Kisah Si Bangau Merah -6 | Kho Ping Hoo



Kisah Si Bangau Merah Buku 6 | Kho Ping Hoo
Mendengar ini, Ouw Ban menjadi semakin marah. Biarpun dia menghormati suhu dan supeknya, akan tetapi sekarang dia adalah seorang ayah yang mendendam karena kematian puteranya. Dia memang maklum akan kelihaian suhu dan supeknya, dan takut kepada mereka. Akan tetapi sekarang, melihat keinginannya membalas dendam kematian puteranya dihalangi, bahkan kedudukannya sebagai Ketua Thian-li-pang, akan digeser, dia tidak mengenal takut lagi. Apa pula suhu dan supeknya adalah dua orang kakek yang sudah tua renta, betapa pun lihainya, tentu sekarang sudah lemah, pikirnya. Bangkitlah dia dari tempat duduknya dan dia menghadapi suhu dan supeknya.

"Aku diangkat menjadi Ketua Thian-li-pang oleh semua ketua cabang dan kepala ranting, juga oleh semua anggauta setelah aku menunjukkan bahwa akulah yang paling kuat dan paling tepat menjadi ketua. Kalau sekarang ada yang ingin mencopot aku dari kedudukan ketua siapapun juga dia, harus dapat mengalahkan dan merobohkan aku!"

"Heh-heh-heh-heh, muridmu ini memang bejat, Sute! Biar aku yang menghajarnya!"

Wajah Ban-tok Mo-ko menjadi pucat, lalu merah sekali. Dia adalah seorang datuk yang biasanya bersikap halus dan ramah, akan tetapi saat ini dia benar amat marah. Dia melangkah maju menghadapi muridnya dan berkata kepada suhengnya,

"Suheng, dia muridku, maka akulah yang bertanggung jawab atas penyelewengannya. Aku yang harus menghajarnya. Ouw Ban, engkau murid murtad, cepat berlutut dan menerima hukuman!"

Akan tetapi Ouw Ban yang sudah marah sekali tidak mau berlutut, bahkan menatap wajah suhunya dengan berani. Suhunya sudah berusia delapan puluh tiga tubuhnya sudah nampak kurus dan lemah sehingga dia sama sekali tidak merasa gentar. Apalagi dia tahu bahwa hampir seluruh ilmu yang dikuasai suhunya sudah dipelajarinya.

"Memang, aku adalah murid Suhu, akan tetapi di Thian-li-pang, bahkan Suhu harus tunduk terhadap perintah Ketua Thian-li-pang!"

"Ouw Ban, berani engkau menentang dan melawan gurumu?" sekali lagi Ban-tok Mo-ko membentak.

"Kalau terpaksa, siapa pun akan kulawan. Aku harus mempertahankan kedudukanku sebagai ketua dengan taruhan nyawa!"

"Kalau begitu, engkau akan mati di tanganku sendiri, Ouw Ban!" kata kakek itu dan tiba-tiba dia menyerang dengan tamparan tangan kirinya. Ouw Ban memang sudah siap siaga, maka dia pun menangkis dan balas menyerang!

Semua orang memandang dengan hati tegang. Tak ada seorang pun berani mencampuri atau melerai karena kedua orang itu adalah guru dan murid, bahkan Ketua Thian-li-pang dan seorang tokoh tua perkumpulan itu. Namun, jelas nampak bahwa usia tua membuat Ban-tok Mo-ko kewalahan menghadapi muridnya. Muridnya itu pun sudah tua, usia Ouw Ban sudah tujuh puluh tiga, akan tetapi gurunya sepuluh tahun lebih tua dan kalau Ouw Ban masih giat bergerak dan berlatih silat, Ban-tok Mo-ko, lebih banyak bersamadhi dan tidak pernah berlatih. Oleh karena itu, walaupun dalam hal tenaga sin-kang Ban-tok Mo-ko masih kuat, namun dia kehilangan kegesitannya dan kalah cepat oleh muridnya sehingga tak lama kemudian dia terdesak oleh muridnya itu!

Ketika untuk kesekian kalinya Ban-tok Mo-ko meloncat ke belakang menghindar dari desakan muridnya, Ouw Ban mengeluarkan bentakan nyaring, kedua tangannya berubah merah den dia pun memukul ke depan dengan dorongan kedua tangan terbuka. Itulah ilmu pukulan Ang-tok-ciang (Tangan Racun Merah) yang amat dahsyat! Melihat ini, Ban-tok Mo-ko juga mengerahkan sin-kangnya dan menggunakan ilmu pukulan yang sama, menyambut dorongan, kedua tangan itu.

"Plakkk!" Dua pasang tangan itu saling bertemu dan telapak tangan mereka saling melekat. Keduanya mengerahkan tenaga sin-kang, saling dorong dan sebentar saja nampak uap mengepul dari kepala mereka, tanda bahwa mereka telah mengerahkan seluruh tenaga sin-kang mereka. Suasana menjadi semakin tegang karena semua orang tahu bahwa guru dan murid ini sedang mati-matian mengadu sin-kang yang berarti mereka mengadu nyawa. Yang kalah kuat akan roboh den tewas!

Akan tetapi tiba-tiba Thian-te Tok-ong bergerak ke depan dan tangan kirinya menepuk punggung sutenya. "Murid macam itu tidak perlu diampuni lagi!"

Begitu punggung Ban-tok Mo-ko kena ditepuk tangan kiri Thian-te Tok-ong, serangkum tenaga dahsyat membantu kedua telapak tangan Ban-tok Mo-ko dan tiba-tiba saja tubuh Ouw Ban terlempar ke belakang dibarengi gerengannya dan dia pun roboh terbanting dan muntah darah, matanya mendelik dan nyawanya putus seketika!

Ban-tok Mo-ko memejamkan kedua matanya, lalu duduk bersila dan menarik napas panjang beberapa kali untuk memulihkan tenaganya. Sementara itu, Thian-te Tok-ong tertawa dan berkata kepada para murid Thian-li-pang, "Singkirkan mayat murid murtad itu agar kita dapat bicara dengan tenang."

Beberapa orang murid maju dan mengangkat mayat Ouw Ban dibawa ke belakang. Jenazahnya akan dikubur tanpa banyak upacara lagi karena dia dianggap sebagai seorang murid murtad.

Ban-tok Moko lalu berkata kepada semua orang dengan suaranya yang lembut. “Para anggauta Thian-li-pang, murid-murid yang setia. Karena Ouw Ban telah murtad dan disingkirkan, maka sekarang yang memimpin pertemuan ini adalah wakil ketua, yaitu Lauw Kang Hui. Kang Hui, kaupimpin pertemuan ini dan sebaiknya kalau diadakan pemilihan ketua baru lebih dulu, baru kita akan mengambil langkah-langkah selanjutnya.”

Lauw Kang Hui memberi hormat kepada suhunya dan supeknya, kemudian menghadapi semua orang, “Saya merasa menyesal sekali dengan sikap terakhir yang diambil mendiang Suheng Ouw Ban. Hendaknya peristiwa ini dijadikan contoh bagi semua mutid Thian-li-pang agar jangan ada yang mementingkan urusan pribadi di atas urusan perkumpulan. Sekarang, saya persilakan saudara sekalian untuk mengajukan usul-usul bagaimana sebaiknya untuk memilih seorang ketua baru.”

Ramailah sambutan para ketua cabang dan kepala ranting. Banyak yang mengusulkan agar masing-masing kelompok besar mengajukan seorang calon ketua baru, kemudian diadakan pemilihan di antara para calon itu.

Akan tetapi, Lauw Kang Hui merasa tidak setuju. Dia mengangkat kedua tangan ke atas dan menggeleng kepalanya. “Saudara sekalian, kurasa perkumpulan kita Thian-li-pang membutuhkan bimbingan orang yang berpengalaman dan berilmu tinggi. Kalau diserahkan kepada yang muda-muda, aku khawatir akan terjadi penyelewengan yang akan melemahkan perkumpulan kita. Maka, aku mengusulkan agar pimpinan Thian-li-pang kita persembahkan saja kepada tokoh-tokoh utama yang kita junjung tinggi, yaitu Supek Thian-te Tok-ong atau Suhu Ban-tok Mo-ko!”

Semua orang yang berada di situ menyambut usul ini dengan sorak-sorai gembira. Memang, mereka akan merasa lega kalau yang memimpin langsung adalah dua orang kakek yang sakti itu. Hal itu akan membuat mereka berbesar hati.

Dua orang kakek itu saling pandang dan mereka menggeleng kepala. Ban-tok Mo-ko dapat membaca isi hati suhengnya maka dia pun bangkit dan berkata, “Kami berdua adalah orang-orang tua renta yang sudah tidak ada semangat lagi untuk merepotkan diri mengurus hal-hal yang memusingkan. Tugas kami hanya mengawasi agar semua murid melakukan tugasnya dengan baik. Kami berdua tidak dapat menerima kedudukan ketua karena kami merasa sudah terlalu tua. Oleh karena itu, kami mempunyai usul agar jabatan ketua dipegang oleh murid kami Lauw Kang Hui. Dia boleh memilih wakilnya dan para pembantunya. Apakah semua setuju?”

Tepuk tangan dan sorakan menyambut usul ini sebagai tanda bahwa sebagian besar dari para anggauta Thian-li-pang menyetujui pengangkatan Lauw Kang Hui sebagai ketua itu. Selama ini, sebagai wakil ketua, Lauw Kang Hui telah menunjukkan jasa-jasanya, bahkan untuk urusan luar yang mengandung bahaya, dia lebih aktip dibandingkan suhengnya Ouw Ban yang telah tewas itu.

Akan tetapi, tiba-tiba semua orang merasa heran melihat Lauw Kang Hui mengangkat kedua tangan ke atas, memberi isarat kepada semua orang untuk tenang. Setelah semua orang menjadi tenang kembali, Lauw Kang Hui lalu berkata dengan suara lantang, sambil memberi hormat lalu berdiri menghadap ke arah suhu dan supeknya.

“Harap Suhu dan Supek suka memaafkan teecu. Apa yang akan teecu katakan ini bukan berarti bahwa teecu tidak mentaati perintah Jiwi (Anda Berdua), melainkan untuk mengeluarkan semua perasaan penasaran yang telah lama menekan hati teecu.”

“Lauw Kang Hui, dalam pertemuan besar seperti ini, memang sebaiknya kalau kita bicara secara jujur, mengeluarkan semua isi hati kita. Bicaralah!” kata Ban-tok Mo-ko.

Lauw Kang Hui lalu menghadapi semua anggauta yang mencurahkan perhatian kepadanya. “Saudara-saudara sekalian. Terima kasih bahwa Cuwi (Anda Sekalian) telah menerima saya sebagai ketua baru. Akan tetapi untuk menerima kedudukan itu, saya mempunyai satu syarat, yaitu agar semua sepak terjang Thian-li-pang kita tentukan sendiri. Selama ini, sepak terjang Thian-li-pang seolah-olah dikendalikan oleh Pek-lian-kauw, dan ternyata banyak kegagalan kita alami. Oleh karena itu, saya mau memimpin Thian-li-pang sebagai ketua kalau mulai saat ini, kerja sama dengan Pek-lian-kauw ditiadakan. Biarlah Thian-li-pang mengenal Pek-lian-kauw sebagai rekan seperjuangan melawan penjajah Mancu, akan tetapi kita mengambil jalan dan cara masing-masing, tidak saling mencampuri.”

Kini terjadi perpecahan di antara para murid Thian-li-pang. Ada sebagian yang setuju dengan pendapat Lauw Kang Hui, ada pula yang tidak setuju. Mereka yang tidak setuju itu tentu saja para murid yang sudah menikmati keuntungan dari kerja sama mereka dengan Pek-lian-kauw. Ada yang menganggap bahwa kerja sama dengan Pek-lian-kauw itu baik, ada pula yang sebaliknya. Tentu saja pendapat baik atau buruk ini timbul karena adanya penilaian, dan penilaian selalu berdasarkan kepentingan diri sendiri. Apa saja yang menguntungkan diri sendiri akan dinilai baik, dan yang merugikan dinilai buruk. Karena itulah maka timbul pertentangan, yang diuntungkan menganggap baik dan yang tidak diuntungkan menganggap buruk.

Dua orang tokoh Pek-lian-kauw yang hadir sebagai tamu tentu saja saling pandang dengan alis berkerut mendengar ucapan calon ketua baru itu. Kwan Thian-cu yang gendut dan pandai bicara segera bangkit berdiri dan suaranya terdengar lantang.

“Siancai....! Pendapat dari Lauw-pangcu (Ketua Lauw) sungguh membuat kami merasa penasaran sekali! Bukankah selama ini Pek-lian-kauw merupakan kawan seperjuangan yang setia? Kami pun sudah mengorbankan banyak anak buah dalam membantu Thian-li-pang. Bahkan kami sekarang siap membantu apabila Thian-li-pang hendak menyerbu istana dan membunuh Kaisar Mancu! Kenapa tiba-tiba saja Lauw-pangcu mengatakan bahwa pihak kami hanya menggagalkan sepak terjang Thian-li-pang? Sungguh penasaran sekali dan kami tidak dapat menerimanya.”

“Hemm, Kwan Thian-cu Totiang (Pendeta) harap tenang dan suka mempertimbangkan ucapan kami. Selama ini, mendiang Suheng Ouw Ban selalu mendengarkan nasihat Pek-lian-kauw, bahkan kegagalan yang baru saja kami alami juga atas prakarsa Pek-lian-kauw. Kami hanya minta agar Pek-lian-kauw tidak mencampuri urusan kami dan mengenai perjuangan, biarlah kita mengambil jalan dan cara masing-masing tanpa saling mencampuri. Oleh karena itu, mengingat bahwa pertemuan ini adalah pertemuan pribadi perkumpulan kami, maka dengan hormat kami harap agar jiwi Totiang (Anda Berdua Pendeta) suka meninggalkan pertemuan ini.”

Dua orang pendeta Pek-lian-kauw itu menjadi marah bukan main. Mereka baru saja kehilangan Ang I Moli yang merupakan andalan mereka. Wanita itu dihukum mati sebagai akibat kegagalan kerja sama mereka untuk membunuh para pangeran. Dan sekarang, mereka diusir begitu saja oleh ketua baru Thian-li-pang.

“Sungguh keterlaluan! Thian-li-pang tidak mengenal budi,” teriak Kui Thian-cu yang bertubuh kecil kurus dan pendek. Mukanya yang keriputan itu nampak semakin tua.

Banyak anggauta Thian-li-pang yang mendukung kerja sama dengan Pek-lian-kauw juga nampak gelisah dan penasaran sehingga nampak sikap permusuhan antara dua kelompok yang mendukung sikap Lauw Kang Hui dengan mereka yang menentang.

“Hemm, agaknya ketua yang baru hendak membawa Thian-li-pang menjadi pengkhianat, membantu pemerintah penjajah untuk memusuhi Pek-lian-kauw yang selamanya anti penjajah?” teriak pula Kwan Thian-cu, sikapnya sudah menantang sekali.

“Jiwi Totiang! Kalian adalah tamu, apakah hendak menantang tuan rumah?” bentak Lauw Kang Hui yang sudah marah. Agaknya, perkelahian takkan dapat dihindarkan lagi, sedangkan dua orang kakek sakti dari Thian-li-pang yang masih duduk, hanya menonton saja dengan sikap tenang.

Pada saat yang gawat itu, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di antara mereka berdiri seorang pemuda yang bermata tajam mencorong dan sikapnya tenang namun lembut. Tubuhnya yang sedang namun tegap itu mengenakan pakaian yang bersih namun sederhana. Pemuda ini bukan lain adalah Yo Han!

Agaknya, Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong masih mengenal pemuda itu, demikian pula Lauw Kang Hui. Thian-te Tok-ong terbelalak dan berseru, “Heii, bukankah engkau Yo Han....?”

Yo Han menghampiri Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong, memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada dan membungkuk sambil berkata, “Jiwi Supek (Kedua Uwa Guru), saya Yo Han memberi hormat, dan harap maafkan karena melihat keadaan, terpaksa saya ingin ikut bicara sedikit.” Tanpa menanti jawaban dua orang kakek yang memandang bengong itu, Yo Han segera menghadapi semua orang Thian-li-pang. Dua orang kakek itu bengong karena merasa terheran-heran. Bukankah Yo Han telah tewas di dalam sumur bersama Ciu Lam Hok? Bagaimana mungkin anak itu kini muncul kembali sebagai seorang pemuda yang tampan dan gagah, dengan pakaian yang pantas pula? Suara Yo Han terdengar lantang ketika dia bicara.

“Saudara-saudara sekalian, para murid dan anggauta Thian-li-pang, dengarkan baik-baik. Seluruh dunia kang-ouw tahu belaka bahwa dahulu Thian-li-pang adalah perkumpulan orang-orang gagah yang selain menentang kejahatan dan menentang penjajahan, juga menegakkan kebenaran dan keadilan. Akan tetapi, akhir-akhir ini, semua orang tahu belaka bahwa telah terjadi penyelewengan-penyelewengan dan penyimpangan dari jalan benar yang dilakukan Thian-li-pang. Nama baik Thian-li-pang tercemar dan terkenal sebagai perkumpulan yang menentang pemerintah penjajah akan tetapi juga yang suka berbuat jahat! Langkah yang diambil Thian-li-pang mengikuti jejak langkah Pek-lian-kauw yang sejak dahulu terkenal menyeleweng daripada kebenaran dan banyak orang Pek-lian-kauw melakukan kejahatan dengan dalih perjuangan. Betapa pun mulia cita-citanya, namun kalau pelaksanaan atau cara mengejar cita-cita itu kotor, maka hasilnya akan menjadi kotor pula. Yang penting sekali adalah pelaksanaannya. Kalau pelaksanaannya bersih, maka yang dicapai juga bersih. Pelaksanaan adalah benihnya, dan tidak ada benih buruk mendatangkan buah yang baik. Saya menghormati dan setuju sekali pendapat Suheng Lauw Kang Hui tadi, yang bertekat untuk menegakkan kembali Thian-li-pang sebagai perkumpulan orang-orang gagah, perkumpulan pendekar pahlawan!”

Mereka yang tadi mendukung Lauw Kang Hui, bersorak menyambut ucapan ini, walaupun mereka kini juga terheran-heran mengenal Yo Han, yang lima tahun yang lalu pernah mereka melihat sebagai seorang anak yang diambil murid oleh Thian-te Tok-ong. Lauw Kang Hui sendiri pun terheran, akan tetapi karena ucapan Yo Han sejalan dengan pendapatnya, dia pun diam saja dan hendak melhat perkembangan selanjutnya.

Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu, dua orang tosu Pek-lian-kauw itu, segera mengenal Yo Han sebagai anak laki-laki yang pernah mereka tawan ketika mereka membantu Ang I Moli. Melihat sikap dan mendengar ucapan Yo Han, dua orang tosu ini marah bukan main. Keduanya sudah melangkah maju dan memandang kepada Yo Han dengan mata melotot. Mereka ingat bahwa anak ini dahulu kebal terhadap sihir, maka mereka pun tidak mau mempergunakan ilmu sihir.

“Pemuda sombong! Berani engkau menjelek-jelekkan Pek-lian-kauw seperti itu? Siapa pun yang berani menghina Pek-lian-kauw, tak berhak hidup dan kami akan membunuhmu sekarang juga!” Dua orang tosu itu sudah siap untuk menyerang Yo Han. Pemud itu bersikap tenang saja dan dia menatap kedua orag tosu itu secara bergantian.

“Jiwi Totiang (Kalian Berdua Pendeta) mengaku sebagai pendeta-pendeta, berpakaian dan berpakaian sebagai pendeta. Namun, baik buruknya seseorang bukan tergantung dari pakaian atau sikapnya, melainkan dari perbuatannya. Jiwi Totiang sudah banyak melakukan kejahatan, maka jubah dan sikap Jiwi sebagai pendeta itu hanya kedok belaka. Apa yang saya katakan tadi hanya kebenaran, bukan bermaksud menjelek-jelekkan atau menghina siapapun.”

“Keparat, kau makin kurang ajar! Rasakan pukulanku!” bentak Kwan Thian-cu yang marah sekali dan tiba-tiba tokoh Pek-lian-kauw yang gendut ini menerjang dengan pukulan maut dari kedua telapak tangannya.

