Suling Emas & Naga Siluman -8 | Kho Ping Hoo



Buku 8

Sementara itu, Ci Sian sendiri hanya merasa suka terhadap Hong Bu, pemuda yang selain amat baik, gagah perkasa, ternyata juga memiliki ilmu kepandaian yang hebat itu. Dalam keadaan biasa, tentu dia pun akan bersikap biasa dan ramah saja. terhadap pemuda itu. Akan tetapi melihat betapa sikap Pek In amat mesra dan manja, melihat betapa dara itu kelihatan tidak senang ketika Hong Bu bicara dengannya, timbul perasaan panas di hati dara ini. Maka dia pun tersenyum manis sekali kepada Hong Bu dan berkata. “Hong Bu, kalau ada jodoh tentu kita kelak akan dapat saling bertemu kembali! Selamat berpisah Hong Bu.”

Ucapan ini sebetulnya biasa, akan tetapi karena sikap Ci Sian sengaja dibuat menjadi amat mesra, maka tentu saja kata-kata itu bisa diartikan lain, yaitu memang dara ini mengharapkan dengan sangat akan pertemuan kembali antara mereka, bahkan memakai kata “jodoh” segala! Pek In menjadi semakin cemberut, menarik tangan suhengnya dan berkata, “Marilah Suheng!” , Karena ditarik tangannya, terpaksa Hong Bu pergi juga, akan tetapi sampai tiga kali dia menoleh ke arah Ci Sian yang berdiri sambil memandang dengan tersenyum manis.

“Dia memang seorang pemuda yang hebat!”

Mendengar ucapan Kam Hong ini, Ci Sian terkejut. Dia tadi masih memandang ke arah lenyapnya bayangan dua orang itu, dan kini dia terkejut mendengar kata-kata Kam Hong, bukan terkejut karena isi kalimatnya, melainkan karena suaranya. Suaranya amat berbeda, dan ketika dia menoleh dan memandang, dia merasa lebih berat lagi karena pada wajah yang tampan itu tampak bayangan kemarahan!

“Paman.... eh, Suheng.... bolehkan aku mulai sekarang menyebutmu Suheng saja? Bukankah engkau telah menganggapku sebagai Sumoi karena kita sama-sama menjadi murid jenazah kuno.... eh, siapa namanya...., Cu Keng Ong itu?”

Baru saja hatinya penuh dengan cemburu, akan tetapi kini melihat wajah Ci Sian yang cerah dan mendengar ucapannya, lenyaplah rasa cemburu itu dan Kam Hong tersenyum, lalu mengangguk. “Tentu saja boleh, bahkan engkau seharusnya menyebut aku Suheng, Sumoi.”

Ci Sian juga sudah merasa lega melihat Kam Hong tersenyum, “Eh, Suheng, engkau tadi kenapa sih?”

“Kenapa bagaimana?”

“Suaramu tadi kaku dan wajahmu.... ah, aku berani bersumpah bahwa engkau tadi, baru saja, sedang dilanda kemarahan besar. Kenapa sih?”

Kam Hong merasa betapa wajahnya menjadi panas, maka cepat-cepat dia mengerahkan sin-kang untuk menahan agar wajahnya tidak berubah merah. Dia tersenyum lagi dan cepat mencari alasan untuk sikapnya tadi, “Ah, aku hanya tidak setuju melihat sikap Nona Cu tadi, menarik-narik Hong Bu seperti itu....”

“Memang gadis banci itu amat menjemukan! Dia kelihatan begitu manja dan mesra kepada Hong Bu, seolah-olah....”

“Memang Nona itu amat mencinta Hong Bu, apakah engkau tidak dapat menduganya?” Kam Hong berkata dengan cepat dan agaknya kata-kata ini merupakan berita menyenangkan yang harus disampaikan secepatnya kepada Ci Sian. Dara itu memandang kepada Kam Hong dengan alis berkerut, agaknya berita itu tidak menyenangkan hatinya.

“Hemm, bagaimana engkau bisa tahu, Suheng?” tanyanya, tidak rela membayangkan bahwa di antara pemuda seperti Hong Bu itu terdapat cinta kasih dengan gadis seperti Cu Pek In.

“Ahh, sudah nampak dengan jelas sekali, bagaimana aku tidak akan tahu? Lihat sikapnya, ketika memandang kepada Hong Bu, ketika bicara, dan cara dia menggandeng tangan pemuda itu....”

“Huh dasar banci tak tahu malu! Akan tetapi, belum tentu kalau Hong Bu juga cinta padanya, Suheng.”

Kini, Kam Hong mengerutkan alisnya. Memang demiklanlah kenyataan yang dilihatnya. Hong Bu agaknya tidak mencinta Pek In, sebaliknya dia khawatir kalau pemuda itu jatuh cinta kepada Ci Sian. Akan tetapi dia tidak mau bicara tentang ini. “Entah, Sumoi. Akan tetapi, harus kuakui bahwa Hong Bu memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali....”

“Aku sudah tahu, Suheng. Aku pernah mendengar suara pedangnya yang mengaung-aung ketika aku lewat di sini, suara itu keluar menembus batu besar yang menutup guha ini. Dan dia mendorong batu besar ini dengan satu tangan saja. Sekarang aku tahu bahwa dia.... sengaja membiarkan dirinya kena pukul olehku kemarin....”

“Engkau memukulnya?”

Ci Sian lalu menceritakan pertemuannya dengan Hong Bu yang mengira dia Pek In sedangkan dia sendiri menyangka Kam Hong yang berada di balik batu. “Kami memang saling mengenal begitu bertemu muka, Suheng. Akan tetapi ketika dia mengaku bahwa dia adalah murid keluarga Cu, aku segera menganggapnya musuh dan menyerangnya. Dia tidak pernah melawan, akhirnya aku dapat memukul dadanya sampai dia terpelanting, dan lalu kami berbaik. Sekarang aku tahu bahwa dia agaknya kemarin sengaja membiarkan dirinya terpukul. Suheng, dia adalah murid keluarga Cu itu! Dialah yang mewarisi pedang pusaka itu, juga ilmu pedang pusaka....”

“Benar, sekali kuduga akan hal itu ketika aku tahu bahwa dia adalah suheng Nona Cu. Dan melihat cara dia bermain pedang, aku pun dapat menduga bahwa tentu itulah ilmu yang dimaksudkan oleh Cu Han 8u. Hemm.... Ilmu Koai-liong Kiam-sut itu memang hebat dan agaknya memang dapat merupakan lawan tangguh sekali dari Kim-siauw Kiam-sut kita, Sumoi.”

“Tidak mungkin!”

“Apa maksudmu, Sumoi”

“Tidak mungkin Hong Bu mau memusuhi kita! Dia seorang yang baik, tidak seperti keluarga Cu.”

Kam Hong menarik napas panjang lagi. Kenapa hatinya merasa tidak enak mendenger dara ini memuji diri Hong Bu? Padahal, dia sendiri pun harus mengakui kebenaran ucapan itu. Hong Bu adalah seorang pemuda yang gagah perkasa dan baik.

“Mungkin saja dia sendiri tidak, akan tetapi bagaimana kalau masih ada anggauta atau murid keluarga Cu yang lain, yang memiliki ilmu pedang itu dan kelak berusaha mengalahkan Kim-siauw Kiam-sut kita!”

“Akan kita hadapi! Kim-siauw Kiam-sut kita tidak harus kalah!”

“Bagas sekali semangat itu, Sumoi. Akan tetapi untuk membuktikan hal itu, ada syaratnya, yaitu bahwa kita harus mempelajarl ilmu kita sebaik mungkin sampai sempurna. Nah, mulai sekarang kau tekunlah berlatih, Sumoi.” “Baik, Suheng.”

“Dan aku pun akan kembali ke timur, bagaimana.... bagaimana dengan engkau, Sumoi?”

“Ke timur....?” Ci Sian terkejut karena tak pernah terpikirkan olehnya bahwa dia akan mendengar kata-kata ini. “Kenapa Suheng?”

“Aih, Sumoi, apakah engkau lupa? Aku datang ke tempat ini sebetulnya adalah untuk mencari Yu Hwi, seperti pernah kuceritakan kepadamu. Sekarang setelah kutemukan dia dan engkau mendengar sendiri janjinya untuk pulang mengunjungi kakeknya agar urusan pertalian antara dia dan aku dapat diputuskan secara resmi dan terhormat.”

“Ke manahah engkau hendak pergi, Suheng?”

“Ke Pegunungan Tai-hang-san. Di sana selalu tinggal kakek dari Yu Hwi yang pernah membimbingku sebagai guru, yaitu Sai-cu Kai-ong, juga kini tinggal pula Sin-siauw Sengjin, kakek tua yang seperti kakekku sendiri. Kakek inilah satu-satunya orang seperti keluargaku, sungguh pun antara kami tidak ada hubungan darah. Dia adalah keturunan dari orang yang pernah menjadi pembantu nenek moyangku, dan dia pulalah yang dengan setia menyimpan dan mewarisi ilmu-ilmu dari nenek moyangku untuk kemudian diturunkan kepadaku. Aku berhutang budi banyak sekali kepada dua orang kakek itu. Dan karena Kakek Sin-siauw Sengjin kini tinggal pula di Tai-hang-san, tidak berjauhan dengan Suhu Sai-cu Kai-ong, maka mudah bagiku untuk pergi mengunjungi mereka berdua.”

“Selain mereka, engkau tidak mempunyai keluarga lainnya?”

Kam Hong menggeleng kepala. “Aku tidak mempunyai keluarga lain lagi. Sumoi, aku hendak pergi meninggalkan daerah yang dingjn bersalju ini, ke timur di mana dunia penuh dengan sinar matahari. Maukah.... kau ikut bersamaku, Sumoi? Tidak! Bahkan aku akan senang sekali kalau engkau bersamaku, Sumoi. Ataukah.... engkau ingin mengunjungi orang tuamu.... aku boleh mengantarmu....”

“Tidak, aku tidak sudi bertemu dengan Ayahku! Aku akan ikut dengan Suheng, karena hanya engkau seoranglah yang kupunyai di dunia ini.”

Wajah yang tampan dan biasanya tenang itu nampak gembira sekali, sepasang matanya bersinar-sinar dan bibirnya tersenyum. “Bagus, Sumoi! Dan kita akan berlatih silat di sepanjang jalan. Mari kita pergi!”

Demikianlah, dua orang itu, yang menjadi suheng dan sumoi secara kebetulan saja, yang mempunyai nasib yang sama, yaitu tidak mempunyai keluarga lagi di dunia ini yang boleh mereka tumpangi, kini melakukan perjalanan menuju ke timur, meninggalkan barisan Pegunungan Himalaya yang penuh dengan keajaiban itu.

Sudah terlalu lama kita meninggalkan Ang Tek Hoat yang hidup secara amat menyedihkan, seperti seorang jembel yang sama sekali tidak mengurus diri, selalu hidup seperti keadaan seorang gelandangan, juga sikapnya membayangkan otak yang tidak waras atau yang oleh umum mungkin dianggap seperti orang yang gila.

Kehidupan manusia memang kadang-kadang nampak menyedihkan sekali karena perubahan-perubahan yang terjadi menimpa diri seorang manusia seolah-olah membuat manusia yang tadinya berada di puncak tertinggi kini berada di tempat yang paling rendah. Si Jari Maut Ang Tek Hoat ini pernah menjadi calon mantu Raja Bhutan, di samping kedudukan panglima muda yang dipegangnya, menjadi calon suami seorang puteri cantik jelita seperti Syanti Dewi yang dicintanya. Betapa tinggi kedudukannya ketika itu, betapa penuh bahagia hidupnya. Dan dibandingkan dengan sekarang ini, sungguh orang takkan mau percaya bahwa jembel yang seperti orang gila itu adalah Si Jari Maut Ang Tek Hoat itu!

Orang akan melontarkan kesalahan kepada nasib. Namun, benarkah nasib yang mempermainkan kehidupan manusia? Apakah adanya nasib itu? Nasib hanya sebutan yang dipakai orang untuk menyatakan keadaan seseorang dalam kehidupannya. Dan kita tidak pernah mau membuka mata mempelajari suatu persoalan dengan penuh kewaspadaan, apalagi kita tidak mau menjenguk ke dalamnya untuk melihat bahwa segala sesuatu itu bersumber kepada diri kita sendiri. Melihat kesalahan diri sendiri merupakan hal yang tidak menyenangkan, juga mengerikan, maka kebanyakan dari kita lebih suka menutup mata dan melontarkan sebab-sebabnya kepada nasib!

Biarpun kelihatannya seperti orang gila, namun pria yang memiliki ilmu kepandaian tinggi ini tidak pernah menyesalkan nasib. Dia tahu benar akan kesesatan-kesesatan, kejahatan-kejahatan yang pernah dilakukannya di masa muda (baca ceritaKISAH SEPASANG RAJAWALIdanJODOH RAJAWALI). Hal ini dapat dibuktikan betapa seringkali dia termenung dan mengeluh panjang pendek, bahkan kadang-kadang terdengar kata-katanya seperti bicara kepada diri sendiri dan hal ini yang membuat orang-orang menyangka dia gila. “Ijinkanlah aku bertemu dengan dia sekali lagi untuk minta ampun dan membuktikan bahwa aku telah bertobat....!”

Kata-katanya itu sebenarnya sama dengan doa yang ditujukan kepada Tuhan agar dia dapat dipertemukan sekali lagi dengan kekasihnya, dengan Syanti Dewi agar dia memperoleh kesempatan untuk meminta ampun atas semua kesalahannya kepada dara itu. Baru sekarang ia sadar benar betapa dia telah banyak menyebabkan penderitaan hidup atas diri dara yang amat dicintainya itu! Baru dia sadar betapa sebenarnya puteri itu amat mencintainya, mencintainya dengan murni, tidak seperti dia yang cintanya penuh dengan pementingan diri pribadi sehingga penuh dengan cemburu yang gila.

Hanya karena mencari Syanti Dewi maka Tek Hoat sampai terbawa arus orang-orang kang-ouw menuju ke Pegunungan Himalaya. Di Bhutan dia sudah menyelidiki dan ternyata Sang Puteri itu tidak berada di Bhutan. Jadi seolah-olah lenyap tanpa bekas! Maka dia pun ikut berkeliaran di Himalaya, sampai-sampai dia terbawa oleh orang kang-ouw mengunjungi Lembah Gunung Suling Emas, kemudian bahkan terlibat dalam pertempuran membantu Jenderal Muda Kao Cin Liong, keponakannya sendiri, menghadapi pasukan-pasukan Nepal. Tentu saja dia tidak mau menerima penawaran jenderal muda yang masih keponakannya sendiri itu untuk membantu terus, dan dia pun langsung meninggalkan Lhagat dan karena merasa yakin bahwa dia tidak akan dapat menemukan Syanti Dewi di Pegunungan Himalaya maka dia melakukan perjalanan kembali ke timur.

Biarpun dia sudah menjadi seorang yang berpakaian jembel dan hidupnya merana, tidak teratur, namun Tek Hoat sekarang jauh lebih mendekati kehidupan seorang manusia utama dibandingkan dahulu ketika dia masih menjadi hamba nafsu-nafsunya. Kini dia merupakan orang yang sudah bertaubat benar-benar, tidak pernah mau melakukan hal-hal yang buruk, bahkan menghadapi siapapun juga, dia tidak mempunyai sedikit pun perasaan benci atau ingin mengganggu. Namun, hal ini bukan berarti bahwa dia bersikap masa bodoh dan tidak peduli, karena setiap menghadapi hal-hal yang tidak patut, melihat kejahatan berlangsung di depan mata, sudah pasti dia turun tangan membela atau melindungi pihak lemah dan menentang mereka yang bertindak sewenang-wenang. Akan tetapi lenyaplah sudah Si Jari Maut yang dulu mudah membunuh orang, karena kini dia cukup menggunakan kepandaiannya mengalahkan orang dan membuat orang itu takut untuk melanjutkan kejahatannya saja. Paling hebat dia hanya merobohkan lawan dan melukainya, luka yang tidak berbahaya bagi keselamatan nyawa lawan itu. Inilah Si Jari Maut Ang Tek Hoat atau juga Wan Tek Hoat sekarang, biarpun menjadi jembel miskin namun sepak terjangnya seperti seorang pendekar tulen!

Beberapa bukan kemudian setelah dia meninggalkan Lhagat, pada suatu hari dia sudah tiba di kota Kiu-kiang, sebuah kota yang cukup besar di ujung utara Propinsi Kiang-si. Tujuannya adalah ke Telaga Wu-ouw, yaitu sebuah telaga besar sekali di Propinsi Kiang-su, di sebelah utara kota Hang-kouw karena dia mendengar bahwa telaga yang amat besar itu indah sekali pemandangannya. Seperti biasa, ketika dia memasuki sebuah kota, Tek Hoat langsung mencari tempat penginapan, bukan hotel atau losmen, melainkan dia mencari rumah-rumah kosong, atau kuil kosong. Akan tetapi sungguh sial baginya, kota Kiu-kiang itu merupakan kota yang ramai dan teratur sehingga dia tidak dapat menemukan sebuah pun rumah atau kuil kosong! Akhirnya, karena hari sudah hampir malam, dia terpaksa memilih tempat bermalam di bawah sebuah jembatan besar di tepi kota. Dia membersihkan tempat itu yang penuh batu-batu dan semak berduri, menumpuk rumput kering lalu dia pun merebahkan diri di bawah jembatan sambil melamun. Asyik juga rebah di situ, melihat betapa jembatan itu agak bergerak-gerak kalau ada kuda atau kereta lewat, dan dari situ dia pun dapat mendengarkan orang-orang bercakap-cakap di atas jembatan itu tanpa yang bicara tahu bahwa di bawah jembatan ada orang mendengarkan percakapan mereka. Bermacam-macam hal dibicarakan orang dan kadang-kadang Tek Hoat tersenyum sendiri kalau mendengar percakapan yang lucu-lucu baginya. Dalam keadaan seperti itu, di mana kita bebas dari segala hal yang kita lihat atau dengar, baru kita dapat merasakan betapa lucunya dan juga menyedihkan adanya kehidupan manusia ini. Percek-cokan suami isteri akan terdengar lucu, karena sebelum mereka menjadi suami isteri, atau di waktu mereka masih pengantin baru, tentu suami isteri itu sendiri tak pernah membayangkan bahwa akan ada saat percek-cokan diantara mereka, di mana kemarahan bahkan kebencian meracuni hati. Kata-kata seseorang yang semanis madu terhadap orang lain tentu akan terdengar lucu karena kita akan melihat betapa kemanisan itu hanya merupakan kedok belaka, merupakan suatu jembatan untuk mencapai sesuatu yang menjadi pamrih. Kepalsuan-kepalsuan dalam kehidupan kini nampak jelas oleh Tek Hoat, membuat dia makin merasa betapa kotornya dirinya, betapa dia telah melakukan segala macam kekotoran dan kepalsuan. Karena kenyataan betapa palsunya dirinya dan semua manusia di sekelilingnya, betapa di balik setiap sikap, setiap senyum, kata-kata manis, bahkan hampir setiap perbuatan selalu bersembunyi sesuatu yang lain yang menjadi pamrih yang mendorong perbuatan palsu itu, maka mungkin saja inilah yang membuat Tek Hoat menjadi tidak peduli kepada diri sendiri. Dia seperti orang yang merasa muak dengan dirinya sendiri dan seolah-olah membiarkan dirinya sedemikian untuk sekedar “menghukumnya”!

Tiba-tiba Tek Hoat bangkit duduk ketika dia mendengar percakapan yang amat menarik hatinya. Dan kebetulan sekali yang bicara itu agaknya berhenti di atas jembatan! Dia cepat mengerahkan pendengarannya untuk menangkap semua percakapan itu setelah kalimat pertama ini amat menarik hatinya.

“Kalau dia tidak mau seret saja sudah!” Kalimat Inilah yang membangkitkan perhatian Tek Hoat karena membayangkan akan terjadinya tindakan sewenang-wenang terhadap orang lemah.

“Ah, orang macam dia mana bisa menggunakan kekerasan? Sebaiknya dibujuk saja.” terdengar suara orang ke dua.

“Oleh karena itulah maka aku mencari kalian dan kebetulan sekali bertemu dengan kalian di sini. Thio-wangwe mengatakan bahwa dia bersedia membayar lima belas tail perak kepada pelukis itu kalau mau melukisnya.”

“Lima belas tail?” seru suara pertama.

“Wah, sebuah lukisan untuk lima belas tail? Gila itu!”

“Bahkan dia masih menjanjikan untuk memberi hadiah dua tail perak kepadaku kalau aku dapat membujuknya.” kata orang ke tiga.

“Wah, hebat! Dari mana dapat mencari uang semudah itu? Mari kita pergi dan kita bujuk dia sampai dia mau!”

“Kalau tidak mau dibujuk, biar kuancam dia.”

“Aih, harus hati-hati, agar dia mau. Kalau dia sudah mau dan menerima uang itu.... heh-heh, mudah saja menggasak uang itu darinya. Pelukis tua kerempeng seperti itu mana bisa mempertahankan uang lima belas tail?”

Tiga orang itu lalu meninggalkan jembatan, tidak tahu bahwa tak jauh di belakang mereka terdapat seorang pengemis brewok yang berjalan seenaknya sambil membayangi mereka. Pengemis ini bukan lain adalah Si Jari Maut!

Karena cuaca sudah mulai gelap, Tek Hoat lalu mendahului tiga orang itu ketika mereka lewat di bawah sinar lampu jalan dan dia melihat bahwa tiga orang itu berwajah licik dan kejam seperti wajah orang-orang yang biasa melakukan kecurangan-kecurangan dengan jalan apa pun untuk memperoleh uang. Seorang di antara mereka bahkan membawa sebatang golok tergantung di pinggang dan selain bertubuh besar juga nampak bengis.

Mereka bertiga itu menuju ke sebuah losmen kecil di ujung kota yang letaknya agak terpencil dan sunyi. Tiga orang itu menerobos masuk dan ternyata pengurus losmen itu agaknya sudah mengenal Si Tinggi Besar yang membawa golok karena begitu melihat orang ini pengurus itu kelihatan takut-takut dan menyambut dengan sikap menjilat.

Akan tetapi dengan bengis Si Tinggi Besar itu bertanya, “Di mana kamar pelukis tua she Pouw itu?”

“Di.... di sana, paling belakang, akan tetapi kami harap.... mohon agar jangan mengggnggu tamu kami....”

Sementara itu, Tek Hoat sudah menahului mereka dan mengintai dari atas genteng. Mudah baginya menemukan kamar pelukis tua itu, karena memang tidak terlalu sukar menemukan seniman-seniman seperti pelukis, penyair dan sebagainya. Seorang kakek kurus yang berada di dalam kamar sendiri, bernyanyi-nyanyi kecil membaca sajak atau menggubah sajak karena tangannya tidak memegang apa-apa! Ketika dia tiba di atas kamar pelukis itu, dia mendengar orang tua itu sedang mendeklamasikan sajak yang agaknya tengah digubahnya.

“....batin kosong tanpa isi....
.... alam pun sunyi sepi....
....hening....diam....suci....
....seniman tua asyik
sepi sendiri....

“Tok-tok!” Ketukan pintu kamarnya mengejutkannya dan menariknya kembali ke dunia kenyataan. Dia bersikap tenang dan tanpa turun dari atas pambaringan di mana dia duduk bersila, dia menoleh ke pintu dan suaranya halus dan lirih, seolah-olah dia belum sepenuhnya kembali atau keluar dari dalam khayalnya.

“Siapa di luar?”

“Pouw-lo-siucai.... harap buka pintu, saya ada keperluan penting untuk dibicarakan dengan Lo-siucai!”

Kakek itu adalah sastrawan pelukis Pouw Toan. Seperti Pernah kita mengenal sastrawan pelukis ini ketika dia mengunjungi Puteri Syanti Dewi di Pulau Kim-coa-to, Pouw Toan adalah seorang sastrawan perantau yang pandai sekali membuat sajak, menulis huruf indah dan melukis. Selain ini, dia juga seorang sastrawan yang banyak merantau di dunia kang-ouw dan banyak mengenal orang-orang gagah di seluruh dunia, bahkan dia adalah seorang sahabat baik dari suami isteri pendekar sakti Gak Bun Beng dan isterinya yang amat terkenal, yaitu Puteri Milana.

Kakek Pouw Toan tersenyum pahit mendengar sebutan Lo-siucai itu. “Hemm, siapakah menjadi siucai? Aku tidak pernah merebutkan titel, aku hanyalah rakyat kecil biasa, jangan sebut aku dengan Lo-siucai segala. Siapakah engkau yang berada di luar dan mengganggu orang yang sedang asyik sendiri?”

“Saya.... saya pelayan, ada perlu penting sekali!” kata suara di luar mendesak.

“Hemmm, aku ini seniman miskin, tidak takut maling dan rampok maka pintu kamarku tak perlu dikunci. Kalau ingin masuk dan bicara, dorong saja pintunya terbuka.” kata Pouw Toan.

Daun pintu didorong dari luar dan diam-diam Tek Hoat sudah siap dengan pecahan genteng di tangan, siap melindungi kakek itu kalau-kalau tiga orang itu hendak menggunakan kekerasan. Dia tahu bahwa dengan pecahan genteng itu saja dia akan mampu melindungi kakek di dalam kamar yang aneh itu. Dia merasa amat tertarik kepada kakek itu, apalagi ketika mendengar sajaknya yang luar biasa tadi dan ingin sekali dia mengenal kakek itu lebih jauh, tentu saja mengenalnya dengan diam-diam karena selama bertahun-tahun ini dia tidak mau mengenal orang secara berdepan.

Ketika melihat bahwa yang masuk ada tiga orang yang memiliki wajah yang licik, Pouw Toan mengerutkan alisnya. “Hemm, kalian datang mau apakah? Jangan katakan bahwa kalian ini pelayan losmen.“

Seorang di antara mereka, yaitu orang yang diutus oleh Hartawan Thio dan yang membujuk dua orang kawannya untuk membantunya, menjura kepada Pouw Toan dan berkata, “Pouw-lo-siucai....”

