Pusaka Pulau Es -5 | Kho Ping Hoo



Pusaka Pulau Es -5 | Kho Ping Hoo
Cu In tertegum. Ia mengenal betul sajak itu karena gurunya, Ang Hwa Nio-nio, sering menyanyikan sajak itu dalam sebuah lagu yang sedih. Dan sekarang pria itu bersajak yang sama! Karena perasaan terguncang, tubuh Cu In membuat gerakan. Biarpun gerakan itu tidak menimbulkan suara keras, akan tetapi pria itu memutar tubuhnya dan terdengar suaranya lantang,

"Sobat, tidak ada gunanya lagi engkau bersembunyi. Aku telah mengetahui keberadaanmu di situ!" Pria itu memandang ke arah Cu In.

Cu In terpaksa muncul dari balik rumpun bunga lalu menghampiri pondok itu. Pria itu nampak terkejut dan terheran-heran melihat bahwa yang muncul adalah seorang gadis yang mukanya ditutup cadar putih, pakaiannya juga serba putih. "Siapa engkau? Apa keperluanmu datang ke tempat ini tanpa diundang?" tanya pria itu dan suaranya mengandung wibawa yang kuat.

Akan tetapi Cu In tidak menjawab, melainkan balas bertanya, "Apakah engkau yang bernama The Sun Tek?"

"Tidak salah, akulah The Sun Tek. Siapakah engkau, Nona?"

"Namaku Souw Cu In dan aku datang ke sini untuk membunuhmu, The Sun Tek!"

The Sun Tek tidak menjadi terkejut mendengar pengakuan itu. Sebagai seorang panglima besar, dia tahu bahwa banyak orang menginginkan kematiannya untuk membalas dendam karena dia sudah sering menghancurkan usaha pemberontakan di mana-mana sehingga tidaklah aneh kalau ada yang mendendam kepadanya. Sering pula terdapat usaha orang-orang yang memusuhinya untuk membunuhnya. Akan tetapi baru sekarang usaha itu akan dilakukan seorang gadis muda. Hal ini mendatangkan rasa penasaran dalam hatinya.

"Membunuh orang tentu ada alasannya yang kuat, Nona. Kenapa engkau hendak membunuhku. Kita belum pernah bertemu dan di antara kita tidak terdapat urusan apa pun!"

"Kita memang tidak pernah bertemu akan tetapi engkau keliru kalau mengira di antara kita tidak pernah terdapat urusan apa pun. Alasanku datang untuk membunuhmu ini cukup kuat. Pertama, aku hendak membalaskan dendam kematian ayah bundaku yang telah kaubunuh! Dan kedua, aku datang mewakili guruku yang menjadi musuh besarmu!"

The Sun Tek mengerutkan alisnya. Kedudukannya sebagai panglima besar yang memimpin pasukan memang banyak resikonya. Entah berapa banyak orang yang dapat menaruh dendam kepadanya karena orang tuanya terbunuh dalam perang.

"Hemmm, siapakah nama ayah bundamu itu, Nona? Aku tidak merasa pernah membunuh orang, kecuali tentu saja dalam perang. Apakah ayah bundamu tewas dalam peperangan melawan pasukanku?" "Aku tidak tahu siapa ayah bundaku, tidak pernah mengenalnya karena sejak aku masih bayi engkau telah membunuh mereka."

"Lalu bagaimana engkau dapat tahu bahwa aku pembunuh mereka?"

"Guruku yang memberi tahu."

"Aha, gurumu yang kauwakili untuk menghadapi aku sebagai musuh besarnya itu? Dan siapa gerangan nama gurumu itu, Nona?"

"Guruku adalah Ang Hwa Nio-nio!"

The Sun Tek membelalakkan kedua matanya, lalu wajahnya nampak muram dan mengandung duka. "Ahhh, Hong Bwe.... Hong Bwe, sampai begitu mendalamkah bencimu kepadaku? Bertahun tahun aku mencarimu dan kini tiba-tiba muncul muridmu untuk membunuhku?"

Cu In tidak mengerti apa yang dimaksudkan pria itu. Ia sudah melolos sabuk suteranya dan berkata, "The Sun Tek, bersiaplah engkau untuk menghadapi seranganku!"

"Nanti dulu, nona Souw. Bersabarlah karena aku tidak akan pernah melarikan diri darimu. Engkau tidak dapat membunuh orang begitu saja tanpa alasan yang kuat. Engkau harus yakin benar bahwa aku adalah pembunuh orang tuamu. Dan tentang permusuhanku dengan gurumu Ang Hwa Nio-nio itu, tidakkah engkau ingin untuk mengetahui sebab sebabnya?" "Aku hanya mendengar tentang kematian ayah bundaku dari guruku, dan kalau guruku sampai menganggap bahwa engkau musuh besarnya, tentulah engkau telah melakukan hal yang amat jahat terhadap subo."

"Tahan dulu dan dengarlah sebentar penjelasanku. Aku melihatmu sekarang ini, tiada ubahnya seperti ia ketika itu! Bentuk tubuhmu, matamu itu, dan suaramu! Engkau seperti pinang dibelah dua dengan Hong Bwe! Karena itulah aku ingin engkau mendengar penjelasanku."

Cu In meragu. Ia tidak mengenal siapa itu Hong Bwe, akan tetapi ia pun tidak dapat menolak keinginan orang tua ini untuk menceritakan persoalannya dengan gurunya. Ia pun meragukan, jangan-jangan bukan orang ini pembunuh ayah bundanya dan subonya berceritademikian agar ia membenci orang ini. "Sesukamu, bicaralah, akan tetapi jangan harap aku akan percaya begitu saja keteranganmu."

"Percaya atau tidak terserah. Terima kasih kalau engkau suka untuk mendengar ceritaku. Silakan duduk, nona Souw." The Sun Tek mempersilakan Cu In duduk dan gadis ini pun mengambil tempat duduk berhadapan dengan panglima itu, terhalang meja kecil.

Setelah menghela napas panjang beberapa kali, The Sun Tek berkata, "Aku tidak tahu sampai tingkat apa ilmu silatmu, akan tetapi kalau gurumu sudah mengutusmu untuk membunuhku, aku percaya bahwa engkau tentu cukup lihai. Barangkali aku akan terbunuh olehmu, maka aku senang bahwa engkau suka mendengar ceritaku. Terjadinya cerita ini kurang lebih dua puluh tahun yang lalu. Ketika itu, aku belum menjadi seorang panglima, akan tetapi aku suka bertualang di dunia kang-ouw dan mengenal banyak tokoh kang-ouw. Aku lalu bertemu seorang gadis kang-ouw bernama Sim Hong Bwe. Kami berkenalan dan saling jatuh cinta. Ketika itulah aku melamar pekerjaan sebagai seorang perwira muda. Karena orang tuaku mengenal panglima yang bertugas menerima para perwira muda, maka aku pun dapat diterima sebagai seorang perwira. Orang tuaku lalu mendesakku untuk menikah. Ketika aku memberitahu bahwa aku telah mempunyai seorang pilihan hati, yaitu Sim Hong Bwe, ayahku marah. Menikah dengan seorang gadis kang-ouw? Tidak, katanya. Karena aku telah mempunyai tugas dan kedudukan, aku harus menikah dengan seorang gadis baik-baik, dari keluarga yang terhormat. Aku tidak mampu membantah ayahku dan terpaksa aku menerima saja dijodohkan seorang gadis puteri seorang bangsawan." Sampai di sini The Sun Tek menghentikan ceritanya, agaknya dia mengingat kembali peristiwa yang membuatnya selalu berduka itu. Dia memandang kepada Cu In, akan tetapi Cu In tidak mengacuhkannya karena ia tidak, tahu apa hubungannya semua itu dengan tugasnya membunuh musuh besarnya ini.

"Aku harus menghadapi kemarahan Sim Hong Bwe. Ia tidak mau mendengar alasanku, bahkan ia menolak keras ketika aku mengusulkan agar ia suka menjadi selirku. Kalau hanya sebagai selir, tentu ayahku tidak akan keberatan. Akan tetapi Hong Bwe menolak dan menuntut agar aku menikahinya sebagai isteri yang sah. Aku tidak mungkin memenuhi permintaannya dan ia menjadi demikian marah sehingga meninggalkan aku begitu saja. Padahal, pada waktu itu ia telah mengandung! Ia mengandung anakku dan sejak itu aku tidak pernah dapat menemukan. Aku selalu mencarinya, bahkan sampai sekarang aku masih mencarinya. Akan tetapi ia menghilang begitu aku dapat menemukan tempat persembunyian. Aku mendengar bahwa ia telah melahirkan seorang anak perempuan, akan tetapi tidak pernah aku melihat anakku itu pula."

Cu In mengamati wajah di depannya dengan tajam dan penuh selidik. Wajah itu kelihatan jujur dan tidak berbohong. Ia menjadi bingung ketika mulai dapat menangkap bahwa yang disebut Hong Bwe itu tentulah nama kecil subonya. Akan tetapi subonya tidak mempunyai anak perempuan! Anak laki-laki pun tidak. Subonya tidak mempunyai anak!

"Nah, demikianlah keadaannya, nona Souw. Sim Hong Bwe itu adalah gurumu. Aku sudah mendengar bahwa ia memakai nama Ang Hwa Nio-nio karena di rambutnya selalu ada kembang merah. Dan itu adalah kesenangan dan kebiasaan Hong Bwe, menghias rambutnya dengan bunga merah. Itulah sebabnya maka ia membenciku dan mengutusmu untuk membunuhku. Akan tetapi aku mencintainya, sampai sekarang masih tetap mencintainya. Sekarang isteriku telah meninggal dunia karena sakit, dan aku mengharapkan Hong Bwe untuk menjadi isteriku. Akan tetapi, agaknya ia tidak dapat memaafkan aku. Nona Souw, engkau muridnya, tentu engkau mengerti bagaimana keadaannya dengan puterinya. Sudah besarkah sekarang anakku itu? Siapa pula namanya?"

Cu In menggeleng kepalanya. "Subo tidak mempunyai seorang puteri, juga tidak mempunyai putera. Subo tidak pernah menikah dan tidak mempunyai anak." Ia tidak menceritakan betapa subonya amat benci kepada laki-laki, bahkan sejak ia masih kecil ia pun dilatih untuk membenci dan tidak percaya kepada pria, terutama kepada pria yang mencintanya! Agaknya sakit hati subonya kepada The Sun Tek demikian mendalam, membuat ia menjadi pembenci laki-laki. "Nah, demikianlah ceritaku. Aku tidak pernah membunuh orang begitu saja karena urusan pribadi. Kalau aku membunuh orang, tentu hal itu terjadi dalam perang. Maka, aku merasa tidak pernah membunuh ayah bundamu. Mungkin ayahmu berada dalam pasukan musuh sehingga dalam perang aku membunuhnya, akan tetapi tidak mungkin ibumu juga ikut berperang. Aku yakin bahwa itu hanya suatu akal dari Hong Bwe untuk membuat engkau membenci padaku dan membalas dendam kematian ayah bundamu. Dan melihat keadaan dirimu, walaupun mukamu tertutup cadar, aku hampir yakin bahwa engkaulah anak itu, Nona! Engkaulah anak dari Hong Bwe sendiri. Engkaulah anakku. Perasaanku mengatakan demikian. Suaramu dan pandang matamu itu tidak dapat menipuku. Itulah suara dan mata Hong Bwe! Ya Tuhan demikian bencikah ia kepadaku sehingga ia ingin melihat anakku sendiri membunuhku?"

Cu In bangkit berdiri. Mukanya menjadi pucat. Kemungkinan itu menyerbu pikirannya. Besar sekali kemungkinan apa yang diduga orang tua ini benar. Ia sendiri mempunyai perasaan yang aneh terhadap panglima ini. Tidak ada rasa benci, bahkan ada perasaan iba kepadanya. Jangan-jangan dia benar ayahnya!

Pada saat itu terdengar bentakan suara lembut, "Cu In, cepat laksanakan perintahku. Jangan dengar dia dan bunuhlah musuh besar kita itu!" Yang muncul adalah Ang Hwa Nio-nio. Mukanya kemerahan dan sepasang matanya mencorong penuh kebencian ditujukan kepada The Sun Tek.

Panglima itu melangkah maju menghampiri, "Hong Bwe....! Ah, bertahun-tahun aku mencarimu, Hong Bwe. Akan tetapi engkau selalu menyingkir. Kembalilah kepadaku, Hong Bwe dah sekarang aku dapat memenuhi permintaanmu. Engkau dapat menjadi isteriku. Dan anak kita! Bukankah nona Souw ini anak kita? Begitu kejamkah engkau menyuruh anak kita untuk membunuhku?"

"Kejam katamu? Orang seperti engkau ini masih bisa mengatakan orang lain kejam? Engkau yang membuat aku hidup sengsara dan merana selama dua puluh tahun! Engkaulah manusia yang paling kejam di dunia. Cu In, cepat kau bunuh dia!"

Akan tetapi kini Cu In memandang kepada subonya dengan sinar mata penuh tuntutan. "Subo, benarkah dia itu ayahku?"

"Hemmm, Cu In, jangan sebut subo kepadanya, melainkan ibu!" kata The Sun Tek, kini hampir yakin bahwa gadis itu pasti anaknya dari Hong Bwe.

"Tidak peduli dia. itu apamu, engkau harus membunuhnya. Sekarang juga! Hayo, cepat serang dan bunuh dia!" kembali Ang Hwa Nio-nio membentak, suaranya bercampur tangis saking jengkel hatinya.

"Akan tetapi, Su.... bo....!" "Tidak ada tetapi, hayo laksanakan perintahku!"

"Tidak! Kalau benar dia itu ayahku, aku tidak akan membunuhnya!"

"Kau.... kau.... berani membantah perintahku? Dari kecil kaukubesarkan, kupelihara, kudidik, hanya untuk melaksanakan keinginanku ini. Kalau engkau tidak mau, aku akan membunuhmu di depan matanya!" Ang Hwa Nio-nio menggertak sambil menghunus pedangnya.

"Jawab dulu, apakah benar dia itu ayahku dan engkau ibuku? Kalau sudah kaujawab, baru aku akan menentukan sikapku."

"Ya atau tidak, engkau harus membunuhnya atau engkau akan kubunuh sendiri!"

"Tidak! Aku tidak mau!"

"Kalau begitu mampuslah kau di depan matanya!" Ang Hwa Nio-nio lalu menggerakkan pedangnya dan menyerang Cu In dengan ganasnya. Cu In meloncat ke belakang akan tetapi pedang gurunya mengejar terus.

"Tranggg....!" Pedang itu tertangkis dan terpental oleh sebatang pedang lain, yaitu pedang dalam tangan The Sun Tek.

"Hong Bwe, tahan dulu! Apakah engkau sudah menjadi gila? Gila oleh dendam yang kaubuat sendiri? Hong Bwe, aku memang bersalah kepadamu, kesalahan karena keadaan, karena desakan orang tua. Aku bersedia minta maaf kepadamu sejak lama, dan aku bersedia menerimamu sebagai isteriku yang sah. Mengapa engkau masih mendendam, dan hendak memaksa anak kita membunuhku? Kalau dia tidak mau engkau akan membunuhnya di depan mataku? Begitu kejamkah hatimu, Hong Bwe? Tidak ingatkah engkau betapa dahulu kita saling mencinta dan sampai sekarang pun aku masih mencintamu? Hong Bwe, aku menyesal sekali, aku minta maaf kepadamu, aku mohon ampun kepadamu. Kalau engkau masih mendehdam, nah, ini dadaku, tusuklah dan aku tidak akan melawanmu. Aku rela mati di tanganmu kalau hal itu akan membahagiakan hatimu. Akan tetapi jangan paksa anakku membunuhku!" Sim Hong Bwe atau Ang Hwa Nionio tertegun, memandang pria itu dan tiba-tiba tangannya gemetar, pedangnya terlepas dari tangannya, lalu telunjuknya menuding ke arah muka The Sun Tek. "Kau.... kau.... ahhhhh....! " Tubuhnya terhuyung dan ia tentu akan jatuh kalau tidak cepat The Sun Tek merangkul dan memapahnya. Akan tetapi Ang Hwa Nio-nio telah jatuh pingsan dalam rangkulannya.

Cu In memalingkan mukanya. Kedua matanya basah air mata, bukan hanya karena keharuan melainkan karena sedih hatinya bahwa ibu kandungnya sendiri yang hendak memaksa ia membunuh ayah kandungnya. Sungguh ibunya keterlaluan. Karena sakit hati, membuahkan pembalasan dendam yang teramat kejam. Dendam ibunya kepada ayahnya sedemikian mendalam sehingga ia tidak puas kalau harus membunuhnya sendiri melainkan menyuruh anak kandung mereka yang membunuhnya. Dan pada saat terakhir, ucapan The Sun Tek agaknya membuatnya lemas, lemah lunglai dan tidak dapat menahan jeritan hatinya sendiri bahwa selama ini, sampai kini, ia masih mencintai pria itu! Cu In berlari meninggalkan tempat itu dengan air mata bercucuran.

"Cu In....!" Terdengar The Sun Tek memanggi-manggil, akan tetapi Cu In tidak peduli dan berlari terus, meloncati pagar tembok meninggalkan rumah besar itu.

Sementara itu, Ang Hwa Nio-nio sadar dari pingsannya. Melihat ia berada dalam rangkulan bekas kekasihnya, ia meronta dan meloncat berdiri. The Sun Tek berlutut di depan kakinya.

"Hong Bwe, aku mohon ampun darimu. Lihat, aku benar-benar menyesal dan ingin menebus kesalahanku kepadamu. Aku akan menghabiskan sisa hidupku untuk membahagiakanmu. Kalau perlu aku akan mengundurkan diri dari jabatanku. Seharusnya hal ini sejak dahulu kulakukan. Maafkanlah aku dan terimalah uluran tanganku, Hong Bwe."

Wanita itu seperti nanar, memandang sekeliling. "Mana ia....? Mana Cu In anakku....?" Baru sekarang ia terang-terangan menyebut gadis itu sebagai anaknya.

"Ia telah lari. Dapat kubayangkan betapa sakit hatinya melihat ayah dan ibunya sendiri hampir saling bunuh. Ah, kelak kita harus memberi cinta kasih dan kesayangan kepada anak kita."

"Aku juga telah bertindak keliru menuruti hatiku yang panas dan penuh dendam. Aku telah membuat ia menjadi pembenci pria dan ia bahkan rela memakai cadar agar mukanya jangan sampai terlihat pria. Aku mabuk dendam karena engkau...."

"Aku menyesal. Sekarang marilah kita bangun kembali rumah tangga kita, kita hidup bahagia seperti dulu...." The Sun Tek memegang kedua tangan wanita itu.

Pada saat itu muncul seorang pemuda rusia dua puluhan tahun, pemuda yang tampan dan gagah. Melihat The Sun Tek bercakap-cakap dengan seorang wanita asing di taman dalam suasana yang begitu akrab, memegang kedua tangan, dia berhenti melangkah, memandang dan tidak berani bertanya.

The Sun Tek mendengar langkahnya dan menoleh, lalu berkata kepada Ang Hwa Nio-nio. "Dia ini The Kong, anakku, anak kita karena ibunya telah meninggal. Aku hidup menduda sejak isteriku meninggal dan selalu mengharapkan kedatanganmu. Kong-ji, ini adalah ibumu, pengganti ibumu. Beri hormat kepadanya dan tinggalkan kami berdua di sini!"

The Kong dengan patuh memberi hormat kepada wanita itu dengan menyebut "ibu", kemudian pergi dari taman meninggalkan mereka berdua.

"Hong Bwe, seperti kukatakan tadi. Bertahun-tahun aku hidup menduda, tidak mau kawin lagi karena aku mengharapkan engkau. Sekarang engkau sudah datang, hiduplah bersamaku sebagai isteriku, Hong Bwe. Rumah ini seolah dunia gelap memperoleh matahari kalau engkau berada di sini. Anakku Kong-ji adalah seorang anak yang baik dan patuh. Tadi pun dia sudah menyebutmu sebagai ibunya, pengganti ibunya."