“Desss....!” Pukulan kedua tangan tosu Pek-lian-kauw yang gendut itu disambut oleh kedua tangan Lauw Kang Hui yang meloncat ke depan melindungi Yo Han. Dua pasang tangan itu bertemu dengan tenaga sin-kang sepenuhnya, dan akibatnya, Kwan Thian-cu yang kalah kuat terdorong, terjengkang dan tubuh yang gendut itu terguling-guling sampai beberapa meter jauhnya. Kui Thian-cu cepat menghampiri saudaranya dan membantunya bangkit. Masih untung bagi Kwan Thian-cu bahwa Lauw Kang Hui tidak berniat membunuhnya, maka tadi ketika menangkis, tidak menggunakan serangan balasan. Namun karena tosu, Pek-lian-kauw itu memang kalah kuat, begitu kedua tangannya bertemu dengan calon ketua baru Thian-li-pang, tubuhnya seperti diterjang gajah dan terjengkang ke belakang.

“Totiang, kalau kami tidak memandang Pek-lian-kauw sebagai rekan seperjuangan, tentu saat ini engkau sudah tak bernyawa lagi. Kami hanya menghendaki agar Pek-lian-kauw tidak mencampuri urusan rumah tangga kami. Silakan meninggalkan tempat ini,” kata Lauw Kang Hui dengan tegas.

Dua orang tosu itu bangkit, memberi hormat dan pergi tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Mereka merasa malu akan tetapi juga maklum bahwa melawan tidak ada gunanya. Dan mereka tahu pula bahwa para pimpinan Pek-lian-kauw pasti tidak menghendaki mereka mencari permusuhan dengan Thian-li-pang yang jelas menentang pemerintah penjajah.

Setelah dua orang tosu itu pergi tak kelihatan lagi bayangannya, Thian-te Tok-ong berkata dengan nada suara yang penuh kemarahan. “Yo Han, engkau ini anak masih ingusan sudah berani berlagak di Thian-li-pang! Di sini ada aku, ada sute, ada pula Lauw Kang Hui, dan angkau membikin malu kami dengan sepak terjangmu seolah-olah engkau yang paling hebat di sini!”

“Maaf, sebelumnya teecu sudah minta maaf kepada Jiwi Susiok (Uwa Guru Berdua),” kata Yo Han sambil menghadapi dua orang kakek itu dan memberi hormat.

“Bocah lancang, engkau berani memandang rendah kepada kami, ya?” Ban-tok Mo-ko juga membentak. “Tanpa perintah kami, engkau telah berani mencari gara-gara dengan Pek-lian-kauw atas nama Thian-li-pang. Engkau tidak berhak bertindak atas nama Thian-li-pang. Kelancanganmu ini meremehkan kami dan harus kuhukum kau!” Setelah berkata demikian Ban-tok Mo-ko menerjang maju menyerang Yo Han. Melihat serangan gurunya itu, Lauw Kang Hui terkejut. Gurunya telah melancarkan serangan pukulan maut kepada Yo Han. Biarpun dia membenarkan tindakan Yo Han tadi, namun karena Yo Han bukan apa-apa baginya, dia tidak berani lancang melindunginya dari serangan gurunya yang hebat. Dia hanya memandang dengan mata terbelalak, juga semua anggauta Thian-li-pang memandang dan mereka semua merasa yakin bahwa Yo Han pasti akan roboh tewas karena mereka semua mengenal kesaktian Ban-tok Mo-ko yang merupakan seorang sesepuh atau locianpwe dari Thian-li-pang.

“Maaf, Supek!” kata Yo Han ketika melihat serangan yang mendatangkan angin pukulan dahsyat itu menyambar dirinya dan dia pun menggerakkan kedua tangannya yang mula-mula menyembah ke atas, terus turun ke bawah melalui depan dahi, hidung, mulut terus ke ulu hati, lalu kedua lengan dikembangkan dan tangan ke kanan kiri, terus ke bawah membentuk lingkaran, bertemu di bawah dalam keadaan menyembah lagi dan kedua tangan ini dengan kedua telapak tangan terbuka lalu menghadap ke depan dan lengannya diluruskan.

Tidak ada hawa pukulan keluar dari kedua tangan Yo Han ini, akan tetapi tiba-tiba Ban-tok Mo-ko mengeluarkan seruan kaget karena dia merasa betapa hawa pukulan kedua tangan membalik dan biarpun dia sudah bertahan, tetap saja dia terpelanting oleh kuatnya hawa pukulannya sendiri yang membalik!

“Ho-ho, anak ini memang perlu dihajar!” kata Thian-te Tok-ong, kaget dan juga tertarik sekali melihat betapa sutenya yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian yang hanya di bawah tingkatnya, sampai terpelanting jatuh. Dia pun mengebutkan lengan baju kanannya. Dia memukul dari jauh, menggunakan hawa pukulan yang amat dahsyat, kemudian tongkat di tangan kirinya menyusul, menotok ke arah pusar Yo Han.

“Maaf, Supek!” kata pula Yo Han. Dia tahu betapa dahsyatnya serangan ini, maka kembali dia menggerakkan kedua tangannya sesuai dengan ilmu yang baru saja dilatih di bawah petunjuk kakek Ciu Lam Hok, yaitu ilmu yang disebut Bu-kek-hoat-keng. Begitu kedua tangannya membuat gerakan memutar dan menyambut tamparan dan totokan tongkat, seperti yang terjadi pada Ban-tok Mo-ko tadi, tiba-tiba Thian-te Tok-ong juga berseru kaget dan biarpun dia tidak terpelanting seperti sutenya, namun dia terhuyung ke belakang dan dua serangannya tadi membalik, tangan kanan menampar kepada sendiri dan tongkatnya membalik ke arah pusarnya sendiri!

“Hemm, Bu-kek-hoat-keng....!” seru kakek bertubuh pendek kecil ini setelah mampu mengembalikan keseimbangannya, mukanya agak pucat karena dia tadi merasa kaget bukan main ketika kedua serangannya membalik secara aneh sekali

“Yo Han!” bentak Ban-tok Mo-ko. “Berani engkau mencampuri urusan pribadi Thian-li-pang?”

Yo Han memberi hormat kepada dua orang kakek itu. “Jiwi Supek (Uwa Guru Berdua), harap maafkan saya. Sebagai murid Suhu Ciu Lam Hok, maka saya pun berhak mencampuri urusan Thian-li-pang dan apa yang saya lakukan ini adalah untuk memenuhi pesan dari Suhu. Thian-li-pang sejak dahulu adalah perkumpulan para pendekar yang berjiwa patriot. Akan tetapi semenjak Thian-li-pang dibawa bersekutu dan bersahabat dengan Pek-lian-kauw, apa jadinya? Thian-li-pang melupakan sumbernya, dan anak buahnya banyak yang mengikuti jejak Pek-lian-kauw, tidak segan melakukan kejahatan dengan berkedok perjuangan. Suhu pesan kepada saya untuk mengembalikan Thian-li-pang ke jalan benar.”

“Ciu Lam Hok itu.... di mana dia sekarang? Engkau dapat keluar, tentu dia pun dapat. Katakan, di mana Ciu Lam Hok?” Thian-te Tok-ong bertanya.

Yo Han menarik napas panjang, teringat betapa suhunya itu hidup menderita karena perbuatan dua orang kakek yang menjadi supeknya ini.

“Suhu telah meninggal dunia dalam keadaan tubuh menderita namun batinnya bahagia.”

“Ahhhh....!” Thian-te Tok-ong berseru, juga Ban-tok Mo-ko mengeluarkan seruan kaget.

“Jiwi Supek yang membuat Suhu hidup tersiksa!” kata pula Yo Han dengan suara mengandung teguran dan memandang tajam kepada dua orang kakek itu. Dua orang kakek itu menundukkan muka. Agaknya baru mereka kini melihat betapa kejam mereka terhadap sute sendiri. Mereka telah menyiksa sute mereka dan berlaku curang hanya karena iri hati dan ingin menguasai ilmu sute mereka yang lebih tinggi daripada ilmu mereka.

Entah bagaimana, ketika Ciu Lam Hok masih hidup dan merana di dalam sumur, dua orang kakek ini sama sekali tidak pernah menyesali perbuatan mereka bahkan raungan dan teriakan Ciu Lam Hok yang mereka dengar, membuat mereka semakin penasaran dan membenci karena sute itu tidak mau membagi ilmu-ilmunya kepada mereka. Akan tetapi kini mendengar bahwa sute itu sudah meninggal dunia, mendadak mereka kehilangan, dan merasa menyesal. Karena tidak ada lagi harapan untuk mendapatkan ilmu-ilmu dari orang yang sudah mati, maka kini seolah-olah yang teringat hanya perbuatan mereka terhadap sute itu, dan betapa mereka bertiga merupakan pendiri Thian-li-pang yang dahulu hidup rukun dan saling setia.

“Aih, Sute, kami telah berdosa kepadamu....” Tiba-tiba saja Thian-te Tok-ong berseru dan kakek ini menangis! Dan Ban-tok Mo-ko juga menangis. Melihat dua orang kakek yang menjadi sesepuh Thian-li-pang itu menangis seperti anak kecil, semua anggauta Thian-li-pang terheran-heran, dan Lauw Kang Hui menundukkan kepalanya. Wakil ketua ini pun menyadari betapa Thian-li-pang memang telah menyeleweng, anak buahnya banyak yang tidak segan melakukan perbuatan jahat bersama anak buah Pek-lian-kauw yang menjadi guru mereka dalam hal penyelewengan.

Tiba-tiba Ban-tok Mo-ko menghampiri suhengnya dan menudingkan telunjuknya ke arah muka suhengnya. “Suheng, semua ini gara-gara engkau! Engkau telah membuntungi kaki tangannya, engkau telah berlaku kejam kepada Sute! Sekarang Sute telah meninggal, tentu arwahnya akan menuntut kepada kita! Suheng, engkaulah penyebab semua ini. Aihhhh, Sute.... maafkan aku, Sute. Semua ini Suheng kita yang menjadi biang keladinya!”

Thian-te Tok-ong menghentikan tangisnya dan dia pun menghadapi sutenya dengan mata berkilat dan alis berkerut. “Apa kaubilang? Sute, jangan seenaknya saja kau bicara. Engkaulah yang memberi siasat itu kepadaku! Engkau yang menganjurkan aku untuk turun tangan terhadap Sute Ciu Lam Hok! Dan aku menyesal telah menuruti kemauanmu. Sute Ciu Lam Hok, inilah orangnya yang menjadi penyebab kematianmu, bukan aku!”

“Suheng, Jangan menyangkal! Engkau melakukan kekejaman terhadap Ciu Sute karena engkau murka, karena engkau menghendaki ilmunya, terutama Bu-kek-hoat-keng. Engkaulah yang menanggung dosa terbesar, Suheng!”

“Keparat, engkau pun berdosa besar, bahkan aku tertarik oleh bujukanmu!”

“Bohong.”

“Engkau pengecut, tidak berani bertanggung jawab. Aku memang berdosa terhadap Sute Ciu Lam Hok, akan tetapi engkau pun lebih berdosa lagi!”

“Engkau biang keladinya!”

Dua orang kakek, yang satu gendut yang satu kurus itu, saling maki dan akhirnya, tanpa dapat dicegah lagi, saling serang dengan penuh kemarahan! Suheng dan sute ini sama-sama merasa menyesal, merasa berdosa terhadap sute mereka yang kini telah meninggal dunia. Karena saling menyalahkan, duka dan menyesal, mereka lupa diri dan akhirnya saling serang dengan hebatnya. Karena keduanya merupakan orang-orang sakti, maka tidak ada anggauta Thian-li-pang yang berani melerai. Maju melerai berarti membahayakan nyawa sendiri. Di seputar dua orang itu, angin pukulan menyambar-nyambar dengan dahsyatnya sehingga Lauw Kang Hui sendiri terpaksa mundur menjauh agar tidak sampai terkena serangan hawa pukulan.

Pertandingan antara dua orang tokoh yang sakti dan yang usianya sudah amat tua, tidak lagi mengandalkan kecepatan gerakan, tidak mau membuang waktu dan mereka segera mengeluarkan ilmu simpanan masing-masing, dan mengerahkan sin-kang untuk mengalahkan lawan. Di lain saat, setelah lewat belasan jurus saja, keduanya sudah berdiri dengan kedua kaki terpentang, kedua tangan saling tempel dan saling dorong dengan pengerahan tenaga sin-kang. Uap mengepul dari kepala mereka dan semua orang tahu bahwa pertandingan ini merupakan pergulatan mati hidup. Lauw Kang Hui mengerti pula dan dia meajadi amat khawatir. Dia pun tahu bahwa gurunya, Ban-tok Mo-ko, masih kalah kuat dibandingkan supeknya, dan bahwa gurunya terancam maut. Akan tetapi, tentu saja dia tidak berani mencampuri, tidak berani melerai. Dia tadi teringat akan Yo Han yang telah mampu merobohkan suhunya dan supeknya, maka timbul harapannya. Cepat dia menghampiri Yo Han dan dengan suara sungguh-sungguh dia berkata,

“Sute Yo Han, tolonglah mereka. Cepat pisahkan mereka agar jangan sampai saling bunuh.”

Yo Han yang sejak tadi menonton, menoleh kepadanya dan menggeleng kepalanya. “Kurasa tidak ada gunanya lagi, Suheng. Mereka sudah saling serang mati-matian dan andaikata aku dapat memisahkan mereka pun, tentu mereka telah terluka dalam....“

Lauw Kang Hui memandang kepada dua orang kakek itu dan dia merasa gelisah melihat betapa dari ujung bibir gurunya telah mengalir darah dari dalam mulut, tanda bahwa gurunya telah menderita luka dalam. Dan biarpun di bibir Thian-te Tok-ong belum nampak darah, akan tetapi wajah kakek yang kecil pendek itu pucat sekali.

“Mereka sudah terluka, akan tetapi setidaknya, jangan mereka itu tewas selagi mengadu tenaga. Sute, tolonglah, pisahkan mereka, biarpun mereka sudah terluka.”

Yo Han menarik napas panjang. Dia sudah melihat betapa keadaan dua orang kakek itu payah sekali, dan kalau dia memisahkan mereka, dia harus menggunakan sin-kang untuk mematahkan dua tenaga yang sudah saling lekat itu. Bukan pekerjaan mudah, bahkan berbahaya baginya, akan tetapi dia pun tidak dapat menolak karena dia tidak dapat membiarkan mereka itu mengadu tenaga sampai seorang di antara mereka mati di tempat.

“Jiwi Supek, maafkan saya!” katanya dan dia pun meloncat mendekati dua orang kakek itu, kedua tangannya bergerak-gerak membentuk lingkaran dan tiba-tiba, dengan bentakan nyaring sehingga terdengar suara melengking, dia mendorongkan kedua tangannya ke tengah-tengah antara dua pasang tangan yang sedang melekat itu.

Dua orang kakek itu mengeluarkan suara keras dan tubuh mereka terdorong ke belakang. Ban-tok Mo-ko roboh terguling dan Thian-te Tok-ong terhuyung-huyung, kemudian cepat dia duduk bersila dan memejamkan mata. Ban-tok Mo-ko juga bangkit duduk dengan susah payah, lalu bersila pula. Wajah keduanya pucat dan napas mereka terengah-engah.

Yo Han memeriksa dengan menempelkan tangan di punggung mereka, dan diam-diam dia pun terkejut. Kiranya, kedua orang kakek itu menderita luka dalam yang jauh lebih parah daripada yang disangkanya. Ban-tok Mo-ko yang kalah kuat oleh suhengnya, telah menderita parah sekali dan sukar diselamatkan. Akan tetapi ketika Yo Han memeriksa keadaan Thian-te Tok-ong, dia pun terkejut. Kakek ini memang memiliki tenaga yang lebih kuat, akan tetapi agaknya usianya yang sudah delapan puluh delapan tahun itu membuat tubuhnya lemah dan karena itu, dia pun menderita luka hebat!

Ban-tok Mo-ko yang membuka mata lebih dulu, mata yang sayu dan dia pun memandang kepada Thian-te Tok-ong yang masih duduk bersila dan terdengar suaranya yang lemah gemetar. “Suheng, aku girang dapat mati di tanganmu....” lalu dia memandang ke angkasa, terbatuk dan gumpalan darah keluar lebih banyak lagi dari dalam mulutnya. “Sute, aku telah siap menerima pembalasanmu....” Kakek itu memejamkan kembali kedua matanya dan kepalanya menunduk.

Thian-te Tok-ong membuka matanya dan dari kedua matanya itu mengalir air mata. “Aku telah membunuh Sute Ciu Lam Hok, dan aku pula yang membunuh Sute Ban-tok Mo-ko. Kedua adikku, tunggulah aku....!” Dan dia pun memejamkan kedua matanya dan menundukkan kepala. Dua orang kakek itu tak bergerak lagi.

Yo Han berbisik kepada Lauw Kang Hui. “Lauw-suheng, kedua orang Supek telah tewas....!”

“Haaa....?” Lauw Kang Hui cepat menghampiri gurunya dan menyentuh pundak gurunya. Disentuh sedikit saja, tubuh yang tadinya duduk bersila itu terguling roboh. Demikian pula tubuh kakek Thian-te Tok-ong.

Lauw Kang Hui menangis di depan makam gurunya dan supeknya, juga para murid tingkat tinggi Thian-li-pang menangisi kematian dua orang tua yang menjadi sesepuh Thian-li-pang itu.

Yo Han ikut pula dalam upacara sembahyangan dan dalam kesempatan itu dia berkata kepada Lauw Kang Hui dan para murid lain. “Karena saya telah menjadi murid mendiang Suhu Ciu Lam Hok, bahkan juga pernah berguru kepada Supek Thian-te Tok-ong, maka sedikit banyak saya mengenal hubungan dekat dengan Thian-li-pang. Saya harap peristiwa ini dapat menjadi cermin bagi kita semua. Tiga orang sesepuh Thian-li-pang itu dahulu yang mendirikan Thian-li-pang, dan sejak berdiri, Thian-li-pang terkenal sebagai perkumpulan para pendekar yang berjiwa patriot. Namun, sayang sekali, agaknya mendiang Supek Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong terseret oleh arus duniawi yang membuat mereka melakukan penyelewengan. Apalagi ketika Thian-li-pang dipimpin mendiang Suheng Ouw Ban, hubungan baik dengan Pek-lian-kauw membuat banyak murid yang ikut melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan jiwa perkumpulan kita. Hendaknya kita semua selalu ingat bahwa musuh yang paling besar, paling berbahaya dan paling tangguh adalah dirinya sendiri. Sekali kita mampu menundukkan napsu sendiri, maka batin kita menjadi kokoh kuat dan tidak mudah terseret ke dalam kesesatan. Bagaikan berlayar di tengah samudera, yang terpenting adalah memiliki perahu yang kokoh kuat sehingga tidak khawatir lagi menghadapi badai dan taufan. Kepandaian tinggi bahkan depat mencelakakan kalau tidak disertai batin yang kuat dan bersih, karena kepandaian itu bahkan kita pergunakan untuk melakukan kejahatan.”

Lauw Kang Hui memandang kepada pemuda itu. “Yo Sute, terima kasih atas nasihatmu itu. Kami sudah mengalami cukup banyak kepahitan sebagai akibat daripada penyelewengan yang kami lakukan. Aku berjanji akan mengembalikan Thian-li-pang ke jalan benar, akan bertindak disiplin dan tegas sehingga Thian-li-pang akan kembali menjadi perkumpulan pendekar yang bukan saja memusuhi penjajah tanah air, akan tetapi juga memusuhi perbuatan jahat yang mencelakai orang lain demi kesenangan diri dan pemuasan nafsu sendiri.”

“Bagus, aku girang sekali mendengar ini, Lauw-suheng. Aku hanya akan menjadi saksi bahwa pesan terakhir Suhu Ciu Lam Hok akan terlaksana dengan baik.”

Yo Han lalu berpamit dari semua murid Thian-li-pang, meninggalkan tempat itu dengan hati lapang. Satu di antara pesan suhunya telah dapat dia laksanakan dengan baik, kini dia akan melaksanakan tugas kedua yaitu mencari keluarga mendiang suhunya, yaitu adik suhunya yang bernama Ciu Ceng atau keluarganya karena tentu adik suhunya itu sudah menjadi seorang nenek yang sudah tua sekali. Dia pun meninggalkan Thian-li-pang menuju ke kota raja.

