Kisah Para Pendekar Pulau Es -7 | Kho Ping Hoo
Buku 7
Ceng Liong marah sekali dan memperhebat serangannya. Akan tetapi lawannya benar-benar amat tangguh dan biarpun lawannya belum pernah membalas serangannya, diapun sudah tahu bahwa orang ini bukan tandingannya.
“Ceng Liong, hentikan perlawananmu.”
“Mo-ong....!” Ceng Liong berseru heran sekali dan memandang kepada wajah yang kini sudah tidak tertutup lagi oleh topeng itu. “Apa artinya ini? Mengapa Hong Bwee ditawan....?”
“Sabarlah dan mari dengarkan keteranganku. Mereka tidak akan mengganggu nona Hong Bwee. Mereka....”
“Mereka itu siapa?”
“Mereka adalah kawan-kawan kita sendiri. Engkau tentu masih ingat akan pembicaraanku dengan Gubernur Yong, bukan? Nah, usahaku datang ke Bhutan adalah untuk mengumpulkan dan menghubungi teman-teman sehaluan, untuk membantu penyerbuan tentara Nepal ke Tibet. Dan aku sudah berhasil mengadakan hubungan dengan mereka. Satu-satunya penghalang bagi teman-teman itu untuk membantu Nepal, atau setidaknya jangan mencampuri urusan Nepal kalau menyerbu ke Tibet, hanya adanya pendekar Wan Tek Hoat yang disegani orang di sini. Maka, jalan satu-satunya untuk membuat pendekar itu sibuk dan tidak mencampuri urusan Nepal menyerbu Tibet, hanyalah dengan menculik anak satu-satunya itu. Kalau Nepal sudah berhasil menduduki Tibet, barulah kita kembalikan puteri itu kepada orang tuanya.”
Selagi gurunya bicara Ceng Liong memutar otak. Tak mungkin dia menentang gurunya ini dengan kekerasan. Dia seorang diri mana mampu menentangnya? Maka diapun mengangguk-angguk seperti menyatakan setuju, padahal di dalam hatinya, dia sama sekali tidak senang akan siasat keji ini.
“Siasat itu bagus sekali.” Dia berkata dan gurunya tersenyum lebar.
“Kami sengaja membiarkan engkau tadi membantu sang puteri, bahkan merobohkan seorang penculik dengan tendanganmu. Engkau hebat, muridku. Dengan demikian, tentu sang puteri menganggap bahwa engkau benar-benar seorang kawan yang setia, dan dengan sendirinya tidak akan ada yang mencurigai aku bercampur tangan dalam penculikan ini.”
“Akan tetapi, bagaimanapun juga, aku minta agar nona Hong Bwee tidak diganggu, kasihan ia seorang anak yang baik, sikapnya baik sekali terhadap kita, juga orang tuanya amat baik terhadap kita. Apakah budi mereka itu harus dibalas dengan kejahatan?”
“Ha-ha-ha-ha, muridku yang baik, apakah engkau sudah melupakan pelajaran akan kenyataan hidup yang sudah berkali-kali kau lihat dan kau dengar dariku? Kalau engkau ingin maju dalam hidupmu, jangan hiraukan tentang budi. Melepas budi atau menerima budi hanyalah watak orang-orang lemah dan kita sama sekali tidak lemah! Yang terpenting adalah hasil baik dan menguntungkan untuk kita. Itu saja! Kalau mau bicara tentang budi, maka adanya hanya merupakan balas-membalas yang kekanak-kanakan. Pertama, mereka hutang budi kepada kita karena engkau menolong puteri mereka, kemudian kini keadaannya berbalik karena kita membutuhkan bantuan puteri mereka, untuk memaksa orang tuanya agar jangan menghalangi rencana kita. Bisa repot hidup ini kalau terikat oleh hutang-pihutang budi. Mana kita bisa maju kalau begitu?”
Ceng Liong mengerutkan alisnya. Di dalam hatinya, dia sama sekali tidak dapat menyetujui pendapat orang-orang golongan hitam seperti yang dikemukakan gurunya ini. Akan tetapi, selagi Hong Bwee berada di tangan gurunya dan sekutunya, dia harus bersikap cerdik dan tidak menentang, sehingga dia akan leluasa bergerak untuk berusaha menyelamatkan Hong Bwee. Dia tidak perduli akan urusan negara, tidak bermaksud untuk menolong atau membantu Bhutan, akan tetapi bagaimanapun juga, dia harus menolong Hong Bwee!
“Begitukah? Akupun setuju saja asalkan Hong Bwee tidak diganggu, aku kasihan kepadanya.”
“Ha-ha-ha, aku tahu, Ceng Liong. Sekecil ini engkau sudah mulai jatuh hati terhadap gadis cantik, ha-ha-ha!”
Wajah Ceng Liong menjadi merah. Kalau bukan gurunya yang bicara seperti itu, tentu sudah diserangnya. “Jangan berkata begitu, Mo-ong. Aku kasihan kepadanya karena ia amat baik kepadaku.”
“Aku tahu, dan akupun yakin engkau akan dapat melihat kehidupan seperti aku ini. Jatuh cinta kepada seorang wanita merupakan suatu penyakit, suatu tanda kelemahan yang akan mendatangkan banyak derita batin. Nah, sekarang kita harus bekerja. Kita kembali ke istana dan kita menghadap Wan-taihiap. Engkau laporkan bahwa sang puteri telah diculik oleh enam orang bertopeng, dan ketika engkau lari pulang, engkau bertemu denganku di tengah jalan karena aku sedang berbelanja obat, mengerti?”
Ceng Liong mengangguk.
“Untuk membuktikan bahwa engkau telah melakukan perlawanan mati-matian untuk membela sang puteri, engkau harus menderita luka. Bersiaplah menerima beberapa pukulanku, Ceng Liong!” Secepat kilat tangan kakek itu bergerak. Ceng Liong menerima pukulan itu.
“Plak! Plakk!”
Ceng Liong terpelanting, tapi hanya merasakan panas pada pundak dan pipinya. Ketika dia meraba, pipinya membengkak dan kulit pundak di bawah baju itupun nampak merah kehitaman. Kiranya Raja Iblis itu hanya mempergunakan tenaga luar saja yang cukup keras. Menunjukkan bukti perlawanan yang cukup meyakinkan bagi Ceng Liong. Dan kakek itupun diam-diam gembira sekali melihat sikap Ceng Liong yang tenang saja menerima pukulan itu, tanda bahwa muridnya memang cerdik dan tidak hanyut oleh perasaan.
“Mari kita pergi!” ajaknya dan merekapun mempergunakan lari cepat meninggalkan hutan itu menuju ke Kota Raja Bhutan.
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Wan Tek Hoat dan Syanti Dewi ketika menerima laporan guru dan murid itu. “Kami datang membawa kabar buruk, taihiap,” demikian Phang-sinshe mulai dengan pelaporannya. “Ketika saya keluar membeli obat, saya bertemu dengan murid saya yang tubuhnya bengkak-bengkak bekas pukulan dan dia menceritakan bahwa puteri paduka, nona Wan Hong Bwee telah diculik orang....” Kakek itu memandang ke arah keranjang berisi bahan-bahan obat yang diletakkannya di atas meja, bahan-bahan obat yang sengaja dibelinya sebelum dia dan muridnya menghadap keluarga Wan.
“Apa yang telah terjadi dengan anakku? Bagaimana ia sampai diculik orang?” Wan Tek Hoat bertanya, suaranya mengandung rasa penasaran dan juga keheranan. Selama dia berada di Bhutan, dia tidak pernah bermusuhan dengan siapapun, kecuali tentu saja para penjahat yang dibersihkannya dari kerajaan itu. Sementara itu, Syanti Dewi tidak mengeluarkan kata-kata, hanya memandang kepada Ceng Liong dengan muka pucat. Ia melihat betapa pipi kanan anak itu bengkak-bengkak dan pada saat itu, Phang-sinshe juga menyingkap baju Ceng Liong agar kulit pundak yang matang biru itu nampak.
“Ceng Liong, kauceritakanlah.” Kakek itu menyuruh muridnya.
Ceng Liong menelan ludah sebelum mulai bicara. Untung bahwa dia tidak disuruh membohong, biarpun ada beberapa bagian yang harus dirahasiakannya. “Kami berdua sedang bermain-main dan berburu di hutan ketika muncul enam orang bertopeng yang memaksa nona Hong Bwee untuk ikut dengan mereka. Kami berdua mengadakan perlawanan, akan tetapi saya.... saya tidak berhasil melindungi nona Hong Bwee. Ia dilarikan dan saya dipukul roboh.... harap taihiap sudi memaafkan saya....” Suara Ceng Liong terdengar sedih karena memang hatinya gelisah dan sedih memikirkan nasib Hong Bwee yang tentu amat ketakutan sekarang ini.
“Apa engkkau tidak mengenal seorang di antara mereka? Suaranya? Perawakannya?” tanya Wan Tek Hoat sambil memandang tajam.
“Tidak, taihiap. Mereka semua memakai topeng yang menyembunyikan muka dari hidung ke bawah. Akan tetapi mereka itu rata-rata bertubuh tinggi besar dan suaranya, karena mereka berbicara dalam bahasa Bhutan, seperti terdengar tidak sama dengan orang-orang di sini, agak asing bagi pendengaran saya yang belum faham benar dalam Bahasa Bhutan.”
Tek Hoat lalu minta penjelasan tentang tempat di mana puterinya diculik orang. Setelah menerima penjelasan dari Ceng Liong, dia sendiri bersama isterinya lalu berangkat ke tempat itu untuk mencari jejak para penculik. Sementara itu, Ceng Liong dan Phang-sinshe dengan sikap setia lalu ikut bersama mereka, terutama Ceng Liong yang harus menjadi penunjuk jalan. Mereka tiba di dalam hutan setelah hari menjelang sore. Tentu saja mereka tidak menemukan apa-apa karena sukarlah mencari jejak tapak kaki di tanah yang tertutup daun-daun kering dan rumput-rumput hijau itu. Tek Hoat dan isterinya mencari-cari dan memanggil-manggil nama anak mereka tanpa hasil. Ceng Liong dan gurunya pura-pura ikut mencari. Setelah hari mulai gelap, Phang-sinshe mohon diri bahkan membujuk suami- isteri itu untuk pulang dan mengerahkan pasukan untuk melakukan pencarian.
“Isteriku, engkau pulanglah dan laporkan hal ini kepada panglima, minta supaya dia mengerahkan pasukan-pasukan pilihan untuk bantu mencari, malam ini juga. Aku sendiri akan terus mencoba mencari jejak mereka di hutan ini.”
Syanti Dewi mengangguk dan dengan muka pucat dan menahan tangis saking gelisah hatinya, wanita ini meloncat dan berlari lebih dulu. Melihat gerakan ini, diam-diam Phang-sinshe terkejut bukan main. Nyonya itu dapat berlari cepat secara hebat sekali sehingga dia sendiripun agaknya tidak akan mampu menandingi kecepatan nyonya itu. Juga Cong Liong terbelalak memandang tubuh yang sebentar saja sudah jauh sekali itu. Guru dan murid ini tentu saja tidak tahu bahwa Syanti Dewi telah mewarisi ilmu gin-kang dari Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui murid dari seorang pendeta wanita sakti yang telah menguasai ilmu gin-kang luar biasa, yaitu Kim Sim Nikouw (baca kisah Suling Emas dan Naga Siluman).
Phang-sinshe dan muridnya lalu kembali ke kota raja. Di tengah perjalanan, Ceng Liong yang sudah diam-diam merencanakan siasatnya itu, berkata, “Mo-ong, rencanamu itu memang baik sekali. Kalau Negara Bhutan sendiri kacau-balau karena kehilangan nona Hong Bwee, tentu Wan-taihiap tidak sempat mencampuri urusan Nepal menyerbu Tibet. Akan tetapi, jangan main-main terhadap Wan-taihiap dan isterinya. Kalau sampai puteri mereka itu terganggu sedikit saja, mereka akan mengamuk dan kalau ketahuan bahwa kita mencampuri urusan penculikan itu, tentu kita akan dimusuhi mereka mati-matian.”
“Ha-ha-ha, jangan takut, muridku. Belum tentu aku kalah oleh mereka, dan pula, siapa yang akan mengganggu nona Hong Bwee? Ia diculik hanya untuk mengalihkan perhatian dan juga sebagai sandera agar Bhutan, terutama sekali Wan-taihiap, tidak mencampuri penyerbuan Nepal ke Tibet.”
“Rencanamu memang bagus, akan tetapi apakah orang-orang Nepal itu boleh dipercaya? Ingat, Mo-ong, aku sudah banyak mendengar tentang kebiadaban orang-orang Nepal terhadap wanita taklukan. Dan nona Hong Bwee amat cantik jelita. Kalau sampai ia terganggu, kitapun harus bertanggung jawab.”
Kakek itu mengerutkan alisnya. Bagaimanapun juga, ucapan muridnya ini menimbulkan keraguan di dalam hatinya. Kalau yang dikhawatirkan muridnya itu terjadi, akan menimbulkan kesulitan kelak.
“Wah, kalau begitu bagaimana baiknya?” tanyanya ragu-ragu.
“Mo-ong, serahkan saja nona itu kepadaku untuk menjaganya. Pertama, kalau aku yang menjaga, ia tidak akan ketakutan, dan kelak akan melaporkan kepada ayah bundanya bahwa ketika ditawan, ia diperlakukan dengan baik. Ke dua, di bawah pengawasanku, ia tidak akan mengamuk dan engkau tentu lebih percaya kepadaku daripada kepada orang-orang kasar itu. Ketahuilah bahwa usulku ini bukan hanya terdorong oleh rasa kasihan kepada nona Hong Bwee, melainkan juga untuk melancarkan jalannya siasatmu.”
Kakek itu mengangguk-angguk. “Baik, baik.... bagus sekali pendapatmu itu. Mari kita langsung ke sana!”
Ceng Liong tidak merasa heran ketika dia diajak memasuki kota raja oleh gurunya kemudian masuk ke sebuah gedung besar tempat tinggal seorang perwira tinggi! Dia memang sudah dapat menduga bahwa tentu ada “orang-orang dalam” yang ikut memegang peranan dalam persekutuan busuk itu.
Perwira Brahmani, mata-mata Nepal yang berhasil menyelundup menjadi perwira tinggi di Kerajaan Bhutan itu, menyambut kedatangan mereka dengan wajah gembira. Akan tetapi dia mengerutkan alisnya ketika melihat Ceng Liong.
“Anak ini.... dia....”
Hek-i Mo-ong menggerakkan tangannya ke atas. “Cocok dengan rencana kita, Brahmani.” Sekarang setelah mereka menjadi sekutu, Hek-i Mo-ong menyebut nama perwira tinggi yang menjadi mata-mata Nepal itu begitu saja. Bahkan sikapnya juga sebagai seorang atasan. “Dengan begitu Wan Tek Hoat tidak akan mencurigai kami. Nah, sekarang di mana nona kecil itu? Sudah dapat diamankan di tempat rahasia?”
Mereka dipersilahkan masuk dan duduk di ruangan dalam. “Jangan khawatir. Anak itu telah berada di dalam kamar rahasia di bawah tanah, di rumah ini. Siapapun tidak akan mencari ke sini. Siapa yang akan menuduh aku menjadi penculik puteri Pangeran Wan?” Brahmani tertawa puas ketika Hek-i Mo-ong mengangguk dan memuji kecerdikannya.
“Ketahuilah, Brahmani. Muridku ini memang sengaja mengambil sikap melindungi anak itu. Hal ini amat penting untuk menghindarkan kecurigaan kepada kami. Dan sekarang, aku berpendapat bahwa sebaiknya kalau muridku yang melakukan penjagaan terhadap puteri Wan Tek Hoat itu, atau setidaknya, muridku inilah yang diperbolehkan menjenguknya sewaktu-waktu.”
Brahmani mengerutkan alisnya. “Akan tetapi, sinshe, anak itu sudah dijaga siang malam oleh selosin anak buahku yang cukup lihai. Ia tidak mungkin dapat lolos dari tempat tahanannya, dan tidak ada seorangpun dari luar tahu bahwa di rumah ini terdapat kamar rahasia bawah tanah, apalagi mengetahui bahwa puteri itu berada di sini. Penjagaan sudah cukup kuat!”
“Bukan kekuatan itu yang kumaksudkan, akan tetapi dari segi keamanan. Kalau muridku yang ikut mengamati, anak perempuan itu tidak akan ketakutan dan memberontak. Bayangkan kalau sampai anak itu mogok makan dan rewel terus sampai jatuh sakit, bukankah hal itu berbahaya sekali? Kalau sampai ia mati, tentu akibatnya amat besar, mengingat akan kesaktian dan kekuasaan Wan Tek Hoat. Muridku dapat menghiburnya dan menenteramkan hatinya.”
Brahmani mengangguk-angguk walaupun dia masih memandang kepada Ceng Liong dengan sinar mata ragu-ragu dan curiga, teringat betapa pemuda cilik ini tadi merobohkan seorang anak buahnya dan membuat anak buahnya nyaris tewas oleh tendangan yang amat keras itu.
Mereka bertiga lalu menjenguk keadaan Hong Bwee. Ternyata di dalam ruangan tidur perwira itu, terdapat sebuah lubaug di balik almari, lubang yang merupakan terowongan bawah tanah dan berhenti pada sebuah kamar di bawah tanah. Tempat itu cukup luas dan hawanya masuk dari lubang-lubang angin yang dipasang secara bersembunyi, juga memperoleh penerangan dari lampu yang bernyala siang malam. Biarpun demikian, tentu saja orang yang disekap di dalamnya akan menderita karena tak dapat melihat keluar dan tidak terkena sinar matahari. Di dalam ruangan itu terdapat sebuah dipan kecil, sebuah meja, sebuah kursi. Dua buah lampu tergantung di dinding dan ada lukisan-lukisan cukup indah ditempel di atas dinding. Cukup menyenangkan dan bersih.
Hong Bwee sedang duduk dengan wajah muram di atas dipan ketika tiga orang itu masuk. Pintu besi yang atasnya terdapat ruji yang kokoh kuat itu terbuka dan masuklah Brahmani, Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong. Melihat anak laki-laki itu, Hong Bwee meloncat turun dan memandang dengan mata terbelalak, dan wajahnya menjadi cerah dan gembira ketika ia mengenal Phang-sinshe.
“Phang-sinshe....! Ceng Liong....!” Anak itu lari ke depan dan merangkul Ceng Liong sambil menangis saking lega dan girang hatinya, terbebas secara mendadak dari rasa khawatir, takut, dan marah semenjak ia ditawan.
Ceng Liong memeluk anak perempuan itu dan menepuk-nepuk pundaknya, menghibur akan tetapi dia membiarkan Hong Bwee melepaskan semua kegelisahannya melalui air mata. Sementara itu, Hek-i Mo-ong dan Brahmani saling pandang, kemudian diam-diam meninggalkan kamar, memesan kepada para penjaga agar Ceng Liong diperbolehkan keluar masuk kamar tahanan itu.
Ketika Hong Bwee sudah puas menangis, mengangkat mukanya dari dada Ceng Liong dan memandang, gadis cilik ini terkejut karenu Phang-sinshe sudah tidak berada di situ lagi dan pintu kamar tahanan itu sudah tertutup lagi.
“Ceng Liong....!” teriaknya kaget. “Apakah engkau ditawan juga? Dan gurumu?”
“Tenanglah, nona.... eh, Hong Bwee, tenanglah. Memang engkau dijadikan tawanan atau sandera, akan tetapi aku menjamin bahwa engkau tidak akan diganggu. Sedangkan aku.... aku dan guruku tidak ditawan. Eh, terus terang saja, aku malah ditugaskau untuk menjagamu....”
“Ihhh....? Berarti engkau dan gurumu telah berkhianat dan memusuhi keluargaku?” Gadis cilik itu marah sekali dan mengepal kedua tinju tangannya.
“Tenanglah dan dengarkan ucapanku baik-baik. Mari kita duduk di sana.” Ceng Liong mengajak anak perempuan itu duduk di atas dipan. Mereka duduk bersandingdan sambil memandang ke arah daun pintu karena takut kalau-kalau ada yaug mengintai atau mendengarkan, dia berbisik-bisik.
“Ada persekutuan rahasia di Bhutan yang menentang kebijaksanaan sri baginda. Mereka itu bersekutu dengan Nepal dan mereka tidak ingin melihat Bhutan campur tangan kalau Nepal menyerbu ke Tibet. Akan tetapi mereka takut kepada ayahmu, maka mereka menawanmu di sini untuk melumpuhkan ayahmu. Jadi, engkau hanya ditawan dan tidak akan diganggu. Aku tanggung jawab akan hal itu.”
Sepasang mata yang indah itu masih terbelalak dan mukanya merah karena kemarahan. “Akan tetapi engkau.... dan gnrumu ikut dalam persekutuan busuk itu! Padahal ayahku telah menerima kalian sebagai tamu terhormat! Beginikah kalian membalas budi orang?”
“Ssstt, jangan keras-keras bicara, Hong Bwee. Dengarlah, engkau bukan anak kecil lagi dan aku tahu engkau tidak bodoh. Harus pandai bersiasat. Menggunakan kekerasan saja kita berdua mampu berbuat apakah? Akan tetapi engkau yakinlah bahwa selama ada aku di sini, engkau tidak akan diganggu. Aku harus pura-pura mentaati mereka, akan tetapi aku akan mencari jalan agar engkau dapat bebas dengan aman. Tapi engkau harus menurut semua pesanku. Bagaimuna, percayakah engkau kepadaku?”
Mereka saling berhadapan muka dan melihat betapa pipi anak laki-laki itu masih bengkak, Hong Bwee teringat betapa Ceng Liong telah mencoba untuk melindunginya ketika enam orang bertopeng itu muncul. Maka iapun mengangguk.
“Habis, kita barus berbuat apa? Dan di mana aku sekarang? Aku dibawa ke sini dengan kedua mata ditutup saputangan hitam.”
“Engkau berada dalam kamar bawah tanah dari gedung tempat tinggal perwira Brahmani.”
“Ah, dia mengenal baik orang tuaku!”
“Tentu saja karena dia mata-mata Nepal yang diselundupkan di sini. Engkau tenang-tenang saja dan jaga kesehatanmu baik-baik. Makan dan minumlah agar engkau tidak jatuh sakit. Aku akan mencari jalan bagaimana baiknya untuk menolongmu. Percayalah bahwa biarpun aku murid Phang-sinshe, akan tetapi aku tidak sudi bersekongkol dan melakukan kejahatan. Akan tetapi, untuk menentang dengan kekerasan tentu saja aku tidak berani.”
