Suling Naga -6 | Kho Ping Hoo



Buku 6

Kini bukan hanya lima orang perwira dan Bhok Gun yang mengepung di sebelah dalam, akan tetapi di bagian luarpun belasan orang anak buah Ang-i Mo-pang sudah mulai bergerak lagi atas perintah Bhok Gun, bahkan di antara mereka ada yang sudah mengambil senjata berupa jaring-jaring lebar yang dipegang oleh tiga orang. Melihat ini, Bi Lan maklum bahwa ia terancam bahaya, apa lagi tendangan Bhok Gun masih terasa bekasnya, pinggangnya masih nyeri dan membuat sebelah kakinya tidak dapat bergerak selincah kaki yang lain. Akan tetapi, ia mengambil keputusan nekat untuk membela diri sampai titik darah terakhir dan tidak akan sudi menyerah!

Pada saat itu, ketika Bi Lan berada dalam keadaan terancam dan gawat, muncullah seorang pemuda perkasa. Pemuda ini muncul sambil membentak, “Sekumpulan laki-laki mengeroyok seorang wanita muda, sungguh memalukan sekali. Hanya laki-laki berwatak pengecut saja yang sudi melakukan hal seperti ini!“

Bhok Gun terkejut dan cepat memandang. Juga Bi Lan mengerling ke arah orang yang baru muncul itu dan jantungnya berdebar ketika ia mengenal pemuda tinggi besar itu. Pemuda itu bukan lain adalah pemuda perkasa yang pernah mengagumkan hatinya ketika pemuda itu menolong keluarga sepasang mempelai dari Phoa Wan-gwe dan para tukang pukulnya. Dan kini pemuda perkasa itu tiba-tiba saja muncul untuk menolongnya!

Beberapa orang anak buah Ang-i Mo-pang sudah menerjang maju untuk merobohkan pemuda yang dianggap lancang itu. Akan tetapi, segera terdengar teriakan-teriakan kaget ketika pemuda itu dengan mudahnya menendangi dan menangkapi orang-orang itu dan melempar-lemparkan mereka seperti orang melemparkan kayu bakar saja.

“Keparat, berani kau mencampuri urusan kami?” Bhok Gun marah sekali dan menerjang ke arah pemuda itu, menggunakan tangan kanan memukul ke arah kepala. Serangannya ini selain cepat, juga kuat sekali karena dalam kemarahannya Bhok Gun sudah mengerahkan tenaga yang besar. Pemuda itu mengenal serangan ampuh, maka diapun memasang kuda-kuda dan mengangkat lengan kanan menangkis.

“Dukkk....!” Dua tenaga besar bertemu dan akibatnya amat mengejutkan hati Bhok Gun karena dia terdorong dan terlempar ke belakang oleh tenaga yang amat dahsyat! Tentu saja dia tidak tahu bahwa lawannya itu telah mewarisi tenaga raksasa dari ayah kandungnya, yaitu Cu Kang Bu yang berjuluk Ban-kin-sian (Dewa Bertenaga Selaksa Kati). Pemuda itu adalah Cu Kun Tek, jago muda dari Lembah Naga Siluman itu. Sebetulnya, kalau diukur ilmu silat di antara mereka, tingkat Bhok Gun masih lebih tinggi dari pada tingkat yang dikuasai Kun Tek. Akan tetapi, tadi Bhok Gun mengadu tenaga dan akibatnya dia kalah kuat sehingga dia merasa gentar, mengira bahwa pemuda tinggi besar ini memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada tingkatnya.

Melihat pemuda tinggi besar itu sudah bertanding melawan Bhok Gun, Bi Lan mempergunakan kesempatan baik ini untuk bergerak menyerang para pengepungnya, yaitu lima orang perwira tadi. Lima orang yang pernah merasakan kehebatan tangan Bi Lan, menjadi gentar dan menjauhkan diri.

“Nona, mari kita pergi!” Kun Tek berseru nyaring sambil merobohkan dua orang pengepung dengan tendangan-tendangannya. Kegagahan Kun Tek tidak saja membuat gentar hati Bhok Gun, akan tetapi juga para pengepung menjadi ketakutan. Baru menghadapi nona itu saja mereka tadi merasa kewalahan untuk mengalahkannya, apa lagi sekarang muncul seorang pemuda tinggi besar yang demikian gagah perkasa. Karena merasa gentar, mereka tidak banyak bergerak untuk menghalangi ketika Bi Lan dan Kun Tek berlompatan keluar dari pekarangan itu. Bhok Gun serdiri tidak melakukan pengejaran. Pertama adalah karena dia sendiri meragukan apakah dia akan dapat menang menghadapi Bi Lan dan pemuda tinggi besar itu walaupun dia dibantu oleh para perwira dah anggauta Ang-i Mo-pang, dan ke dua karena dia tidak melihat pedang pusaka di tangan Bi Lan, diapun tidak terlalu bernafsu untuk melakukan pengejaran. Dia memang jatuh hati kepada Bi Lan yang dianggapnya amat manis menggiurkan. Terutama sekali karena gadis itu tidak mau menyerah dan tidak semudah wanita lain untuk ditundukkan, maka justeru sikap inilah yang menambah daya tarik pada diri Bi Lan baginya. Andaikata Bi Lan mau, agaknya dia akan suka mempunyai seorang kawan hidup tetap, seorang isteri, seperti gadis itu. Wanita-wanita seperti Bi-kwi hanyalah menjadi teman bermain-main dan mencari kepuasan nafsu belaka, bukan untuk menjadi isteri dan ibu anak-anaknya. Akan tetapi Bi Lan menolaknya, bahkan nampak benci kepadanya.

Sementara itu, Bi Lan terus melarikan diri bersama permuda tinggi besar itu. Tidak tahu siapa di antara mereka yang memilih jalan, karena keduanya hanya menurutkan jalan kecil yang menuju ke utara itu saja. Akan tetapi setelah mereka merasa yakin bahwa pihak musuh tidak melakukan pengejaran, terpaksa mereka mengurangi kecepatan lari mereka dan hanya melanjutkan dengan jalan kaki biasa karena cuaca malam itu cukup gelap. Hanya bintang-bintang saja di langit yang menurunkan sinar penerangan remang-remang.

Keduanya tidak banyak cakap dan melanjutkan perjalanan sampai akhirnya Bi Lan berhenti. Pemuda itupun ikut berhenti. Mereka berada di sebuah jalan kecil yang membelah persawahan yang luas. Sunyi sekali di situ. Tidak nampak dusun di sekitar tempat itu. Kalau ada, tentu nampak lampu-lampu penerangan rumah-rumah mereka. Sunyi sepi dan tidak ada sedikitpun angin sehingga batang-batang gandum di kanan kiri jalan itu tidak-ada yang bergerak. Tidak ada apapun yang bergerak kecuali berkelap-kelipnya laksaan bintang di langit dan suara yang terdengar hanya jengkerik dan bunyi katak yang saling bersahutan.

“Engkau siapakah?” Bi Lan bertanya, merasa agak tidak enak karena sejak tadi pemuda itu diam saja membisu, padahal ia tahu benar bahwa pemuda itu tidak gagu.

“Namaku Cu Kun Tek,” jawab Kun Tek sambil menatap wajah yang biarpun hanya nampak remang-remang namun tetap saja mudah dilihat kecantikannya. Garis-garis dan lengkung lekuk wajah itu jelas membayangkan kemanisan dan sepasang mata yang jeli itu masih nampak memantulkan sinar bintang-bintang yang redup. Jawaban yang singkat inipun membuat Bi Lan mengerutkan alisnya. Sikap pemuda yang pendiam ini seolah-olah menunjukkan rasa tidak suka kepadanya. Sama sekali tidak ramah. Kalau begitu, kalau memang tidak menyukainya, kenapa tadi menolongnya?

“Kenapa kau membantuku?” Pertanyaan dalam hati itu keluar melalui mulutnya, seperti orang menuntut.

“Engkau seorang gadis muda, dikeroyok banyak pria, tentu saja aku membantumu.” Jawaban inipun singkat saja. Suasana menjadi kaku dan Bi Lan ingin meninggalkan pemuda itu, Akan tetapi bagaimana bagaimanapun juga, pemuda itu mendatangkan rasa kagum di hatinya dan sudah menolongnya, rasanya tidak pantas kalau ia pergi begitu saja tanpa memperkenalkan diri. Akan tetapi pemuda itu tidak bertanya, agaknya tidak ingin mengenalnya!

“Apa kau tidak tanya namaku?”

Barulah pemuda itu kelihatan bergerak seperti orang gelisah atau orang yang merasa canggung dan malu-malu. “Eh, siapakah namamu? Engkau masih begini muda akan tetapi ilmu silatmu sudah begitu hebat, sanggup menghadapi pengeroyokan banyak orang lihai.”

“Namaku Can Bi Lan. Eh, kau ini sombong amat, menyebutku gadis yang masih muda sekali. Apakah engkau ini sudah kakek-kakek? Kukira aku lebih tua darimu!” kata Bi Lan yang merasa mendongkol juga mendengar kata-kata pemuda itu.

“Tidak mungkin!” Kun Tek membantah. “Berapakah usiamu? Aku berani bertaruh bahwa aku jauh lebih tua.”

“Hemm, kiranya engkau hanya seorang penjudi! Sampai-sampai urusan usia saja kaupertaruhkan.”

“Aku tidak pernah berjudi selama hidupku!” Kun Tek. membantah, mendongkol juga melihat sikap gadis yang ditolongnya ini demikian galak.

“Memang tak mungkin engkau bisa berjudi, engkau masih seperti kanak-kanak. Kutaksir usiamu paling banyak limabelas tahun, jadi aku masih lebih tua dua tahun.” Tentu saja Bi Lan hanya sengaja menggoda karena dongkol hatinya, tidak sungguh-sungguh mengira usia pemuda itu limabelas tahun.

Kun Tek balas menggoda. “Aha, kiranya baru tujuhbelas tahun! Masih amat muda, hampir kanak kanak. Aku sendiri sudah berusia sembilanbelas tahun.”

Keduanya berdiam kembali dan keadaan menjadi amat sunyi. Suara jengkerik kembali terdengar nyaring diselingi suara katak. Bi Lan tak dapat menahan lagi perasaan tidak enaknya. “Jadi engkau membantuku hanya karena melihat aku seorang perempuan muda, setengah kanak-kanak, dikeroyok banyak pria?“

“Bukan anak kecil, melainkan masih amat muda akan tetapi sudah amat lihai!” Kun Tek berkata cepat.

“Baiklah, seorang perempuan muda dan perempuan muda ini mengucapkan terima kasih atas bantuanmu, walaupun sesungguhnya aku sama sekali tidak mengharapkan dan tidak membutuhkan bantuanmu. Nah, selamat tinggal!” Dengan marah Bi Lan lalu meloncat dan lari dari tempat itu. Ia meloncat ke depan, dan terdengarlah suara keras ketika ia terperosok ke dalam lubang yang besar di tepi jalan itu. Lubang itu penuh dengan tanah lumpur, sehingga tentu saja pakaian dan badannya penuh lumpur dan ia terkejut bukan main.

“Aduhh....!“

Dengan sekali loncatan saja Kun Tek telah berada di tepi lubang dan mengulurkan tangan, memegang pergelangan tangan Bi Lan dan menariknya keluar. Melihat betapa seluruh pakaian Bi Lan kotor dan gadis itu menahan rasa nyeri pada tumitnya yang agaknya terkilir, Kun Tek menjadi khawatir sekali.

“Ah, kenapa tidak hati-hati? Gelap begini mana bisa melihat jalan? Apanya yang sakit? Kakimu? Mungkin terkilir mana kubetulkan letak ototnya kembali.” Tanpa banyak cakap lagi Kun Tek lalu memegang kaki kiri Bi Lan, mengurut bagian pergelangan kaki dan memang jari-jari tangannya cekatan sekali dan penuh tenaga. Pemuda ini telah mempelajari ilmu pengobatan dari ayahnya, terutama sekali penyambungan tulang dan ilmu pijat otot. Biarpun pijatan-pijatan itu menimbulkan rasa nyeri, Bi Lan hanya menggigit bibir dan merintih lirih sampai akhirnya otot-ototnya pulih kembali dan rasa nyeri itupun menghilang.

“Bagaimana? Sudah enakan?”

Bi Lan hanya mengangguk.

“Wah, pakaianmu kotor semua. Mari kita mencari sumber air bersih di mana kau dapat mencuci tubuhmu dan pakaianmu. Lain kali yang hati-hatilah, di tempat gelap yang tidak dikenal lagi.”

Bi Lan bangkit berdiri dibantu oleh Kun Tek yang memegang lengannya. “Engkau sih!” Bi Lan mengomel. “Sikapmu tadi kaku dan tidak bersahabat, menimbulkan rasa dongkol dalam hatiku.”

“Tidak bersahabat? Aih, bukankah aku telah membantumu? Maafkanlah, sesungguhnya aku bersikap kaku karena aku ingin bersikap sopan kepadamu....“

Biarpun mendongkol karena pakaian dan tubuhnya kotor penuh lumpur, Bi Lan terheran-heran mendengar pengakuan itu. “Bersikap sopan?” Ia mendesak, menuntut penjelasan.

Kun Tek menundukkan mukanya, merasa canggung dan malu, lalu mengangkatnya kembali memandang wajah gadis itu dalam keremangan malam. “Kita baru saja berkenalan, kalau aku bersikap terlalu ramah, bukankah engkau akan menyangka yang bukan-bukan, bahwa aku seorang laki-laki yang ceriwis dan kurang ajar? Aku terus terang saja, aku belum pernah berkawan dengan seorang gadis, dan menurut ibuku, sebagai seorang pemuda aku tidak boleh bersikap.... eh, menjilat terhadap wanita....”

Bi Lan ingin tertawa keras, akan tetapi ditahannya dan ia hanya tersenyum. Pemuda ini sungguh seorang yang berwatak aneh dan jujur! “Siapa ingin kau menjilat dan bermuka-muka? Aku malah akan benci sekali kalau engkau bermuka-muka dan bermanis di mulut saja.”

Cu Kun Tek merasa betapa jantungnya berdebar girang. Gadis ini tidak marah lagi sekarang! “Adik Bi Lan, mari kita mencari air bersih untuk engkau mencuci tubuhmu dan pakaianmu.” Dia mendahului mencari-cari dan akhirnya mereka menemukan sebatang anak sungai yang cukup bersih.

Karena malam itu hanya diterangi bintang-bintang yang remang-remang, Bi Lan tidak terasa canggung atau malu untuk membersihkan tubuhnya, menanggalkan semua pakaiannya yang sudah berlumuran lumpur itu dan berganti dengan bakaian bersih. Untung pakaiannya yang berada dalam buntalan tidak terkena lumpur. Selama ia membersihkan dirinya, Kun Tek menjauhkan diri sampai tidak dapat melihat gadis itu dalam keremangan malam. Dia membuat api unggun agak jauh dari situ, di bawah sebatang pohon.

Tak lama kemudian, Bi Lan datang mendekat dan duduk di dekat api unggun. Rambutnya masih basah, akan tetapi pakaiannya sudah berganti dengan pakaian bersih, sedangkan yang kotor sudah dicucinya, kini dibentangkannya di atas cabang pohon. Mukanya nampak segar kemerahan tertimpa cahaya api unggun dan diam-diam Kun Tek merasa kagum bukan main. Gadis ini memang manis dan gagah perkasa, juga amat sederhana, wajar dan lugu dalam gerak-geriknya.

“Dingin....?” tanya Kun Tek, melihat betapa kini gadis itu berusaha mengeringkan rambutnya yang masih basah. Hawa udara malam itu memang agak dingin.

Bi Lan mengangguk. “Tadi memang airnya dingin sekali. Akan tetapi sekarang tidak lagi, hangat dan nyaman dekat api unggun ini.”

Mereka berdiam diri agak lama, kadang-kadang saling pandang saja sekilas. Sikap Kun Tek yang canggung dan malu-malu, yang tidak berani menentang pandang mata gadis itu terlalu lama, menularkan perasaan canggung pada hati gadis itu. Biasanya Bi Lan tidak pernah merasa canggung berhadapan dengan siapapun. Ia polos dan wajar. Akan tetapi melihat betapa pemuda tinggi besar yang gagah perkasa ini agaknya malu-malu kepadanya, hal itu membuatnya sadar bahwa ada sesuatu yang tidak wajar dan diapun menjadi malu-malu pula. Ia sendiri merasa heran mengapa ada perasaan ini terhadap pemuda yang baru dikenalnya ini, seolah-olah pemuda ini merupakan suatu keistimewaan. Padahal, apakah bedanya pemuda ini dengan orang-orang lain? Mnngkin karena sikap Kun Tek itulah! Dan iapun tidak mengerti mengapa seorang pemuda gagah perkasa seperti ini bersikap demikian pemalu dan canggung terhadapnya.

Tiba-tiba pendengaran Bi Lan yang amat tajam terlatih itu mendengar sesuatu yang membuatnya menahan senyum. Heran, mengapa iapun menjadi suka merahasiakan hal yang demikian lucunya? Ia telah mendengar bunyi keruyuk dari perut pemuda itu! Biasanya, menghadapi peristiwa lucu seperti ini, ia tentu akan tertawa sejadi-jadinya dan tidak merahasiakan kegelian hatinya. Dan suara keruyuk perut pemuda itu mengingatkannya bahwa iapun sebenarnya sudah lapar sekali, apa lagi karena tadi berkelahi sehingga ia kehabisan tenaga, juga bekas tendangan Bhok Gun pada pinggangnya masih terasa nyeri. Ketika ia membersihkan tuhuhnya tadi, ia meraba pinggangnya dan ternyata kulit di bagian itu matang biru dan memar.

“Aih, perutku lapar sekali,” katanya sambil menekan senyum di hatinya. “Kau....?”

Pemuda itu mengangguk. “Aku juga lapar.”

“Dan pinggangku terasa nyeri, tadi kena tendang si jahanam Bhok Gun.”

“Bhok Gun? Laki-laki yang lihai itu? Orang apakah dia dan mengapa kau tadi dikeroyok? Siapa pula engkau, adik Bi Lan? Dari perguruan mana dan dari mana hendak ke mana?”

Kini Bi Lan memperoleh kesempatan untuk tetawa, melepas semua kegelian hati tanpa khawatir menyinggung seperti kalau ia mentertawakan keruyuk perut pemuda itu. “Hi-hi-hik, kau menghujankan pertanyaan seperti itu. Kalau kujawab semua, tentu membuat perutku semakin lapar saja.”

“Ohh, aku mempunyai dua buah bakpao yang kubeli siang tadi.” Pemuda itu melepaskan buntalan pakaiannya dan memang dia mempunyai dua buah bakpao yang cukup besar, yang dibungkus dalam kerras putih, “Sayang bakpao ini sudah dingin, akan tetapi masih baik.” Dia menyerahkan bakpao itu kepada Bi Lan.

Tanpa malu-malu lagi Bi Lan mengambil sebuah dan makan dengan lahap. Bakpao itu memang enak, lunak, dan dagingnya gurih. Kun Tek memandang dengan girang melihat betapa gadis itu makan demikian enaknya sehingga dia tidak tega untuk makan bakpao yang ke dua. Setelah bakpao itu habis dimakan Bi Lan, Kun Tek menyerahkan lagi yang ke dua.

“Nih, makanlah ini, nona. Engkau lapar sekali.”

Bi Lan memandang bakpao itu dengan mata masih ingin, karena selain bakpao itu enak, juga ia lapar sekali, belum cukup hanya oleh sebuah bakpao tadi. Akan tetapi ia teringat akan berkeruyuknya perut Kun Tek, maka ia menggeleng kepala.

“Tidak, engkau sendiri juga lapar. Makanlah yang itu.”

“Aku dapat bertahan sampai besok, adik Bi Lan....” Bi Lan tertawa dan pemuda itu memandang khawatir. Apa lagi yang ditertawakan, pikirnya. “Hi-hik, Cu Kun Tek, engkau ini memang orang aneh. Perut lapar berpura-pura lagi, dan bagaimana pula itu caramu memanggil aku. Sebentar adik, sebentar nona. Mengapa susah-susah amat sih? Namaku Bi Lan, panggil saja namaku seperti aku memanggil namamu Kun Tek. Kan lebih santai?”

Kun Tek tersenyum dan baru sekali ini Bi Lan melihat senyumnya. Wajah yang gagah itu tidak berapa menyeramkan kalau tersenyum. Memang tampan walaupun kulit muka itu agak gelap kehitaman.

“Maaf, aku memang canggung menghadapi wanita. Belum pernah punya teman wanita sih. Baiklah, aku memanggilmu Bi Lan saja. Nih, kaumakan saja ini, Bi Lan. Aku sudah sering kali menahan lapar, kalau sampai besok saja masih kuat.”

“Tidak, sedikitnya engkau harus makan sebagian, baru aku mau. Aku malu kalau harus menjadi orang yang pelahap dan tamak. Aku tadi mendengar perutmu berkeruyuk, tak perlu berpura-pura lagi.”

Terpaksa Kun Tek mengalah dan membagi bakpao itu menjadi dua. Mereka lalu makan bakpao dan agaknya bukit es yang menghalang di antara mereka kini sudah mencair sehingga mereka dapat bercakap-cakap dengan santai tanpa merasa sungkan-sungkan lagi seperti tadi.

“Bi Lan, sekarang ceritakanlah tentang dirimu, tentang peristiwa pengeroyokan tadi.”

“Nanti dulu,” bantah Bi Lan, kini merasa nyaman setelah perutnya kemasukan bakpao satu setengah potong dan kehangatan api unggun sungguh nikmat rasanya. “Aku ingin mendengar lebih dulu tentang kau, terutama sekali tentang ibumu yang menasihatkan bahwa engkau tidak boleh bermuka-muka kepada wanita. Siapakah ayah ibumu dan siapa gurumu?”

Kun Tek menarik napas panjang. Biasanya, dia tidak suka memperkenalkan namanya karena menurut ayahnya, nama besar di dunia kang-ouw itu hanya memancing datangnya banyak musuh dan lawan saja. Karena itulah dalam peristiwa di dusun itupun dia tidak mau memperkenalkan nama. Dan sebagai putera tunggal majikan Lembah Naga Siluman, tentu saja ada sedikit perasaan manja dalam hati Kun Tek, akibat kemanjaan yang diberikan ibunya, dan ada pula sifat sedikit tinggi hati. Akan tetapi dia sendiri merasa heran mengapa kini berhadapan dengan Bi Lan, dia menjadi lembut dan mau saja mengalah.