***

Mendiang kakek Ciu Lam Hok memang mempunyai seorang adik perempuan yang bernama Ciu Ceng. Ketika dia sendiri pergi meninggalkan kota raja, adiknya itu masih seorang gadis yang cantik dan tinggal bersama ibunya di lingkungan istana. Kemudian, Ciu Ceng menikah dengan seorang panglima muda she Gan. Pernikahan ini membuahi seorang anak laki-laki yang diberi nama Gan Seng. Panglima Gan sendiri gugur ketika memimpin pasukan membasmi gerombolan pemberontak. Gan Seng yang mendapatkan pendidikan tinggi, telah mendapat pangkat yang lumayan, yaitu sebagai pejabat yang mengelola gedung pusaka istana. Jabatan ini penting sekali karena hanya orang yang dipercaya sepenuhnya oleh Kaisar saja yang dapat menduduki pangkat ini.

Gan Seng, putera Ciu Ceng itu, kini telah berusia lima puluh tahun dan dia hidup serba kecukupan dengan isterinya dan puteri tunggalnya yang bernama Gan Bi Kim dan yang pada waktu itu berusia tujuh belas tahun. Juga nenek Ciu Ceng yang sudah tua tinggal bersama puteranya dan keluarga ini hidup cukup berbahagia.

Tidak begitu sukar bagi Yo Han untuk menyelidiki dan mendengar tentang nenek Ciu Ceng ini. Girang hatinya ketika dia mendapat keterangan bahwa nenek itu tinggal bersama puteranya yang menjadi kepada gedung pusaka istana, dan keluarga Gan itu tinggal di luar istana, walaupun Gan Seng bertugas di lingkungan istana, yaitu di gedung pusaka. Maka, pada hari itu, pagi-pagi dia meninggalkan rumah penginapan dan mendatangi rumah gedung tempat tinggal Gan Seng. Untuk memenuhi pesan mendiang suhunya, dia harus berkunjung dan menceritakan tentang meninggalnya kakek Ciu Lam Hok kepada nenek Ciu Ceng dan melihat bahwa keluarga itu dalam keadaan sehat dan baik-baik saja. Baru kemudian dia akan melaksanakan tugas ke tiga, tugas yang paling sukar, yaitu mencari dan merampas kembali mestika mutiara hitam di daerah barat.

Akan tetapi, alangkah herannya ketika dia tiba di rumah gedung itu, dia melihat suasana yang amat sunyi dan ketika seorang pelayan keluar untuk menyapanya pelayan tua itu nampak seperti orang yang berduka sekali.

“Saya kira Kongcu datang berkunjung pada saat yang kurang tepat,” kata pelayan itu. “Gan-taijin sekeluarga sedang prihatin dan tidak suka menerima tamu, bahkan memesan kepada saya untuk menolak setiap orang tamu yan datang berkunjung.”

Tentu saja Yo Han merasa heran bukan main. Gurunya berpesan agar dia mengunjungi nenek iu Ceng dan membela nenek itu sekeluargaya kalau perlu dengan taruhan nyawa, karena dirinya ingin membuktikan rasa sayangnya kepada adiknya itu melalui muridnya.

“Paman yang baik, tolng sampaikan bahwa aku datang mohon menghadap Nyonya Besar Ciu Ceng, ibu dari Gan-taijin. Katakan bahwa aku membawa kabar yang penting sekali dari kakak nyonya besar yang bernama Ciu Lam Hok. Kalau laporanmu itu tidak mendapat tanggapan, aku tidak akan mendesak lagi.”

“Tapi.... tapi.... Nyonya Besar Tua sedang menderita sakit....”

“Ahh....!” Yo Han terkejut. “Kalau begitu, lebih penting lagi berita itu. Mungkin laporanmu tentang kakaknya akan dapat menyembuhkan sakitnya dan engkau akan berjasa besar, Paman.”

“Benarkah?” Pelayan itu meragu, kemudian berkata, “Baik, kau tunggulah sebentar, Kongcu (Tuan Muda), aku akan melapor ke dalam.”

Yo Han menanti dengen sabar, akan tetapi hatinya gelisah juga mendengar bahwa orang yang dicarinya itu, adik mendiang gurunya yang bernama Ciu Ceng, sedang menderita sakit. Karena panyakitnya itukah maka keluarga Gan dalam keadaan prihatin seperti yang dikatakan pelayan tadi? Tentu saja akan mudah beginya untuk melakukan penyelidikan sendiri pada malam hari, namun dia menghormati adik mendiang suhunya dan tidak mau menggunakan cara seperti pencuri untuk menyelidiki keadaan nenek itu, kecuali kalau dia tidak dapat menghadap secara berterang.

Tak lama kemudian, pelayan itu sudah datang lagi dan sekali ini wajahnya berseri. “Kongcu, dugaanmu tadi benar! Aku memberanikan diri untuk menghadap Nyonya Besar Tua dan begitu mendengar bahwa kongcu datang membawa berita tentang kakaknya, ia seketika bangkit dan wajahnya gembira, bahkan ia minta kepada Kongcu untuk segera menghadap ke dalam kamarnya!”

Bukan main girangnya hati Yo Han mendengar ini. Dia pun segera mengikuti pelayan itu memasuki rumah, gedung yang besar. Setelah melalui beberapa ruangan besar dan lorong berliku-liku, pelayan itu mengantarnya masuk ke dalam sebuah kamar yang besar. Dua orang pelayan wanita muda segera mundur ketika melihat ada tamu pria masuk.

Ketika memasuki kamar itu, Yo Han memandang ke arah pembaringan di mana rebah seorang nenek yang sudah tua. Nenek itu rebah telentang dan nampak kurus dan pucat. Ketika Yo Han masuk, ia menoleh dan memandang kepada pemuda itu, lalu terdengar suaranya lemah.

“Orang muda, siapakah engkau dan berita apa yang kaubawa mengenai kakakku Ciu Lam Hok?”

Yo Han menjatuhkan dirinya berlutut menghadap ke arah nenek yang masih rebah di atas pembaringan itu. “Saya bernama Yo Han dan saya muridnya.”

Nenek itu mengeluarkan seruan girang dan ia pun bangkit duduk. Dua orang pelayan wanita cepat menghampiri dan membantunya duduk. Setelah duduk, nenek itu memandang kepada pemuda yang masih berlutut. “Bangkitlah dan duduklah, Yo Han. Ambilkan kursi untuk pemuda itu, perintahnya kepada pelayan yang segera mengambilkan sebuah kursi dan Yo Han lalu duduk di atas kursi berhadapan dengan nenek Ciu Ceng yang wajahnya nampak berseri.

“Engkau muridnya? Ah, bagaimana dengan kakakku? Dan mengapa engkau yang datang ke sini, bukan dia sendiri? Betapa rinduku kepada kakakku itu!”

Yo Han melihat bahwa nenek yang sudah tua itu dalam keadaan sakit dan lemah, maka dia pun tidak berani mengabarkan tentang kematian gurunya. “Saya datang untuk memenuhi pesan Suhu Ciu Lam Hok. Saya disuruh mencari adiknya yang bernama Ciu Ceng, dan saya disuruh menyelidiki keadaan keluarganya dan diharuskan membantu kalau keluarga itu membutuhkan bantuan.”

“Aih, kalau saja kakakku sendiri berada di sini, tentu dia akan dapat menolong kami. Akan tetapi engkau muridnya, engkau hanya seorang yang masih muda begini, bagaimana akan mampu menolong kami? Kami sedang dilanda malapetaka.”

“Harap suka memberitahukan kepada saya, dan saya akan membantu sekuat tenaga, dengan taruhan nyawa, demi memenuhi perintah Suhu!” kata Yo Han dengan sikap tenang dan suara bersungguh-sungguh.

“Benarkah itu?” Nenek itu berseru dan suaranya mengandung harapan, akan tetapi pada saat itu, beberapa orang memasuki kamarnya. Mereka itu ternyata adalah puteranya, Gan Seng, mantunya, dan cucu perempuannya, Gan Bi Kim yang cantik. Melihat betapa ibunya yang sedang sakit itu duduk di atas pembaringan dan bercakap-cakap dengan seorang pemuda asing, tentu saja Gan Seng menjadi heran sekali. Tadi dia menerima laporan dari seorang pelayan bahwa ibunya kedatangan seorang tamu, maka dia bersama isteri dan puterinya yang merasa khawatir akan kesehatan ibunya, segera pergi ke kamar ibunya. Kini tahu-tahu ibunya sudah duduk bercakap-cakap dengan seorang pemuda.

“Siapakah pemuda ini?” tanya Gan Seng dengan alis berkerut karena dia menganggap pemuda itu mengganggu ibunya yang perlu beristirahat.

Akan tetapi, melihat keluarganya memasuki kamarnya, nenek itu lalu memperkenalkan dengan wajah berseri, “Anakku, pemuda ini adalah Yo Han, dia murid pamanmu Ciu Lam Hok yang sering kuceritakan kepada kalian.”

“Ah, begitukah?” Gan Seng tertegun dan merasa heran mengapa pamannya yang tentu sudah tua sekali, mempunyai murid yang masih begini muda. Yo Han sendiri cepat bangkit berdiri dan memberi hormat kepada Gan Seng, isterinya, dan juga kepada gadis cantik itu. Nenenk Ciu Ceng segera memperkenalkan mereka kepadanya.

“Yo Han, ini adalah puteraku Gan Seng, ini mantuku, dan itu cucuku Gan Bi Kim!”

Sambil memberi hormat, Yo Han berkata kepada Gan Seng. ”Mohon maaf sebanyaknya kepada Taijin bahwa saya telah berani lancang mengganggu, karena saya hanya memenuhi perintah Suhu, untuk mencari adik Suhu....”

“Gan Seng menggeleng kepala. “Tidak mengapa, tidak mengapa, hanya....” Dia mengerutkan alisnya karena memang pada waktu itu dia sedang menghadapi hal yang amat memusingkan, bahkan ibunya sampai jatuh sakit karena malapetaka yang menimpa dirinya itu.

Seng-ji (Anak Seng), Yo Han ini diutus gurunya untuk datang berkunjung dan dia mewakili gurunya untuk menolong kita dari kesukaran! Siapa tahu, dia akan mampu mengangkat kita keluar dari kesulitan ini!”

“Ibu, mana mungkin....?” kata Gan Seng meragu.

Melihat sikap mereka, Yo Han kembali memberi hormat. “Harap Taijin suka memberi tahu kepada saya, kesulitan apa yang dihadapi keluarga Taijin. Saya telah berjanji kepada Suhu untuk membantu keluarga adik Suhu kalau menghadapi kesulitan, dan saya akan mentaati perintah Suhu, membantu keluarga keluarga Taijin kalau perlu dengan taruhan nyawa.”

“Ceritakanlah kepadanya, Seng Ji. Siapa tahu pemuda ini yang akan mampu membebaskan kita dari kesulitan ini,” bujuk nenek tua itu.

“Baiklah, Ibu. Sekarang Ibu beristirahatlah, dan mari Yo Han, kita bicara di ruangan dalam,” kata Gan Seng.

Yo Han menoleh kepada nenek Ciu Ceng. “Harap Paduka beristirahat dan saya menyampaikan pesan Guru saya bahwa Suhu mengutus saya membantu keluarga Paduka untuk membuktikan bahwa Suhu sayang kepada Paduka.”

Mendengar ini, nenek Ciu Ceng menangis dan merebahkan dirinya. Akan tetapi suaranya terdengar gembira bercampur haru ketika ia berkata, “Ah, Hok-koko (Kakak Hok), ternyata engkau masih teringat kepada adikmu ini! Kakakku yang baik, aku pun selalu terkenang kepadamu dan aku sayang kepadamu....” Ia menangis dan tertawa sekaligus dan berita yang diucapkan Yo Han ini merupakan obat yang mujarab bagi nenek itu. Dengan hati lega Gan Seng lalu menggandeng tangan Yo Han, diajaknya keluar dari kamar itu, diikuti oleh isterinya dan oleh Gan Bi Kim.

Setelah mereka semua duduk mengelilingi sebuah meja besar, Can Seng yang masih meragu dan belum yakin benar bahwa pemuda yang usianya paling banyak dua puluh tahun, bersikap sederhana itu akan mampu menolong keluarganya dari malapetaka yang menimpa, segera mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang dirinya.

“Sebelum kami menceritakan persoalan yang menyulitkan keluarga kami, lebih dulu kami ingin mendengar keteranganmu mengenai Paman Tuaku itu dan bagaimana engkau yang masih muda ini akan mampu menolong kami. Nah, ceritakan dimana adanya Paman Tuaku itu.”

Kalau terhadap nenek Ciu Ceng yang sedang sakit Yo Han belum berani berterus terang tentang kematian suhunya, terhadap keluarga ini dia merasa lebih baik untuk berterus terang. “Taijin....”

“Nanti dulu, Yo Han. Kalau engkau benar murid pamanku, tidak semestinya engkau menyebut aku taijin (orang besar). Usiamu masih amat muda. Kau pantas menjadi keponakanku, maka sebut saja paman kepadaku, agar lebih enak kita bicara. Namaku Gan Seng dan engkau boleh menyebut aku paman, dan menyebut isteriku bibi. Nah, lanjutkan ceritamu.”

Wajah Yo Han berubah merah. Tentu saja dia merasa canggung sekali. Yang dia hadapi adalah seorang yang berkedudukan tinggi, bagaimana dia dapat menyebut mereka demikian akrab? Akan tetapi, dia pun tidak berani membantah.

“Terima kasih atas keramahan Paman dan Bibi. Sesungguhnya di depan Nyonya Besar Gan....”

“Ah, kalau engkau menyebut aku paman, maka engkau sebut saja nenek kepada Ibuku.” Pembesar itu memotong.

Diam-diam Yo Man kagum. Keluarga suhunya ini memang orang-orang bijaksana. Biarpun berkedudukan tinggi namun tidak angkuh. “Begini, Paman. Di depan Nenek, saya tidak berani berterus terang karena melihat beliau sedang sakit. Sebetulnya, Suhu Ciu Lam Hok telah meninggal dunia....”

“Hemm, bagaimana meninggalnya?” Gan Seng bertanya. Yo Han merasa tidak ada perlunya menceritakan apa adanya. Kalau dia menceritakan bagaimana suhunya disiksa oleh dua orang suheng dari suhunya yang juga sudah tewas, maka ceritanya yang terus terang itu hanya akan mendatangkan penyesalan dan sakit hati. Tidak ada perlu dan gunanya.

“Suhu meninggal dunia dengan baik, karena sudah tua. Dan sebelum meninggal, Suhu meninggalkan pesan kepada saya agar saya mencari adik Suhu yang bernama Ciu Ceng, dan agar saya membantu keluarga adik Suhu itu dengan segala kemampuan saya. Karena itulah maka saya datang menghadap dan menawarkan bantuan. Apalagi kalau Paman sedang menghadapi kesulitan. Katakan apa kesulitan itu, Paman, dan saya, demi pesan Suhu, akan membantu sekuat tenagaku.”

“Akan tetapi, kesulitan kami ini amat hebat dan sukar diatasi. Bagaimana seorang muda seperti engkau akan mampu menolong kami? Bahkan pasukan penyelidik yang sudah kami kerahkan tidak berhasil menolong kami, apalagi engkau? Apa yang telah kaupelajari dari mendiang Paman Tua?”

“Mendiang Suhu telah mewariskan ilmu-ilmu silatnya kepada saya, Paman, dan saya akan mengerahkan segala kemampuan saya untuk membantu Paman, tentu saja kalau Paman percaya kepada saya dan suka menceritakan kesulitan yang Paman hadapi itu kepada saya.”

“Sebaiknya ceritakan saja kepada Yo Han,” desak isteri pembesar itu kepada suaminya. “Biarpun para komandan yang bersahabat telah mengerahkan pasukan mereka untuk melakukan penyelidikan, tidak ada salahnya kalau Yo Han mencoba untuk menyelidiki pula. Makin banyak yang menyelidiki dan mencari-cari pusaka yang hilang, semakin baik.”

Gan Seng menarik napas panjang, lalu mengangguk-angguk. “Dengarkan baik-baik, Yo Han, siapa tahu, Tuhan mengutusmu datang ke sini untuk mengangkat kami dari malapetaka ini.” Pembesar itu lalu bercerita. Dia menjadi pembesar yang bertanggung jawab akan semua pusaka milik istana, dan dia diserahi mengurus gudang pusaka. Selama bertahun-tahun dia bertugas, dibantu pasukan penjaga yang kuat, tidak pernah terjadi sesuatu. Akan tetapi, dua minggu yang lalu, dua buah pusaka lenyap dari dalam gudang pusaka itu. Dua buah pusaka yang amat penting, yaitu sebuah cap kebesaran Kaisar Kang Hsi, kakek dari Kaisar Kian Liong yang sekarang, dan sebuah bendera lambang kekuasaan Kaisar pertama Kerajaan Mancu, telah hilang! Gegerlah istana karena kedua benda itu merupakan pusaka yang amat penting sekali, sebagai tanda kebesaran Kerajaan Ceng-tiauw. Dan tentu saja Gan Seng sebagai penanggung jawab, segera dihadapkan Kaisar untuk mempertanggungjawabkan kehilangan itu.

Gan Seng menjadi sibuk sekali karena Kaisar memberi waktu sebulan kepadanya untuk menemukan kembali dua buah pusaka yang hilang. Gan Seng sudah memerintahkan para komandan jaga untuk melakukan penyelidikan dan pemeriksaan, namun setelah lewat dua minggu, hasilnya tetap sia-sia belaka. Pencuri itu memasuki gudang tanpa merusak kunci atau jendela, bahkan tidak ada genteng yang pecah. Dua buah pusaka itu lenyap secara aneh sekali, tidak meninggalkan bekas!

Gan Seng tahu bahwa malapetaka akan menimpa keluarganya kalau dua buah benda itu tidak diketemukan. Dia akan dihukum berat, bahkan keluarganya mungkin akan tersangkut.

“Demikianlah malapetaka yang menimpa kami, Yo Han. Semua usaha telah kami lakukan, namun sampai hari ini tidak ada hasilnya. Padahal, waktu yang diberikan Kaisar tinggal dua minggu lagi! Ibuku jatuh sakit karena memikirkan keadaan kami. Nah, bagaimana engkau akan dapat menolong kami, Yo Han? Pasukan keamanan sudah dikerahkan tanpa hasil,” kata pembesar itu dengan nada kesal dan putus asa menutup ceritanya.

Yo Han mengerutkan alisnya. Memang tidak mudah mencari pusaka yang hilang dari dalam gudang pusaka, tanpa diketahui siapa yang mengambilnya! Kalau para komandan pasukan, yang lebih hafal akan keadaan di kota raja tidak mampu menemukan dua buah pusaka itu, apalagi dia yang sama sekali asing dengan keadaan di situ! Akan tetapi, dia akan mencoba, dia tidak putus asa. Dia yakin bahwa Tuhan pasti akan menolongnya, seperti yang sudah-sudah. Dia akan menyerahkan segalanya kepada Tuhan, dan dengan penyerahan total, maka semua tindakannya tentu akan dibimbing oleh kekuasaanNya. Kalau Tuhan menghendaki, apa sih sukarnya menemukan kembali dua buah benda yang hilang? Akan tetapi, kalau tidak dikehendaki Tuhan, apa pun yang dilakukan benda-benda itu takkan dapat ditemukan kembali, Tuhan Kuasa. Segala kehendak Tuhan pun jadilah! Demikian bisik hatinya.

“Maaf, Paman dan Bibi, apakah sama sekali tidak ada ditemukan jejak ke mana lenyapnya dua buah benda pusaka itu?”

Gan Taijin menghela napas panjang dan menggeleng kepala.

“Apakah tidak ada orang yang dapat dicurigai? Misalnya, adakah selama ini orang-orang yang memusuhi Paman? Siapa tahu, perbuatan itu merupakan perbuatan yang disengaja untuk menghancurkan keluarga Paman.”

Suami isteri itu saling pandang, dan tiba-tiba isteri pejabat itu berkata, “Sebaiknya kuceritakan saja kepadanya!” Suaminya mengangguk dan wanita itu berkata kepada Yo Han. “Memang ada orang yang merasa tidak senang kepada kami dan bukan tidak mungkin dia melakukan perbuatan itu untuk mencelakakan kami. Akan tetapi karena tidak ada bukti-bukti, bagaimana kami dapat menuduh dia?”

“Maaf, Bibi. Sedikit keterangan saja amat berarti dan penting bagi saya untuk melakukan penyelidikan. Saya pnn tidak akan sembarangan saja menuduh orang, akan tetapi setidaknya, saya depat melakukan penyelidikan.”

