Jodoh Rajawali -2 | Kho Ping Hoo



Buku 2

“Hemmm.... sesuka hati Nona sajalah. Apakah Nona juga bertugas melayani bercakap-cakap?”

Gadis itu mengangkat muka memandang merasa betapa lucunya kata-kata itu dan tersenyum, sama sekali tidak mengandung keriangan hati sungguhpun amat manis. “Tentu saja, Kongcu.”

“Nah, kalau begitu, aku ingin mengajak kau omong-omong. Pertama, aku ingin membicarakan tentang isi nyanyianmu tadi.”

“Ehhh....?” Gadis itu memandang heran.

“Maksudku, aku ingin tahu siapakah dara yang merana itu dan siapa pula pendekar yang begitu kejam meninggalkannya.”

Gadis itu menunduk. “Kongcu.... itu hanya.... hanya nyanyian.... dongeng....”

“Hemmm, perlukah dongeng nyanyian ditangisi? Ada kulihat engkau menangis ketika bernyanyi tadi.”

“Ohhhhh....“ Gadis itu terkejut dan kini menundukkan mukanya.

Kian Lee mengerutkan alisnya dan memandang penuh perhatian. Ternyata gadis itu dengan susah payah menahan tangisnya, akan tetapi tetap saja dua butir air mata seperti mutiara berkilauan menggantung di bulu matanya dan akhirnya bergerak perlahan menuruni kedua pipinya.

“Nona, aku dapat menduga bahwa engkau sedang mengalami tekanan batin yang hebat. Engkau sedang menderita sengsara dan kalau kau percaya kepadaku, kau ceritakanlah kesengsaraanmu itu. Siapa tahu aku akan dapat menolongmu, Nona. Akan tetapi kalau kau tidak percaya kepadaku, sudahlah, kau boleh pergi meninggalkan aku sendiri dan terima kasih atas semua pelayananmu yangbaik.”

“Ahhh.... Kongcu....!” Gadis itu mengusap air matanya dan mengangkat muka memandang. “Harap maafkan saya.... tentu saja saya percaya kepada Kongcu. Sekali bertemu saja saya tahu bahwa Kongcu adalah seorang yang amat baik.”

“Kalau begitu, kaukatakanlah, siapa dara yang kaunyanyikan tadi?”

Gadis itu kembali menunduk. “Dia.... dia.... adalah saya sendiri, Kongcu.”

“Hemmm,.... sudah kuduga demikian. Dan siapakah Si pendekar yang tak tahu dicinta orang itu?”

“Dia.... dia.... adalah penolong saya....“ Gadis itu menjawab dengan muka merah sambil menunduk, kemudian dia menghela napas seperti orang mengambil keputusan dan mengangkat muka, berkata “Sebaiknya saya ceritakan sejelasnya kepada Kongcu. Terjadi kira-kira tiga bulan yang lalu, Kongcu. Saya adalah anak sulung seorang kepala kampung dari dusun Can-li-cung. Pada suatu malam, dusun kami diserbu perampok-perampok dan seluruh keluarga saya terbunuh.... Ayah, Ibu, dan tiga orang adik-adik saya....“ Wanita itu memejamkan mata dan dua butir air mata kembali meloncat ke luar. Kian Lee membiarkan gadis itu berdiam diri sejenak untuk menenteramkan hatinya yang tentu saja dilanda kedukaan mengenangkan itu semua. Dia merasa kasihan sekali kepada gadis ini. Pantas saja tadi bernyanyi “Tiada ayah tiada bunda tiada sanak keluarga,” kiranya semua keluarganya terbasmi habis oleh perampok jahat!

“Saya sendiri lalu diculik oleh perampok-perampok itu, dibawa lari ke dalam cengkeraman manusia-manusia Iblis dan akan mengalami hal yang lebih mengerikan daripada kematian sendiri, akan tetapi saya tidak berdaya, Kongcu. Dalam keadaan seperti itu, munculiah pendekar sakti itu yang dengan gagah perkasa membasmi semua perampok sampai tidak ada seorang pun yang terlewat! Tentu saja saya berterima kasih sekali kepadanya, Kongcu. Dia begitu baik, dia begitu gagah, dan kalau tidak ada dia.... ah, ngeri saya membayangkan“

“Hemmm, lalu bagaimana?” Kian Lee bertanya dan di dalam hatinya dia maklum. Pantas saja gadis ini jatuh cinta kepada penolangnya itu.

“Penolong saya itu tentu saja mendapat penghargaan dari gubernur karena dia telah berhasil membasmi pecampak yang suka mengganas itu. Dan saya.... oleh penolong saya itu saya lalu dititipkan kepada gubernur, karena keluarga saya telah habis.... kemudian.... dia pergi, meninggalkan saya seorang diri di sini....“

“Hemmm, dan kau lalu bekerja sebagai pelayan di sini? Apakah engkau mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan di sini?”