“Ceng Liong, tolong engkau beritahukan ayah, tentu mereka akan dihajar dan aku akan dibebaskan.”
“Hemm, tidak semudah itu, Hong Bwee. Kita berhadapan dengan orang-orang yang sudah nekat dan mereka itu akan melakukan apa saja untuk mencapai tujuan mereka. Engkau dijadikan sandera, maka kalau ayahmu datang menyerbu, mungkin sekali keselamatanmu terancam. Kita harus pakai siasat. Aku akan mencari akal itu agar mereka dapat dihancurkan akan tetapi engkaupun harus dapat diselamatkan. Sementara ini, engkau bersikaplah tenang, tidur dan makan minum secukupnya agar jangan sampai jatuh sakit. Aku akan mencari akal agar dapat membawamu keluar dari sini dan mengabarkan kepada ayahmu tentang semua ini. Aku harus hati-hati agar guruku dan persekutuan itu tidak menaruh curiga kepadaku. Maka, di depan mereka, kalau aku bersikap kasar terhadap dirimu, harap engkau tidak salah sangka.”
Anak perempuan itu mengangguk-angguk dan memandang ke atas meja di mana terdapat hidangan yang belum dijamahnya. Memang perutnya lapar sekali dan tenggorokannya haus, akan tetapi dengan keras hati ia tidak mau menyentuh makanan dan minuman yang dihidangkan kepadanya. Kini, mendengar omongan Ceng Liong, dan setelah hatinya merasa lega karena di situ terdapat Ceng Liong yang akan menolongnya, iapun baru merasakan kelaparan dan kehausan itu. Diraihnya cangkir teh dan diminumnya sedikit.
“Nah, kau makanlah, aku harus keluar dulu. Tak baik berlama-lama di sini,” kata Ceng Liong sambil bangkit berdiri.
“Jangan terlalu lama meninggalkan aku sendirian saja di sini,” kata anak perempuan itu dengan suara sedih.
“Tentu saja tidak, aku akan sering menengokmu dan memberi kabar tentang perkembangan selanjutnya.” Ceng Liong lalu keluar, diikuti pandang mata Hong Bwee yang hanya mengharapkan bantuannya untuk dapat keluar dengan selamat dari dalam kamar tahanan itu. Oleh para pengawal, pintu dibuka dan setelah pemuda itu keluar, daun pintu ditutup dan dikunci lagi dari luar. Wajah dua orang penjaga nampak di luar jeruji besi, memandang kepada Hong Bwee yang sedang makan itu sambil menyeringai menakutkan. Hong Bwee membuang muka, tidak sudi bertemu pandang dengan mereka dan terdengar mereka itu tertawa mengejek.Para pengawal itu menyampaikan keadaan anak perempuan yang ditawan kepada Brahmani, bahwa anak itu sudah mau makan minum dan tidur nyenyak semenjak Ceng Liong masuk ke situ dan bercakap-cakap cukup lama. Hal ini menggirangkan hati Brahmani dan dia mulai percaya penuh kepada murid Hek-i Mo-ong yang tadinya dicurigainya itu. Dan dia makin kagum akan kecerdikan Hek-i Mo-ong yang menyuruh muridnya itu pura-pura melindungi puteri Pangeran Wan itu sehingga memperoleh kepercayaan dari si anak perempuan. Karena, kalau sampai puteri itu mogok makan minum dan jatuh sakit, rencana siasat mereka akan menjadi rusak dan mereka bahkan dalam keadaan berbahaya. Seorang sandera harus berada dalam keadaan segar bugar, baru ada harganya, karena kalau sampai mati, sandera itu tidak ada artinya lagi.
Hek-i Mo-ong sendiri sangat girang dengan hasil pendekatan muridnya ini dan semenjak itu, Ceng Liong memperoleh kepercayaan besar untuk menghibur dan menemani Hong Bwee. Dia sering datang bercakap-cakap di dalam kamar tahanan Hong Bwee, dan diceritakannya semua perkembangan di luar tempat tahanan itu kepada gadis cilik ini.
Ternyata siasat yang diatur oleh persekutuan itu berjalan dengan lancar dan berhasil baik sekali. Sepucuk surat diterima oleh Wan Tek Hoat yang mengerahkan semua pasukan mencari puterinya dengan sia-sia. Tentu saja dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa puterinya berada tidak jauh dari istana, dalam gedung seorang perwira tinggi! Maka ketika dia menerima sepucuk surat dari Siwananda, Koksu Nepal, dia hanya dapat membaca dengan muka kemerahan saking marahnya. Bagaimanapun juga ini menyangkut keselamatan puterinya, dan juga kewibawaan Kerajaan Bhutan, dua hal yang saling bertentangan. Maka dibawanyalah surat itu menghadap raja, bersama isterinya.
Raja Badur Syah mengerutkan alisnya ketika Wan Tek Hoat memperlihatkan surat dari Siwananda itu. Isinya ringkas saja, yaitu bahwa Nepal tidak bermaksud memusuhi Bhutan, hanya minta agar diperbolehkan melewati daerah Bhutan sebelah utara untuk pasukan Nepal yang mengadakan penyerbuan ke Tibet. Agar Bhutan tidak mencampuri urusan itu dan sebagai tanda terima kasih, Nepal akan menjaga Puteri Gangga Dewi baik-baik dan akan mengantarkannya kembali dalam keadaan sehat dan selamat.
“Keparat!” Raja Badur Syah membentak marah. “Tak kusangka Kerajaan Nepal akan mempergunakan kecurangan yang begini tidak tahu malu! Menculik anak kecil untuk memaksakan kehendaknya kepada kerajaan kita!”
“Bagaimana baiknya, rakanda?” tanya Syanti Dewi sambil meremas-remas tangan sendiri. “Kami ayah dan ibu dihadapkan kepada dua masalah yang sama pentingnya bagi kami. Di satu fihak, masalah keselamatan anak tunggal kami dan di lain fihak masalah wibawa kerajaan yang terancam!”
Raja Badur Syah mengangguk-angguk dan diapun tahu bahwa suami isteri di depannya ini merupakan tulang punggung pemerintahannya. Tak mungkin kiranya membiarkan Gangga Dewi terancam bahaya maut. Akan tetapi, kalau dia membiarkan pasakan Nepal menyerbu Tibet dengan mengambil jalan lewat Bhutan, hal inipun akan besar akibatnya. Pertama, Bhutan akan dianggap musuh oleh Tibet, dan terutama sekali, Kerajaan Ceng-tiauw tentu akan menganggap Bhutan bersekutu dengan Nepal. Akibat ini lebih hebat lagi bagi kerajaaanya.
“Serba salah.... serba salah memang.” akhirnya raja itu berkata. “Memang, bagi Nepal, jalan satu-satunya menuju ke Tibet hanya melalui daerah kita sebelah utara. Menurut catatan, dahulu pernah Nepal menyerang ke Tibet melalui daerah mereka sendiri di utara, akan tetapi Nepal kehilangan banyak perajurit yang tewas dalam perjalanan karena perjalanan itu melalui puncak-puncak yang tinggi dan jurang-jurang yang curam, amat sukar dilalui manusia. Kita berdiri di tengah-tengah, antara dua negara yang sedang bermusuhan. Kalau kita membiarkan Nepal melewati daerah kita, kita dapat dianggap bersekongkol dan menentang Kerajaan Ceng. Sebaliknya kalau kita menolak permintaan Nepal, kita dapat dianggap menentangnya. Serba salah, serba susah!”
“Menurut surat itu, kita masih mempunyai waktu dua pekan. Selama dua pekan ini kami akan mencari jejak anak kami, kalau perlu, kami atau saya sendiri akan memasuki Nepal, mencari di mana anak kami itu ditawan,” Tek Hoat berkata sambil mengepai tinju.
“Kami amat mencinta anak kami dan tentu saja mengutamakan keselamatannya, akan tetapi, rakanda, kami juga tahu bahwa kewibawaan Kerajaan Bhutan tidak mungkin dibiarkan untuk diinjak-injak secara begitu saja oleh Nepal. Suamiku berkata benar, masih ada waktu dua pekan sebelum pasukan Nepal mempergunakan daerah kita untuk lewat menyerbu Tibet. Kalau dalam waktu itu kita sudah berhasil menemukan Gangga Dewi dengan selamat, maka kita akan menolak permintaan itu! Kalau andaikata kami tidak....berhasil terserah saja kepada keputusan rakanda!”
Raja Badur Syah mengangguk-angguk. Memang tidak ada pilihan lain. Raja ini lalu melepas kepergian suami isteri itu sambil berulang kali menghela napas panjang. Tak disangkanya bahwa kerajaannya yang makmur dan tenteram itu kini dilanda ancaman malapetaka, bahkan yang langsung terkena adalah adik tirinya, Puteri Syanti Dewi.
***
Sepekan lagi hari yang disebutkan oleh fihak Nepal untuk menyeberang ke Tibet melalui Bhutan tiba. Dan selama itu, Tek Hoat belum juga berhasil menemukan puterinya yang hilang. Dia dan isterinya sudah mengambil keputusan untuk berdua pergi ke Nepal dengan cara menyelundup karena merasa yakin bahwa anak mereka tentu ditawan di kerajaan itu. Akan tetapi, sebelum mereka berangkat yang menurut rencana akan mereka lakukan pada keesokan harinya pagi-pagi benar, malam itu Ceng Liong menghadap mereka.
“Locianpwe, saya mau bicara penting sekali!” kata anak itu sambil celingukan ke kanan kiri. Melihat sikap anak itu yaag telah mereka kenal kecerdikannya, Tek Hoat lalu menarik tangannya diajak masuk ke ruangan dalam. Syanti Dewi cepat mengikuti setelah puteri ini merasa yakin bahwa tidak ada orang lain melihat anak laki-laki itu memasuki istana.
“Apa yang hendak kaubicarakan, Ceng Liong? Di mana Phang-sinshe?” tanya Tek Hoat sambil memandang tajam penuh selidik.
“Locianpwe, ada persekutuan yang hendak mengacau malam ini. Mereka bahkan berusaha untuk menduduki istana sri baginda!”
“Apa?” Tak Hoat terkejut sekali sambil memegang pundak anak itu, lupa akan tenaganya sendiri dan terkejutlah Tek Hoat ketika dari pundak anak itu keluar tenaga penolak yang hebat. Dia cepat menarik kembali tangannya dan memandang anak itu dengan mata terbelalak. Tak pernah disangkanya bahwa anak ini memiliki tenaga sin-kang yang sedemikian hebatnya. Ceng Liong tahu bahwa sumber tenaganya itu kembali telah bergerak otomatis, maka dia merasa tidak enak sekali. “Apa yang terjadi?” tanya Tek Hoat, lebih ingin tahu tentang persekutuan itu daripada tentang kekuatan tersembunyi di tubuh Ceng Liong.
“Locianpwe, bebarapa orang pembesar dan panglima telah bersekongkol dengan orang Nepal, malam ini akan melakukan pengacauan dan penyerbuan ke istana untuk memancing perhatian, agar semua kekuatan ditujukan untuk menghadapi kekacauan itu sehingga tentara Nepal dapat melewati daerah utara dengan aman.”
Tek Hoat semakin terkejut. Teringatlah dia akan pemberontakan yang duhulu dilakukan oleh Mohinta, putera mendiang Panglima Tua Sangita yang berhasil dia hancurkan ketika dia membela Bhutan (baca Kisah Jodoh Rajawali). Apakah kini terulang lagi peristiwa pemberontakan itu? Panglima Jayin telah tiada, telah meninggal dunia karena usia tua, dan kini para panglima Bhutan adalah muka-muka baru, walaupun mereka itu sejak muda sudah mengabdi kepada kerajaan.
“Hemm, ceritakan semua apa yang kauketahui dan bagaimana engkau bisa tahu!” bentak Tek Hoat, belum mau percaya begitu saja keterangan anak itu.
“Saya mendengar sendiri percakapan mereka dalam rapat sore tadi locianpwe, bahkan saya hadir pula bersama guru saya....”
“Phang-sinshe? Dia ikut batsekongkol?”
Ceng Liong menarik napas panjang. Tidak ada gunanya lagi menyembunyikan kenyataan itu. “Benar, locianpwe. Dia bersekongkol dengan perwira Brahmani dan yang lain-lain.”
“Brahmani orang Nepal itu? Keparat! Dan engkau sendiri? Engkau kan murid Phang-sinshe?”
“Memang saya muridnya, akan tetapi murid untuk mempelajari ilmu kepandaian, bukan murid untuk mempelajari kejahatan.”
“Biarkan dia bercerita terus. Ceng Liong, ceritakanlah sejelasnya dan apakah engkau tahu pula di mana Gangga Dewi anakku?”
“Di mana ia?” Tek Hoat membentak dan sudah mcncengkeram lagi ke arah pundak Ceng Liong. Akan tetapi dari samping, isterinya memegang pergelangan tangan suamimya, “Sabar dulu, mungkin dialah yang akan dapat menyelamatkan anak kita.” tegurnya.
“Harap locianpwe berdua jangan khawatir. Selema ini saya telah menghibur dan menemaninya.”
“Bocah setan! Engkau dan gurumu telah menerima budi kebaikan orang, akan tetapi membalasnya dengan perbuatan keji. Kenapa tidak sejak dahulu engkau memberitahukan kami teatnak anak kami? Begitu jahatkah kalian?” Tek Hoat membentak lagi.“Lebih baik cepat katakan di mana anakku agar kami dapat menyerbu dan membebaskannya!” Syanti Dewi juga berkata dengan hati penuh kegelisahan dan ketegangan.
“Jangan, jangan lakukan itu. Itulah sebabnya mengapa saya tidak sejak kemarin memberi tahu kepada ji-wi locianpwe. Kalau locianpwe mempergunakan kekerasan menyerbu tentu dengan mudah mereka akan membunuh puteri locianpwe. Mereka adalah orang-orang kejam. Harus diatur dengan baik agar puteri locianpwe dapat diselamatkan, dan juga agar penyerbuan ke istana itu dapat digagalkan.”
Tek Hoat seketika sadar bahwa dia berhadapan dengan seorang anak yang amat cerdik dan berpemandangan luas. Seperti seorang dewasa saja anak ini, pikirnya kagum.
“Baiklah, bagaimana keadaannya yang sebenarnya? Dan bagaimana engkau akan dapat menyelamatkan anak kami?”
“Mereka terdiri dari mata-mata Nepal, yaitu perwira Brahmani, beberapa orang pejabat tinggi dan beberapa orang panglima pasukan, juga.... guru saya ikut di dalamnya. Malam ini, menjelang tengah malam, mereka akan melakukan penyerbuan dan kini mereka sudah berkumpul di markas yang dipimpin oleh Panglima Ram Rohan.”
“Panglima Ram Rohan?” Tek Hoat terkejut sekali karena panglima itu masih saudara sepupu dari mendiang Mohinta, putera Panglima Tua Sangita yang pernah memberontak itu. Inilah akibatnya kalau raja terlalu lunak terhadap mereka. Setiap kali ada kesempatan, hati yang membenci itu tentu kambuh pula dan mereka ini akan mudah melakukan pemberontakan untuk membalas dendam atas kesalahan mereka yang lalu.
“Saya memberi tahu locianpwe agar penyerbuan ke istana itu dapat digagalkan, sedangkan mengenai nona Hong Bwee, sayalah yang akan melarikannya dari tempat tahanan. Mereka semua percaya kepada saya sebagai murid Phang-sinshe. Dan untuk keperluan ini, saya hanya minta dibekali seguci arak terbaik yang sudah dicampuri obat bius untuk membuat selosin penjaga di dalam itu lumpuh. Kemudian saya akan mencoba membawanya keluar dari gedung itu melampaui para pengawal yang berjaga di luar.”
Melihat gawatnya suasana, Tek Hoat tidak membuang banyak waktu lagi. Dia segera berunding dengan isterinya. Dia sendiri akan cepat melapor kepada sri baginda, mempersiapkan pasukan yang kuat untuk mengepung dan menghancurkan markas pasukan yang dipimpin oleh Panglima Ram Rohan, menghancurkan persekutuan itu, sedangkan isterinya akan membantu Ceng Liong dan membayanginya dari belakang, melindunginya kalau sampai dua orang anak itu diancam oleh para penjaga di luar gedung di mana anak perempuan itu disekap. Kepada Ceng Liong lalu diberikan seguci arak merah yang wangi dan sudah dicampuri obat bius oleh Tek Hoat yang pernah mempelajari ilmu pengobatan bahkan memiliki kepandaian membuat racun perampas ingatan yang diwarisinya dari Pulau Neraka.
Sebelum berangkat, Ceng Liong membalik dan berkata, “Locianpwe, saya minta obat penawarnya.”
“Eh? Untuk apa?”
“Siapa tahu para penjaga itu curiga kepada saya dan tidak mau minum arak ini, maka kalau mereka memaksa saya ikut minum, sebelum saya menjaga diri dengan obat penawarnya, kan celaka....”
Tek Hoat mengangguk-angguk dan semakin kagum kepada anak kecil ini. Diambilnya dua butir pel merah. “Telanlah ini dan biarpun engkau harus menghabiskan seguci arak itu, engkau tidak akan mabok atau terbius.”
Ceng Liong menerimanya dengan girang, lalu pergi dari situ diam-diam dibayangi oleh Syanti Dewi. Sedangkan Wan Tek Hoat sendiri secepatnya pergi menghadap sri baginda. Karena dia yang datang, maka para pengawal berani melaporkan ke dalam bahwa pangeran itu minta ijin menghadap raja karena ada keperluan yang amat penting dan gawat.
Sementara itu, Ceng Liong segera pergi membawa guci arak menuju ke gedung perwira Brahmani, bersiul-siul dan bernyanyi-nyanyi menghampiri para penjaga. Para penjaga di luar gedung sudah mengenal anak ini dengan baik dan mereka semua sudah tahu bahwa anak ini adalah murid Phang-sinshe yang dipercaya sebagai satu-satunya orang yang boleh memasuki kamar tahanan di mana Puteri Gangga Dewi ditahan.
“Hei, Ceng Liong, engkau membawa arak baik ya?”
“Beri kita sedikit ah!”
Ceng Liong tersenyum kepada mereka dengan sikap ramah. “Mana aku berani? Arak ini adalah pesanan Brahmani tai-ciangkun, kalau berkurang sedikit saja aku akan celaka! Biar nanti kucarikan untuk kalian yang lain saja.” Sambil berkata demikian dia menyelinap ke dalam gedung tanpa menimbulkan kecurigaan sedikitpun.
Dua belas orang pengawal pilihan yang berjaga di luar kamar tahanan Hong Bwee mengira bahwa Ceng Liong membawakan makanan atau minuman untuk anak yang ditawan, akan tetapi melihat anak laki-laki itu membawa guci arak, mereka menjadi heran.
“Eh, Ceng Liong, untuk siapa engkau membawa seguci besar arak itu?” tegur komandan jaga. Tentu saja mengherankan melihat anak itu membawakan seguci arak untuk tawanan, seorang anak perempuan yang jarang minum arak.
Ceng Liong tertawa. “Untuk siapa lagi kalau bukan untuk kakak-kakak sekalian? Melihat kakak sekalian siang malam berjaga tak mengenal lelah, aku merasa kasihan dan tadi aku melihat arak berlimpahan dalam pertemuan para panglima. Maka aku minta kepada suhuku untuk diperkenankan membawa seguci arak wangi untuk dihadiahkan kepada kalian.”
Dua belas orang pengawal itu bersorak gembira dan banyak tangan menerima guci arak itu. Tutup guci dibuka dan terciumlah keharuman arak yang amat sedap, membuat mereka bergegas mencari cawan. Akan tetapi, komandan jaga cepat membentak.
“Jangan sentuh dulu arak itu!”
Para anak buahnya terkejut dan kecewa. Mereka memandang kepada komandan mereka dengan alis berkerut.
“Kenapa? Apa salahnya dengan arak ini?”
“Kita sudah bersusah payah, sudah selayaknya menerima hadiah minuman baik!”
Akan tetapi komandan jaga itu tidak menghiraukan omelan anak buahnya. Dia menghampiri guci arak, mencium-cium dan memeriksa isinya. Diam-diam Ceng Liong merasa terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa kepala jaga ini orangnya demikian cerdik dan banyak curiga. Akan tetapi, dia bersikap tenang saja, bahkan tersenyum-senyum.
Semua pengawal melihat komandan mereka menuangkan arak dari guci ke dalam sebuah cawan dan mereka mengilar melihat arak merah yang jernih dan wangi itu. Akan tetapi komandan itu tidak minum arak ini, melainkan menyodorkan cawannya kepada Ceng Liong sambil berkata, “Ceng Liong, kau minumlah arak ini!”
Semua pengawal memandang heran dan Ceng Liong juga mengambil sikap seperti orang merasa kaget dan heran. “Akan tetapi, aku sengaja membawa arak ini untuk kakak sekalian!” bantahnya.
“Hemm, bagaimana kami tahu bahwa arak ini tidak beracun kalau engkau tidak mau minum dulu secawan?” kata si komandan dengan muka berseri, merasa bangga memperlihatkan kecerdikannya. Kini para anak buahnya, pengawal-pengawal yang berpengalaman, terkejut dan timbul pula kecurigaan mereka. Beramai-ramai mereka lalu mendesak kepada Ceng Liong untuk minum arak dalam cawan itu.
“Hemm, aku tidak pernah atau jarang sekali minum arak, akan tetapi untuk memuaskan hati kakak sekalian, apa boleh buat, akan kuminum arak ini. Akan tetapi, tolonglah aku nanti kalau sampai mabok.” Tanpa meragu lagi, Ceng Liong lalu mengangkat cawan arak itu, menempelkan ke mulutnya dan menenggaknya sekaligus sampai habis! Dia menjilati bibirnya, nampak keenakan sekali dan mengangguk-angguk.
“Wah, belum pernah aku minum arak seenak ini. Bolehkah aku minta secawan lagi?”
Begitu Ceng Liong berkata demikian, para pengawal itu segera berebut mengisi cawan arak mereka dari guci itu tanpa memperdulikan permintaan Ceng Liong, sambil tertawa-tawa dan si komandan jaga juga tidak lagi melarang mereka, bahkan diapun menuntut agar diberi lebih dahulu. Tentu saja dua belas orang pengawal itu kini percaya sepenuhnya bahwa arak itu tidak mengandung sesuatu yang tidak baik setelah anak itu berani minum secawan dan tidak kelihatan ada akibat yang mencurigakan.Memang arak itu arak tua yang harum dan lezat, maka merekapun seperti berlumba, minum sebanyak-banyaknya. Akan tetapi, baru menghabiskan dua cawan saja, mereka sudah roboh terguling, terbius dan tidur pulas atau pingsan, malang-melintang tidak teratur di tempat penjagaan di luar kamar tahanan itu.
