Kisah Si Bangau Putih -11 | Kho Ping Hoo



Buku 11
Hong Li memandang dan mata mempelai wanita itu terbelalak ketika ia mengenal Sin Hong. Bedak tebal yang menutupi wajahnya menyembunyikan perubahan mukanya yang menjadi pucat sekali.

“Kau.... kau Susiok....“ katanya berbisik. “Dan ini isteri Susiok....?”

Sin Hong mengangguk dan tersenyum. “Benar, ini adalah isteriku.”

Hong Li menoleh kepada suaminya dan memperkenalkan. “Ini Susiok Tan Sin Hong dan isterinya, dari kota Lu-jiang.”

Tadinya Thio Hui Kong mengerutkan alisnya, akan tetapi ketika mendengar bahwa sepasang orang muda yang memberi selamat kepada isterinya adalah susiok (paman guru) isterinya, kerut di alisnya lenyap dan dia pun cepat membalas pemberian selamat itu sambil tersenyum, Sin Hong lalu menggandeng tangan isterinya, diajak meninggalkan sepasang mempelai untuk duduk di ruangan yang sudah disediakan untuk para tamu.

Akan tetapi, baru beberapa langkah dia dan isterinya meninggalkan tempat itu, terdengar Hong Li mengeluh dan disusul suara ribut-ribut dari para wanita yang mengerumuni sepasang pengantin untuk melayani mereka itu. Ternyata pengantin wanita telah roboh pingsan dalam kursinya! Tentu saja keadaan menjadi agak sibuk. Kao Cin Liong dan isterinya cepat menghampiri puteri mereka dan setelah memeriksanya, Kao Cin Liong berkata kepada para tamu yang mendekat bahwa puterinya terlalu lelah, kurang tidur dan perutnya kosong selama dua hari ini sehingga masuk angin! Pengantin wanita lalu dipondong masuk ke dalam oleh suaminya dan pesta dilanjutkan tanpa adanya sepasang mempelai. Keluarga tuan rumah tetap melayani tamu dan memang Kao Cin Liong dan isterinya tidak mengkhawatirkan keadaan puteri mereka walaupun mereka saling pandang dan maklum bahwa kehadiran Sin Hong itulah yang membuat puteri mereka mengalami guncangan batin dan menjadi pingsan!

Sementara itu, Sin Hong yang merasa berduka sekali melihat Hong Li roboh pingsan, hal yang menjadi pertanyaan besar di dalam hatinya, mengajak isterinya ke ruangan yang disediakan untuk para tamu. Diam-diam dia merasa khawatir sekali. Hong Li adalah seorang gadis yang keras hati dan tabah, juga gagah perkasa sehingga tidak mudah sakit, apalagi masuk angin! Tentu ada sesuatu yang menyebabkan gadis itu pingsan, dan dia merasa khawatir sekali karena gadis itu pingsan setelah bertemu dengan dia! Agaknya, Bhe Siang Cun juga menduga akan hal ini dan isteri itu cemberut, alisnya berkerut dan terasa betapa tangan dan lengannya kaku ketika digandengnya menuju ke ruangan tamu.

“Hemmm, kiranya ada apa-apa antara paman dan keponakan! Bagus, ya?” kata Siang Cun dengan suara berbisik, namun dalam suara itu terkandung penyesalan besar.

“Hushhh, jangan menyangka yang bukan-bukan!” balas Sin Hong, juga berbisik, akan tetapi dia merasa betapa jurang antara dia dan isterinya menjadi semakin lebar dan kini agaknya tidak ditutupi lagi dengan kepura-puraan yang manis dan mesra. Isterinya jelas memperlihatkan kekurangsenangan hatinya dengan muka merengut dan pandang mata marah, juga kini isterinya melepaskan tangannya yang digandeng!

“Cun Su-moi....!” Tiba-tiba terdengar seruan seorang pria di antara para tamu.

Siang Cun menoleh dan seketika wajah yang merengut tadi menjadi cerah, berseri dan senyumnya manis sekali ketika ia mengenal pria muda yang menegurnya itu. Pria itu adalah seorang di antara suhengnya, murid ayahnya yang sudah beberapa tahun meninggalkan perguruan. Suhengnya itu bernama Ciang Kun, dan ketika ia berusia lima belas tahun, antara ia dan suhengnya itu terjalin semacam cinta monyet atau cinta antara dua orang remaja. Cinta itu terputus ketika Ciang Kun meninggalkan perguruan dan orang tuanya pindah dari kota Lu-jiang ke kota raja. Tak disangkanya di tempat ini ia akan berjumpa dengan suhengnya yang pernah disayangnya dan pernah dirindukannya itu.

“Kun-suheng.... ! Kau di sini? Mana isterimu?” tanya Siang Cun sambil memandang dan kedua pipinya berubah kemerahan. Pemuda yang jangkung dan tampan itu tersenyum lalu menggeleng kepala dan menggoyang tangan kanan, tanda bahwa dia belum menikah. Karena banyak di antara para tamu memandang kepada mereka, tentu saja mereka tidak dapat leluasa bicara.

“Kun-suheng, datanglah ke Lu-jiang, kami semua sudah rindu padamu!”

Ciang Kun mengangguk. “Baik, aku akan datang berkunjung.”

Hanya sampai di situ saja percakapan itu. Terpaksa Siang Cun bersama suaminya mencari tempat kosong di ruangan yang disediakan untuk para tamu yang berpasangan, yaitu suami isteri yang datang berdua. Ada tiga ruangan untuk para tamu, yaitu bagian pria, bagian wanita, dan bagian para tamu yang datang bersama isteri atau suami mereka. Siang Cun memilih meja yang masih kosong. Meja itu dikelilingi delapan buah bangku dan belum ada seorang pun tamu duduk di situ. Kesempatan duduk berdua ini dipergunakan oleh Siang Cun untuk melampiaskan kedongkolan hatinya.

Mereka saling berpandangan, duduk bersanding menghadapi meja bundar. Tidak seorang pun di antara mereka bicara, hanya pandang mata mereka seperti saling menjenguk isi hati mereka.

Kemudian Siang Cun lebih dulu berkata, “Engkau tidak bertanya siapa pria muda yang menegurku tadi?” Ia sengaja memancing pertengkaran.

Akan tetapi Sin Hong merasa malu kalau harus bertengkar dengan isterinya di tempat pesta itu. Dia tersenyum dan menjawab halus, “Tanpa bertanya pun aku sudah dapat menduga bahwa dia tentulah seorang suhengmu yang sudah lama tidak bertemu denganmu.”

Mendengar suara suaminya yang lembut dan sikapnya yang tenang, agak berkurang kemarahan Siang Cun yang bangkit karena cemburu itu. “Dia seorang suhengku yang terpandai dan sudah empat tahun atau lima tahun kami tidak saling berjumpa. Aku gembira sekali dapat bertemu dengan dia di sini! Ketika kita menikah, ayah tidak dapat mengirim undangan karena tidak tahu di mana dia tinggal.”

Sin Hong tetap tersenyum dan mengangguk. Bagi dia, pertemuan itu sudah sewajarnya kalau mendatangkan kegembiraan. Dia masih merasa terharu dan tegang mengenang Hong Li yang roboh pingsan tadi. Pikirannya penuh dengan itu sehingga dia hampir tidak memperhatikan keadaan isterinya dan pertemuan antara isterinya dan suheng isterinya itu pun dilupakannya lagi.

Melihat suaminya termenung, Siang Cun segera berkata, “Sebaliknya, pertemuanmu dengan murid keponakanmu yang menjadi pengantin itu agaknya menimbulkan kenangan pahit sehingga ia sampai roboh pingsan. Sebenarnya, ada apakah antara kalian?”

“Tidak ada apa-apa.” kata Sin Hong menggeleng kepalanya dengan wajah diliputi kedukaan.

“Tidak mungkin! Tentu ada hubungan yang istimewa, kalau tidak begitu, tak mungkin ia jatuh pingsan begitu bertemu dan bicara denganmu!” kata Siang Cun yang meninggikan suaranya sehingga beberapa buah kepala menoleh ke arah mereka.

Sin Hong mengerutkan alisnya, berbisik, “Tenanglah, di sini bukan tempat untuk ribut-ribut. Nanti saja kita bicara tentang itu dan aku akan menerangkan segalanya.”

Siang Cun mengangguk, akan tetapi selanjutnya, ia bersungut-sungut. Meja itu dipenuhi para tamu yang berdatangan dan mereka pun mulai pesta makan minum hidangan yang disuguhkan.

Setelah pesta berakhir, para tamu bubaran dan Sin Hong bersama isterinya juga berpamit dari tuan rumah. Ketika mereka berkesempatan untuk minta diri dari Kao Cin Liong dan Suma Hui, Sin Hong merasa sepatutnya kalau dia bertanya tentang keadaan Hong Li. “Suheng, bagaimana dengan kesehatan puterimu? Kuharap ia sudah sehat kembali, Suheng.”

Kao Cin Liong memandang kepada sutenya dengan alis berkerut. Dia tidak menyalahkan sutenya ini, akan tetapi hanya menyesali pertemuan antara puterinya itu dengan Sin Hong yang mengakibatkan puterinya mengalami guncangan batin. “Ia sudah sehat kembali, terima kasih, Sute.”

Dalam perjalanan pulang ke Lu-jiang, barulah Siang Cun mendapat kesempatan untuk menuntut agar suaminya suka bicara terus terang mengenai hubungannya dengan Kao Hong Li. Sin Hong menarik napas panjang. Sebetulnya, urusannya dengan Hong Li adalah urusan yang hanya dia ketahui sendiri saja, mengenai perasaan batin antara mereka dan tidak akan diceritakan kepada siapapun juga. Akan tetapi, tak disangkanya bahwa kehadirannya dalam pesta pernikahan Hong Li itu membuat Hong Li menderita dan isterinya menjadi curiga dan cemburu. Kalau dia tidak bicara terus terang, tentu hubungannya dengan isterinya akan menjadi semakin buruk.

“Sesungguhnya, tidak ada apa-apa di antara kami yang perlu dicurigai,” katanya, mencoba untuk membantah.

“Tidak perlu berbohong. Aku adalah seorang wanita dan aku tahu apa yang telah terjadi. Begitu bertemu denganmu, ia menderita guncangan hebat. Biarpun mukanya tertutup bedak tebal sehingga tidak nampak, aku tahu bahwa ia menjadi terkejut, pucat dan matanya membayangkan kedukaan yang mendalam, suaranya juga menjadi lain, menggetar penuh keharuan. Tidak perlu membohongi aku lagi, ada hubungan. istimewa apakah antara kalian?”

“Baiklah, Siang Cun, kalau memang engkau ingin sekali mengetahui, aku pun akan berterus terang saja. Memang tidak dapat kusangkal bahwa dahulu ada pertalian batin antara kami. Kami saling mencinta walaupun kami tidak pernah menyatakan hal itu dengan kata-kata. Ketahuilah bahwa Hong Li adalah putera suhengku, oleh karena itu kami mengetahui bahwa tidak mungkin menjadi suami isteri. Karena itu, maka aku lalu pergi meninggalkannya, merantau bersama muridku dan aku tiba di Lu-jiang, terlibat dalam urusan antara Ngo-heng Bu-koan dan Kim-liong-pang. Sungguh mati, tidak ada hubungan yang buruk dan cemar di antara kami.”

Siang Cun mendengarkan dengan muka berubah agak pucat. “Jadi.... jadi itukah sebabnya?” katanya, seperti kepada diri sendiri.

“Apa maksudmu? Sebab apa?”
“Jadi selama ini, hatimu telah dimiliki orang lain, engkau selama ini tak pernah berhenti mencintanya? Ah, kalau saja aku tahu....“ Siang Cun mulai menangis.

“pantas kau.... kau yang menjadi suamiku tidak pernah mencintaku....!”
Sin Hong terkejut dan menyentuh lengan isterinya. “Jangan bicara seperti itu, isteriku. Apakah selama menjadi suamimu aku pernah menyakiti hatimu? Bukankan aku selalu berusaha untuk menjadi seorang suami yang baik? Aku selalu setia, aku membantu pekerjaan ayahmu, aku tidak pernah bersikap kasar padamu, aku....“

“Aku tahu! Akan tetapi semua itu palsu, hanya pura-pura. Keramahan dan kemesraan yang dibuat-buat. Palsu! Engkau tidak pernah cinta padaku! Siang Cun menangis dan merebahkan kepalanya di atas meja dalam kamar hotel itu, menyembunyikan muka di dalam lingkaran lengannya.

Sin Hong memandang kepala isterinya itu dengan bingung. Dia seorang laki-laki yang belum berpengalaman sehingga dia tidak dapat menyelami hati wanita, tidak mengenal watak wanita pada umumnya, wanita selalu haus akan kasih sayang orang lain, terutama kasih sayang pria. Tidak ada kepedihan hati yang lebih hebat bagi seorang wanita daripada merasa tidak dicinta pria! Apalagi bagi seorang isteri! Yang didambakannya hanyalah kasih sayang suaminya, kasih sayang yang kadang-kadang harus diperlihatkan melalui pemanjaan!

“Kalau memang tidak pernah cinta kepadaku, kenapa engkau dahulu suka menjadi suamiku? Ah, engkau hanya ingin menyiksa hatiku, ingin membuat aku sengsara!” Kembali Siang Cun berkata sambil menangis. Sin Hong menjadi semakin penasaran ketika diungkit-ungkit masa lalu itu.

“Siang Cun, engkau sungguh bersikap tidak adil sama sekali!” katanya dan walaupun suaranya masih lembut dan tenang, namun hatinya mulai panas. “Lupakah engkau akan keadaanmu dahulu? Engkau hendak membunuh diri kalau tidak kuperisteri, karena merasa malu dan untuk menghapus aib aku harus menjadi suamimu. Aku kasihan kepadamu, kepada orang tuamu, dan aku melihat engkau seorang calon isteri yang baik, aku melihat Ngo-heng Bu-koan sebuah tempat dan lingkungan yang baik untuk muridku. Karena itu aku menerima usul ayahmu dan aku menjadi suamimu. Aku sudah berusaha untuk memupuk cinta kasih antara kita. Akan tetapi bagaimana mungkin berhasil kalau dari pihakmu tidak ada bantuan? Engkau sendiri tidak cinta padaku, Siang Cun.”

Tiba-tiba wanita itu mengangkat mukanya dan muka itu basah air mata, kedua matanya merah. “Tidak cinta kau bilang? Aku sudah menyerahkan kehormatanku, seluruh diriku, melayanimu tanpa mengeluh, dan kau bilang aku tidak cinta padamu?” Siang Cun menangis lagi dan Sin Hong termenung. Jadi begitukah pendapat isterinya? Karena sudah menyerahkan diri kepadanya, melayaninya, itu bukti bahwa isterinya mencintanya? Dia sama sekali tidak pernah merasakan kasih sayang isterinya melalui penyerahan diri itu. Isterinya melakukan hal itu hanya untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang isteri terhadap suami, lain tidak. Tidak ada kasih sayang terkandung dalam pandang matanya, dalam suaranya, atau dalam sentuhan tangannya. Agar tidak mendatangkan percekcokan dan pertengkaran, dia pun diam saja dan selanjutnya perjalanan pulang itu dilakukan tanpa kata-kata antara mereka, hanya bicara kalau perlu saja dan selebihnya hanya geleng atau angguk!

Setelah mereka berdua tiba di Lu-jiang, mulai saat itu terdapat suatu keretakan atau kerenggangan di antara mereka. Mulailah keduanya merasa tersiksa. Terjadi semacam perang dingin diantara mereka, tidak saling menegur dan hanya bicara seperlunya saja. Tidur pun saling membelakangi, bahkan akhirnya karena tidak tahan menghadapi keadaan seperti itu, Sin Hong tidur di atas lantai, membiarkan isterinya tidur sendiri di atas pembaringan mereka. Akan tetapi di luar kamar, terutama di depan Bhe Gun Ek dan isterinya, suami isteri ini memaksa diri bersandiwara dan bersikap biasa saja. Biarpun demikian, Bhe Kauwsu dan isterinya dapat melihat perubahan sikap mereka dan menduga bahwa tentu ada sesuatu yang mengganggu keakraban puteri dan mantu mereka itu.

Kunjungan Ciang Kun, bekas murid Bhe Kauwsu, mendatangkan kegembiraan pada Siang Cun. Wanita muda ini menyambut suhengnya dengan sikap gembira dan akrab sekali, dan sebaliknya Ciang Kun juga jelas memancarkan sinar kasih sayang dan berahi dalam pandang matanya terhadap sumoinya itu. Hal ini nampak jelas oleh Sin Hong, akan tetapi dia diam saja dan pura-pura tidak tahu akan hal ini, bersikap wajar terhadap Ciang Kun. Akan tetapi, kunjungan Ciang Kun ini makin memperlebar jurang pemisah antara suami isteri muda yang belum ada setahun menjadi suami isteri itu, dan membuat Sin Hong makin sering melamun seorang diri.

“Suhu, kenapa Suhu kelihatan berduka selalu selama beberapa hari ini? Apalagi semenjak Suhu pulang dari menghadiri pernikahan enci Hong Li, Suhu nampak semakin berduka saja dan banyak melamun. Ada urusan apakah, Suhu?”

Sin Hong memaksa diri, tersenyum. Dia tidak heran melihat ketajaman mata muridnya dan keberanian muridnya bertanya kepadanya. Muridnya ini memang lebih pantas menjadi adiknya atau keluarga yang amat dekat, yang amat sayang kepadanya, juga amat setia dan berbakti.

“Tidak ada apa-apa, Yo Han. Ini urusan orang dewasa, keberitahu pun engkau tidak akan mengerti.”

Anak itu mengamati wajah gurunya beberapa lamanya. Dia amat hafal akan wajah gurunya yang selalu diterangi kelembutan itu, maka dia melihat perubahan yang amat besar pada wajah itu. Kini gurunya nampak seperti orang yang berduka, ada garis-garis di sekeliling kedua matanya dan kerut merut di antara kedua alisnya. Diam-diam dia merasa kasihan sekali kepada gurunya.

“Suhu, apakah ada sesuatu yang buruk antara Suhu dan Subo?”

