Kisah Si Bangau Putih -5 | Kho Ping Hoo
Buku 5
“Paman Siangkoan, lupakah engkau kepada saya? Saya bernama Pouw Li Sian. Pernah belasan tahun yang lalu saya bersama ayah datang berkunjung ke sini!”
“Pouw....?” Siangkoan Lohan mengulang nama keturunan itu dengan heran.
“Benar, Paman. Mendiang ayahku adalah Pouw Tong Ki.”
“Ahhhhh....! Ayahmu dahulu Menteri Pendapatan, seorang sahabatku itu? Dan engkau puterinya? Bukankah seluruh keluarga Pouw sudah....“
“Tidak semua binasa, Paman. Ketika rumah kami diserbu, saya sempat melarikan diri. Sekarang, setelah saya menjadi dewasa, saya ke kota raja dan menyelidiki keadaan keluarga saya. Empat orang kakak saya ditahan, tiga orang tewas dan saya mendapat kabar bahwa kakak sulung saya, Pouw Ciang Hin, diampuni bahkan sekarang menjadi seorang perwira yang bertugas di tapal batas utara. Oleh karena itulah, saya menyusul ke utara dan teringat kepada Paman, saya berkunjung ke sini untuk minta bantuan Paman. Siapa tahu Paman dapat memberitahu di mana adanya kakak sulung saya itu. Akan tetapi, ketika tiba di sini, saya ditahan dan hendak ditangkap, terpaksa saya melawan dan maafkan saya Paman.”
Siangkoan Lohan memandang penuh kagum. “Ah sekarang aku ingat. Engkau adalah nona kecil yang pernah ikut dengan Pouw Tai-jin dahulu itu. Aih, sungguh penasaran sekali. Ayahmu adalah seorang pejabat yang baik dan setia, akan tetapi, keluarganya kena fitnah karena dia berani menentang pembesar laknat Hou Seng. Kerajaan Mancu memang tidak mengenal budi!” Siangkoan Lohan mengepal tinju lalu berkata kepada Sin-kiam Mo-li, “Mo-li, Nona ini adalah orang sendiri, keluarganya terbasmi oleh kerajaan penjajah! Dan nona Pouw, ini adalah Sin-kiam Mo-li, seorang di antara kawan-kawan kita yang siap untuk menentang pemerintah penjajah!”
Biarpun di dalam hatinya merasa penasaran karena tadi belum dapat mengalahkan gadis ini, terpaksa Sin-kiam Mo-li tersenyum, menyimpan sepasang senjatanya dan ia mengangguk-angguk, “Engkau masih begini muda akan tetapi sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, nona Pouw. Engkau tadi mempergunakan sin-kang panas dan dingin, mengingatkan aku akan ilmu dari Pulau Es. Apakah engkau murid dari keluarga Pulau Es?”
“Mendiang guruku adalah mantu dari sucouw Pendekar Super Sakti Pulau Es,” jawab Li Sian sejujurnya. Mendengar ini terkejutlah semua orang, termasuk Siangkoan Lohan. Pantas gadis ini demikian lihainya. Akan tetapi diam-diam dia pun girang sekali. Bagaimanapun juga, gadis ini telah disudutkan oleh kerajaan, menjadi musuh kerajaan karena keluarganya dibasmi oleh kerajaan sehingga dapat diharapkan gadis ini akan suka membantunya.
“Mari kita bicara di dalam, nona Pouw. Ah, ya, apakah engkau lupa kepada anakku ini? Bukankah ketika engkau bersama ayahmu dahulu berkunjung ke sini, kalian sudah saling berkenalan? Ini adalah Siangkoan Liong. Anakku, apakah engkau sudah lupa kepada nona Pouw?”
Mereka saling pandang dan Li Sian merasa kagum. Pemuda ini tampan dan halus, nampak ramah sekali dan juga sopan ketika menjura dengan hormat kepadanya. “Tentu saja aku tidak lupa kepada nona Pouw Li Sian, biarpun dahulu hanya menjadi tamu beberapa hari saja di sini,” katanya.
Li Sian juga teringat, walaupun hanya samar-samar bahwa Siangkoan Lohan dahulu memang mempunyai seorang anak laki-laki yang sebaya dengannya. Ia pun balas menjura. “Aku pun masih ingat kepadamu, saudara Siangkoan Liong.”
Mereka lalu masuk ke dalam rumah. Sin-kiam Mo-li tidak ikut masuk, namun diam-diam ia merasa tidak enak. Gadis itu lihai, dan agaknya pihak tuan rumah menghormatinya. Kenyataan bahwa gadis itu masih keturunan murid keluarga Pulau Es, membuat hatinya merasa tidak enak. Gadis itu berbahaya, pikirnya, kecuali kalausinar matanya mencorong gembira, benar. Itulah satu-satunya jalan. Gadis itu harus dapat ditaklukkan oleh Siangkoan Liong, menjadi kekasihnya atau isterinya, barulah diharapkan gadis itu akan benar-benar setia membantu gerakan persekutuan mereka! Ia akan membicarakan hal ini dengan Siangkoan Liong dan dengan bantuannya, mustahil gadis itu tidak akan dapat ditundukan oleh Siangkoan Liong!
Sementara itu, Li Sian diajak bercakap-cakap di sebelah dalam, diterima dengan ramah dan hormat oleh Siangkoan Lohan dan puteranya, dijamu dan di dalam percakapan itu, pihak tuan rumah mulai menanamkan rasa permusuhan dan sakit hati terhadap Kerajaan Mancu yang telah membasmi keluarga Pouw.
“Kaum penjajah Mancu memang keterlaluan sekali,” antara lain Siangkoan. Lohan berkata, “Bayangkan saja. Pihak kami, Tiat-liong-pang, kurang bagaimana dahulu membantu mereka dan kami telah mengorbankan segalanya untuk membantu mereka. Akan tetapi ternyata mereka itu merupakan bangsa yang tidak mengenal budi dan mudah merupakan jasa orang. Ayahmu sendiri, nona Pouw, adalah seorang di antara pembesar tinggi yang setia dan baik. Akan tetapi apa jadinya? Keluarga ayahmu dibasmi, hanya karena ayahmu berani menentang Hou Seng, padahal ayahmu menentang Hou Seng justeru untuk menyelamatkan negara dan kerajaan!”
Sedikit demi sedikit, hati Li Sian dibakar. Akan tetapi gadis ini masih ragu-ragu. Gurunya selalu memberi wejangan agar ia tidak menyimpan dendam terhadap siapapun juga, dan hidup sebagai seorang pendekar harus bebas dari api dendam karena dendam akan melenyapkan pertimbangan adil. Seorang pendekar haruslah bertindak adil, membela kebenaran dan keadilan tanpa memilih bulu. Sebaliknya dendam membutakan mata akan kebenaran dan keadilan, semata-mata hanya untuk melampiaskan nafsu dendam saja.
“Saya masih bingung, Paman. Saya ingin sekali berjumpa dengan kakak sulung saya, oleh karena itu saya mohon bantuan Paman, sukalah membantu saya mencari di mana adanya kakak saya itu bertugas agar saya dapat bertemu dengan anggauta keluarga yang tinggal satu-satunya itu.”
“Tentu, tentu sekali, Nona, kami akan membantumu dan sementara ini, tinggallah di sini sebagai tamu kehormatan, ah, tidak, sebagai anggauta keluarga kami sendiri, sebagai keponakanku!” kata Siangkoan Lohan dengan ramah sekali.
Li Sian merasa terharu. Kakek ini dan puteranya sungguh baik, menerimanya sedemikian ramahnya, bahkan menganggapnya sebagai anggauta keluarga. Ia pun bangkit berdiri dan memberi hormat.
“Paman sungguh melimpahkan budi kebaikan kepada saya, entah bagaimana saya akan mampu membalasnya. Akan tetapi, harap Paman jangan menyebut saya nona, membuat saya merasa kikuk saja, Paman.”
Siangkoan Lohan tertawa. “Ha-ha-ha, baiklah, Li Sian, baiklah. Engkau kuanggap keponakanku sendiri, karena mendiang ayahmu dahulu amat cocok denganku, seperti saudara pula. Nah, anak Liong, engkau mendengar sendiri. Sekarang, erigkau harus bersikap seperti seorang kakak terhadap Li Sian.”
Siangkoan Liong bangkit berdiri dan Siangkoan Liong bangkit berdiri dan membalas penghormatan Li Sian sambil tersenyum. “Aku merasa girang sekali dapat menjadi kakak misanmu, Sian-moi (adik Sian).”
Kedua pipi Li Sian berubah agak merah mendengar sebutan Sian-moi itu, akan tetapi, kalau ia dianggap sebagai keponakan dari Siangkoan Lohan, sudah sepatutnya pemuda itu menyebutnya adik. “Terima kasih atas kebaikanmu, Liong-toako (kakak Liong),” jawabnya. Mereka lalu duduk kembali dan melanjutkan makan minum. Semenjak hari itu, Li Sian memperoleh sebuah kamar di rumah besar itu, diperlakukan sebagai seorang tamu terhormat. Bahkan ketika ia diperkenalkan kepada para murid Tiat-liong-pang, juga kepada Sin-kiam Mo-li, semua orang tidak berani bersikap kurang ajar kepadanya, maklum bahwa gadis itu selain lihai sekali, juga diterima sebagai keponakan Siangkoan Lohan. Bahkan Li Sian ikut pula. dalam latihan perang-perangan itu, membantu Sin-kiam Mo-li untuk mempertahankan “benteng kota raja” yang diserbu oleh pasukan yang dipimpin oleh Toat-beng Kiam-ong.
Setelah latihan itu selesai, Li Sian diperkenalkan kepada para sekutu yang lain, kepada Toat-beng Kiam-ong, juga kepada Agakai kepala suku Mongol, dan kepada Song Ciangkun, tangan kanan Coa Tai-ciangkun yang menjadi komandan pasukan pemerintah yang bertugas jaga di utara. Song Ciangkun inilah yang berjanji kepadanya untuk menyelidiki di mana adanya Pouw Ciang Hin, kakak sulung Li Sian sehingga gadis ini merasa gembira sekali. Hubungannya dengan Siangkoan Liong juga akrab sekali karena pemuda itu memang pandai mengambil hati, ramah, sopan dan memiliki pengertian yang mendalam tentang sastra dan silat. Bahkan pemuda itu, untuk melakukan penyelidikan, beberapa kali mengajak gadis itu berlatih silat dan dengan lega dia mendapat kenyataan bahwa betapapun lihai Li Sian, namun dia mampu mengatasi gadis itu walaupun selisihnya tidak berapa jauh! Sebaliknya, Li Sian kagum sekali akan pengertian pemuda itu tentang sastra, dan tentang pengetahuan lain yang membuat ia merasa bodoh ketinggalan dan ia dapat banyak belajar dari pemuda itu. Dalam hal ilmu silat, ia pun dapat melihat bahwa Siangkoan Liong ini bahkan jauh lebih lihai dari Sin-kiam Mo-li dan sungguhpun belum pernah mereka mengadu ilmu untuk menentukan siapa yang lebih unggul, namun ia sendiri merasa bahwa agaknya tidak akan mudah baginya untuk dapat menang menandingi ilmu kepandaian pemuda yang tampan itu. Tidaklah mengherankan kalau hati Li Sian mulai terpikat!
***
Kita tinggalkan dulu Pouw Li Sian yang tanpa disadarinya telah terjatuh ke tempat yang amat berbahaya baginya, dan mari kita melihat keadaan Suma Lian. Gadis ini setelah pulang ke rumah orang tuanya, segera menambah kepandaiannya dengan gemblengan ayah ibunya. Dari ayahnya, Suma Ceng Liong, ia tekun berlatih Ilmu Coa-kun-ci, semacam ilmu totokan yang ampuh sekali karena jari tangannya yang sudah dilatih secara istimewa itu bukan hanya mampu menotok jalan darah dan menghentikan aliran darah, bahkan dapat menembus tulang sesuai dengan namanya, yaitu Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang)! Ilmu ini memang mengerikan dan agak kejam, karena ayahnya dahulu menerimanya dari seorang datuk sesat yang bernama Hek I Mo-ong (Raja Iblis Baju Hitam). Adapun dari ibunya, Kam Bi Eng, Suma Lian menerima ilmu yang hebat, yaitu ilmu pedang gabungan yang dimainkan dengan sebatang suling, diberi nama Koai-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Siluman), gabungan dari Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman). Kini ia sudah memiliki sebuah suling emas yang dapat dimainkan dengan hebatnya sehingga suling emas itu bagaikan sebatang pedang saja dapat bergulung-gulung dengan hebatnya sambil mengeluarkan suara melengking-lengking. Hanya karena ia sudah memiliki dasar yang amat kuat berkat gemblengan mendiang, kakek Gak Bun Beng atau Bu Beng Lokai, maka gadis ini mampu mempelajari kedua ilmu yang hebat itu dalam waktu yang tidak berapa lama. Ayah bundanya gembira sekali melihat kemajuan puteri mereka. Akan tetapi, ada suatu hal yang membuat suami isteri ini agak gelisah, yaitu melihat betapa puteri mereka kini telah berusia dua puluh tahun lebih, hampir dua puluh satu dan puterinya itu bertunangan pun belum! Semenjak puteri mereka pulang, suami isteri itu hampir setiap malam membicarakan hal ini, akan tetapi mereka merasa ragu untuk mengajak puteri mereka bicara karena melihat betapa puteri mereka memiliki watak keras, dan puteri mereka demikian lincah jenaka dan gembira. Mereka khawatir kalau-kalau usul mereka akan diterima dengan hati yang tidak senang dan membuat puteri mereka menjadi murung.
“Bagaimanapun juga, kita harus memberitahunya, isteriku,” kata Suma Ceng Liong. “Usia dua puluh tahun lebih sudah terlalu dewasa untuk seorang gadis! Sampai kapan kita harus menanti untuk menikahkan anak kita yang tunggal itu? Biarpun untuk gadis kang-ouw,, urusan pernikahan tidak boleh disamakan dengan gadis biasa, akan tetapi bagaimanapun juga, seorang wanita haruslah membentuk rumah tangga dan mempunyai keturunan hidup sebagai seorang isteri atau ibu yang berbahagia. Dan kita menjadi kakek dan nenek yang bahagia pula.”
“Baiklah, besok akan kuajak ia bicara. Mudah-mudahan saja, selama ini sudah ada pemuda yang menjadi pilihan hatinya.”
“Aku meragukan hal itu. Bukankah baru saja ia meninggalkan tempat tinggal paman Gak Bun Beng setelah orang tua itu meninggal dunia? Aku jadi teringat akan cerita kakak Suma Ciang Bun dulu itu....“
“Hemmm, tentang muridnya, Gu Hong Beng itu?” tanya Kam Bi Eng. Memang, Suma Ciang Bun pernah berterus terang kepada mereka bahwa ketika nenek Teng Siang In, ibu Suma Ceng Liong, akan meninggal dunia, ditunggu oleh Gu Hong Beng, nenek itu pernah minta Hong Beng berjanji agar kelak menjadi suami Suma Lian dan karena permintaan itu merupakan permintaan atau pesan terakhir seorang yang akan mati, pemuda itu tentu saja tidak sampai hati untuk menolaknya. Baru setelah nenek itu meninggal, Gu Hong Beng menjadi bingung dan tidak berani mengaku kepada Suma Ceng Liong dan isterinya, hanya berani menceritakannya kepada gurunya, yaitu Suma Ciang Bun. Gurunya inilah yang kemudian memberitahukannya kepada Suma Ceng Liong berdua. Akan tetapi ketika itu, Suma Lian sedang belajar silat kepada kakek Gak Bun Beng dan baru berusia tiga belas tahun, oleh karena itu ayah ibunya menjawab bahwa karena anak itu masih belum dewasa, maka urusan pernikahan ini sebaiknya ditunda pembicaraannya dan kelak akan diserahkan kepada Suma Lian sendiri. Mereka memberi tahu kepada Suma Ciang Bun bahwa tentang perjodohan puteri mereka, mereka menyerahkan kepada, pilihan Suma Lian sendiri dan kalau kelak Suma Lian suka menjadi jodoh Gu Hong Beng seperti yang diusulkan oleh mendiang nenek Teng Siang In, tentu mereka pun tidak berkeberatan.”
Kini, setelah puteri mereka dewasa dan mereka memikirkan perjodohan puteri mereka, tentu saja suami isteri itu teringat kepada Gu Hong Beng! Sudah lama sekali mereka tidak pernah bertemu dengan Gu Hong Beng atau pun gurunya, Suma Ciang Bun. Akan tetapi mereka pernah mendengar bahwa kakak mereka itu kini tinggal sebagai pertapa di lereng Gunung Tapa-san, di dekat sumber air Sungai Han-sui di Propinsi Shensi.
“Hemmm, entah berapa usianya sekarang. Kalau tidak keliru kakak Ciang Bun membicarakan urusan perjodohan itu, Hong Beng berusia sembilan belas tahun dan Lian-ji baru berusia tiga belas tahun. Kalau sekarang Lian-ji berusia dua puluh tahun, berarti Hong Beng sudah berusia dua puluh enam tahun,” kata Suma Ceng Liong mengingat-ingat. “Pemuda itu cukup baik, gagah perkasa dan sederhana dan tentang ilmunya, walaupun mungkin tidak setinggi yang dikuasai Lian-ji, namun tentu selama ini dia telah memperoleh. banyak pengalaman dan kemajuan.”
“Hanya kita tidak tahu apakah dia masih belum memperoleh jodoh, dan kita lebih tidak tahu lagi keadaan anak kita sendiri. Sebaiknya, biarlah besok kutanyai Lian-ji, apakah selama ini ia sudah bertemu dengan seorang pemuda yang cocok untuk menjadi calon suaminya.”
“Kalau sudah ada?” tanya suaminya.
“Kita desak ia agar segera diadakan kontak dan kita sebagai orang tua akan membicarakan dengan pihak sana.”
“Bagaimana kalau ia belum mempunyai pandangan?”
“Wah, kalau begitu aku sendiri pun bingung,” kata Kam Bi Eng.
“Begini saja, kalau memang benar ia masih bebas, kita suruh saja ia pergi berkunjung ke tempat pertapaan kakak Suma Ciang Bun. Kasihan Bun-toako, hidup seorang diri. Biarlah Lian-ji berkunjung ke sana dan menyampaikan permintaan kita agar Bun-toako suka tinggal bersama kita di sini. Dengan demikian, memberi kesempatan kepadanya untuk bertemu dengan Hong Beng dan kita nanti bicarakan urusan jodoh itu, kalaukalau Lian-ji menyetujuinya.”
Kam Bi Eng menyetujui usul suaminya. Bagaimanapun juga, sebagai seorang ibu tentu saja ia pun ingin sekali melihat puterinya menikah dan biarpun usianya baru empat puluh tahun, karena tidak mempunyai anak lain kecuali Suma Lian, maka Kam Bi Eng juga mendambakan adanya seorang cucu yang mungil.
Demikianlah, pada keesokan harinya, Kam Bi Eng mengajak puterinya bercakap-cakap. Dipancingnya puterinya itu tentang pembicaraan mengenai perjodohan, Suma Lian tersenyum memandang ibunya.
“Aih, Ibu ini! Pagi-pagi bicara tentang perjodohan! Siapa sih yang memikirkan soal jodoh?” katanya sambil tertawa.
Kam Bi Eng adalah seorang yang juga berwatak lincah jenaka, akan tetapi ia memiliki ketegasan. “Hentikan main-main itu, anakku. Ingat, berapa usiamu sekarang?”
“Berapa, ya? Dua puluh tahun lebih kukira.”
“Nah, biasanya, seorang wanita berusia dua puluh tahun lebih sudah menggendong seorang anak. Apakah engkau sama sekali belum memikirkan urusan perjodohan? Ayahmu dan aku menyerahkan pemilihan calon suami kepadamu, maka aku ingin sekali tahu apakah selama ini engkau sudah bertemu dengan seorang pria yang kauanggap cocok untuk menjadi calon suamimu?”
“Wah, Ibu ini ada-ada saja. Selama ini aku tekun berlatih silat, mana ada kesempatan untuk memikirkan soal itu? Tidak, Ibu, aku belum mempunyai pilihan siapapun juga.”
“Sudahlah kalau begitu. Sekarang, ayahmu dan aku minta agar engkau suka mengundang paman tuamu Suma Ciang Bun. Kasihan dia, hidup seorang diri dan mengasingkan diri. Engkau kunjungi dia dan atas nama kami, undanglah dia ke sini. Sebentar, kupanggil ayahmu!” Kam Bi Eng lalu memanggil suaminya yang berada di ruangan belakang. Suma Ceng Liong datang dan dia pun membenarkan apa yang dikatakan isterinya.
“Benar, Lian-ji. Kami merasa kasihan kepada Bun-toako. Engkau pergilah ke sana dan katakan bahwa kami mengundang ia untuk datang dan tinggal di sini bersama kita.”
“Akan tetapi, di manakah paman Ciang Bun tinggal?”
“Dia bertapa di lereng Pegunungan Tapa-san, di dekat sumber air Sungai Han Sui, di Propinsi Shensi. Carilah dia sampai dapat, anakku, dan bujuklah dia agar suka ikut bersamamu ke sini. Kami sudah rindu padanya dan katakan bahwa kami ingin sekali agar dia tinggal bersama kami di sini, sedikitnya untuk beberapa waktu lamanya, syukur kalau dapat selamanya. Dia tidak mempunyai siapa-siapa lagi, Lian-ji.”
Suma Lian mengangguk. Memang tidak enak rasanya tinggal di rumah saja, dan ia pun tidak mengira sama sekali bahwa selain mengundang paman tuanya, juga kedua orang tuanya itu mengharapkan ia bertemu dengan Gu Hong Beng yang sudah ditunangkan dengannya secara diam-diam oleh mendiang neneknya!
Beberapa hari kemudian, setelah membawa bekal pakaian dan uang secukupnya, berangkatlah Suma Lian meninggalkan rumah orang tuanya. Kini ia sudah berbeda lagi dengan ketika ia pulang, karena ia sudah dibekali dua macam ilmu yang membuat dirinya menjadi semakin lihai. Dan di pinggangnya kini terselip sebatang suling emas! Seperti juga sumoinya, Li Sian, ia mampu mempergunakan setiap ranting kayu untuk menjadi pedang dan memainkan ilmu Lo-thian Kiam-sut, akan tetapi dengan suling emas itu, ia merasa lebih mantap dan lebih percaya akan kemampuan diri sendiri.
Perjalanan yang dilakukan Suma Lian cukup jauh, menuju ke barat melalui Propinsi Honan dan Shensi. Kalau pulangnya, akan lebih mudah mengambil jalan air, yaitu naik perahu mengikuti aliran Sungai Kuning, akan tetapi berangkatnya, ia mengambil jalan darat. Namun, bagi seorang gadis perkasa seperti Suma Lian, perjalanan itu bahkan amat menggembirakan dan ia sama sekali tidak khawatir akan adanya gangguan di dalam perjalanan karena ia sudah membawa bekal ilmu kepandaian yang tinggi.
Akan tetapi, baru beberapa hari ia meninggalkan Cin-an dan tiba di perbatasan Propinsi Hopei karena dara ini mengambil jalan lurus ke barat, ia memasuki sebuah kota kecil, di perbatasan itu dan karena hari sudah mulai gelap, ia mengambil keputusan untuk bermalam di kota itu dan tidak disangkanya, di tempat itu ia bertemu dengan pengalaman yang berbahaya!
Sore hari itu, setelah memasuki kota Bun-koan yang tidak berapa besar, Suma Lian segera menoleh ke kanan kiri untuk mencari rumah penginapan. Hari itu ia melakukan perjalanan sehari penuh melalui jalan berdebu dan ia merasa tubuhnya lelah, panas dan kotor. Ia ingin mandi, lalu mencari makan malam yang enak sebelum beristirahat semalam suntuk agar tenaganya pulih kembali dan besok dapat melanjutkan perjalanan pagi-pagi dengan tubuh segar.