“Tidak, tidak, Kongcu.... Paduka gubernur baik sekali.... saya menjadi seorang pelayang yang terkasih juga oleh Nyonya dan semua keluarga. Akan tetapi, Kongcu tahu sendiri.... sebagai seorang pelayan.... dan saya kadang-kadang harus melayani tamu-tamu....“

“Aku mengerti, Nona. Eh, bolehkah saya mengetahui namamu?”

“Nama saya Cui Lan, Phang Ghui Lan”

“Nama yang indah sekali, Cui Lan. Akan tetapi mengapa.... mengapa.... kau tadi bernyanyi mengenangkan pendekar penolongmu yang kau cinta itu?”

“Kamar ini, Kongcu. Kamar inilah kamar pendekar itu ketika dulu dia bermalam di sini. Saya yang selalu membersihkannya dan melayaninya, akan tetapi dia.... dia pergi. Dan kamar ini tidak pernah dipakai lagi, akan tetapi selalu saya rawat dan saya bersihkan, kalau-kalau.... dia datang kembali ke sini...., akan tetapi sekarang kamar ini dibuka karena banyaknya tamu dan kebetulan Kongcu dipeersilakan bermalam di sini....“ Suaranya gemetar.

“Siapa nama pendekar penolongmu itu?”

“Itulah yang menyusahkan hati saya, Kongcu. Saya tidak tahu namanya, bahkan di sini pun tidak ada yang tahu nananya. Dia masih muda, rambutnya panjang terurai akan tetapi berwarna putih seperti perak, dia.... dia tampan dan gagah, pendiam dan penuh rahasia.

Kian Lee meraba dahinya dan mengerutkan alisnya. “Masih muda, rambutnya putih terurai, lihai sekali? Hemmm.... pernah aku mendengar tokoh seperti itu. Bukankah orang-orang menyebutnya Pendekar Siluman Kecil?”

“Benar!” Dara itu berseru penuh harapan. “Apakah Kongcu sudah mengenalnya!?”

“Sayang sekali belum. Apalagi mengenalnya, bertemu muka pun belum pernah. Aku hanya mendengar berita orang saja....“

Tiba-tiba Kian Lee menghentikan kata-katanya karena dia melihat berkelebatnya seseorang di depan kamar itu. Hanya kelihatan kepala orang itu yang menoleh ke dalam, seperti orang menjenguk dan terdengar suara orang itu mendehem kecil “ehmmm....“

Wajah Kian Lee menjadi merah dan cepat dia membuka daun pintu, kamarnya. Ketika dia memandang, dia melihat seorang laki-laki yang tadi lewat di depan pintu kamar itu, kini sudah memasuki taman, menyeberang sebuah jembatan taman dan orang itu menoleh kepadanya, lalu tersenyum dengan sinis. Kian Lee menjadi penasaran, akan tetapi orang itu sudah membuang muka dan tidak menoleh lagi, lalu berjalan pergi dan lenyap di tikungan bangunan, Kian Lee memasuki kamarnya lagi.

“Siapa dia?” tanya Kian Lee kepada gadis itu yang kelihatannya memandang khawatir.

“Yang menjenguk tadi?” Bibir yang merah tipis itu berjebi tanda muak dan tidak senang. “Dia pun seorang tamu, kabarnya dia pengawal dari Ouw-taijin, seorang pembesar berpangkat Tee-tok dari San-sian. Rombongan Ouw-teetok itu kepala pengawal she Bu. Orangnya menjemukan sekali, Kongcu, sejak kemarin dia selalu berusaha untuk menggoda saya kalau kebetulan bertemu.”

“Hemmmmm....“ Diam-diam Kian Lee mencatat laki-laki berusia empat puluhan tahun bermuka hitam dan berkumis lebat itu. Dia masih membuka daun pintu dan ketika dia hendak menutupkan daun pintu, tiba-tiba terdengar suara berisik dan datanglah lagi beberapa orang tamu yang agaknya juga memperoleh kamar-kamar di dekat taman itu. Agaknya mereka itu hanyalah pengawal-pengawal dari pembesar yang baru datang. Akan tetapi ketika Kian Lee memandang kepada rombongan orang itu, dia terkejut sekali melihat salah seorang di antara mereka yang dikenalnya. Seorang wanita yang cantik pesolek, usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun, namun tubuhnya masih ramping dan padat terpelihara, sinar matanya tajam dan kerlingnya menyambar-nyambar ganas, di pinggangnya tergantung pedang dengan sarung pedang yang terukir indah. Itulah Mauw Siauw Mo-li, Si Siluman Kucing wanita yang lihai bukan main, ahli peledak, dan masih sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka! Wanita ini merupakan seorang tokoh yang amat ditakuti, dan ketika terjadi huru-hara pemberontakan dua orang Pangeran Liong, wanita ini pun mengambil bagian yang penting. Mau ape wanita tokoh sesat yang amat berhahaya itu berkeliaran di sini, pikir Kian Lee dan hatinya mulai tertarik. Tentu akan terjadi peristiwa penting di tempat ini pikirnya.