Sin Hong terkejut dan dengan alis berkerut dia memandang muridnya. “Yo Han! Omongan apa yang kaukeluarkan itu? Jangan sembarangan bicara kau! Berani kau mengatakan begitu tentang subomu (ibu gurumu)?” Biarpun berlawanan dengan suara hatinya, Sin Hong terpaksa membentak dan menegur muridnya karena sikapnya ini memang sudah sepatutnya dan Yo Han terlalu berani bicara.

“Suhu, teecu tidak bicara ngawur atau sembarangan saja, melainkan dengan alasan kuat, dan teecu bukan sekedar ingin tahu, melainkan teecu ingin sedapat mungkin membantu Suhu mengatasi kedukaan Suhu. Tadi Suhu mengatakan bahwa urusan itu adalah urusan orang dewasa, berarti Suhu mempunyai masalah dengan mertua atau dengan isteri. Akan tetapi mengingat bahwa Suhu baru saja pergi ke undangan pernikahan puteri supek di Pao-teng bersama Subo, dan mengingat pula akan hubungan cinta antara Suhu dan enci Hong Li dahulu maka teecu menduga bahwa tentu ada sesuatu yang buruk terjadi antara Suhu dan Subo. Suhu adalah seorang yang bijaksana dan gagah, mengapa Suhu harus tenggelam dalam kedukaan dan tidak bertindak mengatasi semua masalah sehingga beres?”

Sin Hong diam-diam terkejut dan juga kagum. Muridnya ini memang memiliki kecerdikan yang luar biasa dan jalan pikirannya sudah demikian dewasa. Apakah hal ini karena gemblengan keadaan hidupnya yang penuh derita, ataukah memang pembawaan yang dibawa sejak lahir, dia tidak tahu. Dia menarik napas panjang, tidak jadi marah mengingat bahwa kelancangan muridnya ini terdorong oleh rasa cintanya kepadanya, keinginannya untuk membantu.

“Sudahlah, Yo Han. Urusanku ini tidak dapat kuceritakan kepada siapapun juga, apalagi kepada engkau yang masih kecil. Engkau takkan dapat membantu, tak seorang pun di dunia ini akan dapat membantu. Hanya Thian saja yang akan dapat menjernihkan persoalan ini. Sudah, jangan ganggu aku lebih lama lagi. Pergilah berlatih, bukankah engkau mengalami kesukaran dengan jurus kedua belas dari Pat-mo Sin-kun (Silat Sakti Delapan Iblis) itu? Latihlah lagi dengan tekun, akan tetapi di dalam kamarmu, jangan perlihatkan kepada murid Ngo-heng Bu-koan yang lain.”

“Baik, Suhu dan maafkan teecu. Akan tetapi ada satu pertanyaan lain mengenai latihan ini. Suhu mengajarkan Pat-mo Sin-kun dan Pat-sian Sin-kun kepada teecu, akan tetapi kenapa tidak kepada para murid lain?”

Sin Hong tersenyum. “Yo Han, engkaulah satu-satunya muridku, karena itu engkau berhak mempelajari ilmu-ilmu yang kudapatkan dari para penghuni Istana Gurun Pasir. Murid-murid Ngo-heng Bu-koan tentu saja hanya mempelajari ilmu silat yang diajarkan di perguruan ini oleh ayah mertuaku, dan aku hanya membantu dalam memperbaiki gerakan mereka saja.”

“Terima kasih, Suhu, kini teecu mengerti. Dan maafkan kelancangan teecu tadi, sesungguhnya teecu hanya ikut merasa prihatin dan ingin sekali membantu.”

“Aku mengerti, sudahlah, kau berlatih sana Yo Han!” kata Sin Hong sambil mengangguk dan tersenyum. Perih hati Yo Han melihat senyum suhunya itu, tidak begitu senyum suhunya dahulu. Dahulu suhunya kalau tersenyum, bebas lepas dan memancarkan kebahagiaan hatinya. Kini, senyum itu pahit dan seperti di luar saja, menutupi sesuatu yang menyedihkan, senyum hiburan saja.

Yo Han merasa penasaran sekali. Dia dapat menduga bahwa tentu ada “apa-apa” antara suhunya dan subonya. Dia seorang anak yang cerdik sekali, dan dia pun melihat kedatangan Ciang Kun yang disambut demikian gembira oleh subonya. Sebagai seorang anak yang cerdik dan disuka oleh para murid lain di Ngo-heng Bu-koan, akhirnya Yo Han dapat mengorek keterangan bahwa Ciang Kun adalah murid Ngo-heng Bu-koan yang sudah beberapa tahun meninggalkan perguruan dan pindah ke kota raja, dan terutama sekali keterangan bahwa antara Ciang Kun dan subonya itu pernah terjalin hubungan cinta ketika keduanya masih remaja! Inikah masalah yang menyedihkan hati gurunya? Akan tetapi, gurunya berduka dan berubah lama sebelum Ciang Kun muncul! Bagaimanapun juga, dia merasa penasaran dan karena dia merasa yakin bahwa kedukaan gurunya itu karena ada sesuatu dengan isteri gurunya, maka dia ingin menyelidiki keadaan subonya! Hanya itulah yang akan dapat dia lakukan dalam usahanya membantu gurunya. Dia akan menyelidiki subonya, mendekati subonya dan kalau mungkin memancing keterangan dari subonya!

Pada suatu malam yang sunyi. Sejak siang tadi, gurunya pergi dan kepada semua keluarga berpamit hendak pergi berburu ke dalam hutan di sebelah barat karena banyak penduduk di lembah Yang-ce sekitar hutan itu yang mengeluh akan adanya gangguan harimau yang mengganas sampai ke dusun-dusun. Mendengar ini, Sin Hong lalu pergi untuk berburu harimau yang mengganggu penduduk itu, bahkan kabarnya sudah membunuh tiga orang penduduk dusun. Dia tidak mengajak Yo Han karena maklum bahwa dalam perburuan ini terdapat bahaya besar bagi orang yang belum memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Yo Han berlatih silat di kamarnya, kemudian setelah sunyi dia meninggalkan kamarnya dan berindap pergi ke dalam taman. Dia bermaksud untuk berlatih di dalam taman itu yang hawanya sejuk dan malam itu malam terang bulan. Akan tetapi dia harus berhati-hati, keluar dari kamarnya dengan sembunyi-sembunyi agar jangan terlihat oleh murid lain. Tentu gurunya akan ditegur oleh para murid lain kalau mereka melihat dia berlatih dalam ilmu silat yang asing, dan mungkin para murid itu lalu menuntut kepada gurunya untuk mengajarkan ilmu silat itu.

Yo Han menyelinap di antara pohon-pohon sehingga akhirnya dia tiba di tengah taman di mana terdapat sepetak rumput yang amat enak untuk dipakai sebagai tempat berlatih silat. Akan tetapi, baru saja dia hendak mulai berlatih, tiba-tiba dia meloncat dan sekali bergerak dia sudah menyusup dan mendekam di balik semak-semak. Dia mendengar suara orang! Karena terkejut, takut kalau latihannya kepergok, maka dia menyusup dan bersembunyi ke balik semaksemak itu.

Muncullah dua orang yang membuat jantung dalam dada Yo Han berdebar tidak karuan saking tegangnya. Subonya jalan berdampingan dengan Ciang Kun, suheng yang pernah dilihatnya beberapa hari yang lalu itu. Menurut keterangan yang diperolehnya, Ciang Kun yang sudah sepekan berada di Lu-jiang, tinggal di rumah seorang pamannya. Sungguh janggal sekali melihat subonya berjalan-jalan di dalam taman bersama Ciang Kun, berdua saja pada saat suhunya tidak berada di rumah! Keduanya tiba di tengah taman yang sunyi itu dan Yo Han melihat mereka duduk berdampingan di atas bangku panjang yang terdapat di situ, tidak jauh dari tempat dia bersembunyi sehingga bukan saja dia dapat melihat mereka di bawah sinar bulan, juga dapat mendengar percakapan mereka dengan jelas!

“Suheng, jangan terlalu menyalahkan aku kalau aku menikah dengan orang lain. Bukan sekali-kali aku melupakanmu, Suheng, ahhh, bagaimana mungkin aku dapat melupakanmu. Aku menikah dengan dia hanya karena aku harus mencuci aib dan malu akibat perbuatan si jahanam Phoa Hok Ci.”

“Tapi, Sumoi, apakah engkau sekarang berbahagia dengan dia?”

Siang Cun menundukkan mukanya dan menggeleng, “Sama sekali tidak. Dia tidak cinta padaku, Suheng, dia mencinta wanita lain yang kini menikah dengan orang lain.”

“Ah, mengapa begitu? Cun-sumoi, engkau tahu bahwa selama ini aku tidak pernah melupakanmu. Aku tetap cinta padamu, Sumoi....“

“Aku.... aku juga, Suheng....“

Dengan mata terbelalak Yo Han yang mengintai melihat betapa subonya kini dirangkul oleh Ciang Kun dan mereka berpelukan, dan berciuman! Agaknya keduanya demikian bergelora dibakar oleh nafsu berahi sehingga gairah yang memuncak itu membuat keduanya seperti terguling dari atas bangku dan mereka masih terus berpelukan di atas rumput!

Yo Han tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia meloncat keluar dari tempat sembunyinya dan menghampiri mereka yang masih bergelut di atas rumput.

“Subo....!”

Akan tetapi, dua orang yang sedang terbakar oleh nafsu berahi itu, tidak mendengar suara ini dan mereka masih saling berciuman dan bergulingan di atas rumput seperti dua ekor ular bergelut.

“Subo....!” Yo Han berteriak lebih nyaring lagi dan sekali ini, mereka berdua terkejut dan cepat keduanya meloncat bangkit dan berdiri dengan mata terbelalak memandang kepada Yo Han. Rambut Siang Cun kusut, pakaiannya juga lusuh dan mukanya agak pucat, napasnya masih terengah-engah.

“Yo Han....! Kau.... kau kenapa kau di sini....?” bentaknya untuk memulihkan ketenangannya karena ia merasa terkejut bukan main melihat anak itu tiba-tiba berada di situ dan jelas bahwa anak itu telah melihat perbuatannya bersama Ciang Kun tadi. Akan tetapi, Yo Han tidak gentar ketika dibentak oleh subonya. Dia terlalu marah melihat perbuatan subonya tadi. Biarpun dia masih kecil, namun dia tahu apa artinya perbuatan subonya tadi. Subonya telah menyeleweng! Subonya telah bermain cinta dengan pria lain, telah mengkhianati suami sendiri! Tahulah dia kini mengapa suhunya selalu berduka. Kiranya subonya ini tidak cinta kepada suhunya, dan agaknya subonya tahu bahwa suhunya dahulu mencinta wanita lain, yaitu Kao Hong Li. Dan kini subonya dengan berani sekali telah mencemarkan kesucian rumah tangganya sendiri. Ini berarti suatu penghinaan besar bagi gurunya!

“Subo? Apa yang Subo lakukan ini? Sungguh tidak tahu malu sekali! Subo telah mengkhianati suhu! Subo telah menghina suhuku!”

“Tutup mulut, keparat!” Siang Cun membentak marah, juga malu karena merasa dimaki oleh anak kecil itu. Sementara itu, Ciang Kun melangkah maju dan menghardik Yo Han.

“Engkau ini anak kecil tahu apa? Hayo pergi atau akan kupukul kepalamu!”

Melihat sikap ini, Yo Han menjadi semakin marah. “Ciang Kun, engkaulah yang perlu dipukul setengah mati! Engkau tahu, Subo adalah isteri suhu, dan engkau sudah berani mengganggunya, berani menggodanya! Engkau ini lakilaki macam apa? Tidak tahu malu, merusak kerukunan rumah tangga orang! Engkau telah menghina suhu dan engkau layak dihajar!”

“Keparat, bocah bermulut busuk!” Ciang Kun membentak, dan Siang Cun yang khawatir kalau Yo Han akan membuat ribut, lalu melanjutkan.

“Yo Han, sudahlah engkau anak kecil, tidak tahu urusan. Ini adalah urusanku sendiri. Engkau jangan ribut dan jangan menceritakan kepada siapa saja, nanti kuberi hadiah.”

Yo Han menjadi semakin marah. Janji hadiah asal dia menutup mulut itu merupakan hinaan besar sekali baginya.

“Subo, aku tidak akan tinggal diam. Akan kuberitahukan kepada Bhe Kauwsu. Akan kuberitahukan kepada siapa saja perbuatan kalian yang tidak tahu malu ini!” Yo Han terengah-engah, dadanya naik turun saking marahnya. Kemarahan yang timbul karena duka dan prihatin melihat nasib gurunya yang dikhianati isteri sendiri!

“Bocah gila! Ketahuilah, kami sudah saling mencinta sebelum gurumu datang ke sini!” bentak Ciang Kun.

“Manusia tak tahu malu! Tapi Subo kini telah menjadi isteri orang, menjadi isteri suhu! Butakah matamu, tulikah telingamu?”

“Anak jahat, engkau bermulut busuk, layak dihajar!” kata Ciang Kun dan dia sudah melangkah maju dan mengirim tendangan ke arah Yo Han. Tendangan itu cukup keras dan kalau mengenai tubuh Yo Han, tentu akan membuat anak itu terpelanting dan menderita luka yang cukup parah. Namun, tidak percuma selama ini Yo Han mempelajari ilmu silat dari gurunya dengan tekun. Sambaran kaki itu dapat dielakkannya dengan mudah, dengan miringkan tubuh dan menggeser kaki ke kanan. Melihat ini, Ciang Kun menjadi semakin penasaran dan marah. Dia bukan saja murid tingkat pertama dari Bhe Kauwsu, akan tetapi juga selama beberapa tahun ini di kota raja, dia telah memperdalam ilmu silatnya dari guru-guru yang lebih pandai lagi.

Sambil mengeluarkan bentakan nyaring, dia menyerang lagi, kini dengan pukulan tangan kanan ke arah kepala Yo Han, sedangkan tangan kirinya mencengkeram pundak. Serangan ini cepat dan kuat sekali. Namun, Yo Han sudah siap dengan gerakan ilmu silat Pat-mo Sin-kun yang sedang dipelajarinya. Karena setiap hari berlatih ilmu ini, otomatis ketika menghadapi serangan, dia pun langsung saja menggerakkan tubuhnya sesuai dengan ilmu silat yang dipelajarinya ini.

Kembali kedua kakinya bergeser sambil melangkah mundur dan ketika kedua tangan lawan sudah menyambar luput, dia pun maju dan membalas dengan pukulan ke arah perut orang! Menurut ilmu silat itu, pukulan ini ditujukan ke arah ulu hati lawan, akan tetapi karena tubuh lawan jauh lebih jangkung, Yo Han yang memukul dengan gerakan lurus ke depan itu menyerang perut. Ciang Kun menggerakkan tangan hendak menangkap lengan anak yang memukul itu, akan tetapi Yo Han sudah menarik kembali pukulannya dan ini sesuai dengan jurus itu, dan tiba-tiba sekali tubuhnya sudah membuat gerakan memutar ke sebelah kiri lawan dan begitu kakinya bergerak, dia sudah menendang ke arah sambungan lutut.

“Dukkk!” Lutut Ciang Kun kena ditendang. Akan tetapi Ciang Kun memiliki kekebalan dan tendangan Yo Han tentu saja kurang kuat maka tendangan itu hanya membuat Ciang Kun meringis tanpa mampu menjatuhkannya. Ciang Kun menjadi malu dan marah sekali, dan dia menyerang kalang kabut, mendesak Yo Han sehingga anak ini terpaksa harus berloncatan dan mengelak ke sana-sini. Sampai sepuluh kali Ciang Kun menyerang bertubi-tubi dan selalu dapat dielakkan oleh Yo Han. Hal ini membuat Ciang Kun marah bukan main, juga malu karena di depan kekasihnya dia seperti dipermainkan seorang bocah. Makin gencar dia menyerang dan ketika Yo Han mundur mengelak, kakinya terbentur akar pohon dan anak itu pun roboh terlentang! Melihat anak itu roboh, Ciang Kun tidak menghentikan serangannya, bahkan maju dan mengirim tendangan ke arah kepala dengan kuatnya!

“Suheng, jangan!” teriak Siang Cun khawatir melihat tendangan suhengnya yang dapat membahayakan nyawa Yo Han kalau mengenai kepala. Akan tetapi terlambat. Dalam kemarahannya karena merasa dipermainkan seorang anak kecil, Ciang Kun sudah lupa diri dan biarpun dia tahu bahwa tendangannya berbahaya, dia sudah tidak mampu menarik kembali kakinya.

“Tukkk!” Sebuah kerikil mengenai sepatu Ciang Kun, demikian kuatnya sehingga Ciang Kun berseru kaget dan tendangannya tertahan dan meleset sehingga tidak mengenai kepala Yo Han. Sesosok bayangan putih berkelebat dan Sin Hong sudah berdiri di situ. Dialah yang melempar kerikil tadi menyelamatkan muridnya.

“Pengecut, menyerang seorang anak kecil!” Sin Hong mencela. Akan tetapi Ciang Kun yang sudah marah, kini melotot kepada Sin Hong, suami dari kekasihnya yang dianggapnya telah merebut kekasihnya dari tangannya itu. Dia sudah mendengar akan kelihaian Sin Hong, akan tetapi justeri hal ini yang memanaskan perutnya dan dia ingin sekali menguji kepandaian suami kekasihnya. Kini ada alasan untuk menentangnya.

“Hemmm, anak setan ini terlalu kurang ajar, agaknya tidak pernah memperoleh pendidikan yang patut dari gurunya! Memang aku hendak menghajarnya karena gurunya tidak mampu mendidiknya. Kalau gurunya hendak membelanya, silakan!”

Sin Hong tersenyum pahit. Sebetulnya, sudah sejak tadi dia pulang dan memergoki penyelewengan isterinya. Dan melihat pula isterinya bergumul dengan Ciang Kun di atas rumput tadi dan dia kagum melihat pembelaan muridnya yang begitu berani mati menegur sumoinya untuk membela gurunya.

Dia tahu apa yang berkecamuk didalam hati pria ini. Agaknya pria ini ingin memperlihatkan di depan kekasihnya bahwa dia tidak kalah oleh suami kekasihnya!

“Bagus! Kalau aku katakan bahwa bukan muridku yang kurang ajar, melainkan engkau yang tidak tahu diri, tidak tahu malu dan pengecut, engkau mau apa?”

