat penyimpanan guci-guci arak. Dibukanya sebuah guci dan dituangkan isinya begitu saja ke mulutnya.

"Heiii, ke mana masakan goreng burung merpatiku?"

"Dan kenapa sop ayam muda ini tinggal sedikit?"

"Ca rebung muda kaki biruangku juga tinggal sedikit!"

"Wah, bau arak! Jangan-jangan ada guci arak yang pecah!",

Lima orang koki itu ribut-ribut dan mencari ke sana ke mari. Tentu saja guru dan murid itu sibuk berloncatan ke sana ke mari untuk menyembunyikan diri. Akan tetapi Kai-ong yang keenakan minum arak, tidak sempat lagi bersembunyi. Seorang di antara lima. koki itu melihatnya dan berteriak, "Wah, ini dia malingnya. Seorang pengemis tua!"

"Celaka, masakan kita diusiknya, banyak yang dimakannya. Apakah keluarga pangeran hanya mendapatkan sisanya?"

"Hayo kita tangkap pencuri itu!" Dua orang sudah menerjang maju untuk menangkap Kai-ong, akan tetapi Han Li melompat ke depan. Lima orang koki itu terbelalak ketika melihat seorang gadis cantik melindungi kakek itu.

"Paman sekalian, maafkanlah kami yang sudah mencicipi sedikit masakan kalian. Suhu, mari kita pergi!"

"Heh-heh-heh, nanti dulu, Han Li. Kabarnya Pangeran Mahkota adalah seorang dermawan. Siapa kira, makanan untuk keluarganya, demikian mewah sedangkan di luar istananya, banyak rakyat kelaparan!" Kai-ong minum terus dan nampaknya seperti sudah mabuk. "Mari kita lapor ke dalam!" Lima orang koki itu lalu berlarian keluar dari dalam dapur.

"Suhu, mari kita cepat pergi. Para pengawal tentu segera berdatangan!"

"Heh-heh-heh, aku tidak pernah melarikan diri dari dapur sebelum perutku benar-benar kenyang. Mari kita makan dengan leluasa, Han Li. Begini lebih enak. Ini ada nasi dari Hang-ciu, nasinya lembut dan harum sedap." Kai-ong tidak mau pergi malah kini duduk menghadapi meja, menyambar mangkok dan sumpit lalu mulai makan dengan lahapnya.

Han Li membanting-banting kaki dengan bingung. Sudah terdengar suara banyak kaki lari ke tempat itu. "Wah, ini bagaimana, Suhu? Mereka sudah berdatangan!" "Biarkan saja. Kalau mereka berani mengganggu aku makan, akan kuhajar! Nih, kau makan nasi, Han Li. Atau ingin buah-buahan segar. Itu di sana banyak anggur, buah leci dan apel. Tinggal pilih mana yang kau suka, heh-heh-heh!"

"Akan tetapi, Suhu....!" Han Li tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu di ambang pintu dapur telah bermunculan pasukan pengawal yang belasan orang jumlahnya. Seorang komandan pengawal menudingkan goloknya ke arah Kai-ong yang sedang melahap makanan, "Pencuri busuk, engkau mengacau di dapur istana pangeran?"

"Heh-heh-heh, makanan ini datangnya dari perahan keringat rakyat, apakah kami tidak boleh merasakannya? Aku mendengar bahwa Pangeran Mahkota adalah seorang yang dermawan dan bijaksana. Apakah dia tidak mengijinkan kami mencicipi makanan ini?" kata Kai-ong sambil menggigit paha ayam dan menyeringai ke arah para pengawal.

"Keparat, berani engkau....!"

"Tahan dulu, Ciangkun. Biarkan kami bicara dengan mereka!" tiba-tiba terdengar suara lembut dan perwira pengawal itu terpaksa mundur lagi karena yang menegurnya adalah Pangeran Mahkota Tao Kuang sendiri.

