Pusaka Pulau Es -6 | Kho Ping Hoo



Pusaka Pulau Es -6 | Kho Ping Hoo
Tung-hai Lo-mo mengenal Cu In yang bercadar. Tahu betapa lihainya wanita itu, dia menyerahkannya kepada Lam-hai Koai-jin dan selosin anak buah Pek-lian-pai. Maka mendengar seruan Lam-hai Koai-jin, Tung-hai Lo-mo segera meloncat naik ke atas atap. Diperhitungkannya, kalau memasuki kamar lewat atap tentu tidak ada yang tahu dan kalau dia dapat membunuh kaisar dengan tangannya sendiri, tentu pahalanya besar dan Pangeran Tao Seng akan memberi hadiah yang besar.

Akan tetapi, begitu kakinya menginjak atap, terdengar bentakan yang mengejutkan hatinya. “Berhenti, siapa engkau?”

Kiranya Keng Han sudah berdiri di depannyai Dia segera mengenal Keng Han, akan tetapi pemuda itu sendiri tidak mengenalnya karena kakek Itu memakai samaran sebagai seorang perajurit biasa. Melihat Keng Han menghadang dengan pedang bengkok di tangan, Tung-hai Lo-mo segera menggerakkan tombaknya. Sebagai perajurit tentu saja dia tidak mungkin membawa-bawa dayungnya, maka dia memilih memegang tombak daripada lain senjata karena tombak itu dapat dipergunakan sebagai senjata dayungnya.

Melihat perajurit itu menyerangnya dengan tombak, Keng Han menangkis dengan pedang bengkoknya. “Tranggg....! Keduanya terdorong mundur tiga langkah. Keng Han terkejut. Orang, yang dikirim ayahnya untuk membunuh kaisar ini ternyata lihhai dan memiliki tenaga sunkang yang kuat!

Maka dia pun mengerahkan tenaganya dan segera mainkan pedangnya dengan ilmu silat Hong-in-bun-hoat. Pedang itu menyambar-nyambar dengan gerakan aneh seperti mencorat-coret di udara membuat huruf-huruf, akan tetapi akibatnya hebat, Tung-hai Lo-mo segera terdesak mundur. Datuk sesat ini berpikir bahwa kalau bertempur di atas, berbahaya baginya. Selain atap itu licin dan miring, juga dia tidak mempunyai kawan. Kalau di bawah terdapat selosin anak buah Pek-lian-pai dan ada pula Lam-hai Koai-jin. Maka, dia membabatkan tombaknya menyerampang kedua kaki lawan. Ketika Keng Han meloncat untuk menghindarkan sambaran tombak, kesempatan ini dipergunakan oleh Tung-hai Lomo untuk meloncat turun ke bawah!

”Pembunuh jahat, engkau hendak lari ke mana? bentak Keng Han dan dia pun meloncat ke bawah melakukan pengejaran. Melihat Keng Han meloncat turun. Tung-hai Lo-mo menggunakan tombaknya menyambut dengan tusukan yang cepat dan kuat sekali. Akan tetapi Keng Han sudah waspada dan melihat lawannya menyambutnya dengan tusukan, dia pun memutar pedang bengkoknya untuk melindungi tubuhnya.

”Trang-tranggg.... Bunga api berpercikan ketika kedua senjata itu bertemu dan mereka segera bertanding lagi dengan serunya.

Sementara itu, pertandingan antara Cu In melawan Lam-hai Koai-jin juga berlangsung seru. Akan tetapi karena Cu In membantu para perajurit pengawal yang diserang oleh orang-orang Pek-lian-pai yang menyamar, ia jadi terkeroyok dan ruyung di tangan Lam-hai Koai-jin membuatnya terdesak. Akan tetapi dengan sabuk suteranya, gadis ini berhasil merobohkan lima orang anak buah Pek-lian-pai sehingga kini jumlah mereka tinggal tujuh orang lagi dan mereka itu dapat dilawan para perajurit pengawal yang tulen dan Cu In hanya menghadapi Lam-hai Koal-jin seorang saja!

Lam-hai Koai-jin adalah seorang datuk selatan yang gendut pendek. Permainan ruyungnya menggiriskan. Senjata berat itu dapat dia gerakkan dengan cepat sehingga mengeluarkan suara berdesing-desing. Namun, lawannya adalah Cu In yang memiliki ginkang yang luar biasa. Kecepatan gerakan Cu In membingungkan Lam-hai Koai-jin. Sabuk sutera putih yang dimainkan Cu In bagaikan kilat menyambar-nyambar, atau bagaikan seekor naga bermain di angkasa. Ujungnya melecut dan menotok sehingga datuk gendut pendek itu seolah terkepung oleh belasan ujung sabuk yang menyerangnya secara bertubi-tubi. Baik Tung-hai Lo-mo maupun Lam-hai Koai-jin kini maklum bahwa usaha mereka mengalami gangguan. Apalagi kini berdatangan pasukan pengawal lain yang mendengar akan perkelahian itu dan mereka datang berbondong-bondong untuk membantu teman-teman mereka. Melihat ini, Tung-hai Lo-mo berseru, Lari....! Dia sendiri sudah meloncat jauh ke belakang untuk melarikan diri. Lam-hai Koai-jin juga meloncat jauh mengikuti jejak kawannya. Para anak buah mereka juga ingin lari, akan tetapi kini bantuan sudah datang dan mereka terkepung dengan ketat sehingga tak lama kemudian, dua belas orang anak buah Pek-lian-pai yang menyamar sebagai perajurit pengawal itu dapat dirobohkan. Di antara mereka ada yang belum tewas dan hanya terluka, maka yang terluka lalu ditawan.

Pintu yang menuju ke kamar tidur kaisar terbuka dari dalam. Dua orang thaikam muncul. Mereka tadi mendengar suara ribut-ribut di luar kamar, maka mereka membuka pintu untuk melihat apa yang terjadi. Kaisar pun sudah terjaga dari tidurnya dan memerintahkan thaikam untuk memeriksa keadaan di luar.

”Para pembunuh menyamar sebagai perajurit pengawal datang menyerang, akan tetapi mereka semua sudah tertangkap! Keng Han melapor kepada para thaikam dan mereka itu dapat melapor kepada Kaisar.

”Siapa yang menyuruh kalian? Hayo cepat katakan! Keng Han membentak kepadaempat orang penyerbu yang terluka dan sudah diikat kedua tangannya. Akan tetapi empat orang itu diam saja tidak mau menjawab.

”Katakan kalian dari golongan apa?” tanya lagi Keng Han.

Seorang di antara mereka kini mengangkat muka memandang kepada Keng Han dan menjawab singkat. “Kami anggauta Thian-li-pang!”

Keng Han dan Cu In terkejut sekali. Anggauta Thian-li-pang? Mereka teringat kepada Han Li yang berada di rumah Pangeran Mahkota. Gadis itu puteri ketua Thian-li-pang!

”Mungkin mereka berbohong. Kita undang Han Li ke sini untuk mengenali mereka. kata Cu In dan Keng Han menyetujui. Keadaan kini sudah aman. Tidak mungkin ada pembunuh yang dapat masuk dari luar istana yang sudah dijaga ketat oleh pasukan. Kalau tadi mereka kebobolan adalah karena para penjahat itu menyamar sebagai perajurit-perajurit pengawal istana.

“Benar, di sini sudah aman. Kita serahkan para perajurit untuk menjaga keamanan selanjutnya dan kita harus cepat pergi ke rumah Pangeran Mahkota. Siapa tahu mereka membutuhkan bantuan.” kata Keng Han.

Keduanya lalu pergi meninggalkan istana. Dari para penjaga di luar istana mereka mendapat kabar bahwa dua orang pembunuh yang lihai dan menyamar sebagai perajurit-perajurit itu telah berhasil lolos. Mereka tidak mempedulikannya lagi. Penjahat-penjahat itu pasti tidak berani masuk kembali ke istana, pikir mereka. Dengan cepat mereka lalu menuju ke istana Pangeran Tao Kuang.

Di istana ini pun terjadi keributan. Menjelang tengah malam, ada bayangan tiga belas orang memasuki istana lewat pagar tembok dibelakang taman. Mereka segera ketahuan karena penjagaan sudah diatur dengan ketat dan terjadi pertempuran antara tiga belas orang itu dengan para perajurit. Akan tetapi tiga belas orang itu ternyata lihai, terutama sekali seorang di antara mereka seorang kakek yang memegang pedang. Banyak Perajurit penjaga roboh di tangan kakek ini yang bukan lain adalah Swat-hai Lo-kwi. Akan tetapi Pangeran Tao Kuang segera dilapori penjaga dan Tao Kwi Hong bersama ibunya Liang Siok Cu, ditemani pula oleh Han Li dan Kai-ong Lu Tong Ki dengan cepat pergi ke tempat di mana terjadi pertempuran, yaitu di taman bunga. Sedangkan Pangeran Tao Kuang sendiri yang nyawanya terancam, telah masuk ke dalam kamar rahasia yang tidak akan dapat ditemukan orang luar.

Swat-hai Lo-kwi mengamuk dan dia mencari kesempatan untuk menerobos masuk ke dalam istana itu mencari Pangeran Tao Kuang. Pedangnya membabat ke sana sini.

“Tranggg....!” tiba-tiba pedangnya bertemu dengan sebatang tongkat bambu. Biarpun hanya tongkat bambu, ternyata mampu membuat pedang di tangan Swat-hai Lo-kwi terpental dan tangannya terasa panas. Datuk sesat ini segera memandang penuh perhatian kepada penangkisnya dan ternyata yang menangkis pedangnya adalah seorang kakek tinggi kurus berpakaian tambal-tambalan dan memegang sebatang tongkat bambu, berdiri sambil tertawa bergelak dan mengelus jenggotnya dengan tangan kiri.

“Ha-ha-ha-ha-ha! Kiranya Swat-hai Lo-kwi yang memimpin penyerbuan ini. Tidak aneh kalau Swat-hai Lo-kwi dapat diperalat kaum pemberontak, tentu dengan janji pahala yang muluk-muluk!” kata Kai-ong Lu Tong Ki.

“Kai-ong, jangan mencampuri urusanku. Apakah engkau telah menjadi anjing peliharaan penjajah Mancu?”

“Heh-heh-heh, tidak perlu engkau berpura-pura bersikap sebagai seorang patriot yang mencinta tanah air dan bangsa. Aku, Kai-ong, sudah lama mengenal isi perutmu!”

“Keparat, mampuslah engkau!” Swathai Lo-kwi menyerang dengan tangan kirinya, memukul dengan telapak tangan terbuka ke arah dada Kai-ong. Pukulan ini bukan sembarang serangan, melainkan serangan maut karena tangan itu terisi tenaga sakti yang amat dingin.

“Haiiiiit....,!” Swat-hai Lo-kwi mengeluarkan tenaga saktinya sambil memekik dahsyat.

“Hemmm....!” Kai-ong juga mengerahkan tangan kirinya, menyambut pukulan tangan terbuka dengan tangannya sendiri.

“Desssss....!” Kedua tangan bertemu dengan dahsyatnya. Akibatnya, Swat-hai Lo-kwi terdorong mundur sampai tiga langkah sedangkan Kai-ong yang bergoyang-goyang saja tubuhnya akan tetapi dapat bertahan sehingga tidak sampai terdorong mundur.

“Haiiiiit!” Kembali Swat-hai Lo-kwi memekik dan kini pedangnya menyambar. Kai-ong juga menggerakkan tongkat bambunya dan kedua orang tua ini sudah saling serang dengan hebatnya. Gerakan mereka tidak cepat, bahkan nampak lamban, akan tetapi setiap gerakan mengandung tenaga sakti yang dahsyat, menyambar-nyambar bahkan terasa oleh mereka yang berada dalam jarak tiga meter dari mereka.

Sementara itu, Kwi Hong dan ibunya Liang Siok Cu, dibantu oleh Han Li, sudah mengamuk menghadapi dua belas orang anak buah Pat-kwa-pai yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi. Para perajurit penjaga merasa lega dengan munculnya tiga orang wanita ini dan mereka segera membantu dengan pengeroyokan.

Liang Siok Cu menggunakan senjata sebuah tongkat kecil. Ia adalah seorang ahli tiam-hiat-to (menotok jalan darah) dan tongkatnya merupakan senjata andalannya karena tongkat itu menyambar-nyambar mengarah jalan darah para lawannya. Tak lama kemudian, dua orang anak buah Pat-kwa-pai sudah roboh tak berkutik terkena totokan tongkat nyonya selir Pangeran Mahkota itu. “Heh-heh-heh, tidak perlu engkau berpura-pura bersikap sebagai seorang patriot yang mencinta tanah air dan bangsa. Aku, Kai-ong, sudah lama mengenal isi perutmu!”

“Keparat, mampuslah engkau!” Swathai Lo-kwi menyerang dengan tangan kirinya, memukul dengan telapak tangan terbuka ke arah dada Kai-ong. Pukulan ini bukan sembarang serangan, melainkan serangan maut karena tangan itu terisi tenaga sakti yang amat dingin.

“Haiiiiit....,!” Swat-hai Lo-kwi mengeluarkan tenaga saktinya sambil memekik dahsyat.

“Hemmm....!” Kai-ong juga mengerahkan tangan kirinya, menyambut pukulan tangan terbuka dengan tangannya sendiri.

“Desssss....!” Kedua tangan bertemu dengan dahsyatnya. Akibatnya, Swat-hai Lo-kwi terdorong mundur sampai tiga langkah sedangkan Kai-ong yang bergoyang-goyang saja tubuhnya akan tetapi dapat bertahan sehingga tidak sampai terdorong mundur.

“Haiiiiit!” Kembali Swat-hai Lo-kwi memekik dan kini pedangnya menyambar. Kai-ong juga menggerakkan tongkat bambunya dan kedua orang tua ini sudah saling serang dengan hebatnya. Gerakan mereka tidak cepat, bahkan nampak lamban, akan tetapi setiap gerakan mengandung tenaga sakti yang dahsyat, menyambar-nyambar bahkan terasa oleh mereka yang berada dalam jarak tiga meter dari mereka. Sementara itu, Kwi Hong dan ibunya Liang Siok Cu, dibantu oleh Han Li, sudah mengamuk menghadapi dua belas orang anak buah Pat-kwa-pai yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi. Para perajurit penjaga merasa lega dengan munculnya tiga orang wanita ini dan mereka segera membantu dengan pengeroyokan.

Liang Siok Cu menggunakan senjata sebuah tongkat kecil. Ia adalah seorang ahli tiam-hiat-to (menotok jalan darah) dan tongkatnya merupakan senjata andalannya karena tongkat itu menyambar-nyambar mengarah jalan darah para lawannya. Tak lama kemudian, dua orang anak buah Pat-kwa-pai sudah roboh tak berkutik terkena totokan tongkat nyonya selir Pangeran Mahkota itu. “Heh-heh-heh, tidak perlu engkau berpura-pura bersikap sebagai seorang patriot yang mencinta tanah air dan bangsa. Aku, Kai-ong, sudah lama mengenal isi perutmu!”

“Keparat, mampuslah engkau!” Swathai Lo-kwi menyerang dengan tangan kirinya, memukul dengan telapak tangan terbuka ke arah dada Kai-ong. Pukulan ini bukan sembarang serangan, melainkan serangan maut karena tangan itu terisi tenaga sakti yang amat dingin.

“Haiiiiit....,!” Swat-hai Lo-kwi mengeluarkan tenaga saktinya sambil memekik dahsyat.

“Hemmm....!” Kai-ong juga mengerahkan tangan kirinya, menyambut pukulan tangan terbuka dengan tangannya sendiri. “Desssss....!” Kedua tangan bertemu dengan dahsyatnya. Akibatnya, Swat-hai Lo-kwi terdorong mundur sampai tiga langkah sedangkan Kai-ong yang bergoyang-goyang saja tubuhnya akan tetapi dapat bertahan sehingga tidak sampai terdorong mundur.

“Haiiiiit!” Kembali Swat-hai Lo-kwi memekik dan kini pedangnya menyambar. Kai-ong juga menggerakkan tongkat bambunya dan kedua orang tua ini sudah saling serang dengan hebatnya. Gerakan mereka tidak cepat, bahkan nampak lamban, akan tetapi setiap gerakan mengandung tenaga sakti yang dahsyat, menyambar-nyambar bahkan terasa oleh mereka yang berada dalam jarak tiga meter dari mereka.

Sementara itu, Kwi Hong dan ibunya Liang Siok Cu, dibantu oleh Han Li, sudah mengamuk menghadapi dua belas orang anak buah Pat-kwa-pai yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi. Para perajurit penjaga merasa lega dengan munculnya tiga orang wanita ini dan mereka segera membantu dengan pengeroyokan.

Liang Siok Cu menggunakan senjata sebuah tongkat kecil. Ia adalah seorang ahli tiam-hiat-to (menotok jalan darah) dan tongkatnya merupakan senjata andalannya karena tongkat itu menyambar-nyambar mengarah jalan darah para lawannya. Tak lama kemudian, dua orang anak buah Pat-kwa-pai sudah roboh tak berkutik terkena totokan tongkat nyonya selir Pangeran Mahkota itu. “Heh-heh-heh, tidak perlu engkau berpura-pura bersikap sebagai seorang patriot yang mencinta tanah air dan bangsa. Aku, Kai-ong, sudah lama mengenal isi perutmu!”

“Keparat, mampuslah engkau!” Swathai Lo-kwi menyerang dengan tangan kirinya, memukul dengan telapak tangan terbuka ke arah dada Kai-ong. Pukulan ini bukan sembarang serangan, melainkan serangan maut karena tangan itu terisi tenaga sakti yang amat dingin.

“Haiiiiit....,!” Swat-hai Lo-kwi mengeluarkan tenaga saktinya sambil memekik dahsyat.

“Hemmm....!” Kai-ong juga mengerahkan tangan kirinya, menyambut pukulan tangan terbuka dengan tangannya sendiri. “Desssss....!” Kedua tangan bertemu dengan dahsyatnya. Akibatnya, Swat-hai Lo-kwi terdorong mundur sampai tiga langkah sedangkan Kai-ong yang bergoyang-goyang saja tubuhnya akan tetapi dapat bertahan sehingga tidak sampai terdorong mundur.

“Haiiiiit!” Kembali Swat-hai Lo-kwi memekik dan kini pedangnya menyambar. Kai-ong juga menggerakkan tongkat bambunya dan kedua orang tua ini sudah saling serang dengan hebatnya. Gerakan mereka tidak cepat, bahkan nampak lamban, akan tetapi setiap gerakan mengandung tenaga sakti yang dahsyat, menyambar-nyambar bahkan terasa oleh mereka yang berada dalam jarak tiga meter dari mereka.

Sementara itu, Kwi Hong dan ibunya Liang Siok Cu, dibantu oleh Han Li, sudah mengamuk menghadapi dua belas orang anak buah Pat-kwa-pai yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi. Para perajurit penjaga merasa lega dengan munculnya tiga orang wanita ini dan mereka segera membantu dengan pengeroyokan.

Liang Siok Cu menggunakan senjata sebuah tongkat kecil. Ia adalah seorang ahli tiam-hiat-to (menotok jalan darah) dan tongkatnya merupakan senjata andalannya karena tongkat itu menyambar-nyambar mengarah jalan darah para lawannya. Tak lama kemudian, dua orang anak buah Pat-kwa-pai sudah roboh tak berkutik terkena totokan tongkat nyonya selir Pangeran Mahkota itu. “Heh-heh-heh, tidak perlu engkau berpura-pura bersikap sebagai seorang patriot yang mencinta tanah air dan bangsa. Aku, Kai-ong, sudah lama mengenal isi perutmu!”

