Jodoh Rajawali -10 | Kho Ping Hoo



Buku 10

Wajah koksu itu sudah menjadi merah karena dia marah sekali melihat kekerasan hati bekas jenderal ini. Akan tetapi Liong Bian Cu memberi isyarat kepadanya dan orang muda yang cerdik ini lalu berkata, “Jenderal Kao Liang, sikapmu yang tegas dan gagah itu amat mengagumkan hatiku. Akan tetapi engkau lupa bahwa setiap perbuatan itu tentu ada dasarnya. Setiap pemberontakan ada pula yang menjadi dasarnya. Ketika mendiang ayahku memberontak terhadap kaisar, apakah dasarnya? Karena kaisar terlalu lemah dan membiarkan para pembesar melakukan korupsi dan maksiat besarbesaran, memeras rakyat. Ayah memberontak dan gagal, hal itu sudah biasa dan tidak perlu disesalkan. Yang patut disesalkan adalah betapa kelaliman berlangsung terus. Engkau, yang ketika itu menjadi panglima, bahkan lalu diangkat menjadi panglima besar, kini dapat melihat bukti kebenaran dasar yang membuat ayahku memberontak, Jenderal Kao. Lihat betapa lalimnya kaisar! Betapa kaisar memberi hati kepada para thaikam dan pembesar-pembesar lalim dan jahat, sehingga banyak orang-orang yang benar-benar merupakan pahlawan seperti engkau, malah disingkirkan dan dipecat. Orang-orang yang penjilat dan pemeras rakyat, tukang korupsi besar malah dipakai dan memperoleh kekuasaan. Engkau yang dipecat dan diusir secara halus oleh kaisar membuktikan bahwa engkau bukan termasuk pembesar penjilat dan korup. Engkau tidak merasa sakit hati oleh tindakan lalim kaisar itu terhadapmu, itu membuktikan bahwa engkau berjiwa pahlawan yang setia. Akan tetapi, sebaliknya, engkau membiarkan kaisar dan kaki tangannya melakukan kelaliman yang menyengsarakan rakyat, hal itu berarti bahwa engkau pun membantu kelaliman mereka. Bukankah orang yang tahu kejahatan dan tinggal memeluk tangan saja berarti membantu kejahatan itu pula?”

Kata-kata Liong Bian Cu merupakan ujung pedang tajam yang menusuk-nusuk hati bekas jenderal itu, membuat dia menundukkan kepalanya dan mukanya menjadi agak pucat. Harus diakui bahwa di dalam kata-kata itu terkandung kebenaran yang sukar untuk disangkal. Memang kaisar amat lemah, kaisar yang sudah terlalu tua dan sakit-sakitan itu seakan-akan menyerahkan kendali pemerintahan kepada para thaikam yang korup dan lalim, dan memang kelaliman akan terus terjadi dan berlangsung tanpa ada yang berani menentang.

“Saya.... saya tidak mungkin mau memberontak, lebih baik mati sekeluarga daripada memberontak....” Akhirnya dia berkata dengan lirih dan memejamkan matanya.

“Ayah....!” Kok Tiong berkata dengan suara penuh duka dan dua butir air mata jatuh ke atas pipinya. Membayangkan dia dan isterinya mati masih belum apa-apa, akan tetapi membayangkan ibunya dibunuh, dan dua orang anaknya, benar-benar membuat dia hampir tidak kuat menahan.

“Hemmm, lihat betapa lemahnya jenderal yang terkenal ini! Lihat betapa kejam hati bekas panglima yang disanjung-sanjung dan dipuji-puji sebagai pahlawan ini! Membiarkan keluarganya terancam kematian padahal dia dapat menyelamatkan mereka, membiarkan rakyat tertekan kesengsaraan padahal dia dapat pula berusaha untuk mengubah nasib mereka! Betapa lemahnya, dan hanya mementingkan diri sendiri, kehormatan dan namanya sendiri saja!” kata Liong Bian Cu berkata lagi.

“Brakkk!” Jenderal Kao menggebrak meja sampai tergetar dan cawan mangkok piring mencelat berkerontangan. “Cukup!” bentaknya. “Baiklah, aku mau membantu kalian, akan tetapi hanya untuk memimpin lembah ini yang akan dibangun sebagai benteng. Aku mau memimpin dan mengatur agar benteng ini tidak dapat diduduki oleh musuh manapun, akan tetapi hanya sekian saja, dan biar kalian mengancam bagaimanapun, jangan harap dapat memaksaku memimpin pasukan menyerbu kerajaan!”

Liong Bian Cu tersenyum dan cepat bangkit berdiri dan menjura. “Terima kasih, Goanswe. Siapa yang mengharapkan engkau menyerbu ke kota raja? Asal engkau dapat membuat lembah ini menjadi benteng yang kuat, sudah cukuplah. Berjanjilah bahwa engkau akan mempertahankan benteng ini dengan sekuat tenaga dan seluruh jiwa ragamu!”

“Hemmm, Liong-kongcu, lebih dulu berjanjilah demi nama nenek moyangmu bahwa engkau akan menjamin keselamatan keluargaku dan Puteri Bhutan!”

“Baik, aku berjanji akan menjamin keselamatan keluargamu dan Puteri Bhutan, demi nama nenek moyangku!” Liong Bian Cu berkata dengan sikap sungguhsungguh.

“Dan aku berjanji akan mempertahankan lembah ini dengan jiwa ragaku, demi nama keluarga Kao!” kata bekas jenderal itu.

Hidangan dan minuman ditambah dan mereka merayakan persekutuan itu. Untuk melupakan perasaannya yang tertindih, bekas jenderal itu minum arak tanpa batas sampai akhirnya dia mabuk dan diantar oleh pengawal memasuki kamar keluarganya, bersama Kok Tiong. Terjadilah pertemuan yang mengharukan dan hujan tangis terjadi.

Demikianlah, mulai hari itu, Kao Liang dengan sungguh hati lalu membangun lembah itu menjadi sebuah benteng yang kokoh kuat. Pelaksanaannya dibantu oleh tukang-tukang dan tenaga dari Gubernur Ho-nan dan semua rencana dan gambar yang dibuat oleh Jenderal Kao dilaksanakan sehingga tempat itu menjadi sebuah benteng yang sukar sekali ditembus musuh. Sungai yang mengelilingi lembah itu diperdalam dan diperlebar, ditambah air yang mengalir dari atas bukit ke dalam lembah. Di sekeliling lembah dibangun tembok benteng yang tebal dan kokoh, dan dibuat pula banyak tempat-tempat jebakan yang amat berbahaya.

Jenderal Kao dan seluruh keluarganya hidup bebas di tempat itu, bersama Hwee Li dan Puteri Syanti Dewi yang seperti telah bergabung menjadi anggauta keluarga jenderal itu. Akan tetapi biarpun mereka kelihatan bebas, sesungguhnya mereka sama sekali tidak bebas! Jenderal Kao dan Kok Tiong memang dapat pergi ke mana saja, akan tetapi selalu di situ terdapat anggauta keluarga mereka menjadi sandera dan tidaklah mungkin untuk mencoba-coba meloloskan diri beserta seluruh keluarga yang terdiri dari wanita-wanita dan anak-anak itu! Dalam waktu beberapa pekan saja, rambut Jenderal Kao sudah berubah menjadi putih semua. Hal ini terjadi karena memang batinnya amat tertekan dan dia melakukan semua itu demi menyelamatkan keluarganya. Di dalam hatinya, dia merasa malu sekali kepada mendiang ayahnya, kakeknya dan nenek moyangnya yang turun-temurun merupakan panglima-panglima besar yang setia.

***

“Satu-satunya sumber yang baik dan dapat dipercaya adalah Pangeran Yung Hwa,” kata Ceng Ceng kepada suaminya setelah mereka tiba di kota raja dan bermalam di sebuah rumah penginapan. “Kalau masih ada Puteri Milana yang terhitung bibi tiriku pula, tentu beliau dapat membantu. Akan tetapi kini Puteri Milana sudah tidak ada di kota raja, tidak berada di istana, telah pergi entah ke mana semenjak lima tahun yang lalu, maka satu-satunya orang di lingkungan istana yang dapat kupercaya adalah Pangeran Yung Hwa.”

Kao Kok Cu menggunakan tangan kanan untuk meraba dagunya, kebiasaannya kalau dia sedang berpikir, matanya memandang kepada isterinya penuh selidik. “Akan tetapi, bukankah dahulu pernah dia jatuh cinta kepadamu seperti yang pernah kauceritakan kepadaku? Dan kau sekarang hendak menemuinya?”

Ceng Ceng tersenyum, mendekati dan merangkul leher suaminya, dengan sikap manja. “Ihhh! Jangan kau bilang bahwa engkau cemburu!”

Kao Kok Cu tertawa dan mecium isterinya. Semenjak putera mereka hilang, hanya kalau dia berada di dekat isterinya sajalah maka hatinya terhibur dan sejenak dia atau mereka, dapat melupakan kedukaan yang menindih hati. “Engkau salah duga, isteriku. Kau tahu betapa aku mencintamu, betapa kita saling mencinta, dan cinta adalah kepercayaan. Seujung rambut pun tidak ada penyakit cemburu menyentuh hatiku, aku hanya bertanya karena agaknya tidak tepatlah kalau engkau mencari keterangan dari seorang pangeran yang telah patah hati terhadap dirimu. Pertemuan itu selain hanya akan menyakitkan hatinya, membuat luka kambuh, juga mana mungkin dia mau membantu kita?”

“Engkau belum mengenal siapa dia, suamiku. Pangeran Yung Hwa bukanlah sembarang pangeran yang mabuk kekuasaan dan rusak oleh keangkuhan seperti biasanya para muda bangsawan. Sama sekali bukan. Dia menuruni watak gagah, seperti juga Bibi Milana, hanya bedanya, pangeran itu tidak mempelajari ilmu silat.” Ceng Ceng lalu menceritakan sifat-sifat dan watak pangeran yang pernah jatuh cinta kepadanya itu (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali). Setelah mendengar penuturan Ceng Ceng, akhirnya Kok Cu percaya juga bahwa mungkin dari pangeran itu isterinya akan dapat menyelidiki rahasia dari sernua malapetaka yang menimpa keluarga ayahnya.

“Selain menyelidiki rahasia itu, juga aku ingin sekali menyampaikan rasa penyesalanku kepada kaisar melalui Pangeran Yung Hwa atas peristiwa dipecatnya ayahmu.” Demikian Ceng Ceng berkata dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah mencari istana Pangeran Yung Hwa dan menghadap pangeran itu.

Pangeran Yung Hwa menyambut kedatangan Ceng Ceng yang mengunjunginya itu dengan perasaan heran dan gembira. Begitu melihat siapa wanita yang menghadap dan memberi hormat kepadanya, dia segera teringat kepada wanita perkasa itu.

“Ahhh.... engkau....?” serunya dan mempersilakan nyonya muda itu duduk di atas kursi di depannya. “Aku telah mendengar bahwa engkau menjadi mantu Jenderal Kao Liang! Bagaimana keadaanmu? Kuharap baik-baik saja dan berbahagia.”

Melihat sikap pangeran itu yang ramah dan jujur, Ceng Ceng merasa terharu. “Terima kasih atas kebaikan dan perhatian Paduka, Pangeran. Sesungguhnya saya cukup berbahagia kalau saja tidak timbul peristiwa-peristiwa yang menimpa keluarga kami, merupakan bencana yang didatangkan dari istana.”

Pangeran Yung Hwa mengerutkan alisnya. “Ehhh? Apa maksudmu? Istana mendatangkan bencana terhadap keluargamu?”

Ceng Ceng lalu menceritakan tentang dipecatnya ayah mertuanya secara halus oleh kaisar. Kemudian diceritakannya pula betapa ketika ayah mertuanya beserta seluruh keluarga melakukan perjalanan menuju ke kampung halaman, di tengah jalan diganggu oleh berbagai golongan dan di antara gerombolan yang mengganggu itu terdapat pengawal-pengawal istana! Kemudian diceritakan pula akan hilangnya puteranya yang diduga ada hubungannya dengan malapetaka yang menimpa keluarga Jenderal Kao Liang.

“Coba Paduka pikir, siapa lagi yang menyuruh pengawal-pengawal itu menghadang dan mengganggu keluarga Kao? Bukankah semua itu amat mencurigakan sekali?”

Pangeran Yung Hwa meraba dahinya dan berpikir, lalu dia memandang wanita yang pernah dicintanya itu, bertanya, “Nyonya muda yang baik, apa maksudmu mengunjungi aku dan menceritakan semua ini kepadaku?”

Ceng Ceng membalas pandang mata itu dan berkata terus terang, “Saya dan suami saya menduga keras bahwa kunci semua peristiwa itu berada di istana, oleh karena itu kami datang ke kota raja untuk melakukan penyelidikan. Mengingat bahwa Padukalah satu-satunya orang yang saya percaya sebagai seorang keluarga istana yang adil dan bijaksana, maka saya sengaja menghadap untuk mohon pertolongan Paduka sehingga saya dapat mengetahui ke mana putera saya dibawa dan di mana pula adanya keluarga Kao yang terculik.”

Pangeran Yung Hwa menarik napas panjang. “Aihhhhh.... kalau saja aku tahu, tentu sekarang juga aku akan turun tangan membebaskan mereka dan mengembalikan puteramu. Akan tetapi, bagaimana mungkin aku dapat menyelidikinya? Harus kuakui bahwa keadaan kaisar amat lemah, sudah tua dan tidak begitu memperhatikan keadaan para pembantunya yang banyak melakukan hal-hal yang tidak baik. Aku memang mendengar bahwa Jenderal Kao mengundurkan diri, akan tetapi kusangka tadinya bahwa hal itu terjadi secara wajar sebagaimana biasanya pembesar yang sudah tua dan mengundurkan diri. Kelemahan kaisar memang membuat para pembesar yang tidak jujur untuk bergerak demi keuntungan diri pribadi sehingga terjadi banyak hal yang buruk. Biarpun aku tidak dapat membantumu secara langsung, akan tetapi munculmu di sini menggerakkan hatiku dan mendorongku untuk bertindak, Nyonya Kao. Hari ini juga aku akan menemui kakakku, Pangeran Mahkota, karena hanya beliau saja yang akan dapat turun tangan membersihkan segala kekotoran yang menodai istana. Mudah-mudahan saja dengan pembersihan yang pasti akan dilakukan oleh kakakku, Pangeran Yung Ceng, urusanmu itu akan terbongkar pula dan engkau dapat menemukan kembali puteramu dan keluarga Kao yang hilang. Hanya inilah yang dapat kulakukan.”

Tentu saja Ceng Ceng tidak merasa sangat puas dengan hasil ini akan tetapi dia pun maklum bahwa Pangeran Yung Hwa tidak berdaya menolongnya karena memang tidak tahu di mana adanya puteranya atau keluarganya, tidak tahu pula siapa biang keladinya. Sudah jelas bahwa bukan kaisar yang melakukan tindakan itu, melainkan pembesar lalim yang amat banyak terdapat di waktu itu. Terpaksa dia lalu becpamit setelah menghaturkan terima kasih, pergi meninggalkan istana Pangeran Yung Hwa untuk menemui suaminya dan menceritakan semua hasil pertemuannya dengan pangeran itu.

Sementara itu, Pangeran Yung Hwa juga tidak lama kemudian meninggalkan istananya, dengan menyamar pangeran ini lalu melakukan perjalanan menuju ke Kuil Siauw-lim-si untuk menemui kakaknya, yaitu Pangeran Yung Ceng. Hal ini tentu menimbulkan perasaan heran bagi yang belum mengetahuinya. Mengapa pangeran itu mencari kakaknya, Pangeran Yung Ceng atau Pangeran Mahkota, ke kuil Siauw-lim?

Tidaklah mengherankan kalau diketahui bahwa Pangeran Yung Ceng memang menjadi murid Siauw-lim-pai! Pangeran ini sejak kecil memang suka akan ilmu silat, apalagi setelah dia diangkat menjadi Pangeran Mahkota, dia makin tekun mempelajari ilmu silat karena dia berpendapat bahwa untuk dapat menjadi kaisar yang baik, selain harus ahli dalam soal-soal bun yang meliputi juga soal-soal tata negara, harus mahir pula dalam bu atau ilmu silat, juga ilmu perang. Maka dia lalu masuk ke Siauw-lim-si dan menjadi murid kuil yang juga menjadi partai persilatan yang amat besar dan telah terkenal sebagai sumber ilmu silat yang tinggi itu.

Pangeran Yung Hwa menjumpai kakaknya dan menceritakan akan segala yang terjadi selama kakaknya tenggelam dalam pelajaran ilmu silat di kuil itu, akan penyelewengan para pembesar. Pangeran Yung Hwa menceritakan tentang pemecatan-pemecatan yang dilakukan kaisar karena bujukan pembesar-pembesar penjilat, pemecatan yang dilakukan terhadap pemimpin-pemimpin yang setia, jujur dan pandai, bahkan menceritakan betapa Jenderal Kao Liang juga dipecat. Kemudian, Pangeran Yung Hwa menceritakan pengalamannya ketika dia hampir tewas di Ho-nan.

“Kenapa kau tidak adukan semua itu kepada kaisar?” Pangeran Yung Ceng menegur adiknya. “Gubernur Ho-nan yang memberontak itu harus ditindak!”

Pangeran Yung Hwa menarik napas panjang. “Itulah sebabnya mengapa aku terpaksa menyusulmu ke sini. Kaisar sama sekali tidak mau mendengar laporanku, bahkan marah-marah dan kalau bukan aku yang melapor, agaknya tentu sudah dihukum. Betapa banyaknya pembesar jujur yang sudah mencoba untuk menyadarkan beliau, akan tetapi malah menerima hukuman. Pengaruh para thaikam (pembesar kebiri) amat besar dan kaisar amat lemah, seperti bersikap masa bodoh.”

“Hemmm, sampai sekian jauhnya keadaan buruk itu?” tanya Pangeran Yung Ceng.

“Malah lebih lagi,” kata Yung Hwa. “Semenjak kakak kita, Puteri Milana tidak ada, dan engkau sendiri pergi memperdalam ilmu silat di sini, tidak ada lagi orang kuat di dalam istana. Aku sendiri biarpun telah terbebas dari cengkeraman Gubernur Ho-nan dan berkalikali tertolong oleh orang-orang gagah, akan tetapi tidak pernah terlepas dari pengawasan mereka. Bahkan aku percaya bahwa ketika aku menyamar dan datang ke sini ada orang-orang yang diam-diam membayangiku.”

“Ahhh! Sampai begitu hebat?” Pangeran Yung Ceng mengepal tinjunya. “Yung Hwa, wajah kita mirip sekali seperti saudara kembar, maka biarlah aku memakai pakaianmu dan keluar lebih dulu dari kuil ini. Engkau boleh menyusul besok dan dikawal oleh murid-murid Siauw-lim-pai. Hendak kulihat sendiri sampai di mana keberanian pengkhianat-pengkhianat itu!”

Dengan marah sekali Pangeran Mahkota Yung Ceng lalu mengenakan pakaian adiknya, setelah berpamit kepada para guru di kuil itu dan memesan agar besok adiknya dikawal ke kota raja, dia lalu meninggalkan kuil. Memang wajah Pangeran Yung Ceng mirip sekali dengan wajah Pangeran Yung Hwa. Tentu saja, kalau mereka berdua berbuka pakaian, nampak perbedaan yang menyolok karena kalau tubuh Pangeran Yung Hwa halus lemah lembut, sebaliknya tubuh Pangeran Yung Ceng yang sejak kecil gemar berolah raga itu kokoh dan kekar. Akan tetapi, kalau tubuh mereka disembunyikan dalam pakaian dari luar, nampak serupa, bertubuh sedang dan berwajah tampan.

Hari telah senja ketika Pangeran Yung Ceng memasuki kota Thian-cin di sebelah selatan kota raja. Karena menyamar sebagai adiknya, pangeran ini tidak mempergunakan kepandaiannya untuk berlari cepat dan dia sengaja melakukan perjalanan lambat untuk melihat-lihat keadaan. Banyak sudah dia mendengar percakapan di antara rakyat tentang penyelewengan para petugas, dan dia pun mendengar berita-berita tentang sikap memberontak dari para pembesar di Ho-nan yang tentu saja mencontoh sikap gubernur mereka. Dia juga tahu bahwa diam-diam dia selalu dibayangi orang seperti yang diceritakan oleh adiknya.

Ketika malam hari itu Pangeran Yung Ceng memasuki sebuah restoran di kota Thian-cin, dia tahu bahwa ada lima orang laki-laki yang bertubuh kokoh kuat dan gerak-geriknya menunjukkan bahwa mereka adalah jagoan-jagoan, diam-diam membayanginya dan mereka pun masuk pula di restoran itu, mengambil tempat duduk di meja yang berdekatan dengan meja pangeran itu. Restoran itu tidak begitu ramai dan banyak kursi yang kosong.

Ketika pangeran itu memesan masakan kepada seorang pelayan, tiba-tiba seorang di antara lima orang yang duduk di meja yang berdekatan itu bangkit berdiri dan menghampiri Pangeran Yung Ceng, menjura dan berkata, “Harap maafkan! Kalau tidak salah lihat, bukankah Kongcu datang dari kota raja?”

Yung Ceng memandang dengan sikap tak acuh, lalu menggelengkan kepalanya dan menjawab, “Bukan, saya memang hendak pergi ke kota raja, akan tetapi saya bukan dari kota raja, saya orang dari selatan.”

Orang itu berkata “maaf” sambil tersenyum, lalu kembali duduk di tempat teman-temannya. Percakapan pendek itu disaksikan oleh pelayan yang kini sudah pergi untuk mempersiapkan pesanan Pangeran Yung Ceng.

“Ha-ha, memang mirip, akan tetapi dia tentu bukan pangeran pengecut itu,” tiba-tiba terdengar seorang di antara lima orang itu berkata, kata-katanya cukup keras sehingga terdengar oleh Pangeran Yung Ceng.

“Kalau dia Pangeran Yung Hwa, sudah kuhancurkan kepalanya sejak tadi,” terdengar pula mereka bicara.

“Ha-ha, yang ini hanyalah seorang sastrawan lemah, tidak ada harganya untuk dipandang. Dan kita telah membayanginya sehari penuh. Sialan!”

“Karena gara-gara dia kita membuang tenaga sia-sia, sebaiknya kalau kita hajar kutu buku ini.”

“Akan tetapi, bagaimana kalau dia benar Pangeran Yung Hwa....?” terdengar suara lain, berbisik dan kalau yang duduk di situ adalah Pangeran Yung Hwa, tentu tidak akan dapat mendengar bisikan itu. Akan tetapi, Pangeran Yung Ceng telah mempelajari ilmu yang tinggi. sehingga panca inderanya lebih peka dan tajam daripada orang biasa. Dia mampu mendengarkan bisikan ini.

“Lebih baik lagi kalau begitu! Dan kita tidak akan salah, karena bukankah dia menyangkal siapa dirinya? Pelayan itu menjadi saksi.”

Kini maklumlah Pangeran Yung Ceng mengapa seorang di antara mereka tadi menegurnya. Kalau dia sudah menyangkal sebagai pangeran, maka andaikata mereka itu membunuhnya, mereka dapat menggunakan alasan bahwa mereka tidak mengenalnya sebagai pangeran, seperti disaksikan pula oleh pelayan tadi.

Pelayan tadi datang membawa masakan, langsung menghampiri meja Pangeran Yung Ceng.

“Heeeii, itu pesanan kami!” teriak seorang di antara mereka sambil bangkit berdiri dan menghampiri meja Pangeran Yung Ceng.

“Tidak, Sicu, ini adalah pesanan Kongcu ini!” bantah si pelayan.

“Setan! Kami juga memesan masakan seperti ini sejak tadi. Hayo berikan kepada kami. Apakah kau hendak menjilat kutu buku ini?”

Pangeran Yung Ceng maklum bahwa orang yang berkumis tebal, seorang di antara mereka itu yang kini bersikap kasar, memang sengaja hendak mencari keributan, maka dia berkata tenang, “Sobat, harap jangan membikin ribut!”

Inilah yang ditunggu-tunggu oleh Si Kumis Tebal itu. Dengan mata melotot dia menghampiri Pangeran Yung Ceng, menghardik, “Kalau aku membikin ribut, engkau mau apa, cacing buku yang busuk?”

Akan tetapi, biarpun Yung Ceng juga seorang kutu buku atau cacing buku, yaitu sebutan mengejek bagi seorang sastrawan, dia bukanlah seorang yang lemah. Sama sekali bukan! Dia adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang tekun dan berbakat, bahkan telah diberi pelajaran istimewa oleh tokoh-tokoh Siauw-lim-pai sehingga dia memiliki ilmu kepandaian tinggi.