Kota itu tidak besar dan ternyata hanya mempunyai sebuah rumah penginapan yang tidak berapa besar. Keadaan rumah penginapan itu terlalu kotor bagi Suma Lian, akan tetapi, gadis ini pernah hidup dalam keadaan yang serba sederhana bahkan sangat kekurangan ketika ia mengikuti gurunya hidup sebagai orang yang miskin, maka ia tidak dapat terlalu banyak memilih dan tidak pula merasa jijik ketika ia akhirnya memperoleh sebuah kamar yang tidak besar dan agaknya jarang dibersihkan. Ia hanya minta agar kain alas tempat tidur dan bantalnya diganti dengan yang bersih, dan untuk itu ia harus mengeluarkan beberapa uang kecil untuk pelayan.
Hanya dengan mengeluarkan uang persenan tambahan pula maka ia akhirnya bisa memperoleh cukup air untuk mandi. Tubuhnya terasa segar dan nikmat setelah mandi bersih dan mengenakan pakaian pengganti, dan atas petunjuk pelayan yang sudah dua kali menerima hadiah uang kecil darinya itu, ia memperoleh keterangan di mana ia dapat membeli makan malam yang enak.
Benar saja, restoran kecil itu ternyata dapat menyuguhkan makanan yang cukup lezat, terutama sekali masakan udang kegemarannya. Dan harganya pun tidak mahal. Dengan puas Suma Lian kembali ke kamar di rumah penginapannya, siap untuk tidur.
Selagi ia berjalan melalui lorong menuju ke kamarnya, tiba-tiba ia mendengar suara anak laki-laki yang merengek, datangnya dari kamar di sebelahnya.
“Aku mau pulang! Ah, antarkan aku pulang, atau aku mau pulang sendiri. Aku tidak mau lagi melanjutkan perjalanan dan ikut denganmu!” Suara itu jelas suara seorang anak laki-laki dan suaranya terdengar seperti anak yang ketakutan. Karena tertarik, dan lorong di mana kamar-kamar berjajar itu sepi, Suma Lian menghentikan langkahnya dan mendengarkan.
“Hushhhhh, jangan ribut-ribut.” terdengar suara seorang laki-lagi, suaranya membujuk. “Kalau sampai terdengar olehnya dan ia menyusul ke sini, tentu kita akan dibunuh, terutama sekali engkau.”
“Ah, kenapa wanita itu hendak membunuh aku? Kenapa?” Anak itu membentak.
“Settt, ia adalah musuh ibumu. Dan hanya ibumu yang dapat melawannya, dapat melindungimu, karena itu aku akan mengantar pada ibumu, ia berada di kota So-tung, tak jauh dari sini. Besok pagi-pagi kita ke sana dan sekarang diamlah, kita sembunyi di sini....“
Anak itu tidak terdengar merengek lagi. Suma Lian tentu saja merasa heran mendengar ucapan laki-laki itu. Siapakah yang ingin membunuh seorang anak kecil dan mengapa? Akan tetapi, jangan-jangan laki-laki itu hanya menakut-nakuti saja dan karena bukan urusannya, maka ia pun melangkah menuju ke kamarnya dan merebahkan diri setelah membuka sepatunya. Akan tetapi, percakapan di kamar sebelah itu membuat ia tidak mudah untuk pulas. Perhatiannya tetap saja tertuju ke kamar sebelah dan kewaspadaannya tetap berjaga-jaga, siap untuk turun tangan menolong kalau-kalau benar ada bahaya mengancam anak di sebelah itu!
Akhirnya, karena tidak terjadi sesuatu sampai jauh hampir tengah malam, Suma Lian mulai mengantuk. Ketika ia hampir tertidur, tiba-tiba saja telinganya yang masih dalam keadaan waspada, menangkap sesuatu yang mencurigakan, Suara gerakan di atas genteng! Sedikit suara ini saja sudah cukup baginya untuk terbangun. Cepat disambarnya sepatunya, dipakainya dan ia pun membuka daun jendela, lalu tubuhnya sudah meluncur keluar dari jendela kamarnya. Pada saat itu, dia melihat seorang laki-laki yang menggendong seorang anak laki-laki berusia kurang lebih tujuh tahun, juga melompat keluar dari jendela kemudian melarikan diri. Itulah orang yang tinggal di kamar sebelah, pikirnya. Agaknya lakilaki itu pun sudah mendengar akan suara mencurigakan di atas genteng dan dia mengajak anak itu melarikan diri. Dan benar saja, pada saat itu, dari atas genteng menyambar turun bayangan orang yang berseru dengan halus.
“Hemmm, engkau hendak lari ke mana?“
Mendengar ini laki-laki yang menggendong anak itu mempercepat larinya dan terkejutlah Suma Lian melihat bahwa laki-laki itu ternyata dapat berlari cepat sekali, bukan larinya orang sembarang melainkan larinya orang yang menguasai ilmu berlari cepat dengan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang cukup hebat! Akan tetapi wanita itu, bayangan yang membentak tadi, juga dapat berlari cepat melakukan pengejaran. Melihat ini, Suma Lian juga mengerahkan tenaganya dan mengejar pula. Untung baginya bahwa malam itu bulan bersinar terang sehingga ia dapat melihat jelas dua bayangan yang saling berkejaran itu. Laki-laki yang menggendong anak itu dapat berlari cepat sekali, akan tetapi pengejarnya agaknya lebih lihai lagi sehingga jarak di antara mereka menjedi semakin dekat. Suma Lian yang khawatir kalau-kalau dua orang itu terkejar dan terbunuh, mempercepat larinya dan ketika laki-laki itu menghilang ke dalam sebuah hutan kecil, pengejarnya meragu dan berhenti sebentar di luar hutan. Kesempatan ini dipergunakan oleh Suma Lian untuk mempercepat larinya dan membentak,
“Hai, engkau yang berniat jahat, tunggu dulu!” bentakannya nyaring dan membuat wanita yang tadi melakukan pengejaran itu terkejut, lalu membalikkan tubuhnya.
Kini mereka berdiri berhadapan, dalam jarak antara dua meter. Sinar bulan cukup terang sehingga walaupun tidak sangat jelas, mereka dapat saling melihat dan keduanya diam-diam merasa heran. Suma Lian melihat bahwa wanita itu sama sekali bukan nampak seperti seorang penjahat. Sebaliknya malah ia seorang wanita muda, seorang gadis yang cantik jelita, matanya lebar dan sikapnya gagah sekali. Akan tetapi, wanita itu agaknya marah oleh gangguannya dan begitu mereka berhadapan, ia menegur Suma Lian, suaranya nyaring dan ketus.
“Siapakah engkau yang berani mencampuri urusan orang lain dengan lancang? Mau apa engkau mengejar aku?”
Suma Lian tidak marah, hanya ia merasa heran mengapa ada seorang gadis secantik dan segagah ini berhati kejam hendak membunuh seorang anak kecil. “Aku mengejar untuk mencegah engkau melakukan suatu kejahatan, Sobat! Mengapa pula engkau mengejar orang yang membawa seorang anak kecil tadi? Tak usah kaulanjutkan niatmu yang jahat itu....“
“Lancang kau! Kalau aku mengejar mereka, engkau mau apa? Apamukah laki-laki itu?”
“Bukan apa-apa, aku kebetulan bermalam di kamar dekat kamar mereka dan mendengar bahwa mereka takut kepadamu yang hendak membunuh, maka aku lalu ikut pula mengejar. Kalau engkau lanjutkan pengejaranmu, terpaksa aku turun tangan menghalangimu.”
“Hemm, manusia sombong dan lancang yang hendak mencampuri urusan orang! Atau mungkin engkau kaki tangannya, ya? Kalau begitu perlu kuhajar dulu engkau!” Gadis itu sudah menerjang dengan tamparan ke arah muka Suma Lian. Tentu saja Suma Lian cepat mengelak dan balas menyerang dengan tak kalah cepatnya. Namun, gadis itu meloncat ke samping dan kini ia menerjang lagi sambil menghujankan serangan dengan kaki tangannya, seolah-olah ingin cepat merobohkan Suma Lian agar ia dapat cepat melakukan pengejaran terhadap laki-laki yang melarikan bocah tadi. Menghadapi serangan yang luar biasa cepatnya ini, Suma Lian terkejut. Tak disangkanya bahwa gadis yang menjadi lawannya ini benar-benar lihai sekali. Serangannya bukan saja amat cepat, akan tetapi juga hawa pukulan yang keluar dari gerakan kaki tangannya amat kuat, tanda bahwa gadis itu memiliki sin-kang yang sudah tinggi tingkatnya. ia pun melindungi dirinya dengan langkah-langkah ajaib Sam-po Cin-keng sehingga dengan mudah ia dapat menghindarkan semua serangan lawan.
Gadis itu menjadi semakin penasaran. “Hemmm, kiranya engkau memiliki sedikit kepandaian, ya?” bentaknya. “Nah, terimalah ini!” tangan kanannya menyambar cepat dan ada hawa yang panas sekali menyambar dari tangan kanannya itu, dan kehebatan serangan ini sukar untuk dielakkan lagi oleh Suma Lian. Ia terkejut, maklum akan hebatnya pukulan lawan, maka ia pun menggerakkan tangan kirinya sambil mengerakkan tenaga Swat-im Sin-kang untuk menyambut pukulan yang mengandung hawa panas itu.
“Dukkk!” Dua lengan yang berkulit putih halus itu saling bertemu dan keduanya terdorong ke belakang dan keduanya memandang dengan mata terbelalak.
“Swat-im Sin-kang....!” teriak gadis yang menyerang itu.
“Hui-yang Sin-kang....!” Suma Lian juga berseru heran.
Gadis itu memandang marah, lalu menudingkan telunjuk ke arah muka Suma Lian. “Engkau dari mana mencuri ilmu dari Pulau Es?” bentaknya.
Suma Lian tersenyum mengejek. “Sobat, engkaulah yang mencuri ilmu dari keluargaku. Aku bernama Suma Lian, keturunan langsung dari penghuni Pulau Es!”
“Aihhhhh....!” Gadis itu berseru dan memandang dengan mata terbelalak.
“Kau kau.... Suma Lian, puteri dari paman Suma Ceng Liong?”
“Benar, dan siapakah engkau?”
“Aku Kao Hong Li....“
“Aihhh....! Engkau puteri bibi Suma Hui....?” seru Suma Lian dan mereka maju saling berangkulan. “Enci Hong Li, maafkan aku, maafkan kelancanganku tadi.
”Sudahlah, adik Lian. Sering aku datang berkunjung ke rumah paman Suma Ceng Liong, akan tetapi engkau belum juga pulang. Tentu ada sebabnya mengapa engkau tadi mencegah aku mengejar orang yang menculik anak itu.”
Suma Lian merasa kaget setengah mati. “Apa? Dia.... dia itu menculik anak itu? Wah, kalau begitu aku yang bersalah, enci Hong Li.” Lalu ia menceritakan bahwa tadi ia mendengar anak itu merengek minta pulang, dan laki-laki itu mengatakan bahwa mereka harus melarikan diri darimu yang hendak membunuh mereka, terutama membunuh anak itu. Maka, ketika melihat betapa mereka melarikan diri dan engkau mengejarnya, aku pun langsung saja turun tangan mencegahmu. Maafkan aku....“
“Hemmm, penculik itu telah menipu si anak dan engkau pun ikut pula tertipu, adik Lian. Aku melihat dia melarikan anak laki-laki itu yang berteriak minta dilepaskan dan minta dipulangkan, maka aku melakukan pengejaran sejak kemarin. Aku kehilangan jejaknya dan baru aku temukan mereka di rumah penginapan ini.”
“Akan tetapi siapakah dia, Enci? Dan mengapa pula dia menculik anak laki-laki itu? Siapa pula anak laki-laki itu?”
“Aku juga tidak tahu siapa mereka dan mengapa pula dia menculik anak itu. Ketahuilah, adik Lian, aku sedang melakukan perjalanan menuju ke rumah orang tuamu, untuk memberi kabar tentang meninggalnya kakek dan nenek di gurun pasir....“
“Ahhh! Penghuni Gurun Pasir....?”
“Benar, kakek dan nenekku tewas setelah istana itu diserbu banyak datuk sesat, dan setelah memberitahukan kepada orang tuamu, aku akan pergi mencari siapa para datuk yang pernah menyerbu ke sana. Dan engkau sendiri, engkau sudah berapa lama pulang dan sekarang hendak ke mana?”
“Aku diutus oleh orang tuaku untuk mengundang paman tua Suma Ciang Bun agar suka datang ke rumah kami.”
“Aih, paman Suma Ciang Bun? Dia bertapa di Tapa-san dan agaknya sudah tidak mau lagi mencampuri dunia ramai. Aku pernah beberapa kali berkunjung ke sana. Ah, sungguh tidak kusangka kita akan saling bertemu seperti ini, adik Lian!”
“Aku pun girang sekali dapat bertemu denganmu, enci Hong Li. Akan tetapi, setelah mendengar keteranganmu tentang laki-laki yang bercaping lebar tadi bahwa dia menculik anak itu, biarlah aku akan melakukan pengejaran dan menolong anak itu!”
“Tapi, ke mana engkau akan mencarinya, adik Lian? Dan aku pun belum yakin benar, baru mencurigainya menculik anak, belum ada bukti nyata, bahkan aku tidak tahu siapa dia dan siapa anak itu.”
“Biarlah, Enci. Aku akan menyelidiki. Terpaksa kita berpisah di sini, Enci. Engkau melanjutkan perjalanan ke rumah orang tuaku menyampaikan berita duka itu, dan aku akan pergi berkunjung kepada paman Suma Ciang Bun setelah menyelidiki penculik itu.”
Kao Hong Li merangkul lagi, merasa sayang untuk saling berpisah. “Aih, kita baru saja bertemu secara tidak sengaja. Kalau kita tidak sama-sama menggunakan Hui-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang, entah bagaimana jadinya dengan kita yang saling hantam sendiri. Akan kuceritakan ini kepada orang tuamu. Ah, aku masih ingin sekali bersamamu dan bercakap-cakap lama, adik Lian.”
“Aku pun begitu, Enci. Akan tetapi karena kita berdua sama-sama mempunyai tugas, biarlah lain kali masih banyak kesempatan bagi kita untuk saling berjumpa dan bercakap-cakap sepuasnya.”
“Baiklah, adik Lian. Nah, selamat berpisah. Akan tetapi kalau engkau mengejar orang bercaping lebar itu, berhati-hatilah. Melihat gerakannya ketika lari, kurasa dia bukanlah seorang yang lemah.”
“Engkau benar, enci Hong Li. Akan tetapi aku pun belum yakin benar bahwa dia seorang penjahat yang menculik anak itu. Mungkin hanya timbul kesalahpahaman saja antara dia dan engkau. Aku tahu ke mana harus mencarinya karena ketika dia bicara dengan anak itu di dalam kamarnya, dia ada menyebutkan bahwa mereka akan pergi ke kota So-tung. Aku akan menyusul ke sana.”
“Aku tidak khawatir, engkau tentu akan mampu mengatasinya, Lian-moi.”
Kedua orang gadis itu yang masih saudara misan, saling peluk lagi kemudian Kao Hong Li meninggalkan tempat itu, berkelebat lenyap di kegelapan bayangan pohon. Suma Lian juga cepat masuk kembali ke dalam kamarnya dan setelah menggendong buntalan pakaiannya, ia pun meninggalkan kamar rumah penginapan itu tanpa pamit karena ia sudah membayar sewa kamar itu sore tadi.
Tidak sukar bagi Suma Lian untuk menemukan kota So-tung yang letaknya kurang lebih tiga puluh li dari kota di mana ia bermalam itu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi ia telah memasuki kota So-tung. Sayang ia tertinggal jauh sehingga ia tidak lagi melihat bayangan laki-laki bercaping lebar bersama anak laki-laki itu. Namun, Suma Lian tidak putus asa dan ia pun segera berputar-putar melakukan penyelidikan di seluruh kota. Ketekunannya berhasil baik. Ketika ia berjalan tiba di dekat pintu gerbang barat, ia melihat bayangan orang berkelebat dan ternyata bayangan itu adalah laki-laki berpakaian serba hijau yang mengenakan caping lebar, yang semalam melarikan diri bersama anak laki-laki yang dikejar oleh Kao Hong Li itu! Akan tetapi, kini laki-laki itu berjalan seorang diri tanpa menggendong anak laki-laki dan nampaknya tergesa-gesa hendak keluar dari kota melalui pintu gerbang barat.
Melihat ini, Suma Lian juga mempercepat langkahnya keluar dari pintu gerbang itu. Pagi itu masih sunyi sekali, belum nampak seorang pun manusia di luar pintu gerbang dan Suma Lian melihat betapa laki-laki bercaping itu menoleh, kemudian melarikan diri!
“Hei, tunggu....!” Suma Lian berseru dan ia pun mempergunakan ilmu berlari cepat melakukan pengejaran. Melihat gadis itu melakukan pengejaran, laki-laki itu mempercepat larinya. Hal ini membuat Suma Lian semakin curiga dan ia pun mengerahkan seluruh kepandaiannya sehingga tak lama kemudian ia dapat menyusul dan bahkan mendahului, lalu membalik dan menghadang.
“Tunggu dulu!” bentaknya lagi. Laki-laki itu terkejut bukan main, akan tetapi, ketika melihat bahwa gadis yang larinya melebihi kijang cepatnya ini bukanlah gadis yang kemarin membayanginya, wajahnya menjadi agak lega.
“Ah, kukira tadinya engkau adalah orang yang jahat itu, Nona,” katanya, dan sepasang matanya mengamati wajah Suma Lian penuh perhatian, dan penuh kagum pula. Sebaliknya, Suma Lian juga memperhatikan orang ini. Seorang laki-laki muda, usianya tentu paling banyak tiga puluh tahun, agak kurus dan kedua pipinya nampak peyot seperti orang yang pemadatan, akan tetapi sepasang matanya tajam mencorong menandakan bahwa dia seorang yang “berisi”, dan sinar mata itu tajam, juga mengandung kekejaman dan kelicikan. Mulutnya tersenyum dan nampak giginya yang agak menghitam karena banyak yang sudah rusak. Wajah yang sebetulnya tampan itu nampak tidak menarik lagi ketika dia tersenyum dan diam-diam Suma Lian bersikap waspada. Orang seperti ini tidak boleh dipercaya, demikian bisik hatinya. Sementara itu, pria yang kurus itu ketika melihat bahwa yang mengejarnya seorang gadis yang teramat cantik menarik, memperlebar senyumnya dan melangkah maju sambil menjura dengan sikap sopan.
“Aih, ada urusan apakah engkau mengejar dan menahan aku, Nona? Siapakah nama Nona dan ada keperluan apakah dengan aku?”
Suma Lian mengerutkan alisnya. Orang ini biasa mempergunakan topi caping lebar untuk menyembunyikan mukanya, akan tetapi sekarang dia mengangkat topi itu tinggi-tinggi sehingga nampak wajahnya yang sebenarnya tampan namun kurus sekali itu.
Dan sepasang mata yang tajam itu, selain mengandung kelicikan dan kekejaman, juga Suma Lian merasakan adanya kekuatan yang tidak wajar, seperti dimiliki orang yang biasa mempergunakan ilmu sihir. Hal ini diketahuinya semenjak ia dilatih ilmu sihir oleh ayahnya, sepulangnya dari perguruan. Oleh karena itu, ia pun bersikap hatihati.
“Tidak ada urusan antara kita, dan tidak ada perlunya aku memperkenalkan nama. Akan tetapi, semalam aku melihat engkau melarikan seorang anak laki-laki sehingga timbul keinginan tahuku apa yang terjadi dengan anak itu? Di mana adanya anak laki-laki itu sekarang dan mengapa engkau melarikannya malam-malam dari rumah penginapan itu?”
Pria itu terbelalak. “Tapi.... tapi.... kulihat engkau bukanlah wanita yang membayangi dan mengejarku kemarin....”
“Memang bukan! Aku yang bermalam di kamar sebelah dan mendengarmu melarikan diri. Hayo katakan, siapakah anak itu dan mengapa pula engkau melarikannya dan di mana dia sekarang?”
“Bukan urusamu, Nona, dan kunasihatkan agar engkau tidak mencampuri urusanku yang sama sekali tidak ada sangkutpautnya dengan dirimu.”
“Hemmm, setiap kali hidungku mencium sesuatu yang busuk, tak mungkin aku tinggal diam begitu saja sebelum aku tahu betul bahwa tidak ada kejahatan dilakukan orang! Bawa aku pada anak itu agar aku dapat bicara sendiri dengan dia baru aku percaya bahwa engkau tidak melakukan sesuatu yang jahat terhadap dia!”
Laki-laki ini mengerutkan alisnya dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat. “Nona, engkau masih muda dan cantik, akan tetapi sombong amat. Engkau tidak memandang sebelah mata kepada orang lain, agaknya engkau belum mengenal siapa diriku. Aku Liok Cit tidak percuma mempunyai julukan Tokciang Hui-moko (Iblis Terbang Bertangan Racun), dan tidak biasa aku diperintah orang lain! Pergilah sebelum terlambat!”
Suma Lian belum pernah mendengar nama julukan itu dan ia tersenyum. Ia seorang gadis yang lincah jenaka dan pemberani, maka mendengar nama julukan itu ia merasa geli. “Wah-wah, julukanmu demikian hebatnya, seolah-olah engkau pandai terbang dan seolah-olah tanganmu beracun. Kulihat mungkin hanya hatimu saja yang beracun, mukamu seperti orang berpenyakit keracunan yang sudah mendekati liang kubur. Kalau engkau tidak mau membawaku kepada anak itu, sekali dorong engkau tentu akan masuk liang kubur!”
“Bocah sombong!” Liok Cit, laki-laki itu, memaki dan tiba-tiba dia pun menyerang dengan terkaman tangan kanan ke arah pundak Suma Lian, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah perut. Serangan ini ganas dan berbahaya sekali, namun dengan mudahnya Suma Lian mengelak sambil mundur dan kakinya mencuat dengan tendangan menyamping, mengarah lambung lawan.
“Dukkk!” Liok Cit menangkis tendangan itu dan balas menyerang dengan lebih dahsyat lagi, tubuhnya mendoyong ke depan, kedua tangannya terbuka dan dipergunakan sebagai golok, yang kanan membacok leher, yang kiri menusuk ke arah dada.
Melihat gerakan orang, Suma Lian maklum bahwa lawan ini memang bukan orang sembarangan, memiliki gerakan yang cepat dan dari sambaran kedua lengannya pun dapat dilihat bahwa dia memiliki tenaga sinkang yang kuat. Akan tetapi ia tidak takut. Ia melindungi kedua tangannya dengan tenaga Inti Bumi yang dapat menolak semua hawa beracun, dan menangkis sambil mengerahkan Swat-im Sin-kang.
“Plak! Plak!” Kedua pasang lengan bertemu dan tubuh Liok Cit terdorong ke belakang dan dia agak menggigil karena ketika lengannya bertemu dengan lengan gadis itu, ada hawa dingin melebihi salju menyusup ke tubuhnya melalui lengan yang beradu dengan lengan gadis itu.
“Ihhhhh....!” Dia mengguncang tubuhnya untuk mengusir hawa dingin dan pada saat itu, Suma Lian sudah datang menyerangnya dengan totokan ke arah pundaknya. Cepat sekali gerakan gadis itu, akan tetapi lebih cepat lagi gerakan Si Iblis Terbang, karena tiba-tiba tubuhnya sudah mencelat jauh ke belakang. Suma Lian terkejut dan maklum bahwa orang ini memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang istimewa dan kiranya pantas memakai julukan Iblis Terbang. Ia mendesak lagi dengan serangan-serangannya, untuk memaksa orang itu agar membawanya ke tempat anak yang semalam dibawanya pergi. Kini ia percaya akan keterangen Hong Li. Orang ini tentulah seorang penjahat lihai yang melakukan penculikan terhadap anak itu. Buktinya anak itu merengek minta pulang dan tentu kini disembunyikan di suatu tempat.
Liok Cit mengelak sambil berloncatan ke sana-sini dan mempergunakan kecepatan gerakannya, namun dia tidak mampu melepaskan diri dari desakan Suma Lian. Hanya dengan cara berloncatan yang amat cepat dia selalu dapat menjauh lagi setiap kali sudah terdesak hebat.
