Suling Naga -8 | Kho Ping Hoo
Buku 8
Duka, kecewa dan kesengsaraan batin selalu menjadi akibat dari pada ikatan. Ikatan batin selalu mendatangkan duka nestapa. Isteriku, anakku, hartaku, kedudukanku, MILIKKU. Kalau batin sudah ikut memiliki apa yang dipunyai oleh badan, maka sekali waktu yang dimiliki itu menentangnya, tidak menurut, atau meninggalkannya, maka batin itu akan menderita, kecewa, berduka. Badan memang membutuhkan banyak hal untuk dipunyai, karena badan harus bertumbuh terus, mempertahankan hidupnya. Badan membutuhkan sandang, pangan, papan, bahkan badan berhak menikmati kesenangan melalui panca indriya dan alat-alat tubuhnya. Akan tetapi, semua yang dibutuhkan badan itu, biarlah dipunyai oleh badan saja. Kalau sampai batin ikut memiliki, maka akan timbul ikatan. Segala yang dimiliki itu akan berakar di dalam batin, sehingga kalau sewaktu-waktu yang dimiliki itu dicabut dan dipisahkan, batin akan berdarah dan merasa nyeri, kehilangan, kecewa, berduka dan akhirnya mendatangkan sengsara. Batin harus bebas dari ikatan, tidak memiliki apa-apa !
Mempunyai akan tetapi tidak memiliki, itulah seninya! Yang mempunyai adalah badan, akan tetapi mengapa batin ikut-ikut memilikinya? Cinta kasih bukan berarti memiliki dan menguasai! Dan cinta kasih ini urusan batin, bukan urusan badan. Urusan badan adalah cinta asmara, nafsu berahi dan kesenangan badaniah. Badan mengalami sesuatu yang mendatangkan nikmat dan kesenangan, dan ini adalah urusan badan. Kalau sudah habis sampai di situ saja, memang semestinya demikianlah. Akan tetapi kalau sang aku, yaitu pikiran atau ingatan, mencatatnya dan sang aku ingin mengulanginya, ingin menikmatnya lagi, maka ini berarti batin ingin memiliki dan timbullah ikatan terhadap yang menimbulkan kenikmatan atau kesenangan itu. Dan kalau sekali waktu, kita harus berpisah dari yang telah mengikat kita, maka timbullah duka dan sengsara.
Seperti juga Gak Bun Beng dan Milana, kita selalu mengatakan dengan mulut bahwa kita mencinta anak-anak kita. Akan tetapi cinta kita itu membuat kita ingin selalu ditaati oleh anak-anak kita! Kita merasa berkuasa atas diri mereka! Kita merasa bahwa kita memiliki mereka dan berhak mengatur kehidupan mereka! Dan yang beginilah yang kita anggap cinta! Kalau sekali waktu anak-anak kita membantah dan tidak mentaati kehendak kita, maka kita lalu kecewa, marah-marah, berduka dan mungkin saja cinta kita berubah menjadi kebencian dan sakit hati inikah yang dinamakan cinta? Bukankah cinta kita kepada anak-anak kita ini kita samakan dengan cinta kita terhadap binatang peliharaan atau benda-benda lain yang mendatangkan kesenangan bagi kita? Di dalam cinta kasih, tidak ada lagi “aku yang ingin disenangkan”! Di dalam nafsu dan kesenangan, selalu “aku” yang menonjol. Cinta kasih tidak menuntut apa-apa untuk “aku”. Cinta kasih mementingkan orang yang dicinta, sama sekali tidak berpamrih untuk diri pribadi. Cinta kasih beginilah yang tidak akan menimbulkan duka dan sengsara, karena tidak mengejar kesenangan untuk diri sendiri saja, yang sudah mengikat batin, yang akan mendatangkan duka dan sengsara sebagai kebalikannya.
Kurang lebih setahun kemudian, barulah Gak Bun Beng meninggalkan kuburan isterinya. Akan tetapi dia telah berubah. Kakek yang tadinya merupakan seorang pertapa yang gagah perkasa itu, yang arif bijaksana itu, kini menjadi seorang kakek jembel yang kotor sekali tubuhnya. Tak pernah mau mengurus tubuhnya, dan hidup berkeliaran seperti pengemis yang gila. Tak seorangpun memperdulikannya dan diapun tidak memperdulikan apa-apa lagi. Kasihan sekali Gak Bun Beng, walaupun semua itu adalah akibat dari pada keadaan batinnya sendiri. Dia merasa kesepian. Dia merasa amat iba kepada dirinya sendiri dan dia merasa nelangsa karena merasa tidak ada gunanya lagi hidup di dunia, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Selama ini, yang dimilikinya sampai mengikat batinnya adalah isterinya dan dua orang puteranya. Akan tetapi, dua orang puteranya tidak mentaatinya, kemudian isterinya, satu-satunya orang yang masih tinggal, yang masih menjadi miliknya lahir batin, meninggalkan dirinya!
Dalam perantauan yang tidak ada tujuan ini, akhirnya dia berkeliaran di kota raja! Biarpun keadaannya sudah menjadi seorang kakek jembel yang seperti tidak waras otaknya, namun Gak Bun Beng bekas pendekar yang sudah sering menjelajah di kota raja. Dia mengenal keadaan kota raja dan masih peka oleh berita-berita yang bersimpang siur. Dia mendengar pula tentang keadaan yang kacau balau di istana, tentang pembesar Hou Seng yang menguasai istana dan membuat kaisar menjadi seperti boneka. Semua percakapan di jalan didengarnya dengan peka. Namun, dia hanya tertawa dan sama sekali tidak memperdulikannya.
Sampai pada saat dia beristirahat di bawah jembatan dan melihat seorang anak perempuan berlari-lari itu. Sebelumnya, sudah ada beberapa orang yang lewat di atas jembatan itu dan mencari-cari seorang anak perempuan. Timbul perasaan iba di hatinya yang memang berwatak pendekar dan suka menolong mereka yang tertindas. Kasihan dia melihat seorang anak perempuan dikejar-kejar, apa lagi karena dia melihat bahwa seorang di antara pengejarnya adalah Kim Hwa Nio-nio! Dia mendengar nama ini dari orang-orang di tepi jalan, bahwa Kim Hwa Nio-nio adalah pengawal pribadi utama dari pembesar Hou Seng! Hatinya tertarik, terutama sekali melihat betapa gerak-gerik nenek itu jelas memperlihatkan kelihaiannya sebagai seorang yang memiliki ilmu kesaktian!
Kalau biasanya dia acuh saja terhadap segala peristiwa di sekelilingnya, dan andaikata ada suatu peristiwa yang membuat dia terpaksa turun tangan, maka semua itu dia lakukan dengan sembunyi-sembunyi tanpa diketahui orang. Akan tetapi, dia merasa kasihan kepada anak perempuan itu dan cepat dia menariknya ke kolong jembatan dan tanpa banyak cakap lagi karena waktunya hanya sempit, dia lalu menukar pakaian dan melumuri tubuh Suma Lian agar pantas menyamar sebagai seorang anak perempuan pengemis. Dan usahanya campur tangan secara diam-diam itu berhasil. Akan tetapi pada saat dia hendak membebaskan anak itu, muncul Kim Hwa Nio-nio sehingga terpaksa dia mempergunakan kepandaian yang selama ini disembunyikannya saja untuk melindungi anak itu dan dirinya sendiri. Dan sungguh sama sekali tidak disangkanya bahwa anak itu ternyata adalah cucu keponakannya sendiri, puteri dari keponakannya, Suma Ceng Liong!
Bu-beng Lo-kai (Pengemis Tua Tanpa Nama), nama baru yang dipergunakan Gak Bun Beng, memegang tangan anak itu dan tersenyum ramah. “Suma Lian, sekarang ceritakan kepadaku bagaimana engkau bisa sampai ke kota raja dan jatuh ke tangan orang seperti Kim Hwa Nio-nio itu.”
“Yang menculik aku bukan nenek itu, kek, melainkan seorang pendeta Lama berjuluk Sai-cu Lama.” Anak itu lalu bercerita tentang kemunculan Sai-cu Lama di kebun rumah orang tuanya di dusun Hong-cun, menculiknya ketika ia sedang berlatih silat di bawah pimpinan neneknya. Bu-beng Lo-kai mendengarkan penuh perhatian.
“Nenekmu Teng Siang In tidak mampu melindungimu dan merampasmu kembali dari tangan Sai-cu Lama itu? Wah, kalau begitu pendeta Lama itu tentu lihai bukan main!” kata kakek itu.
“Memang dia lihai sekali dan sekarang dia membantu Kim Hwa Nio-nio menjadi kaki tangan pembesar yang disebut Hou Taijin itu.”
Kakek itu mengangguk-angguk, lalu memandang wajah anak itu. “Dan bagaimana sekarang, cucuku? Engkau sudah berada di kota raja dan sudah bebas, apakah engkau ingin pulang ke Hong-cun? Aku akan mengantarmu sampai ke luar dusunmu, lalu kutinggalkan di sana kalau kau ingin pulang.”
“Dan engkau sendiri hendak pergi ke mana, kek?” tanya anak itu, memandang kepada orang tua itu dengan sinar mata mengandung rasa kasihan. Kakek ini demikian menderita, pikirnya.
“Aku? Ha, aku sendiri tidak tahu akan ke mana? Aku tidak punya apa-apa lagi.... di manapun menjadi tempat tinggalku. Aku tidak butuh apa-apa lagi....” Akan tetapi di dalam suaranya ini terkandung kedukaan dan keputusasaan yang mendalam.
Merantau! Ah, betapa keinginan ini sejak lama sudah memenuhi hati Suma Lian. Sudah beberapa kali ia mengajak ayah ibunya, juga neneknya, agar ia dibawa merantau, terutama ke kota raja. Akan tetapi mereka mengatakan bahwa keadaan sekarang tidak aman dan ia masih terlampau kecil untuk melakukan perjalanan jauh. Sekarang, ia sudah berada di kota raja. Sayang kalau ia harus pulang kembali begitu saja. Jiwa petualang bergelora di dalam hatinya.
“Kek, aku tidak mau pulang!” Tiba-tiba ia berkata dengan suara lantang.
“Eh?” Bu-beng Lo-kai memandang heran. “Tidak mau pulang?”
“Aku tidak mau pulang dulu, aku ingin ikut denganmu!”
“Ikut denganku?” kakek itu termenung, akan tetapi Suma Lian melihat dengan jelas perubahan pada wajah yang ditutupi rambut itu. Sepasang mata yang masih tajam itu kini mengeluarkan sinar, walaupun masih redup. Ada gairah. “Ikut denganku? Hidup seperti ini? Tanpa rumah tanpa apa-apa, seperti jembel berkeliaran dan terlantar?”
“Mengapa tidak? Bagi seorang perantau, tak perlu tempat tinggal tetap. Aku dapat tidur di mana saja. Bukankah keluarga kita, keturunan para pendekar Pulau Es, berjiwa perantau dan tabah menghadapi segala hal? Aku dapat tidur di kuil, di hutan, di mana saja, kek.”
“Tanpa pakaian indah, tidak ada uang, tidak ada kekayaan apapun?”
“Aku tidak ingin pakaian yang indah-indah, asalkan bersih. Kebersihan perlu sekali, kek. Bukankah seperti kata nenekku, kebersihan itu pangkal kesehatan dan kesehatan itu pangkal kegembiraan? Bagaimana kita bisa gembira kalau kita tidak sehat, dan bagaimana kita bisa sehat kalau kita tidak bersih? Bagaimana, kakekku yang baik, bolehkah cucumu ini ikut merantau bersamamu dan setiap ada kesempatan kau mengajarkan ilmu silat keluarga kita kepadaku?”
Ada semacam cahaya memasuki hati kakek itu. Suma Lian, anak perempuan berusia duabelas tahun ini, mendatangkan gairah hidup di dalam batinnya, membuat dia merasa bahwa dia masih dibutuhkan orang! Dia masih berguna!
“Baiklah, cucuku. Baik, kita merantau bersama.”
Bukan main girangnya rasa hati Suma Lian. Ia setengah bersorak merangkul kakek itu, akan tetapi lalu menutupi hidungnya. “Ihh, engkau berbau tak enak sekali, kek. Engkau harus mandi yang bersih, mencuci rambut itu, mengikatnya dan juga berganti pakaian. Aku juga. Hampir muntah aku kalau tercium bau bajuku sendiri ini!”
“Berganti pakaian? Aku tidak punya cadangan pakaian. Selimut bututku sudah menjadi pakaianmu.”
“Aku akan mencarikan ganti untukmu, kek. Mari kita ke dusun atau kota terdekat, dan aku akan mencari pakaian untuk kita berdua.”
Anak itu menarik tangan kakek itu dan merekapun melanjutkan perjalanan, tidak kembali ke kota raja karena mereka khawatir kalau bertemu dengan Kim Hwa Nio-nio dan kawan-kawannya. Kakek itu membawa Suma Lian ke sebuah dusun yang cukup ramai di sebelah barat kota raja dan mereka berdua berhenti di sebuah kuil tua yang kosong.
“Apakah perutmu tidak merasa lapar, kek?” tiba-tiba anak itu bertanya.
Kakek itu mengangguk. “Sejak kemarin siang aku tidak makan apa-apa,” jawabnya jujur. Harus diakuinya di dalam hati bahwa dia kadang-kadang sudah tidak perduli lagi apakah perutnya terisi atau tidak, bahkan dia sudah lupa bagaimana rasanya lapar atau kenyang itu. Selama ini dia seperti mayat hidup saja.
“Kalau begitu, kau tinggal saja dan tunggu aku di sini, kek. Aku akan mencari makanan dan pakaian untuk kita.”
Kakek itu memandang dengan alis berkerut. “Kau akan membelinya?”
Suma Lian tersenyum lucu penuh rahasia. “Kau tunggu sajalah, dan tanggung beres, kek.” Anak itu lalu berlari-larian meninggalkan kuil, diikuti pandang mata yang penuh keharuan oleh kakek tua renta itu. Mulailah pohon yang hampir mati kering itu memperoleh air kehidupan lagi, mulai bersemi semangat untuk hidup dan gairah. Dia merasa seolah-olah Suma Lian itu cucunya sendiri, cucu yang amat diharapkan selama bertahun-tahun oleh dia dan mendiang isterinya, cucu yang tak kunjung ada dan kini tiba-tiba saja muncul seorang cucu dalam kehidupannya!
Dia tidak khawatir akan keselamatan Suma Lian. Anak itu pandai berjaga diri, dan diapun tidak perlu mengkhawatirkan munculnya Kim Hwa Nio-nio. Kuil itu berada di dekat pintu pagar dusun sebelah timur sehingga kalau ada orang muncul dari jurusan kota raja, dia akan dapat melihatnya lebih dulu sebelum orang itu dapat bertemu dengan Suma Lian yang berada di tengah dusun itu.
Kurang lebih sejam kemudian, sesosok bayangan kecil berloncatan dan Suma Lian masuk ke dalam kuil itu melalui tembok belakang yang diloncatinya. Ia membawa buntalan yang cukup besar dan wajahnya berseri-seri ketika ia menghadap Bu-beng Lo-kai di ruangan kuil tua yang lantainya sudah mereka bersihkan tadi.
“Makanan dan pakaian yang cukup untuk kita, kek!” kata anak itu sambil membuka buntalannya di depan kakek itu. Bu-beng Lo-kai memandang dan mengerutkan alisnya ketika dia melihat dua buah panci yang terisi masakan-masakan dan daging, juga bakmi yang masih panas. Dan selain makanan itu, juga terdapat beberapa potong pakaian yang masih baru untuknya, juga untuk anak itu!
“Hai....! Dari mana kau memperoleh semua ini? Tak mungkin kalau engkau mengemis dan diberi orang!” tegur kakek itu.
“Aihh, kek. Nanti saja kita bicara tentang itu. Sekarang, paling perlu mengisi perut yang sudah lapar dengan makanan ini. Dan ini seguci arak untukmu!” Seperti main sulap saja, Suma Lian mengeluarkan seguci arak yang ketika dibuka tutupnya, berbau harum sekali, membuat kakek itu menelan air ludah saking ingin segera mencicipinya.
Kakek itu mengangguk-angguk. Bagaimanapun juga dari manapun asalnya makanan itu, kini sudah berada di situ dan memang sebaiknya dimakan saja dulu, baru nanti dia akan menuntut keterangan dan kalau perlu memberi teguran keras kepada anak ini kalau benar seperti dugaannya bahwa anak ini telah melakukan pencurian!
Dan, barang curian atau bukan, kalau perut sudah sedemikian laparnya, masakan itu luar biasa enaknya! Baru sekarang selama dia ditinggal mati isterinya, kakek itu makan sedemikian lahapnya dan enaknya. Suma Lian juga makan dengan lezat, melupakan bau tak sedap yang datang dari kakek itu dan dari pakaiannya sendiri. Tak lama kemudian, makanan itu sudah mereka sikat habis dan kakek itu dengan wajah puas lalu meneguk arak dari gucinya.
“Nah, sekarang kau....“
“Nanti dulu, kek. Ketika aku pergi tadi, ada kulihat sebatang sungai kecil di belakang kuil ini. Airnya jernih sekali. Mari kita membersihkan badan, mandi dan berganti pakaian dulu, baru bicara. Akan lebih enak begitu. Marilah, kek!” Anak itu lalu menarik tangan Bu-beng Lo-kai yang terpaksa bangkit berdiri sambil membawa guci araknya. Suma Lian membawa buntalan pakaian dan mereka keluar dari kuil, lalu membelok ke arah belakang kuil di mana benar saja terdapat sebuah anak sungai yang jernih airnya.
“Nah, kau mandilah dan ganti pakaianmu itu dengan pakaian ini, kek. Lihat, kupilihkan yang polos kuning dan putih untukmu, dengan ikat pinggang biru. Tentu pantas sekali untukmu. Dan ini minyak pencuci rambutmu. Cucilah rambutmu dan badanmu yang bersih, kek. Aku menanti di sini,” katanya sambil duduk di bawah sebatang pohon besar, tak jauh dari anak sungai itu yang berada di bawah, tidak nampak dari situ.
“Kau dulu yang mandi dan bertukar pakaian. Aku nanti saja setelah engkau. Aku akan berjaga di sini sambil minum arak. Arak ini enak sekali!” kata kakek itu malas-malasan.
“Baiklah, akan tetapi setelah aku selesai, engkau harus mandi dan berganti pakaian, kek. Berjanjilah!
Kakek itu hendak membantah, akan tetapi ketika melihat wajah anak perempuan itu, tak sampai hatinya membantah. Dia mengangguk-angguk. “Baiklah.” Dan menenggak arak lagi seteguk dari gucinya, mengecap-ngecap dan menjilat-jilat bibirnya.
Suma Lian membawa satu stel pakaian berwarna biru muda dan sambil tertawa-tawa ia berloncatan menuruni tebing menuju ke sungai itu. Tak lama kemudian terdengar suara ia berkecimpung di dalam air sambil bernyanyi-nyanyi kecil, suara yang amat asing dan baru baginya, namun indah sekali dan menyegarkan batinnya. Kini dia dapat tersenyum-senyum penuh kegembiraan seorang diri, bukan lagi senyum untuk menyembunyikan kedukaan hatinya.
Tak lama kemudian, Suma Lian sudah berada lagi di depannya. Segar sekali wajah yang kini bersih dan putih kembali itu, rambutnya yang hitam panjang itu masih basah kuyup dan diperasnya, lalu dibiarkan terurai agar cepat kering, kedua kakinya memakai sepatu baru dan pakaian yang dipakainya itu membuatnya nampak manis sekali.
“Nah, sekarang engkau mandi, mencuci rambutmu dan berganti pakaian, kek!” kata Suma Lian sambil menyerahkan pakaian untuk kakek itu. Bu-beng Lo-kai memandang pakaian yang berwarna putih dan kuning polos itu dengan alis berkerut, seperti seorang anak kecil memandang obat pahit yang harus ditelannya. Beberapa kali dia menggelengkan kepalanya.
“Wah, bagaimana aku dapat memakai pakaian sebersih itu? Tentu aku akan takut duduk di tempat sembarangan, selalu harus menjaga agar pakaianku tak menjadi kotor. Wah, repot sekali kalau begitu, tidak bebas lagi aku....”
“Janji, kek. Janji harus dipenuhi, bukankah itu satu di antara sifat kegagahan?”
“Ya-ya, akan tetapi....“
“Tidak ada tapi, kek. Dan aku yakin bahwa dulu, entah kapan, pernah engkau merupakan seorang yang suka akan kebersihan, tidak seperti sekarang ini! Engkau sudah berjanji akan mandi dan berganti pakaian, kek!”
Mendengar ucapan itu, Bu-beng Lo-kai termenung teringat akan isterinya. Isterinya, Puteri Milana, ketika masih muda, sebagai isterinya, juga suka sekali akan kebersihan. Dia sering diomeli isterinya itu kalau menaruh barang di sembarangan tempat, juga isterinya itu menghendaki agar dia selalu bersih, baik badannya maupun pakaiannya. Dan diapun selalu menjaga dirinya agar bersih. Akan tetapi bertahun-tahun sudah dia hidup tanpa perduli akan apa yang dinamakan kebersihan. Bahkan tidak ada yang kotor baginya. Bukankah daun-daun kering itu juga bersih? Tanah dan lumpur itupun bersih? Akan tetapi sekarang, kata-kata dan sikap Suma Lian mengingatkan dia kembali akan kehidupannya dahulu, sebelum isterinya meninggalkannya untuk selamanya.
“Akan tetapi.... pakaian seperti ini....? Ingat, cucuku, mulai tadi aku sudah memakai nama Bu-beng Lo-kai. Ingat, apa artinya lo-kai? Pengemis tua! Kalau aku memakai pakaian begini, mana mungkin namaku Lo-kai? Seorang pengemis tua harus mengenakan pakaian butut dan penuh tambalan, kalau tidak begitu, mana mungkin dia laku mengemis? Takkan ada orang mau memberi sedekah!”
Tiba-tiba Suma Lian tertawa menutupi mulutnya. “Hi-hik, sudah kuduga engkau akan mengajukan alasan itu, karena itu akupun sudah siap, kek. Nah, lihat ini!” ia mengeluarkan jarum dan benang, lalu ia merobek pakaian kakek itu di sana-sini, merobek kain kuning paha celana dan memindahkan atau menembelkan robekan itu di pundak baju putih dan sebaliknya. Ia merobek sana-sini, tambal sana tambal sini dan akhirnya pakaian itu menjadi pakaian penuh tambalan yang hanya merupakan pemindahan saja dari bagian-bagian yang dirobek tadi. Kini bajunya yang putih penuh tambalan kuning, sedangkan celana kuning penuh tambalan putih.