“Tidak apa-apa,” jawab Pangeran Yung Ceng tenang. “Hanya kalau kau tidak segera pergi dari sini, aku akan mencabuti kumismu!”

Sepasang mata itu terbelalak makin lebar, mulutnya ternganga seolah-olah tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Benarkah si kutu buku ini berani berkata demikian kepadanya?

“Keparat....!” teriaknya dan kepalan tangannya yang sebesar kepala anak kecil, yang keras dan terlatih karena sering kali dilatih memukuli batu sampai remuk, kini menyambar ke arah kepala Pangeran Yung Ceng.

Akan tetapi, dengan gerakan ringan dan tenang, pangeran itu miringkan kepalanya, membiarkan tangan yang memukul itu lewat, kemudian secepat kilat jari-jari tangannya menyambar dan membetot.

“Auuuwwwhhhhh....!” Si Kumis Tebal itu menjerit-jerit dan kedua tangannya menutupi bawah hidungnya yang berdarah karena kumisnya telah dicabut dengan paksa oleh Pangeran Yung Ceng.

“Manusia bosan hidup!” terdengar teriakan dan empat orang lainnya sudah berloncatan dari kursi mereka dan menerjang Pangeran Yung Ceng. Pelayan itu lari ketakutan dan kini pangeran itu bangkit berdiri wajahnya merah karena marah.

Empat orang itu menerjang dengan kepalan tangan mereka, dan dari gerakan mereka dapat diketahui bahwa mereka memang bukan orang-orang sembarangan, melainkan jagoan-jagoan yang pandai ilmu silat. Akan tetapi, yang mereka keroyok adalah murid Siauw-lim-pai yang sudah matang ilmu silatnya, maka terdengar suara mereka mengaduh dan meja kursi berserakan ketika pangeran itu membagi-bagi pukulan dan tendangan yang membuat mereka terlempar ke sana-sini.

Mengertilah lima orang itu sekarang bahwa pemuda tampan yang kelihatan lemah itu, yang mereka sangka adalah Pangeran Yung Hwa, ternyata adalah seorang pemuda yang sama sekali tidak lemah, melainkan seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi. Kemarahan, mereka memuncak dan mereka berlima termasuk Si Kumis Tebal yang kini berubah menjadi Si Kumis Buntung karena masih ada sisa kumisnya menempel di bawah hidung, segera mencabut senjata mereka berupa golok besar dan dengan teriakan-teriakan ganas mereka kini menerjang pemuda itu.

Yung Ceng meraba pinggangnya dan nampaklah cahaya berkelebat ketika pangeran ini sudah mencabut sebatang pedang pendek yang tadi disembunyikan di bawah baju sastrawannya. Pedang pendeknya itu digerakkan dengan hebat, nampak gulungan sinar menyambar-nyambar dan terjadilah pertempuran yang seru di dalam rumah makan itu. Para tamu sudah sejak tadi lari meninggalkan restoran itu, demikian pun para pelayan ada yang lari, ada pula yang sembunyi dengan tubuh menggigil.

Dengan marah sekali Pangeran Yung Ceng menggerakkan pedangnya dan berturut-turut terdengarlah pekik mengerikan disusul robohnya lima orang pengeroyok itu, ada yang lehernya terpancung hampir putus, ada yang perutnya robek dan dadanya berlubang. Pangeran Yung Ceng menyimpan pedangnya dan melihat bahwa seorang di antara mereka masih belum tewas, yaitu yang tadi sengaja dia lukai pahanya, dia cepat mencengkeram pundak orang itu, ditariknya naik dan dia membentak, “Kalian telah membayangi aku dan sekarang sengaja menyerang, hayo katakan siapa yang menyuruh kalian!”

Orang itu meringis kesakitan, mukanya pucat dan dia ketakutan, menggelenggelengkan kepala.

“Hayo mengaku! Kau tahu siapa aku? Aku adalah Pangeran Mahkota Yung Ceng!”

Orang itu terbelalak. “Am.... ampunkan hamba.... hamba hanya utusan.... dari.... dari....!”

Pada saat itu nampak sinar berkelebat menyambar. Pangeran Yung Ceng terkejut sekali karena sinar itu datangnya cepat bukan main, menyambar dari luar rumah makan. Karena tidak mungkin dapat mengelak lagi, pangeran itu cepat mengangkat tubuh orang yang dicengkeram pundaknya itu, dipakai sebagai perisai.

“Crottt....auggghhhhh....!”

Orang itu menjadi lemas dan melihat betapa tawanannya itu tewas, Pangeran Yung Ceng melemparkannya ke atas lantai dan dia cepat meloncat ke pintu. Akan tetapi dia hanya melihat bayangan penyerangnya itu berkelebat cepat dan sudah lenyap di antara banyak orang di jalan raya. Dia kembali lagi dan melihat bahwa punggung orang tadi tertusuk jarum berwarna kehijauan yang menancap sampai hanya kelihatan sedikit saja ujungnya, tahulah dia bahwa penyerangnya adalah seorang yang mahir menggunakan senjata rahasia jarum beracun. Dia merasa menyesal karena tawanan ini belum sempat mengaku siapa yang menyuruh mereka.

Ketika pembesar setempat mendengar bahwa pangeran mahkota diserang orang di kotanya, dia tergopoh-gopoh datang diiringkan oleh pasukan pengawal. Kiranya ketika Pangeran Yung Ceng tadi mengakui dirinya untuk memaksa tawanannya mengaku, ada beberapa orang yang mendengar dan cepat mereka itu melaporkan kepada para penjaga keamanan sehingga pembesar kepala daerah sendiri kini datang ke restoran itu.

Pangeran Yung Ceng menerima penghormatan mereka yang berlutut dan dengan singkat dia lalu memerintahkan untuk menyelidiki lima orang itu, kemudian dia minta seekor kuda dan melanjutkan perjalanannya dengan cepat ke kota raja, menolak ketika hendak dikawal. Pangeran mahkota ini marah sekali karena kini dia mendapatkan bukti sendiri betapa memang terjadi kekacauan sehingga ada penjahat-penjahat yang menghendaki nyawa adiknya, yaitu Pangeran Yung Hwa. Dia dapat menduga bahwa lima orang itu tentulah orang-orang yang diutus oleh Gubernur Ho-nan yang memperlihatkan sikap memberontak itu.

Setelah tiba di kota raja, pangeran mahkota yang sedang marah itu langsung saja menghadap ayahnya, yaitu Kaisar Kang Hsi yang sudah tua dan pikun. Dengan tegas dia menceritakan keadaan yang amat kacau karena tingkah polah para pembesar yang menyeleweng itu kepada kaisair.

Kaisar Kang Hsi adalah seorang kaisar yang tadinya amat terkenal karena pandai mengatur pemerintahan, berwibawa dan juga bijaksana. Kerajaan Mancu berkembang dengan baiknya, dan harus diakui bahwa dialah yang berjasa dalam menaikkan nama Dinasti Kerajaan Cengtiauw. Akan tetapi, setelah dia menjadi tua dan pikun, dia menjadi tidak acuh dan malas. Kini, mendengar teguran puteranya yang telah dipilihnya untuk kelak menggantikan dia menjadi kaisar, Kaisar Kang Hsi mendengarkan dengan sabar dan dengan sikap tidak acuh, kemudian dia menggerakkan tangan dan berkata, “Puteraku yang baik, ayahmu ini sudah tua dan sudah malas untuk mengurus segala macam hal yang memusingkan belaka. Di dalam tahun-tahun terakhir dari usiaku ini, aku ingin hidup tenteram dan enak, ingin menikmati hidup ini, dan yang kupentingkan adalah keuntungan bagi negeriku. Mengapa aku tidak boleh menikmati kehidupan di dalam usia setua ini? Engkau saja yang harus rajin dan mematangkan dirimu agar kelak kalau kau menggantikan aku, engkau sudah benar-benar cakap.”

“Maafkan hamba, bukan maksud hamba untuk membantah. Akan tetapi lupakah Paduka akan Sri Baginda Raja, Liang Hwi Ong?”

Kaisar yang tua itu memandang puteranya sambil tersenyum. “Hemmm, maksudmu?”

Dengan tegas Pangeran Mahkota Yung Ceng lalu mengingatkan kaisar akan pelajaran dalam kitab Beng Cu. Beng Cu adalah seorang murid Nabi Khong Cu yang amat bijaksana dan banyaklah contoh-contoh diambil dari Beng Cu ini sebagai pewaris pelajaran Nabi Khong Cu. Yang dimaksudkan oleh Pangeran Yung Ceng dengan Raja Liang Hwi Ong adalah pelajaran Beng Cu yang menuturkan tentang pertemuan antara Raja Hwi Ong dari Negeri Liang dengan Beng Cu.

Raja Hwi Ong bertanya kepada Beng Cu, ajaran apakah yang dapat membawa keuntungan bagi negerinya di waktu itu. Mendengar pertanyaan ini, Beng Cu lalu menjawab. “Mengapa Baginda menanyakan keuntungan? Yang saya bawa hanyalah cinta kasih dan kebenaran. Apabila Paduka bertanya tentang keuntungan bagi negeri Paduka, para pembesar tentu akan bertanya tentang keuntungan bagi keluarga mereka, dan rakyat pun akan bertanya tentang keuntungan bagi diri sendiri. Apabila yang berkedudukan tinggi maupun yang rendah hanya memperebutkan atau menginginkan keuntungan saja, negara tentu akan berada dalam bahaya. Raja yang memiliki berlaksa kereta perang kalau sampai terbunuh tentu oleh pangeran yang memiliki ribuan kereta perang, dan pangeran itu kalau sampai terbunuh tentu oleh keluarga yang hanya memiliki seratus kereta perang. Apabila yang memiliki selaksa kereta perang mengambil yang seribu, tentu yang memiliki seribu mengambil yang seratus dan selanjutnya. Jumlah itu bukan kecil, akan tetapi apabila manusia membelakangi kebenaran dan mengutamakan keuntungan, pasti dia tidak puas sebelum memperoleh seluruhnya. Sebaliknya, belum pernah ada seorang manusia yang mempunyai cinta kasih menyia-nyiakan orang tuanya, dan belum pernah ada seorang manusia yang menjunjung kebenaran membelakangi rakyatnya. Seharusnya Paduka bertanya tentang cinta kasih dan kebenaran. Untuk apa bertanya tentang keuntungan?”

Demikianlah pelajaran dalam kitab Beng Cu yang kini dikemukakan oleh Pangeran Yung Ceng untuk menyadarkan ayahnya, yaitu Kaisar Kang Hsi.

Kaisar Kang Hsi sudah amat tua dan sakit-sakitan tubuhnya, juga batinnya tidak sehat lagi semenjak dia berduka atas kematian saudara-saudaranya yang memberontak. “Sudahlah, Yung Ceng, jangan ganggu aku dengan segala isi kitab lama itu. Aku sudah lelah dan aku tidak ingin memusingkan keadaan di luar kamarku.”

“Akan tetapi Paduka masih seorang kaisar, Paduka masih mempunyai tanggung jawab yang amat besar terhadap rakyat jelata. Apakah Paduka masih belum tahu akan segala peristiwa di luaran? Apakah Paduka tidak tahu betapa hampir saja Adik Yung Hwa terbunuh karena Gubernur Ho-nan hendak memberontak? Betapa pembesar-pembesar jahat sekarang ini sudah bersekongkol dengan penjahat-penjahat dari dunia hitam dan menanti saatnya saja untuk memberontak? Betapa para pembesar setia dan bijaksana Paduka pecat karena bujukan para pembesar palsu yang menjilat-jilat? Betapa kedudukan Paduka menjadi lemah karena kekuasaan secara diam-diam diambil alih oleh mereka yang berpengaruh di dalam istana?”

“Sudahlah Yung Ceng. Apa yang dapat dilakukan oleh seorang tua seperti aku yang sudah bosan dengan semua itu?”

“Paduka dapat turun tangan, Paduka dapat bertindak sekarang juga, dan pertama-tama Paduka seyogianya dapat membebaskan diri dari pengaruh para thaikam....”

Pada saat itu, thaikam kepala yang bernama Kong Tek Jin dan yang hadir pula di situ, tiba-tiba berkata, “Pangeran, harap jangan terlalu mendesak kepada Sri Baginda. Beliau sedang kurang sehat dan lelah....“

“Diam kau! Jangan mencampuri!” Yung Ceng membentak.

“Yung Ceng, tidak boleh kau bersikap begitu terhadap dia yang amat berjasa....” Kaisar mencela.

“Justeru dia inilah seorang di antara mereka yang jahat dan palsu, akan tetapi dia pandai menjilat!”

“Pangeran, tidak boleh Paduka berkata demikian....“

“Yung Ceng, Kong Tek Jin adalah seorang yang amat setia!”

Akan tetapi Yung Ceng sudah meloncat dan menyambar pundak thaikam itu, mengangkatnya dan membantingnya ke atas lantai.

“Brukkk....!” Thaikam yang gendut itu mengeluh dan ketika para pengawal dalam bergerak maju, Yung Ceng bertolak pinggang dan membentak, “Kalian mundur! Berani melawan Pangeran Mahkota?”

Tentu saja para pengawal itu meragu dan mereka memandang ke arah Sri Baginda. Kalau Sri Baginda memberi aba-aba atau isyarat, tentu tanpa ragu-ragu lagi mereka akan menerjang pangeran itu. Akan tetapi Sri Baginda diam saja, hanya memandang kepada puteranya dan kembali Yung Ceng membentak, “Kalian keluar dari sini, jaga di luar pintu kamar!” Kembali para pengawal memandang kepada kaisar. Sekali ini kaisar mengangguk dan menggerakkan tangan memberi isyarat agar mereka keluar.

Setelah para pengawal keluar, Yung Ceng berkata kepada ayahnya, “Sekarang hamba akan membuktikan siapa adanya manusia macam ini!”

Dia sudah mendekati Thaikam Kong Tek Jin, menggerakkan tangannya mencengkeram ke arah tengkuk thaikam itu, lalu menghardik., “Hayo kau mengaku sebenarnya! Bukankah seluruh keluargamu telah kaudatangkan ke sini dan kauangkat menjadi orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi? Hayo jawab, kalau membohong akan kuhancurkan kepalamu sekarang juga?”

Sambil berkata demikian, Yung Ceng menggunakan tangannya mencengkeram jalan darah di tengkuk yang menimbulkan rasa nyeri yang amat hebat. Thaikam itu ketakutan karena dia tahu bahwa pangeran ini memang berilmu tinggi. Dia harus menyelamatkan diri dulu, baru kelak mencari jalan untuk melenyapkan pangeran ini. Sekarang, dia benar-benar tidak berdaya dan kalau dia membohong, tentu dia benar-benar akan dibunuh.

“Be.... benar, Pangeran. Akan tetapi apakah salahnya itu? Tentu saja hamba ingin menolong keluarga hamba....”

“Dan untuk itu kau memecat pejabat-pejabat lama? Dan engkau sudah menumpuk harta kekayaan berlimpah-limpah? Engkau sudah makan sogokan dari pembesar-pembesar bawahan agar engkau suka membujuk Kaisar demi keuntungan mereka, bukan?”

“Ini.... ini....“

“Hayo katakan yang benar! Bukankah Gubernur Ho-nan telah mengirimkan seribu tail emas dan dua buah kereta bertabur emas kepadamu baru-baru ini?” Yung Ceng mendengar ini semua dari Pangeran Yung Hwa. “Dan dengan pemecatan Jenderal Kao Liang, engkau memperolah hadiah sepeti permata dari Panglima Ciu yang diangkat menjadi panglima penggantinya? Dan engkau juga telah menyuruh orang-orang untuk membasmi keluarga Yauw, ketika pembesar Yauw bermaksud untuk membongkar kepalsuanmu di depan Kaisar? Hayo jawab, tidak benarkah semua itu?”

“Ti.... tidak.... tidak....“

Yung Ceng mencabut pedang pendeknya. “Crottt....!” Ujung pedang itu menusuk paha sampai beberapa senti dalamnya, dan dia mencengkeram otot di punggung sehingga thaikam itu memekik-mekik seperti seekor babi disembelih saking nyerinya. “Hayo kau menjawab, benarkah semua itu?”

“Ya.... ya.... benar....!” Thaikam Kong Tek Jin menangis, akan tetapi diam-diam dia bersumpah untuk membalas pangeran ini.

“Sekarang, katakan, bukankah engkau tahu pula bahwa Gubernur Ho-nan akan memberontak? Hayo jawab!”

Tubuh thaikam itu menggigil. “Hamba.... hamba tidak ikut-ikut....“

“Tapi engkau tahu?”

“Ya.... ya....”

Kaisar kini mengerutkan alisnya. “Kong Tek Jin! Engkau tahu ada gubernur hendak memberontak dan kau tidak melaporkan kepada kami?”

“Hamba.... hamba tidak berani.... hamba....“

“Yung Ceng, kiranya benar pelaporanmu. Keadaan sudah demikian buruk, sama sekali tidak kusangka. Suruh bawa dia pergi!”

Yung Ceng memanggil pengawal. “Seret dia ke dalam tahanan!”

Kini kaisar memandang puteranya dengan kagum. Lalu dia mencabut pedangnya, pedang kerajaan yang merupakan lambang kekuasaan, menyerahkannya kepada pangeran itu. “Terimalah ini dan kauwakili aku melakukan pembersihan di dalam dan di luar istana. Aku sudah lelah, aku ingin beristirahat dan jangan ganggu aku dengan tugasmu itu. Harus kauselesaikan seluruhnya dan kalau sudah selesai saja melaporkan kepadaku.”

Pangeran Yung Ceng menerima pedang pusaka itu sambil berlutut, menghaturkan terima kasih dan meninggalkan kamar ayahnya. Mulailah pangeran mahkota ini melakukan pembersihan. Tindakannya yang pertama adalah menangkapi para thaikam yang menjadi kaki tangan Thaikam Kong Tek Jin, menjatuhkan hukuman mati! Dan semua pembesar yang diangkat oleh para thaikam ini, para keluarga thaikam dan sobat-sobat mereka, yang memperoleh kedudukan dengan jalan menyogok, dipecat dari kedudukannya dan ada pula yang dijatuhi hukuman.

Kota raja geger! Para pembesar palsu yang kerjanya hanya korupsi dan menumpuk kekayaan pribadi tanpa menghiraukan tugas-tugasnya menggigil. Mereka tidak enak makan tidak nyenyak tidur, dan dalam keadaan seperti itu, sogok-menyogok makin menghebat karena mereka yang merasa terancam, kembali mencari perlindungan dengan cara sogok sana sogok sini. Kalau dunianya para koruptor itu geger, adalah para petugas yang setia dan jujur merasa bersyukur sekali. Mereka seolah-olah melihat cahaya terang, melihat matahari muncul kembali di tengah-tengah kegelapanan yang ditimbulkan oleh awan tebal yang sudah bertahun-tahun mengancam kerajaan.

Setelah pembersihan di dalam istana dilakukan, Yung Ceng melanjutkan tindakannya dengan melakukan pembersihan-pembersihan di luar istana atas nama kaisar. Gubernur Ho-pei cepat menghadap dan barulah sekarang dia berani melapor tentang sikap memberontak Gubernur Ho-nan. Sebelum ini, dia sama sekali tidak berani melaporkan kepada kaisar, karena maklumlah gubernur ini bahwa melaporkan akan percuma saja, sama sekali tidak akan diterima oleh kaisar, bahkan sebaliknya akan membahayakan dia sekeluarganya karena yang dihadapi bukan kaisar melainkan para thaikam yang berkuasa seolah-olah melebihi kaisar.

Ketika mendengar pelaporan Gubernur Ho-pei betapa fihak pemberontak, yaitu Gubernur Ho-nan diam-diam telah bersekutu dengan kerajaan Nepal, bahkan mendirikan benteng di perbatasan propinsi, di lembah Sungai Huang-ho, dia terkejut dan marah sekali. Dia maklum akan bahayanya perang saudara, maka pangeran mahkota ini lalu teringat akan Puteri Milana. Dia segera menyebar orang-orang untuk mencari Puteri Milana, karena dia tahu bahwa puteri itu adalah seorang yang paling boleh diandalkan untuk menanggulangi ancaman bahaya pemberontakan itu. Dia tidak mau sembrono mengirim pasukan, karena hal itu akan menimbulkan perang saudara yang akan membuat rakyat menderita sengsara.

Di dalam Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan bahwa Puteri Milana bersama Pendekar Sakti Gak Bun Beng, telah meninggalkan dunia ramai. Puteri Milana adalah puteri dari Pendekar Super Sakti Suma Han majikan Pulau Es. Ibunya adalah Puteri Nirahai. Seperti telah diceritakan dalam Kisah Sepasang Rajawali, Puteri Milana meninggalkan istana, minggat setelah suaminya, yaitu mendiang Panglima Han Wi Kong, membunuh Pangeran Liong Bin Ong. Selain untuk membunuh seorang pemberontak dan pengkhianat, pembunuhan atas diri pangeran ini dilakukan oleh Han Wi Kong sebagai cara untuk membunuh diri karena dia ingin memberi kebebasan kepada Puteri Milana yang menjadi isterinya hanya dalam nama saja. Dia tahu isterinya itu mencinta Gak Bun Beng, maka semenjak menikah, belum pernah dia mendekati isterinya dan belum pernah mereka tidur bersama.

Demikianlah, Puteri Milana akhirnya bertemu dan berkumpul juga dengan pria yang dicintanya, satu-satunya pria yang pernah dicintanya, yaitu Gak Bun Beng. Akan tetapi, atas permintaan Gak Bun Beng yang tidak ingin mendengar nama kekasihnya ini cemar dan tertimpa aib, sebagai janda bangsawan, seorang puteri istana, menikah lagi dengan dia, maka dia mengajak kekasihnya yang menjadi isterinya itu ke tempat sunyi, jauh dari dunia ramai. Mereka berdua meninggalkan segala kericuhan hidup di dunia ramai dan tinggal di sebuah puncak, satu di antara puncak-puncak Pegunungan Beng-san, yaitu puncak yang disebut puncak Telaga Mawar karena di situ terdapat sebuah telaga kecil yang penuh dengan pohon bunga mawar.

Suami isteri ini seolah-olah hendak menebus segala kerinduan mereka bertahun-tahun yang lalu, belasan tahun penuh kerinduan ketika mereka dahulu saling berpisah. Kini mereka itu seolah-olah tenggelam dan berenang di dalam lautan madu asmara, mencurahkan seluruh perasaan cinta kasih satu kepada yang lain di tempat sunyi di pondok mereka dekat telaga, di tengah-tengah suasana tenang dan hening yang diliputi keharuman bunga-bunga mawar. Dalam waktu satu tahun saja, Puteri Milana yang sudah berusia tiga puluh lima tahun itu melahirkan dua orang anak kembar, dua orang anak laki-laki yang sehat dan tampan. Tentu saja mereka merasa bahagia sekali, akan tetapi Puteri Milana menjadi repot juga karena tiba-tiba saja dia harus mengurus dua orang anak! Padahal dia adalah seorang puteri istana yang lebih biasa bermain pedang daripada mengurus anak. Namun, karena Gak Bun Beng yang menjadi suaminya itu penuh kasih sayang kepadanya dan membantunya, maka kedua orang itu mengurus anak-anak mereka dengan baik, dengan cara gotong royong.

Gak Bun Beng adalah seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian hebat sekali. Dia memiliki bermacam-macam ilmu silat yang amat tinggi, di antaranya adalah ilmu-ilmu silat dari Siauw-lim-pai, ilmu-ilmu sinkang Swat-im Sin-kang dan Hwi-yang Sin-kang dari Pulau Es. Ilmu Silat Sam-po Cin-keng yang mujijat, tenaga sakti Inti Bumi yang didapatnya dari gembong Pulau Neraka yaitu Butek Siauw-jin, dan dia bahkan pernah menerima ilmu mujijat dari Koai-lojin, yaitu Ilmu Lo-thian Kiam-sut yang sukar ditemukan tandingannya.

Akan tetapi Puteri Milana juga bukan orang sembarangan. Sebagai puteri dari Pendekar Super Sakti, tentu saja dia mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi dari ayahnya dan ibunya, bahkan dia memiliki kelebihan dari suaminya yang sakti itu dalam hal ilmu perang. Dia mewarisi ilmu perang dari ibunya, bahkan ilmu ini diperdalamnya ketika dia berada di istana, dan ketika terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh dua orang pamannya, yaitu kedua orang Pangeran Liong, dia telah memimpin pasukan untuk membasmi pemberontak-pemberontak di perbatasan utara itu (baca Kisah Sepasang Rajawali).