“Engkau masih tidak mau menyerah dan membawaku kepada anak itu?” bentak Suma Lian dan tiba-tiba ia menotok dengan ilmu totok Coan-kut-ci yang baru saja dipelajarinya dari ayahnya. Ilmu totokan ini adalah ilmu yang berasal dari golongan hitam, merupakan ilmu yang keji dan dahsyat bukan main. Baru hawa totokannya saja sudah terasa oleh lawan dan Liok Cit juga merasa terkejut. Tadi ketika gadis itu menggunakan tenaga yang berhawa dingin, dia sudah terkejut dan jerih, kini gadis itu menyerangnya dengan totokan yang demikian dahsyatnya. Kembali dia menyelamatkan diri dengan ilmu ginkangnya, tubuhnya terjengkang ke belakang seperti dilemparkan akan tetapi dia selamat dari totokan yang amat dahsyat itu. Tahulah dia bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya dia akan celaka, akan tetapi susahnya, kalau hendak melarikan diri pun pasti dapat dikejar karena ilmu berlari cepat gadis itu pun hebat sekali. Diam-diam dia berkeringat dingin, menduga-duga siapa adanya gadis muda yang demikian lihainya.
Sementara itu, Suma Lian sendiri juga menjadi penasaran. Jelaslah bahwa dalam hal ilmu silat, ia tidak kalah oleh si baju hijau ini, akan tetapi orang ini sungguh licin bagaikan belut, dan memiliki gin-kang yang istimewa sehingga selalu dapat menghindarkan diri pada detik terakhir kalau serangannya sudah hampir mengenai sasaran. Dengan marah ia lalu mencabut suling emas dari ikat pinggangnya dan menyerang dengan suling emasnya yang diputar dengan cepat. Suling itu mengeluarkan gaung merdu seperti ditiup dan berubah menjadi gulungan sinar emas yang menyilaukan mata, menyambar-nyambar ke arah Liok Cit. Orang ini pun cepat mencabut pedangnya dan melihat gulungan sinar emas menyambar-nyambar, dengan gugup dia lalu menangkis dengan pedangnya sambil mengerahkan tenaga sekuatnya.
“Cringgg....“ Pedang itu seperti terlibat gulungan sinar dan Liok Cit tidak mampu mempertahankan pegangan gagang pedangnya yang terlepas dari tangannya. Mana dia mampu menandingi Ilmu Koai-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Siluman) yang baru saja dipelajari gadis itu dari ibunya. Akan tetapi begitu sinar emas menyambar ke arah dadanya, sambil mengeluarkan teriakan melengking tahu-tahu tubuh Liok Cit sudah mencelat ke atas sebatang pohon tak jauh dari situ. Hebat memang gerakan ini, cepat seperti setan terbang saja!
Suma Lian menudingkan sulingnya ke arah lawan yang berada di puncak pohon itu. “Engkau masih belum mau menyerah? Biar engkau melarikan diri ke neraka sekali pun, jangan harap dapat terlepas dari sulingku ini! Cepat turun dan tunjukkan aku di mana adanya anak itu!”
Tok-ciang Hui-moko Liok Cit menghela napas panjang. Dia maklum bahwa dia kalah, akan tetapi dia masih mempunyai suatu andalan untuk menundukkan gadis ini. Dia adalah seorang yang lama berkecimpung di dunia hitam dan menjadi sahabat baik dari para tosu Pek-lian-kauw sehingga pernah dia mempelajari ilmu sihir. Tentu saja ilmu ini selalu dipergunakannya untuk melakukan kejahatan dan kini dia hendak mempergunakan ilmu ini untuk menundukkan gadis yang membahayakan dirinya itu.
“Baiklah, Nona aku menyerah kalah. Aku bukan musuhmu, bukan orang jahat dan tidak bermaksud jahat kepadamu. Biarkan aku turun dan mari kita bicara baik-baik, Nona.”
“Turunlah. Tak usah banyak bicara, asal engkau membawa aku kepada anak itu dan membiarkan aku bicara sendiri dengan dia, cukuplah. Kalau memang engkau tidak melakukan kejahatan, aku pun tidak suka mengganggu orang yang tidak berdosa,” kata Suma Lian sambil menyimpan kembali suling emasnya di ikat pinggang, tertutup bajunya.
Dengan gerakan seperti seekor burung melayang turun, Liok Cit meloncat turun dari atas puncak pohon itu dan berdiri di depan Suma Lian. Diam-diam gadis ini kagum dan memujinya. Gin-kang orang ini memang hebat, pikirnya, dan ia sendiri masih kalah setingkat dalam hal meringankan tubuh. Untunglah bahwa dalam hal ilmu silat dan tenaga, ia masih menang jauh sehingga tadi ia mampu membuat orang ini tidak berdaya.
Akan tetapi, kini Liok Cit merangkapkan kedua tangannya seperti orang menyembah di depan dadanya, matanya memandang tajam penuh wibawa dan suaranya terdengar halus, namun mendesis dan mengandung pengaruh yang kuat pula. “Aku seorang sahabat, Nona, bukan musuh. Aku bermaksud baik kepadamu. Lihat, mukamu penuh keringat, usaplah dulu keringatmu baru kita bicara.”
Otomatis, Suma Lian mengusap sedikit keringat di dahinya dengan ujung lengan baju dan tiba-tiba saja gadis ini maklum. Keparat, pikirnya di dalam hati, orang ini mempergunakan kekuatan sihir! Tentu saja ia mengerti dan dapat merasakan karena bukankah baru saja ia dilatih ilmu sihir oleh ayahnya sendiri? Tadi pun, dari pandang mata Liok Cit, ia sudah menduga bahwa orang ini. menguasai kekuatan sihir dan sekarang agaknya hendak mempengaruhinya dengan sihir. Diam-diam gadis ini tersenyum geli di dalam hatinya. Baiklah, pikirnya, kalau ia tidak dapat menundukkannya karena orang ini terlalu cepat mengelak, ia akan pura-pura tersihir agar dapat dibawa ke tempat anak itu. Akan tetapi, diam-diam ia mengerahkan tenaga batinnya, bukan hanya untuk melawan ilmu sihir lawan, melainkan juga untuk mempengaruhi Liok Cit sehingga Liok Cit percaya bahwa ia yang tersihir!
Liok Cit tersenyum girang melihat gadis itu mengusap keringat di dahi dengan ujung lengan baju. Hal itu baginya menjadi tanda bahwa dia telah berhasil menguasai kemauan gadis itu! “Mari kubantu menghapus keringatmu, nona man....“
Dia hendak mengatakan kata “manis” akan tetapi tiba-tiba saja dia merasa takut dan tidak sepatutnya mengatakan itu, juga tidak sepatutnya dia menjamah muka gadis itu, maka dia pun menarik kembali tangannya dan berkata, “Ah, mana aku berani? Maafkan aku, Nona....“ Sama sekali Liok Cit tidak tahu bahwa perasaan takut dan mengundurkan diri ini berarti bahwa dialah yang terpengaruh oleh kekuatan kemauan sihir dari nona itu! Dia percaya bahwa dia telah berhasil menyihir Suma Lian, padahal sebetulnya, kepercayaan itu adalah hasil tanaman kekuatan sihir Suma Lian kepadanya!
“Marilah, Nona, mari ikut bersamaku!” katanya dengan ramah dan dengan hati gembira karena dia telah dapat menangkap gadis itu dengan pengaruh sihirnya.
“Kau akan membawa aku bertemu dengan anak laki-laki semalam?” Suma Lian bertanya, masih mengendalikan lawannya itu.
“Tentu, tentu...., ha-ha-ha, marilah ikut denganku!” kata pula Liok Cit, agak tergesa-gesa karena dia khawatir kalau sampai kekuatan sihirnya lenyap kekuatannya. Dia mulai ragu-ragu, akan tetapi melihat betapa lawan yang tadinya galak itu kini menjadi “jinak”, dia masih yakin bahwa sihirnya yang menang.
Suma Lian memang belum yakin siapa orang ini dan apa yang telah dilakukan orang ini terhadap anak laki-laki itu, dan siapa pula anak laki-laki itu. Kao Hong Li sendiri pun hanya menyangka saja bahwa orang ini telah menculik anak itu tanpa ada keterangan yang jelas. Oleh karena itu, ia tidak mau turun tangan sebelum ia bertemu dengan anak itu dan mendengar sendiri dari anak itu apa yang sebenarnya yang telah terjadi dan apa yang telah dilakukan orang ini terhadap dirinya.
Tok-ciang Hui-moko Liok Cit berjalan cepat memasuki sebuah hutan di bukit kecil yang sunyi. Suma Lian juga mengerahkan ilmunya berlari cepat, mengikutinya dari belakang. Kadang-kadang laki-laki itu memperlambat larinya dan menoleh, memerintahkan sesuatu yang selalu diturut oleh Suma Lian! Disuruh berlari lambat, ia menurut, disuruh cepat, ia pun cepat. Hal ini semakin memperbesar keyakinan diri Liok Cit bahwa gadis itu masih berada dalam kekuasaan sihirnya, padahal justeru sebaliknya.
Akhirnya, tibalah mereka di depan sebuah pondok kecil yang nampak masih baru. Dan di belakang pondok itu nampak banyak sekali pondok-pondok lain yang amat sederhana, agaknya dibuat secara darurat untuk menjadi tempat tinggal banyak sekali orang. Di sebelah kanan pondok terdapat sebuah kereta dengan empat ekor kuda dan selanjutnya sunyi, tidak nampak ada orang di luar pondok. Suma Lian bersikap waspada, dapat menduga bahwa agaknya ia diajak ke tempat sarang yang berbahaya di mana tinggal banyak orang yang tentu menjadi teman-teman dari Tok-ciang Hui-moko Liok Cit ini!
Suma Lian sama sekali tidak tahu bahwa biarpun ia sudah berhasil menguasai Liok Cit sehingga laki-laki itu membawanya ke tempat di mana adanya anak laki-laki itu, sebenarnya ia dibawa ke tempat yang amat berbahaya. Tempat apakah pondok-pondok baru di tengah hutan di bukit yang sunyi itu? Kiranya itu adalah sarang sementara yang dipergunakan oleh Sin-kiam Mo-li yang mulai menghimpun kekuatan dari golongan sesat untuk memperkuat pasukan yang sedang dibentuk dan dibangun oleh Tiat-liong-pang di bawah pimpinan Siangkoan Lohan! Sin-kiam Mo-li berhasil mengumpulkan sisa orang-orang Ang-i Mo-pang (Perkumpulan Iblis Baju Merah) yang dulu pernah merajalela. Perkumpulan ini dahulunya bekas anak buah dari Iblis Baju Hitam yang membentuk Hek-i Mo-pang, akan tetapi kemudian sisa-sisanya, di bawah pimpinan seorang datuk sesat bernama Tee Kok, memimpin orang-orang yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi itu dan mengubah pakaian mereka menjadi merah dan menamakan perkumpulan itu Ang-i Mo-pang. Kemudian, perkumpulan ini takluk kepada Bi-kwi atau yang bernama Ciong Biu Kwi, murid dari Sam Kwi. Setelah Bi-kwi mengundurkan diri dari dunia sesat, bahkan menikah dan menjadi orang biasa yang hidup melalui jalan yang benar, perkumpulan itu pun ditinggalkannya dan menjadi liar!
Kini, karena mendapat tugas mengumpulkan kekuatan dari golongan hitam, Sin-kiam Mo-li berhasil menghubungi dan menghimpun mereka. Dengan kepandaiannya yang tinggi, mudah saja baginya untuk menguasai mereka dan kini ada kurang, lebih lima puluh orang sudah siap di bawah perintahnya, dan untuk sementara, Sin-kiam Mo-li membangun sarang sementara di bukit itu karena ia ingin mengumpulkan tenaga-tenaga yang kuat sebelum membawa mereka semua kepada Siangkoan Lohan.
Tok-ciang Hui-moko Liok Cit adalah seorang pembantu Sin-kiam Mo-li, karena Toat-beng Kiam-ong bertugas di lain tempat, juga bertugas menghimpun para tokoh persilatan untuk bersekutu dengan Tiat-liong-pang. Liok Cit merupakan pembantu yang amat baik, karena selain pemuda ini cukup lihai ilmu silatnya, walaupun tidak selihai Toat-beng Kiam-ong, namun pemuda ini memiliki dua keistimewaan, yaitu dia seorang ahli gin-kang yang sukar dicari bandingannya dan dia pandai pula ilmu sihir yang dipelajarinya dari para tosu Pek-lian-kauw. Sin-kiam Mo-li yang cerdik itu kini memberi sebuah tugas istimewa kepada Liok Cit, yaitu menculik seorang anak laki-laki yang tinggal di sebuah dusun yang aman dan kecil. Putera sebuah keluarga petani biasa! Memang aneh bagi orang lain, akan tetapi Sin-kiam Mo-li adalah seorang wanita yang cerdik sekali. Ia teringat akan seorang yang tenaganya sangat boleh diandalkan untuk membantu persekutuan mereka. Orang itu bukan lain adalah seorang wanita yang dulu bernama Ciong Siu Kwi yang berjuluk Bi-kwi (Setan Cantik), seorang datuk sesat yang luar biasa lihainya, murid terkasih dari Sam Kwi (Tiga Setan). Kalau saja ia mampu membujuk atau memaksa Bi-kwi menjadi sekutu, tentu Siangkoan Lohan akan girang sekali dan persekutuan mereka akan menjadi kuat. Bi-kwi selain lihai juga amat cerdik. Seperti telah diceritakan dalam kisah Suling Naga, Bi-kwi telah bertaubat setelah ia bertemu jodohnya, yaitu seorang pemuda petani biasa bernama Yo Jin. Demi cintanya, Bi-kwi rela meninggalkan kehidupannya sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, menjadi isteri Yo Jin dan hidup sebagai petani di dusun itu, sama sekali tidak pernah mau mencampuri urusan dunia persilatan. Bahkan ia selalu bersikap wajar sehingga semua penghuni dusun itu tidak seorang pun mengetahui bahwa isteri Yo Jin adalah seorang wanita yang lihai bukan main! Bahkan setelah mereka mempunyai seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Yo Han, anak ini sama sekali tidak pernah dilatih silat oleh ibunya, sesuai dengan keinginan ayahnya.
Nama Bi-kwi sudah dilupakan oleh dunia persilatan, bahkan para pendekar pun tidak ada yang mengetahuinya, walaupun pada akhir kehidupannya sebagai seorang ahli silat, Bi-kwi telah menebus dosa-dosanya dengan jasa yang besar, yaitu menyelamatkan Kao Hong Li dari tangan Sin-kiam Mo-li (baca kisah Suling Naga). Bi-kwi dianggap sudah menghilang dari dunia persilatan!
Akan tetapi, tidaklah demikian bagi Sin-kiam Mo-li! Wanita ini tak pernah lupa bahwa Bi-kwi pernah menggagalkan usahanya, dan diam-diam ia pun menyebar orang-orangnya untuk melakukan penyelidikan di mana adanya wanita bekas musuhnya itu. Dan orang-orang yang disebarnya untuk melakukan penyelidikan justeru orang-orang bekas anak buah Ang-i Mo-pang! Setiap orang Ang-i Mo-pang tentu saja mengenal Bi-kwi yang pernah menaklukkan mereka sehingga akhirnya, seorang di antara mereka berhasil menemukan Bi-kwi yang telah menjadi seorang isteri dan ibu rumah tangga keluarga petani Yo Jin di dusun itu. Setelah tempat tinggal Bi-kwi ditemukan, tibalah giliran Tok-ciang Hui-moko Liok Cit! Jagoan ini sudah dipesan dengan teliti oleh Sin-kiam Mo-li agar tidak menggunakan kekerasan di depan Bikwi, karena kalau hal itu terjadi, takkan mungkin dia akan berhasil menculik anak keluarga itu. Maka, Liok Cit mempergunakan kesempatan selagi Yo Jin dan isterinya, Ciok Siu Kwi, sibuk menuai gandum di sawah, mengajak pergi anak mereka yang hanya seorang, yaitu seorang anak laki-laki bernama Yo Han. Dengan kepandaian sihirnya, dengan mudah Liok Cit membuat Yo Han menurut saja diajak pergi dari dusun itu tanpa ada yang melihatnya.
Setelah tiba di luar dusun, karena masih ngeri membayangkan keterangan Sin-kiam Mo-li bahwa ibu anak itu adalah seorang wanita yang berilmu tinggi, bekas murid terkasih dari Sam Kwi, maka Liok Cit lalu menggendongnya dan berlari cepat. Larinya yang cepat menarik perhatian Kao Hong Li dan gadis perkasa itu lalu membayanginya sampai pada malam hari itu ia bertemu dengan Suma Lian.
Demikianlah, tanpa diketahuinya, Suma Lian oleh Liok Cit diajak masuk ke sarang di mana tinggal Sin-kiam Mo-li dan lima puluh lebih anggauta Angi Mo-pang, juga para pembantunya yang rata-rata memiliki ilmu yang tinggi! Dan memang Yo Han, anak laki-laki itu, berada di situ, di dalam kamar dalam keadaan baik-baik saja dan dijaga oleh beberapa orang anggauta Ang-i Mo-pang, diperlakukan dengan baik. Hal ini adalah karena maksud Sin-kiam Mo-li menculik Yo Han bukanlah untuk mencelakainya, melainkan untuk memaksa ibu anak itu agar mau bersekutu dan membantu Siangkoan Lohan!
Setelah tiba di depan pondok itu, Suma Lian memperkuat pengaruh sihirnya sehingga dengan penuh kepercayaan Liok Cit lalu berteriak ke arah dalam pondok dengan nada suara girang, “Mo-li, keluarlah dan lihatlah siapa yang sudah berhasil kutuntun datang seperti seekor domba ke sini!”
Tadi pun melalui para penjaga, Sin-kiam Mo-li sudah diberi tahu akan datangnya Liok Cit bersama seorang gadis cantik yang gagah perkasa, maka ia pun sudah siap siaga dan menyuruh semua anak buah untuk bersembunyi dan siap menanti komando. Ketika ia mendengar seruan Liok Cit, hati Sin-kiam Mo-li menjadi gembira dan diam-diam ia mengagumi pembantunya itu. Kiranya gadis itu sudah berada di bawah pengaruh sihir Lok Cit, maka pembantunya itu berani berucap demikian.
Ia pun segera meloncat keluar dari dalam pondok itu sambil tersenyum. Akan tetapi, begitu tiba di luar pondok, senyumnya menghilang dan matanya terbelalak. Sin-kiam Mo-li sendiri seorang yang pandai ilmu sihir, maka ia pun segera dapat melihat keadaan yang aneh pada diri Liok Cit itu. Tadi Liok Cit meneriakkan bahwa ia telah menuntun seekor domba akan tetapi setelah tiba di luar, ia melihat Liok Cit berdiri tanpa daya, dengan mata kosong, dan di belakangnya berdiri seorang gadis cantik manis dan gagah yang tersenyum penuh kemenangan. Bukan gadis itu yang berada di bawah pengaruh sihir, melainkan Liok Cit yang kelihatannya kehilangan pengaruh sama sekali!
“Liok Cit, mengapa engkau?” Sin-kiam Mo-li membentak sambil mengerahkan tenaga dalamnya. Liok Cit teringat dan dia pun sadar akan tetapi menjadi bingung karena tiba-tiba jari tangan Suma Lian telah menempel di tengkuknya.
“Aku.... aku....“ katanya gagap dan bingung, tidak tahu apa yang telah terjadi pada dirinya, hanya menyadari bahwa jari tangan di tengkuknya itu sekali bergerak dapat saja membuat nyawanya melayang meninggalkan tubuhnya.
“Hayo cepat suruh anak itu datang ke sini dan bicara denganku!” Suma Lian membentak sambil menggerakkan jari tangannya yang menempel di tengkuk Liok Cit.
Diam-diam Sin-kiam Mo-li terkejut. Kiranya gadis ini datang untuk membebaskan anak itu! Ia merasa heran karena belum pernah mengenal gadis itu. Kenapa bukan Bi-kwi yang muncul? Ia lalu melangkah maju dan tersenyum kepada Suma Lian.
“Adik yang manis,” katanya sambil tersenyum dan dengan sikap ramah. “Apakah engkau diutus oleh Bi-kwi Ciong Siu Kwi untuk datang menjemput Yo Han?”
Suma Lian memandang bingung tidak tahu apa arti ucapan itu karena memang ia tidak mengenal nama-nama yang disebutkan tadi. “Aku datang untuk bicara dengan anak laki-laki yang telah dilarikan oleh orang ini. Suruh dia keluar, aku tidak mempunyai urusan lain dengan siapapun juga.”
Sin-kiam Mo-li tersenyum lebar dan diam-diam ia pun terkejut. Ia tadi telah mengerahkan kekuatan sihirnya untuk mempengaruhi gadis ini, akan tetapi merasa betapa ada kekuatan yang membuat pengaruh sihirnya itu membalik!
“Ah, kiranya begitu, adik yang baik. Agaknya engkau telah salah paham dengan Liok Cit. Anak itu adalah keponakanku dan dia kuajak ke sini untuk berlibur. Ibunya akan datang menjemputnya. Anak itu baik-baik saja, kalau engkau tidak percaya, tunggulah sebentar, akan kusuruh dia keluar.”
Sin-kiam Mo-li masuk ke dalam pondoknya, diam-diam memberi perintah kepada anak buahnya, kemudian menuntun seorang anak laki-laki keluar pondok. Suma Lian memandang penuh perhatian. Seorang anak laki-laki yang usianya sekitar tujuh tahun. Pakaiannya agaknya baru diganti, masih bersih dan baru. Anak yang tubuhnya sedang, wajahnya tampan dan sepasang matanya tajam, akan tetapi pada saat itu, pandang matanya kosong.
“Nah, inilah dia Yo Han, keponakanku. Anak Han, cici di sana itu mengira bahwa engkau dipaksa datang ke sini. Katakan bahwa engkau mengunjungi bibi tuamu ini dan menanti jemputan ibumu dan bahwa engkau senang berada di sini,” kata Sin-kiam Mo-li.
Anak itu memandang kepada Suma Lian dengan bingung, lalu menoleh ke arah Sin-kiam Mo-li yang menggandeng tangannya, dan dia pun bicara dengan suara gagap, “Aku.... aku senang di sini....“
Suma Lian dapat mencium sesuatu yang tidak beres. Ia sudah tahu bahwa Liok Cit adalah seorang yang lihai dan pandai ilmu sihir, dan agaknya penculik anak ini membawanya menghadap kepada wanita cantik itu yang tentu saja sebagai pemimpinnya lebih lihai lagi. Ada sesuatu yang tidak beres pada anak itu. Matanya demikian tajam dan membayangkan kecerdikan, akan tetapi kehilangan cahayanya. Diam-diam ia pun mengerahkan tenaga batinnya seperti yang dia jarkan ayahnya baru-baru ini, memandang ke arah anak lak-laki itu di antara kedua matanya dan suaranya terdengar lantang penuh wibawa,
“Anak baik, engkau meninggalkan ibumu tanpa pamit! Engkau dibawa pergi laki-laki ini di luar kehendakmu dan engkau ingin bertemu dengan ibumu, ingin pulang. Katakan, apa yang telah terjadi?”
Tiba-tiba anak itu terbelalak dan seolah-olah dia baru teringat akan keadaan dirinya! Dengan kaget dia memandang ke arah Liok Cit, lalu menoleh kepada Sin-kiam Mo-li dan dia pun berteriak. “Ibu! Mana ibuku! Katanya di sini....!” Dan anak itu berusaha melepaskan pegangan tangan Sin-kiam Mo-li untuk melarikan diri. Akan tetapi, sekali menggerakkan tangan, Sin-kiam Mo-li sudah menangkap anak itu kembali. Kini marahlah Sin-kiam Mo-li dan dengan mata mencorong ia memandang kepada Suma Lian.
“Hemmm, siapakah engkau yang hendak mencampuri urusan kami?”
“Tidak perlu dikatakan aku siapa, akan tetapi kembalikanlah anak itu, lepaskan biar kubawa dia kembali kepada orang tuanya,” kata Suma Lian.
“Hemmm, kalau aku menolak?” tantang Sin-kiam Mo-li.
“Terpaksa akan kurobohkan penculik ini lebih dulu sebelum aku merampas kembali anak itu dengan kekerasan!” Suma Lian menjawab tenang, jari tangannya siap menotok tengkuk dan Liok Cit menjadi pucat wajahnya, tengkuknya terasa dingin seperti terkena es!