Ciang Kun terbelalak dan marah sekali. “Keparat, engkau menantang!” katanya dan dia sudah menerjang ke depan dan tangannya digetarkan, dibuka maka nampaklah tangan itu tergetar dan warna telapak tangannya berubah agak kemerahan! Maklumlah Sin Hong bahwa dia berhadapan dengan orang yang memiliki ilmu telapak tangan Ang-see-ju(Telapak Tangan Pasir Merah), yaitu tangan itu telah dilatih dengan memukuli pasir merah panas yang direndam racun. Pukulan telapak tangan seperti itu mengandung racun panas yang dapat melumpuhkan otot yang membakar daging kulit! Diam-diam dia marah. Ciang Kun ini adalah murid pertama Bhe Kauwsu dan tentu saja sudah tahu bahwa dia adalah mantu Bhe Kauwsu. Biarpun ada urusan cinta antara dia dan Siang Cun, namun tidak sepantutnya kalau sekarang menyerangnya dengan ilmu sekeji itu. Terlintas dalam otaknya untuk melumpuhkan ilmu itu dan memberi hajaran dengan mematahkan tulang lengan itu. Akan tetapi dia segera teringat. Orang ini hendak memamerkan kepandaiannya kepada Siang Cun, dan belum tentu dia menggunakan Ang-see-jiu karena kejam hatinya. Mungkin dia sudah mendengar bahwa yang menjadi lawannya memiliki ilmu yang tinggi, maka agar jangan sampai kalah, kini begitu menyerang, dia menggunakan ilmu yang diandalkan. Ingatan ini menyabarkan pula hatinya dan dia pun mengelak ketika pukulan itu lewat.

Untuk menghadapi seorang lawan setingkat Ciang Kun ini, biarpun memiliki Ang-see-jiu, Sin Hong tidak mau mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Tangan Putih).

Dia bahkan menyambut hantaman telapak tangan merah itu dengan telapak tangannya sendiri sambil menggunakan Tenaga Inti Bumi, secukupnya saja untuk mengimbangi kekuatan lawan yang dapat diukurnya dari sambaran hawa pukulannya.

“Plak!” Dua telapak tangan bertemu dan melekat! Ciang Kun terkejut. Dia memang bukan orang jahat dan sama sekali tidak ingin mencelakai lawan, melainkan hanya untuk mengalahkannya atau mengimbanginya. Kini, lawannya itu menerima Ang-see-jiu dan telapak tangan mereka melekat. Dia tidak mampu lagi menarik kembali tangannya. Akan tetapi, tiba-tiba dia terbelalak. Lawannya sama sekali tidak menderita oleh hawa beracun telapak tangannya bahkan dia sendiri yang merasa ada hawa panas masuk dari telapak tangannya itu membuat lengannya seperti lumpuh.

“Pergilah!” Sin Hong mendorong dan tubuh Ciang Kun terjengkang. Akan tetapi karena Sin Hong mengukur tenaganya, Ciang Kun tidak terluka dan pemuda ini marah sekali. Siang Cun menahan jeritnya dan ia menghampiri Ciang Kun dan membantunya bangkit berdiri. Ciang Kun merasa malu, wajahnya merah dan dia menjadi nekat. Dalam beberapa gebrakan saja dia telah jatuh terjengkang, di depan kekasihnya lagi! Siapa yang tidak akan merasa malu? Sambil mengeluarkan bentakan nyaring, dia sudah mencabut pedangnya dan kini dia menyerang Sin Hong dengan kemarahan memuncak.

“Suheng, jangan....!” Siang Cun berseru, akan tetapi suhengnya yang sudah nekat itu tidak peduli.

Melihat ini, Sin Hong tersenyum mengejek dan dengan mudah saja dia mengelak sampai lima kali serangan. “Ciang Kun, hentikan seranganmu, kalau tidak, terpaksa aku akan membuatmu malu dan merobohkanmu!” kata Sin Hong. Akan tetapi, Ciang Kun tidak menjawab dan tidak pula menurut, bahkan memutar pedangnya semakin gencar melakukan serangan bertubi-tubi. Siang Cun yang maklum bahwa kalau dilanjutkan, suhengnya yang menjadi kekasihnya itu tentu akan benar-benar roboh oleh suaminya yang ia tahu amat sakti, lalu maju pula sambil memegang pedangnya.

“Engkau tidak boleh merobohkannya!” bentaknya sambil ikut mengeroyok Sin Hong! Melihat ini, Yo Han terbelalak.

“Sungguh penasaran! Penasaran....!” teriaknya dengan nyaring. Melihat gurunya dikeroyok oleh isterinya sendiri dan kekasih isteri gurunya, dia sungguh marah bukan main.

Sin Hong sendiri menjadi serba salah. Tentu saja dia tidak gentar dan biar ditambah beberapa orang lagi yang mengeroyoknya, dia masih akan mampu mencapai kemenangan. Akan tetapi sungguh tidak mungkin kalau dia harus menjatuhkan isterinya sendiri, walaupun isterinya telah bersikap tidak patut, membantu kekasih gelapnya!

“Suhu! Kalau Suhu tidak mau memperlihatkan kelihaian, teecu akan merasa malu sekali! Disangkanya Suhu takut!” berkali-kali Yo Han berseru dan suaranya ini berpengaruh juga. Sin Hong tadinya hanya mengandalkan kegesitannya untuk mengelak ke sana sini. Mendengar seruan muridnya, dia teringat akan pedang Cui-beng-kiam yang selalu disimpan di balik jubahnya. Ada jalan untuk menghentikan serangan kedua orang itu tanpa melukai mereka, pikirnya. Sekali tangannya bergerak, nampak sinar yang menyilaukan mata dan ada hawa yang amat menyeramkan menyambar. Sinar itu bergulung-gulung dan menyambar dua kali, terdengar bunyi nyaring dan dua batang pedang di tangan Siang Cun dan Ciang Kun yang kena disambar sinar itu menjadi buntung! Ketika mereka berdua memandang, pedang Cui-beng-kiam di tangan Sin Hong sudah masuk lagi ke dalam sarungnya di balik baju pemuda berpakaian putih itu!

Wajah Ciang Kun menjadi pucat sekali, akan tetapi dia masih sempat saling berpegang tangan dengan pedang Siang Cun. Pada saat itu, terdengar suara gaduh dan muncullah Bhe Kauwsu dan para murid Ngo-heng Bu-koan.

“Apa yang terjadi di sini....?” katanya dengan mata terbelalak memandang kepada mantunya lalu kepada puterinya, kemudian kepada Ciang Kun, dan yang terakhir kepada Yo Han, dan kepada gagang pedang buntung di tangan puterinya dan Ciang Kun.

Sin Hong merasa tidak enak sekali. Dia tidak ingin membuka rahasia yang akan mencemarkan nama baik isterinya, apalagi di situ terdapat banyak murid Ngo-heng Bu-koan yang mendengarkan.

“Hanya suatu kesalahpahaman saja, Ayah,” kata Sin Hong kepada mertuanya, “Kesalahpahaman antara Yo Han dan Suheng Ciang Kun yang kemudian melibatkan diriku. Tidak ada apa-apa....”

“Suhu! Kenapa Suhu berkata demikian? Inilah saatnya terbaik bagi Suhu untuk membebaskan diri dari sumber kedukaan! Bukankah Suhu mengajarkan teecu agar selalu jujur dan tidak berbohong?”

“Yo Han....!” Sin Hong membentak, akan tetapi dia lalu memandang kepada ayah mertuanya. “Sebaiknya kalau kita bicara di dalam saja, ini urusan keluarga.”

Bhe Kauwsu memandang kepada puterinya yang menangis dan dia pun mengerti, mengangguk dan membubarkan para murid, lalu mengajak Sin Hong, Yo Han dan Siang Cun masuk ke dalam.

“Dia bersangkutan dengan perkara ini, hendaknya ikut bicara di dalam.” kata Yo Han sambil menunjuk kepada Ciang Kun. Sin Hong diam saja dan Bhe Kauwsu yang sudah mengenal Yo Han sebagai anak cerdik yang jalan pikirannya seperti orang dewasa, lalu menyuruh Ciang Kun ikut. Pemuda ini ikut masuk ke dalam rumah sambil menundukkan mukanya, hatinya tegang dan khawatir karena sekarang baru sadar dia betapa dia telah melakukan hal yang salah sama sekali. Juga dia merasa gentar kalau mengenangkan kembali betapa saktinya Sin Hong yang telah membuat dia dan Siang Cun tidak berdaya hanya dalam segebrakan saja. Bahkan kalau Sin Hong menghendaki dia dan kekasihnya itu tentu sudah tewas di ujung pedangnya.

Begitu tiba di dalam rumah, disambut oleh isteri Bhe Kauwsu, Siang Cun menubruk ibunya dan menangis. “Ibu.... Ayah.... aku.... aku minta agar diceraikan dari dia....“

Mendengar ucapan puterinya itu, tentu saja Bhe Kauwsu terkejut bukan main. Dia dan isterinya memang sudah menduga bahwa ada ketidakcocokan antara puterinya dan mantunya, akan tetapi tidak menyangka sampai sehebat itu.

“Siang Cun!” bentaknya marah karena merasa tidak enak dan malu. “Omongan apa yang kaukeluarkan itu?” Karena melihat puterinya hanya menangis tersedu-sedu dalam rangkulan isterinya, Bhe Kauwsu lalu menoleh kepada mantunya dan bertanya, “Sin Hong, apakah yang sesungguhnya telah terjadi? Kenapa Siang, Cun bersikap seperti itu?”

“Tidak perlu kiranya saya bicara terlalu banyak,” kata Sin Hong setelah berpikir secara mendalam dan mengambil suatu keputusan dalam hatinya. “Ayah dan ibu mertua sudah mendengar sendiri kata-kata Siang cun. Ia tidak akan berbahagia kalau terus hidup sebagai isteri saya. Oleh karena itu, satu-satunya jalan terbaik hanyalah memenuhi permintaannya, yaitu perceraian antara kami berdua.”

Tentu saja Bhe Kauwsu dan isterinya terkejut bukan main. Dia yakin akan kebijaksanaan mantunya itu, dan tentu telah terjadi sesuatu yang hebat maka pendekar itu berkata demikian. Dan perceraian merupakan hal yang akan mencemarkan nama baik keluarganya!

“Tapi bagaimana begitu mudahnya membikin putus hubungan perjodohan? Begitu mudahnya kalian bercerai, padahal belum genap setahun kalian menjadi suami isteri?” Bhe Kauwsu berkata dengan suara penuh penyesalan.

“Harap maafkan, Siang Cun yang minta cerai dan saya hanya menyetujui usulnya demi kebahagiaan kami masing-masing mengambil jalan hidup sendiri,” kata pula Sin Hong dan ketika Yo Han memandang kepada gurunya, dia melihat sinar mata gurunya kepadanya dan maklumlah dia bahwa dia tidak boleh banyak bicara. Diam-diam dia semakin kagum. Gurunya memang seorang laki-laki sejati, seorang yang berjiwa agung dan tidak mau membikin malu isterinya hanya demi penonjolan kebenaran diri sendiri saja, walaupun isterinya telah melakukan hal yang paling menyakitkan bagi perasaan seorang suami, yaitu penyelewengan.

“Tapi.... tapi.... ah, mengapa semudah ini? Anak kami adalah seorang wanita, dan kalau bercerai berarti ia menjadi janda. Dan kami sebagai orang tuanya tentu saja akan menderita malu dan....“

“Harap Ji-wi (Anda berdua) tenang saja, karena sesungguhnya, ada calon suami yang lebih cocok untuk Siang Cun, yaitu Ciang Kun inilah. Siang Cun akan hidup berbahagia sebagai isterinya.” Sebelum kedua orang bekas mertuanya itu menjawab, Sin Hong sudah mendahului mereka. “Terus terang saja, antara Siang Cun, Ciang Kun, dan saya sendiri telah ada saling pengertian dalam hal ini. Kami akan bercerai dengan baik, saya akan pergi bersama murid saya untuk mengambil jalan hidup sendiri sedangkan ia akan menjadi isteri yang saling mencinta dengan Ciang Kun. Ji-wi dapat minta penjelasan mereka sedangkan saya dan Yu Han akan berkemas karena sekarang juga kami akan pergi dari sini.” Tanpa menanti jawaban, Sin Hong menggandeng tangan Yo Han untuk membenahi pakaian mereka.

Bhe Kauwsu dan isterinya saling pandang dan mereka yang sudah berusia lanjut dan banyak pengalaman, sedikit banyak dapat meraba apa yang telah terjadi.

“Siang Cun! Benarkah apa yang dikatakan oleh Sin Hong itu tadi? Bahwa engkau dan dia sudah bersepakat untuk berpisah, dan hendak melanjutkan hidup di samping Ciang Kun sebagai isterinya?”

Siang Cun yang sejak tadi tidak berani mengangkat muka, kini mengangkat muka yang pucat dan basah air mata, lalu mengangguk!

“Bagaimana ini Ciang Kun? Benarkah begitu? Siang Cun hendak berpisah dari suaminya kemudian menjadi isterimu?”

Tadi Ciang Kun juga menunduk karena merasa bersalah dan sudah merasa cemas kalau-kalau Sin Hong mengadukan peristiwa tadi, maka dia merasa semakin terpukul oleh sikap jantan dari Sin Hong, merasa malu sekali akan tetapi juga berterima kasih kepada Sin Hong. Dia pun mengangguk.

Bhe Kiauwsu maklum berapa yang telah terjadi. Dia merasa menyesal dan malu sekali kepada Sin Hong. Dia mengepal kedua tangannya, lalu mondar-mandir dalam ruangan itu, membanting-banting kedua kakinya dan memukul-mukul telapak tangan sendiri.

“Sungguh celaka....! Sungguh celaka....! Dulu dia minta mengawinimu demi untuk menyelamatkan nyawamu, Siang Cun. Dan sekarang.... sekarang.... ah, apa yang telah kalian lakukan ini....?”

Siang Cun merasa khawatir kalau ayahnya akan membuat pengakuan, maka ia pun dengan suara bercampur isak berkata, “Ayah.... dia tidak cinta kepadaku.... kami tidak saling mencinta dan dia tidak menemukan kebahagiaan dalam kehidupan suami isteri....”

“Cinta....? Huh, apa yang kau maksudkan dengan cinta? Dulu dia menikahimu demi keselamatan nyawamu setelah dia menyelamatkanmu dari ancaman malapetaka yang lebih hebat dari maut! Dia menolongmu tanpa pamrih. Dia menikahimu tanpa dorongan berahi kepadamu! Itukah sebabnya kaukatakan tidak adanya cinta? Dan sekarang.... sekarang.... dia merelakan engkau hidup berbahagia di samping pria lain! Apakah sikap ini pun karena tidak cinta?”

Siang Cun tidak dapat menjawab dan diam-diam dirasakan betapa mulia hati bekas suaminya itu, yang menutup mulut padahal telah memergoki sendiri penyelewengannya dengan Ciang Kun!

Pada saat itu, Sin Hong dan Yo Han muncul, masing-masing menggendong sebuah buntalan yang berisi pakaian mereka.

“Paman Bhe dan Bibi, perkenankan aku dan Yo Han pergi dan maafkan segala kesalahan yang kami perbuat selama kami tinggal di sini. Kami berterima kasih sekali atas segala kebaikan yang Paman berdua limpahkan kepada kami, juga kepada semua murid Ngo-heng Bu-koan,” kata Sin Hong dengan suara dan sikap tenang saja, sama sekali tidak hanyut oleh perasaan hati. Yo Han juga berdiri dengan semangat, mulutnya tersenyum ketika dia mencontoh gurunya memberi hormat kepada guru silat dan nyonyanya itu.

Tiba-tiba Siang Cun melepaskan diri dari pelukan ibunya dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Sin Hong! Ia menangis sesenggukan sehingga suaranya sukar ditangkap artinya. Sin Hong tersenyum dan menunduk, lalu berkata dengan suara yang lembut dan berwibawa. “Tenangkan hatimu, Siang Cun. Di manakah kekerasan hati dan kegagahanmu?”

Suara itu menenangkan Siang Cun dan terdengar suaranya lirih bercampur tangis, “Ampunkan aku.... dan terima kasih.... terima kasih....”

Tiba-tiba Ciang Kun juga menjatuhkan diri berlutut di samping Siang Cun! Hal ini sungguh sama sekali tidak disangka oleh Sin Hong yang kini memandang dengan mata berseri gembira!

“Taihiap, saya pun berterima kasih sekali dan mohon maaf. Saya takkan pernah melupakan kemuliaan hati Taihiap selama hidup saya.”

Suara Sin Hong terdengar gembira bukan main ketika dengan kedua tangannya dia mengangkat bangun Siang Cun dan Ciang Kun agar bangkit berdiri. “Tidak ada yang perlu dimaafkan dan tidak perlu berterima kasih. Semua ini untuk kebaikan kita masing-masing dan aku percaya bahwa kalian akan dapat menemukan kebahagiaan dalam kehidupan kalian sebagai suami isteri yang saling mencinta. Biarlah sekarang juga kuucapkan selamat kepada kalian. Nah, selamat tinggal semua, semoga Thian selalu memberkahi kalian.” Berkata demikian, Sin Hong membalikkan tubuhnya, menggandeng tangan Yo Han dan pergi meninggalkan rumah keluarga Bhe dengan hati dan langkah yang ringan.

***

Bersama dengan sinar matahari pagi yang keemasan, keindahan menerangi seluruh permukaan bunii. Keindahan yang sukar dilukiskan dengan kata-kata, karena ada keindahan yang tidak dapat diraba dengan pandang mata atau dengan alat panca indera lainnya, melainkan hanya dapat dirasakan saja. Keindahan yang terkandung dalam sinar matahari yang menerobos diantara daun-daun pohon, membuat garis-garis lurus menyusup ke dalam kabut pagi, terkandung dalam kicau burung yang saling bersahutan dalam kesibukan binatang-binatang kecil itu mempersiapkan diri untuk mulai mencari makan, dalam gemercik air Sungai Yang-ce-kiang ketika air bermain-main dengan batu-batu di tepinya, dalam keharuman bau tanah yang sedap, tanah yang segar dibasahi embun pagi, keindahan yang terkandung di dalam keheningan, bahkan keheningan itu sendiri yang menciptakan keindahan. Bukan hening karena sunyi, melainkan hening tidak ada penyelewengan dalam pikiran. Kicau burung, teriakan kanak-kanak, kesibukan para ibu di dapur dan bapak-bapak tani yang mulai meninggalkan rumah menuju ke sawah ladang, semua itu tidak mengganggu keheningan itu, bahkan mereka semua itu terserap ke dalam keheningan. Pagi hari yang indah! Hanya dirasakan oleh mereka yang memandang semua itu, mendengar semua itu, mencium semua itu, tanpa menilai. Tidak teringat sedikit pun bahwa semua itu indah, yang terasa hanyalah kebahagian, karena seperti keheningan adalah keindahan, maka keindahan adalah juga kebahagiaan. Yang tiga itu tak terpisahkan. Eloknya, ketiganya tidak ada selama si aku atau pikiran ingin merasakan dan menikmatinya!