Memiliki ayah dan ibu seperti ini, sudah barang tentu kalau dua orang anak kembar itu semenjak kecil menerima gemblengan dari ayah bundanya sehingga mereka pun tumbuh menjadi anak-anak yang luar biasa. Selain menggembleng anak-anak mereka dengan dasar-dasar ilmu silat tinggi, juga pendekar Gak Bun Beng dan Puteri Milana tidak lupa untuk memberi pelajaran “bun” (sastra) kepada dua orang anak itu agar mereka kelak tidak menjadi orang-orang buta huruf yang hanya akan mengandalkan kekuatan badan dan menjadi orang-orang kasar.

Pondok mereka yang sederhana itu, bersama sebidang tanah yang kini telah mereka olah menjadi kebun sayur dan bunga, berada di puncak, di tepi telaga dan terkurung oleh jurang dan bukit-bukit. Tempat ini aman dan tenteram sekali, dan tidak mungkin didatangi orang dari jurusan lain kecuali melalui telaga. Hanya dengan menyeberangi telaga itulah orang dari jurusan atau tempat lain di seberang telaga dapat mengunjungi pondok suami isteri pendekar ini. Oleh karena itu, jarang sekali ada orang datang ke tempat itu, dan hanya setelah dua orang anak kembar mereka mulai besar dan mengerti, suami isteri ini kadang-kadang mengajak dua orang anak mereka untuk mengunjungi dusun-dusun di seberang telaga agar mereka jangan sampai terasing dari hubungan antara manusia. Para penghuni dusun-dusun di seberang telaga mengenal suami isteri dan dua orang anak kembarnya ini, yang mereka anggap sebagai orang-orang luar biasa yang mengasingkan diri.

Setelah Gak It Kong dan Gak Goat Kong, nama dua orang anak kembar itu, berusia enam tahun, mereka telah menjadi anak-anak luar biasa yang memiliki kepandaian jauh melebihi anak-anak biasa. Orang tua mereka memberi mereka nama dengan mengambil huruf Jit (Matahari) dan Goat (Bulan) untuk menunjukkan kekembaran mereka. Akan tetapi dua orang anak itu pun mulai mengerti keadaan dan mereka mulai merasa heran dan penasaran, juga tidak puas melihat betapa mereka hidup terasing di tempat itu, padahal di dusun-dusun di seberang telaga terdapat banyak manusia lain. Mereka telah pandai membaca dan dari kitab-kitab yang mereka baca, mereka tahu bahwa yang hidup mengasingkan diri hanyalah pertapa-pertapa atau orang-orang jahat yang menjadi buronan. Padahal ayah bunda mereka bukan pertapa. Apakah ayah bunda mereka buronan? Agaknya tidak mungkin.

Rasa penasaran ini membuat mereka pada suatu malam, sehabis makan malam, mengajukan pertanyaan kepada ayah bunda mereka.

“Ayah, mengapa kita hidup di tempat sunyi dan terasing ini? Mengapa kita tidak tinggal di tempat yang banyak ditinggali manusia lain seperti di dusun-dusun itu?” kata It Kong.

“Kenapa kita tidak pernah pergi melakukan perjalanan mengunjungi kota-kota besar dan kota raja seperti yang sering Ibu ceritakan? Katanya Ibu adalah cucu kaisar, kenapa sekarang tinggal di tempat sunyi begini?” Goat Kong menyambung. Karena It Kong lahir lebih dulu, maka Goat Kong ini terhitung adik, akan tetapi dia tidak pernah mau menyebut kakak kepada It Kong.

Suami isteri itu saling pandang dan dalam pertemuan pandang mata ini Milana menyerahkan jawaban-jawaban itu kepada suaminya. Maka Gak Bun Beng lalu memegang tangan kedua orang puteranya, menarik mereka dan merangkul mereka, lalu berkata, “Ketahuilah, anak-anakku. Kita memang sengaja tinggal di tempat sunyi, jauh dari keramaian. Bukankah tempat ini indah sekali dan kita hidup bahagia? Di tempat-tempat ramai, terutama sekali di kota-kota besar, terdapat banyak keributan, terdapat banyak orang-orang jahat yang suka mengganggu orang lain.”

“Akan tetapi kita tidak perlu takut!” Jit Kong berkata.

“Benar, perlu apa kita belajar silat kalau takut orang jahat!” Goat Kong menyambung.

Gak Bun Beng tersenyum dan diam-diam dia bangga melihat sifat gagah itu ada pada diri dua orang puteranya. “Sama sekali kita tidak takut, anak-anakku. Akan tetapi perlu apakah kita mendekati tempat-tempat di mana orang-orang saling bermusuhan? Di sini kita hidup tenang dan damai.”

“Akan tetapi aku ingin melihat banyak orang di kota besar!” kata Jit Kong.

“Dan aku ingin melihat kaisar!” kata Goat Kong.

Melihat suaminya kewalahan menghadapi desakan dua orang anaknya, Milana lalu turun tangan membantu dan berkata, “Jit Kong dan Goat Kong, kalian masih terlalu kecil untuk pergi ke tempat ramai dan bertemu dengan orang-orang jahat. Belajarlah baik-baik dan kalau kalian kelak sudah dewasa, sudah memiliki kepandaian tinggi, baru tiba saatnya kalian boleh mengunjungi tempat-tempat ramai itu. Aku sendiri yang akan membawa kalian ke kota raja dan menghadap kaisar.”

“Benar, kata Ibumu,” Bun Beng menyambung dengan hati lega. “Dan ingatlah, di dunia ini banyak berkeliaran manusia-manusia jahat. Oleh karena itu, kalian pun tidak boleh mengunjungi dusun-dusun di seberang tanpa ayah ibumu. Mengertikah kalian?”

Dua orang anak itu mengangguk, akan tetapi saling lirik karena hati mereka sesungguhnya tidak merasa puas. Betapapun juga, janji ibu mereka itu amat menarik hati dan mereka makin rajin berlatih ilmu silat sehingga ayah bunda itu merasa girang sekali.

Pada suatu pagi, seperti biasa, Jit Kong dan Goat Kong bermain-main di telaga, mendayung sebuah perahu kecil. Mereka harus mencari ikan, akan tetapi karena semenjak pagi tadi mereka memancing namun belum juga memperoleh hasil, mereka lalu bermain-main dan mandi di telaga. Mereka menanggalkan pakaian mereka di atas perahu dan dari perahu itu mereka terjun ke air yang jernih, berenang ke sana-sini sambil tertawa-tawa, berkejaran, menyelam dan saling siram dengan air.

“Hayo kita berlumba mengejar perahu!” Jit Kong berkata sambil tertawa-tawa dan mengusap air dari mukanya.

“Baik, yang kalah nanti harus mendayung perahu sampai ke pinggir ketika pulang!” jawab Goat Kong.

Mereka lalu berenang ke arah perahu mereka, lalu bersama-sama mereka mengerahkan tenaga menggunakan tangan mereka mendorong perahu yang meluncur cepat ke tengah telaga. Mereka lalu berenang secepatnya mengejar dan berlumba. Keduanya memang pandai renang, terlatih sejak masih kecil. Akan tetapi, sejak kecil Jit Kong memang memiliki dasar tenaga lebih besar, akan tetapi Goat Kong memiliki dasar gerakan yang lebih cepat, maka ketika berlumba mengejar perahu ini, gerakan Goat Kong lebih cepat dan kakaknya tertinggal setengah badan ketika dia lebih dulu memegang perahu dan meloncat ke dalamnya sambil berpegang kepada bibir perahu.

“Aku menang....!” soraknya, mentertawai Jit Kong.

“Kau berenang seperti ikan saja!” Jit Kong kini juga meloncat ke dalam perahu. Mereka tertawa-tawa.

Akan tetapi, tiba-tiba Goat Kong memegang tangan kakaknya. “Jit Kong, lihat! Ada perahu....!”

Jit Kong cepat memutar tubuh dan memandang. Benar saja. Ada sebuah perahu didayung cepat ke tengah telaga, datang dari seberang dan agaknya menuju ke tempat tinggal mereka.

“Wah, lihat pakaian mereka!” Jit Kong berbisik.

Dua orang anak ini mendekam di atas perahu mereka dan memandang. Perahu itu ditumpangi oleh dua orang yang berpakaian seperti tentara, bertubuh tinggi besar dan mereka mendayung perahu dengan kuat sehingga perahu itu meluncur cepat sekali.

“Pakaian mereka seperti gambar tentara....“ bisik Goat Kong.

“Celaka, agaknya Ayah benar-benar seorang buruan dan mereka tentu datang hendak menangkap Ayah,” kata Jit Kong. Dua orang anak itu saling pandang dengan mata terbelalak dan muka berubah pucat.

“Kita harus halangi mereka....“ bisik Goat Kong. Kakaknya mengangguk dan bagaikan dua ekor ikan saja, dua orang anak yang masih telanjang itu lalu meluncur ke dalam air dan berenang cepat menghadang perahu yang meluncur dari depan itu. Ketika perahu meluncur dekat, keduanya cepat menyelam.

Dua orang yang berpakaian perwira itu mendayung perahu dan memandang ke arah perahu kecil itu dengan heran. Perahu kecil itu kosong, tidak ada orangnya dan di dalam perahu terdapat tumpukan pakaian!

“Eh, tadi seperti kulihat ada dua orang bocah di perahu itu,” kata perwira yang tua, yang rambutnya sudah putih semua.

“Benar, Souw-ciangkun, saya tadi pun melihatnya. Entah di mana mereka sekarang,” kata perwira yang lebih muda, yang bertubuh tinggi besar.

“Ehhh....!” “Heiiiii....!”

Mereka berdua berteriak dengan kaget karena tiba-tiba saja perahu mereka itu miring! Mereka berusaha untuk menekan perahu, akan tetapi percuma saja karena tiba-tiba perahu itu terbalik dan mereka ikut terjatuh ke dalam air.

“Tolooooonggg....!” Perwira tua yang disebut Souw-ciangkun tadi berteriak. Dia adalah seorang perwira yang gagah perkasa, akan tetapi di darat. Kalau di air, dia sama sekali tidak bisa apa-apa, karena berenang pun dia tidak mampu, maka tentu saja dia menjadi ketakutan dan gelagapan, kedua tangannya meraih-raih udara kosong dan mulutnya berteriak minta tolong sebelum kepalanya tenggelam.

Perwira tinggi besar itu dapat berenang, akan tetapi juga tidak ahli. Maka ketika dia berenang mendekati dan mencoba untuk menolong temannya, perwira tua itu menangkap lengannya dengan panik dan hal ini menghalangi temannya untuk berenang sehingga keduanya tenggelam!

Jit Kong dan Goat Kong yang sudah kembali ke perahu mereka, memandang ke arah dua orang yang sedang bergumul itu dengan mata terbelalak.

“Kita tidak boleh membunuh orang,” kata Jit Kong.

“Ya, dan mereka itu tidak pandai renang,” sambung Goat Kong.

“Kalau dibiarkan, tentu mereka akan mati.”

“Karena itu, kita harus menolong mereka.”

Kedua orang anak itu lalu terjun ke air, menyelam dan berenang ke arah dua orang perwira yang sudah mulai lemah gerakan-gerakan mereka itu, sebentar timbul sebentar tenggelam seperti dua ekor ayam terjatuh ke air. Ketika dua orang anak itu berhasil menjambak rambut mereka dan membawa mereka berenang ke perahu kecil itu , mereka berdua sudah tidak bergerak lagi, perut mereka agak kembung dan mereka tidak sadarkan diri.

Melihat mereka pingsan, Jit Kong dan Goat Kong terkejut dan ketakutan. “Celaka, mereka sudah mati!” teriak Jit Kong.

“Hayo cepat bawa pulang, biar diobati Ayah!” kata Goat Kong.

“Tapi.... tapi kita tentu akan mendapat marah. Kita telah membunuh orang!”

“Biarpun begitu , kita harus berikan tanggung jawab. Seorang gagah selalu akan mempertanggungjawabkan semua perbuatannya.”

Semua ucapan yang keluar dari mulut dua orang anak itu adalah hasil ajaran orang tua mereka. Maka, biarpun mereka merasa sangat takut dan mengira bahwa dua orang itu telah mati sehingga mereka akan menerima kemarahan ayah mereka, namun mereka tidak ragu-ragu lagi untuk cepat mendayung perahu pulang dan setibanya di tepi telaga, Jit Kong sudah meloncat dan lari secepatnya menuju ke pondok, sedangkan Goat Kong menjaga perahu di mana dua orang perwira itu masih menggeletak tak bergerak dengan wajah pucat.

Tak lama kemudian Gak Bun Beng datang berlarian bersama Isterinya, mengikuti Jit Kong yang datang memberi tahu kepada mereka tentang dua orang perwira itu. Ketika melihat mereka menggeletak pingsan Bun Beng cepat menelungkupkan mereka dan memaksa air keluar dari dalam perut mereka, kemudian mengurut dada dan punggung sampai mereka siuman kembali.

Begitu mereka siuman dan perwira yang sudah berusia lanjut dan rambutnya putih semua itu melihat Milana, dia segera mengenalnya dan cepat dia menjatuhkan diri berlutut di depan puteri itu. “Ah, sungguh beruntung sekali hamba, akhirnya dapat bertemu dengan Paduka Puteri!” Kakek ini memang merasa terkejut, terheran-heran dan juga girang bukan main karena sama sekali tidak disangkanya bahwa dia akan dapat bertemu dengan orang yang dicari-carinya itu! Mereka berdua adalah dua di antara para perwira yang diutus oleh Pangeran Yung Ceng untuk mencari Puteri Milana. Dari para penghuni dusun di seberang mereka mendengar bahwa di tempat itu tinggal dua orang suami isteri pertapa yang masih muda dan aneh, bersama dua orang anak mereka. Mendengar betapa suami isteri “pertapa” ini mengasingkan diri selama beberapa tahun, dua orang utusan itu merasa heran dan mereka lalu menggunakan sebuah perahu untuk pergi menyelidiki. Akan tetapi mereka bertemu dengan Jit Kong dan Goat Kong sehingga hampir saja mereka mati tenggelam di telaga.

“Siapakah kalian?” Milana bertanya sambil mengerutkan alisnya, sama sekali tidak menyangka bahwa ada orang yang akan mengenalnya sebagai puteri istana.

“Maaf, hamba telah berani datang mengganggu. Hamba adalah Souw Ciat, dan dia ini adalah Ciang Sim To,” kata perwira tua sambil menunjuk kepada temannya yang juga sudah menjatuhkan diri berlutut ketika mendengar ucapan Souw Ciat. Baru sekarang dia juga mengenal Milana yang berpakaian sederhana seperti seorang wanita petani biasa itu.

“Hamba berdua adalah perwira-perwira pengawal dari istana, hamba diutus oleh sri baginda kaisar mencari Paduka Puteri Milana yang mulia.”

Mendengar ini, Gak Bun Beng lalu berkata, “Sebaiknya mari kita ke pondok dan di sana kita dapat bicara dengan baik.”

Dua orang perwira itu kini pun teringat kepada pendekar ini yang pernah menjadi tokoh terkenal di kota raja, maka Souw-ciangkun lalu menjura, diikuti oleh temannya, kepada pendekar itu sambil berkata, “Terima kasih atas kebaikan Taihiap.”

Mereka berempat diikuti oleh dua orang anak kembar, segera menuju ke pondok di mana Jit Kong dan Goat Kong menyalakan perapian sehingga dua orang perwira itu dapat menghangatkan tubuh mereka dan mengeringkan pakaian mereka. Kemudian, dua orang anak kembar yang sudah biasa bekerja membantu ibu mereka itu menghidangkan arak kepada dua orang tamu itu yang memandang kepada mereka berdua dengan sinar mata terheran-heran dan juga penuh curiga.

“Kalau tidak berkat pertolongan dua orang Kongcu ini, tentu kami telah tewas,” kata Ciang Sim To kepada Bun Beng.

Pendekar itu menarik napas panjang. “Kami telah mendengar penuturan dua orang putera kami, Ji-wi Ciangkun, dan harap Ji-wi suka memaafkan mereka yang masih anak-anak sehingga belum dapat membedakan orang. Mereka mengira bahwa Ji-wi datang dengan niat buruk, maka mereka telah lancang menggulingkan perahu dan menangkap Ji-wi.”

“Jit Kong, Goat Kong, hayo cepat minta maaf kepada kedua Ciangkun ini!” Milana berkata kepada kedua orang putera kembarnya.

Jit Kong dan Goat Kong cepat melangkah maju menghadap dua orang perwira itu, menjura dan mengangkat kedua tangan di depan dada, membungkuk dan berkata, “Harap Ji-wi Ciangkun sudi memaafkan kami berdua.” Mereka mengeluarkan kata-kata yang sama dan hampir berbareng, tanda bahwa ucapan itu keluar dari hati mereka sendiri bukan saling mengikuti saja.

Souw-ciangkun dan temannya cepat membalas dan perwira tua ini berkata kagum, “Ah, sungguh hebat sekali! Ji-wi Kongcu ini masih begini muda, akan tetapi telah memiliki kepandaian hebat sehingga kami dua orang perwira bangkotan telah dibuat tidak berdaya! Haha-ha, betapa bahagianya hati hamba menyaksikan putera-putera Paduka yang begini tampan dan gagah perkasa!”

“Ji-wi Ciangkun, sekarang ceritakanlah tentang tugas Ji-wi mencari aku, dan mengapa pula kaisar mengutus Ji-wi,” kata Milana.

Pangeran Yung Ceng demikian bersemangat untuk menemukan dan memanggil Puteri Milana sehingga setiap rombongan tentu dibawai surat untuk Sang Puteri. Juga Souw-ciangkun tidak ketinggalan membawa sepucuk surat. Untung bahwa surat itu disimpannya di dalam kantung kulit sehingga tidak basah ketika dia terjatuh ke air telaga tadi. Dengan sikap hormat dia menyerahkan surat itu kepada Milana yang segera, membuka dan membacanya. Tidak salah memang. Surat itu adalah surat dari pamannya, putera kaisar yang masih amat muda itu. Biarpun Yung Ceng dan Yung Hwa jauh lebih muda daripada Milana, namun dua orang pangeran muda ini termasuk pamannya, karena mereka adalah putera-putera kaisar, sedangkan dia sendiri adalah cucu kaisar. Di dalam surat itu, jelas Pangeran Yung Ceng mengharapkan kedatangannya di istana karena di istana timbul hal-hal yang membutuhkan bantuan Puteri Milana untuk ditanggulangi.

Milana mengerutkan alisnya. “Yang mengutus Ji-wi bukan sri baginda kaisar, melainkan putera mahkota,” tegurnya.

“Harap Paduka maafkan hamba berdua,” jawab Souw Ciat. “Oleh karena sri baginda kaisar telah menyerahkan pedang kekuasaan kepada pangeran mahkota, maka kekuasaan beliau tiada bedanya dengan kekuasaan sri baginda kaisar, maka hamba menganggap bahwa yang mengutus hamba juga dari baginda kaisar sendiri.”

“Hemmm, apakah yang terjadi di istana maka kaisar menyerahkan pedang kekuasaan kepada Paman Pangeran Yung Ceng?”

Souw-ciangkun lalu menceritakan keadaan di kota raja dengan jelas. Sebagai seorang panglima pengawal yang setia dia ikut merasa lega dan gembira atas tindakan pangeran mahkota itu maka dia dapat bercerita dengan jelas tentang diberantasnya penyelewengan-penyelewengan oleh Pangeran Yung Ceng, betapa para thaikam ditangkapi dan dihukum, dan banyak pula pembesar korup yang dihukum.

“Ah, mengapa terjadi hal demikian? Apakah kesalahan para thaikam itu?” tanya Milana dengan heran.

“Mereka telah menguasai istana dan membujuk sri baginda kaisar melakukan pemecatan-pemecatan terhadap pembesar-pembesar yang setia. Bahkan Jenderal Kao Liang yang telah menjadi panglima besar itu pun dipecat.”

“Ehhh....?” berita ini amat mengejutkan hati Milana dan Bun Beng. Mereka berdua mengenal siapa, adanya Jenderal Kao Liang, seorang yang amat setia dan tangguh, yang amat besar jasanya terhadap kerajaan yang telah berkali-kali menyelamatkan kerajaan dari ancaman pemberontakan-pemberontakan, bahkan yang terakhir, lima enam tahun yang lalu, juga menyelamatkan negara dari pemberontakan dua orang Pangeran Liong.

“Dia dipecat?” Milana menegaskan dengan hati penasaran.

“Bukan dipecat begitu saja, melainkan dipensiun dan diperkenankan mengundurkan diri dan pulang ke kampung halaman. Akan tetapi semua orang tahu belaka bahwa hal itu merupakan pemecatan dan pengusiran secara halus.” Souw-ciangkun memberi penjelasan.

“Kalau Paman Pangeran Mahkota sudah melakukan tindakan tegas itu dan para pembesar lalim telah dibasmi, perlu apalagi menyuruh Ji-wi mencari aku?” tanya Milana yang merasa enggan untuk pergi ke kota raja mencampuri urusan pemerintah.

Souw-ciangkun lalu menceritakan tentang ancaman pemberontakan yang agaknya akan dicetuskan oleh Gubernur Ho-nan. “Maafkan hamba, sesungguhnya hamba tidak tahu jelas akan persoalannya, dan tentu saja pangeran mahkota tidak menceritakan kepada hamba. Akan tetapi karena hamba melaksanakan tugas mencari Paduka, maka hamba memperlengkapi diri dengan pengetahuan akan hal-hal itu sehingga kalau Paduka bertanya hamba sudah dapat memberi penjelasan. Mengenai pemberontakan yang agaknya akan dilakukan oleh Gubernur Ho-nan, dimulai ketika Pangeran Yung Hwa menjadi utusan kaisar mengunjungi Propinsi Ho-nan.” Souw-ciangkun lalu menceritakan segala yang telah didengarnya tentang peristiwa yang terjadi atas diri Pangeran Yung Hwa dan Gubernur Ho-pei. Milana dan Bun Beng mendengarkan dengan penuh perhatian.

“Malah akhir-akhir ini terdapat berita bahwa Gubernur Ho-nan agaknya hendak bersekutu dengan mata-mata dari Nepal, dan mengumpulkan banyak orang pandai di lembah Sungai Huang-ho. Oleh karena itulah agaknya maka pangeran mahkota hendak minta bantuan Paduka.”

Milana saling pandang dengan suaminya. Mereka maklum bahwa keadaan tentu amat gawat, maka sampai Pangeran Yung Ceng mencari Milana. Biarpun mereka sekeluarga telah menjauhkan diri dan tidak mau berurusan dengan persoalan dunia, akan tetapi mendengar adanya ancaman terhadap kerajaan, tergerak juga hati Milana.

“Baiklah, Souw-ciangkun. Kalian berdua telah berhasil menemukan aku dan telah menyampaikan surat Paman Pangeran Yung Ceng. Sekarang kembalilah kalian ke kota raja, dan permintaan dari istana itu akan kami pertimbangkan.

Souw-ciangkun memandang dengan wajah berseri, lalu bertanya, “Apakah Paduka tidak menitipkan surat jawaban kepada pangeran mahkota melalui hamba?”

“Tidak usah. Sampaikan saja secara lisan bahwa aku telah menerima surat beliau dan bahwa permintaan itu akan kami pertimbangkan. Begitu saja. Sekarang, harap kalian suka pergi meninggalkan tempat ini dan jangan, memberitahukan kepada orang lain kecuali pangeran mahkota tentang kami dan tempat tinggal kami.”

Dua orang perwira pengawal itu memberi hormat, minta diri dan mereka diantar oleh Bun Beng sendiri yang menggunakan perahunya karena perahu mereka tadi entah hanyut ke mana. Mereka diantar sampai ke seberang telaga, lalu pendekar itu kembali pulang dan segera dia memperbincangkan persoalan panggilan dari kota raja. Itu bersama isterinya. Akhirnya, karena Milana berkeras untuk membela kerajaan yang terancam bahaya sebagai puteri istana, diambiliah keputusan bahwa puteri itu akan berangkat sendiri ke kota raja melihat keadaan. Gak Bun Beng tinggal di rumah bersama putera mereka. Pada keesokan harinya, berangkatlah Milana yang berganti pakaian ringkas dan membawa pedangnya sehingga kini dia berubah dari seorang wanita petani menjadi seorang pendekar wanita yang cantik dan gagah.

“Ohhh.... hu-hu-huuuhhhhh....!”