“Guruku adalah ayah ibuku sendiri,” dia mulai bercerita. “Ayahku bernama Cu Kang Bu dan tinggal di Lembah Naga Siluman di Pegunungan Himalaya. Aku dalam perjalanan merantau dan kebetulan sekali aku melihat peristiwa di dusun itu dan turun tangan membantumu melihat kau dikeroyok demikian banyak orang lihai. Nah, sekarang giliranmu bercerita.”

“Wah, sedikit amat kau cerita tentang dirimu!” “Habis, tidak ada apa-apa lagi yang patut diceri. takan, Bi Lan.”

Orang ini sungguh tidak ingin menonjolkan diri, pikir Bi Lan yang merasa semakin suka kepada Kun Tek. “Dan perbuatanmu di dusun ketika menolong sepasang pengantin dusun itu kauanggap tidak patut diceritakan?”

Kun Tek membelalakkan matanya memandang gadis itu. “Eh? Kau tahu tentang peristiwa itu?”

“Tentu saja, dari awal sampai akhir. Sejak kau memasuki ruangan itu, menghajar Phoa Wan-gwe dan para tukang pukulnya, sampai engkau meninggalkan ruangan tanpa memperkenalkan diri.” Bi Lan tersenyum. “Engkau sungguh gagah, Kun Tek.”

Kun Tek menundukkan mukanya, agak tersipu. “Ah, perbuatan seperti itu kan sudah seharusnya kita lakukan? Kalau tidak kita lakukan, lalu untuk apa kita bersusah payah mempelajari ilmu dan memiliki kepandaian silat? Nah, aku siap mendengarkan ceritamu, Bi Lan.”

“Pertama-tama, aku sudah tidak punya ayah ibu lagi.”

“Aduh kasihan! Apa yang terjadi dengan mereka?”

“Mereka telah meninggal dunia, tewas terbunuh orang-orang jahat ketika aku masih kecil.”

“Ah! Siapakah orang-orang jahat itu, Bi Lan Aku akan membantumu menghukum mereka itu!”

Bi Lan tersenyum. “Eh, bagaimana engkau begitu sembrono, Kun Tek? Bagaimana kalau keluargaku yang jahat, lalu mereka yang membunuh ayah ibuku itu yang benar dan baik?”

“Mana mungkin. Bukankah engkau tadi yang mengatakan sendiri bahwa ayah ibumu dibunuh orang jahat?”

“Itu kan aku yang mengatakan karena mereka membunuh orang tuaku. Siapa tahu mereka itu juga mengatakan bahwa kami orang jahat. Bagaimana engkau berani mempercayai aku begitu saja?”

Kun Tek tersenyum. “Memang benar kata-katamu, Bi Lan. Semua orang, baik atau buruk, tentu akan mengatakan jahat kepada musuhnya. Akan tetapi aku kan sudah berhadapan denganmu dan aku yakin bahwa orang seperti engkau ini tidak mungkin jahat.”

“Kenapa engkau begitu yakin?”

Kun Tek menatap wajah gadis itu. “Karena sikapmu, karena wajahmu, matamu dan mulutmu.... ah, sudahlah, Bi Lan, kaulanjutkan ceritamu. Kenapa orang tuamu dibunuh orang jahat?”

“Ketika aku masih kecil, berusia sepuluh tahun, bersama ayah ibu aku pergi meninggalkan kampung halaman kami di Yunan Selatan karena di sana dilanda perang. Di tengah jalan, kami dihadang sepasukan orang Birma. Ayah ibu terbunuh oleh mereka dan aku sendiri ditolong oleh tiga orang sakti yang kemudian mengambil aku sebagai murid dan mereka bertiga telah membasmi semua orang yang telah membunuh orang tuaku itu.”

“Ah, syukurlah kalau musuh-musuhmu sudah terbasmi. Siapakah tiga orang sakti yang menjadi gurumu itu?”

“Mereka berjuluk Sam Kwi.”

Kun Tek tidak menyembunyikan kekagetannya mendengar nama itu. Dia pernah mendengar dari ayahnya tentang tokoh-tokoh kaum sesat dan di antaranya yang menonjol adalah nama Sam Kwi.

“Kaumaksudkan.... Sam Kwi.... para datuk kaum sesat itu?” tanyanya ragu sambil memandang wajah Bi Lan.

Bi Lan tersenyum mengangguk. “Benar sekali. Nah, engkau tentu mulai meragukan pendapatmu bahwa aku orang-orang baik sekarang.”

Kun Tek menggeleng kepala. “Aku tidak percaya! Sungguh tidak mungkin seorang gadis seperti engkau ini menjadi murid tiga orang datuk sesat yang jahat.” Dia berhenti sebentar tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah gadis itu, lalu melanjutkan, “Seorang gadis yang berwatak gagah dan memiliki sifat baik seperti engkau tentu tidak akan mau menjadi murid datuk-datuk sesat yang kabarnya amat jahat seperti iblis itu. Aku tidak percaya.”

Bi Lan tersenyum. “Kun Tek, coba bayangkan ini. Andaikata engkau sendiri menjadi aku, dalam usia sepuluh tahun, melihat ayah ibu dibunuh orang-orang jahat, kemudian engkau sendiri diselamatkan oleh tiga orang datuk itu, yang juga membalaskan sakit hatimu dengan membasmi semua penjahat itu, dan kemudian tiga orang itu memeliharamu, mendidikmu dengan ilmu silat, apakah engkau akan menolaknya?” Dia memandang tajam. “Boleh jadi Sam Kwi amat jahat terhadap orang-orang lain, akan tetapi terhadap diriku mereka itu baik sekali.” Bi Lan masih merasa berhutang budi kepada tiga orang kakek itu, maka kepada siapapun juga ia tidak sudi menceritakan usaha mereka untuk memperkosanya.

Kun Tek mengangguk-angguk, dapat membayangkan keadaan gadis itu dan diapun tidak dapat menyalahkannya, bahkan kini dapat mengerti mengapa seorang gadis seperti Bi Lan ini menjadi murid Sam Kwi yang terkenal jahat. Makin heranlah hatinya. Kalau Bi Lan menjadi murid tiga orang datuk sesat, kenapa gadis ini tidak mengikuti jejak guru-gurunya dan bahkan menjadi seorang gadis yang berwatak gagah dan begini baik budi?

“Aku mengerti sekarang. Bi Lan dan maafkan kata-kataku tadi. Dan sekarang, ceritakan kenapa engkau dikeroyok oleh orang-orang lihai itu? Siapakah mereka?”

“Laki-laki yang lihai sekali itu, yang telah menendang pinggangku, masih terhitung seorang suhengku sendiri....“

“Ehh....?” Kembali Kun Tek terkejut, akan tetapi dia segera teringat siapa adanya guru-guru qadis ini, maka diapun tidak begitu heran lagi. “Siapa dia?”

“Namanya Bhok Gun, dia cucu murid mendiang Pek-bin Lo-Sian, paman guru dari Sam Kwi. Dia memang memusuhiku dan tadi dia ingin menangkapku, dibantu oleh anak buahnya, yaitu para anggauta Ang-i Mo-pang, dan dibantu lagi oleh para perwira yang aku sendiri tidak tahu siapa dan dari mana datangnya.”

“Sungguh mengherankan keadaanmu, Bi Lan. Engkau, seorang gadis perkasa yang baik budi, bukan saja menjadi murid orang-orang seperti Sam Kwi, akan tetapi juga dimusuhi oleh seorang suheng sendiri! Kenapa dia memusuhimu?”

“Karena dia cinta padaku.”

“Wah? Apa lagi ini? Dia cinta padamu maka dia memusuhimu? Aku tidak mengerti.”

“Dia cinta padaku, itu menurut pengakuannya dan dia hendak memaksa aku menjadi isterinya, sekutunya untuk bekerja sama membantu seorang pembesar di kota raja. Aku menolak dan dia lalu memusuhiku.”

“Hemmm, dan itu dia katakan mencinta? Mana ada cinta macam itu?” Kun Tek berseru marah.

Melihat kemarahan pemuda itu, Bi Lan tersenyum dan tertarik untuk membicarakan soal cinta yang juga tidak dimengertinya itu dengan pemuda ini. “Kun Tek, engkau lebih tua dariku dua tahun, tentu engkau lebih berpengalaman dan tahu tentang cinta. Apa sih sebenarnya cinta itu? Dan bagaimana seharusnya cinta itu?”

Kun Tek seringkali bicara tentang kehidupan, tentang cinta dan sebagainya dengan ibunya. Kini dia mengerutkan alisnya, sikapnya seperti seorang guru besar sedang memikirkan persoalan yang amat rumit, kemudian berkata, “Cinta itu sesuatu yang suci, mencinta berarti tidak akan memusuhi orang yang dicinta. Mencinta orang berarti ingin melihat yang dicintanya itu hidup berbahagia.”

“Bagaimana kalau orang yang dicinta tidak membalas?” Dara ini teringat akan Hong Beng yang mengaku cinta kepadanya dan yang tidak dibalasnya. “Apakah dia tidak akan merasa kecewa dan marah seperti halnya Bhok Gun itu?”

“Hemm, tentu saja kecewa dan patah hati, akan tetapi tidak marah dan tidak membenci orang yang menolak cintanya. Mungkin yang ada hanya duka dan kecewa. Kalau dia marah-marah lalu memusuhi orang yang dicintanya seperti yang dilakukan Bhok Gun itu, jelas dia itu tidak mencinta dan dia jahat sekali!”

Bi Lan menahan ketawanya melihat betapa pemuda itu menarik muka seperti seorang guru besar memberi kuliah. “Dan bagaimana kalau engkau sendiri yang jatuh cinta? Bagaimana kalau engkau mencinta orang? Apa yang akan kaulakukan kalau orang yang kaucinta itu tidak membalas cintamu, Kun Tek?”

“Aku tidak akan jatuh cinta!” Jawab Kun Tek dengan singkat dan tegas, dan mukanya berubah merah.

“Begitukah? Akan tetapi seandainya engkau yang jatuh cinta, bagaimana sikapmu terhadap orang yang kaucinta itu kalau ia tidak membalas cintamu?”

“Aku akan tetap mencintanya, melindunginya dengan taruhan nyawa, aku ingin melihat ia berbahagia.”

“Biarpun ia tidak menjadi isterimu dan biarpun ia hidup di samping laki-laki lain?”

“Ya....”

“Dan engkau akan merana selama hidupmu, kecewa dan putus asa?”

“Tidak, aku....aku ah, aku tidak akan jatuh cinta! Jatuh cinta itu suatu kebodohan!”

“Wah, ini sesuatu yang baru bagiku!” Bi Lan berseru dan matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan. Ternyata Kun Tek merupakan orang yang penuh kejutan dalam membicarakan soal cinta. “Jatuh cinta itu suatu kebodohan? Mengapa?”

“Karena jatuh cinta itu sama dengan mengundang datangnya duka nestapa dan kesengsaraan. Sekali orang jatuh cinta, berarti ia telah terperosok dengan sebelah kakinya ke dalam jurang yang akan membuat hidupnya merana.”

Bi Lan sengaja menarik mukanya seperti orang merasa ngeri. “Ihhh! Jadi, menurut pendapatmu, tidak ada orang berbahagia karena mencinta dan dicinta?”

Kun Tek teringat akan keadaan ayah ibunya. Dia tahu bahwa dalam banyak hal, ayahnya selalu mengalah kepada ibunya, dan ayahnya telah banyak menyimpan kedongkolan hatinya karena kekerasan hati dan kerewelan ibunya, dan semua itu dilakukan ayahnya karena dia mencinta isterinya. Dia menggeleng kepala. “Tidak ada! Cinta mendatangkan ikatan yang membuat orang selalu menderita duka. Dan kesetiaan seorang wanita terhadap kekasihnya sekali waktu akan teruji dan runtuh, dan sang pria yang akan menderita patah hati karena cinta, tenggelam dalam duka.”

Bi Lan merasa tersinggung dan menahan kemarahannya. Ia masih tersenyum ketika bertanya, “Jadi, menurut pendapatmu, semua wanita itu tidak setia dan karenanya engkau tidak mau jatuh cinta?”

“Begitulah. Aku hanya akan jatuh cinta kalau ada wanita yang setia sampai mati, yang lemah-lembut dan baik budinya, cantik jelita lahir batin, yang mencinta suaminya dengan seluruh tubuh dan jiwanya, yang selalu menyenangkan hati suaminya, tiada cacat celanya....“

“Perempuan begitu bukan manusia! Harus di pesan langsung ke surga, di antara bidadari dan malaikat! Pendapat seperti itu adalah pendapat orang gila yang tolol, sombong dan keras kepala.”

Melihat Bi Lan sudah bangkit berdiri, membanting kaki dan mukanya membayangkan kemaraharan itu, Kun Tek terkejut dan terheran-heran. “Kau.... kau marah-marah, Bi Lan? Kenapa?”

Bi Lan segera teringat akan keadaan dirinya dan ia sadar kembali. Kenapa ia harus marah-marah? Biarlah pemuda ini berpendapat apa yang disukainya, walaupun pendapat itu tolol dan merendahkan kaum wanita. Hemm, ia ingin sekali membuat pemuda itu kecelik, membuat pemuda itu tersandung pendapatnya sendiri dan bertekuk lutut! Iapun menarik napas panjang dan duduk kembali.

“Maaf, aku lupa diri.... ah, aku sudah mengantuk, aku ingin tidur.”

“Tidurlah, beristirahatlah, biar aku yang berjaga di sini.”

Bi Lan lalu merebahkan dirinya miring di dekat api unggun, berbantal buntalan pakaiannya. Melihat ini, Kun Tek cepat membuka buntalan pakaiannya. “Aku, membawa selimut tipis, kaupakailah ini,” katanya sambil menyerahkan selimut itu.

“Tidak, aku tidak perlu selimut. Api itu sudah cukup hangat,” kata Bi Lan. Suaranya masih ketus karena hatinya masih panas. Kalau ia memaksa diri untuk tidur, hal itu hanyalah untuk mencegah agar ia jangan sampai lupa diri dan marah-marah lagi.

“Terserah kepadamu, Bi Lan,” kata Kun Tek yang duduk kembali termenung memandang api unggun, menambahkan kayu bakar yang tadi dikumpulkannya. Dia melirik ke arah tubuh Bi Lan. Seorang gadis yang hebat, pikirnya. Karena rebah miring, nampak jelas lekuk lengkung tubuh gadis itu yang bagaikan serangkai bunga sudah mulai mekar. Rambutnya yang tadinya dibiarkan terurai menutupi sebagian lehernya, dan di antara celah–celah gumpalan rambut nampak kulit leher yang mulus dan kuning lembut, seperti mengeluarkan kehangatan, seperti mengeluarkan kehangatan yang lebih nyaman dari pada kehangatan api unggun. Rambut itu terus menyelimuti pundak dan punggung.

Tiba-tiba Bi Lan membuka mata dan cepat Kun Tek memutar leher mengalihkan pandangannya kembali kepada api unggun. Dia tidak mau gadis itu melihatnya memperhatikan.

“Kun Tek, benarkah engkau takkan jatuh cinta kecuali kalau ada gadis.... yang.... bagaimana tadi? Gadis yang setia sampai mati, yang lemah lembut dan baik budi, yang cantik lahir batin, yang mencinta dengan tubuh dan nyawa. Bagaimana kalau ada gadis seperti itu turun dari kahyangan dan menjumpaimu? Engkau akan jatuh cinta kepadanya?

“Mungkin ya, mungkin juga tidak.”

“Lho! Kok mungkin juga tidak? Bagaimana pula ini?” Bi Lan kembali bangkit duduk saking herannya mendengar jawaban itu. Kantuknya hilang seketika dan ia duduk memandang pemuda itu dengan mata terbelalak.

“Tergantung cocok atau tidaknya seleraku.”

Hampir saja Bi Lan memukul pemuda itu, akan tetapi ia masih menahan perasaannya dan berseru, “Engkau memang orang gi....“ ia masih sempat menahan makiannya. Pemuda ini baru saja dikenalnya, belum ada satu hari, tidak baik kalau ia mengeluarkan kemarahannya secara terbuka.

“Apa....?”

“Orang aneh sekali, belum pernah aku jumpa orang seaneh kau. Hemm, aku mau tidur!” Dan dengan keras Bi Lan membanting tubuhnya lagi di atas tanah berumput, membalikkan tubuh, miring membelakangi pemuda itu dan selanjutnya tak mau menengok lagi. Begitu mengkal rasa hatinya, gemas dan dongkol tapi ditekan dan ditahannya.

Sementara itu, Kun Tek duduk termenung memandang api. Hati dan pikirannya penuh dengan diri Bi Lan. Gadis yang aneh sekali, pikirnya, aneh dan menarik. Baru saja mengenalnya sudah berani memaki-makinya. Gila, tolol, sombong dan keras kepala! Kalau saja dia dimaki seperti itu oleh orang lain, tanpa sebab tertentu, agaknya dia tidak akan dapat menahan diri dan akan menghajar orang itu. Akan tetapi stingguh aneh. Kenapa dia dimaki-maki oleh gadis ini dan sama sekali tidak ada rasa marah di hatinya, melainkan bingung dan menyesal? Apakah karena mendengar akan nasib gadis ini yang ayah bundanya mati terbunuh orang ketika masih kecil membuat dia merasa kasihan dan mengalah?

Sementara itu, Bi Lan yang tidur miring membelakangi pemuda itu, merasa mendongkol sekali. Biarpun Kun Tek tidak menujukan pandangannya tentang perempuan itu kepada dirinya, akan tetapi ia merasa mendongkol dan seperti mewakili semua perempuan yang dipandang rendah oleh Kun Tek. Sombongnya! Iapun merasa penasaran. Hampir semua pria yang dijumpainya, selalu memandang kepadanya dengan sinar mata kagum dan suka, akan tetapi Kun Tek bersikap seolah-olah ia hanya terbuat dari angin saja! Dianggap angin lalu! Tidak memperlihatkan kemarahan, tidak pernah memuji, apa lagi kelihatan tertarik. Bahkan jelas-jelas memandang rendah kepadanya ketika mengatakan bahwa dia takkan jatuh cinta kecuali kepada perempuan khayalnya tadi. Tanpa cacat cela! Serba sempurna! Phuahhh! Dengan hati penuh kemurungan dan kesebalan, akhirnya Bi Lan tidak ingat apa-apa lagi karena sudah tidur pulas.

***

Rasa dongkol itu agaknya tidak juga terhapus oleh tidurnya. Begitu ia terbangun dari tidurnya, Bi Lan sudah teringat lagi dan merasa tak senang dan dongkol. Akan tetapi, ketika ia bangkit duduk dan melihat kain yang menyelimuti tubuhnya, rasa panas dongkol itu menjadi agak dingin. Semalam Kun Tek telah menyelimuti tubuhnya! Ia menoleh ke kanan kiri. Pemuda itu tak nampak, akan tetapi buntalan pakaiannya masih berada di situ. Sinar matahari pagi telah mengusir kegelapan malam dan api unggun sudah padam, baru saja padam karena masih berasap, agaknya padam setelah ditinggalkan pemuda itu.

Bi Lan menggeliat, seperti seekor kucing betina baru bangun dari tidurnya. Dan iapun menyeringai karena ketika ia menggeliat, terasa pinggangnya masih nyeri. Keparat Bhok Gun, ia memaki dalam hatinya, dilipatnya kain selimut itu dan diletakkannya di atas buntalan pakaian Kun Tek, lalu ia duduk melamun.

Pemuda macam itu yang demikian sombong, perlu apa didekati, pikirnya. Menurut hatinya yang panas, ia ingin pergi sekarang juga tanpa pamit. Akan tetapi, pikirannya mengatakan lain. Terlalu enak bagi Kun Tek kalau dibiarkan mengembang kempiskan hidungnya dengan sombong, melanjutkan pendapatnya yang memandang rendah kaum wanita. Pemuda seperti itu harus diberi pelajaran, harus dibuktikan bahwa pendapatnya itu hanya timbul sebagai suatu kepongahan, kesombongan, dan gertakan atau bualan belaka. Ia harus dapat membuat dia bertekuk lutut untuk membuktikan kepalsuan pendapatnya yang sombong itu.

“Bi Lan, kau sudah bangun? Nih, lihat apa yang kudapatkan!” Tiba-tiba terdengar suara Kun Tek dari jauh dan nampak pemuda itu berlari-lari datang sambil memanggul seekor kijang muda yang sudah mati. Binatang itu dia turunkan di depan kaki Bi Lan dan dia berkata, “Bi Lan, ketika aku mandi, nampak binatang ini turun minum air di hulu sungai maka aku berhasil merobohkannya dengan lemparan batu. Apakah kau dapat memasak dagingnya?”

Tadinya Bi Lan hendak menolak, akan tetapi ia teringat akan niat hatinya, maka ia tersenyum manis dan menjawab, “Tentu saja bisa. Tapi bumbu-bumbunya....“

“Jangan khawatir. Buntalan pakaianku itu merupakan sebuah almari yang cukup lengkap. Lihat ini, ada garam, ada bawang ada kecap, bahkan aku membawa sebuah panci,” katanya gembira dan ketika dia mengangkat muka menatap wajah gadis itu, hampir saja Kun Tek terpesona. Wajah itu, wajah yang baru bangun tidur dan belum mencuci muka, namun begitu manis luar biasa. Rambutnya yang kemarin riap-riapan itu kini sudah kering dan awut-awutan, akan tetapi menambah kemanisannya. Apa lagi gadis itu tersenyum dan nampak lesung pipit di kanan kiri mulutnya, dengan bibir yang merah basah dan kedua pipi yang kemerahan, sepasang mata yang begitu bening dan bersinar tajam. Bukan main!

“Kau kenapa, Kun Tek?”

“Tidak apa-apa....“ pemuda itu agak panik. “Hanya.... sayang sekali aku tidak mempunyai beras atau gandum....”

“Kijang muda ini cukup gemuk dan kurasa dagingnya cukup untuk mengenyangkan kita, malah takkan termakan habis.”

“Biar sebagian kubikin dendeng agar dapat dibawa sebagai bekal.”

“Aku mau mandi dulu,” kata Bi Lan.

“Pergilah, aku akan mengulitinya. Mandinya di tempat kau membersihkan tubuh dan pakaianmu semalam, Bi Lan. Airnya jernih dan sejuk.”

“Baik, akan tetapi kau jangan ke sana selagi aku mandi,” kata Bi Lan sambil mengerling danmenahan senyum, sikap yang manja dan menarik sekali. Kembali Kun Tek melongo, kagum melihat segala keindahan wanita yang berada di depannya itu.

