Suling Emas & Naga Siluman -12 | Kho Ping Hoo



Buku 12

“Hei, engkau ini berpakaian pendeta akan tetapi muka dan suaramu seperti babi! Apakah engkau ini yang bernama Ti Pat Kai itu?” Ucapannya ini merupakan ejekan dan penghinaan yang hebat karena Ti Pat Kai adalah Siluman Babi yang menjadi tokoh dalam cerita See-yu, yang terkenal sebagai seorang yang mata keranjang dan malas dan suka sekali makan. Mendengar ejekan seperti itu, saikong yang memang masih mentah itu menjadi malu dan marah bukan main.

Dia menoleh kepada dua orang murid keponakannya. “Kalian larikan kuda itu dan serahkan gadis ini kepadaku. Akan kubekuk dia dan kuberi hajaran agar ia kapok dan menyesal telah dilahirkan sebagai seorang wanita cantik!” Setelah berkata demikian, saikong itu mengeluarkan suara gerengan yang nyaring. Suara itu mengandung getaran yang cukup hebat dan itu merupakan tingkat yang masih rendah dari ilmu Sai-cu Ho-kiang, yaitu ilmu menaklukkan dengan getaran suara. Sai-cu Ho-kang adalah Ilmu Auman Singa dan ilmu yang berdasarkan tenaga khi-kang ini memang diciptakan orang karena melihat daya kekuatan yang ada pada auman singa atau harimau. Binatang ini kadang-kadang dengan aumannya saja sudah mampu melumpuhkan lawan, seolah-olah dalam getaran suara itu ada tenaga mujijat yang membuat calon korbannya menjadi lumpuh. Dan kini, saikong itu juga mempergunakan ilmu ini, walaupun tingkatnya masih rendah akan tetapi suara gerengan itu sudah mengandung getaran yang cukup kuat. Akan tetapi, sekali ini yang dihadapinya adalah Ci Sian, dan justeru dara ini memperoleh kesaktiannya berdasarkan latihan khi-kang tingkat tinggi melalui suulingnya, justeru ilmu meniup suling dan Kim-siauw Kiam-sut adalah ilmu yang mendasarkan kekuatannya pada getaran suara, maka tentu saja Sai-cu Ho-kang dari saikong itu seperti anak main-main saja bagi Ci Sian!

“Hi-hik, gerenganmu sama sekali tidak mirip seekor singa, melainkan lebih mirip suara babi yang hendak disembelih!” Ci Sian mengejek.

Kakek itu menjadi semakin marah. Kalau tadi timbul nafsu berahinya melihat dara jelita ini, sekarang, ucapan-ucapan yang menghina dari Ci Sian mengusir semua nafsu dan yang tinggal hanyalah nafsu kemarahan. Matanya yang bundar lebar itu berobah merah bersama dengan wajahnya yang menjadi merah padam. Sambil menggereng dan tanpa dapat mengeluarkan kata-kata saking marahnya, dia sudah menubruk maju, menggunakan kedua lengannya yang panjang dan besar, dan jari-jari kedua tangannya dibuka, sikapnya seperti seekor singa yang hendak menerkam. Akan tetapi, dengan gerakan yang mudah saja Ci Sian mengelak.

Kakek itu membalik dan kembali sudah mengirim serangan dengan tangannya yang berbentuk cakar setan. Melihat gerakan yang cepat dan mendatangkan angin ini, Ci Sian maklum bahwa lawannya ini memiliki kepandaian yang lumayan. Ia pun cepat mengelak lagi dan sebelum ia membalas, kakek itu dengan cepatnya sudah dapat membalik dan menyerang lagi. Kiranya, keistimewaan kakek ini adalah kecepatan menyambung serangan yang gagal dengan serangan berikutnya.

Pada saat itu, dari sudut matanya Ci Sian melihat betapa kuda hitamnya sudah dinaiki oleh dua orang penjahat itu yang kini agaknya mempergunakan sikap halus sehingga kuda hitamnya mau saja dibawa kabur! Ia hanya tersenyum dan cepat menghadapi lawannya, sambil mengelak ia kini menggerakkan tangannya dari samping.

“Wuuuuttt.... plakkk!” Dan saikong itu terpelanting. Biarpun saikong itu memiliki gerakan cepat untuk menyambung serangannya yang gagal, namun tamparan Ci Sian tadi lebih cepat lagi sehingga biarpun dia sudah berusaha mengelak, tetap aja pundaknya kena ditampar tangan kecil halus itu akan tetapi yang mengandung tenaga kuat, sehingga dia terpelanting. Hal ini membuatnya penasaran bukan main. Cepat dia meloncat dan langsung saja menyerang dengan bertubi-tubi.

“Plak-plak-dukkk!” Ci Sian kini tidak mengelak lagi, melainkan menangkis dan pertemuan antara lengan yang besar berbulu dengan lengan yang berkulit halus dan kecil itu mengakibatkan beberapa kali Si Saikong menyeringai kesakitan dan akhirnya kembali dia kena ditampar dan terpelanting dengan tulang pundak nyeri, seperti akan remuk rasanya.“Singgg....!” Saikong itu sudah mencabut keluar sebatang golok yang punggungnya berbentuk gergaji. Amat besar, lebar berkilauan tajam mengerikan sekali.

Ci Sian menengok dan melihat betapa kuda hitamnya telah lari jauh sekali, diam-diam ia merasa kaget dan kagum. Kuda hitamnya itu memang hebat sekali. Ditungganggi oleh dua orang masih mampu lari secepat itu. Ia harus cepat merobohkan lawannya ini kalau tidak mau repot mencari kudanya itu nanti. Maka begitu melihat sinar golok menyambar, ia cepat menghindar. Seperti juga ilmu silatnya bertangan kosong, ternyata ilmu golok saikong iru memiliki keistimewaan yang sama, yaitu begitu luput serangannya, golok itu tanpa berhenti bergerak telah membalek dan menyambung serangan pertama tadi dengan serangan selanjutnya. Akan tetapi sekali ini Ci Sian sudah siap dan begitu golok membalik, ia mengeluarkan bentakan melengking tinggi sekali, keluar dari kekuatan khi-kangnya. Saikong itu tersentak kaget dan menjadi bengong, goloknya berhenti bergerak dan ini sudah cukup bagi Ci Sian. Sekali tangan kirinya menyambar, terdengar suara “plakk” dan pangkal telinga kanan kakek itu kena ditempiling oiehnya. Kakek itu terpelanting ke kiri dan roboh tak bergerak lagi, pingsan dan goloknya terlempar. Ci Sian tidak mempedulikan lagi lawannya yang sudah semaput itu, ia cepat meloncat dan mengejar ke arah larinya kuda hitam yang kini tidak nampak bayangannya lagi.

Kuda itu sudah tidak nampak lagi, akan tetapi tidak sukar bagi Ci Sian untuk mengikuti jejaknya karena kuda yang ditunggangi oleh dua orang itu mempunyai jejak yang nyata. Jejak itu membawanya keluar dari dusun, bahkan tidak memasuki dusun melainkan mengambil jalan memutar melalui sebuah padang rumput lain yang agak tandus. Ketika ia tiba di luar sebuah hutan ke mana kuda hitam itu masuk, tiba-tiba saja berloncatan kurang lebih dua puluh orang yang segera mengurungnya dan mereka itu semua memegang sebatang golok. Melihat dari pakaian dan wajah mereka, Ci Sian dapat menduga bahwa mereka ini tentulah teman-teman dua orang pencuri kuda tadi. Mereka itu memiliki wajah jahat dan kejam, dan di antara mereka ia melihat pula pencuri kuda yang tinggi besar. Marahlah Ci Sian.

“Singgg....!” Dua puluh orang itu silau oleh sinar keemasan yang nampak ketika Ci Sian mencabut sulingnya. Akan tetapi, mereka segera tertawa geli.

“Wah, ia malah hendak menghibur kita dengan musik!”

“Aih, sekalian saja sambil menari agar lebih asyik!”

Teriakan-teriakan itu nadanya mengejek. Mereka tadinya mendengar dari dua orang teman mereka bahwa mereka berhasil melarikan kuda hitam akan tetapi mereka dikejar oleh seorang pendekar wanita yang lihai. Oleh karena itu, dua puluh orang itu bersembunyi dan kini muncul untuk mengurung. Akan tetapi, ketika melihat dara yang remaja dan cantik itu mencabut sesuatu, mereka sudah kaget, dan akhirnya tertawa melihat bahwa yang dicabut itu bukan sebatang pedang pusaka melainkan sebatang suling emas yang indah! Tentu saja mereka memandang ringan dan mengeluarkan kata-kata yang nadanya mengejek. Si Tinggi Besar memandang dengan alis berkerut, diam-diam menyumpah ketololain teman-temannya yang memandang rendah gadis itu. Akan tetapi dia sendiri pun menjadi bengong ketika melihat gadis itu kini menempelkan suling pada bibiirnya yang tipis merah, siap hendak meniup suling! Bagaimana pula ini? Tadi, gadis itu memiliki sepak terjang yang amat hebat, dan benarkah kini ia datang untuk menghibur teman-temannya dengan nyanyi dan tari?

Memang Ci Sian sudah merasa mendongkol sekali melihat ia dikurung oleh orang-orang kasar ini, apalagi melihat kudanya tidak ada di situ, tentu sudah dibawa terus ke dalam hutan. Maka ia pun tidak mau membuang banyak waktu dan terus saja ia meniup sulingnya. Mula-mula memang terdengar nada-nada merdu yang membuat dua puluh orang itu menyeringai dan tertawa-tawa, akan tetapi kemudian mereka menjadi pucat sekali ketika suara itu mengeluarkan getaran-getaran hebat dan membuat mereka merasa seolah-olah telinga mereka ditusuk-tusuk jarum. Mereka mulai menutup telinga dengan tangan, akan tetapi rasa nyeri itu masah saja menembus masuk, malah seperti menusuk-nusuk jantung. Mereka kelabakan, dan akhirnya, dua puluh orang itu roboh pingsan semua! Dan Ci Sian sudah tidak mau peduli lagi, terus saja ia melompat masuk ke dalam hutan, mengikuti jejak kaki kudanya.

Untung bahwa tanah di dalam hutan itu lembek dan agak basah sehingga ia dapat menemukan jejak kaki kudanya dan terus ia berlari.

Akan tetapi ketika ia tiba di tempat terbuka yang penuh dengan daun-daun kering dari pohon-pohon di aekitarnya, ketika ia sedang berlari ke depan, tiba-tiba saja kakinya terjeblos ke bawah. Ia terkejut sekali merasa betapa kakinya itu tenggelam ke dalam pasir berlumpur yang mempunyai daya sedot amat kuatnya! Ia meronta dan berusaha mencari pegangan di tepi, akan tetapi yang ada hanya rumput dan begitu kena cengkeramannya tentu saja rumput-rumput itu tidak dapat menahan tubuhnya dan jebol. Dan celakanya, makin ia mengarahkan tenaga meronta, makin cepat tubuhnya tersedot ke bawah! Sebentar saja ia sudah terbenam sampai ke pinggang! Sia-sia saja ia mengerahkan tenaga sinkang maupun khi-kang karena kakinya tidak mempunyai landasan yang kuat untuk diinjak, melainkan terbenam ke dalam lumpur yang menyedot, sedangkan di atasnya tidak terdapat apa-apa untuk dijadikan pegangan!

Dan kini dari belakang pohon-pohon yang tak jauh dari sekitar tempat jebakan yang merupakan empang- lumpur itu, bermunculan kepala-kepala orang dan tak lama kemudian dari empat penjuru beterbangan anak panah ke arah tubuhnya yang tinggal nampak bagian atasnya itu saja! Ci Sian yang masih memegang sulingnyaa cepat menggerakkan suling dan semua anak panah itu runtuh dan patah-patah. Akan tetapi, kembali gerakannya ini membuat tubuhnya makinmerosot ke bawah dan kini lumpur sudah mencapai dadanya! Panik juga Ci Sian, ia akan menghadapi maut dengan senyum kalau saja ia harus mati dengan sewajarnya, dalam perkelahian misalnya. Akan tetapi ia akan mati secara mengerikan, disedot lumpur sampai tenggelam! Untuk berteriak minta tolong merupakan hal yang ia tidak sudi lakukan. Maka ia lalu menempelkan suling di bibirnya dan meniupkan nada yang amat tinggi melengking dan panjang. Mendengar ini kepala-kepala penjahat yang tadi bermunculan di balik pohon segera menghilang. Memang, suara sulingnya itu mengerikan sekali!

Tiba-tiba terdengar suara orang di dekat telinganya. “Ih, siluman apa yang dapat mengeluarkan suara seperti itu?”

Ci Sian menengok ke kanan kiri dan bulu tengkuknya meremang. Tidak nampak seorang pun manusia akan tetapi suara itu demikian jelasnya terdengar di dekat telinganya! Ia tentu saja tahu akan adanya ilmu Coan-im Jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh), akan tetapi suara yang didengarnya itu demikian jelas, bahkan terdengar olehnya gerakan bibir dan pernapasannya. Bukan main! Suara itu mengherankan suara sulingnya, akan tetapi suara itu sendiri mirip suara siluman!

Dan tiba-tiba saja terdengar suara keras dan sebuah pohon berikut cabang-cabang dan dahan-dahan serta daun-daunnya roboh dan hampir menimpanya! Pohon itu jebol bersama akar-akarnya dan jatuh melintang di dekatnya! Tentu saja ini merupakan pertolongan yang menyelamatkan nyawanya. Cepat Ci Sian memegang dahan pohon, dengan hati-hati mengerahkan tenaganya menarik dirinya perlahan-lahan keluar dari isapan lumpur. Akhirnya ia pun bebaslah! Ia melompat keluar dari tempat itu melalui batang pohon dan setelah tiba di tepi kolam lumpur yang berbahaya itu, Ci Sian tanpa mempedulikan pakaiannya yang berlepotan lumpur segera meloncat ke dalam gerombolan pohon-pohon di mana tadi ada orang-oraag yang bersembunyi dan yang menyerangnya dengan anak panah. Akan tetapi di situ tidak nampak seorang pun!

Ci Sian msnjadi marah dan ia terus lari mengikuti jejak kudanya, kini berhati-hati karena ia tahu bahwa ia berhadapan dengan gerombolan jahat yang cerdik dan yang mungkin akan menjebaknya lagi. Ketika ia tiba di tengah hutan, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring dan bermunculanlah belasan orang yang semua mengenakan pakaian hijau sehingga gerakan mereka sukar diikuti, apalagi kalau bersembunyi antara semak-semak. Mereka semua memegang pedang dan dipimpin oleh seorang kakek yang tinggi kurus berpakaian seperti seorang tosu, dengan rambut digelung tinggi di atas kepala, diikat dengan pita kuning. Juga tosu ini memegang sebatang pedang.

Ci Sian sudah marah dan sudah Memegang sulingnya, maka tanpa banyak kata lagi ketika orang-orang itu mengepung dan menyerangnya, ia pun menggerakkan sulingnya yang mengeluarkan suara melengking-lengking. Dalam beberapa gebrakan saja ia telah merobohkan empat orang dengan sulingnya. Akan tetapi tiba-tiba kakek tosu itu berdiri tegak dan mengangkat pedangnya ke atas kepala, mulutnya berkemak-kemik, lalu terdengar bentakannya, “Nona, lihat apakah engkau akan kuat menghadapi pengeroyokan ratusan orang anakku!”

Dan tiba-tiba saja Ci Sian mendapatkan dirinya dikeroyok oleh tosu-tosu muda yang usianya belasan tahun akan tetapi yang kesemuanya mirip dengan tosu tinggi kurus itu! Bukan hanya wajah mereka yang sama, akan tetapi juga pakaian dan gelung rambut mereka, dengan ikatan pita kuning itu semua sama. Dan mereka itu ratusan orang banyaknya, semua juga memegang pedang dan mengepungnya dengan ketat! Ci Sian menjadi terkejut dan marah, ia memutar sulingnya dengan hebat, akan tetapi celakanya, remaja-remaja yang berpakaian tosu ini agaknya tidak dapat dirobohkan, seperti bayangan-bayangan saja yang mengelilinginya dan membuatnya pusing! Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan semua tosu remaja itu pun lenyap! Yang ada hanya belasan orang berpakaian hijau yang masih mengepungnya! Maka tahulah, Ci Sian bahwa tosu tua itu menggunakan sihir dan ia pun cepat memutar suling sambil mengerahkan khikang sehingga dari lubang suling itu terdengar suara menggetar yang cukup kuat. Menurut petunjuk suhengnya, suara yang mengandung getaran khi-kang ini akan mampu menolak pengaruh sihir yang kuat sekalipun. Sambil melindungi dirinya dari pengaruh sihir dengan suara sulingnya, Ci Sian mengamuk terus dan merobohkan lagi beberapa orang. Dan ketika sisanya lari, tosu tua itu pun tidak lagi nampak bayangannya.

Ci Sian melanjutkan pengejarannya dengan melihat jejak kaki kuda hitamnya. Dan ketika dia menembus hutan yang tidak berapa besar itu, ia melihat kuda hitamnya sedang makan rumput di tepi hutan sebelah sana, dengan tenangnya. Giranglah hatinya dan ia segera lari menghampiri, akan tetapi dengan amat hati-hati karena ia masih curiga kalau-kalau ia terjebak perangkap. Akan tetapi ternyata tidak terjadi sesuatu dan ia segera menangkap kendali kuda dan memasang kendali kuda itu di mulut kudanya. Ketika ia meloncat ke punggung kuda itu, ia merasakan sesuatu yang amat berbeda. Kuda itu tidak membuat reaksi seperti Hek-liong-ma. Kalau Hek-liong-ma ditungganginya, maka ia merasakan bagaimana otot-otot kuda itu menegang, kepalanya diangkat, telinganya juga berdiri dan ada semacam kekuatan dahsyat bekerja di dalam tubuh kuda yang dapat dirasakannya melalui jepitan pahanya dan melalui kendali yang dipegangnya. Akan tetapi kuda ini reaksinya lambat dan lemah sekali, bahkan agaknya masih merasa enggan meninggalkan rumput hijau segar. Ketika Ci Sian menarik kendali kudanya, kuda itu melangkah maju, sama sekali tidak seperti Hek-liong-ma yang biasanya tentu meloncat ke depan seperti seekor harimau!

“Hemm, sadarlah dan buka matamu baik-baik!” terdengar bisikan aneh seperti tadi dan karena suara itu terdengar dekat telinga kirinya, Ci Sian menengok ke kiri. Akan tetapi tidak nampak sesuatu dan ia terkejut sekali. Cepat ia meloncat turun dari atas punggung kudanya dan melihat bahwa kuda hitam itu ternyata sama sekali bukan Hek-liong-ma, juga bukan hitam melainkan kuda coklat yang amat buruk lagi berpenyakitan.

“Ihhh....!” Ia berseru keras sehingga kuda itu kaget juga. Ci Sian terheran-heran. Bagaimana tadi ia melihat betul bahwa kuda itu sebagai Hek-liong-ma? Apa yang telah terjadi? Ia lalu teringat kepada kakek tosu yang pernah menyihirnya, maka ia pun dapat menduga bahwa ia tentu menjadi korban sihir pula ketika tadi melihat kuda itu. Dan ia pun dapat menduga bahwa ada orang, yang suaranya didengarnya tadi, telah membuka matanya dari pengaruh sihir, seperti juga tadi menolongnya ketika ia terjebak dalam lumpur.

Dan begitu ia melihat kuda coklat berpenyakitan itu, ia melihat pula kuda yang tadinya ia lihat sebagai kuda biasa, ternyata kuda biasa itulah yang sesungguhnya kuda hitam miliknya! Ia cepat meloncat ke atas punggung kuda itu dan kini ia merasakan reaksi yang wajar dari Hek-liong-ma, maka giranglah hatinya. Cepat ia membalapkan kuda itu meninggalkan tempat yang menyeramkan itu, menuju ke timur.

Sementara itu, matahari telah mulai naik tinggi ketika kuda hitam berlari sampai ke lereng sebuah bukit. Daerah itu mulai penuh dengan bukit-bukit, daerah pegunungan yang luas dan sunyi. Ketika Ci Sian menghentikan kudanya dan memandang ke depan, ia melihat bayangan seorang laki-laki berdiri seperti patung tak jauh dari situ. Ia memperhatikan dan merasa heran sekali. Tempat itu amat sunyi dan luas, dan laki-laki itu berdiri seorang diri saja. Seorang laki-laki yang tidak diketahui wajahnya karena berdiri membelakanginya. Hanya ia tahu bahwa orang itu adalah laki-laki, melihat dari pakaian bentuk tubuhnya dari belakang, bentuk tubuh yang sedang akan tetapi lebar pada pundaknya dan nampak kokoh. Rambutnya panjang riap-riapan dan pakaiannya sederhana, tangan kanannya memegang sebatang tongkat pendek, seukuran pedang. Ia merasa curiga. Jangan-jangan seorang di antara para pencuri kuda,pikirnya. Ia harus berhati-hati. Para pencuri kuda itu mempunyai banyak orang pandai, bahkan ada yang pandai main sihir segala. Maka, untuk menjaga dirinya, Ci Sian meloncat turun dari atas punggung kuda dan dengan hati-hati ia menuntun kuda menghampiri orang itu yang kini menyandarkan tubuhnya ke sebatang pohon, kaki kanannya diangkat menginjak sebuah batu di bawah pohon itu. Sungguh menyeramkan keadaan laki-laki itu, bersandar dan tidak bergerak-gerak, memandang ke bawah lereng seperti orang melamun. Rambut penjangnya yang riap-riapan itulah yang mendatangkan suasana menyeramkan, karena rambut itu putih seperti benang perak, berkilauan tertimpa cahaya matahari. Tentu seorang laki-laki telah tua sekali, pikir Ci Sian, karena rambut itu sudah menjadi uban semua.

AKAN tetapi, kalau melihat bentuk tubuhnya, seperti tubuh orang muda. Setelah tiba agak dekat sekalipun Ci Sian masih belum dapat melihat mukanya yang tertutup oleh rambut panjang mengkilap putih itu. Diam-diam ia bergidik dan merasa seram. Ada sesuatu yang mengerikan pada pribadi orang itu, pikirnya dan ia berhati-hati sekali. Betapapun juga, karena ia harus melewati orang itu dan tidak mungkin mengambil jalan memutar, maka ia terus menuntun kuda hitam dan melanjutkan perjalanannya, mengerling dengan penuh waspada ke arah laki-laki rambut putih yang bersandar pada batang pohon itu.

Tiba-tiba laki-laki itu menggerakkan tangan kirinya menuding ke depan, dan tanpa menoleh ke arah Ci Sian terdengarlah suaranya, “Nona, sebaiknya engkau jangan melalui jalan menuju ke depan itu.”

Ci Sian terkejut. Suara itu seperti pernah dikenalnya! Akan tetapi ia tidak tahu dan tidak ingat lagi di mana ia pernah mendengar suara itu. Ingatan ini segera dihalau oleh rasa penasaran dan marahnya. “Mengapa?” tanyanya dengan nada suara tidak puas. “Siapa melarang aku mengambil jalan ini dan mengapa?”

“Tidak ada yang melarang, tetapi sebaiknya jangan engkau ke sana.” kata orang itu tanpa menengok sehingga Ci Sian masih juga belum dapat melihat wajahnya.

“Kenapa?” tanya Ci Sian penasaran. Suara itu bening, tidak seperti suara seorang kakek tua.

“Karena isteriku sedang jengkel dan marah-marah, dan kalau engkau ke sana dan ia melihat Hek-liong-ma tentu akan lebih marah lagi dan engkau akan menghadapi kesukaran.”

Begitu singkat dan sungguh-sungguh suara orang itu sehingga suaranya menjadi lucu rasanya bagi Ci Sian. Ingin ia tertawa, mentertawakan orang itu. Akan tetapi ada sesuatu pada orang itu yang membuat ia tidak dapat tertawa. Kalau orang itu begitu takut kepada isterinya yang katanya sedang marah-marah, mengapa pula ia harus ikut-ikut merasa takut? Karena itu, tanpa menjawab ia terus menuntun kudanya lewat di depan orang itu, dengan sikap waspada menjaga diri kalau-kalau orang itu akan menyerangnya. Akan tetapi, kini terjadi keanehan pada Hek-liong-ma. Kuda itu tiba-tiba saja meringkik dan mogok, tidak mau ditarik oleh Ci Sian ketika binatang itu tiba di depan laki-laki rambut panjang itu.