Gan Seng menarik napas panjang. “Memang ada yang kami curigai, akan tetapi tidak ada bukti, dan dia seorang yang berkedudukan tinggi sehingga tidak ada orang yang akan berani menyelidikinya.”

Yo Han memandang dengan wajah berseri. “Ah, siapakah dia orangnya, Paman? Dan mengapa Paman mencurigai dia?”

“Dia seorang panglima yang dipercaya Kaisar, seorang jagoan istana she Coan. Coan Ciangkun terkenal lihai dan berkedudukan tinggi. Bagaimana kita akan dapat membuktikan bahwa dia yang melakukan perbuatan itu? Tidak ada yang berani menyelidik ke sana. Rumahnya saja dijaga oleh pasukan keamanan yang kuat!”

“Hemm, kenapa Paman mencurigai dia? Apakah alasan Paman dan Bibi mencurigai panglima itu?”

“Coan Ciangkun pernah melamar puteri kami, Bi Kim,” kata ibu gadis itu. Yo Han memandang kepada Bi Kim dan gadis itu menundukkan mukanya yang berubah merah, akan tetapi bibir gadis itu bergerak dan berkata lirih, “Manusia tak tahu malu itu!”

“Tentu saja kami menolak pinangan yang merendahkan kami itu,” kata pula Gan Seng. “Bayangkan saja, panglima yang usianya sudah empat puluh tahun lebih itu telah mempunyai sedikitnya lima selir, dan dia masih menghendaki anak kami untuk dijadikan selir! Menghina sekali!”

Yo Han mengangguk-angguk. Alasan itu memang cukup kuat. Mungkin saja karena sakit hati lamarannya ditolak, panglima itu lalu melakukan pencurian pusaka untuk mencelakakan keluarga Gan. Akan tetapi, alasan ini pun tidak begitu meyakinkan. Kalau hanya ditolak lamarannya, bagaimana panglima itu sampai melakukan perbuatan yang juga amat berbahaya bagi dirinya sendiri itu? Dan apa manfaat dan keuntungannya bagi dia?

“Maaf, Paman dan Bibi. Apekah tidak ada alasan yang lebih kuat dari itu sehingga Paman dan Bibi mencurigai Coan Ciangkun?”

“Ada.... ada....” kata Gan Seng. “Semenjak dua buah pusaka itu lenyap, beberapa kali sudah dia menghubungi aku dan mengatakan bahwa kalau aku suka menerima lamarannya, dia akan membantu sampai dua buah benda pusaka itu ditemukan kembali. Nah, aku hampir yakin bahwa setidaknya dia tahu siapa yang mencuri benda pusaka itu.”

“Ah, terima kasih, Paman. Sekarang, tolong beritahukan di mana tempat tinggal Panglima Coan itu, saya akan melakukan penyelidikan ke sana.”

“Akan tetapi, itu berbahaya sekali, Yo Han!” kata Gan Seng.

Yo Han tersenyum. “Harap Paman dan Bibi jangan khawatir. Mendiang Suhu telah mengajarkan banyak ilmu kepada saya, dan dengan bimbingan Tuhan Yang Maha Sakti, saya kira saya akan berhasil menyelidiki dan mendapat tahu apakah panglima itu benar yang melakukan pencurian itu ataukah bukan. Mudah-mudahan kecurigaan Paman dan Bibi benar sehingga tidak akan sukar lagi untuk mengatasi urusan ini.”

“Akan tetapi, para panglima saja yang dimintai bantuan Ayah tidak sanggup menyelidiki orang itu, apakah kau tidak hanya akan mengantar nyawa ke sana?” tiba-tiba Bi Kim berkata dengan nada suara khawatir.

Yo Han memandang gadis itu dan tersenyum. Harap engkau tidak merasa khawatir, Nona. Saya akan menjaga diri baik-baik.”

Setelah mendapatkan keterangan jelas dari Gan Seng tentang tempat tinggal Coan Ciangkun, Yo Han lalu berpamit. Tuan rumah sekeluarga mencoba untuk menahannya dan menghidangkan makan minum, akan tetapi Yo Han menolak dengan halus.

“Masih banyak waktu bagi kita untuk bercakap-cakap dan makan bersama, yaitu setelah tugas ini selesai dengan baik. Nah, selamat tinggal, Paman, Bibi dan.... Nona

“Adik, bukan nona!” Bi Kim memotong.

“Baiklah, Adik Bi Kim. Saya pergi dulu dan mudah-mudahan kalau saya datang lagi akan membawa kabar baik untuk Paman sekeluarga.”

Untuk meyakinkan hati mereka, Yo Han sengaja berkelebat dan lenyap dari depan mereka. Tentu saja ayah, ibu dan anak itu terkejut dan sejenak tertegun. Pemuda itu dapat menghilang begitu saja dari depan mata mereka! Setelah Yo Han pergi, tiada hentinya mereka bertiga membicarakan pemuda itu dan timbul harapan di hati mereka bahwa pemuda yang luar biasa itu akan berhasil menolong mereka.

***

Memang benar sekali apa yang dikemukakan Gan Seng, isterinya dan puterinya. Sungguh tidak mudah, bahkan berbahaya sekali untuk melakukan penyelidikan ke dalam gedung tempat tinggal Panglima Coan itu. Gedung itu besar dan dikelilingi pagar tembok yang tebal dan tinggi seperti sebuah benteng kecil. Memang pantas menjadi tempat tinggal seorang panglima tinggi yang memimpin pasukan besar. Di pintu gerbang terdapat sebuah gubuk penjagaan di mana berkumpul belasan orang perajurit penjaga, dan masih ada pengawal yang selalu meronda di sekaliling pagar tembok itu. Yo Han maklum bahwa di waktu siang hari, tidak mungkin menyelundup masuk ke dalam gedung itu. Andaikata dia dapat mengelabui para penjaga di luar dan dapat masuk ke dalam, masih ada bahaya ketahuan di bagian dalam gedung yang tentu dijaga ketat. Siang hari itu dia tidak berani masuk, hanya mengelilingi bangunan itu di luar pagar tembok dan melihat-lihat keadaan. Ketika dia melihat sebuah pohon yang tumbuh di bagian belakang, agak jauh dari bangunan, dia dapat menduga, bahwa pohon itu tentu tumbuh di kebun belakang, dekat dengan pagar tembok dan dia pun memilih tempat ini untuk menyelinap masuk malam nanti kalau sudah gelap.

Siang hari itu dia kembali ke rumah penginapan, menanti datangnya malam. Setelah malam tiba, dia menanti sampai gelap benar barulah dia meninggalkan rumah penginapan secara sembunyi, melalui jendela dan meloncat ke atas genteng agar kepergiannya dari situ tidak ketahuan orang lain. Tak lama kemudian, dia sudah tiba di luar pagar tembok sebelah belakang di mana siang tadi dia melihat pohon di sebelah dalam pagar. Dia menanti sampai peronda lewat, lalu melompatlah dia ke atas pagar tembok. Benar dugaannya, pohon itu tumbuh di kebun belakang dan dia pun melompat ke pohon itu, menanti sambil meneliti keadaan. Dari pohon dia dapat melihat beberapa orang penjaga di kanan kiri rumah, dan di sebelah belakang rumah, di luar pintu belakang, terdapat pula dua orang penjaga tengah bercakap-cakap. Di atas mereka terdapat sebuah lampu minyak gantung yang cukup terang.

Bukan main, pikir Yo Han. Agaknya panglima itu telah melakukan penjagaan diri dengan ketat. Hal ini saja sudah mencurigakan. Hanya orang yang menjaga diri terhadap penyerbuan dari luar saja yang menyuruh pasukan pengawal menjaga rumah sedemikian ketatnya. Tentu ada sesuatu yang perlu dijaga! Makin tebal dugaannya bahwa Panglima Coan inilah yang sengaja mencurl pusaka itu untuk memaksa Gan Seng menyerahkan gadisnya! Bagi seorang panglima yang mengepalai pasukan, kiranya tidak begitu sukar untuk melakukan pencurian itu. Seorang dua orang penjaga keamanan gudang pusaka itu tentu telah dapat dipengaruhinya, untuk mencuri pusaka itu untuknya! Pusaka yang amat penting bagi istana, yang kehilangannya akan mendatangkan dosa besar bagi Gan Taijin akan tetapi yang tidak ada gunanya bagi Si Pencuri!

Setelah melihat suasana semakin sunyi dan yang menghalanginya masuk ke gedung besar itu hanya dua orang penjaga di luar pintu belakang, Yo Han meloncat turun dari atas pohon dan berindap-indap mendekati dua orang penjaga yang masih duduk berhadapan di bangku, kini tidak lagi bercakap-cakap melainkan sedang bermain catur.Yo Han mengambil dua buah kerikil dan setelah membidik dengan hati-hati, dua kali tangannya bergerak. Dua buah batu kerikil melayang dan dengan beruntun, dua orang pemain catur itu terpelanting dari tempat duduk mereka dalam keadaan lemas tak mampu bergerak karena jalan darah mereka sudah tertotok oleh kerikil yang disambitkan tadi. Dengan cepat Yo Han meloncat mendekati mereka, menotok pangkal leher mereka sehingga kini mereka tidak hanya tidak mampu bersuara. Dia menyeret tubuh mereka dan menyembunyikan tubuh mereka di bagian yang gelap, kemudian, dengan hati-hati dia membuka daun pintu belakang. Dia tiba di taman bunga belakang gedung yang amat indah.

Tak lama kemudian, Yo Han sudah mengintai sebuah ruangan di tengah gedung itu. Ada kesibukan di sana dan ketika dia mengintai, dia melihat seorang panglima, hal ini dapat diketahui dari pakaiannya, dihadap oleh tiga orang kakek berusia antara lima puluh sampai enam puluh tahun yang berpakaian preman, akan tetapi yang nampaknya kuat. Dia menduga bahwa tiga orang itu tentulah jagoan-jagoan dan mungkin sekali panglima itu yang bernama Coan. Usianya kurang lebih empat puluh tahun, tinggi besar bermuka hitam dengan bopeng bekas cacar. Seorang pria yang wajahnya kasar dan buruk sekali. Tidak mengherankan kalau Bi Kim dan ayah ibunya menolak pinangannya. Sudah mempunyai banyak selir mukanya buruk pula! Padahal Bi Kim demikian cantik jelita dan masih amat muda. Empat orang itu bercakap-cakap dan Yo Han mengerahkan kepekaan telinganya untuk menangkap percakapan mereka.

“Akan tetapi, bagaimana kalau dia menolak, Ciangkun?” tanya seorang di antara tiga jagoan yang mukanya kuning dan matanya sipit.

“Hemm, kalau dia menolak, dia akan dijatuhi hukuman berat, juga keluarganya. Dia pasti tidak akan menolak uluran tanganku untuk menyelamatkan keluarganya,” kata pembesar itu sambil menyeringai dan nampaklah giginya yang besar-besar. Makin buruk orang itu kalau menyeringai, pikir Yo Han.

“Kalau begitu, semua jerih payah kita tidak akan ada gunanya, Ciangkun!” kata orang ke dua yang perutnya gendut sehingga kancing bajunya bagian bawah terlepas semua dan nampak kulit perut yang buncit itu.

“Benar, kalau begitu, apa artinya semua jerih payah ini? Terbasminya keluarga itu sama sekali tidak menguntungkan Ciangkun,” kata orang ke tiga yang tinggi kurus dan hidungnya seperti hidung burung kakatua, melengkung panjang ke bawah sehingga matanya nampak juling.

Panglima itu terbahak. “Ha-ha-ha, apa kalian kira aku begitu bodoh untuk membuang tenaga sia-sia belaka? Kalau mereka itu berkeras tidak mau menerimaku, aku akan menghadap Sri Baginda. Aku akan mencarikan pusaka itu sampai dapat, dengan imbalan anugerah, yaitu agar gadis jelita itu diserahkan kepadaku. Kalau Kaisar yang memerintahkan, mustahil orang she Gan itu berani membantah lagi. Ha-ha-ha!”

Tiga orang itu pun tertawa gembira dan memuji kecerdikan majikan mereka. Yo Han yang mengintai tidak ragu-ragu lagi. Sudah pasti panglima inilah yang bernama Coan Ciangkun dan tiga orang itu tentu anak buahnya, atau jagoan-jagoannya. Inilah kesempatan terbaik, pikirnya. Kalau dia harus mencari pusaka pusaka itu, tentu akan sukar sekali karena panglima itu tentu menyembunyikannya dan amat sukar mencari pusaka yang disembunyikan di gedung sebesar itu, apalagi yang dipenuhi penjagaan ketat.

Sekali dorong saja, jendela yang terkunci dari dalam itu terbuka dan kuncinya jebol. Sebelum empat orang itu hilang kaget mereka, tiba-tiba mereka melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang pemuda.

“Engkaukah yang disebut Coan Ciangkun?” tanya Yo Han dengan suara tenang sambil memandang panglima itu.

Setelah hilang kagetnya dan melihat bahwa yang masuk secara lancang itu hanyalah seorang pemuda yang tidak memegang senjata dan berpakaian sederhana saja, bangkitlah kemarahan Coon Ciangkun. “Sudah tahu aku Coan Ciangkun dan engkau berani masuk seperti maling? Apakah nyawamu sudah rangkap lima? Tangkap dia!” bentak panglima itu sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Yo Han

Mendengar ini, Si Perut Gendut tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha, cacing tanah berani sekali engkau lancang masuk ke sini! Hendak mencuri apakah? Hayo cepat berlutut, atau akan kupatah-patahkan tulang kedua kakimu agar engkau berlutut dan minta ampun kepada Coan Ciangkun!”

Yo Han bersikap tenang dan matanya masih terus memandang kepada panglima itu. “Aku tidak ingin mencuri apa-apa, bahkan hendak menangkap pencuri dua buah benda pusaka dari gedung pusaka istana!”

Tentu saja ucapannya ini mengejutkan empat orang itu. “Tong Gu, cepat tangkap dia!” bentak panglima itu kepada Si Gendut yang bernama Tong Gu.

“Haiiiittt....!” Tong Gu menerjang ke depan, gerakannya seperti sebuah bola menggelundung menuju ke arah Yo Han dan agaknya dia benar-benar hendak mematahkan kedua tulang kaki Yo Han karena begitu menerjang, dia sudah membuat gerakan menyapu dengan kaki kanannya yang pendek namun besar. Gerakannya, biarpun berperut gendut, gesit sekali dan kaki kanannya sudah menyambar ke arah kedua kaki Yo Han. Namun, Yo Han sama sekali tidak mengelak, juga tidak menangkis, melainkan berdiri tegak dan masih memandang kepada Coan Ciangkun. Karena itu, tanpa dapat dicegah lagi, kaki kanan Tong Gu, menyambar kedua kakinya dengan amat kuatnya.

“Bresss....!” Bukan tulang kedua kaki Yo Han yang patah-patah, melainkan Si Gendut yang berteriak-teriak kesakitan, meloncat-loncat dengan kaki kiri dan mencoba untuk memegangi kaki kanan dengan kedua tangannya. Akan tetapi karena kedua lengannya pendek, sedangkan kaki kanan itu pun pendek, maka sukar baginya untuk dapat memegang kaki itu dan dia pun berjingkrak menari-nari dengan sebelah kaki, matanya terbelalak mulutnya ngos-ngosan seperti orang makan mrica saking nyerinya, karena kakinya terasa kiut-miut seperti pecah-pecah tulangnya. Akan tetapi, dua orang kawannya menjadi marah dan mereka pun siap untuk menerjang.

Yo Han tidak mempedulikan mereka. Dia melihat panglima itu pun terkejut dan bangkit dari tempat duduknya, siap hendak melarikan diri. Sekali tubuhnya berkelebat, dia sudah meloncat ke dekat panglima itu dan jari tangannya menotok. Tubuh panglima itu menjadi lemas dan dia pun jatuh terduduk kembali ke atas kursinya, hanya dapat memandang dengan mata terbelalak karena Yo Han sudah menghampiri tiga orang tukang pukul itu dengan sikap tenang.

Kini Tong Gu Si Gendut sudah mencabut golok besarnya. Tulang kakinya tidak patah, akan tetapi membengkak dan kebiruan, nyeri sekali. Si Muka Kuning bermata sipit yang bernama Cong Kak juga mencabut sepasang pedangnya, sedangkan Si Hidung Kakatua mencabut rantai baja. Mereka bertiga mengepung Yo Han, namun pemuda ini bersikap tenang. Dia tidak suka berkelahi, tidak suka menggunakan kekerasan, akan tetapi sekarang dia melihat kebenaran pendapat mendiang gurunya. Kepandaian silat memang amat penting, untuk menghadapi orang-orang yang sewenang-wenang seperti ini! Bukan untuk berkelahi, bukan untuk menggunakan kekerasan, melainkan untuk menundukkan yang jahat untuk menegakkan kebenaran dan keadilan!

“Lebih baik kalian membujuk majikan kalian untuk menyerahkan dua benda curian itu kepadaku. Kalau kalian menggunakan kekerasan, maka kalian sendiri yang akan menjadi korban kekerasan kalian itu!” Yo Han masih menasihati, karena kalau dapat, dia hendak menyelesaikan masalah itu tanpa harus melawan tiga orang ini.

Tentu saja nasihatnya itu menggelikan bagi orang-orang yang biasa menggunakan kekerasan itu. Mereka sudah marah sekali dan tanpa dikomando lagi, ketiganya sudah memutar-mutar senjata dan menggerakkan senjata mereka dengan kuat dan cepat, menerjang ke arah Yo Han. Pemuda ini telah mewarisi ilmu-ilmu yang amat tinggi, namun belum pernah dia mempergunakannya dalam perkelahian. Biarpun demikian, melihat gerakan tiga orang yang bagi orang lain nampak cepat itu, baginya kelihatan lamban sekali dan dia dapat melihat jelas ke arah mana senjata mereka itu menyambar. Dengan kelincahan tubuhnya yang sudah mempelajari segala macam ilmu tari dari Thian-te Tok-ong yang sebenarnya merupakan ilmu-ilmu silat tinggi, dengan amat mudah dia mengelak ke sana sini dan semua serangan senjata itu sama sekali tidak mampu menyentuhnya.

Yo Han tidak ingin membunuh orang, bahkan melukainya pun dia tidak tega, walaupun dia tahu bahwa tiga orang ini biasanya mempergunakan kekerasan untuk menindas orang lain. Dia harus bekerja cepat agar urusan itu segera dapat diselesaikannya dengan baik. Maka, begitu tangan kakinya bergerak dengan kecepatan yang tak dapat diikuti pandang mata tiga orang pengeroyoknya, tiba-tiba tiga orang itu berturut-turut, jatuh terpelanting dalam keadaan lemas tertotok. Senjata mereka terlepas dari pegangan dan mengeluarkan suara berisik ketika terjatuh ke atas lantai.

Akan tetapi, agaknya suara ribut-ribut itu telah terdengar oleh para pengawal panglima itu. Sebelas orang perajurit pengawal berserabutan memasuki ruangan yang luas itu dengan senjata di tangan dan begitu masuk, mereka sudah dapat menduga apa yang terjadi, melihat majikan mereka duduk tak bergerak dan tiga orang jagoan itu roboh dan tak mampu bergerak pula. Maka, serentak mereka mengepung Yo Han dan menyerangnya dengan senjata mereka.

Yo Han maklum bahwa kalau dia tidak bertindak cepat, akan makin sukarlah keadaannya. Dia pun mengeluarkan kepandaiannya dan bagaikan seekor burung walet beterbangan, tubuhnya menyambar-nyambar dan kembali para pengeroyoknya roboh tertotok seorang demi seorang. Tubuh mereka berserakan, ada yang bertumpuk dan dalam waktu yang singkat, sebelas orang itu pun sudah roboh semua tanpa mengalami luka, hanya tertotok dan lemas tak mampu bergerak.

Sebelum datang lagi pengeroyok, sekali loncat Yo Han telah mandekat! Coan Ciangkun yang marah duduk tertotok dan tak mampu bergerak. Yo Han membebaskan totokannya terhadap pembesar itu dan Coan Ciangkun dapat pula bergerak. Akan tetapi dia tidak berani bengkit berdiri karena pemuda yang lihai itu telah mengancamnya dengan jari tangan di leher!

“Mau apa engkau? Engkau akan dihukum mati untuk ini!” kata Coan Ciangkun dengan nada marah. “Pasukanku akan menangkapmu!”