Sin-kiam Mo-li yang tadi sudah membuat persiapan tetap tersenyum. Wanita ini memang memiliki pembawaan tenang, penuh kepercayaan akan kemampuan dirinya dan hal ini yang membuat ia semakin berbahaya.
“Nona, tidak perlu engkau menggunakan kekerasan. Anak ini adalah keponakanku sendiri, kami tidak ingin menyusahkan dia. Kalau memang engkau ingin membawa dia pulang ke rumah ibunya, silakan, akan tetapi harap kaubebaskan dulu Liok Cit. Dia tidak berdosa, dia hanya kusuruh jemput anak ini saja.”
Suma Lian juga tersenyum. Ia seorang gadis yang lincah jenaka dan pintar bukan main. Mana mau dikelabuhi begitu saja? “Hemmm, agaknya engkau mengajak tukar. Baiklah, lepaskan anak itu dan berikan kepadaku, baru aku akan melepaskan tikus ini!”
Diam-diam Sin-kiam Mo-li mendongkol juga terheran. Ia tahu akan kemampuan Liok Cit. Tidak sembarang orang mampu mengalahkannya, akan tetapi mengapa kini di tangan gadis yang masih amat muda itu, Liok Cit menjadi seperti seekor tikus saja yang sama sekali tidak berdaya? Demikian lihaikah gadis ini?
“Nah, ambillah keponakanku ini kalau memang dia ingin pulang,” katanya sambil melepaskan pegangannya pada lengan Yo Han. Entah mengapa, begitu terlepas, Yo Han lalu berlari menghampiri Suma Lian. Ada sesuatu pada diri gadis itu yang menimbulkan kepercayaan dalam hatinya.
“Enci, benarkah engkau hendak mengantarkan aku pulang ke rumah ayah ibuku?” tanyanya sambil memegang ujung baju gadis itu.
“Jangan khawatir, aku pasti akan membawamu pulang,” kata Suma Lian dan dia pun melepaskan tangannya dari tengkuk Liok Cit. Orang ini seperti seekor tikus yang baru saja terlepas dari kurungan, cepat lari ke depan menghampiri Sin-kiam Mo-li.
“Jangan lepaskan, ia berbahaya sekali!” katanya.
Sin-kiam Mo-li tertawa. ““Heh-heh-heh, siapa yang begitu bodoh hendak melepaskannya? Engkaulah yang tolol, tidak mampu mengatasi seorang ingusan!” Sin-kiam Mo-li mengeluarkan suara melengking dan Suma Lian cepat menoleh ke kanan kiri mendengar ada gerakan di sekelilingnya. Kiranya tempat itu telah terkepung oleh puluhan orang yang memakai pakaian serba merah, menyeramkan sekali!
“Hemmm, sudah kuduga bahwa kalian bukanlah orang baik-baik!” kata Suma Lian marah, akan tetapi sikapnya tetap tenang. “Akan tetapi jangan dikira bahwa aku takut menghadapi badut-badut ini!” Padahal diam-diam ada suatu hal yang dikhawatirkan Suma Lian, yaitu anak itu. Bagaimana mungkin ia dapat melindungi anak itu kalau ia harus menghadapi pengeroyokan begitu banyak orang!
“Yo Han, dengar baik-baik. Kalau nanti aku berkelahi dengan mereka berusahalah untuk melarikan diri dari sini!” bisiknya kepada anak itu yang hanya dapat mengangguk, akan tetapi mata anak itu memandang ke sekeliling di mana orang-orang berpakaian serba merah telah bergerak maju mengepung. Dia memang sudah melihat orang-orang itu ketika dibawa pergi ke sini dan dia tidak tahu siapa mereka, apa pula maksud wanita cantik yang menahannya.
“Adik manis,” kata Sin-kiam Mo-li yang dapat menduga bahwa gadis itu tentu lihai dan ia justeru bertugas untuk menghimpun orang-orang lihai. Mengapa tidak dicobanya mendekati gadis ini dan membujuknya untuk bersahabat dan bersekutu? “Di antara kita tidak ada permusuhan apa pun dan ketahuilah bahwa sesungguhnya kami tidak berniat buruk terhadap Yo Han. Kalau kami berniat buruk, tentu dia tidak selamat sampai sekarang. Nah, setelah engkau datang memintanya, kami telah memberikan dengan suka rela. Apakah engkau tidak mau menghargai sikap persahabatan ini? Mari kita bersahabat dan siapa tahu di antara kita dapat bekerja sama!”
Suma Lian semakin waspada. Wanita ini mempunyai niat tertentu,pikirnya. Ia tersenyum. Orang itu menyebut adik, maka biarpun ia tahu bahwa usia wanita itu lebih tua dari ibunya, ia menyebutnya enci.
“Enci, aku adalah seorang yang suka hidup mengembara, seorang diri dan tidak ingin mengikatkan diri dengan kerja sama dengan orang lain. Dan masih banyak urusan yang harus kuselesaikan. Kalau kalian memang berniat baik dan mengembalikan anak ini kepadaku, terima kasih dan biarlah aku membawa Yo Han pulang ke rumahnya. Nah, selamat tinggal! Mari, Yo Han, kita pergi!”
Akan tetapi, tiba-tiba Sin-kiam Moli berseru marah. “Tahan! Hemmm, engkau ini masih muda akan tetapi sungguh tinggi hati sekali. Engkau datang tanpa kami undang, engkau menggunakan kekerasan terhadap pembantu kami, dan sekarang hendak pergi begitu saja? Tidak mungkin! Engkau harus berjanji membantu kami, mau atau tidak. Kalau melawan celaka. Liok Cit, pergunakan pasukan tangkap gadis ini!”
Biarpun Liok Cit sudah merasa jerih terhadap gadis ini, namun kini di situ ada Sin-kiam Mo-li dan ada puluhan orang anak buah Ang-i Mo-pang, maka tentu nyalinya menjadi besar. Pula dengan gin-kangnya yang istimewa, dia masih mampu menyelamatkan diri kalau sampai gadis ini mengamuk.
“Kepung ia, tangkap!” teriaknya dan belasan orang anggauta Ang-i Mo-pang yang belum mengenal Suma Lian dan memandang rendah, lalu mengurungnya dan serentak mereka itu menubruk hendak menangkap, seperti sekawanan serigala memperebutkan kelinci yang muda dan segar dagingnya. Mereka berlumba untuk dapat merangkul dan memeluk gadis yang cantik itu. Menghadapi sergapan mereka, Suma Lian memutar tubuhnya sambil menggerakkan kedua tangannya dan terjadilah hal yang membuat Sin-kiam Mo-li terkejut bukan main. Belasan orang itu seperti disambar halilintar, atau seperti sekumpulan daun kering diterjang angin keras. Mereka terpelanting dan terbanting jatuh sebelum dapat menyentuh tubuh gadis itu!
Tentu saja Sin-kiam Mo-li terkejut. Belasan orang anggauta Ang-i Mo-pang itu bukanlah orang-orang lemah! Akan tetapi, bahwa hawa pukulan yang keluar dari kedua tangan gadis itu, juga gerakan memutar tubuh itu, menunjukkan ilmu yang tinggi tingkatnya! Tahulah ia kini mengapa Liok Cit menjadi seperti tikus yang tidak berdaya menghadapi gadis ini.
“Pergunakan senjata!” bentaknya dengan penasaran. Belasan orang anggauta Ang-i Mo-pang yang lain, yang marah melihat teman-teman mereka berpelantingan, sudah mencabut pedangnya. Juga Tok-ciang Hui-moko Liok Cit mencabut pedang. Kini, dibantu oleh belasan orang, timbul keberaniannya, bahkan dia bernafsu untuk membalas kekalahannya tadi ketika melawan Suma Lian.
Melihat belasan orang mengepungnya dengan pedang telanjang di tangan, Suma Lian tersenyum mengejek. “Orang yang suka mempergunakan kekerasan, akan menjadi korban kekerasannya sendiri. Kalian membawa pedang, nah, biarlah kalian rasakan bagaimana terluka oleh senjata itu!” Dan ia pun mencabut suling emasnya dari pinggang. Melihat suling emas ini, Sin-kiam Mo-li terkejut sekali.
“Suling Emas....?” serunya kaget. Pernah ia dahulu melawan seorang pendekar yang amat lihai, yang juga mempergunakan sebatang suling, yaitu pendekar Sim Houw, suami dari Can Bi Lan. Pendekar itu hebat sekali ilmunya dan harus diakuinya bahwa melawan pendekar itu, ia tidak dapat menang. Dan kini, gadis ini mengeluarkan pula sebatang suling emas, walaupun tidak sepanjang suling naga di tangan pendekar Sim Houw itu.
Akan, tetapi, Liok Cit dan belasan orang anak buah Ang-i Mo-pang sudah menerjang dan mengeroyok Suma Lian. Sin-kiam Mo-li hanya nonton saja sambil memperhatikan gadis yang bersenjata suling emas itu. Ia melihat betapa suling itu digerakkan dan lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar emas yang mengeluarkan suara berdengung seolah-olah suling itu ditiup orang. Dan kini, gulungan sinar emas itu menyambar-nyambar ke sekeliling, menyambut pengeroyokan belasan orang yang mulai menyerangnya.
Terdengar suara nyaring berdencing berulang kali dan beberapa orang pengeroyokterdorong ke belakang, bahkan ada dua batang pedang yang terlempar dan terlepas dari pegangan. Demikian hebatnya kekuatan gulungan sinar keemasan itu. Liok Cit menusukkan pedangnya dari belakang, mengarah punggung Suma Lian, akan tetapi dengan amat mudahnya gadis itu menggeser kedua kakinya dan kini hujan senjata pedang itu dielakkannya dengan gerakan langkah-langkah ajaibnya. Dengan mengandalkan San-po Cin-keng, biarpun dikeroyok orang yang jauh lebih banyak lagi, Suma Lian akan mampu menyelamatkan dirinya. Yang membuat ia sibuk adalah memikirkan Yo Han. Anak itu masih berada di pinggiran, agaknya masih mencari-cari kesempatan untuk melarikan diri karena tempat itu masih terkepung-banyak orang berpakaian merah
Agaknya Yo Han kini menjadi nekat. Melihat betapa gadis penolongnya itu masih dikeroyok dan kini lebih banyak lagi orang berpakaian merah mencabut pedang hendak maju mengeroyok, tiba-tiba dia melarikan diri hendak menerobos keluar. Akan tetapi, tiba-tiba Sin-kiam Mo-li meloncat dan sekali menotok, tubuh anak itu pun terjungkal dan tidak mampu bergerak lagi!
Sin-kiam Mo-li menjadi marah. “Hemm, kiranya engkau memiliki juga sedikit ilmu kepandaian!” katanya dan ia pun sudah mengeluarkan sepasang senjatanya, yaitu kebutan merah bergagang emas dan pedang di tangan kanan. Dengan sepasang senjatanya ini, Sin-kiam Mo-li meloncat ke depan dan seperti seekor burung saja, tubuhnya melayang ke atas, lalu menukik ke bawah, kebutan berbulu merah itu menotok ke arah ubun-ubun kepala Suma Lian sedangkan pedangnya membabat ke arah leher. Serangan ini cepat, kuat dan tidak terduga datangnya.
“Ihhh!” Suma Lian terkejut juga. Tak disangkanya bahwa wanita cantik itu sedemikian lihainya. Cepat ia mengelak dengan geseran kaki ke kiri dan sulingnya diangkat untuk menangkis kebutan yang datang dari atas, berusaha untuk membabat bulu kebutan merah yang menotok ke arah ubun-ubun kepalanya!
Patut diketahui bahwa biarpun senjata yang berada di tangan Suma Lian itu sebatang suling emas yang tentu saja tidak setajam seperti pedang, namun karena ilmu yang dimainkan itu adalah ilmu pedang gabungan yang amat lihai, maka sinar suling itu saja sudah mengandung hawa kuat dan ketajaman seperti pedang! Sin-kiam Mo-li juga bukan seorang bodoh yang memandang rendah lawan. Ia tadi sudah tahu bahwa gadis yang memegang suling emas ini lihai bukan main dan suling itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Maka, melihat betapa sinar emas yang menyilaukan mata itu menyambar ke arah kebutannya, ia merasa khawatir kalau kebutannya rusak atau rontok bulunya. Cepat ia mengerahkan tenaganya dan dengan tenaga sin-kang ini ia membuat bulu-bulu kebutannya itu berubah kaku seperti kawat baja.
“Traaanggg....!” Bunga api berpijar dan kembali Sin-kiam Mo-li terkejut karena tangan yang memegang gagang kebutan itu tergetar hebat dan ada hawa dingin sekali menyusup melalui tangannya sampai ke siku lengan!
“Ihhhhh....“ Cepat ia mengerahkan sin-kang untuk melawan dan mendorong hawa dingin itu agar keluar kembali karena kalau dibiarkan, hawa dingin itu akan terus memasuki tubuhya dan ia bisa celaka. Wajahnya berubah agak pucat karena hawa dingin itu mengingatkan ia akan keluarga para pendekar Pulau Es. Ia melompat ke belakang dan membiarkan orang-orangnya yang berpakaian merah untuk terus melakukan pengepungan dan pengeroyokan. Akan tetapi, orang-orang Ang-i Mo-pang juga merasa jerih dan mereka hanya mengurung sambil berputaran saja. Liok Cit sendiri pun belum berani menyerang lagi. Melihat betapa Sin-kiam Mo-li saja yang mempergunakan pedang dan kebutannya kini meloncat mundur dengan kaget, apalagi dia!
Sementara itu, Sin-kiam Mo-li yang meloncat mundur kini memandang tajam, karena ia teringat akan gadis yang bernama Pouw Li Sian itu, yang ternyata adalah murid mantu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Dan kini tiba-tiba saja muncul seorang gadis lain yang mempergunakan sin-kang yang mengandung hawa dingin pula.
“Kau.... kau murid keluarga Pulau Es?” tanyanya, agak gagap karena bagaimanapun juga, ia merasa jerih berhadapan dengan orang-orang Pulau Es.
Melihat betapa wanita cantik yang lihai itu meloncat mundur, namun bagaimanapun juga tadi dapat menahan Swat-im Sin-kang yang ia pergunakan untuk menangkis kebutan, dan bulu kebutan itu pun berubah menjadi kaku seperti kawat baja, bahkan kini dapat mengenal sin-kangnya sehingga dapat menduga bahwa ia murid keluarga Pulau Es, diam-diam Suma Lian merasa kagum. Wanita ini jelas bukan orang sembarangan saja. Kalau saja ia dapat lebih lama bercakap-cakap dengan Kao Hong Li dan mendengar bahwa seorang di antara para pembunuh penghuni Istana Gurun Pasir adalah Sin-kiam Mo-li, wanita ini, tentu akan lain lagi sikapnya!
Mendengar pertanyaan wanita itu, Suma Lian tersenyum. Ia tahu bahwa lawan ini lihai sekali, dan dibantu oleh demikian banyaknya anak buah yang juga tidak boleh dipandang ringan, kalau ia dikeroyok, keadaannya cukup berbahaya. Apalagi mengingat akan anak laki-laki yang kini sudah tertawan kembali dan tertotok oleh wanita itu bahkan kini telah dijaga oleh dua orang berpakaian merah, ia tahu bahwa pihaknya berada dalam keadaan yang lemah. Sebaliknya kalau ia dapat minta anak itu. secara damai. Ia sendiri tidak khawatir akan keselamatan dirinya karena ia yakin akan mampu membela diri, akan tetapi bagaimana dengan anak laki-laki itu? Maka ia pun tersenyum dan menjawab terus terang untuk mempergunakan nama besar keluarganya agar wanita itu tunduk.
“Enci, engkau sendiri seorang yang berilmu tinggi. Ketahuilah, namaku Suma Lian, aku cucu buyut dalam dari penghuni Istana Pulau Es. Dan siapakah engkau, dan kuharap engkau suka menyerahkan anak itu kepadaku agar dapat kuantar pulang ke rumah orang tuanya.”
Akan tetapi, begitu mendengar pengakuan gadis itu bahwa ia adalah cucu Pendekar Super Sakti, Sin-kiam Mo-li terkejut dan cepat memberi aba-aba kepada anak buahnya. “Serang dan tangkap gadis ini, kalau perlu bunuh!”
Tentu saja Suma Lian terkejut mendengar ini dan ia pun marah. Mukanya menjadi merah dan sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong. “Bagus! Kaukira aku takut menghadapi pengeroyokan kalian? Majulah kalau kalian semua sudah bosan hidup!”
Mendengar perintah Sin-kiam Mo-li, Tok-ciang Hui-moko Liok Cit lalu memberi aba-aba rahasia kepada para anak buah Ang-i Mo-pang. Dua puluh empat orang membuat lingkaran mengepung Suma Lian dan mereka berlari-lari mengelilingi gadis itu. Suma Lian maklum bahwa mereka itu mempergunakan barisan yang teratur dan kalau ia terpengaruh oleh gerakan mereka yang berlari-larian mengelilingi, sedikitnya ia akan merasa pening. Oleh karena itu, ia tidak mempedulikan gerakan mereka yang berlarian mengelilinginya itu. Ia melihat pula betapa di luar barisan pertama yang berlarian mengelilinginya searah jarum jam itu, terdapat pula belasan orang berpakaian merah yang juga berlarian, akan tetapi dengan arah yang berlawanan dari barisan pertama yang berada di sebelah dalam. Ia tidak membiarkan dirinya terpengaruh. Sebagai puteri Suma Ceng Liong yang sudah digembleng oleh ayahnya dalam ilmu sihir, Suma Lian maklum bahwa dalam barisan ini pun ada unsur kekuatan sihirnya, maka ia pun tidak mau terpengaruh, melainkan berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang, tangan kanan memegang suling emas yang dilintangkan di depan dada, tangan kiri digantung di pinggang. Biarpun ia nampak santai saja, namun sesungguhnya ia telah siap siaga dan seluruh urat syaraf di tubuhnya sudah siap menghadapi serangan.
Terdengar Liok Cit memberi aba-aba dan mulailah barisan sebelah dalam yang terdiri dari dua puluh empat orang yang mengelilinginya itu mempersempit lingkaran, terpecah menjadi tiga kelompok dan kini delapan orang yang mengepungnya, dua masing-masing di depan belakang dan kanan kiri dan delapan orang ini sudah menyerangnya dalam saat yang bersamaan, mempergunakan pedang mereka. Adapun sisanya, dua kelompok lagi dari masing-masing delapan orang siap menjadi pasukan lapis ke dua dan ke tiga, dan masih ada lagi lapisan di sebelah luarnya!
Diserang oleh delapan orang dari delapan penjuru, Suma Lian tidak merasa gentar. Ia seorang gadis yang cerdik dan ia tidak sudi membiarkan dirinya dikepung oleh barisan berlapis-lapis itu. Kalau ia melayani mereka, tentu akan habis tenaganya dan agaknya inilah yang akan dilakukan mereka. Maka, melihat dirinya diserang dari delapan penjuru, ia malah menubruk ke depan, memutar sulingnya dan dua orang penyerang di depannya terjungkal dan ia pun terus menerobos keluar kepungan itu karena serangan enam orang lainnya tidak mengenai sasaran dan kepungan itu pun bobol dengan robohnya dua orang di depannya. Ia sudah dihadang oleh barisan lapis ke dua, juga berjumlah delapan orang yang kiri langsung menyerangnya sambil lari berputar. Agaknya Liok Cit cukup pandai sehingga melihat cara Suma Lian membobolkan kepungan lapisan pertama, dia lalu memerintahkan lapisan kedua untuk menyerang sambil bergerak memutari gadis itu agar gadis itu tidak mampu membobol satu bagian saja seperti yang dilakukannya tadi.
Akan tetapi, Liok Cit terlalu memandang rendah gadis itu kalau dia mengharapkan akalnya berhasil. Kalau ia menghendaki, sekali memutar sulingnya, tentu saja Suma Lian akan mampu merobohkan delapan orang penyerangnya itu, sekaligus membunuh mereka. Akan tetapi, ia seorang pendekar wanita yang pantang membunuh sembarangan saja. Ia tahu bahwa orang-orang yang berpakaian serba merah itu hanyalah anak buah yang mentaati perintah atasan. Mereka itu tidak bermusuhan dengannya. Yang harus dirobohkan adalah Liok Cit dan pemimpinnya, yaitu wanita cantik itu. Kalau ia berhasil merobohkan mereka, tentu akan mudah baginya untuk menyelamatkan anak laki-laki yang mereka culik dan tawan.
Dengan langkah ajaib San-po Cin-keng dan Ilmu Silat Kong-jiu Jip-tin (Tangan Kosong Memasuki Barisan) mudah saja baginya untuk melangkah dan mengelak dari sambaran delapan batang pedang itu dan tiba-tiba delapan orang itu menjadi terkejut dan bingung karena tiba-tiba saja ada bayangan berkelebat dan mereka tidak lagi melihat gadis itu, seolah-olah gadis itu dapat menghilang dari depan mata mereka. Padahal, Suma Lian tadi mempergunakan ginkangnya dan ia sudah mencelat ke atas, melampaui kepala delapan orang itu dan dari atas ia melihat betapa Liok Cit memberi aba-aba sambil berdiri di atas gundukan tanah yang tinggi. Maka, sekali meloncat, kini tubuhnya sudah meluncur ke arah orang itu!
Tentu saja Liok Cit kaget setengah mati ketika melihat gadis itu kini meloncat ke arahnya dan menyerang dengan suling yang berubah menjadi gulungan sinar emas itu. Dia sendiri seorang ahli gin-kang yang bahkan lebih lihai dari gadis itu, akan tetapi karena serangan yang dilakukan Suma Lian itu tiba-tiba sekali datangnya dan tidak terduga lebih dahulu, dia pun tidak sempat untuk mengelak dan terpaksa mempergunakan pedangnya menangkis sinar emas yang menyambar ke arah dadanya.
“Tranggg....!” Sungguh hebat pertemuan antara suling dan pedang itu dan akibatnya, pedang di tangan Liok Cit terlepas dan orang ini lalu menyelamatkan diri dengan melempar tubuh ke belakang, bergulingan di atas tanah! Suma Lian mengejar dan siap untuk menotok dengan sulingnya, akan tetapi, sebatang pedang menangkisnya.
“Cringgg....!” Kiranya yang menangkis adalah Sin-kiam Mo-li dan wanita ini merasa kagum bukan main, juga kaget. Sungguh hebat ilmu kepandaian cucu buyut penghuni Istana Pulau Es ini. Sementara itu, melihat betapa pedang yang menangkisnya tadi berada di tangan wanita itu yang agaknya mulai turun tangan sendiri membantu anak buahnya, Suma Lian menjadi girang. Memang inilah yang diharapkan, yaitu langsung bertanding melawan wanita itu dan Liok Cit! Ia sudah siap menyerang wanita itu, akan tetapi tiba-tiba ia menghentikan gerakannya dan berdiri terpukau melihat betapa sambil tersenyum licik wanita itu menodongkan pedangnya ke dada anak laki-laki yang dicengkeram pundaknya!
“Suma Lian, menyerahlah atau terpaksa aku akan menusuk dada anak ini dengan pedangku, baru akan mengeroyokmu sampai engkau tertawan, hidup atau mati!”
Tentu saja Suma Lian menjadi bingung. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa wanita yang cantik dan berkepandaian tinggi itu akan melakukan muslihat yang demikan curang, tanpa malu-malu melakukan siasat licik ini. Ia terlibat dengan mereka hanya untuk menyelamatkan anak laki-laki itu, apa artinya kalau sampai anak itu terbunuh karena ia mengamuk? Dan wanita itu bukan orang yang bodoh, agaknya tidak akan segan lagi membunuh anak itu untuk memaksakan kemauannya, untuk membuat ia tidak berdaya. Akan tetapi, meninggalkan anak itu begitu saja pun ia tidak tega. Ia pun menjadi bingung dan meragu, dan pada saat itu terdengar suara anak laki-laki itu, lantang dan penuh keberanian.
“Enci, jangan dengarkan gertak kosong iblis ini! Di antara kita tidak ada hubungan apa pun, kalau ia membunuhku pun, Enci tidak akan rugi apa-apa. Jangan mau diancam dan digertak. Kalau ia mau membunuhku, boleh bunuh, siapa sih yang takut mati? Akan tetapi, Enci sebagai pendekar harus menentangnya dan membunuh iblis jahat ini berikut anak buahnya!”