Han Li dan Kai-ong memandang penuh perhatian dan melihat munculnya seorang laki-laki bangsawan yang tampan dan berwibawa. Usianya sekitar empat puluh tahun. Di sebelah kanannya berdiri seorang wanita cantik dan di sebelah kirinya berdiri seorang gadis manis. Baik wanita cantik maupun gadis manis itu membawa sebatang pedang di punggung mereka sehingga mereka nampak anggun dan juga gagah. Pria itu adalah Pangeran Mahkota Tao Kuang. Gadis manis itu bukan lain adalah Tao Kwi Hong dan wanita cantik itu ibunya. Mereka tadi sedang bersiap hendak makan siang ketika mendengar laporan para koki bahwa di dapur terdapat kakek pengemis yang mencuri makanan. Pangeran Mahkota Tao Kuang tertarik mendengar ini dan dikawal oleh Tao Kwi Hong dan ibunya, Liang Siok Cu, mereka bergegas menuju ke dapur.

Pangeran Mahkota Tao Kuang memiliki watak seperti kakeknya, yaitu suka bergaul dan menghargai orang-orang kang-ouw. Maka, begitu melihat kakek berpakaian pengemis itu bersama seorang gadis cantik yang mendatangkan kekacauan di dapurnya, dia melarang para pengawal turun tangan. Dia sendiri lalu mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai pemberian hormat dan berkata dengan lembut, "Apakah kunjungan Locianpwe dan Nona ini hanya untuk mencicipi makanan?"

"Habis, untuk apa lagi? Kami tidak mempunyai urusan dengan Pangeran Mahkota Tao Kuang, heh-heh-heh!" kata Kai-ong.

"Kamilah Pangeran Mahkota Tao Kuang. Kalau begitu, biarlah kami mengundang Locianpwe dan Nona untuk makan bersama!" Penawaran ini diajukan dengan sikap lembut dan manis sehingga Han Li merasa tidak enak dan malu sendiri.

"Kau dengar itu, Han Li?" kata Kai-ong sambil tertawa girang. "Sudah lama aku mendengar bahwa Pangeran Mahkota Tao Kuang adalah seorang yang bijaksana dan sekarang terbukti kebenaran berita itu. Terima kasih, Pangeran, kami menerima undanganmu itu, ha-ha-ha!"

Han Li diam saja akan tetapi merasa tidak enak hati. Sejak kecil ia mendengar tentang penjajahan bangsa Mancu terhadap negara dan bangsanya. Ia sendiri adalah puteri ketua Thian-li-pang yang bercita-cita memerdekakan bangsa dan sekarang ia diundang makan bersama oleh keluarga Pangeran Mahkota bangsa Mancu! Akan tetapi, menolak pun tidak mungkin karena gurunya sudah menerima, maka ia pun mengikuti saja ketika mereka dipersilakan masuk ke dalam ruangan makan yang luas.

Setelah mereka duduk menghadapi meja makan, hidangan-hidangan yang paling lezat disuguhkan. Pangeran Tao Kuang memberi isyarat kepada pelayan untuk mengisi arak dalam cawan-cawan perak di depan tamunya lalu menyulangi dua orang tamunya dengan secawan arak. "Silakan Ji-wi (Anda Berdua) minum untuk ucapan selamat datang kami dan untuk perkenalan ini."

Sambil tersenyum lebar Kai-ong minum secawan arak itu dan Han Li hanya mencontoh gurunya, Pangeran Tao Kuang memperkenalkan selirnya dan puterinya lalu bertanya, "Siapakah nama Locianpwe yang terhormat dan siapa pula Nona ini?"

"Heh-heh-heh, Pangeran. Terima kasih bahwa Paduka suka menyambut kami orang-orang biasa dengan ramah tamah. Saya bernama Lu Tong Ki orang biasa saja, bahkan pengemis yang tidak pernah minta-minta."