Ceng Liong tidak mau membuang terlalu banyak waktu lagi. Diambilnya kunci pintu kamar tahanan itu dari saku baju komandan jaga, dan dibukanya pintu kamar tahanan. Hong Bwee sudah mendengar akan kedatangan Ceng Liong dan mendengar percakapan antara Ceng Liong dan para penjaga, mendengar betapa mereka minum arak dan tertawa-tawa. Kini, anak perempuan itu merasa heran sekali mengapa suasana di luar kamar tahanan begitu sunyi seolah-olah semua penjaga telah pergi dan nampak Ceng Liong masuk sendirian saja.
“Ceng Liong, apa yang telah terjadi?”
“Ssttt, diamlah dan mari ikut denganku keluar dari tempat ini,” kata Ceng Liong sambil menaruh telunjuk di depan mulutnya. Biarpun semua penjaga di luar kamar tahanan telah roboh, akan tetapi masih banyak pengawal yang berjaga di luar gedung dan dia harus berhati-hati untuk dapat membawa keluar anak perempuan itu dari gedung tanpa terlihat mereka.
Ketika ia digandeng keluar dari dalam kamar tahanan oleh Ceng Liong dan melihat dua belas orang penjaga itu malang-melintang dalam keadaan seperti sudah tewas saja, Hong Bwee terkejut dan merasa ngeri. “Apa yang terjadi dengan mereka?” bisiknya.
“Mereka hanya pingsan minum arak yang ada obat biusnya, yang kudapat dari ayahmu. Mari kita pergi melalui pintu belakang.”
Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut di luar gedung, seperti suara orang berkelahi. Ceng Liong yang membawa Hong Bwee menyelinap ke belakang, melihat beberapa orang pengawal yang berjaga di bagian belakang gedung itu berlarian ke depan. Kesempatan ini dipergunakannya untuk membawa anak perempuan itu lari keluar dari gedung, menyusup ke dalam taman yang gelap lalu menjauhkan diri. Ternyata di luar gedung memang terjadi keributan. Dia tidak tahu bahwa pada saat itu, Puteri Syanti Dewi sendiri yang tadinya membayanginya, telah mengamuk dan menghajar para penjaga, anak buah Brahmani yang memberontak itu. Para penjaga melawan dengan hati kecut, karena mereka tahu siapa adanya puteri ini, akan tetapi merekapun setia kepada Brahmani yang pada saat itu berkumpul di rumah Panglima Ram Rohan dan siap untuk menyerbu atau mengacau istana raja. Akan tetapi, para penjaga yang berjumlah belasan orang itu mana mampu menandingi Puteri Syanti Dewi yang memiliki gerakan seperti burung terbang itu? Cepat bukan main sang Puteri bergerak di antara mereka, merobohkan mereka dengan tamparan atau tendangan. Sang puteri ingin sekali segera membebaskan puterinya yang menurut Ceng Liong ditawan di dalam kamar bawah tanah di belakang gedung perwira Brahmani yang ternyata adalah mata-mata Nepal itu.
Akan tetapi, setelah para penjaga itu berantakan dan sebagian besar melarikan diri tidak berani lagi melawan sang puteri yang memiliki gerakan cepat seperti pandai menghilang itu, dan Syanti Dewi berhasil memasuki gedung, ia tidak dapat menemukan lagi puterinya. Kamar tahanan itu telah kosong dan para penjaganya masih menggeletak tak sadar di luar kamar. Dan Ceng Liongpun tidak nampak di situ. Sang puteripun tahu bahwa anaknya sudah diajak lari keluar gedung oleh murid Phang-sinshe, maka iapun cepat pergi meninggalkan gedung itu untuk membantu suaminya yang sedang mempersiapkan pasukan untuk menghajar kaum pemberontak yang berkumpul di markas Panglima Ram Rohan.
***
Tentu saja para pemberontak yang sudah berkumpul di markas pasukan yang dipimpin oleh Panglima Ram Rohan terkejut sekali ketika tiba-tiba terdengar bunyi terompet dan tambur dan nampak obor mengepung markas itu. Ternyata tempat mereka itu telah dikepung oleh pasukan kerajaan yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Wan Tek Hoat!
Melalui seorang penantang yang berteriak lantang melalui corong, Wan Tek Hoat memerintahkan para pemberontak untuk menyerahkan diri tanpa melawan. “Ram Rohan! Brahmani! Persekutuan kalian telah diketahui! Tempat ini telah terkepung! Menyerahlah tanpa perlawanan atau tempat ini akan dihancurkan!”
Tentu saja mereka yang berada di dalam markas itu menjadi kaget dan bingung. “Ah, tentu ada yang membocorkan rahasia kita,” kata Phang-sinshe. “Tentu ada pengkhianat di antara kita!”
“Dan aku tahu siapa pengkhianatnya!” bentak Brahmani dengan penuh geram, matanya menatap tajam wajah Phang-sinshe.
“Siapa? Siapa pangkhianatnya?” tanya semua orang yang berada di situ.
“Siapa lagi kalau bukan setan kecil Ceng Liong itu?” kata Brahmani. “Hanya dia seorang yang tahu secara terperinci. Dan hanya dia yang pada saat ini berkeliaran di luar markas untuk menjaga tawanan itu. Siapa lagi kalau bukan dia yang mengkhianati kita?”
“Jangan menuduh sembarangan!” bentak Phang-sinshe. “Apa buktinya bahwa muridku yang berkhianat?”
“Buktinya memang belum ada, akan tetapi dengan sedikit akal dapat kita ketahui! Siapa lagi yang dekat dengan Pangeran Wan kalau bukan muridmu? Dan dia seoranglah yang tahu akan semua rencana kita. Aku berani bertaruh potong leher bahwa setan kecil itulah yang mengkhianati kita!” bentak Brahmani marah.
“Awas, jaga mulutmu atau aku sendiri yang akan mematahkan batang lehermu!” Kini Phang-sinshe berobah sikap, sikap Hek-i Mo-ong yang marah mendengar muridnya dituduh sebagai pengkhianat dan kemarahannya ini bangkit karena dia sendiriprm mulai menaruh curiga kepada Ceng Liong, suatu hal yang benar-benar menyakitkan hatinya.
“Sudahlah, tidak perlu dalam keadaan seperti ini kita ribut dan bertengkar sendiri,” kata Panglima Ram Rohan. “Lebih baik mari cepat membantuku mengatur pasukan untuk menerjang keluar dan mencoba untuk melanjutkan siasat kita, menghantam pasukan kerajaan untuk membikin kacau dari dalam.”
Karena keadaan sudah mendesak, mereka semua tidakberbantahan lagi dan merekapun memimpin pasukan menyerbu keluar. Terjadilah pertempuran yang berat sebelah karena pasukan di bawah pimpinan Panglima Ram Rohan itu hanya melawan setengah hati saja setelah melihat bahwa mereka terkepung, apalagi mendengar bahwa yang memimpin pasukan musuh adalah Pangeran Wan Tek Hoat yang mereka takuti. Memang terjadi pertempuran sengit antara pasukan pernerintah dengan pasukan pilihan yang memang sudah dipersiapkan oleh Panglima Ram Rohan dan perwira Brahmani selama ini, pasukan yang memang sudah bertekad untuk memberontak. Akan tetapi setelah berkelahi setengah malam, pada saat matahari mulai mengusir kegelapan malam, pasukan inti inipun sudah sebagian besar roboh dan pasukan lainnya menjadi semakin jerih. Ada yang melarikan diri, banyak pula yang melempar senjata menyerah. Hanya di sana-sini, di sekitar markas itu masih terjadi perkelahian, di antara para perwira kerajaan yang mengepung Hek-i Mo-ong yang mengamuk. Tidak ada seorangpun yang kuat menghadapi Raja Iblis ini yang sudah mengamuk dan merobohkan banyak sekali perajurit dan perwira Bhutan. Kini, iblis ini memperlihatkan diri yang sebenarnya. Dengan tangan kanan memegang sebatang tombak Long-ge-pang dan tangan kiri memegang kipas merahnya, sepak terjangnya menggiriskan sekali sehingga tidak ada perajurit Bhutan berani mendekatinya lagi. Padahal, Panglima Ram Rohan dan perwira Brahmani sudah sejak tadi tertawan dan luka-luka oleh pengeroyokan para perwira Bhutan. Ketika Wan Tek Hoat mendengar laporan bahwa Phang-sinshe mengamuk hebat dan tidak ada orang berani mendekatinya, dia sendiri lalu mendatangi tempat itu diikuti oleh isterinya dan terkejutlah pendekar ini ketika menyaksikan kehebatan sepak terjang iblis itu. Melihat sepasang senjata itu, teringatlah Tek Hoat akan tokoh besar kaum sesat Hek-i Mo-ong dan sadarlah dia bahwa Phang-sinshe yang lemah lembut itu ternyata adalah penyamaran seorang tokoh besar kaum sesat yang amat keji dan terkenal, yaitu Hek-i Mo-ong!
“Hek-i Mo-ong, kiranya engkaukah ini?” bentaknya sambil meloncat dekat, diikuti oleh Puteri Syanti Dewi yang kini bersenjatakan sebatang pedang.Hek-i Mo-ong tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha! Si Jari Maut, katakanlah bahwa usahaku di Bhutan gagal, akan tetapi jangan harap akan dapat merobohkan aku dengan mudah!”
Marahlah Tek Hoat. Sudah lama pedang Cui-beng-kiam tidak pernah dipergunakannya dalam perkelahian. Pedang Cui-beng-kiam (Pencabut Nyawa) yang kini dilolos dari sarungnya mengeluarkan hawa yang menyeramkan dan sinarnya membuat orang banyak terpaksa melangkah mundur dengan gentar. Pedang ini merupakan pedang peninggalan Cui-beng Koai-ong, Raja Iblis dari Pulau Neraka yang diwarisi oleh Tek Hoat.
“Hek-i Mo-ong, engkau berani mengacau Bhutan, berarti engkau sudah bosan hidup!” sambil mengeluarkan lengkingan panjang yang menyeramkan Tek Hoat menyerang dengan pedangnya. Pedang Cui-beng-kiam menyambar dahsyat dan nampak sinar berkilauan ketika pedang itu menyambar dengan amat cepat dan kuatnya.
“Cring! Cring! Tranggg....!”
Bunga api berpijar menyilaukan mata dan kedua pihak cepat memeriksa senjata mereka masing-masing. Ketika pedang Cui-beng-kiam bertemu dengan tombak Long-ge-pang, Tek Hoat merasa betapa lengan kanannya tergetar hebat, akan tetapi pedangnya tidak rusak dan scbaliknya, ketika Hek-i Mo-ong momeriksa tombaknya, ujungnya patah dan dia menjadi marah sekali. Kakek iblis ini maklum bahwa dalam hal tenaga sin-kang, dia masih menang sedikit, akan tetapi senjatanya tidak akan mampu menandingi pedang pusaka itu, maka kini sambil mengeluarkan bentakan hebat diapun menerjang dengan dahsyat, menggerakkan tombaknya dan juga kipasnya. Kipas itu mengeluarkan angin dingin, akan tetapi ketika menyambar dekat, berobah menjadi totokan berbahaya yang dilakukan oleh ujung kipas yang runcing. Tek Hoat cepat mengelak, mengenal serangan yang amat berbahaya itu. Pedangnya juga membalas dengan bacokan yang dapat dielakkan oleh lawan. Saling serang terjadi dan ketika pedang Cui-beng-kiam kembali berkelebat, tiba-tiba pedang itu tertahan oleh tombak yang menggunakan tenaga menempel dari samping, tidak berani beradu tajam. Tek Hoat terkejut ketika merasa betapa kuatnya tenaga sedot yang keluar dari senjata lawan, membuat pedangnya seperti menempel pada besi sembrani. Selagi dia mengerahkan tenaga untuk membetot dan menarik kembali pedangnya, tiba-tiba terdengar suara mencicit dan dari mulut kakek itu tersembur uap panas seperti api! Itulah Ilmu Tok-hwe-ji (Hawa Api Beracun), ilmu baru yang sedang dilatih oleh kakek iblis itu. Bukan main hebatnya serangan ini. Wan Tek Hoat terpaksa menarik kembali pedangnya dan melempar tubuh ke belakang, lalu menggulingkan tubuhnya menjauh karena dia maklum betapa hebatnya uap yang amat panas itu.
Melihat suaminya didesak, Syanti Dewi mengeluarkan suara melengking nyaring dan tuhuhnya mencelat ke depan. Tahu-tahu pedangnya menusuk ke arah leher Hek-i Mo-ong dari samping. Kakek itu terkejut sekali, tidak pernah mengira bahwa puteri itu dapat bergerak secepat itu, bahkan harus diakuinya bahwa dia sendiri tidak akan mampu menandingi kecepatan yang seperti terbang saja itu! Sukarlah mengikuti gerakan puteri itu dengan pandang matanya, maka diapun hanya mengandalkan ketajaman telinganya saja, menggerakkan gagang tombak Long-ge-pang untuk menangkis sambil miringkan leher karena tusukan itu benar-benar amat cepat.
“Tranggg....!” Tubuh Syanti Dewi terlempar dan hanya dengan ilmu gin-kangnya yang hebat puteri ini dapat menghindarkan diri tidak sampai terbanting, yakni dengan berjungkir balik membuat poksai (salto) sampai tiga kali. Puteri itu terkejut, dan Hek-i Mo-ong merasa lega. Biarpun sang puteri itumemiliki gin-kang yang luar biasa hebatnya, namun dalam hal tenaga sin-kang, tidaklah sekuat Si Jari Maut, sehingga tidaklah terlalu membahayakan baginya.
Akan tetapi, pada saat itu perlawanan pasukan pemberontak telah hancur sama sekali dan tinggal Hek-i Mo-ong seorang yang melakukan perlawanan. Tentu saja para tokoh Bhutan kini berdatangan membantu Tek Hoat, juga pasukan pilihan Bhutan mengepung kakek itu dengan busur terpentang. Bagaimanapun juga, Hek-i Mo-ong takkan dapat meloloskan diri dari tempat itu, kecuali kalau dia pandai melenyapkan diri atau terbang seperti burung. Kakek itupin maklum akan hal ini. Akan tetapi dia adalah seorang datuk kaum sesat, maka diapun tidak mengenal takut. Hanya dia sudah putus asa untuk dapat keluar dari tempat itu dalam keadaan hidup, maka diapun mengamuk dengan senjatanya, menghadapi pengeroyokan banyak orang.
Diam-diam Tek Hoat kagum bukan main. Memang, lawannya ini adalah seorang datuk sesat yang jahat seperti iblis. Akan tetapi harus diakuinya bahwa jarang dia bertemu dengan orang yang memiliki ilmu kepandaian sedemikian hebatnya, juga memiliki kegigihan yang luar biasa. Kalau orang dengan watak dan kepandaian seperti ini disertai pula kesetiaan dan kejujuran, tentu akan dapat menjadi tulang punggung sebuah negara yang boleh diandalkan.
Bagaimanapun juga, Hek-i Mo-ong yang sakti itupun hanyalah seorang manusia, sudah tua pula, usianya sudah tujuh puluh lima tahun, maka daya tahannya tentu saja sudah banyak menurun walaupun kepandaiannya semakin matang. Dan dia dikeroyok oleh banyak sekali orang. Terutama sekali desakan-desakan Tek Hoat dan kecepatan Syanti Dewi membuatnya lelah dan gerakan-gerakannya menjadi semakin lemah.
Akan tetapi, hal ini bukan membuatnya gentar, bahkan sebaliknya dia menjadi penasaran dan marah. “Haiiiiiitttt!” Teriakannya disusul gerengan seperti seekor harimau terluka dan tubuhnya membalik, tombak Long-ge-pang dan kipas merahnya bergerak cepat. Terdengar jeritan mengerikan dan dua orang perwira Bhutan roboh tewas seketika. Akan tetapi pada detik itu juga, pedang Cui-beng-kiam di tangan Tek Hoat menyambar dan nyaris membabat putus leher kakek itu kalau saja dia tidak cepat melempar tubuh ke belakang dan bergulingan sambil membabatkan tombaknya ke seputar dirinya, membuat para pengeroyok terpaksa mundur. Ketika meloncat bangun lagi, kakek itu mengusap pundaknya yang berdarah. Kiranya pedang Cui-beng-kiam masih sempat menyerempet pundaknya, membabat baju dan sebagian kulit dan daging pundaknya ikut terkupas! Marahlah kakek itu, akan tetapi diam-diam diapun maklum bahwa saat akhirnya sudah dekat. Kedua tangannya sudah mulai gemetar dan napasnya sudah mulai memburu, apalagi pundak yang terkena pedang Cui-beng-kiam itu terasa panas dan perih, tanda bahwa racun pada pedang itu amatlah ampuhnya.
Melihat ini, Tek Hoat yang merasa kagum itu membentak, “Hek-i Mo-ong, apakah engkau masih belum mau menyerah?”
Tiba-tiba kakek itu tertawa. “Ha-ha-ha! Sekiranya Giam-lo-ong (Malaikat Maut) sendiri datang, akan kulawan dan aku tidak sudi menyerah, apalagi menghadapi kalian!”
“Siapkan anak panah!” Tek Hoat memberi aba-aba dan sepasukan pemanah yang sudah siap dengan anak panah di busur kini menujukan ujung anak panah ke arah tubuh Hek-i Mo-ong! Akan tetapi, sebelum Tek Hoat mengeluarkan aba-aba terakhir untuk menghujankan anak panah dari jarak dekat kepada kakek itu tiba-tiba terdengar bentakan suara nyaring.
“Tahan! Jangan bunuh dia!”
Semua orang terkejut. Tek Hoat menoleh dan melihat betapa Ceng Liong datang sambil memegang lengan kiri Hong Bwee, wajahnya berobah pucat dan diapun cepat sekali membentak, “Tahan semua senjata!”
Syanti Dewi juga melihat bahwa puterinya telah dipegang oleh Ceng Liong dan tahu apa artinya. Ia menjadi marah dan hendak bergerak meloncat untuk menyelamatkan puterinya, akan tetapi lengannya dipegang oleh suaminya yang berbisik agar ia tenang.
“Ceng Liong, apa maksudmu mencegah kami membunuh pengkhianat?” Tek Hoat bertanya dengan suara lantang dan dia mencari kesempatan bagaimana untuk dapat menolong puterinya. Akan tetapi, puterinya berdiri mepet dengan Ceng Liong dan tangan anak laki-laki itu sudah siap untuk mengirim serangan maut, hal ini diketahuinya dari cara anak itu memegang tangannya. Yang amat mengherankan hatinya adalah melihat betapa wajah puterinya itu cerah saja, bahkan agak tersenyum seolah-olah tidak sedang dalam ancaman maut.
“Tidak mungkin....!” Tek Hoat berseru marah.
“Kutukar nyawa guruku dengan nyawa Puteri Gangga Dewi!” Ceng Liong berkata lagi, suaranya lantang, sedikitpun dia tidak kelihatan gentar, matanya penuh kewaspadaan mengerling ke kanan kiri dan kepalanya kadang-kadang menoleh ke belakang, agaknya dia sudah mempersiapkan diri kalau-kalau dibokong dari belakang atau samping.
Mendengar ini, Syanti Dewi memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. “Jangan ganggu anakku!”
“Aku tidak akan mengganggunya, selembar rambutnyapun tidak, asal guruku dibebaskan dan kami berdua dibiarkan pergi meninggalkan tempat ini dengan aman,” jawab Ceng Liong tenang.
Tek Hoat saling bertukar pandang dengan isterinya. Mereka berdua merasa bingung sekali melihat sikap Ceng Liong. Bukankah anak itu yang mengkhianati gurunya dan yang melaporkan akan semua pengkhianatan dan rencana pemberontakan sehingga pemberontakan itu dapat digagalkan? Bukankah Ceng Liong pula yang telah menyelamatkan Hong Bwee, membebaskannya dari tahanan pihak musuh? Kenapa sekarang Ceng Liong berbalik menolong gurunya dan menjadikan Hong Bwee sebagai sandera?
“Ceng Liong, apa artinya ini? Engkau adalah seorang anak yang amat baik dan berbudi, mengapa engkau hendak membela gurumu yang jahat ini? Tidak tahukah engkau bahwa gurumu ini sama sekali bukanlah seorang ahli pengobatan, melainkan seorang datuk kaum sesat yang tersohor dan berjuluk Hek-i Mo-ong? Dosanya terhadap Bhutan sudah bertumpuk, dan engkau masih ada muka untuk berusaha menyelamatkannya dengan mengancam puteri kami?”
“Aku berhutang budi kepadanya dan aku adalah muridnya. Budi adalah budi yang harus dibalas karena aku tidak mau menjadi manusia yang tidak mengenal budi. Aku berhutang nyawa kepadanya, maka aku akan membalas budinya, tidak perduli dia jahat ataukah tidak. Andaikata dia jahat, kalau dia sudah melepas budi kebaikan kepadaku, apakah harus kubalas dengan kejahatan? Aku menentang perbuatannya, bahkan orangnya. Dan aku berguru ilmu kepadanya, bukan berguru kejahatan.”
Jawaban yang keluar dari mulut seorang anak kecil seperti itu mengejutkan hati Tek Hoat dan dia menduga bahwa anak ini pasti bukan anak sembarangan. Akan tetapi, hatinya tetap saja masih merasa tidak rela untuk membebaskan Hek-i Mo-ong begitu saja. Bukankah kakek iblis ini sudah menimbulkan bencana hebat yang mengorbankan nyawa banyak perajurit Bhutan? Dan bukankah kakek ini tetap akan merupakan bahaya besar kalau dibiarkan berkeliaran di kolong langit dan menimbulkan bencana-bencana baru di antara manusia?
“Ceng Liong, aku tidak percaya bahwa kalau kami membunuh Hek-i Mo-ong, engkau akan tega mencelakai Hong Bwee. Hatimu terlalu baik untuk melakukan kejahatan keji itu!” katanya untuk mencoba hati anak itu dan menundukkannya.
Akan tetapi, terkejutlah dia ketika melihat sepasang mata anak itu mencorong seperti mata seekor naga. “Ucapan seorang laki-laki tidak akan ditarik mundur kembali! Apapun yang akan terjadi, aku harus menyelamatkan guruku. Sekali lagi, aku minta agar nyawa guruku ditukar dengan nyawa Puteri Gangga Dewi!”