Suma Lian terbelalak memandang anak laki-laki itu. Tidak kelirukah pendengarannya? Anak itu baru berusia kurang lebih tujuh tahun! Akan tetapi ketika mengeluarkan kata-kata tadi, berdirinya tegak, matanya mencorong dan suaranya lantang, pantasnya diucapkan oleh seorang laki-laki dewasa yang gagah perkasa, yang sedikit pun tidak takut mati! Jelas bahwa anak ini pun bukan bocah sembarangan saja, tentu keturunan orang tua pendekar!
Mendengar ucapan itu, Suma Lian tersenyum lebar bahkantertawa. Ia pun mengerti bahwa sikap dan ucapan anak itu sekaligus menghantam dan menghancurkan siasat wanita itu untuk memaksanya dengan cara mengancam hendak membunuh anak itu. Anak itu benar! Kalau ia merasa khawatir akan keselamatan anak itu, tentu saja hal ini merupakan senjata ampuh bagi lawan, dan lawan dapat memaksakan kehendaknya dengan mengancam anak itu, melakukan pemerasan kepadanya. Sebaliknya, kalau lawan mengetahui bahwa ia tidak peduli akan keselamatan anak itu, tentu lawan merasa percuma mempergunakan siasat seperti itu, dan tidak mau membunuh anak itu dengan sia-sia, apalagi agaknya anak itu penting bagi mereka.
“Hemmm, iblis betina, engkau sudah mendengar sendiri ucapan bocah yang gagah perkasa itu! Dia bukan apa-apaku, mau kaubunuh atau kauapakan terserah, akan tetapi ketahuilah bahwa setelah aku mengetahui akan kejahatan kalian, aku pasti tidak akan tinggal diam sebelum membasmi kalian dengan sulingku ini!”
Sin-kiam Mo-li merasa mendongkol bukan main kepada Yo Han. Tak disangkanya anak itu sedemikian nekat dan beraninya, mengeluarkan kata-kata seperti itu sehingga gagallah semua siasatnya terhadap Suma Lian. Ia merasa gemas dan ingin sekali ia sekali tusuk dengan pedangnya menembusi dada anak itu. Akan tetapi ia masih membutuhkannya, untuk memancing datangnya ibu anak ini dan memaksa ibunya untuk membantu gerakan persekutuannya. Kalau kini ia membunuh anak ini, selain Suma Lian akan menentangnya mati-matian, juga kalau ibunya mengetahui, tentu ia mendapat tambahan musuh yang berbahaya juga. Ibu anak ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan, walaupun ia percaya bahwa dengan ilmu kepandaiannya, ia mampu mengalahkan Bi-kwi (Setan Cantik) Ciong Siu Kwi itu.
“Hemmm, kaukira aku hanya gertak kosong belaka? Lihat, anak ini tidak akan kubunuh memang, belum lagi, akan tetapi aku dapat menyiksanya!” katanya sambil menggerakkan kebutannya ke atas kepala anak itu yang memandang tanpa berkedip, penuh keberanian dan ketabahan. Suma Lian memandang dengan menahan napas penuh kekhawatiran yang disimpannya saja di dalam hatinya. Ia khawatir kalau-kalau iblis betina itu benar-benar menyiksa anak itu, karena bagaimana pun juga, walaupun anak itu bukan apa-apanya, tentu saja ia tidak rela kalau anak itu disiksa atau dibunuh!
Pada saat itu, terdengar bentakan nyaring, “Sin-kiam Mo-li, berani engkau hendak menyiksa anakku?” Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan di situ telah berdiri seorang wanita. Suma Lian memandang penuh perhatian. Wanita itu usianya kurang lebih empat puluh tahun, pakaiannya sederhana sekali dari kain kasar yang kuat, jelas pakaian seorang petani seperti yang biasa dipakai wanita petani, wajahnya pun tidak memakai alat kecantikan, namun harus diakui bahwa wajahnya itu cantik menarik, dan tubuhnya pun masih padat dan langsing, kulit mukanya, leher dan tangannya nampak kecoklatan, tanda bahwa ia biasa bekerja di sawah ladang dan terbiasa setiap hari dibakar matahari. Seorang wanita dusun biasa saja, akan tetapi ada sesuatu yang luar biasa, yaitu pada sinar matanya yang mengeluarkan sinar tajam sekali.
“Ibu....!” Tiba-tiba Yo Han, anak itu, berseru. “Aku diculik oleh laki-laki kurus di sana itu, atas perintah iblis wanita ini!”
Wanita itu memandang kepada puteranya, tersenyum dan berkata, “Tenanglah, anakku.” Kemudian ia pun memandang kepada Sin-kiam Mo-li. Sesaat kedua orang wanita ini saling pandang, seperti hendak menjenguk isi hati masing-masing, kemudian wanita dusun itu berkata,
“Sin-kiam Mo-li, engkau tahu bahwa sejak dahulu aku tidak pernah lagi mencampuri dunia kang-ouw. Aku hidup di dusun bersama suamiku dan puteraku, hidup bersih sebagai petani. Mengapa sekarang tiba-tiba engkau masih mengganggu kami dan menculik anakku? Kalau engkau hendak menggunakan anakku sebagai sandera untuk memaksaku melakukan sesuatu, ingatlah bahwa biar engkau membunuh kami sekeluarga, aku tidak akan sudi membantu engkau melakukan kejahatan, Sin-kiam Mo-li!”
Sin-kiam Mo-li yang masih mengamati wanita itu, tiba-tiba tertawa. “Hiik-hi-hi, sungguh mati, hampir aku tidak dapat mengenalmu lagi, Bi-kwi! Engkau, yang dahulu cantik jelita, gagah perkasa dan cerdik sekali, murid tersayang dari Sam Kwi, sekarang telah menjadi seorang wanita dusun yang kotor, dungu dan berbau pupuk tahi kerbau! Heh-heh-hi-hi-hik, alangkah lucunya. Akan tetapi, jangan salah sangka, Bi-kwi. Kalau engkau dapat berubah, kaukira aku tidak dapat? Aku pun sudah meninggalkan dunia hitam dan kini aku bahkan sedang bergerak bersama para pendekar dan patriot untuk membebaskan bangsa kita dari cengkeraman penjajah Mancu!”
Bi-kwi, yaitu julukan dari Ciong Siu Kwi, wanita itu, memandang terbelalak tidak percaya, akan tetapi sinar matanya memandang penuh selidik kepada wanita yang dikenalnya sebagai wanita iblis yang pernah dimusuhinya beberapa tahun yang lalu. Ia maklum betapa cerdik dan liciknya wanita yang berjuluk Sin-kiam Moli ini, maka ia pun tahu bahwa nyawa puteranya berada di tangan wanita iblis itu, dan bahwa ia sama sekali tidak boleh bersikap lengah. Ia harus berhati-hati sekali berurusan dengan iblis betina ini.
Sementara itu, Suma Lian kini teringat. Ayah ibunya banyak bercerita kepadanya tentang tokoh-tokoh di dunia persilatan dan pernah ayahnya bercerita tentang Sam Kwi, tentang dua orang murid Sam Kwi. Yang seorang bernama Can Bi Lan dan kini menjadi isteri dari Pendekar Suling Naga Sim Houw, yaitu suheng dari ibunya. Can Bi Lan mempunyai seorang suci (kakak seperguruan perempuan) yang tadinya merupakan seorang tokoh sesat yang amat terkenal dengan julukannya Bi-kwi, bernama Ciong Siu Kwi yang menurut ayah ibunya, kini tokoh sesat itu telah sadar, bahkan telah melakukan perbuatan-perbuatan gagah perkasa membela para pendekar. Menurut ayahnya, tokoh itu telah menikah dengan seorang pemuda petani yang berjiwa gagah perkasa walaupun tidak paham ilmu silat, dan kini kabarnya telah mengundurkan diri dan hidup sebagai petani, entah di mana karena keluarga itu tidak pernah menghubungi teman-teman lagi, bahkan tidak pernah mencampuri urusan dunia persilatan. Tadinya, cerita tentang wanita itu tidak begitu menarik perhatiannya, akan tetapi kini, secara aneh dan kebetulan, ia dihadapkan dengan tokoh itu! Maka, tentu saja ia merasa amat tertarik dan ingin sekali ia melihat apa yang akan terjadi antara bekas tokoh sesat itu dan wanita lihai yang berjuluk Sin-kiam Mo-li ini. Kini ia pun mengerti mengapa anak kecil berusia tujuh tahun itu memiliki. sikap seorang jantan, seorang pendekar. Kiranya dia putera bekas tokoh sesat yang pernah dipuji-puji oleh orang tuanya itu!
Memang tidak bohong kalau Ciong Siu Kwi mengatakan kepada Sin-kiam Mo-li bahwa sudah lama sekali ia tidak pernah lagi mencampuri dunia persilatan. Jangankan dunia persilatan, bahkan selama ini ia belum pernah memperlihatkan ilmu silatnya sehingga kecuali suaminya sendiri, tak seorang pun di dalam dusun mereka atau di dusun-dusun sekitar tempat tinggal mereka tahu bahwa nyonya Yo Jin yang setiap hari bekerja seperti wanita petani biasa itu sebetulnya adalah seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian silat yang amat tinggi! Bahkan Yo Han sendiri pun tidak tahu! Yo Jin ayah anak itu, melarang isterinya untuk melatih putera mereka dengan ilmu silat.
“Ilmu silat tak terpisahkan dari kekerasan,” demikian suami itu berkata. “Dan kekerasan selalu mendatangkan permusuhan, dendam, kebencian dan kekejaman. Kita tidak boleh membiarkan putera kita menjadi seorang yang banyak musuh dan akhirnya menjadi seorang manusia yang berhati keras dan kejam.”
“Kurasa tidak selalu harus begitu, karena ilmu silat selain menjadi ilmu bela diri, juga merupakan olah raga yang menyehatkan badan dan batin, juga merupakan kesenian yang indah, bahkan kalau tidak keliru penggunaannya, dapat membuat orang menjadi seorang pendekar yang selalu menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan.
“Hemmm, bagaimanapun juga alasannya tetap saja akhirnya dia akan mempergunakan kepandaiannya, yaitu ilmu memukul roboh, melukai dan membunuh orang lain, untuk mempertahankan apa yang dinamakannya kebenaran dan keadilan itu,” kata Yo Jin. “Tidak perlu melihat terlalu jauh atau mencari contoh yang terlalu jauh, ingat saja pengalamanmu sendiri. Ketika engkau masih berkecimpung di dunia persilatan, dengan modal kepandaian silatmu, bagaimana keadaan dirimu? Kemudian, lihat keadaanmu sekarang, sejak kita menikah, sejak engkau meninggalkan dunia persilatan, sejak engkau tak pernah lagi mempergunakan ilmu silatmu, hidup sebagai petani biasa. Apakah engkau tidak melihat perbedaannya?”
Ciong Siu Kwi tersenyum dan merangkul suaminya, merasa kalah. “Tentu saja aku melihat perbedaannya yang amat jauh, jauhnya seperti langit dan bumi! Kini hidupku tenteram, tak pernah mempunyai musuh, bahkan tak pernah dimusuhi orang.”
“Dan engkau bahagia?”
“Ya, aku berbahagia sekali.”
“Nah, mengapa engkau hendak menyeret anak kita ke dalam kehidupan yang penuh dengan pertentangan, perkelahian, permusuhan itu? Coba bayangkan saja. Andaikata engkau melatih Han-ji (anak Han) memainkan ilmu silat, andaikata dia sudah pandai ilmu silat, tentu terjadi perubahan dalam pergaulannya dengan teman-temannya. Dia akan ditakuti, disegani, juga tentu ada yang iri. Kemudian, kalau ada anak lain yang juga pernah belajar silat, tentu akan terjadi bentrokan antara dia dan anak itu, karena keduanya tentu ingin melihat siapa yang lebih unggul. Mereka akan berkelahi, mempergunakan ilmu silat mereka, saling pukul. Kalau tidak anak kita yang terluka, tentu anak yang lain itu dan timbullah permusuhan dan dendam antara keluarga kita dengan keluarga anak itu! Tidak, aku tidak suka melihat anak kita menjadi jagoan dan tukang pukul, aku ingin melihat anak kita menjadi seorang laki-laki sejati, yang gagah berani menentang kelaliman, bukan mengandalkan kerasnya tulang dan kulit, melainkan mengandalkan kebenaran yang tidak dipaksakan oleh kekerasan.”
Ciong Siu Kwi yang amat mencinta suaminya, mengalah dan demikianlah, sampai berusia tujuh tahun, Yo Han tidak pernah diajar ilmu silat. Namun, anak itu mewarisi watak ayahnya. Dia pemberani, jujur, dan terbuka, akan tetapi juga mewarisi kecerdikan ibunya.
Ketika sampai sore suami isteri itu tidak melihat putera mereka, keduanya menjadi khawatir sekali. Ciong Siu Kwi mencari-cari dan bertanya-tanya, akhirnya ada seorang petani yang melihat ketika dia berada di luar dusun betapa Yo Han dipondong dan dilarikan seorang laki-laki yang berpakaian serba hijau memakai caping lebar sehingga tidak nampak wajahnya, dan tubuhnya kurus.
Mendengar ini, Ciong Siu Kwi gelisah bukan main. Juga Yo Jin. Keduanya dapat menduga bahwa putera mereka diculik orang? Yo Jin menarik napas panjang. “Aih, tak kusangka bahwa setelah bertahun-tahun hidup tenteram, kembali terjadi kekerasan seperti ini. Aku yakin bahwa ini juga merupakan akibat dari keadaan hidupmu yang dahulu. Balas dendam! Ah, balas-membalas tiada habisnya, Yo Han yang tidak berdosa ikut pula terseret ke dalam permusuhan dunia persilatan.”
“Sudahlah, apa pun yang terjadi, kita tidak boleh tinggal diam saja. Aku harus mencari anakku dan merampasnya kembali. Kalau perlu, aku akan mempergunakan kepandaian yang dulu. Anakku harus diselamatkan, dengan taruhan nyawaku!”
Yo Jin tak dapat membantah, hanya menarik napas panjang ketika melihat isterinya berangkat setelah membawa perbekalan. Bukan hanya lenyapnya Yo Han diculik orang itu saja yang membuat dia prihatin, akan tetapi terutama sekali terseretnya kembali isterinya ke dalam arus kehidupan dunia persilatan itulah! Dia dapat membayangkakn betapa isterinya akan bertemu dengan lawan-lawan dan akan selalu diancam bahaya dalam usahanya merampas kembali putera mereka. Dia sendiri tidak mungkin dapat melakukan pengejaran dan setelah isterinya pergi meninggalkan dusun itu, dia termenung. Diakah yang benar, atau isterinyakah ketika mereka berdebat apakah putera mereka perlu diajari ilmu silat ataukah tidak? Dunia begini penuh orang jahat! Cukupkah mengandalkan para petugas keamanan saja untuk menjaga keamanan keluarga atau diri sendiri? Tanpa ilmu silat, dia sekarang merasa sama sekali tidak berdaya kalau menghadapi perbuatan jahat orang lain yang menimpa dirinya atau keluarganya. Akan tetapi, andaikata dia pandai ilmu silat, bukankah kemungkinan puteranya diculik orang lebih besar lagi karena musuh-musuh mereka akan lebih banyak lagi? Buktinya, demikian banyaknya anak-anak dusun itu, tidak ada penjahat yang mengganggu mereka, kecuali anaknya atau lebih tepat lagi anak isterinya! Ini hanya disebabkan karena isterinya pernah menjadi seorang tokoh dunia persilatan! Andaikata isterinya seorang wanita dusun biasa, seorang wanita petani yang lemah, sama sekali tidak ada kemungkinan dan alasan bagi orang jahat mana pun juga untuk menculik Yo Han!
Demikianlah, Ciong Siu Kwi meninggalkan suaminya yang duduk termenung, dan begitu ia keluar dari dalam dusun, ia sudah menjadi Bi-kwi yang dahulu, dalam arti kata sebagai seorang wanita perkasa yang siap menghadapi bahaya danlawan. Ia mengerahkan tenaganya untuk berlari cepat, tangkas bagaikan seekor harimau betina kehilangan anaknya, siap untuk mencakar dan merobek-robek dada orang yang berani mengganggu anaknya! Bukan lagi sebagai Ciong Siu Kwi yang rajin bekerja di ladang setiap hari.
Karena ia pernah menjadi seorang tokoh besar dunia persilatan, bahkan seorang datuk sesat yang ditakuti, banyak pengalaman, maka tidak sukar baginya untuk mengikuti jejak penculik puteranya. Ia pandai mencium jejak, pandai mencari keterangan di sepanjang perjalanan sehingga akhirnya ia dapat juga tiba di dalam hutan di mana Sin-kiam Mo-li tinggal untuk sementara waktu dalam tugasnya menghimpun kekuatan.
Dan kebetulan sekali ia melihat seorang gadis yang cantik dan lihai bertanding dikeroyok oleh Sin-kiam Mo-li dan para pembantunya, kemudian melihat betapa Sin-kiam Mo-li mengancam hendak membunuh Yo Han! Melihat Yo Han berada di tangan Sin-kiam Mo-li, mengertilah Ciong Siu Kwi. Benar sekali dugaan suaminya. Kiranya yang menculik puteranya bukanlah orang asing, akan tetapi musuh lamanya, yaitu Sin-kiam Mo-li. Dan melihat betapa gadis cantik itu tadi dikeroyok dan bahkan Sin-kiam Mo-li mempergunakan siasat curang untuk memaksa gadis itu menyerah dengan mengancam Yo Han, tahulah Ciong Siu Kwi bahwa gadis itu adalah orang yang berusaha menolong puteranya. Sehagai seorang bekas tokoh sesat yang banyak pengalaman, sekali melepas pandang saja Ciong Siu Kwi sudah dapat menilai keadaan. Ia tahu bahwa gadis itu tentu lihai bukan main, kalau tidak demikian, tidak mungkin seorang seperti Sin-kiam Mo-li mempergunakan cara curang, yaitu dengan mengancam akan membunuh Yo Han kalau gadis itu tidak mau menyerah. Dengan adanya gadis selihai itu, ditambah ia sendiri, kiranya mereka berdua tidak perlu takut menghadapi Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya. Akan tetapi, ketika ia teringat kepada puteranya, hatinya seperti ditusuk. Tidak, tidak mungkin ia mempergunakan kekerasan karena setelah ia hadir, Sin-kiam Mo-li bukan lagi menggunakan gertak kosong belaka kalau mengancam Yo Han, seperti yang tadi dilakukannya terhadap gadis itu. Dan demi keselamatan puteranya, tidak ada jalan baginya kecuali untuk sementara mengalah. Untuk sementara!
Ketika mendengar ucapan Sin-kiam Mo-li bahwa wanita itu sedang bergerak bersama para pendekar dan patriot untuk membebaskan bangsa dari cengkeraman penjajah Mancu, tentu saja di dalam hatinya Ciong Siu Kwi tidak percaya seujung rambut pun. Ia dapat menduga “gerakan” macam apa yang dilakukan orang-orang seperti Sin-kiam Mo-li. Dahulu pun, wanita ini bersekutu dengan orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Memang kedua perkumpulan itu sejak dahulu menentang pemerintah Mancu, namun sama sekali bukan demi perjuangan membela rakyat, melainkan untuk kepentingan perkumpulan mereka sendiri. Akan tetapi, semua ini ia sembunyikan di lubuk hatinya saja dan wajahnya kini berubah, senyumnya menjadi ramah.
“Aih, benarkah itu, Mo-li? Kalau begitu, sungguh aku pun ikut merasa girang dan bangga sekali kepadamu! Dan tentu saja aku mendukung perjuanganmu yang mulia itu. Akan tetapi, mengapa engkau menyuruh orang membawa puteraku ke sini?”
Sin-kiam Mo-li kembali tersenyum. “Hi-hi-hik, Bi-kwi, apakah kecerdikanmu juga sudah hilang setelah engkau menjadi seorang wanita petani? Tentu saja bukan percuma aku membawa puteramu yang tampan dan gagah ini ke sini. Bukan lain karena kami menginginkan tenagamu, menghendaki bantuanmu dalam gerakan kami.”
“Ah, Mo-li, untuk urusan begitu saja mengapa harus membawa anakku ke sini? Kita pernah menjadi rekan segolongan, kenapa bersikap sungkan dan ragu? Kalau engkau datang kepadaku dan berterus terang, tidak perlu lagi engkau mempergunakan cara yang membikin kaget dan khawatir itu. Tentu saja untuk gerakan perjuangan menentang kaum penjajah Mancu, aku selalu siap siaga setiap saat. Nah, biarkan anakku ke sini, aku sudah rindu padanya. Aku akan membantu perjuanganmu itu,” kata Ciong Siu Kwi sambil mengembangkan kedua lengannya untuk menyambut puteranya. Akan tetapi Yo Han tak dapat bergerak karena pundaknya masih dipegang dan ditekan oleh tangan Sin-kiam Mo-li, dan ketika Ciong Siu Kwi melangkah mendekati puteranya, tekanan jari tangannya semakin kuat membuat Yo Han meringis karena nyeri.
“Berhenti, Bi-kwi!” Sin-kiam Mo-li membentak. “Kalau engkau maju lagi, sekali menggerakan jari tanganku ini, anakmu akan mampus!”
Tentu saja Ciong Siu Kwi menghentikan langkahnya dan ia memperlihatkan muka terheran-heran. “Aih, kenapa, Mo-li? Bukankah aku sudah mengatakan bahwa aku dengan senang hati akan membantu gerakan perjuanganmu? Bebaskan puteraku, dan anggap aku ini sudah menjadi rekanmu seperjuangan!” Ia berkata sambil tersenyum ramah.
Akan tetapi Sin-kiam Mo-li tetap memandang dengan alis berkerut dan senyumnya mengejek. “Hemmm, Bi-kwi, kaukira aku begitu bodoh untuk mempercayaimu begitu saja? Aku belum lupa ketika beberapa tahun yang lalu engkau menipuku dengan sikapmu seperti ini, pura-pura bersahabat! Aku takkan pernah melupakan kecerobohanku itu, dan sekarang jangan harap engkau akan dapat menipuku lagi!”
Diam-diam Ciong Siu Kwi merasa khawatir sekali. Ia tahu akan kecerdikan dan kelihaian Sin-kiam Mo-li. Memang, kurang lebih delapan tahun yang lalu, ketika ia membebaskan Kao Hong Li yang baru berusia tiga belas tahun dari tangan Sin-kiam Mo-li yang menculik anak itu, ia pun mempergunakan siasat bersahabat sehingga akhirnya, bersama dengan pendekar Gu Hong Beng, ia berhasil menyelamatkan Kao Hong Li dari tangan iblis betina ini (baca kisah SULING NAGA). Tentu saja kini Sin-kiam Mo-li tidak percaya lagi padanya! Ia pun tidak perlu berpura-pura lagi sekarang, melainkan harus menghadapi kenyataan ini dengan tabah.
“Baiklah, Sin-kiam Mo-li. Sekarang katakan, apa yang harus kulakukan demi menebus keselamatan dan kebebasan puteraku? Engkau tahu, kalau sampai engkau mengganggu anakku, melukainya apalagi membunuhnya, hemmm, engkau menciptakan seorang musuh yang akan terus mengejarmu sampai engkau mati. Aku akan berubah menjadi setan yang haus akan darahmu, hal ini tentu engkau tahu!”
Diam-diam Sin-kiam Mo-li, iblis betina yang berhati kejam itu bergidik juga mendengar ucapan yang mengandung ancaman yang amat mengerikan itu dan ia tahu bahwa wanita ini tidaklah menggertak saja. “Bi-kwi, engkau bukan orang bodoh, demikian pula aku. Kalau kita bekerja sama, aku yakin kita berdua akan mencapai hasil yang amat hebat. Engkau tentu maklum pula, bahkan aku tidak ingin bermusuhan denganmu. Kalau itu yang kuinginkan, tentu sudah kubunuh anakmu ini. Tidak, aku ingin bekerja sama denganmu, akan tetapi demi keamanan dan agar aku tidak ragu lagi akan kesetiaanmu, terpaksa anakmu kujadikan sandera.”