“Keparat, mampuslah engkau!” Swathai Lo-kwi menyerang dengan tangan kirinya, memukul dengan telapak tangan terbuka ke arah dada Kai-ong. Pukulan ini bukan sembarang serangan, melainkan serangan maut karena tangan itu terisi tenaga sakti yang amat dingin.

“Haiiiiit....,!” Swat-hai Lo-kwi mengeluarkan tenaga saktinya sambil memekik dahsyat.

“Hemmm....!” Kai-ong juga mengerahkan tangan kirinya, menyambut pukulan tangan terbuka dengan tangannya sendiri.

“Desssss....!” Kedua tangan bertemu dengan dahsyatnya. Akibatnya, Swat-hai Lo-kwi terdorong mundur sampai tiga langkah sedangkan Kai-ong yang bergoyang-goyang saja tubuhnya akan tetapi dapat bertahan sehingga tidak sampai terdorong mundur.

“Haiiiiit!” Kembali Swat-hai Lo-kwi memekik dan kini pedangnya menyambar. Kai-ong juga menggerakkan tongkat bambunya dan kedua orang tua ini sudah saling serang dengan hebatnya. Gerakan mereka tidak cepat, bahkan nampak lamban, akan tetapi setiap gerakan mengandung tenaga sakti yang dahsyat, menyambar-nyambar bahkan terasa oleh mereka yang berada dalam jarak tiga meter dari mereka.

Sementara itu, Kwi Hong dan ibunya Liang Siok Cu, dibantu oleh Han Li, sudah mengamuk menghadapi dua belas orang anak buah Pat-kwa-pai yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi. Para perajurit penjaga merasa lega dengan munculnya tiga orang wanita ini dan mereka segera membantu dengan pengeroyokan.

Liang Siok Cu menggunakan senjata sebuah tongkat kecil. Ia adalah seorang ahli tiam-hiat-to (menotok jalan darah) dan tongkatnya merupakan senjata andalannya karena tongkat itu menyambar-nyambar mengarah jalan darah para lawannya. Tak lama kemudian, dua orang anak buah Pat-kwa-pai sudah roboh tak berkutik terkena totokan tongkat nyonya selir Pangeran Mahkota itu.

Kwi Hong mengamuk lebih hebat lagi. Dengan pedangnya ia mainkan Ngo-heng Sin-kiam dan lawan-lawannya menjadi repot melindungi dirinya dari sambaran pedang yang ampuh itu. Tak lama kemudian tiga orang lawan telah dapat dirobohkan oleh pedang di tangan Kwi Hong.

Han Li memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi dibandingkan Kwi Hong atau ibunya. Ia telah mewarisi banyak ilmu silat dari ayah dan ibunya. Akan tetapi menghadapi para penyerbu ini, ia menyerang mereka dengan setengah hati. Bahkan ia tidak mencabut pedangnya, melainkan hanya membagi-bagi tamparan dan tendangan saja. Namun, biarpun ia tidak bermaksud membunuh orang-orang yang menentang penjajah, tamparan, dan tendangan sudah cukup membuat empat orang terpelanting roboh. Para perajurit mengeroyok tiga orang sisa para penyerbu dan mereka pun roboh menjadi korban senjata para perajurit. Sekarang tinggal Swat-hai Lo-kwi seorang yang masih bertanding melawan Kai-ong. Ketika Kwi Hong hendak membantu kakek itu, lengannya dipegang Han Li.

”Jangan, Suhu tidak memerlukan bantuan. Dia tidak akan kalah.

Mendengar ucapan Han Li itu, Kwi Hong menghentikan gerakannya. Gadis yang suka bertualang di dunia kang-ouw ini mengerti bahwa banyak tokoh besar persilatan tidak suka dibantu apabila sedang bertanding satu lawan satu, tidak mau bersikap curang melakukan pengeroyokan. Maka, membantunya dapat juga diartikan penghinaan. Ia pun berdiri menonton pertandingan yang hebat itu.

Akan tetapi sekarang ternyata betapa perlahan-lahan Swat-hai Lo-kwi terdesak hebat oleh tongkat Kai-ong. Mereka bergerak cepat sekali. Yang nampak hanya dua gulungan sinar pedang dan sinar tongkat. Tiba-tiba terdengar suara nyaring “tranggg....!” dan sesosok tubuh mencelat keluar dari medan pertandingan. Yang meloncat itu adalah Swat-hai Lokwi dan dari bibir sebelah kiri mengalir darah dan tangannya menekan dadanya. Jelas bahwa dia telah terkena tongkat itu pada dadanya sehingga menderita luka dalam.

“Sekarang aku mengaku kalah, Kai-ong. Akan tetapi akan datang saatnya aku membalas kekalahan ini!” Dan dia pun sudah melompat jauh, melarikan diri dalam kegelapan malam.

Setelah semua musuh tidak dapat melakukan gerakan lagi, dua belas orang itu ada yang tewas dan ada yang hanya terluka, Pangeran Tao Kuang lalu diberi tahu. Pangeran itu keluar dari tempat persembunyiannya. Dia memerintahkan pengawal untuk menyeret seorang di antara mereka yang terluka dan dibawa ke depan Pangeran Tao Kuang.

“Kamu datang dari perkumpulan mana?”

“Dari Thian-li-pang!” jawab orang itu dengan lantang.

“Bohong!” bentak Yo Han Li sambil menghampiri orang itu. “Kalau engkau dari Thian-li-pang, coba katakan siapa aku ini!”

Orang itu memandang kepada Han Li dan tidak menjawab.

“Hayo katakan, siapa aku!” kembali Han Li membentak dan kini gadis yang marah itu telah mencabut pedangnya dan menodongkan ke dada orang itu.

Orang itu menjadi pucat wajahnya, lalu menggeleng kepalanya dan menjawab, “Tidak....tidak tahu....”

“Nah, Paman Pangeran, jelas bahwa dia berbohong ketika mengaku sebagai anggauta Thian-li-pang.” Setelah berkata demikian, pedangnya membuat gerakan.

“Bret-bret-bret....!” Baju bagian dada orang itu terbuka sehingga di bawah sinar lampu dapat terlihat jelas di dada itu ada cacahan gambar pat-kwa (segi delapan).

“Dia dari Pat-kwa-pai!” seru Kwi Hong yang mengenal tanda gambar itu.

Han Li mengangguk. “Benar. Aku mendengar bahwa di Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai terdapat pasukan berani mati. Sampai mati pun mereka tidak mau mengaku bahwa mereka murid Pat-kwa-pai, maka sengaja tadi dia menyebut Thian-li-pang untuk mengalihkan kesalahan kepada Thian-li-pang.”

Pangeran Tao Kuang mengangguk-angguk dan memerintahkan para pengawal untuk menyingkirkan mayat-mayat itu dan untuk menawan mereka yang masih hidup.

Pada saat itulah muncul Keng Han dan Cu In. Melihat pangeran berada di taman bersama Kwi Hong, ibunya dan Han Li. bersama gurunya, juga melihat banyak orang menggeletak berserakan di tempat itu mereka dapat menduga bahwa penyerangan terhadap diri Pangeran Mahkota juga telah dapat digagalkan.

“Mereka mengaku dari perkumpulan apa?” tanya Keng Han.

“Ada yang mengaku dari Thian-li-pang, akan tetapi nona Yo Han Li telah membuktikan bahwa mereka adalah anak buah Pat-kwa-pai. Lihat tanda di dadanya itu.”

Keng Han dan Cu In melihat tanda gambar pada dada orang itu dan Cu In mengangguk-angguk. “Sudah kami duga! Akan tetapi kami tidak menduga bahwa ada tanda gambar perkumpulan mereka di dada. Orang-orang yang menyerbu ke istana juga mengaku dari Thian-li-pang.”

”Ah, kita harus dapat membuktikan bahwa mereka bukan dari Thian-li-pang.” kata Han Li. “Aku harus menjadi saksi di sana.“

”Untuk itulah kami datang ke sini. Selain untuk melihat keadaan di sini juga untuk menjemput engkau adik Han Li. Hanya engkau yang dapat memastikan bahwa mereka bukan dari Thian-li-pang. Baik, mari kita berangkat.” kata Han Li tegas. Gadis ini tentu saja ingin membersihkan nama perkumpulannya dari fitnah yang dilontarkan para calon pembunuh kaisar dan pangeran itu.

Setelah mereka tiba di istana, seorang penyerbu yang terluka yang tadi mengaku dari Thian-li-pang, dibawa menghadap Han Li yang telah diterima menghadap Kaisar sendiri. Orang itu didorong dan dipaksa berlutut di depan Kaisar. Han Li lalu menghampiri orang itu dan bertanya, “Engkau dari perkumpulan apa? “

Orang itu menjawab tanpa ragu-ragu lagi, “Dari Thian-li-pang!” Han Li lalu bertanya sambil mencabut pedangnya, ditodongkan ke arah dada orang itu. Kalau engkau dari Thian-lipang, katakan siapakah aku?

Orang itu berdongak memandang wajah Han Li. Akan tetapi dia tidak mengenalnya dan menggeleng kepala sambil berkata, “Saya tidak tahu.”

Han Li memberi hormat kepada Kaisar. Nah, Yang Mulia. Orang ini jelas berbohong. Kalau dia orang Thian-li-pang pasti dia mengenal siapa hamba. Hamba adalah puteri ketua Thian-li-pang.

Setelah berkata demikian, pedangnya bergerak beberapa kali dan baju di bagian dada tawanan itu pun robek-robek. Semua orang memandang dan melihat cacahan gambar berbentuk bunga teratai di dada itu.

Dia seorang anggauta Pek-lian-kauw, Yang Mulia. kata Han Li.

Benar, dia anggauta Pek-lian-kauw! kata Cu In. Sekarang bagi mereka jelaslah bahwa selosin anak buah yang menyerbu istana adalah anak buah Pek-lian-pai sedangkan selosin yang menyerbu istana pangeran adalah anggauta Pat-kwa-pai! Maka terhapuslah dugaan bahwa Thian-li-pang yang mengirim orang-orangnya untuk membunuh kaisar dan pangeran mahkota.

Akan tetapi sudah terlanjur tersiar berita yang datangnya dari para pengawal yang menjadi saksi ketika tawanan-tawanan itu mengaku bahwa mereka orang Thian-li-pang sehingga umum berpendapat bahwa Thian-li-pang sudah mulai dengan pemberontakannya dan mengutus orang-orangnya untuk membunuh kaisar dan pangeran mahkota.

Setelah membuka rahasia para penyerbu itu di depan Kaisar sendiri, Keng Han dan Cu In berpamit kepada kaisar. Kaisar hendak memberi hadiah kepada mereka dan memberi anugerah pangkat, namun keduanya dengan hormat dan halus menolaknya. Mereka keluar dari istana dan waktunya sudah jauh lewat tengah malam.

Mendadak mereka melihat panah api diluncurkan orang di udara. “Apa itu?” tanya Cu In. “Panah api!” Tentu menjadi suatu tanda yang dilakukan orang di dalam kota raja untuk mereka yang berada di luar kota raja. Aku khawatir penyerbuan akan dimulai.”

“Kenapa khawatir? Bukankah menurut Pangeran Mahkota, semua itu telah di aturnya dengan baik? Kita melihat saja. Kalau memang mereka menyerbu dan kota raja terancam, kita berdua membantu.”

“Kau benar, Cu In. Biarpun yang menggerakkan semua ini ayah kandungku sendiri, akan tetapi terpaksa aku harus menentangnya. Dia memberontak untuk dapat merampas tahta kerajaan dengan cita-cita menjadi kaisar! Andaikata yang memberontak itu para pejuang bangsa Han, , biarpun aku keturunan Mancu dan Khitan, aku tidak akan membantu siapa-siapa.”

Cu In mengangguk. “Aku setuju sekali dengan pendapatmu itu, Keng Han. pernberontak dilakukan oleh orang-orang yang berambisi mengangkat diri sendiri menjadi penguasa, dan mereka telah mengnggunakan tokoh-tokoh sesat dan kumpulan-perkumpulan jahat seperti Pek- lian-pai dan Pat-kwa- pai. Kalau Thian-li-Pai yang bergerak, tentu bukan menggunakan cara ini dan di belakangnya tentu mendapat dukungan rakyat jelata. Mari kita melihat lagi ke istana Pangeran Mahkota untuk mendapat petunjuk dari pangeran.”

Keduanya berlari cepat menuju ke istana Pangeran Tao Kuang. Ternyata mereka semua tidak beristirahat melainkan berkumpul di ruangan depan, juga menanti sesuatu yang pasti akan terjadi.

“Kami melihat panah api diluncurkan ke udara.” kata Keng Han setelah mereka berdua menghadap sang pangeran.

“Kami juga sudah mengetahui. Tentu itu merupakan tanda bagi pemberontak yang berada di dalam kota raja. Semua telah diatur oleh The Ciang-kun. Dia telah mengetahui semua siasat pemberontak dan sudah siap siaga menghadapi pemberontak, baik di dalam kota raja maupun yang berada di luar.”

Terkejut Cu In mendengar bahwa yang memimpin pertahanan adalah The-Ciang kun.”Apakah yang dimaksutkan itu adalah ciangkun yang bernama The Sun Tek?” tanyanya.

“Benar,” jawab Pangeran Tao Kuang. “Dia adalah seorang panglima besar yang pandai ilmu silat dan ilmu perang, dan juga setia. Apakah engkau mengenalnya, Nona?”

“Saya mengenalnya dengan baik, Pangeran.” kata Cu In.

“Bagus, kalau begitu kalian pergilah membantunya. Nona Yo Han Li dan Kai-ong biar tetap di sini untuk menjaga kemungkinan penyerbuan mata-mata musuh.”

“Baik,” kata Keng Han dan Cu In. Mereka lalu keluar dari, istana itu. “Cu In, benarkah engkau mengenal Panglima The itu?”

“Tentu saja mengenalnya. Dia itu ayah kandungku.” kata Cu In terus terang.

“Ehhh....?” Keng Han menghentikan langkahnya dan memandang Cu In. Wajah bercadar itu hanya nampak garis-garisnya saja dalam malam yang hanya diterangi bintang-bintang itu. “Bukankah engkau pernah bercerita kepadaku bahwa ayah ibumu sudah mati terbunuh musuh, dan engkau mencari musuh itu?”

“Memang benar, akan tetapi belum waktunya aku menceritakan kepadamu. Lihat, di sana sudah terjadi pertempuran!” Mereka lari ketempat itu dan ternyata yang bertempur itu adalah pasukan anak buah Panglima Ciu yang mempertahankan benteng mereka yang sudah dikepung pasukan anak buah Panglima The. Sementara- itu, tempat persembunyian pasukan Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai di luar kota raja juga sudah ditemukan para penyelidiki dan begitu ada tanda panah api, sebagian pasukan Panglima The yang sudah mengepung tempat itu bertindak menyerbu.

Tiba-tiba terdengar suara lantang. “Panglima Ciu! Di sini Panglima The dengan semua pasukannya yang kuat.

Lebih baik engkau menyerah karena semua persekutuanmu dengan pihak pemberontak telah kami ketahui. Heiii, para perajurit dalam benteng! Kalau kalian tidak menyerah, tentu kalian semua akan mati ditumpas pasukan kami!”

Mendengar seruan ini, banyak pasukan dari benteng berlari keluar tanpa membawa senjata dan merigacungkan kedua tangan ke atas. Mereka membiarkan diri mereka ditangkap dan ditawan. Panglima Ciu yang maklum bahwa terlibatnya dalam persekutuan pemberontak itu tentu tidak akan mendapat pengampunan, dengan nekat memimpin anak buahnya yang masih setia untuk melakukan perlawanan. Akan tetapi karena kalah banyak jumlahnya juga para anak. buahnya sudah kehilangan semangat, dengan mudah pasukannya dapat dihancurkan dan Panglima Ciu sendiri dengan pedang di tangan menyerang Panglima The. Cu In dan Keng Han melihat ini dan mereka tidak memberi bantuan karena melihat bahwa pasukan Panglima The jauh lebih kuat dari pada musuh. Juga ketika Panglimai Ciu bertanding melawan Panglima The, Cu In hanya menonton tidak membantu ayah kandungnya. Memang tidak perlu dibantu karena belum sampai lima puluh jurus, pedangnya sudah menyambar dan memenggal leher Panglima Ciu.

“Memang benar, akan tetapi belum waktunya aku menceritakan kepadamu. Lihat, di sana sudah terjadi pertempuran!” Mereka lari ke tempat itu dan ternyata yang bertempur itu adalah pasukan anak buah Panglima Ciu yang mempertahankan benteng mereka yang sudah dikepung pasukan anak buah Panglima The. Sementara- itu, tempat persembunyian pasukan Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai di luar kota raja juga sudah ditemukan para penyelidiki dan begitu ada tanda panah api, sebagian pasukan Panglima The yang sudah mengepung tempat itu bertindak menyerbu.

Tiba-tiba terdengar suara lantang. “Panglima Ciu! Di sini Panglima The dengan semua pasukannya yang kuat.

Lebih baik engkau menyerah karena semua persekutuanmu dengan pihak pemberontak telah kami ketahui. Heiii, para perajurit dalam benteng! Kalau kalian tidak menyerah, tentu kalian semua akan mati ditumpas pasukan kami!”Mendengar seruan ini, banyak pasukan dari benteng berlari keluar tanpa membawa senjata dan merigacungkan kedua tangan ke atas. Mereka membiarkan diri mereka ditangkap dan ditawan. Panglima Ciu yang maklum bahwa terlibatnya dalam persekutuan pemberontak itu tentu tidak akan mendapat pengampunan, dengan nekat memimpin anak buahnya yang masih setia untuk melakukan perlawanan. Akan tetapi karena kalah banyak jumlahnya juga para anak. buahnya sudah kehilangan semangat, dengan mudah pasukannya dapat dihancurkan dan Panglima Ciu sendiri dengan pedang di tangan menyerang Panglima The.

Cu In dan Keng Han melihat ini dan mereka tidak memberi bantuan karena melihat bahwa pasukan Panglima The jauh lebih kuat dari pada musuh. Juga ketika Panglimai Ciu bertanding melawan Panglima The, Cu In hanya menonton tidak membantu ayah kandungnya. Memang tidak perlu dibantu karena belum sampai lima puluh jurus, pedangnya sudah menyambar dan memenggal leher Panglima Ciu.

Seorang pembantunya mengangkat kepala Panglima Ciu tinggi-tinggi dengan sebatang tombak dan berseru. “Hentikan perlawanan kalian. Panglima kalian telah tewas!”

Mendengar dan melihat ini, para perajurit hilang nyalinya. Mereka membuang senjata dan menjatuhkan diri berlutut tanda menyerah.

Sementara itu, pertempuran yang terjadi di luar kota raja juga tidak berlangsung lama. Jumlah para pemberontak itu jauh lebih kecil dibandingkan pasukan pemerintah. Biarpun di antara mereka terdapat Gulam Sang yang dibantu Liong Siok Hwa dan beberapa orang tokoh Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, namun karena dikeroyok banyak sekali orang, akhirnya Gulam Sang mengajak Liong Siok Hwa untuk melarikan diri! Demikianlah watak seorang yang licik. Demi memperoleh kedudukan tinggi dia mau melakukan perbuatan apa pun, akan tetapi begitu melihat usahanya gagal, dia lebih dulu melarikan diri. Gulam Sang mengajak Siok Hwa melarikan diri ke Bu-tong-pai di mana dia menyamar sebagai Thian It Tosu, ketua Bu-tong-pai yang tua itu. Liong Siok Hwa yang datang bersama Gulam Sang itu, diterima oleh para tokoh Bu-tong-pai dengan hormat. Bahkan setelah Thian It Tosu muncul keluar dari tempat pertapaannya, dia mengumumkan kepada para anggauta bahwa mulai hari itu, Liong Siok Hwa diterima menjadi muridnya. Sebagai murid Thian It Tosu, tentu saja Siok Hwa boleh tinggal di perkampungan Bu-tong-pai sesuka hatinya.