Dia menangis menutupi matanya dengan kedua tangan, terisak-isak dan menjatuhkan dirinya di atas rumput tebal di bawah pohon dalam hutan sunyi itu. Dia masih mengenakan pakaian pria, pakaian seorang pemuda dan dengan pakaian itu dia telah menggunakan nama Kang Swi, memasuki sayembara dan berhasil menjadi perwira pengawal Gubernur Ho-nan. Akan tetapi, sungguh dia tidak sangka bahwa rahasianya terbuka secara demikian memalukan! Dalam keadaan pingsan, pemuda yang bernama Siauw Hong itu telah meraba dadanya! Dia tahu bahwa Siauw Hong telah menolongnya, telah menyembuhkannya dari luka berat. Akan tetapi dia tidak peduli. Pemuda itu telah meraba dadanya! Dia harapkan pukulannya itu akan membunuh Siauw Hong! Kalau tidak, percuma saja dia menyamar setelah rahasianya kini terbuka.

“Hu-hu-huuuhhhhh.... sialan....!” Pemuda yang ternyata adalah seorang dara itu kembali menangis. Akan tetapi, betapapun keras dia menangis, di tempat sunyi itu siapa yang akan mendengarnya atau menghiburnya?

Kita mengenal pemuda itu sebagai Kang Swi, pemuda royal yang melakukan perjalanan bersama Siluman Kecil atau Kian Bu dan Siauw Hong ke kota raja Ho-nan dan bersama Siauw Hong memasuki sayembara dan berhasil diangkat menjadi perwira pengawal Gubernur Ho-nan. Akan tetapi ketika dia bertemu dengan Kim Cui Yan yang menangkap Jenderal Kao Liang dan dia menolong jenderal itu, dia berkelahi melawan Kim Cui Yan yang amat lihai dan terkena pukulan Swat-im Sin-ciang sehingga roboh pingsan. Kemudian, ketika Siauw Hong menolong bekas sahabatnya itu, Siauw Hong mendapatkan kenyataan bahwa “pemuda” royal itu adalah seorang wanita muda!

Memang demikianlah sesungguhnya. Kang Swi hanyalah merupakan satu di antara penyamaran gadis yang selain pandai ilmu silatnya, juga ahli dalam hal ilmu menyamar dan “ilmu” mencuri itu! Gadis ini bukan lain adalah Ang-siocia (Si Nona Merah), julukan yang didapatnya karena dia suka berpakaian merah muda. Seperti telah kita ketahui, Ang-siocia yang cantik ini adalah murid dari Hek-sin Touw-ong yang terkenal sebagai raja pencuri yang tinggal di pantai Po-hai. Dan seperti telah kita ketahui pula, ketika Siluman Kecil atau Kian Bu bertanding melawan Sin-siauw Seng-jin, untuk menebus kekalahannya lima tahun yang lalu dan akhirnya berhasil mengalahkan kakek itu, nona ini muncul dan mencuri barang-barang pusaka peninggalan Suling Emas yang ditinggalkan oleh Sin-siauw Seng-jin setelah dia mengakui kekalahannya terhadap Siluman Kecil.

Gadis ini bukan hanya merupakan murid yang tersayang dari Hek-sin Touw-ong, akan tetapi juga anak angkatnya yang amat dicinta oleh kakek raja maling itu. Oleh karena itu, maka hampir seluruh ilmu kepandaian kakek itu diajarkan kepada Ang-siocia yang bernama Kang Swi Hwa itu. Karena terlalu disayang ini agaknya, maka setelah digembleng sejak kecil, Swi Hwa menjadi seorang gadis yang manja, keras, bicaranya tajam, dan menonjolkan sifat kewanitaannya dengan berani sehingga kelihatannya agak genit. Namun dia cantik sekali dan amat cerdas otaknya sehingga semua pelajaran yang diterimanya dapat dia kuasai, terutama sekali ilmu mencuri dan menyamar. Setelah menguasai ilmu penyamaran itu, di dalam saku-saku bajunya tidak pernah tertinggal alat-alat menyamar sehingga dia dapat menyulap dirinya dalam waktu singkat menjadi orang yang dikehendakinya, bahkan dengan mudahnya dia dapat menyamar sebagai pria tanpa ada yang dapat menduganya.

Ketika dia mewakili ayahnya menghadiri pertemuan yang diadakan oleh Hek-hwa Lo-kwi di lembah Sungai Huang-ho, kita telah mengenal kelihaian Kang Swi Hwa atau Ang-siocia ini. Biarpun belum selihai gurunya atau ayah angkatnya, namun i1mu Kiam-to Sin-ciang yang dikuasainya amat dahsyatnya. Dalam keadaannya itu, sebagai seorang dara yang berkepandaian tinggi, mempunyai seorang ayah angkat atau guru yang amat sayang dan memanjakannya, memberinya kebebasan seluasnya sehingga dia diperbolehkan pergi ke manapun, dan tidak pernah kekurangan karena sebagai raja maling tentu saja ayahnya mampu memberikan apa pun yang diinginkannya, dari perhiasan yang termahal sampai pakaian terindah atau barang apa pun yang ada di dunia ini. Apalagi setelah dia pandai, dia boleh mengandalkan kepandaiannya sendiri untuk memiliki barang apa saja yang diinginkannya, dengan jalan mencurinya, tentu saja!

Akan tetapi, betapapun juga Swi Hwa adalah seorang manusia biasa, seorang dara yang mulai dewasa. Maka pada suatu saat perasaan wanita dan kedewasaannya ini bergerak dan membuat dia bertekuk lutut! Saat itu adalah ketika dia melihat Kian Bu atau Siluman Kecil bertanding melawan Sin-siauw Seng-jin. Melihat pemuda berambut putih itu, melihat sepak terjangnya ketika mengalahkan Sin-siauw Seng-jin yang demikian lihai, Swi Hwa atau Ang-siocia menjadi tertarik sekali dan dia sendiri tidak tahu apakah itu yang dinamakan cinta, akan tetapi yang jelas, dia merasa kagum dan tertarik dan ingin sekali dia berkenalan dengan Siluman Kecil, mendekatinya dan mengenal pemuda luar biasa itu dari dekat!

Inilah sesungguhnya yang menyebabkan gadis ini mendahului Siluman Kecil, mencuri barang-barang pusaka di dalam rumah Sin-siauw Seng-jin! Dan dia maklum bahwa dia tidak akan mungkin melawan Siluman Kecil, maka dia menggunakan nikouw tua itu untuk membuat Siluman Kecil tidak berdaya dan tidak berani menyerangnya. Dia lalu menantang agar Siluman Kecil datang ke tempatnya, yaitu tempat tinggal gurunya, di pantai Po-hai teluk sebelah utara. Maksudnya memancing Siluman Kecil ke sana adalah selain hendak menguji kepandaian pernuda itu melawan gurunya, juga dia ingin berkenalan dengan pemuda itu berdua saja, tanpa ada banyak orang.

Akan tetapi, karena dia tidak melihat Siluman Kecil tergesa-gesa mengejarnya ke pantai Po-hai, hatinya kecewa dan dia menggunakan lain akal. Melihat Siluman Kecil atau Kian Bu melakukan perjalanan menuju ke Ho-nan dan membawa uang, hal yang tidak mungkin terlepas dari “mata malingnya” yang terlatih baik, dia lalu menyamar sebagai nenek penjual sepatu!

Ang-siocia inilah sesungguhnya nenek penjual sepatu rumput dahulu itu! Penyamarannya memang hebat sekali sehingga Kian Bu sama sekali tidak menyangka. Dan dengan ilmu mencurinya yang luar biasa, dia berhasil mencopet uang dari dalam bungkusan Kian Bu tanpa diketahui oleh pendekar yang memiliki kesaktian hebat dan berjuluk Siluman Kecil itu!

Kemudian, Ang-siocia atau Swi Hwa cepat mengubah penyamarannya dan sekali ini dia menyamar sebagai seorang kongcu yang royal dan ramah. Tidak sukar penyamaran ini, karena sesuai dengan sifatnya yang memang lincah dan ramah, pandai bicara dan jenaka. Dan giranglah hatinya bahwa dia berhasil menarik hati Siluman Kecil sehingga dapat melakukan perjalanan bersama dengan pendekar itu dan juga dengan Siauw Hong. Akan tetapi, hatinya merasa amat kecewa ketika dia bertemu dengan Siluman Kecil sebagai musuh pada waktu dia membantu fihak Gubernur Ho-nan memperebutkan Pangeran Yung Hwa. Dia memasuki sayembara lalu menjadi pengawal bukan sekali-kali karena dia memihak Gubernur Ho-nan, melainkan karena pertama dia hendak mencari pengalaman dalam petualangannya meninggalkan tempat tinggal gurunya, ke dua karena dia ingin menarik perhatian Siluman Kecil dengan memamerkan kepandaiannya.

Setelah keributan itu di mana dia berada di fihak yang bermusuhan dengan Siluman Kecil, dengan hati kecewa sekali dia lalu meninggalkan gubernuran, meninggalkan jabatannya tanpa pamit setelah dia melihat Siauw Hong, Siluman Kecil, bahkan si Gagu yang aneh itu semua pergi. Dan ketika dia mencari Kian Bu, dia bertemu dengan wanita baju hijau yang menawan Jenderal Kao Liang, kemudian dia dipukul pingsan dan rahasianya bahwa dia wanita diketahui oleh Siauw Hong!

Kini Ang-siocia atau Swi Hwa telah berhenti menangis dan duduk termenung di bawah pohon. Entah mengapa, semenjak dia ditolong oleh Siauw Hong dan “diraba” dadanya ketika pemuda itu menolongnya menyembuhkan lukanya dengan menyalurkan sinkang, terjadi keanehan di dalam hatinya terhadap Siauw Hong, pemuda yang tadinya selalu dia anggap sebagai seorang bocah yang masih hijau itu! Membayangkan wajah tampan pengemis muda itu, sikapnya yang sederhana dan pendiam, tubuhnya yang agak jangkung, dia kini merasa malu. Semenjak Siauw Hong meraba dadanya, seolah-olah pemuda itu telah berubah sama sekali dalam pandang matanya!

Sebetulnya, dara inilah yang dulu mencuri harta pusaka keluarga Jenderal Kao ketika terjadi perebutan. Ketika itu, dia melihat betapa ada tiga rombongan atau golongan orang yang seolah-olah memperebutkan pusaka itu dan menguasai keluarga Jenderal Kao, bahkan rombongan pertama yang terdiri dari pasukan kota raja yang menyamar, berusaha keras untuk membasmi dan membunuhi keluarga Kao. Akan tetapi di situ masih ada dua rombongan lain yang berebutan, dan bahkan seolah-olah bermusuhan sendiri, yaitu golongan dari Hek-eng-pang perkumpulan wanita-wanita liar dan Kwi-liong-pang. Di dalam pertempuran-pertempuran hebat itu di mana terjatuh banyak korban di kedua fihak, dia melihat pula serombongan orang yang dipimpin oleh orang asing menculik dan melarikan semua keluarga Jenderal Kao. Dia mengenal pemimpin rombongan itu sebagai orang Nepal kaki tangan Liong Bian Cu, Pangeran Nepal itu. Akan tetapi karena dia tidak mempunyai hubungan dengan semua itu, dia tidak mempedulikannya, dan dia hanya mempergunakan kepandaiannya untuk mencuri harta pusaka Jenderal Kao. Hal ini dilakukannya karena memang sebagai murid seorang “raja maling” tentu saja dia tidak mau mendiamkan harta pusaka dijadikan perebutan tanpa bertindak apa-apa, dan selain itu juga dia bermaksud untuk mengangkat nama. Memang dalam perebutan di antara gerombolan-gerombolan itu berarti mengangkat nama gurunya dan namanya sendiri.

Makin dikenang, makin berduka, kecewa dan penasaran rasa hati dara itu. Melihat Siluman Kecil yang telah menarik perhatiannya itu tidak mengejarnya langsung ke Po-hai, dia lalu berbalik membayangi pendekar aneh itu, berkali-kali menyamar dan berusaha menarik perhatiannya. Akan tetapi Siluman Kecil agaknya sama sekali tidak tertarik kepadanya, bahkan telah memukulnya dalam keributan itu sehingga dia terluka. Dan kemudian, bukan saja dia tidak menarik perhatian pendekar itu sama sekali, bahkan akhirnya “menarik” perhatian Siauw Hong yang mengetahui rahasianya! Yang menggemaskan, mengapa kini wajah Siauw Hong selalu terbayang di depan matanya? Setiap kali dia mencoba membayangkan wajah Siluman Kecil yang amat dipujanya, wajah aneh tampan dengan rambutnya yang putih dan matanya yang tajam bersinar-sinar itu, selalu saja wajah pendekar sakti ini berubah menjadi wajah Siauw Hong!

Dengan hati penasaran Ang-siocia lalu mengambil keputusan untuk pulang ke Po-hai saja karena dia pun sudah terlalu lama meninggalkan gurunya. Dia pulang membawa banyak hasil curiannya, antara lain harta pusaka Jenderal Kao Liang, pusaka-pusaka peninggalan Suling Emas, dan sekantung uang milik Siluman Kecil. Bukan barang-barang biasa, melainkan milik orang-orang ternama dan tentu suhunya akan merasa gembira dan kagum serta bangga akan hasil karyanya itu!

***

Sudah terlalu lama kita meninggalkan Ang Tek Hoat sehingga tentu banyak yang bertanya-tanya apa jadinya dengan tokoh yang hidupnya diombang-ambingkan oleh keadaan yang selalu berubah-ubah itu.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Ang Tek Hoat yang patah hati dan dirundung kecewa, penasaran dan berduka itu seolah-olah menjadi tidak peduli lagi akan hidupnya, tidak peduli lagi apakah yang dia lakukan dalam hidup selanjutnya ttu benar atau salah. Dia dipaksa berpisah dari kekasihnya di Bhutan, kemudian kehancuran dan kepatahan hati ini ditambah lagi oleh pukulan amat hebat, yaitu kematian ibunya yang belum juga dapat dia ketahui siapa pembunuhnya. Rasa kecewa dan duka ini membuat dia mudah terseret ke dalam pergaulan yang tidak benar sehingga dia tidak ragu-ragu untuk membantu orang-orang dari golongan sesat, bahkan dia telah membantu Hek-eng-pangcu Yang-liu Nio-nio untuk menyerbu dan mencoba membasmi perkumpulan Kwi-Liong-pang yang menjadi musuh Hek-eng-pang. Dan dalam usaha inilah maka dia bertemu dan bekerja sama dengan guru ketua Hek-eng-pang ini, yaitu Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui, Siluman Kucing yang amat lihai namun jahat seperti iblis betina di balik wajahnya yang cantik dan tubuhnya yang menggairahkan biarpun usianya sudah mendekati empat puluh tahun. Tek Hoat tidak peduli lagi apa yang diperbuatnya itu, karena dia pun tidak mengenal Kwi-Liong-pang dan tidak mau tahu akan permusuhan antara dua perkumpulan itu. Kalau dia membantu Hek-eng-pang adalah karena dia mempunyai kepentingannya sendiri, yaitu hendak minta bantuan Hek-eng-pang yang terdiri dari perkumpulan wanita untuk merampas kembali Syanti Dewi yang dia dengar terjatuh ke tangan Liong-sim-pang di puncak Naga Api.

Seperti telah kita ketahui, usahanya yang dibantu oleh Hek-eng-pang itu gagal sama sekali. Syanti Dewi lenyap entah ke mana diculik oleh orang lain dari tangan Hwa-i-kongcu, ketua Liong-simpang. Ketika dia hendak meninggalkan Hek-eng-pang, dia terbujuk oleh Mauw Siauw Mo-li untuk mengadakan perjalanan bersama mencari Syanti Dewi. Karena Siluman Kucing itu mengatakan bahwa dia mungkin mengetahui jejak Syanti Dewi yang lenyap, terpaksa Tek Hoat mau melakukan perjalanan bersama wanita iblis yang cantik itu, tidak tahu bahwa wanita itu tentu saja bukan sekali-kali ingin membantunya mendapatkan kembali Syanti Dewi, melainkan karena merasa tertarik oleh ketampanannya, kemudaannya, dan kegagahannya!

Memang Siluman Kucing itu tidak membohong ketika dia mengatakan bahwa dia melihat wanita yang bertanya-tanya tentang seorang dara cantik yang dibawa dengan paksa oleh seseorang. Wanita muda yang bertanya-tanya itu adalah Siang In. Maka dia pun mengajak Tek Hoat untuk mengikuti jejak Siang In. Namun, penyelidikannya tidak berhasil dan hanya karena kecerdikan dan kepandaian Mauw Siauw Mo-li dalam pembicaan saja maka Tek Hoat masih percaya kepadanya dan melanjutkan perjalanannya bersama wanita cantik ini. Akan tetapi, akhirnya dia mulai merasa curiga karena sampai berhari-hari mereka berdua melakukan perjalanan, belum juga mereka berdua berhasil menemukan jejak Syanti Dewi yang hilang. Yang jelas adalah sikap Mauw Siauw Mo-li yang selalu ingin menarik perhatiannya dan yang selalu membujuknya dengan sikap dan kata-katanya untuk bermain cinta! Pengalaman mereka dalam rumah makan melawan lima orang kasar itu pun jelas merupakan siasat Mauw Siauw Mo-li untuk menjebak Tek Hoat dalam umpan dan pancingannya agar pemuda itu bangkit berahinya dan mau melayani hasrat nafsunya untuk bermain cinta.

Akan tetapi sekali ini, Mauw Siauw Mo-li kecewa. Dahulu, lima enam tahun yang lalu, dia pernah berhasil memikat dan menjatuhkan hati seorang pendekar muda putera majikan Pulau Es, yaitu Suma Kian Bu. Hal itu terjadi bukan hanya karena Mauw Siauw Mo-li ketika itu masih belum tua benar dan lebih cantik menarik, melainkan semata-mata karena Kian Bu merupakan seorang pemuda yang berwatak romantis dan masih hijau dan bodoh sehingga dia seperti seekor lebah, terpikat dan melekat dalam perangkap penuh madu. Akan tetapi Tek Hoat lain lagi. Dia memang masih muda, akan tetapi pemuda ini pernah terjerumus ke dalam dunia sesat, sudah banyak pengalaman dalam hal permainan cinta dan semenjak dia jatuh hati kepada Syanti Dewi, pemuda ini tahu benar bahwa semua permainan cinta itu hanyalah pemuasan nafsu belaka yang makin dituruti makin haus dan menghendaki lebih. Dia dapat membedakan antara cinta kasihnya yang murni dan bersih terhadap Syanti Dewi dan “cinta” yang bergelimang nafsu berahi dengan wanita-wanita lain, maka dia pun segera mengenal cinta kasih macam itu yang terkandung dalam hati Mauw Siauw Mo-li terhadap dirinya. Oleh karena itu, dia selalu menghindarkan diri dan setiap kali darah mudanya bergelora oleh rayuan yang lihai dari wanita matang itu, dia menggunakan kekerasan hatinya untuk menekan nafsu berahinya.

Telah diceritakan betapa semenjak peristiwa di rumah makan itu, sikap Tek Hoat lebih hati-hati lagi dan dia mulai menaruh kecurigaan, akan tetapi karena dia sudah mendengar berita tentang Syanti Dewi, dia mempertahankan perasaannya dan bersama Lauw Hong Kui, yaitu si Siluman Kucing, berangkatlah dia menuju ke pantai Lautan Po-hai di timur.

Setelah tiba di pantai lautan itu pada suatu pagi, mereka berdiri di pantai yang sunyi dan memandang ke teluk yang amat luas itu. “Pantai Teluk Po-hai begini luas, ke mana kita harus mencari mereka?” kata Tek Hoat, nada suaranya penuh kegelisahan karena memang dia merasa gelisah sekali kalau memikirkan kekasihnya. Dia masih belum mengerti mengapa Syanti Dewi meninggalkan Bhutan dan terjatuh ke tangan ketua Liong-sim-pang dan mengapa pula sekarang diculik dan dilarikan orang. Gelisah dia memikirkan kekasihnya itu. Dia dapat menduga bahwa tentu kekasihnya itu melarikan diri dari Bhutan untuk mencarinya. Kalau teringat akan dugaan ini, hatinya menjadi terharu sekali dan cinta kasihnya terhadap Syanti Dewi makin mendalam, akan tetapi segera dia dihimpit oleh rasa gelisah yang hebat.

Mauw Siauw Mo-li tersenyum dan menoleh kepadanya, menatap wajah yang tampan itu, lalu berkata, “Engkau tidak percuma melakukan perjalanan mencari puteri itu bersamaku, Tek Hoat.” Sudah lama dia memanggil pemuda itu dan bicara dengan sikap ramah dan akrab, seolah-olah mereka telah menjadi sahabat karib. Dan Tek Hoat pun tidak peduli akan sikap ini.

“Apa maksudmu? Tahukah engkau ke mana kita harus mencari?”

Lauw Hong Kui memperlebar senyumnya dan mengangguk, lalu membereskan anak rambut di dahinya yang kusut dan melambai-lambai tertiup angin laut. Memang cantik sekali dia dan pandai dia menonjolkan kecantikannya di saat yang tepat. “Tentu saja aku tahu, atau setidaknya dapat menduga dengan tepat. Aku tidak asing di daerah ini, Tek Hoat. Kalau dugaanku tidak meleset, dan biasanya tidak, agaknya yang melakukan penculikan itu tentulah si Raja Maling!”

“Raja Maling?” Tek Hoat bertanya, memandang wajah yang cantik dan terias baik-baik itu penuh perhatian.

“Lihat, angin begini besar membuat rambutku kusut. Rambutku awut-awutan, ya?” tanyanya sambil mengatur rambut dengan jari-jari tangannya yang kecil panjang. Terpaksa Tek Hoat memandang rambut itu dan memang indah sekali rambut yang panjang halus itu melambai—lambai tertiup angin.

“Katakan, siapa dia dan di mana tempatnya?” Dia berkata setelah sejenak dia tertegun. Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui tersenyum manis sehingga deretan giginya yang putih dan kecil itu nampak berkilat.

“Engkau sungguh tidak menghargai kecantikan orang!” Dia menartk napas panjang. “Dia itu adalah Hek-sin Touw-ong, si Raja Maling Sakti Hitam, seorang kakek yang amat sakti dan yang bertapa di pantai Po-hai sebelah utara.”

Tek Hoat mengerutkan alisnya. Dia tahu bahwa memang banyak terdapat manusia-manusia yang berilmu tinggi di dunia ini, maka biarpun dia sendiri belum pernah mendengar atau berjumpa dengan kakek raja maling itu, dia percaya bahwa tentu dia seorang yang amat lihai. Tidak sembarang orang akan dipuji kepandaiannya oleh Siluman Kucing ini, yang dia tahu juga lihai sekali.

“Bagaimana engkau dapat menyangka bahwa dia yang menculik Syanti Dewi?” dia mendesak, tidak mau percaya begitu saja.

Siluman Kucing itu bertolak pinggang dengan lagak dan gaya memikat sekali. Pinggangnya makin nampak ramping kalau dia bertolak pinggang seperti itu, apalagi angin yang nakal membuat bajunya tersingkap-singkap terbuka. “Tentu saja aku menduga demikian, pemuda yang tampan! Menurut jejak yang kita ikuti, puteri Bhutan itu dibawa lari seorang kakek dan larinya menuju ke pantai Po-ha-, sampai di laut lenyaplah jejaknya dan tidak ada orang yang tahu biarpun kita sudah bertanya-tanya sampai mulut terasa lelah. Dan di pantai ini, hanya ada satu-satunya kakek yang berilmu tinggi, yaitu si Raja Maling. Siapa lagi kalau bukan dia yang melakukan penculikan itu? Melarikan seorang puteri dari dalam benteng Liong-sim-pang yang amat kuat itu bukanlah hal mudah, bahkan engkau yang dibantu oleh muridku dan anak buah Hek-eng-pang pun gagal. Akan tetapi kakek itu seorang diri saja mampu mencuri dan menculiknya. Siapa lagi kalau bukan perbuatan si Raja Maling?”

Tek Hoat mengangguk-angguk, harapannya timbul kembali. “Kalau begitu, mari kita cepat mengejarnya ke sana, Mo-li!”

“Hi-hik, mengapa tergesa-gesa, Tek Hoat? Takkan lari gunung dikejar, perlu apa terburu-buru?”

“Mo-li, Raja Maling itu tentu bukan gunung, melainkan seorang maling yang dapat bergerak dan lari, dan aku khawatir kalau-kalau dia akan mengganggu Syanti Dewi!”