Cepat dia masuk kembali agar tidak kelihatan oleh Siluman Kucing itu. Agaknya akan banyak kaum persilatan dan tokoh-tokoh golongan hitam yang datang ke tempat ini, pikirnya. Entah siapa gerangan utusan kaisar dari kota raja itu dan tentu akan terjadi seuatu yang hebat. Dia harus waspada.

“Sudahlah,.... Cui Lan. Sekarang lebih baik kautinggalkan aku sendiri, tidak baik kalau kita berdua berada di dalam kamar ini terlalu lama. Aku khawatir kalau-kalau orang akan menduga jelek kepadamu”

“Tapi, Kongcu…. saya justeru takut untuk pergi meninggalkan Kongcu“ Kata gadis itu mulai basah dengan air mata. “Harap Kongcu jangan menyuruh saya pergi saya takut kalau saya harus melayani tamu lain. Jangan-jangan saya akan disuruh melayani pengawal Ouw-teetok itu, dia sudah terus mengincarku. Kongcu, saya mohon kepadamu, harap Kongcu perbolehkan saya berada di sini selama orang-orang ini belum pergi. Saya takut....“

Suma Kian Lee memandang dengan kasihan dan tersenyum. “Kenapa kalau di sini bersama aku tidak takut? Kau pun belum mengenal aku, Cui Lan.”

“Tidak, kalau di sini saya tidak takut. Saya tahu bahwa Kongcu tentu tidak akan mengganggu gaya “

“Hemmm, baiklah.... akan tetapi aku hendak mengaso, Cui Lan.”

“Mengasolah, Kongcu, saya akan duduk di sini saja. Apakah saya harus bermain yang-kim untuk Kongcu?!

“Tidak usah. Aku hendak mengaso dan aku tidak ingin melihat engkau menangis lagi menyanyikan lagu yang sedih itu.” Kian Lee lalu merebahkan dirinya di atas pembaringan, sedangkan Cui Lan duduk di atas bangku seperti orang melamun.

Tentu. saja ditunggui orang seperti itu, seorang gadis cantik lagi, Kian Lee tidak dapat tidur. Akhirnya dia bangun dan mengajak Cui Lan bermain catur yang memang disediakan di dalam kamar itu. Ternyata gadis ini pandai bermain catur, sehingga untuk beberapa lamanya Kian Lee asyik bermain catur bergembira dan lupa seolah-olah dia sedang bermain catur dengan seorang sahabat lama. Juga gadis itu kadang-kadang tertawa kecil dan melupakan kedukaannya. Baru sekarang dia bertemu dengan seorang pemuda yang begitu sopan, halus dan sama sekali tidak pernah kurang ajar sehingga dia merasa terhibur dan seolah-olah memperoleh seorang sahabat yang amat baik dan boleh diandalkan.

Waktu lewat tak terasa dan selama itu Kian Lee mendengar datangnya rombongan demi rombongan para tamu. Akhirnya senja tiba dan Kian Lee lalu mencuci muka dengan air hangat yang diambilkan oleh Cui Lan. Setelah bertukar pakaian dan diberi tahu oleh Cui Lan bahwa bulan telah muncul dan pesta akan dimulai, bahkan sebagaian para tamu sudah memasuki taman, Kian Lee lalu meninggalkan Cui Lan, memesan kepada Cui Lan untuk menutupi pintu dan jendela dan kalau terjadi sesuatu supaya menjerit saja. Dia langsung memasuki taman yang telah diatur dan dihias untuk keperluan pesta di malam hari itu untuk menyambut datangnya tamu agung dari kota raja.

“Selain sinar bulan yang belum terla1u tinggi sehingga sinarnya masih belum terang benar, juga banyak digantung lampu-lampu yang berbentuk lentera-lentera yang beraneka macam, digantung di pohon-pohon dan di tempat-tempat yang disediakan khusus untuk keperluan itu. Di sudut taman terdapat serombongan tukang main musik membunyikan alat musiknya sehingga suasana menjadi meriah. Tamu-tamu mulai berdatangan, disambut oleh petugas-petugas dan dipersilakan duduk di tempat masing-masing yang sudah disediakan sesuai dengan tingkat dan kedudukan mereka. Semua bupati dan pembesar-pembesar di seluruh wilayah Propinsi Ho-nan datang. Mereka ini rata-rata membawa pengawal masingmasing yang terdiri dari orang-orang yang bertubuh kokoh kekar dan berwajah serem-serem, kelihatannya lihai dan angkuh gerak-geriknya.