Beberapa hari kemudian Bu-tong-pai kedatangan banyak tamu, antara lain Ji Wan-gwe, Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lomo, Lam-hai Koai-jin dan banyak orang lagi. Mereka semua adalah pelarian, setelah kalah dan gagal dalam usaha mereka menyerbu istana dan membunuh kaisar dan putera mahkota. Thiat It Tosu menerima. mereka dengan senang hati dan mereka menjadi tamu-tamu kehormatan Bu-tong-pai. Mereka semua pergi ke Bu-tong-pai setelah kalah dan mereka berkumpul di situ pertama kali untuk menyembunyikan diri, kedua untuk dapat mengadakan pertemuan dan berunding.

Dalam perundingan mereka, Ji Wangwe atau Pangeran Tao Seng menyesalkan para pembantunya yang ternyata sama sekali gagal dalam tugas mereka.

“Akan tetapi semua kegagalan itu bukan kesalahan kami, melainkan karena rahasia kita telah bocor dan pihak musuh mengetahui akan semua rencana kita. Aku yakin bahwa yang mengkhianati kita adalah Tao Keng Han!”

Tung-hai Lo-mo mengangguk dan berkata, “Memang benar. Kalau tidak ada pemuda itu tentu kami telah berhasil membunuh Kaisar! Pemuda itu telah mengkhianati Pangeran, ayahnya sendiri.”

Pangeran Tao Seng mengepal tinjunya. “Kalau tahu akan begini jadinya ketika dia tertawan dulu, sudah kubunuh dia!”

“Tidak ada gunanya Ayah marah-marah. Kita masih mempunyai rencana kedua. Kalau rencana ini berhasil, keadaan kita menjadi semakin kuat sehingga kita akan mampu mengobarkan pemberontakan.”

“Hemmm, rencana apakah itu, Kongcu?” tanya Swat-hai Lo-kwi dan para tokoh lain yang juga ingin mengetahuinya.

“Begini,” kata Pangeran Tao Seng. “Bu-tong-pai telah sepenuhnya kita kuasai. Dengan membonceng nama Bu-tong-pai kita dapat mengumumkan bahwa Bu-tongpai mengadakan pemilihan bengcu (pemimpin rakyat) baru. Tentu saja harus diusahakan agar supaya GuLam Sang yang. akan menang dan menjadi bengcu baru. Nah, kalau kedudukan bengcu sudah di tangan kita, kiranya akan mudah bagi kita untuk menggerakkan semua orang di dunia kang-ouw untuk mulai dengan gerakan pemberontakan yang besar.”

“Pikiran yang bagus! Akan tetapi bagaimana dengan bengcu yang sekarang?” tanya Tung-hai Lo-mo.

“Dalam pemilihan bengcu sepuluh tahun yang lalu, sebagian besar orang memilih Pendekar Tangan Sakti Yo Han yang kini menjadi ketua Thian-li-pang. Akan tetapi dia tidak bersedia menjadi ketua. Maka pilihan lalu dijatuhkan kepada Bhe Seng Kok, seorang pendekar Siauw-lim-pai. Nah, kalau kita hendak merampas kedudukan bengcu, lebih dulu kita harus singkirkan Bhe Seng Kok ini. Kalau bengcu yang lama sudah tewas, tentu harus diadakan pemilihan bengcu baru. Dan Bu-tong-pai yang akan mempelopori pemilihan itu.” kata Gulam Sang.

Semua orang memandang pemuda Tibet ini dengan kagum. Dia agaknya tahu akan segala peristiwa di dunia persilatan. “Akan tetapi siapa yang akan menyingkirkan ketua Bhe Seng Kok? Aku pun mendengar bahwa murid Siauw-lim-pai itu tangguh sekali!”

“Aku yang akan melakukannya, dengan bantuan Tung-hai Lo-mo. Kalau kita berdua yang menghadapinya, aku tanggung dia akan tewas!” kata pula Gulam Sang.

Pangeran Tao Seng mengerutkan alisnya. “Murid Siauw-lim-pai? Ah, kalau sampai Siauw-lim-pai mengetahuinya dan memusuhi kita, akan celakalah. Kekuatan mereka besar sekali dan nama mereka sudah terkenal sehingga lain-lain aliran tentu akan berpihak kepada Siauw-lim-pai.”

“Harap Paduka tidak khawatir. Pembunuhan itu harus dilakukan dengan menggelap dan menyamar sehingga kalau pun ada yang melihatnya mereka tentu tidak akan mengenal kami. Kami membunuh dengan alasan sebagai balas dendam musuh lama. Sebagai seorang pendekar, kalau sampai Bhe Seng Kok terbunuh oleh orang-orang yang mendendam, tentu tidak mengherankan semua orang dan hal itu wajar saja terjadi.” demikian kata Gulam Sang.

Mendengar ini, Pangeran Tao Seng menjadi lega hatinya dan dia menyerahkan saja urusan itu kepada anak angkat yang sudah dipercaya sepenuhnya itu. Dia tidak tahu bahwa kalau Gulam Sang masih setia kepadanya padahal perebutan tahta tidak berhasil, hal ini adalah karena Gulam Sang masih, membutuhkan harta kekayaan untuk membiayai rencananya. Setelah selesai perundingan itu, Swat-hai Lo-kwi dan Lam-hai Koai-jin berpamit untuk pulang ke tempat masing-masing dengan janji bahwa kelak pada pemilihan bengcu mereka pasti akan hadir dan siap membantu Gulam Sang. Tung-hai Lo-mo tinggal di situ untuk membantu Gulam Sang.

Keng Han meninggalkan istana dan kota raja bersama Cu In. Biarpun tidak berjanji keduanya ternyata melakukan perjalanan bersama dan setelah mereka berada jauh dari kota raja, Keng Han menunda langkahnya dan berhenti. Melihat ini Cu In juga berhenti melangkah. Keduanya saling pandang dan Keng Han bertanya, suaranya mengandung kekhawatiran kalau-kalau gadis itu akan meninggalkan dia lagi.

“Cu In, ke manakah tujuan perjalananmu kali ini?”Cu In tidak menjawab, menengok ke depan dan kanan kiri seperti orang mencari jawabannya dari pohon-pohon dan sawah ladang yang berada di kanan kirinya.

“Dan engkau sendiri, Keng Han. Engkau hendak kemanakah?” akhirnya ia bertanya kembali tanpa menjawab pertanyaan pemuda itu.

Keng Han menghela napas panjang. “Tujuan perjalananku meninggalkan Khitan adalah untuk mencari ayah kandungku dan mengajaknya pulang karena ibu sangat merindukannya. Akan tetapi kenyataannya, ayahku seorang ambisius yang memberontak dan melakukan perbuatan jahat dengan usaha pembunuhan, pembunuhan itu. Bahkan sekarang ayah telah menjadi seorang pelarian dan buruan pemerintah, dan aku tidak tahu dia berada di mana. Aku tidak tahu ke mana harus pergi, dan aku akan mengikuti saja ke mana engkau pergi, Cu In.”

Gadis itu menghela napas panjang, lalu duduk di atas sebuah batu di tepi jalan. Keng Han juga mengambil tempat duduk di depannya.

“Aku sendiri belum tahu ke mana aku harus pergi?” kata Cu In.

“Cu In, bukankah engkau mempunyai ayah dan ibu? Engkau berjanji akan menceritakan kepadaku tentang pengalamanmu. Dahulu engkau mengatakan bahwa engkau yatim piatu dan engkau hendak membalas dendam kepada pembunuh orang tuamu. Akan tetapi kemudian engkau mengatakan bahwa engkau telah bertemu dengan ayah bundamu. Bagaimanakah ini?”

Cu In menghela napas panjang lagi. Kalau bukan kepada Keng Han, ia segan menceritakan persoalan ayah ibunya. Akan tetapi ia amat tertarik dan percaya kepada Keng Han, maka ia merasa tidak tega untuk berbohong.

“Sejak kecil sekali aku dipelihara subo (ibu guru) dan subo selalu mengatakan bahwa ayah ibuku telah terbunuh orang. Setelah aku dewasa, subo mengatakan kepadaku bahwa pembunuh ayah bundaku adalah The Sun Tek yang tinggal di kota raja.”

“Ahhh....!” Keng Han berseru heran. “Kau maksudkan The-ciangkun yang memimpin pembasmian pemberontak itu?”

“Benar, dialah orangnya. Aku dapat mencarinya di kota raja dan aku sudah siap untuk membunuhnya, akan tetapi The-ciangkun menceritakan tentang hubungannya dengan Ang Hwa Nio-nio. Ternyata bahwa suboku adalah bekas kekasih The Sun Tek, dan bahwa aku adalah puteri mereka berdua! Muncul guruku atau ibuku yang memaksa aku harus membunuh The Sun Tek. Karena aku sudah tahu bahwa aku anak The-ciangkun, maka aku tidak mau melakukannya. Subo marah dan hendak membunuhku, akan tetapi dicegah ayahku. Hatiku demikian sakit rasanya. Kiranya ibuku mendendam sedemikian hebatnya kepada ayahku sehingga ia mendidik aku sebagai muridnya hanya dengan maksud agar setelah dewasa aku akan membunuh ayahku sendiri! Pembalasan dendam yang amat keji. Karena hatiku sakit, aku lalu meninggalkan mereka.”

Keng Han mendengarkan penuh perhatian, menghela napas dan berulang kali menggeleng kepalanya. “Dan bagaimana engkau dapat terlibat dalam keluarga Putera Mahkota?”

“Aku bertemu dengan adik Yo Han Li yang sekereta dengan Kwi Hong. Ia memanggilku dan mereka membujuk aku agar suka berkunjung ke rumah Kwi Hong. Demikianlah, maka aku berada di sana ketika engkau hendak membunuh Pangeran Mahkota.”

Kembali Keng Han menghela napas. “Nasib kita hampir sama, Cu In. Engkau disuruh membunuh ayahmu oleh ibumu sendiri, dan aku hampir saja membunuh pangeran yang tidak bersalah. Engkau mendapat kenyataan betapa kejam ibumu, dan aku pun mendapat kenyataan betapa kejam ayahku. Hemmm, sekarang aku mulai mengerti mengapa Bi-kiam Nio-cu begitu membenci pria dan kalau ada pria mencintanya harus dibunuhnya. Tentu engkau pun demikian, bukan?”

“Memang suboku atau ibuku selalu mendidik kami agar membenci kaum pria. Dikatakannya bahwa laki-laki itu semua palsu dan bohong, tukang bujuk rayu yang berbahaya, maka kami diharuskan menjauhkan diri dari laki-laki dan kalau ada laki-laki yang menggoda, harus dibunuh! Akan tetapi semenjak aku.... bertemu denganmu, pandanganku sudah berubah. Seperti juga wanita, laki-laki itu ada yang jahat dan ada yang baik. Apalagi setelah aku mengetahui mengapa ibu demikian membenci pria, aku tahu bahwa sebabnya hanya karena ia sakit hati dan dendam kepada seorang pria.”

“Akan tetapi, bagaimana ibumu dahulu sampai berpisah dari The-ciangkun?”

“Ayahku dilarang orang tuanya mengambil ibuku seorang wanita kang-ouw sebagai isteri, dan dia sudah ditunangkan dengan wanita lain, seorang gadis bangsawan. Ayah membujuk ibu agar suka menjadi selir, akan tetapi ibu tidak mau dan mereka berpisah ketika ibuku sudah mengandung aku tiga bulan.”

Keng Han merasa terharu dan ikut bersedih akan nasib gadis ini.

“Ah, sekarang aku mengerti pula mengapa engkau menutupi mukamu dengan cadar. Tentu agar tidak terlihat pria sehingga kalau ada yang melihat dan menggodamu engkau akan terpaksa membunuhnya?”

Cu In mengangguk membenarkan. Pada saat itu terdengar seruan orang, “Cu In....! Engkau di sini? Aku mencarimu ke mana-mana, kiranya engkau berada di sini. Sungguh aku girang sekali dapat menemukan anakku di sini!”

Keng Han dan Cu In menoleh dan ternyata yang mengeluarkan ucapan itu bukan lain adalah Panglima The Sun Tek! Cu In bangkit berdiri dan Keng Han juga bangkit berdiri.

“Engkau tentu pemuda bernama Tao Keng Han, aku sudah mendengar banyak tentang dirimu dan aku kagum sekali, orang muda.”

Keng Han memberi hormat pula. “Sebaliknya saya pun mendengar bahwa berkat pimpinan Paman maka pemberontak dapat diruntuhkan.”

“Dan ada urusan apakah engkau mencariku, Ciangkun?” tanya Cu In, suaranya dingin.

“Ah, Cu In. Engkau adalah puteriku. Aku ayah kandungmu! Tentu saja aku mencarimu.”

“Ibuku sendiri tidak mengakui aku sebagai anaknya, maka ayahku juga sebaiknya demikian. Biarlah aku menganggap diriku ini tidak mempunyai ayah dan ibu lagi....” Dalam suaranya terkandung isak tangis.

“Cu In, harap engkau tidak berpendirian seperti itu. Ayahmu adalah seorang yang terhormat, gagah dan terpandang. Dan dia sudah bersusah payah mencarimu. Aku sendiri, kalau ayahku bersikap sebaik ayahmu, tentu akan menyambutnya dengan bahagia sekali,” kata Keng Han membujuk.

“Akan tetapi apa artinya seorang ayah bagiku, tanpa seorang ibu? Ibuku memusuhi ayah, apakah aku harus mengkhianati ibuku?” Pertanyaan Cu In ini ditujukan kepada ayahnya.

“Cu In, ketahuilah bahwa ibumu bersedia menghabiskan sisa hidupnya bersamaku, akan tetapi dengan satu syarat bahwa aku harus dapat mengajakmu pulang menemuinya. Karena itu, demi kebahagiaan kita, marilah kita pergi mengunjungi ibumu di Beng-san.”

“Ah, itu bagus sekali! Aku ikut merasa girang, Cu In. Aku mau menemanimu ke sana.

“Sebaiknya kita semua ke sana,” kata The Sun Tek. “Kai-ong dan muridnya juga sudah berangkat. Ketahuilah bahwa Bu-tong-pai mengundang semua orang kang-ouw untuk datang ke sana untuk mengadakan pemilihan bengcu baru.”

“Bengcu baru?” tanya Keng Han heran. “Lalu ke mana perginya bengcu yang lama?””Entahlah, itu pun menjadi pertanyaan dalam hatiku. Beng-san tidak jauh dari Bu-tong-san. Setelah aku dapat memboyong isteriku, kita semua dapat singgah di Bu-tong-san untuk menghadiri pertemuan besar itu dan di sana tentu akan dapat terjawab mengapa diadakan pemilihan bengcu baru dan ke mana perginya bengcu yang lama. Bukankah yang menjadi bengcu adalah Bhe Seng Kok, tokoh Siauw-lim-pai?”

“Benar, Paman. Saya pun mendengar bahwa bengcu yang sekarang bernama Bhe Seng Kok.”

“Kalau begitu, mari kita berangkat, Cu In. Kita kunjungi ibumu dan aku akan memboyongnya ke kota raja. Dari sana kita sekalian pergi ke Bu-tong-pai untuk melihat pemilihan bengcu baru.”

Akhirnya setelah dibujuk oleh Keng Han, Cu In mau juga pergi bersama ayahnya dan Keng Han. Mereka bertiga melakukan perjalanan ke Beng-san dan Cu In menjadi penunjuk jalan.

Dan selama dalam perjalanan ini, The Sun Tek mengerti dari sikap dan kata-kata Keng Han dan Cu In bahwa kedua orang muda ini saling menaruh hati! Akan tetapi dia diam-diam merasa girang karena diketahuinya bahwa Keng Han seorang pemuda yang baik sekali, walaupun dia itu putera Pangeran Tao Seng yang memberontak.

Bhe Seng Kok adalah seorang pria berusia empat puluh lima tahun dan tinggal di kota Cian-an. Sepuluh tahun yang lalu, ketika diadakan pemilihan bengcu, dia juga hadir. Tadinya semua orang memilih dan menunjuk Pendekar Sakti Yo Han untuk menjadi ketua baru, akan tetapi Yo Han yang sudah menjadi ketua Thian-li-pang menolak. Kemudian atas usul Yo Han yang mengenal baik Bhe Seng Kok, pendekar Siauw-lim-pai inilah yang dipilih menjadi bengcu. Bhe Seng Kok menerimanya dan sejak itu dialah yang menjadi bengcu. Tugas seorang bengcu adalah mengepalai seluruh dunia kang-ouw dan kalau terjadi bentrokan antara orang kang-ouw, bengcu inilah yang akan menyelesaikannya. Akan tetapi ketika terjadi perang antara pemberontak dan pemerintah, dia sama sekali tidak mau mencampurinya. Biarpun banyak anggauta kang-ouw yang terlibat, akan tetapi Bhe Seng Kok menganggap itu urusan pemerintah dan dia tidak mau melibatkan diri, hanya mendengar laporan dari orang-orang kang-ouw saja.

Bhe Seng Kok, hidup menyendiri, tidak mempunyai keluarga dan tidak pernah menikah. Bahkan ada keinginan dalam hatinya untuk kembali ke biara Siauw-lim-pai dan menjadi hwesio di sana.

Pada suatu hari Bhe Seng Kok sedang duduk sendiri di dalam rumahnya yang tidak besar. Tiba-tiba terdengar langkah kaki orang di depan rumahnya dan dia cepat keluar untuk menyambut tamu yang datang. Ternyata yang datang adalah dua orang, seorang pemuda yang gagah dan seorang kakek tinggi kurus yang memegang sebatang dayung baja. Bhe Seng Kok yang menjadi bengcu tentu saja mengenal hampir semua orang kang-ouw, apalagi tokoh-tokoh yang tua. Maka begitu melihat kakek yang memegang dayung baja, dia teringat dan segera menyambut dengan ramah.

“Ah, kiranya Tung-hai Lo-mo yang datang berkunjung. Selamat datang dan marilah kita duduk di dalam agar dapat bicara dengan leluasa.”

“Terima kasih, Bengcu.” kata Tunghai Lo-mo dan dia masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Gu Lam Sang, pemuda gagah itu.

“Silakan Ji-wi (Kalian berdua) duduk!”Bhe Seng Kok mempersilakan dua orang tamunya.

“Terima kasih, Bengcu.” kata Tunghai Lo-mo sambil tersenyum. “Perkenalkan pemuda ini bernama GuLam Sang, seorang pemuda yang memiliki ilmu silat tinggi bukan main.”

Bhe Seng Kok mengangguk dan memandang kepada GuLam Sang sambil berkata, “Maafkan kalau aku belum mengenal Sicu, karena Sicu masih muda dan baru muncul di dunia. kang-ouw. Tunghai Lo-mo, keperluan apakah yang membawamu datang ke tempat ini?”

“Yang mempunyai keperluan justeru GuLam Sang kongcu ini. Aku hanya mengantarkannya saja.””Ah, begitukah? Sicu, ada keperluan apakah maka Sicu datang menemuiku?”

GuLam Sang tersenyum mengejek. “Aku mendengar bahwa engkau adalah bengcu yang mengepalai seluruh dunia kang-ouw. Benarkah?”

Benar, dan aku menjadi bengcu karena dipilih dan didorong oleh para saudara di dunia kang-ouw.”