“Hishhh, hayo maju, Hek-liong-ma!” Ci Sian menarik-narik kendali kudanya yang mendadak mogok itu. Sambil menarik kudanya, ia melirik dan ia terkejut. Pria itu ternyata memang benar belum tua sekali. Sebagian wajahnya nampak dan ternyata dia seorang Laki-laki yang berwajah nampak tampan dan gagah, melihat wajah itu usianya tentu sekitar tiga puluh enam tahun atau sebaya dengan suhengnya, Kam Hong. Kalau lebih tua pun tidak akan banyak selisihnya, hanya dua tahun. Dan sepasang mata yang menunduk itu kelihatan mencorong menakutkan! Akan tetapi, pria itu tidak memandang kepadanya, hanya melirik ke arah kuda yang mogok lalu menggerakkan tangan kirinya.

“Pergilah, Hek-liong-ma!” katanya lirih dan sungguh aneh, kuda itu kini mau bergerak, jalan mengikuti Ci Sian sambil mengeluarkan suara seperti orang merintih, Ci Sian terkejut.

“Apakah hubunganmu dengan kuda ini? Apakah.... apakah engkau yang menyerahkan kuda ini kepada kakek pedagang kuda itu?” Tiba-tiba ia teringat akan cerita kakek itu.

Laki-laki itu tetap tidak memandang kepada Ci Sian, masih menundukkan mukanya dan berkata tak acuh. “Kuda itu sekarang punyamu, jaga baik-baik.”

Melihat sikap ini, diam-diam Ci Sian tidak senang. Biasanya, semua laki-laki bersikap manis kepadanya, akan tetapi Laki-laki ini memperlakukan ia seolah olah ia tidak nampak olehnya. Laki-laki sombong, pikirnya dan ia pun tidak mau bicara lagi, melanjutkan perjalanannya, tidak peduli akan peringatan yang diberikan oleh laki-laki itu tentang isterinya, pikirnya mendongkol.

Setelah melewati orang yang menimbulkan rasa ngeri di dalam hatinya itu, Ci Sian lalu meloncat ke atas punggung kudanya dan menjalankan kudanya perlahan-lahan menuruni lereng. Perutnya terasa lapar dan ia harus cepat-cepat menemukan dusun untuk mencari makanan. Tiba-tiba ia menahan kendali kudanya dan memandang ke bawah. Di depan sana terdapat seorang wanita sedang berjalan seorang diri, memakai payung untuk melindungi mukanya dari sengatan matahari. Di tempat seperti itu berjalan melenggang dengan memakai payung! Sungguh suatu pemandangan yang amat aneh dan juga lucu. Akan tetapi harus diakuinya bahwa jarang ia melihat seorang wanita secantik wanita berpayung itu. Wanita itu usianya tentu sudah ada tiga puluh tahun, walaupun wajahnya nampak cantik manis sekali dan tubuhnya yang terbungkus pakaian rapi dan indah itu nampak padat dan ramping menggairahkan. Gerakannya ketika melenggang seperti seorang sedang menari saja. Benar-benar seorang wanita yang selain cantik, juga memiliki bentuk tubuh indah dan memiliki gerakan bergaya yang amat menarik. Setelah dekat, ia melihat betapa sepasang mata wanita itu juga amat tajam dan berwibawa, dan membayangkan kecerdikan.

“Berhenti! Berhenti dan turun kau!” Wanita berpayung itu membentak, suaranya nyaring dan bening, juga amat berwibawa sehingga sebelum ia tahu apa yang harus ia lakukan, Ci Sian sudah menahan kendali kudanya dan berhenti.

“Apa.... apa katamu....?” tanyanya bingung karena ia tidak tahu mengapa suara wanita itu mempunyai pengaruh yang demikian kuatnya sehingga ia seperti terdorong oleh kehendak yang amat kuat untuk menghentikan kudanya, bahkan untuk turun, akan tetapi hal ini masih dilawannya.

“Turun kataku! Turun dari atas kuda itu!” kembali wanita berpayung itu membentak dan sungguh luar biasa sekali, Ci Sian turun dari atas kudanya seperti seorang anak kecil takut akan perintah ayahnya. Padahal, bukan takut yang mendorongnya turun, melainkan entah apa ia sendiri tidak tahu, yang jelas ia harus turun dari atas kuda itu! Dan anehnya, kuda itu kini meringkik lirih dan berjalan perlahan-lahan menghampiri wanita berpayung itu.

“Huh, engkau tentu mencuri kuda Hek-liong-ma ini!” kata wanita berpayung itu sambil mengerutkan alisnya dan memandang marah kepada Ci Sian. “Masih muda sudah belajar mencuri, ya? Mencuri kuda lagi, tidak tahu malu!”

Marahlah Ci Sian! Dan kemarahan karena dituduh menjadi pencuri kuda itu tiba-tiba saja membuatnya sadar akan kelakuannya sendiri yang tidak wajar ketika ia turun dari atas punggung kuda. Maka ia pun cepat mengerahkan sinkangnya dan tahulah ia bahwa ia tadi berada di bawah pengaruh kekuatan yang tidak wajar dari wanita itu. Kini, dengan mata berapi ia memandang kepada wanita itu dan menudingkan telunjuknya.

“Siluman betina! Jangan sembarangan saja menuduh orang! Aku bukan pencuri dan yang sudah jelas, engkau adalah seorang tukang tenung, siluman betina yang menggunakan ilmu hitam untuk mempengaruhi aku!”

“Eh, eh.... bocah setan! Sudah menunggang kuda orang seenaknya masih marah-marah lagi? Engkau patut dihajar!” Dan tiba-tiba saja wanita itu melangkah maju, gerakannya cepat bukan main dan tangan kirinya sudah melayang dan menampar ke arah pipi Ci Sian dengan kuatnya.

“Plakkk!” Ci Sian menangkis dan dua tangan yang sama kecil dan halusnya, akan tetapi juga sama kuatnya itu bertemu, membuat keduanya merasa betapa kulit tangan mereka panas dan lengan mereka kesemutan. Terkejutlah keduanya, maklum bahwa lawan adalah orang yang tidak boleh dipandang ringan. Wanita berpayung itu sudah meloncat ke belakang dan memandang kepada Ci Sian dengan sinar mata lain.

“Aihhh, kiranya engkau mempunyai juga sedikit kepandaian, ya? Pantas berani kurang ajar kepadaku!”

“Perempuan galak, siapa takut kepadamu?” Ci Sian membalas bentakan orang itu dengan marah dan ia pun sudah mencabut sulingnya karena ia maklum bahwa wanita ini memiliki kepandaian tinggi dan terutama sekali memiliki ilmu sihir agaknya. Sungguh tempat yang menyeramkan daerah ini, pikirnya. Agaknya semua orang pandai ilmu sihir di sini! Maka, untuk melindungi dirinya dari pengaruh ilmu hitam, dia sengaja mengeluarkan sulingnya.

“Ah, kiranya engkau yang main-main dengan suling itu. Bagus, mari kita main-main sebentar!” Suara wanita itu berobah, tidak marah seperti tadi, bahkan agak ramah dan gembira, seperti seorang anak kecil menemukan permainan baru. Dan cepat seperti kilat menyambar payungnya sudah bergerak menyerang. Mula-mula payung yang terbuka itu menyambar dan mendatangkan angin seperti kipas yang mengebut ke arah muka Ci Sian, lalu dilanjutkan dengan menutupnya payung yang meluncur dengan ujungnya yang runcing menotok ke tiga jalan darah di leher, pundak dan lambung Ci Sian secara bertubi-tubi!

“Bagus!” Ci Sian juga memuji karena harus diakuinya bahwa serangan wanita itu amat ganas dan cepat, berbahaya sekali dan juga aneh gerakannya. Ia pun cepat memutar sulingnya yang mengeluarkan bunyi melengking penuh dengan getaran hawa khi-kang, dan sekaligus Ia menangkis tiga kali.

Wanita itu memandang kagum karena tiga kali tangkisan itu membuat semua serangannya gagal total, bahkan payungnya terpental, memaksa ia melangkah mundur untuk mengatur posisi agar ia dapat melanjutkan penyerangannya. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar Suara laki-laki yang tadi berjumpa dengan Ci Sian, “Cukup, jangan berkelahi!”

Akan tetapi anehnya, begitu wanita berpayung itu mendengar suara laki-laki ini, kegembiraannya berganti kemarahan dan ia malah menyerang Ci Sian lebih dahsyat dan lebih ganas lagi dibandingkan dengan tadi! Tentu saja Ci Sian juga memutar sulingnya, menangkis dan tidak mau kalah, membalas serangan lawan dengan sama ganasnya.

“Aih, dua-duanya keras kepala!” terdengar laki-laki itu berseru dan tiba-tiba saja Ci Sian mengenal, suara itu. Itulah suara yang pernah terdengar olehnya ketika ia terjerumus ke dalam kolam lumpur, dan suara laki-laki ini pula yang menyadarkan ia bahwa ia telah terpengaruh sihir ketika memilih kuda penyakitan sebagai Hek-liong-ma! Dan tiba-tiba ia melihat bayangan berkelebat, sedemikian cepatnya laki-laki itu bergerak, padahal tadinya dia itu berdiri di tempat yang agak jauh. Bagaikan terbang saja laki-laki itu telah berkelebat datang di tengah-tengah antara mereka dan di lain saat, laki-laki itu telah memegang ujung payung dan ujung suling yang saling berhantam itu dan Ci Sian merasa betapa amat sukar baginya untuk menggerakkan suling yang tertangkap itu. Ia terkejut setengah mati, tidak mengira bahwa di dunia ada orang yang mampu bergerak secepat itu!

“Sudah, jangan berkelahi. Nona, maafkanlah isteriku dan harap kau suka mundur.” kata pria itu kepada Ci Sian. Ci Sian mengangguk dan menarik sulingnya lalu meloncat ke belakang.

“Isteriku, engkau tahu bahwa Nona ini bukan musuh, bukan penjahat, mengapa engkau mendesak dan menyerangnya?”

Wanita berpayung itu membelalakkan matanya yang jeli dan berbentuk indah itu, mukanya menjadi merah karena marah dan tiba-tiba ia mengeluarkan kata-kata yang ketus dan keras. “Bagus! Ia muda dan cantik dan lihai! Engkau tergila-gila kepadanya, ya?”

“In-moi....! Kau.... cemburu? Ah, Isteriku, kenapa begini jadinya dengan kita....!” Pria itu berkata dengan nada mengeluh dan wanita berpayung itu membuang muka, akan tetapi Ci Sian dapat melihat betapa kedua mata yang indah itu mulai membasah dan berlinang air mata. Ia merasa terkejut, terheran dan juga terharu. Ada sesuatu antara suami isteri yang mengganggu perasaan mereka. Padahal, suami isteri ini amat luar biasa. Kini ia dapat melihat wajah prla itu. Waajah seorang pendekar yang amat mengagumkan dan gagah perkasa, dan wanita itu sungguh cantik dan gagah pula. Pasangan yang amat hebat, dan kepandaian mereka luar biasa pula. Akan tetapi mengapa kini seolah-olah ada ganjalan penyesalan di antara mereka dan mereka itu nampak berduka? Tiba-tiba ia teringat. Pendekar ini! Persis seperti yang pernah diceritakan oleh Kam Hong kepadanya! Dan gerakan yang seperti kilat tadi, gerakan meloncat yang seperti terbang saja itu.

“Tai-hiap.... bukankah Tai-hiap ini.... Pendekar Siluman Kecil?” akhirnya dia memberanikan diri bertanya.

Sepasang mata yang mencorong itu kini menatap wajahnya, mengingatkan Ci Sian akan sepasang mata Kam Hong dan juga mata Hong Bu, walaupun tidak setajam mata pendekar ini. Terpaksa ia menundukkan pandang matanya.

“Bertahun-tahun lamanya tidak ada orang menyebut nama itu. Bagaimana engkau bisa tahu, Nona?” Suara pendekar itu halus, namun mempunyai wibawa dan juga mengandung desakan sehingga mau tidak mau Ci Sian terpaksa harus menjawab sejujurnya.

“Saya sering mendengar nama besar Tai-hiap dari Suheng. Dia mengenal Taihiap dengan baik dan seringkali bercerita tentang Tai-hiap.”

“Siapa Suhengmu itu, Nona?”

“Suheng saya she Kam bernama Hong....”

“Ah, kiranya Siauw Hong? Kam Hong keturunan Pendekar Suling Emas?”

“Benar, dan dialah yang sekarang yang berjuluk Pendekar Suling Emas.” kata Ci Sian dengan bangga.

“Bagus! Kiranya begitu, pantas saja ilmu sulingmu hebat, Nona. Nah, isteriku lihat saja, bukankah kita bertemu dengan orang sendiri? Karena itu, tidak baik untuk membiarkan kemarahan mengamuk, salah-salah bisa bentrok dengan sahabat sendiri.”

Wanita cantik berpayung itu memandang kepada Ci Sian, menarik napas dan menghampiri, lalu memegang pundak Ci Sian. “Adik yang baik, engkau masih muda dan ternyata sudah memiliki kepandaian lihai. Kiranya sumoi dari keturunan Pendekar Suling Emas. Siapakah namamu?”

Melihat sikap yang begini terbuka dan ramah, Ci Sian merasa terharu dan balas merangkul. Seketika ia merasa suka sekali kepada wanita cantik jelita yang gagah ini.

“Enci yang gagah, maafkanlah sikap saya tadi.”

“Hush, aku yang bersalah, masa engkau yang minta maaf!” Wanita itu tertawa dan dan ia nampak manis bukan main. “Sudahlah, tidak perlu maaf-maafan antara kita. Engkau tentu sudah mendengar tentang nama kami....”

“Suheng hanya memberi tahu bahwa Pendekar Siluman Kecil bernama Suma Kian Bu, putera dari Pendekar Super Sakti di Pulau Es yang hanya kuketahui sebagai dongeng, akan tetapi Suheng tidak tahu siapa nama isterinya. Siapakah nama Enci yang gagah?”

“Memang Suhengmu benar. Suamiku ini bernama Suma Kian Bu dan aku bernama Teng Siang In, seorang perempuan buruk dan bodoh biasa saja.... tidak seperti dia....” suaranya mengandung keluhan lagi.

“Eihhh, isteriku, mengapa mulai lagi? Nah, ceritakan, Nona, siapakah namamu dan bagaimana engkau bisa sampai ke tempat ini?”

“Namaku Bu Ci Sian dan kami, yaitu aku dan Suheng, baru saja kembali dari barat, untuk membasmi Hek-i-mo.” katanya dengan jujur dan akrab, karena merasa betapa mereka itu amat ramah kepadanya.

Suami isteri itu saling pandang. “Hek-i-mo? Dan bagaimana hasilnya?” tanya pendekar itu.

“Suheng telah berhasil membasmi mereka, hanya sayang bahwa Hek-i Mo-ong sendiri berhasil melarikan diri.” Kata Ci Sian dengan bangga.

Pendekar berambut putih itu mengangguk-angguk. “Hebat, tidak mengecewakan dia menjadi keturunan Pendekar Suling Emas.”

Para pembaca ceritaKisah Sepasang RajawalidanJodoh Rajawali tentu mengenal siapa adanya Pendekar Siluman Kecil ini. Telah diceritakan di dalamkisah Jodoh Rajawali , Suma Kian Bu, yaitu putera dari Pendekar Super Sakti Suma Han dan Puteri Nirahai, telah berjodoh dan menikah dengan Teng Siang In, dara cantik jelita yang selain pandai ilmu silat, juga pandai dalam ilmu sihir itu. Berbareng dengan kakaknya, yaitu Suma Kian Lee putera Suma Han dan Lulu, Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu merayakan pernikahannya dengan isterinya. Mereka lalu tinggal di Pulau Es, hidup berbahagia bersama keluarga Suma.

Akan tetapi, setelah menanti-nanti sampai sepuluh tahun belum juga suami isteri ini memperoleh keturunan, mulailah mereka berdua merasa gelisah dan berduka. Sementara itu, Suma Kian Lee yang menikah dengan Kim Hwee Li, dan yang beberapa tahun kemudian telah meninggalkan Pulau Es dan tinggal di daratan besar, telah mempunyai dua orang anak, seorang putera dan seorang puteri. Akhirnya, suami isteri itu tidak dapat menahan kedukaan dan kekecewaan hati mereka lagi dan mereka berdua lalu meninggalkan Pulau Es, sungguhpun ayah mereka, yaitu Suma Han, dan kedua ibunya mereka, telah tua sekali. Mereka pergi ke daratan besar dan melakukan perantauan sampai akhirnya mereka tiba di daerah barat dekat Sin-kiang itu dan berjumpa dengan Ci Sian.

Tentu saja Suma Kian Bu masih ingat kepada Kam Hong yang dahulu disebutnya Siauw Hong, pemuda berpakaian pengemis yang lihai itu, yang pernah menjadi semacam kacungnya. Dan giranglah hatinya mendengar dari Ci Sian bahwa Kam Hong kini telah menjadi seorang pendekar yang amat lihai sehingga mampu membasmi gerombolan Hek-i-mo yang amat terkenal itu. Dia sendiri bersama isterinya telah mendengar di sepanjang perjalanan tentang Hek-i-mo dan bahkan telah mengambil keputusan untuk menghadapi gerombolan jahat itu yang kabarnya telah menewaskan banyak orang kang-ouw. Kiranya mereka telah didahului oleh keturunan Pendekar Suling Emas.

“Di mana sekarang Suhengmu yang perkasa itu?” tanya Kian Bu kepada Ci Sian. Wajah dara ini menyuram dan ia menggelengkan kepalanya.

“Aku tidak tahu, dia telah meninggalkanku dan aku sekarang justeru sedang mencarinya, Tai-hiap.” jawabnya sejujurnya dan dengan suara mengandung kedukaan.

Siang In merangkulnya. Wanita ini sudah matang dan sudah tahu akan isi hati dan perasaan wanita lain, dan ia dapat merasakan bahwa kemasygulan hati Ci Sian ada hubungannya dengan kerinduan. Maka ia pun dapat menduga bahwa tentu ada hubungan yang lebih mesra antara Ci Sian dan Kam Hong daripada hubungan suheng dan sumoi belaka.

“Jangan berduka, Ci Sian. Tidak ada kesulitan apapun di dunia ini yang tidak dapat diatasi. Bersabarlah.”

Mendengar ucapan isterinya itu, wajah Kian Bu yang tadi nampak termangu-mangu itu berseri dan cepat menyambung, “Benar, dan tepat sekali ucapan isteriku itu, Nona Bu. Segala kesulitan akan dapat diatasi dengan kesabaran.”

Diam-diam Ci Sian merasa kasihan kepada suami isteri itu. Mereka itu, terutama Siang In, hendak menghiburnya dan agaknya kedukaan hatinya karena mencari suhengnya itu setidaknya merupakan hiburan ringan bagi kedukaan suami isteri itu. Entah kedukaan apa yang telah membuat suami isteri itu seperti orang yang gelisah dan juga bahkan kerenggangan timbul di antara mereka.

Selagi ia hendak bicara, tiba-tiba saja lengannya dipegang oleh Siang In yang berkata dengan lirih. “Adik Ci Sian, serahkan saja tikus-tikus itu kepada kami.”

Melihat sikap Siang In, Ci Sian menengok dan melihat datangnya beberapa orang tosu yang berjalan cepat sekali ke arah mereka. Ketika mereka sudah tiba dekat, ia mengenal tosu yang pandai sihir tadi telah datang bersama lima orang tosu lainnya dan seorang di antara mereka adalah seorang kakek yang usianya tentu sudah ada tujuh puluh tahun lebih. Kakek ini memegang sebatang tongkat, tubuhnya kurus sekali dan mukanya pucat seperti tengkorak hidup, akan tetapi sepasang matanya seperti mata setan yang bergerak-gerak liar dan mengandung kekuatan aneh.

Begitu enam orang yang berpakaian tosu itu berhadapan dengan Kian Bu, Siang In dan Ci Sian, mereka berhenti dan memandang dengan penuh perhatian. Kemudian, tosu kurus kering yang memegang tongkat itu melangkah maju.

“Siancai.... tidak disangka bahwa daerah kami kedatangan orang-orang muda yang memiliki kepandaian hebat. Tidak tahu siapakah Sicu dan dari manakah Sicu datang?”

Suma Kian Bu sejenak memandang kepada tosu ini. Melihat gerak-gerik tosu ini, juga pandang matanya yang seperti setan itu, dia tahu bahwa dia berhadapan dengan orang pandai, dan lagaknya tidak seperti penjahat. Maka dia pun menjura dan menjawab dengan suara tenang.

“Totiang, kami bertiga adalah pelancong-pelancong biasa saja yang tidak ingin mencari permusuhan dengan siapa pun di sini. Akan tetapi sayang, agaknya orang-orang pandai di daerah sini suka mencari keributan, bahkan tidak segan-segan untuk mencuri kuda. Karena itu terpaksa kami membela yang benar dan kami menyesal sekali.

Tosu kurus itu mengangguk-angguk dan menarik napas panjang, kemudian tersenyum pahit. “Gara-gara kuda hitam itu agaknya yang menimbulkan salah paham, Sicu.”

“Salah paham apa?” Ci Sian sudah berkata sambil tersenyum mengejek. “Sudah jelas ada teman-temanmu yang mencuri kuda dari pemiliknya, kemudian mengeroyokku untuk merampas kuda hitam!”

Sepasang mata yang amat hitam itu kini memandang kepada Ci Sian dan begitu bertemu pandang, Ci Sian bergidik dan cepat membuang pandang mata. Mata setan, pikirnya serem.

“Aha, agaknya kesalahpahaman ini berasal darimu, Nona.” tosu itu berkata sambil tersenyum.

“Apa? Sudah jelas bahwa orang-orangmu hendak mencuri kuda pedagang kuda tua itu. Apakah engkau hendak menyangkalnya, Totiang?” Ci Sian berkata lagi, penasaran.

Kakek itu mengangguk-angguk. “Memang benar.... memang benar...., akan tetapi lalu muncul Nona yang lihai dan menggagalkan mereka. Akan tetapi kemudian para sahabat itu melihat Nona menunggang kuda itu, sehingga timbul kesalahpahaman yang makin besar. Mereka mengira bahwa Nona telah mencuri kuda itu, maka mereka berusaha untuk merebutnya.... dan muncullah Sicu dan Toanio ini yang lihai sekali!”

“Enak saja menuduh orang! Kalian sudah jelas pencuri-pencuri kuda, sekarang hendak menuduh aku mencuri pula. Huh, aku bukan pencuri kuda macam kalian! Kakek pedagang kuda itu atas kehendaknya sendiri memberikan kuda itu kepadaku!” Ci Sian membentak.

“Dan kakek pedagang kuda itu menerima pemberian kami!” Tiba-tiba Siang In berkata, suaranya lantang. “Hek-liong-ma adalah kuda kami yang kami berikan kepada pedagang kuda itu!”

Mendengar ini, para tosu itu memandang kepada Siang In, bahkan Ci Sian sendiri terkejut. Tak disangkanya bahwa Pendekar Siluman Kecil inilah yang dimaksudkan oleh Si Pedagang kuda sebagai pendekar yang telah menukarkan kuda hitam itu dengan makanan selama dua hari!

“Ah, kiranya Hek-liong-ma ini kudamu Enci?” Ci Sian bertanya heran.

“Nah, lihatlah, Totiang. Kami bukan pencuri-pencuri kuda, akan tetapi teman-teman Totianglah yang mencuri dan hendak merampas kuda orang. Maka, harap Totiang mau mengerti dan suka meninggalkan kami yang tidak mencari keributan.” kata Suma Kian Bu, sikap dan suaranya tegas dan berwibawa.

“Ho-ho, Sicu. Harap jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Sesungguhnya teman-teman kami itu pun bukan pencuri-pencuri kuda, walaupun mereka berusaha mencuri Hek-liong-ma.”

“Omongan apa itu?” Ci Sian membentak. “Bukan pencuri akan tetapi mencuri!”

“Siancai.... Nona muda amat keras hati.” tosu itu berkata sambil mengelus jenggotnya. “Agar jelas bagi Sam-wi (Kalian Bertiga) baiklah kami ceritakan. Kami hanya orang-orang yang bertugas mendapatkan kuda terbaik di daerah ini. Kami melihat Hek-liong-ma dan kami tahu bahwa itulah kuda yang harus kami dapatkan. Kami membujuk pedagang kuda, hendak membelinya dengan harga berapa pun, membujuk untuk meminjamnya, namun sia-sia. Dia tidak mau menyerahkannya dan terpaksalah kami berusaha mencurinya.” Tosu itu dengan singkat lalu menceritakan keadaannya dan anak buahnya yang “terpaksa” mencuri kuda terbaik.