Kian Lee yang kebagian tempat duduk di bagian belakang, yaitu tempat para tamu undangan terdiri dari orang-orang kang-ouw yang tidak memiliki pangkat, sengaja memilih tempat duduk dekat kolam, agak menyendiri akan tetapi dari tempat itu dapat melihat ke seluruh tempat duduk para tamu sampai tempat duduk tuan rumah dan tamu agung yang telah dipersiapkan di panggung, agak tinggi dari tempat duduk lainnya. Sebentar-sebentar Kian Lee menengok apabila ada tamu baru datang dan dia pun menoleh ke sana-sini untuk melihat barangkali ada adiknya di antara sekian banyak tamu itu.

Hatinya lega ketika melihat bahwa yang berkumpul adalah tokoh-tokoh baru yang tidak dikenalnya. Tidak kelihatan tokoh-tokoh lama, dan yang dia kenal hanyalah si wanita genit Siluman Kucing Mauw Siauw Mo-li yang untung duduknya di seberang cukup jauh dari tempat dia duduk. Suasana makin gembira dengan suara para tamu yang mulai bercakap-cakap sambil makan kwaci yang telah lebih dulu disediakan di atas piring di meja masing-masing. Suara kletak-kletik orang makan kwaci bercampur dengan suara orang-orang bicara, dilatarbelakangi suara musik yang meriah.

Gubernur Kui Cu Kam, yaitu Gubernur Ho-nan yang usianya kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh kurus kecil dan berpakaian gemerlapan indah, sejak tadi sudah duduk di tempatnya. Sebagai seorang gubernur atau pembesar yang paling tinggi kedudukannya, dia tidak menyambut tamu sendiri, melainkan diwakili oleh pembesar-pembesar bawahannya dan dia hanya duduk sambil mengangguk sebagai balasan salam dari para tamu yang baru berdatangan dan yang memberi hormat kepadanya. Gubernur ini kelihatan gembira dan tersenyum-senyum sambil menoleh ke kanan kiri. Di belakangnya berdiri pasukan pengawal yang dikepalai oleh Si Rambut Merah yang selalu membawa guci arak itu. Ho-nan Ciu-lo-mo Wan Lok It pada kesempatan itu pun mengenakan pakaian yang baru untuk menghormat tamu, akan tetapi tetap saja bibirnya berlepotan arak!

Tiba-tiba terdengar teriakan keras dari pasukan pengawal di pintu gerbang depan, sambung-menyambung memberitahukan bahwa tamu agung, yang mulia utusan kaisar telah tiba! Semua tamu bangkit berdiri dan pintu kehormatan yang berada di tengah-tengah menghubungkan taman dengan istana gubernur dibuka oleh para penjaga. Para pemain musik yang sudah dipesan lebih dulu kini memainkan musik yang berbunyi gagah, seolah-olah hendak mengiringkan datangnya tamu agung.

Maka tampaklah iring-iringan tamu agung itu. Seorang pemuda yang berwajah tampan sekali, berpakaian indah gemerlapan, melangkah masuk ke dalam taman, dengan senyum di bibir dan matanya memandang ramah ke kanan kiri. Pemuda tampan ini diiringkan oleh tiga losin orang pengawal istana yang juga berpakaian gagah dan indah dan melihat bulu burung menghias kepala mereka serta pakaian mereka yang gemerlapan seperti terhias banyak emas, tahulah orang bahwa tiga losin pengawal itu adalah pasukan pengawal Kim-i-wi (Pengawal Baju Emas) yang terkenal, dan bulu di kepala itu menunjukkan bahwa mereka termasuk anggauta pasukan Kuku Garuda yang terkenal lihai dan berkepandaian tinggi. Di kanan kiri pemuda tampan itu berjalan pelindungnya, dua orang jagoan pengawal kaisar dari kota raja, komandan dari pasukan Kuku Garuda yang tersohor, yang dahulu terangkat tinggi-tinggi namanya berkat pimpinan Puteri Nirahai yang gagah perkasa. Di belakang pemuda tampan itu berjalan sebagai pengiring atau pengantarnya, seorang kakek tinggi kurus berjenggot putih yang melihat pakaiannya juga bukan berpangkat rendah. Dia ini adalah Gubernur Hok Thian Ki, gubernur dari Propisi Ho-pei yang berada di utara Ho-nan dan di mana kota raja terletak.

Di belakang Gubernur Hok ini berjalan parapengawalnya, dikepalai oleh seorang laki-laki bermata sebelah, akan tetapi mata yang tinggal satu ini bukan main tajam sinarnya. Orang-orang banyak yang mengenal Si Mata Satu ini yang bukan lain adalah Tok-gan Sin-ciang Liong Bouw (Si Mata Satu Tangan Sakti), jagoan dari Mo-pei yang menjadi pengawal Gubernur Hok.