Wanita muda yang berjalan seorang diri di atas bukit di tepi sungai itu nampak bersunyi diri. Berjalan melangkah perlahan-lahan di atasbukit. Ia menjadi bagian dari keindahan maha besar itu. Dari tempat ia berdiri, nampak Sungai Yang-ce terbentang luas dan panjang, dan sebelum pandang mata tiba di sungai, melewati pula sawah ladang dan dusun-dusun dan di kanan kiri sepanjang sungai itu nampak bukit-bukit kecil yang subur. Warna hijau dan kuning dan perpaduan antara hijau dan kuning nampak seperti permadani, menyelimuti tanah, bermandikan cahaya matahari keemasan. Air sungai nampak berkilau tertimpa sinar matahari, memantulkan cahaya itu sehingga menyilaukan mata. Dua orang bapak tani memanggul pacul jalan beriringan di galengan sawah sambil bercakap-cakap, berangkat menuju ke sawah mereka. Seorang di antara mereka, yang di depan, merokok dan asap rokoknya mengepul ke atas kepala mereka. Seorang anak laki-laki dengan pakaian setengah telanjang, hanya bercelana, memegang cambuk panjang menggembala lima ekor kerbau yang gemuk-gemuk, tiga ekor besar dan dua ekor masih muda dan beberapa kali dua ekor yang muda ini bergurau dengan tanduk mereka. Jauh di seberang sana, nampak samarsamar beberapa buah gunung, bagian atasnya tertutup awan. Cuaca pagi itu cerah bukan main, menjanjikan siang hari yang panas tanpa mendung.

Namun, wajah wanita itu sama sekali tidak cerah, bahkan terbayang mendung kedukaan dalam pandang matanya, ketika mata itu melihat jauh ke depan tanpa mengenal apa yang dilihatnya. Pandang mata seperti melayang-layang saja di permukaan bumi di bawah itu, dan ia sama sekali tidak merasakan kebesaran alam, melainkan kerisauan perasaan hatinya sendiri. Batinnya sedang gundah dan kadang-kadang pandang matanya seperti orang yang bingung atau putus asa, tiada gairah hidup!

Padahal ia seorang wanita yang masih muda, kurang lebih dua puluh tiga tahun usianya, cantik jelita dan bentuk tubuhnya ramping dan padat, penuh keindahan dan kesehatan. Wajahnya berbentuk bulat telur, sepasang matanya lebar dan lincah, sayang saat itu tertutup mendung duka. Pakaiannya yang biarpun bersih namun kusut itu menunjukkan pula, bahwa ia memang sedang berada dalam keadaan gundah sehingga tidak mempedulikan keadaan pakaian dan rambutnya yang kusut.

Ia menuruni bukit itu dan ketika ia melihat anak laki-laki setengah telanjang yang menggiring lima ekor kerbaunya, hatinya tertarik dan ia pun berhenti, melihat bagaimana anak laki-laki itu mengiring lima ekor kerbaunya masuk ke dalam kubangan air. Lima ekor binatang itu nampak gembira ketika memasuki kubangan air yang segera menjadi keruh berlumpur. Mereka mendekam sehingga hanya nampak kepala mereka saja, dan mereka diam tak bergerak, mata mereka merem-melek nampak nikmat sekali.

Wanita itu berdiri, bersandar pada sebatang pohon, melihat betapa anak laki-laki yang bertelanjang dada dan bertelanjang kaki, tubuhnya hanya mengenakan celana sebatas lutut, celana hitam dari kain kasar, kini mengeluarkan sebuah bungkusan kertas dan dibukanya. Kiranya sepotong roti gandum kering sebesar kepalan tangan. Roti itu digigitnya, akan tetapi roti itu terlalu keras, dan anak itu lalu pergi ke sebuah pancuran air, membasahi roti itu beberapa lamanya, kemudian dia duduk di dekat kubangan air, di atas batu dan mulai makan roti kering yang kini sudah menjadi basah dan tidak sekeras tadi. Dia tidak melihat wanita cantik yang sejak tadi memandanginya dan makan dengan enaknya, menggigiti roti yang keras itu sedikit-sedikit.

Wanita itu seperti terpesona, jarang berkedip sejak tadi. Penglihatan itu sungguh menarik hatinya. Nampak olehnya betapa lima ekor kerbau itu demikian tenteram, damai dan agaknya berbahagia, nampak dari mata mereka yang merem-melek. Dan bocah itu! Usianya paling banyak sepuluh tahun, melihat pakaiannya tentu seorang anak yang miskin, dan kini anak itu makan roti kering yang keras, dibasahi air sawah! Dan nampaknya dia makan demikian enaknya, seolah-olah bukan sepotong roti kering dibasahi air sawah: yang dimakannya, melainkan makanan yang lezat dan mahal, dan mata anak itu pun merem-melek nampaknya dia menikmati makan roti duduk di atas batu itu! Padahal, ia tahu bahwa makanan itu adalah makanan paling sederhana, makanan roti gandum yang dikeringkan agar tahan lama dan kalau akan dimakan harus ditim dulu agar menjadi empuk.

Akan tetapi roti kering itu digerogoti oleh anak itu begitu saja, hanya dibasahi air sawah! Dapat dibayangkan betapa miskin keadaan anak itu. Akan tetapi kenapa begitu kelihatan berbahagia? Anak dan kerbau-kerbau itu demikian berbahagia, betapa menjadi kebalikan dari keadaan batinnya. Ia sendiri begini sengsara dan menderita! Ia merasa penasaran. Ia bangkit dan perlahan-lahan menghampiri anak laki-laki yang baru saja menghabiskan rotinya itu.

Anak laki-laki itu memandang dengan heran, akan tetapi tetap duduk dan matanya yang lebar memandang dengan penuh perhatian. Wanita itu. duduk di atas batu di depan anak itu. Mereka saling pandang dan anak itu mulai merasa khawatir, menoleh ke arah kerbau-kerbaunya, lalu memandang lagi kepada wanita di depannya, wanita yang asing baginya itu.

“Anak yang baik, jangan takut, aku hanya ingin duduk bersamamu dan mengajak bicara. Engkau tadi makan roti kering kelihatan enak sekali.”

“Memang enak,” jawab anak itu, kini berani tersenyum karena sikap wanita itu yang ramah dan halus. “Perutku tadi lapar dan sekarang sudah kenyang.” Dia mengelus perutnya yang tak tertutup baju.

“Apakah ini kerbau pemeliharaan orang tuamu?” tanya wanita itu sambil menunjuk ke arah lima ekor kerbau yang masih mendekam dalam kubangan air lumpur.

Anak itu menggeleng kepala. “Orang tuaku sudah tidak ada. Aku tidak punya ayah atau ibu. Ini kerbau Paman Ciok, aku bekerja padanya.”

Wanita itu memandang heran. “Engkau yatim piatu?” Anak itu mengangguk.

“Dan kau bekerja menggembala kerbau-kerbau ini?” Kembali anak itu mengangguk dan melanjutkan dengan jawaban mulutnya.

“Menggembala kerbau, menyabit rumput dan segala macam pekerjaan lain.”

Bukan main, pikir wanita itu. Anak ini yatim piatu dan sekecil ini sudah bekerja.!

“Kau tidak mempunyai sanak keluarga lagi? Hidup sebatang kara di dunia ini?” Kembali anak itu mengangguk. Wanita itu menjadi semakin tertarik. Anak sekecil ini, tidak ada orang tua, tiada sanak keluarga, hidup sebatang kara, bekerja ikut orang dalam keadaan miskin, namun kelihatan begitu berbahagia!

“Berbahagiakah hidupmu, anak baik?”

Anak itu memandang tidak mengerti. “Berbahagia? Apa maksudmu?”

Kini wanita itu yang memandang bingung. Apa sih bahagia itu? Ia sendiri pun tidak tahu! “Eh, begini, anak baik. Apakah kau.... tidak pernah merasa berduka?”

“Berduka? Kenapa harus berduka?”

“Tidak harus.... akan tetapi, engkau hidup sebatang kara, engkau hidup miskin sekali, pakaianmu setengah telanjang, makanmu roti kering yang keras seperti tadi, apakah engkau tidak merasa sedih?”

“Sedih? Tidak aku tidak pernah sedih, mengapa harus sedih? Setiap pagi aku menggiring kerbau-kerbau ini ke sini, sarapan apa saja yang ada, kalau Bibi Ciok belum masak apa-apa sepagi ini, aku membawa roti kering. Kemudian aku menggiring kerbau-kerbau ini ke sawah, kepada Paman Ciok yang akan meluku sawah dengan para pembantunya, dan aku pergi menyabit rumput, sesudah itu membantu pekerjaan paman Ciok atau isterinya di rumah, menyapu lantai, membersihkan apa saja di rumah, atau menimba air. Tidak, aku tidak sedih Bibi, aku mempunyai banyak pekerjaan, tidak sempat bersedih-sedih. Pula, mengapa aku harus sedih?”

Anak itu lalu bangkit dan menggiring kerbaunya keluar dari dalam kubangan air, tanpa bicara lagi meninggalkan wanita itu yang duduk termenung seperti patung! Karena banyak pekerjaan, maka anak itu tidak sempat bersedih-sedih, dan pula, mengapa dia harus sedih? Dan ia sendiri? Mengapa ia bersedih? Karena memikirkan keadaan dirinya! Karena pikirannya melayang-layang memikirkan nasibnya yang dianggap buruk sehingga ia merasa iba diri, kasihan kepada diri sendiri, lalu menjadi nelangsa, dan timbullah duka. Ah, ia telah tersesat, membiarkan pikirannya menguasai diri. Dan pikiran celaka ini selalu membayangkan hal-hal yang dianggapnya buruk! Tidak, ia harus mengisi hidupnya dengan pekerjaan yang berguna, seperti anak itu! Dan ia seorang pendekar, mengapa harus menganggur?

“Hong Li, engkau memang wanita tolol!” Demikian wanita itu memaki diri sendiri. Ia adalah Kao Hong Li, puteri tunggal dari pendekar Kao Cin Liong dan isterinya, Suma Hui. Kao Hong Li adalah cucu tunggal dari mendiang Naga Sakti Gurun Pasir, bukan seorang wanita biasa. Wanita berusia dua puluh empat tahun ini adalah seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, mewarisi kepandaian ayah dan ibunya. Ayahnya adalah keturunan Naga Sakti Gurun Pasir, sedangkan ibunya adalah keturunan Para Pendekar Pulau Es!

Seperti telah kita ketahui, Hong Li telah di jodohkan dengan Thio Hui Kong putera Jaksa Thio yang jujur dan adil di kota Pao-teng. Hong Li yang menerima berita bahwa Sin Hong telah menikah dengan puteri guru silat Bhe di kota Lujiang, tidak dapat membantah lagi kehendak orang tuanya. Usianya sudah dua puluh tiga tahun, dan harapannya untuk dapat berjodoh dengan pria yang diam-diam dicintanya, yaitu Sin Hong yang masih terhitung susioknya telah sirna, maka untuk berbakti kepada orang tuanya, ia menurut saja ketika ayah ibunya memilih Thio Hui Kong menjadi suaminya. Semua orang pun akan menganggap bahwa pilihan itu sudah tepat sekali, Thio Hui Kong seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun yang tampan dan gagah, pandai silat dan sastra, putera Jaksa Thio yang terkenal sebagai seorang pembesar yang adil dan bijaksana, kedudukannya tinggi dan dihormati semua orang, juga serba kecukupan walaupun tidak kaya raya. Kurang apa lagi?

Ternyata memang kurang satu, dan yang satu inilah yang menjadi syarat mutlak bagi kebahagiaan rumah tangga. Yang kurang itu adalah cinta kasih antara dua orang muda yang di jodohkan. Hui Kong tadinya girang sekali bahwa dia berhasil mendapatkan gadis yang dijadikan rebutan, gadis gagah perkasa dan cantik jelita itu. Biarpun ada ganjalan dalam hatinya melihat betapa calon isterinya roboh pingsan ketika bertemu dengan susioknya yang bernama Tan Sin Hong itu, namun dia ingin melupakan semua itu dan dia bersikap mesra dan mencinta. Dia menikmati haknya sebagai seorang suami dan menganggap bahwa Hong Li seorang isteri yang cukup menyenangkan hatinya. Akan tetapi hanya sampai di situ saja! Hubungan antara sepasang suami isteri barulah akan membahagiakan kalau didasari cinta kasih kedua pihak.

Karena Hong Li tidak dapat memusatkan perhatiannya dalam bermesraan dengan suaminya karena memang tidak ada dasar cinta, maka hal ini terasa oleh Hui Kong. Diam-diam dia merasa penasaran dan kecewa, akan tetapi dia merasa penasaran dan kecewa, akan tetapi dia lalu menghibur diri dengan pergaulan di luar dan pergaulan inilah yang menyeret Hui Kong ke dalam pengejaran kesenangan yang tidak sehat! Dia mulai berfoya-foya, bermabuk-mabukan, bahkan mulai suka berjudi dan bermain dengan wanita pelacur!

Hong Li mendengar akan hal ini, bahkan ia melakukan penyelidikan sendiri dan melihat suaminya mabuk-mabukan di rumah pelesir. Tentu saja Hong Li menjadi marah dan menegur suaminya. Kekerasan hati Hong Li inilah yang justeru membuat Hui Kong memberontak dan melawan! Dia adalah seorang putera pembesar, dan melihat betapa isterinya marah-marah dan hendak menekannya tentu saja dia menjadi penasaran. Seorang Isteri harus taat, patuh dan hormat kepada suaminya, demikian dia memarahi Hong Li. Mulailah terjadi bentrokan dan percekcokan antara mereka. Baru beberapa bulan menikah sudah mulai cekcok. Melihat hal ini, orang tua kedua pihak berusaha keras untuk mendamaikan mereka dengan sikap bijaksana, yaitu memarahi anak masing-masing. Namun, kedua orang suami isteri muda itu sama-sama keras hatinya dan karena memang pada dasarnya tidak ada rasa cinta di antara mereka, maka semua usaha orang tua kedua pihak gagal. Percekcokan makin meningkat. Melihat bahwa kalau sampai terjadi perkelahian akan membahayakan, akhirnya kedua orang tua masing-masing bersepakat untuk mengambil jalan keluar yang paling akhir, yaitu perceraian! Hong Li bercerai dari suaminya setelah menjadi suami isteri selama kurang dari setahun saja. Setelah bercerai secara resmi, Hong Li lalu pergi merantau dan kedua orang tuanya mengijinkannya karena melihat bahwa hal itu perlu untuk memberi kesempatan anak mereka melupakan peristiwa duka yang menimpa dirinya.

Demikianlah, Hong Li mulai merantau. Namun, ia tidak pernah dapat membebaskan diri dari duka dan kecewa. Apalagi kalau ia membayangkan betapa susiok yang dicintanya, Sin Hong, kini hidup berbahagia dengan isterinya, ia merasa semakin terpukul dan berduka. Sampai pada pagi hari itu, ia bertemu dengan seorang anak penggembala kerbau dan keadaan anak itu menggugah kesadarannya bahwa selama ini ia membiarkan dirinya tenggelam ke dalam duka yang diadakan oleh pikirannya sendiri. Ia terlalu memikirkan diri sendiri, terlalu besar rasa iba dirinya sehingga ia lupa bahwa hidup bukanlah sekedar merenungkan segala hal yang buruk dalam hidup yang telah dialaminya. Justeru hidup adalah medan di mana pengalaman baik buruk terjadi, dan segala peristiwa yang sudah berlaku itu tidak ada gunanya untuk dikenang dan disedihkan lagi! Yang sudah biarlah sudah. Yang lewat biarlah lewat! Masih banyak hal-hal lain yang lebih penting daripada sekedar termenung menyedihi dan menangisi hal-hal yang telah terjadi, yang telah lewat. Biarpun ia akan menangis dengan air mata darah, tetap saja hal yang telah berlalu itu tidak akan dapat kembali.

“Kau sungguh cengeng, Hong Li. Lihat anak itu! Dia jauh lebih bijaksana daripada engkau! Dia dapat menikmati hidupnya, dapat hidup berbahagia karena mampu menerima apa adanya dengan penuh gairah. Hayo, waktunya untuk bangkit, untuk bangun! Demikian Hong Li mencela diri sendiri sambil bangkit berdiri. Wajahnya kini berubah. Tidak lagi murung seperti tadi, melainkan berseri. Sepasang matanya yang lebar itu mulai bersinar-sinar dan mulutnya yang manis itu mulai dihias senyum.

Tiba-tiba terdengar jerit tangis didepan. Ia cepat melihat dan alisnya berkerut, matanya mengeluarkan sinar mencorong marah ketika ia melihat apa yang terjadi tak jauh di depan sana. Anak penggembala kerbau tadi sedang menangis, menjerit-jerit dan berusaha untuk menghalangi lima orang laki-laki yang hendak menuntun pergi lima ekor kerbaunya!

“Jangan....! Jangan ambil kerbau-kerbauku....!” Anak itu menjerit-jerit, akan tetapi seorang di antara mereka mendorong dada anak itu sehingga dia terlempar dan terjengkang dengan keras. Hong Li melihat bahwa lima orang itu adalah laki-laki yang usianya antara tiga puluh sampai empat puluh tahun, berpakaian ringkas bukan pakaian orang dusun, wajah mereka itu memperlihatkan kebengisan dan kekejian, dan melihat betapa ada senjata golok di punggung mereka, mudah diduga bahwa mereka tentulah orang-orang yang biasa memaksakan kehendak dengan kekerasan dan kini agaknya hendak merampas lima ekor kerbau gemuk dari bocah itu.

“Perampok-perampok jahat!” teriak Hong Li dan dengan beberapa kali lompatan saja ia sudah berada di dekat anak itu. “Jangan takut, adik yang baik, aku akan menghajar mereka dan mengembalikan kerbau-kerbaumu!”