Di daerah Sin-kiang yang amat luas itu terdapat banyak pengusaha-pengusaha yang hidupnya seperti raja-raja kecil. Mereka adalah orang-orang yang menguasai tanah yang luas sekali, yang kebanyakan didapatnya dengan mengandalkan kekayaan mereka yang amat besar. Dengan tanah yang amat luas itu, dan dengan harta mereka, maka raja-raja kecil ini memperkuat dirinya dengan pembantu-pembantu bayaran, dengan pasukan-pasukan kecil untuk melindungi keamanan jiwa dan hartanya. Keadaan seperti ini sudah turun-temurun terjadi di daerah itu, bahkan setelah Kerajaan Mancu berkuasa sekalipun, kerajaan ini tidak dapat menghapus begitu saja kekuasaan raja-raja kecil ini, sungguhpun penguasa-penguasa ini membayar pajak kepada pemerintah. Dan tidak jarang di antara raja-raja kecil ini terjadi bentrokan-bentrokan dan perang-perang kecil untuk soal-soal yang kecil. Adakalanya karena perbatasan tanah kekuasaan, karena anak buah dan sebagainya yang pada hakekatnya hanyalah karena berlumba kedudukan dan kekuasaan.Akan tetapi, karena sudah terlalu sering terjadi bentrokan-bentrokan yang menimbulkan kekacauan. Kerajaan Mancu bertindak dengan keras dan melarang semua bentrokan itu, menghukum mereka yang menimbulkan kekacauan. Dan semenjak pemerintah ini bertangan besi, perlumbaan kekuasaan itu pun mengambil bentuk lain. Kini bukan perlombaan kekuasaan dengan kekerasan, melainkan dengan jalan perlombaan-perlombaan seperti perlombaan kekayaan, perlombaan kuda dan ketangkasan-ketangkasan lain lagi. Semua ini hanya dengan satu tujuan, yaitu mencari kemenangan, karena dalam kemenangan ini mereka yang menang merasa bahwa mereka lebih unggul dan lebih segala-galanya dari yang kalah!

Yang paling sering diadakan perlumbaan atau balapan kuda. Karena inilah, dengan menggunakan kekayaan mereka, para penguasa atau raja kecil ini, mendatangkan kuda-kuda terbaik dari seluruh negeri, bahkan ada yang mendatangkan dari jauh dari barat melalui pegunungan-pegunungan yang amat sukar perjalanannya dan membuat kuda itu mempunyai harga yang amat mahal. Setiap tahun sekali tentu diadakan perlumbaan kuda ini, dan dalam setahun penuh, para pembantu. raja-raja kecil ini juga berlumba sendiri untuk mengumpulkan sebanyak mungkin kuda-kuda terbaik. Jadi semacam perlumbaan mencari kuda terbaik.

Tosu itu bersama anak buahnya adalah serombongan petugas dari seorang raja kecil yang memiliki wilayah luas di perbatasan sebelah timur. Ketika mereka melihat kakek pedagang kuda menggiring banyak kuda dan di antara kuda-kuda itu terdapat Hek-liong-ma, tentu saja mereka tertarik sekali. Belum pernah mereka melihat kuda sebaik itu dan tentu saja sebagai orang-orang yang haus akan kuda baik sehubungan dengan tugas mereka, mereka segera menghubungi kakek itu untuk membeli atau meminjam kuda hitam itu untuk keperluan perlumbaan beberapa hari yang akan datang. Namun, kakek pedagang kuda itu menolak, dengan alasan bahwa kuda itu adalah pemberian orang, maka tidak hendak dijualnya juga tidak dapat disewakan atau dipinjamkannya. Inilah yang membuat anak buah tosu itu terpaksa mencoba untuk mencuri kuda hitam dan secara kebetulan mereka itu dilihat Ci Sian yang segera membantu kakek pedagang kuda.

“Nah, demikianlah duduk perkaranya. Harap Sam-wi, suka maklum keadaan kami.” Sambung tosu itu.”Maksud kami mencuri kuda itu pun hanya untuk meminjamnya sampai perlumbaan berlangsung dan majikan kami menang. Kami akan mengembalikan kepada pemiliknya lagi. Akan tetapi sekarang, pedagang kuda itu telah memberikan kuda hitam kepada Nona sehingga kami benar-benar menghadapi kesulitan sekarang.”

“Setelah kuda ini menjadi milikku, dan setelah orang-orangmu gagal merampasnya dariku, sekarang engkau datang dengan maksud bagaimanakah?” Ci Sian bertanya, sikapnya menantang.

Tosu itu tersenyum. “Nona muda, tentu engkau tahu bahwa seorang petugas yang baik adalah orang yang tidak akan pernah putus asa sebelum tugasnya terlaksana dengan baik. Demi suksesnya tugas, tentu saja kami akan mempergunakan segala daya untuk mendapatkan kuda hitam itu, Nona. Misalnya dengan begini!” Dan tiba-tiba kakek itu menudingkan tongkatnya ke arah kuda hitam yang diikatkan pada batang pohon oleh Ci Sian tadi. Dan terjadilah hal yang amat luar biasa dalam pandangan Ci Sian. Kuda itu telah terlepas dari batang pohon dan kini kuda itu berjalan perlahan-lahan menghampiri tosu yang menudingkan tongkatnya itu!

“Hemm, permainan kanak-kanak saja!” Tiba-tiba terdengar suara mengejek dari mulut Siang In. Teng Siang In, isteri dari Pendekar Siluman Kecil itu adalah seorang wanita yang selain ahli dalam ilmu silat, juga memiliki kepandaian sihir yang kuat. Ia pernah menjadi murid dari mendiang See-thian Hoat-su. Maka, melihat ilmu sihir yang dilakukan oleh tosu itu, ia mentertawakannya.

“Ci Sian, jangan mudah ditipu olehnya, Hek-liong-ma masih tetap berada di sana, terikat di batang pohon!”

Ci Sian terkejut sekali karena ketika ia menengok, benar saja kudanya masih tetap berada di pohon, terikat kendalinya seperti tadi dan kuda hitam yang berjalan menghampiri kakek itu kini telah lenyap seperti asap saja!

Melihat ini, kakek itu tertawa. “Ha-ha-ha-ha, bagus sekali! Di tempat ini kami bertemu dengan seorang wanita sakti! Bagus, Toanio, marilah kita main-main sebentar untuk mempererat perkenalan!” Setelah berkata demikian, kakek itu mengeluarkan suara teriakan halus panjang. Ketika Ci Sian memandang, ia melihat kakek itu sudah berhadapan dengan Siang In dalam jarak kurang lebih lima meter dan kakek itu menudingkan tongkatnya ke atas. Dari ujung tongkat itu keluarlah asap putih yang mengeluarkan suara mendesis. Asap itu makin lama makin banyak dan tebal, lalu terbentuklah seekor ular yang dari mulutnya mengeluarkan asap dan api. Ular itu seperti terbang turun hendak mematuk Siang In!

Ci Sian kaget sekali, akan tetapi karena ia melihat betapa Pendekar Siluman Kecil hanya berdiri sebagai penonton saja dan kelihatan tenang dan enak-enakan, maka ia pun tidak mau sembarangan turun tangan. Ia tahu bahwa kakek itu menggunakan sihir, dan agaknya Siang In yang cantik itu sama sekali tidak merasa khawatir, bahkan nyonya ini mengangkat tangan kiri ke atas sambil berkata. “Totiang, apa daya seekor ular menghadapi seekor burung bangau?” Dan sungguh aneh, tangan kirinya itu seperti berobah menjadi seekor pek-ho (bangau putih) yang terus terbang ke atas, lalu menyambar turun dan menangkap ular itu dengan paruhnya yang kuat, lalu menelan ular itu!

“Bagus....! Akan tetapi kami belum kalah, Toanio!” kata tosu itu dan kini ia menudingkan tongkatnya sampai ujungnya menyentuh tanah, dan sekali mencongkel ada tanah tercokel tongkat dan tanah itu berhamburan berobah menjadi.... tikus-tikus hitam yang banyak sekali dan kini semua lari menghampiri Siang In! Melihat tikus-tikus itu, Ci Sian sendiri memandang terbelalak dengan jijik dan geli. Juga wajah Siang In agak berobah, ada bayangan kengerian pada wajah cantik itu, memang pada umumnya tikus-tikus merupakan binatang yang paling menjijikkan bagi wanita. Karena agaknya merasa jijik ini, maka Siang In tidak membuang banyak waktu lagi, cepat ia pun menudingkan telunjuknya ke arah tikus-tikus itu dan membentak dengan suara melengking nyaring yang mengandung wibawa amat kuatnya.

“Asal tanah kembali jadi tanah!”

Nampak asap mengepul dan tikus-tikus itu pun lenyaplah, berobah menjadi seonggok tanah kembali! Tosu itu mengangguk-angguk dan memandang heran. “Kami lihat bahwa kekuatan sihir dari Toanio hebat bukan main dan agaknya bersatu sumber dengan kami. Bolehkah kiranya pinto mengetahui siapa gerangan guru Toanio dalam ilmu sihir?”

Siang In tersenyum. Untuk mencegah pertentangan selanjutnya, memang perlu untuk mendatangkan kesan kepada orang-orang ini, maka tanpa ragu-ragu ia menjawab. “Kenalkah Totiang kepada See-thian Hoat-su dan Nenek Durganini? Dari merekalah aku mempelajari sihir.”

Tiba-tiba saja sikap tosu itu berobah, amat hormat dan dia pun malah segera menjura. “Ah, kiranya Toanio murid dari Locianpwe Durganini yang sakti! Sungguh pinto terlalu lancang berani memperlihatkan kebodohan sendiri!” Lalu dia menoleh kepada teman-temannya yang telah mencabut senjata mereka itu dan berkata. “Ah, para rekan, ternyata mereka ini adalah orang-orang gagah yang sama sekali tidak boleh diganggu....“ Akan tetapi, wajah para jagoan yang biasanya mengandalkan senjata dan ilmu silat mereka itu, membayangkan kekecewaan dan penasaran. Baru pertunjukan sihir seperti itu saja mengapa membuat tosu itu ketakutan dan menyuruh mereka mundur?

“Tapi, pihak lawan yang paling kuat, yaitu Si Topi Merah, juga telah mendapatkan seekor kuda yang mirip dengan Hek-liong-ma. Tanpa bantuan Hek-liong-ma ini, mana mungkin kita bisa menang? Dan kekalahan sekali ini tentu akan menjatuhkan nama majikan kita dan mungkin membuat kita kehilangan pekerjaan!” kata seorang di antara mereka yang memegang sepasang golok besar dan nampaknya gagah dan juga tangguh.

“Habis, kalian mau apa? Mau merampas kudaku ini?” Ci Sian membentak dan melangkah maju sambil mengangkat dada, sikapnya menantang sekali.

Si Pemegang Sepasang Golok besar yang kepalanya botak itu berkata, sikapnya gagah namun jelas bahwa dia termasuk orang yang jujur dan kasar, tidak biasa bersikap halus. “Nona, kami bukanlah perampok dan orang-orang jahat, bukan pula pencuri kuda. Akan tetapi, karena terpaksa, kami hanya bermaksud menyewa atau meminjam kuda Nona itu untuk satu kali perlombaan saja.”

“Hemm, kalau aku menolak?”

“Terpaksa kami akan manggunakan kekerasan. Kami akan merampas kuda ini untuk dipinjam dan kelak kami kembalikan bersama uang sewanya.” kata Si Botak sambil melintangkan sepasang goloknya di depan dada. Teman-temannya yang belasan orang jumlahnya, juga sudah siap dengan senjata masing-masing, untuk menggertak agar nona itu suka meminjamkan kudanya tanpa adanya kekerasan.

Akan tetapi sebelum Ci Sian melayani orang itu, tiba-tiba terdengar suara Suma Kian Bu. Si Pendekar Siluman Kecil ini sejak tadi hanya mendengarkan dan melihat saja, akan tetapi begitu melihat sikap Si Botak yang agaknya bertekad untuk merampas kuda, timbul perasaan tidak senang di hatinya yang dapat dilihat dari kerutan kedua alisnya. “Aku paling tidak suka orang-orang yang suka bermain-maln dengan senjata! Nah, biar kusingkirkan semua senjata itu!” Dan tiba-tiba saja tubuhnya berkelebat di antara orang itu. Terdengar teriakan-teriakan kaget dan orang-orang itu hendak mempertahankan senjata masing-masing dengan jalan mengelak atau bahkan memapaki pendekar itu dengan serangan, akan tetapi semua ini percuma saja. Bahkan Si Botak itu sendiri yang mengelebatkan sepasang goloknya, tahu-tahu merasa kedua tengannya kaku dan kedua goloknya itu terlepas dari pegangan tangannya, lenyap entah ke mana! Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Kian Bu telah meloncat ke depan tosu itu dan menurunkan belasan batang senjata tajam itu ke atas tanah. Terdengar bunyi berkerontangan ketika senjata-senjata itu berjatuhan di depan kaki Si Tosu yang menjadi pemimpin atau juga guru mereka!

Diam-diam Ci Sian kagum bukan main. Ia dapat mengikuti semua gerakan pendekar itu yang bagi belasan orang itu tidak dapat dilihat, dan dara perkasa ini harus mengakui bahwa gerakan pendekar itu sungguh amat luar biasa, seperti kilat saja berloncatan ke sana sini dengan amat cekatan. Ia tahu bahwa Pendekar Siluman Kecil ini sungguh merupakan seorang yang berilmu tinggi dan akan merupakan lawan yang amat tangguh!

Juga tosu itu kini sadar bahwa dia berhadapan dengan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.

“Siancai....” katanya sambil merangkapkan kedua tangan di depan dada, “Kami orang-orang kasar seperti buta saja tidak mengenal menjulangnya Bukit Thai-san yang tinggi di depan mata. Sesungguhnya, orang yang dapat memiliki kuda seperti Hek-liong-ma itu tentu saja seorang pendekar sakti. Betapa bodohnya kami.... harap Cu-wi para pendekar yang sakti sudi memaafkan kami yang terpaksa oleh keadaan bersikap kasar.”

“Ah, celaka! Sekali ini hancurlah kita!” kata Si Botak. “Kuda mana lagi yang akan mampu menandingi kuda hitam milik Si Topi Merah itu? Hayaaaa....!” Dia mengeluh panjang pendek.

Mendengar ucapan ini, Kian Bu dan isterinya merasa tertarik sekali. Siang In lalu berkata, “Coba ceritakan tentang kuda hitam milik Si Topi Merah itu. Kuda hitam yang bagaimanakah yang dimilikinya?”

Tosu itu menarik napas panjang. “Si Topi Merah adalah julukan tuan tanah yang menjadi saingan terbesar dari majikan kami, Toanio. Dia terkenal sebagai tuan rumah yang jahat dan sewenang-wenang, karena itu majikan kami memusuhinya. Dia mengandalkan kekayaannya dan terkenal sebagai tukang jual beli wanita yang amat kejam.”

“Hemm, setiap orang tentu membela majikan masing-masing.” kata Kian Bu tertawa.

“Siancai, agaknya memang demikianlah. Akan tetapi Tai-hiap tentu mengerti bahwa seorang tosu seperti pinto ini sama sekali tidak mengharapkan gajih besar dan hadiah. Sama sekali tidak, kalau pinto membela majikan kami, yaitu Thio-wangwe, adalah karena pinto tahu bahwa dialah satu-satunya hartawan atau tuan tanah di daerah ini yang pantas dibantu. Thio-wangwe adalah seorang yang adil dan bijaksana, juga amat mengagumi dan menjunjung orang-orang kang-ouw.”

“Teruskanlah cerita tentang kuda hitam itu.” Siang In mendesak karena ia merasa tertarik sekali mendengar cerita tentang kuda hitam yang lain itu.

“Kami tidak tahu banyak, Toanio.” Tosu itu melanjutkan. “Yang kami dengar hanya baru-baru ini, Bouw-thicu (Tuan Tanah Bouw) telah memperoleh seekor kuda hitam yang luar biasa, sama dengan Hek-liong-ma ini, bahkan juga memperoleh ahli penunggangnya, yaitu seorang wanita cantik yang amat terkenal. Wanita itu memang amat lihai menunggang kuda, dan ia pun terkenal sekali di dunia kang-ouw sebagai seorang ahli penjinak kuda. Namanya Lui Shi dan ilmu silatnya pun lihai sekali.”

“Hemm....“ Siang In saling pandang dengan suaminya. “Dan kuda hitam yang sama dengan Hek-liong-ma itu tentu seekor kuda betina, bukan?”

“Benar sekali, Toanio.”

“Itu adalah kuda kami pula yang hilang dicuri orang!” Siang In berkata dan bukan saja orang-orangnya Thio-wangwe atau Thio-thicu itu saja yang kaget, akan tetapi juga Ci Sian terkejut mendengar ini.

“Kami tadinya mempunyai dua ekor kuda, jantan dan betina. Akan tetapi ketika kami memasuki daerah Sin-kiang, pada suatu malam, di rumah penginapan, kuda betina kami hilang dicuri orang. Kami sudah berusaha mencari-cari, akan tetapi tidak berhasil menemukan kuda itu. Dan karena hilangnya kawannya itulah maka Hek-liong-ma menjadi sakit-sakitan, dan untuk menolongnya, kami menyerahkannya kepada pedagang kuda yang amat mencinta kuda dan pandai mengobati itu.”

“Kakek pedagang kuda itu memberikan kuda hitam kepadaku karena takut akan gangguan kalian.” Ci Sian menyambung.

“Ah, kalau begitu, kuda hitam Si Topi Merah itu pun kuda curian!” Si Botak berseru keras.

“Biarlah kita ikut bersama kalian untuk merampas kembali kuda kami.” kata Siang In.

“Dan biarkan Hek-liong-ma berlumba dengan kuda hitam yang ditunggangi Lui Shi itu untuk mengalahkannya. Aku mau menjadi penunggang Hek-liong-ma.” kata pula Ci Sian.

“Bagus, dan dengan bantuan kami, tentu kuda itu dapat kaukalahkan.” Siang In berseru gembira. Tentu saja tosu itu dan anak buahnya girang bukan main. Cepat mereka memberi hormat dan mempersilakan tiga orang pendekar itu untuk mengikuti mereka ke tempat tinggal majikan mereka, yaitu Thio-thicu.

Di dalam perjalanan, Ci Sian memperkenalkan dirinya kepada suami isteri pendekar itu dan berkata terus terang. “Sudah lama sekali saya mendengar tentang nama besar Pendekar Siluman Kecil dan isterinya dari Kam-suheng, ternyata memang hebat sekali. Dan saya pun pernah bertemu dan berkenalan dengan baik sekali dengan Jenderal Muda Kao Cin Liong. Apakah Ji-wi (Kalian Berdua) mengenalnya?”

“Jenderal Kao Cin Liong? Ah, kami sudah mendengar bahwa putera saudara Kao Kok Cu Si Naga Sakti Gurun Pasir telah menjadi jenderal di kota raja, akan tetapi telah belasan tahun kami tidak berhubungan dengan keluarga Kao.” kata Kian Bu. Bicara tentang Si Naga Sakti, teringatlah pendekar ini akan pengalaman-pengalaman masa lalu dan akan isteri pendekar sakti itu, yaitu Wan Ceng yang masih cucu kandung dari ibu tirinya, yaitu Nenek Lulu. Banyak sudah yang dialaminya dengan para tokoh itu dan mengundang kenangan lama. Juga mengingatkan dia akan keadaannya sendiri bersama isterinya yang sampai sekian lamanya belum juga mempunyai keturunan. Hal ini mendatangkan duka. Semua orang sudah mempunyai keturunan, bahkan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir telah mempunyai seorang putera yang demikian gagah dan perkasa, muda usia telah menjadi seorang jenderal. Akan tetapi dia sendiri sampai hampir berusia empat puluh tahun, belum juga mempunyai anak! Justeru karena urusan ingin mempunyai anak inilah dia dan isterinya merantau sampai sejauh itu, sampai ke daerah Sin-kiang. Dan isterinya selalu mengalami derita batin, sehingga seringkali sakit-sakitan. Dia tahu bahwa sakitnya isterinya itu sesungguhnya karena batin yang tertekan dan gelisah. Seolah-olah kadang-kadang isterinya itu kehilangan kegembiraan hidup sama sekali, dan wataknya yang dahulunya amat riang jenaka itu tenggelam dan lenyap, terganti watak murung dan mudah marah.Oleh karena itu, melihat isterinya timbul kegembiraan ketika bertemu dengan Ci Sian dan menghadapi urusan kuda itu, dia pun tidak membantah. Sesungguhnya, bagi pendekar ini, urusan perlumbaan kuda itu merupakan urusan kekanak-kanakan, dan andaikata dia tidak menghendaki agar isterinya dapat bergembira, tentu dia langsung saja mendatangi pencuri kuda, merampasnya kembali dan memberi hajaran, dan terus pergi lagi. Akan tetapi, dia sengaja membiarkan isterinya pulih kembali kegembiraan hidupnya.

Thio-wangwe atau Thio-thicu (Tuan Tanah Thio) adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun yang bertubuh gendut dan berwajah ramah menyenangkan. Memang dia ini berpotongan cukong, akan tetapi sikapnya ramah dan tidak sombong, menyenangkan hati orang yang diajaknya bicara. Ketika mendengar bahwa tiga orang pendekar yang memiliki kesaktian, demikian laporan Liang Go Tosu kepadanya, datang mengunjungi dan bersedia membantunya dalam perlombaan dengan meminjamkan Hek-liong-ma yang akan mampu bersaing dengan kuda hitam milik Bouw-thicu, hartawan ini menyambutnya dengan segala kehormatan. Dia bersama isterinya dan lima orang anaknya keluar semua menyambut, dengan wajah tersenyum gembira dan sikap ramah seperti keluarga menyambut datangnya anggauta keluarga lain.

Tiga orang pendekar itu dipersilakan memasuki gedung megah itu dan mereka dijamu di dalam ruangan yang luas dan berperabot mewah. Kuda Hek-liong-ma tadi sudah disambut oleh para tukang kuda, dikalungi bunga dan diselimuti selimut tebal yang hangat, lalu dibawa ke kandang kuda yang bersih dan rapi, dipimpin sendiri oleh Si Botak yang bersikap hormat sekali.

Dalam perjamuan yang diadakan untuk menyambut mereka, yang dihadiri pula oleh Liang Gi Tosu yang tidak menolak hidangan berjiwa, Thio-thicu yang ramah itu lalu menjelaskan kesemuanya kepada Siang In dan Ci Sian. Dia lebih berani bicara kepada dua orang wanita cantik yang ramah dan lembut ini daripada Kian Bu yang nampaknya menyeramkan dan menakutkan baginya karena pendekar itu lebih banyak diam saja, hanya tersenyum sedikit, akan tetapi wajahnya demikian penuh wibawa, dan terutama sekali sinar matanya yang mencorong membuat orang lain tidak tahan untuk bertemu pandang terlalu lama dengan pendekar ini.

“Sungguh menyesal sekali bahwa kami terpaksa harus melibatkan diri dengan persaingan yang berbahaya ini dan karenanya merepotkan Sam-wi, saja.” antara lain tuan tanah Thio itu berkata. “Akan tetapi, orang she Bouw itu sungguh selalu mencari perkara. Sesungguhnya, pada dasarnya dia itu hendak menentang campur tangan pemerintah, hendak, memperlihatkan kekuasaannya, akan tetapi karena dia tidak berani berterang menentang pemerintah, maka dia selalu mencari gara-gara di antara para thicu yang paling berkuasa di daerah ini. Dan kami tahu benar bahwa diam-diam dia itu condong menoleh kepada orang-orang Mongol yang kini mulai berkembang kekuasaannya di utara. Maklumlah, orang she Bouw itu adalah peranakan Mongol. Biarpun sekarang belum nampak bukti-buktinya, akan tetapi kami berani bertaruh bahwa kalau kelak terjadi pemberontakan orang Mongol, agaknya mungkin sekali dari Sin-kiang inilah pecahnya.”

Mendengar ucapan itu, diam-diam Kian Bu menaruh perhatian. Kalau urusan ini sudah menyangkut gejala pemberontakan, maka penting juga. Dia sendiri, seperti juga ayahnya dan semua keluarga Pulau Es, tidak melibatkan diri dengan politik. Kalau kakaknya, Puteri Milana, dan ibunya, Puteri Nirahai, pernah membela kerajaan, hal itu adalah karena mereka itu masih berdarah kerajaan. Akan tetapi bukan itu saja, sesungguhnya pembelaan mereka untuk menumpas pemberontakan adalah untuk mencegah terjadinya perang lagi karena perang hanya berakibat mendatangkan malapetaka dan kesengsaraan bagi rakyat jelata. Pendekar ini maklum bahwa biarpun ibunya adalah puteri Mancu, namun ayahnya adalah seorang Han tulen. Dan dia maklum pula bahwa sekarang ini, tanah air dijajah oleh bangsa Mancu. Dia maklum pula akan adanya perasaan tidak puas dan penyesalan di dada orang-orang gagah bangsa Han dan adanya daya upaya untuk membebaskan negara dan bangsa daripada penjajahan. Dan dia tidak menyalahkan sikap patriotik dari bangsa Han itu, apalagi kalau ada kaisar penjajah yang bertindak sewenang-wenang seperti yang didengarnya dilakukan oleh Kaisar Yung Ceng sekarang ini. Akan tetapi, dia sendiri bingung tidak tahu harus berpihak mana. Ibunya dalah puteri Mancu! Dan ayahnya adalah seorang pendekar Han! Maka, seperti juga semua keluarga Pulau Es, dia tidak mau mencampuri, hanya sedapat mungkin harus mencegah terjadinya perang karena yang jelas, perang mendatangkan kesengsaraan kepada rakyat, apa pun alasan perang itu.