“Seorang bengcu tentu mempunyai ilmu silat yang tak terkalahkan. Karena tertarik dan ingin sekali membuktikan sendiri bagaimana hebatnya ilmu silat bengcu, maka aku sengaja datang untuk menantangmu mengadu ilmu silat!” kata Gu Lam Sang terus terang. Bhe Seng Kok tersenyum lebar dan berkata, “Orang muda, menjadi bengcu bukan diukur dari ilmu silatnya saja, melainkan harus pula memiliki kebijaksanaan dan rasa keadilan. Bengcu bukan jagoan yang membanggakan ilmu silatnya, maka tidak perlu kita harus mengadakan pibu (mengadu ilmu silat).”

“Maaf, Bengcu. Kurasa pendapat itu tidak benar, kata Tung-hai Lo-mo. “Kongcu GuLam Sang ini datang dari jauh di Barat. Kalau permintaannya untuk pibu tidak dipenuhi, tentu dia akan menceritakan kepada semua orang bahwa Bengcu takut bertanding dengan dia.”

GuLam Sang tertawa. “Ha-ha-ha, kalau memang Bengcu takut bertanding melawanku, akuilah saja. Asalkan engkau suka berlutut memberi hormat tiga kali padaku, aku tidak akan memaksamu lagi.

Berkerut alis Bhe Seng Kok. “Tidak ada yang takut dan tidak ada yang perlu berlutut! Aku menolak diadakan pibu hanya karena menyayangkan Sicu yang masih muda. Kalau sampai Sicu terluka dalam pibu, aku akan ditertawakan orang sedunia. Seorang bengcu melayani tantangan seorang pemuda yang tidak ternama tanpa alasan. Tidak, aku tidak mau pibu denganmu!”

Gu Lam Sang bangkit dan mencabut pedangnya. Engkau telah menghinakui Pendeknya, mau atau tidak engkau harus melawanku untuk menentukan siapa di antara kita yang lebilh lihai!”Melihat kenekatan Gu Lam Sang, Bhe Seng Kok mengerutkan alisnya dan mengangguk-angguk. “Begitukah yang kaukehendaki? Kalau begitu terpaksa aku akan melayanimu!” Setelah berkata demikian, Bhe Seng Kok menyambar pedangnya yang tergantung di dinding. “Mari kita pergi ke kebun di belakang agar lebih leluasa bertanding!”

Mereka pergi ke kebun di belakang rumah itu. Di kebun ini biasanya Bhe Seng Kok bercocok tanam. “Nah, di sini tempatnya luas dan engkau boleh mulai, orang muda!”

“Bengcu, jagalah seranganku!” kata Gu Lam Sang dan dia sudah menyerang dengan ganasnya. Melihat serangan ini, diam-diam Bhe Seng Kok terkejut karena dia mengenal ilmu silat yang dahsyat. Maka dia pun menangkis dengan pedangnya lalu membalas serangan itu. Gu Lam Sang juga dapat menghindarkan diri dan mereka sudah bertanding dengan seru.

Melihat betapa semua serangan Gu Lam Sang bukan sekedar untuk menguji kepandaian, melainkan benar-benar menyerang dengan serangan maut yang berbahaya, Bhe Seng Kok terpaksa mengimbanginya dengan ilmu pedangnya yang kokoh kuat. Bengcu ini adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai maka tentu saja ilmu silatnya sudah mencapai tingkat tinggi. Akan tetapi sekali ini dia bertemu dengan Gu Lam Sang yang pernah mempelajari ilmu-ilmu dahsyat dari Dalai Lama, maka pertandingan itu berlangsung seimbang dan amat hebatnya. Sinar kedua pedang itu bergulung-gulung dan dua orang yang bertanding itu merasa betapa tangguh lawannya. Seratus jurus telah lewat tanpa ada yang terdesak dan ternyata tingkat mereka seimbang!

Tiba-tiba sebatang dayung baja yang kuat dan berat menyambar ke arah Bhe Seng Kok. Bengcu itu terkejut bukan main. Dia mengelak dengan cepat dan menahan pedangnya menudingkan telunjuknya kepada Tung-hai Lo-mo sambil berseru, “Lo-mo, kau....!”

Akan tetapi pada saat itu, pedang di tangan Gu Lam Sang telah menyerangnya dari belakang. Bhe Seng Kok sedang mencurahkan perhatiannya kepada Tung-hai Lo-mo, maka dia tidak tahu akan kecurangan itu dan tahu-tahu punggungnya telah ditembusi pedang. Bengcu itu roboh terlentang, matanya mendelik ke arah kedua orang itu dan berseru, “Kalian keji dan curang....!” Dan dia pun terkulai, menghembuskan napas terakhir.

“Bagus!” kata Tung-hai Lamo. “Perkelahian ini tidak nampak oleh orang lain. Mari cepat pergi (dari sini, jangan sampai terlihat orang lain!”

Keduanya lalu melarikan diri, menyusup-nyusup di antara pohon-pohon kemudian melompat keluar dari pagar tembok rumah itu. Tidak ada orang lain yang melihatnya dan baru beberapa hari kemudian mayat Bhe Seng Kok ditemukan tetangganya yang mencium bau mayat. Tidak ada orang mengetahuinya siapa yang membunuh bengcu itu. Melihat bengcu itu tewas dengan luka di punggung dan masih memegang sebatang pedang, semua orang tahu bahwa bengcu itu terbunuh dalam perkelahian akan tetapi tidak ada yang tahu siapa pembunuh itu.

Matinya beng-cu ini segera tersiar ke seluruh pelosok negeri. Dan dua hari setelah kematian beng-cu itu, Thian It Tosu dari Bu-tong-pai mengundang para tokoh kang-ouw dan partai-partai besar untuk datang ke Bu-tong-pai. Bu-tong-pai hendak menjadi pelopor untuk pemilihan beng-cu baru. Undangan ini pun tersiar cepat sehingga terdengar sampai ke kota raja. Maka The Sun Tek juga mendengar tentang undangan Bu-tong-pai itu walaupun dia belum mendengar akan kematian Bhe Seng Kok. Orang yang memiliki pamrih besar yang dia sendiri sebut sebagai cita-cita, memang mempunyai seribu satu macam akal untuk mencapai apa yang dituju. Dia tidak peduli lagi akan caranya, segala macam cara dianggap halal dan pantas dilakukan demi mencapai apa yang dicita-citakan. Seperti Gulam Sang dan kawan-kawannya itu. Baru saja dia gagal dalam usaha membunuh kaisar dan pangeran mahkota, juga penyerbuan ke kota raja gagal, mereka kini sudah menjalankan siasat lain dan untuk keberhasilan siasat itu, mereka tidak segan-segan membunuh orang yang sama sekali tidak bersalah. Siapapun yang dianggap menghalangi jalan mereka tentu akan dihancurkan.

Mereka bertiga melakukan perjalanan dengan cepat dan pada suatu hari tibalah mereka di kaki Beng-san. The Sun Tek berjalan di depan, kemudian di belakangnya Cu In berjalan di samping Keng Han.

Cu In yang menjadi penunjuk jalan. “Di depan itu terdapat jalan simpangan ke kiri. Jalan itulah yang harus diambil Ayah. Membelok ke kiri.” Kini Cu In sudah tidak asing lagi menyebut ayah kepada The Sun Tek dan hal ini benar-benar membahagiakan hati panglima itu dan juga menyenangkan hati Keng Han.

“Kita sudah berjalan lebih dari setengah hari, apakah tidak baik kalau kita beristirahat lebih dulu?” Keng Han mengusulkan. Dia sendiri sebetulnya masih dapat bertahan, akan tetapi dia melihat betapa dahi Cu- In sudah berkeringat dan dia merasa kasihan kepada gadis itu.

Mendengar ini, The Sun Tek tersenyum dan menghentikan langkahnya. “Engkau benar, Keng Han. Saking besarnya semangatku hendak. cepat-cepat bertemu isteriku, aku sampai lupa akan kelelahan, dahaga dan kelaparan. Mari kita beristirahat sejenak sambil makan bekal kita.”

Cu In diam saja akan tetapi juga tidak membantah, mereka memilih tempat yang teduh di bawah pohon besar dan duduk di atas batu yang terdapat di situ. Keng Han lalu membuka. buntalan dan mengeiuarkan beberapa potong roti kering dan dendeng kering. Juga seguci anggur dan tiga buah cawan. Tanpa banyak cakap lagi mereka duduk makan dan minum. Karena mereka sudah lelah dan lapar, maka makanan sederhana itu bagi mereka terasa nikmat sekali. Setelah selesai makan mereka lalu duduk beristirahat melepas lelah.

“Cu In, anakku. Engkau mengenakan cadar di mukamu karena tekanan ibumu agar mukamu tidak sampai terlihat pria yang dianggapnya semua jahat. Akan tetapi, kukira sekarang pendapat ibumu itu lain lagi, maka pantangan itu pun harus kau buang jauh-jauh. Tidak semua pria jahat. Contohnya Keng Han ini. Apakah engkau dapat mengatakan bahwa dia seorang laki-laki yang jahat?”

“Tidak, Ayah.” kata Cu In sambil menundukkan mukanya.

“Apakah engkau menganggap ayahmu ini laki-laki yang jahat pula?”

“Tidak juga, Ayah.”

“Nah, kalau begitu kenapa engkau selalu memakai cadar itu rnenyembunyikan mukamu dari kami?” Aku ayahmu, Cu In. Aku ingin sekali melihat mukamu. Maka kuminta, bukalah cadar itu, Cu In.”

Melihat gadis itu menjadi bingung, Keng Han lalu berkata dengan lembut. “Cu In, bukalah cadarmu dan biarkan ayahmu melihatmu. Seorang ayah yang baik tentu akan tetap menyayang anaknya, bagaimanapun juga wajah anaknya itu “

“Ayah, kau berjanji tidak akan membenciku atau malu mengakui aku sebagai anakmu setelah melihat wajahku?”

“Ah, bagaimana mungkin? Engkau anakku, tidak peduli bagaimanapun bentuk wajahmu. Bukalah cadar itu sebentar saja, untukku.”

Cu In lalu menghadapi ayahnya dan berkata, “Lihatlah Ayah, betapa buruk rupaku!” Ia menyingkap cadarnya dan The Sun Tek sampai melangkah mundur dua langkah saking kagetnya.

“Engkau.... jijik melihatku, Ayah?”

“Tidak, ah, tidak....!” Ayah itu menghampiri dan memeluk Cu In yang sudah menutupkan lagi cadarnya. Aku tetap sayang kepadamu, bahkan aku iba kepadamu. Kenapa mukamu sampai begini, anakku? Kenapa?”

“Ketika kecil aku diserang penyakit cacar yang berat sehingga setelah sembuh mukaku bercacat seperti ini.”

“Nah, apa kataku, Cu In. Orang yang mencinta dengan hati tulus tidak akan berubah hanya karena melihat muka yang dicintanya itu cacat. Bahkan rasa iba memperdalam rasa cinta itu. Jangan khawatir, kelak aku akan mengobati dan menghilangkan cacat di mukamu itu!”

Dari ucapan ini The Sun Tek dapat menduga bahwa pemuda itu pun sudah pernah melihat muka anaknya yang cacat. Sudah melihat bahwa muka gadis itu mengerikan akan tetapi tetap mencintanya,sungguh merupakan seorang pemuda yang sulit dicari keduanya di dunia ini.

“Ucapan Keng Han benar, anakku. Kami akan mencarikan tabib terpandai untuk mengobatimu. Nanti setelah kita hidup serumah dengan ibumu, aku akan menyebar anak buahku untuk mencarikan tabib itu. Nah, setelah sekarang engkau melihat buktinya bahwa kami tidak berubah sikap terhadapmu setelah melihat mukamu yang cacat, tentu engkau menyadari bahwa tidak semua laki-laki di dunia ini jahat seperti yang diajarkan ibumu. Baru dua orang yang melihat wajahmu, yaitu aku dan Keng Han, akan tetapi kami tidak menjadi jijik atau membencimu.”

“Bukan baru Ayah dan Keng Han yang melihatnya. Ada seorang lain yang melihatnya dan begitu dia melihatku, langsung saja aku akan dibunuh.”

“Siapakah orang itu, Cu In?” tanya Keng Han dengan cepat.

“Tung-hai Lo-mo. Kau ingat, Keng Han ketika engkau menolongku dari tangan Tung-hai Lo-mo dan Swat-hai Lokwi? Nah, ketika itu Tung-hai Lo-mo yang menawanku telah membuka cadarku dan begitu melihat wajahku, dia hendak membunuhku. Baiknya engkau datang dan menolong.””Tung-hai Lo-mo? Datuk sesat itu memang orang jahat. Biarpun tidak membuka cadarmu pun dia tetap seorang jahat yang harus dibasmi! Orang laki-laki macam dia tidak masuk hitungan, Cu In. Seperti juga julukannya, dia memang seorang iblis!” kata The Sun Tek marah.

“Aku sendiri akan membunuhnya, Ayah, sesuai dengan sumpahku dahulu bahwa siapa yang berani membuka cadarku, dia harus mati di tanganku.”

“Ah, sumpah itu mengerikan sekali anakku. Aku sendiri dan Keng Han juga sudah melihat wajahmu, apakah engkau juga akan membunuh kami?”

“Tidak, Ayah. Sumpahku itu sudah kuanggap habis begitu aku bertemu dengan Keng Han dan kemudian melihat bahwa kebencian ibuku terhadap pria hanya sekadar pelampiasan amarahnya terhadapmu. Akan tetapi perkenankan aku memakai cadar ini, Ayah. Pertama, karena aku sudah terbiasa memakainya sehingga kalau ditanggalkan aku merasa malu seolah telanjang, dan kedua kupakai agar tidak menjadi perhatian orang. Ketiga, agar engkau dan Keng Han tidak akan menjadi malu.”

“Aku? Malu? Kenapa aku harus malu.”

“Punya anak yang cacat wajahnya.”

“Aku adalah seorang yang berani menghadapi kenyataan betapapun pahitnya, Cu In. Cacatnya wajahmu tidak mengurangi kasih sayangku kepada engkau sebagai puteriku!”

“Dan kenapa aku harus malu, Cu In?” tanya Keng Han dengan suara mengandung penasaran.

“Kalau orang-orang melihat wajahku lalu mendengar bahwa engkau.... cinta padaku, bukankah engkau akan menjadi bahan tertawaan?” .

Keng Han terkejut. Gadis ini membuka rahasia hatinya begitu saja di depan ayahnya! Dia menjadi tersipu dan salah tingkah, lalu memandang kepada The Sun Tek. Panglima ini juga memandangnya wajah berseri dan mulut tersenyum, lalu kepalanya mengangguk perlahan. “Cu In, apa pun yang terjadi padaku, aku tidak peduli. Orang boleh menertawakan aku sesuka hati mereka, namun aku tetap seorang sahabat yang amat mencintamu.”

“Ayah, kaudengar itu? Apakah ucapan seperti itu dapat dipercaya? Bagaimana mungkin seorang pemuda yang tampan dan gagah tanpa cacat dapat mencinta aku yang berwajah buruk mengerikan ini? Aku belum dapat percaya sepenuhnya!”

“Cu In, engkau belum mengerti tentang cinta. Bagaikan aku dan ibumu. Apa pun yang telah dilakukan ibumu, aku tetap mencinta dan menyayangnya. Bagi seorang yang mencinta dengan tulus, segala macam cacat pada diri orang yang dicintanya tidak ada artinya. Bukankah begitu, Keng Han?””Benar sekali, Paman. Aku mencinta Cu In karena kepribadiannya, bukan karena wajahnya. Setelah melihat wajahnya, aku bahkan merasa semakin sayang karena iba, dan kelak aku akan mencarikan tabib yang pandai untuk mengobati cacatnya itu.”

“Nah, anakku. Engkau beruntung sekali menemukan pemuda seperti ini. Cintanya tulus dan suci, dan aku pun setuju sekali kalau dia menjadi mantuku!”

“Ayah. Apakah Ayah telah tahu siapa dia? Dia adalah putera Tao Seng, pangeran yang memberontak itu! Nah, apakah Ayah masih setuju juga berbesan dengan pengkhianat Pangeran Tao Seng itu?”

“Menilai orang dengan melihat ayahnya adalah picik. Belum tentu seorang ayah yang baik budi memiliki anak yang baik pula dan tidak semua ayah yang jahat memiliki anak yang jahat pula. Aku tidak peduli calon mantuku itu anak siapa yang penting asal pribadinya baik. Dan kulihat Keng Han seorang pendekar yang baik dan gagah perkasa.”

Cu In menundukkan mukanya, akan tetapi terlihat betapa sepasang mata itu mencorong berseci. “Aku sendiri tidak dapat menjawab sekarang. Kita lihat nanti sajalah. Sekarang yang penting kita harus bertemu ibu dulu. Masih ada ibuku yang memiliki hak untuk menentukan siapa calon mantunya.”

Keng Han diam saja akan tetapi The Sun Tek mengerutkan alisnya. Dia sudah tahu akan watak isterinya yang keras. Kalau isterinya tidak menyetujui Keng Han, sampai mati pun ia tentu tidak akan menyetujuinya!

Pada saat itu, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang wanita yang cantik jelita. Usianya kurang lebih dua puluh tiga tahun, cantik jelita kulit mukanya putih mulus, pipinya kemerahan, mata dan bibirnya begitu manisnya sehingga setiap orang pria pasti akan tertarik. Rambutnya yang dibiarkan terurai panjang di punggungnya itu diikat sutera merah dekat kepala. Punggungnya membawa sebatang pedang.

“Suci kiranya engkau!” tegur Cu In. Keng Han merasa tidak enak juga kalau tidak menyapa wanita itu. “Subo....!” katanya, terpaksa menyebut subo kepada Bi-kiam Nio-cu Siang Bi Kiok karena dia pernah diberi pelajaran cara menghindarkan totokannya yang amat lihai.

Akan tetapi Bi-kiam Nio-cu mengerutkan alisnya dan memandang kepada Keng Han dengan mata bersinar marah. Ia sudah merendahkan diri begitu rupa terhadap pemuda itu, bahkan menemani pemuda itu sampai dapat menghadap Dalai Lama, akan tetapi apa balasan Keng Han kepadanya? Diajak berjodoh dan lari minggat meninggalkan subonya, pemuda itu tidak mau! Dan sekarang nampak bergaul akrab sekali dengan sumoinya!

Nio-cu menudingkan telunjuknya yang runcing ke arah muka bercadar itu dan terdengar suaranya lantang. “Sumoi, apa artinya ini? Engkau bukan saja telah melanggar pantangan subo, bahkan engkau berani membawa dua orang laki-laki ke sini! Apa kau sudah bosan hidup? Hayo lekas bunuh dua orang laki-laki itu, atau aku akan segera melaporkan kepada subo!”

“Kebetulan sekali kalau begitu, Suci. Cepat laporkan kepada subo bahwa aku datang menghadap bersama ayahku dan saudara Keng Han yang sudah berulang kali menyelamatkan diriku.”

“Apa kaubilang? Ayahmu....?” Nio-cu mengamati The Sun Tek dengan penuh perhatian.

“Ya, Ayahku. Sudahlah jangan bertanya panjang lebar. Beritahukan saja bahwa aku datang bersama ayahku dan sahabat baikku tentu subo akan mengerti.”

Betapapun marahnya, Niocu yang galak dan kejam ini masih jerih terhadap Cu In yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi darinya.

“Baik, dan kalian tentu akan dibunuh semua!” Ia. pun berkelebat dan pergi.

“Cu In, itukah yang terkenal dengan julukan Bi-kiam Nio-cu? “ tanya The Sun Tek kepada puterinya.