“Aihhh, Tek Hoat. Kau gelisah seolah-olah di dunia ini tidak ada wanita lain saja. Apakah aku bukan wanita pula dan apakah aku tidak cantik?” Mauw Siauw Mo-li sudah mendesak dan merangkulkan kedua lengannya yang panjang itu ke leher Tek Hoat. Kedua lengan itu melingkar-lingkar seperti seekor ular, merayap ke atas dan membelai rambut di tengkuk Tek Hoat, lalu menjambaknya perlahan dengan gemas.

“Mo-li, jangan begitu....!” Tek Hoat berkata dengan alis berkerut. Kalau dia tidak membutuhkan bantuan wanita ini untuk menemukan kembali kekasihnya, tentu dia sudah bersikap kasar dan mendorong wanita ini. Namun, Mauw Siauw Mo-li malah mendekapkan tubuhnya sehingga melekat ke tubuh Tek Hoat, menggoyang-goyang tubuhnya sehingga menggesek tubuh pemuda itu dengan gaya memikat sekali, mukanya didekatkan ke mulut Tek Hoat.

Harus diakui bahwa Lauw Hong Kui adalah seorang wanita cantik yang bertubuh menggairahkan sekali. Dia sudah matang dan pandai merayu prla. Dan biarpun Tek Hoat bukan seorang pemuda hijau seperti Suma Kian Bu lima tahun yang lalu, namun tetap saja dia adalah seorang yang masih muda dan berdarah panas dan biarpun dia tidak sudi membalas cinta seorang wanita seperti Siluman Kucing ini, namun dipeluk seperti itu dan merasakan gesekan dan geseran tubuh yang hangat dan padat itu jantungnya berdebar juga.

Sebagai seorang wanita yang sudah banyak pengalaman, debar jantung di dalam dada pemuda itu diketahui dan terasa oleh Hong Kui. Memang dia sengaja merapatkan dadanya ke dada pemuda itu untuk menangkap tanda ini. Begitu dadanya merasa denyut jantung yang mengencang itu, cepat dia meraih kepala pemuda itu, ditarik ke bawah karena Tek Hoat lebih tinggi daripada dia sehingga muka mereka bertemu dan Hong Kui lalu mencium mulut pemuda itu dengan bibirnya. Ciuman yang amat mesra, yang dilakukan dengan gelora nafsu berahi dan sepenuh perasaannya, ciuman yang panas dengan napas yang mendengus-dengus.

Tek Hoat terkejut sekali. Harus diakuinya bahwa wanita ini menyalakan sesuatu di dalam hatinya, akan tetapi dia teringat bahwa tidak semestinya dia melayani wanita ini dan tidak menuruti gelora berahinya yang dibangkitkan oleh Siluman Kucing yang amat pandai ini. Akan tetapi pada saat itu, mau tidak mau dia menikmati dan merasakan ciuman hangat itu, merasa betapa sepasang bibir yang lunak itu bergerak-gerak, kemudian dia mendengar suara merintih seperti suara seekor kucing, dan terasa betapa lidah yang lunak menjilat-jilat, seperti lidah seekor kucing yang manja!

Sejenak Tek Hoat terlena, akan tetapi ketika bayangan wajah Syanti Dewi berkelebat di depan matanya yang dipejamkan, tiba-tiba saja dia merenggutkan dirinya terlepas dari pelukan. Dengan muka pucat dan mata terbelalak, napas agak terengah dia memandang wanita itu. Hong Kui juga memandangnya dengan mata setengah terpejam, mulut agak terbuka, mulut yang basah merah dengan gigi putih mengintai di antara ujung lidah meruncing, napasnya tersendat-sendat, senyumnya memikat, kedua lengan dibuka menantang.

“Tek Hoat.... Tek Hoat.... ke sinilah....“ Suaranya tergetar dan penuh dengan daya tarik.

“Mo-li! Aku tidak sudi memenuhi kehendakmu yang gila ini!” Tiba-tiba Tek Hoat yang sudah sadar itu membentak marah.

Suara pemuda itu cukup untuk mengguncang Mauw Siauw Mo-li bahwa pemuda itu sudah tidak lagi dapat dikuasainya pada saat itu, maka dia pun tersadar dan dia memandang pemuda itu dengan sinar mata tajam. “Tek Hoat, engkau sungguh tidak mengenal budi!” celanya. “Aku sudah payah membantumu mencari puteri itu, bahkan sekarang pun aku yang mengetahui tempat kakek itu, akan tetapi engkau sedikit pun tidak mau menyenangkan hatiku dan memberi air cinta untuk hatiku yang sedang dahaga. Engkau kejam! Dan kalau engkau menolak cintaku, aku pun tidak sudi lagi menunjukkan tempat Raja Maling itu padamu!”

Tiba-tiba sinar mata Tek Hoat menjadi keras dan mengancam sehingga Mauw Siauw Mo-li sendiri menjadi terkejut.

“Mauw Siauw Mo-li! Enak saja kau bicara. Kalau sekarang engkau tidak mau menunjukkan tempat itu, aku akan memaksamu!”

“Ehhh....?” Wanita itu membelalakkan mata. “Aku sudah membantumu dan kau sekarang hendak memaksa? Sungguh tidak tahu aturan engkau ini!”

“Mo-li, ingat. Siapa yang dulu membujuk aku untuk melakukan perjalanan bersamamu? Siapa yang berjanji akan menemukan kembali Syanti Dewi? Engkau sudah membawa aku sampai di sini, dan kalau engkau sekarang meninggalkan aku, berarti engkau telah menipuku! Dan aku bukan orang yang mudah saja ditipu tanpa membalas!”

“Kaukira aku takut!”

Tek Hoat tersenyum mengejek. “Tentu saja tidak. Aku tahu siapa adanya Mauw Siauw Mo-li. Akan tetapi, aku yakin akan dapat menghajarmu, Mo-li. Senjata rahasia peledakmu itu tidak menakutkan Si Jari Maut!”

Sikap yang gagah, pandang mata yang tajam penuh ancaman, ditambah nama julukan Jari Maut itu mengingatkan kepada Mauw Siauw Mo-li bahwa pemuda ini memang lihai bukan main, dan kalau sudah marah, kekejamannya amat mengerikan sehingga mendapat julukan Si Jari Maut. Memang dia tidak takut, akan tetapi dia melihat bahayanya kalau sampai memusuhi pemuda ini. Dan pula, dia masih belum putus asa. Tadi, bukankah jantung pemuda perkasa ini berdebar dan bukankah ketika mulut mereka bertemu tadi, terasa olehnya betapa bibir pemuda itu membalas kecupannya? Akan tiba saatnya pemuda yang keras hati ini akan bertekuk lutut dan menyerahkan diri dalam pelukannya, dan betapa akan manis dan nikmatnya penyerahan itu setelah berkali-kali ditolaknya. Maka dia pun tersenyum kembali dan sepasang matanya kehilangan sinar kemarahannya.

“Hemmm, kita sudah lama bersahabat, sudah jauh melakukan perjalanan bersama. Akan luculah kalau tiba-tiba kita berhadapan sebagai musuh. Baik, Tek Hoat, aku akan terus membantumu, dan kalau sampai aku membantumu berhasil mendapatkan kembali puteri itu, bagaimana sikapmu kepadamu?”

“Aku akan menganggapmu sebagai seorang sahabat baik dan aku akan berterima kasih kepadamu, Mo-li.”

“Hanya itu saja? Apa yang akan kaulakukan untuk membuktikan terima kasihmu?”

“Heemmm.... aku tidak tahu. Mungkin aku akan membalasmu dan menolongmu kalau sewaktu-waktu kau membutuhkan bantuan.”

“Aku hanya membutuhkan bantuanmu agar engkau suka bersikap manis kepadaku, Tek Hoat. Tak tahukah kau bahwa aku sangat suka kepadamu? Kalau sudah berhasil, kaubalas saja dengan sikap manis dan memenuhi hasrat cintaku, ya?”

Tek Hoat tidak sudi menjanjikan itu, akan tetapi dia tidak ingin banyak bicara tentang itu lagi, maka dia menjawab, “Kita lihat saja nanti, Mo-li. Yang penting sekarang, hayo kautunjukkan tempat tinggal Raja Maling yang menculik Syanti Dewi.”

“Nanti dulu, Tek Hoat. Engkau masih muda dan engkau sembrono. Biarpun engkau memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi dalam hal ini engkau sama sekali tidak boleh sembrono. Hek-sin Touw-ong adalah seorang tua yang amat lihai. Aku sendiri sudah pernah menandinginya dan dalam hal kesaktian dia agaknya tidak kalah olehmu. Bahkan dulu suhengku, Hek-tiauw Lo-mo, pernah bentrok dengan dia dan suheng selalu memperingatkan kepada anak buahnya agar jangan sampai bentrok dengan Raja Maling itu. Suheng sendiri merasa segan untuk bermusuhan dengan kakek sakti itu, maka dalam hal ini, kita tidak boleh sembrono menyerbu ke sana begitu saja karena hal itu mungkin sekali membuat kita celaka dan puteri itu tidak akan tertolong pula.”

“Hemmm, aku tidak takut. Habis kalau kita tidak menyerbu ke sana, bagaimana kita dapat menolong Syanti Dewi?”

“Tentu kita tidak akan membiarkan saja, kita akan menyerbu ke sana. Akan tetapi tidak sekarang. Aku akan mencari kawan-kawanku di pantai ini. Mereka akan membantu kita dan dengan bantuan mereka, maka aku baru berani mengajakmu menyerbu. Bukankah ketika kau berusaha menolong puteri itu dari benteng Liong-sim-pang, engkau pun membutuhkan bantuan Hek-eng-pang?”

“Ketika itu lain lagi keadaannya, Mo-li. Liong-sim-pang adalah benteng dan selain kuat, juga mempunyai banyak anggauta, maka aku membutuhkan bantuan Hek-eng-pang. Akan tetapi sekarang, kita hanya menghadapi seorang kakek....“

“Hemmm, kau tidak tahu kakek macam apa yang kita hadapi. Kita harus menggunakan bantuan kawan-kawanku itu agar mereka memancingnya keluar dari sarangnya sehingga engkau akan mudah merampas kembali puteri itu.”

Tek Hoat mengerutkan alisnya. Sebetulnya dia tidak menyukai cara yang curang ini, akan tetapi yang terpenting baginya adalah menyelamatkan Syanti Dewi, maka dia tidak mau mengecewakan wanita iblis yang hendak membantunya ini, maka dia tidak membantah lagi.

“Mari kita mencari kawan-kawanku itu!”

“Siapakah mereka?”

“Siapakah mereka? Ha-ha-ha, mereka pun amat terkenal di wilayah ini, Tek Hoat, sungguhpun sama sekali tidak boleh dibandingkan dengan Raja Maling. Mereka adalah raja-raja di perairan Teluk Po-hai! Marilah!”

Tek Hoat pergi mengikuti wanita itu menuju ke utara dan memasuki hutan di pantai Po-hai. Hutan itu sunyi sekali dan tidak nampak seorang pun manusia sehingga kelihatan menyeramkan sekali. Belum lama mereka memasuki hutan itu, tiba-tiba terdengar suitan-suitan nyaring di sana-sini. Suara-suara suitan itu susul-menyusul dan agaknya saling menjawab, makin lama makin dekat sehingga akhirnya terdengar di sekeliling mereka, dari depan, belakang, kanan dan kiri. Mereka telah dikepung oleh suara-suara itu. Tek Hoat bersikap waspada, akan tetapi Mauw Siauw Mo-li tertawa-tawa saja. “Lihat, betapa cepat mereka itu tahu akan kedatangan kita dan telah berkumpul mengurung. Bukankah berguna sekali bantuan-bantuan seperti mereka itu?”

Tiba-tiba terdengar seruan nyaring, “Berhenti kalian berdua yang berjalan dalam hutan! Kalian telah memasuki daerah kami tanpa ijin!”

Mauw Siauw Mo-li dan Tek Hoat berhenti, dan wanita itu berseru nyaring, “Lo Kwa, bukankah engkau yang bicara itu? Keluarlah, jangan main kucing-kucingan!”

Ucapan wanita ini diikuti suasana sunyi, agaknya semua orang yang mengurung tempat itu menjadi terkejut dan heran. Lalu terdengar seruan yang mengandung keheranan dan juga kegembiraan, “Lauw-lihiap....!”

Bermunculanlah kini belasan orang laki-laki dari empat penjuru, berloncatan keluar dari balik-balik pohon dan semak-semak. Mereka itu rata-rata adalah laki-laki kasar dan tinggi besar, nampaknya kuat dan keras. Mereka dipimpin oleh seorang laki-laki yang usianya antara tiga puluh lima tahun, bertubuh tegap dan berwajah tampan akan tetapi mukanya tertutup brewok.

“Lihiap....!” Pemimpin gerombolan ini melangkah maju dan menjura kepada Lauw Hang Kui sambil tersenyum lebar.

Diam-diam Tek Hoat terheran-heran melihat mereka itu menyebut lihiap (pendekar wanita) kepada Siluman Kucing ini. Dia tidak tahu bahwa julukan itu hanyalah julukan yang diberikan oleh mereka yang menganggap wanita ini sebagai iblis, akan tetapi gerombolan bajak laut dari Po-hai yang bersarang di dalam hutan ini merupakan sahabat-sahabatnya yang tentu saja menganggapnya sebagai seorang wanita perkasa yang patut disebut lihiap!

Lauw Hong Kui menghampiri laki-laki tampan itu dan mengangkat tangan kirinya mengusap dagu yang penuh jenggot itu. “Aihhh, Lo Kwa, hampir aku tidak dapat mengenalmu lagi. Ihhh, aku baru mau bicara berdua denganmu kalau kau sudah membuang semua brewokmu yang menggelikan itu! katanya dengan sikap genit dan manja. Orang she Kwa yang disebut Lo Kwa (Kwa yang Tua) itu tertawa dan menangkap lengan Hong Kui, ditariknya dan hendak dipeluknya wanita itu. Akan tetapi sambil tersenyum manja Hong Kui melepaskan dirinya dan berkata, “Kaucukur dulu semua brewokmu!”

Orang she Kwa itu tertawa dan semua anak buahnya juga tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, kedatanganmu mendatangkan cahaya kegembiraan di hutan yang gelap ini, Lauw-lihiap!” kata orang she Kwa itu.

“Akan tetapi aku adalah Siluman Kucing, apakah kalian tidak takut?” Lauw Hong Kui berkata sambil bertolak pinggang, senyumnya lebar dan dia kelihatan gembira sekali, merasa berada di antara teman-teman baiknya.

“Hidup Lauw-lihiap!”

“Selamat datang, Mauw Siauw Mo-li!”

“Biar besok pagi aku mampus, aku rela asal semalam suntuk boleh membelai kucing!”

“Aku pun bersedia!”

Riuh-rendah suara mereka dan pernyataan kagum mereka dinyatakan secara terang-terangan, bahkan ada yang mengeluarkan pernyataan kasar dan tidak sopan, akan tetapi semua itu agaknya sudah biasa diantara mereka dan Lauw Hong Kui juga menyambutnya dengan tersenyum saja. “Akan kulihat nanti siapa di antara kalian yang patut untuk menghiburku,” katanya.

Tek Hoat merasa muak juga, dan diam-diam dia merasa malu juga, mengapa dia pernah merasa tertarik dan timbul berahinya terhadap wanita ini. Padahal, wanita ini benar-benar merupakan siluman yang tak tahu malu, seorang wanita yang biasa mempermainkan pria seperti kucing mempermainkan tikus lebih dulu sebelum diterkam dan dibunuhnya!.

“Lo Kwan, di mana para Ong-ya?”

Pertanyaan ini membuat Tek Hoat menjadi maklum bahwa orang she Kwa ini hanya seorang bawahan saja, dan kini iblis betina ini menanyakan para ong-ya, yaitu para raja bajak!

“Semua berada di sarang, Lihiap. Tentu mereka akan menjadi gembira sekali mendengar akan kedatanganmu. Marilah kita ke sana, ataukah kita berdua bersenang-senang dulu?” kata orang she Kwa itu sambil memandang dengan mata mengandung penuh gairah.

“Hushhh, brewokmu itu menggelikan. Dan mungkin kelak kalau ada waktu bagiku, boleh kita bersenang-senang. Mari antar aku kepada para Ong-ya.”

“Tapi, dia ini....?” Orang she Kwa itu menuding ke arah Tek Hoat dengan pandang mata tidak senang dan penuh curiga. Diam-diam Tek Hoat merasa mendongkol juga. Sejak tadi sama sekali tidak diacuhkan dan kini dicurigai. Kalau tidak ingat akan kepentingannya, tentu sekali pukul dia sudah membunuh bajak-bajak ini.

Agaknya Hong Kui dapat mengerti akan kegemasan hati Tek Hoat dengan melihat wajah dan sinar matanya, maka dia lalu berkata, “Dia ini adalah sahabatku yang akan menjadi tamu agung kalian. Jangan kau main-main, Lo Kwa, dialah yang berjuluk Si Jari Maut!”

“Ahhhhh....?” Agaknya orang she Kwa ini pernah mendengar julukan ini, maka dia memandang dengan mata terbelalak dan mukanya berubah pucat.

“Maaf, kami tidak tahu....“ katanya.

“Sudahlah, mari kita jalan,” kata Tek Hoat tidak sabar.

Di sepanjang perjalanan memasuki hutan itu, dengan ramahnya Hong Kui bercakap-cakap dengan orang she Kwa dan beberapa orang anak buah bajak yang muda-muda, beramah-tamah dan kadang-kadang mereka berkelakar dengan omongan-omongan yang kotor sehingga Tek Hoat merasa makin muak.

Tibalah mereka kini di tengah hutan yang berada di tepi tebing yang agak tinggi. Dari sini nampak Teluk Po-hai terbuka luas di depan. Memang tempat ini merupakan tempat yang paling indah dan juga paling tepat untuk dijadikan sarang para bajak laut itu karena dari tepi tebing mereka dapat melihat keadaan di seluruh Teluk Po-hai, melihat perahu-perahu yang seperti semut-semut kecil hitam di teluk itu. Dari sini mereka dapat melihat dan mengenal kapal-kapal besar yang patut mereka hadang dan mereka bajak, juga mereka dapat mengadakan pengawasan terhadap anak buah mereka. Tempat yang amat cocok untuk menjadi sarang bajak laut!

Bajak laut itu terdiri dari tiga puluh orang lebih, dipimpin oleh dua orang kakak beradik yang disebut twa-ong dan ji-ong sebagai ketua atau raja pertama dan ke dua. Mereka itu bernama Ma Khong dan Ma Ti Lok, dua orang kakak beradik yang bertubuh tinggi besar, kokoh kuat, dan memiliki ilmu golok yang cukup hebat sehingga mereka sejak belasan tahun telah terkenal sebagai kepala-kepala bajak yang ditakuti dan disegani. Kini mereka hanya mau membajak kapal-kapal asing, tidak mau mengganggu perahu-perahu nelayan dan pedagang pedalaman karena mereka tidak berani menghadapi hukuman pemerintah. Akan tetapi, hal ini malah menguntungkan mereka karena para pedagang dan nelayan tidak segan-segan untuk “membagi hasil keuntungan” kepada mereka asal para bajak itu tidak mengganggu pekerjaan mereka itu.

Ketika melihat munculnya Hong Kui, Ma Khong dan Ma Ti Lok menjadi gembira bukan main, demikian pula para anak buah mereka. Tek Hoat dapat mudah saja menduga bahwa di antara Hong Kui dan dua orang kakak beradik yang gagah dan cukup tampan itu tentu terdapat hubungan gelap, dan juga dengan banyak anak buah mereka termasuk orang she Kwa tadi.

Dugaan itu memang benar. Lauw Hong Kui adalah seorang wanita yang gila laki-laki, seorang wanita yang diperhamba oleh nafsu berahinya sehingga menjadi tidak normal lagi. Dia merasa tersiksa kalau terlalu lama tidak ditemani pria, maka ketika dia melakukan perjalanan bersama Tek Hoat yang tidak mau melayaninya, dia merasa amat tersiksa. Dan wanita yang seperti iblis betina ini memiliki kebiasaan yang mengerikan pula, yaitu dia akan membunuh setiap orang pria yang sudah memuaskannya semalam suntuk, yaitu pria yang asing baginya karena dia tidak mau kalau pria itu akan menceritakan semua pengalamannya dan membuat namanya sebagai seorang wanita tercemar. Akan tetapi, tentu saja dia tidak akan membunuh pria-pria yang menjadi sahabatnya, yang akan merahasiakan dan menjaga namanya seperti para bajak yang telah menjadi teman-temannya sejak belasan tahun yang lalu ini. Ada pula yang dibunuhnya secara tidak sengaja, yaitu kalau dia bertemu dengan seorang pria yang benar-benar memuaskan hatinya dan amat menyenangkannya sehingga dia akan terus merayu pria ini, dan memaksanya bermain cinta sampai pria itu tewas! Dan dengan ilmunya yang luar biasa, Siluman Kucing ini bisa saja memaksa pria melayani dan memuaskan nafsunya yang tak kunjung padam itu sampai pria itu mati.

Ketika Hong Kui memperkenalkan Ang Tek Hoat sebagai Si Jari Maut, dua orang kepala bajak itu bersikap hormat kepada pemuda ini. Mereka lalu mengadakan pesta perjamuan untuk menyambut kedatangan Hong Kui dan Tek Hoat. Mereka makan minum dengan gembira dan beberapa kali Tek Hoat memberi isyarat kepada Hong Kui untuk cepat menceritakan maksud kedatangan mereka. Akan tetapi Hong Kui akhirnya berbisik kepadanya, “Tidak perlu tergesa-gesa, nanti setelah makan minum selesai.”

Tek Hoat merasa mendongkol, akan tetapi tentu saja dia tidak dapat memaksa. Setelah ruangan itu dibersihkan dan mereka duduk mengobrol, barulah Hong Kui berkata kepada dua orang kepala bajak itu, “Twa-ong dan Ji-ong, sebetulnya kedatangan kami ini selain terdorong oleh rasa rindu hatiku terhadap semua teman di sini, juga kami bermaksud minta bantuanmu untuk urusan sahabatku Si Jari Maut ini, urusan yang amat penting.”

Ma Khong dan Ma Ti Lok memandang kepada Tek Hoat penuh perhatian. Pemuda sakti ini pun balas memandang mereka. Ma Khong adalah seorang laki-laki yang tinggi besar dan agak pendek, usianya kurang lebih empat puluh tahun, matanya lebar dan kumisnya lebat. Adiknya, Ma Ti Lok, berusia tiga puluh lima tahun, tubuhnya kekar dan jangkung, mukanya bersih tidak ada brewoknya karena tercukur rapi, rambutnya panjang dan hitam dijalin menjadi kuncir besar. Seperti juga kakaknya, tubuhnya berotot dan nampaknya kuat sekali. Di lain fihak, dua orang kepala bajak itu memandang Tek Hoat dengan ragu-ragu, karena mereka merasa sukar untuk percaya apakah pemuda yang kelihatan amat muda dan lemah ini benar-benar Si Jari Maut yang demikian menggemparkan? Tentu saja mereka bukan tidak percaya bahwa mungkin saja seorang pemuda yang kelihatan lemah memiliki kepandaian hebat, karena mereka tahu bahwa Lauw Hong Kui, seorang wanita yang cantik jelita itu pun kepandaiannya hebat bukan main, jauh melebihi kepandaian mereka sendiri.

“Urusan apakah itu, Lihiap?” tanya Ma Khong akhirnya sambil memandang wanita itu.

“Ketahuilah, Ang-taihiap ini mempunyai seorang sahabat baik, seorang wanita yang terculik dan karena penculiknya membawanya ke daerah Po-hai, maka kami minta bantuan kalian untuk merampas kembali sahabat Ang-taihiap ini.”

Dua orang kepala bajak itu saling pandang, lalu tersenyum lebar dan berkatalah Ma Khong. “Ahhh, itu urusan kecil sekali, Lihiap. Tentu saja kami mau membantu. Siapakah penculik itu yang berani mati sekali, berani mengganggu sahabat Si Jari Maut, padahal ada Lihiap pula di samping Si Jari Maut?”

“Jangan bilang bahwa urusan ini kecil, Twa-ong, sebelum kalian mengetahui siapa penculik itu.”

“Siapakah dia?” tiba-tiba Ma Ti Lok bertanya sambil memandang tajam penuh selidik.

“Kalau orang biasa, agaknya kami tidak perlu minta bantuan kalian. Menurut dugaanku, penculik itu bukan laln adalah Hek-sin Touw-ong....“

“Ahhhhh....!” Dua orang Saudara Ma itu melonjak kaget dan bangkit berdiri dari bangku mereka dan muka mereka berubah pucat. “Tidak mungkin....!”