“Sudah kukatakan aku bukan siucai segala! Lekas katakan apa keperluan kalian.”

“Eh.... eh, begini, Pouw-sianseng....” katanya gagap karena biarpun kakek itu nampak kurus kerempeng, harus diakui bahwa dia amat berwibawa dan sikapnya seperti seorang pendekar gagah perkasa. “Kedatangan saya ini adalah atas kehendak Thio-wangwe. Saya diutus untuk....”

“Sudahlah, katakan kepada Thio-wangwe bahwa saya bukan tukang gambar orang....“

“Tapi Sianseng kemarin melukis seorang bocah penggembala kerbau di luar kota itu. Dan karena tertarik melihat hasil lukisan Sianseng, maka Thio-wangwe ingin sekali dirinya dilukis oleh Sianseng.”

“Beberapa kali sudah dia minta kepadaku untuk melukis dan aku sudah menolak. Aku hanya melukis apa yang ingin kulukis, biar dia itu penggembala kerbau atau benda berupa sampah sekalipun. Aku tidak mau dipaksa melukis seorang raja sekalipun, atau setangkai bunga indah sekalipun kalau aku tidak menghendakinya.”

Si Tinggi Besar itu agaknya sudah tidak sabar lagi. “Hei, pelukis tua sombong! Thio-wangwe hendak memberimu lima belas tail perak, tahukah engkau? Lima belas tail perak! Ingat, dalam waktu berbulan-bulan engkau takkan bisa memperoleh uang sebanyak itu!”

Pouw Toan mengangkat mukanya memandang wajah Si Tinggi Besar yang bersikap kasar itu, dan dia tersenyum sambil menggeleng kepalanya. “Seorang tua bodoh seperti aku ini sudah tidak membutuhkan apa-apa, tidak butuh uang banyak, hanya butuh kebebasan untuk melukis, untuk bernyanyi, untuk apa saja yang mendatangkan kebahagiaan di hatiku. Apa artinya uang lima belas tail perak bagiku?”

“Bagimu tidak ada artinya, akan tetapi bagi kami ada!” bentak Si Tinggi Besar dengan marah dan tiba-tiba dia telah mencabut goloknya dan menodongkan ke arah dada kakek pelukis itu. Tek Hoat hanya memandang dengan urat saraf menegang, akan tetapi dia belum turun tangan karena maklum bahwa Tinggi Besar itu hanya mengancam dan keselamatan Si Pelukis itu belum perlu dibela. Dia ingin melihat bagaimanakah kakek lemah yang perkasa itu dan bagaimana perkembangan selanjutnya. Dia ingin mengenal kakek itu, mengenal dari sikap dan gerak-geriknya dalam menghadapi ancaman itu.

Kakek Pouw Toan adalah orahg yang sudah puluhan tahun bertualang di dunia, sudah ribuan kali menghadapi ancaman malapetaka, maka tentu saja penodongan ini merupakan hal kecil saja baginya. Sungguhpun dia seorang yang sama sekali tidak pernah belajar ilmu silat, akan tetapi dia telah memiliki keberanian dan kegagahan seorang pendekar tulen. Maka dia hanya tersenyum saja memandang kepada penodongnya, lalu menarik napas panjang.

“Hemm, sungguh untung sekali kau!” Katanya sambil tersenyum kepada penodongnya. Tentu saja Si Tinggi Besar itu menjadi melongo keheranan. Selama dia menjadi tukang pukul yang suka mempergunakan kekerasan dan ancaman untuk memaksakan kehendaknya, baru sekarang ini dia bertemu dengan seorang kakek lemah yang ditodong tidak memperlihatkan sedikit pun rasa kaget dan tak takut sebaliknya malah tersenyum dan mengatakan dia untung!

“Ah, sudah gilakah engkau? Apa maksudmu?” bentaknya.

“Ha, untung bahwa dua orang muridku sedang pergi, kalau dia berada di sini, aku terpaksa akan menaruh kasihan kepadamu.” Memang aneh sekali ucapan itu, akan tetapi nampaknya kakek itu tidak menggertak.

“Sudahlah, katakan, kau mau melukis Thio-wangwe atau tidak! Kalau mau, mari ikut dengan kami ke gedung Hartawan Thio, kalau tidak, golokku akan minum darahmu di sini juga!” Si Tinggi Besar mengancam.

Pouw Toan menggerakkan pundaknya. Dia tahu bahwa seorang penjahat cilik kasar macam ini memang berbahaya, mungkin saja membunuh hanya untuk soal dan uang kecil saja. Maka dia menarik napas panjang dan bangkit berdiri. “Yah, karena diancam golok, mau apa lagi? Baik, aku akan melukisnya, akan tetapi jangan salahkan aku kalau hasil lukisannya jelek.”

“Siapa peduli baik atau jelek? Yang penting kaulukis dan menerima upah lima belas tail perak!” kata utusan Hartawan Thio itu dengan girang melihat hasil ancaman temannya itu berhasil. “Mari kita berangkat!”

Tiga orang itu berhasil menggiring Pouw Toan keluar dari losmen itu dan pengurus losmen menarik napas lega melihat bahwa kedatangan tiga orang itu ternyata tidak menimbulkan keributan seperti yang dikhawatirkannya, Pouw Toan dengan sikap tenang-tenang saja mengikuti mereka dan sedikit pun tidak kelihatan takut seolah-olah dia bukan pergi sebagai seorang yang dipaksa dan diancam, melainkah sedang pergi “jalanjalan” bersama tiga orang sahabatnya, bahkan di sepanjang perjalanan dia bersenandung! Tak jauh di belakang mereka, seorang pengemis berjalan mengikuti dan pengemis ini tentu saja adalah Si Jari Maut yang semakin tertarik dan semakin kagum terhadap diri pelukis tua itu.

Thio-wangwe menerima kedatangan Pouw Toan dengan girang sekali. Cepat dia sendiri menyambut Pouw Toan dan mempersilakan pelukis itu bersama tiga orang “pengantarnya” masuk ke dalam ruangan tamu di samping rumah dan segera hartawan itu berdandan dan mempersiapkan dirinya untuk dilukis, sedangkan pelayan-pelayannya menyediakan alat lukis seperti yang diminta oleh Pouw Toan karena pelukis ini hanya membawa “senjatanya” saja, yaitu sebuah mauw-pit (pena bulu) alat melukis. Semua ini dilihat oleh Tek Hoat yang kembali sudah mengintai di atas wuwungan rumah gedung itu.

Untuk peristiwa luar biasa yang menggembirakan hatinya ini, Thio-wangwe membolehkan isteri dan para selirnya menonton dia dilukis dan hal ini malah mendatangkan kegembiraan, karena dia pun ingin agar gambarnya memperlihatkan wajah gembira dan bahagia. Di antara para selirnya ada yang mengipasinya, ada yang menyuguhkan hidangan dan minuman dan hartawan ini duduk di atas kursi empuk, tersenyum-senyum memandang kepada Pouw Toan yang asyik melukisnya. Dan pelukis itu pun nampak melukis dengan sungguh-sungguh, mencorat-coret ke atas kain yang dibentangkan di depannya sedangkan tiga orang pengantarnya tadi duduk di sudut, menghadapi hidangan dan minuman, memandang dengan wajah berseri karena mereka membayangkan upah yang besar dan juga mereka bermaksud untuk merampas uang yang akan dihadiahkan kepada pelukis itu!

Diam-diam Tek Hoat agak kecewa juga. Biarpun pelukis itu bersikap gagah dan berani, namun ternyata dia pun hanya orang yang tunduk terhadap keadaan yang memaksanya sehingga kini, biarpun tidak memperlihatkan rasa takut, tetap saja pelukis itu memenuhi permintaan Si Hartawan, bukan karena uang, melainkan karena paksaan. Kegagahan macam apa ini, pikirnya dengan kecewa. Akan tetapi dia tetap menanti di atas wuwungan sambil memperhatikan keadaan. Dari tempat dia bersembunyi, dia tidak dapat melihat dengan jelas bagaimana hasil lukisan dari kakek itu.

Kurang lebih setengah jam Pouw Toan membuat corat-coret, kadang-kadang memandang ke arah tuan rumah, kadang-kadang kepada lukisannya dan akhirnya dia mengangkat lukisannya itu ke atas, memandangnya dan berkata dengan wajah berseri, “Sudah selesai!”

Ketika dia mengangkat lukisannya itu, dari atas genteng Tek Hoat dapat melihat lukisan tadi dan hampir saja dia tertawa bergelak. Dia melihat lukisan yang aneh dan lucu, lukisan seorang yang pakaiannya sama benar dengan pakaian hartawan itu, akan tetapi wajahnya yang biarpun semodel dengan wajah Thio-wangwe, namun mempunyai ciri-ciri seperti wajah seekor babi! Dan orang bermuka babi itu sedang makan dengan lahapnya, air liurnya membasahi ujung bibir, tangan kiri memegang paha ayam, tangan kanan meraba dada montok seorang wanita setengah telanjang dan ada wanita-wanita cantik lain mengerumuninya. Persis seperti gambar Ti Pat Kai, yaitu tokoh siluman babi menjelma manusia dalam cerita See-yu, yang sedang dirayu oleh sekumpulan siluman wanita. Muka yang seperti babi itu membayangkan nafsu-nafsu angkara murka, penuh dengan gairah berahi dan kegembulan, muka seorang pelahap dan juga seorang yang gila perempuan!

Mendengar pelukis itu mengatakan bahwa lukisannya sudah selesai, Thio-wangwe cepat meloncat bangun berdiri, dengan wajah berseri-seri dia lalu lari menghampiri pelukis itu. “Sudah selesai? Cepat amat! Wah, perlihatkan padaku....!” Dan dia pun menyambar lukisan itu dari tangan Pouw Toan, dengan wajah yang gembira dia memandang dan.... seketika matanya terbelalak, mukanya berobah merah sekali.

“Kau.... kau.... sungguh kurang ajar sekali!” teriaknya dan dia merobek lukisan itu menjadi dua dan melemparkannya ke atas lantai.

Pouw Toan bangkit, menjura dan berkata, “Sudah kukatakan bahwa aku tidak mempunyai keinginan melukismu, Wangwe, oleh karena dipaksa, maka aku hanya melukiskan nafsu-nafsu yang bergelimangan memenuhi tempat ini. Maaf, aku tidak bermaksud menghinamu, Wangwe, akan tetapi aku melihat betapa Wangwe terkurung dalam kurungan emas, terbelenggu oleh nafsu-nafsu yang suatu saat nampak sebagai menyenangkan dan memuaskan, akan tetapi pada lain saat akan berobah menjadi menyusahkan dan mengecewakan, membosankan. Karena itu....”

“Pergi!” Kau manusia tidak sopan, pergi dari sini! Hayo bawa dia pergi!” bentak hartawan itu kepada tiga orang yang mengantar Pouw Toan datang tadi. Utusan Thio-wangwe tadi memberi isyarat kepada dua orang kawannya untuk mengantar Pouw Toan keluar dan dia sendiri tinggal di situ untuk minta upahnya. Dengan uring-uringan Thio-wangwe melemparkan upahnya kepada orang itu yang cepat menyusul teman-temannya keluar.

“Sialan!” katanya kepada teman-temannya. “Upahku diberikan dengan marah-marah, akan tetapi upah lukisan itu dia tidak mau berikan.”

“Kenapa?” tanya Si Tinggi Besar.

“Kau tidak melihat lukisannya?” Yang ditanya menggeleng.

“Lihat ini! Dia melemparkan lukisan ini pada mukaku ketika aku menuntut upah lukisan!” kata utusan itu dan Si Tinggi Besar bersama kawannya lalu melihat lukisan yang telah robek menjadi dua itu di bawah lampu luar gedung. Ketika mereka berdua melihat lukisan itu, seorang di antara mereka tertawa. “Heh, mirip memang!”

“Hushh!” bentak Si Tinggi Besar. “Si Tua Bangka ini sengaja mempermainkan dan kita yang tidak memperoleh rejeki. Orang macam ini harus dihajar!” bentaknya dan dia menghampiri pelukis itu.

“Sabar, kawan.” kata temannya. “Sebaiknya kita antar dia kembali ke losmen. Tidak ada untungnya memukul orang tua lemah seperti dia.”

Kembali Pouw Toan berjalan seenaknya dan dengan tenang saja diiringkan tiga orang yang kelihatan kecewa dan marah-marah itu. Tak jauh di belakang mereka, Tek Hoat juga selalu membayangi dan diam-diam dia mulai kagum kepada Pouw Toan. Kiranya Pouw Toan tidak mengecewakan hatinya. Pelukis tua itu benar-benar hebat! Karena dipaksa, dia mau melukis, akan tetapi lukisannya dilakukannya seenak sendiri saja sehingga menjadi lukisan yang mengejek dan menelanjangi hartawan yang berenang dalam lautan nafsu itu. Sungguh tepat sekali lukisannya dan sepatutnya hartawan itu berterima kasih kepadanya karena telah disadarkan!

Setelah tiba di losmen, Si Tinggi Besar itu mengantar Pouw Toan ke kamarnya dan dengan suara keras memerintahkan pelukis itu untuk mengumpulkan seluruh barang bawaan dan miliknya yang berada di kamar itu, kemudian memaksanya keluar lagi.

“Eh, kalian hendak membawaku ke mana lagi?” tanya Pouw Toan.

“Huh, kusuruh melukis!” bentak Si Tinggi Besar.

“Melukis apa?”

“Melukis neraka!”

“Ha-ha-ha, aku senang sekali melukis neraka. Coba katakan, neraka itu macam apa?”

“Tolol! Mana aku pernah melihat neraka?”

“Aku pun belum, ha-ha-ha!” Pouw Toan tertawa senang.

“Mari ikut dengan kami, kau akan melihat neraka dan akan dapat melukisnya.” kata Si Tinggi Besar yang mendorong kakek itu. Mereka pergi lagi akan tetapi kini mereka membawa Pouw Toan ke luar kota dan di tempat yang sunyi, Si Tinggi Besar merampas buntalan Pouw Toan dari pundaknya.

“Eh, apa yang kaulakukan ini?”

“Aku ingin mengirim kau ke neraka agar engkau dapat melukisnya. Ha-ha-ha! Nah, buka pakaianmu itu!” Si Tinggi Besar menodongkan goloknya. Akan tetapi pada saat itu tampak bayangan berkelebat.

“Desss! Aughhhhh.... !” Si Tinggi Besar terpelanting ketika pundaknya ditampar oleh Tek Hoat yang tak dapat menahan kesabarannya lagi melihat betapa pelukis itu hendak dibunuh setelah barangnya dirampas, bahkan sebelum dibunuh pakaiannya disuruh buka!

Dua orang teman Si Tinggi Besar terkejut sekali melihat munculnya seorang pengemis yang berani memukul temannya, segera menyerang. Akan tetapi, Tek Hoat menanti sampai tangan yang menyerangnya itu mendekat, kemudian dia mengangkat kedua lengannya menangkis.

“Krek! Krek!” Lengan kedua orang itu patah tulangnya ketika bertemu dengan lengan Tek Hoat! Mereka mengaduh-aduh dan memegangi lengan yang patah tulangnya.

“Jembel busuk kau bosan hidup!” bentak Si Tinggi Besar yang sudah bangun dan kini dia menyerang dengan goloknya. Akan tetapi Tek Hoat menerima golok itu dengan tangannya, menangkap golok itu dan sekali mengerahkan tenaga, golok itu patah-patah dan dia lalu menampar lengan Si Tinggi Besar dengan pecahan golok masih di tangan.

“Creppp!” Kembali Si Tinggi Besar menjerit dan sekali ini, tangan kanannya hancur dengan pecahan goloknya sendiri menancap sampai ke dalam daging dan mengenai tulangnya yang hancur. Dia merintih-rintih, kemudian bersama dua orang temannya dia melarikan diri tunggang-langgang setelah meninggalkan buntalan milik Pouw Toan.

Sejenak suasana menjadi sunyi dan dua orang itu berhadapan di tempat remang-remang karena kegelapan hanya dilawan oleh sinar bulan sepotong. Kemudian terdengar Pouw Toan tertawa bergelak, “Ha-ha, sejak tadi engkau selalu membayangi kami, Si Jari Maut!”

Bukan main kagetnya Tek Hoat mendengar ini. Kakek lemah itu tidak saja tahu bahwa sejak tadi dia membayanginya, akan tetapi bahkan telah mengenalnya pula! Akan tetapi dia, tidak peduli dan membalikkan tubuhnya, lalu pergi dari situ. Dia tahu bahwa pelukis itu mengikutinya, akan tetapi dia pun tidak peduli akan hal ini dan Tek Hoat lalu kembali ke jembatan yang menjadi tempat bermalamnya itu. Dia melihat kakek pelukis itu terus mengikutinya, akan tetapi dia pura-pura tidak melihat dan dia lalu turun ke bawah jembatan, lalu rebah melingkar lagi di tempatnya semula sebelum dia tertarik oleh percakapan orang di atas jembatan tadi.

“Ha-ha, sungguh tempat yang jauh lebih menyenangkan daripada losmen itu!” kata Pouw Toan. “Wan Tek Hoat Taihiap, bolehkah aku ikut bermalam di sini?”

Kembali Tek Hoat terkejut. Orang ini bukan saja mengenalnya sebagai Si Jari Maut, bahkan mengetahui she-nya yang sesungguhnya, padahal jarang ada yang tahu akan she Wan itu, kebanyakan hanya tahu bahwa she-nya adalah Ang!

“Ini tempat umum, siapa pun boleh pakai.” jawabnya singkat, kemudian disambungnya, “dari mana kau tahu aku she Wan?”

“Ha-ha, Taihiap, aku tua bangka tak berguna ini mengenal hampir semua tokoh di dunia kang-ouw, maka begitu melihat Taihiap aku pun segera mengenalmu. Aku banyak mendengar tentang dirimu dari sahabatku yang teramat baik, yaitu pendekar sakti Gak Bun Beng dan isterinya, Puteri Milana yang masih terhitung bibimu sendiri, bukan?”

Tek Hoat mengerutkan alisnya. Dia tidak senang mendengar dirinya dikenal, apalagi dihubungkan dengan orang-orang yang berkedudukan tinggi seperti Milana, biarpun harus diakuinya bahwa Milana adalah puteri Pendekar Super Sakti dan pendekar itu adalah kakek tirinya!

“Sudahlah, aku sendiri sudah lupa siapa diriku, apalagi engkau, seorang lain!” Setelah berkata demikian, Tek Hoat lalu tidur dan sebentar saja dia sudah pulas. Diam-diam Pouw Toan menghela napas panjang berkali-kali dan dia merasa kasihan sekali kepada pendekar ini. Teringat dia akan pertemuannya dengan Puteri Syanti Dewi dan diam-diam dia merasa heran sekali bagaimana seorang puteri cantik seperti bidadari itu dapat begitu mendalam jatuh cinta kepada pendekar yang kini menjadi seperti jembel gila? Akan tetapi dia pun dapat menduga bahwa mungkin keadaan pendekar ini sampai menjadi begini justeru karena Si Puteri itulah! Dia tidak tahu dan tidak pernah mendengar akan rahasia yang terjadi di balik hubungan antara pendekar ini dengan Puteri Syanti Dewi, akan tetapi dia teringat akan pesan Sang Puteri untuk menyerahkan lukisan dirinya kepada pendekar ini kalau dia dapat menjumpainya dan kini secara kebetulan sekali dia bertemu dengan pendekar ini! Lukisan itu masih selalu disimpan di dalam buntalannya dan tadi hampir saja terampas oleh orang jahat kalau tidak muncul Si Jari Maut, yang menyelamatkannya. Bahkan nyaris dia terbunuh oleh penjahat itu. Akan tetapi, dia bukan orang bodoh. Tadi dia sudah dapat melihat bahwa ada seorang jembel terus mengikutinya dan dia dapat menduga bahwa Si Jembel ini tentulah Si Jari Maut, oleh karena itu dia bersikap tenang saja dan menurut saja dibawa keluar kota oleh tiga orang itu. Andaikata dia tidak yakin bahwa jembel itu tentu pendekar sakti itu, tentu dia tidak mau dibawa keluar kota seperti seekor domba dituntun ke pejagalan begitu saja. Melihat pendekar itu agaknya telah tertidur, Pouw Toan juga lalu merebahkan diri dan tak lama kemudian dia pun tertidur pulas dan bermimpi indah. Pouw Toan adalah seorang manusia bebas yang selalu merasa bahagia, dimanapun juga dia berada.

Akan tetapi, begitu pelukis itu pulas, Tek Hoat terbangun dan dia duduk bersila. Dari bawah jembatan itu kini nampak bulan yang condong ke barat, sinarnya gemilang karena tidak terhalang awan. Agak jauh dari bulan sepotong itu nampak berkelap-kelipnya bintang dan jauh di timur nampak sebuah bintang terpencil sendirian, sunyi. Teringat Tek Hoat akan bunyi sajak pelukis yang kini tertidur itu. Dia masih hafal bunyinya karena amat tertarik.

“Batin kosong tanpa isi
alam pun sunyi sepi
hening diam suci
seniman tua asyik
sepi sendiri”

Dia menarik napas panjang. Membaca sajak itu, dia seperti dapat meraba kesunyian itu, keheningan yang maha luas, sebagai pencerminan dari kesepian di hatinya. Akan tetapi, kalau pelukis itu agaknya menikmati kesunyian yang disebutnya keheningan yang diam dan suci, sebaliknya dia tersiksa oleh kesepian diri, karena kerinduannya yang tak kunjung henti terhadap Syanti Dewi. Dia kini merasa seperti bintang yang terpencil di timur itu, bintang kecil tersendiri, miskin papa dan hina, seperti dia, tidak cemerlang, hidup sia-sia.... dan dia pun menarik napas panjang lagi. Kalau saja dia sudah yakin bahwa Syanti Dewi sudah tidak ada lagi di dunia ini, tentu hal itu akan amat meringankan penderitaan hatinya. Kalau begitu halnya, hanya ada dua pilihan, hidup dengan bebas atau mati. Akan tetapi dia yakin bahwa pujaan hatinya itu masih hidup, entah di mana! Dan andaikata dia dapat menjumpainya, dia pun sangsi apakah Syanti Dewi mau sekali lagi mengampunkannya. Dosanya sudah bertumpuk-tumpuk terhadap Syanti Dewi pujaannya itu. Apakah dia akan begini terus dan akhirnya seperti pelukis itu, yang menamakan dirinya sendiri seniman tua? Dia hanya akan menjadi jembel tua kelak!

Hampir setiap orang pernah merasakan kesepian yang amat menyiksa dan menakutkan batin itu. Rasa kesepian yang mencekam, sungguhpun kita dikelilingi keluarga, harta benda, dan segala milik kita lahir batin. Rasa kesepian ini kadang-kadang muncul kalau kita melihat betapa sesungguhnya kita ini tidak memiliki apa-apa, betapa kita ini hidup terpisah dari semuanya itu, betapa pada suatu saat kita akan berpisah dari kesemuanya itu, apabila kematian datang menjemput kita. Rasa kesepian ini, rasa betapa diri ini kosong tanpa isi, tiada arti, mendorong kita untuk mengikatkan diri kepada apapun juga yang kita anggap lebih berharga, lebih tinggi dan karena itu dapat mendatangkan hiburan yang membuat kita terhibur dan senang. Kita yang merasa betapa diri sendiri ini kosong tak berarti, lalu mengikatkan diri. Kepada keluarga, kepada kelompok, kepada suku atau agama, kepada kepercayaan, kepada negara, dan sebagainya lagi. Namun pada hakekatnya, akar daripada pengikatan itu bersumber kepada pelarian diri, diri atau si Aku yang ingin lari daripada kesepian dan kekosongan yang mengerikan itu, si Aku yang ingin terhibur, yang ingin terjamin keamanan dan keselamatannya, si Aku yang selalu ingin dalam keadaan yang menyenangkan. Karena itulah maka timbul pengukuhan dan jerih payah, daya upaya untuk mempertahankan kepada yang kita pentingkan itu di mana kita mengikatkan diri. Yang penting lalu keluargaku, bangsaku, agamaku, Tuhanku, kepercayaanku. Jelaslah bahwa yang penting itu adalah “ku” nya. Peduli apa dengan agama orang lain, karena semua itu tidak ada hubungannya, tidak menyenangkan aku! Yang penting adalah segala-gala yang menjadi punyaku, yang menjadi kepentinganku.

Kesepian berbeda dengan keheningan! Kalau kita berada seorang diri, di lereng gunung yang sunyi, atau di tepi laut, atau di mana saja tidak terdapat seorang pun kecuali kita sendiri, kalau kita berada di tempat itu dengan batin kosong, dengan pikiran yang tidak mengoceh, dengan mata dan telinga terbuka, dengan kewaspadaan dan penuh kesadaran, maka akan terasalah adanya keheningan yang menyelubungi seluruh alam termasuk kita sendiri. Keheningan yang menembus sampai ke lubuk hati dan seluruh lahir batin kita, yang tiada bedanya dengan keheningan yang berada di luar diri, keheningan yang mencakup seluruhnya di mana diri kita termasuk, keheningan yang tidak memisah-misahkan antara kita dengan pohon, dengan burung yang terbang, dengan embun di ujung daun atau rumput, dengan awan berarak di angkasa. Di dalam keheningan seperti ini tidak terdapat rasa khawatir, tidak terdapat rasa takut, rasa sepi, tiada lagi pikiran yang membanding-bandingkan antara susah dan senang, puas kecewa, hidup mati dan sebagainya.