“Benar, Ayah. Ia su-ciku dan ia pun patuh sekali kepada guru kami sehingga ia melaksanakan semua perintah guru. Entah berapa banyak laki-laki yang berani bersikap ceriwis kepadanya telah dibunuhnya.”

The Sun Tek menghela napas panjang. “Mudah-mudahan aku dapat menghentikan semua perintah ibumu yang keterlaluan itu.”

Mereka mendaki bukit Beng-san dengan cepat. “Kita mengambil jalan pintas, Ayah, agar supaya lebih dekat. Akan tetapi kita harus berhati-hati karena daerah ini termasuk wilayah yang dilindungi oleh keluarga Gak.”

“Keluarga Gak adalah keluarga yang sakti. Paman Gak Ciang Hun sendiri adalah seorang yang dekat dengan keluarga Pulau Es, ilmu silatnya lihai sekali. Juga isterinya memiliki ilmu silat yang hebat. Bahkan subo sendiri kalau tidak perlu sekali tidak mau lewat daerah ini.”

Keng Han tertarik sekali. “Kalau begitu, dia tentu mengenal baik Paman Yo Han.”

“Kiranya demikian. Sudah lama aku mendengar akan nama besar Pendekar Tangan Sakti Yo Han. Apalagi isterinya yang berjuluk Bangau Merah, adalah seorang wanita sakti. Kabarnya ia pernah belajar dari locianpwe Suma Ceng Liong yang merupakan keturunan langsung dari Keluarga Pulau Es.”

Keng Han mengangguk-angguk. “Kalau begitu tidak salah lagi bahwa Pulau Hantu itu adalah Pulau Es yang dulu tenggelam dan kini muncul lagi. Paman Yo Han mengenal semua ilmu silat yang kupelajari dari pulau itu.””Ah, kalau begitu engkau adalah pewaris ilmu-ilmu keluarga Pulau Es!” seru The Sun Tek dengan kagum.

“Ah, hanya kebetulan saja aku menemukan dan mempelajari, Paman. Dibandingkan dengan orang-orang keturunan keluarga itu tentu kepandaianku tidak ada artinya. Aku belajar sendiri tidak ada yang membimbing.”

“Jangan merendahkan diri, Keng Han. Aku sendiri sudah melihat betapa hebatnya ilmu kepandaianmu, dapat menandingi ilmu silat para datuk sesat.”

“Engkau terlalu memuji, Cu In. ilmumu sendiri juga hebat sekali?” Dua orang muda itu saling memuji dan saling merendahkan dirinya sehingga The-ciangkun yang mendengarnya menjadi senang. Pertanda baik bagi orang yang saling mencinta dan calon berjodoh.

Akan tetapi mereka tidak menemi halangan sehingga mereka menduga bahwa keluarga Gak itu disegani dan ditakuti orang karena adalah pendekar-pendekar yang lihai. Akan tetapi mereka sendiri tidak pernah usil mencampuri urusan orang lain sehingga biarpun ada orang asing memasuki wilayah mereka asal orang asing itu tidak mengganggu, juga tidak dilarang.

Ketika mereka tiba di pondok tempat tinggal Ang Hwa Nio-nio ternyata wanita itu sudah menunggu di serambi depan bersama Bi-kiam Nio-cu. Dan wanita itu agaknya mengenakan pakaian yang masih baru dan rambutnya tersisir rapi dengan hiasan kembang merah. Agaknya ia sudah diberitahu oleh Niocu akan kedatangan Cu In, Keng Han, dan laki-laki setengah tua itu. Ketika melihat The-ciangkun, Ang Hwa Nio-nio menyambutnya dengan ucapan dingin. “Hemmm, kiranya engkau memenuhi janjimu, menemukan dan membawa Cu In ke sini.”

Mendengar sikap dan mendengar ucapan yang nadanya dingin itu, Cu In yang merasa marah sekali kepada wanita yang menjadi ibu dan gurunya itu berkata, “Kalau tidak dibujuk Ayah dan Keng Han, sampai mati pun aku tidak akan mau datang ke sini lagi!”

Ang Hwa Nio-nio memandang kepada Cu In. Hatinya seperti ditusuk rasanya. Puteri kandungnya sendiri berkata seperti itu!

“Cu In, jangan berkata begitu, Nak!” katanya.

“Mengapa baru sekarang ibu memanggilku seperti itu? Kenapa ibu mengingkari dan mengatakan bahwa aku yatim piatu dan dipungut menjadi murid, kemudian bahkan disuruh membunuh ayah kandungku sendiri? Mengapa?” Kini dalam suara gadis berkerudung itu terdengar isak tangis.

Ang Hwa Nio-nio menghela napas panjang. “Engkau tidak mengetahui penderitaanku selama itu, Cu In. Hidup seorang diri, menahan semua rasa rindu. Bahkan peristiwa itu membuat aku membenci dan ingin membunuh semua pria! Akan tetapi setelah bertemu dengan ayahmu, aku menginsyafi kekeliruanku.

Ternyata tidak semua laki-laki itu jahat. Juga ayahmu sama sekali bukan seorang laki-laki jahat.”

Mendengar semua itu, Bi-kiam Niocu Siang Bi Kiok menjadi terheran-heran. Ia membelalakkan matanya yang indah, memandang kepada The Sun Tek, lalu kepada gurunya.

“Jadi.... Paman ini.... dia suami Subo?” tanyanya dengan suara lirih terputus-putus.

Ang Hwa Nio-nio hanya mengangguk dan kedua matanya menjadi basah, berlinang air mata! Makin heranlah Niocu. Belum pernah selama ini ia melihat subonya menangis. “Aku.... aku memang bersalah diracuni sakit hatiku, Cu In. Maafkan ibumu, Nak....”

The Sun Tek berkata, “Sudahlah, mari kita lupakan semua yang terjadi dan memulai hidup baru yang penuh kasih sayang dan berbahagia. Cu In, ibumu telah minta maaf. Cairkan perasaan hatimu yang membeku itu.”

“Benar, Cu In. Bagaimanapun juga, beliau adalah ibu kandungmu yang melahirkanmu kemudian memeliharamu sampai menjadi dewasa.” kata Keng Han membujuk.

Sejak melihat ibunya menangis dan bicara dengan suara terputus-putus mengakui kesalahannya, Cu In sudah menangis tanpa suara. Air matanya bercucuran akan tetapi tidak kelihatan ia menundukkan mukanya. Kini mendengar bujukan ayahnya dan Keng Han, ia lalu bangkit dan berlari menubruk kedua kaki ibunya.

“Ibuku....!”

“Cu In.... Cu In.... engkau anakku, anak tunggal. Kau maafkan aku, ya?” Ibunya juga merangkul dan keduanya bertangisan.

“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Ibu. Aku dapat memaklumi perasaan Ibu.”

“Subo, bagaimanakah ini? Jadi Sumoi adalah puteri Subo sendiri dan Paman ini adalah suami Subo?”

Keng Han melangkah maju menghampiri Niocu sambil berkata, “Sesungguhnya begitulah, Subo”

“Jangan kau panggil subo kepadaku! Seperti orang mengejek saja. Panggil saja Niocu seperti dulu. Siapa tidak tahu bahwa Ilmumu jauh lebih tinggi dari Ilmuku? Jangan sekali-kali panggil subo atau aku akan menganggap engkau menghinaku.”

Ang Hwa Nio-nio yang tahu benar bahwa hati para muridnya itu penuh kebencian kepada pria seperti yang sejak dulu ia tekankan, tahu pula akan watak Bi-kiam Niocu. “Bi Kiok, sudahlah. Mulai sekarang, jangan membenci setiap orang pria. Hanya yang jahat saja boleh kau benci. Akan tetapi kalau pria itu baik, tidak ada salahnya menjadi sahabatnya.””Ibu, bagaimana kalau ada pria yang mencinta Suci? Apakah dia harus dibunuh?”

“Tidak, tidak. DuluiItu aku sudah gila. Jatuh cinta bukanlah hal yang jahat. Kalau Bi Klok tidak membalas cintanya, jauhi saja dan katakan terus terang.”

“Bagaimana kalau teecu yang jatuh cinta, Subo? Apakah pria itu harus dibunuh?”

“Tidak! Kalau engkau mencinta seseorang dan orang itu pun mencintamu, maka tiada halangannya engkau berjodoh dengan, dia.”

“Aih, terima kasih, Subo! Adik Cu In, mulai sekarang engkau tidak perlu menutupi mukamu lagi. Kutukan itu telah dihapuskan oleh Subo!”

“Suci, aku tidak mau menjadi buah tertawaan dengan mukaku yang penuh cacat ini! Tidak, aku kini mempunyai sumpah bahwa aku tidak akan membuka cadar ini sebelum aku menikah. Dalam malam pengantin aku membuka dan membuang cadarku untuk selamanya!”

“Sumoi....!” kata Niocu sambil memandang kepada Keng Han. Dari sikap mereka ia dapat menduga bahwa keduanya saling mencinta. Akan tetapi kalau kelak Keng Han melihat wajah sumoinya itu, apakah Keng Han akan mau menjadi suaminya?

“Bi Kiok, Cu In sudah mempunyai pendirian begitu, engkau tidak boleh mencampurinya!”kata Ang Hwa Nio-nio sambil tersenyum. Niocu memandang bengong. Belum pernah dilihatnya gurunya itu tersenyum apalagi tertawa dan ia melihat wajah subonya itu kini penuh senyuman dan ternyata gurunya itu masih cantik walaupun usianya sudah lima puluh tahun!

“Hong Bwe, anak kita ini sudah mempunyai calon jodohnya bahkan sudah pernah melihat mukanya.”

“Ayah....!” Cu In berseru dan dahinya nampak kemerahan.

“Cu In, engkau tidak dapat menyembunyikan perasaanmu di depan ayahmu, Ha-ha-ha!”

“Benarkah itu?” Ang Hwa Nio-nio berseru, nada suaranya gembira bukan main, “Siapakah laki-laki yang bijaksana itu?”

“Orangnya dekat di sini, apa engkau tidak dapat menduganya, Hong Bwe?”

“Ah, engkaukah, orang muda? Benarkah engkau mencinta Cu In dengan setulus hatimu?”

Biarpun perasaan sungkan dan tersipu, Keng Han menjawab dengan lantang, Benar, Bibi. Saya mencinta Cu In dengan segenap jiwa ragaku.”

“Ah, tidak mungkin!!” tiba-tiba Bikiam Nio-cu berseru nyaring. “Sama sekali tidak mungkin!” tentu saja ia merasa terkejut sekali mendengar ucapan Keng Han itu. Ia pernah mencinta Keng Han dan mengharapkan pemuda itu menjadi suaminya. Akan tetapi Keng Han menolaknya. Dan sekarang Keng Han menyatakan bahwa dia mencinta Cu In? Rasanya tidak mungkin. Ia sendiri seorang wanita cantik dan ia menyadari benar akan hal Ini. Sebaliknya, ia sudah melihat wajah sumoinya yang totol-totol hitam, buruk sekali. Kalau Keng Han pernah melihat wajah itu, bagaimana mungkin dia jatuh cinta kepada wanita yang wajahnya sedemikian buruknya?

The Sun Tek berkata, suaranya tegas dan berwibawa, “Mengapa tidak mungkin? Ada dua macam cinta di dunia ini. Yang pertama cinta murni yang tidak dipengaruhi oleh buruknya rupa, buruknya nama atau kemiskinan. Yang kedua adalah cinta nafsu yang digerakkan oleh keadaan yang dicinta seperti wajah elok, terkenal, berkuasa atau hartawan. Dan cinta Keng Han seperti cinta yang pertama tadi.”

“Ucapan suamiku ini benar, Bi Kiok. Lihat cinta suamiku kepadaku. Biarpun namaku buruk dan terkenal sebagai seorang yang disebut kejam dan sesat, namun cintanya kepadaku sama sekali tidak pernah berkurang. Usahakan agar engkau menemukan seotang pria seperti itu, yang mencintamu bukan sekedar pelampiasan nafsu belaka!”

The Sun Tek berkata kepada Ang Hwa Nio-nio, “Hong Bwe, sebaiknya engkau berkemas dan sekarang juga kita pergi ke kota raja, pulang ke rumah kita.”

“Pulang....?” Ang Hwa Nio-nio bertanya suaranya seperti orang kebingungan, seperti dalam mimpi.

“Ya, pulang ke rumah kita di kota raja.”

“Aku sudah bersiap-siap, lama sebelum engkau datang,” kata Ang Hwa Nio-nio dengan kedua pipinya berubah kemerahan. “Aku hanya membawa sebuah buntalan saja.”

“Subo, apakah Subo akan pergi meninggalkan tempat ini?” tanya Bi-kiam Nio-cu.

“Benar, Bi Kiok. Aku akan pergi, akan pulang ke kota raja, meninggalkan Beng-san dan tidak akan kembali ke sini lagi. Rumah beserta isinya ini kutinggalkan kepadamu, menjadi milikmu.”Ang Hwa Nio-nio lalu mengambil buntalan yang menjadi bekalnya, kemudian mengajak suami dan puterinya untuk segera berangkat.

Keng Han tidak ikut. “Paman, sebagai seorang anak, saya harus mencari ayah saya, membujuknya agar dia menghentikan usahanya memberontak dan mengajaknya pulang ke Khitan. Setelah itu barulah orang tua saya akan mengajukan pinangan resmi atas diri Cu In.

The Sun Tek mengangguk-angguk, diam-diam memuji calon mantunya itu, “Itu adalah suatu niat yang mulia sekali. Pergilah, kami akan menantimu di kota raja. Memang sudah semestinya kalau orang tuamu merestui perjodohanmu.”The Sun Tek, Ang Hwa Nio-nio dan Cu In segera berangkat. Akan tetapi belum jauh mereka pergi, Cu In membalikkan tubuhnya dan lari menghampiri Keng Han. “Keng Han, kuharap engkau suka menyimpan ini baik-baik!” Ia meloloskan sabuk suteranya yang putih. “Selama ini sabukku menjadi teman yang setia.”

Keng Han merasa terharu sekali ketika menerima sabuk sutera putih itu. Dia pun lalu mengambil pedang bengkoknya dan diserahkan kepada Cu In.

“Terima kasih, Cu In. Dan ini pedangku harap kausimpan baik-baik. Pedang ini pemberian ibuku dan biarlah sekarang untuk sementara disimpan oleh calon isteriku yang tercinta.”

“Selamat tinggal, Keng Han.” kata Cu In sambil menerima pedang bengkok itu.

“Selamat jalan dan selamat berpisah untuk sementara, Cu In.” kata Keng Han. Gadis itu lalu pergi dengan cepat menyusul orang tuanya.

“Hi-hi-hik, sungguh lucu. Seperti orang bermain sandiwara saja. Alangkah mesranya, Keng Han!” Bi-kiam Nio-cu mengejek sambil tertawa.

“Kalau dua hati sudah bertemu dalam cinta, tentu saja timbul kemesraan, Niocu “

“Aku heran sekali. Apakah matamu sudah buta, Keng Han?”

“Niocu, harap engkau jangan menghinaku. Mengapa engkau mengatakan mataku buta?”

“Benarkah engkau sudah menyaksikan bagaimana bentuk wajah sumoi Cu In?”

“Sudah, mengapa?”

“Wajahnya begitu buruk dan menjijikkan! Engkau dapat mencinta gadis dengan wajah seperti itu?”

“Niocu, engkau belum mengenal apa artinya cinta. Aku mencinta Cu In sejak la belum memperlihatkan mukanya. Aku mencinta ia, mencinta pribadinya, bukan mencinta wajahnya. Setelah aku melihat mukanya, cintaku semakin kuat karena ada dorongan perasaan iba kepadanya. Aku kelak akan mencarikan tabib terpandai di seluruh dunia untuk mengobatinya!”

“Hi-hi-hik, percuma saja. Cacat di mukanya itu menurut kata subo dan sumoi sendiri, adalah cacat bekas cacar. Mana mungkin pulih kembali. Kelak engkau akan menyesal. Kalau semua orang menertawakanmu ketika engkau bersanding dengan isterimu yang wajahnya seperti setan....!”

“Cukup, Niocu! Jangan engkau menghina Cu In atau aku akan menghajarmu!”

“Eh-eh-eh, engkau akan menghajarku? Lupakah, engkau bahwa aku ini gurumu?” “Hemmm, memang engkau pernah mengajari cara menghadapi tok-ciang, akan tetapi engkau sendiri yang menyuruh aku memanggil Niocu. Jadi sekarang aku bukan lagi muridmu.”

“Hemmm, pedangmu sudah kauberikan kepada kekasihmu, bagaimana engkau akan melawan aku? Dengan sabuk sutera putih pemberian kekasihmu itu?”

“Niocu, untuk melawanmu tidak perlu aku mempergunakan senjata!” kata Keng Han sambil mengikatkan sabuk sutera putih itu di pinggangnya.

“Keparat! Berulang kali engkau menghinaku, menolakku, dan sekaranglah ke sempatan bagiku untuk membunuhmu! kalau aku tidak dapat memperolehmu, orang lain juga tidak boleh!” Berkata demikian, Bi-kiam Nio-cu mencabut pedangnya lalu menyerang dengan cepat dan dahsyat. Namun Keng Han dengan tenang saja menggerakkan tubuhnya mengelak dari tusukan ke arah dada itu.

“Percuma, Niocu. Engkau tidak akan menang. Hentikanlah seranganmu itu dan jangan ganggu aku lagi!” Keng Han masih mencoba untuk memperingatkan lawannya.

“Mampuslah!” Niocu membentak dan menyerang lebih hebat lagi.

“Wuuuuuttt.... singgg....!” Pedang yang menebas ke arah leher itu luput karena dielakkan oleh Keng Han. Keng Han mengalah dan terus mengelak sampai sepuluh jurus. Ketika melihat gadis itu semakin nekat menyerangnya, dia pun lalu membalas. Tangan kirinya menampar ke arah leher Niocu, akan tetapi ketika Niocu mengelak, ia disambut oleh tangan kanan Keng Han yang menjotos ke arah lambungnya. Niocu berseru kaget dan melompat mundur ke belakang sehingga jotosan ke lambung itu luput.

Keng Han segera bersilat dengan ilmu Toat-beng Bian-kun, sebuah di antara ilmu silat pusaka Pulau Es. Nampaknya saja ilmu silat ini lemah lembut seperti kapas, akan tetapi di dalamnya terkandung tenaga sinkang yang mengancam lawan dengan dahsyatnya! Menghadapi ilmu silat aneh dan berbahaya sekali ini, Niocu terdesak mundur terus. “Hentikan seranganmu, Niocu. Hentikan!” Keng Han berkali-kali membujuk. Akan tetapi Niocu yang sudah menjadi penasaran itu tidak mempedulikan seruannya dan menyerang terus. Tiba-tiba ia menggerakkan kepalanya ke belakang dan gelungan rambutnya terlepas sehingga rambut itu menjadi riap-riapan dan panjang sampai ke pinggang. Rambut ini, yang lembut dan berbau harum, merupakan senjata yang tidak kalah ampuhnya dengan pedang di tangan kanan Niocu. Bahkan gerakan rambut ini datangnya tidak terduga-duga, bisa dipergunakan untuk menyolok mata, melibat dan mencekik leher, bahkan menotok ke arah jalan darah lawan.

Namun Keng Han sudah mengenal kelihaian rambut panjang itu. Ketika Niocu menusukkan pedangnya ke arah perut, tiba-tiba rambutnya melibat leher Keng Han! Keng Han mengelak ke kiri akan tetapi tidak dapat mengelak dari rambut yang sudah melilit lehernya. Dia menggunakan tangan kirinya, menangkap rambut itu dan sekali tarik, rambut itu putus setengahnya!