Akan tetapi Siang In adalah seorang pendekar wanita yang di dalam hatinya condong berpihak kepada penentang pemerintah penjajah Mancu. Mendengar betapa hartawan ini memburukkan nama tuan tanah yang agaknya hendak menentang pemerintah, ia mengerutkan alisnya dan bertanya, “Thio-wangwe, apakah alasannya maka engkau menganggap bahwa orang she Bouw itu ingin berkuasa, jahat dan hendak memberontak?”

Sikap dan nada suara nyonya ini agaknya menyadarkan Thio-wangwe, maka dia pun bersikap sungguh-sungguh dan memandang kepada nyonya yang cantik jelita dan gagah ini dengan tajam. “Harap Toanio jangan salah mengerti dan mengira saya memburuk-burukkan nama orang lain. Sesungguhnyalah, dahulu, dua tiga tahun yang lalu sebelum pemerintah campur tangan, semua thicu di tempat ini, termasuk saya sendiri, selalu ingin unggul dan menang, tidak mau kalah oleh thicu lain, dan untuk itu kami semua masing-masing memperkuat diri dan mengumpulkan orang-orang pandai. Akan tetapi setelah pemerintah turun tangan melarang segala macam pertikaian dan pertentangan, timbul persaingan lain, yaitu persaingan untuk mencari keunggulan dalam perlumbaan-perlumbaan, terutama sekali lumba kuda. Kami semua telah sadar hahwa perkelahian-perkelahian seperti yang sudah-sudah memang amat tidak baik dan membahayakan. Akan tetapi agaknya tidak demikian dengan Bouw-thicu. Dia malah mengumpulkan orang-orang pandai dari golongan hitam, suka main gertak dan main keras, dan tidak jarang jagoannya melakukan penculikan dan pembunuhan secara diam-diam, tidak terang-terangan seperti dulu. Akan tetapi, semua orang tahu belaka perbuatan siapakah pembunuhan-pembunuhan dan penculikan-penculikan yang terjadi akhir-akhir ini di daerah Sin-kiang. Dan lebih mencolok lagi, setelah memperoleh kuda hitam yang luar biasa itu, dia pun menerima seorang tokoh hitam seperti Lui Shi itu!”

“Hemm, bukankah Lui Shi itu hanya seorang penjinak kuda saja?” pancing Siang In.

“Penjinak kuda? Memang, akan tetapi ia menjinakkan kuda untuk dicurinya! Dan ia kejam bukan main. Tentu saja saya mengenal betul wanita itu, Toanio, karena dengan wanita itu saya pernah mempunyai hubungan baik. Ia pernah membantu kami di sini, akan tetapi karena kekejaman dan kecurangannya, terpaksa kami mengeluarkannya.”

Akan tetapi sebagai seorang pendekar yang banyak pengalamannya dan selalu bersikap teliti dan waspada, Siang In tidak membiarkan dirinya terpikat oleh keterangan sepihak. “Baiklah, kita lihat saja nanti, Thio-wangwe. Kuda itu adalah kuda kami, hal ini aku yakin sekali, karena tidak ada lain kuda betina yang serupa benar dengan Hek-liong-ma kami. Kalau memang benar seperti ceritamu bahwa wanita she Lui itu pencuri kuda dan ia telah berani mencuri kuda kami, ia akan tahu rasa! Dan kalau benar orang she Bouw itu sewenang-wenang dan jahat, kami juga sekalian akan memberi hajaran kepadanya! Akan tetapi, kuharap saja engkau tidak memberi keterangan yang palsu, Thio-wangwe.” Ucapan terakhir ini mengandung ancaman halus.Thio-wangwe tertawa dan mengangkat cawan araknya. “Kalau aku berbohong, biarlah aku menerima hajaran dari Sam-wi yang gagah perkasa.” Setelah berkata demikian, dia menuangkan arak cawannya ke dalam perut melalui mulutnya.

Tiga orang tamu itu mendapatkan dua kamar yang mewah di dalam rumah besar itu. Akan tetapi Siang In dan Ci Sian tidak meu tinggal diam. Mereka tidak mau bertindak sembrono membela orang yang belum mereka ketahui benar bagaimana keadaannya. Mereka tidak mau hanya mendengarkan keterangan sepihak saja. Oleh karena itu, mereka berpamit dari Kian Bu untuk melakukan penyelidikan berdua. Keluarlah mereka dari rumah gedung itu, meninggalkan Kian Bu yang kelihatan tidak acuh dan yang hendak beritirahat di dalam kamarnya.

Hari telah menjelang senja dan dua orang wanita itu mulai melakukan penyelidikan mereka dan bertanya-tanya kepada orang-orang di sepanjang perjalanan tentang Thio-wangwe. Dan hati mereka puas karena setiap orang, dari anak kecil sampai kakek-kakek yang mereka tanyai semua memberikan jawaban yang memuaskan, bahwa Thio-wangwe adalah serang hartawan yang dermawan dan tidak pernah bertindak sewenang-wenang. Namun mereka masih belum puas dan pergilah mereka keluar kota ke dusun-dusun yang tanahnya menjadi milik hartawan ini. Kepada para buruh petani mereka bertanya dan melihat keadaan rumah tangga mereka. Memang, seperti biasa kaum tani di situ pun miskin, rumah mereka gubuk dan pakaian mereka sederhana, namun mereka itu sehat-sehat tanda tidak kurang makan dan wajah mereka juga gembira. Pada senja hari itu, anak-anak para petani bermain-main di pekarang luar dengan gembira, ini saja sudah menunjukkan bahwa kehidupan mereka cukup baik, tidak kekurangan makan dan tidak dicekam rasa takut akan hari depan. Setelah menerima keterangan yang membuktikan adanya dugaan mereka, kedua orang wanita ini merasa puas dan yakin bahwa mereka benar-benar membela orang yang memang patut dibela.

“Cici, sebaiknya kalau kita menyelidiki sekalian orang she Bouw itu.” kata Ci Sian ketika Siang In mengajaknya kembali.

“Eh, beberapa kali kukatakan agar engkau menyebut Bibi kepadaku, Ci Sian. Usiamu baru tujuh belas tahun dan aku sudah tiga puluh empat tahun. Aku patut menjadi Bibimu.”

“Aihh, engkau masih nampak begini muda, sungguh tidak patut dan tidak enak menyebut Bibi kepadamu, Enci Siang In” kata Ci Sian tertawa. “Pula, engkau belum mempunyai anak, belum pantas disebut Bibi....“

Tiba-tiba wajah yang tadinya cerah dan berseri gembira itu menjadi muram, bahkan kata-kata yang mengandung kelakar dari Ci Sian itu seperti menusuk jantung dirasakan oleh Siang In sehingga pendekar wanita ini memejamkan matanya dan berdiri agak terhuyung. Ci Sian terkejut dan merangkulnya.

“Cici! Engkau kenapakah....?” Dan terkejutlah Ci Sian karena orang yang dirangkulnya itu tiba-tiba saja menangis! Mereka berada di luar dusun, di tempat yang sunyi sehingga peristiwa itu tidak nampak oleh orang lain.

Siang In tidak menjawab, melainkan terisak menangis di atas pundak Ci Sian. Sampai beberapa lama ia menangis, dan akhirnya ia dapat menguasai perasaannya. “Maafkan, Ci Sian.... ah, baru sekarang aku dapat menangis, seolah-olah aku bertemu seorang adik, seorang saudara yang dapat kucurahkan kesedihanku.... aku.... aku sungguh lemah....“

“Ah, tidak mengapa, Cici. Anggaplah aku adikmu sendiri. Akan tetapi mengapakah engkau bersedih? Sungguh sukar untuk dipercaya, orang seperti engkau ini, isteri dari Pendekar Siluman Kecil Sakti dan tidak kekurangan apa-apa, dapat bersedih.”

“Ci Sian, kata-katamu tadi bahwa aku.... aku belum mempunyai anak itulah yang menusuk perasaanku dan membongkar kesedihan yang sudah lama bertumpuk di dalam hatiku.”

“Ohh.... kalau begitu maafkanlah aku, Cici, aku.... aku tidak sengaja hendak menyakiti hatimu....”

“Tidak mengapa, Adikku, tidak mengapa. Memang aku seorang wanita malang, seorang isteri yang bodoh. Engkau tahu, kami berdua, suamiku dan aku meninggalkan Pulau Es hanya karena kebodohanku inilah, karena kami tidak punya anak. Sudah belasan tahun menikah.... belum juga aku mempunyai anak. Aku sampai merasa malu sekali kepada kedua orang ibu mertuaku. Aku sudah membujuk suamiku agar dia mau mengambil selir, akan tetapi dia tidak mau. Akhirnya, kami berdua pergi, merantau sampai di tempat ini, hanya dengan maksud untuk dapat memperoleh keturunan.”

“Kasihan engkau, Cici...., kalau saja aku dapat membantumu....“

“Tidak ada seorang pun di dunia ini dapat membantu kami, Adikku. Kecuali.... kalau engkau tahu di mana adanya ular naga hijau, karena katanya, hanya Jengliong-cu (Mustika Naga Hijau) saja yang dapat memberikan keturunan kepada suami-Isteri.”

“Jeng-liong-cu....? Di mana kita bisa mendapatkan itu?” Ci Sian bertanya heran.

“Kabar angin yang kami tangkap, katanya ular naga hijau itu berada di daerah ini, dan karena itulah kami tiba di tempat ini, Ci Sian. Ah, baru sekarang selama hidupku aku merasa kecewa dan sengsara!” Nyonya yang masih cantik jelita itu menarik napas panjang dan bersama napasnya tedengar suara rintihan lirih.

Ci Sian termenung, melamun dengan penuh keheranan. Melihat kenyataan itu ia menjadi bengong, dan termenung memikirkan nasibnya sendiri. Akhirnya ia pun mengeluarkan kata-kata bersama taikan napas panjang. “Aihhh....siapa kira....“

Siang In mencoba untuk memandang wajah gadis itu melalui keremangan senja. “Apa maksudmu, Ci Sian?”

“Sungguh keadaan dan penjelasan Cici tadi membuat aku terheran-heran bukan main. Kukira hanya aku seorang saja yang dirundung duka, tadinya kusangka bahwa di dunia ini tidak ada wanita yang lebih kebingungan dan berduka daripada aku. Apalagi Cici yang nampak hidup demikian bahagia, di samping suami yang mencinta, berkepandaian tinggi dan menjadi isteri dari putera majikan Pulau Es yang amat ternama. Setelah mendengar penuturanmu, Enci Siang In, aku mgnjadi semakin bingung. Apakah kehidupan ini hanya terisi oleh kekecewaan-kekecewaan belaka?”

Memang demikianlah pandangan setiap orang yang sedang dilanda kekecewaan dan kedukaan. Kecewa menimbulkan iba diri dan melahirkan duka. Dan orang yang sedang dilanda duka selalu beranggapan bahwa di dunia ini, dialah yang paling sengsara, yang paling buruk nasibnya, paling malang, paling celaka. Inilah sebabnya mengapa orang yang sedang dilanda duka merasa terhibur apabila melihat orang lain menderita duka, apalagi kalau penderitaan orang lain itu lebih besar daripada yang dideritanya sendiri.

Orang yang dilanda duka selalu berusaha untuk menghindarkan rasa duka itu dengan berbagai macam hiburan berupa kesenangan maupun hiburan, baik hiburan berupa kesenangan maupun hiburan berupa pelarian diri kepada filsafat-filsafat atau petuah-petuah yang menghibur. Atau ada pula yang menyerah dan taluk membiarkan dirinya tenggelam ke dalam duka sampai menjadi putus asa, bunuh diri menjadi gila dan sebagainya. Namun, segala macam pelarian tidak mungkin membebaskan kita dari duka. Mengapa? Karena duka adalah kita sendiri. Duka adalah kita, yang ingin melarikan diri itu pula. Duka tidak terpisah dari kita sendiri, takkan dapat kita tinggalkan, ke manapun kita melarikan diri. Jika kita menutupinya dengan berbagai hiburan, baik hiburan badaniah maupun batiniah, maka penutupan itu hanya sementara saja. Si duka masih ada, kadang-kadang menyelinap ke bawah sadar dan selalu menghantui kehidupan kita.

Lalu bagaimana agar kita benar-benar terbebas dari pada duka? Terbebas dari pada kecewa? Tanpa menyerah dan taluk? Pertanyaan ini perlu kita ajukan kepada diri kita masing-masing, karena tanpa menyelidiki hal ini sedalam-dalamnya, kehidupan kita akan selalu penuh dengan kecewa dan duka sepanjang hidup, hanya dengan adanya kesenangan sekilas lintas sebagai selingan lemah saja.

Kecewa bukanlah akibat dari peristiwa di luar diri, melainkan seuatu proses dari penilaian pikiran atau si aku. Pikiran membentuk suatu gambaran tentang diri sendiri, yaitu si aku yang selalu menginginkan hal-hal yang menyenangkan. Keinginan-keinginan untuk senang ini kalau tidak tercapai akan menimbulkan kekecewaan. Keinginan-keinginan itu dapat juga dinamakan harapan-harapan berlangsungnya sesuatu yang telah terjadi. Pikiran atau gambaran si aku ini tak terpisahkan dari kenang-kenangan akan kesenangan yang menimbulkan ikatan kuat sekali. Si aku terikat erat dengan kesenangan, baik kesenangan badani maupun rohani, dan kalau ikatan itu putus, akan menimbulkan rasa sakit. Kalau kesenangan dijauhkan dari si aku, maka si aku merasa sakit, kecewa, dan duka. Lalu si aku pula yang menilai bahwa duka amat tidak enak, maka si aku pula yang berusaha melarikan diri dari kecewa dan duka itu, dengan berbagai macam hiburan lahir maupun batin. Padahal, sang suka itu ya si aku itu juga, yang agar tidak ingin duka. Dengan begini, tercipta lagi suatu keinginan lain, yaitu ingin tidak duka! Betapa berbelit-belitnya pikiran ini bekerja, betapa licinnya.

KITA akan menjadi permainannya, diombang-ambingkan oleh permainan pikiran yang membentuk si aku. Si aku selalu mengejar senang, selalu menjauhkan yang tidak enak. Mula-mula menginginkan kesenangan, lalu tidak tercapai, lalu kecewa dan duka, lalu menganggap kecewa dan duka tidak enak, lalu ingin lari dari itu pula, bukan lain karena ingin agar senang, agar terlepas dari keadaan yang tidak enak itu. Dan demikian seterusnya. Padahal, justeru keinginan untuk lari dari duka inilah yang memberi pupuk dan memperkuat adanya duka! Karena memperkuat si aku, menambah subur keinginan-keinginan si aku.

Habis bagaimana? Kalau tidak melarikan diri dari duka, kalau tidak mencari hiburan dari duka lalu apakah kita harus menerima begitu saja, membiarkan duka menenggelamkan kita? Sama sekali tidak demikian, karena sikap “menerima nasib” ini hanya akan mendatangkan kelemahan jiwa, membuat orang menjadi frustasi dan apatis, menjadi masa bodoh! ini mendatangkan kemalasan dan mengurangi semangat atau gairah hidup!

Kalau datang kecewa? Kalau datang rasa duka? Pernahkah kita MENGHADAPINYA? Bukan membiarkan pikiran sibuk sendiri, memikirkan hal-hal yang menimbulkan, kecewa dan duka itu, melainkan menghadapi dan mengamati perasaan kecewa atau duka itu dengan penuh perhatian, penuh kewaspadaan dan tidak lari daripadanya? Beranikah kita mengamati diri sendiri ketika kecewa atau duka datang, mengamati tanpa penilaian baik atau buruk, tanpa keinginan melenyapkannya, melainkan hanya pengamatan saja yang ada? Bukan si aku yang mengamati luka, karena kalau begitu, tentu akan timbul penilaian dan tanggapan dari si aku dan kita kembali terseret ke dalam iingkaran setan dari permainan si aku lagi. Yang ada hanya kewaspadaan saja, pengamatan penuh perhatian, tanpa pamrih apa pun melainkan hanya kewaspadaan. Maukah dan beranikah kita mencobanya? Mungkin hanya inilah rahasia pemecahannya, tanpa teori melainkan harus dihayati oleh diri masing-masing.

Kini Ci Sian yang merenungkan keadaan dirinya, sudah tenggelam dalam renungan itu, tenggelam dalam kesedihannya sendiri, wajahnya lesu, pandang matanya layu, merenung ke tempat jauh tanpa melihat sesuatu kecuali isi lamunan dan kesenangannya sendiri saja.

Sebuah tangan dengan halus menyentuh pundaknya. Tangan Siang In. “Adikku, Ci Sian, kenapakah engkau yang semuda ini dirundung duka? Ketika aku sebaya denganmu, hidup ini rasanya penuh kegembiraan bagiku, akan tetapi engkau yang muda remaja ini mengapa sudah dilanda duka?”

“Ah, Enci, aku sungguh bingung sekali....“ Kemudian, karena merasa betapa wanita isteri pendekar Siluman Kecil itu amat akrab kepadanya, bahkah telah membuka rahasia hatinya, Ci Sian yang selama ditinggal Kam Hong merasa berduka dan bingung, kini seperti memperoleh tempat pencurahan isi hatinya. Dengan sedih ia menceritakan semua pengalamannya, semenjak ia diajak oleh kakeknya dan pertemuannya yang pertama kali dengan Kam Hong, sampai pengalamannya bersama Kam Hong yang amat berbahaya, sehingga akhirnya mereka berdua menemukan jenazah kuno yang mengandung rahasia ilmu silat sehingga mereka menjadi suheng dan sumoi. Kemudian tentang penyerbuan mereka berdua ke sarang Hek-i-mo, betapa mereka berdua mengobrak-abrik sarang gerombolan jahat itu. Betapa kemudian ia melawan Hek-i Mo-ong dan munculnya Sim Hong Bu yang membantunya.

“Dan pada saat itu, Kam-suheng telah pergi meninggalkan aku, Cic!. Tanpa ada alasan sama sekali, meninggalkan aku begitu saja sendirian di dunia ini....” Ci Sian mengakhiri ceritanya dengan suara sedih. “Dia tidak memberi tahu hendak ke mana dan di mana aku dapat bertemu dengan dia. Aku tidak mempunyai keluarga.... aku tidak mau lagi mengenal Ayahku.... dan aku tidak tahu harus pergi ke mana. Aku mencarinya, tapi aku pun tidak tahu harus mencari ke mana....“

“Hemm.... Kam Hong, meninggalkanmu setelah pemuda bernama Sim Hong Bu itu muncul?” tanya Siang In.

“Benar, Cici. Aku sendiri pun tidak tahu mengapa.”

“Bagaimana keadaan Sim Hong Bu itu? Pemuda yang baikkah dia?”

“Dia seorang pemuda yang mewarisi ilmu dan pedang Koai-liong-kiam, ilmu kepandaiannya tinggi sekali dan dia.... dia seorang pemuda yang gagah dan baik.”

“Usianya sebaya denganmu?”

“Ya, begitulah, mungkin hanya selisih dua tiga tahun....”

“Dan Kam Hong? Berapa usianya?” Siang In mengingat-ingat dan menjawab sendiri. “Kalau tidak salah, dia itu sudah sebaya denganku, tentu sudah tiga puluh tahun lebih.”

“Cici, mengapa engkau bertanya-tanya tentang usia?”

“Jawab dulu pertanyaanku, apakah engkau dan Kam Hong saling mencinta?”

“Tentu saja, kami adalah Suheng dan Sumoi, dan lebih dari itu, kami sudah banyak menghadapi banyak hal-hal yang hebat bersama, menghadapi maut dan kesengsaraan, ancaman bahaya....“

“Bukan begitu maksudku, mencinta sebagai seorang pria dan wanita.”

Ditanya demikian, sampai lama Ci Sian menundukkan mukanya. Pertanyaan seperti ini memang pernah memasuki hatinya, akan tetapi setiap kali ia segera menghindarinya, karena merasa sukar menerima pertanyaan itu. Akan tetapi, karena pertanyaan itu keluar dari mulut orang lain, maka ia memikirkannya secara mendalam dan akhirnya ia menjawab sejujurnya. “Entahlah, EnCi Siang In. Aku sendiri tidak tahu, karena kami tidak pernah menyatakannya dengan kata-kata. Akan tetapi, Kam-suheng amat baik kepadaku dan aku.... ah, setelah berpisah darinya, aku merasa betapa aku kehilangan dia, betapa hidupku kesepian dan tiada kegembiraan”

“Hemm, itu artinya engkau cinta padanya, Ci Sian. Dan aku yakin bahwa dia pun tentu jatuh cinta kepadamu.”

“Tapi, kalau benar demikian, Cici, kenapa dia malah meninggalksn aku?”

“Yah, cinta memang kadang-kadang mendatangkan hal-hal yang aneh-aneh.” kata Siang In yang merenung dan mengenangkan pengalaman-pengalamannya sendiri ketika ia bercinta dengan Suma Kian Bu yang kini menjadi suaminya. “Kalau dia meninggalkanmu, hanya ada dua kemungkinan, Ci Sian. Pertama, karena dia cemburu....”

“Cemburu....? Dia, Kam-suheng cemburu....?” Ci Sian berseru dengan pandang mata terbelalak keheranan.

“Mungkin sekali! Bukankah dia meninggalkanmu setelah munculnya pemuda gagah perkasa Sim Hong Bu itu? Mungkin dia melihat sesuatu antara engkau dan pemuda itu, atau barangkali menduga sesuatu....”

“Ah, jangan-jangan demikian adanya! Sim Hong Bu itu kutinggalkan karena dia.... dia menyatakan cintanya kepadaku!”

“Nah, itulah! Dia tentu melihat tanda-tanda bahwa pemuda yang lain itu jatuh cinta padamu dan merasa cemburu, mengira engkau juga tertarik kepada Sim Hong Bu itu.”

“Akan tetapi, tidak mungkin Kam-suheng sama sekali tidak memiliki watak seperti itu! Dia seorang pendekar tulen, tidak mungkin sedangkal itu jalan pikiran atau perasaan hatinya!”

”Kalau tidak demikian, maka besar kemungkinan adalah karena hal yang kedua.”

“Apakah itu, EnCi Siang In?”

“Karena dia jauh lebih tua darimu, sepatutnya menjadi pamanmu, maka mungkin saja dia sengaja mengundurkan diri setelah melihat bahwa engkau lebih pantas dengan pemuda Sim yang lebih muda dan yang sebaya denganmu itu. Mungkin dia merasa bahwa engkau lebih cocok dengan pemuda yang sebaya, dan melihat bahwa pemuda itu mencintamu, maka dia sengaja mundur. Banyak terdapat pendekar berhati mulia yang sengaja mau berkorban diri demi orang yang dicintanya.”

“Ah, Kam-suheng....!” Dan Ci Sian menangis! Hatinya terharu sekali karena ia pun kini melihat kemungkinan ini.

Kini Siang In yang merangkul dara yang menangis itu, membiarkan Ci Sian menangis dan setelah agak reda tangis dara itu, ia menghibur, “Sudahlah, Ci Sian. Jangan berduka, dan jangan putus-asa. Kalau memang dia mencintamu, tentu dia tidak akan membiarkan engkau begitu saja. Dan kalau memang engkau berjodoh padanya, tentu akan tiba saatnya engkau bertemu kembali dengannya. Agaknya memang orang yang jatuh cinta harus selalu mengalami banyak suka duka, seperti aku dahulu.”

Akhirnya, setelah Ci Sian terhibur dan menghentikan tangisnya, dua orang wanita perkasa ini lalu melanjutkan perjalanan mereka menuju ke utara untuk mendatangi rumah keluarga Bouw, yaitu tuan tanah yang memiliki daerah kekuasaan di sebelah utara dari wilayah kekuasaan Thio-thicu. Batas tanah antara mereka itu ditandai dengan pagar kawat yang tinggi, akan tetapi tidak sukar bagi Ci Sian dan Siang In untuk melompati pagar dan memasuki wilayah kekuasaan Bouw-thicu. Mereka sebelumnya memang sudah menyelidiki tempat tinggal Bouw-thicu ini, maka kini dengan mudah mereka mengunjungi perkampungan Bouw-thicu yang cukup ramai, tidak kalah ramainya dengan perkampungan tempat tinggal Thio-thicu.