“Sebelum aku di tangkap, aku akan dapat membunuhmu lebih dulu, Ciangkun!” Yo Han mengancam.

Wajah yang marah itu seketika menjadi pucat karena Sang Panglima maklum bahwa pemuda yang dengan mudahnya merobohkan empat belas orang pengawalnya, tentu tidak hanya menggertak, akan tetapi benar-benar akan dapat membunuhnya dengan mudah.

“Apa yang kauinginkan?” katanya dan biarpun nadanya masih membentak, namun suara itu gemetar.

Yo Han mendengar suara ribut-ribut di luar ruangan, suara banyak orang dan dia tahu bahwa tentu pasukan penjaga sudah datang mengepung ruangan itu.

“Pertama, kauperintahkan agar pasukanmu mundur dan jangan mengganggu percakapan kita di ruangan ini. Hayo cepat lakukan!” Sengaja dia menyentuh leher panglima itu dengan jari-jari tangannya. Panglima itu bergidik dan dia pun berseru dengan suara nyaring.

“Pasukan jaga, semua mundur dan jangan ganggu aku Kami sedang bicara dan tidak boleh siapa pun mengganggu kami!”

Suaranya dikenal oleh para penjaga dan biarpun merasa heran, mereka semua mendengar dan tidak berani mendekati ruangan itu walaupun di sebelah sana mereka tetap mengatur pengepungan karena mereka tahu bahwa, ada seorang asing bersama majikan mereka, dan bahwa belasan orang pengawal telah dirobohkan orang asing itu.

“Bagus, Ciangkun. Kalau engkau memenuhi semua permintaanku, aku akan membebaskanmu dan tidak akan mengganggumu lagi. Sekarang, keluarkan dua buah benda mustika yang kaucuri dari dalam gedung pusaka istana itu!”

Wajah itu semakin pucat. “Apa.... apa maksudmu? Pusaka.... yang mana....?”

“Tidak usah berpura-pura lagi, Ciangkun. Aku sudah tahu semuanya. Engkau mendendam kepada keluarga Gan karena lamaranmu ditolak, dan untuk membalas sakit hati itu, engkau sengaja menyuruh orang mencuri dua buah benda pusaka dari dalam gedung pusaka istana agar Gan Taijin menerima hukuman. Den engkau menjanjikan kepada Gan Taijin untuk mendapatkan kembali pusaka-pusaka yang hilang itu asal dia mau menyerahkan puterinya kepadamu!”

Sepasang mata itu terbelalak. “Tidak! Tidak! Mana buktinya bahwa aku melakukan semua itu?”

Yo Han memandang ke arah meja di depan panglima itu. Sabuah meja terbuat dari papan yang tebal. Dia menggerakkan tangan kirinya mencengkeram ke arah ujung meja.

“Krekk-krekk....!” Dan ujung meja itu hancur menjadi bubuk dalam cengkeramannya. Wajah panglima itu menjadi pucat sekali dan matanya terbelalak ketakutan.

“Ciangkun, apakah lehermu lebih keras daripada papan meja ini?”

“Jangan.... jangan bunuh aku.... apa yang kaukehendaki?” pembesar itu berkata, suaranya kehilangan keangkuhannya, bernada menyerah.

“Coan Ciangkun, engkau seorang laki-laki, dan memegang jabatan tinggi sebagai panglima. Semestinya engkau seorang yang gagah perkasa. Akan tetapi perbuatanmu ini sungguh memalukan sebagai seorang laki-laki. Kalau pinanganmu ditolak, itu berarti bahwa nona Gan Bi Kim bukan jodohmu. Kenapa engkau hendak memaksanya dengan cara yang begini curang dan pengecut? Kadudukanmu tinggi, akan tetapi watakmu sungguh rendah. Sekarang, aku hanya ingin engkau memperbaiki kesalahanmu, mengembalikan dua buah benda pusaka itu kepadaku. Cepat, atau aku akan kehilangan kesabaranku dan tanganku yang gatal-gatal ini akan mencengkeram lehermu atau kepalamu!” Sengaja Yo Han meraba-raba leher itu dan Coan Ciangkun bergidik.

“Jangan bunuh.... baik, akan kukembalikan....! Tapi.... dua buah benda itu disimpan oleh Tong Gu itu....” Dia menunjuk ke arah tubuh gendut Tong Gu, seorang di antara tiga jagoannya tadi, dengan telunjuk yang menggigil.

Yo Han dapat menduga bahwa panglima itu tidak main -main atau hendak menipunya. Bagaimanapun juga, panglima itu telah berada di dalam kekuasaannya dan tidak akan mampu berbuat apa pun. “Akan kusadarkan dia dan cepat perintahkan dia mengambil dua buah pusaka itu!” katanya dan sekali tangannya bergerak, dia telah membebaskan totokan Tong Gu. Si Gendut itu dapat bergerak dan meloncat dengan sikap hendak menyerang. Akan tetapi Coan Ciangkun menghardiknya.

“Tolol, apa yang akan kaulakukan?” Dia memang mendongkol sekali melihat ketidakbecusan para jagoannya. Malawan seorang pemuda saja, mereka bertiga roboh, bahkan belasan orang pengawalnya juga roboh. Dan sekarang, masih berlagak hendak melawan!

Tong Gu terkejut dan membungkuk di depan pembesar itu. “Maafkan hamba.... hamba kira....”

“Tidak usah banyak cakap. Cepat kau ambil dua buah pusaka itu dan bawa ke sini!” perintah Coan Ciangkun.

“Baik, Ciangkun!” kata Tong Gu.

Sebelum dia pergi Yo Han berkata, “Tong Gu, jangan coba untuk main gila. Ingat, nyawa majikanmu berada di dalam tanganku. Dia akan mati sebelum engkau dapat melakukan sesuatu terhadap diriku!”

“Kalau engkau main gila, akan kusuruh hukum siksa sampai mati!” bentak Coan Ciangkun yang agaknya ingin cepat-cepat bebas dari tangan pemuda yang lihai itu. “Cepat pergi dan ambil benda-benda itu!”

Tong Gu keluar dari ruangan itu dan tenta saja dia disambut oleh hujan pertanyaan dari para rekannya di luar ruangan. Akan tetapi, dia memberi isarat dengan telunjuk di depan mulut.

“Gawat Ciangkun telah dikuasai iblis itu. Kalau kita bergerak, tentu Coan Ciangkun akan dibunuhnya. Kita tidak boleh bergerak sebelum Ciangkun dibebaskan. Kepung saja dari luar, jangan sampai ada yang lolos. Aku harus mengambilkan pusaka itu sekarang juga,” bisiknya kepada para pimpinan pasukan.

Kini setelah penghuni gedung itu telah terbangun dan suasananya menjadi panik. Namun, pasukan itu hanya mengepung di luar gedung, dan keluarga Coan Ciangkun berkumpul di sebelah dalam, dijaga oleh pasukan pengawal dengan ketat.

Tong Gu tidak berani mengabaikan perintah Coan Ciangkun karena dia maklum sepenuhnya bahwa nyawa majikannya dalam ancaman bahaya maut. Dia tahu betapa lihainya pemuda yang menawan majikannya itu. Bukan saja dia dan dua orang rekannya yang terkenal jagoan roboh di tangan pemuda itu, juga belasan orang pengawal roboh dalam waktu singkat. Kepandaian pemuda itu tidak wajar, tidak seperti manusia biasa!

Tong Gu muncul kembali ke dalam ruangan itu. Keadaan di situ masih seperti tadi. Coan Ciangkun masih duduk menghadapi meja yang patah ujungnya, dan pemuda itu masih berdiri di belakang panglima dengan sikap tenang sekali. Justru ketenangan sikap pemuda itu yang membuat Tong Gu merasa seram. Dia meletakan bungkusan dua buah banda itu di atas meja depan Coan Ciangkun. Yo Han lalu membuka bungkusan itu dan melihat bahwa memang itulah dua benda pusaka yang hilang. Dia sudah mendapat keterangan jelas dari Gan Seng bagaimana bentuk dan rupa dua buah benda pusaka itu. Tanpa ragu lagi, dia mengambil benda-benda itu dan menyimpannya ke daam saku jubahnya.

“Kami telah menyerahkan dua buah benda pusaka itu, sekarang bebaskan kami dan pergilah, jangan ganggu kami lagi!” kata Coan Ciangkun menuntut.

“Nanti dulu, Ciangkun,” kata Yo Han dan dia memandang kepada Tong Gu lalu berkata, “Tong Gu, cepat kausediakan kertas dan alat tulis untuk Coan Ciangkun!”

Tong Gu tidak berani membantah dan di dalam ruangan itu memang tersedia alat tulis dan kertasnya. Setelah perlengkapan itu berada di atas meja, Yo Han lalu berkata, “Ciangkun, sekarang tulislah surat pengakuanmu bahwa engkau yang melakukan pencurian itu!”

Sepasang mata itu terbelalak. “Akan tetapi.... engkau ingin melaporkan aku dan mencelakakan aku....?”

Yo Han tersenyum. “Kami bukanlah orang-orang macam engkau yang suka bertindak curang, Ciangkun. Surat itu perlu untuk pegangan Gan Taijin, agar engkau tidak lagi mengganggunya. Kalau engkau berani mengganggunya, maka tentu surat pengakuan itu akan diserahkannya kepada Sri Baginda Kaisar.”

Panglima Coan itu menjadi lemas. Kalau tadinya dia masih mengandung harapan kelak akan membalas semua ini kepada Gan Seng, kini harapannya itu membuyar seperti asap tertiup angin. Dia telah kalah mutlak dan sebagai seorang ahli perang, dia pun tahu bahwa ada waktu menang dan ada pula waktu kalah. Dan sekali ini, dia benar-benar kalah dan tidak berdaya. Maka, tanpa banyak cakap lagi dia segera mengambil pena bulu dan menuliskan surat pengakuan seperti yang dikehendaki Yo Han. Yo Han mendikte dan diturut oleh panglima itu. Setelah selesai, Yo Han mengambil surat itu dan membacanya sekali lagi.


Saya yang bertanda tangan di bawah ini mengaku telah mencuri dua benda pusaka, yaitu cap kebesaran dan bendera lambang kekuasaan, dari dalam gudang pusaka istana. Perbuatan itu saya lakukan untuk membalas dendam dan mencelakakan keluarga Gan Seng, karena lamaran saya terhadap puterinya telah ditolaknya. Kemudian, karena menginsafi perbuatan saya yang jahat, saya mengembalikan dua buah benda pusaka itu dan berjanji tidak akan mengganggu keluarga Gan lagi.

Tertanda saya,
PANGLIMA COAN.


Yo Han menggulung surat pengakuan itu dan memasukkannya ke dalam saku jubahnya pula. Diam-diam Coan Ciangkun mengepal tinju. Masih ada harapan untuk menebus kesalahannya, yaitu dengan menghadang pemuda ini, mengerahkan pasukan dan menangkapnya sebelum pemuda itu menyerahkan dua benda pusaka dan surat pengakuannya kepada Gan Seng. Kalau pemuda ini dapat ditangkapnya, semua itu dapat dirampasnya kembali, dan dia dapat menebus kekalahannya saat itu.

Akan tetapi, harapan terakhir ini membuyar seperti gantungan terakhir pada sehelai rambut yang putus ketika pemuda itu memegang lengan kanannya dan berkata dengan lembut tapi nadanya memerintah, “Mari, Ciangkun. Kau antar aku keluar dari gedung ini!”

Tentu saja hatinya protes karena perintah itu merupakan tanda kekalahan terakhir baginya, akan tetapi dia tidak berani membantah dan dengan kepala menunduk, dia melangkah keluar dari ruangan itu, pergelangan tangan kanannya digandeng Yo Han, seperti dua orang sahabat baik jalan bersama, seolah-olah panglima itu mengantar seorang tamu yang akrab keluar meninggalkan rumahnya! Para prajurit dan pengawal yang tadinya sudah mengepung gedung itu, kini hanya melongo saja tidak berani bertindak apa-apa karena komandan mereka pun diam dalam seribu bahasa, tidak berani mengeluarkan komando untuk melakukan penyergapan!

Setelah tiba di pintu gerbang depan, Yo Han berkata kepada panglima itu. “Coan Ciangkun, terima kasih atas segala kebaikanmu. Mudah-mudahan saja engkau tidak melakukan kekeliruan-kekeliruan selanjutnya. Selamat tinggal!”

Sekali berkelebat, pemuda itu lenyap ditelan kegelapan malam. Beberapa orang perwiranya berloncatan keluar dengan pedang di tangan, hendak melakukan pengejaran. Akan tetapi Coan Ciangkun mengangkat tengan kanan ke atas. Dia maklum bahwa pemuda itu terlalu lihai dan kalau dia salah langkah lagi, mungkin dia tidak akan tertolong dan surat pengakuannya tadi merupakan ujung pedang yang sudah ditodongkan, di depan dadanya!

“Jangan kejar dia! Biarkan pergi, aku telah kalah,” katanya dengan lemas dan dia pun memasuki gedungnya. Tentu saja anak buahnya tidak berani melanggar perintah ini. Apalagi pemuda itu sudah lenyap dan mereka tidak tahu harus mencari dan mengejar ke mana.

Ketika Yo Han menyerahkan dua buah benda pusaka itu bersama surat pengakuan Coan Ciangkun, Gan Seng dan isterinya menjadi demikian gembira den terharu sehingga kalau tidak dicegah oleh Yo Han, mau rasanya mereka menjatuhkan diri berlutut di depan kaki pemuda itu! Yo Han bukan saja telah menyelamatkan Gan Seng, akan tetapi juga seluruh keluarganya dari malapetaka yang amat besar! Gan Seng merangkulnya dan kedua matanya basah, sedangkan isterinya sudah menangis saking harunya, dirangkul puteri mereka, Gan Bi Kim, yang juga merasa gembira bukan main.

“Yo Han, engkau sungguh merupakan bintang penolong dan penyelamat kami sekeluarga. Entah bagaimana keluarga kami akan dapat membalas budimu ini, Yo Han.”

“Aih, Paman Gan, kenapa bicara seperti itu? Saya hanya melaksanakan tugas saya, memenuhi perintah dan pesan terakhir dari mendiang Suhu. Kalau Paman hendak berterima kasih, semestinya berterima kasih kepada Suhu Ciu Lam Hok karena saya hanya mewakili beliau saja.”

Nenek Ciu Ceng juga segera sembuh seketika ketika mendengar hasil baik yang diperoleh Yo Han dalam menyelamatkan keluarga puteranya. Ketika diberi tahu tentang kematian kakaknya, nenek ini menangis dan menuntut kepada puteranya agar malam itu juga diadakan sembahyang terhadap arwah kakaknya, mendiang kakek Ciu Lam Hok, yang telah mengirim muridnya dan menyelamatkan mereka. Melihat ini, Yo Han merasa tidak tega untuk menceritakan keadaan kakek Ciu Lam Hok yang buntung kedua kaki tangannya itu. Biarlah mereka menganggap bahwa suhu hidup sampai saat terakhir dalam keadaan sehat dan berbahagia, pikirnya.

Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia mendengar nenek Ciu Ceng yang bersembahyang depan meja sembahyang itu menangis lalu berkata dengan suara sungguh-sungguh, seolah-olah suhunya masih hidup dan berdiri atau duduk di situ.

“Hok-ko, kami sekeluarga hutang budi dan nyawa kepada muridmu! Oleh karena itu, ijinkanlah kami mempererat ikatan antara muridmu dengan keluarga Gan Seng, keponakanmu. Kami mohon persetujuanmu agar muridmu dapat menjadi jodoh cucuku Gan Bi Kim.”

Tentu saja Yo Han terkejut bukan main. Dia tidak dapat mengeluarkan kata apa pun dan dia lalu diam-diam menyingkir dari ruangan itu, menuju ke kamar yang sudah dipersiapkan untuk dia bermalam di rumah keluarga Gan itu. Dia tidak tahu bahwa gadis cantik itu pun menjadi merah sekali wajahnya dan seperti juga dia, Bi Kim cepat lari memasuki kamarnya.

Malam itu Yo Han tidak dapat tidur pulas. Gelisah dia memikirkan ucapan nenek Ciu Ceng. Ucapan itu seperti terdengar terus bergema di dalam telinganya. Dia akan di jodohkan dengan Bi Kim!

Terjadi semacam pertempuran di dalam hatinya. Ada suara-suara yang seolah memaksanya untuk membayangkan kasenangan-kesenangan yang akan dinikmatinya kalau dia menjadi suami Bi Kim. Dia seorang pemuda yatim piatu yang miskin dan tidak punya apa-apa, mendadak akan menjadi suami seorang gadis puteri bangsawan! Bi Kim seorang gadis yang cantik jelita, berdarah bangsawan dan kaya raya. Kalau dia menjadi suaminya, maka sekaligus derajatnya akan terangkat naik tinggi sekali! Dia akan mempunyai seorang isteri yang cantik jelita, dari keluarga bangsawan yang terhormat dan menurut penglihatannya baik budi. Dia akan menjadi seorang yang dimuliakan, dihormati dan kaya raya. Bahkan besar kemungkinan dia akan mendapatkan kedudukan yang tinggi. Dan yang lebih dari semua itu, Bi Kim adalah cucu keponakan mendiang suhunya! Mau apalagi? Belum tentu selama hidupnya dia akan mendapat kesempatan sebaik itu, menerima anugerah sebesar itu. Demikian bisikan di dalam hatinya yang menonjolkan segi-segi yang akan mendatangkan kesenangan bagi hidupnya.

Akan tetapi, ada suara lain yang menentangnya. Suara ini menonjolkan hal-hal yang sebaliknya. Mengingatkan dia bahwa kalau dia menerima perjodohan itu, dia akan kehilangan kebebasannya. Dia akan terikat di situ. Dan tiba-tiba saja bayangan seorang anak perempuan yang mungil dan berpakaian merah muncul delam benaknya. Sian Li! Bayangan anak ini selalu saja muncul setiap kali harinya mengalami guncangan atau dalam keadaan kesepian atau gelisah seperti sekarang ini. Sian Li yang manis, yang mungil, yang lincah jenaka, yang amat sayang kepadanya dan amat disayangnya! Dia ingin bertemu kembali dengan Sian Li! Dan kalau dia menjadi mantu keluarga Gan di kota raja, dia terpaksa harus tinggal di situ, padahal dia masih harus melaksanakan tugas lain yang dipesan suhunya, yaitu mencari mutiara hitam pusaka milik gurunya yang hilang dan kabarnya dibawa seorang kepala suku bangsa Miao! Ah, inilah yang dapat dia jadikan alasan! Mendapatkan jalan untuk dipergunakan sebagai alasan penolakannya hatinya tenang dan dia pun dapat tidur pulas menjelang pagi.

Dia hanya tidur selama dua jam saja karena pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ketika terdengar kokok ayam jantan, dia sudah bangun kembali. Tubuhnya terasa segar. Jauh lebih menyehatkan tidur selama dua jam dengan pulas daripada tidur semalam suntuk dalam keadaan gelisah. Dia segera mandi karena dalam gedung besar itu selalu tersedia air secukupnya di kamar mandi. Tubuhnya makin nyaman dan dia pun berganti pakaian dan melihat bahwa rumah itu masih sunyi, agaknya penghuninya masih tidur, dia pun keluar melalui pintu belakang menuju ke taman bunga yang berada di belakang. Agaknya, setiap rumah gedung seorang bangsawan atau hartawan pasti mempunyai sebuah taman bunga yang indah. Taman bunga milik keluarga Gan itu pun luas dan indah sekali, terdapat kolam ikan yang lebar dan anak sungai buatan yang selalu mengalirkan air yang jernih. Ada beberapa buah jembatan yang cantik sekali, dibuat dengan seni indah dan dicat merah kuning. Ada pondok kecil tempat borteduh kalau hawa sedang panas.

Yo Han mengagumi keindahan taman itu dan karena pada waktu itu musim bunga sedang mulai, maka sebagian besar tanaman di situ mulai berkuncup dan berbunga. Bahkan teratai merah dan putih di kolam ujung juga mekar meriah.

Tiba-tiba Yo Han terkejut dari lamunannya ketika dia melihat seorang wanita berdiri di dekat kolam bunga teratai, membelakanginya. Tadi dia tidak melihatnya karena serumpun mawar menutupinya dan sekarang dia melihatnya, akan tetapi sudah terlampau dekat dan selagi dia hendak cepat membalikkan tubuh pergi dari situ, orang itu sudah membalikkan tubuh memandangnya dan menegur.

