Jodoh Rajawali -13 | Kho Ping Hoo



Buku 13

Wajah yang tadinya berseri amat cantiknya mendengar pujian itu, tiba-tiba saja berubah sama sekali menjadi bersungut-sungut, seperti langit yang tadinya cerah tiba-tiba tertutup mendung. Luar biasa sekali cepatnya perubahan pada wajah dara ini, menunjukkan bahwa keadaan hatinya juga mudah sekali berubah. Dara seperti ini mudah marah, mudah gembira, mudah berduka dan mudah bersuka, akan tetapi biarpun bersungut-sungut, tidak pernah kehilangan kemanisannya wajahnya yang memang cantik rupawan. Dan pada dasarnya dara ini berwatak jenaka dan periang, sehingga bersungut-sungut pun hanya sebentar saja, seperti angin lalu.

“Pandai apanya? Kalau tidak ada engkau yang datang menolong, tentu aku yang kaupuji-puji pandai ini sudah menjadi mayat!” Dia termenung lalu melanjutkan, “Dua orang itu ternyata lihai sekali!”

Kian Lee lalu teringat kepada dua orang yang tadi mengeroyok dara ini. “Ah, siapakah mereka, Nona? Dan mengapa pula kau berkelahi dengan mereka?”

Kembali terjadi perubahan pada wajah cantik itu. Kalau tadi bersungut-sungut menunjukkan kekesalan hatinya, kini berubah marah dan sepasang mata yang indah itu seperti memancarkan cahaya berapi yang panas, yang ditujukan kepada Kian Lee, dan suaranya nyaring dan marah, “Aih, kalau tidak ada engkau yang lancang turun tangan menggangguku, tentu sekarang juga aku sudah berhasil membekuk mereka Hemmm, kalau tidak teringat betapa tadi engkau menyelamatkan nyawaku, tentu kau sudah kuanggap musuh dan kuserang mati-matian! Engkau ini memang seorang aneh, membikin aku bingung apa yang harus kulakukan terhadap dirimu!”

Kian Lee adalah seorang pemuda pendiam yang biasanya tidak suka banyak bicara, akan tetapi menghadapi seorang dara seperti ini, yang memiliki kepribadian amat menarik, yang berubah-ubah sikapnya, penuh daya hidup dan semangat, mau tidak mau dia terseret juga.

“Apa maksudmu?” tanyanya.

“Mengingat kau tadi menggagalkan usahaku yang hampir berhasil menangkap dua orang penculik itu, sepatutnya kau kubunuh, akan tetapi mengingat kau telah menyelamatkan nyawaku, tidak mungkin aku memusuhimu.”

Kian Lee tersenyum, akan tetapi dia kurang memperhatikan semua kata-kata yang seperti kanak-kanak itu karena dia teringat akan penuturan Ceng Ceng tentang Syanti Dewi, maka dia berkata, “Nona Siang In....“

“Sudahlah, kalau kau tidak menganggap aku sahabat, lebih baik aku pergi saja....“ dan tiba-tiba Siang In membalikkan tubuhnya, mengempit payungnya dan berjalan pergi. Lenggangnya yang wajar tidak dibuat-buat itu menonjolkan keindahan tubuhnya karena dia berjalan seperti orang menari-nari saja layaknya!

Tentu saja Kian Lee menjadi bengong dan ketika sadar bahwa dara itu benar-benar meninggalkannya, dia cepat melompat dan mengejar, lalu berdiri menghadang di depan dara itu dengan pandang mata penuh keheranan. “Nona Siang In.... mengapa kau...., apa salahku?”

“Kau tadi berkata bahwa karena mengenal adikmu dan karena aku sahabat baik dari Puteri Syanti Dewi, maka kau menganggap aku sebagai sahabatmu, akan tetapi kau menyebutku nona-nona segala macam! Sebutan nona membuat aku merasa berhadapan dengan orang asing, dan terhadap seorang asing aku tidak sudi banyak bicara lagi!” Dan dara itu sudah mau melangkah pergi lagi saja.

Hampir saja Kian Lee menggaruk-garuk kepalanya karena merasa kewalahan menghadapi dara ini. “Habis, aku harus menyebutmu apakah?”

“Namaku Siang In, tanpa nona-nonaan bagi seorang sahabat. Engkau tentu lebih tua dariku, tentu saja tidak harus menyebut enci.”

“Ah, baiklah Adik Siang In. Maafkan aku.”

Wajah yang tadinya keruh dan marah itu tiba-tiba menjadi cerah berseri dan dara itu lalu duduk di atas sebuah batu yang terdapat tidak jauh dari situ. “Nah, sekarang katakanlah, engkau mau bicara apa tadi?”

“Bicara apa....?” Kian Lee menjadi bingung karena sikap dara itu benar-benar mengocoknya, membuat dia lupa lagi akan apa yang sedang hendak dikatakannya tadi.

“Bukankah kau tadi ingin mengatakan sesuatu kepadaku? Carilah sampai kau teringat, kalau tidak, aku bisa mati karena penasaran dan ingin tahu apa yang akan kaukatakan tadi!”

Kian Lee mengerutkan alisnya, duduk di atas rumput di depan dara itu dan mengingat-ingat. Celaka, kalau orang sedang terlupa akan sesuatu, makin diingat akan makin sulit untuk dapat teringat. Melihat pemuda itu demikian tersiksa karena mengingat-ingat hal yang sudah lupa sama sekali, Siang In merasa tidak tega.

“Eh, kau sudah makan?” tiba-tiba dia bertanya.

Kian Lee terkejut, memandang bengong. “Makan....?” tanya bingung.

Siang In tersenyum, manis sekali, dan mengangguk. “Ya, makan. Kalau belum, aku dapat menyediakan nasi dan masakan-masakan yang paling lezat untukmu, dalam sekejap mata saja.“

“Ah, jangan main-main, Adik Siang In. Di dalam hutan seperti ini mana mungkin engkau bisa membeli.... ah, ataukah engkau barangkali hendak menyihir rumput dan batu menjadi nasi dan masakan?”

Siang In mengangguk, masih tersenyum. “Apa sukarnya? Bukankah ayahmu juga Pendekar Siluman yang merupakan ahli sihir nomor satu di dunia ini? Apa sukarnya menyihir rumput dan batu menjadi nasi dan masakan lezat?”

“Hemmm, jangan coba mengelabuhi aku, In-moi (Adik In). Biarpun mungkin bisa, akan tetapi nasi dan masakan jadi-jadian itu tidak mungkin dapat dimakan sampai mengenyangkan perut.”

“Akan tetapi aku bisa! Dan aku tanggung kau akan menikmatinya dan perutmu akan kenyang, Lee-koko!”

“Aku tidak percaya,”

“Tidak percaya? Nah, kau boleh tutup mata sebentar!”

Sambil tersenyum seperti melayani seorang anak kecil main-main, Kian Lee memejamkan matanya. Dengan telinganya dia dapat menangkap dara itu bergerak, melesat pergi dari situ dan tak lama kemudian kembali lagi, melakukan gerakan-gerakan lalu terdengar dara itu berkata, “Nah, sudah jadi! Bukalah matamu, Lee-ko!”

Sambil tersenyum Kian Lee membuka matanya dan dia terbelalak! Di depannya, di atas rumput, terhampar nasi dan beberapa macam masakan sedap yang diletakkan di atas daun pembungkus, masih mengepul hangat-hangat!

“Nah, silakan makan!” kata Siang In tersenyum. “Aku sih sudah makan kenyang tadi.”

Kian Lee mengerahkan sinkangnya, mengerahkan kekuatan batin untuk membuyarkan sihir itu, akan tetapi nasi dan masakan itu masih ada saja di situ, tidak mau lenyap. Dan bau sedap masakan itu meremas-remas perutnya yang lapar, maka tanpa banyak pikir lagi dia lalu mulai makan. Bukan main lezatnya! Perut lapar bertemu nasi dan masakan hangat tentu saja lezat! Dan dara itu sudah menyulap pula seguci air jernih dari saku jubahnya. Kian Lee makan sampai kenyang dan setelah minum, dia mengusap bibirnya dan perutnya, memandang dara itu dan tersenyum. “Hebat.... engkau memang hebat. Kiranya kau benar-benar telah menyediakan makanan ini.... ah, sekarang aku teringat apa yang akan kukatakan kepadamu!”

Siang In tertawa geli, terkekeh dan menutupi mulutnya, sikapnya manis dan agak genit, akan tetapi menarik hati sekali. “Tentu saja! Kalau pikiran kosong, maka segala sesuatu akan teringat. Kalau pikiran dikerjakan, hal yang terlupa mana mungkin dapat teringat? Pikiran penuh dengan kenangan dan ingatan, sampai penuh sesak dan bertumpuk-tumpuk. Nah, sekarang katakan, apa yang akan kaubicarakan tadi?”

“Aku mau bicara tentang Syanti Dewi. Bukankah engkau kehilangan dia di dalam pesta pernikahan Hwa-i-kongcu di puncak Naga Api yang menjadi sarang Liong-sim-pang?”

Siang In meloncat bangun dan wajahnya berseri. “Engkau tahu? Di mana dia sekarang?”

“Tenanglah dan dengarkan ceritaku. Yang melarikan Syanti Dewi dari puncak Naga Api itu bukan lain adalah See-thian Hoat-su....“

“Eh, guruku?” Dara itu berteriak.

“Benar, akan tetapi puteri itu telah diculik orang lagi dari tangan gurumu di pantai Po-hai....“

“Di Gua Tengkorak?”

“Benar, aku mendengar semua itu dari Nyonya Kao Kok Cu....“

“Siapakah Nyonya Kao Kok Cu itu?”

“Dia masih adik angkat dari Puteri Syanti Dewi sendiri.”

“Ah, Enci Ceng Ceng? Aku sudah banyak mendengar namanya yang sering disebut-sebut dan diceritakan oleh Syanti Dewi! Lalu bagaimana?”

Kian Lee lalu menceritakan apa yang didengarnya dari Ceng Ceng tentang Syanti Dewi, betapa Ceng Ceng bertempur melawan See-thian Hoat-su di Gua Tengkorak karena salah sangka sehingga dalam pertempuran itu, mereka tidak tahu betapa Syanti Dewi diculik orang lain.

Mendengar ini, Siang In mengepal tinjunya. “Ah, celaka! Sudah terdapat, lepas lagi! Dia belum bertemu, puteri itu juga lenyap dan kini ditambah dua orang penculik itu! Wah, perjalananku penuh dengan soal-soal yang meruwetkan pikiran!”

“Apa maksudmu? Siapa dia yang belum bertemu itu?”

Tiba-tiba wajah Siang In menjadi merah. Tentu saja dia tidak mau bicara tentang Kian Bu yang dicari-carinya hanya karena ingin bertanya mengapa dulu pemuda itu, lima enam tahun yang lalu, telah.... menciumnya. Bicara tentang itu kepada kakak dari Kian Bu, tentu saja tidak mungkin! Maka dia cepat menjawab, “Sayang bahwa dua orang penculik tadi telah dapat meloloskan diri. Aku kasihan sekali kalau mengingat akan nasib anak Laki-laki yang mereka culik.”

“Laki-laki dan wanita tadi, yang mengeroyokmu, mereka tadi penculik? Dan ada anak laki-laki yang mereka culik?” Kian Lee tertarik sekali.

Siang In mengangguk. Setelah bercakap-cakap agak lama, nampaklah oleh dia perbedaan yang besar antara Kian Bu dan Kian Lee. Dia masih ingat benar kepada Suma Kian Bu biarpun sudah enam tahun dia tidak jumpa dengan pemuda itu. Kian Bu yang tampan itu wajahnya agak lonjong, matanya tajam dan kocak, wataknya keras namun dia dapat menjadi seorang yang periang, jenaka dan suka mengeluarkan kata-kata yang menyindir atau menggoda, pandai memuji dan wajahnya selalu berseri gembira. Sebaliknya, Kian Lee ini biarpun juga memiliki wajah yang amat tampan, namun bentuk mukanya bulat, matanya lebar dan juga tajam sekali, akan tetapi pandang matanya penuh kesungguhan, serius, tenang seperti air telaga yang dalam, gerak-geriknya halus, penuh kesabaran dan agaknya tidak banyak bicara. Hanya pada sepasang mata mereka dan tarikan dagu mereka yang penuh kejantanan itulah terletak persamaannya dan karena yang dua ini merupakan ciri-ciri khas mereka, maka pada pertemuan pertama nampak benar persamaan di antara mereka.

“Kakak Suma Kian Lee, apakah engkau tidak suka bersendau-gurau?”

“Hahhh?” Tentu saja Kian Lee terkejut, heran dan bengong. Dengan sungguh-sungguh dia amat tertarik dan bertanya tentang penculik-penculik dan anak yang diculik, jawabannya malah pertanyaan seperti itu yang sama sekali tak pernah diduga-duganya! “Bersendau-gurau....?”

“Ya, sukakah engkau bersendau-gurau dan bergembira, berguyon-guyon, Lee-ko?”

Kian Lee tidak tahu bagaimana harus menjawab, akan tetapi agar tidak menimbulkan kecewa orang, dia mengangguk, lalu berkata, “In-moi, ceritakanh bagaimana kau tahu bahwa dua orang lawanmu yang lihai tadi menculik seorang anak laki-laki.”

Sikap dan suara Kian Lee demikian berwibawa sehingga diam-diam Siang In menjadi jerih! Pemuda ini benar-benar menyeramkan. Begitu tampan, begitu halus, akan tetapi entah mengapa, wibawanya besar sekali dan di dalam sikap diamnya itu nampak kekuatan yang menggiriskan hati.

“Hanya kebetulan saja aku bertemu dengan mereka ketika mereka memasuki rumah makan tadi bersama seorang anak laki-laki berusia kurang lebih lima enam tahun. Sikap mereka terhadap anak itu mencurigakan dan wanita itu mengaku anak itu sebagai puteranya, padahal aku tahu benar bahwa dia itu masih perawan....“

“Hemmm, bagaimana kau tahu akan hal itu kalau engkau baru pertama kali bertemu dengan dia?”

“Tentang dia masih perawan atau bukan? Huh, itu adalah rahasia wanita!”

Tiba-tiba wajah Kian Lee menjadi merah dan dia menyimpangkan percakapan tentang perawan atau bukan itu. “Lalu bagaimana, selanjutnya?”

“Mereka merasakan kecurigaanku agaknya, buktinya wanita itu pergi membawa anak itu dan meninggalkan si pria sendirian membeli masakan dan nasi, setelah dia keluar dari restoran, aku lalu membayanginya....“

“Hemmm, jadi masakan yang kumakan tadi adalah miliknya yang dibelinya dari restoran?”

Siang In terkekeh. Suara kekeh “hihi-hik” yang keluar dari tenggorokannya itu merdu sekali. “Akan tetapi lezat, kan?”

Kian Lee terpaksa tersenyum, mengangguk dan berkata, “Lanjutkanlah ceritamu.”

“Wanita itu sudah menanti di sini, aku ketahuan dan dikeroyok. Anak itu entah mereka sembunyikan di mana. Melihat omongan di antara mereka dalam bahasa Mongol yang kumengerti, jelas bahwa anak itu sudah pasti mereka culik, entah anak siapa.”

“Anak laki-laki....? Berusia lima enam tahun....? Ah, jangan-jangan anaknya!” Kian Lee teringat dan mengerutkan alisnya, bangkit berdiri dan memandang ke arah larinya dua orang itu tadi.

“Anaknya? Anak siapa, Koko?”

“Anak Ceng Ceng! Anaknya pun diculik orang, laki-laki dan usianya juga lima tahun!”

“Ahhh....! Mungkin sekali!” Siang In kini bersikap sungguh-sungguh. “Kulihat anak itu bukan anak sembarangan, biarpun baru berusia lima tahun akan tetapi telah memperlihatkan sikap yang tegas dan penuh keberanian.”

“Dan melihat betapa dua orang itu memang lihai, agaknya tidak salah mereka itulah yang menculik anak Kao Kok Cu. Aku harus mengejar mereka!” kata Kian Lee.

“Lee-ko, aku ikut!” Siang In berseru ketika melihat pemuda itu melesat pergi dengan kecepatan kilat. Biarpun Siang In telah mengerahkan ginkangnya, tetap saja dia tertinggal agak jauh maka dia berteriak-teriak mernanggil pemuda itu, repot membawa payungnya yang dibawa lari cepat sekali. Terpaksa Kian Lee memperlambat larinya sehingga akhirnya Siang In dapat menyusulnya. Dara itu memandang kagum. Bukan main hebatnya pemuda ini, pikirnya, akan tetapi ketika teringat bahwa pemuda ini adalah kakak dari Kian Bu, dan putera dari Pendekar Super Sakti, dia merasa girang dan bangga.

“Larimu seperti kijang saja cepatnya....!” katanya terengah-engah.

Kian Lee yang sedang merasa tegang mengingat bahwa mungkin anak yang diculik orang itu benar anak Ceng Ceng, tidak melayani sendau-gurau itu dan berkata, “Mari kita cepat mengejar mereka.”

Dengan teliti mereka mencari dan menyelidiki dan akhirnya mereka mendapatkan keterangan dari penduduk dusun yang mereka temui bahwa Laki-laki dan wanita baju hijau yang membawa anak Laki-laki itu menuju ke lembah Huang-ho. Mereka terus mengejar dan jejak itu membawa mereka ke lembah, yaitu sarang dari perkumpulan Kui-liong-pang yang kini telah menjadi benteng yang kuat dari Pangeran Bharuhendra atau Liong Bian Cu dari Nepal yang menyusun kekuatan di tempat itu, bekerja sama dengan gubernur dari Ho-nan!

Di depan telah diceritakan sedikit tentang dua orang laki-laki dan wanita yang menculik Kao Cin Liong, yaitu putera dari Kao Kok Cu si Naga Sakti Gurun Pasir dan Ceng Ceng. Laki-laki berkulit putih bule yang bernama Liong Tek Hwi itu adalah putera dari mendiang Pangeran Liong Bin Ong dari seorang selirnya yang berasal dari daerah Rusia selatan, seorang gadis cantik yang dipersembahkan kepada Pangeran. Liong Bin Ong yang pada waktu itu masih berkuasa sebagai saudara dari kaisar. Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan betapa Pangeran Liong Bin Ong dan pangeran Liong Khi Ong, dua orang pangeran tua yang menjadi saudara dari Kaisar Kang Hsi itu mengadakan pemberontakan, dibantu oleh panglima-panglima pemberontak, di antaranya yang paling terkenal adalah Panglima Kim Bouw Sin yang tadinya menjadi pembantu dan tangan kanan Jenderal Kao Liang. Akan tetapi pemberontakan itu dapat dipadamkan dan Pangeran Liong Bin Ong tewas di dalam istananya sendiri oleh mendiang Han Wi Kong, suami dari Puteri Milana yang merasa penasaran karena pangeran pemberontak itu terlepas dari hukuman karena kaisar terlalu lunak kepadanya. Sedangkan Pangeran Liong Khi Ong tewas dalam perang oleh Ang Tek Hoat.

Demikian, Pangeran Liong Bin Ong meninggalkan seorang putera dari selir berkulit putih itu dan putera ini bukan lain adalah Liong Tek Hwi yang selamat dari kematian kareha pada waktu itu dia telah berada bersama gurunya. Guru pemuda berdarah campuran ini adalah seorang nenek yang amat sakti, yang terkenal dengan julukan Kim-mouw Nio-nio, seorang nenek yang juga merupakan peranakan barat, rambutnya pirang dan matanya biru. Kim-mouw Nio-nio ini merupakan datuk di sebelah barat di luar Tembok Besar. Dia memiliki kesaktian yang amat hebat, akan tetapi telah belasan tahun dia tidak mau keluar dari tempat pertapaannya di luar Tembok Besar dan hanya menyembunyikan diri karena dia sudah merasa muak dengan segala urusan dunia yang akibatnya lebih banyak mendatangkan kesengsaraan daripada kebahagiaan.

Liong Tek Hwi menjadi murid nenek ini dan dikasihi karena ada persamaan darah antara nenek Kim-mouw Nio-nio dan Liong Tek Hwi. Dan selain Liong Tek Hwi, juga nenek ini mempunyai seorang murid wanita, yaitu Kim Cui Yan. Juga murid wanita ini bukanlah sembarangan orang. Dia adalah anak dari Panglima Kim Bouw Sin, panglima yang memberontak karena bujukan dua orang Pangeran Liong itu, yang akhirnya tewas karena pemberontakannya. Seluruh keluarga Panglima Kim Bouw Sin binasa, kecuali Kim Cui Yan yang pada waktu itu tidak berada di rumah. Setelah Kim Cui Yan ikut bersama Kim-mouw Nio-nio sebagai muridnya, maka anak ini, seperti juga Liong Tek Hwi, menerima gemblengan dari nenek itu dan memiliki kepandaian yang hebat pula. Bahkan nenek itu telah menurunkan ilmu pukulan yang diciptakannya di tempat pertapaannya, yaitu Ilmu Pukulan Swat-lian Sin-ciang yang mengandung tenaga dingin yang dapat membikin beku keringat lawan!

Selain banyak macam ilmu pukulan yang aneh-aneh, nenek Kim-mouw Nio-nio juga terkenal dengan senjatanya yang istimewa, yaitu sepasang elang kim-lun (roda emas) dan gin-lun (roda perak). Sepasang gelang besar yang terbuat dari emas dan perak ini dapat dia mainkan sebagai senjata yang ampuh, dan dapat dipergunakan pula untuk menyerang lawan dari jarak jauh dengan cara melontarkannya dan hebatnya gelang-gelang yang dilontarkan untuk menyambit lawan ini dapat berputar dan dapat berbalik kembali ke tangannya! Akan tetapi, kepandaian istimewa ini amat sukar dipelajari maka belum diturunkan kepada dua orang muridnya.

Ada benarnya juga kalau dikatakan bahwa satu di antara pendorong timbulnya cinta di antara pria dan wanita adalah karena pergaulan dan kebiasaan, karena hubungan yang akrab. Hal ini tidaklah aneh karena cinta seperti yang kita kenal sekarang ini, cinta asmara antara pria dan wanita, sesungguhnya adalah suatu ikatan, yaitu ikatan antara aku dan sesuatu yang menyenangkan aku, baik yang menyenangkan itu berbentuk benda atau manusia. Tentu saja di samping ikatan karena menyenangkan, ini terdapat juga daya tarik alamiah yang ada antara pria dan wanita, yang memperkuat ikatan itu sehingga timbul keinginan untuk saling memiliki.

Demikian pula, karena hidup berdua di bawah bimbingan Kim-mouw Nio-nio, setiap hari bergaul dan berlatih bersama, lambat-laun timbul daya tarik dan saling suka antara kedua orang suheng dan sumoi itu. Kim-mouw Nio-nio yang melihat gejala ini, tidak menaruh keberatan bahkan dia yang mewakili orang tua kedua orang muridnya yang sudah yatim piatu, bahkan mengusulkan perjodohan antara kedua orang muridnya itu.

Liong Tek Hwi dan Kim Cui Yan sudah sama-sama saling mencinta. Akan tetapi, Kim Cui Yan yang keras hati itu sudah bersumpah tidak akan menikah sebelum dia berhasil membalas dendam kematian seluruh keluarga ayahnya. Dan dendam ini ditujukan kepada Jenderal Kao Liang sekeluarga!

“Suheng, kalau engkau memang cinta kepadaku, engkau harus memenuhi permintaanku agar aku tidak sampai melanggar sumpahku. Kita tidak bisa menikah sebelum sumpahku itu terpenuhi.” Dengan terus terang, Kim Cui Yan menyampaikan isi hatinya kepada suhengnya.

Berbeda dengan Kim Cui Yan, ternyata putera dari Pangeran Liong Bin Ong ini mempunyai watak yang halus dan bijaksana. Sejak kecil oleh ayahnya dia memang diharuskan mempelajari segala macam kitab kuno dan agaknya banyak dari isi kitab itu mempengaruhi batinnya sehingga di lubuk hatinya, dia tidak suka dan menentang adanys kekerassn dan kejahatan, bahkan dia adalah seorang laki-laki yang selain halus sikapnya, juga tidak tega melakukan perbuatan yang kejam.

“Tentu saja aku tidak berhak untuk melarangmu, Sumoi. Akan tetapi hendaknya engkau suka menggunakan pandangan yang mendalam dan jangan sempit menurutkan kata hati yang diracuni oleh dendam dan kebencian belaka. Kalau toh kauanggap bahwa kehancuran keluarga ayahmu disebabkan oleh Jenderal Kao Liang, maka yang menjadi musuhmu hanyalah Jenderal Kao itu saja, karena yang dapat dianggap sebagai musuh pribadi ayahmu hanyalah jenderal itu. Jangan kau mengikutsertakan keluarganya yang tidak tahu apa-apa, bahkan mungkin sekali keluarga jenderal itu tidak pernah mengenal siapa itu keluarga Kim. Aku pasti akan membantumu, Sumoi, dan tentang pernikahan antara kita, aku hanya menurut apa yang kaukehendaki karena hal itu tentu saja tidak ada unsur pemaksaan dari fihak manapun dan harus dilakukan dengan suka rela.” Demikianlah antara lain Liong Tek Hwi memberi nasihat kepada sumoinya.

Ketika dua orang murid yang telah memiliki kepandaian tinggi itu menyatakan niat hati mereka kepada guru mereka untuk mencari Jenderal Kao dan membalas dendam atas kehancuran keluarga Kim Cui Yan, dan setelah usaha itu berhasil baru mereka akan kembali dan menikah, Kim-mouw Nio-nio menarik napas panjang.

“Permusuhan, bunuh-membunuh, sakit hati dan dendam-mendendam! Semua inilah yang kelak akan menghancurkan seluruh dunia kang-ouw, menamatkan riwayat seluruh ahli-ahli silat di dunia ini! Kepandaian kalian sudah lumayan dan kiranya kalau hanya menghadapi Jenderal Kao saja kalian tidak akan kalah dan akan mampu merobohkannya. Akan tetapi, aku sangsi apakah jenderal yang amat terkenal itu tidak mempunyai anak-anak yang telah memiliki kepandaian tinggi?”