"Hemmm, kaukira luka di hati yang hancur luluh ini sedemikian mudahnya sembuh? Kalau engkau benar-benar hendak memperisteri aku, engkau harus dapat mencari Cu In dan membawanya pulang kepadaku di Beng-san. Aku hanya mau kauboyong ke sini kalau Cu In bersamaku. Kalau sudah begitu, kita boleh melupakan semua kesalahan masa lalu.

Nah, aku pergi dulu dan menunggu kedatanganmu bersama Cu In!" Setelah berkata demikian, wanita itu menyambar pedangnya, melompat dan pergi dengan cepat.

"Hong Bwe....!" Akan tetapi The Sun Tek maklumi bahwa wanita itu tidak akan mau berhenti. Mau atau tidak terpaksa dia harus melaksanakan permintaan Hong Bwe kalau dia menghendaki hidup sebagai suami isteri dengannya. Sambil menghela napas panjang karena hatinya merasa lega seolah-olah batu yang amat berat dan yang selama ini menindih hatinya telah diangkat pergi. Harapan baru bagaikan cahaya matahari menggantikannya menyentuh hatinya. Dia berjanji kepada diri sendiri untuk dapat menemukan Cu In dan membujuknya agar mau pulang ke Beng-san bersamanya.

Gadis manis dan ayahnya itu dikerumuni banyak orang di depan pasar di kota Leng-an. Mereka adalah seorang gadis dan ayahnya yang bermain silat, sengaja mempertontonkan kepandaian mereka sehingga menarik banyak perhatian penonton. Setelah gadis itu bersilat dengan sepasang pedang dengan gerakan indah dan kuat dan cepat sehingga mendapat tepuk tangan kagum dari para penonton, sang ayah lalu melangkah maju dan memberi hormat kepada semua penonton di sekelilingnya.

"Cu-wi (saudara sekalian) yang mulia. Kami ayah dan anak mohon maaf sebesarnya kalau kami berani mempertontonkan ilmu silat kami yang masih rendah. Terutama kepada para eng-hiong (pendekar) yang kebetulan berada di sini, hendaknya dimaklumi bahwa kami sama sekali tidak bermaksud untuk membanggakan kepandaian kami. Kalau kami mempertontonkan kepandaian, tidak lain karena kami kekurangan dan kehabisan bekal dalam perjalanan ini dan mengharapkan sumbangan suka rela dari para penonton, di samping itu juga mengharapkan mudah-mudahan puteriku akan menemukan jodohnya di tempat ini." Ucapan yang terus terang itu disambut sorak-sorai dan tepuk tangan.Kini tahulah semua orang bahwa gadis itu hendak mencari jodohnya melalui pertandingan silat. Tentu akan ramai nanti kalau ada pemuda yang berani mencoba-coba.

Dan dugaan semua orang benar saja. Penawaran jodoh itu menarik perhatian banyak orang. Hal ini tidak aneh karena gadis itu memang manis sekali. Wajahnya berbentuk bulat telur, dengan anak rambut melingkar-lingkar di dahi dan pelipisnya. Rambutnya yang hitam panjang itu digelung ke atas dengan ringkas. Kulitnya agak gelap, akan tetapi menambah kemanisannya. Matanya tajam dan bersinar-sinar penuh gairah hidup, hidungnya kecil mancung dan mulutnya mengandung daya tarik yang amat kuat. Mulut itu selalu mengandung senyum memikat, dengan lesung pipit di kiri bibir. Mulut dan mata gadis ini yang benar-benar memikat. Usianya pun paling banyak delapan belas tahun.

Akan tetapi karena semua orang sudah menyaksikan ketika gadis itu tadi berdemonstrasi silat tangan kosong kemudian silat sepasang pedang, hanya mereka yang merasa dirinya cukup tangguh saja yang berani maju. Mula-mula seorang pemuda berpakaian. ringkas seperti seorang jago silat yang maju. Pemuda berbaju biru ini melompat ke depan dengan sikapnya yang gagah dan semua orang bertepuk tangan mengenalnya sebagai putera seorang guru silat di kota itu. Pemuda itu memang agak menyombongkan kepandaiannya, akan tetapi dia memang belum mempunyai seorang isteri.

"Saya ingin mencoba-coba ilmu kepandaian Nona!" katanya dengan gagah dan terang-terangan sehingga banyak orang tersenyum lebar. Ayah gadis itu melangkah maju dan bertanya, "Apakah Sicu hendak menyumbang?"

"Saya mempunyai sedikit uang untuk menyumbangnya, akan tetapi saya lebih ingin mencoba ilmu silat puteri Paman. Siapa tahu kami berjodoh." Ucapan ini disambut gelak tawa para penonton dan sang ayah memberi isyarat kepada puterinya untuk maju.

Gadis itu juga bukan seorang gadis pemalu. Dengan sikap tenang ia melangkah maju menghadapi pemuda baju biru dan bertanya, "Aduh kepandaian yang manakah yang Sicu kehendaki? Tangan kosong atau dengan senjata?"

"Ah, Nona. Kita hanya bermain-main untuk meramaikan suasana, bukan berkelahi untuk saling melukai. Maka, sebaiknya kita main-main dengan tangan kosong saja."

"Baiklah. Nah, saya sudah siap, Sicu boleh mulai!" kata gadis itu sambil memasang kuda-kuda.

"Aku seorang laki-laki, Nona boleh menyerang lebih dulu!". kata pemuda baju biru, mengambil sikap mengalah untuk menarik perhatian. "Kalau begitu baiklah. Awas, saya mulai menyerang!" Gadis itu mengirim pukulan dengan cepat ke arah dada sipemuda. Pemuda itu mengelak ke kiri dan membalas dengan tamparan ke arah pundak, namun dengan mudah tamparan ini dielakkan oleh gadis itu. Segera serang menyerang terjadi dengan seru. Akan tetapi bagi mereka yang memiliki kepandaian, setelah lewat belasan jurus saja ketahuanlah bahwa pemuda itu bukan tandingan si gadis. Dia mulai terdesak dan gerakan gadis itu sedemikian cepatnya, terlalu cepat bagi pemuda baju biru sehingga dia tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk menyerang dan hanya dapat mengelak atau menangkis terhadap serangan gadis itu yang datangnya bertubi-tubi. Belum lewat dua puluh jurus, sebuah tendangan kaki gadis itu mengenai lutut si pemuda dan pemuda itu pun terpelanting jatuh.

Sorak-sorai menyambut kemenangan gadis ini. Pemuda baju biru itu dengan muka merah bangkit kembali dan setelah memberi hormat lalu mundur, mengaku kalah.

Tiba-tiba seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan mukanya hitam, meloncat ke tengah lingkaran itu. Matanya yang besar memandang kepada gadis itu dan terdengar suaranya yang parau dan lantang. "Aku Hek-houw (Macan Hitam) Bong Kiat ingin mencoba-coba kepandaian Nona!"

Terdengar seruan-seruan di sana sini ketika Bong Kiat memasuki sayembara memilih suami itu. "Dia sudah beranak-isteri!"

"Tidak pantas kalau dia ikut!"

Mendengar seruan-seruan itu, Bong Kiat membusungkan dadanya dan memandang ke sekelilingnya. "Aku Bong Kiat memang sudah beranak-isteri, akan tetapi siapa melarangku memilih seorang gadis untuk menjadi selirku? Hayo katakan, siapa berani melarang?"

Si Macan Hitam Bong Kiat ini memang terkenal sebagai seorang jagoan yang biasa malang melintang di kota Leng-an, seringkali menimbulkan keributan karena memaksakan kehendaknya sehingga semua orang menjadi takut. Tentu saja tantangannya itu tidak ada yang berani menyambut dan para penonton hanya diam saja.

Melihat ini, ayah gadis itu maju menyambut Bong Kiat dengan merangkap kedua tangan depan dada lalu berkata, "Kami Liong Biauw dan anak Liong Siok Hwa ini memang mencari jodoh, akan tetapi untuk menjadi seorang isteri yang baik, bukan menjadi seorang selir. Oleh karena itu, harap Sicu mengurungkan niatnya untuk mengadu kepandaian."

"Apa kaubilang? Mengurungkan niatku mengadu kepandaian untuk memasuki sayembara ini? Tidak bisa! Engkau tadi sudah mengatakan bahwa siapa yang dapat mengalahkan Nona ini akan menjadi jodohnya maka aku kini hendak mencoba kepandaiannya. Kalau aku kalah, sudahlah, akan tetapi kalau aku menang, Nona ini harus menjadi selirku!"

"Tidak ada yang mengatakan begitu, Sicu. Memang aku mengatakan bahwa kami mengharapkan anak kami mendapatkan jodoh di sini, akan tetapi bukan untuk menjadi selir. Dan perjodohan bukan hanya ditentukan oleh kalah menangnya pertandingan, melainkan oleh cocok tidaknya anakku dengan calon jodohnya."

"Aih, tidak peduli! Pendeknya, anakmu harus melayani aku bertanding, atau kalau perlu ayahnya boleh maju mewakilinya. Kalau kalian tidak berani, kalian harus cepat pergi dari kota ini!"

Liong Biauw, sang ayah, tentu saja tidak ingin mencari permusuhan, maka dia pun menghela napas pan- jang dan berkata kepada puterinya, "Siok Hwa, kemasilah barang-barangnya. Kita pergi saja dari kota ini." Jelas bahwa dia tidak ingin melanjutkan keributan dengan Si Macan Hitam.

Akan tetapi, ketika penonton menjadi kecewa karena pertunjukan yang menarik itu akan berhenti, tiba-tiba dari penonton muncul seorang pemuda. "Tahan dulu!" kata pemuda itu, lalu dia menghadapi Bong Kiat. "Sobat engkau tidak tahu malu. Orang sudah menolak untuk bertanding denganmu karena engkau sudah berkeluarga, mengapa memaksa. Bagaimana kalau aku mewakili Nona itu maju menandingimu?"

Bong Kiat memandang pemuda itu dengan mata penuh selidik. Dia seorang pemuda yang tampan dan gagah, tubuhnya tinggi besar, mukanya bundar dan matanya lebar. Belum pernah dia melihat pemuda ini, akan tetapi watak Bong Kiat memang selalu meremehkan orang lain.

"Tentu saja boleh, kalau engkau memang sudah bosan hidup!"

Pemuda itu lalu memberi hormat kepada Liong Biauw dan berkata, "Paman, sebetulnya saya pun ingin mencoba kepandaian puteri Paman, akan tetapi terdapat gangguan dari orang tidak tahu malu ini. Maka saya mohon perkenan Paman untuk mewakili puterimu memberi hajaran kepadanya."

Liong Biauw merasa tertarik dan suka kepada pemuda ini. Seorang pemuda yang sudah matang usianya sekitar tiga puluh tahun dan matanya yang lebar itu bersinar tajam. Dia pun mengangguk dan berkata, "Silakan saja akan tetapi berhati-hatilath, dia bukan lawan yang lemah."

Mendengar ini, Bong Kiat menjadi semakin sombong. "Ha bocah tak tahu diri. Berani mencampuri urusan orang lain. Agaknya belum mengenal siapa Si Macan Hitam! Perkenalkan namamu sebelum engkau berkenalan dengan tinjuku!"

Pemuda itu tersenyum mengejek dan berkata, "Namaku Ji Lam Sang, dari kota raja."

Pemuda itu sesungguhnya adalah Gu Lam Sang. Setelah diaku sebagai putera oleh Pangeran Tao Seng, dia berhak memakai nama Tao Lam Sang, akan tetapi karena Pangeran Tao Seng sendiri sedang menyamar sebagai hartawan Ji, maka dia pun mengaku marga Ji. Belum tiba saatnya dia menggunakan nama keluarga kerajaan itu. Secara kebetulan saja Lam Sang lewat di kota itu dan hatinya tertarik melihat banyak orang melihat pertunjukan silat itu. Dia pun menjenguk pertunjukan itu dan jantungnya berdebar. Dia bukan seorang laki-laki yang mata keranjang, akan tetapi entah mengapa. Melihat Liong Siok Hwa, hatinya tertarik sekali, maka kalau tadinya hanya ingin menjenguk sebentar, dia lalu menjadi penonton. Dia melihat betapa pemuda baju biru dikalahkan gadis itu. Diam-diam dia semakin kagum. Ilmu silat gadis itu lumayan. Lalu muncullah Bong Kiat yang hendak memaksakan kehendaknya. Melihat betapa Liong Biauw dan puterinya hendak mengalah dan pergi, dia lalu turun tangan mencampuri.

“Cabut senjatamu, Ji Lam Sang, dan bersiaplah engkau untuk mampus!” kata Bong Kiat yang sudah menghunus sebatang golok besar yang berkilauan saking tajamnya. Semua orang bergidik melihat Si Macan Hitam sudah menghunus golok besarnya. Akan tetapi Lam Sang sendiri hanya tersenyum menghadapi ancaman golok besar yang tajam itu, bahkan dia berkata dengan nada mengejek.

“Untuk menghadapi golok pernotong ayam itu aku tidak perlu menggunakan senjata apa pun, cukup dengan tangan dan kakiku saja. Nah, aku telah siap, cepat pergunakan golok pemotong ayammu itu!”

Bukan main marahnya Bong Kiat mendengar ejekan ini. Kalau saja Lam Sang tidak mengejek, dia pun tentu akan menghadapi Lam Sang yang bertangan kosong tanpa senjata, untuk menjaga kehormatannya. Akan tetapi ejekan itu membuatnya marah dan dia ingin cepat-cepat dapat membunuh lawannya! Dia memutar-mutar golok besar yang berat itu di atas kepalanya.

"Sambutlah golokku dan mampuslah!” Bong Kiat membentak dan goloknya meluncur ke depan, membabat ke arah leher Lam Sang. Akan tetapi, pemuda Tibet itu dengan amat mudahnya mengelak dengan merendahkan tubuhnya, dan ketika golok itu menyambar lewat kakinya mencuat dengan cepatnya kedepan, menendang ke arah perut Bong Kiat. Serangan yang tiba-tiba ini berbahaya sekali, akan tetapi Bong Kiat juga bukan orang lemah. Dia cepat melangkah mundur sehingga tendangan itu mengenai tempat kosong. Akan tetapi gebrakan pertama yang sudah dapat dibalas secara kontan oleh lawannya membuat Bong Kiat berhati-hati karena ternyata lawannya memang memiliki ilmu silat yang tangguh. Kini dia mengayun goloknya dan melakukan serangan bertubi-tubi. Golok itu membentuk gulungan sinar terang yang menyambar-nyambar ke arah Lam Sang.

Semua orang merasa ngeri melihat buasnya serangan Bong Kiat akan tetapi Liong Biauw mendekati puterinya dan berkata lirih, “Pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Dia tentu akan dapat mengalahkan Bong Kiat itu, dan agaknya dia seorang calon jodohmu yang baik sekali.”

Wajah Siok Hwa menjadi kemerahan mendengar ucapan ayahnya itu dan ia menonton dengan penuh perhatian.

Pertandingan masih berjalan dengan seru. Bong Kiat menjadi penasaran sekali ketika goloknya tidak pernah mengenai lawan, bahkan kalau sekali-kali Lam Sang menangkis lengannya, dia merasa betapa lengannya terguncang hebat dan terasa ada hawa panas menyerangnya. Dia mengamuk semakin hebat, akan tetapi justeru ini yang dikehendaki Lam Sang. Makin marah dan semakin hebat serangannya, makin lemah pertahanannya. Ketika goloknya menyambar, membacok kepala Lam Sang dari atas ke bawah, Gu Lam Sang mengelak dan membiarkan golok itu lewat. Secepat kilat jari tangannya menyambar dan menotok ke arah siku kanan Bong Kiat.

“Wuuuttt.... dukkk!” Bong Kiat mengeluarkan teriakan kaget. Tangan kanannya menjadi lumpuh dan golok itu dengan sendirinya terlepas dari pegangannya dan sebelum dia tahu apa yang terjadi, tiba-tiba lengan kirinya disambar lawan dan tubuhnya terangkat ke atas. Kiranya Lam Sang menggunakan kesempatan itu untuk menangkap lengan kiri lawan dan memutarnya sehingga tubuh itu terputar ke atas lalu terbanting ke atas tanah.

“Bukkkkk....!!” Keras sekali bantingan itu. Bong Kiat merasa tubuhnya seperti remuk dan kepalanya menjadi pening. Dia mencoba bangkit akan tetapi roboh lagi karena bumi yang diinjaknya seperti bergelombang.

Lam Sang tersenyum dan penonton menyambut kemenangan mutlak itu dengan tepuk tangan dan sorak-sorai.

“Cepat ambil golok pemotong ayammu dan pergi dari sini!” Lam Sang membentak. Merasa bahwa dia sudah benar-benar kalah, hati Bong Kiat menjadi jerih. Dengan kepala masih pening dia memungut goloknya lalu terhuyung-huyung seperti mabuk meninggalkan gelanggang itu, ditertawakan oleh para penonton.

Lam Sang menghadapi Liong Biauw dan Siok Hwa, menjura dan bertanya, “Bolehkah sekarang saya mencoba ilmu kepandaian Nona?”

Dengan muka kemerahan Siok Hwa mengangguk. “Tentu saja boleh, akan tetapi saya bukan tandinganmu, Kongcu.”

“Ah, Nona terlalu merendahkan diri. Kulihat tadi ilmu pedang Nona lihai sekali. Nona boleh mempergunakan siang--kiam itu.”

“Engkau sendiri bertangan kosong, bagaimana aku harus menggunakan senjata? Aku pun akan menghadapimu dengan tangan kosong, Kongcu.”

“Terserah kepadamu, Nona. Aku telah siap, harap Nona suka mulai menyerang.”

Siok Hwa melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak memasang kuda-kuda, hanya berdiri saja seperti tidak sedang menghadapi pertandingan. Ia merasa tidak enak dan sebelum menyerang, ia memberi peringatan. “Kongcu sambutlah seranganku ini!” dan ia pun menerjang dengan cepat sekali.

“Bagus!” Lam Sang memuji dan dia cepat mengelak, lalu membalas dengan tamparan tangannya. Keduanya lalu saling serang dengan seru dan cepat. Gerakan mereka begitu cepatnya sehingga sukar diikuti oleh pandangan mata para penonton, kecuali oleh mereka yang berkepandaian. Liong Biauw menonton dengan penuh perhatian dan dia segera mengerti bahwa pemuda itu mengalah banyak. Pemuda itu agaknya membiarkan Siok Hwa yang memimpin penyerangan. Dia sendiri hanya membalas dengan serangan sekadarnya saja, tidak bersungguh-sungguh. Kalau dia bersungguh-sungguh, tentu sudah sejak tadi Siok Hwa dapat dikalahkannya.Hal ini membuat hatinya merasa girang. Agaknya pemuda itu menaruh hati kepada puterinya maka mengambil sikap mengalah.

Sementara itu, Siok Hwa menjadi bingung sendiri. Semua jurus terampuh ia keluarkan untuk menyerang lawan, akan tetapi selalu dapat dielakkan atau ditangkis. Dan kalau lawan menangkis, lengannya bertemu dengan telapak tangan yang lunak. Ia merasa heran sekali. Tenaga sinkang yang ia keluarkan dalam penyerangannya seolah lenyap ketika bertemu dengan tangan yang lunak itu, dan kadang tenaganya membalik. Ia sudah mulai berkeringat, akan tetapi belum juga ia mampu mendesak lawan. Ia pun mengerti bahwa pemuda itu mengalah. Serangan pemuda itu seenaknya saja, berbeda dengan pertahanannya yang demikian kokoh kuat. Orang yang dapat bertahan seperti itu, kalau dikehendaki, tentu dapat menyerang dengan hebat pula, tidak seperti pemuda itu yang menyerang hanya dengan tamparan-tamparan lemah. Ia mulai menjadi bingung bagaimana caranya untuk mengakhiri pertandingan itu.

Tiba-tiba ia teringat akan sebuah jurus yang belum dipergunakannya. Jurus itu adalah sebuah tendangan yang dilakukan dengan tubuh “terbang” di udara. Tendangan ini ampuh sekali dan jarang ada lawan mampu manghindarkan diri.

“Haiiittt....!” Ia membentak, tubuhnya meloncat ke udara dan kedua kakinya mencuat dan menendang ke arah dada dan kepala Lam Sang!