“Mau apa ke sana? Aku.... aku tidak sekurang ajar itu, Bi Lan.”

“Siapa tahu? Laki-laki biasanya suka mengintai, biasanya memang kurang ajar,” kata Bi Lan dan tanpa menanti jawaban Kun Tek, sambil terkekeh ia lalu lari menuju ke anak sungai yang berada tak jauh dari tempat itu, namun tidak nampak terhalang oleh sekelompok pohon.

Sambil mandi, Bi Lan mengepal tinju. “Akan kujatuhkan kau, manusia sombong!” katanya. Ia teringat betapa sucinya, Bi-kwi pernah bercakap-cakap tentang pria dengannya, pada saat hati sucinya itu sedang puas dan senang. Mula-mula ia yang menegur sucinya mengapa sucinya suka bermain-main dengan pria, berganti-ganti pria.

“Aku suka mempermainkan pria, siapa saja yang menarik hatiku.”

“Ah, bagaimana kalau ada yang menolakmu, suci? Bukankah engkau akan malu sebagai wanita ditolak pria?“

“Hemm, laki-laki mana yang mampu menolak? Kalau diusahakan, kita kaum wanita, asalkan tidak cacat atau buruk sekali rupanya, akan mampu menundukkan laki-laki yang manapun juga. Betapapun gagah dan kuatnya pria, akan mudah bertekuk lutut kalau kita hadapi dengan senyum, dengan kerling mata memikat, dengan gerak-gerik yang luwes dan menggairahkan.”

Mengingat akan ucapan sucinya itulah Bi Lan kini mengambil keputusan untuk menjatuhkan Kun Tek, hanya untuk membuktikan bahwa pendapat Kun Tek tentang wanita tidak benar, bahwa Kun Tek dapat jatuh cinta kepada seorang wanita, bukan seorang perempuan khayal. Ia merasa penasaran dan ingin memberi pelajaran kepada pemuda yang dianggapnya membual dan sombong itu.

Setelah selesai mandi, Bi Lan membereskan pakaiannya, mematut-matut diri dan menyisir rambutnya. Ia nampak semakin segar dan cantik jelita walaupun pakaiannya sederhana ketika dengan langkah perlahan ia kembali ke tempat di mana Kun Tek sibuk menguliti kijang tadi.

“Sudah selesaikah engkau menguliti kijang itu?” tanya Bi Lan dengan suara halus dan manis.

Kun Tek yang sedang berjongkok dan sibuk itu menoleh dan mengangkat mukanya. Dengan girang dan diam-diam mentertawakan pemuda itu, Bi Lan melihat betapa sepasang mata pemuda itu kini kehilangan sinar yang dingin dan acuh itu. Sinar mata itu kini penuh semangat memandang kepadanya, penuh kekaguman. Dan memang Kun Tek terpesona. Karena Bi Lan datang dari arah timur, maka sinar matahari pagi nampak di belakang gadis itu, seperti cahaya keemasan mengantar dara manis itu, membuat ia nampak gilang-gemilang seperti seorang dewi pagi turun dari kahyangan menyeberang ke bumi melalui cahaya matahari!

“Kau.... kenapa, Kun Tek?” Bi Lan menegur, menahan tawanya dan hanya tersenyum manis melihat betapa pemuda itu berjongkok seperti patung memandang kepadanya, tangan kanan memegang pisau berlumur darah, tangan kiri memegang sepotong tulang.

“Mau diapakan tulang itu?”

“Apa....? Tu.... tulang....?” Kun Tek tergagap dan baru dia melihat bahwa dia masih memegang tulang dan baru ia sadar bahwa dia melongo seperti orang bodoh, terlongong seperti orang bengong. “Eh, ini.... aku sudah selesai menguliti kijang dan sedang menyayati dagingnya.Kau.... kau nampak....“

“ Ya....?” Senyum itu semakin manis. “Nampak bagaimana....?”

“Anu.... nampak....segar sekali!”

Bi Lan tertawa renyah dan menghampiri pemuda itu. Pesona itu membuyar dan Kun Tek menyerahkan potongan-potongan daging kepada Bi Lan. “Cukupkah sebegini? Kalau cukup, lainnya akan kubuat dendeng.”

“Cukup, kita berdua menghabiskan daging sebeginipun sudah akan kenyang sekali,” jawab Bi Lan. Kun Tek sudah menyalakan lagi api unggun dan sudah menyiapkan semua keperluan masak seperti panci, bumbu-bumbunya dan dia lalu membawa kulit, tulang-tulang dan sebagian daging yang akan dibuatnya dendeng, lalu pergi agak menjauh.

Tak lama kemudian, setelah keduanya bekerja tanpa bicara, merekapun menghadapi masakan daging kijang yang dibuat oleh Bi Lan. Sejak kecil, Bi Lan yang melayani gurunya memang sudah biasa memasak, bahkan biasa masak bahan-bahan yang sederhana menjadi masakan yang cukup enak. Dengan bumbu seadanya, ia telah membuat dua macam masakan saja, yaitu daging panggang dan masakan yang ada kuahnya. Dan karena mereka berdua merasa lapar sekali, ditambah suasana yang amat menyenangkan hati, keduanya makan dengan lahap. Apalagi Kun Tek. Dia makan dengan lahap dan kelihatan nikmat sekali.

“Lunak sekali masakanmu, Bi Lan. Daging kuah ini gurih dan sedap, dan panggang dagingnya juga enak. Kau memang pandai memasak!” puji Kun Tek sambil meggerogoti daging panggang.

Bi Lan tersenyum. “Terima kasih atas pujianmu, Kun Tek. Bagaimana dengan wanita khayalmu itu, Kun Tek?”

“Wanita khayal....? Apa.... apa makudmu, Bi Lan?” Kun Tek benar terkejut mendengar pertanyaan yang tak diduga-duganya itu.

“Wanita khayalmu yang tanpa cacat itu, Apakah diapun pandai masak?” Bi Lan menatap tajam wajah Kun Tek yang kulitnya menjadi semakin gelap ketika dia teringat akan makna pertanyaan itu.

“Tentu saja.... tentu saja seorang wanita harus pandai masak, kalau tidak, ia tidak lengkap menjadi seorang wanita, bukankah begitu?” Kun Tek dibesarkan di daerah barat di mana kaum wanita bertugas di dapur, tidak seperti suku bangsa di selatan yang kedudukannya terbalik, yaitu kaum prianya yang biasa memasak di dapur sedangkan para wanitanya biasa pula memikul air dan bekerja di sawah.

Mereka selesai makan dan ketika Bi Lan hendak mencuci tangannya, ia mengeluh. Ketika bangkit dari duduk di atas tanah itu, gerakan ini mendatangkan rasa nyeri yang menusuk pada pinggangnya. “Aduhhh....“

Kun Tek terkejut dan cepat menghampiri. “Kau kenapa, Bi Lan?” Melihat gadis itu menekan-nekan pinggangnya yang kiri, dia bertanya, “Apakah pinggang yang kena tendang lawan itu masih terasa nyeri Bi Lan mengangguk dan menyeringai kesakitan. “Nyeri sekali kalau aku memutar pinggang, seperti tertusuk rasanya.”

“Wah, jangan-jangan ada yang terkilir di situ. Kalau terkilir harus cepat-cepat dibetulkan letak otot-ototnya, Bi Lan, kalau tidak bisa membengkak dan semakin berbahaya.”

Bi Lan menatap wajah pemuda itu dengan sinar mata tajam. “Kau mau mengobati pinggangku?

Malam tadi engkau mengobati kakiku yang terkilir, engkau tentu ahli membetulkan otot yang terkilir.”

Kun Tek tersenyum dan mengangguk. “Aku pernah mempelajarinya dari ayah. Kalau engkau mau, tentu saja aku suka sekali mencoba untuk memeriksa dan membetulkan letak otot yang terkilir.

“Tentu saja aku mau, kenapa kau bertanya lagi. Siapa orangnya diobati sampai sembuh tidak mau?”

“Tapi.... untuk memeriksa dan membetulkan bagian yang terkilir, aku harus melihatnya, menyentuhnya dan membetulkannya dengan pijatan-pijatan dan urutan-urutan, aku harus.... menangani bagian pinggangmu yang terkilir itu.”

Diam-diam Bi Lan tertawa dalam hatinya. “Kalau begitu mengapa? Nah, kaulakukanlah cepat agar nyerinya segera hilang.” Tanpa ragu-ragu lagi Bi Lan lalu agak menurunkan celananya di bagian kanan dan menarik ke atas bajunya bagian itu juga sehingga nampaklah kulit pinggangnya yang putih mulus, ke bawah sampai di lekuk pinggul dan ke atas sampai pada permulaan bukit dada.

Biarpun jantung berdebar seperti diguncang-guncang keras, Kun Tek menekan perasaannya dan dengan sikap biasa seolah-olah dia hanya akan mengobati lengan atau kaki saja, dia mulai memeriksa bagian pinggang itu dengan jari-jari tangannya yang terlatih. Setelah memijit sana mengelus sini, tak lama kemudian dia dapat meraba dan menentukan bahwa memang ada otot yang terkilir, akan tetapi tidak berapa parah dan mungkin rasa nyeri itu hanya karena memar saking keras dan kuatnya tendangan. Akan tetapi, cukup lama baginya meraba-raba itu sehingga mukanya penuh keringat, dan terasa jelas oleh Bi Lan betapa jari-jari tangan itu gemetar dan panas dingin!

Bi Lan menahan senyumnya, senyum kemenangan melihat betapa pemuda itu kini mulai mengobati pinggangnya dengan tekanan dan pijatan jari-jari tangannya yang gemetar dan ketika ia menoleh, ia melihat betapa pemuda itu telah memejamkan kedua matanya!

“Aduhh.... jangan kuat-kuat.... di situ nyeri....!” Bi Lan sengaja merintih, lalu bertanya dengan nada suara heran, “Kun Tek, kenapa engkau memejamkan kedua matamu?”

Pertanyaan yang tiba-tiba itu mengejutkan Kun Tek dan dia cepat membuka matanya, akan tetapi ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata gadis itu, yang seolah-olah sinarnya menusuk dan menjenguk ke dalam jantungnya, dia cepat memejamkan kembali kedua matanya. “Ah, aku sudah terbiasa, ketika belajar dulu. Dengan memejamkan kedua mata, jari-jari tanganku lebih peka....”

“Tapi ketika engkau mengobati kakiku yang terkilir, matamu tidak kaupejamkan! Jangan-jangan engkau memejamkan matamu agar tidak melihat pinggangku!”

“Ah, kenapa?” bantah Kun Tek tanpa membuka matanya.

Bi Lan tertawa dalam hatinya. “Siapa tahu, pinggangku buruk.”

“Pinggangmu bagus sekali!”

“Kulitnya kasar dan hitam.”

“Tidak, halus dan putih mulus.”

“Mungkin bau keringatku tidak enak sehingga kau muak.”

“Bau keringatmu sedap, Bi Lan.”

Hampir Bi Lan tak mampu menahan ketawanya dan ia cepat menutup mulutnya dengan tangan. Ia telah menjalankan siasat seperti yang pernah didengarnya dari sucinya, si ahli pemikat laki-laki itu dan ternyata baru sebegitu saja, ia sudah merasa dapat menguasai Kun Tek! Memang pinggangnya masih terasa agak sakit, akan tetapi tidaklah begitu nyeri dan sebetulnya tidak perlu disembuhkan dengan pijat. Tadi ia hanya berpura-pura saja untuk memancing Kun Tek dan ternyata siasatnya itu berhasil baik. Ia berhasil membuat pemuda ini berpeluh dan gemetar, bahkan lalu memuji-mujinya.

“Sudah cukup, Kun Tek, sekarang tidak terasa nyeri lagi. Terima kasih.”

Ada dua macam perasaan menyelinap di hati pemuda itu ketika Bi Lan berkata demikian. Ada rasa lega karena dia seperti terbebas dari ketegangan yang membuat dia berpeluh dan gemetar, akan tetapi ada rasa kecewa pula bahwa jari-jari tangannya harus meninggalkan buah pinggang yang ramping, gempal, lunak, halus dan hangat itu.

“Tidak perlu berterima kasih, Bi Lan. Bukankah kita sudah menjadi sahabat baik dan sudah sepatutnya kalau kita saling menolong?”

Bi Lan mau melanjutkan siasatnya untuk mencoba dan menjatuhkan Kun Tek agar ia dapat memberi pelajaran kepada laki-laki yang sombong ini. Ia lalu bangkit dan mengemasi buntalan pakaiannya, menggendongnya di punggung kembali.

“Sekarang tiba saatnya aku melanjutkan perjalananku. Selamat berpisah, Kun Tek. Engkau baik sekali dan terima kasih.” Berkata demikian, Bi Lan lalu meloncat pergi.

“Eh, Bi Lan, nanti dulu....” Kun Tek berseru dengan kaget. Keputusan Bi Lan yang tiba-tiba untuk meninggalkannya itu sungguh mengejutkan hatinya. “Engkau hendak ke mana?”

“Aku hendak melanjutkan perjalananku.”

“Kita dapat melakukan perjalanan bersama....”

“Tidak, aku mempunyai urusan penting sekali!“

“Aku akan membantumu, Bi Lan, sampai engkau berhasil dalam urusan itu!”

Bi Lan tersenyum manis. “Engkau memang seorang yang baik budi, Kun Tek. Akan tetapi, aku merasa tidak enak kalau harus mengganggumu selalu. Di antara kita tidak ada hubungan apa-apa....”

“Kita sahabat baik!”

Bi Lan mempermanis senyumnya sehingga nampak lesung pipit di kanan kiri. Manis sekali. “Memang, engkau seorang sahabatku yang baik sekali. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa engkau harus bersusah payah selalu untukku. Nah, selamat tinggal!”

“Bi Lan....!” Kun Tek berseru akan tetapi gadis itu tidak menoleh lagi dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.

“Bi Lan....! “ Kun Tek berteriak lagi dan diapun cepat mengumpulkan barang-barangnya, berkemas sambil kadang-kadang menengok ke depan, ke arah perginya Bi Lan yang kini sudah tidak nampak lagi bayangannya itu. Hati Kun Tek terasa panik dan khawatir sekali kalau-kalau dia akan kehilangan gadis itu dan tidak akan bertemu lagi dengannya.

Akan tetapi sebelum dia berlari untuk melakukan pengejaran, tiba-tiba berkelebat bayangan yang agaknya sejak tadi bersembunyi di balik semak-semak di seberang ladang itu dan bayangan ini membentak, “Manusia tak tahu malu, berhenti dulu aku mau bicara!”

Kun Tek terkejut, tidak menyangka di tempat sunyi itu ada orang bersembunyi di belakang semak-semak. Ketika dia membalikkan tubuhnya, ternyata orang itu adalah seorang pemuda yang usianya sebaya dengan dia, seorang pemuda bermuka bersih cerah, berkulit kuning. Seorang pemuda yang tampan walaupun pakaiannya yang berwarna biru itu amat sederhana.

Dengan alis berkerut, Kun Tek memandang tajam dan menegur, “Siapakah engkau dan ada urusan apa dengan aku maka engkau datang-datang mengatakan aku tidak tahu malu?”

Pemuda ini bukan lain adalah Gu Hong Beng! Pemuda ini merana sejak ditinggal pergi Bi Lan. Sakit sekali rasa hatinya oleh penolakan Bi Lan terhadap cintanya. Dia merasa hidupnya seakan-akan menjadi kosong dan sunyi. Dia melanjutkan perjalanan untuk memenuhi perintah gurunya, menuju ke kota raja, namun semangatnya sudah menipis sekali.

Malam tadi dia secara kebetulan sekali mengambil jalan yang sama dengan Bi Lan sehingga ketika Bi Lan yang ditolong oleh Kun Tek berhenti di tempat mereka melewatkan malam, dari jauh Hong Beng melihat api unggun mereka. Pemuda ini menjadi curiga melihat api unggun dan dengan hati-hati dia mendekati. Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia melihat Bi Lan sedang tidur dan rebah miring di dekat api unggun, dan hati yang tadinya menjadi girang itu tiba-tiba berubah panas penuh rasa cemburu ketika dia melihat seorang pemuda tinggi besar menggunakan kain untuk menyelimuti tubuh Bi Lan yang tidur pulas! Dan diapun segera mengenal pemuda tinggi besar itu sebagai pemuda yang dipuji-puji oleh Bi Lan, pemuda yang turun tangan menghajar Phoa Wan-gwe dan tukang-tukang pukulnya. Dengan hati panas penuh rasa cemburu, Hong Beng lalu bersembunyi dan melakukan pengintaian. Dia merasa tidak enak kalau harus muncul menemui Bi Lan pada saat itu, apa lagi melihat gadis itu sedang tidur nyenyak. Dia ingin sekali melihat apa yang akan dilakukan dua orang muda itu, ingin melihat sampai sejauh mana hubungan di antara mereka yang nampaknya sudah akrab itu. Panas sekali hatinya. Tak disangkanya Bi Lan yang baru saja meninggalkannya, kini sudah bersahabat dengan seorang pria lain, dan mengingat betapa Bi Lan memuji-muji pemudatinggi besar itu, hatinya penuh rasa iri dan cemburu.

Dia melihat segala yang terjadi dari tempat sembunyinya. Dia memang tidak melihat pemuda itu melakukan sesuatu, kecuali menyelimuti tubuh Bi Lan dengan kain, akan tetapi itupun dilakukannya dengan sikap sopan. Kemudian melihat betapa mereka berdua itu bercakap-cakap yang tak dapat didengar suaranya karena tempat sembunyinya cukup jauh. Dan hatinya semakin panas melihat betapa mereka berdua itu makan bersama dengan sikap yang demikian gembira. Akan tetapi, ketika dia melihat betapa pemuda itu mengobati pinggang Bi Lan dengan jalan meraba dan memijat pinggang yang telanjang itu, hampir dia tidak dapat menahan diri yang dibakar oleh api cemburu! Dia dapat menduga bahwa tentu pemuda itu melakukan semacam pengobatan, akan tetapi caranya yang membuat dia tidak kuat menahan kemarahan hatinya. Pemuda itu begitu saja, dengan tangan telanjang, meraba dan memijat pinggang yang tidak tertutup itu. Kenapa Bi Lan membiarkan tubuhnya dipegang-pegang? Dan pemuda itu, betapa kurang ajar dan tidak sopan sekali!

Ketika dia melihat Bi Lan pergi meninggalkan pemuda itu dan melihat pemuda itu agaknya hendak mengejar, memanggil-manggil nama Bi Lan begitu saja, diapun cepat meloncat keluar dari tempat persembunyiannya dan lari menghampiri Kun Tek. Tibalah saatnya untuk turun tangan menghajar pemuda tak sopan itu, karena kalau Bi Lan masih berada di situ, tentu saja dia merasa malu untuk mencampuri urusan pribadi mereka. Kini Bi Lan tidak ada dan dia boleh menumpahkan semua perasaan hatinya yang panas dan penuh cemburu kepada pemuda itu.

Sejenak dua orang itu berdiri saling berhadapan dan saling memperhatikan dengan sinar mata tajam. Dua orang pemuda yang sebaya dan sama-sama tampan dan gagah. Hanya bedanya, kalau wajah Hong Beng diliputi kemarahan dan kebencian, sebaliknya wajah Kun Tek mengandung keheranan dan penasaran.

“Gadis yang baru pergi tadi, apamukah ia? Isterimukah?” Hong Beng bertanya, suaranya ketus.

Kerut merut di antara alis yang tebal di wajah Kun Tek makin mendalam dan sinar matanya menyambar marah ke arah penanya itu. “Hemm, apa sangkut-pautnya hal itu denganmu?”

“Sangkut-pautnya dekat sekali!” kata Hong Beng semakin marah. “Gadis itu, Can Bi Lan, adalah seorang sahabatku!”

Kun Tek terbelalak dan memandang penuh selidik. Kalau pemuda ini sahabat baik Bi Lan, kenapa mengambil sikap bermusuh dengannya? “Begitukah? Akupun sahabat Bi Lan, sahabat baiknya.”

“Tak perlu engkau mengelabuhi aku. Engkau baru saja bertemu dengannya, karena ketika kami berdua melihat engkau turun tangan terhadap Phoa Wan-gwe, ia belum mengenalmu.”

“Ah, kiranya engkaupun bersama Bi Lan ketika melihat aku melawan anak buah Phoa Wan-gwe? Kalau begitu tentu benar seorang sahabat. Siapakah engkau, sobat?”

“Aku Gu Hong Beng.”

“Namaku Cu Kun Tek.”

“Engkau seorang pemuda yang tidak sopan dan kurang ajar! Engkau sangat tidak tahu malu!”

Tentu saja Kun Tek kembali terbelalak dan dia mulai marah. “Saudara Gu Hong Beng, seingatku, baru sekarang kita saling berhadapan. Aku belum pernah mengganggumu, akan tetapi mengapa engkau datang-datang memaki-maki aku? Jelaskan, apa kesalahanku maka engkau memaki aku?”

“Engkau masih pura-pura tidak tahu? Apa yang kaulakukan terhadap nona Can Bi Lan tadi? Kaukira aku tidak tahu? Sejak semalam aku sudah berada tak jauh dari sini dan menyaksikan semua perbutanmu yang tidak senonoh.”

“Eh-eh-eh, apakah engkau ini orang gila? Aku tidak melakukan sesuatu yang tidak baik, kenapa mulutmu kotor sekali memaki-maki orang?”

“Hemm, dasar muka tebal! Engkau tadi meraba-raba dan memijati pinggang Bi Lan begitu saja, tanpa kain penutup, apakah kaukira perbuatan itu pantas dan patut dilakukan oleh seorang yang sopan? Engkau memang laki-laki ceriwis dan keji, mempergunakan kelemahan seorang gadis yang masih hijau untuk merayu. Orang macam engkau ini harus dihajar!” Berkata demikian, Hong Beng yang menjadi semakin marah karena membayangkan apa yang terjadi tadi, sudah menerjang dengan dahsyatnya.

“Ah, manusia tolol!” Kun Tek mengelak dengan lompatan ke samping. Diam-diam dia terkejut sekali karena serangan Hong Beng tadi benar-benar amat dahsyat dan berbahaya. Baru angin pukulan saja menyambar sedemikian kuatnya. “Aku mengobatinya karena pinggangnya terkilir, dan kau menuduh yang bukan-bukan!”