Dengan terus terang Liong Tek Hwi berkata, “Subo, menurut penyelidikan teecu, seorang di antara putera-putera jenderal itu, yang sulung, telah menjadi seorang sakti berjuluk Naga Sakti Gurun Pasir....“

Tiba-tiba wajah nenek itu berubah dan matanya yang lebar terbelalak, kelihatan biru sekali. “Apa kau bilang? Apa hubungannya dengan Istana Gurun Pasir?”

“Memang putera sulung Jenderal Kao itu tinggal di Istana Gurun Pasir.... begitulah kata orang....“ kata Liong Tek Hwi yang terkejut melihat sikap gurunya.

“Celaka! Kalau begitu dia tentu murid Si Dewa Bongkok! Jangan sekali-kali kalian berani mendekati tempat itu! Kalau kalian bentrok dengan Istana Gurun Pasir, biar gurumu ini sekalipun tidak akan mampu menyelamatkan kalian!”

Setelah mendapatkan nasihat-nasihat dan peringatan dari guru mereka, berangkatlah Liong Tek Hwi dan sumoinya, Kim Cui Yang, meninggalkan tempat pertapaan subo mereka. Menurut kehendak Liong Tek Hwi, mereka harus langsung ke selatan untuk mencari Jenderal Kao. Akan tetapi sumoinya membantah. Keterangan dari subo mereka tadi malah mendatangkan rasa penasaran di dalam hati Kim Cui Yan!

“Suheng, penuturan Subo tadi mendatangkan rasa penasaran di dalam hatiku. Mari kita mencari Istana Gurun Pasir dan melihat sampai di mana kelihaian mereka!”

“Ah, Sumoi, jangan begitu! Subo sendiri jerih terhadap penghuni istana itu. Apakah kau mencari penyakit? Sudah kukatakan kepadamu bahwa yang penting adalah mencari Jenderal Kao, musuh pribadimu, dan jangan membawa-bawa keluarganya.”

“Aku tidak akan bertindak ceroboh, Suheng, dan akan menurut kata-katamu. Akan tetapi aku ingin mengetahui seperti apa adanya Istana Gurun Pasir yang disebut dalam dongeng itu.”

Liong Tek Hwi mengerutkan alisnya, dia sudah mengenal watak sumoinya atau kekasihnya yang amat keras ini. “Subo sendiri mengatakan bahwa tempat itu merupakan tempat keramat dan tak seorang pun berani mendekatinya. Ke mana kita harus mencari?”

“Dulu aku pernah mendengar dongeng tentang Istana Gurun Pasir. Ingat, dahulu ayahku adalah pembantu dan sahabat Jenderal Kao, dan tentu ayah tahu benar tentang lenyapnya putera Jenderal Kao Liang, dan aku tahu di mana bekas markas jenderal itu di mana puteranya lenyap. Tentu tidak akan jauh dari situ letaknya.”

Liong Tek Hwi yang mencinta sumoinya terpaksa menuruti permintaan sumoinya dan demikianlah, mereka tidak langsung mencari Jenderal Kao Liang melainkan mencari Istana Gurun Pasir! Dan dalam perjalanan ini, mereka banyak melalui dusun-dusun dan setiap bertemu dengan soal-soal yang menimbulkan penasaran, mereka tentu turun tangan menentang setiap kejahatan. Semua ini memang sengaja diarahkan oleh Liong Tek Hwi yang tidak ingin melihat sumoinya atau kekasihnya tersesat, maka dia mencoba untuk menarik perhatian sumoinya agar menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan, menggunakan kepandaian mereka. Karena inilah, biarpun mereka berdua merupakan murid-murid dari seorang datuk kaum sesat, namun dalam sepak terjang mereka, mereka tiada bedanya dengan pendekar-pendekar yang budiman dan menentang kejahatan. Dan dalam sepak terjang mereka, Kim Cui Yan amat menonjol dengan gerak-geriknya yang tangkas karena memang gadis ini memiliki keistimewaan dalam hal ginkang, maka tak lama kemudian, orang menjuluki gadis berbaju hijau ini sebagai Ceng-yan-cu atau Si Walet Hijau!

Akhirnya, pada suatu hari setelah menerima petunjuk dari seorang kakek dusun yang sering menyeberangi gurun pasir dan pernah tersesat dan melihat istana itu dari jauh, kakak beradik seperguruan ini lalu nekat mengambil jalan menyeberangi gurun pasir yang amat berbahaya itu.

Mereka sudah mendapat peringatan dari kakek itu bahwa amatlah berbahaya menyeberangi gurun pasir itu dengan jalan kaki atau berkuda, sebaiknya adalah menunggang onta. Maka mereka lalu membeli dua ekor onta, membawa perbekalan secukupnya dan pada hari itu berangkatlah mereka menempuh perjalanan yang sukar itu, menyeberangi gurun pasir yang seperti laut tak bertepi itu! Dan mulailah mereka mengalami hal-hal yang amat aneh dan sengsara. Bahkan beberapa hari kemudian, ketika mereka bingung karena tidak tahu ke mana harus menuju di tengah-tengah gurun pasir yang teramat luas itu, mereka diserang oleh badai! Badai di gurun pasir tidak kalah bahayanya dengan badai di tengah lautan. Seperti juga di lautan, di mana badai menciptakan gulungan ombak-ombak besar dan air laut yang bergelombang, di tengah gurun itu pun pasir menjadi seperti air laut dan bergelombang, membentuk dinding-dinding pasir berjalan yang menelan segala apa yang berada di depan dan menghalanginya. Liong Tek Hwi dan Kim Cui Yan bersama onta mereka dapat berlindung di balik anak bukit batu yang cukup besar, akan tetapi setelah badai mereda, mereka telah teruruk pasir dan kalau mereka tidak memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu mereka sudah mati terkubur hidup-hidup di tempat itu!

Akhirnya, pada suatu senja, mereka tiba di belakang Istana Gurun Pasir! Bagaikan dalam mimpi, mereka memandang istana yang megah itu dari kejauhan, hampir tidak percaya kepada pandang mata mereka sendiri karena agaknya tidak masuk akal melihat sebuah bangunan megah di tengah-tengah gurun pasir seperti itu! Mereka meninggalkan onta dan dengan hati-hati mereka mendekat. Dan secara kebetulan sekali mereka melihat seorang anak laki-laki berusia lima tahun berkeliaran seorang diri di belakang istana itu, bermain layang-layang. Mungkin karena menarik tali layang-layang terlalu keras, atau juga karena angin terlalu kuat, maka tali di tangan anak itu putus! Kebetulan, sebelum layang-layang itu membubung ke atas, talinya lewat dekat Kim Cui Yan yang segera menangkapnya dan membawa layang-layang itu kepada si anak kecil yang menjadi girang sekali.

“Anak yang baik, siapakah namamu?” tanya Cui Yan.

Karena orang itu telah mengembalikan layang-layangnya yang putus, anak itu tidak merasa takut dan menjawab, “Namaku Kao Cin Liong.”

“Ah, kau tentu putera dari Si Naga Sakti, bukan?”

Anak itu memandang tajam, lalu balas bertanya, “Apakah engkau mengenal ayahku, Bibi?”

Cui Yan tersenyum ramah. “Ayahmu adalah putera Jenderal Kao Liang, bukan?”

Anak itu mengangguk. “Ayahku adalah Naga Sakti Gurun Pasir yang tiada bandingnya!” Sekecil itu, anak ini sudah pandai membanggakan ayahnya?

Kim Cui Yan berkedip kepada suhengnya, kemudian berkata kepada anak itu, “Siapa bilang? Kami bertaruh dengan ayahmu bahwa dia tidak akan mampu mencari kami. Hayo kau ikut kami bersembunyi, biar dicari ayahmu, tanggung dia tidak akan mampu mendapatkan kita.”

“Ah, tidak mungkin!” Anak ini belum mengenal kepalsuan manusia, tahunya hanya main-main saja maka dia tertarik sekali ketika diajak main sembunyi-sembunyian agar dicari ayahnya.

“Mari kita sembunyi sekarang juga, ayahmu sudah mulai mencari!” Cui Yan memondong anak itu dan membawanya ke tempat mereka meninggalkan onta mereka.

“Heh-heh, ayah akan dengan mudah melihat jejak kaki kalian!” Cin Liong mentertawakan mereka.

Mendengar ini, Liong Tek Hwi lalu menggerak-gerakkan kedua tangannya ke belakang mereka. Ada angin menyambar dan jejak kaki mereka menjadi rata kembali tertutup pasir yang diterbangkan oleh angin pukulannya! Melihat ini, Cin Liong tertawa, “Heh-heh, kau hebat juga, Paman!” Dia mulai gembira dan ingin melihat apakah ayahnya dapat mencari mereka.

Demikianlah dua orang itu membawa Cin Liong dan Tek Hwi selalu menggunakan hawa pukulannya untuk mengusap jejak kaki onta mereka. Kini mereka menjalankan onta mereka ke selatan dan untuk melihat mana arah selatan, mereka kalau malam melihat letaknya bintang-bintang dan kalau siang melihat letaknya matahari. Di waktu pagi mereka maju dengan matahari berada di sebelah kiri mereka dan di waktu sore matahari harus selalu berada di sebelah kanan mereka. Dengan pedoman matahari dan bintang, mereka tidak salah jalan dan dapat terus menuju ke selatan dan jejak mereka selalu dihapus oleh pukulan-pukulan Tek Hwi dan Cui Yan yang mendatangkan angin, atau terhapus oleh angin lalu yang mengerakkan pasir.

Akhirnya mereka dapat meninggalkan padang pasir itu dan karena mereka maklum bahwa ayah dan ibu anak ini pasti mencari mereka, dan karena mereka maklum akan kesaktian ayah dan ibu anak itu, maka mereka melakukan perjalanan sambil sembunyi-sembunyi dan sekalian mencari Jenderal Kao Liang.

Hanya karena ada Tek Hwi di situ maka Cui Yan tidak sampai membunuh anak itu! Tadinya Cui Yan merasa betapa amat berabe membawa-bawa anak keturunan musuh besarnya itu, lebih baik dibunuh saja untuk melampiaskan dendamnya. Akan tetapi Tek Hwi melarang keras dan memberi alasan yang kuat.

“Kalau kau melakukan itu, selama hidup engkau akan menjadi musuh Istana Gurun Pasir dan hidupmu tidak akan aman lagi. Pula, anak ini merupakan perisai yang baik bagi kita, siapa tahu sekali waktu kita akan dapat mempergunakannya sebagai sandera yang amat berharga. Selain itu, kau sudah berjanji untuk tidak mengikutsertakan keluarga Kao, Sumoi.”

Demikianlah, dalam perjalanan itu, Tek Hwi dan Cui Yan akhirnya dapat juga bertemu dengan Jenderal Kao, akan tetapi usaha Cui Yan untuk membunuh jenderal itu gagal karena campur tangan Ang-siocia atau Kang Swi Hwa yang menyamar pria, bahkan kemudian mereka terpaksa mundur dan melarikan diri ketika muncul pendekar Siluman Kecil yang pernah menyelamatkan nyawa mereka ketika mereka hampir binasa di tangan Boan-wangwe yang amat lihai itu.

Maka, setelah kini banyak orang mencurigai mereka, di antaranya paling akhir ini adalah dara cantik berpayung yang kemudian dibela pula oleh seorang pemuda tampan sekali yang memiliki kesaktian luar biasa, mereka menjadi jerih dan menurut usul Liong Tek Hwi, mereka lalu menuju ke lembah yang dijadikan benteng oleh Liong Bian Cu, saudara misan dari Liong Tek Hwi.

Ketika mereka tiba di benteng lembah, setelah para penjaga melaporkan ke dalam, mereka disambut dengan girang sekali oleh Pangeran Liong Bian Cu. Sudah hampir sepuluh tahun lamanya Liong Bian Cu tidak pernah bertemu dengan saudara misannya ini, maka kini dia menyambut kedatangan adik misan ini dengan pelukan mesra. Bahkan ada air mata di mata kedua orang laki-lakl yang masih ada hubungan keluarga amat dekat itu karena ayah mereka adalah kakak beradik. Mereka berdua sebenarnya adalah keponakan-keponakan dari Kaisar Kang Hsi sendiri! Akan tetapi, terdapat banyak sekali perbedaan bentuk dan wajah di antara kedua orang ini. Yang seorang berkulit putih bermata biru dengan rambut kecoklatan, sedangkan yang ke dua berkulit coklat kehitaman, hidungnya membengkok ke bawah, matanya cekung, hitam sekali dan rambutnya juga agak kecoklatan. Yang seorang berdarah campuran dengan ibu kulit putih, sedangkan yang ke dua beribu Nepal.

“Ahhh, Adik Tek Hwi.... betapa keluarga kita telah berantakan....“ terdengar Pangeran Nepal itu berkata dengan hati terharu.

Liong Tek Hwi juga merasa terharu diingatkan akan keadaan keluarganya itu. Kakak misannya ini masih baik keadaannya karena ibunya adalah puteri raja sehingga dia merupakan cucu Raja Nepal, seorang pangeran yang masih memiliki keluarga dan kedudukan tinggi. Akan tetapi dia? Ayahnya telah terbasmi keluarganya, ibunya pun telah meninggal dan ibunya dahulu adalah seorang gadis kulit putih yang diculik orang Mongol dan dipersembahkan kepada ayahnya sehingga dia sudah tidak mempunyai keluarga lagi, kalau pun ada maka tentu jauh di utara, di negeri Rusia. Dia sebatangkara, tidak seperti kakak misannya ini, seorang pangeran!

Melihat Tek Hwi juga melinangkan air mata, Pangeran Liong Bian Cu lalu menepuk-nepuk pundak adiknya dan berkata, “Jangan kau berduka, adikku. Lihat, kakakmu yang akan membalaskan sakit hati kita, yang akan melanjutkan cita-cita ayah kita berdua, yang akan mengangkat derajatmu ke atas. Eh, siapakah Nona ini, adikku?”

“Dia adalah sumoi Kim Cui Yan, dia adalah puteri dari mendiang Panglima Kim Bouw Sin.”

Wajah Pangeran Nepal itu berseri. “Ah! Sungguh kebetulan sekali!” Dia mengatakan kebetulan karena gadis cantik berbaju hijau yang menjadi sumoi adik misannya ini ternyata puteri panglima yang pernah menjadi pembantu ayahnya itu, bahkan masih saudara dengan ca1on isterinya, dengan Hwee Li, puteri angkat Hek-tiauw Lo-mo, juga puteri kandung Kim Bouw Sin. Akan tetapi tentu saja dia tidak membuka rahasia ini, melainkan menjura kepada Cui Yan.

“Dan anak ini?”

Tek Hwi hendak menjawab, akan tetapi didahului oleh Cui Yan. “Dia ini adalah calon murid kami.”

“Ah, bagus, bagus! Sebagai murid-murid Kim-mouw Nio-nio, kalian tentu telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Kau telah melihat benteng kita, bukan? Nah, bagaimana pendapatmu?”

Tek Hwi dan Cui Yan memang tadi sudah mengagumi keadaan benteng itu dan merasa terkejut sekali dan heran. Tempat itu benar-benar merupakan benteng yang kokoh kuat dan terjaga rapi oleh pasukan-pasukan yang terlatih. Sama sekali Tek Hwi tidak pernah membayangkan betapa saudara misannya itu telah membuat persiapan seperti orang yang hendak melaksanakan perang!

“Hebat sekali!” Tek Hwi mengakui.

“Ha-ha-ha! Dan kau belum melihat siapa yang telah membantuku. Sayang beberapa orang di antara mereka sedang keluar untuk menangkap mata-mata. Mari kuperkenalkan dengan dia yang telah membangun benteng ini dan kau akan terheran-heran, adikku!”

Benar saja, Tek Hwi terkejut bukan main, juga Cui Yan menjadi pucat wajahnya ketika mereka dihadapkan dengan Jenderal Kao Liang sendiri! Melihat kakek ini, Cin Liong lalu melepaskan tangan Cui Yan dan lari menubruk kakeknya. “Kong-kong....!” teriaknya.

Kini giliran Liong Bian Cu yang terkejut, dan Jenderal Kao Liang juga memeluk dan mengangkat cucunya itu. Dia segera, mengenal Cin Liong. “Ah, Cin Liong.... kau.... kau!” Dia tidak melanjutkan kata-katanya melainkan menatap tajam kepada Liong Tek Hwi dan Kim Cui Yan.

“Ha-ha-ha, engkau pandai sekali menyembunyikan dia tadi, Nona Kim! Kiranya kalian telah berhasil pula menculik cucunya!” Pangeran Liong Bian Cu tertawa.

Jenderal Kao Liang menjadi pucat wajahnya, akan tetapi dia menekan perasaannya dan sambil memandang kepada dua orang pendatang baru itu, dia bertanya tenang, “Siapakah kalian dan mengapa kalian menculik cucuku dari Istana Gurun Pasir?”

Mendengar ini, pangeran dari Nepal itu terkejut. “Adik Tek Hwi! Benarkah dia ini dari Istana Gurun Pasir?” tanyanya. Tentu saja sebagai murid orang pandai, dia pernah mendengar nama Istana Gurun Pasir yang sama aneh dan keramatnya seperti nama Pulau Es! Tek Hwi mengangguk dengan bangga karena memang merupakan hal yang patut dibanggakan bahwa dia dan sumoinya sanggup menculik putera dari Si Naga Sakti Gurun Pasir!

“Hebat....! Bukan main kalian ini....!” Pangeran Liong Bian Cu berseru kagum, kemudian berkata kepada Jenderal Kao. “Kao-goanswe, perkenalkanlah, dia ini adalah Liong Tek Hwi, putera dari paman Pangeran Liong Bin Ong, sedangkan Nona ini adalah Nona Kim Cui Yan, puteri dari paman Panglima Kim Bouw Sin.”

“Ahhh....!” Mengertilah kini Jenderal Kao mengapa dua orang itu menculik cucunya. Kiranya mereka ini yang menculik Cin Liong yang dicari-cari oleh ayah bundanya.

“Kao-goanswe, sekarang engkau tahu bahwa cucumu juga berada di antara keluargamu!” kata Pangeran Liong Bian Cu. “Lepaskan dia, biar dia bersatu dengan keluargamu.”

Jenderal Kao Liang menarik napas panjang dan menurunkan cucunya dari pondongan. Dia mengelus kepala anak itu sambil berkata, “Cin Liong, kau ikutlah bersama nenekmu, pamanmu, bibimu dan keluarga lain.”

“Kong-kong, siapakah mereka ini? Dua orang ini menipuku, membawaku pergi sampai lama dan tidak mau membawaku kembali. Kong-kong, lawanlah mereka!” Cin Liong berkata, akan tetapi Jenderal Kao Liang hanya membuang muka lalu pergi. Cin Liong lalu ditangkap oleh dua orang pengawal atas isyarat pangeran itu dan dibawa pergi ke dalam ruangan tahanan di mana berkumpul keluarga Jenderal Kao Liang. Terhibur dan girang juga hati anak itu ketika bertemu dengan keluarga ayahnya.

Di dalam hatinya, Liong Tek Hwi tidak setuju sama sekali dengan semua rencana yang diambil oleh kakak misannya.

Dia mendengar penuturan kakak misannya itu dan diam-diam dia terkejut bukan main. Pemuda ini sudah dapat melihat kesalahan mendiang ayahnya yang memberontak, dia merasa menyesal sekali, bahkan sering kali dia membicarakan hal itu dengan sumoinya yang perlahan-lahan juga dapat melihat kesalahan ayahnya yang membantu pemberontak. Mereka berdua berjanji untuk menebus nama buruk ayah mereka, akan tetapi kini mereka malah akan diajak bersekutu untuk mengulangi lagi kesalahan ayah mereka yang lalu, yaitu memberontak! Akan tetapi, melihat keadaan benteng yang kokoh kuat itu, dan melihat bahwa kakak misannya itu didukung oleh Nepal, Liong Tek Hwi tidak berani berkata apa-apa. Apalagi karena dia dan sumoinya merasa girang bahwa musuh besar mereka telah berada di situ pula sehingga memudahkan mereka untuk membalas dendam. Pangeran Liong Bian Cu tidak dapat lama melayani adik misannya yang baru datang bersama sumoinya. Setelah menyuruh pengawal membawa Cin Liong agar berkumpul dengan keluarga Jenderal Kao, dengan demikian memperkuat pengaruhnya atas diri jenderal itu, Pangeran Liong Bian Cu lalu mengundurkan diri karena dia masih menanti dengan hati khawatir akan hasil kedua orang pembantunya, Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang melakukan pengejaran terhadap Siluman Kecil yang membawa lari Hwee Li. Dua orang murid dari Kim-mouw Nio-nio itu dipersilakan untuk melihat-lihat keadaan di dalam benteng, berkenalan dengan para pembantu lain termasuk Mohinta, Hwa-i-kongcu dan para pembantunya, dan para tokoh dari Nepal lainnya. Diam-diam Liong Tek Hwi makin khawatir melihat bahwa keadaan benteng itu benar-benar kuat dan kakak misannya telah berhasil mengumpulkan orang-orang pandai yang amat banyak, bahkan kedudukan kakak misannya ini lebih kuat daripada kedudukan pemberontakan mendiang ayahnya dahulu, hanya bedanya, kini kakak misannya didukung oleh Gubernur Ho-nan, yang tentu saja mempersiapkan pasukan yang cukup besar, sedangkan dulu ayahnya didukung oleh pasukan yang dipimpin oleh Panglima Kim Bouw Sin di utara.

***

Memang Pangeran Bharuhendra atau Liong Bian Cu tidak mau bekerja kepalang tanggung. Pangeran Nepal ini selain hendak membalas kematian ayahnya, juga hendak melanjutkan cita-cita ayahnya, menggulingkan kaisar dan bahkan dia memiliki cita-cita yang lebih tinggi lagi, yaitu menggunakan kesempatan itu untuk bersekutu dengan gubernur-gubernur yang dapat dipengaruhinya untuk menggulingkan Kerajaan Ceng dan mengangkat diri sendiri menjadi kaisar!

Karena itu, dia membuat persiapan sebaiknya. Gurunya adalah seorang yang sakti dan yang berkedudukan tinggi. Selain menjadi koksu dari Nepal, Ban Hwa Sengjin juga merupakan seorang di antara Im-kan Ngo-ok (Si Lima Jahat dari Akhirat)! Pada waktu itu, di antara sekalian datuk persilatan golongan sesat, terdapat Im-kan Ngo-ok yang jarang muncul di dunia kang-ouw, bahkan sudah belasan tahun lamanya mereka itu tidak pernah muncul sama sekali karena sudah merasa tua dan tidak ada semangat lagi untuk menjagoi di dunia persilatan. Akan tetapi sebetulnya mereka itu adalah lima orang yang amat tinggi ilmunya, bahkan mereka oleh dunia kaum sesat di juluki Im-kan Ngo-ok atau Lima Jahat dari Akhirat! Karena ini, Pangeran Liong Bian Cu membujuk kepada gurunya untuk dapat memanggil empat tokoh yang lain agar dapat membantu pergerakannya.

Koksu Nepal juga haus akan kedudukan. Kalau sampai pemuda yang bersemangat besar itu berhasil dan menjadi kaisar, tentu dia akan terangkat menjadi koksu dari kerajaan yang amat besar yang menguasai seluruh Tiongkok! Maka dia pun lalu mengirim surat, membujuk empat orang saudara angkatnya itu untuk datang membantunya, dan menentukan hari dan tempat pertemuan. Harinya kebetulan jatuh pada hari itu dan tempatnya adalah di lembah Huang-ho yang dijadikan benteng itu.

Hari itu, matahari telah naik tinggi dan sinarnya menyinari bumi dengan kerasnya. Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi menyumpah-nyumpah karena dalam keadaan tidak mampu bergerak itu, muka mereka yang tertimpa sinar matahari membuat mereka menderita dan mendongkol sekali. Mereka masih belum terbebas dari totokan dan agaknya sebentar lagi mereka baru akan bebas karena waktu mereka tertotok sampai sekarang sudah berjalan hampir setengah hari. Totokan pemuda sakti Siluman Kecil itu benar-benar amat hebat sehingga dua orang kakek sakti seperti mereka itu tidak dapat membebaskan totokan itu dan harus menanti sampai totokan itu buyar sendiri kekuatan dan pengaruhnya. Mereka yang dikubur sebatas leher itu merasa tersiksa sekali. Mereka tidak mampu mengerahkan tenaga untuk membuat tubuh mereka kebal, maka tentu saja segala gigitan semut pada tubuh mereka terasa semua, membuat mereka berkaok-kaok dan memaki-maki. “Anak durhaka, perempuan keparat! Kalau kelak dia dapat olehku, akan kupermainkan dia, kuperkosa sampai mati seperti ibunya!” Hek-tiauw Lo-mo menyumpah-nyumpah karena marah sekali kepada Kim Hwee Li.

“Huh, kau takkan berani!” Hek-hwa Lo-kwi mengejek dan menggoyang-goyang kepalanya untuk mengusir lalat yang sejak tadi mengganggunya, hinggap di hidung, di telinga, di bibir sehingga rasanya geli dan tidak enak sekali. Lalat itu terbang dan meluncur turun lagi, diikuti pandang mata Hek-hwa Lo-kwi dan seperti yang dikhawatirkan, kembali hinggap di bibirnya. Kakek ini mendongkol bukan main, lalu membuka mulutnya. Lalat itu bergerak perlahan memasuki mulut dan tiba-tiba.... “happp!” mulut itu tertutup dan lalat itu meronta-ronta tertindih lidah sampai akhirnya mati dan diludahkan penuh kepuasan oleh Hek-hwa Lo-kwi.

“Aku? Tidak berani? Kau gila!” Hek-tiauw Lo-mo memaki. “Masa aku tidak berani kepada anak perempuan yang kubesarkan sendiri itu?”

“Ha-ha-ha, apa kau lupa bahwa dia itu tunangan Pangeran Nepal?”