"Lu Tong Ki....? Apakah bukan Kai-ong (Raja Pengemis) Lu Tong Ki?" tiba-tiba Liang Siok Cu bertanya dengan kaget.

"Heh-heh-heh, saya hanyalah rajanya para pengemis, Nyonya."

"Mendiang ayahku Liang Cun, sering bicara tentang Locianpwe." kata nyonya itu kagum.

Kini sepasang mata Lu Tong Ki terbelalak, "Liang Cun? Ah, Sin-tung Koai-jin sudah meninggal dunia dan Nyonya adalah puterinya? Pantas, kalian begini ramah. Kiranya keturunan seorang datuk dari Thai-san!"

"Ha-ha-ha, kiranya kita berada di antara orang sendiri!" Pangeran Tao Kuang tertawa gembira.

"Dan engkau, Enci yang baik, siapakah namamu?" tiba-tiba Kwi Hong bertanya kepada Han Li sambil memandang gadis itu penuh perhatian. "Apakah engkau murid Locianpwe ini'?"

"Benar, aku murid Suhu, namaku Yo Han Li," jawab Han Li singkat.

Mereka mulai makan dan minum. Setelah selesai makan di mana Kai-ong dapat memuaskan seleranya, tiba-tiba Raja Pengemis itu tertawa dan mengelus perutnya. "Aihhh, kalau setiap hari makan begini, dalam waktu sebulan aku akan menjadi orang gendut!"

Semua orang tertawa dan Kai-ong kembali berkata, "Ha-ha-ha, Pangeran tentu tidak menduga siapa adanya nona yang mengaku saya sebagai gurunya ini.

Sesungguhnya ia jauh lebih terkenal dari pada saya yang hanya raja kaum pengemis. Ibunya terkenal dengan julukan Si Bangau Merah, ayahnya lebih terkenal lagi dengan julukan Pendekar Tangan Sakti yang juga menjadi ketua Thiani-pang...."

"Ahhh....!!" Liang Siok Cu berseru kaget sambil memandang Han Li, sedangkan wajah Pangeran Tao Kuang juga berubah agak pucat. Akan tetapi Kwi Hong berseru girang,

"Aih, kiranya Enci ini puteri Paman Yo? Senang sekali bertemu dengan puteri Paman Yo Han!"

"Kwi Hong, apakah engkau mengenal ketua Thian-li-pang?" tanya Pangeran Mahkota Tao Kuang, sedangkan isterinya siap untuk melindungi suaminya kalau-kalau puteri pemberontak itu mempunyai niat jahat.

"Ayah, aku tidak tahu apakah paman Yo itu ketua Thian-li-pang. Yang aku ketahui dia adalah seorang yang gagah perkasa dan telah menolongku dari pengeroyokan pemberontak Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Aku kagum sekali kepadanya!"

Han Li tadi terkejut bukan main mendengar gurunya memperkenalkan ayahnya sebagai ketua Thian-li-pang, akan tetapi ia merasa heran dan juga lega mendengar bahwa Kwi Hong pernah ditolong ayahnya. Ketika ia melirik ke arah gurunya. Ia melihat Kai-ong tersenyumsenyum kepadanya dan ia pun dapat menduga bahwa gurunya sengaja menyebut Thian-li-pang untuk menguji sampai di mana ketulusan hati dan kebijaksanaan Pangeran Mahkota itu! Dan memang sebenarnya begitulah. Maklum bahwa ucapannya tadi bisa mendatangkan bahaya, maka diam-diam Kai-ong juga sudah bersiap-siap. Dia cerdik sekali dan andaikata disebutnya Thian-li-pang itu membuat Pangeran Mahkota marah dan mengerahkan pasukan pengawalnya, dia tentu akan bertindak menawan sang pangeran lebih dulu agar dia dan muridnya dapat keluar dari istana itu dengan aman!