Sejak tadi, Suma Lian hanya mendengarkan saja. Kalau ia mau, tentu saja mudah baginya untuk melarikan diri walaupun puluhan orang anak buah Ang-i Mo-pang masih mengepung tempat itu dengan senjata di tangan. Juga para anggauta Ang-i Mo-pang berdiri seperti patung, memandang dan mendengarkan dengan penuh perhatian. Tentu saja mereka semua mengenal baik Bi-kwi atau Ciong Siu Kwi, karena wanita ini pernah menjadi pemimpin mereka setelah menaklukkan ketua mereka, beberapa tahun yang lalu ketika Bi-kwi masih berkecimpung di dunia kang-ouw (baca kisah SULING NAGA). Kini, melihat betapa dengan amat cerdiknya Sin-kiam Mo-li menekan Ciong Siu Kwi dengan ancaman terhadap putera wanita itu, Suma Lian tiba-tiba mengeluarkan suara tertawa yang cukup lantang sehingga mengejutkan semua orang. Suma Lian lalu berkata dengan lantang pula.
“Bibi yang baik, bukankah engkau bibi Ciong Siu Kwi, isteri dari paman Yo Jin? Aku adalah Suma Lian dan ayahku adalah Suma Ceng Liong, tentu bibi sudah mengenalnya. Ibuku Kam Bi Eng.”
Diam-diam Ciong Siu Kwi terkejut dan juga girang mendengar nama gadis itu dan nama ayah bundanya. Tentu saja ia mengenal baik ayah bunda gadis ini, akan tetapi ia mengerutkan alisnya. Sungguh ceroboh bagi gadis itu memperkenalkan namanya begitu saja di depan Sin-kiam Mo-li! Akan tetapi, Suma Lian agaknya dapat menduga apa yang dikhawatirkan karena ia segera melanjutkan kata-katanya, “Bibi Ciong Siu Kwi, perlu apa mendengarkan ocehan iblis betina itu? Ia hanya akan menipu dan membohongimu dengan kelicikannya. Jangan percaya padanya. Aku pun pernah mendengar dari ayah akan namanya yang tersohor jahat. Orang macam ia mana mungkin menjadi patriot dan pendekar? Jangan takut, Bibi, ancamannya terhadap puteramu hanya gertak kosong belaka. Kalau ia berani mengganggu anakmu, aku akan membasmi ia dan semua anak buahnya ini!”
“Enci itu benar, Ibu!” Tiba-tiba Yo Han berseru kepada ibunya. “Lawan saja iblis ini. Aku tidak takut mati! Mati pun aku akan tersenyum karena aku yakin, dengan bantuan enci yang gagah itu, Ibu akan mampu membalaskan kematianku dan membasmi iblis ini dan semua anak buahnya....”
Tiba-tiba anak itu berhenti bicara karena tubuhnya menjadi lemas ketika Sin-kiam Mo-li menotoknya dengan hati gemas.
“Han-ji....!” teriak Ciong Siu Kwi dan Sin-kiam Mo-li tersenyum. Bagaimanapun juga, melihat puteranya ditotok pingsan, hati ibunya menjadi gelisah sekali dan tak dapat ditahan lagi ia pun menjerit. Sin-kiam Mo-li memandang dengan hati gembira, penuh kemenangan.
“Bi-kwi, jangan dikira aku tidak akan berani menggorok leher puteramu! Dan aku pun tidak takut akan balas dendammu. Tinggal kaupilih saja, bekerja sama dengan kami dan anakmu selamat atau kubunuh dulu puteramu, baru kami akan membunuhmu, juga suamimu!”
Ciong Siu Kwi menjadi ragu-ragu. Bagaimanapun juga, melihat puteranya, ia khawatir sekali, dan orang macam Sin-kiam Mo-li memang tidak boleh dipandang ringan begitu saja. Ancamannya akan dapat dibuktikan dan hati wanita itu kejam melebihi binatang buas.
“Mo-li.... apa.... apa yang harus kulakukan?” tanyanya, suaranya lemah dan ia tidak berani memandang kepada Suma Lian.
“Pertama, engkau harus memperlihatkan kesungguhan hatimu bekerja sama denganku, Bi-kwi. Maka aku minta agar engkau membantu kami menghadapi gadis ini! Mari kita tangkap gadis ini!”
Seperti orang yang sudah tidak mempunyai kemauan sendiri lagi karena putus asa melihat puteranya yang berada dalam cengkeraman Sin-kiam Mo-li, Ciong Siu Kwi mengangguk. “Baik!” Ia lalu tiba-tiba saja bergerak dan menyerang ke arah Suma Lian yang masih berdiri tegak. Gadis ini sudah menyelipkan suling emasnya di ikat pinggang, akan tetapi selalu siap siaga menghadapi serangan lawan. Kini, melihat betapa Ciong Siu Kwi menyerangnya, ia terkejut dan bingung. Ia tahu benar mengapa wanita ini menyerangnya. Karena terpaksa, untuk menyelamatkan puteranya! Dan ia tidak dapat menyalahkan wanita ini. Akan tetapi, serangannya demikian hebat! Ketika tubuh wanita ini menerjang dan tangannya menyambar ke arah dadanya, tangan itu didahului angin pukulan yang dahsyat, dan mengeluarkan suara bercuitan mengerikan. Sungguh merupakan serangan maut yang amat berbahaya.
Suma Lian cepat mempergunakan langkah ajaibnya untuk mengelak dan serangan itu pun mengenai tempat kosong. Ciong Siu Kwi memang menyerangnya dengan sungguh-sungguh. Di dalam hatinya, tentu saja ia tidak membenci atau memusuhi gadis keturunan keluarga Pulau Es ini, akan tetapi ia pun tidak mungkin dapat melakukan serangan pura-pura terhadap Suma Lian di depan Sin-kiam Mo-li yang tentu akan mengetahui apakah serangannya itu benar-benar ataukah hanya main-main saja. Oleh karena itulah, begitu bergerak, Ciong Siu Kwi sudah mengerahkan tenaga dan mempergunakan Ilmu Hun-kin Tok-ciang (Tangan Beracun Memutuskan Otot), semacam ilmu pukulan yang amat dahsyat. Tentu saja di dalam hatinya Ciong Siu Kwi berharap agar gadis keturunan keluarga Pulau Es ini telah memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi darinya agar semua serangannya takkan berhasil. Maka, gembiralah hatinya ketika ia melihat betapa dengan gerakan langkah yang luar biasa anehnya, tahu-tahu gadis itu telah lenyap dan telah berada di samping kanannya sehingga serangannya yang pertama tadi pun hanya mengenai tempat kosong! Melihat kehebatan cara gadis ini mengelak dari serangannya, Ciong Siu Kwi lalu membalik ke kanan sambil menyerang lagi, kini lebih hebat karena kedua tangannya dibuka dan kini kedua tangan itu membacok dari kanan kiri dan mengeluarkan suara berdesing seolah-olah kedua tangan itu telah berubah menjadi pedang yang tajam! Inilah Ilmu Kiam-ciang (Tangan Pedang) yang ampuh, peninggalan dari Sam Kwi. Kedua tangan itu kalau mengenai tubuh lawan, dapat membuat bagian tubuh itu terluka seolah-olah terbacok pedang! Kembali dengan gerakan yang aneh, Suma Lian mengelak dan gadis ini pun kagum bukan main. Tidak heran kedua orang tuanya pernah menceritakan bahwa wanita ini dahulu menjadi seorang tokoh yang amat ditakuti di dunia kang-ouw. Baru saja ia mengelak, Ciong Siu Kwi sudah menyerangnya lagi, kini dengan tendangan bertubi-tubi yang tidak kalah dahsyatnya dibandingkan dua macam serangannya yang pertama dan ke dua. Biarpun ia memiliki San-po Cin-keng yang merupakan langkah ajaib, namun menghadapi tendangan Pat-hong-twi (Tendangan Delapan Penjuru Angin) itu, terpaksa Suma Lian harus mempergunakan kedua-tangannya untuk kadang-kadang menangkis, akan tetapi ia berhasil pula menghalau serangkaian tendangan yang ampuh itu. Diam-diam Ciong Siu Kwi menjadi kagum bukan main dan semakin girang karena seperti yang diharapkan, gadis ini memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat dan agaknya masih berada di atas tingkat kepandaiannya sendiri! Dengan kenyataan ini maka bagaimanapun ia menyerang untuk memenuhi paksaan Sin-kiam Mo-li, ia tidak akan mungkin dapat mengalahkan Suma Lian! Ia menyerang terus, akan tetapi tidak mau mempergunakan ilmunya yang, paling dahsyat, yaitu Ilmu Hek-wan Sip-pat-ciang (Delapan Belas Jurus Ilmu Silat Lutung Hitam), biarpun serangan-serangannya juga cukup dahsyat dan bersungguh-sungguh.
“Hemmm, Bi-kwi, apakah engkau sudah lupa bahwa ada Ilmu Hek-wan Sip-pat-ciang yang kau miliki? Kenapa tidak mengeluarkan ilmu itu?” Tiba-tiba Sin-kiam Mo-li berseru. Terkejutlah Bi-kwi. Iblis betina itu sungguh cerdik dan ia harus berhati-hati.
Tanpa, menjawab, ia segera mengubah ilmu silatnya dan kini ia memainkan delapan belas jurus ilmu silat yang hebat ini, bersikap hati-hati dan ia pun mengimbanginya dengan Ilmu Silat Lo-thian Sin-kun (Silat Sakti Pengacau Langit) yang sudah dipelajarinya dengan baik sekali dari kakek Gak Bun Beng. Dan ia pun mengerahkan tenaga Swat-im Sin-kang sehingga ketika beberapa kali ia menangkis dan lengannya bertemu dengan lengan Bi-kwi, maka wanita itu menggigil kedinginan!
Melihat serangan-serangan yang dilakukan Bi-kwi, diam-diam Sin-kiam Mo-li menjadi girang. Semua serangan itu bukan palsu dan ia tentu saja tidak merasa heran kalau Bi-kwi tidak mampu mengalahkan gadis keluarga Pulau Es itu. Maka ia pun menyerahkan Yo Han yang masih tertotok itu kepada dua orang anak buahnya, memberi perintah agar jangan ragu-ragu membunuh anak itu kalau sampai ada yang mau merampasnya dengan paksa. Kemudian ia mengeluarkan aba-aba kepada Tok-ciang Hui-moko Liok Cit yang segera mengerahkan kembali anak buah Ang-i Mo-pang untuk mengepung dan mengeroyok Suma Lian. Sin-kiam Mo-li sendiri sudah mencabut kebutan dan pedangnya, dan langsung ia terjun ke lapangan pertempuran, menyerang Suma Lian dengan sepasang senjatanya yang ampuh itu. Akan tetapi, Suma Lian sudah siap siaga dan kini suling emasnya itu telah berada di tangan kanannya. Nampak gulungan sinar emas ketika ia memutar sulingnya untuk melindungi dirinya dari sambaran kedua senjata lawan, kemudian ia membalas dengan hantaman suling ke arah kepala Mo-li, disusul totokan dengan jari tangan kiri ke arah lambung. Saking hebatnya serangan balasan ini, Sin-kiam Mo-li terpaksa melompat ke belakang dan pada saat itu, Bi-kwi atau Ciong Siu Kwi sudah pula mengirim serangannya dengan tendangan berantainya yang berbahaya. Juga Liok Cit sudah masuk pula mempergunakan pedangnya, akan tetapi begitu pedangnya bertemu sinar suling emas, pedang itu terpental dan terpaksa Liok Cit juga melompat ke belakang.
Tentu saja kini Bi-kwi merasa khawatir sekali. Betapapun pandainya Suma Lian, kalau ia maju mengeroyoknya bersama Sin-kiam Mo-li dan pembantunya yang kelihatannya juga lihai itu, tidak mungkin gadis itu akan mampu bertahan.
Melihat keraguan Bi-kwi, Sin-kiam Mo-li membentak. “Bi-kwi, hayo cepat bantu kami merobohkan gadis ini. Ingat, anakmu masih berada di tangan kedua orang anak buahku dan sekali aku memberi isyarat, mereka akan menggorok lehernya!”
Bi-kwi masih belum menyerang lagi kepada Suma Lian dan mereka bertiga hanya mengepung gadis itu. “Mo-li, bukankah yang kauhendaki adalah agar aku mau bekerja sama denganmu? Nah, aku sudah siap dan mau, oleh karena itu, untuk apa mengeroyok Suma Lian ini? Suma Lian, engkau pergilah dan jangan mencampuri urusanku! Aku mau bekerja sama dengan Sin-kiam Mo-li untuk menentang pemerintah penjajah!” Tentu saja bukan tidak ada artinya Bi-kwi menyuruh Suma Lian pergi. Pertama, agar gadis itu selamat, ke dua agar gadis itu mencari bala bantuan untuk menyelamatkan ia dan puteranya.
Akan tetapi, Suma Lian mempunyai pikiran lain. Gadis yang cerdik ini melihat kesempatan bagus terbuka ketika Sin-kiam Mo-li menyerahkan anak itu kepada dua orang anggauta Ang-i Mopang.
“Apa, Bibi? Engkau suruh aku pergi? Aku hendak membasmi iblis ini. Cepat ambil puteramu!” Berkata demikian, dengan tiba-tiba sekali ia sudah memutar suling emasnya dan menyerang dengan amat dahsyatnya kepada Sin-kiam Mo-li! Gadis ini mempergunakan jurus ampuh dari gabungan Ilmu Pedang Naga Siluman dan Ilmu Pedang Suling Emas, yang baru-baru ini dilatihnya dengan tekun di bawah bimbingan ibunya. Sambil menyerang, ia mengerahkan tenaga Inti Bumi, yang merupakan sin-kang yang paling cocok untuk memainkan ilmu pedang dengan suling itu, juga ia mengeluarkan suara melengking yang mengandung kekuatan sihir untuk mengejutkan lawan!
Menghadapi serangan ini, Sin-kiam Mo-li terkejut bukan main. Kekuatan sihir dalam suara melengking itu membuat ia terkejut dan kehilangan akal sehingga ia tidak dapat berbuat atau mengeluarkan suara ketika pada saat itu Bi-kwi sudah meloncat ke arah puteranya. Sin-kiam Mo-li sibuk menghadapi serangan dahsyat dari Suma Lian itu dan biarpun ia menggunakan pedang dan kebutan untuk melindungi dirinya, tetap saja ia terdesak sampai mundur beberapa langkah namun belum juga mampu membebaskan diri dari ancaman gulungan sinar suling emas itu! Melihat ini, Liok Cit menyergap dari belakang untuk membantu pemimpinnya, menusukkan pedangnya. Akan tetapi, tiba-tiba tubuh Suma Lian membalik dan sebuah tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Angin Puyuh) menyerempet lambungnya dan Liok Cit terpelanting!
Sementara itu Ciong Siu Kwi cukup cerdik untuk dapat menangkap seketika teriakan Suma Lian tadi. Ia pun cepat meloncat ke arah Yo Han yang dijaga oleh dua orang anggauta Ang-i Mo-pang. Gerakannya demikian cepat, loncatannya seperti seekor singa betina menubruk saja. Dua orang yang menjaga Yo Han tidak mendapat aba-aba dari Sin-kiam Mo-li, dan mereka tidak sempat menggerakkan senjata untuk menyerang Yo Han karena tiba-tiba saja Ciong Siu Kwi sudah datang dan kedua tangannya menyambar, menampar dan dua orang itu pun terpelanting seperti tersambar petir! Mereka memang sudah mengenal Bi-kwi dan sudah merasa jerih, maka begitu terpelanting dan terbanting, mereka tak mampu bangun lagi atau pura-pura pingsan saja agar lebih aman! Ciong Siu Kwi segera menyambar tubuh puteranya, membebaskan totokannya dan memondongnya, siap untuk melarikan diri.
Akan tetapi, Sin-kiam Mo-li yang sudah terbebas dari desakan Suma Lian berkat bantuan Liok Cit tadi, cepat berseru, “Bi-kwi, tahan dulu. Lihat siapa yang berada di tangan kami!”
Ciong Siu Kwi yang sudah siap melarikan puteranya, menengok dan seketika wajahnya berubah pucat sekali dan seluruh tubuhnya menegang, lalu lemas. Sungguh sama sekali tak pernah disangkanya bahwa Sin-kiam Mo-li akan bertindak sedemikian jauhnya sehingga ketika ia pergi meninggalkan dusunnya, agaknya telah ada orang kepercayaan iblis itu yang segera menangkap suaminya! Yo Jin kini telah menjadi tawanan, kedua tangannya diikat di belakang tubuhnya dan sehelai rantai panjang kini dipegangi oleh dua orang anggauta Ang-i Mo-pang!
Bahkan ketika Yo Han yang juga melihat ayahnya, melepaskan diri dari pondongannya, Bi-kwi tidak mampu menahannya. Anak itu melorot turun dan lari menghampiri ayahnya.
“Ayah....! Ayah....! Lepaskan ayahku!” Anak itu lalu mengamuk, menggunakan kakinya menendang dan tangannya untuk memukul ke arah dua orang yang memegang rantai yang membelenggu kedua tangan Yo Jin. Akan tetapi Sin-kiam Mo-li sudah menangkap pundaknya dan anak itu pun lemas tak mampu bergerak lagi.
“Ikat setan cilik ini dan satukan dengan ayahnya!” perintahnya. Dua orang anak buah yang lain segera mengikat kedua tangan Yo Han dan rantai pengikatnya disatukan dengan rantai pengikat tangan Yo Jin.
“Bawa mereka masuk dan kalau kalian melihat Bi-kwi berani memberontak dan melawan aku, jangan ragu-ragu lagi, bunuh suami dan anaknya itu!” Mendengar perintah ini, empat orang anak buah Ang-i Mo-pang lalu menyeret Yo Jin dan Yo Han pergi dari situ, Yo Jin tidak berkata sesuatu, hanya memandang kepada isterinya. Dan pandang mata itu! Sepecti ribuan ujung pedang yang menghujam ke dalam hati Ciong Siu Kwi!
Pandang mata suaminya tercinta itu penuh penyesalan, seolah-olah suaminya itu menegur dan mengingatkannya bahwa malapetaka yang menimpa keluarganya itu adalah akibat dari kesalahannya diwaktu dahulu! Dan memang suaminya benar. Semua ini terjadi karena ia pernah menjadi seorang Bi-kwi, seorang datuk sesat yang penuh dosa! Kini datanglah hukuman dari Tuhan!
Dengan kedua mata basah, penuh air mata, kini tanpa menunggu perintah lagi. Bi-kwi lalu maju menyerang Suma Lian! Serangannya sekali ini penuh semangat, penuh kesungguhan sehingga mengejutkan Suma Lian.
“Bibi....!” Suma Lian berseru sambil mengelak cepat.
“Engkau harus mati untuk menghidupkan suami dan anakku!” bentak Bi-kwi yang sudah menerjang lagi dengan sepenuh tenaganya. Melihat ini, Sin-kiam Mo-li tersenyum girang karena ia merasa yakin bahwa kini Bi-kwi telah berada dalam cengkeramannya.
“Bagus, Bi-kwi, begitulah baru seorang sahabat sejati!” katanya dan ia pun memberi isyarat kepada Liok Cit untuk maju lagi. Kebutan dan pedangnya sudah digerakkan untuk menyerang Suma Lian. Gadis ini sekarang menjadi marah bukan main.
“Sin-Kiam Mo-li, sungguh engkau iblis kejam dan aku harus membasmi engkau untuk membersihkan dunia dan menentramkan kehidupan rakyat!” sambil membentak marah, Suma Lian mengelak dari serangan Bi-Kwi dan meloncat ke kiri menyambut terjangan Sin Kiam Mo-Li dengan suling emasnya. Karena ia tahu bahwa Bi-Kwi sekarang benar-benar tak berdaya dan membutakan mata melihat ancaman terhadap suami dan anaknya, maka wanita itu dapat merupakan lawan berbahaya sekali. Bi-Kwi menyerangnya dengan sungguh-sungguh sedangkan ia tentu saja tak tega membalas serangan wanita itu, karena ia maklum benar bahwa Bi-Kwi memusuhinya secara terpaksa sekali. Ia menimpakan kemarahannya kepada Sin-Kiam Mo-li, bukan karena dirinya, melainkan karena melihat cara Sin-Kiam Mo-li menguasai Bi-Kwi dengan cara yang amat licik.
“Trang-tranggg....!” Saking hebatnya serangan Suma Lian dengan sulingnya, dua kali sulingnya bertemu dengan pedang dan kebutan di kedua tangan Sin-kiam Mo-li dan akibatnya iblis betina itu mengeluh dan meloncat jauh ke belakang. Ketika kedua senjatanya tadi bertemu dengan suling, tiba-tiba saja tangan kiri Suma Lian menampar. Benturan dengan suling itu membuat tubuhnya terasa dingin seperti disiram air es sehingga ia harus cepat mengerahkan sin-kangnya karena ia maklum bahwa gadis itu tentu mempergunakan Swat-im Sin-kang, yaitu Tenaga Inti Salju, sin-kang yang amat hebat dari pulau es. Ketika tamparan tangan kiri menyambar, ia pun cepat menyambut dengan kebutannya, dengan maksud melukai tangan itu atau kalau mungkin melibat pergelangan tangan lawan dengan bulu kebutannya yang beracun. Akan tetapi, gadis perkasa itu tidak menarik kembali tangannya sehingga tangan itu bertemu dengan bulu kebutan dan akibatnya, Sin-kiam Mo-li merasa tubuhnya panas seperti dibakar api. Itulah yang membuat ia meloncat mundur. Tak disangkanya sama sekali bahwa gadis itu dengan tangan kanannya yang mempergunakan suling emas mengerahkan tenaga Swat-im Sin-kang yang dingin sekali, sedangkan detik berikutnya, tangan kirinya yang menampar itu mengandung tenaga panas. Ia sudah pula mendengar bahwa di samping Swat-im Sin-kang yang amat dingin, juga keluarga Pulau Es memiliki Hwi-yang Sin-kang atau Tenaga Sakti Inti Api yang amat panas.
Suma Lian hanya mengelak dari serangan-serangan Bi-kwi, bahkan juga serangan yang dilakukan Liok Cit hanya dielakkannya, karena seluruh daya serangnya ditujukannya kepada Sin-kiam Mo-li. Maka, melihat wanita ini meloncat mundur, ia pun mengejarnya dengan loncatan dan kembali ia telah menyerangnya dengan dahsyat dan bertubi-tubi! Sin-kiam Mo-li berusaha melindungi tubuhnya dengan pedang dan kebutan, akan tetapi hawa pukulan dahsyat yang dikeluarkan dari tangan kiri dan suling emas di tangan Suma Lian membuat ia kembali terhuyung ke belakang. Pada saat itu Bi-kwi kembali sudah menghantam dari samping untuk menolong Sin-kiam Mo-li yang terdesak. Suma Lian memutar tubuhnya, sekaligus menangkis pukulan Bi-kwi dengan tangan kiri dan menangkis pedang Liok Cit dengan sulingnya.
“Dukkk!” Tubuh Bi-kwi terpental dan hampir roboh karena tenaganya membalik sedemikian kuatnya.
“Cringgg....!” Kembali Liok Cit merasa betapa tangannya yang memegang pedang disergap hawa dingin yang membuatnya menggigil. Akan tetapi dia masih sempat mengeluarkan aba-aba dan belasan orang berpakaian merah telah menerjang Suma Lian dari segenap penjuru. Gadis itu memutar sulingnya sambil mengerahkan tenaga dan beberapa orang anggauta Ang-i Mo-pang berseru kesakitan, pedang mereka terlepas, bahkan ada pula yang roboh karena tidak kuat menahan tangkisan suling yang amat kuat itu. Akan tetapi, lebih banyak lagi orang berpakaian merah mengepung dan mengeroyok Suma Lian. Gadis itu hanya mempergunakan sulingnya melindungi diri, dan mencari-cari dengan pandang matanya. Kiranya Sin-kiam Mo-li sudah menjauhkan diri, berdiri di atas sebuah batu di bawah pohon dan di depannya terbentang petak rumpun yang hijau subur. Karena Suma Lian maklum bahwa sekali ia mampu merobohkan Sin-kiam Mo-li, tentu dengan mudah ia mengalahkan anak buah iblis betina itu dan menyelamatkan keluarga Yo, ia memutar sulingnya sedemikian rupa sehingga para pengeroyok terpaksa mundur. Dengan menerjang ke kiri, ia merobohkan empat orang anggauta Ang-i Mo-pang dan ia pun lalu menerobos keluar dari kepungan untuk mengejar Sin-kiam Mo-li.