Hek-tiauw Lo-mo bersungut-sungut, “Aku menyumpah dia tidak jadi diambil isteri, biar puas aku membalas kekurangajaran dan penghinaannya hari ini!”

Akan tetapi Hek-hwa Lo-kwi hanya tersenyum menyeringai saja. Dia sudah mengenal betul watak orang yang selama ini beberapa kali menjadi musuhnya yang paling besar, juga beberapa kali menjadi rekannya yang saling bantu itu. Kalau Hek-tiauw Lo-mo sudah menghadapi harapan pangkat dan kemuliaan besar, tentu dia akan melupakan lagi ancamannya, terhadap Hwee Li.

“Kalau aku tidak akan begitu bodoh menumpahkan kemarahan kepada dua orang dara itu, Lo-mo. Yang merobohkan kita adalah Siluman Kecil yang dibantu oleh Hek-sin Touw-ong. Mereka berdua itulah yang hutang hinaan kepada kita dan kelak mereka harus membayarnya.”

“Mereka juga, akan kucari kelak!” kata Hek-tiauw Lo-mo akan tetapi tiba-tiba dia menghentikan kata-katanya dan memandang ke depan dengan mata terbelalak. Kini pengaruh totokan itu sudah mulai mengurang sehingga Hek-hwa Lo-kwi dapat memutar lehernya dan memandang ke arah yang sedang dipandang oleh Hek-tiauw Lo-mo dan dia pun terbelalak sambil mengeluarkan suara tertahan.

Kebetulan sekali tempat di mana mereka dikubur sampai ke leher itu sampai jauh ke sebelah depan terbuka, tidak terhalang oleh batu atau pohon sehingga mereka dapat memandang sampai jauh dan kini dari kejauhan nampak pemandangan yang membuat mereka terbelalak saking terheran-heran. Mereka melihat dari jauh sekali dua orang sedang berlari ke tempat mereka, akan tetapi cara kedua orang itu berlari amat aneh dan bukan main cepatnya. Yang seorang bertubuh jangkung dan larinya cepat sekali, kadang-kadang melompat dengan langkah-langkah lebar akan tetapi kadang-kadang berjungkir balik dan berlari menggunakan kedua tangan menjadi kaki, akan tetapi tidak berkurang kecepatannya, kalau tidak lebih cepat malah! Dan orang ke dua amat pendek, seperti anak-anak pendeknya, akan tetapi larinya juga cepat dan kadang-kadang orang ini menggelundung seperti bola dengan kecepatan luar biasa pula.

Seperti burung-burung terbang saja, dua orang itu telah tiba dekat tempat itu dan kini Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi dapat melihat dengan jelas. Mereka berdua makin terheran ketika dapat mengenal dua orang ini. Yang bertubuh jangkung tadi memang benar-benar seorang yang amat jangkung, tubuhnya seperti sebatang bambu panjang! Kalau diukur dengan ukuran manusia biasa, tentu dia satu setengah kali jangkungnya dari seorang manusia biasa yang cukup jangkung. Ada dua setengah meter jangkungnya! Pakaiannya serba hitam, lengan bajunya lebar sehingga nampak lengan tangannya yang kecil seperti tulang terbungkus kulit. Wajahnya juga kurus sekali, kurus dan serba panjang. Rambutnya sebaliknya malah hanya sedikit dan tidak panjang, bercampur uban dan digelung ke atas model rambut para tosu, matanya juga panjang sehingga nampak sipit. Jenggotnya sedikit dan pendek, demikian pula kumisnya. Orang ini benar-benar luar biasa sekali bentuk tubuhnya.

Orang ke dua tidak kalah anehnya. Kalau orang pertama itu seperti seorang tosu, orang ke dua ini melihat pakaian atau jubahnya dan kepalanya, seperti seorang hwesio saja. Dan bentuk tubuhnya merupakan kebalikan dari tubuh kawannya. Dia bertubuh gendut besar sekali, hanya setinggi pinggang si jangkung dan tingginya seperti seorang bocah berusia sepuluh tahun, maka tubuhnya yang amat besar dan amat pendek itu membuat dia seperti manusia bola yang bulat!

Orang lain yang melihat kedua orang kakek yang sukar ditaksir usianya karena bentuk tubuh mereka yang aneh itu, tentu akan tertawa geli di dalam hati karena memang keduanya merupakan orang-orang aneh, pantasnya menjadi badut-badut sirkus atau pelawak-pelawak panggung wayang. Apalagi muka si gendut pendek, baru melihat mulutnya yang bergerak-gerak itu saja tentu sudah menimbulkan rasa geli dalam hati orang. Wajah mereka benar-benar merupakan kebalikan pula. Si gendut pendek nampak selalu gembira dan tertawa terus, seperti muka bayi gendut kekenyangan, akan tetapi sebaliknya wajah si jangkung itu selalu muram, cemberut dan sedih!

Kalau orang lain bisa tersenyum geli melihat dua orang ini, sebaliknya Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi terkejut sekali dan memandang dengan muka berubah. Mereka berdua mengenal dua orang itu dan terkejutlah mereka, karena dua orang ini bukan orang sembarangan, melainkan dua orang datuk-datuk besar di dunia hitam yang sudah lama menyembunyikan diri. Si jangkung itu adalah Toat-beng Sian-su (Manusia Dewa Pencabut Nyawa) yang merupakan seorang di antara Im-kan Ngo-ok (Lima Jahat), dia merupakan yang termuda, sebenarnya bukan usia mereka yang menentukan urutan itu, melainkan tingkat kepandaian mereka!

Im-kan Ngo-ok memang mempunyai kebiasaan yang amat aneh. Puluhan tahun yang lalu, semenjak mereka masih muda dan mengangkat persaudaraan dan membentuk Im-kan Ngo-ok, mereka bertanding dan mengukur kepandaian, dan dari tingkat ilmu kepandaian inilah mereka menyusun tingkat itu, yang terpandai menjadi Twa-ok (Jahat Nomor Satu), kemudian Ji-ok (Jahat Nomor Dua) dan seterusnya. Dan setiap tiga tahun sekali, mereka berlima tentu selalu mengadakan pertemuan dan mereka kembali mengadu ilmu kepandaian untuk menentukan tingkat baru mereka. Oleh karena persaingan sebutan inilah maka mereka masing-masing dapat mencapai kemajuan hebat, menciptakan berbagai macam ilmu untuk mengalahkan saudara-saudara angkat sendiri agar naik tingkat mereka. Maka tidak aneh kalau mereka itu sering bertukar tempat atau tingkat selama sepuluhan tahun. Akan tetapi sudah sepuluh tahun lebih mereka tidak lagi mengadu ilmu karena mereka sudah merasa bosan dan masing-masing lebih suka bersembunyi di dalam daerah masing-masing. Dan pada pertandingan adu ilmu yang terakhir kalinya, yaitu belasan tahun yang lalu, Toat-beng Sian-su menduduki tingkat paling bawah atau Ngo-ok (Jahat Nomor Lima).

Adapun kakek yang seperti hwesio itu juga memiliki nama besar yang amat terkenal. Seperti juga Toat-beng Sian-su dan tokoh-tokoh besar dunia hitam, dia hanya dikenal dengan julukannya, yaitu Siauw-siang-cu (Si Gajah Cilik) atau dalam urutan Im-kan Ngo-ok dia memiliki tingkat ke empat, yaitu disebut Su-ok (Jahat Nomor Empat). Jadi pada pertemuan atau pertandingan terakhir, tingkatnya lebih tinggi setingkat dibandingkan dengan si jangkung. Akan tetapi karena sudah sepuluh tahun lebih tidak pernah lagi mengadu kepandaian, maka sekarang sukar dikatakan siapa di antara mereka yang lebih lihai.

Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi sudah mendengar akan kelihaian mereka, yang kabarnya memiliki kepandaian yang tidak lumrah manusia biasa, bahkan jauh melebihi kepandaian para tokoh dunia kang-ouw pada umumnya. Dan mereka berdua ini pun maklum bahwa Koksu, Nepal, yaitu Ban Hwa Sengjin yang amat lihai itu, hanya menduduki tingkat ke tiga dalam urutan Ngo-ok. Jadi selain menjadi Koksu Nepal, juga Ban Hwa Sengjin itu disebut Sam-ok (Jahat Nomor Tiga). Mengingat akan kelihaian Koksu Nepal itu, maka dapat dibayangkan betapa lihainya Su-ok dan Ngo-ok ini, tentu tidak berselisih jauh dari Ban Hwa Sengjin karena sekarang belum diketahui siapa di antara mereka yang lebih lihai.

Sejak dahulu pun, Ngo-ok Toat-beng Sian-su terkenal dengan ginkangnya yang tidak lumrah manusia kang-ouw umumnya. Dia memiliki gerakan yang cepatnya luar biasa, ditambah dengan kaki dan tangannya yang amat panjang, maka dalam perkelahian sukarlah menandingi kecepatan gerakan si jangkung ini. Dan sesuai dengan julukannya sebagai seorang di antara Im-kang Ngo-ok, maka si jangkung ini juga mempunyai kekejaman yang tidak lumrah manusia. Dahulu, di waktu dia masih aktip dalam dunia hitam, dia sengaja melakukan hal-hal yang membikin meremang bulu kuduk orang-orang yang paling kejam sekalipun. Melakukan kejahatan merupakan sesuatu “keharusan” untuk mempertahankan gelar mereka sebagai Im-kan Ngo-ok. Hanya setelah kini kelima Ngo-ok itu tidak lagi terjun ke dunia ramai, maka orang tidak lagi mendengar tentang mereka. Hanya Ban Hwa Sengjin seorang saja yang masih terjun di dunia ramai, akan tetapi bukan sebagai tokoh dunia hitam kaum sesat, bahkan dia telah berhasil mengangkat diri menjadi koksu dari negara Nepal, yaitu tempat asalnya di mana dia dikenal sebagai seorang sakti penasihat raja yang bergelar atau berjuluk Lakshapadma.

Tentu saja orang ke empat dari Si Lima Jahat ini, yaitu Siauw-siang-cu yang pendek, dalam hal kejahatan juga tidak kalah dibandingkan dengan si jangkung itu. Melihat wajahnya yang kekanak-kanakan, pakaian dan kepalanya yang seperti pendeta, yang sepatutnya hidup saleh dan beribadat, pantang melakukan kejahatan, sungguh sukar dipercaya bahwa si gendut pendek itu mampu melakukan kejahatan. Akan tetapi kalau orang menyaksikan kejahatan dan kekejaman Su-ok ini, orang akan mengkirik dan mungkin selama hidupnya dia tidak akan mampu melupakan peristiwa mengerikan itu! Bayangkan, untuk menyempurnakan satu di antara ilmu-ilmunya yang aneh dan mujijat saja, Su-ok ini dengan muka masih tersenyum dan jernih, telah merobek perut wanita-wanita yang mengandung begitu saja untuk mengambil anak-anak yang belum dilahirkan itu, untuk campuran “obat” yang dibuatnya! Dan dia melakukan hal ini berkali-kali sambil tersenyum cerah, seolah-olah dia merasa girang sekali menyaksikan para korbannya itu merintih, berkelojotan dan sekarat lalu meninggal di depan hidungnya!

Ngo-ok Toat-beng Sian-su yang juga bersikap dan berpakaian seperti pendeta tosu itu pernah menggegerkan dunia kang-ouw dengan perbuatannya yang keji. Dia suka menangkapi wanita-wanita, tidak peduli cantik atau jelek, muda atau tua, untuk diperkosa di depan keluarganya, keluarga si korban! Dan dia memperkosanya sambil membunuhnya! Semua ini dilakukannya bukan karena dorongan nafsu binatang belaka, melainkan untuk menonjolkan kejahatan dan kekejamannya sesuai dengan julukannya agar dia tidak kalah oleh para tokoh Im-kan Ngo-ok yang lain! Dan setiap kali dia membunuh wanita itu secara keji dan mendirikan bulu roma, juga dia lalu mencabut kuku ibu jari tangan kiri korbannya untuk disimpan dan sampai sekarang dalam saku bajunya selalu terdapat seuntai “tasbih” yang terbuat dari kuku-kuku wanita yang diuntai dengan benang emas. Melihat panjangnya, tentu sudah ratusan banyaknya!

“Ha-ha-ha, larimu masih cepat sekali, Ngo-te!” kata si gendut pendek sambil tertawa-tawa ketika mereka tiba di tempat itu. “Kiranya selama ini engkau yang diam saja meringkuk dalam gua silumanmu itu tidak tinggal diam dan tidak melupakan ilmu malingmu! Ha-ha-ha, memang masih sukar untuk menandingi ilmumu melarikan diri itu! Hebat, hebat! Dalam hal lari, aku masih kalah, ha-ha-ha!” Siauw-siang-cu tertawa-tawa.

Wajah yang muram itu menjadi makin keruh. “Dan kau masih licik!” kata si jangkung dengan singkat lalu diam tidak mau melanjutkan kata-katanya.

“Ha-ha-ha, menangkap ujung bajumu ketika kau membalap sehingga aku tidak sampai tertinggal jauh bukan licik namanya, akan tetapi cerdik! Biarpun dalam hal lari aku kalah, akan tetapi dalam hal kecepatan menangkap dan memukul, kau masih setingkat lebih rendah dariku, adikku yang ke lima!”

Toat-beng Sian-su tidak menjawab, hanya mendengus dan tiba-tiba saja tangannya yang amat panjang itu seperti ular menyambar telah mengirim pukulan ke arah kepala gundul itu. Cepat bukan main gerakannya dan melihat tangan yang sepanjang itu, Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi mengira bahwa si cebol itu pasti tidak akan mampu menghindar.

Akan tetapi, tiba-tiba si pendek itu tertawa. “Dukkk!” Tubuhnya sudah terlempar dan menggelundung, terlepas dari hantaman itu dan tahu-tahu tubuhnya itu bukan menggelundung menjauh, melainkan bahkan mendekati si jangkung dan kontan dia mengirim pukulan balasan sambil mencelat bangun. Gerakannya juga cepat dan aneh, dan pukulannya tidak kalah hebatnya daripada pukulan si jangkung, karena dari pukulan itu keluar suara mencicit nyaring, mengejutkan dua orang kakek iblis yang terkubur sampai ke leher itu! Kiranya si pendek ini cerdik bukan main, menggunakan siasat seperti kalau seorang ahli silat menghadapi lawan yang memegang senjata panjang, yaitu mengajak bertanding dari jarak dekat!

Akan tetapi, si jangkung mendengus dan tubuhnya meliuk, seperti seekor tubuh belut saja dia sudah dapat mengelak dan melangkah mundur, selangkah saja dia sudah mundur sampai dua meter jauhnya, dan tiba-tiba tubuhnya sudah berjungkir-balik, kepala dan kedua tangan di bawah membentuk kaki segi tiga, sedangkan kedua kakinya yang panjang itu menjulang tinggi ke atas, berayun-ayun seperti tubuh dua orang yang siap untuk bertanding!

“Ha-ha-ha, bagus, bagus! Jungkir-balikmu sudah kausempurnakan, ya?” Bagus, coba kauhadapi pukulan Katak Buduk ini!” dan tubuh si pendek gendut tua kini makin pendek karena dia sudah menekuk kedua kakinya, tubuhnya agak condong ke depan, kedua tangan dikembangkan, lagaknya persis seperti seekor katak buduk yang siap untuk melompat! Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi menonton dengan hati tegang karena mereka berdua maklum bahwa mereka akan menyaksikan pertandingan yang amat dahsyat yang dilakukan dengan ilmu-ilmu mujijat tingkat tinggi. Mereka berdua sudah merasa betapa hawa tiba-tiba menjadi berubah, angin menderu-deru ketika dua kaki yang panjang itu digerakkan, dan bau amis yang aneh sekali keluar dari tubuh kakek gendut itu, nampak pula uap hitam mengepul dari tubuh kedua orang aneh yang sudah siap untuk saling gempur.

Tiba-tiba bertiup angin dahsyat sekali dan disusul suara melengking nyaring yang mengguncangkan jantung Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi. Suara ini melengking dari atas, seperti dari udara saja dan hebatnya, suara itu mengandung getaran sedemikian rupa sehingga menyusup ke dalam tubuh dua orang kakek iblis yang terkubur itu dan ketika mereka membarengi dengan pengerahan tenaga maka mereka mampu menembus jalan darah yang tertotok dan sudah banyak kehilangan pengaruhnya itu. Suara lengkingan itu ternyata dapat membantu mereka membebaskan diri.

“Blarrr! Blarrr!” Dua orang kakek iblis itu menggunakan lengannya dan mereka dapat menerobos dengan loncatan ke atas, membuat tanah yang menguruk mereka itu terpental dan melayang ke kanan kiri seperti terjadi ledakan di situ.

Dua orang kakek yang sedang berhadapan untuk saling gempur tadi, mendengar suara melengking ini, terkejut, lalu disusul gerakan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, mereka makin kaget dan cepat mereka bergerak ke arah dua orang kakek iblis yang baru saja terbebas dari totokan itu.

Hek-tiauw Lo-mo terkejut bukan main ketika tiba-tiba ada lengan yang panjang menekan pundaknya dan sebelum dia mampu melepaskan diri, kekuatan dahsyat menyeretnya dan dia sudah dibanting masuk lagi ke dalam lubang di mana dia tadi terkubur. Ketika dia hendak meronta, dia merasa ada jari-jari tangan menempel di ubun-ubun kepalanya sehingga dia bergidik karena maklum bahwa sedikit saja jari-jari tangan itu bergerak, ubun-ubunnya akan pecah dan dia takkan mampu melindungi nyawanya lagi. Maka dia tak bergerak dan kini dia sudah berjongkok di dalam lubang seperti tadi, hanya kini tidak terpendam melainkan ditekan oleh kakek jangkung!

Juga Hek-hwa Lo-kwi mengalami hal yang sama. Tiba-tiba saja kedua kakinya dipegang orang dan sebelum dia sempat bergerak, dia sudah diseret ke dalam lubang dan sebuah tangan yang gemuk telah mencengkeram hiat-to (jalan darah) di tengkuknya, jalan darah kematian yang membuat dia tidak berani banyak bergerak karena maklum bahwa nyawanya berada di tangan orang.

“Ha-ha-ha, kalian ini dua orang iblis busuk kiranya sedang bertapa di sini! Haha-ha, di jaman ini masih ada orang bertapa pendam. Ji-ci (Kakak Perempuan ke Dua), coba lihat ini dua ekor monyet tua, apakah engkau masih mengenal mereka? Yang kutangkap ini adalah bekas pelayan Si Dewa Bongkok, maling yang kabarnya melarikan kitab itu. Ha-haha, dan yang itu tentu adalah sekongkolnya, si Hek-tiauw Lo-mo dari Pulau Neraka! Agaknya mereka kini bertapa untuk menciptakan ilmu permalingan baru!” Su-ok Siauw-siang-cu mengejek sambil tertawa-tawa. Akan tetapi Ngo-ok Toat-beng Sian-su tidak berkata-kata, hanya kini dia menggunakan kepala Hek-tiauw Lo-mo untuk didudukinya, dan jari tangannya masih menempel di ubun-ubun yang didudukinya. Dia menggunakan kepala ketua Pulau Neraka yang ditakuti orang itu sebagai bangku!

“Hi-hi-hik, kalian ini dua orang tua bangka masih suka main-main seperti anak-anak saja. Kalau encimu ini tidak cepat datang, tentu kalian tadi sudah saling serang, kembali seperti belasan tahun yang lalu. Apakah selama ini kalian tidak makin tua, akan tetapi berubah kembali menjadi anak-anak?” Dari atas pohon melayang turun tubuh seorang wanita dan ketika Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi memandang, mereka bergidik. Mereka sudah mendengar tentang wanita ini, yang merupakan Ji-ok (Jahat Nomor Dua) dari Im-kan Ngo-ok. Tingkat wanita ini bahkan lebih tinggi setingkat dibandingkan dengan koksu dari Nepal, dan kabarnya memiliki kekejaman yang sukar dibayangkan orang-orang kejam seperti Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi sekalipun! Kabarnya pernah wanita ini setiap hari mengisap darah dan otak anak kecil yang belum satu tahun usianya untuk “jamu”, dan ketika orang sedusun mengepungnya, dia mengamuk, menangkapi dan menotok seluruh penghuni dusun yang jumlahnya ratusan orang itu, mengumpulkan mereka di rumah kepala dusun, lalu menyiram sekeliling rumah dengan minyak dan dibakarnya rumah itu. Dia menanti sampai semua orang yang ratusan banyaknya itu terbakar habis dan dia tertawa-tawa ketika mendengar teriakan dan jeritan mereka. Yang tidak ikut dibakarnya hanya anak-anak kecil yang belum satu tahun usianya, ada puluhan orang anak banyaknya, dibawanya mereka semua ke dalam guanya, dipelihara baik-baik sampai gemuk-gemuk, akan tetapi setiap hari tentu berkurang satu anak karena menjadi “jamunya”!

Dan menurut kabar, ilmu kepandaian wanita ini juga luar biasa sekali. Tadi saja sudah terbukti betapa lengking suaranya mengandung khikang yang demikian ampuhnya sehingga tanpa disengaja mampu menembus jalan darah kedua orang kakek iblis itu. Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang tidak berdaya sama sekali karena jalan darah kematian dan ubun-ubun mereka telah diancam oleh dua drang anggauta Ngo-ok, dan mereka kini hanya dapat memandang ke depan, ke arah wanita yang baru datang itu dengan jantung berdebar tegang.

Wanita itu memang menyeramkan sekali. Bahkan dua orang kakek iblis yang namanya saja biasanya membikin orang menggigil ketakutan itu kini merasa betapa bulu tengkuk mereka meremang. Wanita itu bertubuh tinggi langsing, seperti tubuh seorang wanita yang masih muda. Mukanya tidak dapat dilihat karena muka itu memakai topeng, bukan topeng buatan biasa atau topeng palsu, melainkan topeng dari tengkorak manusia sungguh-sungguh! Tengkorak manusia yang masih lengkap dengan giginya yang besar-besar dan matanya yang berlubang dan dari lubang mata tengkorak ini nampak sepasang mata yang tajam dan liar atau mengerikan, bukan seperti manusia melainkan pantasnya menjadi mata setan! Hanya rambutnya yang sudah putih semua itu membuktikan bahwa wanita ini sesungguhnya adalah seorang nenek yang sudah tua! Kabarnya, sebelum menjadi anggauta nomor dua dari Im-kang Ngo-ok, wanita ini adalah seorang yang memiliki ilmu tinggi yang hidup malang melintang di Ko-le-kok, di mana dia ditakuti sebagai seorang yang amat tinggi ilmunya. Akan tetapi, perangainya berubah ketika dia jatuh cinta kepada seorang pangeran negeri itu dan karena cintanya tidak dibalas dan pangeran itu menikah dengan wanita lain, dalam perayaan pesta dia mengamuk, membunuhi sang pangeran dan isterinya dan seluruh keluarga, bahkan ratusan orang tamu ikut pula menjadi korban. Dan dia lalu memenggal leher pangeran itu, membawa kepalanya ke mana-mana sampai menjadi tengkorak, bahkan dia lalu memakai tengkorak itu sebagai topengnya ketika dia menjadi anggauta Im-kan Ngo-ok untuk menunjukkan bahwa dia cukup kejam dan pantas menjadi tokoh ke dua dari Im-kan Ngo-ok itu!

“Ahhh, Ji-ci mengapa begitu sungkan? Bukankah kita memenuhi panggilan dari Sam-ko untuk berkumpul? Setelah berkumpul, mengapa kita tidak sekalian mencoba kepandaian masing-masing? Siapa tahu aku dari Su-ok bisa menjadi Ji-ok! Ha-ha-ha!”

“Huh, cebol kepala gundul tak tahu diri! Engkau hendak menandingi cicimu? Oho, kau boleh belajar seratus tahun lagi, adikku!” Si topeng tengkorak itu mengejek. Wanita ini adalah Ji-ok (Jahat ke Dua) yang bernama Kui-bin Nio-nio (Wanita Muka Setan) yang juga seperti yang lain telah lama sekali mengundurkan diri dan baru sekarang muncul karena undangan Sam-ok yang kini telah menjadi Koksu Negara Nepal! Mungkin karena jabatan koksu inilah yang membuat Ji-ok yang setingkat lebih tinggi itu sudi pula untuk datang memenuhi panggilan! “Lihat ini!” Wanita itu menudingkan telunjuknya dan menggerakkan sedikit tangannya.

“Cuiiiiittttt....!” Dari telunjuknya itu menyambar hawa yang dingin sekali, mengenai batu besar di dekat Su-ok dan debu beterbangan seolah-olah batu itu di “bor” dan ketika wanita topeng tengkorak menghentikan gerakannya, maka terdapat ukiran berbunyi “Ji-ok” di permukaan batu itu! Su-ok menjulurkan lidahnya dan masih tertawa-tawa sambil berkata nyaring.

“Aha, kepandaian Ji-ci masih hebat! Akan tetapi aku bukan batu mati, dan agaknya tidak akan mudah begitu saja Kiam-ci (Jari Pedang) dari Ji-ci akan dapat mengalahkan aku!”

Akan tetapi agaknya wanita itu merasa sebal dan tidak bersemangat untuk berdebat atau bertanding. Dia memandang ke sekeliling dan berseru, “Mana dia adik ke tiga si Sam-ok? Apakah setelah menjadi koksu dia begitu congkak tidak mau menyambut kita? Dan apakah Twa-ko tidak mau datang?”

Tiba-tiba menyambar angin halus dan terdengar suara dari jauh sekali, akan tetapi suara itu terdengar amat jelas, satu-satu seolah-olah orangnya berada di situ, akan tetapi tidak nampak apa-apa. Hal ini kembali mengejutkan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi karena hal itu menandakan bahwa orang itu sudah memiliki kepandaian yang sukar diukur tingginya, sudah mampu melakukan Ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh) secara sempurna sekali.

“Hemmm, aku orang tua tak berguna bisa apakah?”