Bagaikan bayangan burung-burung raksasa saja dua orang wanita ini berkelebatan di atas genteng-genteng rumah para penghuni perkampungan itu sampai akhirnya mereka tiba di atas wuwungan yang tinggi dari rumah berloteng milik Bouw-thicu. Tiba-tiba sekali Ci Sian memegang dengan Siang In dan berbisik. “Ssttt....!”

Siang In kagum sekali akan ketajaman pendengaran dan penglihatan dara itu, dan cepat ia menengok. Benar saja, dari arah barat nampak bayangan orang berkelebatan di atas genteng-genteng rumah orang, dan gerakannya memang cepat bukan main. Dan melihat bentuk tubuh bayangan itu, biarpun dari jauh sudah mudah diduga bahwa bayangan itu adalah seorang wanita. Mereka berdua cepat mendekam di balik wuwungan yang tinggi dan menanti. Dan memang dugaan mereka benar karena bayangan yang bertubuh ramping itu ternyata datang ke jurusan mereka, atau lebih tepat lagi ke jurusan rumah gedung bertingkat tempat tinggal Bouw-thicu. Dan melihat cara bayangan itu melompat dari genteng tingkat pertama ke atas genteng loteng, dapatlah dimengerti oleh dua orang pendekar wanita itu bahwa bayangan itu memiliki gin-kang yang cukup tinggi, bahkan ketika kaki bayangan itu hinggap di atas genteng loteng, sama sekali tidak terdengar jejak kakinya.

“Tentu ia malingnya....“ bisik Ci Sian dan dara ini sudah hendak bergerak.

Siang In merasakan gerakan ini dan cepat ia memegang lengan Ci Sian dan menggeleng kepala, “Jangan....”

Ci Sian sadar akan kesembronoannya. Kalau ia bergerak, berarti menggagalkan segala-galanya, padahal, menurut percakapan antara suami istri pendekar itu ia meherti bahwa mereka berda itu bukan semata-mata ingin merampas kembali kuda dan menundukkan orang she Bouw, melainkan juga berusaha untuk mengataai dan mendamaikan pertentangan antara para tuan tanah di daerah Sin-kiang itu. Maka ia mengangguk dan keduanya membiarkan bayangan itu menyelinap dan melayang turun di bagian belakang bangunan itu. Setelah memberi waktu beberapa lama dan keadaannya sunyi benar, barulah keduanya dengan hati-hati meloncat turun ke belakang bangunan, kemudian melaLui taman bunga mereka berindap-indap memasuki bangunan dari tembok belakang yang mereka lompati.

Tak lama kemudian dua orang wanita sakti itu telah mengintai ke dalam sebuah ruangan belakang di gedung itu dan menemukan wanita yang tadi melayang masuk sedang bercakap-cakap dengan seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam. Dari percakapan itu, tahulah mereka bahwa pria tinggi besar itu bukan lain adalah Bouw-thicu, ditemani oleh empat orang pembantunya yang kesemuanya nampak garang dan bertenaga kuat, sedangkan wanita itu tentulah Lui Shi yang telah mereka dengar. Memang seorang wanita yang cantik, usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun akan tetapi nampak masih cantik dengan muka dirias tebal, sikapnya genit, dan pakaiannya serba ringkas namun wanita ini pesolek sekali. Dan mendengar percakapan mereka, tahulah Siang In dan Ci Sian bahwa Lui Shi ini pun baru saja pulang dari penyelidikannya ke tempat tinggal Thio-thicu!

“Bagaimana, Nona Lui, benarkah berita angin itu bahwa orang she Thio itu memperoleh seekor kuda hebat yang dapat menyaingi kuda kita?” antara lain Bouw-thicu bertanya. Mendengar pertanyaan ini, diam-diam Siang In dan Ci Sian kagum juga akan cara kerjanya para anak buah orang ini sehingga tentang kuda Hek-liong-ma yang akan membantu Thio-thicu dalam perlombaan, sudah didengar oleh orang she Bouw ini.

“Memang benar, Bouw-loya.” jawab wanita yang masih disebut nona itu, yang menunjukkan bahwa wanita ini masih belum menikah. “Akan tetapi Lo-ya tidak usah khawatir, karena biarpun kuda hitam mereka itu pun baik sekali, akan tetapi kuda itu hanyalah seekor kuda jantan. Maka dalam perlombaan, tidak mungkin kuda jantan itu mau melampaui kuda hitamku yang betina. Dan andaikata demikian pun, saya masih mempunyai akal untuk menundukkan kuda lawan itu agar jantan melanggar atau mendahuLui.”

“Hemm, perlombaan kuda itu penting sekali, Nona Lui, dan bagaimanapun juga, pihak kita tidak boleh sekali-kali kalah. Kalau memang orang she Thio itu benar-benar menemukan kuda jempolan dan dalam perlombaan dapat mengalahkan kudamu, lalu bagaimana?”

“Jangan khawatir, saya mempunyai jampe untuk menahan kuda itu, dan kalau jampe itu gagal, masih ada jarum-jarum saya untuk merabohkannya kalau perlu agar kuda kita tidak terkalahkan.”

Mendengar ini, Bauw-thicu tertawa girang. “Bagus, bagus.... akalmu sungguh bagus sekali, Nona. Kalau kuda kita benar-benar menang, jangan khawatir, hadiahnya besar sekali untukmu!” Terdengar mereka tertawa-tawa dan Siang In lalu menarik lengan Ci Sian untuk meninggalkan tempat itu. Dengan hati-hati mereka pergi dan meloncat naik ke atas genteng, lalu mempergunakan ilmu berlari cepat untuk kembali, ke perkampungan Thio-thicu.

“Si Genit itu! Ingin kutampar mukanya yang dipulas itu!” Di tengah jalan Ci Sian mengomel. “Ia mau menjampe kuda dan menyerang dengan jarum! Si keparat!”

“Kita harus sabar dan menanti sampai perlombaan diadakan. Tentang jampe, jangan khawatir, Hek-liong-ma tentu lebih taat kepada suamiku, dan tentang serangan jarumnya....”

“Serahkan saja jarum-jarum itu kepadaku, EnCi Siang In! Kalau benar-benar ia berani menyerang dengan jarum, awas Si Genit itu!” Ci Sian mengepal tinju.

Ketika dua orang pendekar wanita ini tiba kembali di rumah Thio-thicu, ternyata Suma Kian Bu masih menanti di luar kamar dan pendekar ini dengan tersenyum mendengarkan cerita isterinya tentang hasil penyelidikannya. Malam itu mereka mengaso dan tidak terjadi hal-hal yang luar biasa.

***

Lapangan rumput itu amat luas dan sepotong tanah ini merupakan daerah milik pemerintah, jadi merupakan daerah netral bagi para tuan tanah yang pada pagi hari itu berkumpul di situ.

Suasana amat meriah, seperti dalam pesta. Dan memang pesta itu diadakan tiap tahun dan diprakarsai oleh pejabat pemerintah di Sin-kiang, dalam usahanya untuk mengalihkan permusuhan antara para tuan tanah itu menjadi semacam perlombaan yang sehat. Dan yang populer adalah lumba kuda itulah. Pembesar yang paling tinggi, yaitu semacam gubernur atau kepala Propinsi Sin-kiang, sudah hadir bersama para pembesar bawahannya yang lain, dan sepasukan tentara pengawal berbaris rapi di seputar panggung kehormatan yang dibangun untuk para pembesar ini, di luar arena perlombaan kuda. Dari tempat yang tinggi di panggung ini, para pembesar dapat melihat pemandangan yang indah dan aneh, yaitu kelompok-kelompok orang yang mudah dibedakan dari atas dengan melihat warna tenda, pakaian pasukan pengawal, dan bendera mereka. Setiap orang tuan tanah datang bukan hanya membawa kuda jagoan mereka, akan tetapi juga para pembantunya dan sepasukan pengawal masing-masing yang berpakaian seragam. Bermacam-macam warna pakaian pasukan pengawal ini, akan tetapi semuanya berbeda! Dan lucunya, tenda yang mereka dirikan, untuk Sang Tuan Tanah dan keluarganya tentu saja, agar terlindung dari panas dan dapat menyakasikan balapan itu dengan santai, tenda-tenda itu pun tidak ada yang sama warnanya! Karena perbedaan warna inilah maka pemandangan dari atas panggung para pembesar itu nampak indah dan aneh. Tenda-tenda para tuan tanah itu didirikan di sekitar luar arena perlombaan yang amat luas itu, masing-masing memilih tempat yang agak tinggi agar mudah mengikuti perlumbaan kuda.

Rombongan Thio-thicu berada di tempat yang tidak jauh dari panggung, tempat para pembesar duduk. Seperti para tuan tanah yang lain, juga di tempat ini didirikan sebuah tenda besar tempat Thio-thicu berlindung dari sengatan matahari siang nanti. Akan tetapi tidak seperti yang lain, Thio-thicu tidak membawa pasukan pengawal, melainkan hanya beberapa orang pengawal yang juga bertindak sebagai pelayan. Bahkan Thio-thicu tidak membawa keluarganya. Pihak tuan tanah Thio ini hanya membawa seekor kuda saja, yang ditutupi selimut kuda sehingga tidak nampak jelas dari luar apa warna kuda itu dan bagaimana macamnya karena muka kuda itu pun tertutup sellmut. Suma Kian Bu dan dua orang pendekar wanita itu datang bersama Thio-thicu. Karena ia akan menunggang Hek-liong-ma ikut berlomba, Ci Sian mengenakan pakaian ringkas warna kuning, rambutnya diikat dengan kain sutera merah. Akan tetapi ia sudah membeeritahu kepada Thio-thicu bahwa ia hanya akan keluar bersama kudanya kalau semua peserta sudah berkumpul. Sejak tadi, banyak sudah peserta yang memasuki gelanggang, menunggangi kuda masing-masing dan menjalankan kuda mereka berkeliling sebagai pemanasan dan juga untuk berlagak. Setiap kuda dengan penunggangnya mempunyai pendukung sendiri-sendiri, tentu saja kawan-kawannya para pembantu majikan masing-masing.

Kali ini, yang mengikuti perlombaan hanya ada sembilan orang, thicu, sungguhpun hampir semua thicu yang jumlahnya dua puluh orang lebih itu datang untuk menyaksikan perlombaan itu, juga untuk bertaruh dengan taruhan-taruhan yang besar sekali. Hal ini adalah karena para thicu yang tanggung-tanggung saja sudah mengundurkan diri, tidak berani mengikuti perlombaan, apalagi setelah mendengar akan adanya kuda hitam milik Bouw-thicu yang dapat lari seperti terbang itu. Yang mengikuti perlumbaan hanyalah para thicu yang tergolong besar, dalam arti luas daerahnya dan kekayaannya. Akan tetapi, semua orang sudah mendengar bahwa yang agaknya akan mampu menandingi kuda hitam milik Bouw-thicu hanyalah Thio-thicu. Menurut kabar angin, Thio-thicu memiliki kuda “simpanan” yang belum pernah dilihat orang, akan tetapi yang kabarnya akan mampu menandingi kuda hitam milik Bouw-thicu itu. Maka,tujuan orang-orang di situ, termasuk para pembesar, hanyalah kepada dua orang tuan tanah ini. Dan terjadilah taruhan-taruhan besar di antara para thicu yang tidak ikut berlumba, bahkan yang ikut berlumba dengan menurunkan seekor kuda pun ikut berlumba bahkan yang ikut berlumba dengan menurunkan seekor kuda pun ikut berlumba antara dua thicu terkemuka ini.

Sudah ada tujuh ekor kuda yang memasuki arena. Tujuh ekor kuda pilihan yang besar dan kuat, dengan penunggangnya yang semuanya adalah pria-pria muda yang tubuhnya kerempeng. Memang sebaiknya kalau penunggang kuda balap dipilih orang bertubuh kecil dan ringan, demikian pendapat para pemilik kuda balap. Tujuh ekor kuda itu dengan para penunggangnya, berjalan dengan gagah berputaran di sekitar tempat permulaan, atau garis start di mana telah berkumpul pula para petugas yang mengatur perlumbaan. Di tempat pemberangkatan itu telah dipasang sembilan tempat kuda, agar para kuda itu dapat bersiap dengan tenang dan baru bergerak kalau aba-aba dan pintu tempat itu sudah diberikan dan dibuka. Akan tetapi karena para pengikut belum lengkap, maka para penunggang kuda belum memasuki tempat masing-masing, masih memperagakan kebolehan mereka menunggang kuda dan keindahan kuda tunggangan mereka.

Agaknya Lui Shi, wanita pembantu Bouw-thicu itu memang sengaja menanti dan hendak melihat seperti apa macamnya kuda yang akan diajukan oleh Thio-thicu, oleh karena itu, ia pun menanti dan belum juga keluar bersama kudanya. Akhirnya setelah menanti dan belum juga kuda jagoan Thio-thicu muncul, dan para penonton yang sudah tidak sabar lagi berteriak-teriak menuntut agar Bouw-thicu yang sudah dinanti-nanti orang itu suka mengeluarkan kudanya, Bouw-thicu menyuruh Lui Shi untuk memasuki arena. Maka muncullah wanita cantik ini di atas kudanya yang hitam, dengan amat gagahnya memasuki arena itu. Kuda hitamnya memang amat indah. Besar dan bertubuh kuat sekali, bulunya hitam mengkilap seperti dicat, bulu surinya riap-riapan amat rapinya dan bulu ekornya juga subur dan indah. Wanita itu sendiri nampak cantik dan gagah, perkasa, apalagi karena wajahnya yang dirias tebal, dari jauh nampak amat cantik, jelita. Pakaiannya dari sutera putih dan merah muda itu serasi benar dengan bulu kuda yang hitam kelam, maka ketika kudanya memasuki arena, dan angin membuat bulu suri dan ekor kuda juga baju sutera putih dan merah muda itu berkibar-kibar, para penonton menyambutnya dengan sorak-sorai dan tepuk tangan. Pada pagi hari itu, boleh dibilang seluruh penduduk di sekitar daerah itu berkumpul di tempat itu, terutama kaum prianya. Soraksoral yang menggegap-gempita menyambut munculnya Lui Shi ini membuat kuda hitam yang ditungganginya terkejut dan berdiri di atas dua kaki belakang. Semua orang terkejut dan khawatir, akan tetapi Lui Shi dapat duduk di atas panggung kuda yang berdiri itu dengan enaknya, bahkan mengangkat tangan kiri melambai-lambai ke segala jurusan dengan gaya memikat. Ketika kuda hitam itu sudah menurunkan kembali kedua kaki depannya, tiba-tiba wanita itu sendiri meloncat dan tubuhnya yang tadinya duduk itu kini berdiri di atas punggung kuda, dan ia melarikan kudanya berputar-putar di situ seperti seorang akrobat pemain sirkus kuda yang mahir. Kembali para penonton menyambutnya dengan tepuk sorak gembira. Lui Shi sengaja lewat di depan panggung, memberi hormat kepada para pembesar lalu lewat pula di depan rombongan Thio-thicu dengan lagak mengejek. Ketika Lui Shi lewat di situ, Suma Kian Bu dan Siang ln sengaja tidak memperlihatkan diri.

Ci Sian melihat bahwa calon lawannya sudah muncul, lalu membuka penutup dan pelindung tubuh kudanya, meloncat ke atas pungung kuda itu dan setelah mengangguk kepada Siang In dan Kian Bu, ia pun lalu menggerakkan kudanya memasuki arena perlumbaan. Semua penonton memang sudah sejak tadi menanti munculnya kuda dari Thio-thicu, terutama mereka yang berpihak kepada tuan tanah ini dan telah mempertaruhkan banyak uang untuk kuda Thio-thicu. Kini, melihat munculnya seekor kuda hitam yang serupa benar dengan kuda hitam milik Bouw-thicu, hanya bedanya kuda hitam ini jantan sedangkan kuda hitam milih Bouw-thicu betina, semua orang terheran-heran. Apalagi ketika melihat bahwa yang menunggang kuda hitam itu adalah seorang dara remaja yang berpakaian serba kuning, seorang dara yang biarpun tidak memakai riasan muka seperti Lui Shi akan tetapi yang memiliki kecantikan seperti bidadari dan sikapnya amat gagah, pecahlah ledakan sorak-sorai dan tepuk tangan.

Semua orang memang sudah mendengar berita angin bahwa Thio-thicu juga telah mendapatkan seekor kuda pilihan yang kabarnya akan mampu menandingi kuda hitam milik Bouw-thicu. Akan tetapi tidak ada yang mengira bahwa kuda itu pun adalah seekor kuda hitam yang sama benar, bahkan agak lebih tinggi dibandingkan dengan kuda milik Bouw-thicu. Dan yang membuat mereka gembira dan terheran-heran karena sama sekali lebih tidak mereka sangka lagi adalah bahwa penunggangnya juga seorang wanita, bahkan seorang dara remaja yang demikian cantik dan gagahnya! Biarpun dari jauh Lui Shi nampak cantik sekali, akan tetapi semua orang tahu bahwa kecantikan wanita yang lebih tua itu banyak dibantu oleh bedak dan gincu, sedangkan kecantikan dara remaja itu adalah kecantikan aseli. Maka, kenyataan bahwa kuda kedua orang tuan yang saling bersaing itu serupa, dan juga penunggangnya sama wanita cantik, tentu saja para penonton menjadi gembira sekali dan suapana menjadi tegang, apalagi mereka yang bertaruh. Sibuklah mereka ini untuk menambah atau merobah taruhan mereka setelah kedua “jago” itu keluar. Sementara itu, melaLui wakil masing-masing, terjadi pertaruhan yang luar biasa antara Bouw-thicu dan Thio-thicu. Mereka itu saling mempertaruhkan tanah di perbatasan antara wilayah mereka, tanah yang luas lebih dari separoh milik mereka, masih ditambah lagi dengan jumlah perak dan emas yang membuat salah satu di antara mereka rudin kalau kalah! Dan pertaruhan besar ini disyahkan dan disaksikan oleh kepala daerah sendiri!

Ci Sian tidak berlagak seperti yang diperlihatkan Lui Shi tadi. Akan tetapi tanpa berlagak sekalipun dara ini sudah nampak gagah sekali. Hek-liong-ma berlari congkiang dan Ci Sian langsung melarikan kudanya ke dalam tempat berkotak yang diperuntukkan para pembalapitu. Ia membawa kudanya memasuki tempat yang bertuliskan huruf Thio. Sementara itu, semua kuda yang sudah memasuki kotak masing-masing. Karena para petugas perlumbaan sudah mengibarkan bendera, pertanda bahwa perlumbaan akan dimulai dan semua kuda harus bersiap-siap di dalam kotak masing-masing. Semua pembalap memandang ke arah petugas yang memegang sebuah bendera merah dan yang berdiri di tempat yang agak tinggi. Petugas inilah yang akan memberi tanda dimulainya balap kuda itu. Kalau bendera yang diangkatnya tinggi itu sudah dikelebatkan turun, itulah tandanya. Dan Si Petugas, itu pun masih memegang tangkai bendera dengan kedua tangannya dan dia sejak tadi memandang ke atas panggung, ke arah kepala daerah. Karena kalau para pembalap itu menanti tanda dari dia, maka diapun menanti tanda dari pembesar itu. Hanya kepala daerah saja yang berhak memberi tanda bahwa perlumbaan boleh dimulai.

Agaknya kepala daerah itu sedang menerima laporan-laporan dari para petugas dan penyelidikannya bahwa segala sesuatunya berjalan beres, tidak ada apa apa yang mencurigakan dan tidak ada permainan curang dilakukan orang dalam perlumbaan itu. Maka, setelah merasa yakin bahwa tidak ada hal yang patut dicurigai, kepala daerah itu lalu bangkit dari tempat duduknya, lalu mengangkat tangan ke kanan ke atas dan menggerakkan tangan itu tiba-tiba ke bawah. inilah tanda bahwa perlumbaan boleh dimulai, yang merupakan isyarat bagi Si Petugas pemegang bendera merah. Dan semua mata penonton hampir tak pernah berkedip memandang ke arah kotak-kotak itu, menanti dengan hati berdebar saat dimulainya perlumbaan yang menegangkan hati itu, terutama yang akan terjadi di antara dua penunggang kuda wanita itu. Akan tetapi, di dalam ketegangan ini ada saja penonton yang berkelakar mengatakan bahwa jangan-jangan yang dinanti-nanti dengan tegang, yaitu dua orang pembalap wanita itu, ternyata akan menjadi pemenang dari belakang! “Bagaimanapun juga, mereka hanyalah wanita-wanita!” tambahnya. Kelakar ini mengurangi ketegangan dan terdengar suara ketawa. Bagaimanapun juga, kelakar itu masuk di akal dan bukan hal yang tidak mungkin akan terjadi seperti yang diramalkan oleh orang itu. Dan betapa akan lucunyakalau kedua penunggang kuda wanita itu, yang kini dikagumi dan diaadakan pusat pertaruhan yang amat ramai, di akhir perlumbaan itu akan menjadi juara dari belakang, yaitu nomor satu dan nomor dua paling akhir!

Begitu kepala daerah itu menggerakkan tangannya, petugas yang memegang bendera merah pun berseru dengan suara nyaring, suara yang sudah dinanti-nanti oleh para peserta perlumbaan. “Perlumbaan dimulaiiiii!” Dan bendera merah itu pun berkelebat turun dari atas.

Para pembalap itu menggebrak kuda masing-masing, pada saat para petugas menarik palang yang menutup kotak-kotak itu dan mulailah terdengar derap kaki kuda yang diiringi tepuk tangan dan sorak-sorai para penonton. Binatang-binatang itu seperti mendapatkan semangat tambahan, atau memang ketakutan mendengar sorak-sorai itu dan mereka pun lari semakin kencang.

Menurut peraturan perlumbaan, para pembalap harus mengelilingi arena balap itu sebanyak tiga kali putaran, dan setelah memutar lapangan itu tiga kali, lalu membelok ke depan panggung para pembesar di mana telah disediakan seikat bunga dengan pita merah yang digantungkan. Peserta yang palang dulu meraih dan mengambil seikat bunga indah yang dinyatakan sebagai pemenang pertama. Ada pula di situ digantungkan ikatan bunga untuk diambil oleh pemenang ke dua dan ke tiga. Dan di sepanjang arena perlumbaan itu, di tengah jalan diadakan rintangan-rintangan seperti pagar dan parit yang harus dilompati oleh kuda peserta. Jadi, yang diperlumbakan bukan hanya kecepatan, melainkan juga ketangkasan dan kemahiran si penunggang kuda.

Pada tengah putaran pertama, sembilan ekor kuda itu masih kelihatan sama cepatnya, mereka lari kencang berdampingan seolah-olah mereka itu bersepakat untuk lari bersama, tidak saling mendahuLui. Akan tetapi begitu mereka tiba di rintangan-rintangan di mana mereka harus mengerahkan kekuatan kaki dan kemahiran penunggang kuda masing-masing untuk melompat agar tidak sampai tersandung pagar atau jatuh ke dalam parit lumpur, mulailah nampak keunggulan Lui Shi Wanita ini mengeluarkan teriakan melengking dan agaknya ini merupakan tanda bagi kuda hitamnya untuk meloncati parit dengan loncatan yang amat indah dan tinggi, jauh melampaui para saingannya dan ketika tiba di seberang parit, kuda itu lalu lari membalap dengan cepat sekali seolah-olah keempat kakinya tidak lagi menyentuh bumi! Sorak-sorai meledak dari para penonton di luar arena balap itu, terutama sekali dari anak buah Bouw-thicu dan dari mereka yang berpihak dan bertaruh atas kuda hitam milik Bouw-thicu. Dan seolah-olah didorong oleh suara sorak-sorai ini, kuda hitam yang ditunggangi Lui Shi makin membalap sehingga jauh meninggalkan para saingannya. Sedangkan Hek-liang-ma yang ditunggangi Ci Sian masih bersama dengan para pembalap lain, hanya berada paling depan saja. Makin cepat juga kuda hitam Lui Shi meluncur sehingga ketika putaran pertama habis, ia telah meninggalkan para lawan sejauh hampir seperempat putaran! Tentu saja para penonton menjadi gegap-gempita, bersorak-sorak dan mencemooh kuda lain, terutama Ci Sian yang tadinya diharapkan akan dapat mengimbangi kecepatan kuda milik Bouw-thicu itu. Hal ini membuat Lui Shi timbul kesombongannya dan mulailah ia berlagak. Ia berloncatan di atas punggung kudanya, berjungkir-balik, berjongkok dan menari-nari di atas punggung kudanya yang berlari kencang itu. Memang harus diakui bahwa wanita ini pandai sekali menunggang kuda. Berdiri di atas punggung kudanya yang berlari kencang itu agaknya bagi wanita itu tiada bedanya dengan berdiri di atas tanah saja! Para penonton tentu saja menjadi semakin gembira, ada yang tertawa dan bertepuk tangan riuh, bahkan mereka yang berpihak kepada kuda lain pun mau tidak mau harus mengagumi kepandaian wanita itu dan kecepatan lari kuda hitam yang ditungganginya. Mereka semua tahu bahwa apa yang dipertontonkan wanita itu bukanlah main-main, berbeda dengan pertunjukan komedi kuda di mana kudanya tidak berlari sekencang itu dan bukan sedang dalam suatu perlumbaan besar. Sekali saja salah perhitungan dan wanita itu terjatuh dari punggung kuda, akibatnya maut!