“Ceng Liong, engkau akan ditentang oleh pendapat banyak orang, engkau akan dikutuk!” Tek Hoat masih membantah.
“Aku tidak menyandarkan hidupku pada pendapat atau kutukan orang. Orang boleh membenarkan atau menyalahkan aku, akan tetapi semua tindakanku adalah urusanku sendiri, semua akibatnya adalah urusanku sendiri, orang lain tidak turut campur!”
Kembali jawaban ini mengejutkan hati Tek Hoat. Syanti Dewi yang sejak tadi memandang khawatir, tiba-tiba saja berkata dengan suara tinggi nyaring, “Bebaskan Hek-i Mo-ong! Aku menukar nyawanya dengan nyawa anakku!”
Wajah Ceng Liong yang tadinya tegang dan serius itu, kini menjadi cerah dan dia tersenyum lalu menjura ke arah Syanti Dewi. “Aku percaya bahwa ucapan seorang puteri seperti paduka akan ditaati oleh seluruh rakyat Bhutan. Aku minta agar paduka suka menjanjikan kepada kami berdua guru dan murid untuk dapat meninggalkan Bhutan dengan aman.”
Syanti Dewi mengangguk dan berkata lagi dengan lantang, “Biarkan Hek-i Mo-ong dan muridnya pergi meninggalkan Bhutan dengan aman. Siapapun juga dilarang untuk mengganggu atau menghalangi kepergian mereka!”
Ceng Liong melepaskan tangannya dari lengan Hong Bwee, lalu tersenyum kepada anak itu. “Adik yang baik, terima kasih atas bantuanmu yang amat berharga.”
Kini anak perempuan itu yang memegang lengan Ceng Liong dan suaranya terdengar sedih,
“Ceng Liong, benarkah engkau mau pergi meninggalkan Bhutan? Meninggalkan aku?”
Ceng Liong mengangguk. “Engkau melihat sendiri bahwa aku terpaksa pergi. Kelak kita akan dapat bertemu lagi.”
“Benarkah? Engkau takkan lupa kepadaku? Engkau kelak akan mengunjungiku?”
Ceng Liong mengangguk. Syanti Dewi sekali lompat telah berada di dekat anaknya yang segera dipeluknya dan ia memandang kepada Ceng Liong dengan alis berkerut lalu berkata agak ketus, “Pergilah cepat!”
Ceng Liong lalu menghampiri gurunya, sejenak mereka berdiri berhadapan, saling pandang dan Ceng Liong lalu berkata, “Mo-ong, mari kita pergi.”
Tiba-tiba Hek-i Mo-ong mengeluarkan suara menggeram dan menubruk Ceng Liong. Semua orang terkejut dan khawatir sekali, mengira bahwa kakek iblis itu akan membunuh murid yang telah mengkhianatinya itu. Akan tetapi Ceng Liong tenang-tenang saja dan ternyata kakek itu malah memondongnya, mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepalanya sambil tertawa bergelak! Suara ketawanya menyeramkan hati semua orang, seperti ketawa setan yang menakutkan.
“Ha-ha-ha-ha-ha! Sungguh aneh! Sebentar engkau jadi musuhku, kemudian tiba-tiba menjadi penolongku. Sebentar aku ingin membunuhmu, di lain saat aku ingin memondong dan merangkulmu! Ha-ha-ha, engkau anak luar biasa, engkau tepat menjadi muridku. Ha-ha-ha-ha!” Dan kakek itu lalu pergi sambil memondong Ceng Liong, menyeret tombak Long-ge-pang sambil tertawa-tawa. Tidak seorangpun berani menghalanginya, pertama karena Sang Puteri Syanti Dewi telah mengeluarkan perintahnya dan kedua kalinya karena memang mereka semua gentar menghadapi kakek iblis yang amat sakti itu.
Tek Hoat menggeleng kepalanya, kagum sekali. Seorang kakek yang amat hebat, pikirnya, dan muridnya itu lebih hebat lagi. Peristiwa pemberontakan di Bhutan itu mengguncangkan sendi pertahanan negara kecil itu, maka Bhutanpun tidak mau banyak ribut ketika bala tentara Nepal menyerbu ke Tibet melalui perbatasan antara kedua negara. Asal Nepal tidak melanggar wilayah Bhutan, negara kecil ini lebih baik tinggal diam karena maklum bahwa kekuatan mereka tidak akan mampu menandingi Nepal yang jauh lebih besar.
Himalaya merupakan pegunungan yang bukan saja paling besar di dunia, mempunyai puncak-puncak yang paling tinggi di dunia sehingga memperoleh sebutan Atap Dunia, akan tetapi juga sejak jaman dahulu terkenal sebagai tempat keramat dan di sanalah banyak pendeta dan pertapa tinggal mengasingkan diri dari dunia ramai.
Karena tempatnya sunyi terasing, maka bukan hanya mereka yang mencari sesuatu yang lebih luhur daripada hal-hal duniawi yang membanjiri Pegunungan Himalaya, akan tetapi juga para buronan penting banyak yang mengasingkan diri ke tempat ini, karena di tempat yang amat luas dan sukar didatangi manusia ini mereka dapat bersembunyi tanpa khawatir akan dapat ditemukan orang.
Banyak pula orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi tinggal di situ, dan ada pula yang tinggal karena memang dapat menikmati keheningan yang luar biasa itu. Akan tetapi sebagian besar dari mereka itu, biarpun dipandang suci dan luhur oleh orang-orang awam, sebagai pertapa-pertapa dan pendeta-pendeta, sesungguhnya mereka itu hanyalah orang-orang yang masih mencari sesuatu, orang yang masih didorong oleh keingginannya memperoleh sesuatu. Pada lahirnya mereka mengatakan, juga kepada diri sendiri, bahwa mereka mengasingkan diri dari dunia ramai, bertapa dan bersepi di tempat sunyi, menyendiri, nampaknya secara lahiriah seperti menjauhi urusan duniawi. Akan tetapi, kalau mereka mau menjenguk ke dalam, mengamati batin sendiri, akan nampaklah dengan jelas bahwa kepergian mereka bertapa ke tempat sunyi itu tiada lain hanya merupakan suatu pelarian dan suatu usaha untuk mencari sesuatu yang mereka nilai lebih tinggi daripada hal-hal biasa, sesuatu yang mereka harapkan akan dapat mendatangkan bahagia kepada mereka! Batin yang mengejar-ngejar sesuatu yang menyenangkan, biarpun yang menyenangkan itu sudah disulap menjadi sesuatu yang suci murni dan membahagiakan, berarti bahwa batin itu masih sibuk. Maka, kalau batin sibuk mengejar-ngejar, biarpun kita tinggal di tempat hening, mana mungkin dapat menyelami keheningan sejati? Untuk dapat menikmati dan menyelami keheningan, maka batin haruslah hening lebih dulu, dalam arti kata batin yang bebas daripada segala keinginan memperoleh apapun juga.
Seorang pertapa boleh mengatakan dengan tegas bahwa dia tidak mencari apa-apa. Akan tetapi, menolak atau menjauhi sesuatu itu sama artinya dengan mencari sesuatu, kecuali kalau kita benar-benar melihatnya bahwa yang kita jauhi itu adalah tidak baik bagi kita lahir maupun batin. Dan bentuk pencarian, betapapnn agungnya yang dicari-cari itu, berarti suatu pengejaran, suatu keinginan, suatu cita-cita. Dan di mana ada cita-cita, tentu timbul dalil bahwa cita-cita menghalalkan segala cara. Dan dalam cara inilah letak persoalannya, karena cara inilah yang menentukan bersih dan kotornya. Bukan cita-cita yang hanya merupakan khayal dan keinginan yang belum tercapai saja. Yang penting bukan cita-citanya, melainkan caranya itulah. Dan cara-cara yang curang dan kotor timbul dengan ditutupi pakaian berupa alasan untuk atau demi cita-cita!
Seorang yang bercita-cita menjadi raja, tentu akan mempergunakan segala macam cara untuk melaksanakan cita-citanya agar terkabul. Kalau perlu, dia akan menyingkirkan semua rintangan dan saingannya, baik dengan cara jujur atau curang, bisa saja dia mencelakakan atau membunuh saingan-saingan yang menjadi penghalang cita-citanya, berjuang mati-matian demi mencapai cita-citanya itu. Hal ini bukan dongeng kosong belaka melainkan dapat kita lihat seridiri di seluruh penjuru dunia dan di negara manapun juga. Sebaliknya, walaupun tanpa cita-cita menjadi raja, seorang yang benar-benar cakap dan berbakat dan tepat untuk kedudukan itu, bisa saja dipilih atau diangkat menjadi raja!
Seorang yang bercita-cita menjadi orang baik, akan berusaha sedapatnya untuk melakukan “hal-hal baik” yang sesuai dengan penilaian umum, dan berbuatlah dia hal-hal yang sebenarnya palsu, mungkin berlawanan dengan hati nuraninya, hanya untuk memenuhi cita-citanya agar menjadi orang baik! Kebaikan yang dilakukan adalah kebaikan palsu dan amat berbahaya bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Kemunafikan adalah ibarat harimau bertopeng domba, dan ini lebih berbahaya daripada harimau dengan mukanya sendiri sehingga kita dapat menghindar atau berjaga diri. Orang yang hidupnya disinari cahaya cinta kasih, berbuat tanpa pamrih, wajar dan apa adanya, tidak menilai perbuatannya sebagai baik atau buruk. Perbuatan apapun di dunia ini yang didasari cinta kasih, sudah jelas baik adanya!
Hek-i Mo-ong keluar dari Bhutan dan langsung saja memasuki daerah Himalaya untuk melaksanakan tugasnya yang ke dua, yaitu memecah-belah para penghuni atau para pendeta di sekitar Himalaya. Hek-i Mo-ong yang pernah menjadi pertapa di Himalaya ketika dia sedang mematangkan ilmu-ilmunya, mempunyai banyak kenalan dan sahabat baik di daerah ini. Dia mengunjungi mereka satu demi satu, bicara soal ilmu dan secara sambil lalu mulailah dia menghasut dan mengadu domba antara pertapa yang dikenalnya, memanaskan hati mereka dengan membanding-bandingkan ilmu mereka, mencela yang satu memuji yang lain.
Ceng Liong merasa girang dan suka sekali dengan perjalanan ke Himalaya ini. Dia bertemu dengan bermacam orang yang lihai-lihai, dan para pertapa itu hampir semua suka kepadanya, melihatnya sebagai seorang anak yang amat berbakat dan mereka tidak pelit untuk memberi petunjuk-petunjuk kepada Ceng Liong. Anak ini memang cerdik sekali. Dia tahu bahwa tidak mungkin untuk memetik hasil dari pertemuan dengan orang-orang sakti itu kalau hanya dalam waktu beberapa hari, maka diapun mencatat dan menghafal semua ilmu atau petunjuk yang diterimanya dari mereka dengan keputusan untuk kelak perlahan-lahan semua teori itu dilatih dan dipraktekkan.
Ceng Liong bukan hanya menerima banyak petunjuk dan menambah pengalamannya dalam hal ilmu silat, akan tetapi dia juga mulai berkenalan dengan orang-orang ahli ilmu gaib dan mistik. Dia belajar pula tentang meditasi dan yoga dari seorang pertapa berbangsa India. Dia tidak memperdulikan apa yang dikerjakan oleh gurunya, tidak mau mencampurinya, melainkan tekun belajar dari para pertapa yang sakti.
Hek-i Mo-ong adalah seorang tokoh besar yang dipercaya oleh sebagian besar para pendeta dan pertapa. Oleh karena itu, tidak aneh kalau hasutan-hasutannya menemui sasaran dan berhasil baik. Terjadilah ketegangan-ketegangan dan kesalahpahaman antara para tokoh sakti di pegunungan itu dan walaupun mereka itu belum sampai saling serang secara terbuka, namun setidaknya mereka telah saling tidak percaya dan kehilangan persatuan sehingga ketika bala tentara Nepal melintasi pegunungan itu untuk menyerbu ke Tibet, merekapun diam saja dan tidak memperdulikannya.
Berkat usaha Hek-i Mo-ong yang sementara itu telah mengajak muridnya kembali ke timur, akhirnya pasukan-pasukan Nepal dapat menyerbu Tibet dan menduduki Tibet. Penguasa Tibet dibunuh dan sebagai penggantinya, diangkatlah seorang pendeta Lama yang menjadi boneka Nepal.
Kaisar Kian Liong mendengar akan peristiwa penyerbuan dan penaklukan Tibet oleh pasukan Nepal. Marahlah kaisar. Tibet menupakan daerah yang biarpun tidak dijajah, namun merupakan daerah yang telah mengakui kedaulatan Dinasti Ceng. Penyerbuan Tibet oleh pasukan Nepal yang malah mendudukinya itu berarti merupakan tamparan bagi muka kerajaannya dan sebagai tantangan. Maka kaisar lalu memanggil Jenderal Muda Kao Cin Liong tmtuk menghadap. Setelah kaisar yang juga memanggil para panglima lain mengadakan perundingan, diperintahkannya agar Jenderal Muda Kao Cin Liong membawa pasukan besar membebaskan Tibet dari cengkeraman pasukan Nepal dan juga agar memberi hajaran kepada Kerajaan Nepal yang sudah berani melakukan penghinaan terhadap Kerajaan Ceng.
Berangkatlah bala tentara yang besar dari Kerajaan Ceng dan terjadilah perang besar antara bala tentara Kerajaan Ceng melawan pasukan-pasukan Nepal untuk memperebutkan Tibet. Perang memperebutkan Tibet ini merupakan adu kekuatan antara dua negara yang sudah lama saling bermusuhan ini dan yang celaka adalah rakyat Tibet di mana perang itu terjadi. Jika sebuah dusun diduduki tentara Nepal, rakyat dusun itu dipaksa untuk membantu pasukan Nepal dan karenanya mereka dicap sebagai kaki tangan Nepal. Kalau tentara Nepal mundur dan dusun itu jatuh ke tangan tentara Ceng, tentu seisi dusun yang dianggap kaki tangan Nepal itu akan dihancurkan! Dan demikian sebaliknya. Bangsa Tibet tidak dapat memilih, karena mereka adalah bangsa yang lemah dan tidak pandai perang. Mereka harus mengorbankan harta bendanya, bahan makanan, anak-anak perempuan dan isteri-isteri yang masih muda. Mereka ditindas, diperas, dihina tanpa ada yang dapat melindungi mereka. Hanya doa mereka saja yang semakin banyak dan semakin kuat dilontarkan kepada para dewa yang agaknya tidak juga mau mendengarkan dan memenuhi permintaan dalam doa-doa mereka.
Perang antara Kerajaan Nepal dan Kerajaan Ceng ini terjadi dengan hebat dan banyak korban jatuh di kedua pihak. Jenderal Muda Cin Liong dibantu oleh para panglima harus mengerahkan tenaga karena pihak musuh bukanlah pasukan lemah, melainkan pasukan terlatih yang sudah berhasil melintasi Pegunungan Himalaya yang demikian sukarnya. Akan tetapi, akhirnya bala tentara Nepal yang terhalang Pegunungan Himalaya dengan kerajaannya sehingga sukar menerima bala bantuan itu, terpaksa mundur. Kao Cin Liong pernah terluka dalam perang besar ini, akan tetapi setelah berobat dan sembuh, dia memimpin lagi pasukannya melakukan pengejaran, bahkan terus menyerbu masuk ke dalam Negara Nepal!
Perang itu dilanjutkan sampai ke Nepal, berlarut-larut sampai makan waktu kurang lebih dua tahun lamanya! Dan perang, seperti terbukti dalam sejarah semenjak jaman dahulu sampai sekarang, merupakan malapetaka paling mengerikan bagi umat manusia. Harta benda musnah, banyak nyawa melayang dengan sia-sia, kekejaman-kekejaman yang mengerikan terjadi di mana-mana, setiap negara mengorbankan nyawa bangsanya yang tidak sedikit jumlahnya. Dan semua itu hanya untuk mencapai apa yang disebut kemenangan! Kemenangan yang sementara saja, karena sementara itu yang kalah selalu mencari kesempatan untuk bangkit kembali, untuk membalas dendam. Rakyat menjadi permainan beberapa gelintir orang yang dinamakan pemimpin, dan di lain pihak, beberapa gelintir pemimpin inipun menjadi permainan dari nafsu keinginan mereka masing-masing, menjadi korban permainan ambisi.
***
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Suma Hui dan marilah kita mengikuti perjalanannya. Dengan hati yang dihimpit kedukaan, kekecewaan dan kemarahan gadis ini minggat dari rumahnya, meninggalkan sepucak surat untuk orang tuanya, mengatakan bahwa ia pergi hendak mencari dan membunuh Cin Liong. Hatinya dihimpit kedukaan dan kekecewaan mengingat akan perbuatan Cin Liong terhadap dirinya dan pernyataannya dalam surat bahwa ia hendak mencari dan membunuh Cin Liong tidak dilebih-lebihkan, karena memang pada saat itu satu-satunya keinginan hatinya adalah bertemu dengan Cin Liong, menantangnya dalam perkelahian yang akan berakhir dengan kematian Cin Liong atau kematian dirinya sendiri. Dan ia marah kepada ayahnya yang memaksanya berjodoh dengan Tek Ciang. Mengapa ayahnya tidak mau tahu bahwa ia tidak cinta kepada suhengnya itu dan tidak mungkin menjadi isterinya? Ia sudah memberi alasan dan mengajukan syarat agar Tek Ciang dapat mengalahkannya, akan tetapi ayahnya malah membantu Tek Ciang dengan menjanjikan untuk mewariskan semua ilmunya kepada pemuda itu agar dapat mengalahkannya. Ia sungguh marah dengan keputusan ayahnya itu!
Tentu saja tempat yang ditujunya untuk mencari Cin Liong adalah kota raja. Semua orang tahu siapa Jenderal Muda Kao Cin Liong dan di mana letak istananya. Akan tetapi, alangkah kecewa hatinya ketika mendengar bahwa jenderal muda itu telah pergi ke barat memimpin pasukan untuk memerangi pasukan Nepal yang telah menguasai Tibet. Dengan nekat, gadis yang hidupnya menjadi pahit getir oleh rasa dendam ini menyusul ke barat, ke Tibet! Dapat dibayangkan betapa sudah payahnya perjalanan yang amat jauh itu. Apalagi dengan adanya perang di Tibet, keadaan di tengah perjalanan menjadi tidak aman. Orang-orang jahat yang suka mengail di air keruh mempergunakan kesempatan itu untuk beraksi. Banyak perampok bermunculan di jalan-jalan.
Suma Hui adalah seorang pendekar wanita yang sama sekali tidak gentar menghadapi semua gangguan di perjalanan. Akan tetapi, karena setiap kali bertemu penjahat ia tentu turun tangan dan membasminya, baru puas kalau ia sudah berhasil, maka perjalanannya menjadi makin lambat. Setelah melakukan perjalanan berbulan-bulan, barulah ia tiba di perbatasan Tibet.
Akan tetapi, betapa kecewa rasa hatinya ketika ia mendengar bahwa perang di daerah itu telah selesai dan kini pasukan pemerintah Ceng melakukan pengejaran terhadap pasukan musuh ke Negara Nepal! Biarpun Suma Hui seorang gadis yang keras hati dan tabah, bahkan selama perjalanan berbulan-bulan itu ia tidak pernah mau menyerah dengan keadaan yang sukar dan tetap tabah, sekali ini tidak dapat menahan air matanya karena kecewa. Ia meninggalkan perbatasan itu, kembali ke timur dan ketika ia berhenti di luar sebuah dusun yang sunyi, ia duduk di atas batu dan menangis.
Ia tidak dapat menghentikan kenangannya akan masa lalu, mengingat kembali nasib yang menimpa dirinya. Rasanya baru kemarin terjadinya. Mula-mula ia hidup dengan riang gembira bersama Ciang Bun dan Ceng Liong di Pulau Es. Akan tetapi dalam satu hari saja, berobahlah seluruh kehidupannya, dimulai dengan penyerbuan Pulau Es oleh para datuk sesat dan sejak hari itu, bermacam malapetaka menghantuinya. Cintanya dengan Cin Liong terhalang oleh tentangan ayahnya, kemudian yang terakhir sekali peristiwa terkutuk di malam jahanam itu ketika Cin Liong menghancurkan segala-galanya dalam dirinya, lahir batin. Semua itu masih ditambah beban batin lagi ketika ayahnya mendesaknya untuk menikah dengan Tek Ciang.
“Ya Tuhan.... apa yang harus kulakukan....?” Demikian gadis itu menangis dan merintih dalam batinnya. Kemudian timbul lagi semangatnya. Bagaimanapun juga, ia akan menanti sampai Cin Liong kembali dari perang, kemudian mencarinya dan menuntut balas. Kalau ia kalah dan tewas di tangan pemuda itu, hal yang ia merasa yakin pasti terjadi mengingat bahwa pemuda itu jauh lebih lihai daripadanya, maka hal itu baik sekali. Memang Cin Liong sama dengan telah membunuhnya, membunuh semua gairah hidupnya dengan melakukan perbuatan terkutuk memperkosanya itu. Akan tetapi kalau pemuda itu mengalah dan tidak melawan, ia akan membunuhnya! Dan setelah itu, entah apa yang akan dilakukannya! Setidaknya, ia masih mempunyai satu tujuan dalam hidupnya, yaitu menanti dan menemui Cin Liong untuk membalas dendam!
Dengan jalan pikiran ini, hatinya terasa lebih tenang dan tangisnya terhenti. Duka adalah permainan pikiran yang mengenang kembali hal-hal yang telah lalu atau membayangkan hal-hal yang belum terjadi sehingga terciptalah rasa iba diri yang menimbulkan rasa duka. Kenangan masa lalu tentang peristiwa-peristiwa yang merugikan dirinya lahir maupun batin, dan bayangan-bayangan masa depan yang suram dan tidak menyenangkan. Tanpa mengenangkan masa lalu atau membayangkan masa depan, melainkan menghadapi saja kenyataan saat ini dengan penuh kewaspadaan, akan melenyapkan rasa duka. Di dalam pengamatan penuh kewaspadaan akan saat ini, yaitu setiap saat dalam hidup ini, tanpa pamrih untuk menemukan sesuatu, hanya mengamati saja dengan waspada, tanpa prasangka, tanpa penilaian atau perbandingan, berarti kita hidup dalam arti kata yang sesungguhnya! Sesungguhnyalah bahwa hidup adalah saat ini, bukan kemarin dan bukan esok, bukan tadi dan bukan nanti. Ini bukan berarti bahwa setiap saat kita harus bersenang-senang atau mengejar kesenangan! Akan tetapi, apa manfaatnya membenamkan diri ke dalam lembah duka dari kekecewaan?