“Twa-ko....!” Tiga orang itu berseru secara berbareng dan ketiganya bangkit berdiri memandang ke arah datangnya suara seolah-olah hendak menyambut. Kesempatan ini tentu saja tidak disia-siakan oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi. Ka1au tadi mereka tidak berani berkutik adalah karena nyawa mereka terancam. Akan tetapi begitu kedua orang itu bergerak bangun, secepat kilat mereka sudah bergerak dan menghantam ke arah punggung para penawan mereka!

“Ha-ha-ha!” Si pendek gendut sudah bergerak ke depan, lalu menggelinding sehingga terlepas dari hantaman Hek-hwa Lo-kwi, sedangkan si jangkung itu dengan langkah lebar juga mengelak dan membalik hendak menangkap lengan Hek-tiauw Lo-mo. Akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo yang berkepandaian tinggi itu sudah cepat mengelak dan kembali mengirim serangan yang ampuh, yaitu dengan ilmu pukulan Hek-coa-tok-ciang yang diciptakannya dari kitab curiannya ketika dia memperoleh sebagian kitab dari Si Dewa Bongkok.

Hawa beracun berupa uap hitam mengepul dari kedua tangannya ketika dia menyerang si jangkung itu.

“Hemmm....! Ngo-ok Toat-beng Sian-su mendengus dan tiba-tiba dia sudah berjungkir-balik. Agaknya dia mengenal pula pukulan sakti maka dia tahu bahwa lawannya ini bukan orang sembarangan, maka orang ke lima dari Im-kan Ngo-ok itu sudah berjungkir-balik untuk mengeluarkan kepandaiannya yang istimewa! Dan benar saja, Hek-tiauw Lo-mo menjadi bingung karena sasarannya menjadi aneh. Kalau biasanya dia memukul dada, kini pukulannya itu bertemu dengan paha dan ditangkis oleh tangan yang panjang itu, kalau dia memukul kepala, kini bertemu dengan lutut yang dapat bergerak dan menyerangnya kembali! Dan setiap gerakan kakek jangkung itu mendatangkan angin pukulan dahsyat, sedangkan pukulan Hek-coa-tok-ciang yang dimainkannya itu agaknya tidak mempengaruhi si jangkung karena beberapa kali si jangkung berani menangkisnya tanpa keracunan. Sebaliknya, sepasang kaki si jangkung membuat dia bingung karena kaki itu secara tiba-tiba dapat “memukulnya” dari belakang, ke arah punggungnya!

Demikian pula, dengan keadaan Hek-hwa Lo-kwi. Kakek iblis ketua Kwi-liong-pang ini terkejut bukan main ketika menghadapi lawannya yang pendek gemuk itu. Sukar sekali menyerang lawan itu karena tubuh lawan itu bergerak secara aneh sekali, kadang-kadang bergulingan, kadang-kadang meloncat dan berlari-lari di sekelilingnya, dan kadang-kadang menerima pukulannya akan tetapi pada saat pukulan hampir mengenai tubuh, dia melejit lenyap dan tahu-tahu sudah membalas serangannya dari bawah dengan dasyat! Hek-hwa Lo-kwi merasa penasaran sekali. Tidak peduli siapa adanya lawan ini, si pendek ini sudah menghinanya secara keterlaluan sekali, menduduki kepalanya dan tadi ketika si pendek ini duduk di atas kepalanya, biarpun tidak ada yang tahu karena tidak mengeluarkan suara, akan tetapi dia tahu betul bahwa dua kali si pendek ini melepas kentut yang bau busuk! Maka saking marahnya, Hek-hwa Lo-kwi lalu mengeluarkan ilmu barunya yang sakti dan mengerikan, yaitu Pek-hiat-hoat-lek.

“Hehhhhh....!” Dia berseru keras, kedua tangannya bergerak melakukan dorongan ke depan. Nampaklah uap putih mengepul dan angin dahsyat menyambar ke arah kakek pendek itu.

“Krok-krokkk!” Kakek pendek yang menghadapi pukulan maut itu tiba-tiba berjongkok, memasang kuda-kuda seperti seekor katak buduk dan kedua tangannya juga mendorong ke depan.

“Desss....!” Akibat pertemuan tenaga yang dahsyat, tubuh Hek-hwa Lo-kwi terjengkang dan dia terbanting roboh dengan kepala pening. Akan tetapi kakek muka seperti tengkorak yang tinggi kurus ini dengan cekatan telah meloncat bangun dan menyerang lagi kalang-kabut. Ternyata ilmu barunya itu cukup tangguh sehingga menghadapi pukulan llmu Katak Buduk dari si pendek itu dia tidak sampai mengalami luka, hanya terjengkang saja. Melihat ini, Su-ok Siauw-siang-cu merasa kagum juga.

“Bagus, jongos maling, ilmumu lumayan juga!” katanya memuji akan tetapi sambil memaki. Justeru, Hek-hwa Lo-kwi paling benci kalau diingatkan bahwa dia dahulu adalah seorang pelayan dan seorang pelayan yang telah mencuri kitab majikannya! Maka sambil menggereng dia menubruk ke depan, akan tetapi si pendek melejit lenyap dan main kucing-kucingan sambil tertawa-tawa.

Di fihak lain, Hek-tiauw Lo-mo juga repot bukan main. Beberapa kali tubuh belakangnya kena digajul oleh kaki lawan secara aneh sampai dia hampir terpelanting. Ngo-ok Toat-beng Sian-su tidak pernah mengeluarkan suara, akan tetapi tangan dan kakinya sungguh jahil dan menghina sekali. Kadang-kadang kedua tangan kakek ini bergerak cepat, tangan yang panjang itu tahu-tahu sudah menyentil telinga Hek-tiauw Lo-mo, kemudian kakinya menendang pinggulnya secara aneh melalui belakangnya. Kalau menggerakkan tangannya, maka kakek yang tingginya tidak lumrah ini hanya mengunakan kepala sebagai kaki, dan dia berloncatan sehingga kepalanya mengeluarkan bunyi “duk-duk-duk!” memukul tanah!

Tiba-tiba terdengar suara yang tadi, suara halus yang tadi terdengar dekat, “Hemmm, Ngo-ok dan Su-ok masih repot melayani dua ekor kera tua ini, sungguh harus dikatakan bahwa kepandaian kalian selama ini tidak ada kemajuan sama sekali!”

Yang bicara itu adalah seorang kakek yang luar biasa sekali. Kakek ini tidak pantas disebut manusia, lebih patut dinamakan gorila atau monyet besar sekali, seekor monyet besar yang memakai sepatu dan pakaian seperti manusia, akan tetapi pakaiannya amat sederhana. Mukanya adalah muka campuran antara manusia dan monyet, akan tetapi masih lebih mendekati monyet daripada manusia, sehingga pantasnya dia dinamakan monyet yang mirip manusia. Bahkan dari bibir monyetnya itu menonjol keluar dua buah taring di kanan kiri! Hanya kulitnya saja yang tidak seperti monyet, karena kulit muka dan tangannya tidak berbulu, dan rambutnya juga seperti rambut manusia, pendek sampai di pundaknya dan masih banyak hitamnya. Kedua tangannya besar, seperti tangan manusia, akan tetapi kedua lengannya panjang melampaui lututnya, ciri lengan tangan monyet! Dan biarpun wajahnya menyeramkan seperti monyet, akan tetapi suaranya halus dan lemah lembut seperti suara seorang pendeta, dan pakaiannya amat sederhana! Padahal dia adalah orang nomor satu dari Im-kan Ngo-ok, dan dia inilah yang disebut Twa-ok (Jahat Nomor Satu) bernama Su Lo Ti, sebuah nama yang berasal dari Pegunungan Himalaya, dan dia ini adalah suheng (kakak seperguruan) dari Koksu Nepal! Tentu saja, sebagai Twa-ok, kepandaiannya juga amat tinggi, jauh lebih tinggi daripada tingkat sutenya yang hanya menduduki tingkat Sam-ok, dan dalam hal kekejaman, kiranya tidak ada lawannya di dunia ini! Akan tetapi hebatnya, biarpun wajahnya menyeramkan dan bengis, sikap dan suaranya lemah lembut seperti orang yang sabar dan memiliki watak budiman!

Empat orang dari Im-kan Ngo-ok yang kesemuanya sudah menyembunyikan diri selama belasan tahun, bertapa di tempat persembunyian mereka, menjauhkan diri dari dunia ramai itu, semua berpakaian sederhana sekali. Pakaian, cara kehidupan, dan sikap sederhana ini selalu menarik perhatian orang dan menimbulkan rasa hormat dalam hati setiap orang.

Benarkah semua itu yang dinamakan kesederhanaan? Kita sudah terbiasa untuk menilai segala sesuatu dari lahiriah belaka. Dan kita selalu mengejar sesuatu juga untuk kepentingan kesenangan diri sendiri dengan dasar-dasar lahiriah pula. Kesederhanaan adalah suatu hal yang menyangkut suatu keadaan rohani, keadaan batiniah yang tidak ada sangkut-pautnya dengan keadaan jasmaniah atau lahiriah. Seorang pertapa boleh jadi hanya mengenakan cawat saja sebagai penutup tubuh, hanya makan sehari sekali atau kurang dari makanan seadanya, akan tetapi belum tentu dia itu berjiwa sederhana! Ada orang-orang yang kelihatan sederhana. Namun kesederhanaannya itu dipergunakannya sebagai pameran, memamerkan kesederhanaannya, agar semua orang tahu bahwa dia adalah orang sederhana! Kesederhanaan macam ini adalah kesederhanaan palsu, biarpun dia telah menyiksa tubuhnya sendiri, memaksa tubuhnya agar melaksanakan apa yang dianggapnya kesederhanaan. Kesederhanaan yang diakuinya sendiri, dirasakannya sendiri ini hanyalah kesederhanaan pura-pura yang pada hakekatnya tak lain tak bukan hanyalah suatu kesombongan yang terselubung, suatu pamrih atau keinginan menonjolkan diri yang dibungkus dan diberi etiket berbunyi: Kesederhanaan! Kesederhanaan lahiriah yang disengaja seperti itu hanyalah merupakan daya upaya, merupakan cara untuk mencapai sesuatu belaka, yaitu: Agar orang lain tahu bahwa dia sederhana, bahwa dia suci, baik dan sebagainya yang pada akhirnya hanya menunjukkan bahwa dia berpamrih agar terpandang! Dan “terpandang” ini merupakan sesuatu yang menyenangkan hati! Jadi kesimpulannya adalah bahwa dia mempergunakan kesederhanaan lahiriah sebagai kedok untuk mengejar kesenangan!

Ada pula orang yang sengaja hidup sederhana, bertapa di gunung-gunung dan gua-gua, berpakaian setengah telanjang, jarang makan minum, menyiksa diri. Akan tetapi semua itu pun merupakan bentuk pemaksaan belaka, semua itu pun merupakan suatu jalan untuk mencapai sesuatu, oleh karena itu pun palsu adanya. Hanya sebagai cara memenuhi keinginannya, mencapai sesuatu dan segala yang berpamrih sudah pasti palsu adanya, tidak WAJAR! Mungkin si pertapa yang menyiksa diri memaksa diri sederhana itu menghendaki sesuatu yang tidak ada sangkut-pautnya dengan duniawi, bukan menghendaki harta, bukan pula menghendaki nama, atau menghendaki kedigdayaan yang kesemuanya adalah duniawi, bukan pula ingin memperoleh kemuliaan duniawi, akan tetapi menginginkan sesuatu yang dinamakannya “lebih tinggi” yang pada umumnya dinamakan “kesempurnaan”, atau “kesucian”, atau “kebahagiaan”, bahkan ada pula yang menyebutnya Tuhan! Akan tetapi, semua sebutan itu pasti dihubungkan sebagai hal yang MENYENANGKAN! Baik itu kesempurnaan, kebahagiaan atau lainnya, tentu digambarkan oleh PIKIRAN sebagai sesuatu YANG MENYENANGKAN, atau yang lebih baik, lebih enak, lebih menyenangkan daripada yang sekarang ada padanya! Dengan demikian, kembali lagi lingkaran setan itu terbukti, bahwa yang dikejar adalah kesenangan! Baik jasmaniah, atau pun batiniah, tetap saja yang dicari-cari adalah kesenangan menurut ukuran pikiran! Karena yang selalu mengukur sesuatu dengan untung rugi, dengan senang susah, yang selalu mengejar-ngejar kesenangan adalah pikiran itulah!

Kesederhanaan, seperti cinta kasih seperti juga kebenaran, kebaikan, kebajikan dan sebagainya, jelas tidak dapat dilatih! Karena sesuatu yang dilatih itu berarti penekanan, berarti pemaksaan, dan sesuatu yang dilatih itu sudah pasti mengandung pamrih untuk memperoleh sesuatu! Dan kalau sudah ada pamrih, dan semua pamrih selalu berputar untuk kemudian menuju kepada pencapaian kesenangan sendiri, apakah itu dapat dinamakan kesederhanaan lagi? Kesederhanaan, seperti juga kebaikan atau kebajikan, adalah suatu keadaan, bukan suatu hal yang mati. Sekali kita merasa bahwa kita baik, maka itu bukanlah baik lagi namanya! Sekali kita menganggap bahwa kita sederhana, itu tiada lain hanyalah kesombongan yang berselubung dengan cap kesederhanaan. Kita dapat melihatnya semua ini secara gamblang di dalam diri kita sendiri kalau kita mau membuka mata setiap saat dan memandang diri sendiri.

Dan untuk mengenal apa yang dinamakan cinta kasih, kebahagiaan, keindahan, keagungan alam, apa yang dinamakan kekuasaan Tuhan yang biasanya kita hanya menerima saja dari pendapat-pendapat yang sudah ditentukan oleh kitab dan para ahli, untuk dapat mengenal itu semua secara nyata, bukan hanya teori belaka, bukan hanya harapan belaka, dibutuhkan jiwa yang sungguh-sungguh sederhana! Dan kesederhanaan tak mungkin ada selama di situ terdapat aku yang berpamrih, aku yang ingin senang, selama terdapat pikiran yang mencari-cari hal yang menyenangkan. Batin yang hening, tidak dibikin hening dengan sengaja, melainkan batin yang hening dengan sendirinya, bukan buatan, batin yang tidak pernah mengharap, tidak pernah menginginkan sesuatu yang tidak ada, batin demikian ini yang berada dalam keadaan sederhana.

Namun sayang, sejak kecil kita sudah terbiasa oleh hal-hal yang palsu. Pendapat-pendapat umum yang dibangun semenjak kita dapat berpikir, mempengaruhi kita, membutakan mata kita betapa palsunya semua itu. Kita menjadi buta dan hanya melihat hal-hal lahiriah belaka. Oleh karena itu maka kebanyakan dari kita mempergunakan hal-hal lahiriah ini untuk mengelabuhi orang lain, yang tentu saja bersumber lagi kepada pamrih untuk menarik keuntungan lahir batin sebanyaknya, pamrih untuk mengejar kesenangan pribadi.

Empat orang dari Im-kan Ngo-ok itu tentu saja hanya mempergunakan pakaian dan sikap sederhana untuk pamer belaka. Biarpun tidak kelihatan demikian, namun seolah-olah mereka itu berkaok-kaok, “Lihat nih! Aku adalah orang sederhana, lain daripada yang lain! Aku bukan orang biasa! Aku sederhana dan baik, suci dan sebagainya!”.

Ketika mendengar teguran twako mereka, Ngo-ok dan Su-ok menjadi merah mukanya, akan tetapi pada saat itu, Ji-ok Kui-bin Nio-nio sudah berkata dengan suaranya yang nyaring melengking, “Hai, Twa-ko! Yang mendekati ilmumu hanya aku, mari kita berlomba mempermainkan dua orang iblis ini!”

“Hemmm, kau boleh lihat, Ji-moi. Dua ekor kera ini boleh kita jadikan alat percobaan!”

Memang menggeiikan sekali mereka itu. Ji-ok Kui-bin Nio-nio yang memakai topeng tengkorak dan lebih mirip iblis daripada manusia itu paling suka menamakan orang lain iblis, dan sebaliknya Twa-ok Su Lo Ti yang mukanya benar-benar mirip kera itu paling suka memaki orang lain monyet!

Demikianlah watak dan sifatnya orang-orang yang tidak pernah mau mengenal diri sendiri. Kalau saja mereka itu, seperti kita, mau pula untuk belajar hidup setiap hari, belajar mengerti hidup dengan mengamati diri sendiri, mengenal diri sendiri setiap saat, maka kiranya mereka tidak akan mencela dan memaki orang lain. Kalau kita nnencela orang lain, ini sudah pasti terjadi karena kita menganggap diri sendiri sebagai orang baik, setidaknya lebih baik daripada dia yang kita cela. Akan tetapi benarkah demikian? Mari kita bercermin setiap hari, bukan hanya bercermin untuk melihat wajah kita setiap hari, melainkan terutama sekali bercermin setiap seat dengan mengamati diri sendiri dalam hubungan kita setiap hari dengan orang lain atau dengan benda, dengan pikiran dan apa saja, yaitu mengamati setiap saat segala macam pikiran kita, perasaan kita, gerak-gerik kita lahir batin. Bukan mengendalikan diri sendiri. Bukan mengoreksi diri sendiri, bukan mencari kesalahan diri sendiri, karena semua itu merupakan bentuk-bentuk perlawanan dan pemaksaan belaka yang akhirnya ternyata adalah permainan pikiran yang berpamrih menghendaki sesuatu yang “lebih”! Mengamati saja, memandang saja, dengan penuh perhatian, tanpa mencela atau memuji, tanpa pamrih sama sekali. Dapatkah?

Tiba-tiba Ji-ok Kui-bin Nio-nio dan Twa-ok Su Lo Ti bergerak hampir bersamaan, meloncat ke depan dan ketika kedua orang ini menggerakkan tangan ke depan, Ngo-ok dan Su-ok terpaksa minggir dan melompat ke belakang karena ada suara angin mencicit keluar dari gerakan mereka berdua itu.

Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang tadi dipermainkan oleh Ngo-ok dan Su-ok, kini tiba-tiba merasa ada angin menyambar dahsyat. Keduanya cepat membalik dan berusaha menangkis dengan pengerahan tenaga sinkang, akan tetapi tiba-tiba saja tangan mereka yang menangkis itu seperti lumpuh dan tanpa mereka ketahui bagaimana caranya, tahu-tahu tengkuk mereka telah dipegang dan tubuh mereka telah diangkat ke atas lalu dilontarkan! Ji-ok menangkap Hek-tiauw Lo-mo dan melontarkan kakek raksasa itu ke arah Twa-ok, sebaliknya Twa-ok telah mencengkeram tengkuk Hek-hwa Lo-kwi dan kini melontarkan tubuh kakek ini ke arah Ji-ok!

Ji-ok menerima tubuh Hek-hwa Lo-kwi, memandang wajah kakek ini sambil berkata, “Wajahmu tidak buruk!” Padahal wajah Hek-hwa Lo-kwi seperti tengkorak hidup! Agaknya karena mirip tengkorak itulah maka dia dipuji, akan tetapi tahu-tahu tubuh kakek ini sudah melayang lagi ke udara, berbareng dengan tubuh Hek-tiauw Lo-mo yang juga melayang kembali ke arah Ji-ok. Demikianlah, dua orang pertama dan ke dua dari Im-kan Ngo-ok itu telah mempermainkan tubuh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi seperti dua orang anak kecil bermain bola saling mengoperkan tanpa dua orang kakek iblis itu mampu melawan!

Tentu saja dua orang kakek iblis yang berkepandaian tinggi itu berusaha melawan, akan tetapi setiap kali mereka menggerakkan tangan untuk memukul, lengan mereka menjadi lumpuh karena mereka jauh kalah cepat, lebih dulu ditotok lumpuh untuk beberapa menit lamanya dan dilontar-lontarkan di antara dua orang manusia aneh itu! Tentu saja dua orang kakek itu marah bukan main, marah, penasaran dan merasa terhina dan malu sekali!

Akan tetapi dalam adu ilmu secara aneh ini nampak betapa Ji-ok masih kalah setingkat, buktinya, tubuh dua orang kakek iblis itu lebih gencar melayang ke arah Ji-ok sehingga nenek ini menjadi kewalahan! Baru saja dia melontarkan tubuh seorang kakek kembali kepada Twa-ok, tubuh kakek ke dua sudah datang menyambar, dan sambaran itu makin lama makin berat terasa olehnya, tanda bahwa Twa-ok menambah tenaga lontarannya!

“Ah, Twa-ko dan Ji-ci, harap suka hentikan main-main itu!” Tiba-tiba terdengar suara orang berseru keras dan kaget. “Mereka itu adalah pembantu-pembantu kita sendiri!”

“Ha-ha-ha, Sam-ko telah mengkhawatirkan orang-orangnya!” Terdengar si gendut pendek Su-ok tertawa.

Akan tetapi mendengar suara Koksu Nepal ini, dua orang yang sedang bermain-main itu lalu melontarkan tubuh dua orang kakek itu ke arah Ban Hwa Sengjin! Koksu Nepal ini mengebutkan kedua tangannya dan tubuh dua orang kakek itu meluncur turun ke atas tanah.

Setelah kini tidak tertotok lagi, Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi berseru keras, berjungkir balik dan turun ke atas tanah dalam keadaan berdiri dan tidak terbanting. Mereka memandang kepada Twa-ok dan Ji-ok dengan mata marah, kemudian mereka mengeluarkan suara menggereng dan siap untuk menerjang maju.

“Sudahlah, Lo-mo dan Lo-kwi. Mereka ini adalah saudara-saudaraku sendiri!” Koksu ini berkata kepada dua orang pembantu itu.

“Mereka itu menghina kami!” berkata Hek-tiauw Lo-mo dengan marah.

“Tidak ada orang boleh mempermainkan kami seperti itu!” Hek-hwa Lo-kwi juga berkata dengan geram.

“Sudahlah, dua orang kakakku ini memang gemar bermain-main dan andaikata mereka tidak tahu bahwa kalian adalah orang-orang sendiri, apakah kalian kira saat ini kalian masih dapat hidup?” kata pula Ban Hwa Sengjin dengan suara sungguh-sungguh. Dua orang kakek iblis itu terpaksa membenarkan pendapat ini karena kalau mereka tadi menghendaki, dua orang itu tentu sudah dapat membunuh mereka berdua dengan amat mudahnya. Diam-diam mereka bergidik menyaksikan kehebatan ilmu kepandaian empat orang di antara Ngo-ok itu.

“Ah, Koksu yang mulia, sungguh tidak melanggar janji. Sayangnya masih ada orang-orang yang mengintai kami, apakah Koksu sengaja menyambut kami dengan mata-mata yang menyelidik?” tanya Twa-ok Su Lo Ti, suaranya masih halus seperti tadi.

“Heh-heh-heh, agaknya Koksu sudah kurang percaya kepada kita, Twa-ko!” kata Ji-ok Kui-bin Nio-nio sambil tertawa.

Koksu Nepal itu mengerutkan alisnya dan mengelus jenggotnya. “Hemmmmm, hemmm.... mengapa Twa-ko dan Ji-ci menyebut koksu kepadaku? Tidak seperti Su-te dan Ngo-te yang masih bersikap biasa!”

“Ha-ha-ha, mungkin pakaianmu, Sam-ko!” kata Su-ok sambil bergelak tertawa, sedangkan Ngo-ok hanya berdiri diam saja dengan muka muram dan mulut cemberut seperti orang ngambek.

“Pakaianku, mengapa? Ah, pakaian mewah ini? Tentu saja aku harus menyesuaikan diri dengan kedudukanku. Hendaknya Twa-ko dan Ji-ci ingat bahwa aku adalah koksu, yang memimpin negara yang rakyatnya berjuta orang! Aku harus menjaga nama dan kehormatan.”

“Lalu bagaimana dengan mata-mata yang mengintai itu?” tanya pula Twa-ok, masih halus suaranya akan tetapi jelas nampak tidak senang.

“Mata-mata yang mana yang Twako maksudkan? Aku datang, tidak tahu tentang mata-mata,” tanya Ban Hwa Sengjin.

“Hi-hik, kalau begitu bukan mata-mata yang dipasang oleh Sam-te, Twako!” kata Ji-ok.

“Aku tidak melihat orang lain!” kata Su-ok.

“Twa-ko dan Ji-ci lihai, aku pun tidak melihat orang!” kata Ngo-ok, kini dia pun tertarik dan menoleh ke kanan kiri, mencari-cari dan membuka kedua matanya yang sipit dan seperti mau tidur terus saja itu.

“Heh-heh, Twa-ko, kalau begitu mari kita sekali lagi bertanding ilmu, siapa yang dapat merobohkan mata-mata itu lebih dulu, dia lebih unggul!” kata Ji-ok dan nenek yang tidak peduli akan segala kecurangan ini sudah mendahului, tiba-tiba saja tangannya bergerak dan terdengar suara mencicit ketika jari telunjuk tangannya menyambar hawa dingin ke arah semak-semak. Twa-ok Su Lo Ti juga sudah bergerak, tangan kanannya mendorong ke arah sebatang pohon.

“Krakkkkk!” Biarpun kakek bermuka gorila itu bergerak belakangan, akan tetapi akibat hantamannya telah lebih dulu mengenai sasaran dan pohon itu roboh. Dari balik pohon itu berkelebat bayangan orang yang cepat bukan main dan dengan kibasan lengan bajunya, bayangan itu telah dapat menangkis tenaga dahsyat yang dilepas oleh Twa-ok Su Lo Ti tadi! Bahkan kini bayangan itu mencelat ke belakang semak-semak yang diserang oleh pukulan jarak jauh dengan ilmu mujijat Kiam-ci (Jari Pedang) dari nenek bertopeng tengkorak itu.

“Syeeettttt....!” Cabang ranting dan daun semak-semak itu berhamburan, akan tetapi tubuh Siang In telah didorong sampai terguling-guling oleh Kian Lee sehingga dara ini terbebas dari maut! Kiranya sejak tadi Kian Lee dan Siang In telah tiba di tempat itu dan diam-diam mereka melakukan pengintaian dengan hati-hati sekali. Orang-orang seperti Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, juga yang lebih lihai lagi seperti Ngo-ok dan Su-ok, tidak melihat tempat persembunyian mereka. Ban Hwa Sengjin juga tidak melihat karena memang kakek botak ini baru tiba, akan tetapi ternyata Twa-ok dan Ji-ok dapat mengetahuinya. Hal ini saja sudah membuktikan betapa lihainya orang pertama dan orang ke dua dari Im-kan Ngo-ok itu!