“Bagus!” Lam Sang memuji dan ketika kedua tangannya bergerak cepat, tahu-tahu dia telah menangkap kedua kaki itu. Dia mendorong sehingga tubuh Siok Hwa terpental, berjungkir balik beberapa kali sebelum turun kembali ke atas tanah. Indah bukan main gerakan ini dan semua orang memuji. Akan tetapi gadis itu menjadi kemerahan mukanya, tersipu-sipu malu sedangkan Lam Sang memegang dua buah sepatu gadis itu yang tertinggal di tangannya. Melihat ini, semua orang bersorak memuji.

Liong Biauw menghampiri pemuda itu dan menjura, “Anakku telah kalah olehmu, Ji-kongcu.”

Lam Sang juga menjura. “Nona telah banyak mengalah, harap maafkan aku.” Dia lalu mengembalikkan sepasang sepatu itu kepada pemiliknya, diterima oleh Siok Hwa sambil tersipu dan tersenyum malu-malu.

Liong Biauw memberi hormat kepada para penonton. “Cu-wi, terima kasih atas perhatian dan bantuan Cu-wi. Pertunjukan sudah habis dan dihentikan sampai di sini.”

Penonton mulai bubar dan Liong Biauw berkata kepada Lam Sang. “Ji-kongcu, silakan ikut dengan kami ke pondokan kami untuk bicara.”

Lam Sang hanya mengangguk sambil tersenyum dan mereka bertiga lalu pergi ke rumah penginapan di mana ayah dan anak itu menyewa dua buah kamar. Setelah mereka masuk ke rumah penginapan, Lam Sang dipersilakan masuk ke kamar Liong Biauw dan di situ mereka berdua mengadakan pembicaraan. Siok Hwa tinggal di kamarnya sendiri karena maklum apa yang akan dibicarakan ayahnya dengan pemuda itu dan ia merasa malu untuk menghadirinya.

“Ji-kongcu, tentu engkau sudah dapat menduga apa yang hendak kami bicarakan denganmu, bukan?”

Tentu saja Lam Sang sudah dapat menduganya, akan tetapi dia pura-pura bodoh dan bertanya, “Apakah yang hendak Paman bicarakan? Aku tidak dapat menduganya.”

“Kongcu tentu tadi sudah mendengar bahwa kami sedang mencarikan jodoh untuk anakku Liong Siok Hwa dengan mengadakan pertandingan silat. Nah, sekarang ternyata engkau yang telah mampu mengalahkan Siok Hwa, maka hal itu berarti bahwa engkau adalah jodoh Siok Hwa yang selama ini kami nanti-nanti.

Lam Sang, pura-pura terkejut. “Ah, akan tetapi aku sama sekali belum mempunyai pikiran untuk menikah, Paman!”

Liong Biauw mengerutkan alisnya. “Lalu mengapa engkau tadi mengajak Siok Hwa untuk mengadu kepandaian silat?””Aku hanya iseng-iseng karena kagum melihat Ilmu kepandaian puterimu, dan aku menandingi Bong Kiat tadi karena tidak suka melihat ulahnya.”

“Ji-kongcu, apakah engkau tidak suka kepada Siok Hwa?”

“Aku kagum kepadanya, Paman, dan tentu saja aku suka kepadanya. Ia cantik manis dan berkepandaian lumayan.”

“Kalau begitu, mengapa menolak? Kami sudah menyatakan setuju untuk menjodohkan ia denganmu.”

Tidak begitu mudah bagiku untuk menikah, Paman. Harus kutanyakan dulu kepada orang tuaku dan aku sendiri belum mempunyai keinginan untuk berumah tangga.”

Kalau begitu, harap engkau suka memberitahukan orang tuamu. Kota raja dari sini tidak berapa jauh, kami akan menanti keputusanmu di sini, dalam waktu seminggu engkau tentu sudah dapat kembali ke sini. Bagaimana, Ji-kongcu?”

“Baiklah kalau begitu, Paman. Aku akan memberitahukan orang tuaku dan dalam waktu seminggu aku akan kembali ke sini,” kata Lam Sang, Liong Biauw menjadi gembira sekali dan dia segera memanggil puterinya ke kamarnya. Siok Hwa muncul dengan muka kemerahan dan kepala ditundukkan. “Siok Hwa, kami telah membicarakan tentang perjodohan kalian. Ji-kongcu sekarang hendak pulang ke kota raja untuk memberitahu tentang hal itu kepada orang tuanya. Kita berdua menanti di sini, dan dalam waktu seminggu dia akah kembali memberikan keputusannya.”

Siok Hwa makin menunduk dan tersenyum malu sambil melirik ke arah Lam Sang. “Terserah kepada Ayah saja....” jawabnya lirih.

Lam Sang memandang gadis itu. Sungguh cantik manis dan menarik sekali. Belum pernah selama hidupnya dia tertarik oleh wanita dan ini merupakan yang pertama kalinya dia terpasona oleh kecantikan wanita. Akan tetapi dia tidak boleh mengikatkan diri dalam pernikahan. Dia bercita-cita besar, seperti Pangeran Tao Sang yang mengakuinya sebagai putera. Dia ingin ayah angkatnya itu menjadi kaisar dan dia menjadi putera mahkota. Sebelum cita-cita itu tercapai, bagaimana dia boleh mengikatkan diri dalam perjodohan? Tidak mungkin. Akan tetapi gadis ini sungguh menarik hatinya!

Lam Sang lalu berpamit kepada Liong Biauw dan Siok Hwa dan dia meninggalkan rumah penginapan itu, diantar sampai ke pintu luar oleh ayah dan anak itu.

Setelah Lam Sang pergi. Liong Biauw dengan girang berkata kepada anaknya. “Pilihan kita tepat sekali Siok Hwa! Dia bukan hanya lihai dalam ilmu silat, akan tetapi juga tahu aturan dan berbakti kepada orang tua. Engkau menemukan suami yang pilihan dan aku memperoleh mantu yang baik!””Mudah-mudahan begitu, Ayah.” jawab Siok Hwa lirih, seperti berdoa dan keduanya kembali ke dalam rumah penginapan.

Malam itu Siok Hwa tidak dapat tidur. Ia terus membayangkan wajah Lam Sang dan kadang ia tersenyum sendiri. Hatinya begitu girang dan penuh harapan manis sehingga ia tidak dapat tidur. Kamarnya remang-remang hanya menerima cahaya dari lampu gantung yang berada di luar kamarnya.

Tiba-tiba, kamarnya menjadi lebih terang dan terkejutlah ia ketika melihat bahwa yang membuat kamarnya terang itu adalah karena jendela kamarnya telah dibuka orang dari luar sehingga cahaya lampu di luar dapat menerobos masuk. Akan tetapi hanya sebentar. Sesosok tubuh orang meloncat masuk kamarnya melalui jendela dan daun jendela sudah ditutupkan lagi dari dalam. Bayangan itu sudah berdiri di terqah kamarnya.

Siok Hwa bangkit duduk dan siap menerjang bayangan itu. Tentu pencuri memasuki kamarnya. Cepat tangannya meraih sepasan pedangnya, yang diletakkan di atas meja dekat pembaringannya.

“Ssttt.... ini aku, Nona....” bisik bayangan itu.

Siok Hwa terkejut. Suara Lam Sang! Saking kaget dan herannya ia tidak mampu bicara, hanya memandang saja bayangan itu dengan tangan kiri di atas sepasang pedang yang masih berada di atas meja.

Bayangan itu mendekatinya. “Aku, Nona. Lam Sang, bukan orang lain. Simpanlah pedangmu. Engkau tidak ingin membunuh aku, bukan?”

Barulah Siok Hwa dapat membuka mulutnya. “Engkau.... Kongcu? Akan tetapi kenapa.... kenapa engkau memasuki kamarku seperti ini?”

“Aku rindu sekali kepadamu, Nona. Tak dapat aku menahan kerinduan hatiku kepadamu, karana itu aku memasuki kamarmu seperti seorang pencuri. Mungkin pencuri.... hati....”

Pemuda itu menghampiri sampai dekat dan duduk di tepi pembaringan, dekat sekali dengan Siok Hwa.

“Tidak.... ah, bukankah engkau tadi sudah berangkat ke kota raja, untuk memberi tahu orang tuamu, Ji-kongcu?”

“Sudah kukatakan, aku rindu sekali kepadamu. Maka aku kembali. Besok masih ada waktu bagiku untuk pergi ke kota raja. Malam ini aku ingin bersamamu.”

“Tidak.... tidak.... aku pun memikirkanmu, Ji-kongcu. Akan tetapi tidak seperti ini. Jangan....”

Siok Hwa tidak mampu mengeluarkan suara lagi dan tubuhnya telah lemas oleh totokan. Dan selanjutnya ia hanya mampu menangis sejadi-jadinya dan menyerah kepada pemuda yang kini berubah ganas melebihi binatang liar itu.

Setelah mengalami penderitaan yang membuat dunianya hancur luluh, Siok Hwa hanya dapat tanpa dapat mengeluarkan kata-kata. Dan pemuda itu, pemuda yang diharapkannya menjadi suami yang baik, pemuda yang menarik hatinya dan yang telah merusak kehormatan dirinya itu, kini tidur mendengkur di sisinya! Demikian pulas tidurnya seolah-olah dia tidak pernah melakukan suatu kesalahan apa pun!

Kurang lebih tiga jam bemudian barulah totokan pada tubuhnya membuyar dan mulailah Siok Hwa mampu mengerakkan tubuh nya. Ia bingung, bingung dan sedih.

Akan dibunuhnya orang ini? Akan tetapi dia calon suaminya! Karena tidak tahu harus berbuat apa, perlahan-lahan ia melangkahi tubuh Lam Sang, lalu berindap keluar dari kamarnya. manghampiri kamar ayahnya dan mengetuk daun pintu kamar ayahnya.

“Siapa di luar....?” tanya Liong Biauw.

“Aku, Ayah. Bukalah pintunya, cepat....!”

Daun pintu terbuka dan Liong Biauw melihat puterinya dengan pakaian dan rambut awut-awutan, menangis terisak- isak.

“Ada apa? Apa yang terjadi?” tanya Liong Biauw bingung. Siok Hwa menubruk ayahnya dan menangis dalam rangkulan ayahnya. “Ayah.... dia.... dia kembali....”

“Apa....? Siapa....?”

“Ji-kongcu! Dia memasuki kamarku dan.... dan....dia memperkosaku....” Gadis itu menangis.

Tentu saja Liong Biauw terkejut bukan main mendengar Ini. “Keparat! Di mana dia sekarang?”

“Tertidur di kamarku....”

Liong Biauw lari memasuki kamarnya mengambil pedang lalu lari menuju ke kamar Liong Siok Hwa. Karena pintunya sudah dibuka oleh gadis itu ketika keluar tadi, dia langaung menerjang masuk. Dalam cuaca yang remang-remang itu dia melihat sesosok tubuh tidur membujur di atas pembaringan. Saking marahnya, orang tua ini tidak mengeluarkan sepatah kata lagi dan langsung menerjang, membacokkan pedangnya ke arah tubuh itu. Akan tetapi tiba-tiba tubuh itu bergerak menendang, tepat mengenai pergelangan tangan Liong Biauw yang memegang pedang sehingga pedangnya terlepas dari pegangan. Lam Sang yang tadi terbangun segera meloncat turun dan dengan jari-jari tangan terbuka dia menyerang Liong Biauw. Hebat sekali serangan itu, tidak dapat ditangkis atau dielakkan lagi oleh Liong Biauw. Dia berteriak dan roboh berkelojotan. Dadanya terkena hantaman tangan terbuka itu dengan pukulan beracun, pukulan maut.

Liong Siok Hwa melompat masuk.”Ayah....!” teriaknya, akan tetapi tubuhnya segera lemas tertotok dan dipanggul Lam Sang yang melompat keluar dari tempat itu.

Tidak ada orang menyaksikan peristiwa itu dan baru pada keesokan harinya, para pelayan rumah penginapan menjadi gempar meliaht kamar terbuka dan tubuh Liong Biauw sudah menjadi mayat, sedangkan puterinya lenyap entah ke mana!

Pagi itu, Siok Hwa diturunkan dari pundak Lam Sang. Gadis itu menangis, lalu meronta dan sesudah dapat becgerak, ia langsung menyerang pemuda itu dengan pukulan tangannya. Akan tetapi dengan mudah Lam Sang menangkap pergelangan tangan itu dan sekali puntir dia sudah dapat menangkap gadis itu yang menjadi tiak berdaya.

“Engkau hendak melawanku? Bodoh. Aku justeru tidak ingin membunuhmu karena aku suka kepadamu, Siok Hwa.” kata Gulam Sang sambil melepaskan pergelangan tangan itu.

"Kau.... jahanam busuk....!” Setelah dilepaskan, kembali Siok Hwa menyerang.

Akan tetapi sekali ini Gulam Sang mengelak dan sekali mendorong dengan tangannya, gadis itu pun terpelanting keras.

“Engkau bukan lawanku, Siok Hwa. Dengar baik-baik, kalau aku hendak membunuhmu, mudahnya seperti membalikkan telapak tangan saja. Akan tetapi aku tidak ingin membunuhmu, aku ingin engkau ikut aku dan membantu usahaku. Kelak, kalau aku menjadi pengeran, engkau akan menjadi seorang selirku yang bercinta.”

Siok Hwa memandang penuh kebencian, dengan air mata bercucuran di atas kedua pipinya. “Engkau....engkau telah membunuh ayahku!”

“Salah! Dialah yang hendak membunuh aku maka terpaksa aku lenyapkan dia. Salahmu juga karena engkau melapor kepada ayahmu. Kalau da tidak menyerangku, untuk apa aku membunuhnya?”

“Kau.... kau jahat....!””Kembali engkau keliru. Aku baik sekali padamu, aku sayang padamu.” Kini suara Gulam Sang berubah, penuh getaran dan penuh wibawa. Dan mendadak saja Siok Hwa merasa dirinya lemas, pikirannya seperti melayang-layang. Kiranya Gulam Sang mulai mempergunakan sihirnya.

“Mulai sekarang engkau akan menuruti semua kehendakku. Engkau akan taat kepadaku!”

Siok Hwa menunduk. “Aku.... akan taat kepadamu.” katnya lirih dan tanpa tenaga. Gilam Sang merasa girang sekali sudah dapat menguasai Siok Hwa.

“Mulai sekarang, ikutlah ke mana aku pergi kecuali kalau kularang. Sekarang, ikuti aku!” Gulam Sang lalu membalikan dirI dan melangkah pergi dan seperti telah kehilangan semangatnya, Siok Hwa mengikutinya. Kalau Gulam Sang berlari, ia pun ikut pula berlari!

Mulal saat itu, Siok Hwa telah berada dalam cengkraman Gu Lam Sang. Sekali waktu, ingatannya kembali dan apabila dia teringat akan kematian ayahnya dan akan keadaan dirinya, dia menangis, akan tetapi ia segera terhibur kalau GuLam Sang sudah mengeluarkan kata-kata hiburan yang mengandung kekuatan sihir.

Cu In masih menangis tanpa suara ketika ia berjalan seorang diri masih di kota raja, setelah meninggalkan rumah The Sun Tek. Pikirannya masih kacau. Hatinya terasa hancur luluh. Padahal, sepatutnya ia berbahagia sekali karena ternyata ayah bundanya masih hidup! Ia bukan yatim piatu. Gurunya adalah ibu kandungnya dan The Sun Tek adalah ayah kandungnya. Sepatutnya ia bersyukur. Akan tetapi kenyataannya lain. Ibunya sendiri mendidiknya sebagai murid hanya untuk diadu dengan ayah kandungnya. Ia harus membunuh ayah kandungnya sendiri! Demikian parah racun dendam merusak hati ibunya sehingga wanita itu ingin melihat kekasihnya terbunuh oleh puterinya sendiri.

Sebuah kereta meluncur berpapasan dengannya. Kereta itu segera dihentikan dan seorang gadis menyingkap tirai kereta dan memanggil-manggilnya. “Enci Cu In....! Enci Cu In....!”

Cu In membalikkan tubuhnya memandang dan ia segera mengenal gadis yang memanggilnya itu. Gadis itu bukan lain adalah Yo Han Li, gadis yang membantunya ketika ia dikeroyok oleh orang-orang Kwi-kiam-pang. Gadis itu dan gurunya, Kai-ong telah membantunya sehingga ia dapat terlepas dari pengeroyokan yang berbahaya. Dan ia pun mengenal gadis itu dari ilmu pedangnya bahwa ia adalah puteri Pendekar Tangan Sakti Yo Han dan isterinya, Si Bangau Merah! Biarpun pertemuan dan perkenalan mereka hanya sebentar, namun berkesan di hati Cu In, maka ketika melihat bahwa Han Li yang memanggilnya ia pun segera menghampiri kereta itu. Han Li sudah meloncat turun dari dalam kereta, diikuti seorang gadis lain yang juga cantik dan berpakaian serba biru.

“Enci Cu In, girang sekali aku dapat bertemu dengan engkau di sini. Perkenalkan, enci Cu In, ini adalah adik Tao Kwi Hong, puteri Pangeran Mahkota. Adik Hong, ini adalah enci Souw Cu In yang pernah kuceritakan kepadamu, ilmu silatnya hebat.

Mendengar bahwa gadis itu puteri Pangeran Mahkota, Cu In memberi hormat dan dibalas dengan manis oleh Kwi Hong. “Aku sudah mendengar tentang dirimu, enil Cu In, dan aku merasa kagum sekali. Mari, kupersilakan untuk singgah di rumahku agar kita bertiga dapat bercakap-cakap dengan leluasa dan gembira.”

“Benar, enci Cu In. Aku bersama suhu sedang menjadi tamu dari keluarga Pangeran Mahkota, sudah beberapa hari aku berada di sini. Marilah singgah sebentar, Enci. Aku ingin mengenalmu lebih dekat.”

Dibujuk oleh dua orang gadis yang ramah dan manis budi itu, Cu In yang sedang bersedih menjadi gembira dan ia pun ikut naik ke dalam kereta yang segera dijalankan menuju ke istana Pangeran Mahkota.

Biarpun Cu In masih memakai cadar dan mukanya tidak dapat dikenali, namun sikap Han Li dan Kwi Hong tetap ramah kepadanya, seolah menutupi muka dengan cadar adalah suatu hal yang biasa saja. “Enci Cu In, apakah angkau masih berdarah keturunan Turki dan beragama Islam?” tanya Kwi Hong ketika mereka sudah tiba di istana dan mereka bertiga bercakap-cakap di taman bunga yang indah dari istana itu.

“Ah, tidak. Mengapa?” tanya Cu In heran.

“Cadarmu itu meningatkan aku akan kebiasaan para wanita Islam yang pernah kutemui.” kata pula Kwi Hong dan suaranya terdengar biasa saja sehingga tidak menyinggung perasaan Cu In. Cu In pun mengerti akan kewajaran pertanyaan itu.