“Nah, pakaianmu sudah penuh tambalan, syarat bagi seorang pengemis, bukan?” Akan tetapi, betapapun miskinnya, seorang pengemis tetap berhak untuk hidup bersih. Dan karena itu, di sini masih tersedia dua stel lagi untukmu dan lima stel pakaian untukku. Setiap hari kita berganti pakaian, yang kotor akan kucuci sampai bersih, dan setiap hari kita mandi!” Kembali kakek itu termenung, teringat akan mendiang isterinya. Sama benar watak isterinya dengan anak ini, ketika isterinya masih muda. Keras, lincah, galak, pandai bicara dan juga amat suka akan kebersihan. Dia sudah kehabisan akal untuk membantah lagi dan terpaksa dia menerima satu stel pakaian yang sudah penuh tambalan itu dan menuruni tebing. Dan Suma Lian menahan ketawanya ketika ia mendengar kakek itu berkecimpung dan mendengar pula senandung yang digumamkan mulut itu.
“Yang bersih, kek! Rambutnya juga....!” ia berteriak ke arah bawah tebing.
Dari bawah terdengar suara ketawa. “Wah, engkau cerewet benar seperti seorang nenek tua saja!” Dan Suma Lian kembali tertawa.
Bu-beng Lo-kai membutuhkan waktu yang jauh lebih lama untuk membersihkan tubuhnya yang amat kotor, terutama rambutnya yang sudah menjadi gimbal saling melekat itu. Akan tetapi suatu keanehan terjadi pada dirinya. Begitu dia merendam tubuhnya di dalam air dan membersihkan semua kotoran, dia merasa hatinya demikian ringan dan senang, membuat dia gembira seperti seorang anak kecil saja.
Betapa keriangan hati itu bisa didapatkan di mana saja dan kapan saja, asalkan batin tidak dipenuhi oleh segala macam persoalan yang sebenarnya hanyalah peristiwa-peristiwa yang kita jadikan persoalan sendiri! Tidak ada masalah di dunia ini kecuali hal itu dibuat menjadi masalah. Tidak ada kesusahan kecuali kejadian itu kita buat sendiri menjadi kesusahan! Kalau batin tidak sibuk lagi oleh segala macam penilaian yang menimbulkan aku yang kemudian melahirkan iba diri, maka segala hal kita hadapi sebagaimana adanya, sebagai suatu kewajaran dan segala tindakan kita terhadap hal yang terjadi itu muncul dari kecerdasan akal budi, tanpa keluhan lagi. Keriangan hati akan selalu terasa oleh kita apabila batin kita bersih dari segala persoalan yang dibuat oleh pikiran. Terdapat dalam hal yang kecil-kecil dan remeh-remeh, karena hidup merupakan suatu berkah di mana segala-galanya sudah terdapat untuk kita nikmati. Di tanah, di air, di udara, di mana saja terdapat kenikmatan itu, kenikmatan hidup karena setelah batin kita bersih dari pada segala kekuasaan siaku, akan nampaklah sinar cinta kasih yang menerangi alam!
Kakek itu benar-benar mencuci rambut dan tubuhnya sampai bersih! Dan dia nampak belasan tahun lebih muda ketika naik ke tebing itu, rambutnya terurai di belakang punggung, dan wajahnya yang tua nampak segar walaupun penuh dengan kumis dan jenggot putih. Nampak bersih segar dan sehat, apa lagi karena garis-garis mukanya masih memperlihatkan bekas wajah seorang laki-laki yang tampan dan gagah.
“Nah, kau kelihatan bersih dan gagah, kek!” Suma Lian bertepuk tangan kegirangan, membuat orang yang dipuji itu merah mukanya dan untuk menghilangkan rasa kikuknya, kakek itu hendak menjatuhkan diri duduk di atas tanah.
“Eiiiittt, hati-hati, kek!” Suma Lian meloncat dan memegang tangan kakek itu, ditariknya agar tidak jadi duduk. “jangan kotorkan pakaianmu dengan duduk begitu saja di atas tanah yang basah. Tuh, duduk di atas batu itu, sudah kubersihkan tadi!”
Kakek itu menarik napas panjang. “Nah, nah, sudah mulai bukan? Aku harus selalu menjaga pakaianku agar tidak kotor. Menambah kerepotan saja!”
“Bukan begitu, kek. Kalau sudah terbiasa nanti tentu dengan sendirinya engkau tidak mau mengotori pakaianmu. Ingat, engkau tidak ingin membuat kedua tanganku lecet-lecet, bukan?”
“Tentu saja tidak! Ehh.... apa maksudmu dengan tangan lecet-lecet itu?”
“Ingat, akulah yang akan mencuci pakaianmu setiap hari. Kalau engkau sembarangan saja membuat pakaianmu kotor sekali, bukankah aku yang mencuci yang akan bekerja berat setengah mati, sampai kedua tanganku lecet-lecet karena harus mencuci pakaian yang kotor sekali?”
Bu beng Lo-kai tertawa. “Ha-ha-ha, engkau memang cerdik. Baiklah, akan kujaga pakaian ini agar tetap bersih.”
“Nah, begitu barulah engkau kakekku yang baik sekali, terima kasih sebelumnya, kek!” Dan Suma Lian lalu memberi hormat kepada kakek itu dengan sikap yang lucu.
“Ah, apa yang terjadi dengan pakaianmu itu? Kenapa sekarang juga penuh tambalan?” kakek itu berseru sambil memandang ke arah pakaian yang dipakai oleh anak itu. Pakaian itu tadi nampak indah, akan tetapi sekarang penuh tambalan walaupun hal ini tidak mengurangi kepantasan anak itu memakainya.
“Kek, engkau Bu-beng Lo-kai dan aku cucumu. Cucu seorang pengemis tua harus memakai pakaian tambal-tambalan juga, baru cocok!”
Kakek itu kembali tertawa dan mengangguk-angguk, kemudian tiba-tiba dia memandang wajah anak itu dengan sikap serius dan suaranya juga terdengar tegas, tidak main-main lagi, “Nah, sekarang ceritakan, dari mana engkau memperoleh makanan, arak dan pakaian ini!”
Melihat sikap kakek itu, nyali Suma Lian menjadi kecil juga. Ia menundukkan mukanya, jari-jari tangannya mempermainkan ujung bajunya, kadang-kadang mengangkat muka memandang, lalu menunduk kembali.
“Hayo katakan! Kau.... mencuri, ya?” bentak kakek Bu-beng Lo-kai.
Dengan pandang mata takut-takut, Suma Lian memandang kakeknya dari bawah bulu mata sambil menundukkan muka, “Kau.. kau marah, kek....?”
“Tentu saja kalau kau membohong! Hayo katakan yang sebenarnya. Kau curi semua itu?”
Suma Lian mengangguk.
Bu-beng Lo-kai marah atau pura-pura marah. Dia bangkit berdiri dan membanting kakinya.
“Waduh, celaka! Cucuku menjadi pencuri? Menjadi maling? Tidak, kau harus kembalikan semua ini kepada.....” Dia tiba-tiba tak dapat melanjutkan kata-katanya karena teringat bahwa semua makanan tadi, juga araknya, sudah masuk ke dalam perutnya! Mana mungkin bisa dikembalikan lagi? Suma Lian yang cerdik anaknya dapat menduga isi pikirannya dan dengan suara mengandungkemenangan anak itupun berkata,
“Makanan sudah kita makan, mana bisa dikembalikan, kek?”
“Baiklah, akan tetapi pakaian ini.... mana pakaianku yang butut tadi? Dia menjenguk ke bawah tebing dan kembali menjambak rambutnya. “Celaka, pakaian itu sudah kuhanyutkan tadi!”
“Punyaku juga, kek. Dan lagi, kalau dikembalikanpun, yang punya tentu tidak mau menerimanya, sudah kutambal-tambal....”
Bu-beng Lo-kai teringat bahwa pakaian yang sudah dipakainya itu, selain tak dapat dilepaskan karena pakaian bututnya sudah hilang, juga sudah penuh tambalan, tak mungkin dikembalikan. “Masih ada yang baru, yang lain itu, pakaian cadangan itu harus dikembalikan....”
“Tidak bisa juga, kek. Lihat ini, dan Suma Lian memperlihatkan cadangan pakaian untuk kakek itu dan untuknya sendiri. Ternyata semuanya telah ditambal-tambal oleh Suma Lian, dilakukan ketika kakek tadi mandi dengan lamanya.
“Wah, wah....! Kau setan cilik....”
“Eh, kenapa kakek marah-marah dan memaki orang? Kata nenek, kebiasaan memaki itu tidak baik, kelak di neraka lidah akan dicabut keluar oleh malaikat....”
“Hushh! Sembarangan saja kau bicara. Apakah nenekmu Teng Siang In itu juga tidak pernah mengajarkan kepadamu bahwa mencuri adalah perbuatan yang amat tidak baik? Keturunan para pendekar Pulau Es bukan pencuri!”
“Aku selalu dilarang mencuri oleh ayah ibu dan nenekku, kek. Akan tetapi, apa yang kulakukan tadi adalah karena terpaksa. Dan yang kuambil pakaian dan makanannya adalah keluarga yang kaya raya, yang agaknya tidak akan merasa kehilangan apa-apa. Bukankah makanan tadi kuambil karena kita berdua kelaparan dan pakaian ini kuambil karena kita berdua amat membutuhkan? Kek, kalau kita mencuri yang mengakibatkan orang yang kecurian itu menderita, dan barang yang kita curi itu untuk kita pakai berfoya-foya, itu barulah tidak benar dan....”
“Cukup! Sekali mencuri tetap mencuri! Maling tetap maling, biar yang dimaling itu batu koral maupun batu permata! Mengambil barang orang lain yang bukan menjadi haknya adalah perbuatan jahat. Kita adalah keluarga pendekar, bukan keluarga maling dan pendekar berkewajiban untuk menentang para penjahat, termasuk pencuri. Mulai saat sekarang kau tidak boleh mencuri lagi. Kita belajar ilmu bukan untuk menjadi pencuri. Berjanjilah, kalau tidak, terpaksa aku akan membawamu pulang ke Hong-can dan....” Kakek itu berhenti marah-marah ketika melihat betapa ada dua tetes air mata jatuh dari sepasang mata yang memandangnya dengan penuh sesal itu. Dia menarik napas panjang. “Sudahlah, aku sudah melihat bahwa kau benar menyesal dan bertobat. Lebih baik minta-minta untuk menolong diri sendiri kalau memang kita sudah tidak mampu bekerja lagi, dan lebih baik mati kelaparan dari pada menjadi penjahat! Mengertikah engkau, cucuku?”
Suma Lian mengangguk. “Aku mengerti, kakekku yang baik.”
Bu-beng Lo-kai tersenyum dan anak itupun tersenyum lagi dan cuaca menjadi cerah.
“Nah, mari sekarang kita pergi menghadap orang yang kaucuri miliknya itu.”
Suma Lian membelalakkan matanya. “Wahh....! Mana aku berani....?”
“Seorang pendekar harus berani bertanggung jawab. Akupun telah makan barang curian, dan memakai barang curian, akupun harus bertanggung jawab. Mari, bawa aku ke rumah di mana engkau melakukan pencurian itu.”
Dengan muka sebentar merah sebentar pucat, Suma Lian terpaksa membawa kakek itu ke rumah besar di mana tadi ia melakukan pencurian. Ia memang seorang anak yang lincah dan karena sejak kecil sudah digembleng oleh ayah ibunya dan neneknya, maka ia memiliki kelincahan dan tidak sukar baginya untuk meloncat naik ke atas tembok rumah itu, kemudian dengan kecepatannya ia menyusup ke dalam kamar-kamar dan dapur, mencuri makanan dan pakaian tanpa diketahui oleh seorangpun di antara para penghuni rumah itu.
Rumah itu besar, terlalu besar untuk ukuran dusun. Suma Lian benar. Memang rumah itu milik orang kaya raya yang takkan merasa kehilangan kalau miliknya hanya diambil sekian saja. Dan ternyata rumah itu milik keluarga bangsawan dari kota raja! Kadang-kadang, untuk mencari ketenteraman yang tak bisa mereka dapatkan di kota raja yang ramai itu, keluarga Pouw, pemilik rumah itu, pergi ke dusun di luar kota raja ini dan di rumah mereka inilah mereka tinggal. Kalau saja keluarga itu tidak kebetulan berada di situ, tentu tadi Suma Lian hanya dapat mencuri pakaian saja yang ditinggalkan di situ, akan tetapi tidak akan memperoleh makanan-makanan yang lezat, melainkan makanan sederhana yang biasa dimasak oleh para pelayan dan penjaga rumah itu.
Para penjaga pintu, memandang kakek dan anak perempuan itu penuh keraguan ketika mereka minta untuk bertemu dengan pemilik rumah, akan tetapi karena dua orang tamu aneh ini bersih dan majikan merekapun suka menerima siapa saja yang datang bertamu, para penjaga lalu membuat laporan ke dalam, mengatakan bahwa ada dua orang tamu yang aneh, seorang kakek tua sekali dan seorang anak perempuan yang manis, keduanya memakai pakaian bersih dan tambal-tambalan, minta diperkenankan menghadap.
“Mereka tidak memberi nama dan tidak mengenal nama Taijin, hanya minta menghadap pemilik rumah,” demikian penjaga itu mengakhiri laporannya. Laki-laki yang disebut Taijin itu tersenyum. Dia seorang laki-laki yang usianya kurang lebih limapuluh tahun, berpakaian longgar dan wajahnya membayangkan kesabaran yang penuh wibawa.
Pemilik rumah itu adalah seorang bangsawan, bahkan dia memiliki pangkat yang cukup tinggi karena dia adalah seorang di antara para menteri pembantu kaisar! Dia pernah menjabat sebagai seorang panglima pasukan keamanan kota raja, dan kini ia menjadi seorang menteri yang mengatur tentang pendapatan istana, yaitu pemasukan pendapatan dari pajak dan lain-lain.
Pada waktu itu, Pouw Taijin atau dahulu pernah dikenal sebagai Pouw-ciangkun (perwira Pouw), bersama isterinya dan lima orang anak-anaknya, empat laki-laki dan seorang anak perempuan, sedang beristirahat di dusun itu. Akhir-akhir ini memang, dia semakin sering saja berada di dusun itu, karena keadaan di kota raja membuat dia tidak betah di gedungnya di kota raja.
Bu-beng Lo-kai dan Suma Lian disuruh masuk ke ruangan tamu oleh seorang penjaga dan belum lama mereka duduk, muncullah tuan rumah dari pintu sebelah dalam. Bu-beng Lo-kai cepat mengajak cucunya bangkit berdiri dan memberi hormat kepada laki-laki yang memandang kepada mereka denga mata terbelalak penuh keheranan itu.
“Maafkan kami kalau mengganggu,” kata Bu-beng Lo-kai dan kata-katanya yang teratur menunjukkan bahwa dia bukanlah seorang gelandangan biasa saja, “cucuku ini ingin membuat pengakuan kepada tuan rumah.”
Pouw Tong Ki, nama dari pembesar itu, semakin heran memandang kepada kakek tua renta dan anak perempuan itu. Dia seorang berpengalaman, dan melihat pakaian kakek dan anak perempuan itu yang baru akan tetapi tambal-tambalan, jelas bahwa dia pakaian itu bukan membutuhkan tambalan melainkan sengaja ditambal-tambal, dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan orang-orang kang-ouw yang mempunyai kebiasan yang aneh-aneh.
“Saya Pouw Tong Ki, pemilik rumah ini. Silahkan kalian duduk....“
“Nanti saja kami duduk setelah cucuku membuat pengakuannya,” kata Bu-beng Lo-kai dengan tegas dan diapun mencwel lengan cucunya.
Suma Lian berdiri dengan muka sebentar merah sebentar pucat. Bukan main malunya apa lagi melihat betapa tuan rumah itu amat ramah memandang kepadanya.
“Nona kecil yang baik, apakah yang hendak nona katakan? Katakan saja dan jangan ragu-ragu,” katanya sambil tersenyum ramah. Sikap ini banyak menolong dan setelah beberapa kali menelan ludah, akhirnya Suma Lian berkata, suaranya lirih akan tetapi cukup tegas dan jelas.
“Saya.... saya minta maaf karena tadi saya....” sukar sekali baginya untuk mengeluarkan kata-kata pengakuan itu. Mengaku menjadi pencuri! Tentu saja hal ini merupakan pukulan hebat bagi dirinya, bagi “aku” nya. Makin tinggi orang membentuk gambaran tentang dirinya, semakin sukar pula baginya untuk mengenal dan mengakui kesalahannya.
“Cucuku, apakah engkau ingin menjadi seorang pengecut?” tiba-tiba kakek itu bertanya dan ucapan ini seperti api yang membakar dada Suma Lian!
“Saya datang untuk minta maaf dan mengaku bahwa tadi saya telah mencuri makanan yang sudah kami makan berdua, dan pakaian beberapa stel yang sudah kami pakai dan kami jadikan cadangan-cadangan kami!” katanya dengan sikap gagah dan sepasang matanya yang jernih itu memandang kepada wajah tuan rumah tanpa mengenal takut sedikitpun!
Pouw Tong Ki nampak terkejut dan terheran-heran. “Tapi.... tapi pakaian yang kalian pakai itu bukan milik kami. Kami tidak mungkin memiliki pakaian tambal-tambalan....“
“Memang sengaja saya tambal-tambal agar sesuai dengan keadaan kami sebagai pengemis,” jawab Suma Lian.
“Maaf,” sambung Bu-beng Lo-kai. “Kami sudah biasa memakai pakaian tambal-tambalan sehingga tidak enak rasanya memakai pakaian utuh tanpa tambalan.”
“Ah....! Ahh....! Bukan main ji-wi (kalian berdua) ini....! Anakku harus melihat ini, harus dapat mencontoh!” Pouw Taijin bertepuk tangan dan dua orang penjaga muncul di pintu luar.
“Cepat kalian cari siocia dan minta agar datang ke sini dengan cepat!”
“Saya sudah minta maaf, kenapa harus memanggil orang lain?” Suma Lian memprotes karena bagaimanapun juga, ia merasa tidak suka kalau perbuatannya mencuri itu diberitahukan kepada orang-orang lain!
“Nona, harap jangan salah duga. Yang kupanggil adalah puteriku, puteri tunggal, dan karena pakaiannyalah yang kauambil dan kaupakai itu, bukankah sudah sepatutnya kalau ia datang sendiri menerima permintaan maaf darimu?”
Suma Lian tidak mampu membantah lagi, hanya mukanya berubah merah sekali. Ia harus menebalkan muka lagi, berhadapan dengan orang yang kini pakaiannya ia pakai! Tak lama kemudian, dari pintu dalam muncul seorang gadis cilik yang manis, sebaya dengan Suma Lian, pembawaannya tenang sekali akan tetapi sepasang matanya membayangkan kecerdikan. Sejenak gadis cilik itu memandang kepada Bu-beng Lo-kai dan Suma Lian, lalu bertanya kepada Pouw Tong Ki, “Ayah, ada apakah ayah memanggil aku agar cepat datang ke sini dan siapa pula dua orang yang pakaiannya aneh-aneh ini?”
“Li Sian, dengar baik-baik. Ayahpun tidak mengenal kedua orang ini, akan tetapi mereka datang minta bertemu dengan kita berdua karena nona kecil ini ingin menyampaikan sesuatu kepada kita. Kepadaku sudah disampaikan maksud kedatangannya dan dengarlah apa yang akan ia katakan kepadamu.”
Nona cilik itu memandang kepada Suma Lian, memandang penuh perhatian dari rambut sampai ke sepatunya, lalu ia mengerutkan alisnya dan berkata kepada Suma Lian, “Siapakah engkau yang berpakaian seaneh ini dan hendak menyampaikan apa?” Suaranya halus teratur, tidak galak dan mengandung kelembutan, akan tetapi ia agaknya terkejut dan terheran-heran mendengar kata-kata ayahnya tadi.
Untuk kedua kalinya, Suma Lian mengangkat mukanya, meluruskan kepala dan membusungkan dadanya, lalu berkata, “Aku datang ke sini untuk minta maaf dan untuk membuat pengakuan bahwa tadi aku telah menyelinap ke dalam rumah ini dan mencuri makanan, yaitu dua panci masakan, seguci arak dari dapur, dan dari dalam kamar-kamar aku mengambil.... eh, mencuri beberapa stel pakaian untuk kakekku ini dan untukku sendiri, juga sepatu ini. Pakaian-pakaian itu sudah kutambal-tambal, jadi tidak mungkin dikembalikan seperti yang dikehendaki kakekku, juga makanan itu terlanjur kami makan habis.”
Pouw Li Sian menjadi bengong, memandang ke arah pakaian Suma Lian. Ia mengenal bajunya sendiri yang sudah ditambal-tambal itu, juga ia mengenal sepatunya. Akan tetapi, yang membuat ia bengong, kenapa anak ini, yang sudah berhasil melakukan pencurian tanpa diketahui, kini malah datang membuat pengakuan dan minta maaf?
“Nah, Li Sian. Engkau sendiri menjadi terheran heran mendengar pengakuannya. Sikap seperti inilah yang harus kautiru, anakku!”
“Maksud ayah.... berpakaian pengemis dan.... dan mencuri itu?”
“Bukan! Akan tetapi sikap berani mempertanggungjawabkan segala perbuatannya itulah! Aihh, betapa akan baiknya kalau semua pejabat dapat bertanggung jawab seperti anak ini! Li Sian, kalau ada orang-orang seperti ini kehabisan pakaian dan kelaparan, lalu mengambil makanan dan pakaian darimu, yang bagi kita tidak ada artinya, apakah engkau rela?”
Li Sian mengerutkan alisnya yang hitam indah itu. Lalu ia menggeleng kepalanya.
“Aku tidak rela, ayah. Kalau mereka datang dan minta kepadaku, mungkin aku akan memberi lebih baik dan lebih banyak dari pada yang telah diambilnya. Akan tetapi mencuri? Tidak, itu tidak benar dan aku tidak rela!”
“Akan tetapi, mereka sudah datang minta maaf. Lalu bagaimana pendapatmu? Kaumaafkan mereka?”