Serangan kedua orang itu memang hebat bukan main karena mereka tadi menyerang untuk membunuh dan karena mereka mempergunakan serangan itu untuk menguji kepandaian masing-masing antara orang pertama dan orang ke dua, tentu saja mereka telah mengerahkan tenaga agar lebih dulu merobohkan lawan. Akan tetapi siapa kira, serangan mereka keduanya tidak berhasil dan kini muncullah seorang pernuda yang gagah dan tampan sekali bersama seorang dara yang amat cantik jelita dari dua tempat yang mereka serang tadi, berdiri berdampingan dengan gagah perkasa dan penuh keberanian!

Diam-diam Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang mengenal Kian Lee terkejut sekali. Mereka maklum akan kelihaian pemuda putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es itu, akan tetapi karena mereka masih merasa mendongkol kepada empat orang dari Im-kan Ngo-ok, maka, mereka diam saja, hendak melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Di lain fihak, Kian Lee juga kaget sekali ketika mengenal orang-orang yang amat lihai itu. Dia sudah mengenal Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, akan tetapi dua orang kakek iblis ini tidak membuat dia jerih. Hanya ketika mengenal Ban Hwa Sengjin, diam-diam dia merasa khawatir akan keselamatan Siang In karena dia tahu betapa lihainya Koksu Nepal ini. Dan biarpun dia belum mengenal empat orang aneh yang lain itu, namun dari gerakan-gerakan mereka tadi saja dia sudah tahu bahwa mereka itu pun merupakan lawan-lawan yang amat tangguh!

Sementara itu, Ngo-ok Toat-beng Sian-su yang sejak tadi diam saja dan seperti orang mengantuk atau orang murung dan ngambek, tiba-tiba kini membelalakkan matanya yang sipit, memandang kepada Siang In dan seketika mulutnya mengeluarkan air liur yang keluar dari ujung kiri mulutnya, hampir menetes turun akan tetapi sudah cepat disedotnya kembali ke dalam mulutnya. Dia mulai menyeringai, kemudian dia berkata, “Berikan kuku ibu jarimu kepadaku!” Dan tiba-tiba saja dia sudah menubruk dengan gerakan mengejutkan ke arah Siang In! Karena langkahnya panjang, dan lengannya yang panjang sudah menyambar hendak menangkap tangan Siang In, maka gerakannya itu cepat bukan main dan hampir saja lengan dara itu dapat ditangkapnya!

“Ihhh!” Siang In menjerit dan tubuhnya mencelat ke belakang dengan hati penuh jijik melihat orang jangkung ini. Akan tetapi Ngo-ok yang melihat betapa sambarannya yang pertama dapat dielakkan, tahu bahwa dara yang luar biasa cantiknya itu ternyata memiliki kepandaian yang boleh juga, sudah menerjang lagi, kini kedua lengannya yang panjang itu seperti sepasang capit kepiting menyerang dari atas, tinggi sekali dan kedua tangannya menyambar turun ke bawah, dari kanan kiri menutup semua jalan lari dari Siang In!

Teng Siang In adalah murid terkasih dari See-thian Hoat-su, maka selain ilmu sihir, tentu saja dia banyak mewarisi ilmu silat tinggi yang lihai dari gurunya itu. Menghadapi serangan yang amat aneh dan dahsyat ini, dia terkejut akan tetapi tidak menjadi gugup. Payungnya sudah menyambar dan tubuhnya bergerak cepat, dia sudah mengelak dari sambaran tangan kiri, payungnya menangkis tangan kanan lawan dan secepat kilat dia balas menyerang dengan tendangan Soan-hong-twi!

“Dukkk!” Biarpun payung di tangan Siang In membalik, namun tangan kanan kakek jangkung itu dapat tertangkis dan kini secara tiba-tiba saja kaki yang kecil mungil itu telah menyambar ke arah pusar Ngo-ok! Betapapun lihainya Ngo-ok Toat-beng Sian-su, akan tetapi dia tidak mau coba-coba menerima tendangan yang jelas dilakukan dengan pengerahan sinkang kuat itu dengan pusarnya karena hal ini amat berbahaya. Maka si jangkung ini cepat menekuk tubuhnya melengkung ke belakang sehingga tendangan itu luput! Karena tubuh itu jangkung dan panjang sekali, maka dengan melengkung tengahnya ke belakang, dia sudah dapat mengelak dan tendangan pertama dari Siang In jauh dari sasarannya. Akan tetapi ilmu tendangan Soan-hong-twi dari dara itu hebat bukan main. Biarpun tendangan pertama luput, akan tetapi tendangan ke dua, ke tiga, ke empat dan seterusnya datang bertubi-tubi menghujani bagian-bagian tubuh yang berbahaya dari si kakek jangkung!

Kini kakek itu agak repot juga. Tubuhnya yang panjang itu melengkang-lengkung ke sana-sini untuk mengelak dan beberapa kali kedua tangannya juga menangkis sehingga perkelahian itu kelihatan ramai. Semua orang menonton dan tidak ada yang mempedulikan Kian Lee karena mereka tidak inginketinggalan menonton perkelahian itu!

Akan tetapi, segera nampak keunggulan Ngo-ok. Setelah si jangkung ini dapat memulihkan ketenangannya menghadapi serangan tendangan dari dara itu, mulailah dia menangkis, kaki Siang In membalik dan dara itu menyeringai kesakitan. Maklumlah Siang In bahwa lawannya memang hebat, maka tiba-tiba saja dia mengerahkan kekuatan sihirnya dan cepat dia membentak, “Lihat siapa aku!”

Mendengar ini, otomatis Ngo-ok memandang ke arah wajah dara itu dan pada saat itu Siang In berseru nyaring, suaranya mengandung getaran hebat dan aneh, “Aku adalah ibumu, kau tidak lekas berlutut?”

Tiba-tiba Ngo-ok mengeluarkan suara aneh, matanya terbelalak memandang wajah dara yang cantik jelita itu. Siapa tidak akan menjadi kaget dan heran kalau tiba-tiba melihat ibunya yang telah puluhan tahun meninggal dunia itu kini berdiri di depannya dalam keadaan segar bugar? Seluruh tubuh Ngo-ok menggigil dan dia menjatuhkan dirinya berlutut! Pada saat itu, Siang In mengirim tendangan Soan-hong-twi.

“Duk-plak-desss....!” Tubuhnya yang jangkung itu terguling-guling dan pada saat itu terdengar suara melengking nyaring, suara yang dikeluarkan oleh Ji-ok Kui-bin Nio-nio. Siang In terkejut karena suara ini menggetarkan jantungnya dan sekaligus membuyarkan kekuatan sihirnya atas batin Ngo-ok. Ngo-ok yang bergulingan terkena tendangan bertubi-tubi itu, kini meloncat bangun dan menggosok-gosok matanya karena melihat bahwa “ibunya” sudah lenyap dan yang adalah dara cantik yang telah menendanginya seenaknya!

“Arghhh....!” Dia menggereng, maklum bahwa dia telah dipermainkan dengan sihir, maka tiba-tiba saja tubuhnya sudah berjungkir-balik dan kini bagaikan badai mengamuk, tubuh yang membalik itu telah menyerang kalang-kabut ke arah Siang In! Dara ini terkejut bukan main. Untuk menggunakan sihirnya, amat sukar karena mencari wajah orang itu pun sudah amat sukar. Empat kaki dan tangan itu bergerak-gerak aneh, semua menyambar ke arahnya dengan cepat bukan main dan betapapun dia berusaha mengelak dan menangkis, tetap saja dia kena ditampar dan ditendang. Tamparan ke tiga yang mengenai tengkuknya membuat dia terlempar dengan kepala pening dan tahu-tahu dia telah dirangkul Kian Lee dan sudah menggerakkan tangan menangkis tamparan berikutnya dari tangan panjang itu.

“Desss....!” Kini tubuh yang berjungkir balik itu terlempar oleh tangkisan Kian Lee! Ngo-ok terkejut bukan main dan cepat dia bangkit berdiri sambil memandang dengan penuh perhatian kepada Kian Lee. Tak disangkanya betapa tangkisan itu mengandung hawa panas yang seperti hendak membakar seluruh langannya tadi, maka saking kagetnya dia telah membalik dan menghentikan serangannya. Siang In yang masih pening kini duduk di atas tanah sambil memijit-mijit tengkuknya yang kena ditampar tadi.

Melihat Ngo-ok, Su-ok dan Ji-ok hendak maju, tiba-tiba Twa-ok Su Lo Ti berteriak, “Biarkan dia menghadapi aku! Dia sudah menjadi lawanku sejak pertama tadi!”

Mendengar teriakan halus ini, tiga orang adik angkatnya itu tidak berani maju, sedangkan Ban Hwa Sengjin yang juga mengenal Kian Lee hanya memandang dengan tenang. Dia merasa girang dengan munculnya saudara-saudaranya, karena hal itu berarti memperkuat kedudukannya dan kini dia hendak menikmati tontonan menarik, betapa suhengnya atau juga twakonya itu akan menandingi pemuda yang dia tahu amat lihai ini. Dia merasa yakin bahwa suhengnya sudah pasti akan mampu mengalahkan pemuda ini, maka hatinya tidak khawatir dan dia hanya menonton dengan tenang. Juga Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi menonton dengan jantung berdebar tegang. Mereka mengenal kelihaian putera Pendekar Super Sakti, maka mereka kini ingin melihat sampai di mana kelihaian kakek seperti monyet besar itu.

Kian Lee maklum bahwa dia menghadapi banyak lawan tangguh. Tak disangkanya bahwa sejak para penculik putera Ceng Ceng itu menuju ke lembah di mana dia akan bertemu dengan begini banyak orang lihai yang aneh-aneh dan belum pernah dijumpainya. Karena sudah terlanjur ketahuan, maka dia harus menghadapi segala bahaya, untuk membela diri dan juga untuk menyelamatkan Siang In, karena dari sikap dan ucapan-ucapan mereka maklumlah dia bahwa dia berhadapan dengan datuk-datuk dari kaum sesat yang amat jahat dan kejam sehingga kalau sampai dia dan Siang In tertawan, maka keadaan dan keselamatan dara yang cantik jelita itu pasti terancam hebat!

Maka melihat betapa kakek yang seperti gorila itu kini melangkah maju menghampirinya, dia sudah siap dan diam-diam dia telah mengerahkan sinkangnya untuk menghadapi segala kemungkinan sambil matanya menatap tajam wajah lawan dan gerak-gerik lawan yang aneh. Dia melihat kakek itu berdiri biasa saja, dengan kedua kaki agak terpentang dan agak ditekuk, punggungnya membongkok dan kedua lengan panjang itu bergantung ke bawah, persis sikap seekor monyet besar! Kemudian, perlahan-lahan kedua tangan itu diangkat ke depan, dengan jari-jari terbuka dan telapak tangan menghadap keluar, juga gerakan ini tiada ubahnya seekor monyet! Kian Lee belum pernah menyaksikan pasangan kuda-kuda ilmu silat seperti itu, kecuali kalau kuda-kuda itu dilakukan oleh seekor monyet yang hendak menyerang musuh! Akan tetapi dia tetap waspada dan ketika kakek itu menggerakkan tangan kiri yang mukanya menghadapi kepadanya itu, dia siap.

“Wirrrrr....!” Angin yang dahsyat keluar dari tangan kiri kakek itu dan angin ini berpusing seperti angin puyuh, menyambar ke arah Kian Lee, disusul oleh sebuah tangan yang tiba-tiba “mulur” sehingga biarpun jarak antara kakek itu dan dia ada dua meter jauhnya, bahkan lebih, tangan itu masih dapat mencapainya dengan cengkeraman ke arah ubun-ubun kepalanya!

Hebat, pikir Kian Lee! Akan tetapi dia tidak menjadi gentar. Melihat betapa angin pukulan tangan kiri itu berhawa dingin, dia lalu mengerahkan tenaga Swat-im Sin-ciang dan dengan tangan kanannya dia menangkis cengkeraman itu sambil memperkuat kedudukan kuda-kuda kakinya.

“Dukkk!”

“Ehhh....?” Kakek itu mengeluarkan seruan kaget dan tangannya yang mulur tadi kini mengkeret kembali. Akibat pertemuan kedua lengan itu, cengkeraman kakek itu dapat tertangkis akan tetapi kuda-kuda kaki Kian Lee agar tergeser sedikit, tanda betapa kuatnya tenaga sinkang kakek gorila itu!

Hanya sebentar saja kakek itu terheran dan kaget karena kini tangan kanannya yang bergerak ke depan, juga mulur seperti tangan kirinya tadi. Kini tangan kanan itu didahului angin yang mengeluarkan suara mendesis-desis dan Kian Lee merasa betapa tangan yang kini menampar ke arah lehernya itu mendatangkan hawa panas membakar! Dia pun tidak mau kalah, cepat mengerahkan Ilmu Hwi-yang Sin-ciang dan kembali dia menangkis.

“Desss....!”

Pertemuan kedua lengan sekali ini lebih hebat lagi, keras lawan keras sehingga kini tubuh Kian Lee terhuyung ke belakang, akan tetapi kakek itu menjadi makin kaget dan matanya yang seperti mata monyet itu mendelik. Hampir dia tidak dapat percaya bahwa ada seorang pemuda yang berhasil menangkis serangan tangan kiri dan kanannya, dan yang juga menggunakan hawa Im-kang yang amat kuat kemudian tenaga Yang-kang yang juga amat dahsyat!

“Kau.... kau.... dari Pulau Es?” tanyanya kaget, karena dia mendengar bahwa hanya orang-orang dari Pulau Es saja yang memiliki kemampuan untuk menguasai dua macam tenaga Im dan Yang secara berselang-seling seperti itu.

Kini Hek-tiauw Lo-mo mendapatkan kesempatan untuk mengejek, “Ha-ha-ha, baru puteranya saja sudah mengejutkan orang, apalagi kalau ayahnya yang datang, agaknya si kaki buntung itu tidak ada yang berani melawannya!”

Wajah kakek gorila itu berseri dan mulutnya menyeringai memperlihatkan gigi dan taring yang menyeramkan, akan tetapi dia segera kembali bersikap lemah lembut. “Aha, kiranya kau benar putera Pendekar Siluman dari Pulau Es? Bagus, sudah lama memang aku ingin mencoba kelihaian Pulau Es.” Setelah berkata demikian, tiba-tiba kakek ini menggerakkan tubuhnya berpusing! Makin lama makin cepat tubuhnya berpusing, seperti seorang penari ballet yang mahir. Sukar sekali dilihat ke mana dia menghadap, akan tetapi tubuh yang berpusing itu mengeluarkan angin yang dahsyat, juga berpusing sehingga orang-orang yang berdekatan cepat mundur. Tubuh itu kini menerjang ke arah Kian Lee dan dari pusingan itu nampak menyambar kaki atau tangan yang mencuat dengan cepat dan dahsyat secara tiba-tiba, tidak tentu mana yang diserangnya sehingga sukar untuk dijaga.

Akan tetapi, Kian Lee adalah putera Pendekar Super Sakti. Biarpun dia maklum bahwa lawannya ini hebat bukan main kepandaiannya, bahkan lebih hebat daripada tingkat kepandaian Koksu Nepal, dan hal ini dapat diukurnya ketika dia dua kali menangkis pukulannya tadi, namun dia tidak menjadi gentar. Kian Lee adalah seorang pemuda yang tenang dan waspada, maka kini dia mempergunakan ketenangannya itu untuk membentuk benteng pertahanan yang kokoh kuat. Dia tidak bergerak, hanya diam saja penuh kewaspadaan, hanya setiap kali ada kaki atau tangan menyambar saja maka dia bergerak untuk mengelak atau menangkis dengan pengerahan seluruh tenaga, kadang-kadang tenaga Swat-im Sin-ciang, kadang-kadang tenaga Hwi-yang Sin-ciang.

Akan tetapi, kakek itu memang benar-benar hebat. Agaknya dia hendak menguras ilmu dari pemuda itu, maka dia sengaja mempermainkan Kian Lee. Hal ini dirasakan pula oleh Kian Lee yang mulai menjadi pening juga ketika kakek itu berputaran di sekeliling tubuhnya. Sukar baginya untuk menyerang dan hanya mempertahankan diri saja tentu lama-lama dia takkan dapat bertahan terus.

“Haittttt....!” Tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya mencelat ke sana-sini ketika Kian Lee mulai membalas dengan serangan-serangannya. Akan tetapi, terdengar kakek itu tertawa girang dan kakek itu menandinginya tanpa menyerang lagi, hanya mengelak ke sana-sini dengan tubuh masih berpusing. Melihat ini, sadariah Kian Lee bahwa fihak lawan akan mempelajari ilmu silatnya, maka dia lalu menyimpan kembali jurus-jurus Toat-beng Bian-kun, satu di antara ilmu silat tinggi yang dikuasai pemuda itu. Dia baru mengeluarkan beberapa jurus dari melihat betapa ilmu silatnya ini tidak akan berhasil merobohkan lawan, bahkan mungkin akan dapat dipelajari dan dicuri oleh kakek iblis ini sehingga kelak akan merugikan pihak Pulau Es.

Setelah memancing terus tanpa hasil, kakek itu menjadi jengkel juga maka dia berseru keras sekali, dari tubuhnya yang berpusing itu menyambar hawa pukulan dahsyat bukan main. Kian Lee yang sudah siap waspada itu menggunakan kedua tangannya menangkis, akan tetapi tetap saja tubuhnya terpental dan terbanting keras di atas tanah dan dia tak dapat bangkit karena kepalanya terasa pening!

“Lee-koko....!” Siang In menjerit dan cepat menubruk pemuda itu, kemudian dara ini mengembangkan payungnya, memandang kepada mereka sambil berteriak nyaring, “Kami berdua pergi!”

Ngo-ok dan Su-ok terkejut, demikian pula Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi karena benar saja, tiba-tiba dara cantik dan pemuda itu lenyap dari situ! Akan tetapi kembali Ji-ok sudah mengeluarkan suara melengking nyaring, suara lengking yang mengandung khikang amat kuatnya dan kini mereka berempat melihat betapa pemuda itu digandeng dan dibantu oleh dara itu sedang berjalan pergi meninggalkan tempat itu dengan diam-diam!

Siang In yang menyangka bahwa sihirnya sekali ini berhasil, melihat betapa orang-orang tua yang buruk rupa itu berdiri diam tak bergerak, maka dia merasa girang sekali dan menarik lengan tangan Kian Lee agar cepat-cepat pergi dari tempat itu. Setelah dia merasa aman, dia menoleh dan tidak lagi melihat mereka, hatinya lega sekali, akan tetapi tiba-tiba dia mendengar sesuatu. Dia mengangkat mukanya dan.... tujuh orang tua aneh itu kembali sudah berdiri di situ, mengurung dia dan Kian Lee!

“Ohhh.... tidak....!” Dia menjerit dan kembali dia mengerahkan sihirnya, menggerakkan payungnya yang terbuka menutupi tubuh mereka berdua sambil berseru nyaring sekali, “Kami berdua pergi!”

Kembali terdengar Ji-ok Kui-bin Nio-nio mengeluarkan suara melengking dan Siang In cepat-cepat mengajak Kian Lee pergi, dibiarkan saja oleh tujuh orang tua itu. Ketika Siang In dan Kian Lee tiba di atas lapangan rumput, kembali terdengar suara dan tujuh orang kakek itu telah mengurung mereka berdua!

“Percuma, In-moi, mereka tidak terpengaruh sihirmu“ Dengan perlahan Kian Lee berkata. Dia tahu apa yang terjadi. Sihir dari Siang In selalu dibuyarkan oleh suara lengking dari nenek bertopeng tengkorak itu yang agaknya kebal terhadap pengaruh sihir nona itu.

“Huh, kau mau lari ke mana? Kuku ibu jari tanganmu harus menjadi milikku!” Kembali Ngo-ok Toat-beng Sian-su berseru dan lengannya yang panjang menyambar Siang In yang sudah lemah dan masih pening oleh tamparan tadi, berusaha mengelak, akan tetapi dia kalah cepat dan pundaknya sudah kena dicengkeram, kemudian tubuhnya diangkat tinggi sekali oleh tangan itu sampai dia menjerit ketakutan. Kakek itu memang sudah amat tinggi, kini lengannya yang panjang itu mengangkat tubuh Siang In ke atas, tentu tingginya lebih dari tiga meter dari tanah!

“Huh!” Kini tangan kiri kakek itu sudah mencengkeram ke arah pakaian Siang In, siap untuk merobeknya karena Ngo-ok ini akan memperlihatkan kekejamannya yang luar biasa, yaitu memperkosa dara itu di depan mata semua orang begitu saja sebelum disiksa dan dicabuti kukunya, dibeset-beset kulit dagingnya sampai mati seperti biasa!

Sam-ok atau Ban Hwa Sengjin sudah mengenal kebiasaan Ngo-ok ini, maka tiba-tiba dia berkata dengan suara yang nyaring berwibawa, “Ngo-te, jangan lakukan itu! Kaulepaskan dia!”

Sejenak si jangkung itu menentang pandang mata koksu, mukanya yang sudah muram itu makin keruh dan dia seperti akan menangis, mula-mula dia seperti hendak menentang, akan tetapi akhirnya dia melemparkan tubuh Siang In.

“Brukkk....!” Dara itu merangkak mendekati Kian Lee yang masih lemah dan pening.

“Sam-ko, apa artinya sikapmu ini?” Ngo-ok menuntut dengan suara marah.

“Ha-ha-ha-ha-ha, setelah menjadi koksu, Sam-ko telah berubah rupanya! Telah menjadi lemah dan menaruh kasihan. Ha-ha-ha! Betapa lucunya, ada seorang anggauta Ngo-ok yang menaruh kasihan! Ha-ha-ha, kalau begitu memang sepatutnya disebut koksu saja!”

“Sute, jangan bicara sembarangan kau!” Tiba-tiba koksu berkata, suaranya terdengar nyaring. “Aku sama sekali tidak lemah seperti yang kalian kira! Akan tetapi aku ingin bertanya dulu, kalian berempat ini, sudah sudi datang ke sini atas undangan dan permintaanku, sebetulnya mau apakah? Apakah hanya mau mempermainkan anak yang tidak ada artinya ini? Ataukah mau membantu gerakan kami yang besar, yang kelak akan dapat mengangkat nama kita sebagai Ngo-ok sehingga nama kita menjadi termasyur dan harum sampai selama-lamanya?”

“Tentu saja kita semua ingin membantumu, Sam-te. Kalau tidak, perlu apa kita meninggalkan tempat klta yang aman dan enak!” kata Twa-ok.

“Benar, tanpa dasar itu, perlu apa aku berkeliaran ke sini?” kata pula Ji-ok.

“Ha-ha-ha, benar juga. Aku pun begitu, akan tetapi aku tetap tidak mengerti, mengapa kau melarang Ngo-te untuk bermain-main dengan gadis ini agar aku dapat menonton dengan enak!”

“Ya, pertanyaan itu harus dijawab!” kata Ngo-ok.

“Kalian tahu bahwa aku adalah seorang koksu yang memimpin pergerakan besar yang dikepalai oleh Pangeran Bharuhendra dari Nepal! Ini urusan besar, urusan negara, mengertikah kalian? Karena kita adalah orang-orang penting yang memegang puncak pimpinan, maka kita harus mementingkan urusan negara dan pergerakan lebih dulu. Urusan pribadi adalah urusan kecil dan kelak kalau sudah selesai pergerakan ini, biar Ngo-ok mau mempermainkan puteri-puteri cantik sehari sampai seratus orang, siapa peduli? Akan tetapi kalau kini dia melakukan hal itu, lalu terlihat oleh semua anak buah, apa akan kata mereka? Tentu akan merendahkan nama puncak pimpinan dan juga memberi contoh buruk sehingga akan ditiru oleh para pasukan. Kalau pasukan melakukan hal seperti itu, menuruti nafsu belaka, apa gunanya mereka dalam perang? Tentu pergerakan kita akan gagal!”

Ngo-ok bersungut-sungut, akan tetapi dia mengangguk dan tangannya mengeluarkan seuntai kuku yang bermacam-macam bentuknya, akan tetapi semua kuku yang diuntai itu adalah kuku wanita-wanita yang telah menjadi korbannya. “Sayang.... kuhitung kemarin.... empat ratus kurang satu! Kalau ditambah kukunya, genap empat ratus....“

Siang In mengkirik dan mau muntah menyaksikan kuku-kuku yang diuntai itu dan tanpa disadari dia menggenggam semua kuku jarinya, seolah-olah hendak menyembunyikan kuku-kuku itu agar jangan dicabut!

“Ha-ha-ha, omongan Sam-ko sebagai koksu memang hebat!” Si pendek gundul mengacungkan ibu jari tangan kanannya ke atas tinggi-tinggi, akan tetapi karena tubuhnya cebol, tetap saja ibu jarinya tidak mencapai perut si jangkung Ngo-ok. “Lalu, ingin sekali aku melihat bagaimana keputusan seorang koksu negara besar terhadap dua orang mata-mata musuh yang tertangkap. Ha-ha-ha, aku mendengar bahwa seorang koksu amat bijaksana dan keputusannya ditaati semua orang, adil dan memuaskan. Ha-ha-ha, yang mulia Koksu, hukuman apakah yang harus dijatuhkan kepada dua orang mata-mata ini? Ataukah mereka itu akan dibebaskan begitu saja?”