Niocu menjerit kaget. Rambutnya yang tadinya sepanjang pinggang itu kini tinggal sepundak! Akan, tetapi ketika sedang mundur dan kaget melihat rambutnya, Keng Han sudah maju dan menendang ke arah pergelangan tangannya yang memegang pedang.

Kembali Niocu menjerit kaget dan pedangnya terlepas dari pegangan, mencelat ke atas. Tiba-tiba nampak bayangan tubuh orang yang menangkis pedang yang terpental itu. Ketika bayangan itu turun, ternyata dia seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun. Wajahnya penuh brewok seperti muka harimau dan brewok serta rambutnya sudah putih semua!

“Bi-kiam Nio-cu, ini pedangmu! Apakah engkau perlu bantuanku menghadapi bocah lancang ini?”

Bi-kiam Nio-cu bukan orang yang curang. Sebaliknya, ia menghargai kegagahan dan tanpa malu lagi ia mengaku dalam hati bahwa kepandaiannya tidak mampu menandingi kepandaian Keng Han. Ia menyimpan kembali pedangnya menyanggul rambutnya yang tinggal sepundak, lalu berkata kepada orang itu.

“Pek-thou-houw (Harimau Kepala Putih), tidak perlu engkau mencampuri urusanku. Dan ada keperluan apakah engkau datang ke sini?”

Orang yang berjuluk Harimau Kepala Putih itu menghela napas panjang. Bi-kiam Nio-cu ini ternyata masih sama angkuhnya dengan dulu. Seorang wanita yang dingin dan angkuh! Maka dia pun tidak mau bicara panjang lebar, hanya menyampaikan tugasnya saja.

“Bi-kiam Nio-cu, aku diutus oleh Thian It Tosu dari Bu-tong-pai untuk mengundang Ang Hwa Nio-nio ke Bu-tong-san, karena di sana akan diadakan rapat besar antara para datuk dan tokoh kang-ouw. Harap engkau suka minta pada gurumu untuk menemuiku atau aku yang menghadap ke dalam.” kata Pek-thou-houw sambil memandang ke arah rumah itu.

“Guruku sudah pergi dan tidak akan kembali,” kata Bi-kiam Nio-cu, “maka tidak mungkin dapat pergi. Akan tetapi aku yang aken mewakilinya datang ke Bu-tong-san.”

“Begitupun bagus, Niocu. Kami semua telah mendengar nama besar Bi-kiam Nio-cu. Niocu, bagaimana kalau sebelum aku pergi, aku memberi hajaran kepada bocah ini agar lain kali dia tidak akan menggodamu lagi?”

Bi-kiam Nio-cu tersenyum mengejek. “Sesukamulah!” katanya.

Pek-thou-houw menghampiri Keng Han yang sejak tadi hanya menjadi penonton saja. “Heh, orang muda, siapa namamu? Aku tidak biasa membunuh orang yang tidak mempunyai nama!” bentak Harimau Kepala Putih itu dengan sikap bengis.

“Namaku Si Keng Han dan kuharap engkau tidak mencampuri urusan antara aku dan Niocu.” kata Keng Han dengan lembut.

“Apa katamu? Kalau aku mencampuri, kau mau apa?”

“Sesukamulah kalau begitu. Aku sudah memperingatkan!” kata Keng Han, kini tidak lembut lagi bahkan suaranya mengandung gertakan.

“Awas seranganku. Heh-heiiiiittt!” Si Kepala Putih itu mengeluarkan gerakan seperti seekor harimau dan tubuhnya sudah meloncat ke depan, sikapnya presis harimau yang hendak menerkam korbannya, kedua tangan dibentangkan dengan jari-jari membemtuk cakar harimau.

“Hemmm....!” Keng Han mengenal ilmu silat harimau ini. Akan tetapi harus diakui bahwa Si Harimau Kepala Putih inii telah mempelajari segala bentuk gerakan harimau dengan seksama dan seorang ahli dalam Houw-kun (silat Harimau) itu. Dia percaya bahwa dua cakar itu sanggup merobek kulit dan daging lawan! Karena telah mengenal ilmu itu, dengan mudah dia mengelak dengan lompatan ke kiri dan begitu “harimau” itu turun ke atas tanah, dia sudah menampar dengan tangan kiri.

“Wuuuuuttt.... plakkk....!!” Keng Han terkejut sendiri. Tanpa disadari tangan kirinya masih memegang potongan rambut Niocu sehingga ketika dia, menampar, rambut itu yang melecut ke arah muka Pek-thou-houw!

Pek-thou-houw berteriak kesakitan. Lecutan cambuk istimewa itu keras sekali sehingga meninggalkan jalur merah pada pipi dan lehernya. Sementara itu, Keng Han yang baru teringat akan rambut itu sudah mendekati Niocu dan menjulurkan tangan mengembalikan rambut.

“Maafkan aku, Niocu. Aku menyesal sekali.” katanya. Bi-kiam Nio-cu menyambar rambutnya sambil menggigit bibir menahan keluarnya air mata, lalu ia membalikkan tubuhnya dan berlari pergi meninggalkan tempat itu. Ketika melihat bahwa Bi-kiam Niocu lari pergi, dan teringat akan lecutan rambut tadi, dia merasa jerih. Tahulah dia bahwa Bi-kiam Nio-cu tadi agaknya kalah oleh pemuda itu, apalagi dia! Maka, tanpa ramit lagi dia pun lari meninggalkan Keng Han.

Keng Han memandang ke arah bayangan Niocu dan berulang kali dia menghela napas panjang. Mudah-mudahan dia mendapatkan seorang pria yang benar-benar mengasihinya, pikirnya. Dia merasa kasihan kepada Bi-kiam Nio-cu. Dia mengerti bahwa Bi-kiam Nio-cu mencintainya, bahkan pernah mengajaknya menikah lalu lari minggat dari subonya. “Sekarang, melihat dia saling mencinta dengan Cu In, tentu hati wanita itu penuh iri dan cemburu, maka berusaha mati-matian untuk membunuhnya. Dia tahu bahwa Bi-kiam Nio-cu bukan orang jahat, dan kalau wataknya menjadi kejam terhadap kaum pria, hal itu adalah karena sejak kecil dara ini dididik untuk membenci pria. Akan tetapi mulai sekarang dia mengharapkan gadis itu berubah pula setelah melihat betapa subonya kembali kepada kekasihnya, bahkan merestui perjodohan antara dia dan Cu In.

“Semoga engkau menemukan jodohmu yang tepat,Niocu.” kata Keng Han sambil menarik napas panjang dan dia pun pergi ke Bu-tong-san. Dia tertarik mendengar dari Pek-thou-houw tadi bahwa Bu-tong-pai akan mengada pertemuan besar. Siapa tahu dia akan dapat bertemu dengan ayahnya di sana, mengingat bahwa gerakan ayahnya itu sejalan dengan sikap Bu-tong-pai yang hendak memberontak.

Sebuah kereta berhenti di halaman depan gedung istana Pangeran Mahkota Tao Kuang. Setelah kepala jaga memeriksa siapa yang berada di dalam kereta itu, dia memberi hormat dan kereta itu diperbolehkan masuk sampai ke pintu depan istana.

Pangeran Tao Kuang sedang bercakap-cakap dengan Kwi Hong, Kai-ong dan Han Li di ruangan perpustakaan yang luas ketika penjaga melapor akan kedatangan tamu-tamu berkereta itu.

Mendengar siapa yang datang berkunjung, Pangeran Mahkota tersenyum dan berseri wajahnya, lalu mengajak mereka semua untuk keluar menyambut.

“Kalian ikutlah, akan kuperkenalkan kepada seorlang pangeran adik sepupuku yang menjadi sahabat baikku! Dialah satu-satunya orang di kalangan kelurga kami yang kupercaya sepenuhnya.” katanya kepada Kai-ong dan Han Li.

Ketika mereka di luar, mereka semua melihat tiga orang berada di serambi depan. Seorang pria berusia empat puluh tahun lebih yang tampan dan lembut sikapnya, seorang wanita cantik yang agung dan anggun, berusia sebaya dengan pria itu. Dan di belakang mereka berjalan seorang pemuda yang tampan dan gagah. Begitu melihat mereka, Han Li berubah air mukanya, menjadi kikuk dan salah tingkah karena ia mengenal mereka itu sebagai suami isteri Pangeran Cia-Sun dan isterinya, Sim Hui Eng dan putera mereka, Cia Kun. Suami Isteri dan putera mereka itu belum lama ini telah datang ke Bukit Naga untuk meminang dirinya yang Mendak dijodohkan dengan putera mereka itu!

Begitupun Kwi Hong. Ketika ia melihat siapa yang datang, kedua pipinya menjadi kemerahan karena ayah bundanya pernah bertanya kepadanya, bagaimana kalau ia dijodohkan dengan putera Cia Sun, saudara sepupu ayahnya. Sudah lebih dari tiga tahun dara ini tidak pernah bertemu dengan Cia Kun dan kini pemuda itu telah menjadi seorang dewasa yang ganteng! Demikian pula Cia Kun, dia terheran melihat Han Li berada di situ dan dia juga terpesona melihat Kwi Hong yang kini demikian cantik jelita.

Pangeran Cia Sun beserta isterinya juga merasa heran melihat Han Li. “Bukankah engkau Yo Han Li? Bagaimana bisa berada di sini?”

Sebelum Han Li dapat menjawab, Pangeran Tao Kuang berkata sambil tertawa, “Bagus, kiranya kalian sudah saling mengenal sehingga tidak perlu kuperkenalkan lagi”

“Akan tetapi siapa Locianpwe ini? Kami tidak mengenalnya.”

“Ah, Paman ini adalah seorang tokoh yang terkenal di dunia kang-ouw, Dinda Pangeran. Tentu engkau pernah mendengar akan julukan Kai-ong, bukan?”

“Bukankah Kai-ong Lu Tong Ki?” tanya Pangeran Cia Sun.

“Benar, dia dan muridnya, nona Han Li, menjadi tamu kehormatan kami. Paman Lu, ini adalah Pangeran Cia Sun yang dahulu sering bertualang di dunia kang-ouw.”

Pangeran Cia Sun dan pengemis tua itu saling memberi hormat.

“Nah, marilah kita semua masuk ke dalam dan bicara di sana!” kata Pangeran Tao Kuang dengan ramah.

Mereka semua diajak masuk ruangan tamu yang luas dan sejuk karena banyak jendelanya sehingga hawa dapat masuk dengan leluasa.

“Kanda Pangeran, kedatangan kami untuk menjenguk Kanda karena kami mendengar bahwa Kanda diserbu orangorang yang hendak membunuh. Kami bersyukur sekali mendengar bahwa Kanda Pangeran terlepas dari bahaya maut.”

“Benar, Adinda Pangeran. Semua ini adalah jasanya Tao Keng Han dan nona Souw Cu In yang membongkar rencana pemberontakan dan pembunuhan itu. Karena kami telah mengetahui lebih dulu, maka kami sekeluarga dibantu Paman Lu dan muridnya Han Li telah bersiap-siap. Juga penjagaan oleh pasukan dilakukan dengan ketat. Dengan ayahanda Kaisar pun demikian. Bahkan sepasang pendekar itu menyamar sebagai pengawal pribadi Kaisar.”

“Ah, kami merasa gembira sekali mendengar itu, Kanda. Untuk itu, biarlah kuucapkan selamat dan menyulangi Kanda dengan tiga cawan arak!”

Karena memang di situ sudah dipersiapkan dan disediakan arak, maka kedua orang pangeran, diikuti yang lain minum tiga cawan arak.

“Bagaimanapun juga, kalau tidak ada bantuan nona Yo Han Li dan gurunya, tetap saja kami terancam bahaya maut. Mereka berdua yang dapat menandingi pihak pemberontak itu.”

Cia Sun tersenyum memandang kepada Han Li. “Tentu saja. Han Li adalah puteri Si Tangan Sakti Yo Han dan isterinya Si Bangau Merah Tan Sian Li. Apalagi sekarang menjadi murid Kai-ong! Tentu ilmu kepandaiannya menjadi luar biasa sekali!”

“Aih, Paman Cia terlalu memujiku, membuat aku merasa malu saja.

“Li-moi, ayahku hanya berkata sebenarnya, mengapa harus malu? Dan aku percaya bahwa Hong -moi sekarang tentu telah menjadi seorang gadis yang lihai pula. Kabarnya Hong-moi menerima pelajaran dari para ahli silat yang menjadi panglima pengawal, berganti-ganti guru sehingga tentu memiliki banyak macam ilmu silat!” kata Cia Kun sambil memandang adik sepupunya itu dengan sinar mata penuh kagum. Pemuda ini sudah mendengar dari ayahnya bahwa pinangan mereka atas diri Han Li ditolak halus oleh orang tua gadis itu, maka dia tidak mengharapkan lagi dan perhatiannya beralih kepada Kwi Hong yang tidak kalah cantiknya dibandingkan Han Li.

“Aih, Kun-ko, engkau pandai memuji orang. Mana aku dapat dibndingkan dengan enci Han Li? Dibandingkan dengan engkau saja aku sudeh kalah jauh! Selain Paman Pangeran Cia sendiri memilikl ilmu yang tinggi, Bibi yang menjadi ibumu memiliki ilmu silat yang lebih hebat pula. Engkau tentu telah mewarisi semua ilmunya!””Ah, Ayah dan terutama ibu memang pandai, akan tetapi aku yang bodoh, tidak maju-maju dalam pelajaran ilmu silat,” bantah Cia Kun sambil memandang kepada adik sepupunya itu dengan senyum.

“Kwi Hong, kenapa engkau tidak mengajak Han Li dan Cia Kun. untuk bicara di taman? .Biarkan kami yang tuatua bicara di sin.” kata Pangeran Tao Kuang kepada puterinya.

“Ah, taman bunga sedang indah karena bunga-bunga sedang mekar, di mana hawanya sejuk sekali. Mari, enci Han Li dan kanda Cia Kun, kita bermain-main dan bicara di sana!”

Karena ajakan nona rumah ini, Han Li dan Cia Kun tidak dapat menolak dan pergilah tiga orang muda itu ke taman bunga.

Setelah tiga orang muda itu pergi, bertanyalah Cia Sun kepada Pangeran Tao Kuang, “Kanda Pangeran, sebetulnya apakah yang telah terjadi? Siapa yang mendalangi pemberontakan itu?”

Pangeran Tao Kuang menghela napas panjang. “Sungguh memalukan kalau dipikir. Yang menjadi dalangnya adalah Tao Seng dan Tao San.”

“Bukankah mereka dihukum buang ketika hendak membunuhmu dahulu itu, Kanda Pangeran?” tanya Cia Sun.

“Benar, akan tetapi hukuman mereka telah habis. Mereka lalu kembali ke kota raja dan menyamar sebagai orang-orang hartawan. Kita mengetahui akan hal itu akan tetapi mendiamkan saja. Bagaimanapun juga mereka adalah saudara-saudara kita dan hukuman bagi mereka sudah habis. Akan tetapi sungguh tidak disangka sama sekali, diam-diam mereka menghimpun kekuatan, mempergunakan datuk-datuk dan tokoh-tokoh sesat untuk membunuh ayahanda Kaisar dan aku sendiri. Dan engkau tahu siapa yang membongkar rahasia mereka?”

“Kakanda tadi sudah memberitahu bahwa yang membongkar rahasia itu adalah seorang bernama Tao Keng Han dan nona Souw Cu In.”

“Benar dan tahukah engkau siapa Tao Keng Han itu? Dia adalah keponakan kita sendiri, yaitu putera dari kakanda Tao Seng.”

Pangeran Mahkota Tao Kuang lalu menceritakan betapa Keng Han hendak membunuhnya karena pemuda itu dihasut oleh ayahnya sendiri yang menyamar sebagai Hartawan Ji. Akan tetapi akhirnya pemuda itu dapat disadarkan akan kekeliruannya dan bahwa dia terkena hasutan.

Cia Sun mendengarkan dengan bercampur kagum. “Jadi pemuda itu musuhi ayahnya sendiri dan memushi ayahnya sediri dan membongkar rahasia pemberontakannya kepadamu?”

“Benar. Akan tetapi bukan berarti bahwa dia membenci ayah kandungnya. Dia berbuat demikian karena melihat bahwa perbuatan ayahnya itu tidak benar. Sekarang dia hendak mencari ayahnya untuk dibujuk pulang ke Khitan. Ibunya adalah puteri kepala suku Khitan.”

Pangeran Cia Sun mengangguk-anggukkan kepalanya. “Benar hebat pemuda itu. Dia tentu seorang pendekar yang besar!”

“Dia memang berjiwa pendekar dan menurut keponakanmu Kwi Hong, ilmu silatnya hebat sekali sehingga dia mampu mengalahkan para datuk sesat. Karena itu maka aku minta agar dia dan nona Souw Cu In yang juga lihai sekali untuk melindungi Kaisar dan tarnyata mereka berhasil merobohkan banyak penjahat yang menyamar sebagai perajurit pengawal, akan tetapi sayang, para datuk yang memimpin penyerbuan itu dapat kabur. Rencana pemberontakan itu keji sekali. Mereka hendak membunuh ayahanda Kaisar dan aku, dan mereka mempersiapkan pasukan di luar dan di dalam kota raja, berhasil pula mempengaruhi seorang panglima. Tujuan mereka, kalau Kaisar dan aku sudah tewas, istana akan dikuasainya dan dengan dalih singgasana kosong dan dia yang berhak duduk sebagai kakakku yang tertua, Pangeran Tao Seng akan mengangkat diri sendiri menjadi kaisar.”

“Keterlaluan sekali kanda Tao Seng itu. Dan sekarang, apakah dia, sudah tertangkap kembali?”

Belum, begitu gerakan mereka gagal, dia sudah menghilang entah ke mana. Para penyelidik sedang mencarinya dan kalau tertangkap, sekali ini tentu akan di jatuhi hukuman mati.”

“Aku. dapat menduga siapa datuk-datuk sesat yang dipergunakan para pemberontak itu. Mereka tentu termasuk Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin. Mereka adalah datuk-datuk yang tersesat, mau melakukan apa saja asalkan pahalanya besar.” kata Kai-ong Lu Tong Ki yang sejak tadi diam saja.

“Hemmm, tiga nama datuk itu sudah terkenal sekali. Kalau hanya menerima upah harta saja tentu mereka tidak mau membantu pemberontakan,” kata isteri Pangeran Cia Sun yang bernama Sim Hui Eng. Wanita ini sudah kenyang dengan pengalaman di dunia kang-ouw maka ia mengenal pula tiga orang datuk yang disebutkan tadi. “Kurasa mereka itu mendapatkan janji akan diberi kedudukan tinggi kalau Pangeran Tao Seng berhasil menjadi Kaisar.”

Pangeran Mahkota Tao Kuang mengangguk-angguk. “Dugaan itu tepat sekali. Tidak dapat disangsikan lagi, mereka tentu diberi janji yang muluk-muluk.”

“Akan tetapi masih ada satu hal lagi yang amat mengherankan hatiku, Kanda Tao Kuang.”

“Apa yang kauherankan?”

“Hadirnya Yo Han Li di tempat ini. Kalau Locianpwe Kai-ong tidak aneh berada di sini sebagai tamu karena aku tahu bahwa Kanda Pangeran suka menghargai orang pandai. Akan tetapi Han Li, ia masih terhitung keponakanku sendiri karena ayahnya adalah kakak angkatku. Akan tetapi biarpun demikian, ayahnya itu juga ketua Thian-li-pang yang jelas merupakan perkumpulan para pejuang yang sewaktu-waktu dapat memberontak. Bukankah tersiar berita bahwa para penyerang yang hendak membunuh kaisar itu mengaku orang Thian-li-pang?”