“Aku tidak mau memaafkan orang yang mencuri karena ia tentu kelak akan mencuri lagi. Pencurian harus dihukum dan hukumannya terserah kepada ayah. Akan tetapi kalau mengenai barang-barangku, itu kurelakan dan sekarang juga kusumbangkan kepada mereka, ayah.”
“Bagus!” Tiba-tiba Bu-beng Lo-kai berkata dengan pandang mata kagum kepada puteri tuan rumah. “Itupun merupakan suatu pendirian yang gagah dan harus dihormati. Lihat, cucuku, puteri tuan rumah ini pantas kaujadikan teladan. Tegas dan adil!”
Pouw Tong Ki yang kini merasa yakin bahwa dia berhadapan dengan seorang sakti, lalu pura-pura bertanya, “Orang tua, apakah hanya itu maksud kedatangan ji-wi ke sini? Hanya untuk membuat pengakuan dan minta maaf begitu saja?”
Kakek tua renta itu kini menujukan pandang matanya kepada tuan rumah dan diam-diam Pouw Tong Ki merasa terkejut dan kagum, juga jerih sekali. Sepasang mata itu dapat mengeluarkan sinar mencorong
seperti api! “Benar, akan tetapi aku setuju sekali dengan pendapat puterimu. Yang bersalah harus dihukum. Kami telah bersalah dan kami juga bukan orang yang suka menghindarkan diri dari hukuman. Nah, kami telah mengaku salah, kami telah datang, kalau mau menjatuhkan hukuman, silahkan!”
“Baik, kami akan menghukum ji-wi dan ji-wi sudah berjanji untuk menerima hukuman itu.”
“Tapi hukuman itu harus adil, kalau tidak, aku akan menentangnya! Sudah menjadi kewajiban kita untuk menentang keadilan, bukankah begitu, kek?” tiba-tiba Suma Lian berkata kepada tuan rumah dan iapun tegak berdiri menanti hukuman dengan sikap gagah!
“Hukuman untuk ji-wi adalah satu bulan lamanya harus mau menjadi tamu kehormatan kami di rumah ini! Locianpwe ini akan menjadi temanku bercakap-cakap, sedangkan nona cilik ini menjadi teman bermain dari Pouw Li Sian, anak kami ini. Locianpwe, saya bernama Pouw Tong Ki, menjabat Menteri Pendapatan Istana yang sedang beristirahat di sini, harap locianpwe tidak menolak undangan kami untuk menjadi tamu kehormatan kami!”
Kakek dan cucunya itu menjadi bengong! Mana di dunia ini ada hukuman berupa menjadi tamu kehormatan dan menjadi sahabat? Dan tuan rumah ini ternyata seorang menteri! Seorang “tiong-sin” menteri setia dan bijaksana seperti nampak pada sikapnya, dan dapat mengenal dirinya maka bersikap demikian hormat.
“Bagaimana ini, kakek? Hukumannya aneh sekali!” kata Suma Lian, bingung.
“Ha-ha-ha, kita sudah berjanji dan sanggup untuk menerima, sekali-kali tidak baik kalau menolaknya, cucuku.”
Pouw Li Sian menjadi girang sekali dengan keputusan ayahnya dan iapun maju dan memegang tangan Suma Lian. “Engkau anak yang aneh sekali dan aku suka kepadamu. Namaku Pouw Li Sian. Siapakah namamu?”
“Namaku Suma Lian. Dan akupun merasa heran ada puteri seorang menteri suka bersahabat dengan seorang anak pengemis. Tidak malukah engkau bersahabat dengan aku?”
Pouw Li Sian merangkul pundaknya. “Engkau dahulu lahir telanjang seperti aku, hanya pakaian saja yang memberi sebutan-sebutan itu. Mari kita lihat kebun buah kami, kini sedang musim apel, banyak dan besar-besar. Mari kita petik!” Ia lalu menggandeng tangan Suma Lian yang mengikutinya dengan girang tanpa menoleh lagi kepada kakeknya.
“Locianpwe, mari kita bicara di ruangan dalam. Silahkan!” Pembesar itu bangkit dan mengajak kakek itu masuk ke dalam, diikuti oleh Bu-beng Lo-kai yang merasa semakin suka saja kepada laki-laki yang memiliki kedudukan tinggi akan tetapi berjiwa sederhana itu. Setelah mereka duduk di ruangan dalam, Pouw Tong Ki memperkenalkan isterinya kepada kakek itu, juga empat orang puteranya yang berusia dari sembilanbelas tahun sampai enambelas tahun, kakak-kakak dari Pouw Li Sian. Bu-beng Lo-kai semakin hormat kepada keluarga ini, contoh keluarga pembesar yang baik dan ramah. Sebaliknya, keluarga itu menganggap kakek yang berpakaian tambal-tambalan dan diaku sebagai tamu kehormatan oleh pembesar itu sebagai seorang kakek yang tentu berilmu tinggi. Setelah mereka mundur dan para pelayan menghidangkan minuman arak dan makanan kering, pembesar itu lalu bertanya, suaranya bersungguh-sungguh.
“Kalau saya tidak salah duga, locianpwe tentulah seorang pendekar dari keluarga Pulau Es, bukan?”
Bu-beng Lo-kai terkejut, sama sekali tidak mengira akan ditanya demikian. “Bagaimana Taijin dapat menduga demikian?” Dia balas bertanya sambil memandang tajam. Kalau penghormatan ini didasarkan dugaan tuan rumah bahwa dia dan cucunya keluarga para pendekar Pulau Es, berarti bahwa penerimaan dan penghormatan keluarga ini mengandung suatu pamrih tertentu dan dia harus berhatihati.
“Tadinya saya tidak menduga apa-apa, akan tetapi setelah cucumu berkenalan dengan puteriku dan mengaku bernama Suma Lian, maka timbul dugaan itu di hati saya. Bukankah nama marga Suma itu jarang sekali dan dimiliki oleh keluarga Pulau Es?”
Kakek itu menarik napas lega. Dia percaya dan memang benar ucapan pembesar ini. Nama marga Suma yang bukan merupakan keluarga Pulau Es memang ada, akan tetapi tidak banyak dan karena keluarga Pulau Es terkenal di antara para pembesar di kota raja, maka tidak mengherankan kalau pembesar ini segera dapat menduganya demikian.
“Dugaanmu memang tidak keliru, Pouw Taijin. Cucuku Suma Lian itu adalah keturunan langsung dari keluarga Pulau Es.”
“Dan bolehkah saya mengetahui siapa nama locianpwe yang mulia?”
“Aihh.... saya sendiri sudah lupa akan nama saya. Saya hanya orang luar dan saya hanya mempunyai sebutan Bu-beng Lo-kai.”
Pouw Tong Ki tidak merasa kecil hati mendengar ini. Dia berpengalaman luas dan tahu apa artinya itu. Berarti bahwa kakek ini tidak mau dikenal oleh siapapun juga, dan memang banyak sekali orang-orang sakti yang ingin menyembunyikan diri dari kepandaiannya. Maka dia semakin kagum dan menduga bahwa tentu kakek ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali. Dan diam-diam diapun mempunyai harapan. Di antara lima orang anak-anaknya, justeru Li Sian seoranglah, satu-satunya anak perempuannya yang menaruh minat akan latihan silat, juga berbakat sekali. Alangkah akan girang hatinya kalau Li Sian dapat menjadi murid kakek ini, menjadi saudara seperguruan atau saudara angkat dari anak perempuan bernama Suma Lian yang mengagumkan hatinya itu!
Mereka lalu bercakap-cakap dan ternyata oleh tuan rumah bahwa kakek yang kelihatannya saja seperti seorang pengemis tua, ternyata memiliki daya tangkap yang tajam dan pengetahuan yang luas sekali. Kakek tua renta itu bahkan pandai menanggapi ketika percakapan menyinggung keadaan kaisar. Kakek itu menyayangkan sekali bahwa seorang kaisar secakap Kaisar Kian Liong itu akhirnya dapat begitu mudah diperdaya oleh seorang menteri durna seperti Hou Seng, hanya karena kaisar itu tergila-gila kepadanya dan menganggapnya penjelmaan dari seorang wanita yang pernah dicintanya.
“Kaisar merupakan mercu-suar dari pemerintahan,” demikian antara lain kata kakek tua renta ini. “kalau kaisarnya lemah, maka pemerintahanpun lemah dan hal ini menurunkan kewibawaan pemerintah terhadap rakyat, juga memberi angin kepada para pembesar durna untuk merajalela. Akibatnya, rakyat yang tertindas dan kalau sampai rakyat merasa tidak puas dengan suatu pemerintah, itu tandanya bahwa pemerintah itu sudah mulai rapuh dan akan mudah jatuh kalau sampai terjadi pemberontakan, karena rakyat tentu akan lebih condong membantu pemberontak dari pada pemerintah yang tidak disukanya. Dan kalau kaisar lemah, sudah menjadi kewajiban para menteri dan pembesar tinggi untuk mengingatkannya.”
“Pendapat locianpwe memang tepat sekali. Akan tetapi celakanya, Hou Seng itu agaknya memang sudah membuat persiapan. Selain sukar untuk membuktikan korupsinya yang hanya beberapa orang yang bersangkutan dengan kekayaan negara saja yang mengetahuinya, juga dia kelihatan amat setia kepada kaisar dan bahkan kini mengumpulkan kekuatan rahasia untuk memperkuat kedudukannya. Menteri-menteri yang kuat disingkirkannya, baik melalui kekuasaan kaisar ataupun melalui kaki tangannya, menteri-menteri yang tidak kuat mentalnya dirangkul dengan sogokan-sogokan besar. Siapa berani menentangnya, tahu-tahu mati dalam keadaan amat menyedihkan dan aneh. Seperti baru saja terjadi pada diri Pangeran Cui Muda yang kedapatan mati bersama seluruh pengawalnya di sebuah rumah pelesir, tanpa ada tanda-tanda siapa yang melakukan pembunuhan itu. Saya sendiri sudah tahu bahwa itu tentulah perbuatan orang sakti yang menjadi kaki tangan Hou Seng itu. Aihhh.... sungguh sedih sekali hatiku melihat keadaan istana. Karena itulah maka saya lebih sering berada di dusun sunyi ini dari pada di kota raja. Kalau saja orang-orang seperti Panglima Kao Cin Liong itu masih menjadi pembesar di kota raja. Ah, hanya orang-orang dengan kepandaian tinggi seperti dialah yang akan mampu membendung kekuasaan Hou Seng yang merajalela. Saya kira locianpwe tahu siapa adanya Panglima Kao Cin Liong itu, bukan?”
Bu-beng Lo-kai mengangguk-angguk. Tentu saja dia sudah mendengar tentang putera dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir itu!
“Panglima Kao Cin Liong adalah seorang di antara para sahabat baik saya, locianpwe. Ketika dia masih menjabat panglima, setiap ada keruwetan di istana saya dapat mengajaknya bertukar pikiran. Akan tetapi sekarang, ah, dia sudah lama sekali mengundurkan diri dan kini hanya menjadi seorang pedagang rempa-rempa di Pao-teng. Betapa saya amat merindukan nasihat-nasihatnya dalam keadaan seperti ini.” Pembesar itu menarik napas panjang.
Bu-beng Lo-kai makin suka kepada pembesar she Pouw ini. Kalau menteri ini sahabat baik bekas Panglima Kao Cin Liong yang terkenal itu, jelaslah bahwa dia memang seorang menteri yang baik dan bijaksana, dan dia merasa gembira dapat menjadi tamunya.
“Bagaimana Taijin dapat memastikan bahwa pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan atas diri para pembesar itu adalah perbuatan kaki tangan Hou Seng?” tanyanya, ingin tahu sekali karena apa yang diceritakan oleh pembesar ini amat penting dan agaknya masih ada hubungannya dengan pengalaman Suma Lian.
“Mereka yang, menjadi korban pembunuhan rahasia itu, semua terbunuh oleh orang-orang pandai yang tidak dilihat sepak terjangnya, hanya nampak bayangannya saja. Dan menurut penyelidikan, mereka yang tewas itu semua adalah orang-orang yang menentang kekuasaan Hou Seng, Bahkan mendiang Pangeran Cui Muda juga menentangnya karena merasa kalah bersaing dalam istana dan pangeran itu pernah menghinanya di suatu pesta.”
“Lalu apa yang akan Taijin lakukan?”
“Pembunuhan-pembunuhan gelap seperti ini tidak boleh didiamkan begitu saja!” kata menteri itu penuh semangat. “Seolah-olah pemerintah kita terdiri dari algojo-algojo yang boleh saja saling bermusuhan dan saling mengirim pembunuh. Bagaimana kalau nanti semua pembesar memelihara jagoan-jagoan untuk saling bunuh. Sudah terlalu banyak jatuh korban. Saya akan memberanikan diri menghadap kaisar dan menceritakan semua ini, dan kalau perlu saya akan temui Hou Seng dan akan saya tegur atas perbuatannya yang sewenang-wenang dan kotor itu!”
Bu-beng Lo-kai menarik napas panjang dan percakapan mereka terhenti dengan munculnya Suma Lian dan Li Sian. Mereka masuk sambil bergandeng tangan dan Suma Lian memberi dua buah apel merah kepada kakeknya.
“Kek, Li Sian ini baik sekali kepadaku dan kebun apelnya penuh dengan buah apel yang manis. Ini dua buah untukmu, kek. Aku sudah kekenyangan makan apel!“
“Hushh, bagaimana engkau menyebut namanya begitu saja? Ia puteri seorang menteri, setidaknya engkau harus menyebutnya siocia (nona)!” kata Bu-beng Lo-kai.
“Ia tidak mau, kek. Dan usia kami memang sebaya, akan tetapi aku lebih tua beberapa bulan maka ia malah menyebut enci kepadaku.”
Sementara itu, Li Sian berkata kepada ayahnya. “Ayah, enci Lian ini pandai sekali! Menurut kakak-kakakku, enci Lian pandai silat dan ketika dicoba, semua kakakku kalah olehnya. Aku sendiripun dalam lima jurus saja sudah keok! Wah, ia lihai dan juga ia pandai menulis sajak. Sungguh seorang anak pengemis yang luar biasa, ayah. Aku menganggapnya sebagai saudaraku sendiri!”
Menteri Pouw mengangguk-angguk senang dan memandang kagum kepada Suma Lian. “Bagus sekali kalau engkau dapat menghargai orang pandai, anakku. Ketahuilah bahwa ia adalah keturunan langsung dari keluarga Pendekar Pulau Es, tentu saja ia lihai sekali.”
“Ehh? Kakek memperkenalkan keluarga kita?” Suma Lian memandang kepada kakeknya dengan mata terbelalak, seperti menegur. Kakeknya menggeleng kepala sambil tersenyum.
“Anak baik, nama keluargamu sudah amat terkenal di sini. Begitu engkau menyebutkan she (nama marga) Suma tadi, Pouw Taijin juga sudah dapat menduga bahwa engkau tentu keturunan dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es.”
“Dan engkau....” hampir saja Suma Lian memperkenalkan keadaan diri kakek itu sebagai mantu Pendekar Super Sakti, suami dari mendiang Puteri Milana yang terkenal sekali.
Kakek itu memotong, “aku adalah Bu-beng Lokai dan tidak ada keterangan lain sebagai tambahan.”
Sunia Lian mengangguk. Saat itulah dipergunakan oleh Pouw Tong Ki untuk menyatakan hasrat hatinya. “Locianpwe, kami mohon dengan hormat dan sangat kepada locianpwe, sudilah kiranya locianpwe memberi bimbingan kepada Li Sian, anak kami ini yang suka sekali akan ilmu silat, berbeda dengan kakak-kakaknya yang suka akan ilmu sastera.
“Benar, kek, Li Sian ini lebih berbakat dari pada kakak-kakaknya dan ia juga minta belajar silat kepadaku. Akan tetapi aku sendiri masih belajar, bagaimana mungkin memberi pelajaran? Kalau kakek mau membimbingnya, bersamaku, betapa akan senangnya kami berdua untuk berlatih bersama dan aku yang memberi petunjuk kepadanya.”
Kakek itu tersenyum lebar akan tetapi tidak menjawab, melainkan memandang ke arah Pouw Li Sian dan dia melihat bahwa memang anak perempuan itu memiliki bakat yang baik, dapat dilihat dari gerak-geriknya. “Ha-ha, setua aku ini mana bisa menerima murid? Kalau hanya sekedar petunjuk dan bimbingan saja, tentu dengan senang hati....“
“Li Sian, cepat berlutut dan menghaturkan terima kasih kepada locianpwe Bu-beng Lo-kai!” kata Pouw Tong Ki yang cerdik.
Li Sian juga seorang anak yang patuh dan cerdik. Ia sudah dapat mengerti bahwa kalau Suma Lian saja, sedemikian lihainya sehingga anak perempuan berusia duabelas tahun itu dapat mengalahkan kakaknya yang paling tua berusia sembilanbelas tahun secara mudah saja, maka apa lagi kepandaian kakek dari Suma Lian! Tentu kakek ini seorang sakti! Dan iapun pernah mendengar dongeng tentang para pendekar Pulau Es, tentang Puteri Nirahai, Puteri Milana yang pernah menjadi panglima-panglima perang kerajaan. Maka, mendengar perintah ayahnya, ia cepat menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu sambil berkata, “Locianpwe, saya Pouw Li Sian menghaturkan terima kasih atas bimbingan locianpwe.”
Kakek itu tertawa senang. “Ha-ha-ha, keluarga Pouw sungguh pandai merendah, dan kerendahan hati selalu menguntungkan seseorang, lahir maupun batin. Bangkitlah, anak baik. Suma Lian, ajak ia duduk, aku hanya akan memberi bimbingan, bukan mengangkat murid. Biarlah engkau belajar bersama-sama Suma Lian.”
Suma Lian merangkul sahabatnya itu dan diajaknya duduk. Dalam percakapan berikutnya, sambil tetap menggandeng tangan Suma Lian, Li Sian berkata kepada ayahnya, “Ayah, aku sudah mengambil keputusan untuk belajar bersama enci Lian, baik belajar ilmu silat maupun ilmu baca tulis. Aku minta agar ia dan locianpwe ini suka tinggal selamanya di sini. Kalau mereka tidak mau dan akan pergi dari sini, aku akan ikut bersama mereka! Enci Lian sudah kuanggap enciku sendiri, ayah.”
Ayahnya hanya tersenyum dan memandang kepada Bu-beng Lo-kai yang juga hanya tersenyum melihat betapa dua orang gadis cilik itu begitu bertemu terus cocok sedemikian rupa. Padahal, keduanya memiliki watak dan sifat yang berbeda, bahkan mungkin berlawanan. Suma Lian mempunyai watak yang periang, lincah jenaka dan suka bicara, bahkan agak nakal dan ugal-ugalan. Sebaliknya, Pouw Li Sian berwatak pendiam, tidak banyak bicara, sabar namun tegas. Keduanya memang sama-sama suka kagagahan, menentang hal-hal yang jahat, dan suka membantu orang-orang lemah. Keduanya memiliki jiwa pendekar!
Demikianlah, mulai hari itu, Bu-beng Lo-kai dan Suma Lian menjadi tamu kehormatan, bahkan dianggap warga dari keluarga Pouw yang ramah tamah itu. Kakek itu mendapatkan sebuah kamar dekat tuan rumah, sedangkan Suma Lian tidur sekamar di kamar Li Sian.
***
Dalam percakapan-percakapannya dengan kakek Bu-beng Lo-kai, semangat Pouw Tong Ki semakin berkobar dan diapun melanjutkan rencananya yang sudah menjadi keputusan hatinya untuk menentang tindakan Hou Seng yang sewenang-wenaug. Dalam suatu persidangan dengan kaisar, selain melaporkan hal-hal yang mengenai keuangan, dia menggunakan kesempatan ini untuk melaporkan hal lain.
“Hamba mohon paduka suka mengambil perhatian akan keadaan rakyat yang mengeluh karena berulang kali terjadi pemungutan pajak liar dari para tuan tanah yang sudah memperoleh ijin langsung dari istana. Pemungutan pajak harus didasari keadilan, bukan hanya sekedar untuk mendatangkan keuntungan bagi pemerintah. Kalau hal itu merupakan penindasan, maka rakyat akan mengeluh dan tidak merasa tenteram hidupnya.”
Kaisar memandang kepadanya dengan alis berkerut. Dari Hou Seng dia sudah seringkali mendengar bisikan-bisikan tentang “buruknya” menteri Pouw ini yang sering melontarkan protes ke atasan.
“Apa yang kaumaksudkan dengan keadilan dalam pemungutan pajak itu?” tanya kaisar.
“Begini, Sribaginda. Dalam memungut pajak, harus diperhitungkan besar kecilnya penghasilan para petani itu secara seksama. Kalau sekali waktu hasil panen mereka amat kecil karena datangnya musim kemarau panjang atau terserang hama sehingga hasil keringat mereka itu untuk dimakan keluarga sendiri saja masih belum mencukupi, hendaknya diadakan peraturan agar para tuan tanah tidak memaksakan pemungutan pajak. Dan pemerintahpun memberi kelonggaran kepada para tuan tanah dalam hal membayar pajak. Memang tentu saja pemasukan di istana menjadi berkurang, akan tetapi hal itu disebabkan oleh bencana alam. Biarpun pemasukan berkurang, akan tetapi semua pihak tidak mengeluh dan kalau hasil panen besar dan baik, tentu mereka suka membayar pajak penuh dengan hati rela.”
Kaisar Kian Liong yang tidak begitu beminat lagi untuk memperhatikan keadaan yang dianggap tidak penting itu, hanya mengangguk-angguk. “Pendapat dan usul itu baik sekali untuk diperhatikan.”
“Ampun, Sribaginda yang mulia, hamba kira bahwa peraturan pajak yang diadakan pemerintah sudah cukup baik dan adil. Kalau pemerintah terlampau longgar, maka mereka yang berkewajiban membayar pajak itu selalu akan mempergunakan kelemahan atau kelonggaran pemerintah untuk menghindarkan diri dari pembayaran pajak. Tanpa tekanan, mereka itu tidak akan mau membayar!”
Ucapan yang dikeluarkan Hou Seng ini membuat Kaisar kembali mengangguk-angguk dan dia dapat melihat kebenaran dalam ucapan ini. Hatinya menjadi bimbang dan diapun memandang kepada Pouw Taijin, sinar matanya bertanya bagaimana pendapat menterinya yang terkenal pandai itu.