Akan tetapi Ban Hwa Sengjin tidak mempedulikan ejekan dari Su-ok itu, dan dengan sikap keren dan berwibawa dia lalu menghadapi Kian Lee yang masih menunduk pening dan Siang In yang mulai merasa ngeri menyaksikan sikap orang-orang aneh yang luar biasa lihainya itu. Ketika tadi mendengar bahwa pemuda itu adalah putera dari Pulau Es, Ban Hwa Sengjin terkejut dan dia pun tidak berani main-main. Bermusuhan dengan Pulau Es merupakan suatu hal yang amat berbahaya, pikirnya. Akan tetapi, setelah pemuda ini menentang mereka, lebih baik kalau dibunuh saja agar jangan sampai ada yang tahu dan kalau tidak ada saksinya, tentu Pendekar Super Sakti tidak akan tahu pula ke mana lenyapnya puteranya ini dan siapa yang membunuhnya! Akan tetapi, dia adalah seorang koksu, tidak bisa membunuh secara begitu saja, dan dia harus memperlihatkan wibawanya!

“Heh, kalian dua orang muda yang sudah lancang menjadi mata-mata dan menentang kami, dengarlah baik-baik keputusanku! Menurut patut, kalian memang sudah semestinya dihukum mati dan sudah patut pula kalau Ngo-ok Toat-beng Sian-su mempermainkan kalian lalu membunuh kalian. Akan tetapi, kami adalah orang-orang yang tahu akan peraturan, tahu akan hukum, maka kalian akan dijatuhi hukuman menurut aturan! Akan tetapi, tidak ada hukuman tanpa pembelaan, maka kalian kuberi kesempatan untuk menentukan hukuman kalian. Kalian boleh mengeluarkan pendapat terakhir dan kalau pendapat kalian itu tepat, hukuman kalian akan lebih ringan!”

Sampai di sini, Ban Hwa Sengjin tersenyum-senyum dan memandang kepada para saudaranya untuk melihat reaksi mereka. Empat orang saudaranya itu memandang kagum dan Siang In memandang penuh harapan, sedangkan Kian Lee masih menunduk saja.

“Orang tua, lekas katakan hukuman apa yang akan dijatuhkan kepada kami? Dan benarkah engkau ini seorang pembesar tinggi?” Siang In bertanya, bingung menyaksikan sikap mereka yang aneh-aneh itu.

Ban Hwa Sengjin tersenyum lebar. “Nona cilik, ketahuilah olehmu bahwa aku adalah Ban Hwa Sengjin, aku adalah koksu dari negara Nepal yang agung, dan bahwa keputusanku merupakan hukum yang harus dilaksanakan. Nah, kalau kalian mengeluarkan pendapat yang keliru dan tidak tepat, kalian akan kuserahkan kepada Ngo-ok Toat-beng Sian-su agar menyiksa kalian sampai mati, dan mungkin saja kuku ibu jarimu itu akan melengkapi koleksinya, Nona!” Siang In bergidik ngeri melihat wajah si jangkung itu makin muram, dan wajah si pendek terkekeh geli, sedangkan nenek muka tengkorak dan kakek gorila itu memandang seperti patung, sedikit pun tidak bergerak atau berkedip.

“Dan kalau pendapat kami benar kau akan membebaskan kami?” Siang In bertanya penuh harapan. Dia akan dapat mengandalkan kecerdikannya untuk mencari kata-kata yang benar atau tepat agar dapat selamat.

Akan tetapi dengan muka keren Ban Hwa Sengjin berkata, suaranya lantang sekali, “Mana ada aturan membebaskan orang yang bersalah? Kalau pendapat kalian benar, kalian memperoleh keringanan, yaitu bukan dihukum mati, melainkan dihukum potong hidung dan kedua telinga agar semua orang selamanya akan tahu bahwa kalian telah berani melakukan dosa terhadap Koksu Nepal!”

Mendengar ini, Su-ok Siauw-siang-cu bertepuk tangan memuji dan tertawa gembira. “Ha-ha-ha-ha-ha, kiranya Sam-ok Ban Hwa Sengjin masih mempertahankan gelarnya!”

Memang, begitu berkumpul dengan saudara-saudaranya, kumat lagilah watak Sam-ok ini. Dia mempermainkan orang, memberi harapan, akan tetapi hanya untuk di “banting” dengan keputusan hukuman yang mengerikan itu, hanya untuk membuktikan bahwa kejahatan dan kekejamannya masih belum berubah dan dia masih patut menjadi Sam-ok! Tentu saja luar biasa kejamnya menghukum orang-orang muda yang begitu tampan dan begitu cantik jelita dengan potong hidung dan telinga, hukuman yang bahkan lebih berat daripada mati! Mendengar ini, biarpun mukanya masih keruh, Ngo-ok sudah menggosok-gosok kedua tangannya yang panjang dan menjilat-jilat bibirnya yang basah karena kembali dia sudah mulai mengilar. Kini agaknya dia akan memperoleh kesempatan untuk menonjolkan kekejamannya di depan saudara-saudaranya! Dan sekali ini untuk melaksanakan “hukuman”, jadi demi negara dan pergerakan!

Mendengar ucapan Koksu Nepal itu, marahlah Suma Kian Lee. Dia masih pening dan belum dapat bangkit untuk melawan, akan tetapi dia mengangkat muka dan memandang kakek raksasa yang botak itu. “Ban Hwa Sengjin, bagus sekali omonganmu! Engkau sebagai seorang Koksu Negara Nepal telah merencanakan pemberontakan dengan Gubernur Ho-nan, siapa yang tidak tahu akan hal itu? Sekarang aku telah terjatuh ke tanganmu, mau bunuh hayo bunuhlah, siapa sih yang takut mati? Tidak perlu lagi engkau mengeluarkan segala omongan kosong!”

Akan tetapi Siang In memegang lengan pemuda itu dan cepat dia mendahului koksu itu, berkata, “Koksu, aku mendengar bahwa pangkat koksu amatlah tinggi dalam sebuah negara, dan bahwa kata-kata koksu merupakan keputusan yang harus ditaati, hampir sama kuatnya dengan kata-kata keputusan raja sendiri. Sekali seekor koksu mengeluarkan kata-kata, maka kata-katanya itu merupakan keputusan yang tidak boleh dibantah, tidak boleh ditarik mundur kembali. Pendeknya, seorang koksu berbeda dengan seekor anjing keparat yang curang dan yang suka makan tahi, bukan?” Siang In sengaja berkata-kata dengan nyaring dan panjang lebar ketika dia melihat datangnya rombongan pasukan penjaga. Itulah pasukan penjaga pintu gerbang benteng Kui-liong-pang yang tertarik oleh suara ribut-ribut dan puluhan orang perajurit kini mengepung tempat itu dan tentu saja ikut mendengarkan.

Muka Koksu Nepal itu sudah menjadi merah karena dia merasa dihina. “Bocah lancang mulut, apa maksudmu?”

“Maksudku, Koksu, bahwa seorang koksu adalah seorang yang tentu memegang kata-katanya yang dianggap lebih berharga daripada nyawa, bukan seorang yang suka menjilat kembali kata-katanya seperti anjing yang suka makan tahi. Koksu, aku hendak bertanya apakah engkau biasa suka makan tahi?”

Sepasang mata itu mendelik dan Kian Lee menjadi heran dan bingung. Akal apa yang hendak dipergunakan Siang In maka dara ini begitu nekat membakar hati koksu sedemikian rupa yang mendekati penghinaan paling besar?

“Ha-ha-ha-ha-ha! Baru ini aku mendengar seorang koksu dipermainkan bocah cilik, ditanya apakah biasa makan tahi? Hi-hik, Ngo-te, bagaimana sih rasanya tahi orang? Mungkin enak juga, ya?”

“Bocah perempuan bosan hidup, kalau kau bermaksud menghinaku....!” Ban Hwa Sengjin hampir tak dapat menahan kesabarannya lagi karena dia melihat betapa di antara para perajurit juga ada yang menutupi mulut tanda bahwa mereka juga merasa geli.

Siang In mengangkat kedua tangan ke depan. “Sabar.... sabarlah, Koksu yang mulia! Aku tidak menghina, aku hanya bertanya, karena aku pun tentu saja tidak percaya bahwa Koksu suka menjilat ludah sendiri, suka menarik janjinya sendiri. Seorang koksu negara tidak mungkin menarik kata-katanya sendiri, juga seorang locianpwe tingkat atas, baik dari dunia terang maupun gelap, kiranya akan menjaga nama dan tidak sudi menarik janjinya sendiri.”

“Sudah tentu saja tidak! Lebih baik mati daripada menarik janji sendiri!” kata koksu yang cerdik itu. “Aku berjanji, dengarkan kalian semua! Aku berjanji kepada Nona ini dan kepada pemuda ini bahwa mereka boleh mengajukan pendapat yang terakhir. Kalau pendapat mereka itu tidak tepat dan keliru atau bohong, mereka akan di jatuhi hukuman mati dan pelaksanaannya akan diserahkan kepada Toat-beng Sian-su! Sebaliknya kalau pendapat mereka itu tepat, benar dan tidak bohong, mereka akan dihukum dengan potong hidung dan kedua telinga, tidak dibunuh. Nah, kata-kataku ini siapa yang berani membangkang atau menarik kembali?”

Siang In kini bangkit berdiri, tangan kanannya masih menggandeng tangan Kian Lee yang masih duduk di atas tanah. Dengan wajah berseri dia berkata lantang, “Koksu yang terhormat, maukah engkau bersumpah bahwa engkau akan menepati janjimu?”

Ban Hwa Sengjin makin marah, mengepal tinju dan tentu dia sudah, menghantam remuk kepala anak perempuan itu di saat itu juga kalau saja tidak ada begitu banyak orang yang menonton.

“Tidak perlu sumpah, aku mempertaruhkan kedudukanku sebagai koksu dan sebagai orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok!” teriaknya berang.

“Sudahlah, In-moi, biar aku yang menyatakan pendapatku sebagai ucapan terakhir seorang gagah....”

“Sssttttt....! Kau tidak boleh bicara apa-apa, Koko. Akulah yang bertanggung jawab dan aku yang mewakili kita berdua,” kata Siang In.

Melihat dara dan pemuda itu bisik-bisik, Ban Hwa Sengjin ingin melampiaskan rasa mendongkolnya karena merasa dihina dan dipermainkan oleh dara itu. “Kami masih mempunyai banyak urusan penting, dan urusan orang-orang seperti kalian berdua adalah urusan kecil yang harus segera diselesaikan. Hayo ucapkan pendapat kalian yang terakhir. Kami memberi waktu hitungan sampai dua puluh. Su-ok, kauhitunglah!”

Kakek pendek gendut itu tertawa dan dasar orang licik bukan main, dia lalu menghitung dengan kecepatan membalap, “Satu-dua-tiga....” dan selanjutnya, akan tetapi hitungannya sedemikian cepatnya sehingga sebentar saja dia sudah menghitung sampai lima belas. Kian Lee memandang dara itu dengan jantung berdebar penuh ketegangan.

“Berhenti!” tiba-tiba Siang In berseru nyaring, “Dengarkan pendapat kami yang terakhir!”

Kakek pendek gendut itu berhenti dan suasana menjadi sunyi bukan main, sunyi yang amat menegangkan karena setiap orang seolah-olah menahan napas ingin mendengar apa yang akan menjadi pendapat atau ucapan terakhir dari dara itu. Suma Kian Lee juga menahan napas karena pemuda ini berpikir, apa artinya mengucapkan pendapat terakhir? Apa pun pendapatnya, tidak ada pilihan lain, kalau ucapan itu tepat dihukum potong hidung dan telinga, kalau tidak tepat dibunuh. Lebih baik mengatakan sesuatu yang dapat memukul atau menusuk hati mereka dan biarlah dibunuh, karena hiduppun apa gunanya kalau dipotong hidung dan telinganya? Apalagi bagi seorang dara seperti Siang In! Tiba-tiba Kian Lee merasa kasihan sekali kepada dara itu dan tak disadarinya dia menggenggam tangan dara itu lebih erat lagi. Dia tahu nasib apa yang menanti Siang In. Kalau dipotong hidung dan telinganya, dara itu akan menjadi seorang yang berubah menakutkan, dan itu lebih hebat daripada mati. Kalau dihukum bunuh, tentu akan dihina dan diperkosa lebih dulu oleh si jangkung tanpa dia mampu menolongnya. Maka dia sudah mengambil keputusan, sebelum dijatuhkan hukuman kepada dia dan Siang In, dia akan menggunakan tenaga terakhir untuk membunuh dara itu! Lebih baik dia membunuh dara itu daripada dara itu mengalami penghinaan yang hebat!.

Siang In menoleh dan memandang kepada Kian Lee karena merasa tangannya digenggam erat, dia tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya kepada pemuda itu! Bukan main! Dalam keadaan seperti itu, dara ini masih pandai bergurau! Lalu dara itu mengangkat mukanya dan berdiri tegak, lalu berkata dengan suara lantang sehingga terdengar oleh semua orang yang berada di situ.

“Koksu, dengarlah baik-baik kata-kata terakhir kami berdua yang tidak boleh diubah oleh siapapun juga, yaitu begini: Kami berdua akan dihukum mati!”

Suasana masih hening dan ketika dara itu telah mengucapkan kata-katanya yang amat singkat dan lantang itu dan semua orang saling pandang. Mengapa dara itu, hanya meninggalkan kata-kata terakhir seperti itu? Kami berdua akan dihukum mati! Cuma sebegitu, apa artinya?

“Ha-ha-ha! Jadi hanya itu yang menjadi pendapat atau pesan terakhir kalian? Bagus, memang sebaiknya begitu karena kami masih banyak urusan. Nah, Ngo-ok, engkau kuserahi tugas untuk menghukum mati mereka berdua!”

Tiba-tiba Siang In berseru. “Ah, jadi ternyata Koksu dari Nepal adalah seorang yang biasa makan tahi?”

Semua orang terkejut sekali dan Ban Hwa Sengjin terkejut dan marah. “Kau sudah mau mampus masih berani menghina orang! Dasar anak perempuan setan....!”

Sementara itu, Ngo-ok sudah meloncat ke depan, tangannya yang panjang sudah digerakkan dan pada saat itu, Kian Lee juga mengerahkan tenaganya untuk turun tangan membunuh Siang In agar jangan mengalami penghinaan.

“Dukkk!” Tiba-tiba Ji-ok Kui-bo Nio-nio menangkis lengan Ngo-ok sampai Ngo-ok menyeringai dan meloncat mundur.

“Tahan dulu!” Ji-ok Kui-bin Nio-nio berkata, “Sam-te, aku tidak ingin melihat engkau menjadi seorang pemakan tahi!”

“Eh, apa ini? Apa maksudmu?” Ban Hwa Sengjin memandang terlongong, menyangka bahwa Ji-ok itu agaknya tentu kena sihir sehingga mengulangi kata-kata Siang In. Akan tetapi Ji-ok menggeleng-geleng kepalanya.

“Sam-te, engkau sudah menjadi koksu, mengapa masih begitu kurang luas pikiranmu? Bagaimana bunyi janji tadi? Kaubilang bahwa kalau kata-kata terakhir mereka itu benar, mereka akan dihukum potong hidung dan telinga, tidak dihukum mati. Nah, dara itu bilang bahwa mereka berdua akan dihukum mati! Kalau sekarang engkau menjatuhkan hukuman mati, berarti kata-katanya itu benar! Dan kalau kata-katanya benar, dia tidak boleh dihukum mati, melainkan dihukum potong hidung dan telinga seperti janjimu. Mengapa kau hendak melanggar janjimu?”

“Ohhh....!” Koksu Nepal menjadi merah sekali mukanya dan mengangguk. “Ah, benar juga. Kalau mereka dihukum mati, ucapan gadis ini jadi benar dan mereka tidak boleh dihukum mati. Untung engkau mengingatkan aku, Ji-ci. Terima kasih! Heh, Ngo-ok, terpaksa membikin kecewa hatimu. Hayo kaulaksanakan hukuman ke dua, yaitu potong hidung dan telinga!”

Ngo-ok tentu saja kecewa sekali karena kini setelah ada puluhan orang perajurit di situ, ingin dia memperkosa gadis ini agar namanya makin tersohor, sebagai seorang paling kejam! Akan tetapi dia tidak berani membangkang perintah.

“Huh, kiranya Koksu Nepal hanya seorang yang biasa makan tahi busuk!” kembali terdengar Siang In berseru.

Ngo-ok sudah bergerak ke depan, tangannya menyambar.

“Desss....!” Kini lengannya ditangkis oleh lengan Twa-ok dan karena tenaga Twa-ok lebih hebat maka Ngo-ok yang sial itu kini terlempar dan terhuyung.

“Eh, eh apa sih salahku?” teriak orang yang sial ini.

“Sam-te, sekarang aku yang tidak ingin melihat Sam-te menjadi seorang pemakan tahi!” kata Twa-ok, seperti mengulang kata-kata Siang In sehingga sang koksu dari Nepal makin bengong terlongong.

“Apa.... apa maksudmu, Twa-ko....?”

“Sam-te, kau tidak boleh menghukum mereka dengan potong hidung dan telinga atau hukuman ke dua....!” Kakek seperti gorila itu berkata dengan suaranya yang halus. “Kalau kau melakukan itu, berarti engkau melanggar janjimu tadi!”

“Eh, mana mungkin? Kalau menjatuhkan hukuman ke satu, hukuman mati, baru namanya melanggar janji karena kata-kata mereka itu benar dan mereka tidak boleh dihukum mati, harus dihukum potong telinga dan hidung, hukuman ke dua. Bukankah kata-kata mereka itu benar dan harus dihukum yang ke dua itu?”

“Mana bisa?” bantah Twa-ok. “Mereka berkata bahwa mereka akan dihukum mati. Nah, kalau sekarang kau menjatuhkan hukuman ke dua, yaitu potong hidung dan telinga, berarti bahwa kata-kata terakhir mereka itu tidak benar. Dan menurut janji, kata-kata yang tidak benar dijatuhi hukuman mati!”

Ban Hwa Sengjin menjadi pucat wajahnya dan matanya terbelalak. “Kalau begitu hukum mati!”

“Tak mungkin! Kalau dihukum mati mereka berkata benar dan harus dihukum potong!” bantah Ji-ok.

“Kalau begitu hukum potong....!” kata pula Ban Hwa Sengjin.

“Tidak bisa! Kalau dihukum potong berarti kata-kata mereka bohong dan untuk itu mereka harus dihukum mati!”

Ban Hwa Sengjin menjatuhkan dirinya di atas batu dan memegangi kepala dengan kedua tangan, bingung sekali. Dihukum mati salah, dihukum potong pun salah! Sementara itu, Kian Lee memandang kepada Siang In dengan penuh kekaguman. Tak disangkanya bahwa dara ini benar-benar memiliki kecerdikan yang amat hebat! Dalam keadaan berbahaya seperti itu, dalam waktu sesingkat itu, dapat menemukan akal yang demikian luar biasa, agaknya tidak masuk di akal akan tetapi memang benar dan tepat! Dengan akal itu, Ban Hwa Sengjin dibikin mati kutu, tidak berdaya karena hukuman apa pun yang dijatuhkannya, berarti dia melanggar janji dan.... makan tahi! Empat orang dari Im-kan Ngo-ok juga bengong dan penuh kagum, juga Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, demikian pula puluhan orang perajurit itu bengong, ikut memikirkan.

Siang In tersenyum. “Boleh kaupikirkan lagi, Koksu. Kami kini bebas, kecuali kalau kau mau makan tahi lebih dulu!” Setelah berkata demikian, Siang In menarik tangan Kian Lee dan diajak pergi dari tempat itu dengan sikap tenang sekali. Dan lima orang Im-kan Ngo-ok yang ditakuti oleh semua orang dunia hitam itu hanya memandang dengan bengong saja tanpa mampu berbuat sesuatu! Bahkan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi juga tidak berani berkutik karena kalau mereka turun tangan mencegah, sama halnya dengan mendorong Koksu Nepal untuk “makan tahi” yang berarti menjadi anjing penjilat janjinya sendlri! Tentu saja pasukan yang mendengar semua itu pun tidak ada yang berani bergerak tanpa perintah koksu.

Setelah pemuda dan dara itu pergi jauh dan tidak nampak lagi, barulah terdengar Ngo-ok Toat-beng Sian-su mengomel, “Inilah kalau Sam-ok berubah menjadi pembesar negeri yang menjaga nama dan kehormatan! Rugi kita! Ru-gi....!”

“Ha-ha-ha, gadis itu otaknya cerdas sekali! Ha-ha-ha, Sam-ko yang terkenal cerdik masih kena diakalinya! Ha-ha-ha!” Si gendut pendek terpingkal-pingkal geli. Memang watak lima orang Ngo-ok ini luar biasa sekali. Girang kalau melihat orang lain menderita! Agaknya memang mereka itu sengaja melakukan hal-hal yang paling buruk di dunia ini agar sesuai dengan julukan mereka sebagai Si Jahat dari Akhirat!

Muka koksu sebentar pucat sebentar merah, kedua tangannya mengepal dan sepasang matanya beringas, akan tetapi di hadapan sekian banyaknya orang, tentu saja dia tidak sudi dianggap anjing penjilat janjinya kembali! Apalagi, dia adalah seorang yang amat cerdik. Mendengar bahwa pemuda itu adalah putera Pendekar Super Sakti, dia juga harus hati-hati dan biarlah dia mendapat malu sedikit karena diakali gadis itu, akan tetapi hitung-hitung dia membebaskan putera Pendekar Super Sakti dan mencegah munculnya seorang musuh yang menggiriskan hatinya.

“Sudahlah! Salahku sendiri, juga bocah-bocah itu dibunuh atau tidak pun apa sih artinya bagiku? Mari kita ke lembah, ada urusan lebih penting yang harus kita selesaikan!”

Maka pergilah tujuh orang kakek sakti itu diikuti oleh pasukan memasuki lembah kembali dengan hati mendongkol.

Sementara itu, Kian Lee yang hanya nanar dan lemas seketika, akan tetapi tidak sampai terluka parah, dalam waktu tidak lama pun sudah pulih kembali kesehatannya. Mereka berdua merasa lega bahwa para kakek sakti itu tidak melakukan pengejaran, dan Kian Lee seperti masih belum dapat mempercayai bahwa mereka dapat lolos dari bahaya sedemikian mudahnya.

Kian Lee berhenti dan berkata kepada Siang In sambil memandang penuh kagum, “Adik Siang In yang hebat! Sungguh masih sukar aku untuk dapat percaya betapa dengan mudahnya kita dapat terlepas dari bahaya maut! Dan hampir aku tidak percaya bahwa, engkau yang begini muda dapat mengakali orang-orang sakti seperti mereka itu. Dalam waktu sedemikian singkatnya engkau telah memperoleh akal yang demikian mengagumkan!”

Siang In tersenyum, senang hatinya dipuji seperti itu tentu saja! Akan tetapi dia seorang dara yang jujur, maka dia menahan ketawanya dan berkata, “Ah, Lee-koko, siapa sih yang pintar? Aku sama sekali tidak pintar, hanya koksu itu yang tolol!”

“In-moi, akalmu itu benar-benar hebat dan menandakan bahwa engkau memang pintar sekali, mengapa merendahkan diri? Dengan akalmu itu, memang koksu menjadi tak berdaya dan mati kutu sama sekali, karena menjatuhkan hukuman kepada kita dengan cara apa pun, tetap saja berarti dia melanggar janji. Bukan main!”

“Hi-hik, memang demikianlah, Koko. Akan tetapi itu sama sekali bukanlah akalku, karena aku hanya menirunya dari dongeng kuno yang pernah kubaca! Jadi bukan akalku, melainkan akal kuno yang pernah dipergunakan orang untuk menyelamatkan diri dari hukuman seorang raja lalim yang menjatuhkan peraturan hukuman yang seperti itu.”

“Ah, begitukah?” Kian Lee terheran.

Siang In tertawa. “Itulah hasilnya orang suka membaca, asalkan bukan sembarangan membaca, melainkan memperhatikan isinya dengan seksama. Dari bacaan itu kita dapat memperoleh banyak manfaatnya, Koko. Koksu itu saja yang tolol tidak mengenal akal kuno yang kupergunakan, hi-hik!”

Suma Kian Lee tertawa juga, mentertawakan kebodohan koksu, akan tetapi diam-diam makin kagum kepada dara ini yang sudah memperlihatkan ketabahan dan kecerdikan luar biasa, yang telah berhasil menyelamatkan nyawa mereka, akan tetapi tidak menjadi sombong, sebaliknya malah membuka rahasia kecerdikannya dengan jujur bahkan kecerdikannya itu hanyalah meniru dari akal dalam dongeng kuno belaka!

Akan tetapi kegembiraan segera mereda ketika dia teringat akan peristiwa tadi dan melihat betapa gawatnya keadaan. Agaknya Koksu Nepal itu telah mengumpulkan orang-orang pandai di lembah itu! “In-moi, aku harus menyelidiki keadaan di lembah! Aku harus tahu apa yang sedang diiakukan oleh koksu itu....“

”Ah, hal itu berbahaya sekali, Lee-ko! Baru empat orang teman koksu tadi saja sudah memiliki kepandaian yang amat mengerikan, dan di sana terdapat banyak pula pasukan anak buah koksu. Mana mungkin engkau seorang diri akan dapat menghadapi mereka semua!” Siang In memandang khawatir, tidak lagi bersendau-gurau mendengar niat pemuda itu yang hendak menyelidiki sarang dari koksu yang lihai dan dibantu oleh banyak orang pandai itu.

“Aku bukan bermaksud melawan mereka, In-moi, melainkan hendak menyelidiki keadaan mereka, kemudian aku harus segera melaporkan ke kota raja. Sudah menjadi kewajibanku untuk mencegah bahaya yang mengancam kota raja. Agaknya ada apa-apa di lembah itu, agaknya koksu sedang merencanakan gerakan besar yang berbahaya bagi kota raja.

“Kalau begitu memang baik sekali, Lee-ko, akan tetapi aku ikut!”

“Baru saia kau terlepas dari ancaman bahaya dahsyat, Siang In, moi-moi, lebih baik kau jangan ikut, terlalu berbahaya bagimu.”

Siang In mengerutkan alisnya. “Biarpun aku bodoh, kiranya sedikit banyak aku akan dapat membantumu, Lee-ko, dan dengan pergi dua orang, kalau ada bahaya kita dapat saling membantu, bukan?”