“Aku bukan anak kecil,” kata pula Hong Beng marah, “aku tahu bahwa engkau melakukan pengobatan, akan tetapi itu hanya dalih agar engkau dapat meraba-raba tubuhnya. Keparat, apakah engkau pura-pura tidak tahu bahwa yang boleh melakukan seperti itu hanya antara suami isteri saja? Engkau memang berwatak cabul. Jai-hwa-cat!”

Dimaki jai-hwa-cat atau penjahat pemetik bunga, sebutan bagi penjahat yang suka memperkosa wanita, Kun Tek marah bukan main. “Jahanam bermulut kotor, kaukira aku takut padamu?” Dan diapun maju menyerang, membalas serangan Hong Beng tadi. Hong Beng sudah tahu akan kelihaian lawan, maka diapun cepat menangkis sambil mengerahkan tenaga Hui-yang Sin-kang.

“Dukk....!” Keduanya terpental ke belakang dan Kun Tek terkejut bukan main ketika merasa betapa lengannya dijalari hawa yang amat panas. Cepat dia mengerahkan tenaga sin-kang untuk melawan. Di lain pihak, Hong Beng juga terkejut karena lawannya memiliki tenaga yang amat kuat sehingga diapun terdorong mundur.

Segera dua orang pemuda ini terlibat dalam perkelahian seru. Mereka berdua sama sekali tidak sadar bahwa perkelahian yang seru dan mati-matian itu hanya disebabkan oleh hal yang sepele saja! Karena cemburu! Mereka berkelahi seolah-olah saling memperebutkan Bi Lan.

Setelah Hong Beng mengeluarkan ilmu-ilmu silat dari Pulau Es, Kun Tek terkejut dan terdesak. Dia tidak mengenal ilmu silat itu, hanya merasa betapa ilmu silat lawannya itu makin lama semakin kuat. Karena maklum betapa lihainya lawan, Cu Kun Tek yang kini menjadi penasaran dan marah sekali, sudan mencabut senjatanya, yaitu sebatang pedang yang mengeluarkan sinar berkilauan dan hawa yang menyeramkan. Begitu dia mengelebatkan pedang itu, terdengar suara mengaum keras yang amat mengejutkan hati Hong Beng. Pemuda ini segera tahu bahwa lawannya memiliki sebatang pedang pusaka yang amat ampuh. Dia tidak merasa jerih, akan tetapi bersikap hati-hati sekali.

“Tahan senjata....!” Terdengar bentakan halus dan tiba-tiba saja muncullah Bi Lan di situ. Melihat gadis yang sesungguhnya menjadi penyebab perkelahian mereka, dua orang pemuda itu menjadi terkejut. Muka mereka berubah merah dan keduanya tidak tahu harus berkata apa.

Bi Lan berdiri diantara mereka, memandang ke kanan kiri, bergantian, kemudian menatap wajah Kun Tek. Dipandang seperti itu, Kun Tek menjadi gugup dan untuk menenangkan perasaannya yang bingung, dia menyarungkan kembali pedang pusakanya dan disimpannya ke dalam buntalan pakaiannya.

“Kun Tek, apa artinya semua ini? Baru sebentar kau kutinggalkan, tahu tahu sudah berkelahi mati-matian!” Bi Lan menegur.

“Bukan aku yang mencari permusuhan, akan tetapi dia ini datang-datang seperti orang gila menuduh aku yang bukan-bukan dan menyerangku. Tentu saja aku membela diri, tidak sudi mati konyol dalam serangan tangan yang keji.”

Bi Lan menghadapi Hong Beng yang menunduk dengan muka sebentar pucat sebentar merah. “Dan apa artinya perbuatanmu ini, Hong Beng? Engkau datang-datang menyerang Kun Tek, padahal engkau sendiri sudah tahu bahwa dia bukan orang jahat ketika dia membantu keluarga mempelai yang diganggu oleh Phoa Wan-gwe? Apa maksudmu?”

“Bi Lan, aku.... aku melihat betapa dia tidak sopan ketika mengobatimu.... dan aku.... aku tidak tahan. Dia terlalu kurang ajar, maka setelah engkau pergi, aku segera keluar dan menyerangnya.”

Bi Lan mengerutkan alisnya. Hatinya merasa tidak senang kepada Hong Beng. Pertama, bahwa Hong Beng diam-diam mengintai mereka, dan ke dua, ia menganggap Hong Beng hendak mencampuri urusan pribadinya!

“Hong Beng, engkau sungguh lancang tangan. Aku tidak minta perlindunganmu, dan Kun Tek ini sama sekali tidak kurang ajar, melainkan mengobati pinggangku dan apa yang dilakukannya itu atas persetujuanku. Apa sangkut-pautnya dengan dirimu?”

Melihat betapa gadis yang dicintanya itu marahmarah dan memarahinya di depan pemuda lain itu, Hong Beng makin menundukkan mukanya. Hatinya terasa seperti disayat-sayat dan diapun sadar bahwa tindakannya tadi sebenarnya terburu nafsu, terdorong oleh cemburu yang berkobar-kobar.

“Bi Lan, memang seharusnya aku tahu diri.... saudara Kun Tek, kaumaafkanlah aku. Selamat tinggal!” Hong Beng lalu melompat dan berlari secepat mungkin meninggalkan tempat itu agar tidak tampak oleh mereka bahwa kedua matanya menjadi panas dan basah.

Kun Tek memandang kagum. “Hebat, dia seorang pemuda yang hebat, ilmu silatnya luar biasa, jauh lebih tinggi dariku dan lihat betapa hebat gin-kangnya ketika dia lari.”

“Tentu saja, dia adalah murid keluarga para pendekar Pulau Es.”

“Ahhh....!” Kun Tek terbelalak dan mengangguk-angguk, “Pantas tadi pukulannya mengandung tenaga panas seperti api. Pernah aku mendengar dari ayah tentang dua ilmu sin-kang amat hebat dari Pulau Es yang disebut Hui-yang Sin-kang yang panas sekali dan Swat-im Sin-kang yang dingin sekali. Sayang aku tidak sempat berkenalan lebih baik dengan dia. Akan tetapi, kenapa dia bersikap begitu aneh dan menyerangku seperti orang gila saja?”

“Karena cemburu.”

“Cemburu?”

“Dia mencintaku akan tetapi aku menolaknya. Agaknya dia cemburu melihat cara engkau mengobati pinggangku tadi.”

“Ahhhh....!” Muka pemuda itu menjadi merah. Hening sejenak, dalam suasana yang sunyi menegangkan.

“Kun Tek, aku kembali untuk bertanya kepadamu apakah engkau mengenal orang yang sedang kucari.”

“Siapakah dia?” tanya Kun Tek, merasa lega bahwa percakapan beralih sehingga suasana menegangkan tadipun terputus.

“Julukannya Suling Naga, Pendekar Suling Naga” “Suling Naga....?” Sepasang mata Kun Tek terbelalak. “Tentu saja aku mengenalnya! Bukankah namanya Sim Houw?”

“Mungkin, aku tidak tahu, hanya julukannya Pendekar Suling Naga. Tahukah engkau di mana dia dan di mana aku dapat bertemu dengannya?”

“Bi Lan, ada urusan apakah engkau mencari Pendekar Suling Naga Sim Houw?”

Kembali Bi Lan mengerutkan alisnya. “Urusan pribadi. Kalau engkau tahu, katakan saja di mana aku dapat bertemu dengan dia.”

“Dia seorang pendekar perantau, Bi Lan, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Akan tetapi menurut ayah, pendekar itu suka berkelana dan bertapa di sekitar puncak Tai-hang-san.”

“Terima kasih, Kun Tek dan selamat tinggal.”

“Nanti dulu, Bi Lan!

“Ada apa lagi?”

“Baru saja engkau menyelamatkan diriku dari tangan Hong Beng dan aku sungguh merasa menyesal sekali dengan peristiwa yang terjadi dengan dia. Dia seorang murid keluarga Pulau Es dan sahabat baikmu....“

“Aku dongkol padanya. Dia terlalu cemburu, ada hak apa dia mencampuri urusan pribadiku? Dia cemburu tanpa alasan! Engkau dan aku adalah sahabat baik, dan engkau mengobati aku dengan hati jujur dan bersih. Tidak ada alasan baginya untuk mencemburuimu.”

Kun Tek menarik napas panjang. “Dia tidak bersalah, Bi Lan, dan memang ada alasannya maka dia mencemburui aku.”

“Heiii? Apa maksudmu?”

“Maksudku, dia beralasan untuk cemburu karena memang sesungguhnya akupun.... jatuh cinta padamu, Bi Lan.”

“Ehh....?” Ingin Bi Lan tertawa gembira. Inilah saatnya yang dinanti-nanti. Memang ia sudah berusaha untuk menjatuhkan Kun Tek, dan ketika meninggalkan pemuda itupun termasuk siasatnya. Akan tetapi tak pernah disangkanya ia akan berhasil secepat dan semudah itu. “Mana mungkin? Kita baru semalam berkenalan, Kun Tek!”

“Mengenalmu satu malam bagiku seperti telah mengenalmu bertahun-tahun, Bi Lan.”

“Tapi.... tapi bagaimana engkau bisa beginu yakin?”

“Ketika kita bercakap-cakap, ketika kita makan bersama, ketika aku mengobatimu, kemudian ketika engkau pergi meninggalkan aku. Perasaanku takkan menipuku, Bi Lan. Ketika engkau pergi, aku merasa begitu hampa dan berduka, aku takut kehilangan engkau, dan sekarangpun aku takut kehilangan engkau karena aku aku cinta padamu, Bi Lan.”

Bi Lan memandang tajam. “Yakin benarkah engkau, Kun Tek? Ingat, aku hanya seorang perempuan dari darah daging belaka, tidak lemah lembut dan tidak baik budi, tidak cantik lahir batin, banyak cacat celanya!”

“Aku yakin sepenuh hatiku, Bi Lan. Aku cinta padamu, terasa benar dalam hatiku.”

Kini Bi Lan tersenyum, senyum sinis dan mengejek. “Hemm.... hemmm.... lalu ke mana larinya perempuan khayalmu itu, Kun Tek?”

Pemuda itu terbelalak. “Perempuan khayal....?”

“Ya, lupakah engkau bahwa engkau takkan jatuh cinta kecuali kepada seorang perempuan yang seperti khayalanmu itu, tanpa cacat cela dan segalanya itu? Bagaimana engkau sekarang, hanya dalam waktu sehari saja, sudah melupakan perempuan khayalmu itu dan mengatakan jatuh cinta padaku?”

Kun Tek teringat dan dia merasa terpukul. “Aku telah bodoh selama ini, Bi Lan. Perempuan seperti yang kukhayalkan itu tidak ada di dunia ini, bukan dari darah daging, tidak mungkin ada wanita tanpa cacat cela dan....”

“Cukup! Engkau memang tolol, bodoh, sombong. Aku tidak sudi.... aku tidak dapat menerima cintamu. Engkau cintailah saja wanita khayalan yang bukan dari darah daging, dan tidak akan dapat menolakmu. Selamat tinggal!” Dan dengan cepat Bi Lan pergi dan berlari cepat.

Kun Tek menjadi bengong. Dia menjadi bingung, tidak mengerti kesalahan apa yang telah dilakukannya kepada Bi Lan yang menyebabkan gadis itu nampaknya demikian marah kepadanya. Dia tidak berani melakukan pengejaran karena hal itu tentu akan membuat Bi Lan semakin marah. Dia hanya duduk terlongong termenung tenggelam dalam lamunan. Dia mengingat kembali segala percakapannya tadi dengan Bi Lan, juga percakapan mereka kemarin. Setelah kini dia dapat menenangkan pikirannya, nampaklah dengan jelas semua kesalahannya.

“Aku memang tolol, bodoh dan sombong. Tepat sekali apa yang dikatakan oleh Bi Lan tadi,” bisiknya duka. Kini nampaklah olehnya betapa sikapnya dan kata-katanya merupakan kebodohan demi kebodohan yang tidak ketulungan lagi. Mula-mula dia menggambarkan bahwa dia tidak akan jatuh cinta kecuali kepada seorang wanita seperti yang digambarkannya itu dan tentu saja ucapan seperti ini di depan seorang gadis menyinggung perasaan dan harga diri gadis itu. Kemudian dalam pengakuan cintanya, dengan tolol sekali dia mengatakan bahwa wanita tanpa cacad itu TIDAK ADA, dengan demikian kembali dia telah menyinggung perasaan wanita yang dicintanya, karena dengan ucapan itu seolah-olah dia sudah mengatakan bahwa Bi Lan tidak seperti wanita khayalnya itu, bahwa Bi Lan penuh cacat cela Sungguh amat tolol! Hatinya kini merasa berduka sekali. merasa betapa keadaan sekelilingnya tanpa Bi Lan nampak sunyi mati, segala sesuatu nampak kurang menarik lagi.

Beginilah kalau cinta asmara sudah menyerang orang dan membuat orang itu menjadi korban kegagalan. Yang datang kemudian hanyalah kekecewaan yang melenyapkan gairah hidup sehingga hidup ini nampak amat buruk. Semua ini karena perasaan iba diri yang menikam perasaan. Merasa diri paling celaka karena idam-idaman hatinya terbang melayang meninggalkannya.

Sementara itu, Bi Lan berlari dengan cepat sekali. Tanpa tujuan tertentu, asal dapat meninggalkan Kun Tek secepatnya. Hatinya terasa panas bukan main. Tadinya ia ingin mempermainkan Kun Tek untuk memberi “hajaran” kepada pemuda yang diangapnya sombong itu, yang seolah-olah menganggap di dunia ini tidak ada wanita yang pantas untuk dirinya, pantas menjadi jodohnya! Kemudian, ia berhasil menggerakkan hati dan kejantanan Kun Tek yang membuat pemuda itu bertekuk lutut dan menyatakan cinta kepadanya. Tadinya ia hendak mentertawakannya, merasa gembira karena berhasil memberi hajaran. Eh, tidak tahunya kembali pemuda itu mengeluarkan kata-kata amat menyinggung hatinya. Katanya bahwa wanita tanpa cacad itu tidak ada! Padahal baru saja menyatakan cinta kepadanya. Bukankah hal itu sama saja dengan membandingkan ia dengan perempuan khayal itu? Perempuan khayal itu yang paling hebat dan ternyata perempuan seperti itu tidak ada! Dan ia sendiri? Dengan demikian ia bukan perempuan yang paling baik bagi Kun Tek. Sombong! Pemuda tolol dan sombong!

Agaknya berlari cepat sampai mengeluarkan keringat yang membasahi seluruh tubuhnya membuat kemarahan Bi Lan mereda pula. Hati yang panas mulai dingin dan ia lalu menghentikan larinya dan duduk di lereng sebuah bukit karena ketika lari tadi tanpa disadarinya ia menanjak sebuah bukit. Pantas saja keringatnya bercucuran, tak tahunya tempat ia berlari tadi menanjak terus.

Lereng bukit itu sunyi sekali dan iapun duduk di bawah sebatang pohon yang berdaun rindang. Sejuk sekali tempat itu dan angin semilir mengusir kegerahan. Dengan sehelai saputangan, diusapnya keringat dari leher dan mukanya. Kemudian ia duduk termenung, membayangkan hal-hal yang baru saja terjadi. Ada tiga orang pria berturut-turut menyatakan cinta kepadanya! Pertama adalah Bhok Gun, ke dua Gu Hong Beng dan ke tiga Cu Kun Tek. Tanpa disadarinya, ia membanding-bandingkan tiga orang pria itu, dan melamunkan kalau ia menjadi jodoh seorang di antaranya.

Bhok Gun yang tertua di antara mereka, berusia kurang lebih tigapuluh tahun, seorang pria yang sudah matang dan banyak pengalamannya. Bhok Gun berwajah tampan dan nampak makin menarik karena dia pesolek dan pandai merias diri. Ilmu silatnya juga lihai karena sebagai cucu murid Pek-bin Lo-sian, dia mewarisi ilmu yang satu sumber dengan ilmu-ilmu yang dimiliki oleh Sam Kwi. Akan tetapi pria ini mata keranjang, bahkan cabul dan gila perempuan. Juga memiliki sifat-sifat jahat dan curang. Menjadi isteri seorang pria macam Bhok Gun ini memang bisa saja berenang dalam lautan kemewahan, akan tetapi hatinya tentu akan selalu dirong-rong karena pria ini takkan berhenti mengejar wanita-wanita lain. Rayuan-rayuan mautnya itu semua hanyalah palsu belaka, hanya untuk menundukkan wanita yang sebentar lagi akan dicampakkannya begitu saja kalau dia sudah merasa bosan! Tidak, ia tidak sudi menjadi jodoh pria macam itu. Apalagi perkenalannya dengan Bhok Gun itu hanya melalui sucinya yang menjadi kekasih Bhok Gun. Masih muak kalau ia mengingat kembali apa yang didengarnya dan dilihatnya antara Bi-kwi dan Bhok Gun, kemuakan yang membuat wajahnya merah dan jantungnya berdebar aneh. Bagaimanapun juga, Bi Lan sudah mulai dewasa! Belum pernah Bhok Gun melakukan sesuatu yang baik baginya. Tidak, ia tidak sudi menjadi jodoh Bhok Gun.

Lain lagi halnya dengan dua pemuda lainnya dan kini diam-diam ia membanding-bandingkan antara Hong Beng dan Kun Tek. Kedua orang pemuda itu, Gu Hong Beng dan Cu Kun Tek, keduanya sama muda, sama gagah perkasa, sama pendekar dan keduanya pernah menyelamatkannya dari bahaya yang bahkan mungkin lebih hebat dan mengerikan dari pada maut sendiri! Ia sukar membayangkan betapa akan jadinya dengan dirinya kalau tidak ada Hong Beng dan Kun Tek. Tentu sudah dua kali terjatuh ke tangan Bhok Gun jahanam itu.

Gu Hong Beng sudah dikenalnya dengan baik. Seorang pemuda yatim piatu yang nasibnya hampir sama dengan nasibnya sendiri. Wajahnya cukup menarik walaupun pemuda ini amat sederhana dengan pakaiannya yang serba biru, seperti seorang petani saja, atau seorang buruh biasa. Akan tetapi kepandaiannya hebat karena pemuda ini adalah murid dari keluarga Pulau Es! Sayang wataknya terlalu pendiam dan bahkan agak pemalu walaupun budi bahasanya halus, akan tetapi dia amat pencemburu seperti yang sudah dibuktikan ketika dia menyerang Kun Tek hanya karena melihat Kun Tek meraba kulit pinggangnya yang tanpa ditutup kain. Memang disengajanya untuk “menjatuhkan” Kun Tek sebagai penghajaran! Padahal, sentuhan itu hanya dilakukon oleh Kun Tek untuk mengobatinya, dan hal itu sudah membuat Hong Beng cemburu dan menyerang Kun Tek! Ah, ia takkan merasa berbahagia hidup sebagai isteri orang pencemburu seperti itu, yang tidak mempunyai rasa humor sedikitpun dalam hidup. Sama saja dengan mempunyai suami patung hidup, betapapun lihainya dalam ilmu silat!

Bagaimana dengan Kun Tek? Pemuda yang gagah perkasa, tinggi besar dan biarpun mukanya berkulit agak kehitaman, namun dia ganteng dan gagah perkasa. Sayang, selain juga tidak banyak bicara, kalau bicara amat tajam dan galak, juga agak terlalu tinggi menghargai diri sendiri sehingga ada kecondongan kepada sifat sombong dan besar kepala. Tidak, iapun takkan berbahagia bersuamikan Kun Tek.

Sampai lama gadis itu bengong saja, akhirnya teringat akan nasibnya sendiri. Sebetulnya, ia sendiri tidak mempunyai persoalan, tidak mempunyai musuh karena semua pembunuh orang tuanya sudah dibasmi habis oleh Sam Kwi. Akan tetapi, kalau tadinya ia berhutang budi kepada Sam Kwi, kini budi itu dioper oleh Bi-kwi, sucinya yang telah menyelamatkannya dan membebaskannya dari bencana diperkosa oleh Sam Kwi. Dan ia sudah berjanji kepada sucinya itu untuk merampas Suling Naga dan kelak kalau sempat ia akan membantu pula sucinya yang ingin menjadi jagoan nomor satu di dunia persilatan dengan Suling Naga di tangannya! Pusaka yang kini menjadi milik Pendekar Suling Naga Sim Houw itu sudah dia ketahui di mana harus dicarinya. Dari Kun Tek ia sudah mendengar bahwa Pendekar Suling Naga yang bernama Sim Houw itu kadang-kadang berkeliaran di sekitar puncak Pegunungan Tai-hang-san. Persoalan merampas pusaka itu untuk membalas budi sucinya seperti pernah ia janjikan, kini telah mulai nampak jalan keluarnya. Akan tetapi sebelum pusaka itu dapat direbutnya, muncul persoalan baru. Pedang Ban-tok-kiam, yang oleh subonya hanya dipinjamkan kepadanya, kini dirampas orang! Dan perampasnya adalah seorang pendeta Lama yang demikian lihai! Dia dibantu Hong Beng saja tidak mampu merampas kembali, apa lagi kalau menghadapinya sendiri. Akan tetapi, apapun resikonya, ia harus dapat merampas kembali Ban-tok-kiam. Ia akan ke Tai-hang-san lebih dulu, akan mencari pendekar Sim Houw yang berjuluk Pendekar Suling Naga dan merampas kembali pedang pusaka itu! Ia akan membujuk pendekar itu untuk mengalah dan menyerahkan kembali pedang itu yang memang menjadi hak dari keturunan Sam Kwi, karena pendekar itu merampasnya atau menerimanya dari Pek-bin Lo-sian, susiok (paman guru) dari Sam Kwi. Berangkatlah dara yang tabah itu seorang diri dan karena memang pada dasarnya ia berwatak gembira jenaka, maka begitu ia bangkit dan melangkah pergi, semua pikiran tentang masalah-masalah yang menyulitkan itupun sudah ditinggalkannya! Ia akan mencari Pendekar Suling Naga dan tentang bagaimana nanti selanjutnya, terserah keadaan sajalah. Ia tidak mau berpusing-pusing tentang hal yang belum terjadi!