Akan tetapi pertanyaan mengenai cadar yang menutupi mukanya itu mengingatkan Cu In akan ibunya! Ibunya yang tadinya diangap gurunya itulah penyebab ia mengenakan cadar sejak menjadi gadis remaja. Gurunya selalu menekankan kepadanya betapa palsu dan jahatnya semua pria, dan betapa besar bahayanya kalau ada pria jatuh cinta kepadanya atau sebaliknya kalau ia mencinta pria. Pria yang demikian itu harus dibunuh! Karena itulah, untuk mencegah agar jangan ada pria jatuh cinta kepadanya ia menutupi mukanya dengan cadar. Ia tidak harus seperti sucinya yang entah berapa kali harus membunuh pria karena pria itu tertarik dan jatuh cinta kepadanya. Dan teringat akan gurunya, mengingatkan pula ia akan kenyataan bahwa gurunya adalah ibu kandungnya, dan mengingatkan pula bahwa sikap ibunya yang menyuruh ia membenci setiap orang pria itu berdasarkan sakit hati ibunya terhadap ayahnya! Teringat akan semua ini, hati Cu In menjadi sedih sekali. Dan pada saat itu juga sudah timbul niat di hatinya untuk menentang sikap ibu kandungnya itu. Menentang sikapnya yang membenci setiap orang laki-laki, hanya karena dia pernah disakiti hatinya oleh seorang laki-laki. Ia sendiri selama ini tidak pernah merasa benci kepada laki-laki, dan menganggap mereka sama saja seperti para wanita, ada yang jahat dan ada pula yang baik. ’

Tidak adanya sikap membenci pria ini sudah diperlihatkan ketika dia menyelamatkan Keng Han dari tangan sucinya, ketika sucinya hendak membunuh laki-laki itu karena Keng Han tidak mau diajak berjodoh dan minggat. Mendengar pengakuan Keng Han bahwa pemuda itu tidak mencinta sucinya, cukup menjadi alasan baginya untuk mencegah sucinya membunuh Keng Han. Ingatannya melayang-layang ketika ia teringat akan pemuda itu. Teringat betapa ia telah ditolong oleh Keng Han ketika ia tertawan oleh Tung-hai Lo-mo dan Swat. hai Lo-kwi, teringat akan perjalanan mereka bersama, malam-malam di dalam gua, makan minum bersama. Makin terasa di hatinya betapa ia amat tertarik kepada Keng Han, betapa debar jantungnya menjadi cepat kalau ia teringat kepada pemuda itu, namun selama ini perasaan itu selalu ditekannya karena anggapan yang ditanam gurunya sejak kecil dalam perasaannya bahwa semua pria itu palsu dan jahat. Akan tetapi sekarang, setelah ia mengetahui bahwa gurunya adalah ibunya sendiri yang membenci kaum pria karena disakiti hatinya oleh seorarig laki-laki, maka anggapan itu mengendur dan ia bahkan tidak percaya lagi kepada ibunya yang begitu tega menyuruhnya membunuh ayah kandungnya sendiri!

“Enci Cu In, engkau melamun?” tiba-tiba Han Li menegur sambil menyentuh tangannya. Han Li melihat betapa pandang mata Cui In menerawang jauh dan pandangan mata itu kosong separti orang melamun dan sejak tadi Cu In diam saja.

Cu In tersentak kagat dan baru sadar, teringat bahwa tadi Kwi Hong menyinggung tentang cadarnya dan ia merasa tidak enak kalau tidak menjawab.

“Ah, cadarku ini.... sebagai penutup mukaku. Aku tidak ingin orang lain melihat mukaku, aku malu....” jawabnya terpaksa sekali.

“Malu? Engkau yang begini cantik jelita, malu kalau orang lain melihat mukamu? Sungguh aneh!” kata Kwi Hong yang memang lincah.

Aku.... sama sekali tidak cantik, aku.... mukaku buruk sekali....” kata Cu In dengan terpatah-patah.

Han Li yang juga lincah namun berwatak lembut itu melihat sikap yang gugup dari Cu In, segera berkata, “Sudahlah, enci Cu In. Kalau engkau ingin menyembunyikan wajahmu di balik cadar, itu adalah urusamu sendiri dan menjadi hakmu. Kami tidak akan memaksamu untuk memperlihatkan mukamu kepada kami, bukankah begitu, adik Kwi Hong?”

Kwi Hong juga seorang gadis yang biarpun puteri pangeran mahkota, namun sudah lumayan pengalamannya di dunia kang-ouw, maklum betapa orang kang-ouw memang banyak yang aneh-aneh, maka ia pun segera berkata, “Tentu saja. Menggunakan cadar untuk menyembunyikan mukanya adalah rahasia enci Cu In sendiri, walaupun aku sungguh ingin dapat melihat muka itu.”

“Kelak akan datang waktunya kalian dapat melihat mukaku, akan tetapi sekarang belum waktunya, kata Cu In.

Ketika mereka akan bercakap terus mendadak nampak Pangeran Mahkota Tao Kuang memsuki taman itu,berjalan sambil bercakap-cakap dengan Kia-ong Lu Tong Ki. Ternyata Lu Tong Ki merupakan kawan bercakap-cakap yang menyenangkan bagi peteru mahkota itu. Raja Pengemis itu berpengetahuan luas dan biarpun dai hanya seorang yang berjuluk Raja Pengemis, ternyata dia tiadak pernah merasa rendah diri dan dapat melayani sang Pangeran Mahkota bercakap-cakap mengenai banyak hal. Ketika itu, hawa agak panas dan Pangeran Tao Kuang mengajak tamunya unatuk barjalan-jalan dalam taman sambil bercakap-cakap.

Melihat putrinya bersama Han Li dan seorang gadis lain yang bercadar sedang berada dalam taman pula, Pangeran Mahkota segera menghampiri.

“ Itu ayah datang!” kata Kwi Hong, dan mendengar bahwa yang datang adalah Pangeran Mahkota, Cu In segera berdiri dengan perasaan tidak enak, Ia belaum pernah bartemu dengan Pangeran Mahkota dan merasa kedatangannya mengganggu.

“Hai, bukankah itu nona Souw?” Kai-ong Lu Tong Ki berteriak ketika melihat Cu In. Dia masih ingat ketika bersama Han Li membantu Cu In dari pengeroyokan Toat-beng Kiam-sian LO Cit dan anak buahnya.

“Ayah, ini nona Sauw Cu In yang saya undang untuk berkunjung ke sini. Ia seorang yang memiliki ilmu silat yang tinggi sekali, Ayah.”

“Bagus, engkau boleh saja mengajak para sahabatmu yang gagah datang berkunjung, Kwi Hong.” Kata Pangeran Mahkota Tao Kuang sambil menghampiri. Cu In bangkt dan memberi hormat kepada Pangeran Tao Kuang.

“Harap Paduka suka memaakan kalau kedatangan saya ini menganggu.” Katanya lembut.

“Ah sama sekali tidak mengganggu, Nona. Bahkan kami mengundang Nona untuk menjadi tamu yang terhomat dari kami dan malam nanti kami kan mengadakan perjamuan makan malam di taman ini untuk menghormati para tamu.” “Enci Cu In, aku harap engkau suka menghadirinya!” kata Kwi Hong dengan girang.

“Malam ini terang bulan. Kita makan malam di bawah. sinar bulan dan membicarakan tentang ilmu silat. Tentu menggembirakan sekali!” kata Pangeran Tao Kuang.

"Sekali ini engkau harus tidak menolaknya, Enci. Aku juga ingin sekali engkau menemaniku!” kata Yo Han Li sambil memegang tangan gadis bercadar itu.

Cu In merasa sungkan untuk menolak ajakan mereka yang demikian ramah kepadanya. “Baiklah, aku akan tinggal semalam dengan kalian.”

Pangeran Tao Kuang melanjutkan berjalan-jalan dalam taman berasma Kai-ong Lu Tong Ki dan tiga orang gadis itu pun melanjutkan percakapan mereka. Akhirnya Kwi Hong mengartar Cu In ke dalam sebuah kamar yang diperuntukkannya tinggal semalam itu. Malam itu memang terang bulan. Bulan purnama menerangi langit dan bumi. Taman Istana Pangeran Mahkota nampak indah sekali. Bunga-bumga sedang mekar semerbak harum dan di sana sini dipasangi lampu-lampu terang yang beraneka warna menambah semaraknya keadaan dalam taman.

Malam itu Pangeran Mahkota datang ke taman disertai selirnya, Liang Siok Cu, satu-satunya selir yang cocok untuk mendampinginya di waktu pangeran menerima tamu-tamu ahli silat karena selir ini dulu pun seorng tokoh kang-ouw. Kwi Hong yang menemani ayah ibunya nampak Cantik dalam pakaian biru tua dan muda, dengan rambutnya yang di gelung ke atas, dihias Bangau Emas dan ujungnya diikat sehelai pita merah. Cu In segera diperkenalkan kepada Liang Siok Cu dan mereka mulai diayani para pelayan yang menqhidangkan makan malam yang mewah dan serba lezat. Yang paling gembira adalah Kai-ong Lu Tong Ki. Tanpa sungkan atau malu dia, menyantap semua hidangan dengan lahapnya. Dan ketika mereka memperhatikan Cu In, gadis ini makan dengan sikap biasa saja.

Karena sudah biasa, maka dia tidak canggung makan, biarpun cadarnya masih menutupi muka bagian bawah itu. Dia membawa makanan yang dikumpit ke balik cadar dan makan dengan tenang, cadarnya ikut bergerak-gerak ketika mulutnya dengan perlahan mengunyah makanan.

Ketika Pangeran Mahkota Tao Kuang sedang menjamu para tamunya dengan gembira, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan hitam dan tahu-tahu tak jauh dari situ berdiri seorang pemuda yang memegang sebatang pedang bengkok terhunus. Pedang itu berkilau terkena sinar lampu gantung.

Pangeran Tao Kuang, bersiaplah engkau untuk menerima pembalasanku atas segala kecuranganmu!” bentak pemuda itu yang bukan lain adalah Keng Han. Setelah berkata demikian, tubuhnya melayang dan menerjang ke arah Pangeran Tao Kuang, pedangnya menyambar ke arah leher sang pangeran.

Sang Pangeran adalah seorang yang mempelajari ilmu silat dari mendiang mertuanya Sin-tung Koai-jin Liang Cun, maka dia pun cepat merendahkan tubuhnya untuk mengelak.

“Trang....!” Pedang di tangan Keng Han tertangkis oleh tongkat bambu yang digerakkan oleh Kai-ong Lu Tong Ki yang duduk di sebelah kiri pangeran itu.

Keng Han terpaksa melompati meja ketika serangan pertamanya gagal. Dia juga terkejut ketika merasakan tenaga hebat terkandung pada tongkat bambu yang menangkisnya. Dan baru sekarang dia melihat bahwa yang menangkis pedangnya adalah seorang berpakalan pengemis! Seorang pengemis makan bersama Pangeran Mahkota! Sungguh merupakan hal luar blasa. Disangkanya tadi Pangeran Tao Kuang sedang berpesta, dengan para selirnya karena dia melihat beberapa wanita muda cantik menemani pangeran itu makan minum. Baru sekarang dia dapat memperhatikan wanita-wanita muda itu dan terkejutlah dia ketika dia mengenal dua orang di antara mereka. Kwi Hong dan Cu In! Dia tidak heran melihat Kwi Hong karena dia sudah mengenalnya.

“Han-ko kaukah itu? Han-ko, kenapa engkau hendak membunuh ayahku? Ayaku orang yang baik dan tidak pernah melakukan kejahatan apa pun!” Kwi Hong berseru dan ia pun telah berdiri, memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak.

Keng Han menjadi serba salah. Hubungannya dengan Kwi Hong, biarpun tidak begitu lama meninggaikan kesan mendalam di hatinya. Bahkan sebelum tahu behwa gadis ini adalah saudara sepupunya satu marga, dia mengira bahwa dia telah jatuh cinta kepada gadis ini. Sekarang, bagaimana dia dapat membunuh ayah gadis itu tanpa memberitahukan alasannya yang kuat?

“Pangerah Tao Kuang telah bertindak curang sekali. Dua puluh tahun yang lalu dia melakukan fitnah kepada Pangeran Tao Seng sehingga Pangeran Tao Seng dihukum buang selama dua puluh tahun, padahal, Pangeran Tao Seng tidak berdosa apa-apa.”

“Keterangan itu bohong!” Tiba-tiba Liang Siok Cu bangkit berdiri dan berseru. “Aku sendiri yang menjadi saksi ketika itu. Pangeran Tao Kuang sedang berburu dengan dua orang saudaranya, yaitu Pangeran Tao Seng dan Pangeran Tao San. Dua orang saudaranya itulah yang tiba-tiba mengeroyok dan hendak membunuh Pangeran Tao Kuang bersama selosin orang pengawalnya yang semua adalah pembunuh bayaran. Akulah yang menolongnya, bersama mendiang ayahku Aku menjadi saksi bahwa Pangeran Tao Kuang tidak melakukan fitnah, melainkan benar-benar. hendak dibunuh oleh dua orang pangeran itu sehingga mereka dihukum buang!”

Menghadapi gadis bercadar ini, Keng Han menjadi lemas. Tak mungkin dia menentang Cu In dan melawannya. Dia menghela napas panjang lalu melangkah mundur. “Biarlah malam ini kulepaskan dia. Akan tetapi lain kali, dia pasti akan mati di tanganku untuk membalaskan kematian Pangeran Tao Seng” “Ha-ha-ha-ha-ha!” Tiba-tiba terdengar Pangeran Tao Kuang tertawa bergelak. “Lelucon macam apa ini? Orang muda, engkau telah dipermainkan orang akan tetapi tidak tahu. Bukan saja tuduhan bahwa aku melakukan fitnah itu palsu adanya, akan tetapi juga perkiraanmu bahwa Pangeran Tao Seng sudah mati itu bohong belaka. Dia masih hidup, segar bugar, bahkan tinggal di kota raja ini. Dia menyembunyikan siapa dirinya sebenarnya dan memakai nama Ji atau yang terkenal dengan sebutan Ji Wangwe “

Keng Han yang tadinya hendak melarikan, diri itu sempat mendengar ucapan ini dan dia benar-benar terkejut. Mukanya berubah pucat dan dia berkata gugup. “Tidak.... tidak benar....!”

“Aku tidak suka berbohong. Kenapa tidak kau selidiki siapa sebetulnya Hartawan JI itu? Dua bukan lain adalah Pangeran Tao Seng sendiri. Dan engkau ini siapakah, orang muda!” tanya Pangeran Tao Kuang dengan suara halus karena maklum bahwa pemuda ini agaknya dibohongi dan, dipermainkan orang.

Keng Han merasa tersudut. Keadaannya sungguh tidak menyenangkan, karena dari keadaan yang menuntut balas dan yang benar, kini berbalik keadaannya menjadi yang bersalah. Ayahnya bukan seorang yang difitnah melainkan yang memfitnah, bukan yang dijahati melainkan yang jahat. Yaitu, kalau keterangan mereka semua itu benar adanya. kini ditanya siapa dirinya, terpaksa dia mengaku untuk alasan mengapa dia begitu mati-matian membela Pangeran Tao Seng dan ingin membalaskan dendamnya. Setidaknya mereka semua akan mengerti mengapa dia begitu nekat.

“Aku adalah puteranya. Ibuku puteri kepala suku Khitan!” jawabnya singkat.

"Ahhh, kalau begitu engkau masih keponakanku sendiri! Aku sudah mendengar bahwa kakanda Tao Seng menikah dengar seorang puteri Khitan di utara. Kiranya engkau puteranya! Akan tetapi engkau telah menerima keterangan yang sifatnya fitnahan terhadap diri kami. Sebaiknya kalau engkau menemui Ji-wangwe di kota raja ini dan dialah Pangeran Tao Seng yang sebenarnya, masih hidup dan sehat. Dan dari dia engkau tentu akan mendapat keterangan tentang mengapa dia dihukum buang.”

Melihat semua orang berdiri menentangnya, Keng Han menjadi semakin ragu akan niatnya membunuh Pangeran Tao Kuang. Bagaimana kalau semua keterangan ini benar? Pula, dia sama sekali tidak menduga bahwa Cu In berada di situ. Dengan adanya Cu In dan kakek berpakaian pengemis itu, masih ada pula Kwi Hong dan ibunya, dan siapa tahu gadis cantik yang dekat kakek jembel pengemis itu juga orang yang lihai, agaknya sukar baginya untuk membunuh Pangeran Tao Kuang. Pula dia akan menyesal setengah mati kalau ternyata benar semua keterangan. Pangeran itu. Bahwa ayahnyalah yag jahat! Dan hatinya berdebar penuh ketegangan dan penasaran mengingat bahvwa ayah kandungnya sendiri menipunya agar dia mau membunuh Pangeran Tao Kuang yang tidak bersalah. Demikian jahatkah ayah kandungnya? Dia merasa kecewa dan menyesal sekali.

“Sudahlah, aku akan menyelidiki semua itu dan kalau semua keterangan itu benar, aku mohon maaf sebesarnya! Setelah berkata demikian, sekali berkelebat pemuda itu lenyap dalam kegelapan malam di antara pohon-pohon.

“Ha-ha-ha, seorang pendekar memang harus bertindak demi kebenaran bukan karena mendengar omongan orang!” Kaiong Lu Tong Ki berseru nyaring dan masih terdengar ucapannya itu oleh Keng Han. Pemuda itu melompat pagar tembok di ujung taman dan keluar dari situ. Pangeran Tao kuang menarik napas panjang. “Ahhh, sungguh aku tidak mengerti siapa yang melakukan fitnah seperti iitu. Kasihan keponakanku yang menjadi mata gelap mendengar bahwa ayahnya kufitnah, bahkan kubunuh di tempat pembuangan. Tentu dia merasa sakit hati sekali kepadaku.”

“Ayah, aku mengenal baik Keng Han itu!” kata Kwi Hong dan tidak seorang pun di antara mereka mengetahui betapa hancur rasa hati Kwi Hong! Tadi, begitu mendengar Keng Han mengaku sebagai putera Pangeran Tao Seng, ia merasa jantungnya seperti ditikam. Ah, betapa ia sudah tergila-gila dan mencinta pemuda itu, dan sekarang, ternyata bahwa pemuda itu adalah kakak sepupunya!

“Aku juga heran mendengar engkau tadi menyebut Han-ko kepadanya.” kata Pangeran Tao Kuang.” Di mana dan bagaimana engkau dapat berkenalan dengan dia?”

“Beberapa kali dia membantuku ketika aku dikeroyok orang jahat, Ayah. Juga ketika aku bersama Paman Yo Han ayah enci Han Li ini dikeroyok orang-orang Pek-lian-pai, dia membantu. Dia bukan orang jahat, Ayah. Sama sekali bukan!”

“Hemmm, kalau engkau sudah mengenal kakak sepupumu sendiri, mengapa tidak kauberitahukan aku dan Ibumu?”

"Ketika itu, dia mengaku bernama Si Keng Han, bukan she Tao. Demikian pula aku tidak memberitahukan nama margaku maka dia pun tidak tahu. Akan tetapi ketika pasukan yang menyusul aku itu datang, tentu dia sudah tahu bahwa aku adalah puteri Ayah, tahu bahwa aku adalah adik sepupunya. Hanya aku yang belum tahu.”

“Ia memang bukan orang jahat. Aku juga sudah mengenalnya. Karena itu aku percaya bahwa perbuatannya tadi adalah karena dia mendengar hasutan, mendengar keterangan yang sengaja diatur untuk memanaskan hatinya. Buktinya, setelah dia mendengar keterangan di sini, dia pun pergi dan tidak melanjutkan usahanya membunuh.”

“Mungkin dia jerih melihat kehadiran kita semua.” kata Han Li.

“Ah, tidak, adik Han Li. Dia seorang gagah yang berkepandalan tinggi. Dan lagi, dia itu pewaris ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es!”

“Aihhh...., bagaimana ini, enci Cu In? Kalau dia murid keluarga Pulau Es, aku tentu mengenalnya!” kata Han Li.

“Entahlah, akan tetapi dia mahir ilmu-iIlmu Pulau Es, dan Keng Han Juga masih terhitung murid keponakanku sendiri karena dia menjadi murid suci-ku, pernah bercerita kepadaku bahwa dua memperoleh ilmu-ilmu aneh itu dari Pulau Hantu.”

“Pulau Hantu? Ibu yang pernah mampelajari ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es tidak pernah bercerita ter adanya Pulau Hantu.”

“Sudahlah, mendengar cerita kalian, aku yakin bahwa Keng Han seorang berwatak pendekar. Setelah apa yang dia dengar dari sini tentang Pangeran Tao Seng, dia tentu akan melakukan penyelidikan, dan kalau dia sudah tahu duduknya perkara, aku kira dia tidak akan memusuhiku lagi.”

“Mudah-mudah begitu, Ayah. Kalau dia datang lagi dan berkeras hendak membunuh Ayah, akulah yang akan menghadapinya. Dia boleh membunuh Ayah setelah melewati mayatku!” kata Kwi Hong dengan nada suara mengandung kecewa, penasaran dan juga sedih. Tak seorang pun tahu apa yang dirasakan gadis ini. Dia sudah terlanjur jatuh cinta kepada pemuda itu, dan sekarang melihat kenyatan bahwa pemuda itu adalah kakak sepupunya sendiri yang hendak membunuh ayahnya!