Akan tetapi dia pun merasa lega ketika ucapan Kwi Hong membuyarkan suasana yang tegang tadi. Kini Pangeran Mahkota yang berkata kepada Han Li,suaranya mengandung perasaan heran. "Aneh sekali! Ketua Thian-li-pang menolong puteriku dan hari ini aku menjamu puterinya! Dan semua orang tahu bahwa Thian-li-pang adalah sebuah perkumpulan yang berjiwa pemberontak!". Ayah saya tidak pernah membenci perorangan, Pangeran. Yang ditentangnya adalah penjajah dan penindasan!" jawab Han Li dengan tegas.

"Heh-heh-heh, dalam anggapan Paduka memang Thian-li-pang pemberontak, Pangeran." kata pula Kai-ong. "Akan tetapi dalam anggapan kami rakyat jelata, Thian-li-pang berjiwa pendekar dan pejuang."

"Berjuang untuk apa?" Pangeran Mahkota mendesak.

"Berjuang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, berjuang untuk kemerdekaan tanah air dan bangsa." kata pula Kai-ong dan ketika mengucapkan kata-kata ini, dia tidak lagi tertawa melainkan berkata dengan suara dan wajah serius.

"Sama saja, itu pemberontakan namanya, menentang pihak yang berkuasa." bantah Pangeran Mahkota Tao-Kuang.

"Harap Paduka mempertimbangkan dengan hati dan kepala yang tenang dan dingin." kata pula Kai-ong. "Coba Paduka tempatkan diri Paduka sebagai rakyat kami. Apakah Paduka tidak mempunyai keinginan untuk memerdekakan tanah air dan bangsa dari belenggu penjajah? Salahkah itu kalau seseorang bercita-cita untuk kebebasan dan kemerdekaan bangsanya?"

Pangeran Tao Kuang mengangguk-angguk. "Mungkin juga kami akan berpendirian yang sama. Akan tetapi kami bukan penindas. Kami menganggap bangsa Han seperti bangsa sendiri. Kami ingin menjalankan pemerintahan yang adil, ingin menyejahterakan rakyat."

"Kami percaya, Pangeran. Akan tetapi yang ditentang oleh para pejuang adalah pemerintahan penjajah, bukan perorangan, seperti dikatakan murid saya Han Li tadi."

"Akan tetapi sekarang terbukti bahwa di antara kita tidak ada kebencian atau permusuhan. Anak kami telah diselamatkan ketua Thian-li-pang dan anak ketua Thian-li-pang kami undang makan menjadi tamu terhormat kami!" kata Pangeran Tao Kuang sambil tersenyum.

"Ayah, kuharap enci Han Li menjadi tamu kita untuk beberapa waktu lamanya. Aku ingin mengenalnya lebih dekat dan berbincang-bincang tentang ilmu silat dengannya!" kata Kwi Hong kepada ayahnya.

Pangeran Mahkota Tao Kuang mengangguk dan tersenyum ramah kepada Kai-ong, "Aku tidak keberatan dan mereka ini boleh tinggal di istana sebagai tamu berapa lama pun mereka kehendaki!"

Kai-ong tertawa. "Bagus! Aku suka sekali tinggal di sini beberapa lamanya sampai puas makan enak setiap hari, Han Li, kita tinggal di sini sampai bosan!"

Kwi Hong merasa gembira sekali. Dengan senyum manis ia bangkit menghampiri Han Li dan menggandeng tangan gadis itu. "Mari kita melihat-lihat taman, enci Han Li. Dan kutunjukkan kamarmu di mana engkau boleh tinggal!"

Kedua orang gadis itu pergi dan meninggalkan Kai-ong yang diajak bercakap-cakap oleh Pangeran Tao Kuang. Raja pengemis itu bersama muridnya menjadi tamu dari Pangeran Mahkota!

Cu In tidak peduli bahwa dirinya menjadi pusat perhatian orang-orang yang dijumpainya di jalan dalam kota raja.