Akan tetapi, pikiran yang membentuk si Aku ini masuk dan mengacau keheningan dalam diri yang segera memisahkan diri dari keheningan yang menyelimuti seluruh alam, si Aku yang begitu masuk lalu menciptakan keinginan-keinginan. Ingin terus memiliki dan menikmati keheningan itu tadi. Ingin terbebas dari semua kesengsaraan! Ingin ini dan ingin itu dan justeru keinginan inilah yang meniadakan segala-galanya, kecuali mendatangkan kesenangan sekilas lalu saja, dan akhirnya akan mendatangkan kesepian karena semua kesenangan itu hanya selewatan belaka. Maka, pikiran yang membentuk si Aku itulah yang mendatangkan lingkaran setan yang tiada akhirnya! Keheningan sebelum si Aku masuk adalah keheningan, yang menyeluruh, keheningan di mana tidak terdapat si Aku yang menikmati keheningan itu. Segala macam suara tidak akan mengganggu karena tercakup di dalam keheningan itu. Hanya pikiran dengan si Akunya sajalah yang mendorong kita keluar dari keheningan, membuat kita memisahkan diri, mengasingkan diri dalam kurungan nafsu kesenangan lahir batin.

Ada orang yang mengira bahwa keheningan menyeluruh itu dapat dicapai dengan daya upaya dan pengejaran. Ada yang mengejarnya melalui meditasi, melalui pertapaan, melalui pengasingan diri di tempat-tempat sunyi, di dalam guha-guha atau di puncak-puncak gunung. Padahal, bukan tempatnya yang penting, bukan caranya yang penting, melainkan kewaspadaan dan kesadaran akan dirinya sendiri. Karena kebebasan itu baru ada apabila kita bebas, bebas dari segala ikatan apa pun. Bebas berarti hening. Tak dapat didayaupayakan, dicari dengan sengaja. Dalam keadaan terikat, takkan mungkin bebas. Kalau tidak terikat oleh apa pun, maka tanpa dicari kebebasan pun ada. Selama masih terikat, oleh sesuatu, berarti masih dikuasai oleh nafsu keinginan, dan dalam keadaan begini, mencari kebebasan tiada artinya karena yang mencari itu adalah nafsu ingin senang, maka dicari-cari dan dikejar-kejar. Mungkin saja bisa didapatkan apa yang dikejar-kejar, akan tetapi yang didapatkan itu bukanlah yang sejati. Yang sejati tak dapat dikejar, melainkan akan memasuki batin yang bebas dan terbuka, karena hanya batin yang terbebas sajalah yang terbuka dan bersih, yang dapat ditembus sinar cinta kasih.

Pada keesokan harinya, ketika Pouw Toan terbangun, dia melihat Si Jari Maut masih duduk bersila di situ. Girang hati pelukis ini, karena tadinya dia khawatir kalau-kalau orang aneh itu telah pergi sebelum dia terbangun. Dan memang Tek Hoat menantinya sampai terbangun. Ada sesuatu yang menarik hati Tek Hoat dalam sajak itu, dan dia ingin bertanya tentang itu kepada si pembuat sajak.

“Selamat pagi, Wan-taihiap.” kata Pouw Toan.

“Hemm....“ Tek Hoat hanya bergumam saja karena selama bertahun-tahun ini baru sekarang dia mendengar ada orang menyalam selamat pagi padanya.

“Bukan main indah sejuknya pagi ini!” Pouw Toan bangkit berdiri, mengembangkan dadanya dengan membuka kedua lengannya dan menghirup hawa udara pagi yang masih sunyi itu sebanyaknya.

Mendengar suara yang terdengar amat gembira ini Tek Hoat menoleh dan memandang penuh perhatian. Orang itu memang kelihatan gembira sekali. Dia merasa heran karena dia tidak melihat sesuatu yang patut untuk membuat orang itu gembira! Sungguh seorang manusia yang amat aneh!

“Siapakah namamu, Paman?” Akhirnya dia bertanya. Dia tidak tahu betapa girangnya hati Pouw Toan mendengar pertanyaannya ini. Kiranya dia sudah mampu menggetarkan hati yang beku dari pendekar itu!

“Wan-taihiap, namaku adalah Pouw Toan.”

Tek Hoat mengerutkan alisnya dan mengingat-ingat. Dia sudah hampir lupa akan nama-nama orang akan tetapi dia masih samar-samat ingat bahwa nama ini banyak disebut orang dengan nada kagum. Melihat pendekar ini termenung mendengar namanya, Pouw Toan lalu berkata, “Agaknya ada sesuatu yang ingin kautanyakan kepadaku? Silakan,”

Menerima dorongan dari pelukis itu, Tek Hoat lalu berkata, “Aku ingin sekali tahu tentang arti sajakmu semalam, ketika kau membaca sajak di dalam kamar losmen.” Kemudian, dengan suara lirih Tek Hoat mengulang bunyi sajak empat baris itu.

Pouw Toan terbelalak heran. Dia sendiri sudah lupa akan bunyi sajak yang digubahnya secara iseng-iseng dalam kamar itu. Dan kini sajak itu telah dihafal oleh pendekar ini! Dan tahulah dia mengapa demikian. Sajak itu agaknya mengena benar di hati pendekar ini yang tentu saja sedang dilanda kesepian yang amat hebat sehingga membuatnya seperti orang gila itu, kesepian yang tercipta karena kerinduan.

“Ah, jadi engkau masih ingat akan bunyi sajak itu, Taihiap? Dan engkau telah berada di atas genteng ketika tiga orang kasar itu datang kepadaku? Sungguh hebat! Sajak itu sudah begitu jelas, tentang keheningan dan kesepian. Bagian manakah yang kau tidak mengerti?”

“Keadaan yang sunyi sepi amat menggelisahkan dan menyiksa hatiku selama bertahun-tahun ini, akan tetapi mengapa engkau yang agaknya merasakan pula kesunyian itu malah nampak gembira dan menghadapi segala sesuatu selalu tenang dan tenteram seolah-olah tiada sesuatu di dunia ini yang dapat menyusahkan hatimu?”

“Ahhh....!” Pouw Toan memandang dengan penuh iba. “Mengapa aku harus susah? Aku tidak membutuhkan apa-apa, tidak ada apa-apa yang mengikat diriku lahir batin, mengapa aku harus susah? Tidak, aku tidak pernah susah dan selalu gembira karena memang hati yang kosong dari segala keinginan berarti telah memiliki segala-galanya dan karenanya yang ada hanyalah kegembiraan saja. Akan tetapi engkau, Taihiap, kulihat engkau amat sengsara hatimu. Agaknya engkau merindukan sesuatu, menginginkan sesuatu, kecewa akan sesuatu yang membuat engkau merasa iba diri, kesepian dan sengsara. Mengapa engkau menyiksa diri seperti ini? Engkau masih muda, gagah perkasa, apa pun yang kauinginkan tentu dapat terlaksana. Andaikata engkau mencinta seorang wanita dan amat merindukannya, ingin memperisterinya, mengapa tidak kau lakukan itu? Mengapa menyiksa diri sendiri, menyepi dan menjauhkan diri?”

Semua ucapan itu mengenai benar hati Tek Hoat. Selama ini dia tidak pernah menceritakan semua penderitaannya kepada siapapun juga. Akan tetapi pribadi pelukis ini amat menarik hatinya dan menimbulkan kagum, maka kini mendengar ucapan yang amat mengena itu dia pun menarik napas panjang dan untuk pertama kalinya selama bertahun-tahun, dia memandang dengan sinar mata orang waras.

“Apa yang dapat kuharapkan? Aku manusia tidak berharga ini mana mungkin dapat mengharapkan balasan cinta seorang wanita yang amat mulia? Mana mungkin dia mau mengampuni semua dosaku yang bertumpuk-tumpuk?” Pertanyaan ini seperti diajukannya kepada diri sendirl, tanpa memandang kepada pelukis itu maka Pouw Toan yang tahu diri itu pun tidak langsung menjawab, melainkan diam saja sehingga keadaan menjadi sunyi di tempat itu. Akan tetapi, kadang-kadang ada gerobak atau orang lewat di atas jembatan, memecahkan kesunyian.

“Andaikata dia masih hidup, belum tentu dia mau mengampuniku, dan andaikata mau mengampuniku, belum tentu dia masih mencintaiku. Andaikata dia sudah mati, lalu apa artinya hidup ini bagiku? Ah, hidupku sudah hampa....!”

“Aih, Taihiap. Adakalanya awan mendung menutup langit sehingga sinar matahari tidak nampak sama sekali. Akan tetapi itu pun akan lenyap dan akan berobah, matahari akan bersinar kembali! Memang kesenangan tidak kekal di dunia ini, akan tetapi kesusahan pun tidak kekal adanya. Siapa yang masih berada dalam cengkeraman suka-duka, tidak perlu berkecil hati selagi gelap dan tidak perlu berbesar kepala selagi terang. Terang dan gelap datang silih berganti dalam hidup. Hanya orang yang telah mengatasi suka-duka sajalah yang bebas.

Kalau engkau belum bebas, mengapa harus menyerah kepada kegagalan? Siapa tahu kalau-kalau orang yang Taihiap rindukan itu pun kini sedang menanti-nanti kedatangan Taihiap penuh kerinduan?”

Tek Hoat menggeleng kepalanya, lalu bangkit meninggalkan kolong jembatan itu sambil berkata. “Tidak mungkin.... tidak mungkin....“

“Heiii! Ke mana Taihiap hendak pergi?” Pouw Toan berseru akan tetapi pengemis muda itu sudah mendaki ke atas jalan, tidak menjawab dan tidak menoleh pula.

“Sungguh keras kepala....” Pouw Toan mengomel dan dia pun bergegas mendaki dari kolong jembatan dan naik ke jalan yang masih sunyi.

“Tunggu dulu, Wan-taihiap! Aku mempunyai sesuatu untuk kuberikan kepadamu!”

Akan tetapi Tek Hoat tanpa menoleh berkata, “Aku tidak menerima apa pun dari siapa pun!”

“Tapi, ini adalah tanda terima kasihku telah kautolong malam tadi....”

“Lupakan saja!”

“Wan Tek Hoat setidaknya kaulihatlah lukisanku ini teriak Pouw Toan sambil membuka gulungan sebuah lukisannya dan dia berdiri menghadang di depan pendekar yang seperti jembel itu. Dengan tidak sabar Tek Hoat hendak menghindar, akan tetapi ketika dia melirik ke atas lukisan yang dibentang itu dan kebetulan matahari pagi menimpa lukisan itu, dia tersentak kaget sekali, matanya terbelalak, mukanya pucat, tubuhnya menggigil dan sekali sambar dia telah merampas lukisan itu dan memandang lukisan dengan mata bersinar menyeramkan. Itulah lukisan Syanti Dewi! Tidak salah lagi! Mata itu, hidung itu, bibir itu....! Tiba-tiba dia mengeluarkan bunyi seperti seekor singa menggereng dan tahu-tahu dia telah menyambar ke depan dan telah mencengkeram leher baju Pouw Toan dan diangkatnya orang itu tinggi ke atas seperti orang menangkap seekor kelinci dengan memegang pada telinganya saja.

“Hayo katakan, di mana dia! Di mana dia! Cepat jawab!” Dia membentak-bentak dengan muka pucat sekali seperti kertas.

Diperlakukan begini, Pouw Toan tidak takut, malah mencela keras, “Pantas saja dia menjauhkan diri darimu, Wan Tek Hoat. Wanita mana yang dapat bertahan untuk berdekatan dengan orang yang wataknya begini kasar, keras dan tidak patut?”

Sejenak dua pasang mata itu bertemu pandang. Sejenak mata pelukis itu tajam dan sedikit pun tidak gentar, sinarnya seperti memasuki lubuk hati Tek Hoat, membuat pemuda itu sadar akan perbuatannya dan tiba-tiba Tek Hoat mengeluarkan suara seperti orang dicekik, pegangannya pada baju itu terlepas dan dia menggunakan kedua tangan menutupi mukanya, tangan kanannya masih memegang gulungan lukisan dan dia pun terisak, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Pouw Toan!

“Maafkan aku.... ohhh.... maafkan aku dan jangan siksa aku lagi.... katakanlah di mana adanya dia....”

Pouw Toan terkejut sekali akan tetapi juga girang. Orang ini sesungguhnya belum kehilangan sifat-sifat baiknya, sifat-sifat pendekarnya, hanya karena kedukaan dan kekecewaan saja yang membuatnya menjadi seperti itu. Maka dia pun cepat membangunkan Tek Hoat, mengajaknya duduk di tepi jalan dan dengan hati-hati dia pun lalu bercerita tentang Syanti Dewi.

“Puteri Syanti Dewi masih hidup dalam keadaan sehat, Taihiap. Dan dia telah menjadi seorang seperti bidadari, disanjung dan dipuja oleh seluruh manusia, terutama kaum prianya sehingga kabarnya Pangeran Kian Liong sendiri pun menjadi sahabatnya! Dia hidup sebagai seorang puteri di Pulau Kim-coa-to....“ Dengan singkat Pouw Toan memberitahu letaknya pulau itu. Akan tetapi belum sampai dia bercerita lebih jauh, Tek Hoat sudah bangkit menjura dan dengan mata bersinar-sinar dia memberi hormat berkali-kali.

“Terima kasih, Paman Pouw, terima kasih....”

“Nanti dulu, belum kuceritakan bahwa aku bertemu dengan dia, dan dialah yang memberikan lukisanku itu kepadaku dengan pesan untuk diberikan kepadamu....”

“Dia.... dia masih ingat padaku?”

“Ingat? Ah, dia menitikkan air mata ketika mendengar akan keadaanmu seperti yang sudah kudengar dari banyak tokoh kang-ouw.”

“Ahhh...., mungkinkah itu? Dewi.... Dewi....“ Dan Tek Hoat lalu menangis dan dia meloncat pergi dari situ untuk segera mencari kekasihnya.

“Heii, tunggu dulu, Taihiap, tunggu dulu....!” Pouw Toan lari mengejar karena dia ingin sekali menasihati pemuda itu sebelum pergi mengunjungi Syanti Dewi dalam keadaan seperti itu. Pemuda itu sedang dilanda kebingungan dan tekanan batin yang hebat, maka kalau tidak mendapat nasihat yang benar dan menghadap Syanti Dewi dalam keadaan seperti itu, tentu keadaan hubungan antara dua orang itu akan menjadi semakin berbahaya. Akan tetapi Tek Hoat tidak mau berhenti dan mana mungkin seorang tua lemah seperti Pouw Toan dapat menyusulnya?

Pada saat itu, nampak berkelebat dua bayangan orang dan tahu-tahu dua orang pemuda telah berdiri menghadang Tek Hoat dan seorang di antara mereka membentak, “Paman Pouw telah minta kau berhenti!” Kedua orang itu dengan gerakan yang cekatan sekali telah menghadang dan mendorongkan kedua tangan mereka ke arah Tek Hoat yang sedang lari.

Bukan main kagetnya hati Tek Hoat karena dari dorongan tangan mereka itu menyambar hawa yang amat kuat, yang menahan dia dan hendak memaksa dia untuk berhenti. Dia memandang penuh perhatian dan melihat bahwa mereka adalah dua orang pemuda berusia kurang lebih tujuh belas tahun yang tampan sekali, akan tetapi hebatnya, wajah dan pakaian mereka, bahkan gerak-gerik mereka, pandang mata mereka, semuanya sama sehingga mudah menduga bahwa mereka tentulah dua orang saudara kembar!

“Kalian minggirlah!” kata Tek Hoat dan kedua tangannya sudah dipentang untuk mendorong mereka ke kanan kiri, akan tetapi kembali dua orang muda itu dengan langkah kaki yang ringan dan sigap sekali telah dapat mengelak, bahkan lalu menangkap pergelangan tangannya dari kanan kiri!

“Paman Pouw menyuruh kau berhenti!” kata seorang di antara mereka, entah yang bicara tadi atau bukan sukar bagi Tek Hoat untuk mengenalnya karena wajah mereka yang sama benar. Cara mereka mengelak kemudian menangkap pergelangan kedua tangannya membuktikan bahwa mereka memang benar-benar memiliki ilmu silat yang lihai sekali, maka timbul keinginan dalam hati Tek Hoat untuk mencoba mereka. Dia tahu bahwa dua orang pemuda kembar yang lihai ini tentu masih keluarga pelukis aneh itu, maka tentu saja dia pun tidak mempunyai niat buruk melainkan hanya ingin menguji mereka.

mempunyai niat buruk melainkan hanya ingin menguji mereka.

“Kalian hendak menggunakan kekerasan? Baiklah!” katanya dan dia pun lalu menggunakan kepandaiannya, sekali bergerak kedua lengannya terlepas dan dia pun lalu mengirim serangan ke arah mereka dengan kedua tangannya secara bertubi-tubi, yaitu menampar dari samping dengan tangan terbuka.

Dua orang pemuda kembar itu bukan lain adalah Gak Jit Kong dan adik kembarnya, yaitu Gak Goat Kong. Tentu saja keduanya, biar baru berusia tujuh belas tahun, telah memiliki ilmu kepandaian yang hebat karena sejak kecil mereka digembleng oleh ayah dan ibu mereka, yaitu pendekar sakti Gak Bun Beng dan Puteri Milana! Mula-mula mereka terkejut ketika melihat betapa pengemis yang dikejar-kejar oleh Pouw Toan itu dapat melepaskan pegangan dengan mudah, dan lebih kaget lagi mereka melihat tamparan-tamparan tangan yang jelas mengandung tenaga sin-kang yang amat tangguh itu. Cepat mereka pun bergerak mengelak dan balas menyerang, karena mengira bahwa pengemis ini tentu orang jahat yang entah melakukan apa terhadap Pouw Toan. Terjadilah perkelahian satu lawan dua yang amat hebat. Makin lama, Tek Hoat menjadi semakin kagum. Tak disangkanya dia akan bertemu dengan dua orang pemuda remaja kembar yang demikian tangguhnya! Ilmu silat mereka amat halus dan tangguh, ilmu silat golongan bersih yang luar biasa sekali dan anehnya, gerakan-gerakan mereka baginya tidak begitu asing, bahkan seolah-olah ada dasar-dasar yang sama antara ilmu silat mereka dengan ilmu silatnya yang pernah dipelajarinya dari Sai-cu Lomo. Di lain pihak, dua orang saudara kembar itu pun terkejut sekali mendapat kenyataan bahwa pengemis itu benar-benar amat lihai, memiliki ilmu silat tinggi sehingga pengeroyokan mereka tidak membuat pengemis itu terdesak.

Sejak tadi Pouw Toan hanya menonton saja sambil tersenyum. Dia cukup maklum akan watak dua orang pemuda kembar itu yang tidak akan menjatuhkan tangan kejam kepada siapapun juga, apalagi kepada orang yang tidak mereka ketahui kesalahannya seperti Tek Hoat itu. Dan dia pun maklum bahwa Tek Hoat adalah seorang pendekar, biarpun sedang bingung, yang tidak akan mencelakakan orang tanpa sebab. Biarkanlah mereka saling bertanding dan saling berkenalan melalui ilmu silat, pikirnya, karena pelukis yang banyak bergaul dengan orang-orang dari dunia persilatan ini maklum akan “penyakit” para pendekar yang suka sekali akan pertandingan ilmu silat, menonton atau ditonton! Setelah membiarkan mereka bertanding sampai beberapa lamanya Pouw Toan yang tidak mengenal ilmu silat itu merasa khawatir juga. dan dia pun cepat maju, dan berseru keras, “Jangan berkelahi....! Kalian masih saudara-saudara sendiri, masih keluarga sendiri!”

Tentu saja mendengar seruan ini mereka berhenti dan dua orang pemuda kembar itu memandang kepada Tek Hoat dengan terheran-heran. Keluarga sendiri? Mereka sungguh tak dapat menduga siapa adanya jembel yang dikatakan keluarga sendiri oleh pelukis itu. Sedangkan Tek Hoat yang tadinya tidak mau pedulikan segala hal, kini menjadi tertarik juga dan dia menoleh kepada Pouw Toan dengan sinar mata bertanya.

“Murid-muridku yang baik, ini dia Si Jari Maut, Wan Tek Hoat yang menjadi keponakan tiri dari Ibu kandung kalian.”

Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong terkejut sekali. Tentu saja mereka sudah pernah mendengar nama ini dari penuturan ibu mereka, akan tetapi ibunya menggambarkan orang yang bernama Wan Tek Hoat dan berjuluk Si Jari Maut itu tidak seperti seorang jembel seperti ini. Betapapun juga, mereka tidak meragukan keterangan Pouw Toan dan mereka lalu menjura kepada Tek Hoat.

“Wan-piauwko, maafkan kami yang tidak mengenalmu.” kata Jit Kong.

“Wan-taihiap, mereka adalah adik-adik misanmu sendiri, Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, putera kembar Bibi tirimu Puteri Milana dan suaminya. Mereka ini diserahkan kepadaku untuk belajar sastra, ha-ha-ha!”

Giranglah hati Tek Hoat dan dia kagum sekali melihat Puteri Milana, bibi tirinya itu, telah mempunyai putera kembar setampan dan selihai ini.

“Ah, tidak mengapa, Adik-adikku yang lihai. Maafkan, aku tidak dapat menemani kalian lebih lama lagi. Paman Pouw, terima kasih atas segala-galanya dan selamat tinggal!”

“Taihiap....!” Akan tetapi seruan ini percuma karena sekali ini Tek Hoat telah berkelebat dan lenyap dengan cepat sekali dari situ. Pouw Toan menghela napas dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aneh....dia manusia aneh.... kasihan sekali....“

“Tapi.... Si Jari Maut yang digambarkan Ibu tidak seperti itu, melainkan seorang pria yang kata Ibu tampan dan gagah, bukan seorang pengemis yang begitu terlantar....“ Goat Kong berkata.

Pouw Toan menghela napas. “Begitulah kehidupan manusia. Manusia boleh saja mempelajari segala macam ilmu, menjadi orang pandai, menjadi orang perkasa, namun selama dia tidak mampu membebaskan diri dari segala nafsu yang mencengkeramnya, dia akan menjadi permainan suka duka. Kedukaan kadang-kadang membuat manusia kehilangan kesadaran dan menyeretnya ke lembah kesengsaraan yang hebat seperti dia itu.”

Bagaimanakah dua orang pemuda kembar itu dapat muncul pada saat itu? Seperti telah kita ketahui, lima tahun yang lalu dua orang pemuda ini pernah ikut pula dengan arus orang-orang kang-ouw, berkeliaran di Pegunungan Himalaya! Pada waktu itu, usia mereka baru kurang lebih dua belas tahun! Dan seperti kita ketahui, mereka itu disusul oleh Su-bi Mo-li, yaitu wanita-wanita iblis yang terkenal sebagai murid-murid utama Im-kan Ngo-ok, ditawan dan dibawa kembali ke kota raja. Mereka berdua itu sempat ditolong oleh Bu Ci Sian yang dibantu oleh gurunya, yaitu See-thian Coa-ong, akan tetapi melihat keganasan ular-ular yang dipergunakan oleh Ci Sian, dua orang pemuda kembar itu memaki Ci Sian sebagai siluman ular lalu pergi meninggalkan para penolongnya untuk mengejar Su-bi Mo-li. Kiranya mereka itu memang sengaja membiarkan diri ditawan oleh Su-bi Mo-li untuk dibawa menghadap Sam-thaihouw yang mengutus empat orang wanita iblis itu!

Dua orang anak kembar ini adalah putera pendekar sakti, dan ibunya adalah seorang yang amat terkenal pula, maka tentu saja mereka memiliki watak aneh dan keberanian luar biasa sekali. Biarpun usia mereka baru dua belas tahun, namun di dalam darah mereka terdapat jiwa petualang besar. Maka ketika mereka mendengar tentang lenyapnya pedang pusaka Koai-liong-kiam secara aneh dari gudang pusaka keraton, jantung mereka berdegup penuh ketegangan dan dua orang saudara kembar itu diam-diam lalu berunding dan akhirnya mereka memutuskan untuk pergi melakukan pengejaran dan pencarian terhadap pencuri pedang itu! Memang lucu sekali kalau diingat betapa mereka itu, biarpun sejak kecil digembleng ilmu silat tinggi, tentu saja tidak mungkin dapat menandingi kehebatan seorang pencuri yang dapat mengambil sebatang pedang pusaka dari dalam gudang pusaka istana begitu saja tanpa ada yang mengetahui! Pencuri seperti ini tentulah seorang pencuri yang sakti. Mereka pergi diam-diam dan hanya meninggalkan pesan kepada seorang kakek tetangga yang tinggal jauh di dusun kaki Gunung Beng-san agar kakek itu suka memberi kabar kepada ayah mereka bahwa mereka berdua hendak pergi “merantau” untuk meluaskan pengetahuan!

Tentu saja Gak Bun Beng dan Milana terkejut bukan main mendengar berita dari kakek tetangga itu. Mereka sudah mencoba untuk mencari-cari, namun tidak ada hasilnya. Dua orang anak mereka seolah-olah lenyap ditelan bumi tanpa meninggalkan bekas! Mereka sudah mencari keterangan, akan tetapi tidak ada yang pernah melihat dua orang anak laki-laki kembar lewat di tempat mereka! Hal ini adalah karena kecerdikan kakak beradik itu yang meninggalkan tempat mereka sambil menyamar, berpakaian lain dan juga Jit Kong merobah cara dia menggelung rambut dan mencoreng-moreng mukanya sehingga tidak sama dengan muka adik kembarnya! Baru setelah mereka berdua pergi jauh sesudah lewat berpekan-pekan mereka berpakaian biasa kembali seperti anak kembar.

Akhirnya Gak Bun Beng dan isterinya kembali ke rumah mereka di puncak Beng-san. “Tenanglah, tidak mungkin anak-anak kita itu akan mengalami bencana. Mereka sudah cukup besar dan mereka pun bukan anak-anak yang biasa ceroboh. Juga, kurasa kepandaian mereka sudah cukup untuk mereka pergunakan melindungi diri sendiri.”

“Tapi mereka itu baru berusia dua belas tahun, masih belum dewasa dan di dunia ini terdapat amat banyak orang jahat!” kata Puteri Milana menyatakan kekhawatirannya.