“Ampunkan hamba, Sribaginda yang mulia. Hambapun mengerti bahwa semua peraturan yang dikeluarkan pemerintah adalah bijaksana dan adil! Akan tetapi, biasanya, yang tidak bijaksana dan tidak adil adalah pelaksanaannya. Para petugas yang melaksanakan peraturan, seringkali menyalahgunakan kebijaksanaan pemerintah dan mempergunakan peraturan-peraturan itu sebagai modal untuk melakukan penindasan dan pemerasan demi kegendutan perut sendiri. Karena itu, betapa pentingnya untuk melakukan pengamatan terhadap para pelaksana atau petugas itu, Sribaginda. Betapapun baiknya pemerintah dan semua peraturannya, tanpa didukung pelaksanaan yang baik oleh petugas-petugas yang setia dan jujur, maka pemerintahan takkan berhasil. Dan menurut pengamatan hamba, pada saat ini pemerintahan paduka sedang dirong-rong oleh penguasa-penguasa yang berambisi buruk dan saling bertentangan. Pembunuhan-pembunuhan terjadi di kalangan para pejabat tingkat atas. Ada penguasa yang memelihara tukang-tukang pukul untuk melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap saingan-saingannya. Kalau paduka tidak segera mencegahnya, keadaan yang buruk ini dapat berlarut-larut dan semakin memburuk, Sribaginda.”
Kaisar mengerutkan alisnya dan melempar pandang ke arah para menteri yang duduk di dalam ruangan sidang itu. “Benarkah sampai demikian parah sehingga ada yang saling bunuh di antara para pembantuku?”
“Apa yang dilaporkan oleh Menteri Pouw itu benar, Sribaginda. Baru-baru ini malah Pangeran Cui Muda menjadi korban pembunuhan yang amat kejam, juga semua saksi mata, pengawal, dibunuh oleh pembunuh rahasia.”
“Kami sudah mendengar bahwa pangeran itu tewas oleh perampok di dalam rumah pelesir,” kata kaisar itu.
“Bukan perampok, Sribaginda, karena tidak ada barang yang hilang, melainkan pembunuh bayaran yang diutus oleh seorang saingannya,” kata pula Pouw Teng Ki.
Kaisar menggeleng-geleng kepala dengan alis berkerut dan pada saat itu, Hou Seng segera berkata, “Urusan itu adalah urusan yang menyangkut keamanan dari menjadi bagian dan tugas Coa Tai-ciangkun yang menjadi kepala bagian keamanan untuk menyelidiki dan mengurusnya, Sribaginda. Dan Coa Tai-ciangkun juga hadir, kenapa paduka tidak menyerahkan saja kepadanya?”
Kaisar lalu menoleh ke kiri dan memandang kepada seorang panglima tinggi besar bermuka hitam “Bagaimana pendapatmu dalam urusan ini, Coa-ciangkun?”
Panglima tinggi besar itu memberi hormat dan terdengar suaranya yang berat dan dalam, sesuai dengan bentuk tubuhnya. “Tadinya memang hamba mengira bahwa pembunuhan atas diri Pangeran Muda itu merupakan perampokan, akan tetapi kemudian menurut penyelidikan, pembunuhan itu dilakukan orang karena dendam sakit hati urusan perempuan, Sribaginda. Pembunuhnya berkepandaian tinggi dan tidak meninggalkan jejak, namun hamba masih terus mengutus pembantu-pembantu yang pandai untuk mencari jejaknya.”
Kaisar mengangguk-angguk lega. “Bagus kalau begitu, Coa-ciangkun dan selanjutnya atur dan jagalah agar keadaan tetap aman.”
“Selama ini keamanan dalam kota raja sudah terjaga dengan baik, Sribaginda. Keadaan para penghuni dan kehidupan mereka sehari-hari berjalan seperti biasa, tidak pernah ada gangguan, kecuali pencuri kecil-kecilan yang tidak berarti. Kalau ada orang merasa tidak aman di kota raja, berarti bahwa dia menyimpan kesalahan sehingga merasa tidak sedap makan tidak nyenyak tidur.”
Nampak beberapa orang pembesar tinggi menahan tawa dan tersenyum-senyum, sedangkan Hou Seng sendiri tidak menyembunyikan senyumnya yang lebar dan dengan pandang mata penuh ejekan dia memandang ke arah Pouw Tong Ki. Pouw Tong Ki dan mereka yang menentang Hou Seng tak mampu berkata apa-apa lagi dan merasa ditertawakan. Mereka tahu bahwa panglima she Coa itu sudah dirangkul oleh Hou Seng dan tentu saja membelanya!
Ketika persidangan itu bubaran, Pouw Tong Ki menyusul Hou Seng yang melangkah menuju ke keretanya. “Hou Taijin, saya mau bicara sebentar!” katanya dengan muka merah karena mendongkol.
Hou Seng menoleh dan melihat betapa Pouw Tong Ki melangkah lebar menghampirinya, dia tersenyum mengejek. Dua orang pengawalnya siap di belakangnya dan dia tidak takut terhadap lawan ini. “Ah, kiranya Pouw Taijin. Ada apakah?”
“Hou Taijin, di depan Sribaginda saya telah gagal. Akan tetapi, demi perikemanusiaan, hentikanlah pembunuhan-pembunuhan itu! Kalau engkau hendak bersaing, lakukanlah dengan patut dan bersih, bukan dengan menggunakan tangan pembunuh-pembunuh bayaran! Engkaulah yang menyuruh bunuh Pangeran Cui Muda!”
Hou Seng mamandang dengan mata melotot. “Tutup mulutmu yang lancang itu, orang she Pouw! Engkau melakukan fitnah keji dan aku tidak sudi bicara lagi denganmu!” Dengan marah Hou Seng melangkah lebar memasuki keretanya yang segera pergi meninggalkan halaman istana.
“Aihh, engkau telah menanamkan bibit racun yang akan tumbuh mekar dan berbahaya bagimu sendiri, kawan,” kata seorang menteri tua yang kebetulan melihat peristiwa itu. Akan tetapi Pouw Tong Ki menggerakkan pundaknya dan pergi, sedikitpun tidak merasa takut akan bayangan itu. Diapun bukan tidak tahu bahwa sikapnya terhadap Hou Seng dan pelaporannya terhadap peristiwa pembunuhan-pembunuhan itu di depan kaisar merupakan suatu tantangan terbuka kepada Hou Seng, dan bahwa akibatnya dia akan dimusuhi oleh pembesar yang sedang mabok kekuasaan itu. Mungkin dia akan terancam bahaya, akan tetapi betapapun juga, dia sudah mengeluarkan segala rasa penasaran dalam hatinya. Dia telah memberi contoh kepada para pembesar lainnya untuk secara berterang menentang Hou Seng, dan hatinya merasa lega walaupun dia tahu bahwa semua usahanya tadi tidak berhasil. Dengan cerdiknya Hou Seng telah bersembunvi di belakang Coa-ciangkun yan memang sebagai kepala bagian keamanan paling berkuasa untuk menentukan urusan keamanan, dan Hou Seng telah lebih dahulu merebut Coa-ciangkun untuk berpihak kepadanya!
Sayang sekali bahwa Pouw Tong Ki termasuk orang yang memiliki keangkuhan. Biarpun dia tahu bahwa nyawanya terancam, namun dia tidak takut dan sama sekali tidak mau membicarakan urusan itu dengan Bu-beng Lo-kai karena dia tidak mau memperoleh kesan seolah-olah dia minta perlindungan kakek sakti itu! Tidak, dia tidak akan menyeret orang lain ke dalam urusannya itu. Akan dihadapinya sendiri dan dia tidak takut! Pouw Tong Ki memang bukan orang lemah karena dia juga pernah belajar silat sampai tingkat yang lumayan sehingga dia pernah menjadi seorang perwira tinggi.
Dan peringatan menteri tua ketika dia menyerang Hou Seng dengan kata-kata itupun bukan hanya omong kosong belaka. Bibit racun itu memang tumbuh, dan betapa cepatnya! Memang Hou Seng membawa pulang perasaan marahnya terhadap Pouw Tong Ki. Di sepanjang perjalanan ke rumahnya, dia mengepal tinju dan berkali-kali memukul telapak tangan kirinya sendiri, seolah-olah Pouw Tong Ki yang dianggapnya musuh besar itu berada di atas telapak tangan itu. Dan begitu tiba di rumah, dia menjadi gelisah, menimbang-nimbang dan merencanakan apa yang akan dilakukannya terhadap Pouw Tong Ki. Orang she Pouw itu jelas merupakan musuhnya, orang yang membencinya dan berusaha memburukkan namanya di depan kaisar.
Malam itu, Pouw Tong Ki tidur agak malam dari biasanya. Sore tadi sampai jauh malam, ia bercakap-cakap dengan Bu-beng Lo-kai dan dengan susah payah dia membujuk kakek itu untuk tinggal lebih lama lagi di dalam gedungnya.
“Terima kasih atas segala kebaikan Taijin,” kakek itu membantah. “Akan tetapi, kami sudah biasa hidup bebas merantau di dunia ini, dan kami tidak ingin membikin repot taijin lebih lama dari pada waktu yang dijanjikan....”
“Ah, locianpwe tentu maklum bahwa tentang janji dan hukuman itu hanya main-main saja dari kami. Biarpun sudah sebulan locianpwe dan nona Suma berada di sini, akan tetapi kami sekeluarga sudah menganggap ji-wi seperti keluarga sendiri. Terutama sekali Li Sian, bagaimana mungkin ia ditinggalkan nona Suma? Locianpwe melihat betapa akrab hubungan antara dua orang anak itu. Betapa Li Sian akan berduka dan merana kalau ditinggalkan.”
“Kalau begitu, biarkan ia ikut merantau dengan kami!” Bu-beng Lo-kai berkata. “Suma Lian sudah berkali-kali membujukku, juga nona Pouw sudah berulang kali minta agar ia kami bawa serta kalau kami terpaksa meninggalkan rumah ini.”
“Membiarkan ia merantau....?” Mata pembesar itu terbelalak dan dia membayangkan betapa anak perempuannya yang satu-satunya itu melakukan perjalanan jauh bersama kedua orang ini, memakai pakaian seperti pengemis! Makan dari sumbangan orang, dan siapa tahu mungkin harus mencuri makanan! Sukar baginya dapat menerima bayangan ini. Dia seorang bangsawan! Seorang menteri! Dan dia membayangkan isterinya. Betapa akan berat hati ibu itu kalau ditinggalkan oleh puteri satu-satunya, apa lagi ditinggal merantau tak tentu tempat tujuannya. Isterinya pasti berkeberatan dan menentangnya.
Bu-beng Lo-kai tersenyum. “Tentu berat bagi
taijin, akan tetapi demikianlah keinginan puteri taijin, juga menjadi keinginan Suma Lian dan saya sendiri. Puteri taijin berbakat baik sekali dalam ilmu silat.”
“Wah, saya menjadi bingung, locianpwe.... berilah saya waktu untuk memikirkan hal ini sampai besok. Harus saya rundingkan dulu dengan isteri saya.
Kembali kakek itu tersenyum. “Segala keputusan harus dilakukan tanpa ragu-ragu, taijin. Oleh karena itu, besok pagi-pagi sekali kami akan pergi, dan keputusannya hanyalah, puteri taijin ikut bersama kami atau tidak. Saya harap besok sebelum kami pergi, taijin sudah mengambil keputusan yang pasti.”
Demikianlah, dengan hati berat Pouw Tong Ki membicarakan urusan anak perempuan mereka itu dengan isterinya. “Tidak.... ah, jangan pisahkan aku darinya....!” Isterinya menangis. “Mengapa ia harus merantau seperti seorang pengemis? Kalau mau belajar silat kepada Bu-beng Lo-kai itu, biarlah kita belikan sebuah tempat, kalau dia menghendakinya, kita bangunkan sebuah rumah di mana saja, dan Li Sian boleh belajar bersama Suma Lian di tempat itu. Tempat yang tertentu. Akan tetapi bukan merantau tanpa tujuan sebagai seorang pengemis. Aku tidak rela....!”
Tentu saja hati Pouw Tong Ki menjadi bimbang, penuh keraguan dan biarpun akhirnya dia dapat menghibur isterinya sehingga tertidur, dia sendiri masih belum dapat tidur.
Sementara itu, di sebuah kamar lain, kamar di mana Li Sian tidur bersama Suma Lian, dua orang gadis cilik itupun belum dapat tidur dan bercakap-cakap dengan suara lirih.
Mereka juga bicara tentang keberangkatan Suma Lian pada besok pagi-pagi bersama Bu-beng Lo-kai dan sejak tadi Li Sian menyatakan bahwa bagaimanapun juga, ia harus ikut bersama mereka pergi merantau kalau Bu-beng Lo-kai berkeras tidak dapat dibujuk untuk tinggal lebih lama lagi di rumah keluarga Pouw.
“Kalau ayah dan ibu melarang, aku akan minggat saja dan ikut bersama kalian!” Li Sian berkata berkali-kali.
“Ah, kurasa kalau begitu tidak benar, Li Sian, kata Suma Lian. “Aku yakin kakek tidak akan membolehkan engkau minggat dan ikut bersama kami. Kakek amat memegang aturan, dan tentu dia tidak mau menyusahkan orang tuamu. Pula, kalau engkau minggat dan ikut bersama kami, kami bisa dituduh menculikmu.”
“Siapa yang akan menuduh? Aku dapat bilang bahwa aku ikut dengan suka rela! Biar bagaimanapun juga, aku harus ikut pergi!”
“Adikku yang manis, kau tentu tahu bahwa akupun tidak suka berpisah darimu, dan akulah orang pertama yang akan merasa gembira bukan main kalau engkau dapat pergi bersamaku. Akan tetapi, cara yang kau akan pakai itu, yaitu dengan minggat, sungguh tidak menyenangkan. Tentu akan menimbulkan perasaan tidak enak dan tidak senang dalam hati ayah ibumu terhadap kami. Padahal, mereka sudah begitu baik terhadap kami. Tenanglah, Sian-moi, aku tadi sudah minta kepada kakek agar dia suka membujuk ayahmu sehingga ayahmu akan memperbolehkan engkau ikut bersama kami dengan baik-baik.”
“Tapi aku khawatir ibuku akan berkeberatan. Ah, biarlah aku akan minta keputusan mereka sekarang juga. Aku merasa gelisah dan tersiksa kalau belum diberi keputusan dan kalian berdua akan berangkat besok pagi-pagi!” Li Sian lalu keluar dari dalam kamar itu, diikuti oleh Suma Lian yang menggandeng tangannya. Li Sian bertekad untuk mengetuk pintu kamar orang tuanya dan bertanya tentang keputusan mereka mengenai keinginannya ikut pergi merantau bersama Suma Lian.
Akan tetapi tiba-tiba Suma Lian menarik tangannya dan diajak bersembunyi di balik sebuah pot bunga besar karena gadis cilik ini melihat ada bayangan berkelebat cepat sekali, melayang turun dari atas genteng! Dan bayangan itu dengan kecepatan luar biasa telah tiba di jendela kamar Pouw Tong Ki, kemudian menggunakan kedua tangannya, sekali tarik daun jendela itupun terbuka dan tubuhnya meloncat ke dalam kamar. Yang amat mengejutkan hati Suma Lian adalah ketika ia mengenal tubuh tinggi besar dan kepala gundul itu. Sai-cu Lama! Karena maklum bahwa pendeta jahat itu tentu mempunyai niat busuk, tanpa berpikir panjang lagi Suma Lian lalu meninggalkan Li Sian dan iapun lari mengejar. Satu-satunya keinginan adalah untuk membela Pouw Taijin yang ia tahu tidur di dalam kamar itu! Akan tetapi ia masih sempat berteriak sebelum dengan nekat meloncat ke dalam kamar itu melalui jendelanya yang sudah terbuka.
“Kakek, tolong ada penjahat....!”
Ketika kakek yang bukan lain adalah Sai-cu Lama itu tadi meloncat masuk, Pouw Tong Ki belum tidur dan begitu daun jendela terbongkar, dia sudah merasa terkejut sekali dan cepat meloncat keluar dari atas tempat tidurnya. Isterinya juga terkejut oleh gerakan ini dan terbangun.
Ketika Pouw Tong Ki melihat seorang kakek tinggi besar berperut gendut sudah meloncat masuk ke dalam kamarnya, dia mengerti bahwa tentu itu orang jahat, maka dia menyambar pedang yang tergantung didinding kamar.
“Penjahat busuk!” bentaknya dan diapun sudah menyerang dengan pedangnya, ditusukkan ke arah dada yang telanjang karena bajunya terbuka itu.
“Krakk....!” Pedang itu tepat menusuk dada, akan tetapi saking kerasnya Pouw Taijin dan saking kuatnya dada yang ditusuk, pedang itu patah menjadi dua potong! Kakek itu memang Sai-cu Lama yang diutus oleh Hou Seng untuk membunuh Pouw Tong Ki. Ketika tadi melihat serangan pedang, Sai-cu Lama sudah dapat mengukur kekuatan orang, maka dia berani menerima tusukan itu.
“Ha-ha, kiranya orang she Pouw ini hanya begini saja!” katanya dan tangannya menyambar.
“Desss....!” tangan yang amat kuat itu secara dahsyat telah menyambar dan mengenai leher Pouw Tong Ki, membuat tubuh pembesar itu terbanting ke tepi ranjang.
“Ouhhh.... tolooongg....!” Isteri Pouw Tong Ki cepat menubruk suaminya yang menggeletak tak bergerak lagi itu.
Pada saat itulah Suma Lian meloncat masuk. Melihat betapa Pouw Tong Ki telah menggeletak ditubruk oleh isterinya, dan melihat betapa Sai-cu Lama berdiri sambil tertawa, Suma Lian lupa diri dan dia menjadi marah sekali.
“Pendeta jahanam yang jahat!” bentaknya dan iapun sudah menyerang Sai-cu Lama dengan pukulan kedua tangannya.
Sai-cu Lama terkejut dan heran, akan tetapi ketika dia melihat bahwa yang menyerangnya hanya seorang gadis cilik, apa lagi gadis itu adalah Suma Lian yang segera dikenalnya, ia tertawa dan menerima pukulan-pukulan itu dengan perutnya.
“Puk! Pukk!” Kedua tangan kecil itu mengenai perut gendut, akan tetapi seperti mengenai benda lunak saja sehingga kedua tangan itu masuk ke dalam perut dan tak dapat ditarik kembali! “Ha-ha-ha, kiranya engkau, kuda binal cilik! Ha-ha-ha!” Dia tertawa lagi.
Pada saat itu, isteri Pouw Tong Ki menjerit. Sai-cu Lama menjadi marah. Tangan kirinya mencengkeram punggung baju Suma Lian dan ditariknya anak itu ke atas, sambil kakinya diayun ke arah kepala nyonya Pouw. Tubuh nyonya itu terkulai di samping tubuh suaminya dan tendangan itu seketika merenggut nyawanya!
“Braakkkk....“ Daun pintu kamar itu ambrol dan masuklah seorang kakek tua renta berpakaian tambal-tambalan. Melihat betapa suami isteri itu telah roboh dan kini Suma Lian diangkat ke atas oleh seorang pendeta Lama berperut gendut, Bu-beng Lo-kai terkejut bukan main.
“Aahhhh, kau jahat sekali....” bentaknya dan kedua tangannya sudah bergerak ke depan dengan amat cepat. Ketika pintu jebol, Sai-cu Lama juga terkejut, akan tetapi melihat bahwa yang muncul hanya seorang yang sudah amat tua, dia memandang rendah. Baru setelah kedua tangan kakek itu melakukan pukulan ke arah lambung dan lehernya, dia terkejut setengah mati. Angin pukulan yang datang itu bukan hanya amat dahsyat dan kuat sekali, akan tetapi juga yang menuju ke tenggorokannya itu mengandung hawa panas seperti api sedangkan yang menyambar ke arah lambungnya mengandung hawa dingin seperti salju!
“Celaka....!” serunya dan terpaksa dia melepaskan cengkeramannya pada punggung Suma Lian lalu mengerakkan ke dua tangan ke bawah untuk menangkis karena untuk mengelak sudah tidak ada kesempatan lagi sedangkan menerima pukulan-pukulan itu mengandalkan kekebalan, dia tidak berani.
“Dukk! Desss....!” Tubuh Sai-cu Lama hampir terjengkang dan dia terhuyung ke belakang, sedangkan Bu-beng Lo-kai sudah berhasil menggandeng tangan cucunya yang selamat. Pada saat itu, Li Sian berlari masuk melalui pintu yang ambrol dan melihat ayah ibunya menggeletak di atas lantai, ia menubruk mereka dan menangis.
Sementara itu Sai-cu Lama terkejut bukan main ketika tubuhnya terpental tadi dan diapun mengenal ilmu sin-kang yang panas dan dingin tadi. Kakek tua renta ini sama sekali sama sekali tak boleh disamakan dengan nenek yang dulu pernah bertempur dengannya ketika dia menculik Suma Lian. Tentu kakek ini seorang pendekar dari keluarga Pulau Es yang tangguh. Maka diapun merasa jerih, apa lagi kamar itu terlampau sempit untuk dipakai berkelahi. Selain itu, Hou Taijinpun sudah mempunyai rencana lain. Tugasnya hanya membunuh Pouw Tong Ki, kalau mungkin seluruh keluarganya, lalu pergi. Dia hanya berhasil merobohkan Pouw Tong Ki dan membunuh isterinya, tidak yakin apakah pukulannya tadi sudah cukup untuk merenggut nyawa Pouw Tong Ki. Maka diapun cepat meloncat keluar dari jendela.
Bu-beng Lo-kai tidak mengejar karena dia ingin lebih dahulu menolong Pouw Taijin dan isterinya, kalau-kalau masih dapat diselamatkan. Dia memeriksa nyonya Pouw yang telah tewas dan ketika dia memeriksa Pouw Tong Ki, hati yang tua itu berduka sekali. Pembesar ini mengalami luka parah oleh pukulan yang amat kuat, dan napasnya sudah empas-empis. Dia hanya dapat mengurut dada Pouw Tong Ki dan menotok beberapa jalan darah untuk menyadarkan pembesar itu.
Pouw Tong Ki membuka matanya dan melihat Bu-beng Lo-kai, dia hanya sempat berkata lirih, “.... locianpwe.... tolong.... bawa Li Sian....“ dan lehernya terkulai karena dia telah menghembuskan napas terakhir.
Pada saat itu, terdengar suara gaduh di luar kamar dan terdengar teriakan-teriakan orang banyak, “Tangkap kakek pengemis itu! Dia pembunuh Pouw Taijin....!”