“Apanya yang tidak mungkin? Dia yang menculik ataukah kalian yang membantu kami?” tanya Lauw Hong Kui.

“Kedua-duanya....!” kata Ma Khong yang sudah duduk kembali dan dia belum pulih kembali ketenangannya karena dia bersama adiknya benar-benar terkejut mendengar disebutnya nama Hek-sin Touw-ong Itu. “Yang pertama, tidak mungkin Touw-ong sudi melakukan penculikan terhadap seorang wanita, dan ke duanya, andaikata benar dia yang melakukannya, tidak mungkin bagi kami untuk mencampurinya. Kami selamanya tidak pernah dan tidak akan mencampuri urusan Touw-ongya karena locianpwe itu pun tidak pernah mengganggu kami.” Jelas bahwa Ma Khong kelihatan jerih sekali terhadap nama itu.

“Kalian tidak tahu siapa wanita yang diculiknya itu, Twa-ong dan Ji-ong. Dengarlah, wanita yang diculiknya itu, sahabat dari Ang-taihiap ini, adalah seorang puteri dari Kerajaan Bhutan, bukan sembarang wanita belaka. Baru-baru ini, puteri itu terjatuh ke tangan ketua Liong-sim-pang di puncak Naga Api di Lu-liangsan, tempat yang amat kuat seperti benteng dan Liong-sim-pamg dipimpin orang-orang pandai dan mempunyai banyak sekali anak buah. Namun, seorang kakek mampu menculiknya dari ternpat itu dan jejaknya menuju ke pantai Po-hai. Siapa lagi kalau bukan Hek-sin Touw-ong yang melakukan penculikan itu?”

Mendengar ini, dua orang kepala bajak itu saling pandang dan mengerutkan alis, berpikir keras. “Agaknya tidak mungkin Touw-ong yang melakukan penculikan,” kata Ma Ti Lok. “Biarpun Touw-ongya dan puterinya berilmu tinggi dan tentu saja bukan merupakan pantangan bagi mereka untuk mencuri apa saja yang mereka sukai, akan tetapi agaknya tidak masuk di akal kalau Touw-ongya menculik wanita, biarpun Wanita itu seorang puteri kerajaan sekalipun!”

“Benar,” kata pula Ma Khong. “Agaknya bukan dia....”

“Habis siapa lagi kalau bukan dia? Hanya dia seorang saja kakek berilmu tinggi yang berada di pantai Po-hai,” kata Hong Kui.

“Ah, bukan hanya dia,” kata Ma Khong. “Ada seorang lagi dan kurasa dia inilah yang melakukan penculikan. Ya benar, tidak salah lagi. Tentu kakek aneh itu yang bertapa di tepi pantai sebelah ujung utara, di tempat yang sukar didatangi orang, yaitu di Gua Tengkorak.”

“Hemm, siapa dia?” tanya Hong Kui.

“Seorang kakek tua renta yang kabarnya aneh dan lihai bukan main, bahkan orang-orang pernah melihat dia menghilang seperti setan, dan.... berjalan di atas air!”

“Bohong....!” kata Hong Kui.

“Mungkin bohong mereka itu, akan tetapi jelas bahwa kakek itu amat lihai, mungkin juga pandai bermain sihir, dan karena kami pun tidak mengenal benar siapa dia dan orang macam apa adanya dia, maka besar kemungkinan dialah yang melakukan penculikan,” kata Ma Khong.

“Kalian berdua tentu suka membantu kami, bukan? Kumaksudkan, membantu aku!” tanya Hong Kui sambil mengerling tajam.

“Tentu.... tentu....!” Mereka berdua menjawab serentak.

“Kalau begitu, harap kalian membawa anak buah dan mengantar kami mencari kakek aneh di Gua Tengkorak itu untuk menyelidiki.”

“Baik,” jawab mereka.

“Dan kalau kemudian ternyata bahwa bukan kakek aneh itu yang menculik Puteri Bhutan, kalian harus mmebantu kami menyelidiki keadaan Hek-sin Touw-ong.”

“Akan tetapi.... ini.... ini....” Ma Khong dan Ma Ti Lok menjawab penuh keraguan dan jelas membayangkan perasaan takut-takut.

“Kalian tidak mau membantu aku?” Hong Kui mendesak dan kini senyumnya menantang.

“Kami tentu saja mau membantu Lihiap!” tiba-tiba Ma Ti Lok berkata.

“Benar, kami suka membantu Lihiap, dan harap Lihiap suka menghargai bantuan kami ini yang sesungguhnya kami lakukan dengan nekat demi rasa sayang kami kepada Lihiap. Sungquh kami tidak berani main-main terhadap Touw-ong, akan tetapi demi Lihiap.... kami mau melakukan segalanya, asal Lihiap tidak melupakan kami dan malam ini....“

Lauw Hong Kui tertawa. “Hi-hik, kalian sungguh bodoh! Pernahkah aku Lauw Hong Kui melupakan kebaikan orang? Kalian adalah sahabat-sahabatku yang baik, dan aku sudah rindu kepada kalian. Akan tetapi nanti kalau urusan ini sudah selesai dengan baik, tunggu saja dan lihatlah betapa aku adalah seorang yang tahu terima kasih, yang mengenal budi dan kutanggung kalian berdua tidak akan menyesal telah membantu aku. Akan tetapi nanti kalau sudah berhasil, karena malam ini.... hemmm, aku ingin dilayani oleh dia itu.” Tiba-tiba Lauw Hong Kui menuding ke arah seorang pelayan pria yang sejak tadi memang menarik perhatiannya.

Tek Hoat ikut memandang bersama dua orang kepala bajak itu. Pria yang ditunjuk oleh Lauw Hong Kui itu adalah seorang pria muda, usianya paling banyak enam belas tahun, akan tetapi tubuhnya tinggi besar dan wajahnya tidak tampan namun gagah dan membayangkan kejantanan. Dia berpakaian sederhana sebagai seorang pelayan, namun kesederhanaan pakaiannya itu tidak menyembunyikan tubuhnya yang mulai dewasa, kekar dan kuat. Sepasang matanya lembut dan sejak tadi dia memandang kepada Lauw Hong Kui penuh kekaguman karena sudah banyak dia mendengar dari kawan-kawannya di tempat itu tentang kehebatan wanita ini, hebat ilmu silatnya, hebat pula kepandaiannya merayu pria.

“Ah, si A-cun itu? Dia seorang yang baru di sini, baru belajar. Belum ada dua tahun dia ikut kami...., eh, dia masih bodoh dan hijau....“

“Hi-hik, justeru kebodohan dan kehijauannya itu menarik hatiku dan malam ini dia akan melayani aku. Adapun kalian berdua, tunggu sampai selesai urusan yang kalian bantu, tentu kalian akan mendapatkan bagian sepenuhnya.” Wanita itu lalu bangkit berdiri, menoleh kepada Tek Hoat dan berkata, “Tek Hoat, kau bercakap-cakaplah dulu dengan mereka, aku akan pergi dan mengaso.” Dia lalu menghampiri pemuda pelayan yang di sebut A-cun tadi, menggandeng tangannya dan berkata, “Marilah, kautunjukkan aku di mana bagian-bagian yang paling indah di daereh ini.”

Pelayan muda itu memandang dengan mata terbelalak, kelihatan bingung dan gugup, akan tetapi dia tidak membantah ketika ditarik dan diajak pergi oleh Hong Kui, diikuti suara ketawa dua orang kepala bajak itu yang memandang dengan mata mengandung iri.

Malam itu, Tek Hoat rebah di atas pembaringan dalam kamar tamu dengan hati gelisah memikirkan Syanti Dewi. Benarkah kakek yang aneh seperti setan itu yang menculik kekasihnya? Ataukah si Raja Maling? Jantungnya seperti ditusuk-tusuk rasanya ketika dia membayangkan keadaan Syanti Dewi yang menderita bermacam kesengsaraan. Melakukan perjalanan jauh dari Bhutan, mungkin menyusulnya, dan tiba di tangan orang-orang jahat, bahkan hampir dikawin oleh Hwa-i-kongcu secara paksa dan kini entah berada di tangan siapa dan di mana dan bagaimana keadaannya. Semua ini terjadi karena ibunya yang muncul di Bhutan! Ah, dia tidak akan menyalahkan ibunya yang telah meninggal. Ibunya yang meninggal dalam keadaan demikian menyedihkan, terbunuh oleh orang dan sampai kini pun dia belum berhasil memecahkan rahasia pembunuhan terhadap ibunya itu. Dia terpaksa menunda penyelidikannya ketika muncul persoalan Syanti Dewi. Dia harus lebih dulu menyelamatkan kekasihnya itu, baru dia akan melanjutkan usahanya mencari pembunuh ibunya

Malam itu sunyi sekali di hutan itu. Akan tetapi bagi para anggauta bajak yang beringas di malam hari itu dan mengadakan penjagaan di sekitar sarang mereka, kadang-kadang mereka itu mendengar suara yang aneh, suara seperti rintihan seekor kucing, yang terdengar jauh di luar hutan itu. Mereka hanya saling berbisik-bisik dan tertawa, akan tetapi tidak berani mendekati tempat dari mana suara itu terdengar, karena mereka maklum bahwa itulah suara Siluman Kucing yang sedang mempermainkan korbannya, yaitu A-cun yang masih muda remaja itu. Baru pada keesokan harinya, setelah mereka melihat Mauw Siauw Mo-li dengan wajah berseri dan segar, rambut kusut dan bibir tersenyum datang menggandeng A-cun, mereka para penjaga itu, atas isyarat wanita itu, menghampiri dan mereka memapah A-cun yang keadaannya payah, hampir pingsan, pucat dan seperti orang mabuk itu. Mereka cepat menggotong pemuda remaja itu ke kamarnya dan membiarkan pemuda remaja itu tidur setelah memaksa pemuda itu minum obat yang diberikan Mauw Siauw Mo-li. Tek Hoat yang mendengar akan hal ini sama sekali tidak mengambil peduli. Begitu dia terbangun dan membersihkan badah, dia lalu mencari dua orang kepala bajak itu dan bertanya tentang usaha mereka menyelidiki ke Gua Tengkorak. Ternyata Hong Kui sudah siap pula bersama dua orang kepala bajak. Biarpun semalam suntuk tidak tidur, wanita itu kelihatan segar dan wajahnya berseri, bibirnya tersenyum, dan hanya mukanya agak pucat. Dia telah memperoleh kepuasan setelah berhari-hari melakukan perjalanan bersama Tek Hoat, setelah banyak malam dilewatkan dengan gelisah sendirian tanpa kawan, dan ternyata pemuda remaja anak buah bajak itu bukan hanya memenuhi harapannya, bahkan melampaui yang diharapkannya sehingga dia merasa gembira dan puas.

Mereka melakukan perjalanan berempat dan agar dapat melakukan perjalanan cepat, Ma Khong dan Ma Ti Lok mengajak mereka naik perahu dan menyusuri tepi pantai menuju ke utara. Ketika perahu itu melewati tebing yang amat tinggi, Ma Khong menuding ke atas tebing dan berkata, “Disanalah tempat tinggal Hek-sin Touw-ong. Tidak kelihatan dari sini, di atas tebing itu terdapat sebuah rumah gedung yang menjadi tempat tinggalnya. Terus terang saja, kami sendiri belum pernah pergi ke tempat itu. Siapa pula orangnya yang berani mendekati tempat tinggal Touw-ongya? Mudah-mudahan saja dugaan kami benar bahwa kakek aneh di ujung pantai itu yang menculik Puteri Bhutan itu sehingga kita tidak perlu mendatangi Touw-ong.”

Setelah hari menjadi sore, baru mereka mendarat di ujung utara dari pantai teluk itu dan mereka menuju ke daerah yang penuh dengan batu dan gua, daerah yang merupakan tebing dan pegunungan batu kapur. Tak lama kemudian, tibalah mereka di depan sebuah gua yang bentuknya memang seperti tengkorak manusia, gua yang menyeramkan. Akan tetapi sunyi saja di tempat itu dan ketika mereka memasukinya, mereka mendapatkan gua itu kosong. Memang ada tanda-tanda bahwa gua itu pernah ditinggali manusia, bahkan agaknya belum lama penghuninya meninggalkan tempat itu.

Mereka memeriksa Gua Tengkorak itu dan tiba-tiba Tek Hoat berdiri termenung di depan dinding gua sebelah kiri, memandang dan membaca tulisan yang diukir dengan indahnya di dinding batu itu.

Dia melihat guratan-guratan huruf kecil-kecil itu dengan teliti dan diam-diam dia merasa kagum karena dari bekasnya dia dapat menduga bahwa orang itu menggurat-guratkan jari tangannya untuk menuliskan huruf-huruf itu! Dia membaca dengan hati tertarik.



“Sayang, sungguh sayang

belum pernah aku bertemu seseorang yang setelah melihat kesalahan sendiri! Lalu benar-benar menyesalkan kesalahannya itu

dan benar-benar memperbaiki dirinya sendiri!”



Tek Hoat membaca tulisan itu berkali-kali dan termenung. Dia merasa seperti pernah mendengar kata-kata itu, akan tetapi karena pelajarannya tentang sastra memang tidak begitu mendalam, maka dia lupa lagi di mana dan bilamana.

“Hi-hik, orang tolol yang menuliskan itu. Mana di dunia ini ada orang yang mampu melihat kesalahan sendiri?”

Akan tetapi Tek Hoat tidak mempedulikan ejekan Mauw Siauw Mo-li itu dan dia termenung. Keluhan orang yang menuliskan kata-kata di dinding batu itu memang merupakan kenyataan. Adalah mudah melihat kesalahan sendiri,akan tetapi sukarlah untuk memperbaiki diri sendiri sungguhpun dari penglihatan itu selalu timbul penyesalan.

Sesungguhnya, tulisan itu adalah petikan dari ujar-ujar dalam kitab Lun Gi bagian ke lima dan pasal ke dua puluh tujuh, ujar-ujar dari Nabi Khong Cu dan kata-kata itu berasal dari Nabi Khong Cu sendiri. Memang sudah menjadi kebiasaan kita untuk merasa menyesal setelah kita melihat kesalahan sendiri. Akan tetapi, biasanya penyesalan itu bukan datang karena benar-benar kita menyadari akan kesalahan sendiri, melainkan penyesalan yang timbul karena akibat buruk yang timbul karena kesalahan perbuatan kita itu! Jadi, sama sekali bukan penyesalan akan perbuatan kita yang salah, melainkan penyesalan karena kita dirugikan oleh perbuatan itu sebagai akibatnya. Misalnya, kita melakukan perbuatan yang salah, yaitu mencuri. Akibatnya, kita tertangkap dan dihukum. Menyesaliah kita, akan tetapi penyesalan ini timbul karena JATUHNYA HUKUMAN itulah atas diri kita. Oleh karena keadaan seperti inilah maka di lain kesempatan, kita dapat saja mengulangi perbuatan itu asal saja tidak terlihat ancaman hukumannya. Itulah sebabnya maka Nabi Khong Cu tidak pernah melihat orang yang melihat kesalahan sendiri lalu benar-benar menyesalkan perbuatannya dan benar-benar memperbaiki dirinya sendiri. Perbaikan diri sendiri yang dimaksudkan TIDAK MENGULANGI lagi perbuatannya yang salah itu.

Mempelajari atau menghafal ayat-ayat suci saja sesungguhnya tidak ada artinya sama sekali bagi jalannya kehidupan. Yang penting adalah menyelami sedalam-dalamnya segala hal yang berhubungan dengan kahidupan kita. Kalau kita melakukan suatu kesalahan tidak hanya cukup untuk disesalkan saja, melainkan kita hadapi secara menyeluruh, kita selidiki diri kita sendiri mengapa kita melakukan kesalahan itu, apa yang mendorongnya dan apa yang menimbulkan terjadinya hal itu. Kalau kita selalu waspada akan gerak-gerik diri sendiri setiap saat, maka akan timbul kesadaran yang menyeluruh, bukan kesadaran sepintas lalu yang didapat dari membaca ayat. Kesadaran membaca ayat hanya terbatas pada saat membaca ayat itu saja, untuk kemudian dilupakan lagi sehingga di waktu kita memikirkan atau melakukan sesuatu menurut pikiran, ayat-ayat itu sama sekali terpendam dan terlupa. Dan biasanya, ayat-ayat itu yang kesemuanya amat muluk-muluk dan baik, hanya teringat oleh kita kalau kita ingin menasihati orang lain saja, sebaliknya sama sekali terlupa kalau kita melakukan segala sesuatu dalam kehidupan kita sehari-hari. Ayat-ayat itu seperti nyanyian-nyanyian merdu yang hanya mampu menggerakkan hati nurani kita pada saat kita mendengarnya atau membacanya, dan apakah artinya itu bagi kehidupan kita kalau hanya dinikmati sepintas lalu saja tanpa adanya PENGHAYATAN DALAM HIDUP?

Mengetrapkan ayat-ayat suci di dalam kehidupan sehari-hari pun hanya merupakan kepalsuan yang dipaksa-paksakan belaka, mungkin dengan tujuan agar kita dipuji, agar kita menjadi orang baik dan sebaiknya. Kebaikan tidak mungkin dilatih, karena kalau kebaikan itu muncul karena dilatih, maka dia bukan kebaikan lagi melainkan kepalsuan. Kebaikan adalah kewajaran, tidak dilatih tidak dibuat-buat, tidak mencontoh ini atau itu, melainkan keadaan bebas dari kekotoran. Kalau kebusukan-kebusukan sudah tidak ada maka munculiah kebaikan, seperti kalau awan-awan gelap sudah sirna maka nampaklah sinar matahari. Melatih kebaikan hanya akan menciptakan manusia-manusia munafik.

Yang penting, mengenal diri sendiri lahir batin, mengenal kekotoran-kekotoran dan kebusukan-kebusukan diri sendiri dengan mengamatinya setiap saat, dengan waspada setiap saat akan segala gerak-gerik lahir batin diri sendiri. Pengamatan seperti ini adalah tanpa pamrih sama sekali, tanpa pengejaran akan sesuatu, tanpa ingin menjadi baik, tanpa adanya aku yang berpamrih, tanpa adanya aku yang mengejar dan menginginkan apa pun. Yang ada hanya batin mengamati diri sendiri, gerak-geriknya setiap saat yang menimbulkan segala macam perbuatan, tanpa ada keinginan mengubah, memperbaiki, mengendalikan, dan keinginan-keinginan ini tentu tidak ada kalau YANG MENGAMATI tidak ada pula!.

Sampai lama mereka berempat memeriksa keadaan di dalam gua tengkorak, akan tetapi tetap saja mereka tidak menemukan sesuatu. Tidak ada bekas-bekas yang menunjukkan bahwa Syanti Dewi pernah berada di dalam gua itu.

“Jelas bahwa bukan penghuni gua ini yang menculiknya. Tentu Hek-sin Touw-ong!” kata Tek Hoat.

“Kalau begitu kita akan menyelidiki ke rumah Raja Maling itu,” kata Mauw Siauw Mo-li.

Dua orang Saudara Ma itu kelihatan gentar. “Kalau begitu kita sebaiknya pulang dulu, kami akan mengerahkan anak buah kami.”

“Tidak perlu,” kata Tek Hoat sambil mengerutkan alisnya. “Kita berempat sudah cukup. Kalian hanya menunjukkan saja jalan menuju ke gedung itu, setelah bertemu dengan Hek-sin Touw-ong, serahkan saja kepadaku untuk menghadapinya.”

“Tapi.... tapi dia amat sakti, dan puterinya juga amat lihai. Kami.... kami tidak berani. Kalau engkau gagal, Taihiap, kami pun tentu akan celaka.”

“Jangan takut, Twa-ong. Ang-taihiap cukup kuat untuk menghadapi Touw-ong, dan selain itu ada aku di sini, bukan?” kata Hong Kui. Karena takut kepada wanita itu, akhirnya dua orang itu terpaksa menurut. Malam itu mereka bermalam di dalam gua tengkorak.

Hong Kui tidak mempedulikan dua orang kepala bajak yang membuat api unggun di dalam gua itu. Dia mendekati Tek Hoat dan berusaha merayu pemuda ini. Akan tetapi Tek Hoat menjadi merah mukanya dan marah. Hampir saja dia memukul wanita tak tahu malu itu dan akhirnya dia keluar, lebih suka tidur di luar gua yang dingin daripada di dalam gua di mana dia harus menghadapi godaan Hong Kui yang amat mengganggunya. Tak lama kemudian dia mendengar suara dua orang kepala bajak itu tertawa-tawa, dan menjelang tengah malam, dia mendengar rintihan suara kucing itu yang amat memuakkan hatinya. Dia pergi menjauh dari gua, tidur di antara batu-batu karang, menerawang ke langit yang penuh bintang dan mengenangkan semua kehidupannya yang telah lalu. Timbul perasaan malu di dalam hatinya. Teringat akan tulisan di dinding batu, kini dia melihat betapa dia telah memenuhi kehidupan yang lalu dengan segala hal yang amat memalukan dan jahat. Betapa dia dapat mengubah itu semua setelah dia bertemu dengan Syanti Dewi, bahkan di Bhutan dia telah menjadi seorang terhormat, sebagai panglima dan calon suami Syanti Dewi. Cinta kasihnya terhadap Syanti Dewi selain membuat dia hidup bahagia, Juga membuat dia hidup barsih, Jauh dari pikiran kotor sama sekali. Bahkan dia mulai menganggap dirinya berharga dan patut menjadi cucu tiri Pendekar Super Sakti dari Pulau Es dan menjadi calon suami Syanti Dewi yang berbudi mulia.

Akan tetapi terjadi perubahan. Dia terusir dengan cara yang amat merendahkan dari Bhutan. Dia meninggalkan Syanti Dewi dan kebahagiaannya hancur, kehidupannya hancur dan hatinya juga remuk-rendam. Dia menjadi tidak peduli akan kehidupannya, apalagi setelah melihat ibunya terbunuh. Dia tidak peduli lagi apakah dia hidup melalui jalan kotor atau bersih. Dia tidak peduli!

Akan tetapi sekarang, kembali dia terombang-ambing antara kehancuran hidupnya dan pertemuannya kembali dengan Syanti Dewi. Bagaimana kalau bertemu kembali? Apakah dia masih berharga untuk puteri itu? Apakah puteri itu dapat mencintanya? Dia mulai merasa menyesal! Penyesalan yang timbul karena kekhawatirannya akan kehilangan Syanti Dewi lagi! Dia telah melalui jalan kotor dan sesat!

Dengan hati gelisah, akhirnya dia dapat pulas juga dan dapat-lapat seperti dalam mimpi dia mendengar rintihan suara kucing itu yang amat dibencinya. Dia sudah mengambil keputusan untuk tidak membiarkan dirinya diseret ke dalam lumpur kehinaan oleh Mauw Siauw Mo-li! Dia harus membuktikan bahwa dirinya masih berharga untuk mencinta Syanti Dewi!

***

“Suhu, lihat apa yang kudapatkan ini!” Ang-siocia atau Kang Swi Hwa berkata bangga di depan kakek itu sambil membuka buntalan besar yang dibawanya masuk ke dalam gedung besar di tebing itu, buntalan yang tadi diseret masuk oleh dua orang pelayan yang menyambut kedatangannya bersama beberapa orang pelayan lain.

Rumah itu merupakan gedung besar dan sama sekali tidak pantas menjadi rumah seorang yang berjuluk Raja Maling! Rumah itu teratur rapi, biarpun tidak terlalu mewah namun amat menyenangkan dengan hiasan-hiasan dinding berupa lukisan-lukisan dan huruf-huruf indah. Pot-pot kembang kuno menghias di sudut-sudut ruangan, lantainya bersih dan kesemuanya menunjukkan bahwa rumah itu terpelihara dan penghuninya suka akan kebersihan.

Ada kurang lebih sepuluh orang pelayan bekerja di luar dan dalam rumah, kesemuanya biarpun berpakaian pelayan namun sebetulnya adalah anak buah Hek-sin Touw-ong dan mereka terdiri dari orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi dan ilmu mencuri yang lihai. Akan tetapi tentu saja kini mereka tidak lagi mencuri, setelah menjadi anak buah dan pelayan dari Raja Maling itu.