Thio-thicu memandang semua itu dan wajahnya berobah agak lesu. Dia adalah seorang yang sudah sering mengadakan perlombaan kuda dan setelah melihat betapa dalam putaran pertama, jadi sepertiga jarak perlumbaan, pihak musuh sudah mendahului dengan seperempat putaran, harapannya sudah menipis. Tak mungkin ada kuda yang akan dapat menyusul ketinggalan sejauh itu. Dan diamdiam dia pun harus mengakui bahwa kuda hitam milik orang she Bouw itu memang luar biasa sekali. Belum pernah dia me1ihat ada kuda dapat berlari secepat itu, juga belum pernah dia melihat penunggang kuda sepandai wanita yang bekerja untuk lawan itu. Maka dia pun menoleh ke arah Suma Kian Bu dan Teng Siang In yang duduk di sebelah kirinya dan dia terheran-heran. Suami isteri pendekar ini nampak tenang-tenang saja! Hal ini membuat dia penasaran, maka dia pun tak dapat menahan hatinya bertanya kepada Siang In yang duduknya paling dekat dengannya, “Bagaimana pendapat Toanio? Kuda kita agaknya akan kalah....”

Betapa herannya hati tuan tanah itu ketika mendengar jawaban pendekar wanita itu dengan suara tenang, “Ia tidak akan kalah, Adik Ci Sian adalah seorang penunggang kuda yang baik dan mencinta kudanya. Ia tidak mau menguras tenaga kudanya, melainkan menanti saat baik. Lihatlah....!”

Tuan tanah itu menengok, apalagi karena tepat pada saat itu terdengar sorak-sorai riuh-rendah, dan tepuk tangan gegap-gempita. Ketika dia menoleh ke arah perlombaan, wajahnya segera berobah, kalau tadinya lesu kini menjadi berseri-seri dan saking lupa diri dia sampai bangkit berdiri dari tempat duduknya. Dia melihat kuda hitam yang ditunggangi Ci Sian mulai “terbang”! ya, memang lebih pantas disebut terbang karena kuda hitam itu berlompatan atau berlari seperti terbang saja, meninggalkan kelompok teman-temannya yang tadinya tertinggal jauh oleh kuda hitam yang ditunggangi Lui Shi!

Lui Shi tadinya masih enak-enakan, masih mengira bahwa semua tepuk sorak itu adalah untuknya. Memang ia sudah yakin akan kemenangannya dan memandang rendah kepada semua lawannya. Bukankah ia sudah menang seperempat putaran dan dua putaran lagi ia akan meninggalkan mereka lebih jauh lagi! Akan tetapi ketika ia iseng-iseng menoleh ke arah panggung dan melihat betapa rombongan Thio-thicu juga bersorak-sorak, bahkan Thio-thicu sendiri yang gendut itu bangkit berdiri dan berjingkrak-jingkrak, ia terkejut dan heran sekali. Cepat Lui Shi menoleh dan ketika ia melihat seekor kuda hitam meluncur cepat sekali dari belakang, tahulah ia bahwa kuda hitam yang ditunggangi dara remaja itu, milik Thio-thicu, telah mulai berusaha untuk mengejar dan menyusulnya!“Setan!” Ia memaki dan kalau tadinya ia enak-enakan jongkok di atas punggung kudanya, kini ia turun lagi dan duduk di atas punggung, lalu membedal kudanya agar berlari lebih cepat lagi. Kuda hitam tunggangannya itu bukan lain adalah kuda hitam milik suami isteri dari Pulau Es itu, dan memiliki ketangkasan yang seimbang dengan Hek-liong-ma. Maka begitu dibedal, kuda ini meringkik dan meluncur ke depan lebih cepat lagi.

Terjadilah kejar-mengejar antara dua ekor kuda hitam ini. Kejar-mengejar dalam putaran yang kedua dan ketika menghadapi rintangan, mereka berlompatan dengan amat cekatan. Karena kuda hitam Lui Shi dibedal sekuatnya, maka kembali Hek-liong-ma tidak dapat menyusulnya dan jarak di antara mereka masih cukup jauh, sungguhpun Hek-liong-ma juga sudah jauh sekali meninggalkan para lawan yang lain! Dan ketika putaran kedua habis, jarak antara mereka masih ada sedikitnya lima puluh meter! Tentu saja kejar-kejaran ini membuat pata penonton panas dingin rasanya, apalagi di pihak Bouw-thicu dan Thio-thicu. Mereka semua dari kedua rombongan ini, sudah bangkit berdiri dan tidak ada yang tidak menggerakkan kaki tangan dan mulut mereka untuk memberi dorongan semangat. Seolah-olah nampak semangat mereka beterbangan ke arah dua kuda jagoan masing-masing dan semangat itu ikut mendorong pantat kuda agar lebih cepat lagi!

Tinggal satu putaran lagi dan di sinilah letak, keuntungan Ci Sian. Kuda hitam yang ditunggangi Lui Shi telah lebih dulu diperas tenaganya, dipaksa berlari sekencangnya dan pada putarsn terakhir ini, nampak betapa kuda itu menjadi lemah. Mulutnya mulai berbuih dan hidungnya mendengus-dengus, tanda bahwa kuda itu mulai kelelahan. Tidak demikian dengan Hek-liong-ma yang kelihatan semakin gembira untuk mengejar kuda di depan itu.

Lomba itu kini seolah-olah hanya dilakukan oleh dua ekor kuda hitam itu. Yang lain-lain sudah tidak masuk hitungan lagi. Bahkan para thicu yang memiliki kuda lain itu sama sekali tidak lagi memperhatikan kuda mereka sendiri yang jauh tertinggal di belakang, melainkan menujukan perhatian mereka kepada dua ekor kuda yang berrlari secepat terbang itu. Dan para petaruh mulai berteriak-teriak untuk menambah taruhan mereka. Kini, lambat namun jelas sekali, Hek-liong-ma mulai dapat mengurangi jaraknya dari kuda hitam di depan. Dan Lui Shi yang sejak tadi sering menoleh ke belakang, melihat pula akan hal ini. Telinganya dapat menangkap derap kaki kuda di belakangnya itu, yang merupakan suara seperti ancaman setan, makin lama semakin jelas. Mereka berdua tiba di tempat di mana ada rintangan-rintangan pagar dan parit dan mulailah Hek-liong-ma memperlihatkan ketangkasannya. Lompatan demi lompatan dilakukannya dan perlahan-lahan kuda ini mulai dapat menyusul kuda hitam yang ditunggangi Lui Shi! Ketika semua rintangan dapat dilompati oleh dua ekor kuda itu, kini dua ekor kuda itu sudah hampir sejajar, dan Hek-liong-ma hanya kalah setengah badan saja!

Kini Lui Shi dapat melihat wajah Ci Sian yang tersenyum tenang, wajah yang menimbulkan benci dan iri dalam hati Lui Shi. Tiba-tiba Lui Shi mengeluarkan suara nyaring yang bunyinya seperti ringkikan kuda, “Hiiii-yehh.... hiii-yehhh....!” Dan akibatnya memang hebat. Hek-liong-ma mengurangi kecepatan gerakan kakinya dan tiba di belakang kuda hitam betina itu! Mereka kini sudah melalui separuh dari putaran terakhir!

Ci Sian terkejut sekali dan ia teringat bahwa wanita ini adalah seorang penjinak kuda. Tentu teriakannya tadi merupakan teriakan yang khas, yang merupakan bahasa kuda yang agaknya menahan Hek-liong-ma! Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara lain di dekat mereka. Suara ini seolah-olah berada dekat sekai dengan dua orang wanita itu, dan seperti suara setan yang tidak nampak. “Hek-liong-ma.... ckk, ckk.... hyaaakkk....!”

Mendengar suara ini, Hek-liong-ma tiba-tiba meloncat ke depan dan dengan beberapa kali loncatan saja kuda ini sudah dapat menyamai lagi sehingga lari berendeng dengan kuda hitam! Penonton seperti gila, berteriak-teriak seperti orang kemasukan setan menyaksikan peristiwa ini, kejar-mengejar yang mendebarkan dan menegangkan hati ini. Ada beberapa orang petaruh yang jantungnya lemah sudah jatuh pingsan di tempat dia berdiri!

Melihat ini, Lui Shi terkejut bukan main dan beberapa kali ia berusaha untuk menguasai Hek-liong-ma dengan teriakan-teriakan aneh. Akan tetapi selalu ada suara lain yang menentangnya dan agaknya Hek-liong-ma lebih taat kepada suara tanpa rupa ini. Diam-diam Ci Sian kagum bukan main dan tahulah ia bahwa suara itu tentulah suara Pendekar Siluman Kecil yang mempergunakan khi-kang yang amat kuat, mengirim suara dari jauh untuk menguasai Hek-liong-ma.

Melihat betapa Hek-liong-ma kini malah telah menang setengah badan dibandingkan dengan kudanya, Lui Shi marah bukan main tangan kirinya mengambil sesuatu dari balik bajunya dan tangan itu bergerak. Sinar lembut menyambar ke arah belakang kuda Hek-liong-ma. Akan tetapi, sejak tadi Ci Sian tidak pernahlengah. Ia tahu akan kecurangan lawan, maka sejak tadi pun ia sudah bersiap. Melihat tangan kiri lawan merogoh saku saja ia sudah curiga, maka begitu tangan kiri itu bergerak dan jarum-jarum meluncur ke arah belakang tubuh Hek-liong-ma, cepat dara ini mencondongkan tubuhnya ke belakang, dengan tangan kiri ia mengebut dan mengerahkan tenaga khi-kang sehingga jarum-jarum itu runtuh, akan tetapi masih sempat menyambar dan menangkap beberapa batang jarum dengan tangan kirinya, lalu langsung menyambit dan jarum-jarum itu kembali kepada pemiliknya. Akan tetapi berbeda dengan Lui Shi, Ci Sian tidak menyerang kuda, melainkan langsung menyambitkan jarum-jarum itu ke arah tubuh Lui Shi!

Lui Shi kaget bukan main. Tak disangka bahwa dara remaja yang menjadi penunggang kuda hitam itu ternyata adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali! Disangkanya hanya seorang penunggang kuda yang mahir ilmu menunggang kuda saja. Siapa tahu, dengan kebasan tangannya, bukan saja dara itu mampu meruntuhkan jarum-jarumnya, bahkan dapat menangkap jarum-jarumnya dan kini sambitan cepat seperti kilat menyambar! Wanita ini mengeluarkan seruan kaget dan tiba-tiba saja tubuhnya lenyap dari atas kuda.

“Ehhh....?” Ci Sian terkejut, akan tetapi ia menjadi kagum ketika wanita itu muncul kembali dan ternyata tadi ketika mengelak dari serangan jarumnya, wanita itu telah menjatuhkan dirinya ke bawah perut kuda dengan kedua kaki tetap mengait tubuh kuda itu. Sungguh merupakan ilmu menunggang kuda yang hebat, yang hanya dimiliki oleh ahli-ahli pemain sirkus yang amat mahir.

Kini mereka terus membalapkan kuda mereka dan dua ekor kuda itu, masih terus lari berendeng, sungguhpun Hek-liong-ma menang setengah badan. Sorak-sorai masih menggegap-gempita di kalangan penonton, bahkan para pembesar yang juga ikut-ikutan merasa tegang, sudah berdiri semua di atas panggung dan ikut bertepuk-tangan.

Kini putaran terakhir hampir habis! Melihat kudanya akan kalah begini terus, tiba-tiba Lui Shi mengeluarkan sesuatu dari sakunya dan menaburkan benda putih di atas pinggul dan ekor kudanya. Dan tiba-tiba Hek-liong-ma mengeluarkan suara meringkik aneh dan.... kuda ini menahan larinya, kemudian berlari di belakang kuda hitam itu sambil mendengus-denguas! Ci Sian menjadi terkejut dan juga bingung. Ia tidak tahu apa yang telah terjadi. Ia tidak tahu bahwa Lui Shi yang ahli itu telah menaburkan obat yang membuat kuda-kuda jantan seolah-olah menganggap kuda betina itu sedang dalam waktu birahi! Dan hal ini merangsang kuda Hek-liong-ma yang sudah mengenal kuda hitam itu sebagai kawan lamanya, lalu lari di belakangnya, tidak mau mendahului tentu saja para penonton bersorak-sorak lagi melihat ramainya perlumbaan itu, melihat betapa kini kembali kuda tuan tanah Thio tertinggal di belakang, kalah satu badan! Bahkan Suma Kian Bu dan isterinya juga berdiri saling pandang dengan bingung, tidak tahu apa yang telah terjadi dan tidak tahu pula harus berbuat apa. Pendekar Siluman Kecil telah mengirim aba-aba kepada Hek-liong-ma, akan tetapi tetap saja kuda ini tidak mau mendahului kuda betina.

Putaran terakhir sudah habis dan kini tinggal membelok untuk merebutkan ikatan bunga dengan pita merah sebagai tanda pemenang atau juara pertama! Dan Hek-liong-ma masih ketinggalan satu badan! Pada saat terakhir itu, saking penasarannya, tiba-tiba Ci Sian mengeluarkan suling emasnya, meniup suling itu dengan nada yang begitu tingginya sehingga tidak terdengar oleh telinga manusia, akan tetapi karena ia mengerahkan khi-kang dan menujukan suara suling dengan i1mu yang dipelajarinya bersama Kam Hong, menujukan suara itu menyerang kuda hitam yang ditunggangi Lui Shi, tiba-tiba saja kuda hitam yang ditunggangi Lui Shi itu meringkik keras dan mengangkat kedua kaki depannya ke atas dan tentu saja otomatis larinya terhenti! Kuda itu telah terserang pendengarannya oleh suara lengkingan tinggi yang menggetar dan seolah-olah menusuk kedua telinganya, membuat binatang itu meringkik kesakitan dan juga amat terkejut. Tentu saja kesempatan baik ini tidak disia-siakan oleh Ci Sian. Ia membedal kudanya, Hek-liong-ma meloncat ke depan dan sebelum Lui Shi dapat menguasai kembali kuda hitamnya yang ketakutan, dengan mudahnya Ci Sian sudah meraih dan menyambar ikatan bunga dengan pita merah sebagai tanda bahwa ia keluar sebagai juara. Sorak-sorai dan tepuk tangan riuh memenuhi lapangan itu dan Lui Shi yang akhirnya dapat menguasai kembali kudanya karena kini tidak ada lagi suara suling yang membikin takut kuda itu, baru dapat melihat ketika mendengar sorak-sorai itu bahwa kejuaraan telah direbut oleh Ci Sian dan kuda hitamnya.

“Keparat....!” ia mengutuk dan membalapkan kudanya ke depan dengan muka merah penuh geram. Ia tahu bahwa dara remaja itu tentu telah melakukan sesuatu yang membuat kudanya tadi ketakutan. Ia pun tadi melihat dara itu meniup suling yang mengkilap, dan biarpun telinganya tidak menangkap suara apa-apa, namun getaran yang halus sekali terasa olehnya maka tahulah ia bahwa dara itu menggunakan siasat untuk membuat kudanya ketakutan dan berjingkrak tadi. Maka ia menjadi marah sekali sehingga ia tidak ingat lagi bahwa di samping hadiah sebagai juara pertama, masih ada juara ke dua dan ke tiga. Ia membalapkan kudanya mengejar Ci Sian yang sudah mengambil ikatan kembang dengan pita merah itu.

“Iblis curang!” bentak Lui Shi sambil mengejar. Melihat sikap wanita ini, Ci Sian maklum bahwa ia terancam serangan, maka cepat ia melemparkan ikatan bunga sebagai tanda juara itu ke arah Thio-thicu karena ia sudah tiba di depan rombongan itu, kemudian ia pun meloncat turun ke atas tanah, membiarkan Hek-liong-ma dirawat oleh beberapa orang tukang kuda pembantu Thio-thicu yang segera menyelimuti kuda itu dengan selimut bulu dan menyeka keringat kuda itu.

Melihat betapa Ci Sian sudah menantinya dengan berdiri tegak, Lui Shi menjadi semakin marah, merasa kalau ditantang. Maka ia pun meloncat turun dari atas kudanya ke depan Ci Sian.

“Lui Shi.... ambil juara ke dua!” terdengar Bouw-thicu dan anak buahnya berteriak.

Akan tetapi Lui Shi seperti tidak mendengar seruan-seruan itu, dan Ci Sian yang diam-diam merasa marah kepada wanita curang ini, sengaja mengejek agar Bouw-thicu kehilangan semua kejuaraan. “Hemm, wanita tak tahu malu. Engkau sudah kalah, masih banyak lagak mau apakah?” Setelah berkata demikian, sambil tersenyum mengejek Ci Sian lalu meloncat ke atas panggung. Panggung itu memang memanjang ke depan, tempat para petugas tadi menyampaikan pengumuman dan lain-lain, dan kini ditinggalkan kosong karena semua pembesar dan petugas sudah duduk di kursi masing-masing. Dan Ci Sian melompat ke tempat ini, dengaan sengaja, untuk memancing Lui Shi menjauhi kejuaraan yang ke dua dan ke tiga, dan juga agar mereka berdua dapat nampak oleh semua orang yang berada di bawah, terutama sekali oleh para pembesar yang duduk di atas panggung.

Diejek oleh Ci Sian, kemarahan Lui Shi meluap, membuatnya menjadi mata gelap dan tanpa mempedulikan apa-apa lagi, melihat lawannya itu melompat naik ke atas panggung, ia pun lalu menggunakan gin-kangnya meloncat ke atas panggung. Semua ini dapat dilihat dengan jelas oleh para penonton, juga oleh para pembesar dan tentu saja semua orang tertarik dan tegang. Kini semua mata memandang ke arah dua orang wanita itu yang sudah saling berhadapan di ujung panggung, dan agaknya tidak ada seorang pun yang mempedulikan jalannya perlombaan lagi. Ada pertunjukan yang lebih menarik dan menegangkan di atas panggung.

“Eh, engkau berani mengejarku?” Ci Sian terus menggoda dan mengejek. “Sudah kalah tidak mau menyadari kebodohan sendiri, malah mengamuk-ngamuk. Sungguh engkau ini nenek-nenek tak tahu malu, tebal muka....!” Ci Sian terus menggoda.

Sepasang mata wanita itu mendelik dan kini wajahnya tidak kelihatan terlalu cantik lagi. Bahkan mengarah buruk, karena keringatnya membasahi dahi, membuat pupur tebal itu luntur dan kulit mukanya yang tertutup bedak tidak rata itu malah menjadi coreng-moreng.

“Keparat, kubunuh engkau.... kubunuh engkau....” Lui Shi berkata dengan suara mendesis dan napas agak memburu saking marahnya.

“Aha, begitu mudahkah? Benarkah engkau akan mampu?” Ci Sian tetap saja mengejek.

Ucapan dan sikap dara remaja ini bagaikan angin yang mengipasi api kemarahan Lui Shi, maka wanita ini menjadi lupa diri. Ia lupa bahwa ia berada di tempat yang gawat, di depan para pembesar dan pejabat setempat, bahkan di depan kepala daerah Propinsi Sin-kiang! Dengan mata gelap ia sudah melolos keluar senjatanya, yaitu sebatang pedang lemas yang dapat digulungnya dan disembunyikannya di balik bajunya, dan dengan pedang di tangan ini ia menerjang maju, mulutnya mendesis, “Kucincang engkau.... kucincang dan kupenggal kepalamu....!”

Akan tetapi ia terlalu memandang rendah kepada Ci Sian, terkecoh oleh keadaan dara remaja itu. Biarpun dalam pandangan orang-orang lain yang menyaksikannya, serangan pedang dari Lui Shi itu amat cepat dan kuat dan amat berbahaya, namun dalam pandangan Ci Sian Sian tidaklah demikian. Ia dapat mengikuti gerakan pedang itu baik dan dengan mudahnya ia mengelak sampai tujuh kali beruntun ketika pedang itu menyerang bertubi-tubi. Tenaga manusia itu terbatas dan tidak mungkin serangan dilanjutkan terus tanpa henti, karena si penyerang perlu memulihkan tenaga dan mengatur napas. Ketika pedang itu berhenti bergerak menyerang setelah semua bacokan dan tusukannya mengenai angin belaka, detik ini dimanfaatkan oleh Ci Sian, tangan kirinya menyambar dan biarpun Lui Shi juga seorang wanita yang gesit, namun sehabis menyerang bertubi-tubi itu, ia belum mampu menjaga diri, maka dengan kecepatan sekejap mata, tahutahu pipinya telah berkenalan dengan telapak tangan Ci Sian yang menyambar.

“Plakkk....!”

Telapak tangan Ci Sian itu halus lembut dan hangat, telapak tangan seorang dara yang terpelihara dan terawat baik-baik, yang tidak pernah atau jarang bekerja berat. Akan tetapi karena tangan itu terlatih, mengandung kekuatan sin-kang yang amat hebat, maka biarpun tamparan itu dilakukan oleh Ci Sian dengan perlahan saja, bukan dengan niat membunuh, tidak urung tubuh Lui Shi terputar seperti disambar halilintar, dan setelah berjungkir balik dan memutar pedang mengatur keseimbangan, barulah ia dapat terhindar dari keadaan terpelanting dan roboh. Seluruh mukanya terasa berdenyut-denyut dan panas sekali, dan ternyata pipi kanannya telah membengkak dan merah, sedangkan ujung bibirnya pecah berdarah! Sejenak ia terbelalak, saking terkejut, heran dan penasaran. Akan tetapi segera semua itu ditelan oleh kemarahannya yang berkobar-kobar.

Orang marah sama dengan orang mabuk. Dalam keadaan marah, kewaspadaan kita tertutup, seolah-olah tertutup oleh asap dari api kemarahan, membuat kita buta dan tidak dapat melihat kenyataan dengan terang. Kemarahan membutakan mata menulikan telinga dan dalam keadaan mabuk seperti itu, orang dapat melakukan apa saja, terutama melakukan hal-hal yang kejam, karena satu-satunya tujuan hanyalah melampiaskan kemarahan yang hanya dapat terlaksana dengan membalas dendam kepada orang yang menimbulkan kemarahan itu. Kemarahan merupakan penghamburan energi batin yang amat besar dan amat kuat sehingga banyaknya kemarahan akan mempengaruhi jamani, menjadi lekas lapuk dan tua.

Dalam kemarahannya, Lui Shi seperti tak melihat apa-apa lagi kecuali wajah dara remaja yang dianggapnya seperti setan yang amat dibencinya itu. Ia mengeluarkan pekik melengking tinggi yang menyeramkan dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak. Dari tangan kiri itu menyambar sinar yang sama ketika ia menyerang kuda, dan tahulah Ci Sian bahwa lawannya yang curang ini kembali mempergunakan senjata rahasia jarum-jarum halus. Namun, senjata rahasia seperti itu tentu saja merupakan permainan kanak-kanak bagi pendekar wanita remaja yang telah memiliki kesaktian ini. Dengan kebutan tangan kirinya, Ci Sian membuat semua jarum itu runtuh, sedangkan yang melesat dan mengenai kulit tubuhnya setelah menembus pakaian, bertemu dengan kulit yang dilindungi sin-kang amat kuat sehingga tidak terasa sama sekali! Ci Sian mencabuti empat lima batang jarum yang menancap di pakaiannya, dan membuangnya ke atas lantai seperti membuang kutu busuk. Lui Shi terbelalak. Kalau saja tidak dimabokkan oleh kemarahan yang berkobar, semua kenyataan ini saja tentu sudah menyadarkannya bahwa dara remaja itu bukan lawannya, terlalu tangguh baginya. Namun, ia sudah mabok dan ia sudah menubruk lagi dengan pedangnya, menyeranq dengan tusukan kilat ke arah dada Ci Sian.