Melihat munculnya seorang wanita muda yang cantik jelita, tentu saja lima orang itu tidak menjadi takut, bahkan mereka tertawa-tawa secara kurang ajar dan seorang di antara mereka berkata, “Aduh, nona manis. Marilah engkau ikut dengan kami. Ketahuilah bahwa ketua kami sedang mengadakan pesta, maka engkau dapat menyenangkan hati kami! Jangan khawatir, ketua kami orangnya royal dan engkau akan menerima hadiah yang banyak, ha-ha-ha!”

Wajah Hong Li berubah merah sekali. “Jahanam bermulut busuk!” bentaknya.

Akan tetapi, dua orang diantara mereka menerjang ke depan, seperti berlumba hendak menangkap gadis yang cantik itu, tidak seperti gadis dusun yang sederhana.

Diam-diam Hong Li terkejut juga melihat gerakan mereka. Kiranya mereka ini bukan orang-orang kasar biasa, perampok-perampok yang lebih mengandalkan kekejaman dan kekerasan dari tenaga besar saja. Melihat gerakan kedua orang itu, tahulah ia bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian silat yang cukup tinggi! Namun tentu saja Hong Li tidak menjadi gentar menghadapi cengkeraman kedua orang yang dilakukan dari kanan kiri itu. Ia malah menyelinap maju dengan cepat, di antara kedua orang itu, dan membalik secara tidak terduga, kaki dan tangannya bergerak ke kanan kiri.

“Desss! Plakkk!” lima orang di kanan kirinya terkejut bukan main karena yang seorang sudah tertendang perutnya dan seorang lagi tertampar pipinya! Itulah satu di antara jurus-jurus Sin-liong Ciang-hoat yang amat hebat dari Istana Gurun Pasir!

Dua orang itu mengaduh dan mereka memandang dengan mata terbelalak kepada Hong Li, yang seorang mengelus perutnya yang mendadak menjadi mulas, dan yang ke dua mengusap darah yang mengalir di sudut bibir yang pecah. Mereka kini menyadari bahwa mereka berhadapan dengan seorang gadis kang-ouw yang lihai, maka lenyaplah sikap main-main mereka. Mereka berdua merasa malu sekali dan penasaran bahwa dalam segebrakan saja mereka telah terpukul dan tertendang gadis itu. Ini merupakan penghinaan besar! Mereka adalah tokoh-tokoh besar, bukan sembarangan maling atau perampok kecil, dan kini mereka dihajar seorang gadis!

“Srat! Srattt!” Dua sinar berkilauan ketika mereka mencabut golok dari punggung masing-masing. Tiga orang teman mereka yang lain hanya menonton karena biarpun tadi dua orang teman mereka telah terkena tamparan dan tendangan gadis itu, namun mereka masih tidak meragukan bahwa dengan golok di tangan, kedua orang teman mereka tentu akan mampu mengalahkan gadis itu. Terlalu memalukan kalau mereka berlima harus mengeroyok seorang wanita muda seperti itu!

Kini sepasang mata Hong Li mencorong dan kegembiraannya semakin bernyala bersama semangatnya. Inilah hidup! Inilah sesuatu yang selama ini ia rindukan! Ia kehilangan kegairahan ini, kegairahan seorang pendekar yang menentang ke jahatan. Ingin rasanya ia tertawa sepuasnya. Inilah hidupnya. Inilah dunianya! Inilah kewajibannya, seperti kewajiban yang dikerjakan sehari-hari oleh anak penggembala itu dengan penuh gairah dankegembiraan. Ia sengaja tidak mau mencabut pedangnya karena tadi ia sudah mengukur sampai di mana tingkat kepandaian dua orang itu. Biarpun mereka bergolok, ia tidak gentar menghadapi mereka dengan tangan kosong saja!

Golok pertama menyambar, mengarah lehernya dari samping kanan. Sambaran itu cukup cepat dan kuat, mendatangkan sinar panjang dan suara mendesing! Dengan gerakan lincah, hanya menggeser kaki dan memutar tubuh, golok itu mengenai tempat kosong dan pada saat itu, golok ke dua menyambar dari kiri, membacok ke arah pinggangnya dari samping. Serangan ini berbahaya sekali, datang dengan cepatnya dan kalau sampai mengenai sasaran, tubuh wanita cantik itu tentu akan terbabat bagian tengahnya dan akan putus menjadi dua potong! Akan tetapi tiba-tiba si penyerang mengeluarkan seruan kaget karena melihat wanita itu lenyap atau lebih tepat terbang ke atas sehingga goloknya menyambar tempat kosong! Kiranya Hong Li sudah mempergunakan gin-kangnya yang istimewa untuk melompat ke atas dan dari atas, kakinya menendang ke aran pundak si penyerang, kembali ia membalik dan begitu tendangannya mengenai pundak, tubuhnya menyambar ke belakang dan sebelum orang pertama menyerangkan goloknya, tangan Hong Li sudah mengetuk lengan orang itu sehingga goloknya terlepas dan orang itu berteriak kesakitan, bersamaan dengan teriakan orang yang tertendang pundaknya tadi.

“Bibi, tolong....!”

Hong Li terkejut dan ketika ia melihat betapa bocah penggembala kerbau tadi dikempit di bawah lengan seorang di antara lima penjahat dan dibawa lari, ia pun mengejar.

“Jahanam busuk, lepaskan anak itu!” teriaknya sambil mengejar. Akan tetapi, penculik anak itu telah lari agak jauh dan menghilang ke dalam hutan. Karena khawatir akan keselamatan bocah itu, Hong Li mempereepat larinya dan mengejar terus. Ternyata orang yang menculik bocah itu dapat berlari cepat sekali dan agaknya mengenal baik hutan di sepanjang lembah Sungai Yang-ce itu. Bocah itu menjerit-jerit terus sehingga mudah bagi Hong Li untuk terus mengejar dan karena memang ia memiliki gin-kang (ilmu meringan tubuh) yang lebih tinggi dan dapat berlari lebih cepat, maka akhirnya ia dapat menyusul orang itu yang terpaksa berhenti di tepi sungai. Ketika Hong Li muncul di dekat tempat itu, dia melemparkan tubuh bocah itu ke dalam sungai! Dan tanpa menoleh lagi dia pun melarikan diri.

Tentu saja Hong Li lebih dahulu memperhatikan keadaan bocah penggembala yang dilempar ke sungai. Bocah ini ternyata pandai berenang dan dapat berenang ke tepi, akan tetapi karena tepinya curam dan anak itu tidak dapat naik, Hong Li lalu menelungkup dan menjulurkan tangannya untuk menarik anak itu ke atas. Terpaksa ia melepaskan penculik anak itu yang sudah melarikan diri entah ke mana.

“Anak baik, engkau tidak apa-apa, bukan? Apakah orang jahat itu melukaimu?”

Anak itu tidak menangis lagi dan dia memandang kepada Hong Li sambil menggeleng kepalanya. “Tidak, Bibi dan terima kasih atas bantuan Bibi. Akan tetapi kerbauku....”

Hong Li teringat. “Mari kita mencari kerbaumu di sana!” katanya dan ia memondong tubuh anak itu lalu berlari secepatnya. Anak itu menggigil ketakutan, akan tetapi diam saja, hanya memejamkan mata ketika merasa betapa dia dilarikan seperti terbang cepatnya.

Akan tetapi ketika mereka tiba di tempat kubangan kerbau, seperti yang telah diam-diam dikhawatirkannya, lima orang kerbau itu sudah lenyap dan lima orang penjahat itu pun tidak nampak bayangannya lagi. Tentu saja anak itu lalu menangis.

Hong Li mengepal tinjunya. Celaka, pikirnya. Ia telah tertipu oleh para penjahat itu. Agaknya tadi para penjahat itu maklum bahwa mereka menghadapi lawan tangguh, maka seorang diantara mereka sengaja melarikan anak itu untuk memancingnya pergi dari situ dan mengejarnya. Kemudian, ketika hampir tersusul, orang yang licik itu melempar tubuh si anak dalam sungai sehingga kembali Hong Li tidak dapat melanjutkan pengejaran karena harus menolong bocah penggembala, sementara itu, dengan enak saja empat orang kawan penjahat itu telah melarikan lima ekor kerbau yang tidak dijaga!

“Sudahlah, jangan menangis,” Hong Li membujuk. “Aku akan mencari mereka.”

“Tapi.... tapi, Bibi. Tentu Paman Ciok dan Bibi Ciok akan marah sekali kepadaku karena kerbau mereka hilang. Lima ekor kerbau itulah milik mereka satu-satunya yang menghidupkan kami semua....”

Hong Li menarik napas panjang. Benar juga, dan mungkin karena duka dan marah, keluarga itu akan memukul anak ini atau mengusirnya. “Mari kuantar kau ke dusun dan aku yang akan memberi penjelasan kepada Paman Ciok itu, dan aku yang akan mengganti kerugian mereka. Hayolah!” Ia menggandeng tangan anak itu yang masih nampak ragu-ragu dan ketakutan.

Dusun itu kecil saja, hanya ditempati oleh puluhan keluarga yang hidupnya miskin, petani-petani sederhana. Seperti yang dikhawatirkan anak itu, kedua orang suami isteri itu terkejut bukan main melinat anak itu pulang tanpa membawa lima ekor kerbau mereka, bersama seorang gadis cantik, dan mereka menjadi marah dan berduka mendengar bahwa lima ekor kerbau mereka dirampas orang.

“Anak celaka! Anak tidak mengenal budi, tidak tahu diri....!” Laki-laki she Ciok itu dengan muka merah dan mata melotot sudah menyambar sebuah gagang cangkul dan menghantamkan kayu yang sebesar lengan itu ke arah kepala anak penggembala yang ketakutan.

“Plakkk!” Kayu pemukul itu tertahan di atas dan si petani terpaksa melepaskannya karena tangannya terasa nyeri bukan main ketika pemukul itu tertangkis oleh tangan Hong Li.

“Kau hendak membelanya? Siapakah kau yang berani membela anak durhaka ini? Dia telah membikin kami bangkrut, membikin kami celaka.... ah, kami akan mati kelaparan tanpa lima ekor kerbau itu....!” Petani itu membentak marah dan mengeluh penuh duka. Juga isterinya marah sekali dan ia maju mendekati Hong Li.

“Kau ini perempuan siluman dari mana berani mencampuri urusan kami? Anak ini jahat. Sudah kami pelihara baik-baik, eh, hari ini dia membikin hilang lima ekor kerbau kami. Mungkin dia bersekongkol dengan pencuri kerbau, anak jahat!” Dan ia pun hendak maju menerkam anak penggembala itu. Hong Li cepat menangkap lengan wanita itu.

“Sabarlah, Bibi dan kau juga Paman. Ketahuilah bahwa aku menyaksikan sendiri ketika lima ekor kerbau itu dicuri orang jahat. Mereka adalah lima orang perampok jahat. Bahkan adik kecil ini hampir saja mereka bunuh, untung aku kebetulan lewat dan dapat menyelamatkannya. Jangan khawatir, aku tahu akan keadaan kalian yang melarat. Aku akan mencari lima ekor kerbau itu dengan sungguh-sungguh sampai aku dapat mengambilnya kembali dan menyerahkan kepada kalian. Anak ini tidak bersalah, harap jangan dipukul atau dihukum.”

“Enak saja!” Petani itu bersungut. “Mudah saja kau berjanji, Nona. Kalau engkau pergi lalu tidak kembali, tidak membawa kerbau-kerbau itu kembali kepada kami, ke mana kami harus mencarimu? Tetap saja lima ekor kerbau kami hilang!”

Hong Li tersenyum. “Jangan khawatir, sebelum kerbau-kerbau itu kutemukan biarlah kalungku ini kalian pegang dulu, dan benda ini sebagai penggantinya kalau lima ekor kerbau itu tidak dapat kukembalikah kepada kalian.”

Isteri petani itu menerima kalung dan bersama suaminya memeriksa benda itu. Sebuah kalung emas dengan mainan dari kemala yang indah. Akan tetapi, keduanya adalah penduduk dusun yang tidak pernah mempunyai perhiasan seperti itu, maka keduanya tidak tahu apakah benda itu cukup berharga untuk mengganti lima ekor kerbau mereka.

“Tunggu dulu, kupanggil Coan-toako di sebelah, dia tahu tentang harga barang seperti ini!” Tiba-tiba sang suami berkata dan dia pun lari keluar dari rumahnya. Isterinya memandang kepada Hong Li dan tersenyum masam. “Kami.... kami tidak tahu harga barang seperti ini....”

Hong Li tersenyum maklum. Ia tahu bahwa harga kalungnya itu dapat dipakai membeli sepuluh ekor kerbau! Kalau tidak demikian, tidak mungkin ia mau menyerahkannya kepada mereka. Ia bukan seorang penipu.

Petani itu datang berlari-lari bersama seorang petani lain yang lebih tua. “Coan-toako, tolong kaulihat dan taksir barang ini apakah benar tulen dan dapatkah dipergunakan membeli lima ekor kerbau?”

Petani she Coan itu menerima kalung dan dengan sikap seorang ahli, dia memeriksanya, menimbang dengan tangan, memeriksa kemala yang menjadi mainan kalung, kemudian memandang kepada Hong Li. Dia tadi sudah mendengar dari petani Ciok tentang lima ekor kerbau yang hilang dan hendak diganti dengan kalung ini.

“Kalau aku yang menjualnya ke kota, kiranya hanya tiba pas saja untuk membeli lima ekor kerbau. Sekarang begini saja, daripada engkau susah-susah, lebih baik barang ini kutukar dengan lima ekor kerbau. Bagaimana pendapat kalian?” tanyanya kepada suami isteri Ciok.

Hong Li mengerutkan alisnya. Ia berhadapan dengan seorang penipu, dan hal ini membuatnya marah. Sekali sambar, ia sudah merampas kalung itu dari tangan petani she Coan.

“Kau mau menipu, ya? Pergi sana sebelum kutampar kepalamu!” bentaknya.

Petani Coan hendak marah, akan tetapi tuan rumah Ciok yang maklum bahwa gadis itu bukan hanya menggertak kosong, cepat menarik tangannya diajak ke luar, kemudian dia kembali sambil membungkuk-bungkuk.

“Sekarang kami percaya, Nona. Baiklah kalung ini kami terima sebagai pengganti lima ekor kerbau kami yang hilang.” katanya.

“Hemmm, siapa mau memberikan kalung ini kepadamu!” bentak Hong Li. “Kalung ini cukup untuk membeli sedikitnya sepuluh ekor kerbau. Kukatakan tadi, aku akan mencari kerbau-kerbau kalian itu dan mengembalikannya kepada kalian. Kalung ini hanya untuk pegangan saja, agar kalian tidak menyiksa anak ini. Kalau aku tidak berhasil menemukan kerbau-kerbau itu, barulah aku akan berikan kalung ini kepada kalian.”

Suami isteri itu tersenyum dengan wajah berseri. “Nona, kami berdua amat mencinta anak ini, kami anggap seperti anak sendiri. Bagaimana kami akan tega menyiksanya? Kalau tadi aku hendak memukul adalah karena kesedihanku mendengar lima ekor kerbau kami hilang. Kami tidak akan marah kepadanya, Nona.”

Hong Li memandang kepada anak itu dan ia melihat anak itu mengangguk, membenarkan apa yang diucapkan petani itu. Hatinya menjadi lega dan ia pun berkata, “Baiklah, kalau begitu sekarang juga aku akan mencari para perampok itu. Jangan kalian kena ditipu orang tadi. Dia penipu. Kalau kelak harus menjual kalung ini, kalian jual sendiri ke kota, ditukar dengan sedikitnya sepuluh ekor kerbau. Kalian harus memperlakukan anak ini baik-baik. Awas, kalau aku mendengar kalian menyiksanya, aku tidak akan memberi ampun.” Setelah berkata demikian, sekali meloncat, tubuhnya berkelebat lenyap dari situ. Suami isteri itu melongo, muka mereka pucat dan mengira bahwa gadis cantik tadi tentulah seorang dewi atau seorang siluman!

***

Percuma saja Hong Li melakukan penyelidikan dengan bertanya-tanya kepada para penghuni di dusun-dusun sekitar tempat itu. Mereka semua tidak tahu apakah di daerah itu muncul perampok jahat. Menurut mereka, tidak pernah ada gangguan perampok dan daerah itu miskin, akan tetapi aman. Para petani hidup dengan tenteram walaupun keadaan mereka sederhana sekali. Mendengar keterangan ini, Hong Li berpendapat bahwa tentu para perampok itu merupakan orang-orang baru, gerombolan jahat yang agaknya baru saja berdiam di daerah itu. Ia lalu keluar dari dusun dan mulai melakukan penyelidikan di daerah pegunungan dan hutan-hutan.

Hong Li adalah seorang pendekar wanita yang sudah seringkali melakukan perantauan dan sudah berpengalaman. Ia dapat menduga bahwa gerombolan perampok yang baru tiba di suatu daerah yang sedang mencari sarang baru, tentu bersembunyi di hutan-hutan dan di gunung-gunung yang sunyi. Maka ia pun mendaki sebuah bukit yang penuh dengan hutan lebat karena dari jauh kelihatan bahwa bukit inilah yang paling baik untuk tempat persembunyian para penjahat. Juga tadi ia melihat asap mengepul dari lereng bukit ini, padahal menurut keterangan para penduduk dusun, di bukit itu tidak ada penghuninya.

Ketika Hong Li menyusup-nyusup ke dalam hutan untuk mendaki bukit itu, tiba-tiba saja ia menahan langkahnya. Ia mendengar suara berkeresekan di sebelah kiri, di balik semak-semak. Hutan itu lebat. Mungkin saja ada binatang buas sedang mengintai di balik semak-semak itu. Atau orang jahat? Apakah mungkin perampok-perampok itu?

Tiba-tiba dua bayangan berkelebat dan muncullah dua orang yang sudah menghadang di depannya. Seorang laki-laki dan seorang wanita. Usia mereka kurang lebih empat puluh tahun dan dari pakaian mereka yang ringkas, dapat diketahui bahwa mereka bukanlah orang-orang tani atau orang-orang dusun, dan dari gerakan mereka pun dapat diketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang pandai ilmu silat.