Pangeran Tao Kuang teraenyum. “Berita itu bohong dan yang membongkar rahasianya adalah nona Yo Han Li. Ia tidak mengenal orang-orang itu sebagai anggauta Thian-li-pang, bahkan kemudian diketahui bahwa para penyerang itu adalah orang-orang Pek-lian-pai dan Patkwa-pai. Tadinya aku pun sangat dan curiga kepada nona. Yo, akan tetapi selama ia di sini ia memperlihatkan sikap yang baik sekali, bahkan cocok dengan Kwi Hong. Karena itu, aku sepenuhnya menanggung bahwa nona Yo tidak berpihak kepada pemberontakan, bahkan ia pun ikut turun tangan melawan ketika gerombolan penjahat itu menyerbu ke istana ini.”

Pangeran Cia Sun mengangguk-anggup, dan Liang Siok Cu, selir Pangeran Tao Kuang yang mendampingi mereka bercakap-cakap, menambahkan, Menurut penglihatanku, nona Yo sama sekali tidak jahat. Bahkan ia baik sekali, sopan dan ramah. Dengan terua terang ia pernah mengatakan kepada aku dan Kwi Hong, bahwa ayahnya memang pemimpin Thian-li-pang dan berjiwa patriot, akan tetapi sama sekali tidak membenci keluarga Kaisar. Yang dibencinya adalah penjajahan dan sekarang mereka hanya bergerak melindungi rakyat dari penindasan pejabat yang menyeleweng atau gangguan gerombolan perampok. Itulah sebabnya mengapa ia mau tinggal di sini menjadi tamu kami, bahkan telah ikut membantu menyelamatkan kami dari serbuan para pembunuh.”

Kembali Cia Sun mengangguk-angguk. “Aku sudah mengenal baik siapa itu Yo Han. Pendekar Tangan Sakti itu memeng seorang pendekar tulen yang budiman. Hampir tidak pernah dia membunuh orang. Orang-orang jahat hanya dia kalahkan dan dia talukkan dan diampuni asalkan mau mengubah jalan hidup mereka yang menyeleweng.”

Sementara itu, di taman bunga juga terjadi percakapan yang menarik hati. “Taman begini indah, hawa begini sejuk, sungguh tepat sekali untuk menulis sajak, meniup suling dan menabuh yangkim, atau karena kita belum mempersiapkan peralatannya, bagaimana kalau kita isi dengan mempertunjukkan ilmu silat kita masing-masing?” kata Kwi Hong dengan gembira.

“Bagus!” Cia Kun memuji. Sebaiknya engkau yang mengusulkan, engkau yang lebih dulu mulai, Hong-moi!”

“Tidak, sebaiknya kalau enci Han Li yang mulai, mengingat bahwa ilmu silatnya yang paling tinggi di antara kita. Marilah, enci Han Li, bermainlah silat agar membuka mata, kami yang bodoh!” kata pula Kwi Hong sambil menarik-narik tangan Han Li. Han Li tersenyum. “sudah lajim di mana-mana bahwa pria harus mengalah kepada wanita. Karena kita berdua wanita dan yang pria hanya Kun-ko, maka sepantasnyalah kalau dia mangalah dan bermain silat lebih dulu.”

Kwi Hong bertepuk tangan dan bersorak. “Setuju sekali. Nah, Kun-ko, kalau engkau menolak berarti engkau seorang laki-laki yang tidak bijaksana, tidak mau mengalah terhadap wanita!”

Menghadapi serangan Kwi Hong ini, Cia Kun menyeringai dan tidak mampu membantah lagi. “Baiklah aku akan mengalah. Aku mainkan ilmu pedang yang kupelajari dari ibuku.” Kwi Hong bertepuk tangan. “Wah, tentu hebat sekali!”

Cia Kun, mengeluarkan sebatang pedang dari punggungnya dan mencabut, sebuah kipas putih dari pinggangnya, lalu berkata sambil tersenyum. “Ibuku biasanya memainkan pedang di tangan kanan dan sebuah kebutan di tangan kiri. Karena aku tidak memainkan kebutan seperti seorang pendeta, ibu lalu mengganti kebutan itu dengan kipas. Nah, aku mulai, akan tetapi harap jangan ditertawakan!”

Cia Kwi lalu melompat ke bagian yang luas dekat kolam ikan dan mulailah dia bermain pedang dan kipas. Gerakannya cepat dan indah sekali, seperti orang menari-nari dan terdengar suara berdesing dari pedangnya. Kipasnya melakukan totokan-totokan yang cepat dan kuat, kadang dikembangkan untuk menangkis serangan lawan. Pemuda itu memainkan ilmu pedangnya yang sebanyak tiga puluh enam jurus itu, lalu berhenti. Lehernya sedikit berkeringat akan tetapi pernapasannya biasa saja tanda bahwa dia telah menguasai ilmu itu dengan baik dan dapat mengatur pernapasannya ketika berlatih tadi.

Kwi Hong bertepuk tangan, diikuti Han Li. Dan Han Li berkata, “Sungguh kiam-hoat (ilmu pedang) yang bagus!”

“Aih, Li-moi, jangan memuji di mulut akan tetapi menertawakan di hati!” kata Cia Sun sambil menyimpan kembali pedang dan kipasnya. “Siapa menertawakan, Kun-ko?” Tiga tahun yang lalu, ketika engkau dan orang tuamu datang berkunjung engkau juga memperlihatkan ilmu silatmu, akan tetapi sungguh jauh bedanya dengan yang kau mainkan tadi. Dalam waktu tiga tahun saja ilmu silatmu telah maju pesat sekali.”

“Terima kasih atas pujianmu, Li-moi”

“Haiii, kalian ini agaknya sudah lama berkenalani” kata Kwi Hong sambil memandang wajah kakak misannya.

“Tentu saja!” jawab Cia Kun sambil tersenyum. Bahkan Han Li ini boleh dibilang adikku sendiri. Ayahku dan ayahnya adalah saudara angkat!”

“Ah, pantas saja kalian demikian akrab. Nah, enci Han Li, sekarang tiba giliranmu untuk menunjukkan kepandaianmu!” kata Kwi Hong gembira. Tadi ia merasa bangga dan kagum sekali melihat ilmu pedang yang dimainkan kakak misannya.

“Ih, apahah engkau tidak mengenal lagi sopan santun, adik Kwi Hong. Engkau adalah nona rumah dan aku hanya tamu, maka sudah selayaknya kalau nona rumah memberi contoh lebih dulu, baru aku sebagai tamu mengikutinya!”

“Wah, kiranya yang lihai bukan hanya ilmu silatmu, enci. Han Li. Engkau lihai sekali berdebat dari bicara. Baiklah, aku sebagai nona rumah harus mengalah. Akan tetapi berjanjilah bahwa kalian berdua tidak mentertawakan ilmu pedangku “

“Mana mungkin kami menertawakanmu? Kami percaya bahwa ilmu pedangmu tentu hebat sekali. Hayolah, adik Hong, perlihatkan kehebatan pedangmu!”

“Hong-moi, aku tadi sudah mengalah bermain pedang lebih dulu, maka kini engkau tidak dapat menolak lagi.” Cia Kun juga membujuk.

“Baiklah, boleh lihat baik-baik ilmu pedangku yang jelek dan dangkal.” Kwi Hong lalu meloncat ke tempat dekat kolam tadi sambil mencabut pedangnya. Cepat sekali gerakan mencabut pedang itu sehingga seperti bermain sulap saja tahu-tahu pedang sudah berada di tangan kanannya. Ia memberi hormat dengan kedua tangan di dada terhadap dua orang penontonnya dan mulailah ia bermain silat pedang Ngo-heng Sin-kiam (Pedang Sakti Lima Unsur), yaitu ilmu yang secara kebetulan dia temukan bukunya di perpustakaan Istana kaisar.

Dan kedua orang penontonnya tertegun. Hebat memang ilmu pedeng itu, mengandung tenaga keras, kadang lembut, kadang cepat dan kadang lambat. Dan Kwi Hong memainkannya dengan gerakan yang indah sekali. Kini Yo Han Li yang merasa kagum. belum pernah ia menyaksikan ilmu pedang seperti itu, akan tetapi kalau disangkan dengan ilmu pedang yang dibandingkan Cia Kun tadi, jelas bahwa ilmu pedang yang dimainkan Kwi Hong lebih lihai. Juga Cia Kun kagum bukan main. Ilmu pedang itu tidak pernah dilihatnya, namun gerakannya demikian kuat dan cepat.

Setelah Kwi Hong menghentikan permainan pedangnya, Cia Kun dan Han Li menyambutnya dengan tepuk tangan.

“Kiam-hoat itu sungguh hebat sekali!” kata Han Li.

“Wah, Hong-moi, kalau aku tahu bahwa ilmu pedangmu demikian hebat, aku tadi tidak berani memperlihatkan kebodohanku. Aku mengaku kalah!” kata Cia Kun sambil menghampiri adik misannya itu.

“Kalian terlalu memujiku!” kata Kwi Hong sambil menyapu dahi dan lehernya yang berkeringat itu dengan saputangan. “Sekarang aku minta enci Han Li yang memperlihatkan kepandaiannya.”

“Karena kalian tadi bermain pedang, biarlah saya pun menggunakan pedang.kata Han Li sambil mencabut pedangnya. Pedang itu tidak begitu panjang dan tipis. Setelah memberi hormat kepada dua orang penontonnya, Han Li mulai menggerakkan pedangnya. Mula-mula gerakannya lambat saja, akan tetapi makin lama semakin cepat sehingga tubuhnya lenyap tergulung sinar pedang. Pedang itu mengeluarkan angin dan kadang sinarnya membubung ke atas, lalu mencuat ke kanan kiri. Kalau sinar pedang itu mencuat ke atas, maka jatuhlah daun-daun pohon berhamburan! baru sinar pedangnya saja mampu membuat daun-daun itu berjatuhan! Cia Kun dan Kwi Hong menjadi bengong menyaksikan ilmu pedang yang dimainkan Han Li. Mereka tidak tahu bahwa itu adabah ilmu pedang Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman), sebuah ilmu pedang dari keluarga Lembah Naga. Mata mereka menjadi silau dan seolah mereka menahan napas saking kagumnya. Baru setelah gulungan itu lenyap dan nampak Han Li berdiri di situ dengan pedang bersembunyi di lengan kanarnya, mereka bertepuk tangan. Han Li menyimpan pedangnya dan menghampiri mereka dengan senyum simpul.

“Hebat! Hebat sekali ilmu pedangmu tadi, enci Han Li!” seru Kwi Hong.

“Memang hebat, akan tetapi ilmu pedangmu juga tidak kalah hebatnya, Hong-moi kata Cia Kun.

“Ah, engkau bisa saja memuji orang, Kun-koi”.

“Aku tidak asal memuji. Memang ilmu pedangmu tadi bagus sekali. Tanyakan kepada nona Yo kalau tidak percaya!”

Yo Han Li mengangguk. “Memang hebat ilmu pedangmu tadi aku tidak pernah melihat ilmu pedang seperti itu. Apa namanya ilmu pedangmu itu, adik Kwi Hong?”

“Ilmu pedang itu kudapatkan secara kebetulan sekali. Ketika aku mencari-cari buku bacaan di kamar perpustakaan istana, aku menemukan sebuah kitab lama yang sukar dibaca. Aku minta tolong para sastrawan di istana dan akhirnya mengetahui bahwa isinya adalah ilmu pedang yang namanya Ngo-heng-kiam-sut. Nah, aku lalu mampelajarinya.”

“Hebat sekali. Ilmu itu tentu peninggalan orang sakti dan engkau beruntung menemukannya, adik Kwi Hong.”

“Jangan terlalu memujiku, enci Han Li. Ilmu pedangmu tadilah yang hebat. Apa sih namanya?”

“Itu adalah Koai-liong Kiam-sut yang kupelajari dari ibuku.”

“Dari kitab kuno dapat mempelajari ilmu pedang yang demikian kuat dan indah? Engkau sungguh seorang gadis yang cerdik dan tekun Hong-moi. Aku sungguh merasa kagum sekali!” tiba-tiba Cia Kun berkata sambil memandang wajah gadia itu. Wajah Kwi Hong menjadi kemerahan.

“Ah, Kun-ko. Sudahlah, jangan memuji-muji aku terlalu tinggi. Jangan-jangan kepala ini membesar dan meledakkarena bangga!” kata Kwi-Hong sambil tersenyum.

Cia Kun juga tertawa dan dia beradu pandang dengan Kwi Hong, keduanya saling tertarik. Han Li melihat gelagat ini. Tadinya Cia Kun menyatakan suka padanya, bahkan ayah ibunya sudah datang meminangnya. Akan tetapi karena ayah ibunya tidak menyetujui pinangan itu, agaknya Cia Kun tidak lagi mengharapkannya dari pindah perhatian kepada Kwi Hong. Mereka memang pasangan yang sangat cocok, keduanya anak pangeran, berdarah bangsawan. Oleh karena itu, ia pun tidak ingin hadir terus di situ yang hanya akan merupakan gangguan bagi mereka.

“Ah, kepalaku agak pening rasanya. Maafkan aku, adik Kwi Hong, aku permisi dulu untuk rebahan di kamarku.”

“Ah, tentu saja, Enci Han Li. Apakah engkau sakit? Jangan-jangan masuk angin. “ Kwi Hong mendekatinya dan meraba dahi Han Li, “Perlukah kupanggilkan tabib?”'

“Ah, tidak usah, adik Kwi Hong, terima kasih. Aku hanya merasa pening dan lelah. Ingin mengaso.””Kalau begitu baiklah, enci Han Li, aku akan bercakap-cakap dengan Kun-ko di sini.”

Han Li lalu pergi dari situ dan setelah agak jauh ia mendengar Kwi Hong dan Cia Kun keduanya tertawa-tawa dengan gembira.

“Semoga mereka berbahagia.” katanya dalam hati sambil memasuki gedung istana itu untuk menuju ke kamar yang disediakan untuknya.

“Nah, kebetulan sekali, Hong-moi. Kini kita ditinggalkan berdua saja. Aku memang ingin menyampaikan perasaan hatiku setelah bertemu denganmu. Sudah agak lama tidak saling bectemu dan tadi, begitu melihatmu, jantungku berdebar tidak karuan. Engkau telah menjadi gadis dewasa yang cantik seperti bidadari dan juga tangguh seperti seorang pendekar wanita. Aku merasa kagum sekali, Hong-moi.”

“Wah, pujianmu terlalu muluk, Kun-ko. Aku hanya seorang gadis biasa, mana mungkin disamakan dengan bidadari?” Kwi Hong lalu tertawa dan Cia Kun juga tertawa. Inilah yang didengarnya oleh Han Li sebelum ia masuk ke dalam istana.

“Sungguh, Hong-moi. Aku tidak main-main. Di dalam istana ayahku terdapat sebuah patung Dewi Kwan Im, dan kulihat engkau mirip patung itu, lebih elok malah.”

“Aku kausamakan dengan Kwan Im Pousat? Ngaco! Engkau terlalu memujiku, padahal engkau sendiri seorang pemuda yang gagah dan tampan sekali. Tentu banyak gadis puteri istana yang tergila-gila padamu.”

“Entahlah, aku tidak memperhatikan mereka. Tidak ada seorang pun puteri istana yang dapat menyamai engkau, Hong-moi. Karena itu, aku akan mohon kepada ayah ibuku untuk meminangmu sebagai calon isteriku.”

“Ihhh! Jangan bicara soal perjodohan, Kun-ko.” Kwi Hong membalikkan diri dan mukanya menjadi merah sekali. Cia Kun mengitarinya dan menghadapinya.

“Engkau marah, Kwi Hong? Maafkanlah kelancanganku kalau begitu. Akan tetapi sebelum ayah bundaku melamarmu, aku ingin lebih dulu mengetahui darimu, apakah hatimu sudah ada yang punya? Kalau engkau tidak setuju, katakan saja sekarang agar orang tuaku tidak usah melamar yang kemudian kau menolak. Maka itu, katakanlah, bagaimana kalau ayah bundaku melamarmu?”

Kwi Hong merasa terharu sekali. Ia memang pernah jatuh cinta kepada seorang pemuda, dan pemuda itu adalah Keng Han. Akan tetapi ternyata bahwa Keng Han adalah kakak sepupunya, satu marga sehingga tidak mungkin sekali mereka menjadi suami isteri. Sekarang Cia Kun menyatakan cintanya. Ditanya seperti itu tentu saja sukar baginya untuk menjawab. Di dalam hatinya, Ia pun kagum dan suka kepada Cia Kun. Seorang pemuda bangsawan, putera pangeran yang terkenal berbudi, seorang pemuda yang juga tidak lemah, karena ibunya seorang pendekar wanita yang berilmu tinggi. Mau apa lagi?

“Hong-moi, jawablah. Jangan biarkan aku dalam keraguan yang akan menyiksa hatiku. Aku tidak akan merasa sakit hati andaikata engkau menolakku. Aku hanya ingin kepastian dan jawablah selagi kita hanya berdua di sini.

“Ah,Kun-ko.... urusan begituan.... kuserahkan saja kepada ayah dan ibuku. Mari kita kembali kepada mereka. “Dan tanpa menanti jawaban Kwi Hong lalu berlari masuk, disusul oleh Cia Kun. Pemuda ini merasa gembira bukan main.Dia tahu bahwa kalau seorang gadis setuju dipinang, ia pasti akan mengatakan seperti yang dikatakan gadis itu, yaitu menyerahkan kepada orang tuanya. Kalau tidak setuju, pasti terus terang dikatakan tidak setuju!

Ketika Cia Kun dan Sim Hui Eng melihat putera mereka kembali dari taman bersama Kwi Hong dan wajah pemuda itu berseri dan matanya bersinar-siinar, mereka sudah dapat menduga. Apalagi melihat Kwi Hong malu-malu duduk sambil menundukkan mukanya!

Mereka berpamit dan diantar oleh Pangeran Tao Kuang dan selirnya sampai ke pintu depan. Dengan hati gembira dan tidak sabar lagi, Cia Kun lalu menceritakan kepada ayah bundanya bahwa dia telah menyatakan cintanya kepada Kwi Hong dan agaknya gadis itu tidak berkeberatan. Maka dia minta kepada ayah ibunya untuk meminang gadis itu. Cia Sun dan isterinya gembira mendengar berita ini karena mereka tentu setuju sekali kalau mempunyai mantu puteri Pangeran Mahkota. Mereka berjanji akan melakukan pinangan secepat mungkin.

Bi-kiam Nio-cu Siok Bi Kiok melakukan perjalanan seorang diri. Berulang kali ia menarik napas panjang karena hatinya murung dan kecewa sekali. Sampai usianya yang dua puluh dua tahun, ia belum pernah merasa jatuh cinta kepada seorang pria. Apalagi dengan penekanan dari subonya bahwa semua pria itu jahat dan palsu, ia bahkan membenci kaum pria. Dan karena ia seorang gadis yang berwajah cantik, maka tentu saja dalam perjalanan ia banyak digoda pria yang mengakibatkan pria-pria itu tewas terbunuh olehnya. Akan tetapi semenjak ia bertemu Keng Han, entah bagaimana ia benar-benar jatuh cinta kepada pemuda itu. Ilmu kepandaian dan watak serta ketampanan wajah itu membuatnya tergila-gila. Bahkan ia menjadikan pemuda, itu sebagai muridnya dan ikut membantunya menghadap Dalai Lama saking cintanya. Akhirnya ia minta pemuda itu agar suka menjadi suaminya walaupun maksud ini bertentangan dengan ajaran subonya. Ia berani menentang maut demi cintanya terhadap pemuda itu. Akan tetapi pemuda itu menolaknya. Sakit sekali rasa hatinya dan ingin ia membunuh pemuda itu, akan tetapi kembali hatinya kecewa karena ternyata ia tidak mampu mengalahkan Keng Han bahkan sebagian rambutnya putus di tangan pemuda itu. Rasa sakit hatinya bertambah, apalagi ketika Keng Han mengakui bahwa dia mencintai Cu In yang berwajah cacat dan buruk! Dari pada memilihnya, pemuda itu malah memilih gadis yang cacat wajahnya! Hal ini amat menyakitkan dan mengecewakan hatinya dan kini ia pergi ke Bu-tong-pai untuk menghibur diri dan melihat apa yang terjadi di sana.