Kakek yang berjuluk Hek-sin Touw-ong itu adalah seorang lakl-laki tua berusia enam puluh tahun lebih. Mukanya hitam seperti dicat, sesuai dengan julukannya si Raja Maling Bermuka Hitam. Sebenarnya, sudah bertahun-tahun yang lalu kakek ini menjalankan pekerjaannya sebagai Raja Maling, yaitu ketika dia masih beroperasi di perbatasan Ho-nan dan Ho-pei. Namanya amat terkenal di daerah itu dan semua kaum pencuri tunduk kepadanya dan menganggapnya sebagai datuk atau raja. Karena kepandaiannya yang hebat, dan karena semua pencuri menganggapnya sebagai raja, kemudian karena mukanya hitam, maka dia memperoleh julukan Hek-sin Touw-ong. Akan tetapi sesungguhnya dia bukanlah maling sembarang maling! Dia hanya mau melakukan pencurian di dalam istana-istana saja! Dan biarpun mukanya hitam, ternyata hatinya tidaklah sehitam mukanya. Kakek yang terkenal dengan julukan Raja Maling ini terkenal dermawan dan suka menolong orang-orang yang menderita kekurangan dan kesengsaraan. Pernah dia mencuri satu peti besar terisi ratusan tail uang emas milik gubernur di Ho-nan dan menggunakan seluruh uang itu untuk membeli ratusan ton gandum untuk dibagikan kepada rakyat yang kelaparan di daerah lembah Huang-ho di perbatasan antara Ho-nan dan Ho-pei ketika Sungai Huang-ho mengamuk dan membanjiri! Perbuatannya ini menimbulkan kegemparan dan selain dia dimusuhi oleh para pembesar, juga perbuatannya itu menimbulkan rasa kagum dalam hati para pendekar.

Ketika kakek itu mendengar akan kedatangan muridnya, dia cepat keluar menyambut di ruangan tengah dengan wajah berseri-seri. Kakek ini amat sayang kepada muridnya, bahkan murid itu juga sekaligus menjadi anak angkatnya, sungguhpun Swi Hwa masih belum dapat mengubah sebutan suhu kepadanya. Sudah berbulan-bulan muridnya pergi merantau, dan kini muridnya pulang dan membawa “oleh-oleh” yang demikian banyaknya. Ketika buntalan dibuka dan kakek itu melihat tumpukan perhiasan emas permata, uang dan juga kitab-kitab, dia terbelalak dan menatap wajah muridnya dengan alis berkerut.

“Swi Hwa, apa yang telah kaulakukan? Dari mana engkau memperoleh semua benda berharga ini?”

Biarpun dia berjuluk Raja Maling, akan tetapi kakek ini selalu melarang muridnya untuk melakukan pencurian, apalagi pencurian kecil-kecilan yang akan merendahkan nama mereka, sungguhpun muridnya sudah pandai sekali dalam hal ilmu mencuri dan ilmu menyamar.

Gadis itu tertawa. “Suhu, harap jangan mengira, bahwa aku sembarangan saja mencuri segala macam benda. Benda-benda ini bukan benda-benda sembarangan, juga bukan milik orang-orang sembarangan pula.”

“Hemmm, kantung itu terisi uang tidak berapa banyak dan kau bilang bahwa itu bukan benda sembarangan?” Gurunya mencela dan menegur.

“Benar, Suhu. Hanya sekantung uang yang tidak berharga. Akan tetapi tahukah Suhu dari siapa aku mengambil kantung ini? Hemmm, Suhu tentu tidak akan pernah dapat menerkanya. Kantung ini kuambil dari buntalan yang dibawa oleh pendekar Siluman Kecil!”

“Wahhhhh....!” Suhunya terbelalak dan memandang kepada muridnya dengan heran. Tentu saja dia sudah mendengar akan nama pendekar yang baru muncul dalam waktu beberapa tahun ini, yang namanya amat terkenal di antara para tokoh besar dunia hitam, bahkan amat disegani. Dia mendengar betapa ilmu kepandaian pendekar Siluman Kecil itu amat hebat dan kini muridnya berani mencopet kantung uangnya!

Melihat kekagetan, dan keheranan suhunya, Swi Hwa menjadi bangga dan senang, maka dia lalu menuding ke arah peti terbuka yang terisi barang-barang perhiasan emas permata.

“Dan Suhu lihat peti itu! Isinya adalah harta pusaka dari keluarga yang amat terkenal pula. Keluarga panglima besar kota raja, Jenderai Kao Liang!

“Ehhh....?” Sepasang mata Raja Maling itu makin terbelalak lebar ketika mendengar laporan itu. Nama Jenderal Kao malah lebih terkenal lagi daripada nama Siluman Kecil. Siapa yang tidak mengenal nama jenderal yang amat hebat itu? Baru mendengar namanya saja orang menjadi gentar dan segan, akan tetapi muridnya ini berani mencuri harta pusaka keluarga jenderal itu!

Hati Swi Hwa makin besar dan bangga. “Dan kitab-kitab ini, Suhu. Tentu Suhu tidak akan dapat menerka dari mana aku mencurinya. Kitab-kitab ini adalah milik si tua renta yang amat lihai itu, Sin-siauw Seng-jin....“

“Apa....?” Sekali ini kakek itu hampir berteriak dan mukanya berubah, lalu tiba-tiba dia tertawa bergelak dan membuka-buka kitab itu. “Ha-ha-ha-ha-ha! Lucu....! Lucu sekali! Muridku, anakku, hayo cepat kauceritakan bagaimana engkau dapat melakukan semua itu, terutama sekali kitab-kitab palsu ini!”

“Palsu?” Swi Hwa mengerutkan alisnya. “Bagaimana Suhu tahu bahwa ini palsu? Aku mengambilnya dari rumah Sin-siauw Seng-jin sendiri setelah dia dikalahkan oleh Siluman Kecil.”

Kembali kakek itu terkejut. “Sin-Siauw Seng-jin dikalahkan oleh Siluman Kecil? Bagaimana pula itu? Ah, Swi Hwa, ceritakan.... ceritakan....!”

Melihat kegembiraan gurunya, Swi Hwa lalu menceritakan semua pengalamannya. Mula-mula dia menceritakan tentang keluarga Jenderal Kao Liang yang membawa keluarganya pulang ke kampung halamannya di selatan, kemudian betapa muncul beberapa kelompok gerombolan yang hendak membunuh dan hendak merampok keluarga itu. Dalam keributan ketika para kelompok gerombolan itu saling bertempur sendiri, dia lalu menggunakan kesempatan itu untuk merampas peti terisi harta pusaka itu dan melarikannya. Kemudian dia menceritakan tentang penyamarannya sebagai tukang penjual sepatu dan berhasil mencopet kantung uang milik Siluman Kecil, dan akhirnya dia menceritakan bagaimana dia telah mencuri kitab-kitab pusaka milik Sin-siauw Seng-jin. Akan tetapi tentang dia masuk menjadi pengawal Gubernur Ho-nan dan tentang rahasianya yang terbuka oleh Siauw Hong, dia sama sekali tidak berani menceritakan kepada suhunya.

Kakek itu mendengarkan penuturan muridnya dan berkali-kali dia berseru kagum. Apalagi ketika dia mendengar tentang pertandingan antara Siluman Kecil dan Sin-siauw Seng-jin sampai kakek Suling Sakti itu kalah, berulang kali dia mengeluarkan suara heran dan memuji “Hebat.... hebat sekali orang muda yang berjuluk Siluman Kecil itu. Tadinya kukira bahwa Sin-siauw Seng-jin tidak ada lawannya. Kiranya dia kalah oleh seorang pemuda. Ha-ha-ha!” Kelihatan kakek ini girang sekali mendengar akan kekalahan Suling Sakti itu.

“Suhu, tadi Suhu mengatakan bahwa kitab-kitab ini palsu padahal Suhu belum memeriksanya dengan teliti. Benarkah itu?”

“Ha-ha, tentu saja, Swi Hwa. Aku sudah mengenal baik siapa kakek tua bangka itu! Kalau kitab-kitab peninggalan Suling Emas dapat dicuri orang begitu saja, tentu ilmu-ilmu itu tidak akan menjadi rahasia sampai sekarang. Kau boleh bakar kitab-kitab itu, karena semua itu palsu, apalagi kalau telah dia tinggalkan begitu saja.”

“Betapapun juga, aku telah merampasnya dari dalam rumahnya, Suhu.”

“Ha-ha-ha, itulah yang menggirangkan hatiku. Kalau saja dia mendengar bahwa rumahnya kemasukan maling dan maling itu adalah engkau, muridku, ha-ha-ha.... ingin aku melihat mukanya, ha-ha-ha!” Kakek itu tertawa-tewa, akhirnya lalu berkata dengan suara sungguh-sungguh, “Muridku, anakku, apa yang telah kaulakukan ini benar-benar hebat dan mengagumkan hatiku. Aku girang dan puas mempunyai murid seperti engkau. Akan tetapi, engkau telah bermain-main dengan api, anakku. Kurasa perbuatanmu ini akan berekor dan siapa tahu akan ada orang-orang pandai yang mencarimu di sini untuk merampas kembali benda-benda ini. Oleh karena itu, sebaiknya kalau kita menyembunyian di tempat aman.”

“Di gua rahasia di tebing?”

Kakek itu mengangguk dan mereka lalu membawa benda-benda itu ke tepi tebing, lalu mereka merayap turun melalui tebing yang amat curam itu dan menyembunyikan benda-benda itu di dalam sebuah gua di tebing yang tertutup oleh batu dan tumbuh-tumbuhan sehlngga kalau bukan mereka yang sudah mengenal tempat itu, kiranya tidak mungkin orang lain akan dapat mencari dan menemukan tempat itu.

Malam itu, di atas meja makan, Swi Hwa dengan hati-hati lalu menceritakan pengalamannya kepada gurunya. Tanpa menyinggung perasaan hatinya yang mulamula tertarik terhadap Siluman Kecil, dia akhirnya menceritakan juga tentang petualangannya memasuki sayembara di Ho-nan.

“Eh, Swi Hwa, apa yang kaulakukan itu? Mau apa engkau memasuki sayembara untuk menjadi pengawal?” tegur gurunya. Swi Hwa memang amat dimanja oleh gurunya ini dan sejak kecil dia menganggap gurunya sebagai ayah sendiri. Oleh karena inilah, maka biarpun ketika datang tadi dia tidak berani bercerita tentang semua itu, namun akhirnya dia bercerita juga karena dia tidak dapat menahan semua itu di dalam hatinya dan dia tidak mempunyai orang lain untuk diajak bicara.

“Suhu, aku hanya ingin meluaskan pengalaman saja. Apalagi aku terbawa oleh orang-orang lain yang melakukan perjalanan bersamaku. Dan Siluman Kecil juga melakukan perjalanan bersama, maka aku pun ingin memperlihatkan kepandaian.”

“Hemmm.... kau seorang wanita sungguh terlalu berani beraksi di depan umum.” Lalu dia memandang tajam. “Apa sebabnya kau ingin agar orang-orang mengetahui kepandaianmu?”

“Suhu, tentu saja dengan maksud untuk mengangkat nama Suhu!”

“Eh, bocah lancang! Apa kau mengaku bahwa kau muridku?”

Ditegur begitu oleh gurunya, Swi Hwa terkejut. “Aku.... aku.... hanya mengaku sebagai wakil Suhu dalam pertemuan di lembah Huang-ho....“

“It memang atas kehendakku. Engkau kusuruh mewakili aku menghadiri pertemuan itu di sana. Akan tetapi tidak di tempat umum!”

“Suhu, maafkan, aku.... aku hanya mengakui nama dan nama Suhu di depan.... eh, Siluman Kecil ketika aku mengambil kitab-kitab Sin-siauw Sengjin.”

Gurunya menarik napas panjang. “Engkau sungguh mencari penyakit. Nah, karena sudah terlanjur, bagaimana nanti sajalah, akibatnya kita hadapi bersama. Lanjutkan ceritamu.”

Setelah mulai menuturkan tentang sayembara itu, Swi Hwa tentu saja tidak dapat menutupi apa-apa lagi dan kata-kata pun mulai lancar keluar dari mulutnya. Dibukanya segala peristiwa itu kepada suhunya. Betapa dia terlibat dalam urusan perebutan Pangeran Yung Hwa yang ditawan oleh Gubernur Ho-nan, betapa dia terpukul oleh Siluman Kecil.

“Ah, engkau benar-benar sembrono sekali, muridku. Untung engkau tidak sampai terpukul mati oleh pendekar itu,” kata kakek itu dengan mata terbelalak, terheran-heran akan petualangan muridnya yang berani itu.

Swi Hwa lalu menceritakan bahwa perkelahian itu membuat dia tidak suka lagi tinggal di gubernuran, apalagi karena teman-temannya telah pergi, yaitu si gagu yang ternyata adalah kakak sendiri dari Siluman Kecil, Siauw Hong, Siluman Kecil dan seorang kakek gagah perkasa yang dia mendengar dari para pengawal adalah seorang tokoh bernama Sai-cu Kai-ong yang memimpin pasukan untuk menyelamatkan Pangeran Yung Hwa.

Mendengar nama ini, Hek-sin Touw-ong menjadi makin heran, matanya terbelalak dan dia berseru, “Sai-cu Kaiong....? Ahhh.... betapa aneh dan kebetulan....!

”Apa maksudmu, Suhu?”

Gurunya menarik napas panjang. “Tidak apa-apa, aku kenal dengan tua bangka itu, kelak engkau pun akan tahu sendiri. Teruskan, teruskan, ceritamu makin menarik”

“Setelah aku pergi meninggalkan gubernuran Ho-nan karena aku tidak ingin lagi melanjutkan sebagai pengawal gubernur, setelah terjadi peristiwa perebutan Pangeran Yung Hwa itu, aku bertemu dengan Jenderal Kao Liang yang sedang diserang oleh seorang wanita baju hijau yang lihai. Melihat jenderal yang sudah kudengar kegagahannya itu roboh, aku merasa kasihan dan aku lalu membantunya, kuserang wanita baju hijau yang lihai itu, Suhu.”

Gurunya mengangguk-angguk. “Sekali ini kau benar, muridku. Pertama, karena engkau telah melakukan kesalahan terhadap jenderal itu dengan mencuri harta pusakanya, maka sudah selayaknya engkau menebusnya dengan membantunya, apalagi engkau belum mengenal wanita penyerangnya itu.”

“Akan tetapi dia lihai bukan main, Suhu! Pukulan Kiam-to Sin-ciang yang kupergunakan tidak merobohkannya....“

“Ah, ilmumu belum cukup tinggi untuk menggunakan Kiam-to Sin-ciang dengan sempurna.”

“Pada saat itu, muncul pula Siluman Kecil dan Siauw Hong. Mereka melerai, akan tetapi aku sudah terpukul oleh wanita baju hijau itu sehingga aku roboh pingsan dan tidak ingat apa-apa lagi....”

”Ah, begitu hebat dia? Siapakah wanita itu?”

“Aku tidak tahu, Suhu. Usianya lebih tua dua tiga tahun daripada aku, pakaiannya serba hijau, wajahnya cantik dan sikapnya dingin. Pukulannya itu hebat bukan main, aku merasa betapa seluruh tubuhku seperti dimasuki salju yang dinginnya menyusup tulang sumsum dan menyerang rongga dada sehingga aku tidak kuat dan roboh tidak ingat apa-apa lagi.”

Kakek itu mengerutkan alisnya. “Dingin....? Hemmm, tentu dia memiliki ilmu pukulan berdasarkan tenaga Im yang amat kuat. Lalu bagaimana, Swi Hwa? Kemudian apa yang terjadi denganmu?”

Tiba-tiba wajah gadis itu menjadi merah sekali. Dia sudah kepalang, sudah menceritakan segala-galanya kepada gurunya, maka sukarlah untuk menyembunyikan peristiwa yang terjadi atas dirinya, apa yang dilakukan oleh Siauw Hong itu. Teringat akan ini tiba-tiba saja gadis itu merasa amat malu dan terhina, lalu menangis!

Tentu saja Hek-sin Touw-ong menjadi terkejut sekali. Dia memandang muridnya dengan sinar mata penuh selidik, kemudian dia bertanya, “Apakah yang menimpa dirimu, muridku? Mengapa kau menangis?” Suaranya mengandung kekhawatiran karena mendengar muridnya roboh pingsan laiu kini menangis itu, dia menyangka bahwa jangan-jangan terjadi hal yang buruk atas diri muridnya.

Swi Hwa menyusut air matanya dan setelah tangisnya mereda dan hatinya mulai tenang kembali, dia melanjutkan ceritanya, “Pukulan itu membuat aku pingsan, Suhu. Aku tidak tahu apa-apa lagi. Ketika aku siuman kembali, aku telah berada di bawah pohon, di atas rumput terlentang dan.... dan....“

“Ya? Bagaimana?” Gurunya bertanya dengan tangan terkepal karena hatinya tegang menanti lanjutan cerita muridnya itu.

“Ketika aku siuman kembali, aku melihat dia duduk di dekatku dan.... tangannya diletakkan di atas dadaku, Suhu....“ Gadis itu menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali.

“Dia? Dia siapa?”

“Siauw Hong....“

“Keparat! Berani benar dia!” Kakek itu membentak marah.

“Suhu tentu mengerti betapa kaget dan malu rasanya hatiku. Tangannya itu meraba dadaku di balik bajuku.... maka aku lalu bangkit dan memukulnya sekuat tenaga sehingga dia terlempar dan mungkin dia mampus!”

“Bagus! Benar itu! Kalau dia belum mampus, biar aku yang akan mencarinya dan memukulnya sampai mampus benar-benar! Laki-laki keparat dia itu! Siapa sih Siauw Hong itu?”

“Dia adalah pemuda yang melakukan perjalanan bersama aku dan Siluman Kecil, yang juga memasuki sayembara dan diterima menjadi pengawal, akan tetapi ketika terjadi keributan perebutan Pangeran Yung Hwa, dia membantu Siluman Kecil.

“Hemmm, jadi dia memiliki kepandaian juga, ya? Orang macam apa dia berani berbuat kurang ajar seperti itu?”

“Dia.... dia masih muda, mungkin tidak lebih tua daripada aku, Suhu, dan dia dikenal sebagai pangeran pengemis....“

“Pengemis??” Gurunya makin penasaran. Anak angkatnya, muridnya yang tersayang itu diganggu oleh seorang pemuda pengemis?

“Ya, dia seorang pengemis aneh, dan ternyata kemudian bahwa dia adalah murid dari kakek pengemis aneh yang memimpin pasukan memperebutkan Pangeran Yung Hwa itu, Suhu.”

”Siapa? Murid siapa?” Muka kakek itu berubah.

Swi Hwa terkejut melihat perubahan muka gurunya. “Dia murid Sai-cu Kai-ong....“

“Ahhhhh....! Ya Tuhan....!”

“Ada apakah, Suhu? Mengapa Suhu demikian kaget?”

Kakek itu masih terbelalak, kemudian dia memegang lengan gadis itu dengan cepat sehingga gadis itu menjadi kaget dan takut kalau-kalau gurunya marah. Belum pernah gurunya marah kepadanya, akan tetapi sikapnya sekarang benar-benar mengagetkan hatinya.

“Hayo katakan, apakah dia melakukan hal itu, meraba dadamu, untuk berbuat kurang ajar dan melanggar susila? Apakah dia berusaha.... memperkosamu?”

Kini Swi Hwa yang memandang dengan mata terbelalak. “Memperkosa? Apa maksudmu, Suhu? Sama sekali tidak! Dia meraba dadaku untuk menyembuhkan aku, terasa olehku dia menyalurkan sinkang yang amat kuat dan mengusir hawa dingin akibat pukulan gadis pakaian hijau itu.”

“Ahhh....!” Kakek itu tertegun dan melongo. “Jadi dia malah menolongmu? Kalau dia menyelamatkanmu dengan mengobati lukamu, mengapa kau menghantamnya sampai.... mungkin dia mati?”

Wajah Swi Hwa menjadi merah dan dia menunduk. “Habis.... habis dia.... meraba dadaku dan aku malu karena rahasiaku terbuka. Tadinya dia dan mereka semua mengira aku seorang pemuda sejati Suhu, aku selalu menyamar. Ketika aku melihat dia meraba dadaku, di balik baju, tentu saja aku merasa malu dan marah karena rahasiaku terbuka dan aku lalu memukulnya, kemudian aku melarikan diri, dan pulang ke sini.

Kakek itu menggaruk-garuk belakang telinganya yang tidak gatal. “Ah, aku menjadi bingung, Swi Hwa. Sebentar aku marah, sebentar aku khawatir, dan kemudian aku terheran dan bingung lagi. Jadi pemuda yang mengobatimu dan juga yang berani meraba dadamu itu adalah murid Sai-cu Kai-ong?”

“Benar, Suhu.”

Kakek itu menarik napas panjang. “Aaahhhhh.... kekuasaan Thian sungguh amat hebat dan luar biasa, penuh rahasia ajaib....“

“Maksud Suhu?”

“Swi Hwa, engkau adalah seorang gadis yang sudah cukup umur. Sudah menjadi kewajibanku sebagai guru dan ayah angkatmu untuk memikirkan perjodohanmu....“

“Ah, Suhu! Harap jangan bicara tentang itu!” Swi Hwa berseru dan mukanya menjadi merah sekali. Dia teringat kepada Siluman Kecil, pemuda yang amat dikagumi itu, akan tetapi hatinya kecewa dan tawar kembali melihat betapa Siluman Kecil sama sekali tidak memperhatikannya, bahkan memusuhinya!

“Swi Hwa, hanya ada tiga peristiwa dalam kehidupan manusia yang kuanggap penting, bahkan yang diakui kepentingannya oleh semua orang, menjadi pusat perhatian dan didatangi sanak keluarga dan handai-taulan. Pertama adalah kelahiran, ke dua adalah pernikahan dan ke tiga kematian. Usiamu sudah hampir sembilan belas tahun, sudah cukup untuk memikirkan tentang jodoh. Dan setelah kau menceritakan tentang pemuda murid Sai-cu Kai-ong itu, hemmm.... timbul pikiranku untuk menyelidikinya lebih jauh dan melihat kalau-kalau dia berjodoh denganmu.”

“Suhu....!”

“Swi Hwa, bagi seorang wanita terhormat dan bersusila, merupakan pantangan besar untuk membiarkan tubuhnya diraba oleh laki-laki, kecuali oleh suaminya tentu saja! Siapa berani merabanya berarti telah melakukan penghinaan dan hanya layak ditebus dengan nyawa. Oleh karena itu, pemuda bernama Siauw Hong yang telah meraba tubuhmu itu pun hanya mempunyai dua pilihan, pertama menjadi jodohmu atau ke dua dia harus dibunuh!”

“Tapi.... tapi.... dia telah menolongku, Suhu, dia telah mengobatiku.”

“Nah, itulah sebabnya mengapa aku pun hendak menyelidiki dia. Aku pun lebih condong untuk menjodohkan dia denganmu, apalagi mengingat bahwa dia adalah murid seorang seperti Sai-cu Kai-ong yang biarpun berkepala besar dan berhati baja, namun kurasa tentu dapat memilih seorang murid yang baik.”

“Akan tetapi, Suhu, aku belum....!”

“Ssshhhhh....!” gurunya memberi isyarat agar muridnya diam dan dia lalu meloncat ke luar dari kamar itu, diikuti oleh Swi Hwa yang juga mendengar suara ribut-ribut di luar rumah itu.

Ketika mereka tiba di luar rumah, mereka terkejut bukan main melihat para pelayan mereka telah menggeletak di sana-sini dalam keadaan tertotok, pingsan atau terluka! Pelayan-pelayan mereka adalah orang-orang yang cukup lihai, akan tetapi bagaimana dalam waktu singkat saja mereka roboh semua?

Hek-sin Touw-ong yang baru muncul itu tiba-tiba meloncat ke samping ketika dia melihat bayangan orang berkelebat dan sinar hijau menyambarnya. Dia mengelak dan memandang. Ternyata yang menyerangnya adalah seorang wanita cantik yang pesolek, dari pakaiannya tersebar bau semerbak harum dan pedangnya yang bersinar hijau itu lihai sekali. Segera dia mengenal wanita ini dan dia berseru marah, “Mauw Siauw Mo-li, mau apa kau? Berani benar kau mengacau di tempatku?”

“Tek Hoat, cepat....!” Mauw Siauw Mo-li sudah berseru dan tanpa mempedulikan pertanyaan Hek-sin Touw-ong, dia sudah menerjang lagi dan mengirim serangan-serangan kilat kepada lawannya. Hek-sin Touw-ong adalah seorang yang berilmu tinggi, akan tetapi karena dia maklum bahwa adik seperguruan Hek-tiauw Lo-mo ini adalah seorang yang amat lihai maka dia tidak berani sembrono menyambut serangan pedang itu, melainkan mengelak lagi dan mulai membalas dengan tendangan kilat yang dapat dielakkan pula oleh wanita itu.