“Yo-twako (Kakak Yo)....”

Yo Han merasa serba salah. Hendak pergi dapat menimbulkan kesan tidak ramah dan sombong, kalau tinggal di situ dapat dianggap kurang sopan karena bertemu dengan gadis puteri tuan rumah di pagi buta dalam taman. Apalagi mengingat bahwa semalam, nenek gadis itu menjodohkan dia dengan Bi Kim. Dia cepat merangkap kedua tangan depan dada dan membungkuk untuk memberi hormat.

“Kim-moi (Adik Kim), selamat pagi! Aku tidak tahu bahwa engkau berada di sini, maafkan aku kalau mengganggu ketenanganmu.”

Wajah gadis itu berubah kemerahan dan ia menahan senyumnya sambil memandang dari bawah dengan kepala menunduk. Kerling matanya sungguh amat menarik, kerling sopan dan malu-malu. “Ah, Yo-toako kenapa bersikap amat sungkan? Tentu saja tidak mengganggu. Akan tetapi, kulihat sepagi ini engkau sudah bangun, sudah mandi dan berpakaian rapi!”

“Benar, Kim-moi, karena aku hanya menanti sampai orang tuamu dan nenekmu bangun untuk berpamit dari mereka.”

Bi Kim mengangkat muka den menatap wajah Yo Han sepenuhnya dengan mata terbelalak. Diam-diam Yo Han terpesona. Mata itu demikian indahnya ketika terbelalak. Seperti lukisan! Nampak betapa sepasang alis yang hitam kecil melengkung itu agak terangkat menjauhi mata betapa bulu mata yang halus lebat itu bergerak-gerak menimbulkan bayang-bayang gelap di sekitar mata, dan biji mata itu nampak lebih lebar dari biasanya, begitu bening dan lembut, mengkilat basah.

“Toako.... kau.... kau mau berpamit? Mau pergi....?”

Sejenak dua pasang mata bertemu dan mata yang terbelalak itu akhirnya menunduk kembali, terbawa muka yang ditundukkan. Dalam suara itu terkandung getaran seperti orang yang menangis sehingga Yo Han menjadi terheran-heran. Dia menganggukkan muka dan kalau gadis itu masih memandangnya, tentu dia tidak akan mengeluarkan suara, cukup dengan mengangguk saja. Akan tetapi karena gadis itu menunduk dan tidak memandangnya, tentu saja anggukan kepalanya sebagai jawaban itu tidak akan terlihat, dan sikap gadis itu jelas menuntut jawaban.

“Benar, Kim-moi. Aku akan pergi melanjutkan perjalananku,” katanya lirih dan singkat.

Gadis itu mengangkat mukanya dan Yo Han merasa semakin heran. Gadis itu jelas menangis, atau setidaknya berlinang air mata! Sungguh aneh!

“Akan tetapi, semalam nenek....” Tiba-tiba ia menghentikan ucapannya dan menunduk makin dalam, agaknya baru teringat bahwa ia telah mengeluarkan ucapan yang sama sekali tidak pantas. Ia tidak sengaja berkata demikian. Ucapan neneknya semalam yang menjodohkan ia dengan pemuda ini terngiang di telinganya sepanjang malam, membuat ia tidak dapat tidur dan pagi-pagi ini ia keluar ke taman dengan suara neneknya masih terus mengiang di telinganya. Oleh karena itulah, tanpa disadari dan tanpa disengaja, perasaannya itu terucapkan oleh mulutnya dan biarpun ditahannya, namun ia telah menyebut neneknya dan tentu pemuda itu dapat mengerti. Betapa memalukan!

Memang Yo Han mengerti dan dia pun tertegun. Kiranya seperti juga dia, usul nenek Ciu Ceng itu membuat gadis ini menjadi gelisah!

“Maksudmu, pernyataan nenek Ciu Ceng tentang.... perjodohan itu, Kim-moi?

Mendengar betapa ucapan pemuda itu terdengar wajar dan santai, perlahan-lahan kecanggungan yang dirasakan gadis itu pun berkurang dan ia berani mengangkat muka memandang wajah Yo Han.

Bi Kim mengangguk dan bertanya lirih, “Bagaimana pendapatmu tentang usul nenek itu?”

Hemm, gadis ini cukup tabah, pikir Yo Han. Dan dia merasa girang sekali.

Memang jauh lebih baik membicarakan urusan ini dengan hati terbuka, daripada harus menyimpannya dalam hati dan menjedi ganjalan kelak. Dia tahu bahwa Bi Kim adalah seorang gadis terpelajar dan mampu berpikir jauh dan berpandangan luas, tidak sempit seperti gadis-gadis yang tiada pendidikan yang baik.

“Nanti dulu, Kim-taoi. Karena usul itu datang dari pihak keluargamu, maka aku ingin sekali mendengar dulu bagaimana pendapatmu dengan pertanyaan nenek itu. Lebih baik kita bicara dengan terus terang, karena hal ini menyangkut kehidupan kita berdua di masa mendatang. Nah, katakan bagaimana pendapatmu?"

Kembali wajah gadis itu memerah. Biarpun dia bukan gadis dusun dan berpendidikan, namun bicara tentang urusan perjodohan tentu saja membuat ia merasa kikuk dan malu. Ia kembali menunduk dan suaranya terdengar gemetar dan canggung, juga lirih.

“Apa yang dapat kukatakan, Toako? Engkau telah menyelamatkan keluarga kami, kalau tidak ada bantuanmu, tentu Ayahku dihukum dan kami yang menjadi keluarganya juga tidak akan lolos dari hukuman. Lebih lagi, kalau tidak ada engkau yang menundukkan panglima jahanam itu, dia tentu akan terus merongrong dan menggangguku. Kini kami bebas dan merasa lega. Semua ini karena pertolonganmu. Tentu saja aku.... aku.... ah, bagaimana aku akan dapat menolak? Aku.... eh setuju sekali.”

Yo Han mengerutkan alisnya. Dia mengerti akan isi hati gadis itu. Tidak hanya karena ingin balas budi! Memang gadis itu agaknya suka kepadanya. Hal ini mudah diketahuinya dari pandang matanya dan sikapnya, dan jantungnya sendiri berdebar tegang. Betapa akan senangnya disayang oleh seorang gadis secantik jelita Bi Kim!

Akan tetapi, kembali wajah seorang anak perempuan berpakaian merah muncul di benaknya, mengusir bayangan menyenangkan dari Bi Kim, wajah Sian Li! Dan teringatlah dia akan tugasnya yang penting, yaitu mencari mutiara hitam gurunya. Maka, dia pun diam saja, termangu-mangu dan tidak tahu harus bicara apa.

Karena pemuda itu tidak menanggapi pengakuannya tadi, Bi Kim memberanikan diri melawan rasa canggung dan malu, mengangat muka memandang. Ia melihat pemuda itu bengong saja, maka ia pun balik bertanya.

“Bagaimana dengan pendapatmu sendiri, Yo-toako?” suaranya terdengar penuh harap, matanya bersinar-sinar, mulutnya membayangkan senyum dikulum. Mulut gadis itu memang hebat, begitu penuh daya tarik, menggairahkan dan menantang.

“Aku....? Eh, pendapatku? Ah, bagimana, ya? Kim-moi, pemuda mana yang tidak akan bangga hati dan merasa bahagia sekali menjadi jodohmu? Engkau seorang gadis bangsawan yang cantik jelita dan orang tuamu berkedudukan tinggi, bangsawan dan hartawan. Di samping kecantikanmu, engkau pun berpendidikan dan berbudi baik sekali. Apalagi yang dikehendaki seorang pemuda dari seorang gadis? Sebaliknya, aku hanya seorang pemuda yatim piatu yapg tidak mempunyai apa-apa, tidak berpendidikan, bodoh dan miskin. Aku bagaikan seekor burung gagak di samping engkau seperti burung dewata! Bagaimana aku berani menjajarkan diriku yang hina dan papa ini dengan dirimu yang begitu mulia dan anggun?”

“Yo-toako!” Bi Kim berseru penuh penasaran dan alisnya yang hitam kecil panjang melengkung itu berkerut. “Jangan engkau merendahkan diri seperti itu! Orang boleh rendah hati, itu baik sekali. Akan tetapi rendah diri? Tidak ada gunanya, Toako. Apalagi kenyataan menunjukkan bahwa engkau seorang pemuda yang amat lihai, berilmu tinggi dan di dekatmu, orang akan merasa aman tenteram, tidak takut menghadapi ancaman apapun juga. Dibandingken dengan engkau, aku seorang gadis yang lemah sekali dan sama sekali tidak berdaya menghadapi kejahatan yang merajalela di dunia ini. Aku hanya bertanya tentang pendapatmu, bukan keadaan dirimu yang kaurendahkan seperti itu, Toako”

Yo Han tersenyum. Tepat dugaannya. Gadis ini memang pandai dan cerdik, pandai bicara. “Maafkan aku, Kim-moi. Aku bukan merendahkan diri, melainkan menyatakan pendapatku berdasarkan kenyataan. Akan tetapi bukan keadaan itu yang membuat aku terpaksa tidak berani menerima usul nenekmu, melainkan karena aku masih harus melaksanakan tugas yang dipesankan mendiang Suhu kepadaku yaitu mencari sebuah benda pusaka milik Suhu yang hilang dicuri orang.”

Gadis itu nampak kecewa, akan tetapi menutupi perasaannya dengan bertanya serius. “Pusaka apakah yang hilang itu, Toako?”

“Sebuah benda pusaka milik Suhu yang disebut mutiara hitam, kabarnya kini berada di tangan seorang kepala suku bangsa Miao. Karena itu, tugas ini harus kulaksanakan dulu sampai berhasil.”

“Dan kalau engkau sudah berhasil dengan tugas itu?” Bi Kim mengejar.

“Kalau sudah berhasil.... bagaimana nanti saja. Kelak masih banyak waktu untuk bicara tentang urusan pribadi, Kim-moi. Bukankah jodoh berada di tangan Tuhan? Kalau Tuhan menghendaki, agar kita.... berjodoh, pasti hal itu akan terjadi. Sebaliknya, kalau Tuhan tidak menghendaki, direncanakan pun akan gagal. Karena itu, terus terang saja, sebelum aku selesai menunaikan tugas dari mendiang Suhu, aku tidak akan memikirkan soal perjodohan. Maaf, Kim-moi,” katanya cepat menutup ucapannya dengan permintaan maaf karena dia tidak ingin menyinggung perasaan gadis itu. Apalagi melihat wajah gadis itu berubah agak muram.

Sampai lama keduanya tidak bicara, kemudian gadis itu membalikkan tubuhnya membelakangi Yo Han dan terdengar suaranya lirih, “Seorang laki-laki akan mudah bicara seperti itu, Toako. Akan tetapi bagaimana mungkin seorang perempuan berpendapat seperti itu? Kalau belum ada ikatan dengan seseorang, maka setiap saat orang tua akan menjodohkan seorang gadis dengan pria mana saja yang dianggap baik dan cocok. Dan engkau tentu tahu, sebagai seorang anak yang berbakti, tidak mungkin aku dapat menolaknya. Berbeda halnya kalau seorang gadis sudah terikat, biarpun menanti sampai beberapa tahun pun tidak ada halangannya....”

Yo Han merasa betapa jantungnya berdebar keras. Ucapan dari gadis ini saja sudah mengandung arti pengakuan bahwa gadis itu menginginkan mereka terikat! Ini berarti bahwa gadis ini mengharapkan menjadi calon jodohnya, bahwa gadis ini menaruh harapan kepadanya dan cinta padanya! Yo Han merasa kasihan. Tidak boleh dia menyia-nyiakan harapan seorang gadis sebaik ini, tidak boleh menghancurkan hatinya. Dia harus dapat mencari alasan yang lebih tepat. Dan teringatlah dia akan Sian Li, akan ayah ibu anak itu, yaitu suhu dan subonya, guru-gurunya yang pertama sejak dia kecil sampai dia berusia dua belas tahun! Bukankah suhu dan subonya itu dahulu juga amat sayang kepadanya, bahkan menganggapnya seperti anak mereka sendiri? Sudah lama, sejak menjadi murid Kakek Ciu Lam Hok, dia menyadari sikap suhu dan subonya yang tidak ingin melihat Sian Li ketularan sikapnya yang dulu sama sekali tidak suka belajar ilmu silat. Dia dapat merasakan kekhawatiran kedua orang suami isteri pendeker itu yang tentu saja prihatin sekali melihat murid mereka tidak mau belajar silat, dan melihat murid mereka tidak mau belajar silat, dan melihat betapa mungkin saja Sian Li juga mengikuti jejaknya, tidak mau belajar silat. Karena pengertian ini, sudah lama dia tidak pernah merasa kecewa atau menyesal. Dia meninggalkan suhu dan subonya itu bukan karena tidak suka, melainkan karena tidak ingin menyusahkan mereka, tidak ingin mengecewakan mereka kerena Sian Li mencontoh dia, tidak suka belajar ilmu silat.

“Adik Bi Kim. Aku mengerti perasaanmu. Dan ketahuilah bahwa aku akan berbohong kalau tidak mengatakan bahwa setiap orang pemuda akan berbahagia sekali menjadi calon jodohmu. Akan tetapi untuk aku sendiri, aku tidak berani memutuskan, karena aku harus bertanya kepada mereka yang berhak menentukan. Aku pun ingin seperti engkau, menjadi seorang yang berbakti....”

“Yo-toako! Bukankah kau pernah mengatakan bahwa engkau yatim piatu, tidak mempunyai ayah dan ibu lagi? Dan gurumu, yaitu kakak dari Nenek juga sudah meninggal dunia, lalu siapa lagi yang berhak menentukan?”

“Belum kuceritakan semua tentang riwayatku kepadamu, Kim-moi. Sebelum menjadi murid mendiang Kakek Ciu Lam Hok, aku telah mempunyai guru-guru yaitu sepasang suami isteri yang bukan saja mendidikku, akan tetapi juga merawatku sejak aku kecil ditinggalkan orang tuaku. Merekalah yang membesarkan aku, sejak aku berusia tujuh tahun ditinggal oleh ayah ibuku, sampai aku berusia dua belas tahun. Lima tahun aku seolah-olah menjadi anak mereka sendiri dan aku telah menerima budi yang berlimpah dari mereka. Oleh karena itu, sudah sepatutnyalah kalau aku menganggap mereka sebegai pengganti orang tuaku dan menyerahkan kepada mereka untuk urusan perjodohanku. Nah, sekarang sudah kau ketahui semua, Kim-moi. Aku mohon diri, hari ini aku akan melanjutkan perjalanan mencari pusaka mendiang Guruku. Selamat tinggal dan semoga kelak kita dapat bertemu kembali.”

“Selamat jalan, Toako.” Gadis itu cepat membalikkan tubuh dan pergi meninggalkan Yo Han, akan tetapi pemuda itu masih sempat melihat tangisnya.

Yo Han lalu berpamit kepada Nenek Ciu Ceng, Gan Seng dan isterinya. Gan Seng dan isterinya menyambut dengan ramah dan berterima kasih, akan tetapi Nenek Ciu Ceng tanpa sungkan lagi bertanya, “Yo Han, engkau murid kakakku yang baik. Sebelum engkau pergi, engkau harus lebih dulu menyatakan kesediaanmu menerima permintaan kami.”

Berdebar rasa jantung dalam dada Yo ,Han. Tadinya dia mengira bahwa nenek itu lupa akan ucapannya ketika bersembahyang di depan meja sembahyang untuk gurunya. Kiranya pada saat ini, nenek itu mengajukan desakan yang membuat dia merasa serba salah. Dia melirik kepada Bi Kim yang berdiri di sudut sambil menundukkan mukanya, karena baik dia dan gadis itu tahu apa yang dimaksudkan oleh nenek itu. Akan tetapi, untuk memberi kesempatan baginya menenangkan hatinya yang terguncang karena tegang dia berkata,

“Permintaan apakah yang Nenek maksudkan?”

“Apalagi, Yo Han? Engkau telah menyelamatkan keluarga kami, dan kami tidak berani minta apa-apa lagi. Hanya satu, yaitu kami harap engkau suka menerima cucuku Bi Kim menjadi jodohmu....”

“Nenek....!” Bi Kim terisak dan lari ke dalam kamarnya. Melihat ulah gadis itu, Nenek Ciu Ceng terkekeh. “Heh-heh-heh, malu-malu berarti mau. Bagaimana, Yo Han? Engkau harus memberi keputusan dulu agar hati kami merasa lega.”

Melihat pemuda itu termenung, Gan Seng yang merasa tidak enak melihat ibunya seperti mendesak dan memaksa, lalu berkata dengan suara lembut. “Yo Han, tentu saja kami tidak memaksamu. Kami akan merasa berbahagia sekali kalau engkau suka menerima anak kami sebagai calon isterimu, akan tetapi andaikata engkau tidak suka, kami pun tidak dapat memaksamu.”

Justeru ucapan yang lembut dari pembesar ini lebih berat rasanya bagi Yo Han. Bagaimana mungkin dia mengatakan tidak suka dan menolaknya? Dia cepat memberi hormat kepada tiga orang itu.

“Nenek, Paman dan Bibi yang baik, harap maafkan saya. Sungguh saya tidak akan berani menolak, bahkan merasa terharu dan berterima kasih sekali atas kebaikan penghargaan Sam-wi (Anda Bertiga) yang sudi mencalonkan saya yang yatim piatu dan papa ini sebagai anggauta keluarga. Akan tetapi maaf, saya belum dapat memberi keputusan sekerang. Pertama, saya harus menyelesaikan tugas yang diberikan mendiang Suhu, yaitu menemukan kembali pusaka milik Suhu yang dicuri orang. Ke dua, mengenai perjodohan, saya harus menyerahkannya kepada Suhu dan Subo saya yang pertama yang telah menjadi seperti pengganti orang tua saya sebelum saya berguru kepada mendiang Suhu Ciu Lam Hok.”

“Baiklah, Yo Han,” kata Gan-taijin (Pembesar Gan) mendahului agar ibunya tidak sempat mengeluarkan ucapan yang sifatnya memaksa atau menyudutkan pemuda itu. “Kami sekeluarga akan menanti berita darimu setelah engkau dapat membuat keputusan.”

“Terima kasih, Paman. Sekarang saya mohon diri untuk melanjutkan perjalanan saya.”

Setelah memberi hormat lagi, Yo Han lalu melangkah keluar. Akan tetapi terdengar suara nenek Ciu Ceng, “Ingat, Yo Han. Kami sudah menganggapmu sebagai calon suami cucuku Bi Kim. Kami akan menolak pinangan dari manapun juga datangnya dan menunggumu!”

Gan Seng dan isterinya tidak sempat mencegah dan ucapan itu berkesan dalam sekali di hati Yo Han. Mereka sudah menganggap dia tunangan Bi Kim dan ini berarti bahwa gadis itu tidak bebas lagi! Dia ingin membantah, akan tetapi merasa tidak enak, maka merasa lebih aman tidak menjawab dan melanjutkan langkahnya pergi meninggalkan rumah keluarga pembesar tinggi itu.

Setelah Yo Han pergi, sampai dua hari lamanya Gan Bi Kim tidak meninggalkan kamarnya. Ia merasa semangatnya melayang ikut pergi bersama pemuda yang dikaguminya dan yang telah menjatuhkan cinta hatinya itu. Ia merasa kehilangan, apalagi karena jawaban pemuda itu membuat ia tidak yakin akan perjodohannya dengan pemuda itu.

Setelah dapat menenteramkan hatinya, ia lalu menghadap ayahnya dan merengek agar ia dicarikan guru-guru silat yang pandai karena ia ingin belajar ilmu silat.

“Ah, engkau ini aneh-aneh saja, A-kim,” kata ayahnya sambil mengerutkan alisnya. “Engkau seorang puteri bangsawan, engkau sudah mempelajari semua ilmu kepandaian yang sepatutnya dimiliki seorang puteri. Apalagi yang hendak kaupelajari? Apalagi dari seorang guru silat? Ilmu silat hanya akan membuat telapak tanganmu yang halus menjadi kasar, tubuhmu yang lembut menjadi kaku!”