Setelah hatinya tenang, Suma Hui melanjutkan perjalanannya. Tiada gunanya baginya untuk menanti di daerah Tibet yang baru saja dilanda perang dan rakyatnya masih dalam keadaan panik dan sengsara itu. Ia kembali ke timur dan setelah melakukan perjalanan berbulan lamanya, pada suatu hari tibalah ia di kota Ceng-tu di Propinsi Se-cuan. Di sebelah selatan kota ini terdapat Omei-san, sebuah gunung yang indah dan menjadi tempat pesiar penduduk daerah itu. Karena tertarik, pada suatu pagi yang cerah, Suma Hui juga mendaki Omei-san untuk menikmati pemandangan indah di gunung itu di mana terdapat pohon-pohon yang ratusan tahun usianya dan bunga-bunga yang tidak dapat ditemukan di daerah timur.
Akan tetapi ia datang terlalu pagi agaknya. Tempat itu masih sunyi, belum ada pengunjung lain yang datang. Namun bagi Suma Hui, hal ini malah kebetulan karena orang yang sedang murung biasanya lebih suka menyendiri. Ia bahkan dapat menikmati matahari terbit muncul dari balik puncak tanpa terganggu oleh kehadiran orang lain.
Angin pagi pegunungan amat sejuk dan menyegarkan udara yang bersih itu. Cuaca amat lembut dengan cahaya matahari yang belum muncul sepenuhnya, mengecat segala sesuatu dengan warna keemasan yang cemerlang. Mutiara-mutiara embun bergantung di ujung daun-daun pohon berkilauan amat indahnya, juga ujung rumput-rumput hijau subur dihias mutiara embun sehingga sekilas pandang rumput-rumput itu seperti hiasan dari batu giok hijau yang dirias mutiara. Sinar matahari lembut yang menerobos celah-celah daun pohon menciptakan seberkas cahaya yang mempesonakan, seolah-olah merupakan bukti hubungan yang tak terpisahkan antara bumi dan langit. Apakah artinya bumi tanpa adanya cahaya matahari yang menghidupkannya dan yang membuatnya demikian indahnya? Sebaliknya, apa pula artinya cahaya matahari tanpa adanya bumi yang menampungnya? Kesatuan Im dan Yang ini menciptakan kemujijatan, kebesaran, keagungan, dan keindahan yang amat hebat dan mengharukan. Namun sayang, manusia terlalu disibukkan oleh hal yang remeh-remeh, yang kecil-kecil, yang bersumber kepada kepentingan dan kesenangan diri pribadi sehingga kemujijatan itu tidak pernah dapat dinikmati atau dikaguminya lagi.
Suma Hui duduk di atas batu besar dan pada saat itu, ia menikmati semua keagungan ini. Ia seperti ditelan oleh keheningan yang mempesona. Ia tidak merasa bahwa dirinya terpisah dari semua itu, tidak terpisah dari cahaya matahari, dari rumput-rumput dan mutiara-mutiara embun itu, dari burung-burung yang mulai berloncatan, beterbangan dan berkicau riang. Ia seperti kehilangan dirinya yang sudah dilebur menjadi satu dengan keheningan itu sendiri. Tidak ada duka, tidak ada kecewa, tidak ada sengsara, tidak ada apa-apa lagi. Yang ada hanyalah keheningan yang amat indahnya, bukan indah lagi karena sudah tidak dapat diukur oleh pikiran dan akal budi.
Tiba-tiba telinganya menangkap bentakan-bentakan disusul suara angin pukulan tanda-tanda orang berkelahi. Bagaikan diseret kembali ke dalam dunia kenyataan, Suma Hui menengok ke kiri, ke arah dari mana datangnya suara itu dan melihat seorang pemuda dikeroyok oleh tiga orang. Mereka adalah seorang pemuda dan dua orang gadis. Dari jauh Suma Hui melihat bahwa pemuda yang dikeroyok itu memiliki gerakan yang lebih mantep dan cepat, akan tetapi jelas bahwa pemuda itu mengalah sehingga terdesak hebat oleh tiga orang pengeroyoknya yang kelihatan marah sekali itu. Akan tetapi, Suma Hui terkejut sekali dan tertarik hatinya ketika mengenal gerakan pemuda yang dikeroyok itu. Gerakan ilmu silat keluarga Pulau Es! Cepat tubuhnya melesat dan iapun sudah berlari turun dari lereng itu menghampiri mereka yang sedang berkelahi. Setelah kini dapat melihat jelas, ia menjadi semakin kaget mengenal bahwa pemuda yang dikeroyok itu bukan lain adalah adiknya sendiri, Suma Ciang Bun!
Pada saat itu, Ciang Bun yang selalu mengalah, tidak pernah membalas itu terkena hantaman tangan kanan pemuda yang mengeroyoknya, terkena pukulan pada pundaknya sehingga tubuhnya terjengkang dan roboh. Akan tetapi, biarpun pukulan itu keras sekali, agaknya tidak sampai melukai tubuh Ciang Bun yang terlatih dan dengan sin-kangnya pemuda ini dapat melindungi tubuhnya. Maka diapun sudah dapat bangkit lagi sambil berkata, “Kenapa engkau memukulku....?”
Melihat ini, Suma Hui tidak dapat menahan sabarnya lagi. Adiknya dikeroyok tiga dan jelas bahwa adiknya mengalah. Kalau adiknya balas menyerang, ia merasa yakin bahwa tiga orang itu tidak akan dapat bertahan lama. Maka iapun mengeluarkan suara melengking panjang dan tubuhnya meluncur ke depan, kaki tangannya bergerak cepat bukan main dan ia telah terjun ke dalam gelanggang perkelahian, menyerang tiga orang pengeroyok itu bertubi-tubi. Hebat bukan main serangan Suma Hui ini, terlampau cepat bagi tiga orang lawannya.
“Plak! Plak! Dukk!” Dua orang gadis pengeroyok itu telah kena ditamparnya sedangkan pemuda itu menerima tendangannya. Tubuh mereka terpelanting dan terdengar mereka mengaduh.
Masih untung bagi mereka bahwa Suma Hui tidak menggunakan semua tenaganya. Dara ini memang tidak bermaksud membunuh mereka. Ia belum tahu urusannya maka iapun hanya menyerang untuk menghentikan pengeroyokan mereka saja. Biarpun yang dikeroyok adiknya sendiri, akan tetapi sebelum ia tahu urusannya, ia tidak mau menurunkan tangan maut.
“Enci, jangan....!” Suma Ciang Bun berseru dan pemuda ini sudah memegangi lengan encinya, agaknya merasa khawatir kalau-kalau encinya akan melanjutkan serangannya menghajar tiga orang pengeroyok itu.
Suma Hui memandang adiknya dan merangkulnya. Sudah kurang lebih dua tahun ia tidak berjumpa dengan adiknya dan wajah adiknya yang tampan itu kini nampak kurus.
“Bun-te....!”
“Enci Hui.... aku mencarimu ke mana-mana tanpa hasil....”
“Bun-te apakah yang telah terjadi? Siapakah mereka ini?”
Agaknya Ciang Bun baru teringat akan tiga orang pengeroyoknya dan jawabannya sangguh membuat encinya terheran-heran, “Mereka.... adalah sahabat-sahabatku.”
Tentu saja selain merasa heran, hati dara perkasa itu juga marah sekali. Ia melepaskan rangkulannya dari pundak adiknya dan melangkah maju, menghadapi tiga orang yang kini telah bangkit berdiri itu.
“Hemm, kalian ini manusia-manusia tak tahu malu. Kalian mendengar sendiri betapa adikku menyebut kalian sahabat-sahabat dan tadi jelas bahwa adikku mengalah. Kalau tidak, apa sukarnya bagi adikku untuk merobohkan atau membunuh kalian dalam sepuluh jurus saja?”
Dua orang gadis pengeroyok itu hanya cemberut dan Suma Hui kini melihat bahwa mereka adalah dua orang gadis yang cukup manis. Sedangkan pemuda yang tampan dan usianya antara dua puluh tahun itu menarik napas panjang, memandang Suma Hui dan berkata dengan nada suara sedih, “Kami tahu bahwa dia adalah seorang pendekar yang berkepandaian tinggi, akan tetapi budinya tidak setinggi kepandaiannya sehingga kami melupakan kebodohan sendiri dan terpaksa menentangnya.”
Suma Hui menoleh kepada adiknya. Ia ingin tahu persoalannya, akan tetapi ia lebih senang mendengarnya dari mulut adiknya dari pada mendengarkan keterangan fihak lawan. “Bun-te, apakah yang telah terjadi?”
Pemuda itu menundukkan mukanya dan menggeleng kepala. “Tidak apa-apa, enci Hui, akulah yang bersalah.” Dan diapun tidak mau bicara apa-apa lagi, nampak sungkan dan malu.
Akan tetapi Suma Hui menjadi semakin penasaran. Tidak mungkin adiknya salah. Ia mengenal benar watak adiknya yang halus budi dan tidak mau melakukan hal-hal yang tidak betul. Maka iapun menoleh kepada pemuda tampan tadi dan bertanya, “Coba ceritakan, apa kesalahan adikku maka kalian bertiga secara tak tahu malu mengeroyoknya.” Bagaimanapun juga, suara Suma Hui agak lunak melihat bahwa tiga orang itu sebenarnya mempunyai pedang yang tergantung di punggung masing-masing. Tadi ketika mereka mengeroyok Ciang Bun, mereka hanya menggunakan tangan kosong, hal ini saja membuktikan bahwa biarpun mereka marah-marah kepada Ciang Bun, akan tetapi mereka tidak berniat untuk membunuh.
Pemuda itu lalu bercerita. Akan tetapi bagaimanapun juga jujurnya, tentu saja ceritanya mengandung dasar memenangkan diri sendiri. Oleh karena itu, sebaiknya kalau kita mengikuti sendiri pengalaman Suma Ciang Bun sampai dia bertemu dengan mereka dan mengapa dia sampai dikeroyok oleh tiga orang muda itu.
Seperti kita ketahui, sepeninggal encinya, Ciang Bun merasa tidak betah di rumah dan tak lama kemudian diapun pergi meninggalkan rumahnya untuk mencari encinya. Dia merasa gelisah memikirkan encinya, dan juga dia merasa sakit hati mendengar bahwa ayahnya akan mewariskan semua ilmu keluarga mereka kepada Tek Ciang yang tidak disenanginya.
Akan tetapi, tidaklah mudah mencari jejak seorang gadis seperti Suma Hui yang melakukan perjalanan diam-diam dan cepat pula. Dengan susah payah Ciang Bun mencari encinya, sampai berbulan-bulan tanpa hasil. Bahkan diapun sudah pergi ke kota raja, karena dia menduga bahwa encinya yang pergi mencari Cin Liong tentu menyusul ke kota raja. Akan tetapi, di kota raja dia tidak dapat menemukan encinya. Dia mendengar bahwa Cin Liong juga tidak berada di kota raja karena jenderal muda itu memimpin pasukan untuk mengusir Bangsa Nepal yang menduduki Tibet. Pemuda yang cerdik ini berpendapat bahwa encinya seorang mencari Cin Liong. Kalau jenderal itu kini pergi ke Tibet, encinya yang keras hati itu besar kemungkinannya pergi menyusul ke Tibet pula. Dengan pikiran ini, diapun mengambil keputusan untuk pergi menyusul ke barat, akan tetapi kesempatan itu hendak dipergunakannya untuk menikmati keramaian kota raja.
Tidak mudah bagi Ciang Bun untuk mendapatkan sebuah kamar di rumah-rumah penginapan di kota raja. Pada waktu itu, kota raja dibanjiri pemuda-pemuda dari berbagai penjuru yang datang ke kota raja untuk mengikuti ujian dan mereka ini memenuhi rumah-rumah penginapan. Ujian itu berjalan selama kurang lebih satu bulan karena pengikutnya amat banyak sehingga perlu dilakukan giliran. Dan walau ujian sudah berjalan satu minggu lebih maka kota raja masih penuh dengan para pemuda itu. Di jalan-jalan raya banyak pemuda-pemuda berpakaian sasterawan hilir-mudik sehingga kota raja menjadi semakin ramai.
Karena tidak berhasil mendapatkan kamar di rumah-rumah penginapan yang penuh sesak, terpaksa Ciang Bun lalu mondok di sebuah kuil. Ternyata di sinipun penuh dengan para pemuda pelajar. Mereka terdiri dari para pelajar kurang mampu yang memilih tempat bermalam yang tidak usah bayar atau kalau mengeluarkan uangpun tidak banyak karena biasanya yang menginap di kuil-kuil hanya memberi sekedar sokongan saja kepada kuil itu.
Ketika memasuki ruangan belakang kuil di mana berkumpul belasan orang pemuda pelajar yang datang dari berbagai kota itu, Ciang Bun merasa gembira sekali. Dia merasa kagum kepada mereka yang bersikap lembut dan sopan, wajah-wajah tampan halus yang membayangkan kecerdasan. Dia sendiri merasa seperti seekor burung gagak masuk di antara kelompok burung merpati. Dibandingkan dengan mereka, pengetahuannya tentang sastera amatlah dangkalnya, dan makin terasa olehnya bahwa dia adalah seorang kasar yang sejak kecil lebih banyak belajar ilmu silat yang kasar!
Ketika Ciang Bun memasuki ruangan, para pemuda itu tengah asyik bercakap-cakap tentang sastera dan tentang mata ujian yang diadakan di kota raja. Mereka hanya menengok sebentar kepada Ciang Bun, lalu melanjutkan percakapan mereka. Dia lalu mencari tempat di sudut yang masih kosong, menurunkan buntalan pakaiannya lalu duduk bersandar dinding ruangan itu.
Seorang pemuda jangkung yang tampan mengangkat mukanya dari buku yang dibacanya dan memandang kepada Ciang Bun, wajahnya membayangkan keramahan dan mulutnya tersenyum. Wajah yang tampan dan menarik, pikir Ciang Bun. Seorang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh tahun. Diapun balas tersenyum dan mengangguk.“Maaf,” kata pemuda itu, “Saudara baru datang? Dari kota manakah dan kapan mulai mengikuti ujian?”
Melihat keramahan orang yang mengajukan pertanyaan bertubi itu, Ciang Bun tersenyum. Dia sendiri seorang pemuda yang tidak bisa banyak cakap, termasuk serius dan pendiam walaupun dia dapat pula bersikap ramah.
“Ya, aku baru datang, tempat tinggalku di Thian-cin dan aku tidak mengikuti ujian, melainkan hanya melancong saja ingin melihat-lihat kota raja.”
Pemuda itu menutup bukunya dan menyimpannya dalam buntalan, kemudian menggeser duduknya mendekati Ciang Bun. Matanya bersinar-sinar dan wajahnya berseri ketika dia berkata, “Ah, betapa senangnya engkau! Kalau saja aku bisa sepertimu, bebas dan tidak harus banyak menghafal dan mengikuti ujian yang amat sukar ini!”
Ciang Bun memandang dengan mata terbelalak. “Aih, mengapa demikian? Justeru aku yang merasa kagum dan iri kepada kalian yang memperoleh kesempatan menguji ilmu sastera dan mengikuti ujian kota raja untuk meraih gelar siucai!”
Tiba-tiba pemuda itu tertawa dan wajahnya nampak semakin tampan ketika dia tertawa. “Ha-ha-ha, memang demikianlah kita ini, saudara yang baik! Saling pandang, saling mengiri dan mengira bahwa keadaan orang lebih baik dan menyenangkan daripada keadaan kita. Aku jadi teringat akan dongeng perumpamaan tentang dua ekor burung. Yang terbang bebas merasa iri hati terhadap seekor burung lain yang hidup dalam kurungan dan siang malam di situ tersedia makanan dan minuman tanpa susah payah mencari dan bebas dari gangguan dan ancaman, dianggapnya kehidupan burung dalam kurungan lebih nikmat dan aman daripada kehidupannya di luar kurungan. Sebaliknya, burung dalam kurungan merasa iri melihat betapa burung yang lain itu dapat terbang bebas ke manapun ia suka, tidak seperti dia yang gerakannya terbatas dalam kurungan.”
“Akan tetapi kita bukan burung....”
“Ha-ha, apa bedanya? Engkau yaug bebas ingin seperti aku, sebaliknya aku yang terikat oleh segala macam buku pelajaran dan aturan ujian tentu saja ingin bebas seperti engkau. Sudahlah, keadaan tidak mungkin dapat dirobah semau kita. Saudara yang baik, perkenalkan, aku she Tan bernama Hok Sim. Bolehkah aku mengetahui namamu?”
“Namaku Suma Ciang Bun,” jawab Ciang Bun sederhana, dalam hatinya khawatir kalau-kalau she-nya itu akan memancing banyak pertanyaan. Akan tetapi, Tan Hok Sim adalah seorang pemuda pelajar, bukan seorang kang-ouw maka she yang akan menarik perhatian kalangan kang-ouw ini, baginya tidak terlalu istimewa.
Perkenalan itu sebentar saja membuat mereka menjadi sahabat yang akrab karena Tan Hok Sim pandai bergaul, ramah-tamah dan agaknya suka kepada Ciang Bun. Ketika mereka bicara tentang ujian, Hok Sim lalu mengajak Ciang Bun untuk keluar dari ruangan itu menuju ke pelataran belakang kuil yang sunyi.
“Tidak enak bicara di sana,” kata Tan Hok Sim. “Yang akan kuceritakan kepadamu ini adalah suatu rahasia. Tentu saja sebagian dari mereka ada yang sudah tahu, akan tetapi kalau sampai terdengar orang luar dapat mengakibatkan hal yang tidak enak pula.”
“Rahasia apakah, twako?” tanya Ciang Bun yang menyebut kakak kepada Tan Hok Sim yang tiga empat tahun lebih tua darinya.
“Tentang ujian. Tahukah engkau bahwa ujian itu dikendalikan oleh pembesar yang memperkaya diri secara berlebihan setiap kali diadakan ujian?”
“Tukang korupsi?”
Hok Sim mengangguk. “Betapapun pandainya engkau, tanpa ada uang sogokan yang amat besar, takkan mungkin dapat lulus! Kecuali kalau di kota raja ini engkau mempunyai keluarga yang berpengaruh, karena kedudukannya atau hartanya, jangan harap akan dapat lulus.”
“Eh, mengapa begitu?” tanya Ciang Bun heran dan penasaran. “Kalau yang pandai tidak diluluskan sedangkan yang bodoh asal bisa nyogok diluluskan, itu bukan ujian namanya.”
“Memang bukan kepandaian yang diuji, melainkan isi kantongnya.” Tan Hok Sim menjawab marah.
“Lalu bagaimana dengan engkau, twako?”
“Hemm, aku tidak mempunyai harapan lagi walaupun besok masih akan kulanjutkan mengikuti ujian. Aku yakin akan dapat lulus, walanpun tidak mencapai angka terbaik, kalau saja para penguji tidak hijau matanya oleh uang. Kalau disuruh menyogok, mana aku mampu? Aku belum bekerja, sedangkan ayahku hanyalah seorang guru silat....”
“Ayahmu seorang guru silat!” Ciang Bun berseru kaget dan gembira. “Ah, kalau begitu engkau tentu pandai ilmu silat!”
“Ah, pandai sih tidak. Keluarga kami tinggal di Ceng-tao, jauh di barat dan di daerah kami, ilmu silat amat diperlukan untuk berjaga diri. Ayahku seorang guru silat bayaran dan engkau tahu, berapa hasil seorang guru silat. Karena itu maka ayahku setengah memaksa aku dan adik perempuanku untuk lebih tekun mempelajari bun (sastera) dari pada bu (silat). Engkau sendiri, karena tidak banyak mempelajari bun, tentu mahir sekali ilmu silat, bukan?”
“Aku suka merantau dan banyak menghadapi kesukaran di perjalanan, memang pernah mempelajari silat, akan tetapi tidak terlalu tinggi. Twako, sebetulnya, siapakah yang berhak memutuskan lulus tidaknya ujian kota raja itu?”
“Di sana terdapat pengawas-pengawas dan mereka inilah yang harus disogok. Akan tetapi, tentu saja para pengawas itupun harus menyogok atasan mereka dan orang yang paling berwenang dalam hal ujian itu tentu saja menteri.”
“Hemm, tentu menteri bagian kebudayaan atau pendidikan.”
“Kurasa begitulah. Akan tetapi mengapa engkau menanyakan hal itu?”
“Mengapa engkau tidak mendatangi saja menteri itu dan melaporkan tentang penyelewengan yang dilakukan oleh para pengawas?” tanya Ciang Bun.
Tan Hok Sim membelalakkan matanya. “Wah, mana aku berani? Kalau aku melakukan perbuatan nekat itu, selain tidak mungkin diluluskan, juga aku tentu akan ditangkap, dipenjara atau mungkin dibunuh. Siapa yang akan dapat melindungiku?”
Ciang Bun menarik napas panjang. “Tan-twako, dalam hal ujian ini, yang terhimpit dan dirugikan adalah kalian para pemuda pelajar. Kalau kalian sebagai orang-orang yang terkena ketidakberesan itu diam-diam saja, lalu siapa yang akan marnpu memperbaiki keadaan? Kenapa eugkau tidak mengajak semua pelajar itu untuk memprotes kepada menteri dan melaporkan kecurangan para pengawas itu?”
Hok Sim menunduk dan mengerutkan alisnya. Ucapan Ciang Bun menggerakkan hatinya. Dia tahu bahwa di dalam hatinya, dalam hati semua pemuda pelajar yang mengalami nasib yang sama, memang ada api pemberontakan itu untuk menentang kecurangan para pengawas, akan tetapi siapa yang berani? Para pengawas itu dilindungi oleh pasukan dan menterinya sendiri belum tentu jujur. Bagaimana kalau para pembesar itu bersekongkol dan melindungi anak buah mereka?
“Hal itu tidak mungkin dilakukan, adik Bun. Bahkan sebagian besar para pengikut ujian sendiri, yang kebanyakan terdiri dari orang-orang berada, lebih suka kalau keadaannya seperti sekarang ini. Terus terang saja, aku sendiri kalau mempunyai uang, juga lebih senang mengeluarkan uang dan ujianku lulus, daripada bersusah payah memeras otak akan tetapi hasilnya belum tentu, bahkan harapannya sedikit sekali.”
Ciang Bun diam saja. Dia merasa penasaran akan tetapi diapun maklum bahwa kegetiran membuat semua pemuda berpendapat seperti Hok Sim itu. Kalau dengan uang dapat lulus dengan mudah, perlu apa repot-repot memeras otak yang akhirnya toh tidak akan diluluskan kalau tanpa uang?