“Betapapun juga, mereka pergi berdua dan mereka dapat saling bantu. Biarlah, biar mereka mencari pengalaman dan merasakan betapa pahitnya dan bahayanya hidup di dunia ramai. Ingat, isteriku, kita pun dahulu merupakan petualang-petualang besar dan kita tetap selamat sampai setua ini. Mengapa terlalu mengkhawatirkan mereka?”

Puteri Milana adalah seorang wanita gagah perkasa, bahkan beberapa kali dia pernah memegang kedudukan panglima yang memimpin pasukan pemerintah untuk menghadapi pemberontak-pemberontak, maka sudah tentu saja dia bukan seorang wanita cengeng. Maka biarpun kekhawatiran masih kadang-kadang mencekam hatinya, dia dapat menenteramkan diri dan menanam keyakinan bahwa apa yang diucapkan suaminya itu memang benar. Betapapun juga, suaminya harus berjanji kepadanya bahwa kalau sampai satu tahun anak kembar mereka itu belum pulang, mereka berdua akan turun gunung mencarinya sendiri!

Demikianlah asal mulanya Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong dapat berada di Pegunungan Himalaya, terbawa arus orang-orang kang-ouw yang mereka dengar berlumba mencari pedang pusaka yang jejaknya dikabarkan menuju ke pegunungan itu. Mereka tidak tahu bahwa kehadiran mereka diketahui oleh Im-kan Ngo-ok, dan kemudian murid-murid mereka, yaitu empat orang iblis betina Su-bi Mo-li (Empat Iblis Betina Cantik) melakukan pengejaran dan menawan dua orang anak kembar itu. Karena maklum bahwa empat orang wanita itu lihai sekali, apalagi mereka adalah murid-murid utama dari Im-kan Ngo-ok yang juga nama besar mereka telah didengar oleh Jit Kong dan Goat Kong, maka dua orang anak kembar ini tidak melakukan perlawanan dan menurut saja dibawa kembali ke timur, untuk menjaga agar mereka tidak lari, mereka diborgol! Sampai mereka berdua itu bertemu dengan Ci Sian yang menolong mereka.

Kalau Jit Kong dan Goat Kong menghendaki, tentu saja dengan mudah mereka dapat melepaskan diri. Empat orang iblis betina itu terlalu memandang rendah tawanan mereka. Kalau kedua orang anak kembar itu menghendaki, sekali berontak mereka akan dapat mematahkan borgol mereka dan dapat melarikan diri. Akan tetapi mereka tidak mau melakukan ini dan pura-pura menjadi anak-anak tak berdaya dan menyerahkan diri saja karena mereka itu diam-diam merasa gembira dan ingin tahu apa yang akan terjadi kalau mereka sudah dihadapkan dengan majikan dari Su-bi Mo-li, yaitu yang katanya adalah Sam-thaihouw atau Ibu Suri Ke Tiga di istana kerajaan. Tentu saja mereka tidak merasa takut karena bukankah mereka berdarah keluarga kaisar? Nenek mereka adalah Puteri Nirahai yang kini menjadi isteri Pendekar Super Sakti di Pulau Es. Nenek mereka itu adalah seorang puteri istana aseli, masih terhitung bibi dari kaisar sekarang, sungguhpun neneknya itu puteri selir saja. Kalau dihitung-hitung, ibu kandung mereka masih terhitung saudara misan dari kaisar yang sekarang, malah mereka sendiri pun sebetulnya masih merupakan dua orang pangeran! Ingin mereka tahu apa yang akan terjadi dengan mereka, apalagi kalau diketahui bahwa mereka adalah putera dari Panglima Milana, cucu dari Puteri Nirahai yang amat terkenal itu!

Akan tetapi Ci Sian, gadis yang mengerikan dengan ular-ularnya itu, telah “menolong” mereka dan merusak permainan sandiwara mereka. Betapapun juga, semua pengalaman mereka itu membuka mata mereka bahwa merantau di tempat itu sungguh amat berbahaya dan ternyata di situ banyak berkeliaran orang-orang pandai dan orang-orang jahat. Maka, mereka pun mengambil keputusan untuk pulang ke Beng-san, apalagi mereka kini teringat bahwa tentu ayah bundanya akan menjadi khawatir sekali dengan kepergian mereka.

Dan memang dugaan mereka itu benar. Ketika mereka tiba di rumah orang tua mereka, yaitu di Puncak Telaga Warna di Pegunungan Beng-san, mereka disambut oleh tangis kegembiraan oleh ibu mereka, akan tetapi kemudian mereka pun menerima teguran keras dari ayah bunda mereka atas kelancangan mereka pergi merantau.

“Bukan kalian tidak boleh pergi merantau, akan tetapi harus mendapat restu orang tua, lebih dulu diperbincangkan dengan kami sehingga tidak menyusahkan hati orang tua. Pula, kalian masih terlalu muda untuk pergi mencari pengalaman di luar.” demikian antara lain ayah mereka menegur.

“Kemana saja engkau pergi selama setengah tahun ini?” Milana bertanya, matanya masih basah akan tetapi wajahnya berseri kembali setelah selama berbulan-bulan ini nampak muram dan gelisah.

“Kami mendengar tentang pusaka Koai-liong-kiam yang hilang dari istana dan kabarnya dilarikan maling ke Pegunungan Himalaya, maka kami berdua pergi ke sana dengan harapan kalau-kalau kami akan dapat menemukan kembali pedang pusaka istana itu.” kata Jit Kong.

Milana terbelalak. “Kalian ke Pegunungan Himalaya?” Dan wanita cantik ini tertawa geli. “Ah, Ayahmu ingin sekali ikut mengejar barat, dan andaikata kalian tidak pergi, tentu Ayahmu juga pergi ke sana.”

Gak Bun Beng tertawa dan menggeleng-geleng kepala. “Aih, sungguh tidak kunyana, aku yang ingin sekali pergi, malah kalian yang mendahului. Akan tetapi biarlah, hitung-hitung kalian mewakili aku. Asal saja kalian di sana tidak melakukan hal-hal yang memalukan. Apa yang telah kalian alami di sana? Banyakkah orang kang-ouw pergi ke sana?”

“Banyak sekali, Ayah. Terdapat banyak sekali orang-orang aneh dan orang-orang pandai.” kata Goat Kong.

“Dan bagaimana kabarnya dengan pedang pusaka itu? Apakah sudah ditemukan pencurinya dan pedang itu dapat dirampas kembali?” tanya Milana.

Jit Kong menggeleng kepala. “Mereka itu agaknya bukan mencari pedang untuk dikembalikan ke istana, Ibu, melainkan saling memperebutkan untuk diri sendiri masing-masing.”

“Ahh....!” Milana berseru kecewa.

“Tidak aneh, apa engkau lupa akan watak orang-orang kang-ouw yang tamak akan benda-benda pusaka, isteriku? Lalu kabarnya siapa yang mendapatkan pusaka itu?” kata Bun Beng.

“Kami tidak tahu, Ayah, karena baru saja tiba di sana kami sudah ditangkap orang.” kata Jit Kong.

Tentu saja keterangan ini mengejutkan hati suami isteri pendekar itu. Milana bangkit dari tempat duduknya, mukanya yang masih cantik dalam usianya yang sudah mendekati lima puluh tahun itu menjadi kemerahan. “Ditangkap orang? Siapa yang menangkap kalian dan mengapa kalian ditangkap?”

“Kami ditangkap oleh empat orang wanita berjuluk Su-bi Mo-li....”

“Hemm! Su-bi Mo-li? Siapa mereka itu?” Milana membentak, marah.

“Aku pun tidak mengenal nama itu.” kata Gak Bun Beng dan memang suami isteri ini selama ini tidak pernah keluar ke dunia kang-ouw sehingga mereka sama sekali tidak mengenal nama-nama baru. “Siapakah mereka itu?” tanyanya kepada dua orang puteranya.

“Menurut yang kami dengar, mereka itu adalah murid-murid dari Im-kan Ngo-ok....”

“Ah, keparat! Kiranya murid-murid Im-kan Ngo-ok?” bentak Bun Beng dan Milana terkejut sekali mendengar nama Im-kan Ngo-ok yang dia tahu amat terkenal sebagai datuk-datuk kaum sesat dan amat lihai itu. “Kenapa kalian ditangkap mereka? Apakah kalian tidak melawan?”

“Mereka menghadang kami dan mengatakan bahwa kami harus ikut bersama ke kota raja untuk menghadap Sam-thaihouw. Kami tidak melawan dan membiarkan diri ditangkap karena kami ingin sekali melihat apa yang akan terjadi dengan kami di istana. Kami tidak takut untuk dibawa ke istana!”

“Sam-thaihouw....?” Milana terbelalak dan dia lalu mengangguk-angguk, “Pantas...., kiranya empat iblis betina itu adalah kaki tangan Sam-thaihouw....!”

Gak Bun Beng juga sudah tahu betapa Sam-thaihouw, ibu suri ke tiga itu menaruh dendam kepada isterinya karena banyak hal, dan terutama karena kegagalan pemberontakan dua orang Pangeran Liong. Maka kini dia pun mengerti mengapa dua orang puteranya itu ditangkap atas perintah Sam-thaihouw dan dia mengerutkan alisnya, akan tetapi kemudian merasa lega bahwa dua orang puteranya itu telah selamat.

“Sudahlah, sekarang ceritakan bagaimana kalian ditawan dan bagaimana pula kalian dapat meloloskan diri dan pulang ke sini.” katanya kemudian.

Dengan cara bergantian, Jit Kong dan Goat Kong lalu menceritakan semua pengalaman mereka semenjak mereka pergi dari rumah menuju ke Himalaya dan betapa mereka ditangkap, kemudian betapa mereka ditolong oleh seorang gadis cantik bersama kakek Nepal yang mendatangkan ular-ular dan yang mengalahkan Su-bi Mo-li.

“Gadis itu mengacaukan rencana kami, Ayah!” kata Jit Kong.

“Dia itu seperti siluman ular saja. Mengerikan!” kata pula Goat Kong.

“Eh, eh! Bagaimana kalian dapat berkata demikian? Bukankah mereka telah bersusah payah melawan Su-bi Mo-li untuk menolong kalian?” tanya Milana.

Dua orang anak kembar itu bersungut-sungut. “Akan tetapi, kami memang sengaja menyerahkan diri untuk ditangkap karena kami ingin melihat apa yang terjadi di istana dengan kami. Kami hanya pura-pura menyerah.... tahu-tahu gadis liar itu merusak sandiwara kami dan mencampuri. Karena sudah terlanjur bebas, maka kami lalu pulang karena daerah itu amat berbahaya dan terdapat banyak orang jahat yang amat lihai.”

“Siapakah gadis yang bermain-main dengan ular itu? Siapa namanya?” tanya Milana yang merasa tertarik.

“Kami tidak tahu, Ibu. Kami tidak tanyakan namanya. Untuk apa menanyakan nama gadis siluman ular itu?” kata Goat Kong.

“Ah, jangan berkata demikian!” Milana membentak. “Apa kaukira asal orang bermain atau mampu mendatangkan ular-ular lalu kauanggap dia jahat dan siluman? Tahukah kalian bahwa Bibimu, Isteri dari Pamanmu Suma Kian Lee juga seorang ahli tentang ular beracun?”

Dibentak demikian oleh ibunya, dua orang anak kembar itu diam saja dan di dalam hati mereka mengaku bahwa mereka memang bersikap salah terhadap gadis yang menolong mereka itu. Sesungguhnya bukan semata-mata ular-ular itu yang membuat mereka tidak suka kepada gadis itu, melainkan melihat keganasan ular-ular itu dan juga karena gadis itu telah menggagalkan rencana dan sandiwara mereka.

Pada malam harinya, setelah dua orang anak mereka itu tidur di kamar mereka sendiri, suami isteri pendekar ini lalu mengadakan perundingan. Mereka maklum bahwa dalam keadaan seperti dua orang anak mereka itu, yang sedang remaja dan menjelang dewasa, maka jiwa petualangan mereka itu sedang mencapai puncaknya, maka kalau tidak diberi saluran, mungkin saja pada suatu hari mereka itu minggat lagi. Mereka lalu berunding untuk menyerahkan mereka kepada sastrawan Pouw Toan yang tinggal di lereng sebelah utara, seorang sastrawan yang menjadi sahabat baik mereka yang mereka hormati karena sastrawan itu merupakan seorang terpelajar yang amat mulia dan bijaksana. Biarlah anak mereka itu belajar ilmu tentang hidup dan memperdalam ilmu kesusastraan dari kakek itu. Dan mereka mengenal betul siapa Pouw Toan, seorang ahli sastra, seorang ahli lukis, seorang seniman sejati yang biarpun tidak pernah belajar ilmu silat, namun memiliki tubuh sehat kuat karena suka merantau dan yang mengenal hampir semua pendekar sakti di dunia ini.

Demikianlah, beberapa pekan kemudian suami isteri ini pergi mengunjungi rumah pondok Pouw Toan di lereng utara dan kebetulan sekali bagi mereka bahwa Pouw Toan baru saja kembali dari perantauannya. Pouw Toan menyambut kunjungan suami isteri sahabatnya itu dengan ramah dan gembira. Dia amat mengagumi pendekar dan isterinya itu, apalagi mengingat bahwa isteri pendekar itu adalah seorang puteri kandung dari Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai, masih berdarah keluarga kaisar akan tetapi memilih tinggal di puncak sunyi itu, rela meninggalkan kemuliaan dan kemewahan memilih hidup sederhana namun tenteram.

Setelah minum arak yang disuguhkan Pouw Toan, mereka duduk bercakap-cakap dan suami isteri ini menceritakan tentang petualangan dua orang putera kembar mereka sampai ke Pegunungan Himalaya! Mendengar itu Pouw Toan tersenyum dan amat tertarik. Setelah selesai dia menarik napas panjang. “Ahhh, sungguh hebat puteramu itu, Taihiap. Akan tetapi aku tidak dapat menyalahkan mereka. Mereka itu adalah putera-putera suami isteri pendekar seperti Ji-wi, tentu saja mempunyai keberanian dan jiwa petualang, dan tentu tertarik mendengar akan lenyapnya pedang pusaka itu. Aku sendiri seorang tua bangka lemah ini pun amat tertarik dan aku sudah banyak mendengar dan menyelidiki tentang pedang itu, sungguhpun aku tidak berkesempatan untuk ikut beramai-ramai pergi ke Himalaya!”

Setelah bercakap-cakap tentang bermacam hal sampai beberapa lamanya, akhirnya suami isteri itu menyatakan keperluan mereka datang berkunjung kepada sastrawan itu, yaitu untuk menitipkan dua orang putera mereka agar belajar ilmu sastra dan filsafat kepada kakek itu.

“Setelah mereka pergi dengan diam-diam, kami berdua merasa khawatir kalau-kalau mereka pergi lagi. Mereka masih hijau, apalagi dalam soal-soal hidup, oleh karena itu kami mohon Pouw Twako suka menerima mereka menjadi murid.”

“Ha-ha-ha, sungguh lucu mendengar bahwa Ji-wi, suami isteri pendekar sakti yang amat kukagumi malah menyerahkan putera Ji-wi kepadaku untuk menjadi murid! Betapapun juga, hati siapa takkan merasa bangga menjadi guru dari cucu Pendekar Super Sakti? Tentu saja aku dengan senang hati menerimanya, akan tetapi, untuk mematangkan mereka, bukan hanya harus belajar dari buku-buku melainkan mengajak mereka merantau dan melihat kehidupan di tempat-tempat ramai.”

“Terserah kepada Pouw-twako kalau hendak mengajak mereka merantau. Biarlah mereka itu belajar selama dua tiga tahun sebelum mereka mempelajari Ilmu-ilmu silat yang lebih berat dan mendalam. Selain itu, juga kami berdua ingin pergi ke kota raja untuk menyelidiki apa maksudnya menculik anak-anak kami.”

Setelah mereka bersepakat, Jit Kong dan Goat Kong diberi tahu. Dua orang anak ini menerima dengan girang perintah ayah mereka, apalagi ketika mendengar bahwa mereka selain diajar Ilmu kesusastraan juga akan diajak pergi merantau oleh Paman Pouw yang sudah mereka kenal dan yang mereka kagumi karena kakek itu pandai melukis dan pandai sajak.

Demiklanlah, sejak itu, Jit Kong dan Goat Kong ikut dengan Pouw Toan, bahkan lalu diajak pergi merantau oleh kakek yang tidak betah tinggal terlalu lama di suatu tempat itu. Dan pada hari itu, seperti telah diceritakan di bagian depan, kakek itu bertemu dengan Wan Tek Hoat. Ketika dia berjumpa dengan Tek Hoat dan ketika dia dibawa pergi oleh tiga orang untuk dipaksa melukis hartawan Thio, dua orang muridnya itu sedang pergi untuk memberi peringatan atau hajaran kepada seorang penguasa dusun tak jauh dari kota itu yang terkenal sebagai penindas dan pemeras para penduduknya. Memang Pouw Toan tidak melarang, bahkan menganjurkan dua orang muridnya itu untuk mempergunakan ilmu silat yang mereka pelajari dari orang tua mereka untuk melawan kelaliman di manapun mereka berada.

Dan malam itu juga Jit Kong dan Goat Kong pergi membereskan penasaran yang terjadi di dusun itu, mendatangi kepala dusun, menundukkannya, kemudian pada keesokan harinya mereka memaksa kepala dusun untuk mengembalikan sawah ladang yang dirampasnya dari para penduduk tani, dan menyaksikan kepala dusun mengucapkan janji untuk menjadi kepala dusun yang baik di depan para penduduk. Setelah selesai, barulah dua orang remaja kembar yang luar biasa ini meninggalkan dusun dan kembali ke kota di mana mereka melihat gurunya mengejar-ngejar seorang laki-laki jembel.

Setelah pertemuan dengan Wan Tek Hoat itu, Pouw Toan lalu melanjutkan perjalanan bersama dua orang murid kembarnya menuju ke utara, karena dia ingin mengajak dua orang muridnya merantau ke kota raja.

Sementara itu, bagaikan orang kesetanan, Wan Tek Hoat melakukan perjalanan cepat sekali, hampir tak pernah berhenti kecuali kalau kedua kakinya sudah seperti hendak patah-patah, napasnya seperti hendak putus dan tenaganya sudah habis saking lelah, haus dan laparnya, menuju ke timur. Dia melakukan perjalanan sambil berlari cepat siang malam, hanya kalau terpaksa saja dia berhenti untuk minum, makan dan tidur. Tujuannya hanya satu, yaitu ke Kim-coa-to, tempat tinggal kekasihnya, Syanti Dewi!

Pendekar yang sudah hampir rusak hidupnya dan kini seperti orang dalam kegelapan melihat titik cahaya terang itu, sama sekali tidak tahu bahwa pada saat itu di Pulau Kim-coa-to sedang dipersiapkan oleh penghuni atau majikan Pulau Kim-coa-to, yaitu Bu-eng-kwi Ouw Yang Hui, yang disebut Toanio (Nyonya Besar) oleh semua orang yang mengenalnya, dan selain dihormati, juga amat disegani bahkan ditakuti karena semua orang tahu belaka betapa nyonya yang berwajah amat cantik jelita dan kadang-kadang bermata dingin ini berdarah dingin pula dan mudah membunuh orang dengan kepandaiannya yang luar biasa lihainya! Pesta apakah gerangan yang diadakan oleh Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui yang biasanya pendiam dan suka menyendiri, tidak suka akan segala keramaian itu? Pesta ini diadakan demi rasa sayangnya kepada Syanti Dewi yang dianggap sebagai muridnya, adiknya, bahkan seperti anaknya sendiri itu. Pesta perayaan ulang tahun Syanti Dewi genap tiga puluh tahun! Tadinya Syanti Dewi menolak diadakannya pesta itu.

“Enci Hui....” bantahnya, dan memang dua orang wanita yang sama cantiknya ini saling menyebut enci dan adik, “Perlu apa diadakan pesta perayaan ulang tahun? Selain aku tidak menginginkan itu, juga apa sih enaknya dirayakan ulang tahun kita, kalau kita sudah berusia tiga puluh tahun. Kiraku, tidak ada wanita yang suka memamerkan ketuaan umurnya!”

Ouw Yan Hui tersenyum. “Adikku yang manis, jangan kau berkata demikian. Pesta ini memang kusengaja, dengan bermacam maksud yang tersembunyi di baliknya. Sudah berkali-kali kukatakan kepadamu, Adikku, bahwa keramahanmu yang menerima semua persahabatan dari sekian banyaknya pria amatlah tidak baik jadinya. Oleh karena itu, biarlah kuadakan pesta ini untuk melihat siapakah sesungguhnya di antara mereka yang patut menjadi suamimu. Maka, dalam pesta ini akan kujadikan suatu kesempatan bagimu untuk memilih jodoh.”

“Enci....!”

“Jangan kau menolak lagi sekali ini, Syanti! Engkau takkan hidup seratus tahun dan biarpun engkau memiliki kecantikan seperti bidadari, dua puluh tahun lagi engkau sudah berusia setengah abad!”

“Lihatlah diriku! Aku memang tetap cantik, akan tetapi apa gunanya semua kecantikan ini? Jangan kausia-siakan hidupmu, Adikku. Maka biarkanlah aku yang mengatur semua itu. Aku akan memilihkan seorang di antara mereka yang paling tampan, paling gagah, paling kaya dan pendeknya yang tiada tandingnya di antara semua pria yang pernah kaukenal. Atau setidaknya, biarlah pangeran mahkota sendiri yang akan mempersuntingmu!”

“Enci....!”

“Adikku, mengapa engkau selalu berkeras hati? Aku tahu bahwa engkau bukanlah seorang wanita yang dingin seperti aku. Aku tahu bahwa engkau adalah seorang wanita berdarah panas yang selalu mendambakan cinta kasih seorang pria. Dan cintamu terhadap kekasihmu yang pertama itu tak pernah padam! Itu menunjukkan betapa panasnya cintamu. Akan tetapi, kalau orang yang kaucinta sudah tidak peduli lagi akan dirimu, apakah engkau akan tetap setia dan menantinya sampai akhir jaman? Tidak, Adikku, itu sama sekali tidak benar dan aku yang amat sayang kepadamu akan menentang ini!”

Menghadapi wanita yang biasanya pendiam dan dingin akan tetapi sekarang begitu banyak bicara karena penasaran itu, Syanti Dewi tidak dapat banyak membantah. Betapapun juga, dia pun sayang kepada wanita ini dan dia sudah berhutang budi sampai bertumpuk-tumpuk kepada wanita ini. Memang, tadinya terdapat rasa sayang yang tidak wajar dalam hati Ouw Yan Hui, rasa sayang bercampur berahi yang aneh, yang dimiliki oleh wanita yang kini lebih suka bercumbu dan bermain cinta dengan sesama wanita karena dia pembenci pria. Akan tetapi setelah Ouw Yan Hui yakin benar bahwa Syanti Dewi tidak sudi melayani hasrat berahinya yang tidak wajar itu, Ouw Yan Hui tidak memaksanya dan berahinya lenyap bersatu dalam cinta kasihnya sebagai seorang sahabat atau saudara atau bahkan seorang ibu! Syanti Dewi merasakan benar kasih sayang wanita ini terhadap dirinya dan biarpun kasih sayang itu, sifatnya tidak ingin menguasai dirinya, namun sedikitnya dia harus tahu diri dan tidak boleh selalu membantah mengukuhi kehendak sendiri. Selain itu, diam-diam dia pun melihat kebenaran dalam pendapat-pendapat Ouw Yan Hui. Memang dia masih mencinta Tek Hoat, akan tetapi mungkinkah pria itu dapat diharapkan lagi? Mengapa dia begitu bodoh menyiksa diri dalam kedukaan dan selalu menolak cinta kasih pria yang demikian banyaknya? Dia tinggal memilih! Tepat seperti yang dikatakan oleh Ouw Yan Hui. Dan usianya kini sudah tiga puluh tahun!

“Tiga puluh tahun! Ah, perlukah dirayakan Enci Hui? Bukankah itu sama dengan membuka rahasia bahwa aku sudah tua sekali?”

“Hemm, tiga puluh tahun belumlah tua sekali, Adikku. Pula, biarlah mata mereka terbuka bahwa engkau sudah berusia tiga puluh tahun, sudah cukup matang dan bukan kanak-kanak lagi, akan tetapi juga agar mereka semua melihat betapa dalam usia tiga puluh tahun engkau tidak kalah segar dan cantiknya dibanding dengan seorang dara berusia tujuh belas tahun!”

“Aihh, Enci bisa saja menjawab.”

“Bagaimana, engkau sekali ini tidak akan mengecewakan hati Encimu, bukan?”

Syanti Dewi menunduk, merasa seperti seorang dara disuruh kawin dan mukanya menjadi merah sekali. “Terserah kepadamu sajalah, Enci. Aku merasa seperti menjadi barang dagangan di pulau Kim-coa-to ini dan engkau hendak mencari pembeli yang berani menawar paling tinggi!”

Mendengar ucapan ini, Ouw Yan Hui lalu merangkul Syanti Dewi. Kalau saja dia dirangkul oleh wanita lain, atau kalau saja dia tidak sudah tahu akan kesukaan Ouw Yan Hui bermain cinta dengan sesama wanita, tentu dia akan merasa terharu dan senang dirangkul. Akan tetapi kini, rangkulan Ouw Yan Hui terasa lebih menyeramkan daripada rangkulan seorang pria yang tidak dikenalnya, dan Ouw Yan Hui juga merasakan betapa tubuh puteri itu menegang, maka dia pun cepat melepaskan rangkulan sambil menarik napas panjang. Padahal dia tadi merangkul dara itu dengan perasaan seorang ibu merangkul anaknya.

“Syanti Dewi, mengapa engkau sekejam itu berkata demikian kepadaku? Engkau tahu bahwa seujung rambutku tidak ada pikiran mengganggumu sebagai barang dagangan. Engkau boleh memilih sendiri pria yang cocok, dan bukan karena melihat uangnya, melainkan semuanya. Ya hartanya, ya kedudukannya, ya ketampanannya, ya kegagahannya. Pendeknya, seorang pria pilihan!”