Sementara itu, Tek Hoat yang datang bersama Mauw Siauw Mo-li, sudah berkelebat ke sebelah dalam rumah. Dia melihat bayangan merah berkelebat dan di dalam keadaan remang-remang itu dia mengira bahwa wanita itu adalah Syanti Dewi. Bukan main girang rasa hatinya.

“Syanti Dewi....!” Dia berseru dan meloncat menghampiri, hendak memeluk dara itu.

“Wuuuttttt.... wirrrrr....!”

Tek Hoat terkejut bukan main karena dara yang dikira Syanti Dewi itu mengelak dan cepat menghantamnya dengan tangan kiri yang mengandung hawa tajam dan kuat sekali. Dia cepat meloncat ke belakang dan memandang. Kiranya dara itu sama sekali bukanlah Syanti Dewi, sungguhpun harus diakuinya bahwa dara itu juga cantik jelita.

Dara itu adalah Ang-siocia atau Swi Hwa yang tentu saja menjadi marah sekali melihat pemuda ini datang-datang hendak memeluknya. Dari tempat itu dia melihat suhunya telah bertanding melawan seorang wanita cantik yang mainkan pedang bersinar hijau secara hebat sekali, dan dia dapat melihat pula para pelayan suhunya telah rebah di sana-sini. Tahulah dia bahwa ada orang-orang jahat menyerbu, maka dia lalu mencabut pedangnya dan menyerang Tek Hoat dengan sengit dan dahsyat.

Tek Hoat terkejut dan kagum juga menyaksikan kehebatan ilmu pedang gadis cantik ini, akan tetapi karena dia sudah tidak sabar lagi ingin cepat-cepat menemukan kembali Syanti Dewi yang disangkanya diculik oleh Hek-sin Touw-ong dan disembunyikan di gedung itu, cepat mengerahkan kepandaiannya, memapaki serangan Swi Hwa dengan dorongan tangan kirinya yang mengandung tenaga sakti Inti Bumi.

“Aihhh....!” Swi Hwa menjerit, ketika tubuhnya dilanda angin dahsyat yang amat kuat dan membuat dia terjengkang, dan sebelum dia sempat bergerak, pundaknya telah ditotok secara luar biasa sekali dan dia menjadi lemas, tak dapat berdaya lagi seperti kehilangan tenaganya.

“Hayo katakan, di mana adanya Syanti Dewi?” Tek Hoat menghardik. Akan tetapi gadis itu melotot kepadanya penuh kemarahan.

“Tidak tahu!” Gadis itu menjawab dengan keras pula. Dua bayangan berlari datang dan mereka itu adalah Ma Khong dan Ma Ti Lok. Dua orang ini tadinya gentar sekali ketika mendatangi rumah gedung milik Hek-sin Touw-ong itu, akan tetapi setelah mereka melihat bagaimana dengan amat mudahnya Ang Tek Hoat dan Lauw Hong Kui merobohkan para penjaga atau pengawal itu, kemudian melihat Lauw Hong Kui sudah bertempur dengan hebat lawan Hek-sin Touw-ong sedangkan Tek Hoat dengan amat mudahnya merobohkan murid Raja Maling, hati mereka menjadi besar dan mereka lalu berlari memasuki gedung itu.

Melihat mereka, Tek Hoat lalu berkata, “Hayo bantu aku mencari ke dalam gedung. Geledah semua kamar sampai kalian mendapatkan puteri yang disembunyikan itu!” Setelah berkata demikian, dia sendiri sudah mendahului mereka lari memasuki gedung untuk mencari Syanti Dewi.

Banyak sudah kamar dimasukinya, akan tetapi dia tidak juga menemukan Syanti Dewi.

“Syanti Dewi....! Syanti....! Ini aku, Tek Hoat....!” Dia berteriak-teriak akan tetapi tidak pernah ada jawaban. Dia melihat pula dua orang Saudara Ma itu ikut mencari-cari, namun belum juga berhasil.

Tiba-tiba dia mendengar teriakan keras yang dikenalnya sebagai suara Hong Kui, “Tek Hoat...., tolonggggg....!”

Cepat Tek Hoat berloncatan dan lari ke luar. Ternyata Hong Kui terdesak hebat oleh kakek bermuka hitam yang benar-benar amat lihai itu. Bahkan pedang wanita itu telah terlempar ke atas lantai dan kini Hong Kui terdesak mundur, setiap pukulan tangan kakek itu mengeluarkan bunyi mencicit nyaring dan biarpun Hong Kui sudah mengelak ke sana-sini dengan cepat, namun tetap saja lengan kiri dan pundak kanannya keserempet pukulan sakti itu sampai berdarah seperti terluka oleh pedang tajam. Itulah pukulan Kiam-to Sin-ciang yang mujijat!

“Wuuuttttt....!” Tek Hoat sudah menghantam ketika dia tiba di tempat itu. Melihat ada sambaran angin dahsyat dari samping, kakek itu meninggalkan Hong Kui dan menyambut pukulan itu dengan tangkisan lengannya sambil dikerahkannya tenaga Kiam-to Sin-ciang yang membuat kedua lengannya kuat dan mengandung hawa tajam seperti pedang atau golok itu.

“Plakkk!”

Benturan dua tenaga mujijat yang amat hebat itu membuat kakek itu terpelanting, akan tetapi Tek Hoat kaget melihat kulit lengannya lecet berdarah!

“Ahhh....!” Hek-sin Touw-ong terkejut setengah mati. Baru satu kali ini dia bertemu dengan seorang pemuda yang bukan hanya dapat menghadapi tenaga Kiam-to Sin-ciang tanpa membuat lengannya terluka hebat, akan tetapi juga mampu membuat dia terpelanting dan hampir roboh! Dengan marah dia lalu menerjang dan terjadilah perkelahian hebat antara Tek Hoat dan kakek muka hitam itu. Hong Kui yang tadi terdesak hebat, kini sudah mengambil kembali pedangnya dan dengan marah dia mengeroyok kakek itu untuk menebus kekalahannya dan membalas luka-luka yang dideritanya di lengan dan pundak. Kakek itu kini sudah kewalahan dan bingung menahan serangan yang mengandung tenaga Inti Bumi yang dahsyat itu apalagi ketika Tek Hoat mempergunakan Ilmu Toat-beng-ci, melakukan totokan-totokan dengan satu jari, dia terkejut bukan main dan teringat akan nama seorang muda yang menggemparkan dunia kang-ouw.

“Si Jari Maut....!” teriaknya.

Akan tetapi pada saat itu, pedang bersinar hijau di tangan Hong Kui sudah menyambar ganas ke arah lehernya. Cepat dia menghindarkan diri dengan mengelak dan merendahkan tubuhnya, akan tetapi karena pada saat itu Tek Hoat juga sudah menyerangnya, maka sebuah totokan mengenai punggungnya dan kakek itu mengeluh roboh terguling dalam keadaan tidak mampu bergerak lagi. Kalau orang lain yang terkena totokan Tek Hoat itu, tentu akan tewas seketika. Namun kakek itu cukup tangguh sehingga dia tidak tewas, hanya tertotok dan lumpuh.

“Hek-sin Touw-ong, hayo katakan di mana adanya Syanti Dewi!” Tek Hoat mengancam dengan jari tangan di atas ubun-ubun kepala kakek itu.

Hek-sin Touw-ong adalah seorang yang keras hati dan tidak takut mati. Dirobohkan oleh pemuda itu sudah merupakan hal yang amat memalukan, maka dia menjawab dengan jengkel, “Mau bunuh, lekas bunuh, tidak perlu banyak cakap!”

“Aku tidak akan membunuhmu, aku mencari Syanti Dewi. Kau tidak berhak menculiknya dan menyembunyikannya. Hayo katakan, di mana Syanti Dewi? Di mana?” Tek Hoat berteriak-teriak seperti orang gila.

“Aku tidak tahu!” jawab kakek itu dan membuang muka dengan gerakan lemah karena kedua kaki tangannya lumpuh.

Tek Hoat bangkit berdiri dan menarik napas panjang, memandang kepada Hong Kui. “Aku tidak melihat Syanti Dewi di dalam,” katanya dengan hati kecewa bukan main.

“Hemmm, biarpun tidak ada Syanti Dewi, akan tetapi di dalam rumah maling ini tentu banyak barang berharga. Sebaliknya kubunuh saja dia!”

Hong Kui menggerakkan pedangnya membacok ke arah leher Hek-sin Touw-ong. Kakek itu membelalakkan mata, menanti datangnya maut dengan mata terbuka.

“Wuuuttttt.... tranggggg....! “Eh, Tek Hoat, mengapa kau?” Hong Kui meringis dan memegangi pergelangan tangan kanannya yang terasa nyeri karena tadi terpukul oleh pemuda itu sehingga pedangnya terlempar dan berkerontangan di atas lantai.

“Kau tidak boleh sembarangan membunuh, tidak boleh selagi aku di sini!” bentak Tek Hoat yang merasa mendongkol sekali karena ternyata petunjuk dari wanita itu tidak menghasilkan dia menemukan kembali Syanti Dewi. Dia merasa tertipu.

Pada saat itu, terdengar jerit wanita dari dalam. Mendengar ini, Tek Hoat cepat berlari masuk diikuti oleh Hong Kui yang sudah menyambar kembali pedangnya. Jantung pemuda itu berdebar tegang karena dia mengira bahwa itu adalah suara jeritan Syanti Dewi.

Akan tetapi betapa kaget dan kecewanya, juga marah sekali, ketika dia tiba di tempat di mana dia tadi meninggalkan Swi Hwa yang roboh tertotok, dia melihat Ma Khong dan Ma Ti Lok sedang hendak menggagahi dara itu dan mereka telah merobek pakaiannya sehingga gadis itu tadi menjerit.

Terasa pening kepala Tek Hoat saking marahnya. “Bedebah....!” Dia berseru dan tubuhnya meluncur ke depan. Dua kali jari tangannya bergerak dan dua tubuh Ma Khong dan Ma Ti Lok terpelanting, berkelojotan dan tewas seketika dengan dahi mereka ada tanda jari hitam!

“Tek Hoat, kau terlalu!” Hong Kui membentak marah. “Kau membunuh teman sendiri!”

“Mereka layak mampus! Engkau juga!” Tek Hoat menghardik dan memandang marah.

“Keparat kau, manusia tidak mengenal budi!” Hong Kui tak dapat menahan kemarahannya dan dia menyerang dengan pedangnya. Akan tetapi, dengan cepat Tek Hoat mengelak dan mendorong dengan tangan kirinya. Angin kuat menyambar dan Hong Kui terhuyung ke belakang. Wanita ini makin marah dan meloncat keluar dari dalam rumah.

“Keluarlah kau kalau jantan!” tantangnya.

Tek Hoat yang kecewa dan marah itu meloncat mengejar. Ketika tiba di luar, Hong Kui menggerakkan tangannya dan sebuah benda hitam menyambar ke arah Tek Hoat. Pemuda ini maklum bahwa itulah senjata rahasia yang paling ampuh dari Mauw Siauw Mo-li. Lawan yang kurang hati-hati dan berani menangkis senjata rahasia ini, tentu akan celaka, setidaknya tentu akan terluka. Maka dia mengelak dan membiarkan benda itu lewat.

“Darrr....!” Benda itu meledak ketika terbanting ke atas lantai dan dinding di dekatnya jebol.

Dua kali lagi Mauw Siauw Mo-li menyambitkan senjata-senjata rahasia peledaknya, namun semua dielakkan oleh Tek Hoat dan pemuda ini secepat kilat telah mengirim serangan dengan hantaman kedua tangannya dengan menggunakan tenaga dahsyat Inti Bumi. Mauw Siauw Mo-li berusaha mengelak, namun tetap saja dia terhuyung dan sebelum dia dapat menyelamatkan dirinya, sebuah tendangan kaki Tek Hoat mengenai pinggulnya.

“Bukkk! Aughhh!” Wanita itu menjerit dan tubuhnya terbanting ke atas lantai. Dia bangkit dan menggosok-gosok bukit pinggulnya yang terasa nyeri.

“Kau kejam sekali, Tek Hoat. Kubunuh kau kalau aku mendapat kesempatan!” teriaknya marah.

“Mo-li, kalau aku tidak ingat bahwa engkau telah membantuku selama ini, jangan harap kau dapat pergi dari sini dengan masih bernyawa. Sekarang, pergilah dan jangan berani memperlihatkan mukamu yang tak tahu malu itu kepadaku lagi!” Tek Hoat berkata.

“Uhhh....!” Bedebah, manusia sombong kau!” Mauw Siauw Mo-li memaki, memandang dengan mata mendelik, akan tetapi dia tidak berani bergerak menyerang, akhirnya dia membalikkan tubuhnya dan lari sambil berteriak melengking nyaring, makin lama suaranya makin jauh sampai hanya terdengar seperti suara kucing terpijak ekornya.

Semua ini terlihat oleh Hek-sin Touw-ong. Dia melihat pula betapa Tek Hoat lari menghampiri muridnya, menotok membebaskan gadis itu, kemudian Tek Hoat menghampiri dia dan membebaskan pula totokannya.

Hek-sin Touw-ong bangkit berdiri, mengurut kedua lengannya yang terasa kaku, kemudian dia memandang kepada pemuda itu dengan penuh keheranan.

“Kau.... kau Si Jari Maut?” tanyanya.

Tek Hoat mengangguk. “Maafkan kalau aku telah mengganggumu, Touw-ong. Akan tetapi, tadinya aku mengira bahwa engkau telah menculik Puteri Bhutan.”

“Puteri Bhutan?” Kakek itu berkata dan mengerutkan alisnya. “Sungguh aneh, betapa banyak orang mencari Puteri Bhutan!”

“Apa maksudmu....?”

“Swi Hwa, jangan!” tiba-tiba kakek itu berteriak dan dengan tenang Tek Hoat miringkan tubuhnya, membiarkan pedang yang ditusukkan oleh Swi Hwa itu lewat di samping tubuhnya, kemudian dia menggunakan jari tangannya membabat ke bawah.

“Trakkk!” Pedang itu patah dan Swi Hwa menjerit karena tangannya terasa nyeri dan gagang pedang itu terlepas.

“Swi Hwa, jangan sembrono kau!” kembali Touw-ong membentak dan gadis itu meloncat ke samping gurunya sambil memegangi tangan kanannya dan memandang kepada Tek Hoat dengan mata berapi dan penuh kemarahan.

“Hek-sin Touw-ong, apa maksudmu mengatakan bahwa banyak orang mencari Puteri Bhutan?”

“Baru-baru ini, See-thian Hoat-su kakek ajaib penghuni Gua Tengkorak juga datang ke sini dan mienanyakan apakah aku melihat Puteri Bhutan dilarikan orang. Ketika aku mengatakan bahwa aku tidak melihatnya, dia lalu pergi. Dan sekarang, engkau dan Mauw Siauw Mo-li datang mencari Puteri Bhutan pula.”

Hati Tek Hoat kecewa sekali. “Aku telah dibohongi oleh wanita jalang itu. Jadi engkau benar tidak pernah melihat puteri itu, Touw-ong?”

“Guruku sudah bilang tidak melihatnya, mengapa banyak cerewet lagi?”

Tek Hoat menarik napas panjang. Dia maklum mengapa gadis ini marah-marah, karena betapapun juga, dua orang Saudara Ma itu tadinya datang bersama dia sebagai kawan-kawannya.

“Sudahlah, maafkan aku kalau kalian tidak tahu!” Berkata demikian, sekali berkelebat Tek Hoat sudah lenyap dari depan mereka.

“Jahat dia....!” Swi Hwa berkata.

“Sssttt....!” Gurunya memegang tangan muridnya agar jangan bergerak. Kemudian dia menoleh kepada mayat dua orang she Ma itu, menggeleng kepala dan berkata, “Sungguh hebat sekali kepandaian Si Jari Maut. Pantas saja dia terkenal sekali, kiranya memang dia amat hebat. Entah tenaga apa yang dia pergunakan tadi sehingga aku sendiri kewalahan menghadapinya. Sayang ada wanita iblis tadi yang ikut membantu, kalau tidak, aku ingin sekali bertanding dengan pemuda hebat itu.”

“Siapa sih Puteri Bhutan yang dicarinya itu, Suhu?”

“Entah. Ah, sungguh aneh sekali peristiwa ini, Swi Hwa. Engkau mencuri barang-barang dari tiga orang sakti, akan tetapi yang datang bukannya Jenderal Kao, Siluman Kecil atau Sin-siauw Sengjin, melainkan Si Jari Maut dan Mauw Siauw Mo-li! Untung masih baik kesudahannya. Ah, peristiwa ini makin mendorong hatiku untuk cepat-cepat menjurnpai Saicu Kai-ong....“

Kakek itu lalu menolong para anak buahnya yang tertotok, pingsan dan ada yang terluka. Kemudian rnereka mengurus mayat dua orang penyerbu itu. Beberapa hari kemudian, Hek-sin Touw-ong bersiap-siap untuk menghubungi Sai-cu Kai-ong, tokoh yang sebetulnya telah lama menjadi sahabatnya, akan tetapi yang selama belasan tahun ini tidak pernah lagi berhubungan dengan dia.

***

Kita kembali melihat keadaan di lembah Huang-ho, di markas besar perkumpulan Kui-liong-pang yang kini dipergunakan oleh Pangeran Liong Bian Cu sebagai benteng. Telah diceritakan di bagian depan betapa Jenderal Kao Liang sendiri telah berada di dalam cengkeraman Pangeran Liong Bian Cu, membuat jenderal gagah perkasa itu tidak berdaya karena seluruh keluarganya berada di dalam tangan Pangeran Nepal itu. Apalagi ketika jenderal ini melihat betapa Puteri Bhutan, anak angkatnya, juga menjadi tawanan di tempat itu. Terpaksa dia bekerja sungguh-sungguh dan membangun tempat itu menjadi sebuah benteng yang amat kuat. Dia sudah berjanji dan sebagai seorang gagah dia akan memegang janjinya, yaitu membuat tempat itu menjadi benteng yang tidak akan dapat dibobolkan musuh dan dia sendiri yang akan mengatur penjagaan mempertahankan benteng itu di saat yang perlu!

Ketika benteng itu masih belum selesai benar dibangun di bawah pimpinan Jenderal Kao, tempat itu telah mengalami serangan dan telah membuktikan kehebatan Jenderal Kao dalam mempertahankan tempat itu. Serangan ini datang di waktu malam hari, terdiri dari lima puluh orang yang dipimpin tiga orang kakek yang amat lihai. Peristiwa itu terjadi di malam terang bulan dan biarpun benteng itu belum selesai dibangun, namun tali-tali rahasia yang dipasang oleh Jenderal Kao telah menyembunyikan genta memberi tahu bahwa ada serombongan orang datang dari utara menuju ke lembah itu! Tali-tali rahasia itu menjadi satu dengan akar-akar dan rantingranting pohon sehingga ketika dilanggar oleh rombongan orang itu, menggerakkan genta di dalam benteng dan segera para penjaga bersiap dan melakukan penjagaan ketat, diatur sendiri oleh Jenderal Kao Liang yang sudah melatih anak buah Kui-liong-pang dan anak buah Pangeran Nepal itu menjadi pasukan yang tangkas dan hebat! Semua ini ditonton dengan kagum oleh Liong Bian Cu, Hek-hwa Lo-kwi, Hek-tiauw Lo-mo, Gitananda, dan Ban hwa Seng-jin yang lebih banyak tinggal di dalam gedung, bersikap tenang akan tetapi dia selalu menerima laporan dari Gitananda akan segala yang terjadi di luar kamarnya.

Siapakah para penyerbu itu? Mereka ini bukan lain adalah para anggauta Liong-sim-pang yang dipimpin sendiri oleh Hwa-i-kongcu Tang Hun, dibantu oleh tiga orang kakek lihai, yaitu Hak Im Cu, Ban-kin-swi Kwan Ok, dan Hai-liong-ong Ciok Gu To. Seperti kita ketahui Hwa-i-kongcu Tang Hun merasa amat kecewa, penasaran dan marah sekali ketika Syanti Dewi yang akan menjadi isterinya itu tiba-tiba lenyap di tengah-tengah pesta pernikahannya! Dia merasa kecewa karena kehilangan calon isteri yang cantik jelita, akan tetapi yang lebih menyakitkan hatinya lagi, dia merasa malu. Dia telah mengundang banyak tamu, di antaranya banyak tokoh-tokoh kang-ouw dan banyak pembesar penting, dan ditengah pesta itu, pengantin wanitanya diculik orang begitu saja! Hal ini merupakan tamparan hebat bagi mukanya, kehormatannya, dan dia tidak akan berhenti sebelum bisa mendapatkan kembali pengantinnya. Oleh karena itu, dia mengerahkan seluruh anak buah Liong sim-pang untuk melakukan penyelidikan dan pencarian. Bahkan dia mengandalkan harta bendanya yang besar untuk disebarkan di antara orang-orang kang-ouw agar mereka suka membantunya dan tidak lupa dia menjanjikan hadiah yang akan dapat membuat orang mendadak menjadi kaya raya kalau bisa menemukan jejak puteri itu!

Karena usahanya yang mati-matian ini, maka boleh dibilang semua orang kang-ouw tahu belaka bahwa Hwa-ikongcu Tang Hun menjanjikan hadiah besar itu, maka semua orang memasang mata dan telinga untuk ikut mencari. Akan tetapi, ketika Syanti Dewi berada bersama See-thian Hoat-su, kemudian terampas oleh Gitananda dan disembunyikan di tempat rahasia, tidak ada seorang pun yang mengetahuinya sehingga sia-sia saja Tang Hun mencari dan mengerahkan banyak orang. Setelah puteri itu oleh Gitananda dibawa ke lembah Huang-ho dan puteri itu kelihatan oleh semua anggauta Kui-liong-pang dan para anak buah Hek-tiauw Lo-mo dan Pangeran Nepal, ada saja yang membocorkan berita ini sehingga akhirnya sampai juga ke telinga Hwa-i-kongcu Tang Hun.

Tentu saja Tang Hun menjadi marah sekali dan juga girang karena akhirnya dia tahu di mana adanya pengantinnya itu. Mendengar bahwa Puteri Bhutan itu ditawan oleh perkumpulan Kui-liong-pang, dia lalu mengumpulkan semua anak buahnya, dibantu oleh tiga orang kakek lihai itu dia memimpin sendiri pasukannya menuju ke lembah Huang-ho dan malam itu dia menyerbu Kui-liong-pang. Sama sekali dia tidak tahu bahwa tempat itu kini sedang dibangun sebagai benteng yang kokoh kuat oleh bekas panglima besar Jenderal Kao, dan lebih lagi dia tidak menyangka bahwa kedatangan mereka telah diketahui dan Jenderal Kao yang merupakan seorang ahli perang amat pandai itu telah mempersiapkan sambutan hangat atas penyerbuannya!

Dengan hati-hati tiga orang kakek lihai yang membantu Tang Hun itu memimpin pasukan memasuki lembah dari utara. Hak Im Cu, kakek tosu, seorang di antara tiga pembantu itu, bertugas sebagai penunjuk jalan karena tosu ini pernah datang mengunjungi lembah ketika di situ diadakan pertemuan antara orang-orang kang-ouw. Tentu saja Hak Im Cu tidak dapat mengambil jalan rahasia, seperti ketika dia mengunjungi tempat itu dahulu melainkan mengambil jalan liar yang telah diperhitungkan sebagai jalan paling aman untuk menyerbu lembah itu. Satu-satunya halangan adalah sungai yang mengurung lembah itu, sungai yang terjadi ketika .lembah itu dibanjiri air ketika diadakan pertemuan dahulu. Akan tetapi mereka telah siap dengan alat-alat untuk berenang dan menyeberang.

Ketika mereka tiba di tepi sungai, giranglah hati mereka bahwa di situ tidak terdapat penjagaan sehingga mereka dapat menyeberang dengan mudah, menggunakan perahu-perahu darurat. Dan betapa girang hati mereka ketika melihat bahwa pagar tembok di seberang sungai itu ternyata masih baru dibangun dan belum selesai sehingga tempat itu terbuka. Yang lebih menggirangkan lagi, tidak ada penjagaan di situ sehingga setelah bersembunyi dan mengintai sampai lama, kemudian yakin bahwa tempat itu sunyi tidak ada penjaga, mereka lalu bergerak merayap dan memasuki daerah lembah. Atas pimpinan Tang Hun sendiri, mereka lalu berindap-indap dan memecah diri menjadi kelompok-kelompok terpisah menghampiri rumah besar yang mereka kira tentu menjadi bangunan pusat di mana berdiam ketua Kui-liong-pang dan di mana puteri itu dikeram!

Bersambung ke buku 11