Keadaan batin seperti yang dimiliki Bi Lan ini membuat ia dapat menikmati hidup. Kehidupan menjadi indah karena apa yang dilihatnya senantiasa baru. Kebanyakan dari kita tidak mau hidup seperti itu. Kita tergantung kepada hal-hal yang lalu, terikat kepada hal-hal yang akan datang seperti yang kita harap-harapkan. Kita terluka parah oleh masa lalu dan kita terbuai oleh masa depan yang kita namakan cita-cita. Karena terluka oleh masa lalu, selalu mengingat-ingat masa lalu, maka wajah kita menjadi selalu muram dan seolah-olah selalu diliputi awan gelap. Dan karena kita selalu mengejar-ngejar cita-cita atau yang kita namakan pula kemajuan, yang bukan lain hanyalah keinginan-keinginan yang diharapkan akan terjadi di masa depan, keinginan akan suatu keadaan yang lebih menyenangkan, maka kita terombang-ambing antara masa lalu dan masa depan sehingga kita lupa bahwa HIDUP adalah SEKARANG, saat ini! Hidup adalah saat demi saat ini. Yang lalu sudah mati, tak perlu diingat lagi, walaupun dari pengalaman-pengalaman masa lalu dapat membuat kita lebih waspada dalam menghadapi segala peristiwa hidup. Masa depan adalah khayal. Lebih baik bekerja keras dari pada melamunkan masa depan yang baik. Suatu keadaan yang baik tidak hanya dapat terjadi karena direncanakan atau dilamunkan, melainkan BEKERJA, Dan BEKERJA adalah SEKARANG ini. Hidup adalah sekarang ini. Bahagia adalah sekarang ini! Kalau pikiran kita berhenti berceloteh, berhenti mengoceh mengenai kenangan masa lalu dan harapan masa depan, maka batin kita menjadi tenang dan mata kita menjadi waspada sekali terhadap SAAT INI, yaitu terhadap HIDUP ini. Kita dapat menikmati hidup ini hanya setiap saat sekarang, bukan besok atau lusa. Mengapa pusing-pusing tentang besok atau lusa kalau nanti mungkin saja kita mati?

Ada orang tua yang menasihati anak-anaknya agar sekarang bersusah payah dahulu dan bersenang-senang kemudian? Apa maksudnya ini? Apakah anak kita harus sengsara dulu sekarang ini dan dengan bersusah payah, bersengsara sekarang ini lalu kelak akan senang dan bahagia? Betapa malangnya anak yang disuruh begitu. Mungkin dia menurut, lalu bersusah payah setengah mati sampai dewasa, kemudian oleh suatu sebab dia mati. Dengan demikian berarti bahwa sejak kanak-kanak sampai matinya, hidupnya hanya diisi oleh jerih payah dan susah payah, tak pernah diberi kesempatan untuk bersenang atau bersuka! Orang tua yang bijaksana dan benar-benar mencinta anak-anaknya akan memberi kebebasan kepada mereka, membiarkan mereka tumbuh subur, hanya tinggal memupuk dan mungkin meluruskan kalau tumbuhnya bengkok, akan tetapi memberi kesempatan seluas-luasnya kepada mereka untuk berbahagia. SEKARANG! Bukan besok atau kelak kalau sudah tua. Bukan berarti lalu membiarkan mereka bebas semau gue, gila-gilaan, atau bukan berarti lalu acuh terhadap mereka. Sama sekali tidak. Cinta kasih menimbulkan perhatian yang serius, namun tidak mengikat, tidak membelenggu. Kebahagiaan tak mungkin didapat tanpa kebebasan!

Dalam keadaan gembira dan merasa bahagia karena tidak ada kotoran yang mengeruhkan batinnya, pikirannya kosong sehingga dapat menerima segala keindahan yang terbentang di depan matanya, segala suara yang tertangkap oleh telinganya dan segala keharuman tanah dan tumbuh-tumbuhan yang tercium oleh hidungnya, Bi Lan melanjutkan perjalanannya menuju ke Tai-hang-san, perjalanan yang jauh melalui pegunungan, hutan-hutan dan banyak kota dan dusun.

***

Dusun Hong-cun merupakan sebuah dusun yang makmur di luar kota Cin-an. Kemakmurannya, berbeda dengan dusun-dusun lain yang tanahnya gersang, adalah karena letaknya di lembah Huang-ho. Memang, setahun sekali hampir selalu daerah ini mengalami banjir dari luapan air Sungai Huang-ho. Akan tetapi pada musim-musim lainnya, tanah di situ amat suburnya dan menghasilkan panen yang cukup bagi penduduknya.

Ada sebuah rumah besar sederhana yang dikenal bukan hanya oleh seluruh penduduk dusun Hong-cun, bahkan dikenal oleh semua orang di kota Cin-an. Rumah ini adalah rumah keluarga Suma Ceng Liong! Para pembaca tentu belum lupa akan nama ini. Suma Ceng Liong. Baru melihat nama marganya saja, orang akan dapat menduga bahwa ini adalah keturunan keluarga para pendekar Pulau Es.

Suma Ceng Liong adalah putera dari mendiang Suma Kian Bu. Dia cucu langsung dari Pendekar Super Sakti Suma Han dan Puteri Nirahai, jadi masih ada darah bangsawan dari neneknya. Namun, seperti semua keturunan para pendekar Pulau Es, tidak ada seorangpun yang menonjolkan keturunan bangsawan ini dan Suma Ceng Liong juga hidup sebagai petani biasa saja di dusun Hong-cun. Sebagai cucu Pendekar Super Sakti, Suma Ceng Liong mewarisi ilmu-ilmu kesaktian dari Pulau Es, bahkan ia pernah digembleng selama bertahun-tahun oleh seorang Raja Iblis, yaitu Hek-i Mo-ong. Oleh karena itu, dapat dibayangkan betapa lihainya pendekar yang kini sudah berusia tigapuluh dua tahun itu.

Seperti kita ketahui, kurang lebih tigabelas tahun yang lalu Suma Ceng Liong menikah dengan seorang gadis pujaan hatinya yang bernama Kam Bi Enq. Isterinya inipun, yang usianya sama dengan dia, bukan orang sembarangan. Ia puteri pendekar sakti Kam Hong yang terkenal pula dengan julukannya Suling Emas. Sebagai puteri pendekar sakti, tentu saja Kam Bi Eng ini juga merupakan seorang pendekar wanita gemblengan yang sukar dicari tandingannya.

Setelah setahun menikah, suami isteri ini mempunyai seorang anak perempuan yang mereka beri nama Lian, lengkapnya Suma Lian. Lian berarti bunga teratai dan nama ini diberikan karena ketika mengandung, ibunya bermimpi menerima setangkai bunga teratai dari seorang bidadari yang dapat terbang dan bersayap! Pada waktu itu, Suma Lian telah berusia duabelas tahun, seorang gadis cilik yang mungil, akan tetapi ia mewarisi watak ayah ibunya yang lincah, jenaka, nakal dan juga galak! Akan tetapi di balik watak yang kadang-kadang suka mempermainkan dan menggoda lain orang itu terdapat suatu sifat kegagahan yang diwarisi pula dari ayah ibunya. Biar pun baru berusia duabelas tahun, Suma Lian akan dapat mencak-mencak saking marahnya dan akan berubah menjadi harimau betina kalau ia melihat ketidakadilan terjadi. Dan ia mudah menaruh hati iba kepada sesama hidup yang menderita. Ibunya pernah marah-marah karena ketika masih kecil, baru berusia delapan tahun, Suma Lian pernah mencuri gandum dan beras dari gudang dan membagi-bagikannya kepada orang-orang miskin. Padahal yang diambilnya itu adalah simpanan keluarga mereka sendiri. Untuk menolong orang-orang miskin, ia bahkan berani mencuri gandum keluarga sendiri. Nakal memang, akan tetapi dasarnya adalah karena ia merasa iba melihat mereka yang menderita dan ia berani mengorbankan diri dimaki-maki ibunya demi kebahagiaan orang-orang lain.

Selain ayah, ibu dan anak ini, di dalam rumah gedung sederhana itu tinggal pula seorang nenek yang usianya sudah enampuluh enam tahun. Ia juga bukan nenek sembarangan, karena nenek itu adalah Teng Siang In, ibu dari Suma Ceng Liong! Setelah suaminya meninggal dunia dan menjadi janda, Teng Siang In mencurahkan kasih sayangnya kepada Suma Lian, kadang-kadang malah memanjakan cucu itu.

Dusun Hong-cun terletak di sebelah utara Sungai Huang-ho dan tidak begitu jauh lagi dari Peking atau kota raja yang terletak di sebelah utara kota Cin-an. Karena tanah di lembah itu menghasilkan sayur-mayur yang baik, juga rempah-rempah, dan ikan yang cukup banyak, maka tentu saja keadaannya menjadi makmur dan ramai. Boleh dibilang hampir semua orang dari selatan yang hendak pergi ke kota raja melalui Cin-an, akan lewat dulu di dusun Hong-cun ini.

Semenjak neneknya tinggal di rumah itu, Suma Lian memperoleh guru ke tiga! Nenek ini tidak mau kalah oleh putera dan mantunya dalam mendidik gadis cilik itu berlatih ilmu silat! Bahkan ia sudah mulai mengajarkan dasar-dasar ilmu silatnya yang paling berbahaya bagi lawan, yaitu Soan-hong-twi (Tendangan Angin Puyuh). Akan tetapi Suma Ceng Liong yang maklum betapa ibunya amat sayang kepada Suma Lian, berpesan kepada ibunya agar nenek itu jangan mengajarkan ilmunya yang lain, yaitu ilmu sihir!

“Terlalu berbahaya ilmu itu bagi perkembangan jiwanya, ibu. Kecuali kelak kalau ia sudah dewasa,” demikian pesannya kepada ibunya.

“Ayaaaa.... kau ini anak-anak tahu apa, Ibumu tentu sudah tahu dan akan mengatur sebaik-baiknya,” jawab nenek itu dan diam-diam Suma Ceng Liong mendongkol. Ibunya ini galak dan keras kepala, dan agaknya masih saja menganggap dia yang sudah berusia tigapuluh dua tahun itu sebagai kanak-kanak saja. Akan tetapi Ceng Liong seorang anak yang berbakti dan patuh, tidak membantah lagi.

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali sudah terdengar bentakan-bentakan dan teriakan-teriakan suara nenek dan cucunya itu ketika mereka berlatih di kebun belakang. Memang nenek Teng Siang In ini lebih suka melatih cucunya di kebun belakang dari pada di ruangan latihan silat yang tertutup. Di kebun lebih sehat dan baik, katanya, karena di tempat udara terbuka. Suma Lian yang berusia duabelas tahun itu dilatih berloncatan dan berjungkir balik ke depan, ke belakang, ke kanan atau ke kiri, akan tetapi bukan hanya jungkir balik sembarangan saja, melainkan jungkir balik sambil menendang. Itulah gerakan-gerakan pertama untuk dapat menguasai ilmu tendang Soan-hong-twi yang amat sukar dilatih, akan tetapi sekali orang sudah menguasainya, maka tubuhnya akan dapat mengirim tendangan dalam posisi bagaimanapun juga. Kaki lebih panjang dari lengan, maka, jika ilmu tendangan dikuasai dengan baik, akan berbahayalah bagi lawan.

Bentakan-bentakan itu dikeluarkan oleh si nenek untuk memberi petunjuk dan teriakan-teriakan yang keluar dari mulut Suma Lian itu memang seharusnya demikian. Gerakan-gerakan itu menggunakan banyak tenaga dari otot-otot bagian perut sehingga perlu dikeluarkan teriakan-teriakan itu untuk mengatur khi (hawa dalam tubuh) yang selain menciptakan tenaga dalam, juga melindungi isi perut.

“Gerakan memantul ke belakang tadi keliru. kepalamu jangan diangkat, melainkan didongakkan dan dilempar ke belakang sehingga memudahkan tubuhmu berjungkir balik ke belakang karena gerakan itu menambah daya luncur dan menambah lengkungan tubuh!” Nenek itu lalu memberi contoh beberapa kali dan ternyata tubuh nenek yang usianya sudah enampuluh enam tahun itu masih gesit dan lincah membuat gerakan sukar itu.

Pada saat itu, di tepi dusun Hong-cun nampak seorang kakek tinggi besar yang wajahnya menyeramkan karena wajah itu penuh dengan rambut, membuat muka kakek itu nampak seperti muka singa. Akan tetapi karena kepalanya gundul dan dia memakai jubah pendeta Lama, keseraman wajahnya itu tertutup, bahkan menimbulkan rasa hormat dalam hati orang-orang yang berjumpa dengannya. Ketika itu, kakek ini menyapa seorang pejalan kaki, seorang setengah tua dengan suara yang halus akan tetapi agak kaku, tanda bahwa dia datang dari daerah barat.

“Selamat pagi, saudara. Semoga Sang Buddha memberkahi anda. Maukah anda menolong saya dan memberi tahu di kuil atau rumah mana kiranya saya dapat beristirahat melemaskan tubuh dan mendapatkan sekedar semangkuk bubur dan seteguk air?”

Orang yang ditanya itu merasa senang sekali. Pagi-pagi sudah memperoleh doa restu seorang pendeta, sungguh mujur dia! Maka dengan hormat dia memberi hormat dan menjawab, “Lo-suhu, di dusun ini tidak ada kuil besar, yang ada hanya sebuah kuil kecil untuk pendeta-pendeta wanita. Akan tetapi kalau lo-suhu mendatangi rumah keluarga pendekar Suma, tentu lo-suhu akan disambut dengan baik. Keluarga Suma terkenal suka menolong orang, apa lagi seorang suci seperti lo-suhu.”

“Omitohud....! Suma....? Mungkinkah dia Suma Han? Si Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?” gumamnya dan matanya yang lebar terbelalak.

Orang itu tersenyum. “Saya hanya tahu bahwa nama pendekar itu Suma Ceng Liong dan memang kabarnya dia itu keluarga pendekar Pulau Es.”

“Omitohud, semoga Sang Buddha memberkahi anda untuk kedua kalinya! Terima kasih! Di mana rumah keluarga Suma itu?”

“Tak jauh dari sini. Harap lo-suhu jalan saja lurus kalau melihat sebuah rumah gedung kuno di tepi jalan sebelah kanan, bercat kuning, itulah rumah mereka. Tak salah lagi karena tidak ada lagi rumah sebesar itu di dusun ini.”

Pendeta Lama itu lalu menjura dan pergi. Siapakah dia yang mengenal Suma Han, Pendekar Super Sakti Pulau Es? Sebetulnya mengenal sih tidak, akan tetapi sebagai seorang bertingkat tinggi di dunia persilatan, tentu saja dia pernah mendengar nama besar keluarsa Pulau Es. Pendeta Lama ini bukan lain adalah Sai-cu Lama, pendeta pelarian dari Tibet yang kini menuju ke kota raja karena diam-diam dia sudah melakukan hubungan dengan pembesar tinggi Hou Seng di kota raja yang sedang merajalela di istana sebagai kekasih kaisar! Hubungan ini melalui seorang kenalan lamanya yang bernama Kim Hwa Nio-nio yang sekarang telah menjadi pembantu pembesar Hou Seng itu.

Mendengar bahwa di dusun kecil itu terdapat keluarga Pulau Es, tentu saja hatinya tertarik sekali. Dengan langkah lebar dia lalu mencari rumah gedung besar kuno itu dan dapat menemukannya dengan mudah. Niatnya hanya hendak berkenalan dan melihat sendiri keadaaan keluarga yang terkenal di dunia persilatan itu, bahkan kalau mungkin menguji kepandaian Suma Ceng Liong itu, di samping ingin membuktikan apakah benar mereka itu demikian budiman suka menolong orang.

Akan tetapi, ketika dia tiba di pekarangan depan, lapat-lapat telinganya mendengar bentakan-bentakan yang menunjukkan bahwa orang yang mengeluarkan bentakan itu memiliki khi-kang yang tinggi. Dia mengerahkan perhatiannya dan tahulah dia bahwa di kebun belakang rumah itu ada orang-orang yang sedang berlatih silat karena dia mendengar juga teriakan-teriakaan seorang anak perempuan yang nyaring sekali.

Niatnya untuk mengetuk pintu dibatalkan dan dengan berindap-indap dia lalu berjalan menuju ke kebun belakang lewat samping rumah. Kalaupun ada orang di atas jalan depan rumah itu, tidak akan menaruh curiga sama sekali melihat seorang kakek berpakaian pendeta berkepala gundul berjalan di samping rumah itu menuju ke belakang. Rumah itu adalah rumah keluarga pendekar dan sudah sering menerima kunjungan orang-orang aneh. Bahkan nenek yang tinggal di situ, bagi orang umum juga sudah merupakan seorang yang berwatak aneh sekali.

Ketika Sai-cu Lama mengintai ke dalam kebun dan melihat Suma Lian, sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong karena kagumnya. Anak perempuan itu hebat, pikirnya! Tepat seperti yang selama ini dicarinya. Sahabatnya di kota raja, Kim Hwa Nio-nio, berpesan kepadanya bahwa majikan mereka, yaitu calon perdana menteri Hou Seng yang menjadi “kekasih” kaisar itu, suka sekali akan anak-anak perempuan yang mungil, yang berusia antara sepuluh sampai limabelas tahun. Dan anak perempuan ini sungguh memenuhi syarat. Usianya tentu baru duabelas atau tigabelas tahun, dan memiliki wajah yang cantik manis, tentu akan menyenangkan hati pembesar Hou Seng kalau dibawanya dan dipersembahkannya sebagai “oleh-oleh” kedatangannya. Andaikata pembesar itu tidak mau, lebih kebetulan lagi. Anak perempuan itu tepat untuk dirinya sendiri bukan, sama sekali bukan untuk menjadi mangsa nafsu berahinya seperti yang akan dilakukan pembesar Hou Seng itu, melainkan untuk dijadikan muridnya. Sudah lama dia mendambakan seorang calon murid yang baik anak perempuan ini memiliki bakat yang luar biasa. Anak sekecil itu sudah pandai menirukan gaya si nenek dalam ilmu tendangan yang demikian sulitnya. Apa lagi kalau diingat bahwa anak ini keturunan keluarga Pulau Es. Sungguh cocok menjadi muridnya dan tidak akan memalukan. Dia akan bangga kalau diketahui orang kelak bahwa muridnya adalah keturunan keluarga Pulau Es. Bukankah dahulu nama besar Hek-i Mo-ong juga terangkat naik karena dia mempunyai murid keturunan keluarga Pulau Es? Pernah dia melihat anak yang menjadi murid Hek-i Mo-ong itu. Kalau tidak salah, namanya pakai Liong begitu. Tiba-tiba dia terbelalak. Suma Ceng Liong, demikianlah nama pemilik rumah ini. Apakah bukan Suma Ceng Liong ini yang dulu pernah menjadi murid Hek-i Mo-ong? Dia masih muda ketika itu dan dia mendengar betapa nama besar Hek-i Mo-ong semakin menjulang tinggi.

Kalau benar demikian, tentu anak ini ada hubungannya dengan Suma Ceng Liong. Mungkin puterinya! Wah, betapa bangga hatinya kalau sampai puteri Suma Ceng Liong menjadi muridnya! Dan kalau pembesar Hou Seng mau, pembesar itupun tentu akan merasa bangga dapat memperoleh anak perempuan dari keluarga besar itu!

Pada saat itu, kembali nenek Teng Siang In memberi petunjuk. “Untuk melakukan tendangan jurus ke tiga yang datangnya dari atas, engkau lebih dulu harus menendangkan kaki kiri ke arah muka lawan sambil mengayun tubuhmu. Kalau tendangan itu tertangkis, tenaga tangkisan dapat kausambut dan kaupinjam untuk melayangkan tendangan susulan dengan kaki kanan. Delapan bagian dari sepuluh tendangan ke dua itu pasti berhasil. Kalau dielakkan tendangan pertama, tubuhmu langsung mencelat ke atas terbawa tenaga tendangan dan ketika meluncur ke atas itulah engkau jungkir balik tiga kali agar cukup tinggi. Dari atas lalu engkau meluncur turun dengan kedua kaki bergantian menotok ke ubun-ubun dan ke tengkuk.”

“Wah, gerakan itu amat sukar, nek!” Suma Lian yang sudah mulai lelah itu mengeluh.

Nenek itu bertolak pinggang dan memandang cucunya dengan marah. Ia menyayang dan memanjakan Suma Lian, akan tetapi dalam hal melatih silat, ia memang keras sekali.

“Apa? Baru begitu saja engkau mengeluh, ingat, engkau ini Suma Lian, jangan merendahkan dan membikin malu nama keluarga Suma dengan keluhan! Keluarga kita tak pernah mengeluh menghadapi kesukaran yang bagaimanapun juga! Tahu?”

Sudah menjadi watak Suma Lian, kalau dihadapi dengan kekerasan, iapun memperlihatkan sikap keras. Ia hanya memandang wajah neneknya dengan mata tajam menentang dan mulut cemberut!

Melihat sikap cucunya ini, hati nenek itu menjadiluluh. Ia sendiri dahulu terkenal sebagai seorang wanita yang keras hati dan keras kepala, juga kekerasan hatinya itu menurun kepada Suma Ceng Liong. Agaknya kini diwarisi pula oleh cucunya ini. Nenek itu teringat bahwa menghadapi Suma Lian dengan kekerasan sama saja dengan mencari lawan! Ia lalu tersenyum dan merangkul cucunya.

“Cucuku yang manis, ilmu silat keluarga kita tidaklah mudah untuk melatihnya, harus tekun dan untuk itu kadang-kadang nenekmu ini harus menggunakan gemblengan keras kepadamu. Mengertikah engkau?”

Suma Lian juga sudah luluh kekerasan hatinya melihat senyum neneknya. “Aku mengerti, nek. Akan tetapi aku tadipun tidak mengeluh, hanya mengatakan yang sebenarnya bahwa gerakan itu amat sukar. Cobalah beri contoh lagi kepadaku, nek.”

“Baik, kaulihat baik-baik, cucuku!“

Dengan teriakan melengking nenek itu lalu menendangkan kaki kirinya ke depan, dan tubuhnya terus melayang ke udara karena tendangan itu tidak ada yang menyambut, seperti dielakkan lawan dan tubuh itu membuat jungkir balik ke atas sampai lima kali, hal yang sungguh sukar untuk dilakukan. Kemudian, bagaikan seekor burung garuda yang turun menyambar korbannya, tubuh itu meluncur ke bawah dan kedua kakinya bergerak melakukan tendangan-tendangan beruntun ke arah ubun-ubun dan tengkuk lawan yang tidak ada!

“Nah, sudah jelaskah sekarang, Suma Lian?

Heiii, di mana engkau....?” Nenek itu tidak melihat cucunya di tempat tadi dan tiba-tiba ia melihat berkelebatnya bayangan orang yang tinggi besar meloncat keluar dari pagar tembok.