“Ayah, lupakah Ayah akan malapetaka yang baru saja menimpa keluarga kita? Semua itu terjadi karena kita lemah! Untung ada Han-ko datang menolong. Andaikata tidak, bagaimana? Coba andaikata aku pandai ilmu silat, tentu sudah kuhajar Coan-ciangkun yang jahat itu. Ayah, kalau aku pandai ilmu silat, setidaknya aku akan dapat menjaga keamanan keluarga kita.”

“A-kim,” kata ibunya membujuk. “Aku ingin anakku menjadi seorang wanita yang halus lembut dan bijaksana, bukan menjadi tokoh rimba persilatan yang kaku dan kasar!”

“Tapi Ibu agaknya lupa bahwa Koko Yo Han juga seorang tokoh rimba persilatan, seorang pendekar yang memiliki ilmu silat yang amat tinggi. Bagaimana kalau aku di jodohkan dengan dia aku lalu sama sekali tidak tahu ilmu silat, bahkan hanya seorang gadis yang amat lemah? Ingatlah, Ayah. Bukankah Uwa kakek Ciu Lam Hok adalah seorang sakti? Masa aku sebagai cucu keponakannya tidak mengerti ilmu silat? Ayah, carikan guru silat yang lihai untukku!”

Alasan-alasan yang dikemukakan puteri mereka yang setiap hari merengek itu akhirnya menggerakkan hati Gan Seng. Sebagai seorang pejabat tinggi yang dekat dengan istana, Gan-taijin mengenal para jagoan istana yang memiliki ilmu silat tinggi. Dia lalu menghubungi para jagoan itu dan mulai hari itu, Gan Bi Kim belajar ilmu silat dan ternyata gadis ini memiliki bakat yang baik disamping ketekunan yang luar biasa. Ketekunan itu timbul setelah keluarga tertimpa malapetaka, setelah dara ini bertemu dengan Yo Han yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Dengan bayaran tinggi yang dapat dipenuhi oleh Gan Seng, guru-guru silat jagoan istana itu bertambah gembira melihat betapa gadis puteri bangsawan itu ternyata memiliki bakat yang amat baik dan dapat menjadi murid yang akan menambah tinggi derajat mereka. Bahkan banyak jagoan istana seperti berlumba untuk mengajarkan ilmu-ilmu mereka kepada gadis bangsawan yang berbakat dan amat rajin ini.

***

Bangau Merah terbang di angkasa
disengat terik matahari senja
betapa ingin aku menjadi awan
untuk melindunginya,
dari sengatan!

Bangau Merah melayang di angkasa
hujan lebat datang menimpanya
betapa ingin aku menjadi guha
tempat berteduh bangau jelita!

Bangau Merah meluncur di angkasa
letih dan lapar datang menggoda
betapa ingin aku menjadi ranting
berbuah tempat ia istirahat
dengan makanan berlimpah

Bangau Merah....”

“Heiiii! Engkau sedang mengapa di situ, Suheng? Dari tadi kudengar menyebut-nyebut nama samaranku. Engkau dari tadi menyebut Bangau Merah!” Gadis itu muncul dan memang ia berpakaian serba merah dengan garis-garis kuning dan biru. Pakaian itu ringkas, sederhana bentuknya akan tetapi terbuat dari sutera merah yang membuat penampilannya cerah dan wajahnya nampak lebih manis, kulitnya menjadi semakin mulus. Ia seorang gadis berusia tujuh belas tahun, baru manismanisnya, bagaikan bunga mulai mekar dan bagaikan buah sedang meranum. Dara ini memang cantik jelita, dengan wajah yang berbentuk bulat telur, matanya lebar dan jeli, hidungnya mancung dengan ujung menantang, mulutnya yang kecil dengan bibir tipis lembut yang selalu kemerahan tanda sehat itu selalu tersenyum mengejek sehingga sering kali lesung kedua pipinya nampak memikat. Memang sejak kecil ia disebut Bangau Merah karena ia suka sekali memakai pakaian berwarna kemerahan dan ia puteri tunggal Pendekar Bangau Putih Tan Sin Hong yang amat terkenal itu. Kalau ayahnya hampir selalu mengenakan pakaian putih, dara ini selalu mengenakan pakaian berwarna merah. Namanya Tan Sian Li dan seperti telah kita ketahui Sian Li diminta oleh paman kakeknya, yaitu pendekar sakti Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng, untuk mewarisi ilmu silat mereka. Suma Ceng Liong adalah adik dari nenek Sian Li yang bernama Suma Hui, yaitu nenek dari ibunya. Biarpun ayah Sian Li sendiri seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian hebat, bahkan tidak kalah dibandingkan ilmu kepandaian Suma Ceng Liong, namun dia dan isterinya merasa tidak enak untuk menolak niat baik paman mereka itu. Apalagi, Suma Ceng Liong merupakan keturunan dari keluarga Pendekar Pulau Es dan memiliki ilmu kepandaian yang khas, sedangkan isterinya juga seorang pendekar wanita sakti, puteri dari Pendekar Suling Emas Kam Hong.

Telah lima tahun Sian Li digembleng oleh suami isteri itu di dusun Hong-cun, luar kota Cin-an di Propinsi Shantung.

Setiap tahun sekali, jatuh pada hari tahun baru, ayah ibunya, yaitu Tan Sin Hong dan Kao Hong Li, selalu datang berkunjung. Melihat bakat yang baik dari Sian Li, apalagi karena dara ini sejak kecil telah mendapat pendidikan dasar yang amat kuat dari ayah ibunya, maka suami isteri itu mengajarkan ilmu-ilmu silat simpanan mereka kepada dara itu sehingga selama belajar lima tahun lamanya, Sian Li telah menjadi seorang gadis yang amat lihai. Bahkan kelihaiannya melampaui tingkat yang dimiliki suhengnya, yaitu Liem Sian Lun.

Pemuda berusia dua puluh tahun yang bersajak tadi adalah Liem Sian Lun, suhengnya. Sian Lun kini telah menjadi seorang pemuda dewasa yang bertubuh tinggi besar, gagah dan tampan. Wajahnya selalu cerah dan dia pun pendiam tidak banyak bicara, kecuali kalau diajak bicara tentang sajak. Dia amat suka dan pandai membuat sajak. Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng, memang tidak mengabaikan pendidikan sastra terhadap Sian Lun dan Sian Li. Mereka mengundang guru sastra yang pandai untuk mengajarkan ilmu sastra yang lebih mendalam kepada dua orang murid itu.

Senja itu memang cerah dan indah. Sejak tadi sebelum Sian Li mancari, Sian Lun sudah duduk termenung seorang diri di lereng bukit yang berada di luar dusun Hong-cun itu. Tempat ini merupakan tempat kesayangannya, di mana dia dan sumoinya seringkali bermain-main sejak Sian Li berusia dua belas tahun dan datang ke tempat itu. Bukit yeng tidak besar, namun berada di lereng bukit itu, pemandangan alamnya amat indah. Mereka dapat melihat dusun Hong-cun di kaki bukit dan mereka dapat menikmati keindahan senjakala di situ karena lereng bukit itu berada di sebelah barat.

Ketika tadi melihat keindahan senja yang cerah, melihat burung-burung bangau terbang melayang di angkasa melintasi matahari senja, agaknya hendak pulang ke sarang, teringatlah Sian Lun kepada sumoinya. Sumoinya itu diberi julukan Bangau Merah oleh suhu dan subonya. Julukan yang tepat sekali karena sumoinya selalu berpakaian merah, sumoinya puteri Pendekar Bangau Putih dan kalau sudah bersilat, gerakan sumoinya demikian indah, seindah gerakan burung bangau yang sedang terbang. Maka, keindahan dan lamunan membuat dia bersajak tentang bangau merah dan tentang keinginan hatinya untuk menjadi pelindung Sang Bangau Merah! Sajak ini merupakan cetusan hatinya karena diam-diam Liem Sian Lun telah jatuh cinta setengah mati kepada sumoinya, Si Bangau Merah!

Biarpun dia belum berani menyatakan isi hatinya secara berterang kepada Sian Li, namun dia sudah yakin bahwa sumoinya tentu tidak akan menolak cintanya. Dia bahkan sudah yakin bahwa kelak sumoinya pasti akan menjadi isterinya, dan diam-diam dia menganggap sumoinya telah menjadi tunangannya! Keyakinan ini diperkuat ketika secara tidak sengaja dia mendengar percakapan antara suhu dan subonya dari luar kamar mereka. Ketika itu, pada malam hari, dia lewat di depan kamar mereka dan suara mereka menembus jendela kamar, tertangkap oleh pendengarannya.

“Kebetulan nama mereka juga mirip. Sian Lun dan Sian Li! Akan tetapi bagaimana kalau orang tuanya tidak setuju?” terdengar suhunya berkata. Mendengar namanya disebut, Sian Lun memperlambat langkahnya dan mendengarkan dengan penuh perhatian.

“Aku percaya keponakanku tentu akan setuju. Apalagi kalau kita jamin bahwa Sian Lun adalah seorang anak yang baik sekali. Kulihat mereka itu berjodoh.”

“Aih, jodoh di tangan Tuhan. Jangan mendahului kehendak Tuhan,” kata suhunya dan mereka pun tidak bicara lagi. Sian Lun tidak berani berhenti, hanya memperlambat jalannya sehingga andaikata suhu dan subonya mendengar tangkahnya, tentu tidak akan menduga bahwa dia ikut mendengarkan percakapan mereka. Dan semenjak mendengar percakapan itu, beberapa bulan yang lalu, dia merasa yakin bahwa Sian Li kelak pasti akan menjadi isterinya!

Akan tetapi, Sian Li amat manja dan lincah galak. Apalagi ia tahu betapa suhengnya amat menyayangnya, juga kakek dan nenek yang menjadi gurunya. Terhadap Sian Li, Sian Lun agak takut dan penurut, dan hal ini membuat Sian Li semakin manja. Sikap manja yang dalam pandangan Sian Lun bahkan membuat dara itu menjadi semakin menggemaskan dan menarik hati.

Cinta berahi kalau sudah mencengkeram hati seseorang, membuat orang itu menjadi badut. Ulah tingkah menjadi lucu dan tidak wajar lagi. Mulut cemberut seorang yang dicinta akan nampak semakin manis, bahkan ada kelakar yang kasar mengatakan bahwa kentut seorang kekasih berbau sedap! Sebaliknya, senyum ramah seorang yang dibenci akan nampak mencemoohkan dan dianggap senyum itu mengejek dan mentertawainya sehingga menimbulkan amarah!

Sian Lun terkejut ketika dia sedang melamun dan membaca sajak yang timbul di saat yang romantis itu, dia ditegur oleh Sian Li yang kemunculannya tidak diduga sebelumnya. Saking kagetnya dia hanya menoleh dan memandang kearah dara itu yang nampak lebih cantik daripada biasanya, segar habis mandi seperti setangkai bunga bermandikan embun. Melihat pemuda itu tidak menjawab pertanyaannya dan hanya bengong memandangnya, Sian Li cemberut.

“Heii, Suheng, engkau ini kenapa sih? Tadi menyebut-nyebut Bangau Merah berulang kali, sekarang engkau hanya bengong tanpa menjawab pertanyaanku!”

“Sumoi.... aih, engkau.... engkau demikian cantik.... indah sekali, ah, pantasnya engkau seorang dewi kahyangan yang baru turun melalui cahaya yang keemasan....”

Kalau saja tidak timbul kebanggaan oleh pujian ini, tentu Sian Li sudah tertawa geli. “Ahhh, yang benar, Suheng!” katanya memancing pujian lebih banyak.

Sian Lun benar terpesona dan matanya menatap tak pernah berkedip, seolah takut kalau berkedip, keindahan di depannya itu akan lenyap. Dara itu berdiri menghadap matahari senja, sepenuhnya diselimuti cahaya keemasan.

“Sungguh, Sumoi.... rambutmu yang hitam itu kini dilingkari cahaya kekuningan, wajahmu mencorong oleh cahaya keemasan, engkau nampak begitu segar, begitu hidup, berkilauan, matamu bercahaya, senyummu.... duhai, Sumoi, betapa cantik jelita engkau....” Sian Lun tidak biasa merayu, akan tetapi sekali ini dia terpesona dan seperti dalam mimpi rasanya.

“Ah, masa....?” Sian Li berseru manja, haus pujian selanjutnya.

“Sumoi, engkau laksana dewi yang bermandikan cahaya keemasan, cantik jelita mempesona dan....”

“Aiih, sudah-sudah! Bisa terbang melayang ke angkasa aku oleh pujianmu. Mengapa sih tiba-tiba engkau memuji-mujiku seperti ini? Engkau tadi bersajak tentang Burung Bangau Merah, sekarang engkau merayuku setengah mati. Apa engkau mabok Suheng?”

Sian Lun menghel napas panjang. Sikap dan ucapan Sian Li membuyarkan suasana romantisnya, menariknya dengan kasar kembali ke bumi yang keras. Dia menarik napas panjang dan wajahnya berubah merah karena mengenangkan sikap dan kata-katanya tadi membuat dia merasa rikuh dan malu. Kalau dia masih terpesona seperti tadi, tentu akan dijawabnya bahwa dia memang mabok akan kecantikan sumoinya itu. Akan tetapi sekarang dia sudah sadar dan dia takut kalau-kalau sumoinya menjadi marah.

“Aku tidak mabok, Sumoi. Semua itu kulakukan saking sayangnya aku kepadamu.”

Sian Li tersenyum. Gadis berusia tujuh belas tahun yang sejak kecil digembleng ilmu silat dan kurang pengalaman ini masih belum sadar dan belum mengerti akan cinta kasih antara pria dan wanita. Yang dikenalnya hanya rasa sayang kepada orang-orang yang dekat dan akrab dengannya.

“Tentu saja engkau sayang padaku, Suheng. Bukankah aku ini sumoimu? Kalau tidak sayang, percuma engkau menjadi Suhengku.” Jawaban ini demikian wajar dan Sian Lun merasa betapa kecewa hatinya. Gadis ini belum tahu! Belum tahu bahwa sayangnya bukan seperti suheng terhadap sumoi, bukan seperti kakak terhadap adik, melainkan sayang yang disertai dendam rindu, disertai berahi seorang pria terhadap wanita!

“Aku sangat sayang padamu, Sumoi, entah apakah engkau pun sayang padamu.”

“Tentu saja! Kenapa engkau masih bertanya lagi, Suheng? Kurasa engkau tidak begitu bodoh untuk mengetahui hal itu. Sejak lima tahun yang lalu kita bersama-sama latihan silat di sini, belajar sastra, dan bermain bersama-sama. Nah, sekarang kalau memang engkau sayang kepadaku....”

“Apa yang harus kulakukan? Katakanlah, Sumoi,” kata Sian Lun dengan penuh gairah dan harapan. Untuk menunjukkan rasa sayang, disuruh apa pun dia mau, apalagi kalau disuruh memondong tubuh, biar sehari penuh pun dia bersedia.

“Aku haus dan ingin makan buah leci, Suheng. Kaucarikan untukku, di lereng utara sana banyak pohon lecinya.”

“Baik, akan kucarikan, Sumoi. “Kau tunggu saja sebentar di sini.” Sian Lun lalu meloncat jauh dan berlari cepat melintasi bukit menuju ke utara di mana terdapat kebun pohon leci yang luas, milik seorang hartawan yang tinggal di kota Cin-an. Dia sudah mengenal baik penjaga kebun itu dan pasti akan diberi kalau dia minta buah leci sekedar dimakan.

Setelah pemuda itu pergi Sian Li duduk sambil termenung dan tersenyum-senyum. Hatinya merasa gembira oleh pujian-pujian tadi. Ia merasa bangga. Suhengnya memang seorang kakak seperguruan yang amat baik kepadanya. Sejak ia berada di situ, lima tahun yang lalu, suhengnya selalu bersikap baik dan mengalah kepadanya. Suhengnya itulah yang membuat ia tidak merasa kesepian tinggal di rumah paman kakeknya, membuat ia tidak merasa bosan mempelajari ilmu silat dari suami isteri yang sakti itu. Bersama suhengnya ia dapat berlatih silat, mempelajari sastra, dan bermainmain. Suhengnya seorang pemuda yang tinggi besar, gagah dan tampan, dan selalu melindunginya. Bahkan pernah suhengnya itu mengejar beberapa orang pemuda kota yang berkunjung ke dusun Hong-cun dan bersikap kurang ajar kepadanya. Ia sendiri tidak mau melayani mereka, akan tetapi suhengnya marah-marah dan menghajar lalu melempar-lemparkan tujuh orang pemuda kota itu ke dalam air Sungai Kuning! Ia sama sekali tidak tahu bahwa perbuatan Sian Lun itu terdorong oleh cemburu!

Tiba-tiba perhatiannya tertarik kepada sesosok tubuh orang yang tertatih-tatih mendaki lereng itu. Seorang pria yang sudah tua sekali. Tadinya ia mengira paman kakeknya Suma Ceng Liong yang mencarinya. Akan tetapi setelah agak dekat, ternyata bukan. Dia seorang kakek yang usianya tentu sudah tujuh puluh tahun lebih, pakaiannya model pakaian sastrawan akan tetapi pakaian itu penuh tambalan walaupun bersih. Dia mendaki lereng itu dibantu sebatang tongkat. Rambut dan cambang serta kumis jenggotnya sudah putih semua, membuat dia nampak tua dan lemah.

Dalam jarak dua puluh meter, kakek itu berhenti, berdiri menekan tongkat dengan kedua tangan, mengangkat muka memandang ke arah Sian Li dan berkata dengan nada suara lembut gembira, “Ahh, tidak salah lagi. Engkau tentu Ang-ho-li (Nona Bangau Merah)!”

Sian Li mengerutkan alisnya. Tidak banyak orang tahu bahwa ia diberi nama julukan itu. Yang mengetahuinya hanyalah ayah ibunya, paman kakeknya berdua, suhengnya. Bagaimana kakek ini begitu muncul menyebutkan nama julukannya itu?

“Kek, siapakah engkau dan dari mana engkau tahu bahwa aku disebut Bangau Merah?” Suaranya terdengar galak dan pandang matanya penuh selidik.

“Siancai....! Dahulu engkau seorang bocah yang mungil lincah, sekarang telah menjadi seorang gadis yang lincah dan galak! Hei, Dewi Baju Merah, apakah engkau benar telah lupa kepadaku? Beberapa tahun yang lalu kita pernah saling jumpa di rumah kakekmu, di Pao-teng.”

Sian Li memandang penuh perhatian dan wajahnya berubah seketika. Wajahnya kini cerah dan berseri, senyumnya menghias wajah yang manis itu, membentuk lesung mungil di kedua pipinya.

“Aihh, kiranya Locianpwe Yok-sian Lo-kai....!” Ia bangkit dan cepat memberi hormat kepada kakek tua renta yang pakaiannya penuh tambalan itu.

“Ha-ha-ha, memang aku adalah Lo-kai (Pengemis Tua) itu! Dan aku telah mencarimu ke rumah ayah ibumu di Tatung, lalu menyusul ke Hong-cun. Kakek dan nenekmu yang kini menjadi guru-gurumu mengatakan bahwa engkau tentu berada di lereng bukit ini. Aku segera menyusul ke sini. Siancai.... engkau, telah menjadi seorang gadis, yang lihai dan manis. Dan aku datang untuk menagih janji, ingat?”

“Tentu saja aku ingat, Locianpwe. Dan aku sudah siap sedia untuk menerima pelajaran ilmu pengobatan dirimu.”

Kakek itu tertawa gembira dan pada saat itu muncullah Sian Lun yang membawa buah leci yang sudah masak dan cukup banyak. Melihat sumoinya tertawa-tawa dengan seorang kakek yang tidak dikenalnya, dia mengerutkan alisnya.

“Sumoi, siapakah kakek jembel ini?” tanyanya tak senang. Entah mengapa, setiap kali melihat sumoinya beramah tamah dengan seorang laki-laki, tidak peduli laki-laki itu tua atau muda, dia merasa tidak senang, merasa cemburu!

“Hushhh, Suheng, jangan sembarangan engkau memanggil orang! Locianpwe ini adalah guruku, tahu engkau?” bentak Sian Li marah.

Sian Lun cepat memberikan buah-buah leci itu kepada sumoinya, lalu dia memberi hormat kepada kakek itu. Dia terkejut bukan main, juga heran mendengar ucapan sumoinya.

“Ah, harap Locianpwe suka memaafkan saya yang bersikap tidak sopan,” katanya. Bagaimanapun juga, Sian Lun bukan hanya mempelajari ilmu silat, akan tetapi juga sastra dan tata susila.