Setelah makan minum selesai, Pangeran Tao Kuang mengundurkan diri bersama selirnya. Liang Siok Cu yang merasa khawatir akan keselamatan suaminya segera memerintahkan pasukan pengawal untuk melakukan penjagaan ketat, untuk menjaga agar tidak ada orang luar dapat memasuki istana. Pasukan pengawal dikerahkan untuk menjaga keselamatan suaminya tersayang.

Cu In juga berpamit kepada Kwi Hong. “Hatiku merasa tidak enak sekali dengan terjadinya peristiwa ini. Bagaimanapun juga, Keng Han adalah murid keponakanku dan aku ikut bertanggung jawab kalau dia melakukan sesuatu terhadap sang pangeran. Karena itu, aku tidak jadi bermalam di sini, aku pamit untuk keluar dari istana ini karena aku hendak mencari Keng Han, untuk mengajaknya bicara dan menyadarkannya.”

Tentu saja Kwi Hong tidak dapat menahannya, karena kepergian Cu In adalah untuk mencegah Keng Han mengulangi usahanya untuk membunuh ayahnya. Ia mengantar Cu In keluar dari istana karena seluruh daerah istana telah di jaga pengawal sehingga akan agak sukarlah bagi Cu In atau siapa saja yang datang dari luar untuk keluar dari situ begitu saja. Dengan pengawalan Kwi Hong, Cu In dapat keluar dengan mudah ia lalu melompat dan lenyap di balik pohon-pohon. Kwi Hong memandang ke arah bayangannya dan berulang kali Kwi Hong menghela napas panjang. Kalau saja Keng Han itu bukan kakak sepupunya, kiranya ia pun akan melakukan hal serupa dengan apa yang dilakukan Cu In yaitu membujuk pemuda itu agar tidak melanjutkan niatnya.

Cu In berdiri diam di bawah sebatang pohon besar, berpikir. Akan tidak mudah baginya untuk mencari Keng Han di kota raja yang besar itu, tanpa mengetahui ke mana pemuda itu pergi. Ke rumah Hartawan Ji? Akan tetapi di mana rumah Hartawan Ji ia tidak tahu dan tiba-tiba ia teringat akan The Sun Tek, ayah kandungnya. Ayahnya adalah The-ciangkun, seorang panglima besar yang kenamaan di kota raja. Sebagai seorang panglima, tentu The-ciangkun tahu benar apa yang terjadi dua puluh tahun yang lalu, tentang Pangeran Tao Seng. Apakah besar Pangeran Tao Sung difitnah oleh Pangeran Kuang, atau apakah dia memang hendak membunuh Pangeran Mahkota Tao Kuang sehingga dia ditangkap dan dihukum buang. Juga ayah kandung itu tantu tahu siapakah sabenarnya Hartawan Ji dan di mana tempat tinggalnya. Ia hampir yakin bahwa Keng Han tentu pergi kepada Hartawan Ji untuk mencari tahu tentang kebenaran apa yang didengarnya dari Pangeran Tao Kuang.

Dengan pikiran ini, Cu In cepat menyelinap dan berkelebat cepat pergi menuju ke rumah The Sun Tek atau The-ciangkun, yang baru siang tadi ia tinggalkan.

Ia langsung saja mendatangi gardu di mana terdapat beberapa orang tentara melakukan penjagaan dan berkata kepada mereka. “Harap kalian laporkan kepada The Sun Tek bahwa aku, Cu In, ingin, menghadap dan bicara dengannya.”

Para penjaga itu terheran-heran melihat seorang wanita bercadar minta bertemu dengan sang panglima, akan tetapi, melihat sikap yang sungguh-sungguh dari wanita itu, seorang di antara mereka segera menghadap ke dalam untuk melaporkan kepada The-ciangkun. Kebetulan The Ciangkun masih belum tidur dan sedang bercakap-cakap dengan The Kong puteranya. Yang mereka bicarakan bukan lain adalah tentang Ang Hwa Nio-nio dan The Cu In, puteri Panglima itu. Kalau panglima sudah tidur, tentu penjaga itu tidak akan berani mengganggunya dan mengusir Cu In.

“Maafkan saya, Ciangkun, kalau saya mengganggu. Akan tetapi di luar terdapat seorang nona bercadar yang mengaku bernama Cu In dan ingin bertemu dan bicara dengan Ciangkun.”

Tadinya penjaga itu mengira bahwa panglima itu tentu akan marah dan menyuruh dia mengusir wanita pengganggu itu, akan tetapi dia kecilik ketika melihat pangeran itu dan puteranya bangkit berdiri ketika mendengar pelaporannya.

“Antarkan tamu itu ke sini, cepat!” kata The-ciangkun kepada sang penjaga yang cepat memberi hormat lalu berlari keluar.

“ Tapi, Ayah. Jangpn-jangan ia akan menyerang Ayah....” kata The Kong, khawatir ketika mendengar nama Cu In, kakak tirinya itu.

“Tenanglah, Kong-ji dan jangan khawatir. Kalau ia datang dengan niat buruk, tantu ia tidak akan menemui penjaga, melainkan masuk dengan melompat pagar untuk mencari dan membunuhku.”

tak lama kemudian muncullah Cu In, diantar oleh penjaga. The-ciangkun memberi isyarat kepada tentara itu untuk pergi dan dia segera berkata dengan ramah kepada Cu In, “Cu In, mari duduklah dan katakan apa yang hendak kaubicarakan denganku? Kebetulan sekali aku pun sedang mencarimu. Kalau malam ini engkau tidak muncul, besok pagi akan kukerahkan pasukanku untuk mencarimu di seluruh pelosok kota raja!”Cu In duduk di atas bangku berhadapan dengan The-ciangkun dan The Kong lalu bertanya, suaranya terdengar masih dingin, Mengapa engkau hendak mencariku?” Biarpun ia sudah tahu bahwa pria ini ayah kandungnya, namun masih canggung baginya untuk menyebut ayah.

“Mengapa, Cu In?” Engkau adalah puteriku, maka tentu saja aku menghendaki engkau untuk pulang dan tinggal bersama ayahmu. Pula, ibumu mengajukan syarat. Aku baru dapat memboyongnya untuk hidup bersama di sini kalau aku membawa engkau, kepadanya! Ia amat mencintamu dan sangat menyesal melihat engkau marah kepadanya. Karena itulah, aku girang sekali melihat engkau datang.”?”Benar, enci Cu In. Engkau harus tinggal bersama kami di sini!” kata pula The Kong, adik tirinya.

Cu In menghela napas panjang. “Belum tiba saatnya aku tinggal di sini. Kedatanganku ini hanya ingin mencari keterangan tentang diri Pangeran Tao Seng.”

“Ehhh? Pangeran Tao Seng? Apa yang ingin kauketahui tentang Pangeran Tao Sang?” tanya The-ciangkun heran.

Dua puluh tahun yang lalu Pangeran Tao Seng di jatuhi hukuman buang. Benarkah itu?”

“Memang benar demikian. Dia dihukum buang selama dua puluh tahun.”

“Dan sebabnya? Apakah dia difitnah orang lain?”

“Sama sekali tidak! Aku masih ingat benar. Pada suatu hari, Pangeran Tao Kuang, yaitu Pangeran Mahkota, diajak berburu binatang oleh Pangeran Tao Seng dan Pangeran Tao San. Akan tetapi terjadi keanehan. Mereka pulang dengan diantar Sin-tung Koai-jin Liang Cun dan puterinya, Liang Siok Cu. Pendekar itu telah menolong Pangeran Mahkota Tao Kuang yang hampir dibunuh kedua pangeran itu bersama anak buahnya. Pangeran Tao Kuang pulang dengan selamat dan Pangeran Tao Seng dan Pangeran Tao San pulang sebagai tawanan, ditawan Sin-tung Koai-jin dan puterinya. Mereka diadili oleh kaisar, sendiri dan dijatuhi hukuman buang selama dua puluh tahun.”

Cu In mengangguk-angguk. Ternyata benar apa yang diterangkan oleh Pangeran Mahkota Tao Kuang, seperti yang pernah didengarnya.

“Dan kabarnya Pangeran Tao Kuang mengirim utusan untuk membunuh Pangeran Tao Seng dalam pembuangannya itu? Benarkah demikian?”

The-ciangkun menggeleng kepalanya dan tertawa. “Ha-ha-ha, dari mana engkau mendengar berita itu, Cu In? Itu adalah kabar bohong belaka. Pangeran Tao Seng tidak ada yang membunuh dalam pembuangannya. Bahkan sampai sekarang dia masih hidup!”

“Apakah dia sekarang menjadi orang yang disebut Hartawan Ji. di kota raja ini?”

The-ciangkun membelalakkan matanya. “Ahhh, engkau sudah tahu pula? Tidak, banyak orang mengetahuinya kecuali keluarga kerajaan dan beberapa orang pejabat tinggi. Aku mengetahui juga secara kebetulan saja. Ketika aku pada suatu hari bertemu muka dengan Hartawan Ji, aku tidak ragu lagi bahwa dia adalah Pangeran Tao Seng!”

“Di mana rumahnya?”

“Rumahnya mudah dicari. Di jalan raya sebelah selatan taman rakyat ada sebuah rumah besar bercat kuning. Di depan rumah itu terdapat dua arca singa yang besar dan indah. Itulah rumahnya.”Cu In bangkit berdiri. “Terima kasih atas segala keterangan ini. Aku harus pergi sekarang.”

The-ciangkun dan puteranya juga cepat berdiri. “Ehhh, Cu In, engkau akan pergi ke mana? Tinggallah saja di sini dan kalau ada urusan, beritahukan padaku. Aku yang akan mengurusnya sampai selesai.”

Cu In tersenyum di balik cadarnya. Ayahnya ini berhati mulia dan menyayangnya, tidak seperti ibunya. “Terima kasih, urusan ini harus kuselesaikan sendiri, tanpa bantuara siapa pun.”

“Akan tetapi engkau adalah puteriku, Cu In. Aku berkewajiban untuk membantumu dalam segala hal.”

“Benar, enci Cu In. Atau, kalau engkau tidak mau tinggal di dini saja dan hendak mengurusnya sendiri, biarkan aku ikut untuk membantumu!” kata The Kong penuh semangat.

“Terima kasih, aku harus pergi sendiri. Lain kali aku tentu akan datang lagi berkunjung.”

“Nanti dulu, Cu In!” kata The-ciangkun khawatir. “Engkau bertanya-tanya, tentang Pangeran Tao Seng dan Hartawan Ji. Kalau engkau mempunyai urusan pertentangan dengan Pangeran Tao Seng, kuharap engkau berhati-hati, anakku. Ketahuilah, Pangeran Tao Seng seorang yang amat berbahaya. Sekarang pun aku sendiri mencurigainya. Menurut para penyelidik, sudah ada beberapa tokoh dan datuk sesat datang berkunjung ke rumah Hartawan Ji. Aku khawatir dia sedang menyusun suatu rencana jahat dan dia berbahaya sekali. Biarpun sekarang menjadi Hartawan Ji yang nampaknya diam dan tenang, akan tetapi dia seperti seekor ular yang diam, namun setiap saat siap untuk mematuk dan menyebar kematian.”

“Aku mengerti dan sekali lagi terima kasih. Aku tidak akan melupakan sambutan kalian yang begini baik kepadaku. Selamat malam!” Cu In membalikkan tubuhnya dan keluar dari tempat itu, terus keluar dari rumah dan pekarangan rumah itu. Ayah dan anak itu mengikutinya sampai ke tempat penjagaan. Para penjaga yang melihat gadis itu keluar diantar oleh The-ciangkun sendiri, diam saja tidak berani mengganggunya.

Hati Keng Han bimbang dan ragu, tegang dan penasaran. Baru saja dia mendengar cerita yang berlainan sama sekali dengan yang didengarnya dari Hartawan Ji! Haruskah dia mempercayai semua keterangan Pangeran Tao Kuang?

Akan tetapi setidaknya di sana terdapat Kwi Hong dan Cu In. Dan dia tahu bahwa dua orang gadis ini tentu tidak akan suka membohonginya. Kalau Pangeran Tao Kuang tidak berbohong, lalu apakah Hartawan Ji yang berbohong? Kenapa dia harus percaya kepada keterangan Hartawan Ji? Lalu dia teringat bahwa Hartawan ji, menurut GulamSang, adalah sekutu pemuda Tibet itu. Seorang pejuang yang membenci keluarga kaisar Mancu. Jadi wajar saja kalau Hartawan Ji menghasutnya dan mengarang cerita bohong agar dia membunuh Pangeran Mahkota Tao Kuang karena hal itu akan menguntungkan perjuangannya. Apalagi kalau Hartawan Ji itu adalah Pangeran Tao Seng yang agaknya mendendam kepada Pangeran Tao Kuang. Akan tetapi kalau dia itu Pangeran Tao Seng, tentu mengetahui bahwa dia adalah putera kandungnya! Kenapa berbohong kepada putera kandungnya sendiri? Demi membunuh Pangeran Tao Kuang? Akan tetapi pekerjaan itu amatlah berbahaya. Sepatutnya Pangeran Tao Seng tidak tega untuk menyuruh puteranya sendiri melakukan perbuatan yang amat berbahaya bagi nyawanya itu. Tadi pun andaikata dia berkeras hendak membunuh, menghadapi pangeran itu beserta isterinya dan Kwi Hong, Cu In, kakek pengemis dan muridnya, belum tentu dia berhasil bahkan mungkin saja dia yang roboh dan tewas.

Dengan hati kacau tidak menentu dia berkunjung ke rumah besar Hartawan Ji. Di dalam ruangan sebelah dalam, dia melihat Hartawan JI sedang makan minum bersama seorang pemuda yang dikenalnya, yang bukan lain adalah Gulam Sang, bersama seorang wanita muda yang cantik manis namun wajahnya agak muram. Gadis itu bukan lain adalah Liong Siok Hwa, gadis yang telah dikuasai oieh Gulam Sang, dikuasai badan dan batinnya oleh pengaruh sihir sehingga dia menurut saja apa yang dikehendaki Gulam Sang darinya. Gulam Sang, setelah berhasil membujuk Liong Siok Hwa meninggalkan rumah penginapan di mana ayahnya tewas terbunuh oleh Gulam Sang, lalu membawa gadis itu berkunjung ke rumah Hartawan Ji di kota raja. Kedatangannya disambut oleh Hartawan Ji.

Hartawan Ji menceritakan tentang kunjungan Keng Han dan menceritakan tentang siasatnya menyuruh Keng Han membunuh Pangeran Mahkota Tao Kuang.

Mendengar ini, Gulam Sang lalu menitipkan Liong Siok Hwa kepada Hartawan Ji, kemudian dia sendiri cepat keluar pada malam itu, menuju ke istana Pangeran Tao Kuang. Dengan kepandaiannya yang tinggi dia berhasil masuk ke taman dan mengintai ketika Keng Han datang. Dia melihat apa yang terjadi mendengarkan semua percakapan mereka dan mendahului keluar dari istana itu. Dia menceritakan kepada Hartawan Ji tentang gagalnya Keng Han membunuh Pangeran Mahkota. Di rumah Hartawan Ji terdapat para datuk yang memang sudah lebih dulu tinggal di rumah itu, bersiap-siap membantu Hartawan Ji jika tiba saatnya untuk bergerak membunuh Kaisar. Mereka adalah Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin. Tiga orang ini lalu dipanggil keluar oleh Ji Wan-gwe untuk diajak berunding dengan Gulam Sang.

“Kenapa repot-repot? Kalau pemuda itu datang membuat ulah, ada kami di sini. Dia mau dan bisa berbuat apa terhadap Wan-gwe?” kata Lam-hai Koai-jin memandang rendah pemuda yang dibicarakan. Akan tetapi Swat-hai Lo-kwi yang pernah merasakan ketangguhan pemuda itu berkata, “Lam-hai Koai-jin harap jangan memandang rendah pemuda bernama Keng Han itu. Dia memang lihai sekali dan menguasai ilmu-Ilmu dari keluarga Pulau Es. Akan tetapi di sini terdapat pula aku dan Lo-mo, maka kalau dia membuat ribut, kita tentu akan dapat menundukkannya.”

“Sebaiknya diatur siasat untuk menghadapinya. Mula-mula harap Wan-gwe bersikap lembut terhadap dia. Siapa tahu, kalau dia mengetahui bahwa Wan-gwe itu ayah kandungnya, dia akan menaati semua kehendak Wan-gwe dan dia mau membantu dengan terang-terangan. Kalau dia bersikap berlawanan, aku memiliki racun penghisap semangat yang akan kucampurkan dalam arak yang akan diminumnya. Atau kalau dia tidak mau minum arak, aku dapat menyerangnya dengan pukulan beracun atau dapat merobohkannya dengan sihir. Kalau itu pun tidak berhasil, baru Sam-wi Locianpwe muncul dan membantu kami.”

“Bagus! Kita atur seperti yang direncakan Gulam Sang.” jawab Ji Wan-gwe dengan girang. Biarpun Keng Han itu putera kandungnya, namun dia lebih percaya kepada putera angkat ini karena sudah jelas terbukti bahwa Gulam Sang dapat dipercaya dan benar-benar membantunya untuk membuat gerakannya berhasil. Kalau Keng Han suka mendengarkan bujukannya, hal itu baik sekali. Akan tetapi kalau sebaliknya, dia pun tidak segan untuk membunuh putera kandung yang sejak kecil tidak pernah dikenalnya itu.

Kekuasaan merupakan sesuatu yang diperebutkan setiap orang. Kekuasaan akan menjamin kehidupannya, mendatangkan kekayaan dan kesenangan karena sekali orang memegang kekuasaan, maka segala kehendaknya pasti akan tercapai. Dan untuk mendapatkan kekuasaan itu, orang yang lemah hatinya tidak segan mempergunakan segala macam cara. Seperti Pangeran Tao Seng itu, atau yang kini memakai nama Ji Wan-gwe. Demi mencapai cita-citanya mendapat kekuasaan, dia tidak segan merencanakan untuk membunuh anak kandung sendiri, kalau anak itu menjadi penghalang niatnya. Demikianlah, ketika akhirnya Keng Han muncul, dia melihat Hartawan Ji sedang makan minum bersama Gulam Sang dan seorang gadis yang tidak dikenalnya.

Dia tidak takut dengan adanya Gulam Sang yang dia tahu adalah sekutu Hartawan Ji. Dia melompat dan turun ke dekat meja makan, membuat tiga orang yang sedang makan minum itu menjadi terkejut. Akan tetapi Hartawan Ji tersenyum ketika melihatnya dan berkata, “Ah, kiranya engkau sudah kembali. Tao kongcu? Silakan duduk!”

Keng Han mengerutkan alisnya, akan tetapi dia duduk pula di atas bangku dekat meja.

“Kongcu tentu belum makan juga. Mari silahkan makan minum bersama kami sebelum kita bicara.”

Akan tetapi Keng Han tidak menjawab, hanya matanya memandang kepada Hartawan Ji dengan tajam dan penuh selidik. Hartawan Ji menuangkan secawan arak dan memberikan kepada Keng Han.

“Ah, lebih dulu kami mengucapkan selamat datang dengan secawan arak ini sebagai penghormatan kami. Silakan, Kongcu!”

Bagaimanapun juga, karena sikap Hartawan Ji itu baik dan menghormat sekali, dan juga persoalannya belum jelas baginya siapa yang bersalah, Keng Han menerima secawan arak yang tadi dituang dari guci milik Gulam Sang, Keng Han nengangkat cawan dan minum isinya sampai habis. Mata Gulam Sang mencorong melihat ini, mulutnya tersenyum simpul. Akan tetapi senyum itu berubah.

Kini dia menyeringai heran melihat Keng Han sama sekali tidak terkulai lemas dan tidak menjadi pingsan. Tentu saja dia tidak tahu betapa tubuh Keng Han sudah menjadi kebal akan segala macam racun karena bertahun-tahun dia makan daging ular merah setiap hari, juga jamur-jamur beracun. Karena itu sedikit racun dalam arak yang diminumnya sama sekali tidak mempengaruhinya.

“Nah, bagaimana dengan usahamu, Kongcu. Sudahkah berhasil melenyapkan musuh besarmu itu?””Tidak. Akan tetapi aku mempunyai sebuah pertanyaan yang kuharap engkau suka menjawabnya dengan terus terang.” kata Keng Han matanya tidak berkedip menatap wajah Pangeran Tao Seng sehingga dia menjadi resah juga.