Dengan hati penuh kecurigaan karena setelah memandang ke sekeliling ia tidak melihat cucunya, nenek itu lalu melakukan pengejaran dan mengerahkan seluruh kepandaian ilmu gin-kangnya yang membuat tubuhnya meluncur cepat sekali seperti terbang saja, keluar dari kebun itu meloncati pagar tombok. Ternyata bayangan itu sudah jauh dan menuju ke luar dusun! Maklumlah nenek Teng Siang In bahwa si tinggi besar yang dari belakang mengenakan jubah lebar itu memiliki ilmu berlari cepat yang hebat. Hatinya menjadi semakin curiga dan gelisah- jangan-jangan orang itu tadi ketika ia melakukan gerakan silat untuk memberi contoh kepada cucunya, telah turun tangan menangkap dan menculik cucunya. Mungkin saja hal itu terjadi karena ketika tubuhnya meluncur dan berjungkir balik lima kali di udara, banyak kesempatan terbuka bagi orang yang berilmu tinggi untuk menculik cucunya. Iapun mempercepat larinya, akan tetapi sampai ia jauh meninggalkan dusun, jarak antara ia dan orang itu masih sama saja. Ia belum juga berhasil menyusul kakek itu. Kini ia dapat menduga bahwa orang yang lari cepat di depan itu adalah seorang kakek gundul tinggi besar yang berjubah, agaknya seorang hwesio.

Memang tepat dugaan nenek Teng Siang In. Ketika ia meloncat tinggi tadi, Sai-cu Lama mempergunakan kesempatan itu untuk melayang dan menyambar tubuh Suma Lian sambil menotok anak itu pada tengkuknya, membuat anak itu lemas dan tidak mampu mengeluarkan suara! Dan diapun terus melompat dan melarikan diri karena dia maklum bahwa nenek itu tentu seorang keluarga Pulau Es yang lihai sekali. Dia mengerahkan seluruh tenaga untuk melarikan diri, akan tetapi tiap kali dia menoleh, nenek itu tetap berada di belakangnya melakukan pengejaran, tak pernah tertinggal jauh!

Hal ini membuat hati Sai-cu Lama menjadi penasaran dan timbullah keinginannya untuk menguji kepandaian nenek itu. Tidak mungkin dia kalah oleh seorang nenek, walaupun nenek itu keluarga pendekar Pulau Es sekalipun! Dia lalumempergunakan tali jubahnya untuk mengikat tubuh Suma Lian di atas punggungnya sambil menanti datangnya nenek itu yang berlari cepat mengejarnya. Akhirnya mereka berhadapan dan saling pandang penuh perhatian. Hati nenek Teng Siang In merasa lega melihat betapa cucunya yang terikat di punggung pendeta itu dalam keadaan sehat walaupun tak mampu bergerak atau bersuara, agaknya tertotok jalan darahnya.

Dapat dibayangkan betapa marahnya nenek Teng Siang In yang berwatak galak dan keras itu. Sepasang matanya mencorong memandang wajah kakek itu dengan teliti seperti hendak mengenal siapa adanya manusia yang berani sekali menculik cucunya begitu saja di bawah hidungnya! Hal itu dianggapnya sebagai suatu tantangan yang kurang ajar sekali. Dengan sepasang matanya yang masih awas ia memandang penuh ketelitian dan akhirnya ia yakin bahwa selamanya ia belum pernah bertemu dengan pendeta Lama yang berusia enampuluhan tahun, tinggi besar berperut gendut, berkepala gundul akan tetapi mukanya menyeramkan seperti muka seekor singa itu. Setelah puas meneliti, ia lalu membentak, “Sebelum aku turun tangan membunuhmu, katakan dulu siapa engkau ini dan mengapa berani menculik cucuku!”

“Omitohud....!” Sai-cu Lama sejak tadi memandang nenek itu dengan mata terbelalak penuh pesona. Bukan main wanita ini, pikirnya. Biarpun sudah nenek-nenek, akan tetapi tubuhnya masih begitu langsing dan padat, dan wajahnya masih membayangkan kecantikan walaupun rambutnya sudah banyak yang memutih. Seorang wanita cantik yang gagah!

“Omitohud apa! Orang macam engkau ini hanya pakaiannya saja pendeta, hanya kepalanya saja gundul, akan tetapi watakmu persis seperti mukamu yang menyeramkan dan penuh kekejaman itu. Hayo, jawab siapa engkau sebelum kau mampus tanpa nama!”

“Omitohud.... belum pernah pinceng (aku) menemui yang sehebat ini. Kau malah lebih hebat dari cucumu ini, sayang sudah tua.”

“Keparat jahanam, engkau memang ingin mampus tanpa nama!” bentak Teng Siang In dan ia sudah menerjang dengan hebatnya. Terjangan nenek ini memang dahsyat, karena ia telah mengirim pukulan yang disambung tendangan bertubi-tubi, tendangan-tendangan dengan ujung kaki, hanya menggunakan sedikit saja tenaga, akan tetapi penuh tenaga sin-kang dan ujung sepatunya itu, keduanya berputar-putar menuju ke arah tigabelas jalan darah terpenting dari tubuh depan Sai-cu Lama!

Bukan main kagetnya Sai-cu Lama menghadapi serangan sedahsyat itu. Dia sampai mengeluarkan teriakan kaget ketika menangkis dan mengelak sambil terhuyung ke belakang. Dia tidak berani membalikkan tubuh karena maklum bahwa nenek itu memang sengaja menyerangnya dengan demikian cepat dan dahsyat dan sekali saja dia memutar tubuh, tentu anak yang sudah digendongnya itu akan terampas kembali! Maka dia terpaksa menangkis sambil berloncatan mundur dan terhuyung-huyung. Kagetlah kakek ini. Nenek itu sungguh sama sekali tak boleh dipandang ringan.

“Haiiittt....!” Tiba-tiba dia berteriak dan tangan kanannya mendorong ke depan penuh dengan tenaga sin-kang yang amat kuat. Memang, satu di antara keampuhan kakek gendut ini adalah tenaga sin-kangnya yang mampu menyerang orang dari jarak jauh. Tenaga sin-kang yang dibarengi dengan tenaga hitam dari Tibet. Dari telapak tangannya itu, selain menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat, juga nampak uap hitam mengepul dan menyambar ke arah muka Teng Siang In.

Akan tetapi nenek itu tertawa. “Heh-heh, pendeta palsu, aku akan menghilang dari depanmu dan menghancurkan kepalamu!”

Nenek itu menggerakkan tangannya dan tiba-tiba lenyap dari pandang mata Sai-cu Lama! Kakek ini tentu saja kaget bukan main. Cepat dia mencabut Ban-tok-kiam dan memutar pedang itu dengan tangan kanannya, melindungi tubuhnya dengan sinar pedang yang bergulung-gulung membentuk benteng menyelimuti dirinya dan diam-diam dia mengerahkan tenaga batinnya untuk melawan ilmu sihir nenek itu. Dan mulai nampaklah nenek itu dari sebelah kiri, siap untuk menghantam kepalanya, akan tetapi terhalang oleh sinar pedangnya. Untung dia mempunyai Ban-tok-kiam yang belum lama ini dirampasnya dari gadis itu. Kalau tidak, jangan-jangan hari ini adalah hari ajalnya karena kalau tadi nenek itu benar-benar menghantam kepalanya sebelum dia dapat melihatnya, sukar baginya untuk menyelamatkan dirinya.

“Omitohud, kiranya engkau siluman betina....!” bentak Sai-cu Lama dengan marah dan dia samasekali tidak berani memandang rendah lagi, cepat mengirim serangan dengan tusukan Ban-tok-kiam ke arah dada nenek itu. Nenek Teng Siang In meloncat jauh ke belakang sambil berjungkir balik dan iapun terbelalak melihat pedang itu.

“Ban-tok-kiam....! Bagaimana bisa jatuh ke tanganmu? Siapakah engkau ini, pendeta Lama busuk?” bentaknya dengan terheran-heran. Tentu saja ia mengenal Ban-tok-kiam, senjata pedang pusaka yang amat terkenal itu, milik isteri dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir! Kenapa tiba-tiba saja berada dalam tangan hwesio ini dan apa hubungan pendeta Lama ini dengan nenek Wan Ceng, isteri dari pendekar Kao Kok Cu di Istana Gurun Pasir?

“Ha-ha-ha, anggap saja pinceng ini Giam-lo-ong (Raja Akhirat) yang datang untuk mencabut nyawamu, nenek cantik!” kata Sai-cu Lama dan dia memutar lagi Ban-tok-kiam lalu menerjang maju dengan dahsyatnya.



Nenek Teng Siang In tak pernah membawa senjatanya. Ilmu silatnya cukup tinggi dan ditambah ilmu sihirnya, tanpa senjatapun ia dapat melindungi dirinya dengan baik. Akan tetapi sekarang ia bertemu dengan seorang lawan tangguh, maka cepat ia menyambar sebatang ranting dan berteriak sambil memutar rantingnya, “Lihat baik-baik jimatku Naga Terbang ini!”

Kembali Sai-cu Lama terbelalak ngeri melihat betapa tiba-tiba saja nenek itu memegang seekor naga pada ujungnya dan naga itu beterbangan hendak menyambar dirinya.

“Omitohud....!” Kakek itu berseru dan kembali dia melindungi dirinya dengan Ban-tok-kiam yang dipakai melindungi tubuhnya, sambil mengerahkan tenaga diapun mengumpulkan kekuatan batinnya dan lambat laun tampaklah olehnya bahwa nenek itu hanya menyerang dengan setangkai ranting pohon yang sama sekali tidak mampu menembus benteng gulungan sinar pedangnya.

“Ha-ha-ha-ha, kiranya engkau ini hanya tukang sulap yang biasa menjual obat di pasar....“ Akan tetapi terpaksa dia menghentikan ejekannya dan mengelak cepat ketika tiba-tiba nenek itu menusukkan ujung rantingnya ke arah kerongkongannya disusul serangkaian tendangan yang mengarah kedua kakinya. Cepat dia memutar pedang Ban-tok-kiam ke bawah dan terpaksa nenek itu mundur lagi. Mulai khawatirlah nenek Teng Siang In. Lawan ini terlalu tangguh, tak dapat ditundukkannya dengan ilmu sihir, dan terutama sekali pedang Ban-tok-kiam ini membuatnya menjadi repot. Pedang itu mengeluarkan hawa yang menyeramkan dan di tangan seorang sakti seperti pendeta Lama itu, baru sinar pedang itu saja sudah dapat membunuh lawan karena pedang itu mengandung racun-racun yang amat jahat, sesuai dengan namanya, yaitu Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Racun)! Menyesallah ia mengapa tadi di kebun ia tidak berteriak. Kalau sekarang ada puteranya dan mantunya, tentu mereka bertiga akan mampu mengalahkan kakek ini.

Akan tetapi, nenek Teng Siang In sejak mudanya bukan merupakan orang yang mudah menyerah. Dengan gigih ia mempertahankan diri dan beberapa kali dapat menyelamatkan dirinya melalui ilmu sihirnya, sedangkan Sai-cu Lama dapat menyelamatkan diri karena di tangannya terdapat Ban-tok-kiam yang benar-benar amat ampuh itu. Dan karena memang Sai-cu Lama merupakan seorang ahli silat kelas tinggi yang juga mempelajari ilmu hitam, maka diapun memiliki kekuatan batin yang mampu menangkis serangan-serangan ilmu sihir dari nenek itu. Akan tetapi, andaikata tidak ada Ban-tok-kiam di tangannya, belum tentu kalau nenek itu terdesak walaupun ilmu silatnya kalah tinggi karena ilmu sihirnya benar-benar membuat Sai-cu Lama kadang-kadang kebingungan.

“Lumpuhlah kau! Kakimu keduanya lemas dan lumpuh, hayo berlutut di depan nenekmu!” bentakan-bentakan semacam ini membuat Sai-cu Lama kebingungan karena dia benar-benar merasa kakinya seperti akan lumpuh! Kalau saja tidak memutar pedang Ban-tok-kiam, tentu dengan mudah dia terkena serangan ranting yang di tangan nenek itu berubah lihai sekali. Kemudian, dengan pengerahan tenaga batinnya, dia mampu mempertebal diri, atau setidaknya tidak begitu hebat terpengaruh oleh bentakan-bentakan nenek itu.

“Ha-ha-ha, nenek siluman, sebentar lagi engkau akan mampus. Sekali saja tubuhmu tergores Ban-tok-kiam, selaksa racun akan mengalir dalam darahmu dan engkau akan mampus dengan muka hitam, mata melotot dan mulut ternganga. Ha-ha, engkau akan benar-benar menjadi setan karena tubuhmu akan hangus semua!”

“Jahanam busuk lepaskan cucuku!” dengan nekat nenek Teng Siang In maju lagi dan menyerang dengan ilmu tendangannya yang sakti. Dengan Soan-hong-twi, tubuhnya seperti berpusing dan kakinya seperti berubah menjadi puluhan banyaknya, menendang dari sana-sini mengarah bagian-bagian tubuh yang berbahaya. Tentu saja ia membahayakan diri sendiri karena yang diserangnya adalah seorang yang sakti seperti Sai-cu Lama yang memang sudah tinggi tingkat kepandaiannya. Bahkan ketika kakek itu tiba-tiba menghadapi tendangan dari samping, secara mendadak dia memutar tubuh dan memberikan punggungnya untuk menangkis tendangan!

“Ayaaaa! Nenek Teng Siang In menjerit karena terkejut. Tendangannya itu kini menuju ke arah kepala cucunya sendiri! Tentu saja hal itu tidak dikehendaki oleh nenek itu dan dalam keadaan yang demikian berbahaya bagi keselamatan cucunya, ia masih mampu melempar diri ke kanan, menjatuhkan diri ke atas tanah dan bergulingan. Akan tetapi sebelum ia melompat berdiri, tiba-tiba ia merasa pahanya perih dan panas dan ketika kembali ia meloncat ke belakang dan melihat, ia terkejut sekali karena celananya robek sedikit dan berdarah. Sementara itu, lawannya berdiri sambil mengacungkan pedangnnya dan tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, racun sudah mulai memasuki tubuhmu, nenek cantik! Engkau akan mampus!”

Nenek Teng Siang In terkejut, cepat ia melihat pahanya dan memang benar, pahanya telah terluka. Ia maklum bahwa sukar menyelamatkan nyawanya lagi. Akan tetapi yang penting bukanlah nyawanya, melainkan keselamatan cucunya, maka dengan nekat, tanpa memperdulikan kenyataan bahwa dirinya telah terluka oleh Ban tok-kiam, nenek Teng Siang In menubruk lagi dan menyerang dengan tendangan-tendangan, pukulan-pukulan dan cakaran-cakaran maut. Melihat kenekatan ini, Sai-cu Lama kagum juga. Kalau saja nenek ini masih muda, tentu dia sendiri akan sayang membunuhnya, lebih baik diambil isteri atau murid atau pembantu! Akan tetapi, dia harus cepat menghabisi nenek ini agar dapat cepat pergi karena kalau sampai keluarga pendekar Suma mengetahui dan dapat menyusul ke sini, dia akan celaka. Ngeri juga dia membayangkan kelihaian mereka. Baru nenek ini saja begitu tangguh, apa lagi para pendekarnya yang masih muda.

Akan tetapi, baru saja dia memutar pedang hendak memperhebat desakannya, tiba-tiba saja berkelebat bayangan biru dan sebuah tendangan yang mengeluarkan angin pukulan berat telah menyambar ke arah punggung Sai-cu Lama. Akan tetapi kakek ini dapat menghindarkan dirinya dan membabat dengan Ban-tok-kiam sehingga si baju biru yang bermaksud merampas anak perempuan di punggung kakek itu terpaksa menarik kembali tangannya. Ternyata pemuda itu adalah Gu Hong Beng!

Seperti telah kita ketahui ketika kakek Sai-Cu Lama merampas Ban-tok-kiam dari tangan Bi Lan, Hong Beng juga melihatnya bahkan sempat mengeroyok kakek yang tangguh itu. Kemudian setelah cintanya ditolak oleh Bi Lan, apa lagi sesudah dia menerima teguran keras dari Bi Lan karena cemburunya terhadap Kun Tek, dengan hati sedih dia lalu melanjutkan perjalanannya, untuk memenuhi perintah gurunya, yaitu melakukan penyelidikan ke kota raja tentang pembesar bernama Hou Seng yang kabarnya merajalela di istana dan membuat kaisar yang semakin tua itu menjadi seperti boneka. Sesuai dengan petunjuk suhunya, dia lalu pergi mencari keluarga Suma Ceng Liong di dusun Hong-cun dan kebetulan sekali di tengah perjalanan, dia melihat perkelahian itu.

Hong Beng tidak mengenal siapa nenek itu, tidak mengenal pula anak perempuan yang nampak lemas terikat di punggung si kakek iblis Sai-cu Lama yang sudah dikenalnya. Melihat keadaan nenek itu yang sudah terluka pahanya akan tetapi masih dengan mati-matian berusaha merampas anak perempuan itu, tanpa tanya lagi Hong Beng tentu saja segera berpihak kepada si nenek yang tak dikenalnya. Dia tahu bahwa Sai-cu Lama amat jahat, maka tentu lawannya bukan orang jahat. Apa lagi nenek itu terdesak hebat dan berada dalam keadaan berbahaya, maka dia pun sekali turun tangan sudah bermaksud merampas anak perempuan itu. Sayang usahanya gagal karena memang Sai-cu Lama hebat sekali kepandaiannya.

Teng Sian, In, sejak mudanya, berwatak angkuh. Apa lagi ia tahu bahwa Lama yang menjadi lawannya itu hebat bukan main kepandaiannya. Ia tidak ingin ada orang membantunya untuk kemudian mati konyol. Ia tidak mau orang mati karena membantunya.

“Orang muda, aku tidak butuh bantuanmu. Pergilah sebelum mati konyol oleh jahanam busuk ini!” teriaknya dan ia masih menyerang lagi dengan tendangan-tendangan ampuhnya.

“Sai-cu Lama ini masih ada urusan dengan aku juga, nek!” kata Hong Beng dan diapun sudah menyerang lagi dan kini bersilat dengan Ilmu Hong-in Bun-hoat! Biarpun dia bertangan kosong, namun kedua tangannya itu bergerak-gerak aneh, seperti orang menulis di udara, akan tetapi setiap “coretan” merupakan serangan yang amat ampuh dan mendatangkan hawa dingin seperti es!

Bukan hanya Sai-cu Lama yang terkejut melihat hebatnya serangan pemuda ini, akan tetapi nenek Teng Siang In terkejut dan girang, juga heran “Hong-in Bun-hoat! Kau murid siapa?” tanyanya sambil membentak dan menyerang lagi.

“Guru saya bernama Suma Ciang Bun....“

“Aihh! Dia keponakanku! Mari kita hancurkan pendeta palsu ini dan rampas kembali cucuku!”

Mendengar seruan nenek ini, bukan main girang rasa hati Hong Beng, akan tetapi selain girang juga dia marah kepada kakek pendeta Lama itu. Nenek ini masih bibi dari gurunya! Kalau begitu tentu nenek ini ibu dari Suma Ceng Liong!

“Baik....!” Dan diapun kini cepat mengerahkan tenaga sin-kang yang dilatihnya dari gurunya, tenaga sin-kang yang bersumber dari Soat-im Sin-kang dan Hui-yang Sin-kang, dua tenaga yang mengandung hawa dingin seperti salju dan panas seperti api. Akan tetapi, dia belum dapat menyatukan dua unsur tenaga sinkang ini, bahkan gurunya sendiri belum mencapai tingkat itu. Dia hanya dapat mempergunakan salah satu saja, yang panas atau yang dingin. Namun, itupun sudah hebat karena dia sudah menguasai hampir setengah bagian dari kedua ilmu pengerahan tenaga sakti itu! Apa lagi dia sudah menguasai beberapa ilmu aseli dari Pulau Es dan kini dia mengubah gerakannya dan bersilat dengan Ilmu Silat Siang-mo Kun-hoat. Ilmu ini sehenarnya adalah ilmu pedang dari Pulau Es yang bernama Siang-mo Kiam-sut dan mempergunakan sepasang pedang. Akan tetapi oleh Suma Ciang Bun, berdasarkan gerakan-gerakan ilmu pedang ini, dia mengajarkan ilmu silat tangan kosong kepada muridnya itu yang diberi nama Siang-mo Kun-hoat (Ilmu Silat Sepasang Iblis). Bukan sepasang pedang yang dipergunakan, melainkan sepasang kaki dan tangan. Dia mempergunakan ilmu silat ini yang sifatnya lebih keras dan agresip dibandingkan Hong-in Bun-hoat yang halus dan benar saja, setelah memainkan ilmu silat ini, dibantu oleh nenek Teng Siang In yang masih menyerang dengan tendangan-tendangan mautnya, Sai-cu Lama terdesak mundur!

Hong Beng seorang pemuda yang cerdik. Dia tahu bahwa selama pedang yang ampuh dan mengandung racun berbahaya itu masih berada di tangan Sai-cu Lama, maka akan sukarlah bagi dia dan nenek itu untuk dapat merampas kembali cucu perempuan nenek itu. Dan kini nampak betapa nenek itu sudah berkurang kecepatannya, agaknya racun dari luka itu sudah mulai menyerangnya.

Hong Beng pernah mempelajari penggunaan jarum-jarum halus sebagai senjata rahasia. Memang jarum halus berbau harum merupakan senjata rahasia gurunya yang amat lihai. Akan tetapi Hong Beng tidak suka menyimpan senjata rahasia seperti itu. Selain sifatnya tidak cocok dengan kejantanannya, karena merupakan jarum yang biasa dipakai wanita, juga dia berjiwa pendekar, tidak enak rasa hatinya kalau mempergunakan senjata gelap dalam perkelahian.

Kini dia merasa bahwa penggunaan senjata rahasia amat penting, bukan untuk merobohkan lawan yang terlalu tangguh untuk diserang dengan senjata rahasia itu, melainkan untuk membebaskan cucu perempuan nenek itu dari pengaruh totokan. Dia percaya bahwa biarpun usianya baru kurang lebih duabelas tahun, sebagai anak keturunan pendekar Pulau Es, anak itu tentu juga pandai silat. Dan kalau ia dapat dibebaskan, dengan kedua tangan bebas dan berada di punggung kakek itu, siapa tahu anak perempuan itu dapat membantu banyak! Pikiran inilah yang membuat Hong Beng melakukan serangan dengan tendangan kedua kaki sambil bergulingan. Namanya saja Ilmu Sepasang Iblis, tentu saja kadang-kadang kasar sekali dan bergulingan. Ketika bergulingan inilah Hong Beng sudah mencengkeram kerikil-kerikil tanpa diketahui lawan.