“Singgg! Singgggg....!” Dua orang itu sudah mencabut pedang mereka dan dengan pedang di tangan mereka mengamati Hong Li penuh perhatian. Sebaliknya Hong Li juga memperhatikan mereka dan melihat bahwa dua orang itu nampak lemas dan lelah, juga pria itu agaknya terluka, karena ada warna merah darah di pakaiannya bagian pundak dan pinggang.

“Siapa engkau?” bentak wanita itu sambil melintangkan pedangnya, sikapnya mengancam.

Hong Li tersenyum. “Aku sedang berjalan, kalian yang menghadang. Sepatutnya kalian yang lebih dulu mengatakan siapa kalian dan mengapa pula menghadang perjalananku!”

Dua orang itu saling pandang, lalu yang pria menjawab. “Nona, apakah engkau anggauta gerombolan yang berada di bukit ini?”

Hong Li berpikir cepat. Kalau dua orang ini gerombolan penjahat yang agaknya bersembunyi di situ, tidak mungkin mereka bertanya seperti itu. Akan tetapi siapakah mereka dan mengapa mereka berada di tempat sunyi ini? Ia harus menyelidikinya, karena di tempat seperti ini, semua orang harus dicurigai.

“Kalau benar demikian, kalian mau apa?” Ia balas bertanya.

Tiba-tiba saja keduanya menggerakkan pedang menyerangnya. “Kami akan membunuhmu!” bentak wanita itu.

Hong Li memang sudah menjaga akan segala kemungkinan, maka ia tetap waspada. Begitu dua orang itu menyerang dengan pedang mereka, ia sudah meloncat ke belakang mengelak. Dua orang itu menyerang dengan semakin dahsyat, pedang mereka berubah menjadi sinar bergulung-gulung dan mengeluarkan suara berdesingan dan angin menyambar-nyambar. Diam-diam Hong Li harus mengakui bahwa ilmu pedang dua orang ini cukup hebat, dan mereka berdua ini lebih lihai dibandingkan lima orang perampok kerbau itu. Ia mempergunakan kegesitannya dan dengan Sin-liong Ciang-hoat ia menghadapi dua batang pedang itu tanpa gentar sedikit pun. Ia bukan hanya mampu mengelak dan menangkis lengan lawan yang menggerakkan pedang, bahkan ia mampu membalas dengan tamparan atau tendangan yang membuat dua orang itu menjadi repot! Setelah mengukur kepandaian mereka, Hong Li yang tidak ingin membikin mereka malu, lalu meloncat ke belakang. Dua orang itu mengejar ke depan, dan Hong Li menendang dua batu di depannya. Dua buah batu itu melesat cepat ke depan, menyambar ke arah dua orang itu. Mereka terkejut dan menangkis dua buah batu itu dengan pedang masing-masing dan mereka berteriak karena tangan mereka tergetar hebat.

“Cukup!” Hong Li berseru. “Aku bukanlah anggauta gerombolan penjahat!”

Mendengar ini, dua orang yang agaknya sudah menjadi gentar terhadap Hong Li, menghentikan serangan dan mereka memandang kepada Hong Li penuh perhatian dan ada sinar kekaguman pada sinar mata mereka.

“Nona sungguh lihai!” kata wanita itu. “Ketahuilah, kami adalah suami isteri Liok Cin yang datang ke sini untuk mencari puteri kami yang diculik gerombolan penjahat.”

“Ahhh!” Hong Li memberi hormat kepada mereka. “Paman dan Bibi, harap maafkan aku. Tadi aku hanya ingin menguji kalian karena belum tahu siapa kalian. Aku pun sedang mencari perampok yang telah merampas kerbau-kerbau milik petani dusun. Namaku Kao Hong Li dan hanya kebetulan saja aku lewat di dusun bawah sana, lalu melihat perampokan kerbau, maka untuk menolong pemilik kerbau itu aku mencari gerombolan perampok. Entah sama tidak orang-orangnya dengan yang menculik puteri kalian itu.”

“Tidak salah lagi, tentu mereka juga!” kata pria yang bernama Liok Cin itu sambil mengepal tinju. “Tentu untuk pesta karena mereka hendak merayakan pernikahan kepala mereka dengan puteri kami yang dipaksa menjadi isterinya!”

Hong Li mengerutkan alisnya. “Ah, kenapa kalian diam saja di sini kalau begitu?”

“Ah, engkau tidak tahu, Nona Kao! Mereka itu lihai bukan main, terutama sekali pimpinan mereka yang berjuluk Ang I Siauw-mo (Setan Kecil Pakaian Merah).”

“Ang I....?” Hong Li mengerutkan alisnya, mengingat-ingat. Ia pernah mendengar nama ini dan ia pun teringat akan Ang I Mo-pang, gerombolan pakaian merah yang pernah membantu Tiat-liong-pang memberontak itu! Ah, kiranya gerombolan pakaian merah itu pula yang bersembunyi di sini?

“Engkau mengenalnya, Nona?” tanya Liok Cin.

Hong Li menggeleng kepalanya. “Apakah kalian sudah mencoba untuk menyelamatkan puteri kalian itu?”

“Sudah dua kali kami mencoba menyerbu dan menolong anak kami, akan tetapi selalu gagal, bahkan yang terakhir ini kami hampir celaka kalau tidak cepat dapat melarikan diri dan bersembunyi di sini. Anak kami itu ditawan dan dikurung dalam sebuah kamar. Ah, kalau saja engkau suka membantu kami, Nona,” kata isteri Liok Cin.

Tentu saja Kao Hong Li berniat membantu mereka. Urusan kerbau hanya merupakan urusan kecil saja dibandingkan urusan tertahannya seorang gadis yang hendak dipaksa menjadi isteri kepala perampok itu! Ia mengangguk. “Aku akan membantu kalian membebaskan puteri kalian itu. Tunjukkan jalannya kepadaku, dan kita masuk ke sarang mereka. Kita coba membebaskan puteri kalian, dan kalau sampai ketahuan dan kita diserang, serahkan saja kepadaku untuk membasmi mereka!”

Suami isteri itu kelihatan gembira sekali dan mereka cepat menghaturkan terima kasih, kemudian mereka menjadi penunjuk jalan mendaki bukit menuju ke sarang gerombolan. Dalam perjalanan ini, suami isteri Liok Cin menerangkan bahwa gerombolan itu memang masih belum lama menetap di bukit itu. Buktinya, bangunan yang menjadi sarang gerombolan itu masih baru dan nampak seperti bangunan darurat. Hal ini pun dimengerti oleh Hong Li. Tentu mereka terdiri dari para anak buah Ang I Mo-pang yang berhasil menyelamatkan diri dari sergapan pasukan pemerintah! Mereka lalu bersembunyi di bukti ini dan menjadi perampok. Yang ia tidak tahu, siapakah orang yang mengaku berjuluk Ang I Siauw-mo dan yang kini menjadi pimpinan mereka itu, dan mengapa pula para perampok kerbau yang berjumlah lima orang itu tidak ada yang mengenakan pakaian merah seperti anggauta Ang I Mo-pang?

Dugaan Hong Li memang tidak keliru. Yang kini menjadi pimpinan di sarang gerombolan penjahat di puncak bukit itu adalah orang-orang Ang I Mo-pang yang berhasil lolos dari kepungan para pasukan ketika mereka membantu pemberontakan Tiat-liong-pang. Hanya ada belasan orang yang lolos dan mereka ini dipimpin oleh tokoh di antara mereka yang berjuluk Ang I Siauw-mo, seorang laki-laki berusia empat pulun tahunan yang memiliki kepandaian paling tinggi di antara mereka yang dapat lolos. Belasan orang ini lalu menarik belasan orang perampok lainnya untuk menjadi anak buah mereka, dan kini dalam jumlah kurang lebih tiga puluh orang, mereka membuat sarang di puncak bukit itu, dipimpin oleh Ang I Siauw-mo. Karena tahu bahwa mereka menjadi orang-orang buruan pemerintah, maka Ang I Siauw-mo melarang para anak buahnya mengenakan pakaian merah. Hanya dia seorang yang masih mengenakan pakaian serba merah, sesuai dengan julukannya.

Ketika akhirnya mereka tiba di sarang gerombolan penjahat yang berada di puncak bukit, matahari mulai condong ke barat. Dari jauh sudah terdengar suara gaduh para anggauta gerombolan yang sedang mengadakan persiapan untuk pesta. Pesta pernikahan Ang I Siauw-mo dengan seorang gadis dusun yang ditawan mereka. Gadis itu dari dusun sebelah utara bukit sehingga Hong Li tidak pernah mendengar tentang penculikan itu karena ia datang dari dusun-dusun di sebelah selatan bukit.

Liok Cin dan isterinya dengan hati-hati mengajak Hong Li memasuki sarang itu dari belakang. Dengan menyusup melalui pohon-pohon dan semak belukar, akhirnya tiga orang itu berhasil masuk ke pekarangan belakang sarang gerombolan penjahat itu tanpa diketahui oleh mereka yang sedang sibuk mengatur pesta pernikahan yang akan diadakan pada malam nanti. Hong Li membayangkan betapa lima ekor kerbau yang dirampas itu kini tentu telah disembelih dan dagingnya dimasak. Ia merasa mendongkol sekali karena kalungnya tentu akan terpaksa ia berikan kepada suami isteri petani pemilik kerbau.

“Ssttttt, kita masuk ke dalam melalui pintu belakang itu. Kamar di mana puteri kami ditahan, berada di ruangan tengah, di kamar yang sebelah kiri.” bisik Liok Cin kepada Hong Li yang mengangguk.

Akan tetapi sebelum mereka membuka daun pintu tembusan di belakang itu, tiba-tiba nampak enam orang berloncatan dari samping rumah dan tanpa banyak cakap lagi, enam orang itu dengan golok di tangan sudah menyerang Hong Li, Liok Cin, dan isterinya! Liok Cin dan isterinya sudah mencabut pedang mereka dan melawan, sedangkan Hong Li cepat meloncat ke samping untuk mengelak dari sambaran dua batang golok! Dan ternyata, melihat dari gerakan mereka, enam orang ini lihai sekali, tidak kalah lihai dibandingkan Liok Cin dan isterinya! Hong Li mempergunakan kepandaiannya, ketika ada golok menyambar dari samping, ia miringkan tubuh, tangan kirinya meluncur ke depan memukul ke arah siku kanan lawan dan kakinya melayang ke depan.

“Desss!” Paha penyerangnya itu terkena ciuman ujung kakinya dan orang itu pun terpelanting. Agaknya hal ini mengejutkan yang lain karena kini tiga orang sudah menyerang Hong Li, sedangkan yang jatuh tertendang tadi sudah meloncat berdiri dan ikut pula mengeroyok! Hong Li dikeroyok empat orang, sedangkan suami isteri Liok Cin dihadapi dua orang lawan bergolok!

Hong Li marah sekali. Mereka ini harus dirobohkannya dengan cepat, pikirnya. Ia lalu mengerahkan tenaga Hui-yang Sin-kang dan kedua tangannya mengeluarkan hawa panas ketika ia menangkis dan memukul, membuat empat orang pengeroyoknya tidak mampu dekat. Hawa pukulan yang panas membuat mereka itu jerih. Akan tetapi setiap kali Hong Li hendak merobohkan seseorang, ia melihat Liok Cin atau isterinya terancam golok lawan, maka ia pun terpaksa harus melindungi suami isteri itu lebih dulu sebelum merobohkan para pengeroyoknya. Ia hanya mampu membuat mereka itu menjauh dengan pukulan jarak jauh dan tendangannya.

Akhirnya enam orang pengeroyok itu agaknya jerih oleh amukan Hong Li yang biarpun bertangan kosong, namun terlalu lihai bagi mereka itu, dan mereka lalu melarikan diri.

“Cepat, kita bebaskan puteri kalian sebelum mereka semua datang!” kata Hong Li sambil menendang daun pintu terbuka. Suami isteri Liok Cin lalu mendahului Hong Li, menjadi penunjuk jalan memasuki lereng di dalam bangunan itu dan akhirnya mereka tiba di depan sebuah kamar yang daun pintunya tertutup.

“Di sinilah, ia disekap.” kata ibu gadis itu.

Hong Li menggunakan kakinya menendang dan daun pintu terbuka. Benar saja, di dalam kamar itu terdapat seorang gadis yang pakaiannya seperti gadis dusun, namun wajahnya manis sekali, nampak dibelenggu kaki tangannya di atas sebuah pembaringan dan ia terbelalak ketakutan. Hong Li dan suami isteri itu berloncatan dan memasuki kamar dan Hong Li tetap bersikap waspadai, khawatir kalau di dalam kamar itu dipasangi jebakan. Akan tetapi tidak ada perangkap di situ, hanya ada sesuatu yang dirasakan sangat ganjil. Sejenak ia termenung dan memandang ke sekeliling tidak tahu apakah yang membuat ia merasa ganjil itu. Kemudian, ia memandang suami isteri itu dan ia pun teringat, dan terkejut, heran dan curiga. Suami isteri itu melihat pakaian mereka, jelas bukan petani dusun, akan tetapi mengapa puteri mereka ini berpakaian seperti seorang dusun? Dan pula, mengapa setelah mereka berdua masuk, gadis itu diam saja, bahkan kelihatan ketakutan, tidak memanggil mereka yang mengaku ayah bundanya itu?

“Kalian.... kalian siapakah....?” tanyanya penuh kecurigaan, namun terlambat. Pada saat itu terdengar suara keras dan pintu yang tadinya terbuka itu kini tertutup terali baja yang kokoh kuat, yang muncul dari dalam dinding tebal! Hong Li terkejut dan pada saat itu, dari luar nampak beberapa orang menggunakan alat semprotan, menyemprotkan asap putih ke dalam kamar itu? Hong Li mencoba untuk meloncat dan mendobrak terali baja, namun belasan ujung tombak menyambutnya, ditusukkan dari luar terali sehingga terpaksa Hong Li mengurungkan niatnya mendobrak terali. Apalagi pada saat itu, asap sudah memenuhi kamar. Ia masih dapat bertahan dengan menahan napas, akan tetapi akhirnya, asap itu tersedot pula, ia terbatuk-batuk. Ia mendengar pula gadis itu, juga suami isteri itu batuk-batuk dan ia lalu roboh tak sadarkan diri.

Beberapa orang menggunakan kipas mengebutkan asap putih itu sehingga keluar dari dalam kamar dan setelah asap itu bersih dari kamar, muncullah seorang laki-laki yang perutnya gendut sekali, kepalanya botak dan dia mengenakan pakaian serba merah. Inilah Ang I Siauw-mo, seorang laki-laki yang mukanya hitam dan kasar, sambil tertawa-tawa dia memasuki kamar itu. Hong Li menggeletak pingsan di atas lantai, demikian pula Liok Cin dan isterinya, sedangkan gadis dusun yang terbelenggu itupun pingsan di atas pembaringannya.

“Ha-ha-ha, gotong Liok Cin dan isterinya keluar, sadarkan mereka. Mereka telah berjasa besar.” Dia lalu mendekati Hong Li dan melihat betapa gadis itu cantik sekali, kembali dia tertawa senang. “Ha-ha-ha-ha-ha, dia malah lebih cantik dari perawan dusun itu.” Dia lalu melangkah maju dan menotok kedua pundak gadis dusun, dan dia berkata kepada anak buahnya yang berkumpul di dalam dan di luar kamar.

“Angkat mereka ke dalam kamarku, siapkan mereka untuk menjadi pengantinku malam ini sehabis pesta. Ha-ha-ha, sekaligus aku memperoleh dua orang isteri yang manis-manis. Akan tetapi, biarpun sudah tertotok jalan darahnya, ia ini harus dibelenggu kedua kaki tangannya di ataspembaringanku. Ia lihai sekali. Gadis dusun itu tidak perlu dibelenggu. Hati-hati, jangan ganggu mereka. Mereka adalah isteri-isteriku, tahu?” Sambil tertawa, Ang I Siauw-mo meninggalkan kamar itu dan empat orang wanita yang menjadi anggauta gerombolan itu lalu melaksanakan perintahnya, mengangkat tubuh Hong Li dan gadis dusun yang pingsan, digotong ke dalam kamar pengantin!

Hong Li menggerakkan pelupuk matanya. Kesadarannya kembaliperlahan-lahan. Ia berusaha menggerakkan kaki tangannya, namunsia-sia. Ia telah ditotok sehingga jalan darahnya terhenti. Ia membuka matanya dan terkejut, juga marah sekali. Bukan hanya tertotok, bahkan kedua kaki dan tangannya dibelenggu dengan kaki pembaringan! Dan dia terlentang dalam keadaan telanjang bulat! Ia melirik dan melihat bahwa gadis dusun itu pun rebah terlentang seperti dirinya, telanjang bulat, di tepi yang lain dari pembaringan itu. Akan tetapi gadis itu tidak dibelenggu, hanya melihat betapa gadis itu juga tidak mampu bergerak, jelas bahwa gadis itu pun telah tertotok jalandarahnya. Ia melirik ke kanan kiri, dan ia masih dapat menggerakkan kepalanya. Ternyata ia berada di atas sebuah pembaringan yang lebar, di dalam sebuah kamar yang dihias dengan bunga-bunga dan kertas berwarna! Ada sebuah meja dengan empat buah bangkunya, ada almari pakaian, ada jendela dan pintunya yang semua dicat baru. Kamar pengantin! Kemarahannya memuncak, akan tetapi dicampuri rasa khawatir! Jantungnya berdebar tegang.

“Tenanglah, Hong Li, tenanglah engkau....” demikian bisik hatinya. Ia melihat betapa belenggu kaki tangannya terbuat dari baja yang kuat. Pendeknya, ia tidak berdaya dan tidak mungkin dapat melepaskan diri mengandalkan kekuatannya. Ia lalu mengenangkan apa yang telah terjadi.