Mukanya yang tertutup sutera putih dari batas hidung ke bawah itulah yang menarik perhatian orang. Akan tetapi tidak ada seorang pun mengganggunya. Tentu mereka itu mengira bahwa ia seorang wanita dari Turki atau negara Islam lainnya. Wanita-wanita Islam biasanya menutup mukanya dengan cadar seperti itu.

Tidak sukar bagi Cu In untuk mendapat keterangan di mana adanya rumah Panglima The Sun Tek. The-ciangkun adalah seorang panglima yang terkenal di kota raja. Dialah yang memimpin pasukan memadamkan pemberontakan di selatan. The-ciangkun seorang panglima yang bukan hanya pandai ilmu perang, akan tetapi juga seorang yang memiliki ilmu silat tinggi.

Cu In tidak tahu orang macam apa adanya The Sun Tek. Yang penting baginya adalah bahwa ia harus membunuh orang itu. Menurut gurunya, panglima The itu adalah musuh besar gurunya, dan lebih daripada itu, panglima The itulah yang membunuh ayah bundanya sehingga ia menjadi seorang yatim piatu sejak masih bayi! Dan sejak bayi ia dipelihara oleh subonya, maka kini tugas untuk membunuh musuh besar subonya itu akan dilaksanakan sebaik mungkin. Bukan hanya untuk membalas budi gurunya, melainkan juga untuk membalas dendam ayah bundanya.

Cui In merasa agak heran namun girang melihat kenyataan bahwa rumah itu tidak dijaga regu keamanan seperti rumah para panglima tinggi lainnya. Rumah itu dari luar nampak sunyi saja. Cui In lalu mengelilingi pagar tembok rumah itu dan ternyata rumah itu memiliki pekarangan dan taman yang luas sekali.

Hari itu panas sekali. Matahari telah naik tinggi. Bagaikan seekor burung saja ringannya, Cui In sudah melompati pagar tembok di bagian belakang rumah itu dan mendekam di atas untuk mengintai ke sebelah dalam pagar. Ternyata di sebelah dalamnya terdapat sebuah taman yang luas, penuh dengan bunga warna warni yang sedang berkembang sehingga suasana di taman itu nyaman dan indah sekali. Ia melompat turun ke sebelah, dalam dan menyelinap di antara pohon-pohon. Agak jauh di tengah taman itu terdapat sebuAh pondok dengan dinding Rendah dan bagian atasnya terbuka. Semacam tempat untuk duduk bersantai menikmati keindahan taman. Di depan pondok itu terdapat sebuah kolam ikan dengan bunga teratai dan ikan-ikan emas berenang di dalam kolam. Gemercik suara air di kolam yang jatuh dari sebuah pancuran mendatangkan suara yang menyejukkan hati.

Cui In cepat menyusup ke balik rumpun bunga. Ia melihat seorang laki-laki melangkah seenaknya dengan santai menuju ke panggung atau pondok itu, memasukinya dan duduk di atas bangku menghadapi kolam ikan. Cui In mengintai dan melihat bahwa pria itu berusia lima puluh tahun lebih, akan tetapi rambut kepalanya sudah banyak beruban. Rambut itu dikuncir ke belakang dan diikat dengan sutera biru. Wajah yang mulai berkerut merut itu masih nampak tampan dan gagah. Akan tetapi sinar matanya mengandung duka. Sampai lama pria itu termenung memandangi kolam ikan dan berulang kali dia menghela napas panjang. Tiba-tiba pria itu menengadahkan mukanya, memandangi awan yang berarak di angkasa, dan dia membaca sajak.

"Seperti awan bergerak di angkasa kita bercanda penuh suka dan tawa sumpah saling mencinta saling setia berbahagia memadu asmara semua itu hilang musnah ketika angin datang menerpa kita berpisah dan merana yang tertinggal hanyalah air mata!"

Bersambung ke buku 5