Akan tetapi Kian Lee tidak mempedulikan orang lain yang tidak dikenalnya, pandang matanya tertuju kepada ppmuda tampan yang bersikap tenang dan berwajah ramah itu. Kiranya utusan kaisar itu adalah putera kaisar sendiri, yaitu Pangeran Yung Hwa yang terkenal sebagai pangeran yang suka membantah dan melawan kehendak kaisar, itu, pangeran yang suka minggat dari istana untuk memprotes kehendak kaisar yang menjadi ayahnya! Juga Kian Lee mendengar bahwa pangeran yang amat tampan ini pernah menjadi saingannya, karena pangeran ini kabarnya pernah jatuh cinta kepada Ceng Ceng! Maka, tentu saja hatinya tertarik dan dia memperhatikan dengan seksama.

Setelah tiba di ruangan itu, di depan Gubernur Kui sebagai tuan rumah, sambil tersenyum Pangeran Yung Hwa lalu mengeluarkan len-ki (bendera utusan atau wakil kaisar dan mengangkatnya tinggi ke atas kepalanya. Melihat bendera ini, Gubernur Kui lalu menjatuhkan diri berlutut dan hal ini diikuti oleh semua orang yang hadir di situ karena bendera ini dianggap sebagai kehadiran kaisar sendiri.

“Hamba Kui Cu Kan Gubernur Ho-nan siap menerima perintah Sri Baginda Kaisar,” Kui-taijin berkata dengan suara merendah dan terdengar nyaring karena semua orang yang berlutut tidak ada yang berani membuka suara.

Pangeran Yung Hwa mengeluarkan sebuah gulungan kain tertulis, kemudian komandan pasukan pengawal Kuku Garuda yang dua orang itu lalu membuka gulungan ini di depan Pangeran Yung Hwa agar mudah bagi pangeran muda itu untuk membacanya. Dengan suara lantang Pangeran Yung Hwa lalu membaca amanat dari kaisar yang ditujukan kepada seluruh pejabat di Ho-nan sampai kepada rakyatnya. Diperintahkan oleh kaisar agar semua rakyatnya, terutama gubernur dan para pejabat pemerintahnya, menjaga tata tertib kerajaan, jangan ada yang menyeleweng daripada peraturan yang telah diadakan. Akhirnya diperingatkan bahwa setiap penyelewengan akan dihancurkan sampai ke akar-akarnya.

Baru saja membaca sampai di situ, tiba-tiba terdengar suara mengejek, suara sinis yang keluar dari lubang hidung, datangnya dari arah sudut di mana banyak terdapat orang-orang yang semua juga sedang berlutut sehingga sukar untuk diketahui siapa orangnya yang mengeluarkan suara ejekan yang amat jelas terdengar tadi itu. Pangeran Yung Hwa menghentikan bacaanya dan bertanya dengan nada suara halus, namun penuh wibawa, “Siapa yang berani mentertawakan amanat Sri Baginda Kaisar?”

Tentu saja tidak ada seorang pun yang menjawab. Mereka semua masih saja berlutut, bahkan tidak ada yang berani mengangkat kepala. Semua ini tampak oleh Kian Lee yang biarpun ikut pula berlutut akan tetapi dia miringkan kepalanya sehingga dia dapat mengintai ke depan.

“Hemmm, tidak ada yang mau mengaku, ya?” Pangeran Yung Hwa menjadi marah juga, merasa diejek dan dihina sebagai utusan kaisar. Dia menoleh kepada Gubernur Hok dari Ho-pei dan memberi isyarat. Gubernur ini lalu berbisik kepada jagoannya yaitu Tok-gan Sin-ciang Si Mata Satu.

“Baik, akan hamba tangkap dia!” Orang bermata sebelah ini mengangguk dan tiba-tiba dia menggerakkan kakinya dan seperti seekor burung garuda saja, tubuhnya sudah mencelat bagaikan terbang menyambar ke sudut tadi. Tangannya yang kurus itu, dengan lengan yang panjang, mencengkeram ke depan, ke arah seorang laki-laki yang berlutut di dekat pot bunga cemara katai. Orang itu terkejut bukan main, tidak mengira bahwa Si Mata Satu itu demikian cepat gerakannya. Dia mengangkat lengan menangkis.

“Dukkkkk!” Keduanya terhuyung dan orang itu cepat meloncat berdiri. Maka bertandinglah Si Mata Satu melawan orang ini. Kian Lee mengerling, dan terheran-heran ketika mengenal orang yang diserang oleh Si Mata Satu itu, karena dia itu ternyata adalah laki-laki yang sore tadi lewat di depan kamarnya, berdehem dan kemudian tersenyum sinis kepadanya, lakl-laki muka hitam yang berkumis lebat, yang menurut Cui Lan bernama Bu Ok Ti, pengawal dari Ouwtee-tok bupati kota San-sian! Dan ternyata orang bermuka hitam yang agaknya tergila-gila kepada Cui Lan itu juga memiliki kepandaian hebat! Gerakannya cukup lincah dan kuat sehingga pertandingan antara dia dan Si Mata Satu itu berlan seru dan dahsyat.