Kini Ci Sian tidak mau memberi hati lagi. Ia miringkan tubuh, tangan kirinya mengikuti gerakan lawan menusuk dengan jari tangan ke arah lambung, tusukan ini amat cepat dan berbahaya, mengeluarkan angin bersuit mengejutkan Lui Shi yang cepat menarik pedang dan hendak membacok tangan yang menusuk itu. Akan tetapi tiba-tiba saja tangan Ci Sian Sian menyambar dan tanpa dapat dihindarkan lagi, untuk kedua kalinya pipi Lui Shi ditampar. Sekali ini pipi kiri.

“Plakk!” tamparan yang keras sekali, membuat tubuh itu terputar dan terpelanting, dan ketika Lui Shi mampu bergulingan untuk mematahkan kejatuhan tubuhnya dan ia melompat bangun, pipi kirinya bengkak lebih besar daripada pipi kanannya dan ujung mulut kirinya juga berdarah. Mukanya menjadi buruk sekali setelah kedua pipinya bengkak itu, bahkan bengkak-bengkak itu sampai membuat kedua matanya nampak sipit dan lucu, dan hidungnya terjepit antara dua bukit membengkak dari kedua pipinya.

“Anak setan....!” Ia memaki dan menerjang lagi. Ci Sian memapaki dengan tendangan akhirnya Lui Shi terjengkang. Akan tetapi kembali wanita itu bangkit dan menyerang kembali Ci Sian menendang dan sekali ini ia mengerahkan lebih banyak tenaga.

“Desss....!” Tubuh Lui Shi terlempar dan terguling-guling sampai ke depan kursi kepala daerah yang sudah menjadi marah sekali. Semua orang melihat betapa Lui Shi yang mulai lebih dulu berkelahi itu. Lui Shi yang melakukan penyerangan-penyerangan sedangkan Ci Sian hanya melindungi diri saja. Maka kepala daerah itu lalu membentak.

“Tangkap perempuan pengacau ini!”

Lui Shi bukanlah wanita sembarangan. Ialah yang menghubungkan Bouw-thicu dengan para pemberontak Mongol. Kini melihat bahwa dirinya hendak ditangkap, kemarahannya yang sudah meluap itu membuat ia meloncat berdiri dan hendak menyerang pembesar itu! Akan tetapi tiba-tiba dua bayangan berkelebat dan tahu-tahu Suma Kian Bu dan Teng Siang In telah berdiri di depannya!

Lui Shi mengenal suami isteri yang menjadi pemilik kuda yang dicurinya. Akan tetapi ia tidak mengenal mereka ini siapa dan belum tahu bahwa pemilik kuda itu adalah sepasang suami isteri yang kepandaiannya malah lebih tinggi daripada kepandaian gurunya sekalipun! Maka ia tidak takut.

“Maling kuda, engkau menyerahlah!” Kian Bu berkata.

“Huh! Mampuslah!” kata Lui Shi dan ia pun menubruk dengan tusukan pedangnya.

“Takk!” Pedang itu dengan tepat mengenai dada pendekar berambut putih itu, akan tetapi pedang itu melengkung! Pedang lemas, akan tetapi kalau dipergunakan oleh Lui Shi dengan pengerahan sin-kang, pedang itu dapat menjadi keras atau lemas. Kini, ia menggunakan tenaga keras dan ternyata ketika mengenai dada orang, pedangnya melengkung seperti sebatang daun saja! Dan tahu-tahu pedangnya itu telah dijepit oleh dua jari tangan pria itu, Lui Shi mengerahkan tenaga untuk mencabut pedangnya terlepas dari jepitan ibu jari dan telunjuk tangan kiri pendekar itu, namun hasilnya sia-sia belaka, pedangnya itu seolah-olah sudah berakar pada kedua jari itu! Bukan main kagetnya hati Lui Shi. Baru sekarang ia tahu bahwa pemilik kuda yang memiliki wajah tampan gagah namun amat menyeramkan ini kiranya memiliki kepandaian lebih hebat lagi! Kian Bu mengerahkan tenaga pada jari-jari tangannya, membuat gerakan menekuk dan memuntir.

“Krekk!” Pedang itu patah menjadi dua! Pucatlah wajah Lui Shi. Pedangnya itu adalah sebuah pedang pusaka yang terbuat dari baja pilihan, yang mampu membabat putus besi dan baja biasa. Akan tetapi kini pedang itu patah oleh tekukan dua jari tangan orang ini! Tubuhnya mulai gemetaran karena tahulah ia bahwa ia berhadapan dengan seorang sakti!

“Maling busuk, sebaiknya engkau menyerah” kata lagi Suma Kian Bu.

“Aku.... aku tidak mencuri apa-apa....” Dalam gugupnya Lui Shi mencoba untuk membela diri.

“Bagus! Sudah mencuri membohong pula!” Siang In mencibir. “Sungguh pengecut tak tahu malu. Kuda hitam betina itu adalah kuda kami yang kaucuri dari kami, menggunakan kepandaianmu menjinakkan kuda. Dan engkau masih berani menyangkal?”

Tiba-tiba dari samping terdengar suara orang, suara yang berat dan berwibawa, “Harap jangan ada fitnah-fitnah yang tidak sehat disini! Kuda hitam itu adalah milik kami, dan kami menerimanya dari Lui Shi dengan syah. Kuda itu sejak dahulu adalah milik Lui Shi, bagaimana kini tiba-tiba ada orang menuduhnya mencuri?” suara ini adalah suara Bouw-thicu yang sudah tiba di tempat itu bersama beberapa orang pengawal pribadinya. Tuan tanah yang bertubuh tinggi besar ini naik ke panggung dan setelah memberi hormat kepada para pembesar, terutama kepala daerah yang dikenalnya dengan baik, lalu mengeluarkan teguran itu kepada Suma Kian Bu dan Teng Siang In.

Mendengar teguran tuan tanah yang tinggi besar itu, Kian Bu berkata, “Bouw-thicu, mungkin engkau sendiri juga tertipu oleh wanita ini. Akan tetapi kuda hitam itu benar milik kami. Kuda kami adalah sepasang, dan yang betina hilang dalam perjalanan kami, dan ternyata di curi oleh wanita ini.”

“Bohong....!” Lui Shi berkata dengan suara teriakan, sikapnya sudah pulih karena ia dibela oleh Bouw-thicu. Kini ia kelihatan marah dan penasaran, “Kuda itu sejak kecil kukenal dan kupelihara, bagaimana tiba-tiba ada orang mengakulinya?”

“Taijin, kami mohon keadilan!” Bouw-thicu berkata kepada Kepala Daerah Propinsi Sin-Kiang yang langsung menghadapi pertikaian ini. Kepala daerah itu tersenyum dan memandang kepada Suma Kian Bu.

“Kalau ada dua pihak mengakui seekor kuda sebagai miliknya, maka jalan satu-satunya hanyalah agar kedua pihak memperlihatkan bukti akan kebenaran pengakuan masing-masing. Kalau ada bukti, barulah benar bahwa dia pemiliknya.“

Bouw-thicu tersenyum. Biarpun dia tadi kecewa karena kekalahan Lui Shi, bahkan kejuaraan kedua dan ketiga telah direnggut peserta lain, namun kini agaknya terbuka kesempatan baginya untuk menjatuhkan nama Thio-thicu atau setidaknya orangnya tuan tanah lawan itu, di hadapan semua pembesar dan semua penonton. Biarpun dia kalah bertaruh, kekalahannya yang amat besar, baik dalam hal tanah yang luas maupun jumlah uang yang amat banyak, namun dia akan menang muka!

“Nah, pihak kami telah dapat membuktikan, lalu apakah bukti pihak lain yang mengaku-aku kuda hitam itu sebagai kudanya?”

Ucapan ini jelas ditujukan kepada pihak Thio-thicu yang juga sudah naik ke atas panggung itu, dan Thio-thicu tentu saja hanya dapat menoleh kepada Suma Kian Bu dan menyerahkan jawabannya kepada pendekar ini. Suma Kian Bu bersikap tenang saja, dan mengangguk-angguk.

“Memang adil sekali, pemiliknya yang aseli harus dapat menunjukkan bahwa kuda itu taat kepadanya, dan itu dapat menjadi bukti. Nah, untuk membuktikan itu, aku akan menyuruh kuda itu melemparkan siapapun juga yang berani menungganginya!” kata pendekar itu dengan tenang.

“Baik, aku akan menungganginya!” Tiba-tiba Lui Shi berseru dengan cepat dan wajahnya berseri-seri. Di dalam hidupnya, selama ini Lui Shi tak pernah terpisah dari kuda yang menjadi kegemarannya, juga memang keahliannya adalah menunggang kuda. Selain itu, ia merasa yakin bahwa ia telah benar-benar menguasai kuda hitam itu yang tentu takkan pernah mau membangkang terhadap perintahnya. Maka ia menerima tantangan ini. “Biarlah masing-masing pihak membuktikan bahwa ia pemilik sejati. Siapa yang mampu menungganginya selama terbakarnya sebatang hio maka dialah pemiliknya!”

“Itu sudah adil!” Siang In berseru pula.

Kepala daerah itu merasa gembira dan minta kepada para pembantunya membuat pengumuman di ujung panggung itu akan adanya pertunjukan yang cukup menarik ini, untuk membuktikan siapa pemilik aseli dari kuda hitam itu. Seorang petugas dengan suaranya yang nyaring segera membuat pengumuman dan para penonton menjadi gembira sekali karena setelah perlumbaan yang cukup menarik dan ramai itu, kini terdapat lagi sebuah pertunjukan yang akan cukup menegangkan. Dan kembali ramailah orang saling bertaruh, yaitu bertaruh untuk siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Dan seperti juga tadi, kini banyak yang berani menjagoi Lui Shi, setelah mereka tadi melihat ketangkasan wanita ini dalam menunggangi kudanya. Mereka, para penonton ini, tidak peduli siapa sesungguhnya pemilik kuda hitam itu, maka mereka bertaruh untuk siapa yang akan menang dalam menundukkan kuda itu dan tetap dapat menungganginya selama terbakarnya sebatang hio.

“Biarlah aku yang akan menungganginya.” bisik Ci Sian kepada suami isteri itu. Akan tetapi sekali ini Siang In menggeleng kepala.

“Jangan Ci Sian. Aku sendiri pun tidak berani untuk melayaninya menunggang kuda. Satu-satunya yang akan dapat mengalahkannya hanyalah suamiku.” Mendengar bisikan kembali dari Siang In ini, Ci Sian tidak banyak cakap karena ia percaya penuh kepada suami isteri ini. Apalagi karena memang kuda itu adalah milik mereka.

Apa yang diucapkan oleh Siang In memang tepat sekali. Mereka mempunyai dua ekor kuda, yang keduanya sama benar, sama-sama hitam dan merupakan sepasang kuda yang sukar dicari bandingnya dan rerupakan binatang-binatang yang luar biasa. Yang jantan mereka sebut Twa-liong, sedangkan yang betina mereka sebut Siauw-liong (Naga Kecil), dan keduanya merupakan jenis kuda Hekliong-ma (Kuda Naga Hitam) yang dulu pernah dimonopoli oleh keluarga Kerajaan Mongol ketika berkuasa di Tiongkok. Di jaman itu, boleh dibilang Hek-liong-ma hanya dimiliki oleh keluarga Raja dan orang lain tidak diperbolehkan memilikinya. Kalau ada yang memilikinya tentu dirampas. Setelah Kerajaan Goan (Mongol) roboh dan hancur, diperkirakan orang bahwa keluarga Raja itu pun membasmi kuda-kuda Hek-liong-ma. Dan memang kenyataannya juga demikian, akan tetapi ternyata ada beberapa ekor kuda yang dapat lolos dan dua ekor kuda yang dimiliki oleh pendekar penghuni Pulau Es dan isterinya itu adalah keturunan dari kuda-kuda Hek-liong-ma yang lolos itu.

Twa-liong (Naga Besar) yang jantan menjadi tunggangan Siang In, sedangkan Siauw-liong menjadi tunggangan Suma Kian Bu. Oleh karena itulah, maka biarpun Siauw-liong juga tidak asing dengan Siang In, namun nyonya ini maklum bahwa kuda itu akan lebih, akrab dan mudah mengenal bau badan orang lain. Pula, dengan membiarkan suaminya yang menunggangi kudanya itu, ia sendiri dapat berjaga-jaga untuk menolak pengaruh ilmu sihir atau ilmu hitam, kalau-kalau pihak lawan mempergunakannya untuk mencapai kemenangan.

“Untuk menentukan siapa yang lebih dulu harus mencoba menunggangi kuda itu, akan diadakan undian.” kata seorang petugas yang telah ditugaskan oleh pembesar kepala daerah untuk mengurus pertandingan ini dan Sang Petugas ini memang ahli dalam mengurus segala macam perlombaan atau pertandingan.

“Tidak adil!” kata Lui Shi. “Dialah yang menuduhku maling kuda dan dia yang mengaku-aku kudaku ini sebagai kudanya, maka dia yang harus lebih dulu membuktikan kebenaran omongannya bahwa kuda ini akan taat kepadanya!”

Petugas itu hendak membantah karena peraturan perlombaan tidak peduli akan semua alasan. Yang penting, para peserta perlombaan harus mentaati peraturan dan berlaku bagi semua peserta, itu barulah adil namanya. Akan tetapi Kian Bu segera berkata, “Baiklah, biar aku yang menunggangi kudaku itu lebih dulu!” Karena pihak yang lain sudah setuju, maka petugas itu pun tidak banyak ribut lagi dan wajah Lui Shi berseri, walaupun wajah itu kini tidak dapat nampak manis lagi setelah bedak dan gincunya luntur dan bengkak-bengkak bekas tamparan Ci Sian tadi. Memang wanita ini amat cerdik. Ia memang sudah yakin akan kemampuannya sendiri yang membuat ia percaya bahwa ia tidak mungkin dapat terjatuh dari atas punggung kuda hitam itu untuk selama terbakarnya sebatang hio (dupa) saja. Akan tetapi ia belum tahu sampai di mana kemahiran lawan menunggang kuda. Kalau lawan ini pun berhasil bertahan sampai selama itu, bukankah hal itu masih belum membuat ia keluar sebagai pemenang? Oleh karena itu, ia mencari jalan untuk memaksa lawan leblh dulu menunggang kuda dan ia akan menggunakan semua kepandaiannya untuk membuat lawan ini tidak dapat bertahan sampai habisnya hio itu terbakar. Kalau lawan gagal, barulah ia dengan enak akan dapat memetik kemenangan itu! Sebaliknya, andaikata lawannya berhasil, ia pun dapat mempelajari rahasia apa yang dimilikinya atas kuda itu sehingga ia akan dapat menguasai rahasia itu pula! Memang ia seorang wanita cerdik! Setidaknya, ia sendiri menganggap dirinya amat cerdik.

Karena perlombaan balap kuda sudah selesai maka kini para penontan tanpa dapat dicegah lagi telah mendesak maju mengerumuni panggung dan para pasukan penjaga hanya dapat mencegah mereka terlalu mendekat panggung dan memberi arena pertandingan menunggang kuda yang cukup luas di bawah panggung. Para pembesar sudah berpindah duduk, kini di tepi panggung itu agar dapat menyaksikan dengan jelas pertandingan kemahiran menunggang kuda yang akan berlangsung antara dua orang wakil dari Thio-thicu dan Bouw-thicu itu. Biarpun persoalannya kini tidak ada sangkut-pautnya dengan kedua orang tuan tanah itu, melainkan lebih merupakan persoalan pribadi antara Lui Shi dan Suma Kian Bu, akan tetapi karena mereka berada di pihak dua orang tuan tanah itu, maka umum menganggap bahwa pertandingan ini merupakan kelanjutan daripada balap kuda tadi.

Untuk memberi kesempatan kedua orang itu memperlihatkan bukti bahwa seorang di antara mereka adalah pemilik kuda yang sah, maka ketika yang seorang menunggang kuda, pihak lain diperbolehkan memberi aba-aba kepada kuda itu, akan tetapi harus dengan duduk di pinggiran dan tidak boleh mendekati kuda untuk mengganggunya dengan gerakan. Aba-aba saja sudah merupakan bukti cukup, kepada orang mana yang kuda itu akan lebih taat. Seorang petugas yang ahli tentang kuda, telah memeriksa kuda hitam itu dan tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan, yang mengkhawatirkan dipasangkan kepada kuda itu. Dia memegangi kendali kuda dan mengelus kuda itu, menanti seorang rekannya membuat persiapan menyalakan sebatang dupa. Setelah dari atas panggung, pembesar kepala daerah yang bertindak sebagai juri itu memberi tanda dengan tangannya, maka petugas yang memegang dupa lalu menyalakannya dan Suma Kian Bu diberi tanda untuk mulai dengan menunggang kuda. Kian Bu menghampiri kuda hitam, merangkulnya dan berbisik lirlh, “Siauw-ma....!”

Kuda itu mendengus-dengus, kemudian seperti mengenal bau badan pendekar itu dan kegirangan, kuda itu meringkik dan mengangkat kedua kaki depan ke atas, membuat petugas yang memegang kendali kuda menjadi kewalahan dan terpaksa melepaskan kendali kuda. Kian Bu girang sekali dan karena petugas sudah memberi isyarat kepadanya untuk mulai menunggang, sedangkan hio sudah dinyalakan, dia pun lalu melampat dengan gerakan ringan sekali ke atas punggung Siauw-ma.

Tiba-tiba dari tempat duduknya, Lui Shi mengeluarkan suara aneh, teriakan parau seperti yang biasa dipergunakan oleh bangsa Tibet kalau membentak binatang yak mereka. Mendengar ini, Siauw-ma nampak terkejut dan mengangkat kedua kaki depannya, akan tetapi Kian Bu masih duduk dengan tenang di atas punggung kuda itu dan membisikkan suaranya memanggil nama kuda itu dan menepuk-nepuk lehernya, kuda itu tenang kembali biarpun matanya masih terbelalak. Suara Kian Bu telah dikenalnya benar, dan bukan hanya suaranya, juga bau badannya dan bahkan cara pendekar itu duduk di atas punggungnya telah dikenalnya kembali dan membuat kuda itu menjadi jinak dan taat. Dengan tenang Kian Bu menjalankan kudanya berputaran di depan panggung itu, namun dia tidak menjadi lengah dan diam-diam dia memperhatikan kepada lawannya, yaitu Lui Shi yang menjadi mulai penasaran karena kuda hitam itu tidak mau mentaati perintahnya. Kembali ia mengeluarkan bentakan-bentakan aneh, yaitu perintah-perintah kepada kuda itu untuk melemparkan penunggangnya dari atas punggung. Perintah-perintah ini memang ada pengaruhnya terhadap Siauw-ma, bahkan sebuah perintah membuat kuda itu sempat bertekuk lutut kedua kaki ke depannya dan membuat kuda itu mendekam! Akan tetapi, Pendekar Siluman Kecil itu masih saja enak-enak duduk di atas punggungnya, dan dengan suara halus Kian Bu memerintahkan kudanya bangkit kembali dan Siauw-ma juga menurut!

Bertubi-tubi Lui Shi membentakkan perintahnya dan mengeluarkan semua keahliannya untuk menjinakkan dan menaklukkan kuda itu, namun selalu kuda itu menjadi tenang kembali setelah mendengar suara Kian Bu. Sementara itu, dupa yang dinyalakan terus menyala dan sudah hampir habis, tanda bahwa sepuluh menit sudah hampir dilewati. Lui Shi menjadi semakin penasaran dan tiba-tiba saja ia mengeluarkan suara mendesis-desis seperti datangnya ratusan ekor ular! Mendengar suara ini, Siauw-ma menjadi terkejut sekali, mengangkat kedua kaki depan ke atas dan meringkik-ringkik, matanya liar terbelalak dan nampaknya ketakutan sekali. Akan tetapi kuda itu tidak mampu membuat Kian Bu terlempar dari punggungnya. Pendekar itu lalu merangkul leher kuda, mendekatkan mulutnya ke telinga kuda itu dan berbisik-bisik dan membujuk-bujuk dengan lemah-lembut. Akhirnya, perlahan-lahan Siauw-ma menjadi tenang kembali dan menurunkan lagi kedua kaki ke depan, walaupun binatang itu masih nampak takut-takut dan tubuhnya masih gemetar. Sementara itu, hio sudah terbakar habis dan petugas memberi tanda. Kian Bu tersenyum dan di bawah tepuk sorak mereka yang menjagoi pihak Thio-thicu, dia pun meloncat turun dari atas kudanya.

Kini tibalah giliran Lui Shi untuk memperlihatkan kemahirannya berkuda, dan terutama untuk memperlihatkan sebagai bukti bahwa kuda itu akan taat kepadanya dan ia akan mampu bertahan di atas punggungnya selama terbakarnya hio. Dengan penuh keyakinan akan kemampuannya sendiri, wanita ini pun menghampiri kuda itu. Dengan lagak yang genit ia merangkul leher kuda lalu mencium muka kuda itu. Akan tetapi ketika wanita itu meloncat ke atas punggung kuda, pandang mata yang tajam dari Kian Bu dan yang selalu waspada itu telah dapat melihat betapa wanita itu mengeluarkan sebuah benda dari dalam saku baju dalamnya. Dia tidak tahu benda apakah itu, akan tetapi dapat menduga bahwa tentu wanita itu akan menggunakan kecurangan dan dia menduga bahwa benda itu tentu semacam alat atau obat untuk membuat Siauw-ma menjadi penurut dan seperti lumpuh sehingga akan kehilangan semangat dan mau saja diperlakukan apapun oleh wanita itu. Inilah agaknya yang membuat kuda itu dahulu dengan mudah dapat dicurinya.

Memang dugaan Kin Bu itu benar, Lui Shi sudah melihat tadi betapa pria berambut panjang putih itu memiliki kepandaian hebat dan juga benar-benar memiliki pengaruh yang besar terhadap kuda hitam itu. Agaknya, dalam soal mempengaruhi kuda itu, ia akan kalah. Tadi pun ia tidak berhasil membuat kuda itu mengamuk dan menjatuhkan penunggangnya. Biarpun ia percaya akan ketrampilannya sendiri dalam hal menunggang kuda, akan tetapi tidak dapat dibayangkan apa yang akan terjadi melihat betapa kuda itu begitu taat kepada pemiliknya. Untuk mencegah terjadinya kemungkinan yang akan membuat ia kalah, maka ia telah mengeluarkan akar pembius kuda. Dengan akar ini, ia akan dapat menundukkan kuda hitam dan membuatnya terbius sehingga tidak mempunyai semangat dan kemauan lagi. Caranya, selain membiarkan kuda itu mencium akar itu, juga menotok beberapa jalan darah di belakang telinga dan menusukkan jarumnya di atas kepala di antara kedua matanya. Mudah saja hal itu akan dapat dilakukannya, akan tetapi ia baru akan melakukan kalau benar-benar ia nanti tidak dapat lagi menguasai kuda itu dan terancam bahaya dipaksa turun dari punggungnya.

Tiba-tiba wanita itu terkejut bukan main. Ada suara di dekat telinganya, seolah-olah ada orang bicara di dekatnya, dekat sekali dengan telinganya sehingga blarpun suara itu seperti bisikan saja, namun terdengar jelas satu-satu.

“Kalau engkau pergunakan benda itu terhadap Siauw-ma, sebelumnya engkau akan roboh dan binasa!”

Lul Shi terkejut bukan main dan cepat menengok ke arah Suma Kian Bu, pada saat itu ia melihat pendekar itu menggerakkan tangan kanannya dengan telunjuk menuding ke arahnya sambil terdengar pendekar itu berkata, “Jangan bermain curang!” Bagi orang lain, agaknya pendekar itu hanya menuding dan memperingatkannya agar lawan tidak bermain curang. Akan tetapi bagi Lui Shi berbeda sekali akibatnya. Ia merasakan adanya sambaran tenaga yang amat kuat dari telunjuk pendekar itu dan tiba-tiba saja ia merasakan dekat tenggorokannya tersentuh sesuatu! Maklumlah ia bahwa kalau pendekar itu menghendaki, dari jarak jauh pendekar itu akan mampu membunuhnya! Mukanya berobah pucat dan dengan cepat ia sudah mengantongi kembali benda akar yang tadinya hendak dipergunakan untuk membius kuda hitam! Dan ia melihat pendekar itu tersenyum!

Lui Shi menenangkan hatinya yang terguncang. Ia maklum bahwa menghadapi pendekar ini, ia harus hati-hati sekali dan tidak boleh sembrono. Kalau ia nekat menggunakan akal curang, tentu pendekar itu akan turun tangan dan agaknya akan sukarlah baginya untuk menyelamatkan diri. Akan tetapi ia masih percaya akan kemampuannya menunggang kuda. Jangankan kuda hitam itu yang sudah terbiasa dengannya, biar seekor kuda liar yang belum pernah dikenalnya sekalipun, tentu ia akan mampu menungganginya! Maka, dengan penuh kepercayaan akan kemampuannya sendiri, ia pun membalas senyuman itu, dengan senyum mengejek.