“Tentu saja. Pertanyaan apakah itu, Kongcu?”

“Hartawan Ji bukan lain adalah Pangeran Tao Seng! Benarkah dugaanku ini? Engkaulah Pangeran Tao Seng, yang kini mengubah nama menjadi Hartawan ji! Nah, jawab sejujurnya benarkah demikian?”

Tao Seng atau Hartawan Ji tidak merasa terkejut mendengar ini, karena dia memang sudah diberitahu oleh Gulam Sang bahwa Keng Han telah mendengar keterangan dari Pangeran Tao Kuang.

Dia hanya berpura-pura terkejut mendengar ini dan bertanya dengan suara heran.

“Eh, hal itu sangat dirahasiakan, bagaimana engkau dapat mengetahuinya,Tao Kongcu?”

“Sudahlah, tidak perlu menyebut Kongcu lagi. Engkau adalah Pangecan Tao Seng, berarti engkau adalah ayah kandungku! Juga aku sudah mendengar bahwa engkau sama sekali tidak difitnah oleh Pangeran Tao Kuang. Engkau dihukum buang karena usahamu membunuh Pangeran Tao Kuang mengalami kegagalan. Benarkah semua ini?”

“Benar, akan tetapi engkau tidak mengetahui semuanya, anakku.”

“Ketika aku datang menghadapmu, engkau membohongi aku dan sengaja menghasut aku agar aku membunuh Pangeran Tao Kuang. Betapa jahatnya engkau! Engkau tahu bahwa membunuh Pangeran Tao Kuang merupakan pekerjaan yang amat berbahaya. Akan tetapi engkau menyuruh anakmu sendiri menempuh bahaya besar itu. Aku merasa heran dan malu. Jauh-jauh aku pergi merantau untuk mencari ayahku, tidak tahunya ayahku begini jahat. Aku malu, mempunyai ayah sepertimu!”

“Keng Han, engkau tahu satu tidak tahu dua. Akulah yang memberimu nama Keng Han. Engkau anak kandungku maka pertimbangkanlah semua perbuatanku. Pertama, dua puluh tahun yang lalu aku memang berniat membunuh Pangeran Mahkota Tao Kuang karena merasa diperlakukan tidak adil oleh ayahanda Kaisar. Aku sebagai putera tertua, kenapa adinda Tao Kuang sebagai Pangeran Ketiga yang diangkat menjadi putera mahkota. Aku merasa penasaran oleh perlakuan tidak adil itu maka bersama adinda Pangeran Kedua aku merencanakan untuk membunuhnya. Bukankah itu sudah adil? Kalau dia mati tentu aku yang diangkat menjadi Putera. Mahkota. Akan tetapi usaha kami berdua itu gagal, bahkan kami ditangkap dan dijatuhi hukuman buang selama dua puluh tahun! Bayangkan betapa sengsaranya aku, seorang pangeran yang biasanya hidup mewah dan terhormat, dibuang di tempat pengasingan selama dua puluh tahun?”Keng Han diam saja. Biarpun di dalam hatinya dia tidak setuju dengan perbuatan ayahnya yang hendak membunuh Pangeran Mahkota itu, namun mengingat penderitaan ayahnya selama dua puluh tahun, dia merasa kasihan juga.

“Nah, setelah hukumanku selesai dan aku bebas, aku kembali ke kota raja. Agar rakyat tidak mengenalku, maka aku menyaru menjadi Hartawan Ji. Diam-diam aku bersekutu dengan orang-orang yang menginginkan jatuhnya kerajaan Ceng, dan aku berniat untuk membunuh Pangeran Mahkota Tao Kuang dan juga Kaisar! Kalau mereka berdua tewas, aku sebagai pangeran tertua berhak atas tahta kerajaan! Kemudian aku mendengar tentang kedatanganmu dan bahwa engkau seorang yang memiliki kepandaian tinggi.

Karena itulah, aku sengaja tidak mengaku sebagai ayahmu, melainkan menghasutmu agar engkau membenci Pangeran Mahkota dan membunuhnya. Akan tetapi ternyata usahamu itu pun gagal.”

“Hemmm, setelah mendengar duduknya perkara, bagaimana mungkin aku membunuh Pangeran Mahkota Tao Kuang yang tidak bersalah?” bantah Keng Han.

“Sudahlah, Keng Han. Sekali gagal tidak mengapa. Sekarang, marilah engkau bantu ayahmu untuk membunuh Kaisar dan Pangeran Tao Kuang. Kalau aku berhasil menjadi Kaisar, bukankah engkau pun akan menjadi pangeran?”

“Tidak! Aku tidak sudi terlibat dalam persekutuan jahat itu! Aku tidak mau membantumu dalam urusan itu!”

Pangeran Tao Seng mengerutkan alisnya dan matanya yang menatap wajah puteranya berubah bengis. “Dan apa maumu sekarang, Keng Han?”

“Aku minta kepadamu agar engkau suka ikut dengan aku ke Khitan untuk menemui ibuku. Sudah terlalu lama engkau meninggalkan ibuku yang hidup merana karena selalu teringat kepadamu dan engkau tidak mempedulikannya sama sekali!”

“Bodoh kau. Kalau aku menjadi kaisar tentu ia akan segera kuboyong ke sini!” bentak Tao Seng.

“Aku tidak menghendaki engkau menjadi kaisar dengan cara yang curang itu. Aku minta engkau sekarang juga. Ikut denganku ke khitan menemui ibu!”

“Kalau aku tidak mau?”

“Akan kupaksa dan kuseret kau!” Keng Han juga membentak marah.

Tiba-tiba Gulam Sang melompat ke depan Keng Han dengan dada terangkai dan sikap menantang. “Enak saja engkau bicara, Keng Han! Hendak memaksa ayahku begitu saja? Kalau masih ada aku, jangan harap akan bisa melakukan itu!”Keng Han tercengang. “Ayahmu....?”

“Ya, aku adalah anak angkat Pangeran Tao Seng, dan sebagai anak aku setia dan berbakti kepadanya, akan membelanya dengan nyawaku. Sebaliknya engkau ini seorang anak yang tidak berbakti, bahkan durhaka hendak memaksa ayahnya sendiri seperti itu!”

“Minggir! Ini bukan urusanmu!” bentak Keng Han dan dia pun sudah mendorong ke arah pundak Gulam Sang dengan tangan kanannya. Dorongan itu mengandung hawa panas dan kuat sekali sehingga Gulam Sang cepat mengelak karena dia sudah mengenal kehebatan tenaga pemuda itu. Sambil mengelak dia pun membalas sambil mencabut pedangnya. Hebat dan dahsyat sekali serangan Gulam Sang dengan pedangnya itu, disabetkan untuk menebas pinggang Keng Han. Keng Han mengelak mundur dan karena dia pun maklum akan kelihaian Gulam Sang, dia lalu mencabut pedang bengkoknya, lalu menangkis ketika pedang Gulam Sang menyambar lagi ke arah lehernya.

"Trang.... trang....!” Dua kali pedang Gulam Sang bertemu dengan pedang bengkok dan yang kedua kalinya tangan Gulam Sang tergetar hebat Gulam Sang merasa penasaran dan mengamuk. Akan tetapi Keng Han mengimbanginya dengan gerakan cepat sehingga mereka bertempur dengan seru dan hebatnya di tempat itu. Pangeran Tao Seng sudah bangkit dan mundur mepet dinding. Demikian pula Liong Siok Hwa mundur dan gentar menyaksikan pertandingan yang amat hebat itu.

Pertandingan itu memang hebat sekali. Gulam Sang adalah seorang murid dari Dalai Lama yang selain mempelajari ilmu silat tinggi juga telah memiliki tenaga sakti yang ampuh, diperkuat pula oleh ilmu sihirnya. Akan tetapi, berhadapan dengan Keng Han, dia tidak dapat mempergunakan ilmu sihirnya. Orang yang sudah memiliki tenaga sinkang sekuat Keng Han, tidak dapat dipengaruhi sihir lagi. Maka Gulam Sang hanya mengandalkan ilmu pedangnya yang cepat dan aneh gerakannya.

“Heiiiiittttt....!” Pedang Gulam Sang menyambar dari atas ke bawah, membacok ke arah kepala Keng Han. “Hemmm....!” Keng Han mengelak ke kiri sambil menorehkan pedang bengkoknya ke arah lengan lawan yang memegang pedang. Namun Gulam Sang sudah menarik lengannya, kemudian tubuhnya merendah dan pedangnya membabat ke arah kedua kaki Keng Han.

“Hiaaaaattt....!” Gulam Sang berteriak dengan pengaruh sihir, “Robohlah engkau!” Keng Han merasa jantungnya tergetar akan tetapi tidak terpengaruh oleh teriakan itu. Dia meloncat tinggi ke udara untuk menghindarkan kedua kakinya yang dibabat pedang, lalu berjungkir balik dan menukik dengan kepala ke bawah, pedangnya menikam dari atas ke arah ubun-ubun kepala Gulam Sang.

“Wuttttt.... tranggg....!” Bunga api berpijar ketika pedang bertemu dan sekali ini Gulam Sang agak terhuyung, akan tetapi Keng Han juga harus berjungkir balik untuk mematahkan tenaga dorongan pedang dari bawah yang menangkisnya.

Keduanya sudah berhadapan lagi dan saling menyerang dengan dahsyatnya. Akan tetapi, kini Keng Han mulai memainkan ilmunya yang hebat yaitu Hong-In Bun-hoat. Pedang bengkoknya membuat coretan-coretan di udara seperti orang menulis huruf, akan tetapi akibatnya, permainan pedang Gulam Sang menjadi kacau. Dia dikacaukan oleh gerakan pedang di tangan Keng Han. Dan setiap serangannya selalu dapat ditangkis lawan, bahkan lawan membalas kontan dengan cepat dan dengan gerakan sambung menyambung yang aneh sekali sehingga tak lama kemudian Gulam Sang sudah terdesak hebat oleh Keng Han. Dia kini hanya mampu menangkis dan mengelak dengan repot sekali oleh permainan pedang lawan.

Pada saat itu, Pangeran Tao Seng memberi isyarat dan muncullah tiga orang datuk yang sejak tadi sudah mengintai dan menunggu isyarat dari sang pangeran. Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin sudah berada di situ. Lam-hai Koai-jin yang masih memandang rendah Keng Han, sudah menerjang dengan senjata ruyungnya.

“Tranggg....!” Pedang Keng Han dan ruyung bertemu dan akibatnya, keduanya mundur dua langkah. Baru kini Keng Han melihat adanya tiga orang kakek itu di situ. Melihat Swat-hai Lo-kwi dan Tung-hai Lo-mo barulah dia tahu benar akan kekuatan persekutuan itu. Ternyata ayahnya itu telah mempergunakan orang-orang dari golongan sesat untuk membantunya. Dan dia maklum bahwa kalau dia harus menghadapi empat orang ini sekaligus, tidak mungkin dia akan menang. Mereka terlampau kuat dan paling bisa dia melawan dua orang di antara mereka. Pikiran Keng Han bekerja cepat dan tiba-tiba tubuhnya sudah berkelebat dan meloncat ke dekat ayahnya.

“Jangan mendekat!” bentaknya dan dia sudah menempelkan pedang bengkoknya pada leher Pangeran Tao Seng sedangkan tangan kirinya memegang lengan pangeran itu.

“Biarkan kami keluar. Awas, siapa bergerak, dia akan kubunuh lebih dulu!” Dia teringat akan perbuatan Cu In ketika hendak membebaskan diri dari pengeroyokan Toat-beng Kiam-sian Lo Cit dan anak buah Kwi-kiam-pang, yaitu dengan menyandera puteri Lo Cit. Kini dia meniru perbuatan Cu In itu dengan menyandera Pangeran Tao Seng! Ayahnya sendiri. Memang dalam keadaan terdesak, apalagi menghadapi pengeroyokan yang curang, dia boleh saja menggunakan kecurangan sebagai taktik untuk menyelamatkan diri. Kini, dia menangkap ayahnya sendiri bukan saja untuk membebaskan diri dari pengeroyokan, melainkan karena dia memang hendak menangkap ayahnya dan memaksanya pergi ke Khitan bersamanya untuk menghadap ibunya!

Benar saja. Tiga orang datuk itu tak berani bergerak ketika melihat Keng Han menyandera sang pangeran. Dan Keng Han yang menodong Pangeran Tao Seng menyeret ayahnya itu menuju ke pintu.

“Sam-wi Locianpwe (ketiga orang tua gagah), mari kita serang dia! Dia tidak akan membunuh ayahnya sendiri!” Tiba-tiba Gulam Sang berteriak dan menyerangnya dengan pedang. Keng Han terkejut sekali. Tak disangkanya Gulam Sang sedemikian cerdiknya. Memang, bagaimanapun dia tidak mau membunuh ayahnya dan tadi hanya untuk menggertak saja. Tung-hai Lo-mo sudah mengayun dayung bajanya. Swat-hai Lo-kwi juga menggerakkan pedangnya dan Lam-hai Koai-jin menggerakkan ruyungnya menyerang kepada Keng Han.

Terpaksa Keng Han memutar pedangnya untuk menangkis dan melepaskan pegangannya pada lengan ayahnya. Merasa dirinya dilepas Pangeran Tao Seng lalu meloncat menjauhkan diri. Kini Keng Han sudah dikeroyok oleh empat orang yang amat lihai sehingga dia mulai terdesak hebat. “Jangan mendekat!” bentaknya dan dia sudah menempelkan pedang bengkoknya pada leher Pangeran Tao Seng sedangkan tangan kirinya memegang lengan pangeran itu.

“Biarkan kami keluar. Awas, siapa bergerak, dia akan kubunuh lebih dulu!” Dia teringat akan perbuatan Cu In ketika hendak membebaskan diri dari pengeroyokan Toat-beng Kiam-sian Lo Cit dan anak buah Kwi-kiam-pang, yaitu dengan menyandera puteri Lo Cit. Kini dia meniru perbuatan Cu In itu dengan menyandera Pangeran Tao Seng! Ayahnya sendiri. Memang dalam keadaan terdesak, apalagi menghadapi pengeroyokan yang curang, dia boleh saja menggunakan kecurangan sebagai taktik untuk menyelamatkan diri. Kini, dia menangkap ayahnya sendiri bukan saja untuk membebaskan diri dari pengeroyokan, melainkan karena dia memang hendak menangkap ayahnya dan memaksanya pergi ke Khitan bersamanya untuk menghadap ibunya!

Benar saja. Tiga orang datuk itu tak berani bergerak ketika melihat Keng Han menyandera sang pangeran. Dan Keng Han yang menodong Pangeran Tao Seng menyeret ayahnya itu menuju ke pintu.

“Sam-wi Locianpwe (ketiga orang tua gagah), mari kita serang dia! Dia tidak akan membunuh ayahnya sendiri!” Tiba-tiba Gulam Sang berteriak dan menyerangnya dengan pedang. Keng Han terkejut sekali. Tak disangkanya Gulam Sang sedemikian cerdiknya. Memang, bagaimanapun dia tidak mau membunuh ayahnya dan tadi hanya untuk menggertak saja. Tung-hai Lo-mo sudah mengayun dayung bajanya. Swat-hai Lo-kwi juga menggerakkan pedangnya dan Lam-hai Koai-jin menggerakkan ruyungnya menyerang kepada Keng Han.

Terpaksa Keng Han memutar pedangnya untuk menangkis dan melepaskan pegangannya pada lengan ayahnya. Merasa dirinya dilepas Pangeran Tao Seng lalu meloncat menjauhkan diri. Kini Keng Han sudah dikeroyok oleh empat orang yang amat lihai sehingga dia mulai terdesak hebat. “Jangan bunuh dia! Tangkap saja, jangan sekali-kali bunuh dia!” teriak Pangeran Tao Seng. Dia masih mengharapkan puteranya itu berubah pikirannya dan mau membantunya. Bagaimanapun, Keng Han adalah putera kandungnya dan ternyata ilmu kepandaiannya melebihi Gulam Sang!

Empat orang itu mendengar seruan ini dan mereka pun membatasi serangan mereka. Biarpun demikian, tetap saja Keng Han terkepung ketat sekali oleh empat orang itu dan setelah dia dapat membela diri sampai hampir seratus jurus, ruyung di tangan Lam-hai Koai-jin mengenai punggungnya, membuat dia terhuyung. Ruyung di tangan Lam-hai Koai-jin menyerang terus dengan dorongan ke arah dada. Keng Han mengelak, akan tetapi dayung baja di tangan Tung-hai Lo-mo menghantam dari belakang mengenai pahanya dan Keng Han roboh terpelanting. Sebelum dia dapat meloncat bangun, pedang Gulam Sang sudah menempel di lehernya, juga pedang Swat-hai Lo-kwi telah mengancam dadanya.

Keng Han maklum bahwa dia telah kalah dan tertawan. Gulam Sang segera mengikat kaki tangannya dan dia pun dibawa ke dalam kamar tahanan yang berada di belakang rumah Hartawan Ji. Kamar tahanan itu kokoh kuat dan di jaga oleh belasan orang anak buah Gulam Sang.

“Ayah, Keng Han itu amat berbahaya, apakah tidak sebaiknya kalau dia dibunuh saja?” tanya Gulam Sang kepada Pangeran Tao Seng setelah mereka semua kembali berunding.

“Jangan! Aku menyayangkan ilmu kepandaiannya yang hebat. Akan kubujuk dia agar mau membantu. Dia akan merupakan tenaga bantuan yang penting sekali.” jawab sang pangeran.

“Bagaimana kalau dia tidak mau?”

Kalau dia keras kepala dan tidak dapat dibujuk, maka kuserahkan dia kepadamu.”

Gulam Sang nampak gembira sekali. Pemuda ini ingin sekali dapat membunuh Keng Han karena diam-diam dia merasa khawatir kalau-kalau ayah angkatnya menerima Keng Han sebagai puteranya dan tentu kedudukannya akan kalah oleh anak kandung itu. Keng Han merupakan duri dalam daging baginya yang harus dilenyapkan.

“Akan tetapi aku membutuhkan bantuanmu. Kita berikan racun perampas ingatan darimu itu. Kalau sampai dia hilang ingatan, tentu dia tidak mempunyai niat macam-macam lagi dan akan tunduk kepada semua perintah kita.”

Gulam Sang mengerutkan alisnya. Dia teringat betapa Keng Han sudah minum racun itu yang dicampurkan dalam arak yang disuguhkan kepada pemuda itu, akan tetapi sama sekali tidak nampak tanda-tanda bahwa pemuda itu keracunan! Mungkin racunnya kurang banyak, demikian pikirnya.

“Baik, akan saya laksanakan dan mencampurkan racun perampas ingatan di dalam makanan dan minumannya.”
Pada keeaokan harinya, Keng Han duduk bersila dalam kamar tahanannya. Kaki tangannya tidak dibelenggu, akan tetapi kaki tangannya dipasangi rantai yang terikat pada dinding sehingga dia tidak akan dapat melarikan diri. Rantai itu terbuat dari baja dan tebal sekali tak mungkin diipatahkan. Keng Han juga tidak bodoh untuk mencoba mematahkan rantai itu. Penjaga banyak terdapat di luar tahanan dan di sana masih terdapat empat orang sakti itu. Dia tidak mungkin dapat melawan mereka kalau mereka maju bersama. Dia hanya menanti saatnya untuk dapat meloloskan dirinya. Maka, dia pun menjaga kesehatan dan tenaganya dan dia makan semua makanan dan minuman yang dihidangkan walaupun dia dapat menduga bahwa makanan dan minuman itu dicampuri racun. Dia tidak takut akan segala racun. Tubuhnya kebal terhadap segala macam racun. Asal saja mereka tidak mempergunakan asap pembius, pikirnya. Pernah dia tertawan karena ledakan asap pembius yang dipergunakan orang-orang Kwi-kiam-pang. Akan tetapi kalau racun itu masuk ke tubuhnya melalui makanan, atau melalui luka, dia tidak akan terpengaruh. Darahnya memiliki daya menolak pengaruh racun itu.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Pangeran Tao Seng sudah mengunjungi kamar tahanannya.