Bu-beng Lo-kai mengerutkan alisnya, memandang keluar pintu yang berlubang. Dia melihat banyak sekali orang berpakaian seragam berdatangan ke tempat itu dan teriakan-teriakan mereka menunjukkan bahwa mereka itu menuduh dia yang melakukan pembunuhan! Bu-beng Lo-kai tidak ingin terlibat dalam urusan ini dan banyak repot, maka dia lalu menyambar tubuh Suma Lian dan Li Sian, kemudian sekali dia menggerakkan tubuh, dia sudah membawa kedua orang anak perempuan itu meloncat keluar, kemudian melayang ke atas genteng.
“Itu dia! Dia membunuh Pouw Taijin dan menculik Pouw Siocia!” Bu-beng Lo-kai tidak tahu siapa yang berteriak, akan tetapi dengan heran dia melihat bahwa pendeta Lama gendut yang tadi berada di kamar, kini berada di antara orang-orang berpakaian seragam itu! Tahulah dia bahwa dia akan kena fitnah, maka diapun mempercepat gerakannya dan sebentar saja lenyap dari pandang mata para pengejarnya.
Kiranya orang-orang berpakaian seragam itu adalah sepasukan tentara penjaga keamanan yang dipimpin oleh Coa Tai-ciangkun sendiri, panglima yang menjadi kepala barisan keamanan! Setelah gagal menangkap pengemis tua itu, Coa Tai-ciangkun ini lalu menangkapi seluruh sisa keluarga Pouw Tong Ki, yaitu empat orang puteranya dan semua penghuni rumah, lalu membawa mereka sebagai tahanan-tahanan, sedangkan rumah itupun diduduki sebagai rumah sitaan pemerintah!
Gegerlah kota raja oleh peristiwa yang hebat ini. Coa tai-ciangkun (Panglima Coa) segera membuat pelaporan kepala Kaisar dan juga memberi keterangan kepada para pejabat lainnya akan jalannya peristiwa, seperti yang memang sudah diaturnya bersama Hou Seng!
Dia menceritakan bahwa dia memperoleh laporan dari para penyelidiknya, bahwa diam-diam Pouw Tong Ki yang di depan kaisar pura-pura mencela orang-orang berkuasa memelihara tukang-tukang pukul, di rumahnya sendiri telah menerima seorang datuk penjahat besar yang belum diketahui jelas siapa namanya dan apa maksudnya. Karena itu, Coa-ciangkun menjadi curiga sekali, apa lagi ketika, menurut ceritanya, dia mendengar laporan yang mengatakan bahwa Pouw Tong Ki bertengkar dengan tamunya yang aneh itu. Karena merasa khawatir, dia lalu memperlakukan persiapan untuk setiap saat menyerbu tempat kediaman keluarga Pouw itu, dengan tuduhan bahwa keluarga itu bermaksud membuat persekutuan dengan orang kang-ouw untuk melakukan pemberontakan! Kemudian, dia melaporkan bahwa Pouw Tong Ki dan isterinya terbunuh oleh tokoh kang-ouw yang mengenakan pakaian pengemis itu, bahkan pengemis yang diduga tentu datuk penjahat besar itu telah melarikan puteri Pouw Tong Ki. Berdasarkan pelaporan ini, maka semua keluarga Pouw yang masih hidup dijatuhi hukuman berat!
Memang, demikianlah keadaan masyarakat manusia di seluruh dunia yang dibentuk oleh kita sendiri. Yang menang pasti benar, akan tetapi yang benar belum tentu menang! Kekuasaanlah yang menentukan benar atau salah, hanya kekuasaanlah yang menang dan oleh karena itu, kekuasaan ini diperebutkan oleh seluruh umat manusia di dunia ini. Kekuasaan dalam pemerintahan, kekuasaan dalam perkumpulan, kekuasaan dalam kelompok ataupun kekuasaan dalam keluarga sendiri. Kita gandrung kekuasaan karena kita tahu bahwa kekuasaan akan membuat kita selalu benar dan menang! Dari sinilah timbulnya kesewenang-wenangan ketika kekuasaan itu disalahgunakan, dipakai demi kepentingan dan kesenangan diri sendiri. Dari sini timbul konflik-konflik antara yang menang dan yang kalah, yang menindas dan yang ditindas dan konflik-konflik ini takkan pernah berhenti selama manusia masih berlumba untuk mencari kekuasaan. Memang, pengejaran kesenangan jugalah sebenarnya yang melandasi perebutan kekuasaan itu. Dan perebutan kekuasaan ini konon menurut dongengnya sudah terjadi sejak pra sejarah, sejak dongeng di kahyangan di antara para dewata dan malaikat!
Bu-beng Lo-kai mempergunakan ilmu gin-kangnya untuk melarikan Suma Lian dan Li Sian keluar dari bahaya. Baru sekali ini semenjak dia menjadi pertapa di puncak Telaga Warna Pegunungan Beng-san bersama isterinya sampai kemudian kematian isterinya itu, dia mempergunakan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk mengerjakan sesuatu secara serius. Dia kini benar-benar terlibat dan berusaha menyelamatkan dua orang anak perempuan itu. Dan melalui keributan yang terjadi di gedung keluarga Pouw, dia berhasil melarikan dua orang anak perempuan itu keluar bahkan terus dia larikan sampai ke luar kota raja.
Li Sian menangis terisak-isak ketika akhirnya kakek itu berhenti lari. Suma Lian merangkulnya dan menghiburnya, sedangkan Bu-beng Lo-kai menarik napas panjang berkali-kali.
“Sudahlah, nona Pouw, jangan terlalu menurutkan hati yang bersedih. Ayah ibumu tewas oleh orang yang ilmu kepandaiannya tinggi, dan karena sebelumnya memang ayahmu telah menitipkan engkau kepadaku, maka biarlah mulai sekarang engkau ikut bersama kami.”
Sambil masih terisak-isak, Li Sian menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kakek itu. “Locianpwe, aku mohon agar locianpwe suka membimbingku dengan ilmu silat tinggi agar kelak aku dapat membalas kematian kedua orang tuaku dan mencari pembunuh itu!“
Kakek itu menggelengkan kepalanya. “Aihh, cita-cita itu buruk sekali, nona Pouw. Ketahuilah, dan ini sebagai pelajaran pertama, bahwa dengan adanya dendam kebencian di dalam hatimu, maka hal itu sudah membuat keruh batin, menjadi racun dalam darahmu dan dalam keadaan seperti itu, mana mungkin engkau akan dapat belajar ilmu yang tinggi? Hanya batin yang tenang sajalah yang akan mampu menghimpun tenaga yang kuat. Orang tuamu memang sengaja melibatkan diri dalam urusan besar dan kalau dia sekeluarga kini tertimpa bencana sebagai akibatnya, hal itu wajar, bukan? Siapa bermain dengan air menjadi basah, bermain dengan api mungkin saja terbakar. Nona Pouw, kalau engkau dapat melihat kenyataan itu, engkau tentu akan terbebas dari racun dendam kebencian”
Li Sian yang pendiam itu terlalu cerdik untuk membantah. Iapun mengangguk-angguk dan untuk mengalihkan percakapan, ia berkata, “Harap locianpwe mulai sekarang tidak lagi menyebutku dengan nona Pouw, melainkan memanggil namaku saja seperti enci Lian.”
“Baiklah, Li Sian. Dan kita tidak akan kembali ke kota raja. Kita cari tempat yang aman di luar kota raja dan jangan sampai didapatkan oleh pasukan yang tentu akan disebarkan untuk mencari kita. Mereka tentu akan menangkap kita dengan tuduhan bahwa aku telah membunuh keluarga Pouw dan melarikanmu.”
“Ah, ini fitnah!” teriak Suma Lian. “Kita dapat melaporkan hal yang sebenarnya terjadi, kek! Akulah saksi hidup bahwa mereka dibunuh oleh Sai-cu Lama, dan Li Sian tentu akan menjadi saksi hidup bahwa kakek sama sekali tidak menculiknya melainkan menyelamatkannya malah.”
Kakek tua itu tersenyum. “Aih, engkau belum tahu betapa curang dan liciknya mereka yang sudah main perebutan kekuasaan di dalam pemerintahan, Lian. Biarlah, kita menjauhi keributan dan untuk sementara ini kita bersembunyi saja di tempat yang aman.” Dan kakek itu lalu mengajak dua orang anak perempuan itu untuk melanjutkan perjalanan.
***
Pao-teng merupakan kota yang cukup besar dan ramai, terletak di sebelah selatan kota raja. Kemelut yang terjadi di kota raja karena persaingan antara Hou Seng dan para pembesar yang menentangnya, tentu saja menjadi sumber berita dan berita itu sudah tiba di Pao-teng. Apa lagi akhir-akhir ini, di kota dikabarkan bahwa Pouw Taijin dan keluarganya bersekutu dengan orang-orang kang-ouw, bahkan kemudian Pouw Taijin dan isterinya dikabarkan terbunuh oleh orang kang-ouw, sedangkan keluarganya ditangkap pemerintah dengan tuduhan pemberontak! Semenjak terjadinya peristiwa itu, seringkali di kota raja, di pasar-pasar, di rumah-rumah makan dan di hotel-hotel, juga di pintu-pintu gerbang, diadakan pembersihan dan penangkapan-penangkapan bagi mereka yang dicurigai.
Yang amat ditakuti oleh orang-orang yang merasa pernah belajar silat adalah munculnya pasukan berpakaian preman yang dipimpin oleh orang-orang pandai. Banyak sudah orang-orang kang-ouw ditangkap dan diperiksa. Mereka yang bersikap anti pemerintah atau anti pembesar Hou Seng, segera dijebloskan penjara dan bahkan banyak pula yang terbunuh dalam pembersihan dan penangkapan-penangkapan itu. Dunia kang-ouw menjadi gelisah.
Orang-orang yang tinggal di kota Pao-teng mendengar pula akan kemelut itu dan mereka khawatir bahwa pembersihan-pembersihan dan penangkapanpenangkapan yang dilakukan pasukan itu akan menjalar sampai ke Pao-teng. Apa lagi melihat betapa banyak keluarga orang kang-ouw meninggalkan kota raja dan lari mengungsi ke selatan. Tentu saja setibanya di Pao-teng mereka itu menyebar berita yang simpang-siur dan membuat penduduk menjadi semakin gelisah.
Berita seperti itu, yang menyangkut keamanan rakyat dan pergolakan di kalangan atas, tentu saja menarik perhatian Kao Cin Liong yang di waktu mudanya pernah menjabat sebagai seorang panglima muda. Setelah mengundurkan diri dari jabatannya, Kao Cin Liong bersama keluarganya tinggal di kota Pao-teng dan berdagang rempa-rempa. Sejak itu dia sama sekali tidak pernah mencampuri urusan pemerintahan, bahkan jarang-jarang menonjolkan diri di dunia kang-ouw. Bekas jenderal yang juga seorang pendekar perkasa itu kini berusia kurang lebih lima puluh tahun, tinggal di sebuah rumah yang cukup besar dengan isterinya yang tercinta, yaitu Suma Hui yang sekarang juga sudah berusia empatpuluh tahun, dan puteri mereka yang merupakan anak tunggal, bernama Kao Hong Li, berusia tigabelas tahun.
Apa lagi ketika terdengar berita yang mengatakan bahwa keluarga Pouw Tong Ki yang masih menjadi seorang menteri telah terbunuh, bahkan keluarganya ditangkap dengan tuduhan mengusahakan pemberontakan dengan mengadakan persekutuan dengan orang-orang jahat yang berilmu tinggi, Kao Cin Liong terkejut dan berduka sekali. Dia mengenal sahabatnya itu, sebagai orang yang setia aan jujur terkadap kaisar, seorang yang bijaksana dan tidak mau menggunakan kedudukannya untuk mencari keuntungan diri sendiri. Sukar dia dapat percaya bahwa seorang yang begitu setia seperti Pouw Tong Ki berusaha mengadakan pemberontakan! Kecuali kalau keadaan sudah terpaksa sekali dan di istana terjadj hal-hal yang luar biasa. Tentu ada sebabnya, atau kalau tidak, tentu sahabatnya ini hanya kena fitnah saja. Dia mengemukakan rasa penasaran di hatinya itu di depan isterinya.
“Ingin sekali aku menyelidiki kematian sahabatku itu. Tentu ada rahasia di balik peristiwa itu. Dia dan isterinya terbunuh, puterinya diculik orang dan putera-puteranya ditangkap pemerintah dan dihukum!
“Tak mungkin nssibnya seburuk itu. Dia orang baik sekali!”
“Aihh!” Isterinya yang bernama Suma Hui, seorang cucu dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, mengerutkan alisnya. “Sudah belasan tahun kita hidup dengan tenteram tanpa mencampuri urusan pemerintah maupun dunia kang-ouw. Kalau sekali kita terjun, kita tentu akan terlibat dan kesulitan-kesulitan, pertentangan dan permusuhan tentu akan datang bertubi-tubi menghancurkan ketenteraman kehidupan kita. Engkau sudah mengundurkan diri, mengapa sekarang hendak mencari penyakit? Biarkanlah mereka yang masih haus akan kekuasaan itu bekerja. Aku yakin bahwa urusan yang terjadi di kota raja itu tidak lain hanyalah masalah perebutan kekuasaan belaka. Perlukah kita mencampurinya?”
Kao Cin Liong mengangguk-angguk dan menyentuh lengan isterinya. “Engkau benar, benar sekali. Kadang-kadang rasa penasaran membuat batinku memberontak! Akan tetapi apakah kalau aku bercampur tangan lalu keadaan akan menjadi baik? Apakah aku akan mampu mengatasi semua kemelut yang sedang terjadi di kota raja? Ah, aku yakin tidak mungkin bisa. Jangan-jangan pencampurtanganan dariku bahkan menambah besarnya kemelut. Engkau benar. Urusan pemerintahan bukan urusanku, dan sahabatku Pouw Tong Ki itu menjadi korban karena dia masih menjabat menteri. Andaikata dia tidak menjadi pembesar dan hidup seperti kita, kurasa dia pun tidak akan mengalami nasib sedemikian buruknya.”
Pada saat itu, seorang anak perempuan yang bermata lebar dan berwajah manis berlari masuk. Anak perempuan berusia tigabelas tahun yang lincah ini adalah Kao Hong Li, puteri dan anak tunggal suami isteri pendekar itu.
“Ayah, ada seorang tamu ingin bertemu dengan ayah. Seorang pemuda berpakaian serba biru, bernama Gu Hong Beng.”
“Hemm, ada keperluan apakah orang muda itu datang?” tanya Kao Cin Liong, merasa terganggu karena dia sedang membicarakan urusan yang penting dan serius dengan isterinya.
“Dia tidak mengatakan keperluannya. Orangnya pendiam dan kelihatan malu-malu. Mungkin dia datang untuk minta pekerjaan, ayah.”
Dengan gerakan tangan tidak sabar karena merasa terganggu, Kao Cin Liong berkata kepada Hong Li, “Kautanya apa keperluannya, kalau benar dia datang minta pekerjaan, katakan saja bahwa pada waktu ini aku belum memerlukan bantuan tenaga baru.”
Hong Li lalu berlari ke luar. Gadis cilik yang lincah ini melihat betapa sikap ayah ibunya kaku dan wajah mereka keruh. Tentu ada sesuatu yang mengganggu ayah ibunya dan hatinya ikut merasa tidak senang. Ia menganggap kemunculan pemuda itu hanya menggangu saja!
Ia kini berhadapan dengan Hong Beng yang masih berdiri di luar pintu depan. Melihat betapa anak perempuan itu kini muncul lagi dan tidak nampak orang lain, Hong Beng memandang dengan heran. Akan tetapi, Hong Li dengan nada suara kesal segera berkata, “Ayah dan ibu sedang sibuk, tidak dapat menerima tamu!“
Hong Beng mengerutkan alisnya. Menurut penuturan suhunya, Kao Cin Liong adalah seorang pendekar yang gagah perkasa dan budiman. Kenapa keluarga ini sekarang bersikap begitu angkuh? Apakah ada sesuatu yang terjadi? Dia merasa penasaran. Anak perempuan ini kelihatan galak dan pandang mata yang tajam itu mengandung kenakalan. Jangan-jangan ulah anak perempuan ini saja yang hendak mempermainkannya.
“Akan tetapi, penting sekali bagiku untuk bertemu dengan Kao-locianpwe!”
“Hemm, mungkin penting bagimu, akan tetapi tidak ada artinya bagi kami. Ada keperluan apakah engkau hendak menghadap ayah dan ibu?”
Hong Beng menganggap bahwa sikap anak perempuan ini tinggi hati sekali, maka diapun menjawab singkat, “Keperluan banyak. Aku singgah di sini dan ingin menghadap adalah untuk memenuhi pesan guruku.”
“Siapa sih gurumu?” tanya Hong Li sambil memandang pemuda itu dengan teliti, dari kepala sampai ke kaki.
“Guruku bernama Suma Ciang Bun....!”
“Bohong!” Hong Li membentak keras sampai Hong Beng menjadi kaget. “Enak saja engkau mengaku murid pamanku. Kalau benar muridnya, tentu engkau dapat menyambut seranganku ini!” Tanpa banyak cakap lagi gadis cilik yang galak dan lincah itu sudah menerjang maju, memukul ke arah dada Hong Beng.
Tentu saja Hong Beng mengenal sebuah jurus dari Ilmu Cui-beng Pat-ciang itu, maka diapun mengelak dengan mudahnya. Bahkan karena mendongkol dan menganggap anak perempuan ini terlalu galak, ketika Hong Li menyerang lagi dengan tendangan kilat, dia mengelak sambil memutar langkahnya dan tiba-tiba saja tangannya sudah menampar ke arah pinggul anak perempuan itu, dengan maksud untuk menghajarnya agar tidak terlalu nakal dan bersikap sopan kepada tamu.
“Plakk!” Pinggul itu kena ditampar, cukup keras sehingga mendatangkan rasa panas dan nyeri.
Marahlah Hong Li. Sepasang matanya terbelalak dan mukanya menjadi merah saking marahnya. “Haiiiittt....!” Ia berteriak dan kini ia menghujankan pukulan-pukulan ke arah tubuh Hong Beng, mempergunakan ilmu-ilmu silat yang pernah dipelajarinya dari ayah ibunya. Kalau tadi ia sengaja menyerang dengan jurus dari Cui-beng Pat-ciang yang dilatihnya dari ibunya, kini ia menggunakan ilmu yang didapat dari ayahnya yang tentu tidak akan dikenal oleh seorang murid pamannya karena kalau ibunya merupakan keturunan keluarga Pulau Es, ayahnya adalah keturunan majikan Istana Gurun Pasir!
Akan tetapi, Hong Li yang baru berusia tigabelas tahun ini, tentu saja belum menguasai ilmu-ilmu silat tinggi itu dengan matang dan bukan merupakan lawan berat bagi Hong Beng. Kalau pemuda ini menghendaki, tentu dia akan mampu merobohkannya. Akan tetapi Hong Beng dapat menduga siapa adanya gadis cilik ini. Puteri dari Pendekar Kao Cin Liong. Maka diapun hanya mengalah dan terus main mundur, mengelak dan menangkis, tidak pernah membalas.
Pada saat Hong Li menyerang sambil mengeluarkan bentakan nyaring itu, tentu saja Kao Cin Liong dan Suma Hui yang berada di dalam rumah terkejut sekali dan mereka berdua bergegas keluar untuk melihat apa yang terjadi. Ketika mereka melihat anak mereka berkelahi dengan seorang pemuda baju biru, Cin Liong sudah hendak melerai, akan tetapi lengannya dipegang isterinya yang berbisik, “Lihat, bukankah dia menggunakan gerakan ilmu silat keluargaku?”
Cin Liong memperhatikan dan harus mengakui kebenaran isterinya. Pemuda yang selalu mengelak atau menangkis, yang terus mengalah itu, bersilat dengan gerakan ilmu silat keluarga Pulau Es! Setelah mereka melihat jelas, dan juga tahu bahwa pemuda itu lihai sekali dan sengaja mengalah, Suma Hui lalu meloncat ke depan.
“Hong Li, hentikan serangan-seranganmu itu!” bentaknya. Mendengar bentakan ibunya, Hong Li meloncat ke belakang. Peluh membasahi dahi dan lehernya, ia merasa penasaran sekali tadi karena semua serangannya luput atau tertangkis, akan tetapi setelah ayah ibunya muncul, iapun kini sadar bahwa ialah yang lebih dulu menyerang pemuda itu. Maka sebelum pemuda itu ditanyai, ia lebih dulu berkata kepada ibunya.
“Siapa yang tidak mendongkol? Orang ini mengaku-aku sebagai murid paman Suma Ciang Bun!”
“Anak bodoh! Apa engkau sudah tidak mengenal lagi gerakan-gerakannya yang jelas membuktikan kebenaran pengakuannya?” kata Suma Hui dan dengan girang ia memandang kepada pemuda itu yang sudah menjatuhkan diri berlutut di depan ia dan suaminya.
“Harap bibi guru dan paman tidak menyalahkan adik ini. Saya yang bersalah dan maafkan kelancangan saya,” kata Hong Beng yang diam-diam teringat betapa dia tadi sudah “menghajar” gadis cilik itu dengan menampar pinggulnya! Ia menjadi khawatir kalau-kalau si kecil itu mengadu kepada orang tuanya.
“Engkau murid adikku Suma Ciang Bun? Suma Hui bertanya. Dan siapa namamu tadi? Hong Li sudah memberitahukan kepada kami akan tetapi kami lupa.......”
“Namanya Gu Hong Beng dan kalau dia tak berhati-hati menjaga kelancangan tangan dan mulutnya, tentu akan kuhajar lagi!” kata Hong Li dan ucapan ini saja sudah membuat Hong Beng semakin gelisah. Kiranya anak ini telah menyindirkan bahwa kalau ia tidak bersikap baik, tentu gadis cilik itu akan menghajarnya dengan mengadu kepada ayah dan ibunya
“Adik yang baik, harap maafkan aku.”
Kao Cin Liong tidak senang melihat kemanjaan puterinya. Jelas tadi bahwa yang terus-menerus melakukan penyerangan adalah Hong Li, akan tetapi kini sikap puterinya itu seolah-olah pemuda itu yang bersalah. “Sudahlah, mari kita masuk dan bicara di dalam.”
Mereka masuk ke dalam rumah dan kemudian duduk di ruangan dalam. Suma Hui bertanya tentang adik laki-lakinya yang sudah lama tak pernah dijumpainya itu. Hong Beng menceritakan keadaan dirinya, betapa dia diselamatkan oleh Suma Ciang Bun pada tujuh tahun yang lalu, kemudian menjadi muridnya.