“Kalau begitu, biarlah aku yang akan mengajukan protes itu. Aku tidak ikut ujian maka aku tidak khawatir tidak diluluskan.”
Tan Hok Sim memandang dengan mata terbelalak dan dia memegang lengan sahabat barunya itu. “Bun-te, apa yang hendak kaulakukan?”
Ciang Bun tersenyum. “Tenanglah dan tunggu saja hasilnya. Kuharap besok pagi sudah akan ada perobahan. Nah, kau masuklah dulu, twako dan tunggu saja aku di dalam kuil.”
Setelah berkata demikian, Ciang Bun meninggalkan sahabatnya itu yang berdiri melongo mengikutinya dengan pandang mata heran akan tetapi tidak percaya. Apa yang akan dapat dilakukan oleh pemuda itu terhadap pemerintah? Urusan ujian yang kotor dan bergelimang korupsi itu sudah berjalan puluhan tahun, sepanjang pendengarannya, mana mungkin kini akan dirobah hanya oleh tindakan seorang pemuda seperti Suma Ciang Bun? Dia amat mengkhawatirkan pemuda itu. Bagaimanapun juga, sahabat barunya itu menarik hatinya dan dia akan merasa menyesal sekali kalau karena percakapan mereka, Ciang Bun melakukan tindakan yang mustahil dan akhirnya akan ditangkap dan dihukum! Diapun lalu kembali ke dalam ruangan belakang kuil itu, mendekati teman-temannya dan berbisik-bisik menceritakan tentang pemuda kenalan barunya yang aneh itu. Teman-temannya tentu saja terkejut, ada yang merasa gembira dan penuh harapan, yaitu mereka yang hendak menghadani ujian dengan pengetahuan mereka saja karena mereka tidak mampu membayar. Ada juga di antara mereka yang tidak senang dan mereka ini adalah pelajar-pelajar yang mengharapkan lulus dengan pengaruh uang atau pengaruh kenalan atau keluarga di kota raja. Apapun tanggapan mereka, berita tentang seorang pemuda bukan pengikut ujian yang hendak melaporkan kecurangan para pengawas itu kepada menteri, menjadi bahan percakapan mereka dan menimbulkan ketegangan.
Siang hari itu di gedung besar Menteri Ciong nampak sunyi. Sang menteri telah pulang dari persidangan di istana dan kini pembesar itu beristirahat. Malam saat seperti itu, dia tidak mau diganggu dan para penjaga di luar gedungpun tidak berani banyak membuat gaduh agar tidak mengganggn sang menteri yang sedang beristirahat di dalam kamarnya.
Oleh karena itu, para penjaga ini menolak dengan keras ketika Suma Ciang Bun datang dan minta kepada mereka untuk melaporkan kepada Ciong-taijin bahwa dia minta diterima menghadap.
“Orang muda! Siapakah engkau dan ada urusan apakah engkau berani minta untuk menghadap taijin?” bentak kepada jaga yang brewok dan bertubuh tinggi besar sambil bertolak pinggang. “Tidak sembarang orang boleh begitu saja mengganggu waktu taijin!”
“Aku mempunyai urusan pribadi dengan menteri, hendak membicarakan soal ujian para pelajar yang diadakan di kota raja sekarang ini.”
Kepala jaga itu mengerutkan alisnya. “Huh, kaukira menteri hanya seperti petugas kecil saja yang dapat ditemui setiap saat? Kalau engkau ada urusan, dapat menghadap ke kantor beliau dan melapor kepada petugas-petugas di sana, bukan datang ke rumah beliau dan meugganggu beliau!”
“Akan tetapi, aku ingin menghadap beliau sendiri, urusan penting....”
“Cukup!” Kepala jaga itu menghardik. “Lekas pergi dari sini atau akan kugunakan kekerasan untuk melemparmu keluar dari sini. Mengerti?”
Wajah Ciang Bun menjadi merah dan matanya berkilat ketika dia mengangkat muka memandang wajah si brewok tinggi besar itu. “Beginikah sikap seorang petugas keamanan terhadap rakyat? Seperti penjahat saja....”
“Keparat! Setan cilik! Agaknya ayahmu tidak pernah menghajarmu. Panggil ayahmu ke sini, akan kuhajar dia agar dapat mendidik anaknya!”
Ciang Bun tidak dapat menahan dirinya lagi. “Ucapanmu lancang dan mulutmu busuk, engkaulah yang perlu dihajar!”
Orang-orang yang rendah pangkatnyalah yang biasanya suka tinggi hati. Demikian pula kepala jaga itu. Terhadap atasannya dia menunduk dan merangkak-rangkak menjilat-jilat, dan terhadap bawahannya, yaitu rakyat, dia bersikap seperti kaisar saja. Maka, begitu melihat seorang pemuda biasa berani mengeluarkan ucapan seperti itu kepadanya, kemarahannya memuncak dan sambil mengeluarkan suara gerengan, kepalan tangannya yang hampir sebesar kepala Ciang Bun itu melayang dan menyambar ke arah kepala pemuda itu.
Ciang Bun tenang-tenang saja, tanpa bergerak dari tempatnya dia mengangkat tangan kiri dan secepat kilat tangan kirinya itu melakukan tiga gerakan susul-menyusul, mula-mula menangkis pergelangan lengan tangan yang memukul, disusul totokan pada pundak lengan itu dan diakhiri dengan tamparan pada muka si brewok.
“Dukk! Tukk! Plakkk!”
Tamparan itu cukup keras. Mula-mula tangkisan membuat lengan terpental, lalu totokan membuat si tinggi besar itu merasa lumpuh sebelah badannya dan tamparan itu mengenai pelipis, membuat dia terpelanting dan roboh. Kepalanya terasa tujuh keliling dan matanya menjuling. Dia mengoyang-goyang kepalanya dan setelah bintang-bintang yang berjatuhan dan menari-nari di depan matanya itu mengabur, dia bangkit lagi dengan marah. Agaknya, tamparan itu tidak membuatnya menjadi jera, bahkan seperti minyak bakar disiramkan ke atas api kemarahamaya. Dia kini menubruk dan kedua tangannya membentuk cengkeraman, seperti seekor biruang dia menubruk kepada pemuda itu, penuh geram.
Kembali Ciang Bun menghadapinya dengan tenang. Begitu tubuhnya yang besar itu menubruk dekat, tiba-tiba pemuda ini berjongkok atau setengah berjongkok, membiarkan tubuh atas lewat, lalu secepat kilat dia meraih, menangkap lengan dan mempergunakan tenaga lawan, dia mengangkat dan membanting.
“Desss....!” Debu mengebul dan si tinggi besar mengeluh, menggeliat dan mencoba untuk bangkit, tapi terjatuh kembali dan mengaduh-aduh. Agaknya terjadi salah urat pada punggungnya ketika dia terbanting tadi, yang membuatnya tidak mampu bangun kembali dan hanya mengaduh-aduh dan menggeliat-geliat. Melihat komandan jaga mereka roboh, setelah kehilangan rasa kaget mereka, para penjaga memburu.
“Berani engkau melawan tentara?” bentak seorang di antara mereka sambil menodongkan tombaknya.
“Tahan!” Ciang Bun berseru, suaranya lantang dan berwibawa, tidak seperti seorang pemuda remaja. “Urusan ini tidak ada hubungannya dengan ketentaraan! Urusan kami adalah urusan pribadi, urusan orang yang dihajar karena bersikap kurang ajar terhadap lain orang, tidak ada sangkut-pautnya dengan ketentaraan.” Setelah berkata demikian, Ciang Bun membalikkan tubuhnya dan pergi meninggalkan mereka. Para penjaga itu bengong. Merekapun melihat sendiri betapa komandan jaga mereka menghina pemuda itu dari melihat betapa dengan mudahnya pemuda itu merobohkan komandan mereka, merekapun tidak berani sembarangan tuiun tangan. Apalagi merekapun mulai ragu-ragu. Kalau seorang muda seperti itu ingin bertemu dengan menteri, siapa tahu ada hubungan antara dia dan pembesar itu. Membayangkan kemungkinan ini, mereka menggigil dan mereka tidak lagi memperdulikan pemuda itu melainkan menolong kepala jaga yang masih juga belum mampu bangkit berdiri.
Ciang Bun tidak pergi jauh melainkan mengambil jalan memutar dan menghampiri dinding pagar tembok yang mengelilingi gedung sang menteri. Dengan ringan dia mengayun tubuhnya ke atas tembok, kemudian meloncat ke dalam. Cepat dia menyelinap di antara tembok bangunan dan dengan mudahnya dia meloncat lagi ke atas genteng dan mengintai, mencari-cari di mana adanya sang pembesar yang hendak ditemuinya.
Akhirnya dia melihat seorang pembesar yang bertubuh gendut, berpakaian tidur berupa jubah lebar, sedang rebah terlentang seenaknya di atas sebuah dipan dan dipijati oleh tiga orang wanita muda cantik. Mata pembesar yang usianya kurang lebih enam puluh tahun ini meram melek keenakan, dan seorang di antara tiga wanita itu kadang-kadang menyuapkan sepotong kueh dengan sumpit ke mulutnya. Melihat ini, Ciang Bun dapat menduga bahwa tentu inilah menteri yang dicarinya itu. Hidungnya mendengus jijik melihat keadaan hidup pembesar ini. Setelah membuka genteng, dia lalu meloncat turun dan tubuhnya melayang ke dalam ruangan itu. Bagaikan seekor burung besar, dia hinggap di atas lantai dalam ruangan, hampir tidak terlihat atau terdengar oleh mereka berempat yang berada di dalam ruangan. Ketika seorang di antara tiga wanita muda itu menoleh dan melihat seorang pemuda tahu-tahu telah berada di tengah kamar seperti setan, ia menjerit dan sepasang sumpit itupun terlepas dan jatuh berkerontang di atas lantai. Teman-ternannya menoleh dan menjerit juga. Sang pembesar membuka mata dan menoleh, lalu bangkit dengan marah.“Siapa engkau?” bentaknya.
Dengan tenang Ciang Bun menjura. Selama ini belum pernah dia melakukan perbuatan sebagai pendekar seperti yang dilakukan sekarang, akan tetapi karena dia adalah keturunan Pulau Es, darah pendekar mengalir di dalam tubuhnya, maka diapun tidak merasa asing atau ragu-ragu, tidak merasa gentar ketika berkata, “Taijin, saya menganggap diri sebagai wakil para pelajar dan saya ingin menghadap dan bicara dengan paduka tentang ujian yang diadakan sekarang.”
Tentu saja pembesar itu menjadi marah sekali. Apalagi ketika dia melihat enam orang pengawal yang tadinya berjaga di ruangan lain telah dikejutkan oleh jeritan-jeritan tadi dan kini memasuki ruangan itu dengan golok di tangan, hatinya menjadi semakin tabah.
“Engkau masuk seperti maling! Pengawal, tangkap bocah ini!”
Dua orang pengawal menyarungkan golok dan menyergap ke depan untuk menangkap pemuda itu. Akan tetapi, dua kali kaki Ciang Bun bergerak menyambut dengan tendangan yang mengenai dada mereka dan dua orang pengawal itu terjengkang. Untung bahwa Ciang Bun hanya mempergunakan tenaga sedikit saja sehingga mereka tidak terluka, hanya merasa sesak napas mereka. Mereka bangkit kembali dan kini menggunakan golok untuk menyerang. Kembali Ciang Bun menggerakkan kakinya, menendang pergelangan tangan diteruskan ke lambung dan untuk kedua kalinya, dua orang pengawal itu roboh dan sekali ini tidak dapat segera bangkit karena tendangan yang mengenai lambung itu membuat perut mereka terasa mulas!
“Taijin, kedatangan saya ini bukan untuk melakukan kekerasan. Percuma saja kalau paduka menggunakan kekerasan, karena terpaksa saya akan lebih dulu turun tangan terhadap paduka!” Sekali loncat, pemuda itu telah tiba di dekat sang pembesar yang kini menggigil ketakutan sampai jubah tidurnya merosot dan nampak perutnya yang gendut itu telanjang bulat.
“Ampun....” rintihnya.
Melihat seorang pembesar berpangkat menteri merengek minta ampun, padahal tidak diapa-apakan, Ciang Bun merasa muak. Beginikah watak seorang yang dinamakan pemimpin? Menghadapi bahaya sedikit saja sudah merengek ketakutan! Pengecut seperti ini dijadikan pemimpin dan hendak memimpin rakyat? Pengecut seperti ini kalau berada dalam bahaya, disuruh apapun tentu akan taat, disuruh menjual negara sekalipun atau mengkhianati bangsa tentu akan taat, asal nyawanya diampuni, asal dirinya tidak diganggu. Seorang yang selalu mementingkan diri pribadi tentu penakut dan pengecut di samping menjadi penindas kejam sewaktu jaya.
“Taijin, saya tidak akan melakukan kekerasan asal taijin suka mendengarkan kata-kata saya. Harap taijin menyuruh semua orang pergi agar kita dapat bicara berdua saja di kamar ini.”
Pada saat itu, para pengawal sudah memasuki daun pintu yang terbuka dari luar, akan tetapi melihat pemuda itu berdiri dekat pembesar yang kelihatan pucat dan tubuhnya menggigil, juga celananya menjadi basah, mereka tidak berani sembarangan bergerak.
“Kalian pergilah, tinggalkan kami berdua,” kata pembesar itu dengan suara gemetar kepada para pengawal, juga kepada tiga orang selirnya yang tadi melayaninya. Para pengawal itu memandang ragu, akan tetapi dengan gerakan tangannya pembesar gendut itu mengusir mereka dan tiga orang selirnya sudah sejak tadi cepat-cepat keluar dari kamar itu. Setelah mereka pergi, Ciang Bun menutupkan daun pintu, lalu dia duduk di atas kursi menghadapi pembesar itu yang duduk di atas dipan, menyelimuti dirinya karena dia merasa malu melihat celananya basah, akibat rasa takut yang melandanya tadi.
“Taijin, maafkan kalau saya mengganggu. Saya terpaksa menghadap paduka secara ini karena tadi saya ditolak oleh para penjaga di luar gedung.”
Kini debar jantung di dalam dada pembesar itu sudah mulai tenang, dan diapun merasa lega melihat sikap yang halus dan sopan dari orang muda ini. Pengalamannya sebagai seorang pembesar dapat membuat dia melihat bahwa dia sebenarnya berhadapan dengan seorang pemuda yang tidak jahat, akan tetapi ada sesuatu pada diri pemuda ini yang membuat dia jerih, mungkin pada sinar mata yang mencorong itulah. Dia dapat mengerti bahwa pemuda ini adalah seorang muda yang berkepandaian tinggi dalam ilmu silat, tentu seorang pendekar, bukan seorang perampok yang datang untuk merampok harta benda.
“Tidak mengapa, taihiap. Katakanlah, apakah keperluan taihiap hendak bicara dengan kami?”
Mendengar betapa seorang menteri menyebutnya taihiap, Ciang Bun tersenyum, akan tetapi dia lalu berkata, “Kalau saya tidak salah duga, taijin adalah pejabat yang berwenang atas penyelenggaraan ujian para calon siucai di kota raja. Benarkah?”
Kini pembesar itu dapat tersenyum dan mukanya berseri. “Ah, apakah taihiap hendak memasuki ujian? Ataukah ada sanak saudara atau sahabat taihiap....”
“Tidak!” Ciang Bun memotong cepat sambil menggerakkan tangan ke depan muka. “Justeru inilah yang akan saya bicarakan. Taijin tentu tahu bahwa para pengawas ujian itu adalah petugas-petugas yang korup, yang makan uang sogokan. Biarpun pengikut ujian bodoh, kalau dapat menyogok uang, tentu akan lulus. Sebaliknya, betapapun pintar seorang pelajar, kalau tidak mampu menyogok, ujiannya akan selalu gagal. Benarkah demikian, taijin?”
Wajah yang tadinya sudah berseri itu berobah pucat kembali, sepasang mata itu membayangkan ketakutan lagi. “Ini.... ini.... kami tidak tahu....”
“Baru saja taijin bertanya apakah saya hendak ikut ujian atau sanak keluarga saya, tentu kalau demikian halnya, taijin akan meluluskan saya, bukan? Tak mungkin paduka tidak tahu akan kebusukan yang sudah berlangsung puluhan tahun ini. Bayangkan saja, kalau yang diluluskan hanya orang-orang bodoh yang mampu membayar, sedangkan yang pandai-pandai tidak diluluskan, negara akan penuh dengan pembesar-pembesar tolol yang pandainya hanya menerima sogokan-sogokan. Akan menjadi apakah negara kita ini? Paduka tahu atau tidak, pendeknya saya menuntut agar mulai besok pagi, semua pengawas diganti dan praktek penyogokan itu harus lenyap sama sekali. Kalau masih ada, aku akan kembali dan turun tangan terhadap paduka dengan caraku sendiri!”
Menteri Ciong mengangguk-angguk dan matanya melirik cerdik. Biarlah saat ini dia mengalah, pikirnya. Akan tetapi sekali engkau keluar dari sini, aku akan memberi hajaran kepadamu! “Baiklah, perintah taihiap akan kami laksanakan.”
Ciang Bun masih muda, akan tetapi pandang matanya tajam. Dia dapat menduga apa yang bersembunyi di dalam hati pembesar itu, maka diapun bangkit berdiri dan berkata lagi, “Ciang-taijin, jangan dikira bahwa engkau akan dapat mempergunakan kekerasan dan kekuatan pasukan pengawalmu untuk melindungi dirimu. Aku bukan mengeluarkan ancaman kosong belaka. Aku bernama Suma Ciang Bun, dan ketahuilah bahwa bekas Panglima Wanita Milana adalah bibiku, juga jenderal Muda Kao Cin Liong adalah sahabat baikku. Nah, renungkan baik-baik sebelum engkau mengambil tindakan. Selamat tinggal!” Pemuda itu lalu menggunakan gin-kangnya, mengenjot tubuhnya ke atas menerobos atap melalui lubang yang dibuatnya tadi.Di atas genteng telah menanti pasukan pengawal yang segera mengepungnya, akan tetapi dari dalam kamar itu terdengar bentakan Ciong-taijin, “Jangan ganggu dia! Biarkan Suma-taihiap pergi dengan aman!”
Tentu saja para pengawal tidak berani membantah dan mereka berdiri diam saja ketika Ciang Bun meloncat turun dari atas genteng, berlari menuju pagar tembok lalu keluar dari tempat itu melalui pagar tembok yang dilompatinya.
Sementara itu, di dalam kamar, Menteri Ciong menjambak-jambak rambutnya. “She Suma? Keponakan Puteri Milana? Celaka, dia tentu keluarga Pulau Es!”
Pada keesokan harinya, terjadi kehebohan di kalangan para pengikut ujian. Mereka yang sudah terlanjur memberi uang sogokan, kehilangan pengawas-pengawas yang telah mereka sogok dan terpaksa mereka harus mengikuti ujian secara betul-betul. Tentu saja mereka yang hanya mengikuti ujian karena mengejar keinginan agar lulus dan dapat memperoleh gelar siucai ini tidak mampu mengerjakan dengan baik dan hampir semua di antara mereka ini gagal. Sebaliknya, para pengikut ujian yang tidak mampu bayar, kini benar-benar diuji kemampuan mereka dan mereka ini merasa gembira sekali, termasuk Tak Hok Sim. Diapun lulus walaupun bukan dengan angka yang baik. Gegerlah tempat ujian itu dan semua orang membicarakan peristiwa digantinya semua pengawas dan dihapusnya semua sistim sogokan. Hok Sim dikerumuni ternan-temannya dan kini baru mereka percaya akan cerita pemuda itu bahwa teman barunya menjanjikan untuk memprotes sistim sogokan itu kepada menteri. Biarpun semalam Ciang Bun tidak bercerita sesuatu kepadanya dan diapun tidak menanyakan karena siang tadi dia menganggap teman barunya itu membual, ternyata kini terjadilah hal yang jelas menjadi hasil daripada “bualan” teman barunya itu!
Setelah selesai pengumuman, Hok Sinm segera berlari ke kuil untuk menemui Ciang Bun. Dengan wajah berseri-seri dia merangkul sahabatnya itu. “Wah, Bun-te, terima kasih padamu. Aku telah berhasil! Dan banyak kawan-kawan berhasil berkat usahamu! Engkau sungguh hebat. Bintang penolong kami! Eh, bagaimana engkau dapat berhasil merobah keadaan ujian sehingga para pengawas diganti dengan petugas-petugas baru yang tidak makan uang sogokan?”
Ciang Bun tersenyum girang mendengar bahwa Menteri Ciong benar-benar memenuhi janjinya. “Ah, biasa saja, twako. Aku pergi menghadap menteri yang berwenang dan menyampaikan protes atas nama semua pengikut ujian yang jujur. Dan beliau sudah menjanjikan untuk merobahnya dan mengganti semua pengawas. Syukurlah kalau semua berjalan dengan baik.”
“Semua berlangsung dengan baik bagi kami para pelajar yang benar-benar hendak menguji ilmu kepandaian. Akan tetapi amat tidak baik bagi mereka yang datang hanya untuk membeli gelar! Ha-ha, mereka sudah mengeluarkan banyak uang dan akhirnya ujian mereka gagal! Eh, Bun-te, engkau tentu seorang yang luar biasa, bukan? Kami semua merasa yakin bahwa engkau bukan orang sembarangan, tentu engkau seorang yang luar biasa!”
Ciang Bun tersenyum. Bagaimanapun juga, hatinya ikut merasa gembira bukan main melihat pemuda pelajar ini begitu girang dan lulus, juga bahwa semua pelajar yang baik telah lulus ujian. “Ah, harap jangan menduga yang bukan-bukan, twako. Aku seorang pemuda biasa saja, bahkan bodoh, tidak terpelajar seperti engkau.”
“Mustahil seorang pemuda biasa saja mampu mempengaruhi menteri untuk merobah jalannya ujian, menghapuskan semua sistim sogokan yang sudah berkarat dan berpuluh tahun mengotori sistim ujian di kota raja.”
“Mungkin karena beliau sadar oleh protesku, itu saja.”
“Bagaimanapun juga, engkaulah bintang penolongku, Bun-te. Aku girang sekali, tidak percuma aku melakukan perjalanan amat jauh dengan sudah payah. Biarpun aku tidak mendapat gelar karena hasil ujianku tidak mencapai angka-angka tertinggi, akan tetapi tanda lulus ini tentu akan menggirangkan hati ayahku. Ah, aku ingin pulang sekarang juga, sore ini jaga agar dapat cepat sampai ke rumah.”