“Anakku, kenapa engkau berkeras hati? Aku adalah ayah kandungmu. Engkau darah dagingku. Sungguh sengsara hatiku melihat engkau tertawan seperti ini. Anakku, kenapa engkau tidak mau membantu gerakanku? Katakanlah bahwa engkau akan membantuku dan kau akan dibebaskan dan menjadi puteraku yang tersayang dan terpercaya.”

Hati Keng Han panas sekali mendengar ucapan ayahnya itu. Hatinya sudah kecewa sekali melihat orang yang menjadi ayah kandungnya. Ternyata orang itu licik dan curang.

“Aku memang puteramu dan engkau adalah ayah kandungku. Akan tetapi kalau engkau berpikir bahwa aku akan membantu engkau melakukan kejahatan, engkau mimpi di siang hari. Sampai mati sekalipun aku tidak ingin membantumu. Sebaliknya engkau yang menyadari kekeliruan tindakanmu dan ikut dengan aku menemui ibu. Kalau engkau mau melakukah itu, tentu aku akan menganggap engkau seorang ayah yang telah bertaubat dan baik, dan aku akan berbakti kepadamu.”

“Jangan khawatir, Keng Han anakku. Kalau sudah tercapai cita-citaku, pasti aku akan memboyong ibumu ke istanaku. Aku juga amat mencinta ibumu.” Pangeran Tao Seng membujuk.

“Sudahlah, tidak perlu membujukku lebih lanjut. Akan sia-sia saja. Biarpun engkau ayah kandungku, akan tetapi kalau kaulanjutkan usahamu untuk berkhianat dan memberontak, aku akan berdiri di pihak Kaisar kakekku dan Pangeran Mahkota Tao Kuang pamanku.”

Pangeran Tao Seng meninggalkan tempat tahanan itu dengan muka merah karena marah, Akan tetapi dia tidak putus asa dan mengharapkan agar racun perampas ingatan dari Gulam Sang itu akan bekerja dengan baik sehingga dia dapat membujuk puteranya itu.

Pada malam kedua, sesosok bayangan putih barkelebat di atas pagar tembok di belakang rumah Hartawan Ji. Bayangan ini bukan lain adalah Cu In. Setelah mendapatkan keterangan dari The-ciangkun di mana letak rumah Hartawan Ji, Cu In datang berkunjung pada malam itu.

Ia meloncat dari dalam taman itu ke atas sebatang pohon ketika melihat ada dua orang peronda berjalan menghampiri tempat ia bersembunyi. Ia berada di atas pohon, siap bertindak kalau sampai ketahuan. Dan ia mendengarkan mereka bercakap-cakap.

“Menjemukan sekali, malam-malam gelap begini harus meronda. Biasanya kita hanya berjaga di gardu dan dapat terlindung dari cuaca yang amat dingin, membuat api unggun yang hangat.”

“Ah, ini semua gara-gara pemuda yang bandel itu. Kabarnya dia berkepandalan tinggi dan dibujuk untuk membantu Ji Wan-gwe dia tidak mau. Heran aku mengapa ada orang tidak mau bekerja kepada Ji Wan-gwe yang kaya raya dan royal.”

“Ketika hendak menangkapnya pun susah bukan main. Kabarnya dari teman-teman yang melihatnya, setelah ketiga locianpwe dikerahkan untuk membantu Kongcu, barulah dia dapat ditawan. Kongcu sendiri kewalahan menghadapi pemuda ini.”

“Hebat. Sayang kalau pemuda lihiai macam itu akhirnya mesti mati karena tidak mau terbujuk.”

Percakapan itu cukup bagi Cu In. Tubuhnya melayang turun dan sekali dua tangannya menyambar, dua orang peronda itu sudah roboh tanpa dapat berteriak, roboh tertotok tidak mampu bergerak maupun bersuara. Ang Hwa Nio-nio memang memiliki keistimewaan dalam ilmu menotok sehingga ilmunya itu disebut Tok-ciang (Tangan Beracun) karena sekali totok saja mampu mencabut nyawa orang. Cu In juga menguasai ilmu ini dan dua orang yang ditotoknya itu sama sekali tidak mampu berkutik. Akan tetapi dara bercadar ini tidak membunuh mereka.

Cu In melolos pakaian hitam seorang di antara mereka dan mengenakan pakaian itu menutupi. pakaiannya sendiri yang serba putih. Kemudian ia berkata kepada orang kedua. “Cepat lakukan perondaan sampai ke tempat tahanan itu. Awas, sekali saja engkau berteriak nyawamu akan melayang.” Setelah berkata demikian dia membebaskan orang kedua dari totokan, lalu memaksanya berjalan di depan sebagai penunjuk jalan. Ia berjalan di belakangnya sambil menyembunyikan mukanya yang bercadar.

Peronda itu ketakutan setengah mati. Dia maklum bahwa orang yang kini berada di belakangnya itu tidak hanya menggertak kosong belaka. Kalau dia berteriak, tentu dia akan tewas. Dia pun tidak tahu bagaimana nasib temannya yang ditinggalkan dibelakang semak dalam keadaan tidak bergerak seperti sudah menjadi mayat.

“Bawa aku ke tempat tahanan dan berbuatlah seolah-olah engkau melakukan ronda.” desis suara Cu In di dekat telinga peronda itu. Peronda itu hanya mengangguk, membawa lampu teng dan memukul kentungannya, melangkah menuju ke bagian belakang rumah besar Ji Wangwe. Segera dua orang penjaga yang berada di luar tempat tahanan menghadap mereka.

“Kanapa engkau sampai di tempat ini?” tanya seorang diantara dua orang penjaga itu.

Pemuda yang sudah mendapat pesan dari Cu In berkata dengan suara ketakutan. “Ah, tolonglah.... tadi aku melihat banyak bayangan orang di sana. Aku khawatir akan datang serangan musuh!”

Mendengar ini, dua orang itu masuk ke dalam dan memberitahu kepada kawan-kawannya di sana. Empat orang lain keluar dan kini enam orang itu bertanya, “Di mana bayangan-bayangan itu?”

“Di sana....!” Peronda itu menudingkan telunjuknya ke arah taman, sedangkan Cu In bersembuny di balik tubuh peronda sehingga mukanya tidak nampak.

“Mari kita periksa!” kata seorang di antara enam penjaga itu dan mereka, segera berlarian dengan golok di tangan memasuki taman.

Melihat ini, Cu In segera menotok peronda itu sehingga roboh tak mampu berkutik lagi. Ia pun cepat menyelinap melalui pintu dari mana enam orang penjaga tadi keluar. Ternyata di sebelah dalam masih terdapat tujuh orang penjaga lagi. Mereka sedang bermain kartu dan melihat bayangan memasuki tempat mereka berjaga, tujuh orang itu serentak bangkit. Melihat bahwa yang masuk adalah seorang yang menutupi tubuhnya dengan pakaian hitam dan mukanya bercadar semua menjadi kaget dan menyambar golok mereka.

“Siapa engkau?” bentak seorang kepala jaga. Akan tetapi Cu In tidak memberi kesempatan kepada mereka. Sabuk sutera putihnya menyambar-nyambar dengan totokan yang jitu sehingga tujuh orang itu roboh malang melintang dalam keadaan tertotok. Dengan cepat ia dapat menemukan serangkai kunci di atas meja, dan ia segera berlari masuk. Dari jeruji baja ia dapat melihat Keng Han yang duduk bersila dengan kaki terikat rantai.

“Keng Han....” bisiknya.

Keng Han membuka matanya dan segera dia mengenal orang bercadar itu. “Cu In....!” bisiknya kembali.

Cu In bekerja cepat. Sebuah kunci membuka pintu tahanan yang berat itu, kemudian dengan sebuah kunci lain ia membuka rantai mengikat kaki Keng Han.

“Cu In, terima kasih....” kata Keng Han girang dan juga terharu. Lagi-lagi gadis bercadar ini yang menolongnya. Ketika dia ditawan Kwi-kiam-pang, gadis ini pula yang menyelamatkannya. Ketika dia hendak dibunuh Bi-kiam Nio-cu, Cu In pula yang mencegahnya.

“Ssttt, kita harus cepat pergi dari sini sebelum mereka semua datang!” kata Cu In yang segera melompat keluar dari situ, diikuti oleh Keng Han.

Baru saja mereka tiba di luar, enam orang penjaga yang tadi memeriksa dalam taman, sudah kembali dan melihat bahwa tawanan mereka lolos, mereka terkejut sekali dan menggunakan golok mereka untuk menyerang Keng Han dan Cu In. Ada pula yang berteriak-teriak minta tolong sehingga ributlah keadaan, di tempat itu.

“Cepat robohkan mereka dan lari!” kata pula Cu In kepada Keng Han. Ia sendiri telah merobohkan tiga orang penjaga. Keng Han juga lalu menggunakan tenaganya, menampar ke sana sini dan tiga orang penjaga dapat dia robohkan dalam waktu singkat. Pada saat itu, nampak orang-orang berdatangan dengan obor di tangan. “Cepat lari!” kata Cu In pula. Keng Han mengikuti Cu In melarikan diri, memasuki taman dan keluar dari pagar tembok taman itu. Orang-orang yang mengejar mereka, Gulam Sang dan para datuk, tidak menemukan jejak mereka berdua. Ketika mendapat kenyataan bahwa tawanan telah lolos, Gulam Sang menjadi marah sekali dan dia menampari para penjaga. Sialan sekali para penjaga. Baru saja ditotok roboh oleh dua orang itu, kini ditampar oleh Gulam Sang sampai pipi mereka bengkak-bengkak.

Mereka segera memberi laporan kepada Pangeran Tao Seng. Sang pangeran mengerutkan alisnya dan dia berkata, “Kalau begitu, rencana kita harus dipercepat pelaksanaannya. Sam-wi Locianpwe harap melaksanakan pembunuh terhadap kaisar itu selambat-lambatnya besok pagi. Aku khawatir dengan lolosnya Keng Han rencana kita akan menjadi kacau. Gulam Sang, malam ini juga engkau harus menghubungi Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai, juga kerahkan murid-murld Bu-tong-pai untuk bersiap-siap di luar kota raja. Dan Sam-wi Locianpwe, harap membawa orang-orang yang dapat diandalkan untuk pekerjaan membunuh Kaisar, dan mereka harus orang-orang berani mati yang sudah disumpah untuk mengakui sebagai orang thian-li-pang kalau sampai tertangkap hidup-hidup, sesuai dengan rencana kita semula.”

Setelah mengatur semuanya, Pangeran Tao Seng memberi keterangan yang lebih jelas kepada tiga orang datuk, sesat yang bertugas membunuh kaisar itu.” Seperti biasa, sesudah persidangan, Kaisar akan pergi ke taman sambil membawa laporan-laporan untuk dipelajari. Nah, saat itulah yang terbaik untuk turun tangan. Semua menteri dan panglima sudah meninggalkan sidang, pulang ke rumah masing-masing dan keadaan di istana dalam suasana tenang dan tenteranya. Para pengawal tentu tidak akan ada yang menduga bahwa akan terjadi penyerangan. Dan untuk menyelundupkan kalian ke dalam istana, sudah kuserahkan kepada Ciu-ciangkun yang akan mengaturnya. Kalian akan diberi pakaian sebagai pengawal-pengawal istana dan dapat masuk ke dalam istana dengan leluasa. Nah, bersiaplah kalian semua. Untuk menjaga jangan sampai Keng Han bertindak terhadap diriku, aku akan mengungsi di luar kota raja, di dusun yang telah kalian ketahui sebagai tempat peristirahatanku. Mengerti semua?”

Setelah semua mengerti dan siap, mereka bubaran. Pangeran Tao Seng atau Hartawan Ji bersama adiknya, Pangeran Tao San, keluar dari rumah, bahkan keluar dari kota raja menunggang kereta menuju ke dusun di sebelah utara kota raja. Gulam Sang pergi pula untuk mempersiapkan pasukan, dan tiga orang locianpwe bersama selosin anak buah pergi menemui Ciu-ciangkun untuk diselundupkan pagi hari itu ke dalam istana!

Gulam Sang sendiri mendapat perintah istimewa dari Pangeran Tao Seng untuk membawa teman dan pergi melakukan pembunuhan terhadap Pangeran Mahkota Tao Kuang, sesudah dia mengumpulkan pasukan di luar kota raja yang siap untuk memasuki kota raja dan menyerbu istana, apabila saatnya telah tiba. Menurut rencana Pangeran Tao Seng, apabila usaha membunuh Kaisar telah berhasil, dan juga usaha membunuh Pangeran Mahkota berhasil, dia sendiri akan menyerbu ke dalam istana, menggunakan pasukan Panglima Ciu yang sudah dapat dihasutnya dengan janji pangkat besar, dibantu oleh orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Adaikata rencana itu gagal, mereka akan menimpakan kesalahan pemberontakan itu kepada Thian-li-pang!

Cu In, sekali lagi engkau menyelamatkan nyawaku. Hutang budi terhadapmu bertumpuk-tumpuk, bagaimana aku akan dapat membalasnya? Dan engkau yang sudah menyaksikan betapa aku akan membunuh Paman Tao Kuang karena aku dihasut oleh ayah kandungku sendiri, kenapa engkau masih saja mau menolong aku yang sesat ini?” Keng Han bertanya setelah dia dan Cu In lolos dari rumah Hartawan Ji.

“Tidak ada hutang piutang budi, Keng Han. Aku membantumu karena melihat bahwa engkau tidak bersalah. Engkau hendak membunuh Pangeran Tao Kuang karena engkau dihasut dan mendapat keterangan yang keliru.”

“Akan tetapi bagaimana engkau dapat menduga bahwa aku akan tertimpa malapetaka di rumah Hartawan Ji yang bukan lain ada lah Pangeran Tao Seng itu?

“Sudah kuduga bahwa setalah menerima keterangan dari Pangeran Tao Kuang, engkau tentu akan menuntut balik kepada ayah kandungmu sendiri yang telah menghasutmu. Dan kalau engkau lakukan itu, besar sekali kemungkinan engkau akan ditentang, ditawan atau dibunuh karena Pangeran Tao Seng ternyata adalah seorang yang mabuk kedudukan dan sudah melupakan putera sendiri. Maka aku lalu mencari keterangan lebih lanjut dan sesudah merasa pasti bahwa Hartawan Ji adalah Pangeran Tao Seng, malam ini aku segera pergi ke sana. Akan tetapi sudahlah, hal itu tidak perlu dibicarakan lagi. Yang penting sekarang ini, apa yang hendak kaulakukan?””Aku harus menyelamatkan Sribaginda Kaisar. peliau terancam bahaya maut!”

“Ah, benarkah itu? Bahaya apa yang mengancamnya?”

Keng Han lalu bercerita tentang ucapan-ucapan Pangeran Tao Seng yang hendak membunuh kaisar dan pangeran majikota dan betapa kini di rumah pangeran Itu telah berkumpul datuk-datuk sesat seperti Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lo-mo, dan Lam-hai Koai-jin. Juga di sana terdapat Gulam Sang yang lihai.

“Kalau begitu, kita harus memberi peringatan kepada Pangeran Tao Kuang. Hanya beliau yang dapat mengatur semua penjagaan agar jangan sampai terjadi pembunuhan itu.” “Baik, mari kita menghadap beliau.”

“Keng Han, sudah kaupikirkan masak-masak semua ini? Ingat, jika kau bertindak begini, itu berarti bahwa engkau melawan ayah kandungmu sendiri!”

“Ayah kandung atau siapa saja yang bertindak salah, harus ditentang. Ayahku itu telah menyia-nyiakan kehiupan ibuku sehingga ibu hidup merana dan selalu menanti di Khitan. Kemudian ayahku itu telah bertindak curang hendak membunuh adiknya sendiri, apalagi sekarang dia telah bertindak sedemikian jauhnya untuk membunuh ayahnya sendiri dan juga adiknya yang menjadi pangeran mahtkota. Tentu saja aku menentengnya!”Mendengar ini, Cu In termenung. Hampir bersamaan nasib yang dialami oleh Keng Han dan ia sendiri. Hanya bedanya, kalau yang menyusahkan hati Keng Han itu ayahnya, ia lain lagi. Ibu kandungnya yang membuatnya bersusah hati. Ibunya mendidiknya sebagai murid, menghasutnya agar ia membunuh ayah kandungnya! Akan tetapi dapatkah ia membenci ibu kandungnya?

“Keng Han, apakah engkau membenci ayahmu itu?”

“Tidak, aku tidak membenci orangnya, melainkan perbuatanya. Maka perbuatannya yang kutentang.

“Bagaimana kalau ayahmu itu mau mengubah sikapnya dan tidak lagi melakukan kejahatan?”

“Aku sudah membujuknya, bahkan hendak memaksanya untuk ikut bersamaku menemui ibu di Khitan. Akan tetapi usahsuku itu dihalangi oleh para datuk. Kami berkelahi dan aku dikeroyok empat sampai akhirnya aku tertawan.”

“Jadi engkau akan memaafkan ayahmu kalau dia mengubah sikapnya?”

“Tentu saja kalau perbuatannya sudah benar maka dia itu ayahku dan aku harus berbakti kepadanya.”

“Ahhh....! “ “Kau kenapakah, Cu In?” tanya Keng Han khawatir melihat gadis itu seperti tertegun.

“Tidak apa-apa. Marilah kita menghadap Pangeran Mahkota.”

“Sebetulnya aku merasa sungkan dan malu menghadap beliau. Baru kemarin aku berusaha untuk membunuhnya!”

“Jangan khawatir. Ada aku yang akan menjelaskan kepadanya.”

Mereka melanjutkan perjalanan menuju ke istana Pangeran Tao Kuang. Ketika mereka hampir tiba di istana itu, Keng Han kembali bertanya, “Cu In, mengapa engkau begini baik terhadap diriku? Kanapa engkau begini membela aku?””Hemmm, mengapa? Karena engkau pun baik sekali kepadaku. Ingat, engkau pun pernah menolongku, bukan?”

“Cu In, suci-mu mengatakan bahwa engkau lebih kejam daripada ia, akan tetapi aku melihat engkau sama sekali tidak kejam, bahkan engkau lembut hati dan mulia. Aku menyebut namamu begitu saja, bukan menyebut Su-I (Bibi Guru), engkau pun tidak marah. Aku sungguh kagum kepadamu sejak pertama kali kita bertemu, aku.... aku terpesona melihat sinar matamu dan aku suka sekali kepadamu. Apakah engkau akan marah dan membunuhmu kalau aku mengatakan bahwa aku suka kepadamu?”

Sepasang mata itu mencorong, akan tetapi hanya bentar. Tadinya Cu In hendak marah sekali karena ia sudah terbiasa menganggap bahwa kalau ada pria menyatakan suka kepadanya, maka pria itu hanya merayu saja dan pernyataannya itu palsu adanya separti yang sering kali dikatakan gurunya. Akan tetapi kemudian ia teringat bahwa gurunya atau ibunya itu bersikap demikian karena sakit hati terhadap kekasihnya, maka kemarahannya pun hilang. Ia tidak perlu percaya lagi kepada semua pendapat ibunya. Ia sendiri tidak dapat menyangkal bahwa ia pun suka sekali kepada Keng Han. Baru sekarang ia menyadari bahwa pria pun sama saja dengan wanita, ada yang baik dan ada yang jahat. Dan Keng Han ini jelas bukan laki-laki yang jahat. Ia menyadari bahwa kebiasaannya mengenakan cadar agar mukanya jangan sampai terlihat lakl-laki itu merupakan kebiasaan yang keliru. Akan tetapi sekarang sudah kepalang, bahkan hal itu dapat dipakainya untuk menguji sampai di mana rasa suka Keng Han terhadap dirinya.

“Aku tidak marah dan tidak akan membunuhmu karena pernyataan itu, Keng Han. Akan tetapi bagaimana mungkin engkau mengatakan bahwa engkau suka kepadaku pada hal engkau belum pernah melihat wajahku?”

“Aku tidak peduli akan wajahmu, Cu In. Bagaimanapun bentuk wajahmu aku tetap akan merasa suka kepadamu. Aku kagum akan kepribadianmu, watakmu, cara engkau bicara, gerak-gerikmu, dan sinar matamu.”