“Iblis betina, mau lari ke mana kau....?” bentaknya sambil berlari cepat melintasi petak rumput sambil memutar suling emasnya.
“Nona Suma, hati-hati....“ Tiba-tiba Bi-kwi berseru, akan tetapi terlambat karena tubuh Suma Lian tiba-tiba terjeblos ke dalam sebuah lubang sumur yang berada di bawah rumput hijau subur itu. Karena sama sekali tidak menyangka dan tidak curiga, Suma Lian tidak mampu menghindarkan dirinya ketika kedua kakinya terjeblos ke bawah. Ia hanya dapat mengerahkan gin-kangnya agar luncuran tubuhnya ke bawah tidak terlampau cepat dan berat. Untunglah bahwa ketika ia terjeblos dan rumput penutup sumur itu ikut terjeblos, lubang sumur itu terbuka lebar dan ada sinar matahari yang menerobos masuk ke dalam sumur, Biarpun hanya remang-remang, namun cukup bagi mata Suma Lian yang tajam terlatih itu untuk dapat melihat apa yang berada di bawah, di dasar sumur dan ia pun terkejut. Kiranya sumur itu merupakan sumur yang tidak ada airnya, dan di dasar sumur dipasangi tombaktombak runcing menghadap ke atas, siap untuk menerima tubuh siapapun yang masuk ke dalam sumur! Untung ada sinar masuk dan ia dapat melihatnya, kalau tidak, besar sekali bahayanya ia akan terluka dan mungkin tewas! Kini ia cepat menusukkan suling emas yang masih dipegangnya ke dinding sumur dan ternyata dinding yang hanya merupakan tanah padas itu, dengan mudah tertusuk suling dan ia pun bergantung pada suling yang masuk seluruhnya ke dalam padas kecuali ujung yang dipegangnya!
Suma Lian memandang ke bawah. Tombak-tombak itu hanya tinggal satu meter di bawahnya. Ia harus dapat turun ke bawah, berpijak pada ujung mata tombak-tombak itu karena kalau tidak demikian, ia tidak mempunyai dasar untuk meloncat ke atas.
Sementara itu, dari atas terdengar suara ketawa Sin-kiam Mo-li. Suma Lian tidak tahu betapa Sin-kiam Mo-li tadi dengan marah sudah menyerang Bi-kwi dan karena Bi-kwi tidak melawan, maka ia dapat dirobohkan dengan totokan. Dan Sin-kiam Mo-li tertawa, suara ketawanya terdengar dari bawah sumur oleh Suma Lian.
“Bi-kwi, ternyata engkau kembali hendak berkhianat! Engkau mencoba untuk memperingatkan gadis itu!” bentak Sin-kiam Mo-li. “Aku akan membunuh suami dan puteramu di depan hidungmu, kemudian membunuhmu juga!”
Terdengar oleh Suma Lian, Bi-kwi menjawab dengan suara lirih dan nadanya merendah. “Mo-li, engkau pun tahu bahwa aku baru datang dan aku sama sekali tidak tahu akan lubang jebakan itu. Aku tadi berseru memperingatkan karena naluri belaka, bukan kusengaja. Hal itu membuktikan bahwa perbuatan jahat sudah tercuci bersih dari lubuk hatiku, Mo-li. Oleh karena itu, kalau engkau hendak memaksaku melakukan kejahatan, biar engkau bunuh kami sekeluarga, aku tidak akan sudi menaatimu. Kalau untuk perjuangan, tentu saja aku sanggup membantumu karena hal itu bukanlah kejahatan, bahkan merupakan kewajiban para patriot dan pendekar. Akan tetapi, nona Suma Lian ini bukanlah musuh kita, bukanlah bangsa Mancu yang menjajah bangsa kita!”
Kembali Sin-kiam Mo-li tertawa. “Bi-kwi, sudah kukatakan bahwa engkau kuajak untuk bekerja sama menentang pemerintah penjajah Mancu. Tentang gadis ini, kaulihat sendiri, bukan aku yang memusuhinya, melainkan ia yang datang memusuhi kami! Pula, engkau harus ingat bahwa ia adalah keturunan keluarga Pulau Es dan keluarga Pulau Es masih terhitung keluarga dari Kerajaan Mancu! Nah, kubebaskan totokan padamu, akan tetapi ingat, sekali lagi engkau melakukan hal yang merugikan aku dan mencurigakan, jangan harap engkau akan dapat bertemu lagi dengan suami dan puteramu!”
Setelah dibebaskan totokannya, Bikwi bertanya, “Mo-li, bagaimanapun juga nona Suma Lian itu hanya datang dengan niat menyelamatkananakku. Ia bukan orang jahat, bukan pula kaki tangan Kerajaan Mancu. Karena itu, perlu apa membunuhnya? Bukankah lebih baik kalau ia diselamatkan, dan diajak bekerja sama menentang pemerintahan penjajah?”
“Heh-heh-heh, engkau tidak tahu Bi-kwi. Siapapun yang terjebak ke dalam sumur ini, tentu mampus karena di dasar sumur sudah menanti banyak tombak yang akan menembus tubuhnya. Ia tentu sudah tewas, kalau belum, batu ini yang akan membantu agar kematiannya datang dengan cepat!” Setelah berkata demikian, Sin-kiam Mo-li mengerahkan tenaganya mendorong batu besar yang tadi diinjaknya. Batu itu besar sekali, akan tetapi dengan tenaganya yang kuat, Sin-kiam Mo-li akhirnya berhasil mendorongnya setelah dibantu oleh Liok Cit dan anak buah Ang-i Mo-pang. Batu itu menggelinding ke arah sumur dan kalau terjatuh ke dalam sumur itu, betapapun tinggi ilmu kepandaian Suma Lian, pasti ia tidak akan mampu menyelamatkan diri lagi, tergencet batu dari atas dan tertusuk tombak-tombak runcing dari bawah!
Bi-kwi hanya dapat melihat dengan wajah pucat, ngeri membayangkan betapa tubuh nona pendekar, keturunan keluarga Pulau Es itu akan binasa secara menyedihkan tanpa ia mampu berbuat sesuatu. Tiba-tiba nampak bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang pemuda yang berseru lantang, “Sin-kiam Mo-li, sungguh di mana-mana engkau menyebar kejahatan!” Dan pemuda itu lalu meloncat ke arah batu yang menggelinding dan sudah tiba dekat sumur itu. Sekali dia mendorong, batu itu terpental dan terlempar sampai beberapa meter jauhnya! Melihat ini, Bi-kwi terbelalak, penuh kagum karena ia maklum betapa sukarnya melakukan perbuatan seperti itu, membutuhkan tenaga yang bukan main besarnya! Ia memandang penuh perhatian. Seorang pemuda sederhana saja, pakaiannya serbe putih, wajahnya sederhana, tidak terlalu tampan walaupun juga tidak buruk, akan tetapi sinar matanya lembut dan mulutnya selalu membayangkan senyum ramah sehingga wajah itu mendatangkan rasa suka dalam hatinya.
Sementara itu, melihat pemuda yang baru muncul dan yang sekali dorong dapat membuat batu yang amat berat dan besar tadi terpental, Sin-kiam Mo-li mengerutkan alisnya, wajahnya agak berubah dan sinar matanya membayangkan rasa gentar. Ia mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Tan Sin Hong atau yang kini dikenal banyak orang kang-ouw sebagai Pek-ho Enghiong (Pendekar Bangau Putih)!
Akan tetapi, beberapa orang anggauta Ang-i Mo-pang tidak mengenal pemuda ini. Walaupun mereka tadi terkejut juga melihat batu itu terpental oleh dorongan seseorang, akan tetapi melihat bahwa orang itu hanyalah seorang pemuda sederhana berpakaian putih, mereka mengira bahwa pemuda itu hanya memiliki tenaga besar saja. Enam orang anggauta Ang-i Mo-pang, dengan pedang di tangan, untuk mencari muka dan jasa, cepat menerjang Sin Hong dengan ganas sekali.
Melihat enam batang pedang menyambar dari semua penjuru, mengarah hampir semua bagian tubuh berbahaya darinya, Sin Hong tidak menjadi gentar. Dia memutar tubuhnya dan dengan Ilmu Silat Pat-sian Sin-kun (Silat Sakti Delapan Dewa), secara beruntun dia mampu mengelak dan menangkis pedang-pedang itu dengan kedua lengannya, dan kakinya juga membagi-bagi tendangan. Empat batang pedang yang bertemu dengan lengannya, terpental dan terlepas dari pegangan pemiliknya, disusul robohnya enam orang itu oleh tendangan Sin Hong. Untung bagi mereka bahwa pemuda itu bukan seorang pembunuh, maka hanya terpelanting dan terbanting keras saja, tidak menderita luka yang membahayakan keselamatan hidup mereka.
Sementara itu, Suma Lian yang berada di dalam sumur, berhasil melompat turun dan hinggap di atas dua ujung tombak dengan kedua kakinya. Akan tetapi ketika ia memandang ke atas, ternyata lubang sumur itu terlalu tinggi baginya. Tidak mungkin melompat ke atas dengan hanya menekankan kedua kaki pada ujung tombak yang runcing dan lentur! Kalau tombak itu patah, ia malah akan celaka, dan kalau sampai loncatannya tidak sampai ke atas sumur, ia akan jatuh lagi dan hal itu lebih berbahaya lagi! Gadis ini cerdik. Ia mengukur lebar sumur. Tidak begitu lebar. Ketika ia berdiri di tengah dan mengembangkan kedua lengannya, maka kedua lengannya itu lebih panjang daripada lebarnya sumur. Ia lalu mencoba untuk menusukkan tangannya dengan jari terbuka pada dinding sumur.
“Ceppp!” Tangan yang terlatih itu, bagaikan tombak saja menancap di dinding sumur padas itu sampai ke pergelangan tangannya! Ia mencoba untuk mencengkeram dan dengan mudah jari-jari tangannya dapat mencengkeram. Ah, ia menemukan akal untuk dapat mendaki naik, pikirnya. Diselipkannya suling emas di pinggangnya, kemudian mulailah dicengkeramnya dinding sumur di kanan kiri dengan kedua tangannya dan mulailah ia mendaki. Kedua kakinya terpentang dan membantu kedua tangannya, menginjak pada bekas cengkeraman tangan dan dengan cepat ia mendaki naik. Sebentar saja ia sudah melompat naik keluar dari dalam sumur, tepat pada saat Sin Hong merobohkan enam orang pengeroyoknya.
Sin-kiam Mo-li yang terkejut melihat kehebatan Sin Hong merobohkan enam orang anak buahnya, menjadi semakin kaget melihat munculnya Suma Lian dari dalam sumur. Sin Hong sendiri tadi tidak melihat gadis itu terjebak ke dalam sumur, hanya mendengar ucapan Sin-kiam Mo-li yang hendak membunuh seseorang di dalam sumur dengan menggelindingkan batu besar, maka dia cepat turun tangan mendorong pergi batu itu. Kini, melihat munculnya seorang gadis dari dalam sumur, dia juga terkejut dan kagum bukan main. Gadis itu demikian cantik. Mukanya yang sebagian terkena lumpur, coreng-moreng tidak menyembunyikan kecantikannya. Matanya demikian bening, tajam dan kocak, mulutnya demikian manisnya dan tersenyum mengejek ketika ia memandang kepada Sin-kiam Mo-li. Kemudian ia menoleh kepada Sin Hong. Ia tidak mengenal pemuda ini, akan tetapi melihat betapa pemuda itu tadi dikeroyok oleh enam orang berpakaian merah, ia dapat menduga bahwa pemuda ini tentulah bukan sahabat atau pembantu Sin-kiam Mo-li. Ketika ia memandang kepada Bi-kwi yang tadi mencoba untuk memperingatkannya ketika ia hampir terjeblos ke dalam sumur, ia melihat wanita itu nampak diam saja, tidak berdaya.
“Sin-kiam Mo-li, engkau sungguh seorang iblis betina yang tak tahu malu, mengandalkan pengeroyokan dan mengandalkan jebakan keji. Sungguh, tidak mungkin lagi engkau dibiarkan hidup di dunia ini!” bentak Suma Lian dan ia sudah mengeluarkan suling emasnya, tidak peduli bahwa kedua tangannya kotor karena lumpur.
“Ucapan Nona ini memang tepat. Engkau terlampau jahat, Sin-kiam Mo-li, dan terpaksa pula aku harus berusaha membasmimu, demi keamanan hidup orang-orang lain!” kata Sin Hong, diam-diam kagum dan kaget melihat gadis itu memegang sebatang suling emas.
Melihat sikap kedua orang muda itu dan mendengar ancaman mereka, mau tidak mau Sin-kiam Mo-li merasa takut. Ia memandang kepada Tan Sin Hong dengan mata penuh kebencian. “Huh, engkau lagi yang merusak semua rencanaku!” Ia lalu berseru kepada Ciong Siu Kwi. “Bi-kwi, hayo cepat usir mereka berdua itu, atau suami dan puteramu akan kusuruh bunuh sekarang juga!” Ia hendak mempergunakan Bi-kwi sebagai perisai karena ia maklum bahwa kalau Suma Lian dan Tan Sin Hong maju bersama, biar ia dibantu oleh Liok Cit, Bi-kwi dan puluhan orang Ang-i Mo-pang juga tidak akan ada gunanya. Suma Lian sudah demikian hebatnya, dan ia tahu bahwa Tan Sin Hong lebih lihai lagi!
Bi-kwi juga maklum bahwa di antara mereka semua, ialah yang paling terjepit. Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya agaknya takut menghadapi pemuda yang baru datang ini, akan tetapi bagaimanapun juga, iblis betina itu masih dapat membela diri mati-matian dan ia pun tahu betapa lihainya iblis betina itu. Akan tetapi ia sendiri? Ia merasa seolah-olah kaki tangannya dibelenggu. Dengan disanderanya suami dan puteranya, ia tidak mampu berbuat sesuatu kecuali mentaati perintah Sin-kiam Mo-li. Melihat Suma Lian dan pemuda yang baru muncul ini, ia pun maklum bahwa keduanya tentulah pendekar-pendekar yang gagah perkasa, bahkan Suma Lian sudah tahu siapa dirinya. Maka ia mempunyai suatu gagasan yang baik sekali. Kenyataannya bahwa Sin-kiam Mo-li takut terhadap pemuda dan gadis itu harus dimanfaatkannya sebaik mungkin.
“Mo-li, aku yakin bahwa nona Suma Lian dan juga Taihiap (Pendekar Besar) yang tidak kukenal ini akan suka memenuhi permintaanku, akan tetapi aku baru mau melakukan perintahmu kalau engkau suka membebaskan puteraku.”
Sin-kiam Mo-li mengerutkan alisnya, lalu tersenyum mengejek. “Bi-kwi, engkau tidak berada dalam keadaan untuk memaksaku. Engkaulah yang harus mentaati perintahku, engkau sama sekali tidak boleh menuntut sesuatu dariku. Ingat, sekali aku memberi isyarat, suami dan puteramu akan mampus.”
“Apa boleh buat, Mo-li. Kalau engkau membunuh mereka, aku akan membantu Suma-lihiap dan Taihiap ini untuk membasmi engkau dan anak buahmu ini tak seorang pun akan kuberi ampun. Orang-orang bekas anggauta Ang-i Mo-pang ini mengenal siapa aku dan aku tidak biasa menjilat kembali kata-kata yang sudah kukeluarkan! Engkau boleh pilih. Membebaskan puteraku, dan aku akan membantu perjuangan yang kausebutkan itu, dengan suamiku menjadi sandera. Atau, engkau boleh membunuh mereka, akan tetapi engkau sendiri dan semua anak buahmu ini akan mati semua di tangan kami bertiga!”
Sin Hong yang mendengarkan percakapan itu, menjadi bingung karena dia memang tidak tahu apa yang telah terjadi dan siapa pula wanita yang disebut Bi-kwi oleh Sin-kiam Mo-li itu. “Apakah artinya semua ini? Aku tidak ingin mencampuri urusan antara kalian berdua dan....“
“Diamlah engkau!” Suma Lian membentak Sin Hong dengan suara nyaring sehingga Sin Hong tersentak kaget, tidak mengira bahwa gadis itu sedemikian galaknya terhadap dia yang sama sekali tidak saling mengenal. “Jangan turut campur dan diamlah saja karena engkau tidak tahu urusannya!”
Sin Hong tersenyum dan hanya mengangguk, lalu berdiri sambil bersedakap, saling bertumpang lengan di atas dada seolah-olah dia hendak memperlihatkan bahwa dia tidak akan mencampuri urusan mereka dan hanya mendengarkan saja.
Sin-kiam Mo-li mempertimbangkan ucapan Bi-kwi tadi. Diam-diam ia pun mengerti bahwa apa yang dikatakan oleh Bi-kwi memang benar. “Engkau berjanji bahwa kalau aku membebaskan puteramu, engkau akan ikut bersama kami dan suamimu menjadi sandera, dan engkau berjanji membantu perjuangan kami?” tanyanya kepada Bi-kwi.
“Aku berjanji!” jawab Bi-kwi dengan tegas dan Sin-kiam Mo-li merasa lega. Ia mengenal kekerasan hati Bi-kwi dan tahu pula bahwa wanita itu, setelah kini meninggalkan dunia kang-ouw, lebih lagi menjaga kehormatan dan pasti tidak akan mau melanggar janjinya.
“Baiklah, engkau sudah berjanji dan didengarkan, disaksikan oleh semua orang yang berada di sini!” Sin-kiam Mo-li lalu memerintahkan Liok Cit untuk mengambil anak itu dari dalam pondok. Liok Cit pergi memasuki pondok dan tak lama kemudian dia keluar menggandeng tangan Yo Han. Setelah dilepaskan, Yo Han lari kepada ibunya.
“Ibu, kata ayah, Ibu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Ibu, selamatkan ayah dari tangan mereka yang jahat ini!” kata Yo Han.
“Tenanglah, anakku. Han-ji, sekarang engkau harus dengarkan kata-kata Ibu dan mentaatinya, mengerti? Nah mulai sekarang, engkau ikutlah pergi dengan enci Suma Lian itu.”
“Tapi, ibu dan ayah....”
“Jangan membantah lagi. Pergilah bersama enci Suma Lian. Ia seorang pendekar wanita perkasa yang tentu akan mau mengatur dirimu, dan engkau taatilah ia, turut saja ke mana engkau dibawa pergi dan apa yang selanjutnya ia atur tentang dirimu. Nona Suma, sudikah Nona menolong anak kami Yo Han ini, mengajaknya pergi dari sini?”
Suma Lian mengerutkan alisnya. Ia maklum akan maksud Ciong Siu Kwi. Agaknya wanita itu hendak mengorbankan dirinya dan suaminya demi keselamatan anak mereka.
“Bibi, tidakkah lebih baik kalau kita hancurkan saja iblis betina ini dan kawan-kawannya.”
“Tidak! Harap jangan lakukan ini. Mereka akan membunuh suamiku, dan dan aku sudah mengeluarkan janji. Kalau kalian berdua melakukan itu, terpaksa aku akan membelanya dan akan melawanmu sampai mati! Tidak, aku mohon kepadamu, nona Suma Lian, bawalah anakku Yo Han dan terserah kepadamu akan kauberikan kepada siapa anak kami itu. Budimu takkan kami lupakan, Nona, dan kalau Tuhan menghendaki, kelak tentu kami akan dapat bertemu kembali dengan dia. Nah, bawalah dia pergi, Nona.”
Suma Lian menarik napas panjang. Ia merasa menyesal sekali bahwa ia harus melepaskan Sin-kiam Mo-li. Akan tetapi, demi keselamatan keluarga Yo, ia tidak mempunyai pilihan. “Marilah, Yo Han, mari ikut dengan aku!” katanya sambil mengulurkan tangan. Akan tetapi Yo Han menarik diri dan memegang tangan ibunya.
“Tidak, aku tidak mau meninggalkan ibu dan ayah!” katanya.
“Yo Han, jangan engkau membantah lagi. Kalau engkau tidak mau, maka ayah, ibu, dan engkau akan mati semua, dibunuh oleh orang-orang ini!” kata Ciong Siu Kwi.
“Aku tidak peduli! Biar mereka membunuh kita, aku tidak takut Ibu, asal bersama dengan ayah dan ibu!” bantah pula Yo Han.
“Yo Han, anakku. Kalau engkau pergi ikut dengan enci Suma Lian ini maka ayah dan ibumu tidak akan dibunuh dan kelak kita akan berjumpa lagi,” bujuk Ciong Siu Kwi.
“Tapi, Ibu. Tadi ayah menceritakan semua. Katanya Ibu lihai dan dia menyesal mengapa tidak membolehkan aku belajar silat dari Ibu, agar aku dapat menentang dan melawan orang-orang jahat.”
“Han-ji, anakku. Kepandaian enci Suma dan Paman itu jauh lebih tinggi daripada ilmu kepandaian ibumu. Kalau engkau ikut dengan enci Suma Lian, maka ia tentu akan mampu mencarikan guru yang jauh lebih lihai daripada ibumu. Pergilah dan jangan membantah lagi, anakku.”
Sejak tadi Sin Hong mendengarkan dengan penuh perhatian dan diam-diam dia merasa kagum sekali kepada anak laki-laki itu. Kini, setelah mendengarkan dengan penuh perhatian, dia mulai mengerti. Kiranya wanita yang cantik dan berpakaian seperti seorang petani wanita itu telah dibikin tidak berdaya oleh Sin-kiam Mo-li karena suaminya dan puteranya disandera oleh iblis betina itu. Memang, jalan satu-satunya untuk menyelamatkan suami isteri itu hanyalah membiarkan anak itu dibawa pergi. Ketika dia mendengar disebutnya nama gadis itu oleh ibu anak itu, dia pun terkejut setengah mati. Dia memang belum mengenal nama itu, akan tetapi nama keluarga itu! Suma! Siapa lagi yang memakai nama keluarga itu kalau bukan keturunan keluarga Pulau Es yang nama keluarganya juga Suma? Dia sudah banyak mendengar kehebatan ilmu kehebatan keluarga Pulau Es seperti yang sering diceritakan oleh tiga orang gurunya! Kini, melihat kebandelan Yo Han yang ingin hidup atau mati bersama ayah ibunya, dia pun lalu ikut bicara.
“Seorang anak yang ingin menjadi seorang calon pendekar, lebih dulu harus menjadi seorang anak berbakti yang mentaati semua perintah orang tuanya, terutama ibunya!”
Mendengar ucapan laki-laki itu, Yo Han menoleh dan menghadapi Sin Hong, sepasang matanya yang kecil namun amat tajam itu mengamati Sin Hong dari kepala sampai ke kaki, kemudian terdengar suaranya lantang.
“Paman, kata ibu Paman memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi dari ibu, dan Paman tadi menasihati aku bagaimana sikap seorang calon pendekar! Kalau sudah dapat menasihati orang, tentu seorang pendekar. Apakah Paman seorang pendekar?”
Ditanya demikian oleh seorang anak kecil, Sin Hong agak tersipu, akan tetapi dia mengangguk sambil tersenyum. “Hemmm, begitulah....“
“Kalau Paman seorang pendekar, tentu berani menentang iblis betina ini! Lawanlah dia, Paman agar aku percaya akan semua omonganmu!” kata Yo Han sambil menudingkan telunjuknya ke arah Sin-kiam Mo-li. Sin Hong menoleh ke arah iblis betina itu, dan wajah Sin-kiam Mo-li menjadi agak pucat. Ia sudah merasakan kelihaian pemuda itu. Ia dibantu oleh Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek saja masih belum mampu mengalahkan Tan Sin Hong, apalagi ia harus maju seorang diri.
Sin Hong berkata kepada anak itu sambil tersenyum, “Kalau ia berani, boleh saja.”