“Teecu diutus oleh suhu untuk melakukan penyelidikan tentang seorang pembesar bernama Hou Seng karena suhu mendengar betapa pembesar itu menguasai kaisar dan merajalela di kota raja.”
Suami isteri itu saling pandang. “Ah, jadi berita tentang orang she Hou itu sudah sampai sejauh itu?” Kao Cin Liong berseru heran.
“Tidak aneh. Berita tentang kebaikan seseorang tidak akan melewati ambang pintu gerbang, sebaliknya berita tentang kebusukan seseorang akan terbawa angin dan meluas dengan cepatnya.”
“Lalu apa yang telah kaulakukan, Hong Beng?” tanya Kao Cin Liong sambil memandang wajah tampan sederhana itu.
Hong Beng lalu menceritakan betapa dia sudah pergi ke kota raja. “Teecu pergi ke kota raja bukan hanya untuk memenuhi perintah suhu, akan tetapi juga untuk mencari jejak seorang pendeta Lama dari Tibet yang telah melarikan adik Suma Lian puteri dari susiok (paman guru) Suma Ceng Liong.”
Suami isteri itu terkejut sekali. “Aih! Apa yang telah terjadi dengan anak itu?” teriak Suma Hui. Tentu saja ia mengenal Suma Lian karena beberapa kali sudah ia bertemu dengan puteri tunggal Suma Ceng Liong itu.
Hong Ben, menceritakan tentang kunjungannya ke dusun Hong-cun dan kebetulan sekali dia sempat membantu nenek Teng Siang In yang berkelahi melawan Sai-cu Lama memperebutkan Suma Lian yang diculik oleh kakek itu, sampai akhirnya nenek Teng Siang In tewas dan Suma Lian dilarikan oleh Sai-cu Lama. Mendengar cerita ini, kedua suami isteri itu menjadi semakin terkejut.
“Bibi Teng Siang In sampai tewas? Aihhh.... kami sama sekaii tidak mendengar!”
“Mungkin susiok Suma Ceng Liong tidak sempat memberi kabar karena tentu dia dan isterinya cepat-cepat melakukan penyelidikan dan hendak mencari puteri mereka,” kata Hong Beng.
“Adik Lian diculik orang? Wah, siapa penculiknya itu! Ayah dan ibu, mari kita pergi mencari dan menyelamatkannya!” teriak Hong Li marah mendengar betapa adik misannya itu diculik orang jahat.
Kao Cin Liong memberi isyarat agar puterinya itu tidak membuat gaduh, lalu dia bertanya kepada Hong Beng, “Kalau sampai bibi Teng Siang In tewas di tangan orang itu, tentu orang itu lihai sekali. Orang macam apakah yang bernama Sai-cu Lama itu?”
“Sai-cu Lama memang lihai sekali, sudah tua bertubuh tinggi besar, perutnya gendut dan kepalanya gundul, mengenakan pakaian jubah pendeta Lama dari Tibet. Nenek Teng Siang In terluka oleh Ban-tok-kiam sehingga akhirnya tewas....“
“Ban-tok-kiam....?” Kao Cin Liong dan Suma Hui berteriak hampir berbareng.
Hong Beng teringat bahwa pedang pusaka itu adalah milik subo (ibu guru) dari Bi Lan, yaitu nenek Wan Ceng atau ibu kandung Kao Cin Liong ini. “Benar, pedang pusaka itu adalah milik locianpwe Wan Ceng dan oleh Sai-cu Lama pedang itu dirampas dari tangan nona Can Bi Lan.”
“Eh, bagaimana pula ini? Siapa itu Can Bi Lan dan bagaimana pedang Ban-tok-kiam milik ibuku berada di tangannya?” Kao Cin Liong bertanya tak sabar lagi. Tak disangkanya bahwa pemuda yang datang ini membawa banyak sekali berita yang amat penting dan mengejutkan.
“Nona Can Bi Lan pernah menerima latihan ilmu dari locianpwe Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya, dan nona itu menerima pedang pusaka Ban-tok-kiam yang dipinjamkan oleh subonya untuk melindungi diri. Akan tetapi ternyata, di depan teecu sendiri, kakek Sai-cu Lama merampasnya. Kami berdua sudah berusaha untuk merampasnya kembali, namun kakek itu amat lihai dan dapat meloloskan diri. Dan kemudian, teecu bertemu pula dengan kakek itu ketika kakek itu bertempur melawan locianpwe Teng Siang In, melukainya dengan Ban-tok-kiam dan menculik adik Suma Lian puteri dari susiok Suma Ceng Liong.”
Suami isteri itu terkejut dan terheran-heran. “Ah! Ban-tok-kiam terampas orang dan dipakai membunuh bibi Teng Siang In, dan puteri adik Suma Ceng Liong juga diculik oleh perampas Ban-tok-kiam itu! Ah, kita tidak boleh tinggal diam saja!” kata Suma Hui sambil mengepal tinju.
Kao Cin Liong yang lebih tenang sikapnya itu hanya mengangguk, lalu memandang wajah Hong Beng. “Orang muda, berita yang kaubawa ini sungguh amat penting sekali bagi kami dan kamiberterima kasih sekali kepadamu. Karena kamipun mendengar kabar-kabar angin yang buruk sekali mengenai kota raja, maka dapatkah kau menceritakan bagaimana sebenarnya keadaan di sana?”
“Teecu sudah melakukan penyelidikan di kota raja, akan tetapi tidak menemukan jejak Sai-cu Lama yang melarikan Ban-tok-kiam dan adik Suma Lian Teecu mendengar bahwa pembesar yang bernama Hou Seng itu amat berkuasa di istana dan kini dia dibantu oleh banyak orang sakti. Juga teecu mendengar akan pertentangan-pertentangan dan pembunuhan-pembunuhan rahasia yang terjadi di kota raja, di antara orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi, Karena teecu tidak tahu apa yang harus teecu lakukan, maka teecu teringat akan pesan suhu agar menemui bibi guru di sini dan minta nasihat dari locianpwe yang lebih tahu akan seluk-beluk para pembesar di kota raja.”
Kao Cin Liong menarik napas panjang. “Sudah belasan tahun aku sendiri tidak pernah mencampuri urusan pemerintah dan dunia kang-ouw sehingga aku sendiri tidak dapat banyak memberi nasihat. Tadinya kami sama sekali tidak menaruh minat dan tidak ingin terlibat karena semua kemelut itu terjadi akibat para pembesar yang saling memperebutkan kekuasaan. Akan tetapi setelah mendengar bahwa Suma Lian diculik orang, juga pusaka ibuku yang dipinjamkan kepada gadis bernama Can Bi Lan itu dirampas orang pula, dan orang itu agaknya menuju ke kota raja, maka kami tidak akan tinggal diam saja. Setelah melihat sendiri keadaan di kota raja, barulah aku akan dapat menentukan apa yang sebaiknya harus dilakukan.”
“Ayah, aku ikut ke kota raja. Aku harus membantu agar adik Lian dapat segera diselamatkan dan kita hajar penculiknya!” kata Hong Li dengan gemas. Hong Beng memandang gadis cilik itu dan merasa kagum. Gadis cilik ini biarpun galak, akan tetapi penuh semangat dan keberanian, jiwa seorang pendekar sejati.
“Hong Li, ayah ibumu bukan ingin pergi ke kota raja untuk pelesir. Engkau harus tahu bahwa kita berhadapan dengan orang pandai sekali. Lihat, ini suhengmu yang demikian pandaipun tidak mampu menandingi penculik itu! Engkau harus menjaga rumah dan kami akan pergi melakukan penyelidikan. Kami harus dapat menolong adikmu Suma Lian,” kata Suma Hui kepada anaknya.
Setelah bercakap-cakap menceritakan pula keadaan gurunya, Hong Beng lalu berpamit untuk melanjutkan penyelidikannya di kota raja. Suami isteri itu tidak menahannya dan berjanji akan segera berangkat juga ke sana. “Mudah-mudahan kita dapat saling bertemu dan bergabung di sana,” kata Kao Cin Liong.
Setelah pemuda itu pergi dan bicara berdua saja, Kao Cin Liong dan Suma Hui memuji pemuda murid Suma Ciang Bun itu.
“Dia masih muda sekali, kepandaiannya sudah cukup tinggi dan melihat sikapnya, apa lagi ketika melayani kerewelan Hong Li, dia itu orangnya sabar dan bijaksana. Sungguh seorang pemuda yang baik sekali,” kata Kao Cin Liong.
Isterinya mengangguk dan memandang wajah suaminya, seperti ingin menjenguk isi hatinya. “Kaupikir cukup baik untuk anak kita?”
Kao Cin Liong mengangguk-angguk. “Kalau saja anak kita yang hanya satu-satunya itu kelak bisa berjodoh dengan seorang pemuda seperti Gu Hong Beng itu, aku akan merasa bersyukur sekali. Akan tetapi, tentu saja semua itu terserah kepada Hong Li sendiri.”
“Benar,” kata isterinya. “Memang pemuda itu baik, akan tetapi itu menurut pandangan dan pendapat kami. Dalam hal perjodohan, pandangan dan pendapat anak yang bersangkutanlah yang penting, bukan pandangan orang tua.”
Cin Liong mengangguk. “Engkau benar, isteriku. Tidak ada contoh yang lebih baik dari pada perjodohan antara kita sendiri. Anak kita yang harus menentukan kelak, siapa yang akan menjadi suaminya, betapapun condongnya hati kita untuk bermenantukan seorang pemuda seperti Hong Beng itu.”
“Benar, dan pula, biarpun Ciang Bun itu adik kandungku sendiri, kita sudah tahu akan kelainan pada dirinya. Hal ini yang menimbulkan keraguan. Siapa tahu Hong Beng yang menjadi muridnya itupun memiliki kelainan yang sama. Ah, sudahlah. Biar kelak Hong Li memilih sendiri dan kita sebagai orang tua hanya ikut mengamati saja agar pilihannya tidak keliru.”
“Pendapat seperti yang diucapkan oleh Suma Hui inilah yang seringkali menjadi pokok dasar pertentangan antara orang tua dan anaknya dalam pemilihan jodoh. Orang tua bilang tidak akan memilihkan, dan membiarkan si anak memilih dan menentukan sendiri jodohnya, dengan embel-embel agar anaknya tidak KELIRU memilih! Ini sama saja dengan keharusan menurut pilihan orang tua! Tentu saja kalau orang tua tidak suka dengan calon suami pilihan anaknya, dengan mudah mereka melontarkan kata-kata KELIRU memilih itulah! Kalau orang merasa tidak suka, mudah saja mencari cacat cela orang yang tidak disukainya itu, sebaliknya kalau orang merasa suka, juga mudah pula mencari segi-segi kebaikannya untuk ditonjolkan. Memang kalau sudah ada penilaian, tidak ada orang yang hanya baik saja tanpa cacat, juga tidak ada orang yang sama sekali busuk tanpa kebaikan sedikitpun. Kalau si anak memilih orang yang disuka, maka dikatakan bahwa pilihannya itu sudah benar, akan tetapi kalau sebaliknya yang dipilih itu tidak disukai, tentu dikatakan bahwa pilihannya keliru dan terjadilah pertentangan.
Ini bukan berarti bahwa orang tua harus membebaskan anaknya sebegitu rupa sehingga si anak boleh melakukan apa saja sesuka hatinya! Bebas bukan berarti “semau gua”. Bebas dalam arti kata tidak tertekan oleh kekuasaan orang lain, akan tetapi di dalam kebebasan itu terdapat disiplin diri yang tidak terlepas dari pada tata cara pergaulan dalam masyarakat. Karena itu, orang tua yang bijaksana, di samping memberi kebebasan yang seluasnya kepada si anak, juga sepenuh perhatian memberi bimbingan dan pendidikan kepada si anak, sehingga si anak tumbuh menjadi manusia yang cerdas, berakal budi, dan bukan hanya menjadi seorang hamba nafsu belaka. Perjodohan baru benar kalau berdasarkan cinta kasih, dan cinta adalah urusan batin yang bersangkutan, yang hanya dapat dirasakan dan diketahui oleh orang yang bersangkutan saja. Pilihan orang tua tak mungkin berdasarkan cinta kasih ini karena mereka tidak ikut merasakan. Pilihan orang tua tentu hanya berdasarkan keadaan si calon yang dipilih, wajah dan watak yang baik, dari keturunan keluarga yang baik, kedudukan yang baik dan sebagainya, yang kesemuanya diukur dari keadaan umum atau dari selera mereka sendiri. Sebaliknya, pilihan orang yang bersangkutan biasanya berdasarkan cinta. Sayang bahwa kebanyakan cinta di antara mereka ini sebenarnya hanyalah nafsu belaka, tertarik karena wajah elok, kepandaian, kedudukan dan sebagainya sehingga kelak mereka akan menemui kegagalan.
***
Ketika Sim Houw dan Bi Lan memasuki pintu gerbang kota raja, nampaknya semua berjalan biasa saja dan keadaan di kota raja juga tetap ramai dan tenang. Mereka tidak tahu bahwa sebenarnya mereka sudah diintai dau dibayangi sejak mereka tiba di pintu gerbang! Bhok Gun dan Bi-kwi, dua orang yang kini bertugas memimpin pasukan berpakaian preman yang melakukan pembersihan sampai di mana-mana, bagaikan dua orang yang hendak menjala ikan, melihat dari jauh betapa Sim Houw dan Bi Lan memasuki kota raja seperti ikan-ikan kakap memasuki jaring yang mereka pasang! Mereka tidak mau turun tangan ketika melihat dua orang muda ini, khawatir kalau sampai dua orang itu dapat meloloskan diri. Maka, mereka hanya menyuruh anak buah membayangi dari jauh segala gerak-gerik dua orang itu, sedangkan mereka sendiri membuat laporan kepada Kim Hwa Nio-nio dan membuat persiapan. Kim Hwa Nio-nio menjadi girang sekali mendengar bahwa orang yang kini menguasai Liong-siauw-kiam telah datang ke kota raja. Ia harus merampas kembali pusaka yang dulu menjadi milik gurunya itu. Ialah yang berhak memiliki pusaka itu, bukan orang lain.
Sim Houw dan Bi Lan melihat bahwa keadaan di kota raja nampak tenang saja, masih ramai dan biarpun hari telah senja, masih banyak toko yang buka dan banyak pula orang yang berlalu lalang memenuhi jalan-jalan raya. Demikian banyaknya orang di kota raja sehingga diam-diam Bi Lan yang selamanya baru sekali itu berkunjung ke kota besar yang ramai itu, menjadi bingung ke mana ia harus mencari Sai-cu Lama yang merampas Ban-tok-kiam itu.
“Wah, ke mana kita harus mencari dia di tempat sebesar dan seramai ini?” katanya lirih ketika mereka berjalan-jalan di sepanjang toko-toko itu.
“Hari telah hampir malam. Kita perlu beristirahat dulu. Besok kita melakukan penyelidikan, ke kuil-kuil karena barang kali ada hwesio yang mengenal pendeta Lama itu. Atau ke pasar-pasar, ke tempat-tempat umum. Mari kita mencari rumah penginapan.”
Bi Lan yang belum berpengalaman dalam hal ini, hanya menurut saja dan mengikuti kawannya. Mereka memasuki sebuah rumah penginapan dan Sim Houw minta disediakan dua buah kamar. Setelah mereka diantar ke kamar masing-masing, Bi Lan segera menyatakan keheranannya.
“Sim-toako, selama dalam perjalanan kita bersama, kita bermalam di dalam kuil-kuil tua, di dalam hutan bawah pohon-pohon, selalu kita berada dalam satu ruangan, tidur dalam satu ruangan. Akan tetapi sekarang, di tempat ini, kenapa mendadak engkau minta disediakan dua kamar dan kita tiduk terpisah? Mengapa?”
Sim Houw tersenyum, terharu melihat kepolosan hati gadis ini. Dia tahu bahwa sejak kecil Bi Lan hidup seperti liar, jauh dari masyarakat umum, jauh dari apa yang oleh masyarakat disebut sebagai kesopanan atau tata-susila. Karena itu maka Bi Lan dapat mengajukan pertanyaan dan demikian terbuka dan polos.
“Lan-moi, agaknya masih banyak yang tidak kau ketahui tentang kehidupan bermasyarakat, kehidupan yang sudah penuh dengan peraturan-peraturan umum, dengan kesopanan dan tata-susila, dengan kebudayaan dan peradaban. Ada garis pemisah antara pria dan wanita di semua bidang, terutama kamar tidur. Hanya suami isteri saja yang tidur di satu ruangan, Lan-moi. Di dalam kehidupan ramai ini, segalanya ada aturannya. Berpakaiaupun harus diatur, bahkan cara makan, cara kita bicara, apa lagi bagi wanita, ditentukan oleh peraturan-peraturan. Contohnya, kalau makan kita tidak boleh nongkrong seenaknya, harus duduk dengan sopan dan bahkan ketika kita mengunyah makananpun ada aturannya. Tidak boleh tergesa-gesa memperlihatkan kelahapan, dan tidak boleh sampai mengeluarkan bunyi, sedikit demi sedikit, terutama wanita. Tertawapun bagi wanita ada aturannya, mulut harus ditutup tangan, dan sedapat mungkin jangan sampai terdengar gelak tawa.”
“Hayaaa.... repot benar kalau begitu!”
“Memang merepotkan sekali. Akan tetapi umum sudah menentukun demikian dan siapa melanggar ketentuan umum ini dianggap tidak sopan, tidak tahu aturan, bahkan bisa saja dianggap gila!”
“Wah, merekalah yang gila kalau begitu
“Memang. Akan tetapi betapa gilapun, kalau umum, menjadi baik, Lan-moi. Kehidupan di masyarakat ramai memang sudah menjadi tidak wajar lagi, penuh dengan kepalsuan. Dan kita, kalau sudah hidup di dalam masyarakat ramai, mau tidak mau harus ikut-ikutan karena kalau tidak kita dicap sebagai orang yang tidak tahu aturan, tidak sopan, atau bahkan gila!”
Apa yang dikatakan oleh Sim Houw itu, betapapun pahitnya, adalah suatu kenyataan yang tak dapat kita bantah lagi kalau kita mau membuka mata. Akan tetapi kita harus waspada dan membuka mata penuh perhatian, karena kalau tidak, kita tidak akan dapat melihat itu semua, karena sejak kecil kita sudah hanyut di dalamnnya. Kita sudah menjadi bagian dari tata-cara yang palsu itu, kitalah yang membentuk kepalsuan-kepalsuan itu, yang menjadikan kita ini orang-orang munafik. Betapapun janggalnya, kalau sudah menjadi kebiasaan, nampaknya wajar dan normal saja karena kebiasaan ini membentuk watak kita.
Peraturan-peraturan dan pandangan-pandangan umum, termasuk kita sendiri, sudah menjadi sifat kehidupan kita. Kita hidup tidak menurutkan kata hati lagi, tidak menurutkan kebutuhan badan lagi, melainkan kita harus menyesuaikan hidup kita dengan peraturan-peraturan dan pandangan-pandangan umum. Bahkan agar dianggap “umum” kalau perlu kita menyiksa hati dan badan. Kita berlumba untuk memperoleh penghormatan dan penghargaan umum, kalau perlu dengan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan hati dan badan kita sendiri, bahkan kalau perlu menyiksa diri sendiri. Banyak sekali nampak kenyataan-kenyataan ini dalam kehidupan kita sehari-hari. Cara kita berpakaian, yang didahulukan adalah kesopanan menurut pendapat dan peraturan umum. Kalau umum menghendaki bahwa yang dianggap sopan adalah berjas dan dasi, maka kita akan memakainya, walaupun badan merasa tersiksa karena panas dan gerahnya. Akan tetapi peraturan umum ini berubah-ubah, dan selalu kita mengikutinya dengan membuta. Biarpun hati kita sedang menangis, mulut kita senyum-senyum, hanya untuk menuruti kesopanan umum itulah. Cara kita menghormat dan menghargai orang sudah ditentukan oleh keadaan lahir belaka. Penghormatan dan penghargaan bukan lagi menjadi urusan hati, melainkan urusan lahir, untuk pameran belaka. Kita sudah tak mungkin hidup wajar lagi di masyarakat ramai ini, karena kewajaran seperti yang diperlihatkan Bi Lan, berarti pelanggaran norma-norma susila yang sudah kita tentukan, kita yang dalam hal ini berarti umum.
Setelah mendapat penjelasan dari Sim Houw Bi Lan dapat mengerti terpaksa iapun tidur dalam kamar sendiri. Setelah makan malam di restoran sebelah, mereka berdua lalu beristirahat di kamar masing-masing. Justeru karena tidur terpisah inilah maka malapetaka terjadi! Biasanya, kalau mereka tidur di kuil-kuil kosong atau di dalam hutan, mereka berjaga dengan bergilir. Kini, setelah tidur dalam kamar masing-masing, dengan jendela dan pintu terkunci, mereka merasa aman dan keduanya melepaskan lelah dan tidur.
Hujan yang turun rintik-rintik malam itu membuat Bi Lan tidur nyenyak. Tubuhnya yang lelah membuat ia tidur enak sekali sehingga ia tidak tahu bahwa ada beberapa orang mendekati kamarnya ke arah jendela. Ketika itu menjelang tengah malam, semua tamu sudah tidur nyenyak dan suasana sunyi sekali. Hanya rintik hujan di atas genteng yang terdengar seperti musik yang aneh namun mengasyikkan.
Ketika daun jendela kamar dijebol orang dan beberapa bayangan berloncatan masuk, barulah Bi Lan terkejut. Sebagai seorang gadis yang memiliki kepandaian ilmu silat tinggi, begitu terbangun, semua urat syaraf dan otot di dalam tubuhnya sudah siap siaga dan begitu ada orang menubruk ke arah dirinya di atas tempat tidur, disambutnya tubrukan orang itu dengan sebuah tendangan kilat.
“Brukkk....!” Orang yang menubruknya itu, seorang laki-laki tinggi tegap, terkena tendangan pada dadanya sehingga terlempar dan terbanting jatuh di atas lantai. Bi Lan cepat meloncat bangun dan terkejutlah ia ketika melihat bahwa selain beberapa orang yang tidak dikenalnya, di dalam kamar itu telah dikenalnya dengan baik, yaitu Bi-kwi dan Bhok Gun! Marahlah Bi Lan karena ia maklum bahwa dua orang itu muncul tentu dengan niat hati yang buruk dan kotor.