“Terserah kepadamu, Enci!” kata pula Syanti Dewi sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan.

Ouw Yan Hui tersenyum, menepuk-nepuk pundak puteri itu, kemudian meninggalkannya. Dan mulailah persiapan dilakukan, undangan-undangan dibagi dan pengumuman-pengumuman disebar sampai jauh ke daratan besar, bahkan undangan khusus disampaikan kepada Pangeran Mahkota Kian Liong! Juga disampaikan undangan kepada para pemuda yang dianggap pantas untuk menjadi tamu undangan, pemuda putera para ketua perkumpulan yang berpengaruh, hartawan-hartawan dan para pemuda yang tampan, ahli sastra atau ahli silat. Pendeknya, Ouw Yan Hui akan mengumpulkan semua pemuda pilihan yang bisa didapatkan di seluruh daerah yang dikenalnya, termasuk Sang Pangeran Mahkota sendiri yang memang sudah menjadi sahabat baik dari Syanti Dewi! Undangan-undangan yang dikirim, juga pengumuman-pengumuman itu tentu saja hanya berisi undangan untuk menghadiri perayaan hari ulang tahun Syanti Dewi, akan tetapi di samping itu, sebagai berita desas-desus yang santer dan menarik, dikabarkan bahwa Sang Puteri cantik itu hendak mempergunakan kesempatan itu untuk menentukan pilihan jodohnya! Berita desas-desus inilah yang menggemparkan hati semua pemuda yang sudah lama tergila-gila kepada puteri yang amat cantik jelita seperti bidadari itu.

Pulau Kim-coa-to terletak di Laut Kuning, beberapa mil jauhnya dari muara Sungai Huai. Dari tepi pantai hanya nampak sebagai sebuah titik kecil saja kalau laut sedang tenang, dan kalau orang naik perahu layar, maka dalam waktu empat lima jam akan sampai di pulau itu. Kota Tung-king berada tak jauh dari muara itu, dan pada hari itu kota Tung-king yang berada di lembah Sungai Huai nampak lebih ramai daripada biasanya. Kota itu memang diramaikan oleh tamu-tamu yang hendak berkunjung ke Pulau Kim-coa-to!

Pembesar setempat, yaitu Kepala Daerah Tung-king juga ikut menjadi sibuk karena hari itu Pangeran Kian Liong datang berkunjung bersama pasukan pengawalnya yang berjumlah dua losin orang! Sang Pangeran yang biasanya suka melakukan perjalanan secara menyamar itu, sekali ini karena menerima undangan resmi, berkunjung sebagai pangeran dan tentu saja dikawal dan mengendarai kereta yang indah. Karena hari telah menjadi senja ketika tiba pangeran itu memutuskan untuk bermalam di kota Tung-king dan tentu saja kepala pengawal langsung membawa kereta menuju ke gedung kepala daerah yang menjadi sibuk bukan main! Pangeran Mahkota sendiri yang datang bertamu, tentu saja dia menjadi sibuk. Akan tetapi alangkah bingung dan herannya ketika pangeran itu dengan suara tegas melarang dia terlalu menyibukkan diri, hanya cukup kalau dia diberi sebuah kamar biasa dan makan malam biasa pula, menolak untuk diberi hidangan apalagi ditemani wanita. Baru sekarang ini selama hidupnya Lu-taijin kepala daerah kota Tung-king itu mendengar bahkan menghadapi sendiri seorang pangeran, bahkan pangeran mahkota pula, yang mau tidur di kamar biasa, makan biasa pula dan menolak hiburan dan wanita! Di samping kebingungan dan keheranannya, dia pun merasa kagum sekali dan diam-diam dia memperoleh kenyataan akan berita bahwa Sang Pangeran Mahkota ini adalah seorang pemuda yang sederhana, terpelajar, pandai dan tidak suka akan kemewahan yang berlebihan, tidak suka berfoya-foya sebagaimana lajimnya para pangeran dan pembesar lainnya.

Tentu saja para pengawal mempersiapkan diri, menjaga keamanan pangeran mahkota itu, dan karena pasukan pengawal ini adalah pengawal dalam istana, maka pakaian mereka yang berwarna biru dan bersulamkan benang emas itu amat indah dan megah, selain itu, mereka adalah pasukan pengawal pilihan, dengan tubuh tegap-tegap dan wajah tampan-tampan, mengagumkan semua orang, juga mendatangkan kesenangan.

Sementara itu, di sebuah rumah makan kecil di sudut kota, malam itu terdapat tiga orang laki-laki yang makan minum sambil bercakap-cakap dengan suara berbisik-bisik. Biarpun tiga orang itu berpakaian biasa saja, akan tetapi sikap dan keadaan mereka tentu menimbulkan kecurigaan mereka yang berpemandangan tajam. Seorang di antara mereka adalah seorang kakek yang usianya tentu sudah ada enam puluhan tahun, pakaiannya seperti penduduk biasa saja, akan tetapi matanya tinggal yang sebelah kanan saja karena yang sebelah kiri telah buta. Tubuhnya tinggi besar dan sikapnya perkasa, kuncir rambutnya yang masih panjang hitam itu besar melingkari lehernya. Biarpun orang ini kelihatan mengenakan pakaian biasa saja, namun sesungguhnya dia bukanlah orang biasa, melainkan seorang tokoh kang-ouw yang cukup terkenal, terutama sekali di daerah Propinsi Ho-pai karena dia dahulu adalah seorang jagoan yang dipercaya oleh Gubernur Ho-pei. Dia berusia enam puluh satu tahun bernama Liong Bouw dan julukannya adalah Tok-gan Sin-ciang (Tangan Sakti Mata Tunggal). Sekarang Liong Bouw telah pensiun dan hidup sebagai petani, akan tetapi dia masih selalu aktip dalam dunia kang-ouw sebagai seorang yang disegani dan di samping kegagahannya sebagai pendekar, juga ia masih amat setia kepada kerajaan.

Orang ke dua dan ke tiga adalah tokoh-tokoh Siauw-lim-pai, dua orang kakak beradik berusia kurang lebih lima puluh tahun yang memiliki ilmu silat Siauw-lim-pai yang tinggi. Dua orang tokoh Siauw-lim-pai untuk menyelidiki keadaan Kaisar Yung Ceng karena terdengar desas-desus bahwa setelah menjadi kaisar, maka Yung Ceng yang pernah menjadi murid Siauw-lim-pai itu banyak melakukan penyelewengan-penyelewengan. Dan biarpun Yung Ceng kini telah menjadi kaisar, Siauw-lim-pai berhak untuk menyelidiki kelakuannya dan kalau murid Siauw-lim-pai itu melanggar larangan-larangan, Siauw-lim-pai berhak untuk mengeluarkan dari perguruan sebagai seorang murid yang melakukan pelanggaran. Oleh karena itu, para pimpinan Siauw-lim-pai mengutus Ciong Tek dan Ciong Lun, dua orang kakak beradik itu, untuk melakukan penyelidikan di kota raja, mereka memperoleh kenyataan bahwa memang benar murid Siauw-lim-pai yang telah menjadi kaisar itu melakukan banyak pelanggaran, di antaranya yang paling parah adalah menguasai isteri orang dengan jalan kekerasan! Memang ada beberapa kali Yung Ceng merampas isteri orang, yaitu pejabatnya sendiri, yang kecantikannya membuatnya tergila-gila. Maka mereka lalu melaporkan kepada para pimpinan Siauw-lim-pai dan dengan suatu upacara antara pimpinan, Yung Ceng dinyatakan sebagai murid murtad dan tidak diakui sebagai murid Siauw-lim-pai lagi. Selain kenyataan ini, juga dua orang saudara Ciong melaporkan tentang kebaikan-kebaikan Pangeran Mahkota Kian Liong. Oleh karena itu, mereka diberi tugas untuk bersama dengan para pendekar lainnya yang diam-diam melakukan perlindungan kepada Pangeran Mahkota yang banyak melakukan perjalanan secara menyamar itu.

Memang Pangeran Kian Liong banyak melakukan perjalanan menyamar sebagai rakyat biasa dan dengan cara ini dia dapat bergaul dengan rakyat kecil, mendengarkan percakapan mereka, pendapat mereka tentang pemerintah dan dia pun mendengar celaan-celaan yang ditujukan kepada kaisar. Dan karena tanpa setahunya banyak pendekar sakti yang diam-diam melindunginya, maka setiap kali terjadi malapetaka yang hendak menimpanya, selalu dapat dihalau sehingga orang-orang mulai menanam kepercayaan yang bersifat tahyul, yaitu bahwa pangeran mahkota itu telah dijaga oleh malaikat, dan ini menjadi tanda bahwa dia benar-benar seorang calon kaisar yang hebat!

Tiga orang yang kini bercakap-cakap di rumah makan itu adalah tiga orang perkasa yang diam-diam melakukan perlindungan kepada Pangeran Kian Liong. Mereka berbisik-bisik dan bicara dengan serius, dengan nada suara penuh khawatir.

“Benarkah penyelidikan kalian itu?” Si Mata Satu bertanya sambil menoleh ke kanan kiri, memperhatikan dengan sapuan pandang matanya yang tinggal satu ke seluruh sudut, takut kalau-kalau percakapan mereka didengar orang lain.

“Benar, Liong-lo-enghiong, kami sudah menyelidiki dengan seksama. Semua itu digerakkan oleh Sam-thaihouw....“

“Ssttt.... hati-hati kalau bicara....”

Liong Bouw bangkit dan kembali memeriksa ke seluruh ruangan. Tidak. Tidak ada yang mencurigakan dan dia pun duduk kembali. “Apa kaubilang? Sam-thaihouw....“

Nama Sam-thaihouw memang amat menakutkan banyak orang, seolah-olah nama itu dapat mendatangkan bencana, biarpun hanya disebut saja. Memang pengaruh dan kekuasaan Sam-taihouw ini besar sekali, dan dia amat bengis sehingga banyak sudah orang-orang yang dianggapnya bersalah terhadapnya harus menerima hukuman yang mengerikan. Bahkan kaisar sendiri pun agaknya tidak mampu mencegah segala perbuatan Sam-thaihouw yang mempunyai banyak jagoan yang tangguh. Seorang menteri, yaitu Menteri Kim sebagai Menteri Kebudayaan, beberapa bulan yang lalu pernah berani mengecam nenek yang menjadi Ibu Suri Ke Tiga ini di depan kaisar. Dan apa yang terjadi kemudian? Beberapa malam sesudah itu, Sang Menteri tewas di dalam kamarnya, bersama isterinya dan tiga orang puteranya dan tidak ada seorang pun tahu siapa pembunuhnya! Akan tetapi kaisar tidak memerintahkan penyelidikan tentang pembunuhan ini dan dengan lantang Sam-thaihouw berkata kepada siapa saja yang kebetulan dijumpainya bahwa itulah hukuman menteri yang lancang mulut itu! Masih banyak orang-orang yang harus tewas dalam keadaan mengerikan karena berani menentang Sam-thaihouw sehingga namanya merupakan sesuatu yang menyeramkan dan menakutkan.

Itulah sebabnya ketika Ciong Tek menyebut nama Sam-thaihouw, Liong Bouw menjadi terkejut dan khawatir sekali, maklum betapa bahayanya kalau nama ini disebut-sebut. Lalu dia berbisik, bertanya dengan hati tertarik, “Apakah yang sesungguhnya terjadi?”

“Agaknya Sam-thaihouw telah mampu mempengaruhi Kaisar sehingga percaya kepada Nenek itu bahwa Pangeran Kian Liong dianggap sebagai pengundang datangnya bahaya bagi pribadi Kaisar sendiri. Karena itu, persekutuan antara mereka itu memutuskan untuk mengenyahkan Pangeran itu atau setidaknya membatalkan dia sebagai calon pengganti Kaisar.”

“Ah, mana mungkin! Pangeran itu adalah putera kaisar sendiri!” bantah Si Mata Satu.

“Itulah anehnya! Bekas murid Siauw-lim-pai yang murtad itu ternyata telah berobah menjadi seorang pria yang lemah, yang tunduk di bawah kekuasaan mulut manis seorang wanita cantik yang telah membuatnya tergila-gila. Selirnya yang ke tiga, yang juga mempunyai seorang putera itulah yang menjadi senjata ampuh Sam-thaihouw untuk menjatuhkan hati Kaisar. Dan agaknya kaisar telah setuju untuk menggantikan pangeran mahkota dengan pangeran yang usianya baru lima tahun itu, putera dari selir ke tiga itu. Dan semua ini adalah hasil bujukan Sam-thaihouw yang telah mengerahkan banyak tokoh kaum sesat untuk membantunya. Kabarnya malah Im-kan Ngo-ok telah dapat diperalatnya.”

“Aih, berbahaya sekali kalau begitu. Darimana kalian dapat memperoleh semua rahasia kerajaan ini?”

“Seorang murid keponakan kami, murid Siauw-lim-pai, kebetulan menjabat pangkat komandan muda dalam pasukan pengawal dalam istana. Dialah yang melakukan semua penyelidikan itu untuk kami, karena sebagai murid Siauw-lim-pai dan menganggap hal itu sebagai tugas sucinya untuk menyelidiki kelakuan murid Siauw-lim-pai yang telah menjadi kaisar itu.”

Hening sejenak dan tiga orang itu tenggelam dalam lamunan masing-masing. Mereka tahu akan adanya bahaya besar berhadapan dengan kekuasaan di tangan nenek iblis yang berkuasa di istana itu. Akhirnya Tok-gan Sin-ciang Liong Bouw bertanya, “Menurut kalian, apa yang akan terjadi dan bahaya apakah yang mengancam diri Pangeran?” Lalu disambungnya dengan nada suara gentar, “Apakah kalian kira Im-kan Ngo-ok sendiri akan turun tangan?”

Dua orang kakak beradik itu saling pandang lalu menggeleng kepala. “Kami rasa hal itu tidak akan mungkin terjadi.” kata Ciong Lun. “Ini bukan urusan kecil, dan mereka itu sudah dikenal di dunia kang-ouw. Kalau mereka berani turun tangan sendiri mengganggu Pangeran, tentu seluruh orang gagah di dunia kang-ouw akan mencarinya dan mereka tentu tidak berani menghadapi resiko sehebat itu. Tidak, mereka tentu hanya akan mengirim orang yang tidak terkenal, sungguhpuh sudah dapat dipastikan suruhan mereka itu tentu amat lihai. Oleh karena itu, kita harus siap siaga dan berhati-hati.”

“Menurut penyelidikan kalian, apa yang akan mereka lakukan terhadap Pangeran?”

“Entah, hal itu kami belum dapat mengetahuinya. Akan tetapi yang kami tahu adalah bahwa sebelum Pangeran berangkat, Sam-thaihouw mengadakan pertemuan dengan Im-kan Ngo-ok yang diwakili oleh Toa-ok sendiri dan murid keponakan kami hanya dapat menangkap bahwa mereka itu membicarakan tentang kepergian Pangeran ke Kim-coa-to ini. Maka agaknya di Kim-coa-to itulah akan terjadinya hal-hal yang penting. Kabarnya pemilihan suami oleh Syanti Dewi itu dilakukan dengan sayembara ilmu silat pula. Nah, agaknya itulah kesempatan untuk mencelakai Pangeran.”

“Betapapun juga, kita tidak boleh lengah. Baiknya Sang Pangeran juga dikawal oleh sepasukan pengawal yang baik. Pasukan Pengawal Garuda itu boleh diandalkan dan setia. Kita harus menyamar sebagai tamu-tamu di Kim-coa-to dan selalu membayangi Pangeran.” kata Liong Bouw dan setelah selesai berunding dan makan, mereka membayar makanan, kemudian meninggalkan rumah makan itu dengan berpencar. Memang mereka bekerja melindungi Pangeran Kian Liong secara berpencar agar mereka lebih leluasa bergerak dan tidak mudah diketahui lawan.

Apakah yang sesungguhnya terjadi di dalam istana kaisar? Rakyat banyak tidak mengetahui karena segala sesuatu yang terjadi dalam keluarga kaisar amat dirahasiakan dan dari luar nampaknya bahwa kehidupan keluarga kaisar itu tenang-tenang saja, bergelimang kemuliaan, kekayaan dan kemewahan, selalu riang gembira dan tenggelam dalam hiburan-hiburan. Akan tetapi, sesungguhnya kehidupan seorang kaisar, tiada bedanya dengan kehidupan seorang petani biasa, bahkan kalau dipandang bukan dengan ukuran kesenangan duniawi, kehidupan keluarga petani jauh lebih tenteram dibandingkan dengan kehidupan keluarga kaisar! Kehidupan keluarga kaisar penuh dengan konflik yang selalu disembunyikan di balik senyum dan tata cara sopan santun yang berkelebihan. Orang yang berlutut di depan kaisar dengan dahi dibentur-benturkan lantai dengan penuh khidmat dan hormat, yang mulutnya mengucapkan “ban-ban swe” (hidup selaksa tahun)! sebagai pengucapan hormat dan pujian bagi kaisar, yang dari ujung rambut sampai ujung sepatu membayangkan kesetiaan, penghormatan dan kebaktian, mungkin saja di balik semua itu menaruh dendam yang amat mendalam! Dan antara keluarga kaisar, di antara selir-selir dan putera-putera, yang kesemuanya hidup menurut adat-istiadat dan tata cara istana, hampir semua menggunakan sikap sebagai pakaian saja. Di sebelah dalam terdapat hati yang bermacam-macam, penuh ambisi, penuh pamrih, penuh iri, penuh dendam dan persaingan. Konflik terjadi setiap saat, akan tetapi hanya terjadi di dalam batin saja.

Sam-thaihouw adalah Ibu Suri Ke Tiga yang sudah nenek-nenek namun masih mempunyai ambisi besar sekali. Kegagalan dua orang Pangeran Liong dalam pemberontakan mereka (bacaKISAH SEPASANG RAJAWALI ),bahkan yang disusul oleh kematian mereka, diam-diam menikam perasaan Sam-thaihouw yang diwaktu mudanya amat sayang kepada dua pangeran yang menjadi adik iparnya itu, adik ipar tiri. Akan tetapi tentu saja sakit hati ini dipendamnya dalam hati. Oleh karena itu, dia menaruh dendam mendalam kepada Milana dan keluarga Pulau Es yang dianggap menjadi biang keladi kegagalan gerakan dua orang pangeran itu. Juga, dia ingin menanamkan kekuasaannya di dalam istana, maka dia pun berhasil mendekati Kaisar Yung Ceng. Kaisar ini diwaktu mudanya merupakan seorang pangeran yang gagah perkasa, bahkan pernah menjadi murid dalam Siauw-lim-si, mempelajari ilmu-ilmu silat Siauw-lim-pai yang tangguh. Akan tetapi setelah dia menjadi kaisar, setelah seluruh kekuasaan negara berada di tangannya, dia menjadi mabok akan kekuasaan, mabok pula akan penjilatan dan sanjungan. Mulailah lenyap sifat-sifat gagahnya dan mulailah dia menghambakan diri kepada kesenangan-kesenangan yang menumpuk nafsu-nafsu menjadi majikan dari batinnya.

Sanyak sudah para pemimpin atau pembesar yang menasihatinya dengan halus dan kadang-kadang nasihat itu ada manfaatnya pula, mengingatkannya. Namun, di samping mereka yang menasihatinya, lebih banyak pula yang menjilat-jilatnya dan mendorongnya untuk berenang dalam kesenangan, karena hanya dengan demikian itu sajalah para penjilat dapat melihat kaisar menjadi lemah dan mereka itu dapat merajalela! Di antara para penasihatnya, majulah Pangeran Yung Hwa (baca ceritaKISAH SEPASANG RAJAWALI danJODOH RAJAWALI), seorang pangeran yang tadinya amat dekat dengan Kaisar Yung Ceng sewaktu masih pangeran. Namun, pengaruh nasihat Pangeran Yung Hwa ini kalah oleh pengaruh bujukan-bujukan yang mulai dilancarkan oleh Sam-thaihouw yang mendekati kaisar sebagai putera tirinya itu, dan Ibu Suri Ke Tiga ini bahkan memasukkan racun bisikan bahwa Pangeran Yung Hwa agaknya iri hati dengan kedudukan kakaknya. Dan akibatnya, Pangeran Yung Hwa lalu diangkat menjadi gubernur di barat, di daerah Se-cuan yang jauh! Namanya saja diangkat dan diberi kedudukan, akan tetapi sebetulnya itu merupakan suatu pembuangan agar pangeran itu jauh dari istana!

Demikianlah keadaan di istana. Kegilaan para penjilat dan pembujuk yang dikepalai oleh Sam-thaihouw itu semakin berani saja, semakin gila sehingga mereka tidak segan-segan untuk mulai mengutik-utik kedudukan Pangeran Mahkota Kian Liong! Untuk melakukan ini, Sam-taihouw mempunyai pembantu yang amat baik, yaitu selir ke tiga dari Kaisar Yung Ceng, selir yang cantik jelita dan yang dirampasnya dari tangan seorang pembesar istana pula! Selir ini mempunyai seorang putera yang usianya sudah lima tahun, maka tentu saja dia pun berambisi untuk melihat puteranya itu menjadi putera mahkota yang kelak akan menggantikan kedudukan kaisar! Dan melihat kesempatan ini, Sam-thaihouw yang merasa tidak senang kepada Pangeran Kian Liong yang tidak dapat didekatinya, bahkan yang berani menentangnya secara terang-terangan, mulailah nenek ini untuk menghasut dan menjauhkan hubungan antara ayah kandung dan putera mahkota ini, antara Kaisar dan Putera Mahkota Kian Liong!

Demikianlah keadaan di dalam istana, di mana terjadi persaingan dan pertentangan hebat tanpa diketahui oleh rakyat jelata. Bahkan hanya beberapa orang tertentu saja di istana yang mengetahui akan hal ini, dan yang mengetahui tidak berani membuka mulut untuk bercerita kepada siapa pun, bahkan kepada anak isteri pun tidak berani, karena kalau sampai ketahuan oleh pihak yang bersangkutan, tentu mereka tidak akan mampu menyelamatkan nyawanya, bahkan mungkin nyawa keluarganya pula.

Pangeran Kian Liong sendiri bukan tidak tahu akan segala konflik yang terjadi di dalam keluarga ayahnya. Itulah sebabnya dia merasa tidak betah dan muak berada di istana yang dianggapnya sebagai sumber segala kepalsuan, penjilatan, kepura-puraan dan iri hati, di mana setiap saat terjadi persaingan untuk mencari muka kepada kaisar dan terdapat perebutan kekuasaan yang amat memuakkan hatinya. Dia lebih senang merantau, dengan menyamar sebagai orang biasa, bergaul dengan rakyat jelata, tanpa pengawal, tanpa ada yang tahu bahwa dia adalah pangeran mahkota! Dengan cara demikian pangeran ini pernah bekerja membantu nelayan, petani dan sebagainya! Dan tentu saja seringkali dia terancam bahaya, akan tetapi selalu saja ada bintang penolong yang menolongnya dengan sembunyi.

Ketika pangeran ini mendengar tentang Syanti Dewi, hatinya tertarik dan dia pun datang berkunjung ke Kim-coa-to, bukan menyamar, sebagai pangeran akan tetapi secara sederhana. Dan dalam pertemuan itu, kedua pihak merasa kagum. Pangeran Kian Liong kagum sekali melihat seorang wanita yang demikian cantik jelita, berdarah bangsawan bahkan puteri Raja Bhutan, dengan kecantikan seperti bidadari, juga memiliki pengertian yang amat mengagumkan tentang sastra, pandai menari, bernyanyi dan bersajak, bahkan pandai ilmu silat pula! Dan pandangan-pandangannya tentang hidup sedemikian matangnya sehingga pangeran ini tertarik untuk bersahabat. Pangeran Kian Liong bukanlah seorang pemuda mata keranjang, dia lebih mengagumi kecantikan batiniah daripada kecantikan lahiriah, dan kalau dia tertarik oleh Syanti Dewi, adalah karena pribadi wanita itulah, bukan kecantikannya semata-mata. Dan tertariknya pun bukan tertarik dengan gairah nafsu birahi, melainkan tertarik untuk bersahabat, bercakap-cakap, bercengkerama dan bergurau, kadang-kadang melihat dara itu menari atau mendengarkan bernyanyi, dan membuat sajak bersama-sama atau bicara tentang orang-orang kang-ouw dan ilmu silat. Biarpun dia sendiri hanya mempelajari ilmu silat dasar saja untuk olahraga menjaga kesehatan, namun Pangeran Kian Liong senang sekali mendengar pembicaraan tentang ilmu silat dan dia mengagumi kehidupan para pendekar. Dalam diri Syanti Dewi dia mendapatkan seorang sahabat yang amat menyenangkan dan cocok.

Di lain pihak, Syanti Dewi sendiri amat suka kepada pangeran yang biarpun usianya lebih muda namun telah memilliki pandangan tentang filsafat dan hidup, dengan amat luasnya. Juga pangeran ini berbeda dengan semua pria yang mendekatinya. Semua pria, tua atau muda, yang mendekatinya, selalu memandang kepadanya dengan mata terpesona dan penuh kagum akan kecantikannya, dan di balik pandang mata itu terdapat nafsu berahi yang bernyala-nyala, akan tetapi kekaguman yang terpancar keluar dari pandang mata pangeran ini bersih, kekaguman yang wajar seperti orang mengagumi setangkai bunga mawar atau mengagumi langit di waktu matahari terbenam. Oleh karena itu, biarpun usia mereka berselisih sepuluh tahun, keduanya dapat bersahabat dengan baiknya dan saling merasa akrab, sama sekali tidak canggung.