Kakek itu tersenyum dan mengangguk-angguk. “Siancai.... kiranya Taihiap (Pendekar Besar) Suma Ceng Liong dan isterinya yang gagah perkasa mempunyai seorang murid yang begini gagah. Tidak mengapa, orang muda. Hanya lain kali jangan terburu nafsu menyangka buruk kepada orang lain.”

Wajah Sian Lun berubah merah dan sekali lagi dia memberi hormat. “Maafkan saya, Locianpwe. Sumoi, engkau tidak pernah bercerita kepadaku tentang suhumu ini. Siapakah beliau ini?”

Sian Li menyodorkan buah-buah leci itu kepada Yok-sian Lo-kai dan berkata, “Suhu, silakan makan. Buah-buah leci ini baru saja dipetik, masih segar dan manis.”

Kakek itu tanpa sungkan lagi mengambil beberapa butir buah leci. Sian Li lalu menghadapi suhengnya. “Suheng, Suhuku ini adalah Yok-sian Lo-kai. Lima tahun yang lalu Suhu ini berjanji akan mengajarkan ilmu pengobatan kepadaku dan hari ini dia datang memenuhi janjinya.”

Kembali Sian Lun terkejut. Dia tentu saja pernah mendengar nama besar Yok-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Obat) ini, yang terkenal bukan hanya karena pandai ilmu pengobatan, akan tetapi juga karena ilmu silatnya, terutama ilmu totok jalan darah, yang amat lihai.

“Sekali lagi maaf, Locianpwe, atas sikapku tadi. Sumoi, harap kau maafkan aku dan jangan sampaikan kepada Suhu dan Subo tentang sikapku yang tidak benar tadi.”

Sian Li cemberut. “Tentu saja akan kuberitahukan kepada Kakek dan Nenek. Engkau telah berani menyebut Guruku kakek jembel!” Sian Li yang amat manja terhadap suhengnya itu mengancam. Yoksian Lo-kai tertawa.

“Ha-ha-ha-ha, engkau keliru, Sian Li. Engkau tidak boleh melapor kepada siapa pun juga. Suhengmu sudah, mengakui kesalahannya dan minta maaf, hal itu menunjukkan bahwa dia berani bertanggung jawab dan menyesali dan menyadari kesalahannya. Selain itu, juga aku lebih suka disebut Jembel Tua daripada Dewa Obat, heh-heh-heh! Memang julukanku Jembel Tua, kenapa engkau harus marah mendengar aku disebut Jembel Tua oleh suhengmu? Ha-ha-ha!”

“Baiklah, melihat muka Suhu, aku mau menyudahi perkara ini sampai di sini saja. Nah, sekarang cepat kauberitahukan kepada Kakek dan Nenek bahwa aku sudah bertemu Suhu Yok-sian Lo-kai dan akan pulang belakangan.”

“Baik, Sumoi. Locianpwe, saya pergi dulu,” kata Sian Lun dengan hati lega. Kalau sumoinya mengadu kepada suhu dan subonya, tentu dia akan mendapatkan teguran keras. Dia lalu berlari cepat turun dari lereng bukit, diikuti pandang mata kakek itu yang masih tersenyum.

“Suhengmu sudah memiliki kepandaian tinggi, ilmunya berlari cepat cukup hebat,” kakek itu memuji.

“Ah, dia masih terlalu lambat,” kata Sian Li. Jawaban ini menunjukkan bahwa gadis ini tentu dapat berlari lebih cepat dibandingkan suhengnya dan diam-diam kakek itu kagum. Dia percaya bahwa di bawah gemblengan suami isteri sakti seperti Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, apalagi mengingat bahwa ia puteri Pendekar Bangau Putih, tentu gadis berpakaian merah ini menjadi lihai bukan main. Dia pun bangga kalau dapat menurunkan ilmu-ilmunya kepada dara ini.

“Sian Li, aku ingin memberitahu sedikit kepadamu tentang suhengmu itu.”

Sian Li yang sedang makan leci, menghentikan gerakan mulutnya dan ia menoleh, memandang kepada kakek itu. “Apa yang Suhu maksudkan? Suheng telah bersikap kasar, dan dia memang pantas ditegur dan....”

“Hal itu sudah lewat dan tidak perlu dibicarakan lagi, Sian Li. Hanya satu hal ingin kuperingatkan kepadamu tentang suhengmu itu. Engkau berhati-hatilah dengan sikapmu, karena dia amat sayang kepadamu.”

“Tentu saja dia sayang padaku, Suhu. Bukankah dia itu Suhengku? Kenapa aku harus berhati-hati dengan sikapku?”

“Dan bagaimana dengan engkau sendiri? Sayangkah engkau kepada suhengmu?”

Dara itu memandang Yok-sian dengan sinar mata heran. Pertanyaan yang aneh, pikirnya. “Tentu saja aku sayang kepada Suheng, Suhu. Bukankah hal itu sudah sewajarnya? Dia berlatih bersamaku, belajar bersamaku dan bermain bersamaku sejak lima tahun yang lalu dan dia amat baik kepadamu.”

Kakek itu tersenyum maklum. Dara ini masih hijau, masih polos dan belum pernah mengalami cinta berahi, maka kasih sayangnya terhadap suhengnya itu adalah kasih sayang seorang adik terhadap kakaknya.

“Maksudku, dia pencemburu besar, Jangan bersikap terlalu ramah kepada laki-laki lain kalau tidak ingin melihat dia marah-marah.”

“Aih, itulah yang aneh, Suhu! Pernah ada beberapa orang pemuda menggodaku dan Suheng demikian marahnya sampai dia mengamuk dan hampir saja membunuhi orang-orang itu kalau tidak kularang....“

Kakek itu merasa heran. Dari sikap pemuda itu tadi saja dia sudah mengerti bahwa pemuda itu telah jatuh cinta pada sumoinya, dan agaknya cintanya berkobar-kobar panas sekali, membuat dia menjadi seorang pencemburu besar sehingga melihat sumoinya beramah tamah dengan seorang kakek seperti dia pun pemuda tadi sudah tidak senang.

Itu namanya cemburu, maka engkau harus dapat menjaga sikapmu.”

Sian Li mengangguk, padahal ia tidak mengerti mengapa suhengnya bersikap seperti itu. ”Mari kita pulang, Suhu.”

Mereka lalu menuruni lereng dan agaknya Yok-sian sengaja hendak menguji ilmu berlari cepat muridnya. Dia sendiri mengerahkan tenaganya, menggunakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan larinya cepat sekali, sungguh tidak sesuai dengan usianya yang sudah demikian lanjut. Namun, biar ia baru berusia tujuh belas tahun, Sian Li sejak kecil digembleng dan ditangani orang-orang sakti, mula-mula oleh ayah ibunya sendiri, kemudian oleh Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, suami isteri yang pernah menggegerkan dunia persilatan dengan kelihaian mereka. Maka tidak terlalu mengherankan kalau dara itu bukan saja mampu mengimbangi kecepatan lari Yok-sian Lo-kai, bahkan setelah tiba di rumah kakeknya, Dewa Obat itu tertinggal beberapa ratus meter di belakangnya!

Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng menyambut mereka di depan rumah sambil tertawa melihat dara dan kakek itu berlari-larian, juga Sian Lun telah berada di dekat gurunya. Yok-sian Lo-kai terkekeh sambil terengah ketika tiba di depan mereka. “Aihhh.... aku sudah tua, bagaimana mungkin dapat menandingi kecepatan Si Bangau Merah?”

“Aih, jangan merendahkan diri, Suhu!” kata Sian Li. “Suhu datang bukan untuk mengajarkan ilmu lari kepadaku, melainkan ilmu pengobatan!”

Semua orang tertawa mendengar ini, juga Sian Lun tersenyum. Baru terasa olehnya betapa dia tadi telah terburu nafsu, merasa iri hati atau cemburu melihat sumoinya beramah tamah dengan kakek itu.

Demikian, mulai hari itu, Yok-sian Lo-kai mulai mengajarkan ilmu pengobatan kepada Sian Li. Bukan saja pengetahuan tentang ramuan obat untuk berbagai penyakit, juga kakek itu mengajarkan pengobatan dengan tusuk jarum, dengan totokan dan pijatan, dan yang amat menggembirakan hati Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, juga tentu saja Sian Li sendiri, kakek itu bahkan mengajarkan It-yang Sin-ci, yaitu ilmu totok dengan sebuah jari yang pernah membuat nama kakek itu terkenal di dunia persilatan.

Sian Li amat berbakat, dan sudah memlliki dasar yang kuat, maka dalam waktu tiga bulan saja dara ini telah dapat menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan Yok-sian Lo-kai kepadanya.

Kakek itu merasa kagum dan juga girang bukan main melihat kecerdasan muridnya. Dia merasa puas bahwa akhirnya ada seorang murid yang cocok untuk mewarisi ilmunya. Setelah memesan kepada muridnya kelak mempergunakan ilmu-ilmunya itu untuk kebaikan, menolong orang sakit di samping tugasnya sebagai pendekar wanita penentang kejahatan, Yok-sian Lo-kai lalu meninggalkan rumah Suma Ceng Liong untuk pergi bertapa ke Liong-san dan menghabiskan sisa hidupnya dalam ketenangan. Dia memberikan jarum emas dan peraknya kepada Sian Li. Suami isteri Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng mengantar kepergian Dewa Obat itu dengan perjamuan sederhana namun meriah, dan atas nama cucu keponakan mereka, suami isteri ini mengucapkan terima kasih mereka.

Biarpun ia sudah menguasai ilmu totok It-yang Sin-ci, namun tentu saja Sian Li hanya baru menguasai cara dan teori penggunaan ilmu itu saja, belum matang karena ia harus banyak berlatih untuk mematangkan ilmu totokan yang dahsyat itu. Demikian pula ilmu pengobatan dengan tusuk jarum dan pijatan jari tangan, harus ia latih. Namun, ia telah menguasai cara berlatih untuk ilmu-ilmu itu.



***



Liem Sian Lun harus mengerahkan seluruh tenaga, kecepatan gerak dan mengeluarkan semua kemampuannya untuk dapat mengimbangi sumoinya. Gerakan Sian Li luar biasa cepatnya, bagaikan seekor burung merah yang cekatan sekali berkelebatan bahkan kadang lenyap dan yang nampak hanya bayangan merah yang diselimuti gulungan sinar pedangnya.

Kalau orang lain melihat pertandingan pedang itu, dia tentu akan mengira bahwa pemuda dan dara itu berkelahi mati-matian. Demikian cepat permainan pedang mereka, dan kadang nampak bunga api berpijar kalau dua batang pedang itu bertemu di udara. Namun, sesungguhnya mereka hanya berlatih ilmu pedang setelah tadi dalam berlatih silat tangan kosong Sian Lun terpaksa mengakui keunggulan sumoinya. Dalam ilmu pedang Sian Lun memang berbakat sekali maka dia mampu mengimbangi permainan pedang sumoinya.

Bagi dua orang muda yang sudah menguasai benar ilmu pedangnya, tidak mungkin mereka akan saling melukai.

Pedang yang mereka pegang itu seolah telah menjadi satu dengan tangan, seperti anggauta badan sendiri sehingga mereka sudah menguasai sepenuhnya. Setiap detik mereka akan mampu menghentikan tusukan atau bacokan pedang mereka sehingga tidak akan melukai lawan berlatih.

Keduanya berlatih ilmu pedang Liong-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Naga), yaitu gabungan ilmu pedang Suling Emas dan Naga Siluman yang mereka pelajari dari Kam Bi Eng. Ilmu pedang ini memang hebat. Dari gerakan-gerakan pedang di tangan mereka ternyata bahwa di situ terkandung gerakan yang lembut seperti tiupan suling namun dahsyat dan ganas seperti seekor naga mengamuk. Karena senjata suling adalah senjata yang khas dari keluarga Suling Emas, maka Kam Bi Eng mengganti suling dengan pedang dan mengajarkan mereka memainkan ilmu itu dengan sebatang pedang.

Kini Sian Li dalam kelebihannya dalam kecepatan gerakan, mulai mendesak suhengnya. Andaikata mereka itu bertanding sungguh-sungguh dalam sebuah perkelahian, tentu Sian Li akan dapat merobohkan suhengnya karena ia memiliki beberapa ilmu yang tidak dipelajari Sian Lun, seperti ilmu totok It-yang Sin-ci dari Yok-sian Lo-kai, dan terutama sekali Ilmu Silat Bangau Putih yang sejak kecil dipelajarinya dari ayahnya, dan lain-lain. Kini, karena mereka sengaja berlatih ilmu pedang Liong-siauw Kiam-sut, mereka menggunakan ilmu itu saja dan karena keduanya sudah menguasai ilmu pedang itu dengan baik, maka sukarlah untuk suling mengalahkan. Sian Li berhasil mendesak hanya mengandalkan kecepatannya, dan memang ia lebih cekatan sehingga akhirnya Sian Lun menjadi repot sekali, dan hanya mampu menangkis saja, tidak ada kesempatan lagi untuk membalas. Akan tetapi, dia mengenal semua jurus yang dlpergunakan sumoinya untuk menyerangnya, maka tentu saja dia tahu bagaimana caranya untuk menghindarkan diri.

“Cukup, Sumoi. Engkau terlalu cepat bagiku!” Akhirnya Sian Lun mengakui kekalahannya. Pemuda ini tidak merasa iri atau malu, bahkan merasa bangga bahwa sumoinya demikian hebatnya.

“Suheng, engkau memang kalah cepat akan tetapi kalau engkau mengerahkan seluruh tenagamu, tentu engkau akan dapat mengimbangi aku karena dalam hal penggunaan tenaga tulang dan otot, aku masih kalah.”

“Bagus sekali! Ilmu pedang yang hebat, orang-orang muda yang mengagumkan!” Tiba-tiba terdengar pujian orang dan cepat Sian Lun dan Sian Li membalikkan tubuh dan mereka melihat dua orang yang tahu-tahu telah berada di situ, di dalam taman di mana mereka berlatih ilmu pedang tadi. Kalau dua orang itu dapat muncul demikian tiba-tiba tanpa mereka ketahui, hal ini menunjukkan bahwa dua orang ini tentu bukan orang sembarangan. Sian Li memandang dengan teliti. Seorang kakek dan seorang nenek. Kakek itu tentu sudah enam puluh tahun lebih usianya, namun masih tampak tampan dan jantan dengan kulit agak gelap dan muka bulat yang tidak asing bagi Sian Li. Di punggung kakek ini terdapat sepasang pedang dengan ronce biru. Nenek itu yang sama sekali asing bagi Sian Li. Seorang nenek yang usianya juga sekitar enam puluh, namun masih cantik dan anggun. Ia berpakaian serba kuning, dengan kerudung kepala kuning pula. Rambutnya yang sudah bercampur uban itu terhias burung merak dari emas yang masih nampak di bawah kerudung suteranya yang tipis. Wajah wanita ini asing,bukan wajah seorang bangsa Han. Biarpun wajah kakek itu tidak asing bagi Sian Li, namun ia tidak tahu siapa kakek itu.

“Kakek dan Nenek yang baik, siapakah Jiwi (Anda Berdua)? Dan ada kepentingan apakah jiwi masuk ke dalam taman kami ini?” Sian Li bertanya dengan lembut.

Kakek itu menoleh kepada nenek di sebelahnya sambil tersenyum gembira. “Kaulihat, bukankah ia mirip sekali dengan ibunya?” Lalu dia menghadapi Sian Li lagi dan berkata, “Aku yakin bahwa engkau tentu Tan Sian Li, bukan? Engkau Si Bangau Merah, bukan?”

Sian Li membelalakkan mata. “Bagaimana engkau bisa mengenalku, Kek? Siapakah engkau? Dan siapa pula Nenek ini?”

“Ha-ha-ha-ha,” kakek itu tertawa. “Pernah aku berkunjung ke rumah orang tuamu ketika engkau masih kecil, pernah pula engkau membasahi bajuku, ha-ha-ha. Engkau tentu lupa, Sian Li. Aku adalah Suma Ciang Bun dan ini isteriku, Gangga Dewi.”

Sian Li membelalakkan matanya lagi dan mukanya berubah kemerahan mengingat ucapan kakek tadi bahwa ia pernah ngompol ketika masih kecil dipondong kakek itu sehingga membasahi bajunya. Kini ia teringat. Kakek ini adalah adik kandung neneknya, Suma Hui. Berbeda dengan paman kakeknya yang kini menjadi gurunya. Suma Ceng Liong yang hanya adik sepupu neneknya, kakek yang berada di depannya ini adalah adik kandung neneknya.

“Aih, kiranya Ku-kong (Paman Kakek) Suma Ciang Bun!” Sian Li berseru gembira. “Selamat datang, Kakek. Dan Nenek ini, isteri Kakek.... namanya aneh. Nenek Gangga Dewi? Tentu bukan orang Han....” Sian Li lalu memberi hormat kepada dua orang tua itu. “Suheng, ini adalah kakak sepupu dari Kakek Suma Ceng Liong!” Dara yang lincah itu memberi tahu Sian Lun yang cepat mengangkat tangan memberi hormat kepada Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi.

Gangga Dewi mendekati dan memeluk Sian Li. “Anak manis, engkau cantik bukan main, Aku memang datang dari Bhutan, dan aku bukanlah orang lain. Seorang di antara guru ayahmu yang bernama Wan Tek Hoat atau Tiong Khi Hwesio adalah mendiang Ayah kandungku.”

Sian Li menjadi semakin gembira dan balas merangkul sambil memandang kagum. Tentu saja ia pernah mendengar cerita ayahnya tentang pendekar Wan Tek Hoat yang berjuluk Si Jari Maut itu, yang telah menikah dengan seorang puteri Kerajaan Bhutan.

“Aih, Nenek yang baik. Pantas saja engkau masih kelihatan begini cantik dan anggun. Kiranya engkau adalah seorang puteri Kerajaan Bhutan!”

Karena Sian Li memang lincah jenaka dan gembira, maka sebentar saja ia sudah akrab dengan kakek dan nenek itu, dan mereka lalu memasuki rumah untuk bertemu dengan Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Pertemuan itu tentu saja amat menggembirakan. Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi pernah satu kali berkunjung ke situ sebelum Sian Li tinggal bersama Suma Ceng Liong dan isterinya, bahkan sebelum Sian Lun menjadi murid mereka.

Setelah makan bersama, dua orang tamu itu lalu menceritakan pengalaman mereka yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Suma Ceng Liong, Kam Bi Eng, Liem Sian Lun dan terutama sekali Tan Sian Li. Ketika Suma Ciang Bun mengatakan bahwa dia bersama Gangga Dewi akan pergi ke Bhutan, Sian Li segera berkata penuh gairah. “Ku-kong aku ikut!”

Semua orang terkejut. Suma Ceng Liong memandang cucu keponakan itu. “Aih, Sian Li, kaukira Bhutan itu dekat? Perjalanan ke sana berbulan-bulan!”

“Aku tidak takut perjalanan jauh, Ku-kong! Aku sudah sering mendengar dari Ayah dan Ibu tentang Bhutan yang indah, dan dari Kong-kong Kao Cin Liong aku sering mendengar ceritanya tentang dunia bagian barat. Aku ingin meluaskan pengetahuan dan pengalaman, Ku-kong. Kebetulan sekali ada Ku-kong Suma Ciang Bun dan Nenek Gangga Dewi yang akan menjadi penunjuk jalan. Aku ingin sekali, Ku-kong!”

Suma Ceng Liong diam-diam tersenyum dalam hatinya. Dia tidak merasa heran akan sikap cucu keponakan ini. Memang keluarga mereka semua berdarah pendekar, berdarah petualang. Dia sendiri pun dahulu merupakan seorang petualang, demikian pula isterinya. Ayah dan ibu Si Bangau Merah ini pun petualang-petualang besar.

“Akan tetapi, bagaimana kalau ayah ibumu datang, Sian Li? Kami tentu akan merasa tidak enak kalau mereka datang dan engkau tidak berada di sini,” kata Kam Bi Eng.

“Akan tetapi Ayah dan Ibu masih enam bulan lagi baru akan datang ke sini, seperti biasa setiap tahun baru mereka datang. Dan aku akan berusaha agar sebelum tahun baru dapat pulang ke sini. Aku ingin sekali pergi, kebetulan ada Ku-kong dan isterinya yang akan menemaniku. Tentu saja kalau mereka ini tidak keberatan aku ikut....” Ia memandang kepada Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi yang saling pandang dan tersenyum.

Bersambung ke buku 7