Mereka berdua masih berusaha mendesak terus dan tiba-tiba, setelah melihat kesempatan baik, kedua tangan Hong Beng bergerak-gerak ke depan menyambitkan batu kerikil-kerikil kecil ke arah Suma Lian di punggung kakek itu.

Sai-cu Lama melihat ini dan hampir dia tertawa melihat sambitan-sambitan batu kerikil. Selain batu- batu itu tidak akan melukai tubuhnya yang kebal, juga sambitan-sambitan itu menyeleweng dari sasaran, menuju ke belakang tubuhnya. Dia tidak tahu bahwa dua di antara batu-batu kecil itu dengan tepat mengenai jalan darah di tengkuk dan pundak Suma Lian dan gadis cilik ini sudah mampu bergerak lagi.“

Suma Lian juga seorang anak yang cerdik bukan main. Biarpun seketika ia dapat bergerak dan mengeluarkan suara, namun ia diam-diam saja, tidak bergerak dan tidak mengeluarkan suara. Akan tetapi jari-jari tangannya merayap ke arah rambutnya dan dari situ, jari-jari tangan itu mengambil sebuah jepit penusuk ramhut terbuat dari emas yang berujung runcing! Ia lalu berpikir-pikir. Pernah ia mempelajari anatomi dari ayahnya, letak-letak otot dan jalan darah, akan tetapi ia belum mempelajari bagian-bagian mana dari tubuh belakang yang paling lemah. Karena itu, ia hanya berpikir bahwa tengkuk yang gemuk itu tentu merupakan pusat dan akan melumpuhkan kakek iblis ini kalau ia dapat menusukkan benda itu dengantepat. Ia lalu memandang tengkuk yang terbuka itu. Penuh daging dan gajih, seperti punuk babi! Ihh, hampir saja bergidik karena jijik. Akan tetapi sasaran itu amat mudah, tinggal mengangkat dan menusukkan benda runcing itu saja. Ia mengangkat tangan kanannya yang sudah memegang benda itu. Hal ini tidak diketahui oleh Sai-cu Lama. Dalam keadaan biasa, tentu dia akan mengetahuinya, akan tetapi pada saat itu, pemuda berpakaian serba biru itu mendesak dan menyerangnya seperti orang kesetanan, sedangkan nenek itu, yang sudah mulai lemah, tiba-tiba berteriak, “Sai-cu Lama, kaulihat baik-baik jimatku!” Dan nenek ini menggerak-gerakkan tangannya. Usaha kedua orang ini tentu saja untuk membantu Suma Lian. Keduanya sudah melihat betapa gadis cilik itu mengangkat tangan.

Dengan sepasang mata tak pernah terlepas dari tengkuk yang gemuk itu, Suma Lian tiba-tiba menusukkan benda runcing itu pada tengkuk yang gendut.

“Crottt....!”

“Aduhhhh....!”

Kedua tangan Suma Lian tiba-tiba menjadi lemas dan ia tidak mampu lagi menusuk terus, karena ketika benda itu, menembus kulit gajih dan daging, darah muncrat-muncrat dan anak perempuan itu merasa jijik akan tetapi juga timbul rasa kasihan dan tidak tega! Bagaimana mungkin ia terus menusukkan benda runcing ke dalam tengkuk gendut itu, yang mirip perut orok? Hampir ia pingsan ketika darah itu muncrat dan sebagian mengenai pipinya, sehingga ia terkulai kembali tanpa dapat menghindar ketika tangan kanan kakek itu menggunakan gagang pedang mengetuk kepalanya. Cukup keras untuk membuat gadis cilik itu roboh pingsan!

Sai-cu Lama telah terluka. Biarpun tidak terlalu dalam, akan tetapi dia semakin khawatir. Gadis cilik ini saja demikian lihai. Kalau datang seorang lagi saja, dia akan celaka! Maka, dia memutar Ban-tok-kiam sedemikian rupa sehingga kedua orang lawannya terpaksa berloncatan ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan olehnya untuk meloncat jauh ke belakang lalu melarikan diri secepatnya!

Hong Beng berseru marah, “Kakek jahat, hendak lari ke mana?” Dia meloncat dan hendak mengejar, akan tetapi terdengar suara lemah, “....jangan.... kejar....“

Dia menoleh dan melihat nenek itu terguling roboh! Teringatlah Hong Beng bahwa nenek itu sudah terluka parah. Maka diapun cepat meloncat menghampiri dan berlutut di dekat tubuh nenek itu.

“Bagaimana baiknya, locianpwe....?” tanyanya, bingung.

“Aku....keadaanku....payah....lekas bawa aku pulang.... kita laporkan hal ini.... kepada.... Ceng Liong....” Ia menuding ke barat dan terkulai, pingsan.

Hong Beng cepat memondong tubuh nenek itu dan berlari menuju ke barat seperti yang ditudingkan oleh nenek itu. Diapun tadi sudah mendapat keterangan bahwa jurusan itu menuju ke dusun Hong-cun.

Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Suma Ceng Liong dan isterinya ketika mereka melihat seorang pemuda berpakaian serba biru memondong tubuh nenek Teng Siang In yang pingsan. Tadinya mereka yang tidak melihat anak mereka dan nenek itu mengira bahwa nenek itu mengajak cucunya berjalan jalan seperti biasa, atau bermain ke suatu tempat. Mereka sedikitpun tidak pernah merasa khawatir kalau anak perempuan mereka pergi bersama neneknya. Akan tetapi sekarang, tahu-tahu nenek itu pulang dipondong seorang pemuda dalam keadaan pingsan dan tidak nampak Suma Lian bersama mereka!

“Apa yang terjadi dengan ibu?” Suma Ceng Liong berseru dan terkejut melihat betapa wajah ibunya sudah biru menghitam.

“Di mana anakku, Suma Lian? Di mana ia....?”

Melihat kebingungan suami isteri itu, Hong Beng dapat memakluminya. Begitu tadi melihat munculnya suami isteri itu, dia sudah merasa kagum sekali. Suma Ceng Liong memang gagah perkasa, tepat seperti yang diceritakan suhunya kepadanya. Seorang pria berusia sekitar tigapuluh dua tahun, bertubuh tinggi tegap dengan muka lonjong dan dagu meruncing, mulutnya seperti selalu tersenyum, wajahnya cerah dan sinar matanya begitu tajam seperti mencorong. Menurut keterangan suhunya, susiok (paman guru) ini memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dari suhunya. juga isteri susioknya itu menurut gurunya, memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali karena dia mewarisi ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas)! Dan dalam usia yang sebaya suaminya bibi guru itu nampak masih amat cantik menarik seperti seorang gadis saja! Selain cantik, juga sepasang matanya amat tajam dan sikapnya gesit dan gagah sekali. Akan tetapi, saat itu, suami isteri yang hebat ini sedang dalam keadaan gelisah dan Hong Beng tidak mau membuang banyak waktu lagi.

“Saya melihat nenek ini bertanding dengan seorang pendeta Lama, kurang lebih lima li disebelah timur dusun ini dan seorang anak perempuan terikat di punggung pendeta itu. Nenek ini terluka dan saya berusaha membantunya, akan tetapi kami tidak berhasil dan kakek pendeta itu sudah melarikan diri membawa anak perempuan di punggungnya....”

“Cukup! bentak Kam Bi Eng, “ke arah mana larinya kakek yang menculik anakku itu?”

“Dari sini ke timur, setelah lima li ada hutan kecil, dia lari ke arah utara,” jawab Hong Beng. Dan tiba-tiba saja wanita itu berkelebat dan lenyap dari situ!

Suma Ceng Liong juga akan lari, akan tetapi teringat akan ibunya dan dia berdiri bingung. Dia cepat berjongkok dan memeriksa keadaan ibunya. Alisnya berkerut dan dua titik air mata membasahi matanya. Pendekar ini lalu bangkit berdiri.

“Siapa kau?”

Hong Beng menjatuhkan diri berlutut. “Susiok, nama saya Gu Hong Beng dan teecu adalah murid dari suhu Suma Ciang Bun. Teecu diutus menyelidiki keadaan pembesar Hou Seng di kota raja akan tetapi oleh suhu disuruh singgah dulu di sini untuk minta keterangan dan nasihat dari Susiok.”

“Hemm, kaujaga dulu ibuku ini. Ia sudah.... tak mungkin dapat ditolong lagi. Tahukah engkau dengan apa pahanya itu dilukai?”

“Dengan Ban-tok-kiam.”

“Ban-tok-kiam? Bagaimana kau bisa tahu.... ah, sudahlah, nanti saja bercerita. Kaujaga ibuku dan aku akan mengejar kakek iblis itu!” Dan tubuhnya berkelebat lenyap pula dari depan Hong Beng. Pemuda ini semakin kagum dan diapun memondong tubuh nenek itu, dibawanya ke dalam sebuah kamar menurut petunjuk seorang pelayan yang tadi mendengarkan percakapan mereka dan percaya kepada pemuda ini yang mengaku murid keponakan majikannya. Gu Hong Beng menunggui tubuh nenek itu. “Wajah nenek itu biru kehitaman dan menakutkan sekali, matanya melotot dan mulutnya terbuka. Napasnya masih belum terhenti, terengah-engah dan tinggal satu-satu, tubuhnya panas seperti dibakar api. Dia mengingat-ingat pelajaran tentang pengobatan yang pernah dipelajarinya dari gurunya, dan dirabanya pergelangan tangan kiri nenek itu, kemudian yang kanan. Denyut jantungnya lemah sekali di bagian kiri, akan tetapi di lengan kanan itu tidak ada denyut sama sekali. Diapun tahu bahwa nenek ini sukar sekali ditolong, kecuali kalau ada obat dewa. Andaikata masih dapat ditolong, tidak mungkin pendekar Suma Ceng Liong akan meninggalkannya begitu saja untuk mengejar penculik anaknya. Tentu lebih dahulu akan menolong dan mengobati ibunya.

Tiba-tiba timbul pikiran Hong Beng untuk membantu nenek itu agar jalan darahnya lebih cepat dan biarpun hal itu bukan merupakan pertolongan terhadap nyawa nenek itu, namun mungkin saja dapat membuat nenek itu sadar, walaupun hanya untuk beberapa detik lamanya. Siapa tahu, nenek ini hendak meninggalkan pesan. Kasihan orang yang mau mati tidak sempat meninggalkan pesan apa-apa. Dengan hati-hati sekali, dengan tenaga yang dikendalikannya baik-baik, di lalu menotok beberapa jalan darah di pundak, tengkuk dan punggung, dan mengurut lengan kanan.

Harapannya terkabul. Tak lama kemudian, mata yang terbelalak itu bergerak dan memandang dengan wajar kepadanya tanpa menoleh. Hong Beng mendekatkan mukanya karena melihat bibir itu bergerak-gerak. Nenek itu berbisik-bisik.

“Kau.... berjanjilah untuk mentaati perintahku....”

Bukan main nenek ini, pikir Hong Beng. Sudah menghadapi maut, masih keras hati dan minta dia mentaati perintahnya! Dia mengangguk-angguk menghormati pesan seorang di ambang pintu kematian.

“Saya berjanji untuk mentaati, nek.”

“....ber.... bersumpah!”

Hong Beng terbelalak, akan tetapi tidak berani menolak. Kembali dia mengangguk dan berkata “Saya bersumpah, nek!”

Wajah yang sudah menghitam itu nampak tenang, mulut yang sudah membiru bibirnya itu tersenyum menyeramkan jadinya! “Bagus! Kelak kau.... kau harus menjadi suami Suma Lian....”

Hampir saja Hong Beng terlonjak kaget dan dia cepat membantah, “Akan tetapi, nek! Nenek.... ah, nenek....ini tidak bisa.... nek....!” percuma saja dia berteriak-teriak karena nenek itu sudah tak bernapas lagi!

Pelayan yang berada di luar kamar mendengar teriakan-teriakan Hong Beng lalu masuk dan segera terdengar jerit tangis pelayan perempuan itu yang menarik perhatian para tetangga. Tak lama kemudian, terdengar tangis kaum wanita yang menjadi tetangga nenek itu. Sudah menjadi suatu kelajiman, bahwa pada setiap kematian, tentu terdengar tangis wanita. Agaknya kalau tidak terdengar tangis wanita akan menjadi aneh sekali tentu!

Tak seorangpun memperdulikan Hong Beng yang duduk di ruangan luar sambil bengong terlongong. Kadang-kadang dia menarik napas panjang, lalu menggeleng-geleng kepala seperti hendak membantah sesuatu, lalu nampak menyesal sekali seperti orang mau menangis. Dia memang merasa menyesal bukan main. Bagaimana nenek aneh itu meninggalkan pesan seperti itu kepadanya? Dan dia sudah berjanji, bersumpah malah! Bersumpah untuk mentaati perintahnya. Siapa tahu perintah terakhir itu begitu gila? Bagaimana mungkin dia harus menjadi calon suami.... siapa lagi nama anak perempuan yang menjadi cucunya itu? Suma Lian, benar, Suma Lian. Mana mungkin ini? Suma Lian adalah puteri tunggal Suma Ceng Liong. Sedangkan dia? Hanya anak yatim piatu, hanya keturunan tukang kayu sederhana. Seorang pemuda yang sudah tidak mempunyai apa-apa lagi. Ayah tidak, ibu tidak, uang sepeserpun tidak, rumah tidak dan keluargapun tidak! Untuk menjadi bujang Suma Lian saja agaknya masih belum tentu diterima, apa lagi menjadi suami! Dan siapa berani memberitahukan pesan itu kepada keluarga susioknya? Biar sampai mati dia tidak akan berani! Dia tahu tentu akan ditolak, dan mungkin dia tidak dipercaya dan disangkanya dia bikin-bikin saja. Alangkah akan malunya, dan dia akan merasa terhina sekali. Tidak, dia tidak akan bercerita kepada siapapun juga!

Akan tetapi, dia sudah bersumpah untuk mentaati pesan terakhir yang berupa perintah itu!

“Hayaaaaa.... nenek aneh, kenapa sih engkau meninggalkan pesan yang begitu aneh dan gila? Engkau menambahkan beban pada pundakku, membuat kehidupan ini menjadi semakin berat rasanya....“ Baru saja dia dilanda duka karena penolakan cinta dan sekarang dia dihadapkan pada persoalan yang jauh lebih rumit lagi. Kalau persoalan mengenai diri Bi Lan, dianggapnya sudah selesai. Cintanya ditolak dan habis perkara! Dia akan menderita atau tidak adalah urusannya sendiri, tidak ada lagi hubungan dan sangkut pautnya dengan orang lain. Akan tetapi urusan pesan nenek itu? Celaka! Begitu banyaknya orang akan tersangkut. Bukan hanya diri Suma Lian langsung yang terkena pesan itu, akan tetapi juga dia berhadapan dengan ayah ibu anak perempuan itu, dan gurunya sendiri tentu akan ikut terbawa buruknya, dan salah-salah seluruh keluarga Pendekar Pulau Es akan memusuhinya karena menganggap dia menghina keluarga itu! Akan tetapi, kalau dia diam saja karena pesan terakhir itu hanya diketahui oleh dia dan nenek itu sendiri, selama hidupnya akan ada perasaan bersalah di dalam hatinya. Selama hidupnya! Karena dia sudah berani bersumpah di depan seorang nenek yang hampir mati dan tidak menetapi janjinya tidak memenuhi sumpahnya. Dan untuk itu, selama hidupnya dia tentu akan tersiksa oleh batin sendiri,

“Celaka, mengapa nasibku begini aneh dan buruk?” dan hampir saja Hong Beng menangis kalau saja saat itu tidak datang suami isteri Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Mereka pulang dengan tangan kosong dan dengan muka agak pucat mengandung kegelisahan hati. Mereka melihat Hong Beng duduk di ruangan depan, akan tetapi melihat banyaknya tetangga dan tangis para wanita, suami isteri itu tidak memperdulikan Hong Beng dan mereka segera lari ke dalam rumah. Tangis di dalam rumah itu menjadi semakin riuh dengan kedatangan suami isteri itu. Para tamu wanita itu, para tetangga, harus memperlihatkan keprihatinan dan kesedihan mereka di depan tuan dan nyonya rumah. Itu namanya sopan santun. Dan seorang saja menangis, yang lainpun tanpa diperintah lagi, otomatis air matapun bercucuran! Perempuan namanya!

Makin berat rasa hati Hong Beng. Kedatangannya, seolah-olah membawa bencana pada keluarga pendekar Suma ini! Melihat betapa suami isteri itu pulang dengan tangan kosong, tahulah dia bahwa mereka kehilangan jejak Sai-cu Lama! Dan dialah pembawa berita buruk tentang diculiknya anak mereka dan bahkan membawa ibu pendekar itu dalam keadaan sekarat. Bagaimana mungkin dia, si pembawa berita buruk, si pendatang pembawa sial, akan pernah berani membuka rahasia pesan terakhir nenek itu? Akan tetapi, ada berita baik yang dapat disampaikannya kepada mereka, yaitu ke mana larinya Sai-cu Lama. Dia tahu ini! Bukankah Tiong Ki Hwesio pernah mengatakan bahwa kalau hendak mencari Sai-cu Lama, harus dicari di istana kota raja? Wah, sedikitnya dia akan berjasa kalau memberitahukan hal itu.

Hong Beng sudah bangkit berdiri dari tempat duduknya, hendak berlari masuk, akan tetapi pikirannya melarangnya. Mengapa harus memberitahukan mereka? Biarlah dia sendiri yang akan mengejar ke kota raja. Dia sendiri yang akan menolong anak perempuan itu! Ya, dia harus menolong Suma Lian, bukan memperisterinya seperti yang dipesankan oleh nenek aneh itu! Kalau dia dapat menyelamatkan Suma Lian, baru dia membuka rahasia itu hanya dengan maksud menyampaikan pesan terakhir, bukan bermaksud menuntut haknya! Tidak, dia tidak akan menuntut haknya, dia tidak akan memaksa Suma Lian menjadi jodohnya. Sekali saja berhubungan hati dengan wanita sudah cukuplah. Dia sudah jera. Sakitnya bukan alang kepalang kalau cintanya ditolak! Dia tidak mau mengalaminya untuk ke dua kalinya. Biarlah, dia tidak akan membiarkan hatinya jatuh lagi, tidak akan membiarkan dirinya jatuh cinta kepada seorang wanita. Pula, wanita mana sih yang sudi menjadi calon isteri seorang pemuda yang miskin, yatim piatu, tidak punya apa-apa, bahkan memiliki kepandaianpun tidak ada gunanya? Buktinya, kepandaiannya itu tidak mampu menyelamatkan nenek itu, tidak mampu merampas Suma Lian. Dia hanya akan mencurahkan seluruh tenaga dan kemampuannya, bahkan seluruh hidupnya, untuk melaksanakan perintah suhunya, dan sekarang ditambah lagi, untuk mencari dan menyelamatkan Suma Lian. Untung bahwa dua tugas hidup yang sudah ditentukannya sendiri itu semua terletak di kota raja Dia akan pergi sekarang juga, untuk melakukan pengejaran terhadap Sai-cu Lama. Dia tahu betapa tangguhnya pendeta Lama itu, dan belum tentu dia akan berhasil. Akan tetapi, kalau perlu dia akan berkorban nyawa untuk dua tugas itu! Didatanginya seorang pelayan yang berada di luar dan dia berkata lirih,

“Paman, tolong nanti beritahukan kepada tuan dan nyonya rumah kalau mereka menanyakan aku bahwa aku pergi untuk mencari nona Suma Lian.” Tanpa menanti jawaban, dia lalu pergi meninggalkan rumah duka itu yang mulai dibanjiri tangis yang datang berlayat.

Mengapa kita selalu menyambut kelahiran dengan tawa dan mengantar kematian dengan tangis? Mengapa dalam urusan hidup dan mati kitapun masih mempergunakan perhitungan rugi untung? Merasa beruntung karena memperoleh warga baru dan merasa rugi atau kehilangan kalau ditinggal mati seorang anggauta keluarga? Kalau bukan karena merasa rugi atau kehilangan, lalu mengapa menangisi seorang yang mati?

Hanya ada dua jawaban yang akan kita dapat kalau kita bertanya kepada mereka yang menangisi kematian, yang berduka kalau ada seseorang anggauta keluarga meninggal dunia. Jawaban itu tentu, pertama : Karena mencinta yang mati dan merasa kehilangan maka mereka berduka. Jawaban ke dua adalah : Karena merasa iba kepada yang mati maka mereka menangis. Akan tetapi, benarkah jawaban itu? Benarkah kita menangis karena kita mencinta si mati? Dan benarkah kita merasa iba kepada si mati maka kita menangis?

Jawaban ke dua itu jelas tidak masuk akal. Bagaimana mungkin kita dapat merasa kasihan, dapat merasa iba kepada si mati kalau kita tidak tahu apa dan bagaimana keadaan orang yang mati itu? Sakitkah? Jelas tidak merasa sakit lagi. Menderitakah dia yang mati? Jelas bahwa kita tidak tahu, akan tetapi mana bisa orang menderita kalau dia tidak merasakan apa-apa lagi? Jadi, merasa iba kepada si mati adalah suatu alasan yang palsu. Yang jelas, bukan iba kepada dia yang mati, melainkan iba kepada diri sendiri karena ditinggalkan. Coba dengarkan kalau kita menangisi orang yang mati. Bagaimana keluh kesah dan ratap tangisnya? Kita mengatakan betapa teganya si mati itu meninggalkan kita! Kita mengatakan lalu bagaimana dengan kita ini setelah ditinggalkan untuk selamanya? Bukankah semua itu menunjukkan bahwa kita ini sebenarnya terlalu mementingkan diri sendiri, bukan iba kepada si mati melainkan iba kepada diri sendiri?