Dengan lagak yang genit Lui Shi menjalankan kudanya berputaran di depan panggung seperti yang dilakukan oleh Kian Bu tadi. Tiba-tiba terdengar suara Kian Bu, terdengar oleh semua orang, akan tetapi dengan khi-kangnya, Kian Bu dapat membuat suaranya itu langsung terdengar oleh Siauw-ma dengan jelas sekali. Ketika kuda itu masih berada padanya, memang Kian Bu mengajarnya dengan aba-aba yang biasa saja sehingga kuda itu dapat mengenal baik suara dan maksud kata-kata Kian Bu, tentu saja kata-kata tertentu yang sudah biasa didengarnya ketika kuda itu dilatih.

“Siauw-ma, lemparkan penunggangmu dari punggungmu!”

Dan reaksi yang menjadi tanggapan kuda itu memang seketika. Binatang itu meringkik dan mula-mula ia mengangkat kedua kaki depan ke atas, kemudian berloncatan ke kanan kiri sambil menggoyang-goyang tubuhnya. Dan para penonton bersorak-sorak karena melihat pemandangan yang mendebarkan. Kuda itu membuat segala macam gerakan aneh dan kuat untuk melemparkan penunggangnya dari atas punggung. Mula-mula Lui Shi berusaha menenangkan kuda itu dengan belaian-belaian tangan pada leher, dengan bisikan-bisikan, dengan bentakan-bentakan dan dengan tendangan-tendangan kakinya pada perut dan tubuh kuda. Namun, segera ia memperoleh kenyataan bahwa kuda itu sama sekali tidak mau mentaati semua perintah lawannya yang menyuruh binatang itu melemparkannya dari punggungnya.

“Setan hitam! Bagaimana pun engkau takkan mungkin dapat melemparkan aku!” Akhirnya ia berseru marah dan menempel di punggung kudanya seperti seekor lintah menempel di perut kerbau! Kuda itu beriingkrak-jingkrak, menggoyang-goyang tubuhnya dan berusaha menggigit ke arah penunggangnya, namun dengan kemahirannya yang mengagumkan, Lui Shi tetap dapat bertahan terus. Tubuh wanita itu terguncang-guncang, miring ke kanan kiri, depan belakang, namun ia tetap dapat bertahan di atas punggung Siauw-ma. Diam-diam Suma Kian Bu, Teng Siang In dan Ci Sian harus mengakui bahwa memang wanita itu memiliki kemahiran menunggang kuda yang hebat! Sukar dicari orang lain yang akan mampu bertahan setelah kuda hitam itu membuat usaha mati-matian seperti itu, untuk melemparkan penunggangnya! Dan dupa itu pun terbakar perlahan-lahan, mendekat gagangnya. Sebentar lagi akan habis, namun Lui Shi tetap dapat bertahan di atas punggung Siauw-ma. Melihat ini, Pendekar Siluman Kecil mengangguk-angguk. “Keras kepala!” gumamnya dan tiba-tiba terdengar lagi suaranya yang nyaring.

“Siauw-ma, bergulinglah engkau!”

Lui Shi terkejut sekali. Tak disangkanya pendekar itu pernah mengajarkan Siauw-ma untuk bergulingan! Ketika kuda itu menjatuhkan diri, ia berusaha menahannya dan mengerahkan seluruh tenaganya. Namun, ia tidak dapat menahan dan ketika kuda itu akhirnya rebah miring dan hendak bergulingan, tentu saja Lui Shi tidak mau tubuhnya terhimpit oleh badan kuda itu. Akan remuk-remuk tulangnya kalau terjadi hal itu! Maka ia pun meloncat ke atas tanah sebelum kuda itu bergulingan dan dengan demikian ia pun kalah! Dupa itu belum habis terbakar dan ia sudah turun dari atas punggung kuda! Sorak-sorak dan tepuk tangan yang riuh menyambut kemenangan pihak Thio-thicu ini dan wajah Bouw-thicu menjadi merah sekali. Habislah sudah dia! Balapan kuda kalah, dan untuk itu dia telah kalah taruhan yang amat banyak, lebih dari setengah hartanya. Dan sekarang, dalam lomba ketangkasan kuda yang sekaligus juga menentukan siapa pemilik kuda dan siapa pencurinya, dia pun kalah. Hal ini berarti bahwa namanya akan tercemar sebagai orang yang memelihara pencuri kuda! Kekecewaan demi kekecewaan membuat dia menjadi marah sekali dan diam-diam dia telah mempersiapkan para tukang pukulnya yang berkepandaian tinggi.

“Orang asing ini menggunakan ilmu siluman! Dia orang asing yang datang untuk mengacau di Sin-kang. Bunuh dia!” teriaknya dan lebih dari dua puluh orang tukang pukulnya dengan senjata di tangan sudah menerjang kepada Suma Kian Bu! Akan tetapi pada saat itu, Ci Sian dan Teng Siang In sudah berloncatan, demikian pula Suma Kian Bu sendiri sudah menyambut serangan orang-orang itu dengan tangkas sekali. Semua penonton yang tadinya menjadi panik dan ketakutan, kini berdiri melongo dan kagum sekali melihat betapa pendekar dan dua orang wanita cantik itu dengan mudahnya merobohkan semua pengeroyok! Bagaikan tiga ekor naga sakti mengamuk, mereka itu bergerak ke sana-sini di antara kilatan senjata para pengeroyok dan ke mana pun tiga orang ini bergerak menyambar, tentu ada seorang pengeroyok yang roboh! Dalam waktu singkat saja, lebih dari dua puluh orang itu roboh semua Lui Shi yang tadinya juga ikut mengeroyok, hendak melarikan diri, demikian pun Bouw-thicu. Akan tetapi Siang In sudah meloncat dengan cepat menghadang Lui Shi.

“Engkau ini hanya tikus busuk, biasanya hanya merayap lari, sekarang hendak merayap ke manakah?”

Terjadilah keanehan yang luar biasa. Lui Shi sejenak terbelalak, kemudian.... wanita ini pun lalu menurunkan kedua lengannya dan.... merangkak-rangkak dan hendak melarikan diri dengan merangkak seperti seekor tikus besar! Tentu saja semua orang terheran-heran melihat ini, bahkan ada yang tertawa geli. Di lain saat, Siang In yang tadinya menguasai wanita itu dengan kekuatan sihir, sudah menotok pundaknya, membuat Lui Shi roboh dan tak mampu bergerak lagi. Sementara itu, Bouw-thicu juga dihadang oleh Suma Kian Bu. Tuan tanah yang tinggi besar itu ternyata bukanlah orang lemah. Melihat bahwa segala usahanya gagal, dia menjadi nekat. Sambil berteriak memberi aba-aba kepada semua orangnya untuk menyerang, dia sudah menyerang Kian Bu. Akan tetapi, sekali tangkis dan sekali totok saja Kian Bu membuatnya terjungkal dan ketika anak buah tuan tanah ini hendak bergerak maju, tiba-tiba pasukan pemerintah sudah bergerak dan mengepung mereka.

Pembesar kepala daerah yang sudah berdiri di tepi panggung lalu berkata dengan suara nyaring, dan karena keadaan amat menegangkan sedangkan baru sekarang Kepala Daerah mengeluarkan suara, maka suaranya terdengar dengan jelas dan menjadi perhatian semua orang. “Perhatian para tamu dan penonton! Suami-isteri pendekar yang memiliki kuda hitam ini adalah adik kandung dari Panglima Puteri Milana! Sudah terbukti bahwa Thio-thicu memenangkan perlombaan balapan kuda, dan bahkan kuda hitam yang dikeluarkan Bouw-thicu ternyata adalah milik Suma-taihiap ini! Bouw-thicu sengaja membuat keributan dan dia akan diadili. Kalau ada yang berani berbuat keributan, mereka akan dianggap pemberontak dan akan ditumpas!”

Tentu saja semua orang terkejut sekali mendengar pengumuman pembesar ini. Bahkan Thio-thicu sendiri menjadi terkejut. Tak pernah disangkanya bahwa tamunya itu adalah adik kandung Panglima Puteri Milana yang amat terkenal itu. Siang In dan Ci Sian sendiri juga terkejut dan mengertilah mereka bahwa semalam, ketika mereka pergi menyelidiki keadaan Bouw-thicu, diam-diam pendekar itu telah pergi menghubungi pembesar Kepala Daerah dan menceritakan segala hal tentang dirinya dan tentang Bouw-thicu.

Bouw-thicu dan Lui Shi ditangkap, demikian pula para pengawal Bouw-thicu yang tadi membikin ribut dengan menyerang Kian Bu dan akhirnya semua roboh oleh Kian Bu, Siang In, dan Ci Sian. Setelah pembesar Kepala Daerah membagi-bagi hadiah kejuaraan, pertemuan itu dibubarkan dan semua penonton pulang ke rumah masing-masing dengan hati puas karena banyak hai yang dapat mereka saling bicarakan dan ceritakan kepada orang lain, yang telah terjadi di padang rumput tempat perlombaan itu.

Malam hari itu, Kian Bu, Siang In, dan Ci Sian diundang dan dijamu makan oleh Pembesar Kepala Daerah! Dalam pesta ini, diundang pula Thio-thicu dan semua tuan tanah yang telah ikut perlombaan. Memang Pembesar Kepala Daerah Sin-kiang itu cukup cerdik. Setelah malam tadi Kian Bu menjumpainya dan memperkenalkan diri, diam-diam dia terkejut sekali dan khawatir kalau-kalau pendekar ini adalah utusan dari kerajaan untuk menyelidiki hasil pekerjaan atau tugasnya di Sin-kiang. Oleh karena itulah maka dia siang tadi bersikap keras terhadap Bouw-thicu, sungguhpun tuan tanah ini merupakan seorang di antara para sahabatnya, bahkan yang paling royal terhadap dirinya. Dan malam ini, selain mengundang pendekar itu dan keluarganya sebagai penghormatan, juga sekalian memanggil atau mengundang semua tuan tanah karena kesempatan ini hendak dipergunakan untuk dua hal, pertama, agar pendekar itu, kalau benar utusan pemerintah pusat, dapat melihat betapa para tuan tanah sudah dapat dipersatukannya, dan kedua, kehadiran pendekar itu hendak dipergunakannya untuk mempengaruhi para tuan tanah agar mereka tidak lagi menimbulkan keributan satu sama lain.

Pesta itu berlangsung meriah dan dalam kesempatan ini Suma Kian Bu mencari keterangan tentang berita angin adanya ular naga hijau di daerah itu. Mendengar pertanyaan pendekar ini, Sang Kepala Daerah terbelalak dan berkata, “Ah, memang ada ular raksasa itu, Suma-taihiap! Bukan hanya dongeng dan berita bohong belaka. Bahkan kami sendiri pernah mengirim pasukan untuk membasminya, akan tetapi sebaliknya kami malah kehilangan belasan orang yang tewas oleh amukan ular naga itu!”

Suma Kian Bu, Teng Siang In dan Ci Sian tertarik sekali. Apalagi suami isteri itu yang memiliki kepentingan pribadi dengan ular naga itu. “Bagaimana ceritanya Taijin?” tanya Kian Bu.

“Dua tahun yang lalu, ketika baru-baru kami dipindahkan ke sini, kami mendengar akan adanya ular naga hijau yang seringkali makan manusia. Mula-mula kami tidak percaya akan adanya berita itu dan hanya mengira bahwa yang dikabarkan itu tentulah seekor ular besar biasa saja dan sangat boleh jadi kalau ada ular besar makan manusia yang kebetulan lewat di dekatnya. Akan tetapi karena makin banyak orang yang mengabarkan akan hal itu, sebagai seorang pembesar baru kami lalu mengirim pasukan untuk menyelidiki dan kalau memang benar, membasmi ular itu. Dan akibatnya, belasan orang anggauta pasukan kami tewas dalam keadaan mengerikan.” Pembesar itu berhenti sebentar dan menarik napas panjang.

“Apakah yang terjadi dengan mereka, Taijin?” tanya Siang In, tertarik sekali. Ia dan suaminya datang dari tempat yang demikian jauh ke Sin-kiang ini, selain merantau juga terutama sekali tertarik oleh cerita atau dongeng tentang naga hijau itu, dan kini mendengar keterangan yang demikian jelas dari pembesar kepala daerah, tentu saja ia merasa amat tertarik. Kiranya dongeng itu memang ada sungguh-sungguh!

Kembali pembesar itu menarik napas panjang dan untuk menenteramkan hatinya, dia minum arak dari cawannya. “Mengerikan sekali dan sampai sekarang kami tidak lagi berani mengirim pasukan, hanya menganjurkan agar orang-orang di daerah itu jangan sekali-kali berani melewati daerah hutan itu, agar mengambil jalan memutar saja karena ular naga itu benar-benar amat berbahaya dan agaknya memang siluman yang bertapa. Bayangkan saja, semua senjata tajam dari pasukan kami tidak ada yang dapat melukainya sedikitpun juga! Dan semburan dari mulutnya, bahkan suaranya saja cukup membuat banyak perajurit kami pingsan! Dan yang lebih mengerikan, ular itu setiap kali memperoleh korban manusia, yang dimakan hanya kepalanya saja. Jadi belasan orang perajurit kami itu tewas dengan kepala lenyap dan badan masih utuh!”

Semua orang, juga para tuan tanah yang mendengar cerita ini bergidik. Mereka memang sudah mendengar akan semua hal itu, dan sudah lama tidak ada orang berani bercerita tentang ular naga itu, karena didesas-desuskan bahwa kalau disebut-sebut, malamnya siluman ular itu akan datang dan mencelakakan orang yang menyebut namanya.

Diam-diam Suma Kian Bu dan isterinya girang sekali mendengar bahwa dongeng tentang ular naga itu ternyata benar-benar terjadi dan ular naga itu memang benar ada! “Taijin, kami ingin sekali melihat ular naga hijau itu dan perlu kami akan mencoba untuk menundukkannya agar ia tidak lagi mengganggu rakyat. Bagaimana kami dapat menemukannya?”

Semua orang merasa tegang dan juga gembira mendengar bahwa pendekar yang masih adik kandung Panglima Puteri Milana yang terkenal itu hendak membasmi ular naga siluman itu.

“Ular naga itu tempatnya di daerah Pegunungan Kun-lun-san, di bagian selatan yang jarang dilalui orang, sudah termasuk wilayah Tibet. Dan jalan menuju ke sana bukan mudah, dan kiranya tanpa penunjuk jalan, akan sukarlah Taihiap akan dapat menemukannya. Akan tetapi, siapakah yang akan berani menjadi penunjuk jalan?” kata pembesar itu.

“Tidak perlu penunjuk jalan, Taijin. Asal kami memdapatkan gambaran dan peta yang jelas menuju ke tempat itu, kami akan dapat mencarinya sendiri.” jawab Kian Bu penuh semangat.

“Itu mudah diatur. Komandan pasukan dua tahun yang lalu itu masih ada dan dia tentu dapat membuatkan gambaran dan peta menuju ke tempat itu. Ya, dialah satu-satunya orang yang akan dapat membuatkan peta itu untukmu.”

Dan memang demikianlah. Setelah komandan pasukan itu ditemui, komandan tua ini dapat bercerita banyak dan juga dapat membuatkan peta yang cukup jelas menuju ke tempat yang baginya amat mengerikan itu. Kian Bu membuat gambar dan catatan-catatan, sementara itu Siang In mendengarkan penuh harapan dan Ci Sian juga mendengarkan penuh perhatian karena hatinya merasa amat tertarik.

Setelah mereka bertiga berada di ruangan istirahat, Ci Sian berkata kepada Siang In, “Enci In, biarlah aku ikut dengan kalian dan membantu kalian menaklukkan ular naga hijau itu!”

Suami isteri pendekar itu memandang kepadanya dan nampak kaget. “Tapi, Nona.... perjalanan ini berbahaya sekali....” kata Suma Kian Bu sambil mengerutkan alisnya.

“Benar, Adik Sian. Engkau sudah mendengar sendiri betapa dahsyat dan berbahayanya ular itu. Sungguh kami akan merasa menyesal bukan main kalau sampai terjadi apa-apa denganmu....” sambung Siang In.

Ci Sian mengerutkan alisnya dan memandang kepada suami isteri itu bergantian. Kemudian ia berkata, suaranya tegas, “Harap Tai-hiap dan Enci menenangkan hati. Aku hendak pergi ikut atas kehendakku sendiri dan bukan karena bujukan kalian, jadi kalau terjadi apa-apa denganku, tidak akan ada seorang pun di dunia ini yang akan menyalahkan kalian. Setelah melakukan perjalanan seorang diri dan bertemu dengan kalian dan setelah apa yang kita alami bersama di sini, bagaimana mungkin aku meninggalkan kalian begitu saja? Akan tetapi, kalau kalian tidak menghendaki aku ikut, kalau aku hanya merupakan gangguan bagi kalian berdua, biarlah aku pergi sendiri mencari ular itu, untuk mencoba menandinginya. Siapa tahu aku dapat melenyapkan suatu bahaya bagi rakyat....”

Mendengar ini dan melihat sikap Ci Sian yang mukanya merah seperti mau menangis itu, Siang In lalu merangkulnya. Ia tahu akan isi hati dara yang keras wataknya ini. Ia tahu bahwa Ci Sian merasa amat cocok dengan ia dan suaminya, maka dara itu masih ingin bekerja sama dengan mereka dan agaknya merasa enggan berpisah. Apalagi karena dara itu sedang kesepian dan menderita batinnya ditinggalkan suhengnya.

“Adikku yang baik, sama sekali bukan karena kami menolakmu. Kami sendiri pun sangat suka bersamamu akan tetapi.... engkau tahu bahwa kami pergi mencari ular itu untuk kepentingan kami pribadi.... jadi, kalau sampai.... terjadi apa-apa denganmu....”

Ci Sian balas merangkul. “Enci Siang In, kaukira aku ini orang macam apa? Setelah lama mempelajari ilmu, apakah aku terlalu menyayangi nyawa? Mati hidup bukan urusan manusia, kenapa takut kalau sudah berani hidup? Aku ingin membantu kalian.... aku.... aku kesepian....”

“Baiklah, dan tentu saja, dengan bantuanmu, kami merasa lebih yakin akan dapat menaklukkan ular naga hijau itu!”

Ci Sian merasa girang sekali dan Suma Kian Bu hanya menarik napas panjang saja dan tidak membantah lagi. Dia mengerti bahwa antara dua orang wanita itu tentu ada ikatan yang lebih mendalam, dan kalau dia berkeras menolak, bukan hanya dara itu yang akan merasa sedih dan kecewa, akan tetapi juga dia akan menyinggung hati isterinya.

Pada keesokan harinya, berangkatlah tiga orang itu meninggalkan rumah Thio-thicu. Siang In menunggang Hek-liong-ma sedangkan Kian Bu menunggang seekor kuda yang baik pula, pemberian Thio-thicu. Biarpun Siang In menyuruh Ci Sian tetap menunggangi Hek-liong-ma dara ini menolak dengan halus dan mengatakan bahwa kuda itu adalah milik suami isteri pendekar ini dan kalau ia menunggangi, ia akan merasa seperti menunggang sesuatu yang bukan haknya.

Dengan diantar oleh Thio-thicu dan anak buahnya sampai keluar perkampungan mereka, tiga orang pendekar ini meninggalkan tempat itu dengan hati puas karena mereka telah melakukan sesuatu yang amat berguna untuk kesejahteraan rakyat setempat. Mereka percaya bahwa selanjutnya, para thicu itu tidak lagi akan menurutkan hati dendam untuk saling gempur.

Ular hijau yang besar itu dikabarkan orang yang suka tahyul, sebagai seekor ular siluman yang sudah bertapa ratusan tahun. Sudah lajim terjadi di antara manusia di dunia ini yang suka sekali akan hal yang aneh-aneh dan menambah sesuatu yang mereka tidak mengerti menjadi semakin aneh dengan dugaan-dugaan dan reka-rekaan mereka sendiri yang kemudian menjadi semacam tahyul. Menurut dongeng atau berita angin itu, ular yang amat besar itu kabarnya memiliki mustika di dalam kepalanya yang kalau malam gelap mencorong. Bahkan ada orang berani bersumpah mengatakan bahwa pada suatu malam dia melihat ular itu terbang ke angkasa dan dari mulutnya keluar mustika yang bernyala-nyala. Tentu saja cerita orang ini mirip dengan dongeng tentang naga yang beterbangan di angkasa, seperti yang dimainkan orang pada hari-hari pesta, yaitu naga dengan mustikanya.

Tentu saja semua itu hanyalah khayalan orang-orang yang dihantui oleh rasa takut yang amat sangat. Ular itu memang ada, dan memang merupakan seekor ular yang amat besar. Jarang orang menjumpai ular sebesar itu. Perutnya melebihi besarnya paha manusia yang gemuk sekalipun, dan kalau binatang itu sudah menelan korban perutnya menggembung sebesar tubuh korban yang ditelannya. Panjangnya tidak leblh dari lima belas meter! Ular ini kulitnya kehijauan dan saking tuanya, kulitnya itu gelap menghitam dan amat keras. Entah sudah berapa kali ular ini berganti kulit. Ular ini semenjak lama sekali, entah berapa tahun atau belas atau berapa ratus tahun tak seorang pun tahu, berdiam dari pohon besar ke pohon besar lainnya dalam sebuah hutan lebat di Pegunungan Kun-lun-san. Dan setiap kali berdiam di sebatang pohon besar, binatang ini seperti bertapa bertahun-tahun lamanya. Akan tetapi ada sesuatu keanehan pada binatang yang sudah amat tua ini. Kalau ada binatang lain seperti kijang, kelinci atau bahkan harimau sekalipun, dan kebetulan perutnya lapar, tentu ia akan menyambar binatang itu dari atas pohon, dengan melibatkan ekornya pada cabang besar di atas, kepalanya bergantung di bawah, ular yang amat besar itu menyambar korbannya yang sama sekali tidak menduga karena tidak mendengar sesuatu dan tidak dapat mencium bau ular yang berada di atasnya itu. Ada kalanya, kalau yang disambarnya itu binatang besar lain seperti harimau dan lain-lain yang lebih buas, maka korban itu tentu saja melakukan perlawanan. Dan kalau begini, ular itu akan melepaskan ekornya yang melilit cabang sehingga tubuhnya meluncur ke bawah, lalu ekornya melilit tubuh korbannya, melilit dengan tenaga raksasa dan binatang yang betapa kuatnya akan patah-patah tulangnya kalau dililit oleh ekor dan tubuh ular yang amat kuat ini. Biasanya, perlawanan para korban itu tidak akan berjalan lama karena selain memiliki tenaga lilitan yang amat kuat, juga ular itu dapat menyemburkan uap yang membius dan beracun, juga gigitannya amat kuat dengan taring yang mengerikan dan mengandung racun pula. Keanehan ular itu adalah, kalau korbannya binatang lain, maka setelah melilitnya dan membuat tulang-tulang tubuh korban itu patah-patah lalu korban itu ditelannya dan tubuh yang tulangnya sudah patah-patah itu menjadi lemas dan dapat melalui kerongkongannya yang tidak begitu besar. Akan tetapi, kalau korbannya manusia, maka ia hanya mencaplok kepala orang itu saja, menggigit putus lehernya dan menelan kepalanya, sedangkan badan para korban manusia itu dibiarkannya membusuk begitu saja! Dengan adanya tulang-tulang manusia tanpa kepala di bawah pohon-pohon besar yang pernah dijadikan tempatnya bertapa, maka dapat diketahui bahwa banyak sudah manusia-manusia yang menjadi korban ular ini.

Jangan dikira bahwa hanya pasukan yang dikirim Pembesar Kepala Daerah Sin-kiang itu saja yang merupakan manusia-manusia yang menjadi korbannya. Banyak sudah manusia yang kepalanya telah masuk ke dalam perut ular ini. Para pemburu yang belum tahu akan adanya ular ini, juga orang-orang yang tidak tahu dan kebetulan lewat di hutan itu. Selain mereka ini yang tidak tahu akan adanya ular itu dan menjadi setan penasaran, banyak pula, seperti para anggauta pasukan itu yang tewas ketika sengaja datang untuk melawan ular itu. Mereka ini adalah para pendekar yang sengaja datang di tempat itu untuk membasmi ular ini, akan tetapi akhirnya bahkan mereka sendiri yang tewas dalam keadaan mengerikan, yaitu kepala mereka lenyap ke dalam perut ular dan tubuh mereka membusuk sampai tinggal rangkanya saja di bawah pohon tanpa ada yang berani mengurusnya.

Bersambung ke buku 13