“Aku pergi bersamamu, twako. Akupun ingin melakukan perjalanan ke barat untuk mencari seseorang.”
Pernyataan ini tentu saja menggirangkan hati Hok Sim sehingga dia tidak bertanya lagi siapa yang dicari oleh pemuda itu. Hatinya girang dan merekapun cepat berkemas, kemudian melakukan perjalanan meninggalkan kota raja pada sore hari itu juga menuju ke barat.
Malam itu mereka menginap di dalam sebuah dusun tak jauh dari kota raja dan di sebelah utara kota Pao-ting. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka berdua melanjutkan perjalanan menuju ke Pao-ting. Akan tetapi, baru saja matahari naik dan mereka tiba di tepi sebuah hutan, tiba-tiba perjalanan mereka dihadang oleh lima orang laki-laki tinggi besar yang agaknya sudah sejak tadi menanti di situ. Buktinya, kalau tadinya lima orang itu duduk di tepi jalan dengan santai, begitu dua orang pemuda itu muncul, mereka serentak bangkit dan berdiri menghadang di tengah jalan. Melihat sikap mereka, tahulah Ciang Bun bahwa lima orang itu sengaja menghadang mereka dan hendak mengganggu. Tidak mungkin di tempat ini ada perampok, pikirnya. Masih terlalu dekat dengan kota, dan pula, apa yang diharapkan oleh perampok-perampok dari dua orang pemuda miskin yang melakukan perjalanan pulang dari ujian? Tentu ada hal lain yang menyebabkan adanya penghadangan ini dan mudah saja menduganya bahwa pencegatan ini tentu ada hubungannya dengan kunjungannya kepada Menteri Ciong kemarin dulu. Akan tetapi dia bersikap tenang saja dan diapun melihat betapa sikap Tan Hok Sim tenang saja walaupun kedua alis pemuda itu berkerut dan wajahnya membayangkan keheranan dan kekhawatiran. Pemuda pelajar ini sudah meraba-raba pedang yang disembunyikan di dalam buntalan pakaian. Ciang Bun sudah tahu bahwa temannya itu diam-diam menyembunyikan pedang.
“Tenanglah, twako.” Dia berbisik dan temannya itu tidak jadi mengeluarkan pedang dan merekapun maju terus sampai akhirnya terpaksa berhenti karena tengah jalan itu dipenuhi oleh lima orang tadi.
Seorang di antara mereka, yang mukanya hitam, berkata dengan suara lantang dan sikap kasar, “Siapakah di antara kalian yang kemarin mengikuti ujian di kota raja dan bernama Tan Hok Sim?”
“Akulah orangnya!” jawab Hok Sim sambil melangkah maju.
“Bagus! Dan inikah temanmu yang lancang sekali memprotes sistim ujian dan yang membuat pembesar atasan turun tangan mengganti semua petugas pengawas ujian?”
“Benar, akulah orangnya,” kini Ciang Bun yang menjawab.
“Ha-ha-ha, kiranya bocah ingusan! Twako, kita bunuh saja mereka sekarang!” Lima orang itu sudah bergerak maju mengepung, akantetapi si muka hitam mengangkat kedua tangannya.
“Kalian berempat mundurlah. Sungguh memalukan kalau hanya membereskan dua ekor kelinci muda ini harus kita semua turun tangan. Eh, bocah-bocah sial, bersiaplah kalian untuk mampus!” bentak si muka hitam sambil melangkah maju.
“Tahan!” Tiba-tiba Tan Hok Sim dengan sikap gagah melangkah maju di depan Ciang Bun, melindungi pemuda ini. “Aku tahu bahwa kalian tentu utusan para pengawas korup itu untuk membalas dendam kepada kami. Akan tetapi, sahabatku ini tidak bersalah. Dia hanya mewakili kami, para sasterawan muda yang miskin, untuk mengajukan protes dan ternyata berhasil baik. Kalau kalian hendak membalas dendam, balaslah kepada kami dan jangan mengganggu sahabatku yang tidak berdosa ini!”
Diam-diam Ciang Bun merasa kagum dan terharu juga melihat pembelaan Hok Sim atas dirinya, akan tetapi dia diam saja. Sementara itu, si muka hitam tersenyum menyeringai. “Heh-heh, engkau kutu buku masih ingin bersikap gagah-gagahan? Nah, kalau sudah bosan hidup, engkau matilah lebih dulu, baru kemudian dia memperoleh bagiannya.” Sambil berkata demikian, tangan kirinya yang berlengan panjang dan besar itu menyambar ke arah kepala Hok Sim. Tangan itu adalah tangan yang terlatih. Kulit tangan di telapakan sudah menebal dan ada tanda-tanda hangus, juga buku-buku jarinya menebal, tanda bahwa orang ini telah melakukan latihan memperkeras tangannya dengan cara latihan tenaga luar. Tangan seperti itu berbahaya sekali dan sekali tampar saja, kalau mengenai sasaran, akan membuat kepala pemuda itu pecah!
“Huhh....!” Hok Sim cepat mengelak dan ternyata putera guru silat di Ceng-tao ini cukup gesit ketika mengelak sehingga Ciang Bun yang sudah siap menyelamatkannya, kini menjadi agak lega dan hanya mempersiapkan diri untuk menolong pemuda itu sekiranya terancam bahaya.
Si muka hitam merasa penasaran sekali. Disangkanya tadi dengan yakin bahwa sekali pukul saja dia akan berhasil menghancurkan kepala bocah itu. “Hemm, kiranya selain menjadi kutu buku engkau bisa juga sedikit ilmu silat, ya? Bagus, aku jadi tidak malu membunuhmu!” Berkata demikian, raksasa yang usianya mendekati lima puluh tahun ini sudah melakukan serangan berantai dengan kaki tangannya. Tentu saja Hok Sim menjadi repot sekali. Selain sejak kecil dia lebih banyak disuruh belajar membaca daripada ilmu silat oleh ayahnya, juga andaikata ayahnya sendiri yang maju, maka ayahnya itupun tidak akan dapat menandingi si muka hitam yang lihai itu. Mula-mula Hok Sim mengandalkan kegesitannya mengelak ke sana-sini, berloncatan, akan tetapi akhirnya terpaksa dia mengangkat lengan menangkis ketika sebuah pukulan menyambar dan posisinya tidak memungkinkan lagi kepadanya untuk mengelak.
“Dukkk!” Lengan Hok Sim yang kecil itu bertemu dengan lengan besar si muka hitam dan akibatnya, pemuda itu roboh terjengkang dan lengan kanannya yang menangkis terasa ngilu seperti hendak patah tulangnya! Pemuda itu terus menggulingkan tubuhnya mendekati buntalan pakaiannya yang tadi dilemparkannya ke atas tanah. Dia sudah meraih dan mencabut pedangnya dari buntalan ketika tiba-tiba Ciang Bun sudah berada di sampingnya dan memegang pundaknya. “Tenanglah, twako. Simpan kembali pedangmu.”
“Tidak, aku tidak mau mati konyol. Aku harus melawannya sampai mati!” bantah Hok Sim.
“Twako, kalau engkau melawan, engkau akan mati konyol. Engkau takkan menang, serahkan saja babi itu kepadaku. Apakah engkau masih belum percaya kepadaku?” Berkata demikian, Ciang Bun meninggalkannya dan membalikkan tubuh sambil melangkah maju menghadapi si muka hitam yang berdiri sambil tersenyum menyeringai.
“Hui-to Ngo-houw, pergilah kalian dan jangan ganggu kami lagi!” kata Ciang Bun dengan sikap masih tenang sekali.
Si muka hitam dan kawan-kawannya terkejut mendengar nama julukan mereka disebut oleh pemuda itu. Mereka memang terkenal sebagai Hui-to Ngo-houw (Lima Harimau Golok Terbang), tukang-tukang pukul yang ditakuti dari kota Pao-ting. Tentu saja Ciang Bun mengenal mereka. Pemuda ini tinggal di Thian-cin, tidak jauh dari Pao-ting dan biarpun dia belum pernah jumpa dengan lima orang tukang pukul ini, namun dia sudah banyak mendengar dari ayah ibunya tentang tokoh-tokoh dunia persilatan di sekitar Thian-cin dan kota raja. Dari ciri-ciri yang ada pada kelima orang ini, terutama golok yang tergantung di punggung mereka, dia dapat menduga bahwa mereka ini tentulah Hui-to Ngo-houw yang terkenal itu. Dan mereka tentu diutus oleh orang-orang yang dirugikan karena dihapuskannya sistim sogok di dalam ujian kota raja. Tentu kalau bukan para pengawas lama, mungkin saja Menteri Ciong sendiri yang mengutus mereka, untuk menghadang dan membunuhnya bersama Hok Sim yang dianggap biang keladi peristiwa itu.
“Bocah lancang, siapakah engkau maka engkau mengenal nama julukan kami? Hayo mengaku sebelum engkau menjadi mayat tanpa nama!” Si muka hitam membentak marah, akan tetapi wajahnya membayangkan keheranan dan keraguan. Mereka yang mengutus dia berlima tidak menyebutkan nama pemuda ini, hanya menyebut nama si pelajar she Tan itu saja.
“Namaku tidak ada artinya bagi kalian dan tidak perlu kalian kenal. Akan tetapi kuharap kalian suka meninggalkan kami. Kuperingatkan, kalau kalian bersikap nekat hendak menggunakan kekerasan dan hendak membunuh kami, terpaksa aku akan menyingkirkan kalian dari permukaan bumi ini agar tidak mengganggu manusia lain yang tidak berdosa.”
Ucapan ini tentu saja membuat Tan Hok Sim menjadi terkejut setengah mati, akan tetapi lima orang tukang pukul itu tertawa geli. Memang lucu kedengarannya kalau seorang pemuda remaja berusia enam belas atau tujuh belas tahun berani mengancam hendak membunuh mereka, lima orang jagoan yang namanya sudah terkenal di seluruh Pao-ting, bahkan terkenal sampai jauh keluar kota! Mereka tertawa geli, akan tetapi juga marah sekali. Si muka hitam yang sedang tertawa bergelak itu tiba-tiba saja melakukan serangan dan memang demikianlah kelicikan para tokoh hitam. Menyerang seorang pemuda remaja saja dia masih menggunakan kecurangan, apalagi menyerang orang yang dianggapnya lebih lihai. Suara ketawanya masih bergema ketika kedua lengannya yang panjang itu tiba-tiba saja menerkam dari kanan kiri ke arah tubuh Ciang Bun. Sebelum kedua lengan itu menyerang, dari gerakan pundak lawan saja Ciang Bun sudah mengetahui terlebih dahulu dan pemuda ini bukannya mengelak, menangkis atau mundur, bahkan dia menggerakkan kakinya maju mendekat. Secepat kilat kedua tangannya bergerak ke depan dan tahu-tahu jari tangannya yang dibandingkan dengan lawan amatlah kecilnya itu telah menotok kedua pundak lawan sebelum kedua tangan lawan mengenai tubuhnya.
“Tuk! Tukk!” Pada saat itu, kedua tangan yang besar itu masih menerkam dari atas dan tiba-tiba saja kedua tangan itu berhenti di tengah jalan dan si muka hitam nampak lucu sekali, seperti patung dengan gaya seperti burung hendak terbang, kedua lengan dikembangkan ke atas dan matanya terbelalak.
“Desss....!” Kaki Ciang Bun menendang dan si muka hitam itu terjengkang sampai terbanting ke atas tanah. Akan tetapi totokan itu hanya melumpuhkannya selama dua tiga detik saja maka diapun bangkit lagi dengan muka sebentar merah sebentar pucat, dan sekali tangannya bergerak, golok di punggungnya telah dicabutnya! Empat orang temannya juga sudah menghunus golok dan kini Lima Harimau Golok Terbang itu maju dengan golok di tangan dan sikap mereka beringas penuh ancaman.
“Bun-te, kaupakailah pedangku ini!” Tan Hok Sim berteriak setelah dapat menenangkan hatinya yang berdebar tegang sejak tadi. Kini diapun tahu bahwa pemuda yang menjadi sahabat barunya itu ternyata adalah seorang ahli silat yang pandai! Betapapun juga, melihat pemuda itu dihadapi lima orang yang memegang golok, hatinya menjadi gelisah dan dia menawarkan pedangnya.
“Tidak usah, twako, hanya akan mengotorkan pedangmu saja,” jawab Ciang Bun dan mendengar ini, Hok Sim hanya berdiri seperti patung sambil memegang pedangnya dan memandang dengan jantung berdebar tegang. Kini lima orang itu sudah mengurung Ciang Bun dengan golok di tangan. Agaknya merekapun ingin melihat senjata apa yang hendak dipergunakan oleh pemuda itu. Akan tetapi karena Ciang Bun hanya berdiri seenaknya dengan tangan kosong, dan di tubuhnya tidak nampak dia menyembunyikan suatu senjata, lima orang itu merasa semakin penasaran. Mereka berlima yang kini memegang senjata golok andalan mereka, yang mengangkat nama mereka menjadi Hui-to Ngo-houw, kini dilawan oleh seorang pemuda remaja yang bertangan kosong! Betapa akan memalukan kalau hal ini diketahui atau didengar oleh dunia kang-ouw.
“Bunuh setan cilik ini dan pelajar itu!” teriak si muka hitam dan dia mendahului teman-temannya, goloknya berkelebat ke arah leher Ciang Bun. Akan tetapi golok itu hanya menyambar tempat kosong saja karena lebih cepat lagi Ciang Bun sudah menggerakkan tubuh mengelak. Dia disambut bacokan-bacokan dari empat orang teman si muka hitam yang merasa penasaran sekali. Ciang Bun mengeluarkan suara melengking dan ketika kedua tangannya menyambut, dengan gerakan-gerakan aneh, terasa oleh semua lawannya ada hawa panas luar biasa menyambar ke tubuh mereka.
“Plak-plak-plak! Desss....!” Tiga orang meloncat ke belakang sambil mengaduh karena lengan mereka yang bertemu dengan tangan pemuda itu seperti terbakar rasanya dan ada tapak hangus pada kulit lengan mereka, sedangkan orang ke empat terpukul tangannya yang memegang golok. Golok itu terlepas dan Ciang Bun cepat mengibasnya dengan jari-jari tangan kirinya,“Tringgg.... wuuutt, crottt....!” Pemilik golok itu menjerit ketika tiba-tiba goloknya yang terlepas tadi menyambar dan menancap di dadanya sampai tembus ke punggung. Dia roboh dan tak dapat bangun kembali, tewas oleh goloknya sendiri. Bukan main kaget dan marahnya si muka hitam dan tiga orang kawannya. Mereka mengeluarkan suara menggereng seperti harimau-harimau kelaparan dan merekapun berloncatan menerjang dari berbagai jurusan, mengeluarkan ilmu mereka yang membuat mereka disebut dengan julukan Lima Harimau Golok Terbang. Namun, Ciang Bun yang kini menggunakan Hwi-yang Sin-ciang, menghadapi mereka dengan tenang. Selama ini, Ciang Bun tidak pernah malas untuk melatih Hwi-yang Sin-ciang sehingga dia memperoleh kemajuan pesat. Ilmu pukulan yang mengandalkan tenaga sin-kang yang panas ini memang hebat sekali dan menjadi satu di antara ilmu-ilmu yang paling hebat dari keluarga Pulau Es. Kebalikan dari Ilmu Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api) ini, yaitu Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) lebih sukar dilatih dan diapun sudah menguasai teorinya, namun belum dapat melatihnya secara sungguh-sungguh, tidak seperti encinya, Suma Hui yang sudah menguasai ilmu itu cukup kuat. Namun, dengan Hwi-yang Sin-ciang, sebuah ilmu yang ampuh dari Pulau Es, mana mungkin penjahat-penjahat kasar macam Hui-to Ngo-houw itu mampu menandinginya? Sebuah pukulan tangan kiri yang mengandung tenaga mujijat itu, dengan tangan terbuka, mengenai dada seorang di antara mereka.
“Plakk!” Orang itu tidak sempat mengaduh, melainkan roboh terjengkang dan bajunya di bagian dada hangus sedangkan pada kulit dadanya terdapat telapak tangan pemuda itu dan isi dadanya sudah hancur oleh hawa pukulan panas itu, dan tewaslah dia.
Melihat ini si muka hitam berobah pucat dan gentar. Dia meloncat ke arah Hok Sinm yang berdiri di pinggir dengan pedang di tangan. Maksudnya jelas. Dia hendak menaklukkan dan menangkap pemuda sasterawan ini untuk dijadikan sandera, untuk membuat Ciang Bun yaug lihai itu tidak berdaya. Akan tetapi, Hok Sim bukan seorang penakut dan diapun sudah menggerakkan pedangnya menyambut penjahat itu dengan tusukan pedangnya.
“Tranggg....!” Golok si muka hitam menangkis amatkuatnya sehingga pedang itu terpental dari tangan Hok Sim! Si muka hitam menyeringai dan menggerakkan tangan kirinya untuk mencengkeram dan menangkap Hok Sim, akan tetapi Hok Sim memukulkan tangan kanannya ke arah muka orang itu.
“Dukk!” Tangkisan si muka hitam membuat Hok Sinm terpelanting roboh. Si muka hitam menyeringai dan menubruk, akan tetapi pada saat itu, nampak sinar putih berkelebat.
“Crottt.... aughhh....!” Sebatang golok terbang dan menancap di lambung si mukahitam. D ia melepaskan goloknya, menoleh dan melihat betapa dua orang temannya sudah roboh tewas dan betapa golok yang menancap di lambungnya itu dilemparkan oleh pemuda lihai itu setelah merampasnya dari tangan seorang temannya. Si muka hitam roboh terguliug, dan memegangi lambung yang tertusuk golok.
Hok Sim meloncat bangun danmemandan g dengan mata terbelalak penuh kengerian. Lima orang itu kini telah roboh semua dan tempat itu menjadi mengerikan oleh darah yang keluar dari luka di tubuh mereka. Ciang Bun menghampiri Hok Sim dan pada saat itu, si muka hitam masihdapat merintih dan mengangkat muka memandang kepada wajah pemuda remaja yang telah merobohkan dia dan empat orang kawannya itu.
“Orang muda, siapakah namamu....?”
Ciang Bun maklum bahwa orang ini sebentar lagi akan mati, maka dengan suara dingin dia menjawab. “Namaku Suma Ciang Bun.”
Mata yang sudah sayu itu terbelalak. “Suma....? Pendekar.... Pulau.... Es....?” Dan diapun mengeluh panjang, lehernya terkulai dan tewaslah kepala Hui-to Ngo-houw itu.
Hok Sim bergidik. Biarpun ayahnya seorang guru silat dan dia pernah belajar silat, akan tetapi belum pernah dia melihat pembunuhan terjadi di depan matanya, apalagi sekaligus ada lima orang tewas dalam keadaan terluka mengerikan seperti itu.
“Kenapa.... kenapa mereka.... harus dibunuh....?” Dia bertanya dengan suara membayangkan kengerian.
Dengan sikap tenang dan dingin Ciaug Bun melirik ke arah mayat-mayat itu dan berkata. “Ada dua hal yang menyebabkan aku terpaksa membunuh mereka. Pertama, mereka adalah pembunuh-pembunuh bayaran yang amat kejam dan jahat dan mereka tadi jelas sekali hendak membunuh kita berdua maka sudah sepatutnya mereka dienyahkan dari permukaan bumi. Ke dua, mereka tentu diutus oleh seseorang dan kalau mereka itu dibiarkan kembali ke atasan mereka, tentu atasan mereka takkan tinggal diam dan akan mengirim pasukan yang lebih besar lagi untuk mengejar dan membunuh kita.”
Hok Sim memandang dengan sinar mata penuh kagum. Baru dia tahu sekarang bahwa sahabatnya ini adalah seorang pendekar besar, seperti yang pernah didengarnya dari dongeng dan cerita ayahnya.
“Ah, kiranya engkau.... engkau adalah seorang pendekar, seorang taihiap.... maafkanlah bahwa selama ini aku kurang hormat....” Hok Sim lalu menjura dengan hormat.
Ciang Bun tersenyum dan memegang kedua lengan sahabatnya. “Aih, twako, aku tidak mau engkau bersikap seperti itu! Kita adalah sahabat, bukan? Dan bagimu aku tetap Bun-te, tidak ada taihiap-taihiapan segala!” Mereka lalu tertawa dan melanjutkan perjalanan menuju ke Pao-ting. Di tengah perjalanan, Hok Sim tidak dapat menahan hatinya untuk bertanya.
“Bun-te, sekarang aku tahu mengapa sistim ujian itu dirobah. Tentu engkau telah mempergunakan ilmu kepandaianmu untuk memaksa menteri itu, bukan?”
Ciang Bun hanya tersenyum. “Hal itu terjadi karena kesadarannya....” Hanya demikian dia menjawab, akan tetapi hatinya masih bertanya-tanya, siapa biang keladi penghadangan oleh Hui-to Ngo-houw tadi. Menteri Ciong itukah? Ataukah para pnngawas lama?
Semenjak terjadi peristiwa itu, hubungan antara Hok Sim dan Ciang Bun menjadi semakin akrab. Apalagi perjalanan menuju ke kampung halaman Hok Sim amatlah jauhnya, memakan waktu berbulan-bulan dan melalui perjalanan yang amat sukar. Hok Sim menganggap Ciang Bun sebagai penolongnya dan juga sebagai seorang pendekar gagah perkasa yang mengagumkan hatinya.
“Bun-te, aku ingin sekali engkau berkenalan dengan seorang adikku. Kami hanya dua orang saudara kakak beradik. Adikku itu sebaya denganmu, ia seorang gadis yang.... hemm, amat cantik manis dan juga ilmu silatnya tidak kalah olehku. Namanya Tan Seng Nio dan aku sayang sekali padanya.”
Akan tetapi, Ciang Bun menyambut penawaran berkenalan ini dengan sikap dingin saja, tidak menjawab dan hanya tersenyum tak acuh. Akan tetapi, selama dalam perjalanan, sikapnya semakin manis terhadap Hok Sim yang dianggapnya sebagai seorang pemuda yang amat baik, halus budi akan tetapi juga gagah berani walaupun ilmu silatnya tidak seberapa tinggi. Mulailah Hok Sim merasa heran dan kadang-kadang terkejut juga menyaksikan sikap pemuda pendekar yang dikaguminya itu. Dia melihat betapa Ciang Bun selalu berpakaian rapi dan pesolek, menjaga kebersihan dan wataknya halus sekali. Bahkan kadang-kadang dia merasa betapa sikap Ciang Bun terlalu lunak dan halus perasa, bahkan kadang-kadang terlalu lemah-lembut seperti wanita, juga sikapnya terhadap dirinya kadang-kadang nampak kemesraannya dan kewanitaan!