Kemudian jawaban pertama tadi. Kita mencinta si mati dan merasa kehilangan ditinggalkan, maka berduka. Benarkah kita mencinta si mati kalau kita menyedihi kematiannya? Bukankah kesedihan itu muncul karena adanya ikatan kita kepada si mati? Ikatan inilah yang menimbulkan duka. Ikatan batin. Bukan hanya kepada orang lain, melainkan juga ikatan kepada benda, kepada milik. Sekali yang mengikat batin itu hilang, kita akan berduka dan merasa kehilangan. Dan cinta bukan berarti belenggu ikatan batin. Cinta seperti itu hanya akan menimbulkan cemburu, iri hati, bahkan dapat mengubah cinta menjadi kebencian, karena cinta yang membelenggu batin hanyalah nafsu belaka. Nafsu yang mendatangkan kesenangan pada diri kita, pada perasaan kita, itulah yang membelenggu, yang membuat kita tidak mau kehilangan dan ingin selamanya merangkul yang menyenangkan itu. Inilah cinta kita yang sesungguhnya hanyalah nafsu belaka. Cinta membuat kita INGIN MELIHAT YANG DICINTA ITU BERBAHAGIA! Dan yakinkah kita bahwa dia akan lebih berbahagia kalau masih hidup? Ada yang ketika hidupnya sakit parah sampai bertahun-tahun, setelah mati ditangisi, katanya karena sayang dan cinta! Nah, banyak lika-likunya tentang kata “cinta” ini kalau kita mau menyelidiki dan membuka mata meneliti perasaan diri kita sendiri yang selalu ringan mulut mengaku “cinta”.

Keluarga Suma tidak dapat berlama-lama menahan peti jenazah nenek Teng Siang In, bahkan tidak sempat menanti kedatangan para keluarga yang tinggal jauh dari situ, karena mereka ingin cepat-cepat mengubur peti jenazah itu agar mereka dapat cepat pergi mencari puteri mereka yang lenyap dibawa lari. Mereka berdua merasa terkejut dan menyesal sekali melihat bahwa Hong Beng telah pergi tanpa pamit kepada mereka, hanya meninggalkan pesan kepada seorang pelayan bahwa pemuda itu pergi untuk mencari Suma Lian. Mereka merasa menyesal mengapa tadi saking duka hati mereka tertimpa dua kemalangan secara berbareng, yaitu terculiknya Suma Lian dan matinya nenek Teng Siang In, mereka tidak memperhatikan lagi pemuda itu. Mereka sangat memerlukan pemuda itu yang tidak sempat bercerita sejelasnya tentang kakek yang melarikan Suma Lian. Mereka berdua tidak tahu siapa kakek pendeta itu, siapa namanya dan dari mana datangnya. Walaupun pemuda itu sendiripun belum tentu tahu, namun setidaknya pemuda itu dapat menceritakan bagaimana bentuk dan rupa kakek itu dan tentang Ban-tok-kiam yang tiba-tiba saja berada di tangan kakek yang membunuh nenek Teng Siang In dan menculik Suma Lian. Pedang Ban-tok-kiam adalah Pedang pusaka milik nenek Wan Ceng isteri Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Tidak mungkin kalau pendeta itu suruhan mereka. Sungguh tidak mungkin! Satu-satunya kemungkinan adalah bahwa pedang Ban-tok-kiam itu dicuri dari tangan nenek Wan Ceng oleh kakek penculik Suma Lian itu, mengingat betapa lihainya kakek itu sehingga nenek Teng Siang In juga terluka dan tewas di tangannya.

Tidak ada lain jalan, ke sanalah mereka pergi. Ke Istana Gurun Pasir, tempat tinggal suami isteri sakti itu, di luar Tembok Besar, jauh di utara. Mereka harus menyelidiki dulu tentang Ban-tok-kiam dan mungkin dari sana mereka akan mendengar siapa adanya kakek yang tiba-tiba saja memusuhi keluarga mereka itu. Setelah penguburan selesai, dengan pakaian berkabung suami isteri inipun segera meninggalkan rumah, berangkat menuju ke utara.

***

Pegunungan Tai-hang-san terkenal sebagai pegunungan yang indah, memanjang dari selatan ke utara. Di pegunungan itu terdapat banyak puncak-puncaknya yang selain amat indah pemandangan alamnya, juga amat sukar didaki orang karena untuk mencapai puncak, orang harus menuruni jurang dan memanjat tebing-tebing yang amat curam. Bahkan para pemburu pun jarang berani mendekati puncak-puncak yang berbahaya itu, melainkan mencari binatang buruan di sekitar lereng pegunungan di mana terdapat banyak hutan-hutan yang luas. Pegunungan ini terletak di tepi daerah pegunungan yang memenuhi sebagian besar daratan Cina, di tepi timur sehingga dari puncak-puncaknya, nampaklah bagian timur yang datar dan rendah, penuh dengan sungai-sungai besar yang mengalir dari barat dan utara yang penuh dengan pegunungan itu. Akan tetapi kalau dari puncak Tai-hang-san orang memandang ke utara, selatan dan terutama barat, maka yang nampak hanya pegunungan belaka, dan daerah-daerah tandus yang tinggi.

Karena di bagian timurnya datar dan tidak terhalang gunung, amat indahlah pemandangan matahari terbit di puncak Tai-hang-san. Matahari terbit pagi sekali karena tidak terhalang apa-apa, nampak kalau pagi matahari seperti muncul dari tanah yang merupakan garis jauh sepanjang mata memandang, dan nampak bola merah itu menyembul perlahan-lahan, besar dan merah darah, makin lama makin tinggi sampai mata tidak kuat memandang lagi karena semakin tinggi bola merah itu naik, semakin kuat cahayanya. Warna merahpun berganti keemasan, lalu kalau sudah berubah seperti warna perak, matahari itu sudah naik tinggi.

Namun, ketika bola itu masih berwarna merah darah, pemandangan alam di atas puncak sukar dilukiskan dengan kata-kata. Pokoknya, indah yang mengandung sesuatu yang dapat mendatangkan perasaan damai penuh ketenangan di dalam hati, mendatangkan perasaan takjub dan hening, menggugah kesadaran betapa diri kita ini kecil dan sama sekali tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan kebesaran alam. Menyadarkan batin bahwa kita ini merupakan sebagian kecil saja dari alam, ikut berputar dalam arus kekuasaan alam yang sudah mengatur segala-galanya secara sempurna. Betapa kita ini merupakan mahluk yang hanya dapat hidup karena adanya semua yang nampak dan tidak nampak di alam ini. Cahaya matahari, udara, bumi, air, pohon-pohonan. Semua sudah teratur, sedemikian sempurna, saling kait-mengait, saling mematikan, saling menghidupkan, tak boleh kurang satu pun juga, sesuai dengan hukum alam. Sayang bahwa kesadaran ini hanya kadang-kadang saja memasuki batin kita, dan sebagian besar dari waktu kita terisi oleh pikiran yang menciptakan sang aku, sehingga bayangan aku inilah yang paling besar, paling penting, dan harus dipalingdahulukan! Padahal, tanpa pergi ke puncak gunung seperti puncak Tai-hang-san sekalipun, dengan meneliti tubuh kita sendiri, kita akan menemukan keajaiban-keajaiban itu, akan menemukan kekuasaan alam yang bekerja dengan sempurna pada diri kita, karena keadaan diri kita tiada ubahnya dengan keadaan alam! Lihatlah, rambut kita yang tak dapat kita hitung banyaknya itu, bulu-bulu di tubuh kita, satu demi satu hidup sendiri-sendiri tanpa kita kuasai, ada yang panjang ada yang pendek ada yang rontok ada yang tumbuh lagi. Garis-garis kulit kita, lekuk dan lengkung tubuh kita, badan kita seluruhnya, isi kepala dan perut, otak kita, semua tumbuh sendiri-sendiri tanpa dapat diatur oleh sang aku! Jantung kita berdenyut setiap saat, baik kita sedang sadar maupun tidak, seolah-olah hidup tersendiri. Lalu apa sesungguhnya kemampuan sang aku yang begitu kita agung-agungkan? Bukankah sang aku itu hanya ciptaan pikiran kita saja yang selalu mengejar hal-hal yang menyenangkan yang pernah kita alami dan menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan? Di mana ada pengejaran kesenangan maka aku menjadi-jadi pentingnya. Segala macam nafsu mengaku menjadi sang aku. Dan begitu ada pengejaran kepentingan diri untuk kesenangan, mulailah di antara kita saling bertumbukan, saling memperebutkan kesenangan yang kita beri nama kebenaran dan sebagainya yang muluk-muluk. Bahkan perangpun terjadi di antara bangsa karena cetusan keinginan untuk mengejar kesenangan masing-masing itulah, mengejar kepentingan diri pribadi.

Hampir setiap pagi, di atas satu di antara puncak--puncak pegunungan itu, seorang pria selalu menyambut munculnya matahari sambil meniup sulingnya. Keadaan di sekitarnya, pemandangan alam yang nampak oleh matanya, bunyi-bunyian antara binatang-binatang malam yang mulai mengendur diganti suara kokok ayam dan kicau burung yang memasuki telinganya, keharuman tanah yang dibasahi air embun, rumput dan daun-daun pohon yang memasuki hidungnya, perasaan hati yang tenang dan hening, semua itu seolah-olah memberi ilham kepadanya untuk mengalunkan suara sulingnya tanpa memainkan suatu lagu tertentu! Semua yang didengarnya, dilihatnya dan diciumnya itu seolah-olah hendak dia masukkan ke dalam tiupan sulingnya, atau lebih tepat lagi, dia ingin mengiringi semua itu dengan alunan suara yang serasi, dan dia meniup dengan sepenuh perasaan, hanyut ke dalam suara buatan sulingnya sendiri.

Pria itu berusia tigapuluh tiga tahun, bertubuh sedang dan wajahnya bersih tampan, namun sepasang matanya yang tajam itu seperti diselimuti kesayuan, seperti mata orang yang pernah dilanda duka. Pakaiannya sederhana sekali, namun bersih. Dia duduk di atas sebuah batu hitam, menghadap ke timur dan suara sulingnya akhirnya berhenti setelah matahari naik semakin tinggi dan cahayanya mulai menyilaukan mata. Begitu suara sulingnya berhenti, ramailah terdengar suara burung-burung berkicau dan pergantian suara ini bukan membikin suasana menjadi buruk, bahkan kini suasana menjadi gembira sekali, seolah-olah burung-burung itu bergembira menyambut hari yang cerah. Suara suling tadi mendatangkan kesyahduan dan agaknya banyak burung ikut mendengarkan dan baru sekarang mereka semua berkicau dan ada yang mulai terbang meninggalkan pohon untuk pergi mencari makan.

Melihat sulingnya yang mengeluarkan cahaya ketika tertimpa sinar matahari yang mulai naik tinggi tentu akan membuat orang terkejut karena suling itu, terbuat dari pada kayu menghitam yang diukir indah seperti bentuk naga akan tetapi tajam dan runcing seperti pedang. Dan memang benda itu adalah Liong-siauw-kiam (Pedang Suling Naga) dan pemegangnya adalah Pendekar Suling Naga Sim Houw!

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Sim Houw pernah pergi jauh ke daerah Himalaya untuk mengunjungi keluarga Cu Kang Bu yang masih merupakan keluarga mendiang ibunya. Ibunya, mendiang Cu Pek In, adalah keponakan dari pendekar Cu Kang Bu. Ketika berkunjung itulah dia berhasil mengalahkan mendiang Pek-bin Lo-sian dan menerima hadiah Liong-siauw-kiam itu. Karena pedang ini amat cocok untuk dipakai sebagai suling dan pedang, maka diapun menyerahkan kembali suling emas yang diterima dari ibunya dahulu, juga mengembalikan Koai-liong Po-kiam yang memang asalnya dari lembah keluarga Cu.

Semenjak itu, diapun merantau selama tujuh tahun, dan pedangnya yang sudah mengalahkan entah berapa banyak tokoh-tokoh kaum sesat, membuat nama Pendekar Suling Naga semakin terkenal. Akan tetapi, semakin dia terkenal, Sim Houw menjadi semakin rendah hati. Dia yang sejak muda sudah biasa hidup di alam bebas, menyatukan diri dengan kebesaran alam, dapat melihat bahwa dirinya itu sesungguhnya bukan apa-apa, hanya kebetulan menjadi pewaris ilmu silat yang tinggi dan pusaka yang ampuh begitu saja. Seperti juga semua manusia lain, tentu dia memiliki kelebihan dan kekurangannya. Dia kelihatan terkenal dan dikagumi orang, akan tetapi hidupnya selalu sebatangkara dan sampai hari itu, dia masih juga hidup menyendiri. Dia sudah tidak memiliki keluarga kecuali keluarga Cu yang tinggal jauh di Himalaya itu, dan kalau sampai berusia tigapuluh tiga tahun dia belum juga menikah, hal itu sama sekali bukan karena dia pantang menikah, melainkan karena dia belum pernah bertemu dengan seorang wanita yang cocok untuk menjadi jodohnya, seorang yang saling mencinta dengan dia! Dia tidak mau patah hati untuk kedua kalinya. Kegagalan cinta dan pertalian perjodohannya dengan Kam Bi Eng yang kini menjadi isteri pendekar Suma Ceng Liong, membuat Sim Houw berhati-hati sekali dan tidak mau sembarangan jatuh hati kepada wanita sebelum dia yakin benar bahwa cintanya tidak akan bertepuk tangan sebelah. Dan sampai sekarang, dia masih merasa belum bertemu dengan jodohnya. Kalau ada wanita yang menarik hatinya, ternyata wanita itu tidak cinta kepadanya, dan sebaliknya kalau ada gadis yang tertarik kepadanya, dia sendiri tidak mencinta gadis itu. Dia tidak mencari gadis yang cantik jelita, atau yang kepandaian silatnya setingkat dia. Dia tidak mempunyai syarat apapun, kecuali saling mencinta. Dan bagi cinta, agaknya wajah dan kepandaian itu tidak dapat dipakai sebagai dasar atau ukuran. Cinta adalah urusan hati, sedangkan kepandaian dan kecantikan adalah urusan badan. Walaupun ada kaitannya, namun keindahan lahiriah itu tidak menjadi syarat yang menentukan bagi cinta.

Kadang-kadang timbul pula rasa kesepian di lubuk hati pria yang masih muda ini, dan rasa kesepian ini menakutkan sekali. Sebagai seorang pendekar sakti, belum pernah dia takut menghadapi lawan yang bagaimana tangguhpun, akan tetapi menghadapi kesepian ini kadang-kadang membuatnya merasa ngeri! Haruskah hidupnya selalu begini, seorang diri saja? Akan tetapi ada kalanya kesepian itu menjadi keheningan yang menyejukkan hati, yaitu di waktu pikirannya tenang dan tidak mengada-ada.

“Bagus sekali, mengapa berhenti?” Tiba-tiba terdengar suara halus. Sejak tadi, pendekar ini tahu bahwa ada orang datang dari arah belakang dan orang itu berhenti sampai lama. Biarpun dia tadi masih meniup sulingnya, akan tetapi andaikata orang di belakangnya itu menyerangnya secara tiba-tiba, dia tentu akan dapat melindungi dirinya. Karena sudah tahu bahwa di belakangnya ada orang, semestinya dia tidak kaget ketika mendengar teguran itu. Akan tetapi, kenyataannya Sim Houw terkejut dan terheran, cepat dia menoleh karena tak disangkanya bahwa orang yang datang adalah seorang wanita dan teguran tadipun sama sekali tidak menunjukkan nada permusuhan. Dan kekagetannya bertambah ketika dia menoleh dan melihat bahwa yang menegurnya adalah seorang dara yang masih muda, paling banyak delapanbelas tahun usianya dan dara itu manis sekali. Kini gadis itu berdiri, baru saja keluar dari balik batang pohon di mana ia tadi mengintai, dan tersenyum. Memang luar biasa manisnya gadis ini kalau tersenyum. Wajahnya memang selalu cerah, sikapnya selalu gembira dan jenaka, akan tetapi kalau ia tersenyum, mulut yang kecil itu dihias sepasang lesung pipit di kanan kiri sehingga Sim Houw terpesona dan sejenak timbul pikiran tahyul bahwa yang muncul ini bukan manusia melainkan seorang dewi!

Akhirnya dapat juga dia menenteramkan jantungnya yang berdebar tidak karuan itu dan diapun bertanya, seolah-olah tidak percaya akan pendengarannya tadi, “Apa yang kaukatakan tadi?”

“Aku berkata bahwa tiupan sulingmu itu bagus dan merdu bukan main, akan tetapi kenapa berhenti?”

Sim Houw tersenyum dan bangkit berdiri, menghadapi gadis itu. “Tiupanku hanya asal bunyi saja, bagaimana bisa bagus? Dan aku berhenti meniup karena memang sudah habis.” Sukar dia menguraikan mengapa dia meniup suling, digerakkan oleh suasana dan suasana pula yang menghentikan tiupan sulingnya.

“Eh, lagu apakah tadi? Indah sekali!” kembali gadis itu bertanya sambil mendekat.

“Lagu asal bunyi saja. Adik ini siapakah dan datang dari mana hendak ke mana? Sungguh aneh melihat seorang dara muda seperti engkau ini dapat datang ke puncak ini. Bagaimana kau bisa datang ke sini dan bersama siapa, ada keperluan apa?”

“Wah-wah-wah, pertanyaanmu datang bertubi seperti hujan deras saja. Kenapa kau bertanya-tanya? Apakah puncak ini milikmu?”

Ditanya demikian, Sim Houw membelalakkan matanya. Suasana menjadi demikian gembira setelah gadis ini bicara. Mungkin karena wajahnya yang cerah itu, atau senyumnya yang manis, atau juga karena kata-katanya yang jenaka.

“Puncak ini? Puncak ini memang milikku, juga milikmu, dan milik siapa saja yang mau mengakuinya.”

“Wah, jawabanmu aneh dan ngaco! Mana bisa semua orang boleh memilikinya asal mau mengakuinya?”

“Siapa pula yang mau memiliki gunung? Aku bertanya karena merasa heran bagaimana engkau bisa datang ke sini.”

“Aku datang seorang diri tanpa kawan, dan apa anehnya?

“Akan tetapi tidak mudah naik ke puncak ini, apa lagi bagi seorang....”

“Bagiku mudah saja!”

Mengertilah Sim Houw bahwa yang datang ini adalah seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian silat cukup tinggi maka dapat dengan mudah mendaki puncak ini. “Kalau boleh aku bertanya, apakah keperluanmu datang ke sini?”

“Mencari orang! Dan sekarang, untuk pertanyaanmu yang bertubi-tubi itu, aku mau membalas dengan satu pertanyaan saja. Setelah kaujawab, aku segera pergi dari sini tidak akan menganggumu lagi.”

Sim Houw tersenyum lagi. Sikap dan cara bicara anak ini sungguh lucu dan lincah jenaka. “Tanyalah, adik yang baik, bukan hanya sebuah pertanyaan, biar selosinpun akan kujawab.”

“Tak usah banyak-banyak, satu saja karena aku datang bukan untuk mengajak orang mengobrol. Begini paman yang baik. Aku mendengar bahwa orang yang sedang kucari itu berada di sekitar Pegunungan Tai-hang-san ini, dan ketika aku bertanya-tanya kepada para penghuni dusun di bawah sana, mereka memberi tahu bahwa untuk mencari orang itu aku harus bertanya kepada seorang penyuling yang mungkin berada di puncak ini. Nah, akupun datang di sini dan karena engkau pandai bermain suling, agaknya engkaulah penyuling itu. Tentu saja kecuali kalau ada penyuling lain lagi.”

Hati Sim Houw mulai merasa tidak enak, akan tetapi dengan sikap tenang dia menyimpan Liong-siauw-kiam di sarungnya yang terselip di pinggang di balik bajunya jang panjang, dan dia bertanya. “Nona, siapakah yang kaucari itu?”

Dara itu bukan lain adalah Can Bi Lan. Setelah ia mendengar dari Kun Tek bahwa kalau ia hendak mencari Pendekar Suling Naga, ia harus pergi ke Tai-hang-san karena pendekar itu suka berkeliaran di daerah itu, maka iapun langsung saja pergi ke Tai-hang-san. Di sekitar kaki dan lereng pegunungan itu, ditanyainya penghuni dusun barang kali ada yang mengenal orang yang bernama Sim Houw berjuluk Pendekar Suling Naga.

“Yang kucari adalah Pendekar Suling Naga yang bernama Sim Houw.” Sepasang mata yang jernih tajam itu memandang penuh selidik. “Tahukah engkau, paman?”

Sim Houw mengangguk dan menekan hatinya yang agak menegang. Heran dia mengapa dicari oleh dara muda ini hatinya merasa tegang, padahal andaikata yang mencarinya itu beberapa orang yang kelihatan jahat dan mengambil sikap bermusuh sekalipun, belum tentu dia akan kehilangan ketenangan.

“Nona,” dia tidak menyebut lagi adik setelah mendengar betapa gadis itu menyebutnya “paman” dan memang, melihat keadaan gadis itu yang masih muda, sudah sepatutnyalah kalau dia disebut paman. “Kalau engkau hendak mencarinya, yang bernama Sim Houw adalah aku sendiri. Tidak tahu ada keperluan apakah?”

Bi Lan melongo dan kini sepasang matanya memandang pria itu dari kepala ke kaki dengan penuh selidik. “Luar biasa! Engkau pendekar yang namanya terkenal sekali itu? Ah, siapa kira....“

“Ternyata hanya begini saja, ya?” Sim Houw tersenyum pahit, tidak menyesal hanya merasa lucu. Beginilah jadinya kalau orang menjadi terkenal. Lebih enak menjadi orang yang tidak dikenal, sehingga tidak ada yang kecewa atau heran melihat keadaannya.

“Ah, bukan begitu. Tapi hemm, bentuk badan dan wajah memang agak cocok dengan keterangan suci. Tubuhmu sedang dan wajahmu cukup tampan. Akan tetapi tidak setua ini! Kata suci, engkau seorang pemuda yang hebat, tampan dan lihai. Tapi biarpun engkau tampan, engkau tidak muda lagi dan pakaianmu begini sederhana, sama sekali bukan seperti pendekar.”

“Kalau pendekar itu harus seperti bagaimana?” Sim Houw yang ketularan kejenakaan gadis itu, bertanya sambil berkelakar.

“Seperti.... seperti....apa ya? Aku sendiripun tidak tahu.” Ia teringat akan Gu Hong Beng dari Cu Kun Tek. Keduanya adalah pendekar-pendekar muda, akan tetapi merekapun seperti orang biasa. Hampir lupa ia bahwa pendekarpun orang, maka tentu tidak ada bedanya dengan orang lain.

“Nona, siapakah sucimu itu? Dan apa keperluanmu mencari aku?”

“Beberapa tahun yang lalu suci pernah kalah olehmu.... ah, pantas, sudah lewat beberapa tahun, tentu saja engkau menjadi lebih tua. Mungkin karena terlalu sederhana kau jadi kelihatan lebih tua. Berapa sih usiamu sekarang?”

Bersambung ke buku 7