Ketika menerima undangan pesta ulang tahun Syanti Dewi, Pangeran Kian Liong gembira sekali dan dia sudah mengambil keputusan untuk berangkat dan seperti biasa dia bermaksud untuk melakukan perjalanan sendirian saja dengan menyamar. Akan tetapi ketika pengawalnya yang setia, yaitu komandan Pengawal Pasukan Garuda, mendengar akan niat pangeran yang amat dibelanya itu, dia cepat datang menghadap. Komandan yang sudah lima puluh tahun lebih ini bernama Souw Kee An, seorang komandan tua pasukan pengawal yang terkenal itu, dan dahulu dia pernah menjadi pengawal yang setia dari Pangeran Yung Hwa sebelum pangeran itu dinaikkan pangkat atau dilempar sebagai gubernur di barat. Karena tahu akan kesetiaan Souw Kee An, maka Pangeran Yung Hwa lalu menugaskan untuk menjadi pengawal dari pangeran mahkota, yaitu Pangeran Kian Liong.

“Harap sekali ini Paduka sudi mendengarkan nasihat saya dan tidak melakukan perjalanan tanpa dikawal. Saya mendengar banyak desas-desus yang tidak baik dan juga berbahaya bagi keselamatan Paduka, Pangeran.” demikian komandan tua itu membujuk.

“Ah, Souw-ciangkun, sudah beberapa tahun ini aku seringkali pergi merantau sendirian dan menyamar sebagai orang biasa ternyata tidak terjadi hal-hal yang tidak baik dan sampai sekarang aku masih hidup dan selamat.” kata Pangeran itu sambil tersenyum.

Souw Kee An menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya. “Akan tetapi berapa kali Paduka terancam bahaya maut dan kalau tidak ada malaikat pelindung berupa orang-orang sakti yang kebetulan melihat Paduka terancam lalu melindungi, apakah tidak berbahaya sekali? Dan pula, sekarang Paduka menerima undangan acara resmi, apa salahnya kalau Paduka juga datang secara resmi sebagai seorang Pangeran pula?”

Setelah dibujuk-buruk dan Souw Kee An menceritakan betapa akan banyaknya hadir tokoh-tokoh kang-ouw, baik dari golongan bersih maupun dari kaum sesat di Kim-coa-to, dan bahwa menurut desas-desus yang didengarnya ulang tahun itu dipergunakan pula untuk memilih suami dan akan dipertandingkan ilmu silat sehingga tentu akan terjadi keributan, akhirnya Pangeran Kian Liong setuju juga untuk pergi dengan dikawal oleh Souw Kee An sendiri bersama dua puluh orang Pasukan Garuda. Souw Kee An lalu memilih anggauta-anggauta yang memiliki kepandaian cukup, dan berangkatlah pangeran setelah mendapat persetujuan kaisar, pergi ke Kim-coa-to.

Demikianlah, karena hari telah mulai gelap, rombongan Pangeran Kian Liong terpaksa berhenti di Tung-king.

Souw-ciangkun mengatur penjagaan yang ketat karena dia maklum bahwa semakin dekat mereka tiba di tempat tujuan, semakin gawatlah keadaan dan dia percaya bahwa pada waktu itu tentu banyak terdapat orang-orang kang-ouw di kota Tung-king itu. Dan dugaannya itu memang tidak meleset kalau kita ingat betapa tak jauh dari tempat bermalam Pangeran, di rumah makan kecil di sudut kota itu telah terjadi pertemuan-pertemuan antara tiga orang gagah yang diam-diam melakukan perlindungan pula terhadap keselamatan Pangeran Kian Liong. Souw Kee An sendiri pun maklum akan gerakan diam-diam yang dilakukan oleh Sam-thaihouw, dan justru karena itulah dia membujuk Pangeran agar melakukan perjalanan dengan terkawal.

Dan pengawalan Pasukan Garuda yang ketat itu memang ternyata ada hasilnya.

Buktinya, sampai tiba di Tung-king, belum pernah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seolah-olah fihak yang mempunyai niat buruk terhadap Pangeran merasa jerih dengan adanya pengawalan pasukan yang terkenal kuat itu. Akan tetapi ternyata hal itu hanya sementara saja dan fihak lawan itu memang ada dan sedang menanti saat baik! Untuk melihat siapa adanya fihak lawan itu marilah kita mengikuti mereka semenjak dari sebuah kamar rahasia di gedung peristirahatan Sam-thaihouw! Di dalam kamar rahasia itu, sebelum Sang Pangeran berangkat, Sam-thaihouw mengadakan pertemuan untuk ke sekian kalinya dengan Toa-ok, yaitu tokoh pertama dari Im-kan Ngo-ok yang telah menjadi kaki tangannya. Selain Toa-ok di situ hadir pula empat orang wanita cantik yang bukan lain adalah Su-bi Mo-li yang memang bekerja sebagai pengawal pribadi Sam-thaihouw dan seperti kita ketahui, Su-bi Mo-li adalah murid-murid terkasih dari Im-kan Ngo-ok dan empat orang wanita ini pernah menculik Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong akan tetapi usaha mereka itu gagal karena percampuran tangan Ci Sian.

“Maaf, Thaihouw, akan tetapi mengapa tidak mengambil jalan yang mudah saja dan membunuh Pangeran itu?” Dengan sikapnya yang halus, sopan dan ramah Toa-ok berkata kepada nenek yang berpakaian indah itu. Itulah Sam-thaihouw, seorang nenek yang usianya sudah hampir tujuh puluh tahun akan tetapi pakaiannya masih mewah sekali dan mukanya juga dibedaki tebal, alisnya sudah habis akan tetapi sebagai gantinya dibuatlah coretan alis hitam kecil dan panjang melengkung! Im-kan Ngo-ok adalah orang-orang yang terkenal sebagai datuk kaum sesat dan tentu saja Sam-thaihouw tidak sudi berhubungan langsung dengan orang-orang seperti Ji-ok, Su-ok atau Ngo-ok, maka yang dapat mewakili mereka hanyalah Toa-ok yang sopan dan halus sungguhpun mukanya mengerikan seperti gorila. Sebetulnya Sam-ok seoranglah yang pandai bersikap menghadapi orang besar, akan tetapi karena Sam-ok adalah seorang bekas Koksu Nepal, yaitu seorang musuh, maka tidak leluasalah bagi Sam-ok untuk bergerak di tempat terbuka, apalagi di kota raja. Oleh karena itu, setiap kali Sam-thaihouw hendak mengadakan perundingan dengan para pembantunya yang istimewa ini, yang telah banyak sekali menerima emas dan permata darinya, selalu Toa-ok yang mewakili, di samping empat orang Su-bi Mo-li yang memang sudah biasa berada di dalam gedung Ibu Suri ini.

“Aih, Lo-enghiong!” Ibu Suri itu selalu menyebut Lo-enghiong (Orang Tua Gagah) kepada Toa-ok, seolah-olah kakek itu adalah seorang pendekar yang sedang membantu “perjuangannya”. “Enak saja kau bicara! Apakah engkau tidak tahu siapa Pangeran Kian Liong? Kalau engkau melakukan hal itu, tentu engkau akan dimusuhi oleh para pendekar sedunia, kerajaan menjadi geger dan juga Kaisar tentu akan marah kepadaku. Tidak, bukan pembunuhan yang kumaksudkan!”

“Akan tetapi Paduka tadi mengusulkan agar kami menghancurkan Pangeran....“

“Menghancurkan namanya, kedudukannya, pengaruhnya, bukan orangnya! Sekali namanya rusak, setelah rakyat melihat bahwa dia adalah seorang pangeran yang melakukan hal-hal buruk, nah, namanya tentu akan dikutuk dan dicela orang, dan akan lebih mudah untuk memindahkan kedudukan pangeran mahkota kepada yang lain. Mengertikah engkau akan maksudku?”

Bukan orang pertama dari Im-kan Ngo-ok namanya kalau rencana keji sekecil itu saja tidak dimengerti. Dia mengangguk-angguk. “Harap Paduka tenangkan hati. Pekerjaan itu amat mudah dan sudah pasti kami dapat melakukannya dengan baik. Paduka tunggu saja, sebelum dia kembali dari Kim-coa-to, Pangeran Kian Liong telah berubah dari seorang pangeran yang disanjung dan dipuji menjadi pangeran yang dikutuk dan dicela, baik oleh rakyat maupun para pejabat.”

“Bagus, hadiahmu akan besar sekali, Toa-ok!” kata nenek itu, saking girangnya lupa menyebut Lo-enghiong, akan tetapi hal ini malah menggirangkan Toa-ok yang sesungguhnya tidak suka disebut enghiong-enghiongan segala.

“Harap Paduka tidak melupakan apa yang mendorong Im-kan Ngo-ok suka membantu Paduka dengan taruhan nyawa.” Dia memperingatkan dengan suara halus.

“Ah-he-he-he, tentu saja kami tidak lupa, Lo-enghiong. Kalau berhasil kelak, dan Kaisar berada dalam kekuasaan kami, sudah tentu kami akan mengajukan usul agar kalian berlima diangkat menjadi orang-orang yang berkedudukan tinggi di kota raja!”

Toa-ok merasa puas dengan janji ini, maka dia pun lalu mohon diri dan pergi meninggalkan kamar rahasia itu bersama dengan empat orang muridnya, yaitu Su-bi Mo-li yang akan membantunya melaksanakan rencana yang akan diatur oleh Im-kan Ngo-ok sendiri. Karena Sam-thaihouw melarang mereka menggunakan tangan maut membunuh pangeran, maka harus diambil tindakan yang cerdik untuk menghancurkan nama baik pangeran itu dan dengan kerja sama Im-kan Ngo-ok dengan empat orang murid mereka yang lihai dan cerdik, dibantu pula oleh anak buah mereka, Toa-ok merasa yakin bahwa rencana itu sudah pasti akan berhasil.

***

Pangeran Kian Liong sama sekali tidak pernah mengira bahwa perjalanannya menuju ke Kim-coa-to itu sebetulnya selalu dibayang-bayangi banyak orang, baik pihak para pendekar yang diam-diam melindungi maupun pihak lawan yang mencari kesempatan untuk menyeretnya ke dalam lumpur.

Oleh karena itu, dengan wajah berseri gembira pada hari berikutnya, Pangeran Kian Liong meninggalkan rumah gedung pembesar Tung-king, diantar oleh pembesar itu sampai keluar pintu gerbang, menunggang kereta dan dikawal oleh Souw Kee An dan dua puluh orang pengawalnya. Karena Pangeran Kian Liong paling tidak suka disanjung-sanjung dan disambut oleh rakyat di sepanjang perjalanan sebagai seorang pangeran yang harus dihormati, maka dia pun lalu menutup pintu dan tirai kereta dan duduk sambil bersandar di bangku kereta. Berbeda kalau dia melakukan perjalanan dengan menyamar sebagai orang biasa, dia dapat menikmati pemandangan alam dan pergaulan dengan rakyat tanpa ada yang menyanjung-nyanjung dan menjilat-jilat palsu. Begitu dia mengenakan pakaian pangeran, maka pangeran muda ini segera merasakan betepa kehidupan menjadi berbeda sama sekali. Segala di sekelilingnya menjadi tidak wajar dan penuh kepalsuan, membuatnya merasa muak. Berbeda kalau dia berpakaian biasa dan tiada seorang pun tahu bahwa dia pangeran mahkota, maka semua orang bersikap wajar kepadanya, kalau tersenyum ya senyum setulusnya, kalau tidak senang ya tidak disembunyi-sembunyikan. Begitu dia menjadi pangeran, semua wajah baginya seolah-olah menjadi semacam kedok atau boneka. Setelah kereta itu meninggalkan jalan raya yang dilalui banyak orang dan melalui lembah yang sunyi, barulah pangeran itu membuka jendela dan tirai kereta dan menikmati keindahan alam di sekelilingnya. Bahkan dia menyuruh kusir memperlambat jalannya kereta agar dia dapat menikmati pemandangan lebih baik lagi.

Akhirnya rombongan itu tiba di dalam hutan dekat pantai, di lembah muara sungai Huai. Sebuah hutan yang sunyi dan tenang. “Aih, sejuk sekali di sini!” kata pangeran itu lalu membuka semua jendela kereta agar dia dapat lebih banyak menikmati hawa yang sejuk dengan bau daun-daun segar dan rumput hijau setelah tadi mereka melalui dataran terbuka yang panas. Matahari telah naik tinggi dan matahari berada di atas kepala, akan tetapi karena daun-daun pohon di hutan itu rimbun sekali, seolah-olah menjadi payung-payung hijau raksasa yang melindungi pangeran dari sengatan terik matahari siang itu.

Tiba-tiba terdengar seekor kuda yang berada di depan kiri meringkik, meronta lalu kuda itu roboh. Semua pengawal sibuk dan terkejut melihat kuda itu roboh karena dadanya tertancap anak panah secara dalam sekali, mungkin menembus jantungnya.

“Kepung kereta!”

“Lindungi Pangeran!” teriak Souw Kee An dan dia cepat mengatur pasukannya untuk mengepung dan menjaga kereta.

Pangeran itu duduk tenang-tenang saja tanpa menutupkan jendela-jendela keretanya, menoleh ke kanan kiri untuk melihat siapa orangnya yang telah memanah mati seekor di antara empat ekor kuda yang menarik keretanya.

Gerakan mereka itu seperti bayang-bayang setan saja, tidak banyak menimbulkan suara, tanda bahwa mereka itu rata-rata memiliki gin-kang yang cukup tinggi. Mereka itu terdiri dari dua puluhan orang, semua memakai pakaian serba hitam dan kedua mata serta sebagian atas hidung mereka tertutup kedok hitam pula, menyembunyikan bentuk wajah aseli mereka. Akan tetapi Souw-ciangkun dapat menduga bahwa beberapa orang di antara mereka adalah wanita-wanita. Dan seorang di antara mereka, dengan suara wanita melengking tinggi, membentak, “Tinggalkan kereta dan barang-barang kalau kalian ingin selamat!”

Ini adalah bentakan biasa yang umumnya dipergunakan oleh para perampok-perampok. Orang-orang berkedok ini ternyata adalah perampok-perampok, atau mungkin juga orang-orang yang menyamar pikir Souw Kee An yang cerdik dan sudah berpengalaman. Maka dia bersikap hati-hati sekali.

“Sobat, bukalah matamu baik-baik!” teriaknya nyaring. “Kami adalah Pasukan Pengawal Garuda yang sedang mengiringkan Yang Mulia Pangeran Mahkota! Harap kalian menyingkir dan jangan mengganggu kami yang sedang bertugas!” Teriakan ini diucapkan Souw-ciangkun bukan karena dia takut menghadapi mereka, hanya dia tidak ingin terlibat dalam pertempuran selagi pengawal dan menjaga keselamatan pangeran.

Akan tetapi wanita berkedok itu berseru nyaring, Pangeran atau Raja atau siapa saja harus membayar pajak jalan kalau lewat di sini! Kawan-kawan, hayo tangkap pangeran itu untuk minta uang tebusan!”

Melihat lagak para perampok yang dipimpin oleh wanita itu dan mendengar betapa mereka hendak menangkap seorang pangeran mahkota untuk minta uang tebusan, tiba-tiba pangeran itu tidak dapat menahan ketawanya. Keadaan itu dianggapnya amat lucunya.

“Ha-ha-ha-ha! Kalian bukan saja menyaingi pemerintah memungut pajak jalan, bahkan akan menawan pangeran untuk dijadikan sandera guna memeras uang tebusan. Ha-ha-ha, bukan main!”

Semua perampok berkedok itu sejenak tertegun menyaksikan sikap pangeran itu. Seorang pangeran muda yang berwajah tampan dan memiliki sepasang mata yang amat tajam penuh wibawa, dengan suara ketawa wajar dan ramah, bukan dibuat-buat, dengan sikap yang benar-benar mencengangkan karena mereka menduga bahwa tentu pangeran itu ketakutan! Ternyata pangeran itu sama sekali tidak takut bahkan tertawa geli.

“Serbu....!” Wanita berkedok itu berteriak nyaring memecahkan keheranan para anggauta perampok dan mereka pun menerjang ke depan, disambut oleh pasukan pengawal yang sudah turun dari masing-masing kudanya dan menjaga di sekeliling kereta itu. Para pengawal ini merupakan pasukan pilihan, masing-masing memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, maka dengan gagah mereka menyambut serbuan para perampok itu, dengan keyakinan bahwa dalam waktu singkat saja mereka akan mampu membasmi para perampok itu. Akan tetapi alangkah kaget hati mereka ketika mereka mendapat kenyataan bahwa para perampok itu ternyata bukanlah perampok-perampok biasa karena rata-rata mereka memiliki ilmu silat yang tangguh dan mampu menandingi mereka!

Souw Kee An juga terkejut bukan main ketika dia menandingi wanita berkedok yang memimpin gerombolan itu. Wanita itu mempergunakan pedangnya secara hebat sekali, sama sekali tidak pantas menjadi perampok kasar biasa! Memang Souw Kee An sudah curiga dan menduga bahwa perampok-perampok yang tidak gentar mendengar nama Pasukan Pengawal Garuda dan berani merampok bahkan hendak menculik pangeran mahkota tentulah bukan perampok biasa, melainkan orang-orang yang menyamar sebagai perampok biasa! Maka dia pun memutar pedangnya dan melawan wanita berkedok itu. Akan tetapi hatinya mulai gelisah melihat betapa di antara para perampok itu terdapat wanita-wanita yang amat lihai dan anak buahnya mulai terdesak hebat, bahkan ada pula yang sudah terluka. Dia tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri, melainkan mengkhawatirkan keselamatan pangeran mahkota, maka dia pun cepat meninggalkan lawan untuk meloncat ke dekat kereta, guna melindungi pangeran sampai titik darah terakhir kalau perlu.

“Pangeran, harap sembunyi di dalam kereta, tutup pintu dan jendelanya!” teriak Souw Kee An sambil memutar pedang melindungi. Akan tetapi pangeran itu hanya tersenyum dan menonton mereka yang sedang berkelahi, seolah-olah semua pertempuran itu baginya hanya merupakan perang-perangan saja! Hal ini bukan sekali-kali menjadi tanda bahwa pangeran itu tolol atau ceroboh, sama sekali bukan, melainkan karena dia tahu bahwa bersembunyi di dalam kereta pun tiada gunanya. Kalau memang semestinya dia menghadapi bahaya, atau tewas sekalipun, biarlah dia menyaksikan terjadinya hal itu dengan mata terbuka! Dan pangeran ini pun tahu bahwa tidak ada orang yang akan membunuhnya. Tidak ada alasannya untuk hal itu. Mungkin mereka itu hanya ingin menawannya, dan mungkin perampok-perampok gila itu benar-benar hendak menggunakannya sebagai sandera untuk minta uang tebusan! Betapa lucu dan aneh, juga menarik menegangkan hatinya!

Akan tetapi kini dua di antara para wanita tangguh itu telah berada dekat kereta dan mendesak Souw Kee An dan dua orang anak buahnya yang menjaga kereta. Keadaan menjadl kritis dan berbahaya sekali! Tiba-tiba, setelah menangkis pedang Souw Kee An dan membuat komandan itu terhuyung, seorang di antara wanita-wanita itu sudah meloncat ke atas kereta dan tangan kirinya bergerak menyambar hendak menangkap Pangeran Kian Liong.

“Wuuut, plakkk....!” Tiba-tiba di atas kereta itu nampak seorang pria tinggi besar bermata satu yang melayang turun dari pohon dan menangkis tangan wanita itu. Wanita itu terkejut, akan tetapi pria tinggi besar itu sudah menyerangnya dengan sebatang golok tipis. Terpaksa wanita itu menangkis dan terjadilah pertandingan yang amat seru di atas kereta. Pangeran Kian Llong dengan mata terbelalak dan wajah berseri menjulurkan kepalanya dari jendela untuk dapat menyaksikan pertandingan baru di atas keretanya itu. Kereta itu bergerak-gerak. Sungguh luar biasa sekali. pangeran ini. Nyalinya amat besar dan dia sedikit pun tidak merasa takut, bahkan dalam keadaan yang demikian mengancam dia masih mampu untuk tersenyum gembira seperti seorang anak kecil melihat tontonan yang menarik!

Pertempuran di bawah kereta juga mengalami perobahan dengan munculnya dua orang laki-laki yang bukan lain adalah tokoh-tokoh Siauw-lim-pai, yaitu kakak beradik Ciong Tek dan Ciong Lun yang mengamuk, membantu pasukan pengawal tanpa mengeluarkan kata-kata apa pun. Mereka berdua menggunakan senjata toya (tongkat) dan memainkan ilmu toya dari Siauw-lim-pai yang memang terkenal tangguh itu. Keadaan pertempuran menjadi berubah dan para anak buah pasukan pengawal memperoleh semangat mereka kembali, mereka mengamuk dan kini mendesak para perampok. Sedangkan pertempuran antara Tok-gan Sin-ciang Liong Bouw dan wanita berkedok di atas kereta pun berlangsung dengan amat serunya. Ternyata wanita itu memang tangguh sekali sehingga dia dapat mengimbangi permainan golok dari kakek mata satu itu. Hanya dorongan-dorongan tangan kiri kakek itulah yang membuat wanita berkedok itu kewalahan, karena memang dari dorongan itu menyambar hawa pukulan yang amat kuat dan itulah sebabnya maka Si Mata Satu ini diberi julukan Tangan Sakti. Kini ada beberapa orang perampok yang roboh terluka dan semangat para pengawal menjadi semakin besar dengan adanya bantuan tiga orang gagah yang tidak mereka kenal itu.

Selagi keadaan amat tidak menguntungkan untuk para perampok ini, tiba-tiba muncul seorang anggauta perampok lain yang juga berpakaian hitam dan memakai topeng. Perampok ini bertubuh tinggi besar seperti raksasa. Begitu perampok ini muncul, sekali meloncat dia sudah tiba di tengah-tengah pertempuran itu dan begitu kaki tangannya bergerak, ada tiga orang pengawal yang tepelanting. Hebat bukan main kepandaian kakek raksasa ini! Semua pengawal mencoba untuk mengeroyoknya, akan tetapi siapa yang berani datang dekat tentu akan terlempar lagi, hanya oleh tamparan tangan atau tendangan kaki sembarangan saja! Melihat betapa hebatnya kakek ini, Ciong Tek dan Ciong Lun lalu meloncat dan menyerang kakek itu dari kanan kiri, menggunakan toya mereka yang dimainkan dengan dahsyatnya. Namun, melihat gerakan toya ini, kakek raksasa itu mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya, seolah-olah memandang rendah, lalu kedua tangannya berusaha menangkap toya. Ketika dua saudara itu menarik toya agar tidak terampas, kakek itu menampar ke kanan kiri, gerakannya biasa saja akan tetapi dari tamparannya ini datang angin keras yang hebat. Dua orang saudara Ciong terkejut dan menangkis dengan hantaman toya sekuatnya. Dua batang toya bertemu dengan dua buah lengan.

“Dukk! Dukk!” Akibatnya, kedua orang saudara Ciong itu terpelanting dan roboh bergulingan seperti daun kering tertiup angin!

Kini kakek itu melayang ke atas kereta dan dengan sebuah tendangan saja, Tok-goan Sin-ciang Liong Bouw yang sedang bertanding dengan serunya melawan perampok wanita, telah terlempar dari atas kereta karena ketika dia menangkis dengan lengan kiri, tendangan itu memiliki tenaga yang membuat dia terlempar! Wanita itu sudah mengejar dan meloncat sambil membacokkan pedangnya.

“Cringgg!” Untung bagi Liong Bouw bahwa ketika dia terjatuh tadi, dia berjungkir balik dan tidak terbanting jatuh telentang menggunakan pinggulnya menyentuh tanah terus bergulingan sehingga ketika wanita itu menyerangnya, dia mampu menggerakkan golok menangkis lalu melompat berdiri dan kembali dia menghadapi serangan wanita itu. Hatinya gelisah sekali karena di pihak musuh muncul orang tinggi besar itu tidak turun lagi dari atas kereta. Mengapa? Karena tiba-tiba terdengar suara ketawa dan dari belakang kereta itu nampak seorang jembel mendaki sambil tertawa-tawa memandang kepada Si Tinggi Besar yang menjadi terkejut karena suara ketawa itu mengandung tenaga khi-kang yang menggetarkan jantungnya! Tahulah dia bahwa jembel yang mukanya brewokan dan rambutnya awut-awutan ini memiliki kepandaian hebat dan tentu hendak membela pangeran maka dia pun tidak membuang banyak waktu lagi, cepat dia mengirim hantaman dengan tangan kanan disusul tangan kiri. Terdengar suara angin bercuitan saking hebatnya pukulan kedua tangan itu.

“Heh-heh-heh, hebat juga engkau!” kata Si Jembel itu, mulutnya memuji akan tetapi dia tertawa saja dan kedua tangannya lalu menangkis sambil mengerahkan tenaga. Agaknya Si Jembel ini memang hendak mengukur tenaga orang.

“Dess! Desss!”

Akibat dari adu tangan melalui kedua lengan mereka itu membuat keduanya terkejut karena Si Jembel itu terhuyung dan nyaris terlempar dari atas kereta, sedangkan Si Perampok tinggi besar itu pun terjengkang dan hampir jatuh! Kereta itu berguncang hebat dan Si Kusir Kereta sibuk menenangkan tiga ekor kuda yang sudah menjadi panik sejak tadi itu. Akhirnya, kusir itu meloncat turun, dan cepat melepaskan tali yang menghubungkan tiga ekor kuda itu dengan kereta, dan tiga ekor kuda itu meringkik-ringkik, menyepak-nyepak karena mereka dibebani seekor kuda yang sudah mati. Akan tetapi kereta itu sudah terlepas sekarang dan berdiri bergoyang-goyang karena di atas kereta itu, Si Jembel dan Si Tinggi besar sudah bertanding lagi dengan hebatnya!