Tidak salah lagi, pikirnya gemas. Suami isteri Liok Cin itu adalah kaki tangan penjahat yang sengaja memancing dan menjebaknya masuk ke dalam kamar itu! Suami isteri itu pura-pura saja ketika mereka dikeroyok oleh enam orang penjahat. Kini teringatlah ia. Pantas saja suami isteri itu selalu terdesak dan terancam kalau ia hendak merobohkan lawan, kiranya memang mereka itu sengaja mencegah ia melukai kawan mereka sendiri! Agaknya mereka diutus oleh kepala mereka untuk memancing dan ini hanya berarti bahwa kepala mereka sudah tahu akan kelihaiannya! Tentu saja! Orang-orang Ang I Mo-pang tentu saja mengenalnya sebagai seorang gadis yang berilmu tinggi! Dan suami isteri itu bahkan disuruh mengujinya, mengeroyoknya, juga enam orang yang menyerang itu, disuruh mengujinya. Baru setelah mereka yakin tidak akan mampu mengalahkannya, ia dipancing masuk kamar oleh suami isteri Liok Cin dan dibuat pingsan dengan semprotan asap pembius! Sudah jelas bahwa gadis dusun yang diculik ini sama sekali bukan puteri Liok Cin dan isterinya! Mereka itu orang kota, orang-orang kang-ouw, dan gadis ini gadis dusun yang lemah! Betapa bodohnya memasuki perangkap!

Gadis dusun itu mengeluh, siuman dari pingsannya. Hong Li menoleh kepadanya. Gadis itu pun berusaha menggerakkan kaki tangannya akan tetapi tidak berhasil. Dan ia sudah membuka kedua matanya dan kelihatan ketakutan, sepasang matanya terbelalak! Dan ia menangis!

“Ah, menangis tidak ada gunanya....” kata Hong Li. Gadis itu menoleh dan baru melihat Hong Li.

“Apa.... apa yang telah terjadi....?” tanya gadis dusun itu, “dan siapakah engkau, Nona? Kenapa Nona dapat berada di sini....?”

Hong Li tersenyum dan merasa heran sendiri. Dalam keadaan seperti itu, ia masih dapat tersenyum!

“Nanti dulu. Katakan apakah engkau mengenal laki-laki dan perempuan yang datang bersamaku memasuki kamar di mana engkau terbelenggu itu?”

Ia memang sudah dapat menduga akan jawaban gadis itu. “Tidak, aku tidak mengenal mereka, Nona.”

“Hernmm, sudah kuduga begitu. Mereka adalah kaki tangan penjahat. Aku datang untuk menolongmu, akan tetapi juga tertawan dan kini kita mempunyai nasib yang sama. Sekarang ceritakan bagaimana engkau terculik oleh mereka.” Gadis itu bercerita. Ia tinggal di dusun sebelah utara bukit ini dan ia terkenal sebagai kembang dusun-dusun di sekitar daerah itu. Ia sudah ditunangkan dengan putera lurah dusun. Akan tetapi pada hari yang naas itu, ketika ia mencuci pakaian di sungai, ia terlihat oleh seorang laki-laki gendut yang berpakaian serba merah. Ia lalu ditangkap, ditotok sehingga tidak mampu berteriak dan dibawa ke sarang penjahat ini, disekap dalam kamar selama tiga hari. Ia belum diganggu oleh si gendut baju merah, akan tetapi dibujuk untuk dengan suka rela menjadi isteri si gendut. Mereka akan menikah, dan perayaannya dilakukan hari ini, malam ini!

“Apakah orang tuamu dan para penghuni dusun, juga lurah calon mertuamu itu, tidak mencarimu?”

“Tentu mereka mencari, akan tetapi bagaimana mereka akan mampu melawan para penjahat kejam itu? Dan ternyata sampai kini, tidak ada yang datang menolongku kecuali engkau, Nona. Sayang engkau sendiri tertangkap....” dan gadis dusun itu menangis lagi.

“Sudah, jangan menangis. Selagi aku masih hidup, aku akan selalu berusaha untuk menyelamatkan diriku sendiri dan juga engkau. Kita tunggu saja apa yang akan terjadi.” Biarpun mulutnya bicara demikian, namun kalau membayangkan apa yang mungkin terjadi, Hong Li merasa jantungnya berdebar penuh ketegangan dan ketakutan, ia tahu bahwa tentu kepala penjahat itu akan menggauli ia dan gadis dusun itu dengan paksa! Kepala penjahat itu akan memperkosa mereka berdua, di atas pembaringan itu! Dan dalam keadaan tertotok dan terikat, bagaimana ia dapat membebaskan diri dan mencegah terjadinya penghinaan itu?

Dari kamar itu, Hong Li dapat mendengar suara riuh rendah orang tertawa di ruangan depan. Mereka sedang berpesta pora, pikirnya. Dan kamar ini sama sekali tidak terjaga! Alangkah akan mudahnya membebaskan diri kalau saja ia tidak tertotok, terbelenggu lagi! Dan mereka berdua, ia dan gadis dusun itu, dalam keadaan tak berdaya, bugil dan tidak ada yang dapat menolong mereka!

Tiba-tiba ia mendengar sesuatu di jendela, di luar jendela kamar itu.

“Sssttttt.... jangan menangis....” bisiknya kepada gadis itu yang masih tersedu-sedu. “Jangan berisik....!” Gadis dusun itu memaksa dirinya untuk bernenti menangis atau setidaknya berhenti mengeluarkan suara tangis.

Perhatian Hong Li dicurahkan ke arah jendela kamar. Jelas ada gerakan orang di luar kamar, di luar jendela, disusul suara seorang laki-laki, berbisik namun terdengar jelas olehnya.

“Yo Han, cepat kau masuk ke dalam dan.... selimuti mereka....”

Hong Li merasa betapa jantungnya berdetak keras sekali, terasa benar di telinga dan tenggorokannya, seolah-olah jantungnya akan meledak! Yo Han! Anak itu....! Dan suara yang bicara itu.... siapa lagi kalau bukan Sin Hong yang bicara kepada Yo Han tadi? Terbelalak ia memandang ke arah jendela. Daun jendela tiba-tiba terbuka dan seorang pemuda kecil berusia kurang lebih sepuluh tahun, meloncati jendela itu dan masuk ke dalam kamar! Biarpun penerangan dalam kamar itu remang-remang, kemerahan karena lampu meja itu dikerudungi kertas merah, namun Hong Li masih mengenal Yo Han!

“Yo Han....!”

“Enci Hong Li.... jangan khawatir, Suhu datang menolong!” kata anak itu yang cepat menyambar sebuah selimut yang terlipat di sudut pembaringan lalu dia menyelimutkan selimut itu di atas tubuh Hong Li dan gadis dusun itu dari kaki sampai ke leher. Kemudian, Yo Han menoleh ke arah jendela dan berbisik, “Suhu, sudah teecu selimuti....!”

Bayangan itu berkelebat cepat sekali melompati jendela. Sin Hong sudah berdiri di kamar itu! Hong Li memandang kepadanya, dan Sin Hong juga memandang kepada Hong Li. Dua pasang mata bertemu, bertaut dalam kemuraman kamar itu, dan perlahan-lahan dua buah mata yang bening dari Hong Li menjadi basah dan air matanya pun terurai keluar.

“Adik Hong Li....!”

“Sin Hong koko…. eh, Susiok....” Kecanggungan dan kegagapan Hong Li ini cukup sudah untuk membuyarkan keharuan dari batin kedua orang muda ini. Mereka memang dua orang muda yang tergembleng sehingga memiliki batin yang sudah kuat sekali sehingga keharuan itu hanya merupakan gelombang yang melewat begitu saja. Keduanya tersenyum.

Seruan itu saja cukup bagi mereka, cukup jelas mengungkap isi hati mereka yang penuh kerinduan dan kemesraan satu kepada yang lain.

Sin Hong lalu menghampiri Hong Li dan membebaskan totokan dengan menekan kedua pundak Hong Li. Seketika tubuh Hong Li dapat bergerak. Melihat belenggu rantai baja yang kuat itu, Sin Hong mencabut Cui-beng-kiam dan empat kali menggerakkan pedang pusaka itu, belenggu kaki tangan Hong Li terlepas.

Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara tertawa dari luar kamar, “Ha-ha-ha, dua orang isteriku, pengantinku, bersiaplah kalian. Suamimu datang, ha-ha-ha!”

Mendengar ini, Sin Hong ceput berbisik, “Hong Li, kau pura-pura masih terbelenggu dan tertotok....!” Dan secepat kilat Sin Hong sudah menyambar tubuh muridnya, sekali meloncat sudah keluar dari dalam kamar melalui jendela dan menutupkan daun jendela, lalu mengintai dari luar.

Daun pintu kamar terbuka dan masuklah seorang laki-laki berperut gendut berkepala botak yang pakaiannya serba merah. Diam-diam Hong Li memperhatikan pria itu dan biarpun ia tidak ingat lagi, namun ia merasa yakin bahwa tentu pria ini seorang bekas anak buah Ang I Mo-pang yang berhasil meloloskan diri dari pasukan pemerintah yang menyergap para pemberontak.

Ang I Siauw-mo kembali tertawa bergelak melihat dua orang pengantinnya masih rebah terlentang di atas pembaringan, yang seorang di pinggir sana dan seorang lagi di pinggir sini. Tadi dia sudah membayangkan betapa nyamannya kalau dia rebah di tengah-tengah, di antara mereka berdua!

“Ha-na-ha, isteri-isteriku yang manis! Sabar menanti kedatangan suami kalian yang mencinta. Heh-heh-heh, para pelayan, itu sungguh sungkan, menutupi tubuh kalian yang mulus dengan selimut. Tunggulah, sayang, bersabarlah sedikit lagi, suamimu segera akan menemani kalian bersenang-senang, ha-ha-ha-ha-ha....!” Dia lalu menghampiri pembaringan, agak terhuyung karena terlalu banyak minum. Hong Li mencium bau arak dan ia hampir muntah, bukan hanya karena bau itu, melainkan karena muak menyaksikan tingkah laku orang berperut gendut berkepala botak ini. Seluruh urat syaraf di tubuhnya sudah meregang semua, tubuhnya dipenuhi hawa sin-kang seperti hendak meledak, akan tetapi ia menahan diri. Si gendut botak itu menyingkap selimut dan melihat dua tubuh telanjang bulat itu, dia menyeringai dan mulutnya mengeluarkan bunyi berdecak dan mengeluarkan air liur menetes di ujung bibirnya. Akan tetapi ketika dia mengulur tangan hendak meraba tubuh Hong Li, tiba-tiba saja wanita ini bergerak memukul dengan kedua tangannya, tangan kiri dengan pengerahan tenaga Hui-yang Sin-kang menghantam kepala botak itu, dan tangan kanan menonjol ke arah dada.

“Desss.... prokkk....” Tubuh Ang I Siauw-mu terjengkang dan dia tidak sempat lagi mengeluarkan suara karena serangan yang amat dansyat itu telah membuat kepalanya pecah dan jantungnya tergetar rontok dan dia tewas seketika sebelum tubuhnya terbanting ke atas lantai!

Hong Li cepat menyambar pakaiannya dan mengenakan pakaiannya, kemudian ia membebaskan totokan gadis dusun itu yang juga segera mengenakan pakaian dengan seluruh tubuh menggigil dan tangan gemetar, mulut menahan tangis saking takutnya.

Sin Hong dan Yo Han melompat masuk ke dalam kamar melalui jendela. “Yo Han, kau bawa Enci ini keluar dari sini dan tunggu kami di hutan belakang sarang ini. Kami akan membasmi gerombolan penjahat,” kata Sin Hong kepada muridnya.

“Baik, Suhu. Mari, Enci....!” katanya dan Yo Han menggandeng tangan gadis dusun itu yang tidak banyak tingkah lagi, menurut saja dituntun oleh Yo Han keluar dari dalam kamar melalui jendela dan mereka berdua menghilang di dalam kegelapan malam.

“Hong Li, mari kita hajar mereka!” kata Sin Hong sambil memandang wanita muda itu dengan sinar mata berseri. Hong Li mengangguk dan tersenyum pula. Setelah terbebas dari ancaman malapetaka dan kini sudah berpakaian lagi, apa pula,di situ ada Sin Hong di sampingnya, segala sesuatu berubah baginya dan kegembiraannya, kegairahan hidupnya, kembali pulih seperti dahulu.

“Mari, Hong-ko!” Ia tidak ragu-ragu menyebut orang muda itu “kakanda”, bukan paman guru! Sin Hong tersenyum dan dia lalu mencengkeram baju di punggung mayat Ang I Siauw-mo, dan keluar dari dalam kamar itu melalui pintu.

Para anak buah perampok itu masih berpesta pora mabuk-mabukan di ruangan tengah yang luas, di antara mereka terdapat pula Liok Cin dan isterinya, dan empat orang anggauta wanita. Tiba-tiba mereka semua dikejutkan oleh sebuah benda merah yang melayang dari luar dan benda itu jatuh terbanting ke atas meja, membuat mangkok piring berhamburan dan ketika mereka melihat bahwa benda merah itu adalah Ang I Siauwmo, ketua mereka, yang sudah tewas, dengan kepala pecah, tentu saja mereka semua terkejut bukan main.

Pada saat itu, nampak dua sosok bayangan berkelebat dan gadis yang tadi ditawan dengan asap pembius dan akan dijadikan isteri oleh ketua mereka, kini telah berdiri di situ bersama seorang pria muda yang berpakaian serba putih! Hong Li yang sudah tidak sabar lagi lalu meloncat dan menyerang Liok Cin dan isterinya.

“Jahanam busuk, kalian tak layak hidup!” bentak Hong Li. Liok Cin dan isterinya terkejut bukan main. Mereka mencabut pedang dan berusaha melawan, akan tetapi gerakan mereka terlambat. Hong Li sudah mengirim tamparan-tamparan maut dengan kedua tangannya dan suami isteri jahat itu terpelanting, hanya sempat mengeluarkan keluhan pendek dan keduanya tewas dengan kepala retak-retak!

Gegerlah keadaan di situ. Sin Hong dan Hong Li mengamuk. Biarpun keduanya hanya bertangan kosong, namun anak buah penjahat itu mana mungkin dapat menahan amukan mereka? Tadinya, para penjahat itu masih mengandalkan jumlah banyak. Namun mereka kecelik karena dalam waktu singkat saja, separuh jumlah mereka sudah roboh dan tewas! Setiap kali tangan atau kaki Sin Hong dan Hong Li bergerak, tentu ada seorang yang roboh dan tewas. Melihat ini, sisa para penjahat melarikan diri dan tentu saja Sin Hong dan Hong Li tidak dapat merobohkan mereka semua karena mereka melarikan diri secara berpencaran. Namun, banyak yang dapat dikejar dan dirobohkan sehingga tidak kurang dari dua puluh orang penjahat malam itu roboh dan tewas di tangan dua orang pendekar yang sakti itu.

Karena semua sisa penjahat sudah lari entah ke mana, Sin Hong dan Hong Li berdiri di ruangan yang penuh mayat itu, saling pandang sampai beberapa lamanya. Akhirnya, Hong Li menundukkan mukanya.

“Hong-ko.... terima kasih.... engkau telah menyelamatkan aku....”

“Aih, Li-moi, perlukah di antara kita berterima kasih? Saling tolong antara kita sudah menjadi keharusan, bukan?

Apakah kalau engkau melihat aku berada dalam ancaman bahaya, engkau tidak akan mencoba untuk menolongku?”

“Tentu saja, dengan mempertaruhkan nyawaku, Hong-ko.”

Sin Hong menelan ludah untuk menekan keharuan hatinya. “Dan demikian pula aku, Li-moi. Nah, mari kita cari Yo Han.”

Keduanya meninggalkan tempat yang tidak menyenangkan itu, di mana terdapat banyak mayat bergelimpangan. Tanpa saling mengetahui, mereka masing-masing merasa begitu gembira, begitu bahagia, begitu lengkap rasanya hidup!

Yo Han menanti bersama gadis dusun itu di dalam hutan dan dia menyambut munculnya dua orang itu dengan gembira, “Apakah mereka telah terbasmi semua, Suhu dan Enci Hong Li?”

“Ada sebagian yang berhasil melarikan diri,” kata Sin Hong.

Hong Li memegang tangan gadis dusun itu. “Sekarang mari kami antar kau pulang ke dusunmu.”

Keluarga gadis itu menyambut kedatangan mereka pada keesokan harinya dengan tangis keharuan dan kegembiraan. Orang sedusun berduyun datang ketika mendengar bahwa gadis itu telah dapat diselamatkan orang, dan mereka ingin menjamu kepada Sin Hong dan Hong Li, juga Yo Han untuk menyatakan terima kasih, akan tetapi Sin Hong dan Hong Li menolak dan mereka segera berpamit, meninggalkan tempat itu.

***

“Enci Hong Li, bagaimana Enci sampai tertangkap oleh para penjahat itu? Enci hendak ke mana dan datang dari manakah?” tanya Yo Han ketika mereka menanti Sin Hong yang pergi berburu binatang hutan untuk mereka makan karena mereka sudah merasa lapar sekali. Mereka duduk di bawah pohon dan bercakap-cakap.

“Nanti dulu, Yo Han. Kauceritakan dulu bagaimana engkau dan gurumu dapat datang tepat pada waktunya dan dapat menyelamatkan aku dan gadis dusun itu. Kalian dari manakah dan bagaimana bisa sampai di sarang penjahat itu?” Hong Li balas bertanya karena ia pun ingin sekali mendengar tentang keadaan Sin Hong. Sejak pertemuan mereka di sarang penjahat, mengantarkan gadis dusun pulang ke rumahnya dan melakukan perjalanan bersama sampai di hutan itu di mana mereka merasa lapar dan Sin Hong pergi berburu binatang, mereka berdua tidak pernah saling menyinggung keadaan masing-masing semenjak pertemuan mereka yang terakhir kalinya, yaitu ketika Sin Hong bersama isterinya menjadi tamu dalam pesta pernikahan Hong Li dan Thio Hui Kong. Tentu saja di dalam hati meraka timbul pertanyaan besar dan keinginan tahu yang mendalam mengapa mereka, yang sudah beristeri dan bersuami, kini melakukan perjalanan bersama, tanpa isteri dan tanpa suami mereka. Akan tetapi, untuk bertanya, mereka merasa canggung dan malu, juga untuk menceritakan perceraian mereka, keduanya merasa sangat sungkan.

Kini Yo Han berdua saja dengan Hong Li dan inilah kesempatan baik baginya untuk mencari tahu tentang keadaan Sin Hong. Sebaliknya, Sin Hong sengaja meninggalkan Yo Han berdua saja dengan Hong Li, tentu saja mengharapkan murid itu dapat menjadi “wakil” untuk bicara dengan Hong Li, dan hal ini dimengerti sepenuhnya oleh Yo Han, anak yang cerdik itu.

“Enci Hong Li, suhu dan aku sedang merantau. Sudah hampir setahun kami merantau berdua....”