Biarpan di situ terdapat banyak orang, bahkan banyak orang pandai, diantaranya terdapat Suma Kian Lee, akan tetapi tidak ada yang tahu bahwa Si Muka Hitam inilah yang tadi mengejek amanat-amanat dari kaisar. Hal ini adalah karena mereka semua berlutut. Sebaliknya, sebagai pengawal rombongan utusan kaisar, Si Mata Satu tadi tidak brlutut maka matanya yang tinggal sebelah dan amat tajam pandangnya itu depat melihat siapa yang telah mengejek itu, maka dia dapat langsung turun tangan hendak menangkap Si Muka Hitam.

Pertandingan makin seru, akan tetapi para tamu tidak ada yang berani bergerak. Pangeran Yung Hwa masih berdiri dengan leng-ki, bendera yang berkuasa itu, di tangan dan diangkat tinggi-tinggi. Dan dua orang yang bertanding itu berloncatan ke sana-sini, mencari tempat-tempat kosong. Akan tetapi akhirnya Si Muka Hitam itu terdesak juga, repot dia menghadapi kelihaian Tok-gan Sin-ciang yang memiliki tangan sakti, pukulanpukulan keras, dan tenaga sinkang yang membuat pukulannya mendatangkan angin bersuitan itu. Mulailah Bu Ok Ti meloncat ke sana-sini berputar-putar menghindarkan diri dari serangan-serangan maut itu. Akan tetapi, sambil meloncat seperti terbang, yaitu loncatan ginkang istimewa yang dikuasai oleh Si Mata Satu, Tok-gan Sin-ciang menyerbu dan melewati banyak kepala orang, menubruk dan dengan suatu totokan kilat akhirnya dia berhasil merobohkan Bu Ok Ti.

Tok-gan Sin-ciang lalu menyeret tawanannya itu, hendak dibawa ke depan Pangeran Yung Hwa. Kian Lee yang sejak tadi melirik dengan penuh perhatian, dapat melihat ini semua. Akan tetapi ketika Tok-gan Sin-ciang lewat di dekat si tokoh sesat Siluman Kucing, dia berteriak mengaduh dan roboh!

Gegerlah keadaan ketika Tok-gan Sinciang roboh itu. Komandan pengawal Kuku Garuda yang lihai tentu saja dapat melihat bahwa robohnya Tok-gan Sinciang adalah ketika lewat di depan Siluman Kucing, maka sambil berseru keras, seorang di antara mereka meloncat dan menerkam ke arah Mauw Siauw Mo-li. Wanita ini terkekeh dan bangkit berdiri ialu menangkis, tangkisan hebat yang membuat komandan itu hampir terjengkang karena dia tidak menyangka sama sekali bahwa perempuan cantik itu sedemikian hebat tenaga sinkangnya. Maka mereka lalu bertempur, lebih hebat daripada pertempuran yang tadi. Tok-gan Sin-ciang dan Bu Ok Ti sudah tak dapat bergerak dan kini pertandingan antara komandan Kuku Garuda yang bermata sipit melawan Mau Siauw Mo-1i terjadi lebih cepat lagi. Tidak percuma Si Mata Sipit menjadi komandan Kuku Garuda dan kini dipercaya untuk menjadi seorang di antara dua pengawal pribadi utusan kaisar, karena memang hebat kepandaiannya. Biarpun Mauw Siauw Mo-li adalah seorang tokoh lalim sesat yang amat lihai, ternyata komandan ini dapat mengimbangi kecepatannya dan para tamu yang kini berani mengangkat muka, menjadi silau menyaksikan pertempuran di antara mereka yang demikian cepatnya. Mauw Siauw Mo-li telah mengeluarkan sebatang pedangnya dan kini pedang itu diputar sedemikian rupa, lenyap bentuk pedangnya berubah menjadi segulung sinar hijau yang menyilaukan mata. Akan tetapi komandan itu pun mengeluarkan sebatang pedang yang sinarnya putih, sehingga tampaklah pemandangan yang amat indah, dua gulungan sinar hijau dan putih, saling belit di antara berkelebatnya bayangan mereka, seolah-olah dua orang penari yang sedang bergaya dengan menggunakan selendang hijau dan putih. Akan tetapi semua orang merasa tegang karena maklum bahwa “selendang” hijau dan putih itu adalah sinar-sinar pedang yang mematikan.

Sambil mengeluarkan suara aneh seperti kucing terinjak ekornya, Mauw Siauw Mo-li mengirim tusukan kilat dan tangan kirinya juga menghantam dengan pukulan beracun yagg mengeluarkan uap hitam. Komandan itu terkejut dan cepat dia meloncat ke belakang. Akan tetapi ketika dia meloncat tiba di dekat tempat Gubernur Ho-nan atau tuan rumah yang sedang berlutut, tiba-tiba ada angin menyambar ke arah punggungnya.