Kian Lee tidak dapat membantah atau melarang lagi, apa pula kalau diingat bahwa andaikata tidak ada Siang In di waktu dia menghadapi para kakek sakti tadi, tentu dia telah tewas. “Baiklah, In-moi. Kita pergi berdua, karena memang aku pun hanya hendak menyelidiki keadaan luarnya saja. Akan tetapi kita harus berhati-hati sekali karena sekali lagi kita bertemu dengan mereka, kiranya mereka tidak akan mau membiarkan kita lolos lagi.”

Siang In menjadi gembira, sekali. Timbul kembali kenakalan dan kejenakaannya. “Wah, kalau cuma menghadapi tua bangka-tua bangka tolol macam itu saja, aku menyimpan banyak macam akal untuk mengelabui mereka, Lee-ko!”

“Akal dari dongeng kuno?”

Siang In terkekeh dan menutupi mulutnya sehingga terpaksa Kian Lee juga tersenyum. Dekat dengan seorang dara seperti Siang In ini, tidak mungkin orang dapat berdiam diri saja tanpa ketularan kegembiraannya. Maka berangkatlah dua orang itu dengan hati-hati, menyelinap dan bersembunyi-sembunyi, menuju ke benteng lembah untuk menyelidiki keadaan benteng itu.

***

Pangeran Liong Bian Cu girang bukan main ketika melihat munculnya Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi membawa dua orang tawanan, yaitu Kian Bu dan Hwee Li! Akan tetapi dia tidak melihat adanya burung garuda, maka pangeran ini merasa khawatir dan bertanya, “Bagus, Ji-wi telah berhasil menangkap merekea kembali. Akan tetapi di mana adanya burung garuda itu?”

Hek-tiauw Lo-mo mengerutkan alisnya dan berkata dengan suaranya yang parau, “Celaka, anak durhaka ini telah melukainya dan sekararg saya membiarkan burung itu mengobati lukanya sendiri dan beristirahat di hutan, di luar benteng.”

Keterangan itu melegakan hati Pangeran Liong Bian Cu dan dia menghampiri Hwee Li dengan wajah berseri. “Sayang, beruntung sekali engkau dapat bebas dari mata-mata ini!”

Akan tetapi Hwee Li cemberut dan Hek-tiauw Lo-mo lalu berkata, “Bocah ini kalau dibiarkan terlalu bebas bisa berbahaya, Pangeran. Maka sebaiknya kuatur penjagaan di sekitar kamar dia dan sang puteri sekarang juga.”

“Dan saya mohon ijin untuk membunuh pemuda yang telah melukai saya ini! Saya terluka oleh pukulannya dan setelah dia sekarang tertawan, hati saya tidak akan pernah puas sebelum membalas dendam ini dengan nyawanya!” kata Hek-hwa Lo-kwi yang memegang lengan Kian Bu atau Siluman Kecil yang terbelenggu.

Pangeran Liong Bian Cu memang merasa agak jerih kepada Siluman Kecil, apalagi mendengar bahwa pemuda rambut putih ini adalah putera Pendekar Super Sakti, maka dia tidak berani sembarangan. Sekarang, mendengar bahwa Hek-hwa Lo-kwi hendak membunuhnya karena dendam pribadi, berarti dia bebas dari pemuda yang ditakutinya itu.

“Kalau engkau mau membunuhnya karena urusan pribadimu, terserah, Lo-kwi. Akan tetapi harus kaubereskan juga agar tidak ada bekas-bekasnya!”

Hek-hwa Lo-kwi tertawa. “Ha-haha, jangan khawatir, Pangeran!”

Pada saat itu, sang pangeran sedang menjamu saudara misannya, yaitu Liong Tek Hwi dan Kim Cui Yan. Ketika dua orang ini melihat betapa Siluman Kecil menjadi tawanan, mereka terkejut bukan main. Mereka pernah diselamatkan oleh pemuda rambut putih itu, maka kini melihat betapa pemuda itu tertawan dan akan dibunuh, tentu saja mereka terkejut.

“Kanda Pangeran, jangan bunuh dia!” Tiba-tiba Liong Tek Hwi berseru dan bangkit dari tempat duduknya. “Dia adalah Siluman Kecil, pendekar ternama....”

Liong Bian Cu tersenyum. “Benar, adikku, dia adalah Siluman Kecil, akan tetapi dia adalah juga putera Pendekar Siluman, dan dia adalah cucu kaisar, dan dia adalah mata-mata yang menyelidiki ke benteng kita! Sekarang, dia telah membikin sakit hati kepada Locianpwe Hek-hwa Lo-kwi ini, maka terserah kepada Lo-kwi kalau hendak membunuhnya!”

Bukan main herannya hati kedua orang murid Kim-mouw Nio-nio mendengar bahwa Siluman Kecil adalah cucu kaisar dan putera Pendekar Siluman dari Pulau Es. Akan tetapi selagi mereka tercengang, Kian Bu sudah berkata kepada mereka dengan nada tidak senang, “Hemmm, melihat bahwa kalian adalah sekutu dari pangeran pemberontak ini, aku tidak sudi kalian bela!”

Dan Hek-hwa Lo-kwi sudah cepat mendorongnya pergi dari situ bersama Hek-tiauw Lo-mo yang juga memegang lengan tangan Hwee Li dan setengah menyeret dara itu meninggalkan ruangan. Pangeran Liong Bian Cu tertawa dan minum araknya kemudian memperkenalkan dua orang kakek yang baru saja pergi itu kepada saudara misannya. Kemudian dia menambahkan, “Kaulihat gadis itu tadi, adikku? Aku.... aku mengambil keputusan untuk menikah dengan dia.”

Sementara itu, Kim Cui Yan sejak tadi bengong saja memandang ke arah perginya Hwee Li. Melihat wajah Hwee Li, Kim Cui Yan merasa seperti pernah mengenal dara cantik berpakaian hitam itu, akan tetapi biarpun dia mengingat-ingatnya, tetap saja dia tidak dapat mengingat kapan dia pernah mengenal dara itu. Hal ini tidak mengherankan karena wajah Hwee Li memang mirip benar dengan wajah mendiang ibu kandungnya, dan di waktu dia berusia kurang lebih lima enam tahun, Kim Cu Yan tentu saja sering melihat ibu tirinya, yaitu Ibu kandung Hwee Li yang menjadi selir ayahnya! Jadi, bukan Hwee Li yang pernah dikenalnya, melainkan ibu kandung dari dara baju hitam itu.

Seperti dapat kita duga, Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang baru datang menghadap Pangeran Liong Bian Cu di sore hari itu dan membawa Kian Bu dan Hwee Li sebagai tawanan, sebetulnya bukan lain adalah Hek-sin Touw-ong si Raja Maling bersama muridnya, Ang-siocia atau Kang Swi Hwa! Dengan penyamaran mereka yang tepat sekali, bahkan Pangeran Liong Bian Cu yang cerdik itu pun sama sekali tidak mengenal mereka. Saking girangnya melihat Hwee Li dapat kembali, pangeran itu tidak menaruh curiga akan sikap tergesa-gesa dari dua orang kakek iblis itu yang tidak mau lama-lama berhadapan dengan dia.

“Kakanda Pangeran!” Liong Tek Hwi berkata lagi, “Kuharap engkau tidak membiarkan Siluman Kecil dibunuh karena ketahuilah bahwa dia pernah menyelamatkan nyawaku dan Sumoi. Tidak mungkin aku berdiam lebih lama lagi di sini kalau dia dibunuh sepengetahuanku. Harap kau memaklumi perasaan kami ini!” Pemuda berkulit putih itu sudah bangkit berdiri, diturut oleh sumoinya.

Pangeran Liong Bian Cu mengangguk-angguk. “Baiklah, biar kusuruh pengawal memberi tahu kepada Lo-kwi agar pemuda itu ditahan saja dulu dan jangan dibunuh sekarang.” Pangeran Liong Bian Cu bertepuk tangan dan muncullah seorang Panglima Nepal dan pangeran itu lalu memberi perintah dengan cepat dalam bahasa Nepal. Orang yang berkulit coklat kehitaman itu berlutut dengan kaki kanan, lalu membalikkan tubuh dan berjalan cepat meninggalkan ruangan itu untuk menyusul Hek-hwa Lo-kwi dan menyampaikan perintah majikannya.

Sementara itu, setelah berhasil menipu Pangeran Liong Bian Cu, empat orang itu, ialah Ang-siocia yang menyamar sebagai Hek-tiauw Lo-mo, si Raja Maling yang menyamar sebagai Hek-hwa Lo-kwi, dan kedua orang “tawanan” mereka, yaitu Kian Bu dan Hwee Li, cepat meninggalkan ruangan itu dan dengan Hwee Li bertindak sebagai penunjuk jalan, pergilah mereka ke ruangan belakang!

Sementara itu, cuaca di luar sudah mulai gelap dan tergesa-gesa empat orang itu menuju ke ruangan di mana keluarga Kao ditahan. Karena di tempat ini terdapat banyak penjaga, maka kembali Hwee Li dan Kian Bu pura-pura menjadi tawanan yang dikawal oleh dua orang kakek itu sehingga para penjaga tidak menaruh curiga apa-apa.

Ketika melihat betapa banyaknya keluarga Kao yang berada di dalam tahanan itu, Kian Bu terkejut bukan main, demikian pula Ang-siocia dan gurunya. Mana mungkin menyelamatkan begitu banyak orang dari tempat sekuat benteng itu? Akan tetapi mereka telah berhasil menyelundup masuk, maka harus mencari jalan untuk menyelamatkan mereka, dan Siluman Kecil sudah mencari-cari dengan pandang matanya ke dalam ruangan tahanan di balik pintu jeruji besi itu.

“Mana puteri....?” bisiknya tanpa menggerakkan bibir kepada Hwee Li sehingga yang dapat mendengar hanya Hwee Li seorang. Hwee Li lalu memberi isyarat kepada Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi palsu yang segera membawa mereka pergi dari situ. Para penjaga tidak ada yang menaruh curiga. Mereka sudah mengenal watak aneh dari dua orang kakek iblis itu, apalagi Hektiauw Lo-kwi adalah ketua dari Kui-liong-pang, pemilik tempat itu. Mereka hanya menduga bahwa tawanan baru yang berambut putih itu tentu sengaja disuruh melihat keluarga Kao yang ditawan. Dan ketika di antara mereka ada yang mengenal pemuda rambut putih itu sebagai Siluman Kecil, mereka hanya dapat memandang heran dan setelah empat orang itu pergi, bisinglah tempat itu karena mereka berbisik-bisik bahwa Siluman Kecil yang selama ini menggemparkan daerah lembah Huang-ho, kini telah menjadi tawanan pula!

“Lekas bawa kami kepada sang puteri....“ bisik Kian Bu setelah menjauhi tempat itu. “Kita harus tolong sang puteri, sedangkan keluarga Kao sedemikian banyaknya.”

“Kalau bisa menolong mereka seorang satu saja sudah baik,” kata Ang-siocia.

“Tunggu aku mencoba untuk mengeluarkan seorang di antara mereka, agaknya putera Jenderal Kao itu lebih baik diselamatkan dulu agar dia dapat membantu kita, kata Hek-sin Touw-ong.

“Nanti dulu,” cegah Hwee Li. “Bisa menimbulkan kecurigaan kalau membebaskan mereka, apalagi kurasa tidak akan ada di antara mereka yang mau dibebaskan kalau tidak semua. Lebih baik kita membebaskan Puteri Syanti Dewi lebih dulu, lalu kita membikin kacau agar penjagaan itu bubar....!

“Aku sudah siap dengan bahan bakar!” tiba-tiba Hek-sin Touw-ong berkata sambil mengeluarkan bungkusan dari dalam saku bajunya. Memang kakek ini selalu mempersiapkan segala sesuatu, seperti seorang tukang sulap.

Dengan hati-hati Hwee Li lalu mengajak mereka menuju ke kamar sang puteri yang berada di sebelah dalam, di samping kiri bangunan induk yang menjadi tempat tinggal pangeran. Akan tetapi, dari jauh saja sudah nampak bahwa tempat itu terjaga oleh Mohinta dan anak buahnya, dibantu pula oleh belasan orang perajurit Nepal karena puteri itu merupakan seorang tawanan penting bagi negara Nepal! Adapun Mohinta sendiri tidak pernah mau meninggalkan wanita yang dicintanya ini.

“Harap kalian tinggal di sini, biar aku dan ayahku ini saja yang masuk,” kata Hwee Li berbisik kepada Kian Bu dan Hek-hwa Lo-kwi. Melihat kedatangan empat orang itu, para penjaga sudah memandang dengan penuh perhatian, terutama sekali kepada Kian Bu karena tentu saja mereka tidak menaruh curiga apa-apa terhadap Hwee Li dan dua orang kakek iblis itu. Biarpun demikian, andaikata tidak bersama Hwee Li, dan seorang di antara dua orang kakek iblis itu yang masuk sendiri, tentu para penjaga itu akan melarangnya. Akan tetapi tidak ada yang berani melarang Hwee Li karena dara ini adalah calon isteri sang pangeran! Maka dengan tenang saja Hwee Li masuk ke dalam rumah itu bersama “ayahnya” yang berjalan dengan gagah. Tidak ada yang tahu betapa di sebelah dalam Hek-tiauw Lo-mo ini Kang Swi Hwa mengeluarkan keringat dingin dan panas karena selain tegang, dia juga merasa gerah sekali dalam penyamarannya itu, dan mukanya yang ditambal penyamaran itu terasa gatal, kakinya yang memakai ganjal terasa kaku dan sakit-sakit!

“Hwee Li....!” Puteri Syanti Dewi berseru girang dan lari menyambut lalu merangkul Hwee Li ketika dara ini memasuki kamarnya. “Ah, betapa girangku melihatmu.... akan tetapi....“ Puteri itu mundur kembali ketika melihat Hek-tiauw Lo-mo muncul di belakang dara baju hitam itu. Dia merasa takut sekali kalau melihat Hek-tiauw Lo-mo yang sudah lama dikenalnya itu, semenjak perantauannya yang pertama beberapa tahun yang lalu dan dia sudah tahu benar betapa jahatnya iblis tua yang menjadi ayah dari Hwee Li ini. Melihat ini, Hwee Li tersenyum dan memegang tangan puteri itu.

“Jangan takut, Bibi Syanti Dewi, dia ini adalah seorang sahabat baik, seorang gadis cantik yang menyamar sebagai Hek-tiauw Lo-mo untuk menolongmu.”

“Maafkan kalau saya mengejutkan anda, Puteri. Sudah lama mendengar akan kecantikan anda, dan ternyata anda seperti bidadari....“ kata Ang-siocia atau Kang Swi Hwa dengan suara biasa yang merdu dan halus.

Syanti Dewi terkejut dan juga girang, di samping rasa herannya bagaimana seorang gadis dapat menyamar sebagai seorang kakek raksasa seperti Hek-tiauw Lo-mo. “Akan tetapi, bagaimana kita dapat....” tanyanya ragu.

“Jangan khawatir, di luar ada Siluman Kecil atau Suma Kian Bu dan juga Hek-sin Touw-ong yang akan membantu kita.”

“Suma Kian Bu....?” Wajah puteri itu agak berubah ketika mendengar nama ini, nama seorang pemuda yang takkan pernah dilupakannya selama hidupnya, pemuda yang selalu menimbulkan rasa iba di hatinya kalau dia teringat, karena dia tahu betapa pemuda perkasa itu amat mencintanya dan cintanya itu terpaksa ditolaknya sehingga dia menghancurkan hati pemuda itu. Seorang pemuda perkasa yang sudah berkali-kali menolongnya, putera dari Pulau Es, dan amat mencintainya, namun terpaksa ditolaknya karena cintanya hanya untuk Tek-Hoat seorang!

Hwee Li tidak tahu akan rahasia antara sang puteri dan Siluman Kecil, maka dia hanya mengira bahwa Syanti Dewi girang mendengar nama itu karena tentu saja puteri ini sudah mengenalnya. “Marilah, Bibi, sekarang juga kita pergi. Kita tidak banyak waktu....” Hwee Li memegang tangan puteri itu dan menariknya bersama Hek-tiauw Lo-mo lalu keluar dari dalam kamar itu.

Para penjaga dan juga para pengawal Bhutan yang berada di situ tidak menaruh curiga melihat sang puteri keluar bersama Hwee Li, karena memang antara dua orang wanlta cantik ini terdapat persahabatan yang amat akrab. Akan tetapi, baru saja tiga orang ini keluar dari kamar dan Kian Bu berdiri seperti terpesona ketika melihat sang puteri, sebaliknya Syanti Dewi juga memandang pemuda itu dengan mata terbelalak saking kagetnya menyaksikan perubahan pada diri Kian Bu, terutama rambutnya, selagi mereka saling pandang dengan penuh perasaan terharu, tiba-tiba datang seorang pengawal bangsa Nepal yang menghampiri Hek-hwa Lo-kwi palsu.

“Pangcu, atas perintah dari pangeran, tawanan ini agar dibawa kembali ke sana, tidak boleh dibunuh dulu.”

Hek-sin Touw-ong yang menyamar sebagai Hek-hwa Lo-kwi terkejut. “Eh, ada urusan apakah?” tanyanya cemas.

“Entahlah, akan tetapi pangeran mengutus saya untuk memberi tahu kepada Pangcu agar tawanan ini dibawa kembali ke sana.”

Hek-sin Touw-ong menjadi bingung dan hatinya merasa tidak enak sekali. Orang macam Pangeran Nepal itu bukanlah orang sembarangan dan tentu memiliki kecerdikan luar biasa. Hal ini dapat dilihatnya ketika dia tahu melihat sepasang mata Pangeran Nepal itu. Mengelabuhi orang seperti itu dengan penyamarannya memang mungkin dapat, akan tetapi hanya sekelebatan saja. Kalau dia harus menghadap dan banyak bicara dengan pangeran itu, tentu penyamarannya akan dikenal. Apalagi kalau Siluman Kecil diserahkan kepada pangeran itu, tentu akan berbahaya malah. Dalam keadaan bingung dia menengok ke arah Hek-tiauw Lo-mo palsu. Dia mengandalkan kecerdikan muridnya ini. Akan tetapi, berada di tempat asing itu dan menghadapi banyak orang pandai, bahkan Ang-siocia yang biasanya cerdik itu menjadi bingung dan khawatir. Dalam keadaan seperti itu Hwee Li yang cepat berkata. “Dia ini musuh besar kami, harus dibunuh! Dan kami akan mengajak sang puteri untuk menyaksikan pelaksanaan pembunuhan terhadap musuh besar ini! Mari, Bibi Syanti!” Dia menggandeng tangan puteri itu dan memberi isyarat kepada Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi untuk cepat pergi dari situ. Hek-hwa Lo-kwi lalu mendorong tubuh Siluman Kecil yang dibelenggunya itu ke depan dengan kasar.

Para penjaga menjadi bingung, juga utusan orang Nepal ltu menjadi bingung. Dia merasa ragu-ragu untuk memaksa Hek-hwa Lo-kwi yang menjadi pangcu (ketua) dari Kui-liong-pang dan sebenarnya adalah tuan rumah di lembah itu. Juga dia tahu baik bahwa Hek-tiauw Lo-mo adalah seorang tokoh pembantu dari majikannya, sedangkan Hwee Li adalah tunangan sang pangeran dan puteri itu adalah Puteri Bhutan, seorang tamu agung,!

Akan tetapi baru saja lima orang itu bergerak, Mohinta yang sejak tadi memandang dan mendengarkan saja sudah berteriak, “Tahan!” Dia meloncat maju menghadang.

“Mohinta, manusia pengkhianat!” bentak Syanti Dewi penuh kebencian. Dia sudah tahu akan kehadiran Mohinta di tempat itu dan dia amat benci kepada Panglima Bhutan ini yang menurut Hwee Li telah berniat memberontak dan bersekutu dengan orang Nepal. “Engkau mau apa? Minggir!”

Akan tetapi Mohinta tersenyum dan menggeleng kepala. “Lekas kau melapor kepada Sang Pangeran Bharuhendra!” teriak Mohinta kepada pengawal Nepal tadi, lalu dia menghadapi lima orang itu. “Sebelum ada keputusan dari sang pangeran, kalian berlima tidak boleh meninggalkan tempat ini!” Mohinta memang cerdik sekali. Tentu saja dia tahu bahwa Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi adalah dua orang tokoh besar yang sakti dan yang menjadi pembantu-pembantu Pangeran Bharuhendra atau Liong Bian Cu. Akan tetapi melihat betapa mereka hendak membawa pergi Syanti Dewi, dia merasa curiga dan tidak mau memperkenankan mereka membawa pergi sang puteri begitu saja. Dia sampai berada di situ adalah demi sang puteri ini, maka tidak boleh orang membawanya pergi di luar pengawasannya.

Melihat orang Nepal tadi kini membalik dan berlari cepat menuju ke tempat tinggal Pangeran Liong Bian Cu yang seperti istana di tengah-tengah lembah itu, terkejutlah Hwee Li. “Cepat!” serunya dan dia sudah menerjang Mohinta. Panglima Bhutan ini terkejut dan berusaha mengelak, akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo palsu telah menendang sehingga dia roboh terguling! Hwee Li cepat menyambar tangan Syanti Dewi dan diajaknya berlari menuju ke pintu belakang lembah. Gegerlah keadaan di situ, apalagi setelah Mohinta meloncat bangun kembali dan berteriak-teriak dengan suara keras, “Tangkap pemberontak! Kepung! Tahan, mereka hendak melarikan Sang Puteri Bhutan dan tawanan!”

Para pengawal maju mengepung dan menghadang. Melihat ini, Siluman Kecil menggerakkan kedua tangannya dan patahlah belenggu tangannya. Para pengawal mengeroyok dan terjadilah pertempuran. Terdengar pengawal memukul tanda bahaya dan keadaan menjadi makin geger! Dengan mudah saja Siluman Kecil, Hwee Li, Ang-siocia, Hek-sin Touw-ong dan juga Puteri Syanti Dewi sendiri yang membantu merobohkan para pengawal itu. Akan tetapi kini nampak puluhan orang pengawal dan perajurit datang berlarian, juga anak buah Kui-liong-pang dan muncul orang-orang pandai seperti Hwai-kongcu Tang Hun dan tiga orang pembantunya yang lihai, yaitu Hak Im Cu, Ban-kin-kwi Kwan Ok, Hai-liong-ong Ciok Gu To dan masih banyak lagi para pembantu Pangeran Nepal yang datang berlarian ke tempat itu.

“Cepat kita lari!” Hwee Li berseru sambil menyambar tangan Syanti Dewi dan mereka semua sudah melarikan diri dikejar oleh puluhan orang pengawal.

Akan tetapi suata tanda bahaya itu telah menggerakkan para penjaga di sebelah belakang dan kini ke manapun mereka melarikan diri, selalu mereka dihadang oleh puluhan orang, bahkan mulai nampak pasukan dengan teratur sekali menjaga dan menghadang semua jalan.

“Celaka! Suhu, lekas lepas api!” teriak Ang-siocia sambil mengamuk ketika kembali mereka sudah dikeroyok.

Hek-hwa Lo-kwi palsu, yaitu penyamaran Hek-sin Touw-ong, cepat meloncat ke atas genteng dan dari situ dia melemparkan empat buah benda ke empat penjuru. Terdengar ledakan-ledakan disusul oleh berkobarnya api yang membakar rumah-rumah yang dilempari bahan peledak itu. Suasana menjadi makin kacau-balau dan lima orang itu kembali dikepung dan dikeroyok. Akan tetapi, para anggauta Kui-liong-pang tidak ada yang berani mengeroyok ketua mereka! Dan juga banyak orang tidak berani menghadapi Hek-tiauw Lo-mo, apalagi menyerang Hwee Li yang menjadi tunangan sang pangeran. Maka pengepungan itu hanya untuk mencegah mereka melarikan diri saja, dan hanya Siluman Kecil saja yang dikeroyok oleh banyak orang. Akan tetapi justeru ini yang mencelakakan para pengeroyok karena setiap gerakan pemuda ini pasti merobohkan beberapa orang sekaligus.

Hwee Li juga dikepung dan dara ini mengamuk dengan hebat. Karena gugup maka dara ini tidak tahu bahwa sebetulnya, kalau dia tidak bergerak, tidak akan ada orang yang berani menyerangnya! Akan tetapi karena dia mengamuk, maka para pengepung itu bergerak hanya untuk membela diri saja. Dara ini lupa bahwa sebetulnya tidak mungkin ada seorang pun di antara mereka yang berani melukai kekasih dan tunangan Pangeran Nepal!

Syanti Dewi yang tadinya mendapatkan harapan untuk lolos dari tempat itu, kini begitu melihat bahaya, tidak mau tinggal diam. Selama dia berkumpul dengan Hwee Li di tempat itu, dia telah mempelajari ilmu silat dari dara ini sehingga dia telah memperoleh kemajuan. Maka ketika melihat beberapa orang anak buah Mohinta berusaha menangkapnya, dia pun mengamuk dan kaki tangannya telah merobohkan beberapa orang.

Pengeroyokan menjadi makin rapat, sungguhpun keadaan amat kacau oleh kebakaran-kebakaran itu. Tiba-tiba Syanti Dewi menjerit dan ketika Hwee Li menoleh, ternyata puteri itu telah dipeluk oleh Mohinta. Kiranya Mohinta yang cerdik ini telah menyelinap dengan diamdiam, dan ketika melihat kesempatan selagi Syanti Dewi mengamuk, dia sudah menubruk dari belakang dan merangkul puteri itu.

“Keparat, lepaskan Bibi Syanti!” Hwee Li membentak dan menerjang maju, akan tetapi dia cepat menahan gerakannya dan meloncat mundur dengan muka pucat ketika melihat betapa Mohinta menodongkan pisau runcing ke leher Syanti Dewi.

“Mundur kau! Atau kubunuh dia!” bentak Mohinta yang cerdik. Melihat ini, tentu saja Hwee Li menjadi pucat dan dia menjadi marah, lalu mengamuk dan sekaligus merobohkan empat orang pengepung.