Si Jembel itu tentu saja bukan lain adalah Si Jari Maut, sedangkan Si Perampok tinggi besar itu tentu saja amat lihai karena dia itu adalah Sam-ok alias Ban Hwa Sengjin, bekas koksu dari Nepal, orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok yang amat lihai! Seperti kita ketahui, setelah memperoleh keterangan tentang Syanti Dewi dari pelukis Pouw Toan, Wan Tek Hoat lalu melakukan perjalanan siang malam menuju ke Kim-coa-to dan pada hari itu kebetulan sekali dia tiba di tempat itu, melihat betapa pangeran mahkota terancam perampok-perampok. Tadi, selama para pengawal masih menang angin, apalagi ketika dibantu oleh tiga orang kang-ouw yang perkasa itu, dia pun hanya nonton saja dari jauh. Akan tetapi ketika muncul perampok tinggi besar yang memiliki kepandaian tinggi, dia pun tidak tinggal diam dan cepat dia melindungi pangeran dan naik ke atas kereta untuk menghadapi perampok tinggi besar yang dia tahu tidak dapat ditandingi oleh mereka yang melindungi pangeran.

Pertandingan antara Si Jari Maut melawan Sam-ok sungguh hebat sekali, dan harus diakui bahwa kakek itu memang masih lebih lihai dibandingkan dengan Si Jari Maut. Ban Hwa Sengjin adalah seorang datuk kaum sesat yang memiliki ilmu kepandaian amat hebatnya. Pendeta yang nama aselinya, yaitu nama Nepal adalah Pendeta Lakshapadma ini, selain memiliki banyak ragam ilmu silat yang pernah dipelajarinya, juga memiliki sin-kang yang sukar ditandingi saking kuatnya dan dia pun memiliki ilmu yang disebut Thian-te Hong-i (Hujan Angin Langit Bumi). Ilmu ini dimainkan dengan berpusing, yaitu tubuhnya berputaran seperti gasing amat cepatnya sehingga sukarlah bagi lawan untuk mengarahkan serangan mencari sasaran, sedangkan dari tubuh yang berpusing itu kadang-kadang mencuat keluar serangan yang tak terduga-duga dari orang tinggi besar seperti raksasa itu.

Karena Sam-ok memakai kedok dan bercampur dengan para perampok, juga karena tidak berani mengeluarkan ilmunya Thian-te Hong-i yang sudah dikenal dunia kang-ouw karena dia takut kalau ketahuan rahasianya sebagai pimpinan yang menyerang pangeran mahkota, maka Tek Hoat tidak mengenalnya. Sebaliknya, Sam-ok tadinya juga tidak mengenal jembel itu, akan tetapi setelah bertanding belasan jurus dan mengadu tenaga, mulailah dia mengenal Si Jari Maut. Dia merasa mendongkol sekali terhadap orang muda ini. Namanya disejajarkan dengan tokoh-tokoh kaum sesat, bahkan dijuluki Si Jari Maut yang terkenal kejam dan ganas, akan tetapi sudah beberapa kali sepak terjangnya malah membantu pemerintah, membantu para pendekar dan menentang kaum yang dinamakan golongan hltam. Kini, tanpa disangka-sangka, orang ini muncul kembali dan tanpa alasan apa pun juga menentangnya! Tak mungkin kalau Si Jari Maut ini sekarang menjadi pelindung pangeran, apalagi kalau dilihat betapa hidupnya sudah rusak, menjadi jembel yang sama sekali tidak mengurus diri dan jelas nampak sengsara dan terlantar itu!

Maka Sam-ok mendongkol bukan main dan menyerang dengan hebat. Akan tetapi semua serangannya dapat ditangkis dan ditolak oleh Tek Hoat dan selama Sam-ok tidak berani mengeluarkan Thian-te Hong-i, dia pun tidak mampu mendesak Si Jari Maut ini.

Kembali kedua tengan mereka bertemu, saling dorong dan keduanya menggunakan kekuatan pada kedua kaki mereka. “Krekekkk....!” Tiba-tiba atap kereta yang mereka injak itu retak-retak dan pecah, akan tetapi keduanya, dengan cepat sudah meloncat turun sehingga tidak sampai kejeblos, karena kalau hal ini terjadi, tentu amat berbahaya bagi mereka selagi menghadapi, lawan yang selihai itu. Hampir saja Pangeran Kian Liong celaka ketika atap kereta pecah itu. Akan tetapi untungnya komandan pengawal Souw Kee An sudah cepat menyambar tubuhnya turun dari kereta. Kiranya, ketika terjadi pertempuran antara Sam-ok melawan Si Jari Maut, pertempuran di bawah kereta banyak yang terhenti dan mereka yang tadi bertempur kini menonton pertandingan yang amat dahsyat itu.

Sam-ok bukan orang bodoh. Kalau dilanjutkan pertempuran itu dan menjadi pusat perhatian, akhirnya orang akan mengenalnya juga. Dan melawan Si Jari Maut itu tanpa mempergunakan Thian-te Hong-i, sungguh bukan hal ringan, sedangkan para pembantunya sudah kewalahan menghadapi pasukan pengawal yang dibantu oleh tiga orang pendekar itu. Maka dia pun lalu mengeluarkan bunyi teriakan nyaring sebagai tanda rahasia bagi anak buahnya dan mereka semuanya lalu melarikan diri sambil membawa teman-teman yang terluka atau tewas dalam pertempuran itu. Para pengawal melakukan pengejaran, akan tetapi Souw Kee An yang tidak berani meninggalkan pangeran segera mengeluarkan aba-aba memanggil mereka kembali. Setelah semua orang berkumpul, dan dicari-cari ternyata tiga orang pendekar yang tadi membantu mereka kiranya tidak nampak lagi. Mereka mengira bahwa tiga orang pendekar itu tentu melakukan pengejaran, akan tetapi sesungguhnya mereka sudah cepat menyingkirkan diri karena memang mereka tidak ingin memperkenalkan diri dan hanya melindungi pangeran secara sembunyi saja. Hanya jembel yang tadi bertanding dengan hebatnya melawan perampok tinggi besar yang lihai itu, masih berada di situ, diam saja dan sikapnya tak acuh. Souw Kee An mengumpulkan orang-orangnya dan ternyata ada dua orang yang terluka berat sedangkan selebihnya hanya terluka ringan saja.

Sementara itu, Pangeran Kian Liong sudah menghampiri Tek Hoat. Sejenak pangeran ini memandang penuh perhatian dan dia melihat bahwa jembel ini sebetulnya memiliki wajah yang gagah dan tampan, hanya muka itu tertutup cambang brewok yang tak terpelihara, juga rambutnya yang panjang awut-awutan itu menutupi sebagian mukanya. Tubuh jembel itu juga nampak tegap dan membayangkan tenaga hebat yang tersembunyi. Tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang pendekar yang hidup mengasingkan diri dan bersembunyi sebagai seorang jembel yang sengsara. Akan tetapi diam-diam pangeran ini merasa heran mengapa orang yang begini gagah perkasa membiarkan dirinya begitu menderita dan terlantar.

“Terima kasih atas pertolonganmu, Taihiap. Bolehkah kami mengenalmu dan mengetahui namamu yang terhormat?” Pangeran itu sudah menegur dengan sikap ramah dan halus.

Tek Hoat mengangkat mukanya memandang dan sejenak mereka saling pandang, keduanya terkejut karena kalau pangeran itu menatap sepasang mata yang mencorong penuh kekuatan, sebaliknya Tek Hoat melihat sepasang mata yang bersinar lembut namun mengandung wibawa yang membuat setiap orang akan tunduk hatinya. Maka dia pun cepat menjura dengan hormat.

“Paduka adalah seorang pangeran yang terhormat dan mengagumkan, sedangkan saya hanyalah seorang jembel hina yang tidak pantas dikenal oleh Paduka. Selamat tinggal dan maafkan saya!” Setelah berkata demikian, kembali dia mengangkat kedua tangan memberi hormat lalu berkelebatlah dia dan lenyap dari tempat itu!

Souw Kee An yang menyaksikan semua ini, cepat mendekati pangeran dan berkata lirih, “Pangeran, sungguh Thian telah selalu melindungi Paduka. Orang yang seperti pengemis tadi tentulah seorang di antara pendekar-pendekar sakti. Kepandaiannya hebat bukan main.”

Pangeran itu mengangguk-angguk, lalu menggumam, “Aku kasihan kepadanya....”

Souw Kee An merasa heran, akan tetapi dia tidak berani banyak bertanya karena pangeran itu seperti bicara pada diri sendiri, maka dia melanjutkan keterangannya, Dan perampok-perampok itu jelas bukan perampok biasa. Wanita-wanita bertopeng itu amat lihai, apalagi perampok yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa itu, dia memiliki ilmu yang luar biasa. Syukurlah bahwa Thian masih selalu melindungi Paduka.”

Akan tetapi pangeran itu tidak kelihatan seperti orang yang baru saja terlepas dari bahaya maut, tidak menjadi lega dan bersyukur seperti komandan pasukan pengawalnya. Dia hanya berkata dengan nada suara gembira, “Ah pengalaman yang mengasyikan sekali tadi itu!”

Kuda yang mati terpanah itu diganti kuda lain dan biarpun atas kereta itu sudah rusak, namun kereta itu masih dapat berjalan. Perjalanan dilanjutkan dan lewat tengahari mereka tiba di pantal laut. Ternyata tempat itu, pantai laut dekat muara Sungai Huai, sudah ramai dengan orang-orang yang hendak menyeberang ke Kim-coa-to. Dan di situ telah tersedia sebuah perahu besar yang indah, perahu milik majikan Pulau Kim-coa-to yang sengaja dikirim ke situ untuk menyambut pangeran!

Ouw Yan Hui, majikan Pulau Kim-coa-to, adalah seorang wanita yang amat kaya-raya. Di pulau itu sendiri, terutama di dalam gedung yang seperti istana dan amat besar itu, tidak ada seorang pun laki-laki. Semua pelayannya adalah wanita belaka, wanita-wanita muda yang cantik-cantik. Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa dia tidak mempunyai pembantu-pembantu pria. Mereka itu ada banyak, akan tetapi mereka adalah yang bekerja di bagian luar, yang mengurus perahu, berjaga di tepi pulau dan sebagainya. Tanpa seijin Ouw Yan Hui, tidak boleh mereka itu memasuki gedung, kecuali para penjaga kalau memang ada keperluan penting.

Perahu besar yang dikirim untuk menjemput pangeran itu lengkap dengan anak buahnya, sebuah perahu yang indah dan kokoh kuat. Para anak buahnya berbaris dengan rapi dan pemimpin mereka menyambut Sang Pangeran dengan hormat dan mempersilakan Sang Pangeran untuk segera menaiki perahu.

Akan tetapi, tidak semua pengawal dapat naik ke perahu itu, karena jumlah mereka terlalu banyak. Maka, hanya pangeran bersama Souw Kee An dan dua orang pembantunya yang dapat naik ke perahu itu, sedangkan delapan belas orang pengawal lain termasuk yang terluka, terpaksa mengikuti perahu itu dengan perahu lain. Kehadiran Sang Pangeran di situ menjadi tontonan. Mereka yang hendak pergi ke Kim-coa-to juga menonton dan diam-diam di antara mereka itu yang mempunyai niat mempersunting Sang Puteri di Kim-coa-to menjadi kecil hatinya melihat kehadiran pangeran mahkota. Mana mungkin mereka bersaing melawan pangeran mahkota dari kerajaan? Perbandingan yang tidak adil sama sekali!

Setelah perahu besar indah itu bergerak dan mulai berlayar, maka perahu-perahu lain juga mulai meninggalkan pantai dan beberapa buah perahu di antara mereka sengaja berlayar dekat-dekat dengan perahu besar itu, agaknya untuk “membonceng” kebesaran Sang Pangeran. Ada pula beberapa buah perahu layar kecil, yaitu perahu-perahu nelayan biasa yang berlayar untuk mencari ikan dan tidak ada sangkut-pautnya sama sekali dengan keramaian pesta yang diadakan di Pulau Kim-coa-to. Setelah perahu berlayar, hati Komandan Souw Kee An merasa lega sekali. Setidaknya, pangeran yang dikawalnya sudah aman sekarang sampai tiba di pulau itu. Akan tetapi, kalau sudah tiba di pulau itu berarti pihak majikan pulau yang bertanggung jawab kalau terjadi sesuatu dan mengingat akan kelihaian pemilik pulau yang berjuluk Bu-eng-kwi itu, dan betapa tentu akan banyak berkumpul orang-orang pandai, kiranya tidak akan ada yang berani mengganggu pangeran di pulau itu. Kini Souw Kee An dapat duduk dengan hati lega, melihat betapa pangeran itu memandang ke arah air laut yang bergelombang dan berkilauan tertimpa sinar matahari yang sudah agar miring ke barat.

Dia melihat ada dua buah perahu nelayan terlalu mendekati perahu besar akan tetapi tidak terjadi sesuatu yang mencurigakan. Tiba-tiba saja, terdengar teriakan-teriakan di dalam perahu dan perahu besar itu mulai oleng! Kiranya ada air masuk dari dasar perahu yang tiba-tiba saja bocor!

“Ada orang melubangi dasar perahu!” terdengar para anak buah perahu berteriak-teriak dan sibuklah mereka. Perahu itu terguncang dan oleng, dan pada saat itu, dari perahu-perahu nelayan tadi berloncatanlah orang-orang dengan pakaian ringkas, dengan muka bertopeng lagi, ke atas perahu besar! Tentu saja Souw Kee An cepat menyambut dan dengan sebuah tendangan kilat dia menjatuhkan seorang di antara mereka kembali ke bawah perahu, ke dalam air. Akan tetapi anak buah perahu besar itu bukanlah lawan orang-orang yang berloncatan ke atas perahu.

“Hai, apa yang kaulakukan ini? Lepaskan aku!” terdengar Sang Pangeran membentak. Souw Kee Ang menoleh dan terkejut melihat Sang Pangeran sudah diringkus oleh seorang bertopeng. Dia meloncat untuk menolong, akan tetapi perahunya miring tiba-tiba dan dia pun terguling, untung ke dalam perahu, tidak keluar! Dan pada saat itu, pangeran sudah dibawa loncat oleh penangkapnya ke atas perahu nelayan kecil itu. Lalu terdengar suitan-suitan dan semua orang bertopeng berloncatan ke atas dua perahu nelayan kecil itu yang segera di dayung pergi dan terbawa oleh layar mereka yang berkembang.

“Kejar....!” Souw Kee An meloncat ke arah perahu yang ditumpangi oleh anak buahnya yang tadi hanya menonton dengan bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Loncatan yang dilakukan oleh Souw Kee An tadi adalah loncatan yang jauh dan berbahaya karena kurang semeter saja dia tentu akan terjatuh ke air yang bergelombang. Juga anak buah perahu besar sudah cepat dapat menggunakan alat untuk membuang semua air yang masuk ke dalam perahu dan menambal dasar perahu yang bocor, dan ternyata dibor dari bawah perahu itu.

Akan tetapi pada saat itu, para penjahat yang menculik pangeran itu melepaskan anak panah berapi ke arah perahu yang ditumpangi para pengawal yang mengejar dua perahu nelayan, juga layar dari perahu besar menjadi sasaran. Dalam beberapa menit saja layar-layar itu terbakar dan perahunya tentu saja tidak dapat maju cepat kalau hanya dengan kekuatan dayung pada saat air berombak besar seperti itu. Souw Kee An membanting-banting kakinya melihat betapa dua perahu nelayan kecil itu dengan cepatnya berlayar kembali ke daratan, membawa pangeran yang dikawalnya.

“Celaka, hayo kembali ke darat!” bentaknya berkali-kali dan dia sendiri ikut bantu mendayung. Peristiwa ini menggegerkan keadaan di situ. Bahkan perahu-perahu lain menjadi ketakutan, ada yang melanjutkan perjalanannya ke Kim-coa-to, ada pula yang ikut kembali ke darat!

Dua buah perahu nelayan kecil itu dapat berlayar amat cepatnya, sedangkan perahu-perahu lainnya hanya maju perlahan-lahan. Ada dua perahu layar lain yang mencoba mengejar, akan tetapi mereka inl pun dilumpuhkan oleh anak panah berapi yang mambakar layar mereka.

Setelah tiba di daratan, Souw Kee An yang wajahnya menjadi pucat itu hanya menemukan dua perahu nelayan tadi sedangkan semua penjahat itu lenyap, membawa pangeran bersama mereka. Dapat dibayangkan betapa bingung hati Souw Kee An. Dia cepat mengatur pasukannya untuk mencari-cari Sang Pangeran, bahkan dia lalu mengutus seorang anak buah untuk minta bantuan pasukan dari kepala daerah di Tung-king untuk membantu mencari pangeran yang terculik orang. Betapapun dia hendak merahasiakan lenyapnya pangeran yang terculik ini, namun karena peristiwa itu disaksikan oleh banyak orang luar, sebentar saja berita itu tersiar ke mana-mana dan tentu saja sekeliling daerah Tung-ting menjadi gempar.

***

Biarpun dia tidak ditotok dan tidak dibelenggu, dan dilarikan naik kuda, Pangeran Kian Liong tak pernah berteriak minta tolong sama sekali, dan dia pun tidak pernah merasa takut. Ketika dia dilarikan dibawa loncat ke dalam perahu nelayan, dia kagum sekali melihat keringanan tubuh orang yang menangkapnya itu. Dan dia pun amat kagum melihat betapa orang-orang berkedok itu membakar layar-layar dari perahu yang mengejar.

“Kalian sungguh cerdik!” dia malah memuji dan diam-diam dia mencatat ini sebagai akal yang baik sekali dipergunakan dalam perang lautan, sungguhpun anak panah berapi itu tentu saja belum dapat disamakan dengan meriam-meriam kapal-kapal asing dari dunia barat. Dia tertarik sekali menyaksikan kejar-kejaran itu dan dia tidak pernah membantah ketika dia dibawa mendarat, kemudian pelarian itu dilanjutkan dengan naik kuda. Dia bahkan tidak mau dibonceng.

“Biarkan aku menunggang kuda sendiri!” katanya dan para penculik itu pun tidak membantahnya, memberinya seekor kuda dan pangeran itu meloncat ke atas punggung kuda dan segera ikut membalapkan kuda dengan hati gembira. Dia benar-benar mengalami peristiwa yang menegangkan hatinya, karena belum pernah dia merasakan diculik orang! Dan dia sama sekali tidak merasa takut, bahkan dia yakin bahwa dirinya tidak mungkin dibunuh. Penjahat-penjahat ini tidak akan membunuhnya, karena kalau itu tujuan mereka, tidak mungkin diculik dengan segala susah payah itu. Alangkah akan mudahnya membunuh dia di perahu tadi! Kalau para penjahat itu dengan segala jerih payah menculiknya, hal itu berarti bahwa mereka membutuhkan dia hidup-hidup! Inilah yang membuat dia bersikap tenang-tenang saja, bahkan ikut membalapkan kuda seolah-olah membantu atau memperlancar usaha mereka membawanya lari.

Yang melarikan pangeran itu adalah lima orang laki-lakl yang kini berani membuka kedok mereka, bahkan mereka semua berganti pakaian, tidak berpakaian hitam lagi melainkan berpakaian sebagai orang-orang biasa. Mereka berwajah biasa saja, dan Pangeran Kian Liong tidak mengenal mereka. Akan tetapi orang yang bermata juling, yang menjadi pimpinan dari kelompok yang yang bertugas melarikan pangeran itu, berkata dengan suara hormat akan tetapi mengandung ancaman yang sungguh-sungguh, “Pangeran, kami hanya melakukan tugas saja untuk membawa Paduka ke sebuah dusun di utara. Kami harus sampai ke sana besok pagi-pagi. Kalau Paduka menurut saja tanpa banyak membantah, tentu kami pun tidak akan berbuat keluar dari apa yang ditugaskan kepada kami. Akan tetapi, kalau Paduka di tengah jalan berteriak dan mengaku pangeran tentu kami tidak akan segan-segan membunuh Paduka guna menyelamatkan diri kami sendiri.”

Pangeran Kian Liong tersenyum dan mengangguk. Dia sudah tahu akan hal itu dan pula, perlu apa dia berteriak-teriak minta tolong seperti wanita cengeng? Dia diam-diam juga memuji cara mereka ini melarikannya, karena. rombongan yang tadinya berjumlah belasan orang itu dibagi-bagi, dan rombongannya yang membawanya ke utara sedangkan ada kelompok-kelompok lain yang melarikan diri berkuda dan ke segala jurusan dengan meninggalkan bekas yang jelas di atas tanah. Tentu untuk menyesatkan para pengejar. Sungguh cerdik. Dia pun menurut saja ketika dia diberi pakaian biasa seperti seorang penduduk biasa, sedangkan pakaiannya yang mewah itu diminta oleh Si Mata Juling.

Malam itu mereka terus melakukan perjalanan, kadang-kadang cepat, kadang-kadang kalau jalannya sukar dan gelap, perjalanan dilakukan perlahan-lahan. Dan pada keesokan harinya, dalam keadaan yang cukup lelah akan tetapi tidak melenyapkan semangatnya yang masih gembira mengikuti perkembangan pengalamannya ini, Pangeran Kian Liong dan para penculiknya itu tiba di sebuah dusun di kaki sebuah bukit. Dusun ini cukup besar dan tidak ada seorang pun di antara penghuni dusun yang dapat menduga bahwa di antara keenam penunggang kuda itu, yang termuda dan tampan, adalah pangeran mahkota! Dan berpakaian seperti ini, Kian Liong merasa lebih leluasa dan senang hatinya, sungguhpun saat ini dia tidak sedang melakukan perjalanan sendirian dengan bebas, melainkan sebagai seorang tawanan.

Rombongan itu memasuki pekarangan sebuah rumah besar dan di tempat itu telah menanti Su-bi Mo-li dan dua orang di antara Im-kan Ngo-ok, yaitu Su-ok dan Ngo-ok! Sang Pangeran disambut oleh dua orang wanita cantik yang bersikap manis. Mereka memberi hormat dan menggandeng tangan pangeran itu ke dalam sebuah kamar di mana Sang Pangeran dilayani, disediakan air hangat untuk mencuci muka dan badan, diberi pakaian pengganti dan disuguhi makanan dan minuman. Pangeran Kian Liong tidak menolak semua ini, dia mandi, berganti pakaian, makan dan minum, lalu beristirahat sampai tertidur. Akan tetapi ketika dia terbangun, dia terkejut sekali melihat dirinya dikelilingi tujuh orang gadis-gadis muda yang cantik-cantik, dengan pakaian dalam yang tipis sehingga nampak jelas tubuh mereka yang menggairahkan membayang di balik pakaian tipis itu. Mereka itu bersikap manis dan mulai merayunya, memijatinya dan mengeluarkan kerling mata, senyum, bisikan-bisikan yang memikat dan mencumbu.

Akan tetapi Pangeran Kian Liong mendorong wanita yang terdekat dan dia bangkit duduk lalu berteriak, “Apa artinya semua ini? Aku tidak membutuhkan perempuan-perempuan ini! Hayo kalian pergi dari sini!”

Tujuh orang wanita muda itu saling pandang dan mereka agaknya terkejut karena betapapun juga, selain mereka sudah tahu dengan siapa mereka berhadapan, juga pandang mata dan suara pangeran itu amat berwibawa. Mereka masih mencoba untuk merayu, mencumbu dan merangkul pangeran itu dengan tubuh lemah gemulai dan berbau minyak harum. Akan tetapi Sang Pangeran menjadi marah dan membentak, “Kalau tidak lekas enyah dari sini, aku yang akan pergi dari sini!”

Akhirnya tujuh orang wanita muda yang cantik-cantik itu mengundurkan diri, meninggalkan bau harum semerbak di dalam kamar itu. Tak lama kemudian, Si Mata Juling yang memimpin pelarian semalam, masuk dan menjura di depan pangeran itu.

“Hei, Mata Juling!” Pangeran Kian Liong menegur, “Apa artinya menyuruh perempuan-perempuan itu menggodaku?” bentakan ini membuat Si Mata Juling sejenak tak mampu bicara, akan tetapi lalu menjura dengan hormat.

“Harap Paduka maafkan. Maksud kami hanya ingin menghibur Paduka, tidak tahunya Paduka tidak mau menerima kebaikan dari kami.”

“Hemm, jadi menyuguhkan wanita-wanita itu kauanggap kebaikan? Begitukah kiranya kebaikan yang biasa diberikan kepada para pembesar? Hei, Mata Juling! Katakan, apa maksud kalian dengan susah-payah menculikku dan membawaku ke sini? Apakah benar seperti yang dikatakan para perampok teman-temanmu di hutan itu bahwa kalian hendak minta uang tebusan?”

“Maaf.... kami.... kami hanya melaksanakan tugas. Harap Paduka tenang dan sabar saja menanti di kamar ini.... kami tidak akan menggunakan kekerasan kalau tidak terpaksa sekali, harap Paduka tenang. Si Mata Juling itu mundur dan tidak lama kemudian kembali dihidangkan makanan dan minuman.

Jengkel juga hati Pangeran Kian Liong. Dia memang ingin melihat apa yang hendak mereka lakukan terhadap dirinya. Akan tetapi kalau dia hanya dikurung di dalam kamar ini, dan dicoba untuk digoda oleh wanita-wanita cantik, sungguh dia merasa penasaran sekali. Mengapa mereka itu masih menyembunyikan kehendak mereka yang sesungguhnya? Dia tidak khawatir, karena dia percaya bahwa Souw Kee An pasti dapat menemukan dia, tidak akan tinggal diam saja. Apalagi kalau diingat betapa sudah seringkali dia diselamatkan oleh orang-orang pandai. Diam-diam dia teringat kepada pengemis sakti itu dan diam-diam mengharapkan pula agar pengemis itu yang akan menyelamatkannya, karena dia ingin bertemu dan berkenalan dengan pengemis yang dia tahu adalah seorang manusia yang sedang menderita tekanan batin amat hebat itu. Karena kejengkelannya itu, maka ketika datang makanan dan minuman, dia lalu banyak-banyak minum arak. Dia sama sekali tidak tahu bahwa arak itu telah dicampuri obat sehingga dia yang biasa minum arak itu kini menjadi mabok dan pusing, sehingga dia setengah tertidur di atas meja makan!