Ciang Bun tidak sadar akan sikapnya sendiri. Dia sudah lupa lagi akan pengalamannya dengan Lee Siang dan Lee Hiang, kakak beradik yang tinggal di Pulau Nelayan itu, kakak beradik yang mula-mula membuat dia membuka mata melihat kelainan yang ada pada dirinya.
Tanpa disadarinya, dia merasa suka sekali kepada Hok Sim. Bukan, sama sekali bukan jatuh cinta seperti yang pernah dirasakannya ketika dia berdekatan dengan Lee Siang, melainkan suka sebagai seorang sahabat saja. Dia tidak sadar sama sekali betapa sikapnya amat mesra dan kadang-kadang terlalu kewanitaan terhadap Hok Sim, dan dia menganggap sikapnya itu wajar.
Pada suatu hari tibalah mereka di kota Wang-sian, sebuah kota di tepi Sungai Yang-cee-kiang. Mereka bermalam di sebuah penginapan setelah memilih-milih dan berputar kota itu. Telah hampir dua bulan mereka melakukan perjalanan dan mereka merasa lelah sekali. Akan tetapi, kota Wang-sian sudah termasuk dalam Propinsi Se-cuan dan kota Ceng-to tinggal tak berapa jauh lagi, dapat tercapai dalam beberapa hari saja.
“Aku ingin besok pagi-pagi kita melanjutkan perjalanan. Aku sudah ingin segera sampai di rumah, Bun-te,” kata Hok Sim setelah mereka berdua merebahkan diri di dalam kamar itu.
“Engkau agaknya sudah amat rindu kepada adikmu dan ayah bundamu, twako.”
“Kepada mereka juga, akan tetapi terutama sekali kepada Loan-moi....” Dan suara pemuda itu terdengar penuh kemesraan.
Ciang Bun mengangkat muka lalu bangkit duduk, memandang kepada sahabatnya itu sambil bertanya, “Loan-moi....? Siapa itu....? Engkau belum pernah menyebutnya selama ini.”
Wajah Hok Sim berobah menjadi merah dan diapun bangkit duduk lalu memandang sahabatnya. “Maaf, Bun-te, sesungguhnya aku merasa malu untuk menyebutnya, akan tetapi karena engkau sudah kuanggap sebagai saudaraku dan anggauta keluarga, biarlah kuceritakan juga. Ia bernama Su Ci Loan dan gadis itu adalah.... tunanganku, calon isteriku. Sesungguhnya kami hanya menanti sampai aku lulus ujian, baru kami akan melangsungkan pernikahan. Dan sekarang ia tentu sudah menanti-nanti di rumah kami pula karena rumahnya berada di sebelah rumah kami. Kami tetangga....” Pemuda itu kelihatan girang sekali mengenangkan tunangannya sehingga dia tidak melihat betapa wajah sahabatnya itu tidaklah nampak segembira wajahnya.
Mengapa Ciang Bun tidak merasa gembira mendengar akan kebahagiaan sahabat yang disukainya itu? Iri hati? Cemburu? Sama sekali tidak. Dia menganggap Hok Sim sebagai seorang sahabat yang amat disukanya dan dia tentu akan merasa girang melihat sahabatnya itu berbahagia. Akan tetapi, cerita Hok Sim tentang tungannya itu, secara tiba-tiba telah mengingatkan dia kembali akan keadaannya sendiri yang berbeda dengan keadaan Hok Sim, berbeda dengan keadaan para pemuda lainnya, dan tiba-tiba saja wajahnya menjadi muram dan hatinya menjadi getir.
Setelah melakukan perjalanan yang cepat, sepekan kemudian tibalah mereka di kota Ceng-tao dan seperti telah digambarkan lebih dulu oleh Hok Sim, kedatangan mereka disambut dengan penuh kegembiraan oleh ayah bunda Hok Sim dan juga adiknya yang bernama Tan Seng Nio, akan tetapi terutama sekali disambut dengan malu-malu dan juga dengan rasa bahagia oleh Su Ci Loan, tunangan Hok Sim.
Ketika Hok Sim menceritakan kepada keluarganya, juga kepada tunangannya tentang kehebatan Ciang Bun menaklukkan dan merobohkan lima orang penjahat besar dan juga betapa pemuda itu telah memaksa menteri untuk menghentikan korupsi di tempat ujian, tentu saja mereka semua merasa kagum bukan main kepada Ciang Bun. Ayah Hok Sim adalah seorang guru silat, seorang murid Kun-lun-pai, maka dia merasa kagum sekali. Ketika Hok Sim tanpa dapat dicegah oleh Ciang Bun, menceritakan ucapan terakhir dari si muka hitam, kepala dari Hui-to Ngo-houw yang menyebut Suma Ciang Bun sebagai pendekar Pulau Es, ayahnya terkejut bukan main dan cepat bangkit berdiri lalu menjura kepada Ciang Bun.
“Ah, kiranya taihiap adalah keturunan dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?” Dia hanya mendengar nama itu dalam dongeng dunia kang-ouw saja, belum pernah berjumpa sendiri dengan para pendekar keluarga Pulau Es, akan tetapi dia sudah merasa amat kagum dan hormat terhadap nama keluarga pendekar besar itu.
“Sudahlah, paman, harap jangan memakai terlalu banyak peraturan sehingga akan membuat saya merasa sungkan saja,” Ciang Bun berkata dan guru silat itu menarik napas panjang. Semakin kagumlah hatinya terhadap pemuda ini. Seorang pemuda yang demikian halus dan rendah hati akan tetapi mempunyai kepandaian tinggi dan menjadi keturunan penghuni Pulau Es. Ingin sekali dia bertanya banyak tentang keluarga itu, akan tetapi khawatir membuat hati pemuda yang pendiam itu menjadi tidak enak, guru silat Tan inipun tidak berani mendesak. Malamnya, diam-diam dia bicara dengan puteranya, akan tetapi diapun kecewa karena puteranya juga tidak tahu banyak tentang Ciang Bun.
“Ah, betapa akan bahagia hatiku kalau dia dapat bcrjodoh dengan adikmu....” kata ayah ini.
Hok Sim tersenyum. “Kita akan merasa seperti kejatuhan bulan, ayah. Akan tetapi biarlah akan kuatur agar mereka dapat bersahabat karib.”
Akan tetapi, dalam hal ini Hok Sim tidak perlu bekerja keras. Begitu diperkenalkan olehnya, Seng Nio, adiknya, bahkan Ci Loan, tunangannya, merasa suka sekali kepada pemuda yang gagah perkasa namun amat halus budi itu. Ketika Hok Sim menemui tunangannya dan membisikkan kehendak ayahnya, Ci Loan menyatakan kesanggupannya untuk membantu agar Seng Nio dapat bergaul erat dengan Ciang Bun.
Demikianlah, atas permintaan Hok Sim, Ciang Bun menyatakan tidak keberatan untuk tinggal di rumah keluarga Tan selama dua pekan, baru dia akan melanjutkan perjalanannya mencari jejak encinya. Apalagikarena dia mendengar bahwa pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Jenderal Kao Cin Liong kini melanjutkan gerakannya menyerbu ke Negara Nepal. Dia merasa yakin bahwa dengan adanya peristiwa itu, encinya tentu belum mungkin dapat menyusul Cin Liong dan sebaiknya kalau dia menanti di tempat ini, karena betapapun juga, untuk pergi ke Tibet dari timur tentu akan melewati daerah ini. Karena dia memperoleh kesempatan yang banyak, yang telah diatur oleh pihak keluarga itu di luar tahunya, dia banyak bergaul dengan Seng Nio dan Ci Loan.
Di lubuk hatinya, Ciang Bun tidak mempunyai perasaan benci terhadap wanita. Sama sekali tidak, bahkan dia dapat pula menaruh rasa sayang kepada wanita. Akan tetapi perasaan ini hanya terbatas sebagai perasaan persahabatan belaka, sama sekali tidak mendalam, bahkan tidak terasa kemesraan dalam hatinya seperti kalau dia bergaul dengan pemuda yang menarik hatinya. Dia jauh lebih senang bergaul dengan Hok Sim daripada dengan Seng Nio atau dengan Ci Loan yang cantik.
Dan dalam pergaulan yaug beberapa hari ini dia mendapatkan sesuatu yang membuat perasaannya terganggu dan hatinya menjadi tidak senang. Dia melihat betapa sikap Seng Nio kepadanya tidak wajar, seperti orang yang mencari muka dan memikat-mikat. Dan diapun melihat betapa sinar mata Ci Loan kepadanya juga tidak wajar, dan biarpun tunangan Hok Sim ini terhadap dirinya selalu bersikap sopan, namun kerling matanya dan senyumnya itu menyembunyikan sesuatu yang tidak menyenangkan hatinya. Dia dapat merasakan betapa dua orang gadis itu seperti orang yang jatuh hati kepadanya! Hatinya merasa tidak senang sekali. Harus diakuinya bahwa Seng Nio adalah seorang gadis yang cantik, dan Ci Loan lebih manis lagi. Akan tetapi, sikap mereka terhadapnya mendatangkan rasa tak senang dan melenyapkan rasa sukanya sebagai sahabat. Apalagi terhadap diri Ci Loan, dia merasa tak senang dan dia diam-diam merasa marah. Dara itu sudah menjadi tunangan Hok Sim, calon isterinya, mengapa sinar matanya dan senyumnya jelas membayangkan hal yang serong, hati yang tertarik kepadanya sebagai seorang pria lain?
Dari Ci Loan, Hok Sim mendengar bahwa perkembangan antara hubungan Ciang Bun dengan Seng Nio masih juga belum mengalami “kemajuan” seperti yang diharapkan keluarga itu.
“Loan-moi, Seng-moi suka ilmu silat, bahkan engkau sendiripun banyak belajar ilmu silat. Bagaimana kalau besok pagi engkau dan Seng Nio mengajak Bun-te pergi berpesiar ke gunung Omei-san? Kalian boleh minta petunjuknya dalam ilmu silat, dan tempat itu amat romantis, amat indah. Berilah kesempatan mereka agar dapat berdua saja dan mudah-mudahan akan ada kemajuan di antara mereka,” kata Hok Sim kepada tunangannya.
“Baiklah, Sim-koko,” jawab tunangannya dengan gembira. Hok Sim tidak tahu bahwa kegembiraan wajah tunangannya itu bukan hanya karena ingin memberi kesempatan kepada adik iparnya dan pemuda itu, melainkan karena diam-diam Ci Loan sendiri merasa suka sekali kepada pemuda pendekar yang menjadi tamu mereka. Ada sesuatu pada diri Ciang Bun yang tidak dimiliki tunangannya. Bukan hanya kepandaian silat tinggi sebagai seorang pendekar, dan bukan hanya sebagai keturunan keluarga Pulau Es, akan tetapi juga suatu sifat yang amat menarik hatinya. Ia sendiri tidak tahu persis sifat baik apakah yang amat menarik hatinya itu. Mungkin kelembutan Ciang Bun, sikapnya yang halus, gerak-geriknya yang lemah lembut.
Akan tetapi, Ciang Bun baru mau diajak pesiar ke Omei-san ketika Hok Sim menyatakan pergi juga. Pagi-pagi benar mereka berempat sudah berangkat ke pegunungan yang indah itu. Karena hari masih amat pagi, tempat pesiar itu masih kosong dan belum ada tamu lain. Dengan cerdik, Hok Sim pura-pura kelupaan sesuatu.
“Aku harus kembali dulu ke rumah. Biarlah kalian bertiga mendaki puncak lebih dulu. Aku nanti menyusul!” katanya sambil cepat-cepat meninggalkan mereka. Tentu saja dia tidak terus pulang melainkan mengambil jalan memutar karena maksudnya hanya untuk membiarkan mereka bertiga saja dan dia ingin mengintai sendiri dari kejauhan, melihat sampai di mana hasil rencananya yang dijalankan oleh tunangannya itu. Kalau dia tadi mengajak tunangannya untuk kembali dan membiarkan Ciang Bun berdua saja dengan Seng Nio, maka kesengajaan itu terlalu kasar dan tentu akau menimbulkan kecurigaan di hati Ciang Bun.
Ciang Bun bersama dua orang gadis itu mendaki puncak dan pendekar muda ini merasa gembira sekali. Tempat itu memang indah nukan main, apalagi di waktu pagi ketika sinar matahari yang keemasan memulas semua yang ada di permukaan bumi dengan cahayanya yang indah cemerlang. Ketika tiba di puncak dan melihat di situ terdapat sebuah dataran yang penuh dengan pohon-pohon bunga, Ciang Bun mengucap pujian.
“Hebat.... indah.... mempesona, seperti untaian sajak....!” Dia berkata seperti kepada diri sendiri, lupa bahwa di dekatnya terdapat dua orang gadis cantik.
“Suma-taihiap, kakakku bilang bahwa engkau pandai bersajak. Tempat ini begini indah, suasananya begini tenang dan damai, kuharap engkau suka membuatkan sajak untuk kami,” kata Seng Nio dengan suara halus dan sikap manis.
“Benar sekali! Suma-taihiap, akupun ingin sekali mendengar sajak buatanmu mengenai keindahan Omei-san!” kata Ci Loan dengan gembira. Suma Ciang Bun memang sedang bergembira dan terpesona oleh keindahan alam di tempatitu, ma ka diapun berkata, “Baiklah, akan kucoba. Akan tetapi tentu saja tidak mungkin sebaik kalau Tan-twako yang membuatnya.”
“Aih, janganlah taihiap terlalu merendahkan diri!” Seng Nio berkata. Ciang Bun lalu berdiri memandang ke bawah puncak. Pemandangan sungguh indah dan diapun mulai bersajak bebas :
“Segalanya nampak indah di Omei-san,
tirai-tirai cahaya putih
menembos celah-celah daun
awan menjadi penghias matahari
daun kering berserakan
menyuburkan bumi
Bunga gugur
membawa keindahan mengharukan
berbahagialah mata
memandang semua ini!
Harum bunga semerbak dihembus angin lalu
sedapnya rumput dan tanah
menyentuh kalbu
berbahagialah hidung
mencium semua ini!
Kicau burung dan dendang air terjun
desir angin pagi
mempermainkan daun-daunan
berbahagialah telinga
mendengar semua ini!”
“Bagus sekali!” Ci Loan yang mengerti tentang sajak memuji. “Sajakmu sederhana namun berhasil menggambarkan keindahan yang mendalam, taihiap.”
“Wah, enci Loan. Aku hanya tahu sajak itu indah dan sedap didengar, akan tetapi aku tidak begitu mengerti apa artinya pujianmu tadi. Di manakah letak keindahannya?” Seng Nio yang tidak begitu mengerti akan sajak bertanya sedangkan Ciang Bun hanya tersenyum saja.
“Suma-taihiap merobah benda-benda yang biasanya mendatangkan kesan buruk berbalik menjadi indah. Awan yang biasanya menjadi pengganggu sinar matahari malah menjadi penghiasnya. Daun kering lambang kematian malah menyuburkan bumi dan bunga gugur juga dilukiskan sebagai hal yang indah mengharukan. Harumnya bunga, sedapnya rumput dan tanah, bunyi-bunyian seperti kicau burung, dendang air terjun dan desir angin pagi. Sungguh melukiskan keindahan alamiah yang aseli!” sambung Ci Loan.
Gembira juga hati Ciang Bun mendengar ucapan gadis itu, bukan karena pujiannya, melainkan karena ucapan itu membuktikan bahwa Ci Loan mampu mengerti isi sajak. Maka diapun menjura kepada dua orang gadis itu.
“Ah, kiranya nona adalah seorang ahli tentang sajak,” katanya.
Ci Loan tersenyum manis lalu berkata. “Aku
ingin mengambil bunga-bunga mawar yang kusukai. Banyak mawar tumbuh di bagian sana. Harap kalian menunggu di sini saja.” Tanpa menanti jawaban Ci Loan lalu meninggalkan mereka. Karena memang sebelumnya sudah ada permufakatan antara kedua orang gadis itu, maka Seng Nio juga tidak menahan kepergian calon kakak iparnya itu.
Ditinggalkan berdua saja dengan Seng Nio di tempat sunyi dan romantis itu, Ciang Bun tidak merasa canggung, hanya merasa kurang enak. Dia lalu duduk di atas batu hitam yang besar. Ketika Seng Nio melangkah mendekatinya, dia pura-pura tidak tahu dan memandang ke bawah puncak yang kini menjadi semakin terang oleh sinar matahari yang makin meninggi.
Sejak tadi Seng Nio memandang kepada pemuda itu dengan jantung berdebar tegang. Dari calon kakak iparnya ia sudah mendengar bahwa kakaknya, juga ayahnya, menginginkan sekali agar ia dapat berjodoh dengan Suma Ciang Bun! Dan bahwa pagi hari ini, atas anjuran kakaknya, Ci Loan sengaja mengajaknya ke tempat itu dan sengaja pula meninggalkan ia berduaan saja dengan pemuda itu. Tentu saja ia tidak perlu ditanya dua kali untuk menjadi jodoh Suma Ciang Bun! Begitu bertemu ia sudah merasa kagum dan tertarik sekali. Pemuda ini adalah seorang pendekar keturunan keluarga Pulau Es, seorang pemuda yang menurut kakaknya memiliki ilmu kepandaian sangat hebat! Selain itu, juga cukup pandai dalam hal kesusasteraan, ditambah lagi wajahnya yang tampan dan wataknya yang budiman dan lemah lembut!
“Taihiap....”
Ciang Bun sadar dari lamunannya dan menoleh ketika mendengar suara yang halus itu di sampingnya. Gadis itu sudah berdiri dekat dengannya dan Ciang Bun mengerutkan alisnya melihat betapa gadis itu memandangnya dengan sinar mata begitu mesra dan mengaudung daya pikat yang kuat.
“Ada apakah, nona?”
“Suma-taihiap, aku.... aku mohon sesuatu darimu, kalau boleh....”
Melihat sikap nona yang ragu-ragu dan takut-takut itu, Ciang Bun tersenyum menenangkan. “Engkau minta apakah, nona? Katakanlah, sebagai seorang sahabat, kalau memang aku dapat memenuhinya, tentu takkan kutolak permintaanmu.”
“Aku hanya.... mohon pctunjuk tentang ilmu silat....”
Ciang Bun tersenyum. “Nona, ayahmu adalah seorang guru silat yang berpengalaman, tentu dia lebih pandai membimbingmu dalam ilmu silat.... “
“Tapi, ayah dan Sim-ko mengatakan bahwa ilmu silatmu jauh lebih tinggi daripada tingkat ayah. Maka, aku mohon padamu, berilah sedikit petunjuk.... dan tempat ini amat baik untuk berlatih silat, bukan? Maukah engkau, taihiap?”
Tentu saja Ciang Bun merasa tidak enak kalau harus menolak begitu saja. Gadis ini dan sekeluarganya telah menerimanya sebagai tamu terhormat dan sudah bersikap amat ramah dan baik kepadanya. Wajarlah kalau sekarang dia memberi petunjuk ilmu silat kepada Seng Nio sekedar untuk membalas kebaikan mereka. Tentu saja tidak mungkin mengajarkan ilmu silat dalam waktu singkat. Maka diapun berkata ramah. “Baiklah, aku akan memberi sedikit petunjuk. Untuk itu engkau harus mainkan jurus-jurus silatmu dan aku akan mencoba untuk memperbaiki jurus-jurus itu.”
“Terima kasih, taihiap. Engkau baik sekali. Nah, sambutlah jurus-jurus ini dan tunjukkan mana yang kurang betul!” Seng Nio tidak menanti jawaban dan langsung saja mulai menyerang pemuda itu dengan pukulan-pukulan kedua tangannya. Ia merasa gembira sekalimendapatkan kesempatan berlatih silat dengan pemuda yang dikaguminya ini dan mengharapkan dari latihan ini akan bukan saja dapat bersentuhan akan tetapi juga dengan harapan akan dapat meningkatkan keakrabannya.
Sebetulnya bukan maksud Ciang Bun agar gadis itu menyerangnya. Denganmelihat gadis itu bermain silat saja dia sudah akan dapat mengetahui bagian-bagian yang lemah. Akan tetapi karena Seng Nio telah menyerangnya, tentu saja diapun mengelak sambil memperhatikan. Dia melihat bahwa gadis ini tidak mengecewakan menjadi puteri seorang guru silat karena gerakan-gerakannya cukup cepat dan mengandung tenaga lumayan. Dia memberi kesempatan kepada gadis itu untuk menyerangnya beberapa jurus sambil memperhatikan. Tiba-tiba dia menangkap lengan Seng Nio.
“Tahan....!” Ciang Bun melepaskan lengan gadis itu dan melanjutkan. “Nona, jurusmu yang terakhir ini tadi mengandung kelemahan yang dapat merugikan dirimu. Maukah engkau mengulang agar dapat aku memberi contoh dan pembetulan?”
Seng Nio memandang dengan wajah berseri dan iapun mengulang serangannya yang terakhir, yaitu jurus Sian-jin-ci-louw (Dewa Menunjukkan Jalan). Serangan ini dilakukan dengan tangan kiri, menggunakan dua buah jari menusuk ke arah leher lawan dengan gerakan cepat.
Ciang Bun mengelak ke kanan dan dari kanan tangannya “masuk” melalui bawah ketiak gadis itu, menggunakan kesempatan selagi lengan gadis itu menyerang lurus sehingga dada di bawah lengan ini terbuka, tahu-tahu tangannya sudah membuat gerakan memukul ke arah dada di bawah ketiak, dekat buah dada kiri gadis itu.
“Ihhhh....!” Seng Nio menjerit manja dan mukanya berobah merah. Tentu saja Ciang Bun tidak sampai menyentuh dada itu. Tanpa memperdulikan muka gadis itu yang berobah merah seperti orang malu-malu, Ciang Bun memberi petunjuk.“Jurus seranganmu itu cukup baik dan cepat, akan tetapi dengan serangan itu harus diketahui bahwa di bawah lenganmu menjadi terbuka dan pertahananmu lemah. Setiap serangan memang berarti membuka satu bagian pertahanan, karena itu cara menusukkan jari tangan itu tadi harus dilakukan cepat dan jangan sampai terulur sepenuhnya. Dengan demikian, andaikata serangan gagal dan lawan memasuki bagian yang lowong, lenganmu dapat cepat ditarik dan siku lengan dapat menangkis serangan lawan. Coba ulangi lagi, sekarang dengan lengan tidak terulur sepenuhnya dan siap membagi sedikit kewaspadaan untuk menjaga bagian yang terbuka.”
Bersambung ke buku 8