“Tidak, Keng Han. Jangan katakan begitu. Aku.... aku tidak berharga bagimu. Aku gadis kang-ouw, petualang yang hidup menyendiri, sedangkan engkau seorang putera pangeran! Tidak, aku sama sekali tidak sebanding denganmu.”

“Cu In, jangan merendahkan diri sampai demikian! Aku cinta padamu, bukan karena rupa atau kedudukan. Aku mencinta dirimu, pribadimu, tidak peduli engkau berwajah bagaimana dan dari golongan apa.

“Ah, engkau akan menyesal kelak dan kalau engkau menyesal aku kembali akan menjadi pembenci pria yang teryata berhati palsu, kata-katanya tidak dapat dipercaya.”

“Aku tidak akan menyesal, Cu In. Aku cinta padamu dan tidak ada apa pun yang dapat mengubah cintaku.”

“Akan tetapi wajahku buruk sekali, Keng Han. Aku seorang wanita yang cacat mukanya.”

“Aku tidak percaya! Dan andaikata benar wajahmu cacat, aku tetap akan mencintamu.”

“Benarkah? Ingin aku melihat apakah pendapat guruku tantang pria benar, bahwa pria hanya merupakan perayu besar yang tidak setia dan palsu. Kau lihatlah baik-balk, Keng Han!” Setelah berkata demikian, Cu In menyingkap cadarnya memperlihatkan mukanya dari hidung ke bawah. Keng Han memandangnya dan pemuda itu terbelalak, terkejut dan heran. Tak disangkanya sama sekali bahwa wajah yang di bagian atasnya demikian cantik jelita, bagian bawahnya mengerikan. Wajah itu totol-totol hitam, seperti bekas luka yang memenuhi permukaan wajahnya sehingga biarpun hidung dan mulutnya berbentuk sempurna, namun karena bertotol-totol hitam menjadi buruk untuk dipandang.

Cu In menutupkan kembali cadarnya dan berkata dengan nada suara mengejek, “Engkau terkejut? Engkau ngeri? Wajahku seperti setan, bukan? Nah, apakah masih ada ada rasa cinta di dalam hatimu, Keng Han?”

Keng Han sudah dapat menyadari lagu keadaannya dan menguasai perasaannya yang terkejut. “Aku tetap mencintamu, Cu In. Buarpun wajahmu cacat, engkau tetap Cu In yang tadi, yang bercadar, yang kucinta. Akan tetapi mengapa wajahmu sepertu itu, Cu In? Aku merasa iba kepadamu dan aku akan berusaha agar supaya cacat di wajahmu dapat hilang. Akan kucarikan tabib terpandai di dunia ini yang akan dapat menyembuhkanmu.”

“Kau tidak benci kepadaku? Tudak jijik melihat mukaku!” tanya Cu In, suaranya mengandung keheranan.

Keng Han mendekat dan memegang kedua tangan gadis itu. “Sudah kukatakan, aku mencinta pribadimu, bukan sekedar kecantikanmu. Aku tetap mencintaimu biarpun wajahmu cacat. Jadi itulah sebabnya engkau memakai cadar selama ini! Agar mukamu yang cacat tidak kelihatan orang lain.” “Benar, aku tidak ingin ada orang melihat mukaku dan kemudian membenciku. Engkau benar- benar tidak peduli akan cacat di mukaku?” tanya Cu In tanpa melepaskan pegangan Keng Han pada kedua tangannya.

Aku bukan tidak peduli, akan tetapi aku bahkan kasihan sekali padamu dan ingin membantumu mencarikan obat untuk menghilangkan bekas luka di wajahmu itu. Akan tetapi cacat di mukamu itu tidak mengubah perasaan hatiku yang mencintamu.”

Cu In melepaakan kedua tangannya dan membalikkan tubuhnya membelakangi pemuda itu. “Aku.... aku tidak percaya....” suaranya mengandung isak.

“Kenapa engkau tidak percaya? Kenyataan bahwa engkau murid Ang Hwa Nio-nio dan sumoi Bi-kiam Nio-cu yang jahat dan kejam itu pun tidak mengubah cintaku padamu, pada hal aku sama sekali tidak menyukai watak mereka. Aku bersumpah bahwa aku tetap mencintamu Cu In.”

“Ssttt, sudahlah. Soal itu dapat kita bicarakan kemudian. Sekarang ada pekerjaan yang lebih penting. Mari kita menghadap Pangeran MaMo ia Tao Kuang.”

Baru teringat oleh Kan Han betapa lama mereka berhenti di jalan yang sunyi itu. Dia tersenyum kepada Cu In dan berkata, “Peraaaan hati kita lebih penting dari segala urusan, Cu In. Aku sudah mengutarakan isi hatiku dan hal ini melegakan sekali. Walaupun aku belum tahu bagaimana tanggapanmu terntang perasaanku, namun kini aku merasa lega bahwa engkau mengetaihui akan perasasn hatiku kepadamu. Nah, mari kita lanjutkan perjalanan kita.”

Ketika mereka tiba di istana Pangeran Tao Kuang, mereka segera disambut oleh Sang Pangeran sendiri yang ditemani oleh Kwi Hong dan ibunya, juga Kai-ong dan muridnya, Yo Han Li masih berada di situ. Melihat munculnya Keng Han bersama Cu In, Kwi Hong segera meloncat ke depan ayahnya dengan pedang terhunus di tangan. Han-ko, apakah engkau hendak membunuh ayahku?” bentaknya.

Keng Han tersenyum. Sudah lama dia mengetahui bahwa . Kwi Hong adalah adiknya sendiri, adik sepupu dan semarga. Dia menggelengkan kepalanya dan berkata. “Tidak, Hong-moi. Aku bahkan datang untuk minta maaf kepada ayahmu.”

Lega hati Kwi Hong mendengar ini dan ia pun segera melangkah ke pinggir dekat ayahnya. “Saya datang pertama-tama untuk mohon maaf kepada Paman Pangeran!” kata Keng Han sambil memberi hormat kepada Pengeran Tao Kuang.

Pangeran itu tersenyum dan berkata, “Aku maafkan engkau, Keng Han. Engkau kemarin bersikap demikian karena hasutan orang. Apakah engkau sekarang sudah mengerti benar akan duduknya perkara?”

“Sudah, Paman. Bahkan bukan itu saja. Kami, yaitu Cu In dan saya, mengetahui hal-hal lain yang amat membahayakan keselamatan Paduka dan juga keselamatan Yang Mulia Kaisar. Ada komplotan yang hendak membunuh Paman dan Kaisar.”

Pangeran Tao Kuang terkejut mendengar ini dan segera mengajak Cu In dan Keng Han ke ruangan dalam untuk membicarakan hal itu.

Setelah tiba di ruangan dalam Keng Han menceritakan semua pengalamannya, menceritakan pula rencana ayahnya yang hendak membunuh Pangeran Mahkota dan Kaisar.

“Dia yang kini memakai nama Hartawan Ji telah mengundang datuk-datuk besar yang berilmu untuk melaksanakan pembunuhan itu. Karena itulah maka kami berdua segera menghadap Paman untuk menghadapi komplotan pembunuh itu. Di antara mereka yang bersekutu itu terdapat pula seorang Tibet bernama Gulam Sang yang agaknya sudah mengadakan persekutuan dengan pihak Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Mungkin mereka akan mengadakan penyerbuan ke kota raja. Juga Bu-tong-pai bekerja sama dengan mereka. Keadaan ini gawat sekali kalau tidak dipersiapkan penjagaan yang ketat.” demikian antara lain Keng Han berkata.

“Untuk menjaga keselamatan Paduka, di sini sudah terdapat adik Kwi Hong, adik Han Li dan Locianpwe Kai-ong, Akan tetapi untuk menjaga keselamatan Kaisar, perlu ada tenaga yang boleh diandalkan untuk mencegah terjadinya pembunuhan.” kata Cu In.

“Wah, ini perkara penting sekati. Aku harus segera menghubungi ayahanda Kaisar dan para panglima untuk melakukan penjagaan dan untuk menyelidiki gerakan musuh di luar kota raja. Bagaimana kalau kami minta bantuan kalian, Keng Han dan Cu In, untuk ikut menjadi pengawal Kaisar untuk sementara waktu?”

“Saya bersedia, Paman.” kata Keng Han.

“Kalau memang dibutuhkan, saya pun suka membantu,” kata pula Cu In penuh semangat.

“Bagus, kalau begitu sekarang juga kalian berdua ikut dengan aku menghadap Kaisar. Kwi Hong, engkau menjaga di rumah dan saya mohon bantuan Locianpwe Kai-ong dan nona Yo untuk membantu Kwi Hong.”

“Baik, Ayah. Aku dan ibu akan siap siaga.”

“Ha-ha-ha, setelah siang malam makan dan tidur dengan enak di sini kami tentu saja suka membantu. Ada pekerjaan itu baik sekali, makan tidur saja setiap hari membuat aku menjadi malas!” kata Kai-ong.

Maka berangkatlah Pangeran Tao Kuang menuju ke istana Kaisar, dikawal oleh Keng Han dam Cu In. Setelah tiba di istana dan diterima oleh Kaisar, Pangeran Tao Kuang menceritakan keadaan yang berbahaya itu. Mendengar laporan ini, Kaisar yang sudah tua itu memukul dengan kursinya. “Aahhh, anak-anak macam apa Tao Seng dan Tao San itu? Mereka sudah dihukum, tidak jera malah membikin ulah lagi. Kami serahkan penanggulangan pengacau ini kepadamu, Tao Kuang. Selesaikan sampai tuntas urusan ini. Aaahh, kalau kami yang harus memikirkan masalah anak-anak durhaka ini, hanya akan mendatangkan penyesalan saja di dalam hati!”

“Baik, Ayah. Serahkan saja semua ini kepada hamba. Di sini hamba mengajak dua orang pendekar yang menjadi saksi usaha pemberontakan itu dan hamba harap agar Ayah menerimanya sebagai pengawal sementara untuk menghadapi mereka yang berani masuk ke Istana.”

Kaisar menerima Keng Han dan Cu In dengan senang. Akan tetapi melihat Cu In yang bercadar, Kaisar mengerutkan alisnya dan berkata, “Kenapa gadis ini memakai cadar? Sebaiknya kalau cadar itu dilepas agar kami dapat melihat wajahnya.”

Ampun.., Yang Mulia. Hamba telah bersumpah untuk tidak membuka cadar ini. Yang berhak melakukan hanya suami hamba kelak? kata Cu In. Keterangannya ini tidak seluruhnya bohong karena di dalam hatinya ia pun mengambil keputusan bahwa yang berhak membuka cadar adalah tangan suaminya. Mendengar ini Keng Han merasa jantungnya berdebar. Gadis ini sudah membuka cadar di depannya, bukankah itu menunjukkan bahwa gadis ini setuju dia menjadi calon suaminya?

Hemm.., sumpah yang aneh. Akan tetapi sudahlah, karena putera kami yang membawamu ke sini, engkau boleh bercadar. akhirnya Kaisar berkata sambil mengangguk walaupun merasa heran akan sumpah yang aneh itu.

Keng Han dan Cu In ditinggalkan dalam istana untuk menjadi pengawal pribadi kaisar. Walaupun kaisr sudah mempunyai pasukan pengawal pribadi, namun hadirnya dua orang muda yang oleh puteranya diperkenalkan sebagai dua orang pendekar yang berilmu tinggi, kaisar suka menerimanya dan hal ini. menambah tenang hatinya.

Pangeran Tao Kuang sendiri lalu membawa sepasukan pengawal untuk mengawalnya. Dia tidak. segera pulang melainkan mendatangi rumah panglima The Sun Tek yang dikenalnya sebagai Panglima besar yang memiliki ilmu silat tinggi. Kepada panglima itu dia menceritakan tentang usaha persekutuan yang dipimpin oleh Pangeran Tao Seng dan dia menyerahkan penyelidikan dan pembasmian gerombolan pemberontak yang mungkin bersembunyi dekat kota raja untuk mehcegah gerombolan itu menyerbu kota raja. Setelah Panglima The Sun Tek menyatakan siap untuk melaksanakan perintah Kaisar melalui Pangeran Mahkota itu, Pangeran Tao Kuang baru pulang ke rumahnya, dikawal pasukan pengawal dengan ketat.

Panglima The Sun Tek mengerahkan pasukan istimewa untuk menambah kekuatan penjagaan di istana, lalu menyebar penyelidik untuk menyelidiki apakah ada gerombolan yang bersembunyi di sekitar kota raja. Kaisar Cia Cing yang usianya sudah lebih dari tujuh puluh lima tahun itu nampak tenang saja mendengar bahwa dirinya terancam bahaya maut. Apalagi dengan adanya Keng Han dan Cu In, dia merasa aman. Adapun penambahan pengawal istana membuat dia lebih tenang lagi karena penjagaan ketat sekali.

Keng Han dan Cu In sama sekali tidak menyangka bahwa di antara pengawal istana itu terdapat Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin. Mereka ini di selundupkan oleh panglima yang sudah dipengaruhi Pangeran Tao Seng, yaitu Panglima Cau, ke dalam pasukan pengawal istana! Adapun Swat-hai Lo-kwi oleh Panglima Ciu diselundupkan ke dalam pasukan penjaga istana Panyeran Mahkota. Tentu saja ketiga orang datuk sesat ini menyamar sehingga kelihatan muda dan seperti anggauta pasukan biasa. Dua orang datuk, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin, bertugas untuk membunuh kaisar dan bersama dengan mereka diselundupkan pula anak buah Pek-lian-pai sebanyak selosin orang untuk membantu usaha dua orang datuk itu. Sedangkan Swat-hai Lo-kwi dibantu oleh selosin pera jurit pula, yaitu para anggauta Pat-kwa-pei. Gulam Sang sendiri memimpin pasukan Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai bersama para tokoh kedua gerombolan itu, mempersiapkan pasukannya di luar kota raja, siap untuk membantu apabila saatnya tiba. Penyerbuan itu akan dibarengi dengan gerakan pasukan Panglima Ciu dari dalam dan kalau saatnya tiba, Panglima Ciu alan melepaskan anak panah berapi di udara sebagai tanda kepada gerombolan yang bersembunyi di luar kota raja. Penyerbuan akan dilakukan pada malam hari. Pangeran Tao Kuang yang sudah menerima keterangan sejelasnya dari Keng Han dan Cu In, berhubungan terus dengan Panglima The Sun Tek. Panglima ini adalah seorang panglima perang yang sudah hafal akan liku-liku siasat perang. Maka dia tidak terpancing keluar dan mengerahkan pasukannya keluar kota raja. Dia menaruh curiga kalau-kalau pihak pemberontak telah menyelundupkan banyak pasukan. ke dalam kota raja. Mudah saja untuk menyusup dengan menyamar sebagai pedagang atau petani yang menjual hasil ladang mereka ka kota raja. Maka dia pun membagi pasukannya menjadi dua bagian. Yang satu bagian diperuntukkan membasmi gerombolan yang berada di luar kota raja, sedangkan sebagian lagi tetap menjaga di kota raja kalau-kalau pihak musuh sudah menyelundupkan pasukan ke dalam kota raja untuk menyerbu istana. Penjagaan di istana diperketat.

Malam itu teramat indah. Biarpun tidak ada bulan di angkasa namun malam itu penuh bintang. Langit bersih sehingga semua bintang nampak di angkasa bagaikan butir-butir mutiara di hamparan beludu hitam. Kalau ada orang yang menengadah, maka akan nampaklah keindahan yang luar biasa, nampaklah kekuasaan Tuhan yang tiada taranya. Bintang-bintang itu - berkelap-kelip, ada yang berkejap ada pula yang tenang diam tanpa sinar gemerlapan. Cahaya sekian banyaknya bintang di angakasa, tidak terhitung banyaknya, membuat cuaca di bumi nampak remang-remang. Cahaya bintang-blntang itu demikian lembut sehingga malam terasa sejuk. Kalau ada angin semilir, barulah terasa betapa dinginnya hawa udara di saat itu. Dingin dan sunyi, penuh pesona dan rahasia. Kadang nampak bintang meluncur lalu lenyap membuat kita bertanya-tanya apa sebenarnya yang ter jadi jauh di atas itu. Benarkah pendapat kuno bahwa setiap bintang itu mewakili seorang manusia. Agaknya pendapat kuno ini berlebihan. Buktinya banyak bintang yang sudah beratus tahun masih nampak cemerlang di angkasa sedangkan manusia sudah berganti beberapa generasi. Apakah di bintang itu terdapat mahluk hidup? Mungkin, siapa tahu. Tuhan Maha Kuasa, maka tidak ada hal yang tidak mungkin. Kalau Tuhan menghendaki, mungkin saja di antara bintang-bintang itu ada bintang yang seperti dunia kita ini.

Malam yang indah. Akan tetapi malam yang mencekam bagi para penjaga di istana. Beberapa orang melihat berkelebatnya bayangan orang di luar kamar tidur Kaisar. Akan tetapi ketika diperiksa, ternyata tidak ada siapa-siapa. Ketika mendengar laporan para penjaga itu, Keng Han dan Cu In siap siaga dengan penuh kewaspadaan. Keng Han menyuruh para perajurit pengawal untuk mengepung kamar tidur kaisar, sedangkan dia sendiri bersama Cu In sudah melayang naik ke atas atap, menjaga kalau-kalau ada yang menyerbu dari atas. Penjagaan itu demikian ketatnya sehingga siapapun yang akan memasuki kamar kaisar, dari luar maupun dari atas, pasti akan ketahuan. Kecuali kalau ada yang masuk melalui bawah tanah, suatu hal yang tidak mungkin.

Tengah malam tiba. Bintang-bintang semakin jelas kelihatan, membuat Keng Han dan Cu In yang berada di atas atap menjadi kagum bukan main. Terutama sekali Keng Han. Sudah sering dia melihat malam penuh bintang, akan tetapi entah bagaimana, belum pernah nampak seindah malam ini. Dia tersenyum seorang diri, maklum mengapa hatinya demikian tenteram dan bahagia, walaupun menghadapi tugas yang berbahaya. Bukan lain karena Cu In berada di situ, di dekatnya!

Terdengar bunyi langkah dua losin perajurit pengawal datang dari arah luar. Mereka itu adalah seregu perajurit pengawal yang datang untuk menggantikan para perajurit yang sudah berjaga sejak sore tadi. Setelah komandan perajurit yang baru datang menerima laporan dari komandan perajurit yang diganti bahwa tadi nampak bayangan mencurigakan berkelebat akan tetapi kini suasana aman dan tenang dan bayangan itu tidak dapat ditemukan.

“Mungkin hanya bayangan burung yang terbang lewat,” komandan itu menutup keterangannya kepada komandan yang baru. “Betapapun juga, harap menjaga dengan hati-hati dan waspada.” “Dia tidak menceritakan bahwa Keng Han dan Cu In berada di atas atap karena dia sendiri tidak tahu di mana dua orang peagawal pribadi kaisar itu bersembunyi.

Pergantian pengawal sudah dilakukan dan para perajurit pengawal yang baru nampak masih segar dan mereka mengepung kamar kaisar, bahkan kadang melakukan perondaan di sekeliling tempat itu.

Keng Han dan Cu In mendengar suara mereka dan melongok ke bawah. Mereka tahu bahwa ada pergantian pengawal, maka mereka tidak mengacuhkan lagi.

Tak lama kemudian mereka mendengar suara gedebak-gedebuk seperti orang jatuh. “Cu In, cepat kau periksa di bawah, biar aku yang menjaga di sini!” kata Keng Han. Cu In melayang turun dan terkejutlah ia melihat beberapa orang perajurit pengawal menyerang kawankawannya sendiri! Dia sama sekali tidak tahu bahwa di antara dua losin perajurit itu, yang empat belas orang adalah anak buah Pek-lian-pai yang menyamar sebagai perajurit, dan juga dua orang datuk sesat, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin! Melihat sepuluh orang perajurit diserang oleh perajurit yang lain dan empat orang sudah roboh tak bergerak lagi Cu In berseru, “Tahan....!!”

Akan tetapi, para perajurit penyerang itu bahkan menyerangnya dan seorang di antara mereka yang memegang ruyung berseru, “Lo-mo, cepat bergerak dari atas!”

Bersambung ke buku 6