Pada suatu hari tibalah ia di kota Hue-nam. Kota ini cukup besar dan Niocu memasuki pintu gerbang kota itu. Karena hari telah senja, ia hendak melewatkan malam di kota itu dan mulailah ia mencari rumah makan yang juga merupakan penginapan. Setelah melihat rumah penginapan yang dari papan namanya diketahui bernama Losmen Hok-lai, ia lalu masuk ke rumah makan di depan penginapan itu.

Masuknya seorang wanita seperti Niocu, cantik jelita dan sendiri pula, tentu saja menarik perhatian banyak orang, terutama para prianya. Kebetulan dalam rumah makan itu maslh terdapat meja yang kosong dan Nio-cu disambut seorang pelayan dan diajak menuju ke sebuah meja kosong di sudut. Puluhan pasang mata pria mengikutinya dan memandang dengan kagum. Akan tetapi Niocu tidak mengacuhkan. Sudah terbiasa baginya melihat mata pria menantapnya penuh kagum. Asal tidak ada yang berucap atau berbuat kurang ajar, ia tidak ambil peduli. Akan tetapi ia tertarik sekali melihat seorang pemuda yang juga duduk seorang diri menghadapi meja. Pemuda itu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, berwajah tampan dan gagah, bertubuh tinggi besar, matanya lebar dan wajahnya berbentuk bundar. Pemuda itu duduknya menghadap ke arahnya, akan tetapi pemuda itu bersikap tak acuh. Melihat ini hati Niocu menjadi penasaran. Belum pernah dara ini melihat laki-laki yang bersikap acuh tak acuh terhadap kehadirannya. Sekalipun pemuda itu tidak memandang kepadanya! Wanita memang aneh. Diperhatikan orang tidak suka, akan tetapi tidak diacuhkan juga tidak senang dan penasaran. Dengan sengaja Niocu menaruh pedangnya di atas meja dengan agak membantingnya untuk menimbulkan suara agar pria di depan itu memperhatikannya. Akan tetapi pria itu mengangkat muka dan memandang kepada pedangnya di atas meja, sama sekali tidak melirik kepadanya! Padahal semua pria yang berada di rumah makan itu menoleh kepadanya. Kepada pelayan yang mengantarnya ke meja itu ia lalu memesan masakan yang mahal, juga dengan suara tinggi agar terdengar pemuda di depannya itu. Akan tetapi kembali sang pemuda tidak mengacuhkannya, bahkan mulai makan kacang goreng yang berada di mejanya sambil sesekali minum araknya dari cawan.

Kalau pemuda itu tidak mempedulikan Niocu, sebaliknya ada empat orang pemuda yang tidak menyembunyikan kekaguman mereka. Empat orang pemuda ini jelas merupakan pemuda-pemuda bangsawan atau hartawan. Pakaian mereka mewah sekali dan usia mereka rata-rata dua puluh lima tahun.

“Bukan main cantiknya nona itu! Hatiku seketika jatuh!” terdengar seorang di antara mereka berkata, suaranya cukup lantang untuk dapat terdengar oleh Nio-cu.

“Kasihan ia makan seorang diri, bagaimana kalau kita undang ia makan di meja kita?” kata orang kedua.

“Bagus sekali. Meja kita cukup lebar untuk ditempati lima orang. Akan tetapi bagaimana kalau ia menolak undangan kita dan marah?” kata yang ketiga.

“Hemmm, siapa yang tidak mengenalku, si penaluk wanita? Belum, pernah ada wanita yang menolak undanganku. Kalian lihat saja!” kata orang keempat, seorang pemuda yang paling pesolek di antara mereka dan memang wajahnya tampan sekali. Dia lalu bangkit berdiri dan menghampiri meja Niocu. Kepada gadis itu dia memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada. Niocu menghadapinya dengan dingin dan tenang, tidak membalas penghormatan itu.

“Maafkan aku, Nona. Namaku Teng Sin, dan melihat Nona duduk seorang diri, kami berempat merasa kasihan. Maka saya mengundang Nona untuk duduk makan bersama di meja kami. Semua pesanan Nona kami yang akan membayarnya!

Marilah, Nona, kami mengundang dengan hormat!”

Niocu mengerutkan alisnya. Biarpun pemuda itu secara tidak wajar mengundangnya makan bersama namun ucapannya sopan dan ia masih dapat menahan diri. Pemuda inii tidak kurang ajar, hanya mengundang makan dengan hormat walaupun undangan itu tidak wajar karena mereka tidak saling mengenal.

“Terima kasih. Aku ingin makan sendiri di sini, tidak ingin ditemani siapapun juga.” jawabnya dingin.

“Aih, Nona. Mengapa Nona menolak undangan kami? Kami bermaksud baik, Nona. Aku Teng Sin selalu memandang tinggi gadis-gadis cantik dan amat menghargai mereka. Marilah, Nona, harap jangan malu-malu.”

Kalau tadinya Niocu hanya menunduk, kini ia mengangkat muka dan matanya bersinar tajam memandang kepada pemuda itu. Pemuda yang tampan dan pesolek, model pemuda-pemuda yang suka mempermainkan wanita.

“Sudahlah, jangan ganggu aku lagi.Pergilah!” kata Niocu, masih dapat menahan kesabarannya. “Pergi atau engkau akan menyesal nanti!”

Akan tetapi mana pemuda itu mau pergi? Dia telah berdiri dekat Niocu dan melihat betapa cantiknya gadis itu.

“Nona begini cantik seperti bidadari, tentu berbudi mulia seperti bidadari pula dan tidak akan menolak maksud baik kami. Marilah, nona manis, engkau tentu mendapatkan kegembiraan makan semeja dengan kami. Kami adalah pemuda-pemuda hartawan bahkan di antara kami ada yang menjadi putera, jaksa. Engkau akan terhormat kalau memenuhi undangan kami.” Pemuda itu tidak mau kalah dan terus membujuk.

“Hemmm, sudah ditolak masih terus minta-minta dan merengek. Sungguh bermuka tebal dan tidak tahu malu!” Terdengar suara orang dan ketika semua orang menoleh, ternyata yang bicara adalah pemuda yang makan kacang goreng itu. Niocu juga memandang dan melihat pemuda itu masih makan kacang goreng, akan tetapi kini pandang matanya ditujukan kepada pemuda hartawan itu.

Pemuda hartawan itu menjadi marah sekali dan dengan langkah lebar menghampiri pemuda yang mengeluarkan kata-kata mengejeknya tadi.

“Siapa engkau? Berani mencampuri urusanku?” Dan tiga orang pemuda lain juga sudah bangkit berdiri siap mengeroyok pemuda bermata lebar itu.

Akan tetapi pemuda itu hanya tersenyum, lalu mengambil empat biji kacang goreng, dimasukkan ke dalam mulutnya dengan tiba-tiba dia menyemburkan empat biji kacang itu dari mulutnya dan empat orang pemuda itu mengaduh sambil meraba pipi mereka. Ternyata semburan kacang itu mengenai pipi mereka dan terasa nyeri bukan main seolah pipi mereka disambar benda keras yang membuat pipi itu lecet dan kulitnya pecah! Empat orang pemuda itu adalah pemuda-pemuda kaya yang biasanya tidak pernah disentuh orang. Apalagi di antara mereka terdapat putera jaksa yang membuat mereka berani melakukan apa saja. Kini, melihat ada orang berani menentang mereka bahkan melukai mereka, empat orang pemuda itu menjadi semakin marah.

“Orang lancang dan kurang ajar! Engkau pantas dihukum!” kata mereka dan empat orang itu maju hendak menghajar laki-laki itu. Kini pria itu menenggak arak dari cawan dan kembali dia menyemburkan arak itu ke arah empat orang yang mengancamnya. Kini empat orang itu terhuyung ke belakang, muka mereka rasanya seperti ditusuk banyak jarum sehingga mata mereka juga sukar dibuka. Barulah mereka menyadari bahwa pemuda itu seorang yang berilmu tinggi. Mereka menjadi ketakutan dan tanpa dikomando, mereka serentak mundur dan melarikan diri keluar dari rumah makan itu!

Niocu menjadi kagum. Orang itu tentu lihai sekali dan ketika laki-laki itu memandang kepadanya, ia mengangguk berkata, “terima kasih atas bantuanmu.”

Pemuda itu pun mengangguk dan melanjutkan makan minum. Niocu juga makan minum seolah tidak pernah terjadi sesuatu. Pemuda itu selesai makan dan setelah membayar harga makanan, keluar lebih dulu. Tak lama kemudian, Niocu juga selesai makan, membayar harga makanan ia lalu berkata kepada pelayan bahwa ia hendak bermalam di rumah penginapan Hok-lai itu. Si pelayan segera mengantar Niocu masuk ke dalam dan mendapatkan sebuah kamar di loteng. Kamar itu menghadap ke jalan sehingga dari jendela kamarnya Niocu dapat menjenguk keluar dan melihat lalu lintas di jalan raya yang berada di luar losmen itu.

Baru saja Niocu melepaskan buntalan pakaiannya dan bersiap-siap hendak mandi, tiba-tiba dia mendengar suara ribut-ribut di luar. Cepat ia menghampiri jendela dan menjenguk keluar. Dan Ia melihat betapa tidak begitu jauh dari losmen itu, terdapat seorang pemuda yang dikeroyok belasan orang. Ia segera mengenal pemuda itu sebagai pemuda yang membantunya. Cepat ia turun dari loteng dan keluar.

Pemuda itu benar-benar tangguh. Para pengeroyoknya adalah tukang-tukang pukul yang memegang senjata golok dan ruyung, akan tetapi pemuda itu dengan kedua tangan kosong saja melawan mereka membagi pukulan dan tendangan. Melihat ini, Niocu tidak sabar lagi dan segera lari ke tempat itu dan terjun ke dalam perkelahian. Belasan orang itu yang tadinya memang sudah kewalahan mengeroyok si pemuda, kini menjadi kalang kabut diterjang oleh Niocu. Niocu juga tidak menggunakan pedangnya, hanya menggunakan kedua tangan dan kaki saja akan tetapi dalam waktu singkat ia sudah merobohkan lima orang! Pemuda itu pun merobohkan beberapa orang. Para pengeroyok menjadi jerih dan mereka segera melarikan diri sambil memapah teman-teman mereka yang sudah roboh. Pemuda itu berhadapan dengan Niocu. “Terima kasih atas bantuanmu!” katanya aambil mengangguk. Niocu balas mengangguk dan keduanya lalu pergi karena di situ terdapat banyak orang yang menonton. Niocu kembali ke losmen dan segera mandi dan bertukar pakaian. Akan tetapi ia tidak pernah dapat melupakan pemuda yang tadi dibantunya. Seorang pemuda yang gagah, pikirnya dan diam-diam ia merasa betapa jantungnya berdebar aneh. Pemuda itu sama sekali tidak memperhatikannya. Bukan pemuda mata keranjang, bukan pemuda usil yang suka menggoda wanita. Akan tetapi pemuda itu sungguh gagah dan lihai.

Pada keesokan harinya, Niocu melanjutkan perjalanan menuju ke Bu-tong-pai. Ketika ia tiba di luar kota Huenam, ia melihat seorang pria berjalan di depannya, menuju arah yang sama. Biarpun ia melihat dari belakang, namun hatinya berdebar karena dia mengenal orang itu sebagai pemuda yang kemarin. Ia mempercepat langkahnya mengejar dan ternyata dugaannya benar. Ia melampaui pemuda itu, pura-pura tidak melihatnya karena rasanya tidak pantas kalau ia sebagai seorang wanita menegur lebih dulu,

Perlahan dulu, Nona?” terdengar suara pemuda itu dan Niocu menghentikan langkahnya dan memutar tubuhnya.

Kini ia berhadapan dengan pemuda itu. “Ah, kiranya engkau!” katanya dengan wajar.

“Nona, tidak kusangka akan bertemu denganmu di sini. Kalau aku boleh bertanya, Nona hendak pergi ke manakah?”

Aku hendak pergi ke Bu-tong-san.” Wajah pemuda yang tampan itu berseri. “Ah, sungguh suatu kebetulan yang menyenangkan. Aku pun sedang menuju ke Bu-tong-pai, Nona!”

Niocu memandang dengan tajam seolah hendak menjenguk isi hati pemuda itu. “Apakah engkau murid Bu-tong-pai?”

“Sama sekali bukan. Akan tetapi aku mengenal baik ketua Bu-tong-pai dan aku menjadi tamu di sana. Kalau engkau hendak pergi ke Bu-tong-san, apabila Nona tidak berkeberatan, kita dapat melakukan perjalanan bersama.” Ucapan pemuda itu wajar saja. “Akan tetapi kalau Nona keberatan, aku pun tidak akan memaksa atau kecewa.”

Niocu diam-diam merasa gembira sekali. ia sudah tertarik kepada pemuda ini dan ingin mengenalnya lebih baik. Ternyata secara kebetulan sekali bertemu di sini dan arah perjalanan mereka ternyata sama! Tentu saja ia tidak tahu sama sekali betapa sejak pagi sekali tadi, pemuda itu dengan sembunyi telah mengamatinya dan tahu bahwa ia meninggalkan losmen dan pergi keluar kota. Pemuda itu selalu membayanginya dan ketika melihat ia pergi ke jurusan itu, pemuda itu dengan jalan memutar mendahuluinya!

“Aku hendak ke Bu-tong-pai dan mendengar bahwa di sana akan diadakan pertemuan orang-orang kang-ouw, aku pergi ke sana untuk meluaskan pengalaman. Engkau tentu mengetahui tentang Bu-tong-pai, apakah benar akan ada pertemuan besar di sana?”

“Benar sekali, Nona. Bahkan aku baru pulang setelah mengirim undangan-undangan dari Bu-tong-pai. Aku dimintai bantuan oleh ketua Bu-tong-pai. Dan sekarang, biarlah kami mengundang juga Nona untuk menghadiri pertemuari itu sebagai tamu agung.”

“Aih, kebetulan sekali kalau begitu.”

“Jadi Nona tidak keberatan kalau melakukan perjalanan bersamaku ke sana?” “Tentu saja tidak.

“Terima kasih atas kepercayaan Nona padaku. Nona, namaku Gu Lam Sang. Kalau boleh aku mengetahui, siapakah nama Nona?”

“Namaku Siang Bi Kiok, akan tetapi dunia kang-ouw mengenalku sebagai Bikiam Nio-cu.”

“Ahhh! Jadi Nona yang disebut Bikiam Nio-cu? Sudah lama sekali aku mendengar dan mengagumi Bi-kiam Niocu yang kabarnya pandai sekali menggunakan pedang. Kiranya Nonalah orang itu dan sekarang bahkan aku mendapat kehormatan untuk melakukan perjalanan bersama?”

Melihat kegembiraan pemuda itu Niocu merasa senang. Semua itu begitu wajar dan pemuda ini tidak bermuka-muka. “Melihat namamu tentu engkau seorang asing. Boleh aku mengetahui dari mana engkau berasal?” Gu Lam Sang menjawab cepat. “Memang aku berasal dari Tibet, Nona. Akan tetapi setelah berada di sini aku tidak merasa sebagai orang asing.”

Mari kita lanjutkan perjalanan kita sambil bercakap-cakap, saudara Gu Lam Sang. Ah, aku harus menyebut apa padamu? “

“Sebut saja namaku tanpa embel-embel, dan aku akan menyebut Niocu kepadamu.” kata Gu Lam Sang merendah. “Baiklah, Gu Lam Sang. Aku melihat betapa hebat kepandaianmu ketika menghadapi empat pemuda di rumah makan dan ketika tadi dikeroyok banyak tukang pukul. Engkau dari perguruan manakah? Dan siapakah gurumu?””Guruku hanya satu, yaitu Sang Dalai Lama di Tibet.”

“Aih, tidak mengherankan kalau begitu. Dalai Lama adalah seorang yang sakti. Aku pernah menghadap dia dan menyaksikan kehebatan ilmunya. Kenapa waktu aku ke sana engkau tidak berada di sana, Gu Lam Sang?”

“Aku sudah lama sekali meninggalkan Tibet. Sudah lebih dari lima tahun. Tentu aku sudah pergi dari sana ketika engkau menghadap guruku. Akan tetapi, mengapa engkau pergi menghadap guruku, Niocu? Ada keperluan apakah engkau dengan guruku?”

“Ah, aku sendiri tidak mempunyai urusan dengannya. Akan tetapi aku mengantar seorang kawan bernama Si Keng Han yang mendendam kepada Dalai Lama karena Dalai Lama menyuruh para Lama untuk membunuh gurunya yang namanya Gosang Lama.”

Berdebar jantung dalam dada Gu Lam Sang. Tentu saja dia sudah mengetahui semuanya. Gosang Lama itu adalah ayah kandungnya sendiri yang dihukum mati oleh Dalai Lama karena telah memberontak. Dan dia pun pernah bertemu dengan Keng Han beberapa kali, bahkan pernah bertanding melawan pemuda itu yang dia tahu amat lihai. Dan Niocu ini agaknya bersahabat baik dengan Keng Han! Pada saat itu dia membutuhkan pembantu yang pandai dan begitu bertemu dengan Niocu hatinya tertarik, apalagi mendengar bahwa nona ini Bikiam Nio-cu yang namanya tersohor. Timbul niat di dalam hatinya untuk memikat gadis ini agar suka menjadi pembantunya. Setelah menggunakan siasat, akhirnya dia dapat berkenalan dengan gadis ini.

“Niocu, sebagai seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi seperti engkau ini, apakah engkau tidak mempunyai cita-cita untuk masa depan?”

Niocu menoleh sambil terus berjalan. “Cita-cita? Apa maksudmu? Aku sudah puas dengan keadaanku yang sekarang.”

“Ah, mana mungkin orang puas dengan keadaannya sekarang? Orang harus memiliki cita-cita untuk memperoleh kemajuan dalam hidupnya.”Niocu menghela napas. Cita-cita apa? Dia mengharapkan menjadi jodoh Keng Han ternyata gagal dan ditolak pemuda itu! Ia pun tidak kerasan tinggal di Beng-san, di bekas rumah gurunya yang kini telah mengikuti The-ciangkun, hidup di kota raja! ? “Aku saat ini belum memiliki cita-cita, Gu Lam Sang. Bagaimana dengan engkau? Apakah engkau memiliki cita-cita yang muluk?”

“Tentu saja! Aku bercita-cita membantu gerakan Bu-tong-pai yang berusaha menggulingkan pemerintah Mancu. Kalau gerakan itu berhasil, tentu aku memperoleh kedudukan yang tinggi sebagai pahalaku. Alangkah senangnya kalau aku memperoleh kedudukan tinggi. Aku akan memiliki kekuasaan, harta dan juga dihormati dan dimuliakan orang! Apakah engkau tidak ingin seperti itu?”

Niocu diam saja, alisnya berkerut dan ia pun membayangkan, mengingat-ingat. Kemudian ia mengangguk. “Kalau bisa demikian, tentu aku akan senang. Aku pun bercita-cita seperti itu, Gu Lam Sang. Akan tetapi bagaimana caranya?”

Bersambung ke buku 7