Suma Lian yang sejak tadi melihat dan mendengar, merasa mendongkol juga. Dianggapnya pemuda yang berpakaian serba putih dan sikapnya lembut sederhana itu terlalu sombong dan bicara besar. Ia sendiri tahu bahwa Sin-kiam Mo-li adalah seorang wanita yang sakti dan tidak boleh dipandang ringan, akan tetapi pemuda ini berani mengejek, mengatakan apakah wanita itu berani kepadanya!
Bukan hanya Suma Lian yang merasa penasaran, akan tetapi terutama sekali Liok Cit, Si Iblis Terbang Tangan Beracun itu. Sikap dan ucapan pemuda itu dianggapnya terlalu menghina wanita yang amat dikaguminya, dan dengan adanya Sin-kiam Mo-li, juga anak buah Ang-i Mo-pang, bahkan kini dibantu Bi-kwi yang sudah dapat ditundukkan dengan disanderanya suami wanita itu, hatinya menjadi besar dan dengan gerakan ringan sekali, tubuhnya yang kurus itu sudah melayang ke depan Sin Hong. Pria berusia tiga puluh tahun yang pakaiannya serba hijau ini, dengan tubuh kurus pemadatan, wajahnya tampan akan tetapi semua giginya menghitam, mendorong capingnya yang lebar ke belakang sehingga wajahnya nampak semua. Dengan hati penasaran, dia ingin mempermainkan pemuda yang sederhana itu. Biarpun dia tadi melihat betapa pemuda ini mendorong batu besar yang nyaris menggelinding ke dalam sumur, dia tidak merasa gentar. Diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihirnya. Sebagai murid pertama dari Pek-lian-kauw, tentu saja dia sudah memiliki ilmu sihir yang lumayan. Kalau hanya untuk menyihir dan menundukkan wanita cantik untuk dikuasainya saja, dia sudah mahir!
“Hei, orang muda, lihat aku adalah ayahmu. Engkau harus tunduk dan taat kepadaku. Berlututlah engkau!” Dia membuat gerakan dengan kedua tangannya dengan gaya orang menyihir. Akan tetapi, Sin Hong adalah murid tiga orang sakti yang telah memiliki tenaga gabungan ketiga orang itu. Hawa sakti di tubuhnya sudah amat kuat. Apalagi hanya kekuatan sihir yang dimiliki seorang seperti Liok Cit, bahkan Sin-kiam Mo-li sendiri tidak mampu menguasai pemuda ini dengan sihirnya pada waktu Sin Hong belum menguasai sepenuhnya Ilmu Pek-ho Sinkun. Maka, menghadapi serangan ilmu sihir yang masih amat lemah ini, dia hanya berdiri saja sambil tersenyum, lalu berkata,
“Apakah engkau sudah menjadi gila?”
Liok Cit terbelalak. Dia mencoba untuk memperkuat ilmu sihirnya sampai mulutnya mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh-uh dan kedua tangannya membuat gerakan-gerakan aneh, namun tetap saja Sin Hong hanya memandang sambil tersenyum geli.
Kini marahlah Liok Cit. Dia adalah murid kepala Pek-lian-kauw, ilmu sihirnya sudah amat kuat menurut anggapannya sendiri, dan kini dia dibikin malu di depan para anggauta Ang-i Mo-pang oleh seorang pemuda tak terkenal. Dalam kemarahannya, dia mencabut pedangnya dan sambil mengeluarkan bentakan nyaring, pedangnya menusuk ke arah dada Sin Hong! Gerakan Tok-ciang Hui-moko Liok Cit ini cepat dan kuat, karena memang tingkat kepandaiannya sudah cukup tinggi. Namun, tidak terlalu tinggi bagi Sin Hong. Melihat tusukan pedang itu sekilas saja, Sin Hong tahu apa yang harus dia lakukan. Tubuhnya miring kekanan sehingga pedang lewat depan dadanya, tangan kanan mengetuk sambungan siku, tangan kiri menampar pundak dan kaki kirinya menyapu belakang lutut lawan. Gerakan yang dilakukan Sin Hong itu demikian cepatnya, hampir berbareng dengan datangnya serangan Liok Cit, atau sedetik berikutnya, secara otomatis sehingga tidak ada kesempatan sama sekali bagi Liok Cit untuk menghindarkan diri. Pedang yang dipegangnya terlepas karena lengan kanan yang ditekuk bagian sikunya itu seperti lumpuh, kakinya tertekuk dan tamparan pada pundak membuat dia terjungkal! Masih untung baginya bahwa Sin Hong membatasi tenaganya. Kalau pemuda ini menyerang sungguh-sungguh, tentu dia tewas seketika. Dengan penasaran, Liok Cit mengambil pedangnya dan meloncat berdiri, siap untuk menyerang lagi, akan tetapi terdengar bentakan Sin-kiam Mo-li.
“Liok Cit, mundur kau!” Wanita iblis ini maklum bahwa jangankan Liok Cit, bahkan ia sendiri pun dibantu oleh semua anak buahnya yang berada di situ, takkan mampu menandingi Sin Hong yang tentu akan dibantu oleh Suma Lian pula.
Sementara itu, Yo Han bersorak gembira melihat kehebatan Sin Hong dan dia pun berkata, “Paman, aku akan ikut bersama Paman dan ingin menjadi murid Paman” Setelah berkata demikian, dia lari mendekat dan memegang tangan Sin Hong. Melihat ini, legalah hati Bi-kwi yang tadinya khawatir kalau-kalau puteranya itu tetap tidak mau pergi.
“Taihiap, tolonglah, harap Taihiap sudi membawa puteraku. Kami suami isteri akan berterima kasih sekali,” kata Bi-kwi dengan suara memohon. Ia mengenal kekerasan hati puteranya, sekali pilihan puteranya dijatuhkan kepada pemuda itu, tentu dia tidak mau disuruh ikut orang lain.
Sin Hong memandang kepada Yo Han yang memegang tangannya dan tersenyum. Sejak tadi dia memang sudah merasa suka sekali kepada Yo Han. Akan tetapi mempunyai murid? Dia masih terlalu muda, hidupnya sendiri masih berkelana dan dia masih memiliki banyak tugas, menyelidiki pembunuh ayahnya dan lain-lain. Akan tetapi, dia pun tahu bahwa dalam keadaan terjepit seperti sekarang ini, ibu dari anak itu tidak berdaya dan dia harus menolongnya, maka dia pun mengangguk.
“Baiklah, harap jangan khawatir, Enci,” katanya.
Bi-kwi hampir bersorak saking girang dan lega hatinya. “Terima kasih, Taihiap, dan harap suka memperkenalkan nama agar kami tidak akan melupakan Taihiap.”
Jarang Sin Hong memperkenalkan namanya, apalagi nama tiga orang gurunya. Akan tetapi karena dia hendak membawa pergi anak orang, terpaksa dia berterus terang, “Namaku Tan Sin Hong, Enci. Mari Yo Han, mari kita pergi dari sini.” Dia lalu menggandeng tangan anak itu dan pergi sambil melirik ke arah Suma Lian dan mengangguk sebagai tanda hormat.
“Ibu, selamat tinggal, sampaikan hormatku kepada ayah!” Yo Han berteriak kepada ibunya sambil menoleh, kemudian dia pun melanjutkan langkahnya di samping penolong yang kini menjadi gurunya. Bi-kwi memandang dengan kedua mata basah.
Suma Lian merasa serba salah, Ingin ia menerjang Sin-kiam Mo-li yang tadi hampir mencelakainya dengan jebakan, akan tetapi bukan ia takut melakukan ini, melainkan karena ia tahu bahwa Bi-kwi tentu akan membantu iblis betina itu demi keselamatan suaminya yang menjadi sandera. Tidak, ia harus mencari jalan lain, tidak ingin, mengorbankan keselamatan wanita itu dan suami wanita itu yang tidak berdosa.
Sejak tadi ia menonton dan diam diam ia pun terkejut melihat betapa lihainya Sin Hong. Akan tetapi setelah Yo Han memilih pemuda itu untuk diikutinya, ia merasa mendongkol bukan main. Bukan karena ia terlalu senang kalau dititipi seorang anak laki-laki, akan tetapi ibu anak itu tadinya minta tolong kepadanya, ibu anak itu hendak menitipkan Yo Han kepadanya. Akan tetapi pemuda bernama Tan Sin Hong itu seolah-olah menyainginya dan merebut Yo Han dari tangannya. Hal ini membuat hatinya penasaran bukan main. Seolah-olah pemuda itu membuat ia malu dan menurunkan harga dirinya di depan banyak orang! Kini, Sin-kiam Mo-li, Liok Cit, juga Bi-kwi dan semua anak buah yang berpakaian serba merah itu menunggu apa yang akan dilakukannya dan mereka agaknya sudah siap siaga. Juga Bi-kwi memandang kepadanya dengan sinar mata memohon, sinar mata yang jelas mengharapkan agar ia pergi saja dan tidak melanjutkan perkelahiannya melawan Sin-kiam Mo-li dan anak buahnya.
“Huhhh!” Suma Lian mengeluarkan dengus marah dan tanpa berkata sesuatu, ia pun membalikkan tubuhnya dan dengan beberapa loncatan saja bayangannya lenyap di antara pohon-pohon.
“Bukan main....!” Bi-kwi menarik napas panjang memuji. “Orang-orang muda sekarang hebat, demikian muda telah memiliki ilmu silat yang begitu hebat. Ahhh, kita seperti katak dalam tempurung...., ketinggalan jauh....“
Sin-kiam Mo-li merasa diejek dan diremehkan. Ia cemberut dan menjawab seperti orang bersungut, “Tentu saja, gadis itu cucu buyut Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dan pemuda itu murid Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya....“
“Ohhh....!” Wajah Bi-kwi berseri dan matanya bersinar-sinar. Ia sudah dapat menduga bahwa gadis yang bernama Suma Lian itu tentu keturunan Pendekar Pulau Es, akan tetapi yang membuat ia merasa gembira adalah ketika mendengar tentang pemuda yang kini menjadi guru puteranya itu. Murid suami isteri penghuni Istana Gurun Pasir! Bukan main! Tentu saja hatinya girang mendengar bahwa puteranya menjadi murid seorang muda yang sakti. Pantas pemuda itu sedemikian lihainya!
Melihat kegembiraan di wajah Bi-kwi, Sin-kiam Mo-li merasa semakin mendongkol. Ia sendiri amat membenci pemuda murid Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir itu. Teringat ia betapa kurang lebih dua tahun yang lalu, ia dan enam belas orang lainnya, sebagian dari Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, menyerbu ke Istana Gurun Pasir. Mereka berhasil menewaskan tiga orang tua penghuni istana itu, akan tetapi di pihaknya sendiri, empat belas orang tewas sedangkan sisanya, ia sendiri, Thian Kong Cinjin dan Thian Kek Sengjin, terluka cukup parah!
Dan kini muncul murid mereka yang amat lihai! Ia merasa menyesal sekali mengapa dahulu ia tidak membunuh saja pemuda itu, bahkan usahanya untuk “memperkosa” pemuda itu pun gagal!
“Sudahlah, Bi-kwi. Mari kita pergi. Yang penting, mulai sekarang engkau harus mentaati semua perintah pimpinan kami, membantu gerakan kami berjuang dan berusaha menumbangkan kekuasaan pemerintah penjajah Mancu.”
Bi-kwi mengangguk dan sambil tersenyum ia mengikuti rombongan Sin-kiam Mo-li meninggalkan tempat itu. Ia melihat betapa suaminya terdapat pula dalam rombongan itu, bahkan tidak dibelenggu dan ia pun diperbolehkan berjalan dekat suaminya. Tanpa berkata-kata, mereka saling berpegang tangan dan berjalan. Sin-kiam Mo-li berjalan di belakang mereka siap dengan senjatanya untuk mencegah kalau-kalau Bi-kwi berusaha melarikan suaminya. Namun, Bi-kwi tidaklah sebodoh itu. Ia tahu betapa lihainya Sin-kiam Mo-li, apalagi ditambah dengan banyak anak uuahnya. Ia takkan mampu melarikan suaminya dengan jalan kekerasan. Kalau hal itu dicobanya, berarti ia hanya akan bunuh diri bersama suaminya. Biarpun hatinya sudah merasa lega dan tenang karena putera mereka telah ikut pergi bersama Tan Sin Hong yang sakti, namun ia harus dapat mempertahankan dirinya dan suaminya dari kebinasaan dan jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri mereka berdua hanyalah mentaati perintah Sin-kiam Mo-li untuk sementara waktu ini. Tentu saja ia tidak mau percaya begitu saja bahwa seorang jahat dan keji macam Sin-kiam Mo-li, mendadak dapat berubah menjadi seorang patriot! Tentu ada apa-apanya dalam pergerakan yang dimaksudkan Sin-kiam Mo-li itu. Maka, ia pun menjadi penurut dan wajahnya selalu cerah, apalagi karena ia diberi kebebasan untuk berkumpul dengan suaminya, walaupun siang malam mereka berdua selalu dibawah pengawasan ketat.
***
Suma Lian merasa penasaran sekali. Ketika ia meninggalkan rombongan Sin-kiam Mo-li yang menawan Yo Jin dan memaksa Bi-kwi menjadi pembantunya, ia masih merasa penasaran bukan main. Ia memang tidak begitu peduli akan keadaan Bi-kwi. Bukankah menurut cerita yang ia pernah dengar dari ayah ibunya, Bi-kwi memang dahulunya seorang tokoh sesat dan mungkin sejalan dengan Sin-kiam Mo-li? Kalau sekarang ia “kembali” kepada golongan hitam, hal itu tidak aneh walaupun hal itu masih meragukan melihat bahwa Bi-kwi memang dalam keadaan terjepit. Suaminya masih ditawan dan dijadikan sandera, maka terpaksalah wanita itu menyerah. Betapapun juga, ia percaya bahwa seorang wanita yang demikian cerdik dan banyak pengalaman seperti Bi-kwi, tentu akan menjaga diri sendiri dan suaminya dan tidaklah perlu dikhawatirkan benar. Akan tetapi, yang membuat hatinya mendongkol adalah karena Yo Han oleh Bi-kwi diserahkan kepada pemuda yang mengaku bernama Tan Sin Hong itu!
Huh, tak tahu diri, pikirnya dengan hati dan perut panas ketika ia berlari cepat meninggalkan hutan itu. Bukankah ia sendiri hampir saja tewas karena membela anak itu? Hampir saja ia mengorbankan nyawanya demi menolong Yo Han. Dan apa balasnya? Anak itu diserahkan orang lain yang datang belakangan, seolah-olah anak itu dan ibunya lebih percaya kepada Tan Sin Hong daripada kepadanya! Bahkan anak itu sendiri pun memilih Sin Hong! Memang itu hak mereka. Hanya ia mendongkol kepada pemuda itu yang dianggapnya menonjolkan diri dan menyainginya! Seolah-olah pemuda itu lebih lihai darinya, maka Yo Han memilih pemuda itu daripada ia untuk menjadi gurunya! Bukan karena ia ingin sekali menjadi guru Yo Han! Ia pun tidak mau menjadi guru, karena kalau anak itu ikut dengannya, maka hanya akan menjadi beban. Ia seorang gadis muda, untuk apa mengambil murid? Andaikata Yo Han jadi dibawanya, paling-paling akan dititipkannya kepada keluarga lain, atau juga kepada ayah ibunya.
Makin panas rasa perutnya kalau ia teringat kepada Tan Sin Hong. Pemuda itu agaknya sengaja memamerkan kepandaiannya ketika melawan Tok-ciang Hui-moko Liok Cit! Huh, ia pun mampu merobohkan Liok Cit dalam sejurus saja! Apa anehnya mengalahkan si baju hijau itu? Pemuda sombong!
Dengan pikiran yang makin menggerogoti hatinya dan membuat hati itu menjadi semakin panas, Suma Lian mempercepat larinya untuk mengejar dan mencari Sin Hong yang tadi membawa pergi Yo Han! Segala macam emosi datang dari pikiran! Pikiran mengingat-ingat dan mengunyah pengalaman lampau, menonjolkan kepentingan diri sendiri, menciptakan gambaran si aku yang demikian agung dan tingginya sehingga diganggu sedikit saja akan menimbulkan emosi dan perasaan marah, duka, takut dan sebagainya. Pikiran yang hening dan kosong dari beban ingatan masa lampau dan bebas dari bayangan khayal masa depan, akan membuat kita menjadi waspada akan diri sendiri lahir batin sekarang saat demi saat, waspada akan keadaan sekeliling kita, sehingga kita akan mampu menghayati hidup yang sesungguhnya, hidup yang seutuhnya.
Karena Sin Hong yang pergi sambil menggandeng tangan Yo Han berjalan biasa, tidak mempergunakan ilmu berlari cepat, tentu saja dia segera dapat disusul oleh Suma Lian. Pemuda itu berjalan seenaknya sambil mengobrol dengan Yo Han. Dia minta kepada anak itu untuk menceritakan keadaan keluarganya. Tidak banyak yang dapat diceritakan Yo Han. Anak itu hanya tahu bahwa ayah dan ibunya hidup sebagai petani-petani yang hidup penuh damai dan tenteram, cukup makan dan pakaian, dan dia sendiri sejak kecil hidup di dusun itu, bermain dengan anak-anak dusun lainnya. Hanya bedanya dengan anak-anak dusun, dia sejak kecil diberi pelajaran baca tulis oleh ibunya sehingga kini dia sudah pandai membaca dan menulis, bahkan membuat sajak.
“Engkau tidak pernah dilatih ilmu silat?” tanya Sin Hong yang merasa heran sekali.
Yo Han menggeleng kepala. “Jangankan dilatih ilmu silat, bahkan mengetahui bahwa ibu pandai ilmu silat pun baru saja tadi ketika ayah ditawan. Sebelum ini ayah dan ibu tidak pernah bicara tentang ilmu silat dan aku pun tidak pernah mimpi bahwa ibuku pandai ilmu silat.”
Diam-diam Sin Hong merasa heran akan tetapi juga kagum. Dia dapat menduga bahwa agaknya ayah ibu dari anak ini ingin menjauhkan anak mereka dari kehidupan kang-ouw yang serba keras dan penuh dengan permusuhan.
“Ibumu memang memiliki ilmu silat yang cukup hebat, akan tetapi apakah ayahmu tidak memiliki ilmu kepandaian silat pula yang tinggi?”
“Tidak, tidak. Ayah seorang petani biasa. Di dalam tawanan itu, ayah menceritakan semua padaku, Paman. Katanya bahwa ibu dahulu adalah seorang tokoh besar yang memiliki ilmu silat tinggi sehingga di juluki Bi-kwi (Setan Cantik), sedangkan ayah hanyalah seorang petani biasa saja. Ketika ayah dan ibu menjadi suami isteri, ibu berjanji akan meninggalkan kehidupannya sebagai seorang ahli silat. Bahkan ayah pula yang melarang agar ibu tidak mengajarkan ilmu silat kepadaku. Akan tetapi setelah terjadi penculikan atas diriku, ayah merasa menyesal bahwa aku tidak diajar ilmu silat sehingga tidak mampu membela dan melindungi diri sendiri. Atas permintaan Sin Hong, Yo Han lalu menceritakan bagaimana dia diculik dan dilarikan oleh Liok Cit, betapa kemudian di tengah jalan dia dilarikan karena Liok Cit dikejar oleh Suma Lian.
“Enci Suma Lian yang gagah perkasa itu hampir saja celaka karena membelaku. Betapa gagahnya enci Suma Lian. Untung kemudian muncul engkau, Paman. Dan aku merasa girang sekali bahwa Paman suka membawa aku pergi. Paman tentu akan melatih ilmu silat kepadaku, bukan? Aku suka sekali menjadi muridmu, Paman. Sebaiknya sekarang juga aku mengangkat Paman menjadi guruku.” Setelah berkata demikian, Yo Han menjatuhkan dirinya berlutut di depan Sin Hong sambil menyebut, “Suhu....!”
Sin Hong cepat memegang pundak Yo Han dan menariknya bangun. Wajahnya merah karena dia merasa rikuh sendiri menerima penghormatan sebagai seorang guru. Baru saja dia meninggalkan perguruan dan kini sudah hendak diangkat menjadi guru. Dia merasa canggung dan belum waktunya menerima seseorang menjadi muridnya. Hidupnya sendiri masih tidak menentu, bagaimana mungkin dia menerima beban baru berupa seorang murid?
“Nanti dulu, Yo Han. Jangan tergesa-gesa mengangkatku sebagai guru....“
“Akan tetapi, Suhu! Bukankah Suhu sudah menerima permintaan ibu? Dan teecu sudah mengambil keputusan meninggalkan ayah dan ibu, hanya karena teecu (murid) suka untuk menjadi murid Suhu!”
“Tadinya aku hanya ingin menyelamatkanmu dan orang tuamu, maka aku mau menerimamu dan mengajakmu pergi, Yo Han, akan tetapi ketahuilah bahwa aku adalah seorang pemuda pengembara yang hidupnya pun belum menentu. Aku tidak memiliki tempat tinggal, tidak berkeluarga....”
“Teecu akan ikut Suhu, ke manapun Suhu pergi, dan teecu tidak takut menghadapi hidup serba kurang dan sederhana, teecu akan bekerja dan melakukan apa saja yang Suhu kehendaki....“ Yo Han berkata, nada suaranya khawatir kalau-kalau pemuda yang sakti itu tidak akan suka menjadi gurunya.
Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat disusul suara Suma Lian. “Bagus! Berani berbuat tidak berani bertanggung jawab, ya?”
Sin Hong mengangkat mukanya dan gadis itu sudah berada di situ, berdiri tegak, kedua kaki terpentang lebar dan kedua tangan di pinggang, sepasang matanya memandang tajam. “Orang she Tan! Kalau engkau tidak suka menerima Yo Han ini menjadi muridmu, mengapa engkau tadi menjual lagak dan memamerkan kepandaian, lalu menerima permintaan ibu anak ini?”
Sin Hong tertegun. “Nona Suma Lian, harap jangan salah sangka. Bukan maksudku untuk melepas tanggung jawab dan menolaknya, aku hanya menjelaskan kepadanya bahwa tidak mungkin dia hidup bersama aku yang tidak mempunyai tempat tinggal, tidak berkeluarga. Hidupku sendiri tidak menentu, sebagai petualang dan pengelana, bagaimana mungkin ditambah seorang lagi? Dan juga aku mempunyai tugas yang belum kuselesaikan, dan tugas itu akan membawaku ke tempat-tempat berbahaya, berhadapan dengan lawan-lawan berbahaya. Kalau dia ikut denganku, bukankah hal itu berarti membawa dia ke dalam ancaman bahaya pula?
Suma Lian tersenyum mengejek, diam-diam ia tertawa dan hatinya senang. Rasakan kamu, pikirnya. Untung bukan ia yang tadi menerima beban itu!
“Lalu apa maksudmu tadi memamerkan kepandaian dan menerimanya dari ibunya?”
“Aku tadi hanya bermaksud menolong dan menyelamatkan....“
“Huh, engkau hanya ingin berlagak dan memamerkan ilmu kepandaian silatmu, dan memandang rendah kepada orang lain ya? Hemmm, ingin aku melihat sampai di mana kepandaianmu maka engkau menjadi sombong dan besar kepala! Nah, bersiaplah dan majulah melawanku, manusia sombong!”
Sin Hong terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa dia akan disusul oleh gadis yang galak ini. Tentu saja dia merasa segan untuk bertanding tanpa sebab dengan gadis itu, apalagi gadis itu she Suma yang membuktikan bahwa gadis ini adalah keturunan pendekar Pulau Es!
“Aku tidak mempunyai urusan denganmu, Nona. Untuk apa aku harus melayanimu bertanding?” bantahnya.
“Hemmm, engkau agaknya hanya berani berlagak karena mengetahui betapa lawanmu memang tolol dan rendah ilmu silatnya, macam Tok-ciang Hui-moko tadi. Dan engkau menjadi jerih ketika kutantang untuk mengadu ilmu. Apakah engkau selain sombong juga seorang pengecut?” Suma Lian sengaja mengeluarkan makin ini dengan maksud untuk memaksa pemuda itu bertanding dengannya. Ia ingin sekali menguji kepandaian pemuda itu, juga kepandaiannya sendiri.
Bersambung ke buku 6
Label:
Kho Ping Hoo,
Kisah Si Bangau Putih