“Tranggg....!” Untung dia cepat menangkis dengan pedangnya yang dikelebatkan ke belakang dan ternyata yang menyerangnya adalah Ho-nan Ciu-lo-mo yang tadi menggunakan guci araknya sebagai senjata! Kiranya guci arak itu brkan hanya terdapat arak untuk diminum, akan tetapi juga merupakan sebuah senjata yang aneh dan ampuh! Tanpa banyak cakap, Ho-nan Ciu-lo-mo yang tentu saja sudah mendapat perkenan dan isyarat dari Gubernur Kui itu, terus menerjang dan mengeroyok komandan bermata sipit dari istana iaisar itu.

“Penjahat pemberontak!” Komandan ke dua dari Kuku Garuda yang jenggotnya lebat, sudah menerjang maju dan dengan pedangnya yang bersinar putih pula dia telah menerjang Ciu-lo-mo sehingga kini pertandingan terpecah menjadi dua. Dua orang komandan itu melawan Mauw Siauw Mo-li dan Ciu-lo-mo.

Kini keadaan menjadi makin geger. Semua tamu sudah bangkit berdiri dan kini para jagoan Ho-nan sudah menerima perintah lalu maju, disambut oleh pasuken penwal Kuku Garuda yang tiga losin jumlahnya itu. Terjadilah pertempuran yang kacau-balau dan hebat.

Kian Lee juga sudah melompat berdiri, bingung karena tidak tahu harus berbuat apa, tidak tahu mengapa ada pertempuran di antara orang-orang pemerintah sendiri. Dia melihat Pangeran Yung Hwa melarikan diri dikejar ole Perwira Su Kiat yang pernah bentrok dengan dia ketika hendak menangkapnya di celah tebing. Melihat ini dia cepat meloncat dan mengejar secepatnya bagaikan seekor burung terbang karena dia mengkhawatirkan keselamatan pangeran itu. Dilihatnya betapa Pangeran Yung Hwa lari ke luar dari taman dan terus dikejar oleh perwira Su Kiat dengan sikap mengancam, maka dia pun membayangi dan siap untuk menolong apabila pangeran itu terancam bahaya.

***

Kita tinggalkan dulu keributan yang terjadi di taman istana Gubernur Ho-nan, Kui Cu Kam, yang ternyata diam-diam mempersiapkan pemberontakan itu, dan agar tidak terlalu lama tertinggal, maka sebaiknya kita menengok keadaan Puteri Syanti Dewi di Istana Raja Bhutan.

Pada suatu senja yang dingin. Musim dingin telah mulai di Bhutan dan udara amat dinginnya, menyusup ke tulang sumsum sehingga semua orang yang memberanikan diri ke luar dari rumah tentu memakai baju yang tebal atau baju bulu, dengan kopyah atau pelindung kepala bulu yang menutup kedua telinga.

Hanya orang-orang yang mempunyai keperluan penting saja mau ke luar dari rumah yang hangat di saat seperti itu. Di dalam rumah, hawanya hangat dan nyaman karena setiap rumah tentu menyalakan api di dalam perapian. Tidak ada angin berkelisik di dalam taman istana Bhutan. Pohon-pohon berdiri seperti mati, sungguhpun daun-daunnya masih segar dan berwarna hijau kehitaman karena sinar matahari sudah menyuram. Hanya di langit barat saja tampak awan-awan seperti terbakar merah yang nampak nyata dan luar biasa dibawah langit yang biru. Burung-burung sudah sejak tadi bergegas pulang dan berlindung ke sarang masing-masing, di pohon-pohon atau di batu-batu gunung, mendekam dengan bulu mekar untuk menghangatkan tubuh. Tiada nampak seauatu bergerak di dalam taman yang penuh bunga itu dan bunga-bunga pun agaknya mulai mengaso, tidak berseri-seri seperti di siang hari. Seluruh dunia, dan langit biru sampai air empang teratai di dalam taman yang tidak bergerak sedikit pun, nampaknya lengang dan hening, merupakan suatu keseluruhan yang tidak pernah terpisah senapas dan tercakup dalam keiindahan yang satu.

Akan tetapi di dalam kesunyian senja yang indah itu, tampak ada seorang wanita muda duduk seorang diri di dalam taman istana, memandang dengan sinar mata kosong dan sayu ke arah bunga-bunga teratai merah di atas empang. Dia seorang wanita yang amat cantik jelita, usianya kurang lebih dua puluh tahun, dan dari pakaiannya saja mudah diduga bahwa dia bukanlah wanita biasa, bukanlah pelayan istana. Wajahnya cantik sekali, dengan hidung mancung dan mata yang lembut pandangnya, namun mulut yang bentuknya indah mengaairahkan itu membayangkan kekerasan hati.