“Manusia-manusia jahat, pergilah!” Ia membentak dan ia sudah menerjang ke depan, menyerang Bhok Gun. Orang ini meloncat ke samping sambil menangkis dan mengejek, “Nona manis, lebih baik menyerah sajalah!”
Akan tetapi, dengan marah Bi Lan menyerang terus, dan sekali ini serangannya ditujukan kepada Bi-kwi yang sudah menghadang di depannya. Bi-kwi menangkis dan Bhok Gun sudah menubruk dari samping, bermaksud untuk menotok pundak Bi Lan. Namun gadis ini dapat miringkan tubuh mengelak sambil mencuatkan kakinya menendang ke arah pusar laki-laki itu. Cepat dan kuat tendangannya itu, dan hampir saja mengenai sasaran. Akan tetapi Bhok Gun melempar tubuh ke belakang sehingga lolos dari tendangan yang berbahava itu. Pada saat itu, muncul Kim Hwa Nio-nio. Ketika tangannya bergerak, bulu-bulu kebutan di tangannya itu menyambar-nyambar. Pada saat itu, Bi Lan sedang sibuk menghadapi serangan Bi-kwi dan Bhok Gun yang mengeroyoknya. Maka ketika nenek itu menerjang dengan kebutannya, ia tidak mampu menghindarkan diri lagi. Jalan darah di punggung dan pundaknya tertotok dan iapun roboh dengan tubuh lemas. Semua ini berjalan dengan amat cepatnya sehingga kedatangan Sim Houw sudah terlambat.
“Brakkkk....!” Daun pintu kamar Bi Lan itu jebol ketika diterjang Sim Houw dari luar. Pemuda ini tadi mendengar ribut-ribut di kamar sebelah, kamar Bi Lan! Diapun cepat mengenakan sepatu, berlari dan menerjang daun pintu kamar temannya itu. Dan Sim Houw berdiri tertegun ketika melihat dan mengenal Bi-kwi dan Bhok Gun, apa lagi melihat betapa Bi Lan telah diringkus dan seorang nenek yang memegang sebatang kebutan memegang lengan gadis itu dan mengancam kepala gadis itu dengan gagang kebutannya.
“Hemm, apa artinya ini? Kenapa kalian mengganggu kami?” Sim Houw berkata dengan sikap tenang, matanya berganti-ganti memandang kepada Bi-kwi, Bhok Gun, dan nenek itu.
“Artinya, orang she Sim, bahwa engkau harus mengembalikan Liong-siauw-kiam kepadaku, karena akulah yang berhak atas pusaka itu,” kata si nenek.
“Hemm, siapakah engkau?” Sim Houw bertanya, alisnya berkerut dan dia membuat perhitungan dengan pandang matanya. Nenek ini tentu lihai sekali dan ancamannya terhadap Bi Lan membuat dia tidak berdaya. Kalau saja Bi Lan tidak diancam seperti itu, tentu dia dapat menerjang dan mengajak gadis itu meloloskan diri dari kepungan. Akan tetapi gadis itu telah ditodong, kalau dia bergerak, tentu nenek itu lebih cepat untuk lebih dulu membunuh Bi Lan.
“Aku adalah Kim Hwa Nio-nio, murid tunggal dari mendiang Pek-bin Lo-sian....“
“Hemmm....!” Pernyataan ini sungguh mengejutkan hati Sim Houw karena tak pernah disangkanya bahwa dia akan berhadapan dengan murid kakek itu yang dulu memperingatkan dia agar berhati-hati terhadap Sam Kwi, tiga orang murid keponakan kakek itu.
“Hi-hik, kau nampak terkejut, orang muda? Aku adalah muridnya, murid tunggal. Maka engkau tentu mengerti bahwa pedang suling pusaka itu adalah hakku untuk mewarisinya dari suhu, bukan engkau seorang luar. Nah, serahkan pedang pusaka itu kepadaku atau.... kebutanku akan menghabiskan nyawa anak perempuan ini!“
“Sim-toako, jangan layani ia! Jangan serahkan pedang pusakamu kepadanya. Biar ia membunuhku, huh, ia takkan berani!”
“Orang she Sim, majulah dan gadis ini akan mampus!” Kim Hwa Nio-nio menempelkan gagang kebutannya pada ubun-ubun kepala Bi Lan. Sekali tekan saja cukup baginya untuk membunuh gadis itu dan hal ini dimaklumi oleh Sim Houw.
“Baiklah, Kim Hwa Nio-nio. Bebaskan gadis itu dan aku akan memberikan Liong-siauw-kiam kepadamu.”
“Jangan, sukouw (bibi guru)! Aku pernah ditipunya. Kalau Siauw-kwi dibebaskan, dia akan menyerahkan pedang akan tetapi segera akan merampasnya kembali! Jangan bebaskan dulu bocah setan itu!” teriak Bi-kwi dan iapun kini mendekati Bi Lan dan mengancam dengan menempelkan pedangnya di punggung Bi Lan.
“Bi-kwi, engkau memang orang yang jahat sekali!” Bi Lan membentak marah.
“Dan engkau seorang murid yang murtad!” Bi-kwi balas memaki.
“Serahkan dulu pedang itu dan kami akan membebaskan gadis ini,” kata pula Kim Hwa Nio-nio dengan penuh gairah karena ia membayangkan bahwa pusaka itu akhirnya akan jatuh ke tangannya. “Cepat, atau aku akan kehabisan sabar dan membunuh anak ini!”
Sim Houw maklum bahwa dengan tertawannya Bi Lan, berarti dia telah kalah. “Baiklah,” katanya sambil melepaskan tali pengikat sarung pedang itu di pinggangnya.
“Jangan, Sim-toako, engkau akan ditipunya Mereka ini adalah orang-orang yang jahat sekali, yang tidak pantang melakukan segala macam kecurangan. Jangan perdulikan aku, lawan saja dan jangan serahkan pedang!” teriak Bi Lan.
“Diam kau!” bentak Bi-kwi. “Apa kau ingin mampus?”
“Bi-kwi, kau tahu bahwa aku tidak takut mampus!” Bi Lan balas membentak, matanya melotot, sedikitpun ia tidak merasa takut walaupun ia sudah tidak berdaya.
“Kim Hwa Nio-nio, berjanjilah bahwa engkau akan membebaskan nona Can Bi Lan setelah aku menyerahkan Liong-siauw-kiam kepadamu.”
Bagi seorang datuk sesat seperti Kim Hwa Nio-nio, berjanji merupakan suatu silat lidah atau tipu muslihat saja, maka tanpa ragu-ragu ia pun berjanji, “Baik, aku berjanji akan membebaskan gadis ini setelah Liong-siauw-kiam kauserahkan kepadaku.”
Biarpun dia belum percaya benar kepada nenek itu, akan tetapi karena keadaan memaksa untuk menyelamatkan Bi Lan, terpaksa Sim Houw melolos pedang dan sarungnya dan menyerahkannya kepada si nenek.
Melihat nenek itu hendak menyambut, cepat Bi-kwi berseru, “Jangan, sukouw. Suruh seorang anak buah menerimanya.” Dan iapun cepat menyuruh seorang pengawal menerima pedang itu dari tangan Sim Houw. Memang cerdik sekali Bi-kwi ini. Karena yang menerimanya hanya seorang pengawal biasa, Sim Houw tidak dapat berbuat sesuatu dan terpaksa menyerahkan pedang itu. Pengawal itupun membawanya kepada Kim Hwa Nio-nio yang menerimanya, lalu mencabut pedang itu, tertawa-tawa dan mencium pedang suling naga itu.
“Liong-siauw-kiam...., akhirnya engkau kembali ke pangkuan majikan lama....“ dan nenek itu tertawa-tawa, akan tetapi kedua matanya basah. Ternyata nenek itu sampai mengeluarkan air mata saking girangnya.
“Kim Hwa Nio-nio, sekarang bebaskan nona itu,” kata Sim Houw, sikapnya masih tenang walaupun pedang pusakanya telah dirampas orang.
“Bukan aku yang menangkapnya, mintalah kepada mereka yang menangkapnya untuk membebaskannya,” kata nenek itu dengan sikap acuh.
Hal ini memang sudah dikhawatirkan oleh Sim Houw. Dia memandang dengan muka merah dan membentak, “Nenek iblis, sungguh bermuka tebal dan tak tahu malu melanggar janji sendiri!”
“Srattt....“ Pedang suling naga itu sudah tercabut oleh Kim Hwa Nio-nio. “Tutupu mulutmu yang lancang, orang muda! Yang menawan nona ini bukan aku. Kalau aku yang menawannya sekarang, tentu kubebaskan. Lihat, siapa yang menawannya sekarang?”
Bi-kwi tersenyum mengejek. “Akulah yang menawannya dan aku tidak berjanji apa-apa kepada orang she Sim ini!”
“Subo, orang ini merupakan bahaya bagi kita. Sebaiknya diapun dibasmi atau ditawan saja!” kata Bhok Gun.
“Sinngg....!” Tiba-tiba pedang kayu yang berbentuk naga itu menyambar ke arah Bi Lan. Dan berhamburanlah rambut kepada Bi Lan. Tidak kurang dari satu dim panjangnya ujung rambut itu sudah putus oleh sinar Liong-siauw-kiam yang tadi menyambar, diiringi suara ketawa nenek itu, dan dipandang dengan penuh kagum oleh Bi-kwi dan Bhok Gun. Mereka tak pernah mengira bahwa pedang kayu itu sedemikian hebatnya, dan juga Sim Houw diam-diam terkejut. Dia tahu bahwa nenek itu sengaja mendemonstrasikan kepandaiannya, dan cara nenek itu mempergunakan pedang suling naga memang luar biasa. Jelas bahwa nenek itu, seperti Pek-bin Lo-sian gurunya, telah mempelajari semacam ilmu tersendiri untuk mempergunakan pedang itu.
“Kalau aku menghendaki, bukan rambutnya melainkan lehernya yang putus, heh-heh!” nenek itu tertawa girang.
Sim Houw maklum bahwa dia telah tertipu. Dia menjadi marah bukan main. “Keparat, kalian memang orang-orang jahat dan curang!” Dan diapun menerjang maju dengan tangan kosong saja, menyerang ke arah nenek Kim Hwa Nio-nio! Biarpun hanya bertangan kosong, namun dari kedua tangan pemuda itu menyambar hawa pukulan yang amat hebat, mendatangkan angin yang menyambar dahsyat.
Kim Hwa Nio-nio terkejut, cepat ia menggerakkan kebutannya untuk menangkis kedua serangan dengan dua tangan itu. Bulu-bulu kebutannya yang menjadi kaku karena disaluri tenaga sinkang itu terpental ketika bertemu dengan kedua tangan Sim Houw, akan tetapi pada saat itu, nenek yang lihai ini juga membalas dengan tusukan pedang Liong siauw-kiam yang sudah berada di tangannya, menusuk ke arah leher lawan.
Tusukan ini berbahaya sekali, namun Sim Houw yang memang memancing agar nenek itu menggunakan Liong-siauw-kiam, sudah miringkan tubuh dan tangannya diputar untuk menangkap dan merampas pedangnya!
Pada saat itu, Bhok Gun sudah memyerangnya dari belakang dengan tusukan pedang. Serangan ini mengganggu pencurahan tenaga dan kecepatan Sim Houw untuk merampas pedang karena dia harus mengelak dari tusukan yang dilakukan Bhok Gun, maka nenek itu dapat menarik kembali Liong-siauw-kiam. Wajah nenek itu agak pucat karena ia tahu bahwa ia telah terpancing mempergunakan pedang itu dan sekiranya muridnya tidak membantu, besar sekali kemungkinannya pusaka itu akan dapat dirampas kembali oleh Pendekar Suling Naga yang memang lihai bukan main ini! Cepat nenek itu melangkah mundur, menyimpan pedang pusaka di balik jubahnya dan kini iapun maju lagi menyerang dengan menggunakan kebutannya, membantu Bhok Gun yang sudah terdesak hebat oleh Sim Houw. Ketika kebutan itu meledak dan menyerang ke arah kepala, Sim Houw mengakhiri desakannya dengan sebuah tendangan yang mengenai lambung Bhok Gun. Bhok Gun sudah mengerahkan sin-kang melindungi lambungnya, akan tetapi saking kerasnya tendangan, tubuhnya terlempar dan terbanting keras ke atas meja kamar itu, membuatnya nanar!
Kim Hwa Nio-nio berkelahi dengan hebatnya melawan Sim Houw. Pendekar ini merasa betapa kamar itu terlalu sempit, maka diapun meloncat keluar melalui pintu yang tadi diterjangnya. Setelah tiba di ruangan luar kamar, dia telah dikepung oleh para perajurit dan kini Kim Hwa Nio-nio maju lagi bersama Bhak Gun yang sudah dapat memulihkan keadaannya. Dia tidak terluka, hanya terkejut dan agak nanar saja oleh tendangan tadi. Dan terjadilah pengeroyokan yang amat seru. Biarpun Pendekar Suling Naga sudah kehilangan senjata pusakanya, namun sepak terjangnya masih amat hebat sehingga biarpun dikeroyok dua oleh Kim Hwa Nio-nio dan Bhok Gun, masih dikepung oleh duapuluh lebih perajurit, dia sama sekali tidak nampak terdesak. Bahkan setiap kali ada perajurit berani mencoba-coba untuk membantu nenek itu, perajurit ini tentu roboh oleh tamparan atau tendangan kakinya. Bhok Gun sendiri agak jerih dan hanya menyerang dari jarak jauh mengambil keuntungan dari pedangnya menghadapi lawan bertangan kosong itu. Hanya Kim Hwa Nio-nio yang berani menyerang pemuda itu dari jarak dekat dan secara bertubi-tubi, dan nenek itu harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan seluruh kepandaianrya, karena kalau tidak, keselamatannyapun terancam. Sim Houw memang menujukan serangan-serangannya kepada nenek ini, untuk merobohkannya dan untuk merampas senjata pusakanya.
Hebat memang sepak terjang Sim Houw, Si Pendekar Suling Naga itu. Lawannya, nenek Kim Nwa Nio-nio adalah seorang yang sakti, mewarisi hampir seluruh kepandaian mendiang Pek-bin Lo-sian, dan dibantu pula oleh muridnya, Bhok Gun yang juga lihai sekali. Guru dan murid itu memegang senjata, akan tetapi Sim Houw yang bertangan kosong dan dikeroyok dua itu sama sekali tidak menjadi terdesak. Pemuda ini mengamuk seperti seekor naga bermain-main di antara awan hitam di angkasa. Gerakan-gerakannya mantap dan mengandung tenaga yang amat kuat sehingga beberapa kali Bhok Gun terpaksa harus agak menjauh karena angin pukulan lawan teramat kuat.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa halus dari Bikwi. “Ha-ha, Sim Houw, lihat. Apakah engkau belum juga mau menyerah? Aku akan membunuh Can Bi Lan, menggorok lehernya kalau kau tidak mau menyerah.”
Dengan sudut matanya Sim Houw memandang sambil melayani serangan dua orang pengeroyoknya dan jantunguya hampir berhenti ketika dia melihat betapa Bi-kwi benar-benar telah menempelkan pedangnya yang tajam itu di leher Bi Lan! Pedang yang tajam itu sudah ditekankan dan nampak betapa kulit leher yang putih mulus dan halus itu tertekan mata pedang. Dia tahu bahwa Bi Lan tertotok, tak mampu mengerahkan tenaga dan sedikit saja pedang itu ditekan, maka kulit dan daging leher itu akan koyak dan tersayat, urat-urat leher akan putus dan nyawa Bi Lan takkan dapat tertolong lagi. Dan diapun tidak berdaya dalam keadaan seperti itu untuk membebaskan Bi Lan dari ancaman pedang Bi-kwi. Tanpa berpikir panjang lagi diapun meloncat jauh ke belakang.
“Tahan dulu!” bentaknya. Kim Hwa Nio-nio cepat mendekati Bi-kwi. Nenek yang cerdik ini maklum bahwa tentu perhatian lawan kini ditujuknn kepada Bi-kwi yang menodong gadis itu, maka Bi-kwi yang harus dijaganya dan diperkuat kedudukannya.
“Nah, begitu lebih baik, Sim Houw. Menyerahlah, karena engkau telah melawan pasukan pemerintah, berarti bahwa engkau telah melakukan pemberontakan terhadap pemerintah! Kalau engkau menyerah dengan baik-baik, mungkin kami masih akan mempertimbangkan agar hukuman kalian ringan saja,” kata pula Bi-kwi dengan sikap seperti seorang pembesar yang baik hati.
Dalam keadaan negara kalut, memang amat mudah bagi seseorang untuk menjatuhkan fitnah. Apa lagi mereka yang berada dalam kedudukan menang dan berkuasa, dengan mudahnya menjatuhkan fitnah “memberontak” kepada orang-orang yang menjadi musuhnya atau yang tidak disukainya.
“Sim Houw, jangan perdulikan mereka! Serang terus atau kau loloskan diri! Jangan kauperdulikan diriku. Mereka boleh siksa, boleh bunuh, aku tidak takut mati!“ teriak Bi Lan dengan marah sekali.
Akan tetapi, mana mungkin Sim Houw meninggalkan gadis itu begitu saja menjadi tawanan orang-orang yang jahat ini? “Baiklah, aku menyerah dan jangan ganggu nona Can Bi Lan.” Diapun berdiri dengan lemas.
Bi-kwi lalu menyuruh anak buahnya untuk mengikat kaki tangan Sim Houw dengan rantai baja yang kuat, lalu beramai-ramai mereka membawa Sim Houw dan Bi Lan menuju ke gedung yang menjadi markas Kim Hwa Nio-nio dan para pembantunya.
Para tamu, bahkan pengurus penginapan yang tadi mendengar ribut-ribut dan keluar dari dalam kamar, segera bersembunyi lagi ke kamar masing-masing dengan tubuh gemetar ketika mereka tahu bahwa keributan itu terjadi karena pasukan keamanan kota raja sedang mengadakan “pembersihan” di rumah penginapan itu. Mereka hanya berdoa bahwa pasukan itu tidak akan memasuki kamar mereka untuk melakukan penggeledahan. Karena kalau hal itu terjadi, andaikata mereka tidak ditangkappun, setidaknya mereka akan kehilangan barang berharga dan uang yang berada di dalam kamar mereka! Hal ini sudah diketahui oleh semua orang. Setiap kali anak buah pasukan keamanan itu melakukan penggeledahan, tentu kesempatan itu mereka pergunakan untuk mengambil barang-barang berharga dan uang orang yang sedang digeledah tanpa orang itu mampu memprotes. Tidak ditahanpun sudah untung, maka orang-orang yang diambil barang-barangnya itu merasa lebih aman tutup mulut saja. Bukan hanya barang berharga yang diganggu, juga kalau ada wanita muda dan bersih, tentu tidak akan terbebas dari gangguan tangan-tangan jail para anak buah pasukan itu. Karena itu, setiap kali ada pembersihan, rakyat sudah gemetar ketakutan.
Akan tetapi sekali ini, agaknya para pimpinan itu sudah puas ketika dapat menangkap Sim Houw dan Bi Lan. Terutama sekali Kim Hwa Nio-nio sudah puas dan girang karena berhasil mendapatkan kembali pusaka yang pernah oleh gurunya diberikan kepada orang lain. Pergilah pasukan itu membawa dua orang lawanannya ke gedung besar itu dan kedua orang tawanan ini dijebloskan ke dalam kamar tahanan yang kuat dan terjaga ketat, dan kaki tangan mereka masih dibelenggu, tubuh mereka ditotok pula!
***
Pemuda yang memasuki rumah makan dengan langkah yang tegap dan tenang itu usianya paling banyak duapuluh tahun. Tubuhnya tinggi besar, kulit mukanya agak kehitaman seperti muka yang sering kali tertimpa panas matahari. Namun wajah itu gagah dan bentuknya tampan, sepasang matanya memandang lurus dan tajam, penuh keberanian dan kejujuran, akan tetapi juga mengandung bayangan hati keras. Pemuda ini membawa sebuah buntalan pakaian dan jubahnya yang lebar panjang menutupi apa yang tersembunyi di ikat pinggangnya. Dia segera menghampiri sebuah meja yang masih kosong di sudut dan dari situ dia dapat memandang ke seluruh ruangan rumah makan itu yang telah diisi oleh belasan orang tamu yang makan siang di tempat itu.
Pemuda itu adalah Cu Kun Tek, pendekar muda dari Lembah Naga Siluman di Pegunungan Himalaya itu. Seperti kita ketahui, pemuda ini menderita kecewa karena cintanya ditolak oleh Bi Lan, bahkan dia dicemooh. Salahnya sendiri. Dia telah bersikap tolol sekali terhadap Bi Lan, sikap yang tentu menyakitkan hati gadis itu. Dan dia menyalahkan dirinya sendiri menghadapi penolakan Bi Lan. Hatinya terasa sakit dan kesepian setelah dia melakukan perjalanan seorang diri, tanpa gadis itu. Dia pergi meninggalkan lembah untuk mencari pengalaman dan meluaskan pengetahuan. Siapa kira, di tempat itu dia malah jatuh cinta dan sekaligus patah hati karena cinta gagal!
Tiba-tiba dia melihat ada seorang pemuda masuk ke dalam restoran itu dan jantungnya berdebar keras ketika dia menpenal pemuda itu. Pemuda yang pernah menyerangnya mati-matian karena cemburu melihat hubungannya dengan Bi Lan! Pemuda yang gagah perkasa dan lihai bernama Gu Hong Beng, yang agaknya juga jatuh cinta kepada Bi Lan dan ditolak oleh gadis itu. Diam-diam Kun Tek tersenyum dalam hati. Senyum pahit. Pemuda yang baru masuk ini mengalami nasib yang sama dengan dia. Sama-sama ditolak cintanya oleh Bi Lan, sama-sama patah hati.
Di lain pihak, Hong Beng juga melihat dan mengenal Kun Tek. Hatinya berdebar dan diapun merasa tidak enak sekali. Bukan hanya karena dia menganggap Kun Tek sebagai seorang saingan, akan tetapi karena dia pernah menyerang pemuda itu secara membabi buta karena cemburu. Peristiwa itulah yang membuat dia merasa malu sekali dan dia pura-pura tidak melihat Kun Tek, menghampiri meja di sudut lain yang menghadap ke luar sehingga meja Kun Tek berada di seberang kirinya. Dengan demikian, dia tidak usah berhadapan langsung dengan pemuda itu yang agaknya saling mencinta dengan Bi Lan!