“Ehhh? Bukankah kalian tinggal bersama keluarga isteri gurumu, di perguruan Ngo-heng Bu-koan di kota Lu-jiang?”

Yo Han menarik napas panjang, sengaja mengulur waktu dalam jawabannya untuk menambah kesan. “Aihhh, agaknya Enci Hong Li belum tahu, ya? Suhu sudah lama sekali bercerai dari isterinya.”

“Hehhh....? Bercerai....?” Seruan Hong Li seperti sorakan, dan ia nampak terkejut sekali, akan tetapi tidak berduka. “Mengapa?”

Otak di kepala yang belum dewasa itu bekerja dan Yo Han melihat kesempatan baik untuk “mendekatkan” dua orang yang dia tahu saling mencinta itu. Beberapa kali dia mendengar suhunya mengigau memanggil-manggil nama Hong Li dalam tidurnya!

“Enci Hong Li, apa yang kuceritakan ini rahasia, dan jangan sekali-kali diberitahukan suhu. Tentu aku akan mendapat marah besar kalau sampai aku membocorkan rahasia suhu.”

“Baik, aku berjanji akan menyimpan rahasia itu. Ceritakanlah!”

“Begini, Enci Hong Li. Suhu sebetulnya terpaksa ketika menikah dengan Bhe Siang Cun itu. Suhu menyelamatkannya ketika ia akan diperkosa orang, dan suhu bahkan mengobatinya dari racun. Karena suhu pernah melihat ia telanjang, gadis itu mengancam akan membunuh diri kalau tidak dijodohkan dengan suhu karena ia merasa telah mendapat aib dan malu. Nah, terpaksa suhu menikah dengan wanita yang sama sekali tidak pernah dicintanya.”

“Hemmm, jadi itukah sebabnya mengapa semalam dia tidak berani masuk menolong aku dan gadis dusun itu?”

“Benar, Enci Hong Li. Suhu tidak berani lagi melihat wanita telanjang, takut kalau terjadi lagi kawin paksa itu. Akan tetapi suhu bilang, andaikata Enci Hong Li sendiri saja yang berada di kamar itu, tidak bersama gadis dusun itu, tentu suhu akan langsung masuk!”

“Ehhh?”

“Tentu saja! Apa Enci tidak tahu ataukah pura-pura tidak tahu? Sejak dahulu, suhu hanya mencinta Enci seorang. Tidak ada wanita lain di dunia ini yang dicinta suhu kecuali Enci Hong Li!”

Sepasang mata itu terbelalak dan menatap wajah Yo Han dengan basah. “Kau.... kau yakin benar akan hal itu?”

“Tentu saja, Enci. Suhu sendiri yang memberitahu kepadaku.”
“Kalau begitu, kenapa dulu dia tidak melamarku?”

“Suhu ingin sekali, akan tetapi tidak berani, Enci. Suhu tidak mempunyai keluarga, tidak mempunyai guru lagi dan tidak ada walinya. Apalagi Enci adalah puteri suhengnya, dan suhu seorang yang miskin dan sebatangkara, suhu tidak berani....”

“Hemmm, sudahlah, teruskan ceritamu. Kenapa dia bercerai dengan isterinya?”

“Sudah kukatakan tadi, suhu tidak cinta kepada isterinya, juga isterinya tidak cinta kepada suhu. Isterinya hanya ingin dinikah untuk menebus rasa aib dan malu. Akhirnya, isterinya itu bertemu dengan bekas kekasihnya dan mereka berhubungan kembali. Suhu melihat ini, lalu mengalah, memberikan isterinya kepada orang yang dicinta isterinya, dan bercerai dan kami pun pergi merantau.”

Hong Li termenung, pikirannya melayang jauh sekali.

“Enci....”

Hong Li terkejut dan kembali sadar dari lamunannya. “Sekarang ceritakan bagaimana dapat datang ke sarang penjahat itu.”

“Kami lewat dusun tempat tinggal gadis yang diculik. Suhu mendengar bahwa ada gadis diculik penjahat, maka suhu lalu melakukan penyelidikan dan akhirnya dapat menemukan sarang penjahat itu, sama sekali tidak pernah mimpi akan bertemu dengan Enci di sana. Nah, demikianlah ceritanya, Enci Hong Li. Sekarang, harap Enci suka menceritakan tentang diri Enci. Bagaimana Enci dapat berada di sarang penjahat itu, bahkan menjadi tawanan? Rasanya amat mustahil Enci sampai dapat tertawan oleh mereka, mengingat ilmu kepandaian Enci yang sangat tinggi!”

Hong Li menarik napas panjang. “Aku tertipu, Yo Han.” Lalu ia menceritakan betapa ia hendak menyelidiki penjahat yang merampas lima ekor kerbau milik petani dusun, dan betapa ia tertipu oleh Liok Cin dan isterinya, anak buah penjahat sehingga ia terperangkap dan pingsan oleh asap pembius.

“Untung suhumu datang tepat pada waktunya, Yo Han. Aku berterima kasih sekali padanya.”

“Tapi, Enci Hong Li. Bagaimana Enci melakukan perjalanan sendirian saja, tanpa.... ah, maaf, tanpa suami Enci Hong Li?”

Hong Li menundukkan mukanya yang berubah merah. Memang tidak sepantasnya kalau ia menceritakan perceraiannya kepada seorang bocah, akan tetapi bocah ini adalah murid Sin Hong dan tentu dia akan menyampaikannya kepada Sin Hong!

“Aku aku telah bercerai!”
“Wahhhhh....!” Yo Han meloncat dan bersorak.
“Ihhh! Apa kau gila? Kenapa malah bersorak?”

Yo Han duduk kembali di atas rumput. “Maaf, Enci. Aku bersorak karena heran. Kenapa sama benar dengan keadaan suhu? Maaf, dapatkah Enci menceritakan keadaan Enci, mengapa bercerai? Suhu tentu akan senang sekali mendengarnya.”

Kembali wajah Hong Li menjadi merah, akan tetapi ia menekan perasaannya. Bagaimanapun juga, Yo Han ini masih kecil dan belum mengerti “urusan”.

“Seperti juga suhumu, aku menikah tanpa rasa cinta. Setelah mendengar bahwa gurumu menikah, aku lalu dinikahkan dengan putera Jaksa Thio di Pao-teng. Akan tetapi, pernikahan itu gagal. Kami tidak saling cocok, dan akhirnya bercekcok terus dan aku minta cerai. Lalu aku melakukan perjalanan merantau untuk menghibur diri, sampai aku terperangkap oleh penjahat itu.”

Yo Han mengangguk-angguk. “Sungguh mati, sama benar nasib Enci dan nasib suhu. Agaknya suhu juga merasakan hal ini dalam batinnya, maka dia pernah mengatakan kepadaku bahwa suhu tidak akan menikah lagi kecuali dengan satusatunya wanita yang dicintanya di dunia ini, yaitu Enci Hong Li. Dan suhu bilang bahwa....” Yo Han diam dan menoleh ke sana-sini seolah-olah yang akan diucapkan itu rahasia besar dan dia takut terdengar orang lain.

“Dia bilang apa? Katakanlah, Yo Han!” Hong Li tentu saja ingin tahu sekali dan mendesaknya.

“Suhu bilang bahwa suhu akan mencukur rambut kepalanya dan masuk menjadi hwesio kalau dalam tahun ini dia tidak dapat bertemu dan menjadi suami Enci Hong Li.”

“Ahhh....!” Hong Li tak dapat menahan perasaannya dan ia pun terisak menangis!
“Enci....! Kenapa.... kau menangis?”

Hong Li menghapus air matanya. “Yo Han, katakan kepada suhumu.... jangan.... jangan dia menjadi hwesio....” Yo Han mengangguk dan pada saat itu, Sin Hong muncul membawa seekor kijang yang sudah mati, dirobohkannya kijang itu dengan sambitan batu yang mengenai kepalanya.

Hong Li sudah dapat menguasai dirinya lagi dan kini Hong Li dan Yo Han sibuk menguliti dan menyayat daging kijang. Aku akan mengumpulkan kayu bakar!” kata Sin Hong yang melangkah pergi.

“Mari kubantu, Suhu!” kata Yo Han sambil melompat dan lari mengejar, meninggalkan Hong Li seorang diri melanjutkan perjalanannya.

***

“Suhu, tadi teecu bicara dengan enci Hong Li.” kata Yo Han sambil memunguti ranting-ranting kayu kering.

“Hemmm....?” Sin Hong pura-pura tidak memperhatikan. Bagaimanapun juga, dia merasa malu untuk memperlihatkan perhatiannya terhadap Hong Li kepada muridnya yang cerdik itu.

“Tahukah Suhu bahwa enci Hong Li telah bercerai dari suaminya?”

“Brakkk....!” Sebongkok kayu yang sudah dikumpulkan di tangannya, kini terlepas dan kayu kering itu jatuh ke depan kakinya.

“Ehhh? Benarkah....?” Sin Hong cepat mengambil lagi kayu itu untuk menutupi kekagetan dan kegembiraannya mendengar berita itu. Yo Han tersenyum sendiri.

“Benar, Suhu. Enci Hong Li menikah karena desakan orang tua dan karena enci Hong Li mendengar Suhu sudah menikah dengan gadis lain. Akan tetapi karena pernikahan itu tanpa cinta, mereka hidup menderita, selalu cekcok dan akhirnya enci Hong Li minta cerai dari suaminya. Dan ia lalu pergi merantau untuk menghibur dirinya dan sampai bertemu dengan Suhu di sarang penjahat itu.” Yo Han menceritakan dan mengulang kembali apa yang didengarnya dari pura-pura tidak memperhatikan, namun Sin Hong membuka kedua telinganya lebar-lebar dan menangkap semua cerita muridnya, tidak ada sebuah kata pun terlewat.

“Apakah.... apakah ia tidak bilang bahwa ia akan menikah lagi?”

“Ia memang mengatakan isi hatinya itu, Suhu, akan tetapi itu rahasia! Teecu mana berani membuka rahasia hatinya kepada orang lain? Bukankah Suhu mengajarkan agar orang dapat menyimpan rahasia orang lain?”

“Hushhh! Aku bukan orang lain! Aku gurumu mengerti? Hayo katakan, aku perintahkan engkau untuk mengatakan, apa yang diucakan oleh Hong Li kepadamu!”

Yo Han tersenyum dan berdiri tegak. “Siap, Suhu! Enci Hong Li mengatakan bahwa ia hanya mencinta seorang pria saja di dunia ini, yaitu Suhu sendiri! Dulu ia menanti lamaran Suhu, akan tetapi Suhu malah menikah dengan wanita lain. Sekarang, ia hanya mengharapkan agar dipinang oleh Suhu. Ia hanya mau menikah dengan Suhu, tidak dengan orang lain dan katanya lagi....” Yo Han berhenti dan memandang ke kanan kiri.

“Ya? Lalu bagaimana? Katakanlah, tidak ada orang lain yang mendengarkan di sini!”

“Kata enci Hong Li, kalau Suhu tidak meminangnya untuk menjadi isteri Suhu, kalau Suhu sampai berpisah lagi dengan enci Hong Li tanpa pinangan itu, maka enci Hong Li tidak akan pulang.”

“Tidak pulang? Lalu ke mana?”
“Ia mau langsung saja pergi ke kuil dan mencukur gundul rambut kepalanya!”

“Mencukur kepalanya?”
“Ya, untuk menjadi nikouw (pendeta wanita)!”

“Ahhh....!” Kembali kayu-kayu ranting itu terlepas dan runtuh. “Kau kumpulkan dan bawa kayu ini kesana. Aku mau bicara dengan Hong Li!” Dan Sin Hong berlari-lari meninggalkan muridnya! Yo Han berdiri dan tertawa-tawa seorang diri dengan penuh kebahagiaan lalu mengumpulkan kayu-kayu kering, tidak tergesa-gesa, bahkan berlambat-lambat!

Sin Hong berlari seperti terbang dan dia mendapatkan Hong Li sudah selesai memotong-motong daging kijang. Melihat dia datang dengan tangan kosong, Hong Li membelalakkan kedua matanya.

“Eh, mana kayu keringnya?” tanyanya sambil tersenyum. Sin Hong berdiri terpesona. Betapa cantik jelitanya Hong Li, pikirnya, matanya yang lebar indah itu berseri, mulutnya menahan senyum.

“Hong Li.... aku.... aku mau bicara denganmu....” kata Sin Hong gagap sambil melangkah maju menghampiri.

Hong Li bangkit berdiri. “Tentu saja boleh, Hong-koko. Mau bicara apakah?”

Mereka berdiri berhadapan, dalam jarak dekat, saling pandang dan kembali dua pasang mata bertaut, melekat dan ada getaran aneh yang membuat dada mereka seperti diamuk badai. “Li-moi, aku.... aku.... meminangmu untuk menjadi isteriku!”

Sepasang mata itu semakin terbelalak. Sungguhpun ucapan itu merupakan harapannya sejak dahulu, namun begitu tiba-tiba datangnya dan ia benar terkejut bukan main. Wajahnya berubah pucat, lalu menjadi merah sekali dan ia tidak tahu harus berkata apa.

“Li-moi, maafkan aku.... akan tetapi, aku.... aku cinta padamu, Li-moi, aku tidak tahan untuk hidup jauh darimu lagi. Aku.... aku ingin menjadi suamimu, selama hidup berada di sampingmu, kau.... kau.... sudikah kau menjadi isteriku, Hong Li....?”

Sepasang mata yang terbelalak lebar itu memandang wajah Sin Hong tanpa berkedip, lalu perlahan-lahan mata itu menjadi basah dan air matanya bercucuran. Hong Li menangis!

“Li-moi, kau.... kau menangis....?” Sin Hong melangkah maju, akan tetapi tidak berani menyentuh, hatinya bingung sekali melihat wanita itu menangis.

Hong Li mengangkat mukanya dan Sin Hong semakin heran. Muka itu seperti tersenyum bahagia. Akan tetapi air mata itu bercucuran! “Hong-ko.... be.... benarkah engkau cinta padaku? Benarkah engkau ingin menjadi suamiku? Ahhh, Hong-ko....!” Mereka saling rangkul dan dengan penuh kemesraan, penuh kasih sayang, penuh kerinduan yang sudah menahun, Sin Hong mengangkat muka itu, muka yang basah air mata dan dia pun menciumi muka itu, mengecup mata, hidung, mulut dengan sepenuh cinta hatinya. Tiada puasnya dia mencium muka Hong Li, bagaikan turunnya hujan setelah langit mendung gelap dan tebal, dan Hong Li menerimanya dengan pasrah, dengan bahagia, kadang-kadang membalas dengan malu-malu, bagaikan setangkai bunga yang menjadi segar tersiram air hujan.

Setelah melepaskan kerinduan hati masing-masing, sampai kedua pasang kaki mereka gemetar. Sin Hong menarik tubuh kekasihnya itu, dipangkunya di atas rumput dan dengan sikap manja Hong Li menyandarkan mukanya di atas dada Sin Hong.

“Hong-koko.... “
“Hemmm.... ?”

“Kau.... kau jangan menjadi.... hwesio....!”
“Jadi hwesio?”

“Katanya, kalau aku tidak mau menjadi isterimu, engkau akan menjadi hwesio....?”

“Kata siapa?”
“Yo Han!”

“Hemmm, tidak, Sayang. Engkau sudah menerima pinanganku, bukan? Kalau engkau menolak, bukan hanya menjadi hwesio, bahkan aku menjadi gila. Dan engkau pun jangan masuk kuil mencukur rambutmu yang indah ini dan menjadi nikouw!”

“Eh? Siapa jadi nikouw?”

“Katanya, kalau aku tidak meminangmu, engkau akan mencukur rambutmu dan menjadi nikouw?”

“Siapa bilang?”
“Yo Han!”

Keduanya tertawa dan kembali mulut mereka saling bertemu dalam sebuah ciuman yang menumpahkan seluruh curahan kasih sayang dan kerinduan hati mereka. Baru terasa oleh mereka betapa selama ini mereka kehilangan kebahagiaan mereka, kehilangan orang yang mereka cinta dan rindukan.

Yo Han datang perlahan-lahan. Melihat dia, Hong Li hendak menjauhkan diri dari kekasihnya, akan tetapi Sin Hong memeluknya makin erat, lalu memanggil, “Yo Han ke sini kau!”

“Ya, Suhu “ Dengan sikap takut-takut Yo Han melangkah maju mendekat dan setelah menurunkan sebongkok besar kayu kering, dia lalu menghampiri gurunya dan menjatuhkan diri berlutut karena gurunya duduk di atas tanah berumput.

“Kau bocah pembohong besar!” Sin Hong membentak. “Apa yang telah kaukatakan kepada Hong Li?”

“Mengatakan apa, Suhu?”
“Tentang menjadi hwesio!”

“Dan apa yang kaukatakan kepada suhumu tentang menjadi nikouw, Yo Han?” Hong Li juga bertanya.

Yo Han menjadi bingung dan ketakutan. Lalu dia memberi hormat sambil berlutut. “Teecu.... teecu minta maaf, teecu bersalah.... teecu siap dihukum....”

“Maju ke sini kau!” bentak Sin Hong.

Yo Han merangkak maju dan setelah dekat, Sin Hong lalu merangkulnya. Juga Hong Li merangkulnya, bahkan mencium pipi anak itu. Keduanya tertawa-tawa sehingga Yo Han membelalakkan matanya dan ikut tertawa gembira.

“Kau.... kau anak nakal.... kami berterima kasih kepadamu, Yo Han. Biarlah aku yang mintakan ampun kepada suhumu untuk kesalahanmu.” kata Hong Li.

Yo Han memberi hormat. “Terima kasih.... terima kasih, Subo!” Disebut subo, Hong Li tertawa lagi dan ketiganya tertawa gembira.

“Aih, perutku lapar sekali!” Sin Hong berkata.
“Aku juga!” kata Hong Li.

“Teecu juga!” sambung Yo Han dan mereka bertiga segera membuat api unggun untuk memanggang daging kijang. Api unggun bernyala dan berkobar, terang dan indah, seterang dan seindah masa depan mereka.

Sampai di sini, pengarang menghentikan Kisah Si Bangau Putih ini dengan harapan semoga dapat menghibur hati para pembacanya dan mengandung manfaat walau hanya sekelumit. Sampai jumpa di lain kisah!

Lereng Lawu, Juli, 1982.

T A M A T