“Kita gagal! Lari....!” Hwee Li berteriak karena maklum bahwa dia tidak mungkin dapat menolong Syanti Dewi dan kini paling perlu adalah menyelamatkan diri lebih dulu.

Akan tetapi hampir saja Hwee Li celaka ketika Hwa-i-kongcu Tang Hun yang sudah tiba di situ menubruk dari samping. Pemuda yang menjadi ketua Liong-sim-pang ini memang lihai bukan main. Biarpun Hwee Li dapat mengelak, akan tetapi karena dara ini baru saja mengamuk dan mencurahkan perhatian kepada empat orang yang dirobohkan itu, elakannya kurang cepat dan tangannya yang kiri dapat dicengkeram oleh Hwai-kongcu! Hwee Li mengerahkan tenaga meronta, akan tetapi cengkeraman itu seperti jepitan baja yang amat kuat dan Hwa-i-kongcu tersenyum menyeringai sambil berkata, “Nona, sang pangeran akan berterima kasih kalau aku dapat menahanmu sehingga tidak sampai melarikan diri....“

“Wuuuttttt, desss....!” Tubuh Hwai-kongcu terlempar dan bergulingan. Dia dapat meloncat bangun lagi, kepalanya nanar. Untung dia tadi masih menangkis ketika mendengar sambaran angin dahsyat dari kiri. Ternyata Siluman Kecil sudah menerjangnya tadi untuk menolong Hwee Li dan akibat dari tangkisannya itu, dia sampai terlempar dan pandang matanya berkunang, kepalanya menjadi pening. Tang Hun terkejut setengah mati, tidak mengira bahwa sedemikian ampuh dan dahsyatnya serangan dari Siluman Kecil maka dia hanya memandang dengan mata terbelalak dan hati gentar, tidak berani bergerak lagi!

Melihat keadaan yang gawat ini, Hek-si Touw-ong lalu berseru, “Lari ke atas....!” Dan dia sudah mendahului meloncat ke atas genteng. Tiga orang temannya cepat berloncatan ke atas dan pada saat itu, Hek-sin Touw-ong melemparkan dua buah benda yang meledak di bawah sehingga para pengeroyok dan pengejar menjadi mawut dan kacau-balau. Mereka terus berloncatan dan Hek-sin Touw-ong mengobral bahan peledaknya, melempar-lemparkannya di seluruh tempat sehingga terdengar ledakan-ledakan bertubi-tubi dan nampak rumah-rumah di seluruh lembah dalam benteng itu kebakaran!

Untung bahwa para penjaga di pintu gerbang masih bingung dan ragu-ragu melihat Hek-tiauw Lo-mo dan terutama Hek-hwa Lo-kwi palsu itu. Mereka masih belum tahu bahwa kedua orang kakek itu adalah palsu, bahkan yang tadi mengeroyok pun tidak ada yang tahu bahwa mereka itu palsu, dan mereka hanya mengira bahwa dua orang kakek itu hendak berkhianat dan memberontak saja. Inilah yang membuat para penjaga menjadi ragu-ragu dan mereka tidak menghadang dengan sepenuh hati karena mereka memang jerih terhadap dua orang kakek itu, dan tidak ada pula yang berani menyerang Hwee Li yang mereka kenal sebagai tunangan sang pangeran. Dan karena ini, maka empat orang itu berhasil keluar dari dalam benteng itu tanpa banyak kesukaran, sungguhpun mereka merasa kecewa sekali karena tidak berhasil melarikan Syanti Dewi, apalagi keluarga Jenderal Kao Liang. Benteng itu terlalu kuat dan penjagaan terlalu ketat.

Tidak ada seorang pun yang tahu bahwa di waktu api berkobar-kobar di dalam benteng itu, nampak bayangan berkelebatan yang sukar diikuti pandang mata. Bayangan ini cepatnya bukan main sehingga tidak ada orang melihatnya. Apalagi setelah api berkobar-kobar, asap membubung tinggi di mana-mana, bayangan itu seperti setan saja berkelebatan di antara genteng-genteng dan apiapi berkobar, dari atas dia merupakan seorang wanita cantik sekali yang berpakaian mewah. Kini wanita itu mengintai ke bawah dan melihat Mohinta yang masih merangkul Syanti Dewi yang meronta-ronta berusaha melepaskan diri.

Wanita ini bukan lain adalah Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui! Wanita cantik jelita ini pernah bertemu dengan Siluman Kecil dan dia amat tertarik kepada pendekar yang namanya sudah menggemparkan dunia kang-ouw itu. Akan tetapi ketika dia mengadu ilmu silat dengan pendekar itu, dia terkejut sekali dan diam-diam dia maklum bahwa dia sendiri pun tidak akan mampu menandingi pendekar itu. Akan dicobanya lagi kalau dia mempunyai kesempatan berjumpa dengan pendekar itu. Betapapun juga, pendekar itu hanyalah seorang sutenya! Dia sudah mendengar bahwa Pendekar Siluman Kecil berguru, bahkan dianggap putera oleh gurunya, yaitu Kim Sim Nikouw di lereng Bukit Tai-hang-san, maka pendekar itu masih terhitung sutenya juga. Dia tidak pernah membayangkan bahwa Pendekar Siluman Kecil itu adalah putera Pulau Es! Andaikata dia tahu akan hal ini, tentu Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui tidak akan merasa penasaran dikalahkan oleh pemuda itu. Betapapun juga, dia merasa senang juga mendapatkan kenyataan bahwa dalam hal ginkang, dia masih menang dibandingkan dengan pendekar perkasa itu.

Dalam perjalanannya itu, Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui juga mendengar akan berkumpulnya tokoh-tokoh besar di dalam lembah Huang-ho. Hal ini menarik perhatiannya dan dia lalu menuju ke benteng itu. Dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya ketika dia melihat Siluman Kecil menjadi tawanan dua orang kakek bersama seorang dara yang cantik berpakaian hitam! Dia sendiri tidak tahu bahwa dua orang kakek itu adalah palsu, karena dia melihat empat orang itu ketika mereka sedang memasuki pintu gerbang. Karena amat tertarik melihat “sutenya” itu menjadi tawanan, diam-diam Bu-eng-kwi lalu membayangi. Mudah saja bagi ahli ginkang seperti dia untuk berloncatan naik melalui tembok benteng tanpa diketahui orang.

Akan tetapi begitu menyaksikan keadaan benteng itu, Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui menjadi terkejut bukan main dan dia kagum. Benteng ini amat hebat, pikirnya! Amat kuatnya sehingga merupakan benteng perang yang kokoh dan sukar diserbu pasukan dari luar! Penjagaannya demikian ketat sehingga kalau dia tidak memiliki ginkang yang luar biasa, tentu amat sukar untuk dapat memasukinya, apalagi pasukan yang hendak masuk lewat pintu gerbang yang berlapis-lapis itu! Dia sendiri menjadi bingung setelah naik ke atas tembok dan terpaksa menyelinap dan bersembunyi agar jangan ketahuan penjaga. Dia tidak tahu ke mana dibawanya Siluman Kecil dan gadis berbaju hitam tadi oleh dua orang kakek yang kelihatan seperti iblis itu.

Selagi dia bingung dan tidak tahu harus mencari ke mana, dan dia hanya mempergunakan ginkangnya yang luar biasa, yaitu semacam ilmu yang dikuasai oleh Siluman Kecil, yang disebut Jouw-san-hui-teng (Ilmu Terbang di Atas Rumput), dia berkelebatan di atas genteng-genteng bangunan itu dengan amat hati-hati sehingga tidak ada seorang pun yang mengetahuinya, tiba-tiba dia melihat Siluman Kecil, gadis cantik dan dua orang kakek yang menawan mereka tadi keluar dari bangunan induk! Dia menjadi girang sekali dan diam-diam dia membayangi dari atas.

Kemudian dia menyaksikan keributan yang terjadi, disusul pertempuran dan kebakaran-kebakaran yang dilakukan oleh kakek bermuka tengkorak itu dengan senjata-senjata bahan peledaknya. Kini tahulah dia bahwa Siluman Kecil bukan ditawan, melainkan pura-pura ditawan dan betapa dua orang kakek itu malah menjadi kawan-kawan dari Siluman Kecil dan gadis cantik itu! Ketika dia melihat Puteri Syanti Dewi, Ouw Yan Hui terpesona dan kagum sekali. Belum pernah dia melihat seorang wanita secantik itu dan begitu melihatnya, seketika dia tertarik dan merasa suka seketika! Akan tetapi, agaknya wanita aneh ini tidak akan bertindak sesuatu dan tidak sudi mencampuri urusan orang lain yang tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya, kalau saja dia tidak melihat Puteri Syanti Dewi dipeluk dan diseret oleh Panglima Bhutan itu secara paksa memasuki sebuah rumah. Melihat puteri jelita itu dipaksa orang, mendadak timbul kemarahan wanita ini. Dan memang menjadi pantangan bagi Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui melihat seorang wanita diperlakukan secara kasar oleh seorang pria. Ketika dia melihat lima orang penjahat Ngo-giam-lo-ong dari selatan melarikan seorang gadis, Ouw Yan Hui juga mengejarnya dan akhirnya membunuh mereka di dalam hutan karena lima orang penjahat itu telah memperkosa gadis itu sampai mati, seperti yang telah dilihat oleh Siluman Kecil.

Kini melihat, puteri cantik jelita yang amat menarik hatinya itu diseret dan dirangkul secara paksa oleh seorang Panglima Bhutan, dia marah sekali dan bagaikan seekor burung garuda yang marah, dia mengeluarkhn suara melengking nyaring dan tubuhnya sudah menyambar dariatas ke bawah, menukik turun menerjang Mohinta yang sedang berkutetan dengan Syanti Dewi. Mohinta hendak memaksa puteri itu masuk kembali agar jangan sampai terancam bahaya dilarikan orang, sedangkan Syanti Dewi yang ingin melarikan diri bersama Hwee Li, meronta-ronta.

Ketika Mohinta mendengar berdesirnya angin dari atas, dia memandang dan alangkah kagetnya ketika dia melihat seorang wanita seperti seekor burung saja menyerangnya. Dia mengira bahwa yang menyerangnya itu tentu Hwee Li karena dia pun tahu bahwa tunangan sang pangeran itu lihai sekali.

“Mundur!” bentaknya dan seperti tadi dia mengancamkan pisaunya ke leher Puteri Syanti Dewi. Kalau saja yang menyerangnya itu adalah Hwee Li, tentu Hwe Li tidak akan berani melanjutkan serangannya, karena khawatir kalau-kalau nyawa Syanti Dewi terancam. Akan tetapi Ouw Yan Hui sama sekali tidak peduli akan hal ini. Dia marah kepada orang Bhutan itu dan dia tidak peduli akan keselamatan Syanti Dewi yang tidak dikenalnya. Maka dia tidak menghentikan serangannya dan tubuhnya terus meluncur dan menyerang Mohinta dengan hebatnya!

Mohita terkejut bukan main. Tentu saja dia pun mengancam Syanti Dewi bukan untuk membunuhnya sungguh-sungguh. Maka kini melihat wanita itu masih nekat dan menyerang terus, dia terpaksa melepaskan Syanti Dewi dan menggunakan pisaunya untuk memapaki wanita yang menyerangnya itu, karena kini dia melihat bahwa wanita itu sama sekali bukan Hwee Li tunangan Pangeran Bharuhendra!

“Plakkk.... tringgg....!” Untuk kedua kalinya malam itu, tubuh Mohinta yang sial itu terlempar dan terhuyung. Ketika dia meloncat bangun, ternyata bagaikan seekor burung garuda saja, wanita cantik berpakaian mewah itu telah berkelebat pergi sambil memanggul tubuh Syanti Dewi!

“Hei, berhenti....!” Mohinta berseru dan cepat mengambil pisaunya yang tadi terlepas karena tangkisan wanita itu. Dia ingin menyambit, akan tetapi khawatir kalau mengenai tubuh Syanti Dewi, maka dia lalu berteriak-teriak minta bantuan dan dia sendiri lalu mengejar. Akan tetapi kemanakah dia hendak mengejar. Wanita itu hanya dengan beberapa kali lompatan saja telah lenyap di antara api dan asap yang memenuhi tempat itu.

Mula-mula Syanti Dewi meronta karena terkejut sekali melihat dirinya dibawa loncat secepat itu ke atas. Akan tetapi ketika dia melihat betapa dia di panggul seorang wanita cantik dan dibawa “terbang” melalui api yan bernyala-nyala dan asap tebal, sehingga nampaknya setiap saat dia dapat terbakar dijilat lidah api merah, dia merasa ngeri sekali.

Melihat bahwa wanita itu adalah seorang yang sama sekali tidak dikenalnya, dia berkata, “Lepaskan aku....!”

“Huh, lepaskan? Benarkah?” Wanita itu lalu melepaskan tubuh Syanti Dewi yang berdiri di atas tembok benteng, dikelilingi api dan asap! Syanti Dewi terbelalak ngeri.

“Eh, ohhh.... tolong....!” teriaknya.

“Hemmm!” Ouw Yan Hui mengejek dan dia menyambar lagi, memanggul tubuh Syanti Dewi yang saking ngerinya menjadi hampir pingsan itu, dipanggul di atas pundak kanannya lalu dia berloncatan lagi amat cepatnya seperti terbang saja! Beberapa kali Syanti Dewi membuka mata akan tetapi terpaksa memejamkannya kembali matanya ketika melihat betapa dia dibawa lari terus di atas rumah yang terbakar dan terus ke tembok-tembok benteng yang berlapis-lapis itu untuk kemudian berloncatan keluar dari benteng seperti seekor burung terbang saja! Hampir Syanti Dewi menjerit ngeri ketika Ouw Yan Hui meloncat dari atas wuwungan tempat penjagaan di atas tembok benteng yang tebalnya hanya satu meter itu, padahal di kanan kiri tembok itu api masih berkobar! Akan tetapi sebenarnya puteri ini tidak perlu khawatir. Dengan mudah Ouw Yan Hui meloncat dan hinggap di atas tembok dengan kaki kanan, gerakannya seperti orang menari saja.

Kemudian, dari atas tembok ini Ouw Yan Hui meloncat ke luar kemudian terus berlari di dalam kegelapan malam, menyusup di antara pohon-pohon di dalam hutan di luar benteng itu.

***

Malam telah larut dan mereka telah berada jauh sekali dari benteng di lembah Huang-ho ketika Ouw Yan Hui berhenti berlari, menurunkan tubuh Syanti Dewi. Mereka berada di lereng sebuah bukit, di dalam hutan kecil yang amat sunyi. Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui membuat api unggun dan mereka berdua duduk di dekat api unggun, saling berhadapan dan sejak tadi mereka tidak saling bicara. Kini, mereka berdua duduk saling berpandangan, dihalangi oleh api unggun yang menyinari wajah dua orang wanita itu dengan cahaya yang kemerahan.

Keduanya terkejut dan kagum. Setelah kini berada di tempat yang diterangi oleh api unggun, duduk berhadapan dan berdekatan, mereka dapat melihat wajah masing-masing dengan jelas dan keduanya merasa kagum bukan main oleh kecantikan masing-masing. Syanti Dewi memandang wanita yang duduk di depannya itu dengan penuh perhatian. Sukar menaksir berapa usia wanita ini, akan tetapi dia merasa pasti bahwa wanita ini jauh lebih tua daripada dia, sungguhpun melihat wajahnya, tentu orang akan menaksir bahwa usia wanita ini tidak akan lebih dari dua puluh lima tahun. Seraut wajah yang bulat seperti bulan, dengan dagu runcing, kedua pipinya halus penuh kemerahan amat mulusnya, sepasang mata yang jernih dan lembut, sungguhpun di balik kelembutan itu mengandung sifat dingin yang menyeramkan. Rambutnya digelung seperti model gelung puteri istana, dihias, dengan hiasan rambut dari emas permata yang indah dan tentu mahal sekali harganya, berbentuk burung hong. Telinganya juga memakai perhiasan yang bermata besar dan berkilauan. Hidungnya kecil mancung, cuping hidungnya mudah kembang kempis, mulutnya kecil akan tetapi selalu terbuka secara menantang, mulut yang membayangkan berahi yang besar, sungguhpun kalau dikatupkan lalu nampak betapa wanita ini dapat berwatak kejam. Alisnya seperti dilukis saja, demikian pula sinom rambut dan anak rambut di pelipisnya. Wajah yang cantik jelita dan manis bukan main, tidak kalah oleh wanita puteri-puteri istana! Dan tubuh itu padat dan penuh lekuk lengkung menggairahkan, tubuh seorang wanita yang sudah matang. Sungguh sukar membayangkan betapa di dalam tubuh yang penuh daya tarik kewanitaan ini dapat tersembunyi tenaga dahsyat dan ilmu yang demikian tinggi. Perhiasan wanita itu, pakaiannya yang mewah dan rapi, gelang-gelang di tangannya, sepatunya, semua menunjukkan bahwa wanita ini pantasnya seorang puteri istana atau seorang puteri yang kaya raya. Bahkan Puteri Milana yang pernah dikenalnya, puteri istana sakti itu, tidak pernah bersolek semewah wanita ini! Syanti Dewi memandang penuh keheranan dan menduga-duga gerangan wanita yang telah menyelamatkan dirinya dari dalam benteng itu, menyelamatkannya ataukah menculiknya?

Di lain fihak, Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui juga terkejut, kagum dan terpesona sehingga sejenak dia tidak dapat berkata-kata, hanya menatap wajah Syanti Dewi penuh kekaguman dan perhatian. Selama hidupnya, belum pernah dia melihat wajah yang demikian sempurna kecantikannya! Tadinya dia, seperti yang dibanggakan oleh gurunya, yaitu Maya Dewi, adalah seorang wanita yang memiliki kecantikan wanita Tiongkok yang sempurna! Dan gurunya itu, Maya Dewi, adalah seorang wanita yang memiliki kecantikan wanita India yang paling sempurna! Akan tetapi kini, berhadapan dengan Syanti Dewi, Ouw Yan Hui melihat kecantikan yang membuat dia terpesona! Kecantikan dara ini begitu wajar, bahkan pakaiannya yang sederhana, rambutnya yang awut-awutan, matanya yang terbelalak lebar penuh kekhawatiran, bibirnya yang agak pucat dan agak gemetar karena cemas, tidak mengurangi kecantikannya! Diam-diam Ouw Yan Hui merasa penasaran sekali! Setiap kali bertemu dengan wanita cantik di manapun juga, dia selalu merasa besar hati karena yakin akan kecantikannya sendiri yang sukar dicari bandingnya, akan tetapi kini, duduk berhadapan dengan dara yang ditolongnya ini di antara api unggun, dia tiba-tiba merasa bimbang!

“Siapa engkau? Siapa namamu?” tiba-tiba Ouw Yan Hui bertanya dan suaranya juga halus merdu, seperti suara seorang dara muda, suara halus yang “basah”.

“Namaku Syanti Dewi.”

“Eh?? Engkau bangsa apakah?”

“Aku datang dari Bhutan”

“Hemmm, engkau tentu bukan gadis kampungan biasa. Hayo ceritakan, siapa sebenarnya engkau yang mengaku dari Bhutan ini?”

Syanti Dewi mengerutkan alisnya. Tidak senang dia melihat sikap orang yang angkuh dan kaku ini, juga sinar mata yang tiba-tiba menjadi dingin sekali dan menyeramkan itu. Syanti Dewi menegakkan kepalanya dan dengan sikap yang agung dia lalu berkata, “Aku adalah Puteri Bhutan!”

Kini Ouw Yan Hui yang mengerutkan alisnya. Kiranya seorang puteri istana! Dia makin tertarik. Sudah terlalu lama dia menyembunyikan diri tidak mencampuri urusan dunia kang-ouw sehingga dia tidak pernah mendengar tentang Puteri Bhutan yang sudah banyak menggegerkon dunia kang-ouw ini.

“Kau puteri Raja Bhutan, kenapa meninggalkan istanamu dan jauh-jauh berkeliaran sampai di sini?”

Syanti Dewi tidak mau menjawab, hanya memandang ke dalam api unggun. Sejenak Ouw Yan Hui menatap wajah itu, lalu dia tersenyum seorang diri. Dara ini benar-benar seorang puteri yang agung dan angkuh, pikirnya. Cocok benar dengan dia! Tiba-tiba dia bangkit berdiri dan Syanti Dewi mengangkat muka memandang, mengikuti gerakannya.

“Kau bisa silat?” kembali Ouw Yan Hui bertanya.

Syanti Dewi menggeleng kepala. Ouw Yan Hui tersenyum mengejek, karena dia tadi melihat pula betapa puteri ini melawan dan sempat pula merobohkan beberapa orang perajurit sebelum dia ditangkap oleh Panglima Bhutan itu.

“Aku hendak membunuhmu, hendak kulihat apakah kau demikian pengecut untuk menerima kematian tanpa membela diri!” Setelah berkata demikian, Ouw Yan Hui meloncat dan menendang ke arah tubuh Syanti Dewi untuk membuat puteri itu terlempar ke dalam api unggun.

“Ihhh!” Syanti Dewi meloncat dan mengelak, gerakannya cepat juga karena selama ini dia telah memperoleh banyak kemajuan. Semenjak dia dahulu diberi petunjuk oleh Ceng Ceng, kemudian oleh pendekar sakti Gak Bun Beng (baca Kisah Sepasang Rajawali), kemudian baru-baru ini oleh Hwee Li, sang puteri ini telah memperoleh kemajuan pesat dan kalau hanya beberapa orang laki-laki biasa saja jangan harap dapat menandinginya.

“Bagus!” Ouw Yan Hui berseru dan mulailah wanita ini melancarkan serangan bertubi-tubi dengan pukulan-pukulan maut! Tentu saja Syanti Dewi marah sekali.
Tadinya memang dia tidak tahu apa maksudnya wanita cantik ini membawanya lari keluar dari benteng, dan dia tidak tahu apakah wanita ini kawan atau lawan. Siapa kira, kini wanita itu hendak membunuhnya, setelah bersusah-payah membawanya ke luar dari benteng. Gila! Jangan-jangan memang gila wanita cantik ini, pikir Syanti Dewi dan bulu tengkuknya meremang ngeri. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau dibunuh begitu saja tanpa melawan dan sambil mengelak atau menangkis, dia pun menyerang pula dengan dahsyat untuk merobohkan wanita ini agar dia dapat melarikan diri.

Diam-diam Ouw Yan Hui terkejut juga menyaksikan beberapa gerakan pukulan yang menunjukkan bahwa dara ini pernah mempelajari ilmu silat tinggi! Hanya latihannya belum matang dan memang jiwa puteri ini adalah lemah lembut sesuai dengan kedudukannya, maka serangan balasannya juga tidak mengandung kedahsyatan. Mula-mula, Ouw Yan Hui yang hanya ingin menguji sampai di mana kepandaian Syanti Dewi, bergerak dengan lambat untuk mengimbangi lawan. Setelah dia puas menguji dan memperoleh kenyataan bahwa puteri ini tidak mengecewakan dan mulailah dia mempercepat gerakannya dan mulailah Syanti Dewi menjadi bingung. Tiba-tiba saja wanita cantik itu lenyap dan tahu-tahu selagi dia bingung, wanita itu menowel pinggulnya dari belakangnya. Dia membalik dan cepat menyerang, akan tetapi kembali wanita itu lenyap untuk muncul secara aneh di belakangnya, di kanan atau kirinya. Syanti Dewi berpusing-pusing dan akhirnya dia roboh karena pening dan duduk terengah-engah di dekat api unggun.

“Bunuhlah kalau mau bunuh, aku tidak takut mati dan aku tidak dapat melawanmu!” katanya dengan kepala ditegakkan penuh keagungan.

Ouw Yan Hui makin kagum. Puteri ini selain memiliki ilmu silat yang boleh juga, ternyata tidak cengeng seperti puteri-puteri lain, tidak menangis, bahkan tabah sekali menghadapi ancaman kematian seperti sikap seorang pendekar wanita tulen! Dia pun duduk kembali seperti tadi.

“Tadi kulihat Siluman Kecil berusaha menyelamatkanmu dari benteng. Apakah hubunganmu dengan dia?”

Syanti Dewi terkejut dan tanpa dapat dicegahnya lagi, kedua pipinya yang tadi sudah merah karena marah dan lelah itu menjadi makin merah. Teringat dia akan cinta kasih Suma Kian Bu kepadanya. Sukar baginya untuk menjawab, maka dia hanya menggeleng kepala, lalu akhirnya dapat juga berkata, “Hanya teman baik, aku pun baru tahu ketika dia muncul, setelah lima tahun lebih tidak saling jumpa.” Syanti Dewi lalu menatap wajah yang cantik itu, lalu dia pun bertanya dengan suara mengandung penasaran. “Dan engkau siapakah? Aku tidak minta pertolonganmu akan tetapi engkau meloloskan aku keluar dari benteng, hanya untuk kauhina. Apa maksudnya ini semua?”

Ouw Yan Hui tersenyum. “Aku paling benci melihat pria, apalagi yang mengganggu wanita. Ketika kau diganggu Panglima Bhutan tadi, aku segera ingin menolongmu. Dan kau cantik sekali. Aku tidak bermaksud menghinamu.”

“Dan tadi engkau menyerangku, mempermainkan aku....“

“Hemmm, kau tidak tahu, Syanti Dewi. Aku hanya ingin menguji sampai di mana kepandaianmu.”

“Siapakah engkau sebenarnya?” Syanti Dewi tertarik sekali. Wanita ini aneh, cantik jelita, dan berilmu tinggi. Seketika lenyap rasa penasaran dan marahnya karena dipermainkan tadi. Biarpun dia sendiri bukan terhitung seorang wanita kang-ouw, akan tetapi selama beberapa tahun ini kehidupan Syanti Dewi penuh dengan pengalaman, dan sudah banyak sekali dia bertemu dengan orang-orang kang-ouw yang lihai-lihai dan yang anehaneh, maka dia dapat memaklumi keanehan wanita ini.

Bersambung ke buku 14