Melihat sikap Hong Beng, Kun Tek juga diam saja. Diapun merasa tidak enak hati. Kini dia dapat membayangkan betapa sakit rasa hati Hong Beng ketika itu, ketika melihat gadis yang dicintanya itu diraba-raba kulit pinggangnya oleh seorang pemuda lain! Dia dapat mengerti akan kemarahan Hong Beng yang langsung menyerangnya seperti orang mabok itu. Dan kini, dia sendiri dapat merasakan betapa sakitnya hati menderita cinta yang gagal, cinta yang hanya bertepuk tangan sebelah. Dan perasaan senasib sependeritaan membuat Kun Tek memandang ke arah Hong Ben dengan sinar mata akrab dan bersahahat, berbeda dengan sikap Hong Beng yang merasa tidak enak dan biarpun hanya bersisa sedikit, masih ada perasaan iri terhadap pemuda yang dianggapnya menjadi pilihan hati Bi Lan itu.
Kebetulan sekali, kedua orang pemuda itu, tanpa disengaja, memesan makanan yang sama, yaitu bakmi goreng, bebek panggang dan arak! Hong Beng sebagai orang yang berasal dari selatan, lebih biasa makan nasi dan memesan nasi, sedangkan Kun Tek tidak, cukup dengan bakmi.
Mereka berdua makan tanpa saling tegur atau lirik dan makanan mereka hampir habis ketika tiba-tiba restoran itu ramai dikunjungi banyak orang. Akan tetapi, dua orang pemuda itu melihat betapa para pengurus rumah makan itu menjadi pucat ketakutan dan mereka itu berkelompok di belakang meja pemilik restoran dengan tubuh gemetar. Juga para tamu lain memandang dengan ketakutan ke arah orang-orang yang baru saja tiba itu.
Ketika Kun Tek dan Hong Beng memandang ke luar, mereka berduapun terkejut. Mereka mengenal siapa adanya wanita cantik dan pemuda tampan yang memimpin rombongan orang itu. Hong Beng sudah mengenal Bhok Gun dan Bi-kwi, pernah bentrok dengan mereka ketika dia menolong Bi Lan. Juga Kun Tek pernah menolong Bi Lan dari tangan Bhok Gun, maka kedua orang pemuda itu diam-diam bersiap siaga menghadapi segala kemungkinan.
Bhok Gun dan Bi-kwi menyapu ruangan rumah makan itu dengan pandang mata mereka penuh selidik. Akhirnya mereka melihat Hong Beng dan Kun Tek.
Tentu saja mereka terkejut dan sekali melihat Kun Tek yang pernah menolong Bi Lan dari tangannya, Bhok Gun sudah marah. Sambil menunjuk ke arah pemuda itu, dia memerintahkan anak buahnya yang berjumlah duapuluh empat orang.
“Tangkap bocah itu. Dan kalau dia melawan, keroyok dan bunuh saja!”
Bagaikan anjing-anjing pemburu yang sudah terlatih baik, duapuluh orang lebih itu menyerbu ke dalam ruangan itu. Meja kursi yang menghalang di tengah jalan mereka tendang dan singkirkan sehingga sebentar saja tempat itu menjadi porak poranda. Para tamu lain sudah bangkit berdiri dan dengan wajah ketakutan menyingkir ke pinggir, berkelompok bersama dengan pemilik dan para pelayan restoran. Yang masih tetap duduk hanya Hong Beng dan Kun Tek. Kun Tek kelihatan tenang saja ketika banyak orang itu menghampiri dan mengepungnya.
“Orang muda, menyerahlah untuk kami tawan, dari pada kami harus mempergunakan kekerasan!” bentak seorang pengawal yang bermuka kasar penuh bopeng (cacar).
Kun Tek menghirup arak yang masih tertinggal di dalam cawannya, lalu bangkit berdiri dan melempar cawan kosong ke atas meja. “Aku tidak bersalah, maka aku tidak sudi menyerah kepada anjing-anjing serigala!” bentaknya sambil menyambar buntalan pakaiannya dan dengan sikap tenang dia mengikatkan buntalan pakaian itu di punggung, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa, seolah-olah dia tidak sedang diancam dan dikepung oleh banyak lawan.
Mendengar ucapan itu dan melihat sikap pemuda yang amat memandang rendah mereka, para perajurit keamanan itu menjadi marah sekali. Mereka ini menjadi semakin tinggi hati saja setelah menjadi anak buah yang dipimpin oleh Bi-kwi dan Bhok Gun, karena mereka maklum betapa saktinya dua orang pimpinan mereka dan betapa mereka tidak pernah gagal menangkap orang. Dalam setiap pembersihan, selalu mereka berhasil baik dan mereka pulang dengan semua kantung di baju mereka penuh barang berharga. Si muka bopeng yang memandang rendah pemuda di depannya itu, memberi isyarat dan bersama tiga orang kawan lain, mereka menubruk maju hendak menangkep Kun Tek. Akan tetapi, pemuda ini menggeser kakinya, kedua tangannya menyambar mangkok dan cawan, kakinya menendang meja. Meja itu terlempar dan menghantam dua orang di antara empat pengeroyok itu, sedangkan yang dua orang lagi, termasuk si muka bopeng, kena dihantam mangkok dan cawan muka mereka. Empat orang itu mengaduh-aduh dan terjengkang, si muka bopeng yang disambar mangkok mukanya itu berdarah dan membuat mukanya semakin buruk lagi. Kalau sudah sembuh luka karena tertusuk pecahan mangkok itu, tentu cacat mukanya yang bopeng itu bertambah!
Melihat ini, kawan-kawan empat orang itu menjadi marah dan merekapun menerjang maju mengeroyok Kun Tek. Tiba-tiba berkelebat bayangan biru dan tahu-tahu Hong Beng sudah menerjang masuk ke dalam arena perkelahian itu.
“Maafkan, aku terpaksa mencampuri, sobat. Mari kita basmi anjing-anjing busuk ini!”
Mendengar ucapan Hong Beng, Kun Tek merasa girang sekali. Dia tidak membutuhkan bantuan, akan tetapi bantuan dari Hong Beng ini menunjukkan bahwa Hong Beng sudah melupakan semua hal yang pernah terjadi dan tidak lagi marah kepadanya. “Terima kasih, bantuanmu kuhargai sekali!” katanya dan dengan gembira diapun mengamuk dengan kedua tangan telanjang saja.
Tentu saja duapuluh lebih orang-orang ini bukan lawan tangguh dan mereka segera kocar-kacir oleh pengamukan kedua orang pemuda perkasa. Bhok Gun dan Bi-kwi segera memasuki gelanggang perkelahian dan keduanya sudah menggunakan pedang mereka, menerjang Kun Tek dan Hong Beng.
Kun Tek dan Hong Beng melayani mereka dengan kelincahan gerakan mereka. Hanya dengan tangan kosong, kadang-kadang menyambar pecahan meja atau kaki kursi, mereka berdua bukan hanya mampu menangkis semua serangan lawan, bahkan mampu membalas dengan tidak kalah berbahayanya. Kun Tek yang menghadapi Bhok Gun bahkan tidak merasa perlu mengeluarkan pedangnya, pedang pusaka Koai-liong Po-kiam yang oleh ayahnya sudah dipesan agar tidak sembarangan dikeluarkan kalau tidak terpaksa sekali.
Hong Beng yang sudah melakukan penyelidikan di kota raja dan maklum bahwa dia dan pemuda tinggi besar itu menghadapi pasukan yang melakukan pembersihan, pasukan pemerintah yang entah bagaimana kini bisa dikuasai oleh orang-orang macam Bi-kwi dan Bhok Gun lalu cepat berkata kepada Kun Tek, “Sobat, mari kita pergi!”
“Kenapa harus pergi? Aku tidak takut akan pengeroyokan mereka!” Kun Tek membantah, merasa penasaran karena mereka berdua sama sekali tidak terdesak.
“Orang-orang ini adalah pasukan pemerintah, tidak baik melawan mereka. Nanti kuceritakan. Percayalah, mari kita pergi!” kata pula Hong Beng dan diapun meloncat keluar dari arena pertempuran. Kun Tek meloncat ke kiri, merobohkan seorang perajurit dan diapun lari mengikuti Hong Beng. Dengan cepat kedua orang pemuda itu melarikan diri, dikejar oleh pasukan itu. Karena anak buah pasukan mengejar dengan kacau balau, maka gerakan Bi-kwi dan Bhok Gun yang hendak melakukan pengejaran malah terhalang oleh anak buah mereka sendiri. Bi-kwi dau Bhok Gun merasa mendongkol dan marah sekali, juga kecewa. Mereka segera melapor kepada Kim Hwa Nio-nio dan itulah sebabnya mengapa kini mereka bergerak lebih hati-hati. Mereka tahu bahwa banyak orang pandai memasuki kota raja dan mereka tidak berani bertindak secara sembrono. Dan itulah pula sebabnya ketika Sim Houw dan Bi Lan memasuki kota raja beberapa hari kemudian, mereka tidak tergesa-gesa turun tangan dan menarik bantuan Kim Hwa Nio-nio sendiri untuk turun tangan, dan lebih menggunakan akal licik dari pada kepandaian mereka.
Hong Beng terus melarikan diri diikuti oleh Kun Tek sampai mereka merasa aman, berbaur dengan orang-orang yang memenuhi jalan raya dan berlalu lalang. Hong Beng lalu mengajak Kun Tek menuju ke sebuah kuil tua. Semenjak kembali dari Pao-teng mengunjungi Kao Cin Liong, oleh bekas panglima itu dia diberi tahu agar kalau berada di kota raja, dia bermalam atau bersembunyi di kuil itu. Ketua kuil itu, seorang hwesio yang usianya sudah enampuluh tahun lebih dan kini tinggal di situ bersama dua orang hwesio tua lainnya, adalah seorang, sahabat dari pendekar Kao Cin Liong. Dan kini Hong Beng bermalam di situ, diterima baik oleh tiga orang hwesio itu ketika dia menyebutkan nama Kao Cin Liong sebagai paman gurunya. Dengan aman kini kedua orang muda itu memasuki kuil dan Hong Beng langsung membawa kawannya itu ke dalam ruangan yang kecil di belakang kuil.
“Nah, di sini kita boleh bicara dengan aman,” kata Hong Beng-sambil memandang wajah Kun Tek.
Kun Tek sejak tadi memperhatikan tempat itu dan mengangguk. “Engkau pandai memilih tempat sembunyi, kawan,”
“Sebelum kita bicara, ingin aku lebih dulu mengeluarkan perasaan tidak enak di dalam hatiku. Aku ingin.... minta maaf kepadamu atas peristiwa yang terjadi dalam pertemuan kita yang lalu. Maafkan atas kebodohanku, karena cemburu merupakan suatu kebodohan besar, bukan? Maafkan aku.”
Kun Tek tersenyum. “Sudah lama aku memaafkanmu, sobat. Dan kalau dulu aku masih merasa penasaran, karena belum tahu, kini aku memaklumi perbuatanmu itu. Aku tahu apa artinya patah hati, betapa pahitnya cinta yang hanya bertepuk sebelah tangan.”
Hong Beng memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik ke arah wajah Kun Tek.
“Kaumaksudkan.... kau.... dan Bi Lan....?”
Kun Tek mengangguk. “Kita senasib, kawan. Agar kauketahui saja dan agar engkau tidak menyimpan iri atau cemburu kepadaku. Seperti juga engkau, cintaku ditolak. Nah, kita berdua ini sama-sama dua ekor keledai jantan yang tolol, bukan?”
Hong Beng melebarkan matanya, kemudian dia memegang lengan Kun Tek. “Ah, maafkan aku! Engkau seorang laki-laki sejati. Nah, aku Gu Hong Beng sudah lama kagum kepadamu, sobat.”
“Dan akupun kagum kepadamu. Namaku Cu Kun Tek.”
“Ketika kita bertempur, engkau menggunakan sebatang pedang yang hebat. Kenapa tadi tidak kau pergunakan?”
Kun Tek menepuk pinggangnya di mana pedang itu tergantung, terlindung oleh jubahnya yang panjang. “Ayahku berpesan agar kalau tidak terpaksa sekali, aku tidak boleh mempergunakan pusaka keluarga kami ini. Dulu ketika melawanmu, aku terpaksa. Engkau lihai bukan main dan agaknya engkau memiliki ilmu-ilmu dari Pulau Es.”
Hong Beng mengangguk, tanpa merasa bangga. “Aku hanya menguasai sedikit saja dari ilmu-ilmu keluarga Pulau Es walaupun suhuku adalah seorang anggauta keluarga para pendekar Pulau Es. Akan tetapi ilmu pedangmu hebat bukan main.”
“Ah, ilmu keluarga kami belum apa-apa kalau dibandingkan dengan ilmu-ilmu dari Pulau Es. Nah, setelah kita menjadi sahahat, ceritakanlah mengapa engkau mengajak aku melarikan diri tadi, padahal kita belum tentu kalah kalau pertempuran itu dilanjutkan.”
“Ketahuilah, Kun Tek, bahwa wanita tadi adalah Bi-kwi murid dari Sam Kwi....”
“Aku pernah mendengar nama Sam Kwi....“
“Ia masih suci dari.... eh, Bi Lan. Kau tahu, Bi Lan adalah murid Sam Kwi, akan tetapi ia mengambil jalan lain dari pada jalan sesat guru-gurunya, bahkan Bi Lan telah diambil murid oleh Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir....“
“Hemmm.... kenapa kau membawa-bawa nama nona Can dalam percakapan ini?” Kun Tek mencela, nampak tak senang karena nama itu mengingatkan dia akan pengalamannya yang amat pahit.
Hong Beng tersenyum pahit pula. “Tidak apa-apa, hanya karena memang ada hubungannya. Bi-kwi itu, bernama pria tadi yang bernama Bhok Gun, kini telah berhasil menjadi dua orang di antara kaki tangan pembesar yang bernama Hou Seng, pembesar yang merajalela di dalam istana. Banyak pembunuhan dilakukannya, membunuhi pembesar-pembesar yang menjadi saingannya dan agaknya dia berhasil pula menggandeng panglima pasukan keamanan. Buktinya, kini pasukan-pasukan itu berkeliaran di kota dan melakukan pembersihan di mana-mana, dipimpin oleh Bhok Gun dan Bi-kwi yang jahat itu. Kita tidak seharusnya menentang pasukan keamanan, karena hal itu dapat membuat kita dicap pemberontak. Yang kita tentang hanyalah kaum sesat yang kini menjadi kaki tangan pejabat-pejabat tinggi. Di antara datuk sesat itu, aku sedang mencari seorang yang bernama Sai-cu Lama....“
“Hemm, akupun pernah mendengar nama Sai-cu Lama itu, dari ayahku. Menurut ayah, Sai-cu Lama adalah seorang tokoh di antara para pendeta Lama yang sakti di Tibet, dan kabarnya Sai-cu Lama adalah seorang pendekar Lama yang menyeleweng dari pada ajaran agamanya.”
“Memang benar keterangan ayahmu itu. Dia amat jahat dan aku tadinya menerima tugas dari suhuku untuk melakukan penyelidikan atas diri pembesar bernama Hou Seng itu. Akan tetapi di dalam perjalanan, aku bertemu dengan Sai-cu Lama, melihat sepak terjangnya yang jahat. Dia telah merampas pedang milik Bi Lan, bahkan kemudian aku melihat dia menculik anak perempuan, puteri dari bibi guruku. Karena itu, aku kini sedang menyelidiki di mana adanya Sai-cu Lama itu, dan siapa-siapa pula yang menjadi kaki tangan pembesar bernama Hou Seng itu.”
Hong Beng terus melarikan diri diikuti oleh Kun Tek sampai mereka merasa aman, berbaur dengan orang-orang yang memenuhi jalan raya dan berlalu lalang. Hong Beng lalu mengajak Kun Tek menuju ke sebuah kuil tua. Semenjak kembali dari Pao-teng mengunjungi Kao Cin Liong, oleh bekas panglima itu dia diberi tahu agar kalau berada di kota raja, dia bermalam atau bersembunyi di kuil itu. Ketua kuil itu, seorang hwesio yang usianya sudah enampuluh tahun lebih dan kini tinggal di situ bersama dua orang hwesio tua lainnya, adalah seorang, sahabat dari pendekar Kao Cin Liong. Dan kini Hong Beng bermalam di situ, diterima baik oleh tiga orang hwesio itu ketika dia menyebutkan nama Kao Cin Liong sebagai paman gurunya. Dengan aman kini kedua orang muda itu memasuki kuil dan Hong Beng langsung membawa kawannya itu ke dalam ruangan yang kecil di belakang kuil.
“Nah, di sini kita boleh bicara dengan aman,” kata Hong Beng-sambil memandang wajah Kun Tek.
Kun Tek sejak tadi memperhatikan tempat itu dan mengangguk. “Engkau pandai memilih tempat sembunyi, kawan,”
“Sebelum kita bicara, ingin aku lebih dulu mengeluarkan perasaan tidak enak di dalam hatiku. Aku ingin.... minta maaf kepadamu atas peristiwa yang terjadi dalam pertemuan kita yang lalu. Maafkan atas kebodohanku, karena cemburu merupakan suatu kebodohan besar, bukan? Maafkan aku.”
Kun Tek tersenyum. “Sudah lama aku memaafkanmu, sobat. Dan kalau dulu aku masih merasa penasaran, karena belum tahu, kini aku memaklumi perbuatanmu itu. Aku tahu apa artinya patah hati, betapa pahitnya cinta yang hanya bertepuk sebelah tangan.”
Hong Beng memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik ke arah wajah Kun Tek.
“Kaumaksudkan.... kau.... dan Bi Lan....?”
Kun Tek mengangguk. “Kita senasib, kawan. Agar kauketahui saja dan agar engkau tidak menyimpan iri atau cemburu kepadaku. Seperti juga engkau, cintaku ditolak. Nah, kita berdua ini sama-sama dua ekor keledai jantan yang tolol, bukan?”
Hong Beng melebarkan matanya, kemudian dia memegang lengan Kun Tek. “Ah, maafkan aku! Engkau seorang laki-laki sejati. Nah, aku Gu Hong Beng sudah lama kagum kepadamu, sobat.”
“Dan akupun kagum kepadamu. Namaku Cu Kun Tek.”
“Ketika kita bertempur, engkau menggunakan sebatang pedang yang hebat. Kenapa tadi tidak kau pergunakan?”
Kun Tek menepuk pinggangnya di mana pedang itu tergantung, terlindung oleh jubahnya yang panjang. “Ayahku berpesan agar kalau tidak terpaksa sekali, aku tidak boleh mempergunakan pusaka keluarga kami ini. Dulu ketika melawanmu, aku terpaksa. Engkau lihai bukan main dan agaknya engkau memiliki ilmu-ilmu dari Pulau Es.”
Hong Beng mengangguk, tanpa merasa bangga. “Aku hanya menguasai sedikit saja dari ilmu-ilmu keluarga Pulau Es walaupun suhuku adalah seorang anggauta keluarga para pendekar Pulau Es. Akan tetapi ilmu pedangmu hebat bukan main.”
“Ah, ilmu keluarga kami belum apa-apa kalau dibandingkan dengan ilmu-ilmu dari Pulau Es. Nah, setelah kita menjadi sahahat, ceritakanlah mengapa engkau mengajak aku melarikan diri tadi, padahal kita belum tentu kalah kalau pertempuran itu dilanjutkan.”
“Ketahuilah, Kun Tek, bahwa wanita tadi adalah Bi-kwi murid dari Sam Kwi....”
“Aku pernah mendengar nama Sam Kwi....“
“Ia masih suci dari.... eh, Bi Lan. Kau tahu, Bi Lan adalah murid Sam Kwi, akan tetapi ia mengambil jalan lain dari pada jalan sesat guru-gurunya, bahkan Bi Lan telah diambil murid oleh Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir....“
“Hemmm.... kenapa kau membawa-bawa nama nona Can dalam percakapan ini?” Kun Tek mencela, nampak tak senang karena nama itu mengingatkan dia akan pengalamannya yang amat pahit.
Hong Beng tersenyum pahit pula. “Tidak apa-apa, hanya karena memang ada hubungannya. Bi-kwi itu, bernama pria tadi yang bernama Bhok Gun, kini telah berhasil menjadi dua orang di antara kaki tangan pembesar yang bernama Hou Seng, pembesar yang merajalela di dalam istana. Banyak pembunuhan dilakukannya, membunuhi pembesar-pembesar yang menjadi saingannya dan agaknya dia berhasil pula menggandeng panglima pasukan keamanan. Buktinya, kini pasukan-pasukan itu berkeliaran di kota dan melakukan pembersihan di mana-mana, dipimpin oleh Bhok Gun dan Bi-kwi yang jahat itu. Kita tidak seharusnya menentang pasukan keamanan, karena hal itu dapat membuat kita dicap pemberontak. Yang kita tentang hanyalah kaum sesat yang kini menjadi kaki tangan pejabat-pejabat tinggi. Di antara datuk sesat itu, aku sedang mencari seorang yang bernama Sai-cu Lama....“
“Hemm, akupun pernah mendengar nama Sai-cu Lama itu, dari ayahku. Menurut ayah, Sai-cu Lama adalah seorang tokoh di antara para pendeta Lama yang sakti di Tibet, dan kabarnya Sai-cu Lama adalah seorang pendekar Lama yang menyeleweng dari pada ajaran agamanya.”
“Memang benar keterangan ayahmu itu. Dia amat jahat dan aku tadinya menerima tugas dari suhuku untuk melakukan penyelidikan atas diri pembesar bernama Hou Seng itu. Akan tetapi di dalam perjalanan, aku bertemu dengan Sai-cu Lama, melihat sepak terjangnya yang jahat. Dia telah merampas pedang milik Bi Lan, bahkan kemudian aku melihat dia menculik anak perempuan, puteri dari bibi guruku. Karena itu, aku kini sedang menyelidiki di mana adanya Sai-cu Lama itu, dan siapa-siapa pula yang menjadi kaki tangan pembesar bernama Hou Seng itu.”
Dengan panjang lebar Hong Beng bercerita tentang keadaan di kota raja seperti yang sudah diselidikinya sehingya akhirnya Kun Tek mengerti dan pemuda inipun tertarik sekali. “Kalau begitu. pembesar she Hou itu jahat sekali, dan perlu dibasmi!”
Bersambung ke buku 9
Label:
Kho Ping Hoo,
Suling Naga