“Nah, inilah satu-satunya cara!” kata Su-ok sambil tertawa-tawa ketika dia memasuki kamar itu bersama Ngo-ok dan Si Mata Juling. “Biarkan dia mabok lalu lepaskan dia di rumah pelacuran, suruh pelacur-pelacur itu melayaninya, menelanjanginya dan kita bawa orang-orang ke tempat itu untuk menyaksikan pangeran mereka mabok-mabok dan main-main dengan para pelacur! Tentu hebat!” Suok tertawa-tawa dan berkata kepada Ngo-ok, “Ngo-te, kaubawa dia. Akan tetapi biarkan dia berjalan seperti orang mabok dan kita sama-sama pergi ke tempat pelacuran. Apakah di sana sudah siap?” tanyanya kepada Si Mata Juling.

“Sudah, tujuh orang pelacur yang tadi telah disiapkan di sana.” jawab Si Mata Juling. Su-ok tertawa. Tadinya dia kecewa karena setelah payah-payah membawa tujuh orang pelacur kota yang termahal ke tempat itu, pangeran itu ternyata tidak dapat tergoda. Maka setelah berunding dengan Ngo-ok dan Su-bi Mo-li, dia memperoleh akal untuk membuat pangeran itu setengah tidak sadar karena mabok, dan membiarkan para pelacur itu menelanjanginya dan melayaninya untuk kemudian membiarkan orang-orang penting melihat pangeran itu. “menangkap basah” sebagai seorang pemabok dan pemuda hidung belang yang suka bermain-main dengan para pelacur! Sungguh merupakan siasat yang amat keji, yang sudah diatur oleh Im-kan Ngo-ok.

Demikianlah, dalam keadaan setengah mabok dan setengah sadar itu Pangeran Kian Liong digandeng, setengah diseret oleh Si Mata Juling dan teman-temannya, diikuti oleh Su-ok dan Ngo-ok menuju ke daerah pelacuran yang terkenal di dusun itu. Daerah pelacuran ini bahkan menjadi tempat pelesir kaum hidung belang dari kota-kota sekitarnya!

Akan tetapi tiba-tiba terdengar, bentakan-bentakan nyaring, “Manusia-manusia jahat, lepaskan Pangeran!”

Si Mata Juling dan teman-temannya terkejut melihat munculnya tiga orang yang bukan lain adalah Tok-gan Sin-ciang Liong Bouw dan dua orang saudara Ciong yang pernah menolong pangeran dari perampokan di dalam hutan! Seperti kita ketahui, setelah pangeran berhasil diselamatkan di waktu dirampok di dalam hutan, tiga orang pendekar ini lalu menyingkirkan diri dan membayangi dari jauh. Mereka mengintai ketika Pangeran naik perahu jemputan dari Pulau Kim-coa-to itu dan merasa lega. Ketika mereka sedang, mencari-cari perahu nelayan untuk menyeberang pula ke pulau itu, mereka melihat Pangeran telah ditawan orang dan dilarikan dengan kuda. Mereka mencoba mengejar, akan tetapi karena yang dikejar menunggang kuda semalam suntuk, mereka tertinggal jauh dan baru pada keesokan harinya mereka menemukan jejak mereka memasuki dusun itu. Ketika mereka melihat Pangeran digandeng oleh banyak orang di tengah jalan raya di dusun itu, pakaiannya sudah berganti pakaian biasa, mereka menjadi marah dan segera menyerang tanpa mempedulikan bahaya bagi diri sendiri.

Si Mata Juling dan empat orang temannya mengeroyok tiga orang pendekar itu, akan tetapi mereka berlima bukanlah tandingan tiga orang pendekar itu. Melihat ini, Ngo-ok menjadi marah dan dengan kakinya yang panjang dia sudah maju hendak menandingi mereka. Akan tetapi pada saat itu, empat orang Su-bi Mo-li yang juga muncul segera berkata, “Ngo-ok dan Su-suhu, lebih baik bawa dia pergi, biar kami berempat yang menghajar tikus-tikus ini!”

“Hayolah, Ngo-sute, jangan mencampuri!” kata Su-ok dan dia pun lalu menggandeng tangan Pangeran dan menariknya pergi.

“Eh, eh.... hemmm, biarkan aku menonton pertandingan ini....” Sang Pangeran yang setengah mabok itu berkata dan berusaha untuk berhenti, akan tetapi Su-ok terus menariknya berjalan maju.

Sementara itu, begitu Su-bi Mo-li maju, Liong Bouw terkejut dan dia pun segera mengenal gerakan pedang dari wanita ini yang bukan lain adalah seorang di antara wanita-wanita perampok yang amat lihai itu.

“Ah, kiranya kalian yang menjadi perampok!” bentaknya dan dia pun memutar goloknya menyerang wanita baju kuning yang tadi bicara, akan tetapi hatinya penuh penasaran gelisah melihat Pangeran dibawa pergi, padahal kini dia dapat menduga siapa adanya hwesio pendek dan tosu jangkung itu. Biarpun dia belum pernah bertemu dengan Im-kan Ngo-ok, namun nama besar datuk-datuk kaum sesat itu pernah didengarnya dan melihat keadaan tubuh mereka, dan cara wanita cantik ini menyebut Ngo-suhu dan Su-suhu, dia menduga bahwa itu tentulah dua orang di antara Im-kan Ngo-ok dan kalau benar demikian, sungguh berbahayalah keselamatan Pangeran, terjatuh ke tangan datuk-datuk kaum sesat! Akan tetapi, kini dua orang di antara Su-bi Mo-li, yaitu A-hui yang berbaju kuning dan A-kiauw yang berbaju merah, telah mengeroyoknya dan sebentar saja Si Mata Satu ini sudah terdesak dengan hebat. Sementara itu, dua orang murid Siauw-lim-pai itu pun terdesak oleh dua orang wanita lain, yaitu A-bwee yang berbaju biru dan A-ciu yang berbaju hijau. Empat orang wanita ini adalah murid-murid terkasih dari Im-kan Ngo-ok, maka tentu saja ilmu kepandaian mereka sudah tinggi dan dua orang murid Siauw-lim-pai pertengahan itu tidak mampu menandinginya! Juga Liong Bouw terdesak hebat dan lewat dua puluh jurus kemudian, kedua orang saudara Ciong itu roboh dan dia sendiri pun terkena tusukan pada pundak kanannya sehingga berdarah. Tahu bahwa dia tidak akan menang, Liong Bouw memutar goloknya dengan nekat, lalu membentak keras dan serangannya itu membuat dua orang wanita itu berhati-hati dan melangkah mundur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Liong Bouw untuk meloncat dan lari mengejar ke arah Pangeran yang digandeng oleh dua orang kakek itu. Bagaimanapun juga, dia harus melindungi Pangeran, tidak peduli betapa pandai pun orang yang menawan Pangeran itu. Dia berlari cepat, dikejar oleh empat orang wanita itu.

Untung baginya, yang dikejar, yaitu pangeran itu, hanya berjalan digandeng oleh Su-ok dan Ngo-ok, berjalan terhuyung-huyung seperti orang mabok dan Su-ok sengaja tertawa-tawa untuk memberi kesan bahwa pemuda yang digandeng memang benar-benar mabok keras! Mereka berdua seolah-olah tidak peduli kepada Liong Bouw yang mengejar dari belakang dengan golok di tangan dan pundak kanan bercucuran darah.

“Heii, berhenti! Lepaskan dia!” bentak Tok-gan Sin-ciang Liong Bouw dan dia menubruk dari belakang. Akan tetapi Ngo-ok tanpa menoleh menendangkan kakinya yang amat panjang itu ke belakang dan memang Si Jangkung ini lihai sekali kakinya, maka tanpa dapat dicegah lagi, kakinya yang menyepak seperti kaki kuda itu tepat mengenai dada Liong Bouw.

“Dess....!” Liong Bouw terjengkang akan tetapi dia sudah meloncat bangun lagi, tidak peduli akan pundaknya yang berdarah dan dadanya yang terasa nyeri. Dia menangkis dua batang pedang dari dua orang wanita yang mengejarnya, lalu dia lari mengejar lagi ke depan.

Pada saat itu, Liong Bouw melihat segerombolan orang berjalan dari depan. Melihat rombongan yang terdiri dari seorang laki-laki setengah tua yang kelihatan gagah perkasa dan tampan bersama beberapa orang wanita yang cantik-cantik, dia dapat menduga bahwa mereka itu pasti bukan penghuni dusun, dan tentu datang dari kota. Maka timbul harapannya, setidaknya agar diketahui orang kota bahwa pemuda di depan itu adalah pangeran, maka dia lalu berteriak nyaring, “Tolooooonggg....! Tolong Pangeran Mahkota yang ditangkap penjahat itu!”

Pada saat itu, tusukan pedang dari belakang menyambar. Liong Bouw memutar tubuh dan mengelak sambil menangkis, akan tetapi pedang ke dua membacok dari samping dan biarpun dia sudah mengelak, tetap saja pahanya kena disambar dan dia pun roboh dengan paha terluka. Dengan gemas sekali A-hui Si Baju Kuning menggerakkan pedangnya untuk memberi tusukan terakhir ke dada Liong Bouw, akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan pedang itu telah ditangkis oleh seuntai tasbeh.

“Cringgg....!” Dan pedang di tangan A-hui itu terpental dan hampir terlepas dari pegangannya. A-hui dan tiga orang adiknya cepat memandang dan ternyata yang menangkis itu. adalah seorang wanita cantik berusia tiga puluh lima tahun, berpakaian seperti nikouw akan tetapi kepalanya berambut hitam digelung, dan tangannya memegang tasbeh yang terbuat dari gading.

“Omitohud, di tengahari ada orang mau bunuh orang lain begitu saja, betapa kejinya!”

Su-bi Mo-li cepat memandang ke depan. Rombongan itu terdiri dari seorang pria setengah tua, tiga orang wanita cantik dan seorang gadis yang manis. Kini dua orang wanita yang lain dan gadis itu datang menghampiri, sedangkan laki-laki setengah tua itu hanya tersenyum-senyum saja, seolah-olah tidak terjadi apa-apa yang aneh.

A-hui marah sekali. “Nikouw dari mana berani datang mencampuri urusan orang? Pergi kau dari sini atau mampus di ujung pedangku!”

Nikouw itu tersenyum sehingga nampak giginya yang rata dan putih. “Omitohud, kalau engkau dapat membunuhku, itu baik sekali! Pinni ingin merasakan bagaimana mati di ujung pedang!”

A-hui berteriak nyaring dan menyerang, nikouw itu bergerak lincah mengelak sambil tersenyum dan terdengar pria setengah tua itu berkata, “Hati-hati, sebagai nikouw engkau tidak boleh membunuh orang!” Ucapan ini seperti kelakar saja dan nikouw itu pun hanya tersenyum mendengarnya.

A-kiauw yang berbaju merah maju hendak membantu saudaranya, akan tetapi wanita cantik ke dua yang kelihatannya seperti berdarah asing karena matanya lebar dan kulitnya putih kemerahan agak gelap sudah menghadang dengan pedang terhunus.

“Main keroyokan adalah perbuatan pengecut. Kalau berani, kaulawanlah aku, Iblis betina!” wanita itu memaki sembarangan saja, akan tetapi hal ini amat menusuk perasaan A-kiauw karena memang mereka berempat dijuluki Su-bi Mo-li (Empat Iblis Betina Cantik).

“Mampuslah!” dia membentak dan menyerang, ditangkis dengan mudahnya oleh wanita itu. Melihat betapa dua orang wanita cantik itu ternyata amat lihai, A-bwee dan A-ciu segera melompat ke depan, akan tetapi wanita ke tiga yang cantik jelita sudah menghadang sambil tersenyum mengejek, sambil mengerling ke arah Su-ok dan Ngo-ok yang masih memegangi pangeran sambil menonton perkelahian itu dengan alis berkerut, dia berkata, “Kiranya Su-ok dan Ngo-ok yang main gila di sini!”

Su-ok dan Ngo-ok memandang kepada wanita cantik itu dan sampai beberapa lamanya mereka tidak mengenal wanita itu. “Hemm, lupakah kalian ketika berjumpa denganku di Lembah Suling Emas?”

Wajah Su-ok dan Ngo-ok berobah ketika mereka mengenal kembali wanita itu. Kini mereka teringat. Itulah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, toa-so dari keluarga Lembah Suling Emas yang sakti itu! Tapi mereka tidak mengenal yang lain-lain, tidak mengenal laki-laki yang berdiri sambil tersenyum itu, agak lega karena tidak nampak keluarga Cu yang sakti di situ. Adapun A-bwee dan A-ciu sudah menerjang sambil menusukkan pedang mereka ke arah wanita cantik yang berani menghina guru-guru mereka itu. Su-ok dan Ngo-ok hendak memperingatkan dua orang murid itu, akan tetapi terlambat. Tang Cun Ciu sudah menggerakkan kaki tangannya dan nampak dua batang pedang terlempar disusul terlemparnya dua tubuh wanita cantik itu yang terkena tamparan pada pundak mereka. Baru saja A-bwee dan A-ciu merangkak bangun, terdengar suara mengaduh dan tubuh A-hui bersama A-kiauw juga terpelanting dan pedang mereka terlempar jauh. Mereka juga roboh dalam beberapa gebrakan saja melawan dua orang wanita cantik tadi. Hal ini tidak mengherankan karena wanita yang seperti nikouw itu bukan lain adalah Gu Cui Bi, sedangkan wanita yang berdarah asing itu, adalah Nandini, bekas panglima perang Nepal! Dan memang di antara mereka bertiga yang menjadi isteri-isteri dari Bu Seng Kin, Tang Cun Ciu yang paling lihai maka wanita ini dengan mudah dapat merobohkan A-bwee dan A-ciu terlebih dahulu!

Si Mata Juling dan empat orang temannya sudah di situ, disambut oleh gadis cantik yang bukan lain adalah Bu Siok Lan. Akan tetapi melihat betapa Su-bi Mo-li roboh dengan demiKian mudahnya, Si Mata Juling dan empat orang temannya sudah membalikkan tubuh dan mengambil langkah seribu!

Kini tinggal Su-ok dan Ngo-ok yang memandang dengan mata terbelalak melihat empat orang murid mereka itu roboh semua. Karena di situ tidak nampak adanya keluarga Cu, maka tentu saja dua orang datuk ini sama sekali tidak takut menghadapi Tang Cun Ciu. Akan tetapi sikap pria di depan mereka yang tersenyum itu amat mencurigakan dan membuat mereka memandang dengan hati kecut.

“Siapakah engkau? Ngo-ok bertanya tanpa melepaskan pergelangan tangan kiri pangeran, sedangkan Su-ok memegang pergelangan tangan kanan pangeran itu.

Pria itu tentu saja Bu Seng Kin atau Bu-taihiap, dan biarpun dia pernah menjadi seorang pendekar yang namanya menjulang tinggi di dunia barat, akan tetapi karena belum pernah bertemu atau bentrok dengan Im-kan Ngo-ok, maka dua orang kakek itu tidak mengenalnya.

“Siapa adanya aku tidak penting, yang penting kalian cepat lepaskan pemuda yang kalian pegang itu.” kata Bu-taihiap dengan suara tenang.

Su-ok tertawa. Dia lebih tenang daripada saudaranya. “Eh, Sobat, tahukah engkau siapa dia ini?”

Bu-taihiap menggeleng kepala. “Siapa pun adanya dia, jelas bahwa dia kalian tangkap, oleh karena itu, harap kalian sudi melepaskan dia.”

Tok-gan Sin-ciang masih berdiri tak jauh dari situ menahan sakit. Dia terlalu kagum dan heran melihat betapa rombongan itu ternyata merupakan rombongan orang yang memiliki kepandaian hebat sekali, demikian hebatnya sehingga empat orang wanita cantik yang amat lihai itu pun roboh dalam beberapa gebrakan saja oleh wanita-wanita itu! Dan dia kini memandang penuh ketegangan melihat kepala rombongan, seorang pria sederhana, berhadapan dengan dua orang yang ternyata benar-benar adalah Su-ok dan Ngo-ok seperti yang dikatakan oleh seorang di antara wanita-wanita itu. Dan dia pun belum pernah mendengar tentang Lembah Suling Emas, maka kini dia tidak berani sembarangan bicara, hanya mendengarkan dengan penuh harapan bahwa pangeran akan dapat lolos dari bencana itu. Dia tidak berani lancang karena pangeran masih berada di tangan dua orang kakek iblis itu!

Su-ok adalah seorang yang cerdik sekali. Di situ tidak terdapat saudara-saudaranya yang lain, karena untuk tugas ini Toa-ok mempercayakan kepada dia dan Ngo-ok dan memang sebetulnya mereka berdua pun sudah cukup kalau hanya untuk menawan Pangeran saja. Akan tetapi tidak mereka kira bahwa di sini akan muncul Cui-beng Sian-li dan rombongannya yang lihai-lihai ini. Tiga orang wanita itu jelas lihai dan pria di depannya ini belum dia ketahui sampai di mana kelihaiannya, akan tetapi agaknya pun bukan merupakan lawan yang boleh dipandang ringan. Kalau di situ ada Toa-ok, Ji-ok dan Sam-ok, tentu saja dia sama sekali tidak takut. Sekarang pun dia tidak takut hanya dia harus bersikap cerdik agar tidak sampai gagal. Dia telah mempunyai pangeran di tangannya dan ini merupakan modal yang baik sekali!

“He, sobat, engkau tidak mau memperkenalkan namamu pun tidak mengapa. Akan tetapi sebaiknya engkau mengenal siapa pemuda ini. Dia adalah Pangeran Mahkota Kian Liong!”

Tentu saja Bu-taihiap terkejut bukan main, akan tetapi sedikit pun tidak nampak perobahan pada wajahnya yang tampan itu. Bahkan dia tersenyum. “Sudah kukatakan, siapa pun adanya dia ini, aku tetap minta agar kalian suka melepaskan dia.”

“Kalau kami tidak mau melepaskan dia?” tanya Su-ok juga tersenyum.

Bu-taihiap tertawa. “Terpaksa aku tidak membolehkan kalian lewat.”

“Ha, sobat, bagaimana kalau kami bunuh Pangeran ini? Ya, kalau engkau dan rombonganmu ini hendak menghalangi kami, terpaksa kami akan membunuh Pangeran Mahkota Kian Liong!” Su-ok kini menggunakan gertakan.

Sementara itu, Pangeran Kian Liong memang dilolohi arak yang mengandung obat pemabok dan dia hanya setengah sadar, akan tetapi dia masih dapat mengikuti percakapan itu dan kini dia tertawa sambil berkata. “Hidup atau mati, hanya itu soalnya dan sungguh soal yang biasa saja. Apa artinya hidup dan apa bedanya dengan mati? Hidup pun akhirnya akan mati juga! He, kau hwesio cebol dan tosu jangkung, apa kaukira hidup lebih enak daripada mati? Kalau kalian membunuhku, maka sudah beres dan habislah bagiku, tidak ada apa-apa lagi. Akan tetapi kalian yang masih hidup akan dikejar-kejar orang gagah sedunia, belum lagi pasukan yang takkan berhenti sebelum kalian ditangkap, kemudian dihukum siksa. Ha-ha-ha, aku lebih enak dibandingkan dengan kalian!”

Bu-taihiap tiba-tiba merasa heran dan juga kagum. Mengapa putera mahkota yang kelak akan menggantikan kaisar menjadi pemabok seperti itu? Akan tetapi sikap yang berani dan kata-kata yang begitu mengandung kebenaran yang pedas masih dapat di ucapkan di waktu mabok, maka di waktu sadar tentu pangeran ini memiliki kebijaksanaan yang luar blasa.

“Ha-ha-ha, kalian sudah mendengar sendiri! Nah, lepaskan dia, ataukah kita menggunakan dia sebagai taruhan?” kata Bu-taihiap.

“Taruhan?” Kini Ngo-ok yang berkata, matanya yang sipit makin terkatup ketika dari “atas” dia memandang Bu-taihiap. Bu-taihiap harus berdongak untuk menatap wajah Si Jangkung itu.

“Ya, mari kita bertanding dan karena yang menangkap dia ini adalah kalian berdua dan yang minta agar dilepaskan hanya aku seorang, maka biarlah aku melawan kalian berdua. Kalau aku kalah, tentu saja kalian boleh membawa dia. Akan tetapi kalau kalian kalah, dia harus kalian tinggalkan. Bagaimana. Beranikah kalian?”

Ucapan itu, terutama kata terakhir, memanaskan perut Su-ok dan Ngo-ok. Orang itu agaknya miring otaknya, pikir mereka. Menantang dikeroyok dua? Siapa sih orang ini yang berani menantang mereka padahal tadi Cui-beng Sian-li sudah mengatakan bahwa mereka adalah Su-ok dan Ngo-ok?

“Hemm, kalau kami menang, bukan hanya dia ini yang kami bawa, melainkan juga kepalamu!” kata Ngo-ok marah. “Ha-ha, boleh, boleh! Kalau memang kalian menang, aku pun tidak bisa mempertahankan kepalaku lagi. Dan kalau kalian yang kalah, aku hanya menghendaki dia dibebaskan dan aku tidak butuh kepalamu yang buruk, hanya aku akan mengambil daun telingamu saja, Jangkung!”

Sementara itu, tiga isteri Bu-taihiap sudah mendekat dan berdiri menonton dengan sikap tenang, demikian pula gadis puteri pendekar itu. Mereka berempat ini yakin akan kemampuan Bu-taihiap, maka mereka memandang dengan penuh perhatian. Sedangkan Su-bi Mo-li yang maklum bahwa mereka bukan tandingan rombongan itu, memandang dari jarak agak jauh, dengan hati gelisah. Bukan hanya rahasia mereka ketahuan sebagai penculik-penculik pangeran mahkota, bahkan agaknya usaha mereka juga mengalami kegagalan setelah bertemu dengan rombongan yang sama sekali tidak pernah mereka sangka-sangka akan muncul ini.

Su-ok dan Ngo-ok bukanlah orang bodoh. Melihat, sikap orang ini mereka pun sudah menduga bahwa tentu orang itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka Su-ok lalu memberi tanda kepada Ngo-ok sambil berkata, “Ngo-te, manusia sombong ini sendiri yang menantang. Mari kita layani dia.” Mereka lalu mendorong Sang Pangeran ke pinggir karena mereka tahu bahwa orang aneh di depan mereka itu agaknya sama sekali tidak peduli apakah mereka akan membunuh Sang Pangeran atau tidak. Menghadapi orang yang sama sekali tidak mempedulikan Sang Pangeran, maka tidak ada gunanya untuk mengancam dan menjadikan pangeran itu sebagai sandera. Dan memang mereka telah menerima peringatan keras dari Toa-ok agar jangan sampai membunuh Sang Pangeran. Apalagi, ucapan Pangeran tentang hidup dan mati amat berkesan di hati mereka dan mereka tahu betul bahwa sekali mereka membunuh Sang Pangeran, hidup ini hanya menjadi sumber ketakutan saja bagi mereka yang takkan lagi dapat aman di dunia, dikejar-kejar dan akhirnya akan tertangkap dan tersiksa hebat. Maka dari itu mereka mendorong Sang Pangeran ke pinggir dengan harapan akan menang dalam pertandingan itu sehingga mereka akan dapat melanjutkan siasat mereka merusak nama baik pangeran.

Tentu saja Bu-taihiap pernah mendengar nama besar Im-kan Ngo-ok sebagai datuk besar kaum sesat yang memiliki ilmu kepandaian hebat, maka biarpun pada lahirnya dia nampak tenang dan tersenyum-senyum saja, namun sesungguhnya dia sama sekali tidak memandang rendah dan selalu dalam keadaan siap siaga. Kini melihat dua orang itu telah melepaskan pangeran, dia merasa lega dan cepat dia melangkah maju menghampiri dua orang lawannya. “Nah, kalian mulailah!” tantangnya sambil tersenyum. Melihat sikap orang yang begini memandang ringan, Su-ok dan Ngo-ok menjadi marah. Biasanya, lawan yang menghadapi mereka tentu kalau tidak gentar juga sangat berhati-hati, tidak seperti orang ini yang begini memandang rendah sambil tersenyum-senyum saja.

“Kami tidak pernah membunuh orang tanpa nama,” tiba-tiba Su-ok berkata untuk membalas pandangan ringan itu. “Kalau engkau bukan seorang pengecut yang suka menyembunyikan nama, katakan siapa engkau agar kami tahu siapa yang akan kami habisi nyawanya!”

Bu-taihiap tertawa dan wajahnya yang tampan itu nampak berseri dan muda ketika dia tertawa itu. “Ha-ha-ha, yang nama julukannya Su-ok ini selain pendek kurang ukuran juga ternyata tidaklah sejahat namanya. Bagaimana dengan Ngo-ok yang jangkung kelebihan ukuran itu? Apakah benar kalian hendak mengetahui nama orang yang akan menjatuhkan kalian? Aih, sudah bertahun-tahun untuk tidak mempergunakan namaku, sampai lupa. Hanya sheku saja yang masih kuingat. Aku she Bu.”

Nama ini saja sudah cukup. She Bu dan logat bicaranya jelas menunjukkan, dari barat, maka siapa lagikah orang ini kalau bukan pendekar yang pernah menggegerkan dunia barat dan hanya terkenal dengan sebutan Bu-taihiap itu?

“Jadi engkau ini orang she Bu itu yang sudah puluhan tahun tidak pernah muncul itu? Ha-ha, kami kira tadinya yang disebut Bu-taihiap itu sudah mampus di Secuan dicakar garuda!”

Bu-taihiap merasa disindir. Agaknya permusuhannya dengan Eng-jiauw-pang yang membuatnya terluka itu telah tersiar di dunia kang-ouw, akan tetapi karena sesungguhnya dia tidak kalah, hanya dikeroyok terlalu banyak orang pandai saja maka terpaksa dia melarikan diri, dia tidak merasa malu disindir demikian.

“Bagus, kau sudah tahu namaku dan tidak lekas-lekas menggelinding pergi?” bentaknya dan sikapnya kini penuh wibawa, tidak senyum-senyum seperti tadi. Dua orang lawannya itu tidak menjawab, melainkan segera menyerang dengan dahsyat.

Bersmabung ke buku 9