Dia adalah Puteri Syanti Dewi, puteri Rja Bhutan yang terkasih, disayang oleh raja dan ratu, disayang pula oleh para punggawa, dan dipuja oleh rakyat Bhutan. Bagi rakyat Bhutan, Puteri Syanti Dewi seolah merupakan bulan yang menyinarkan keindahan dan kegembiraan. Apalagi setelah puteri yang tadinya dianggap telah hilang atau mati, setelah puteri ltu lenyap bertahun-tahun, kemudian muncul kembali dalam keadaan selamat, sehat bahkan lebih cantik jelia! Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan pengalaman Puteri Syanti Dewi ini ketika bersama Lu Ceng atau Ceng Ceng dia mengalami banyak sekali hal-hal yang hebat sampai akhirnya dia berhasil kembali ke Bhutan. Di dalam Kisah Sepasang Rajawali diceritakan pula betapa Puteri Syanti Dewi akhirnya menemukan cintanya dalam diri Ang Tek Hoat, pemuda perkasa yang telah berkali-kail menolongnya, bahkan yang terakhir sekali pemuda itu membuat banyak jasa terhadap Bhutan sehingga dianggap sebagai pahlawan Bhutan dan diangkat menjadi panglima oleh Raja Bhutan di samping menjadi tunangannya secara resmi. Tentu saja Syanti Dewi menjadi berbahagia dan dia hanya menanti saat datangnya hari pernikahannya dengan pria pilihan dan idaman hatinya itu.

Akan tetapi, segala sesuatu memang tidak kekal di dunia ini. Bahkan kebahagiaan hati Sang Puteri ini pun tidak kekal adanya. Seperti telah diceritakan dibagian depan cerita ini, munculiah awan gelap yang menghalangi kecerahan hidup puteri ini ketika seorang wanita yang bernama Ang Siok Bi muncul di Bhutan. Wanita yang hidupnya diracuni dendam ini adalah ibu Ang Tek Hoat yang ingin menarik puteranya ke luar dari Bhutan agar dapat membalaskan dendamnya terhadap keluarga Pulau Es dan akhirnya wanita itu berhasil membakar hati Raja Bhutan sehingga Ang Tek Hoat dihentikan sebagai panglima, bahkan ikatan jodoh antara pendekar itu dan Syanti Dewi dibatalkan. Peristiwa ini membuat pendekar itu merasa penasaran dan terhina sehingga dia pergi meninggalkan Bhutan tanpa sempat pamit dari kekasihnya.

Demikianlah, Syanti Dewi hanya menerima kabar dari ayahnya bahwa Ang Tek Hoat telah minggat dari Bhutan karena terbuka rahasianya bahwa pemuda yang tadinya disangka seorang pendekar terhormat, masih keluarga dari Majikan Pulau Es, yang dianggap pahlawan dan diterima sebagai tunangan Puteri Syanti Dewi itu, ternyata hanyalah seorang anak haram! Karena malu, pemuda itu lolos dari Bhutan tanpa pamit, demikian berita yang diterima oleh Syanti Dewi. Mendengar berita ini, Syanti Dewi jatuh pingsan dan menderita sakit demam karena guncangan batin yang amat hebat. Sampai tiga bulan puteri ini sakit dan nyaris tewas oleh sakitnya. Akan tetapi berkat perawatan penuh ketelitian dari para tabib yang dikumpulkan oleh Raja Bhutan, akhirnya Sang Puteri sembuh juga. Akan tetapi terjadi perubahan besar dalam diri Sang Puteri. Puteri yang tadinya lincah jenaka itu kini selalu murung, dia kehilangan gairah hidupnya, tidak mempunyai kegembiraan lagi. Biarpun dia masih cantik jelita seperti bulan purnama, namun bulan itu selalu tertutup mendung.

Tentu saja raja dan ratu merasa prihatin sekali dengan keadaan puteri mereka itu.

“Syanti Dewi, ingatlah bahwa engkau adalah puteri kerajaan! Nasibmu masih baik bahwa engkau belum terlanjur menjadl isteri anak haram itu. Betapa akan mencemarkan nama keluarga kita kalau hal itu terjadi! Perlu apa engkau memikirkan lagi manusia tak tahu malu ltu?” berkali-kali raja dan ratu menegur dan menghibur puteri mereka.

“Kenapa dia pergi tanpa menemui aku?” berkali-kali Syanti Dewi mengeluh dengan suara mengandung penuh penyesalan.

“Tentu dia malu!” kata Sri Baginda Raja. “Setelah terbuka rahasianya, tentu dia tidak ada muka lagi untuk bertemu denganmu dan memang sudah semestinya begitu.”

“Tidak, Ayah.... tidak.... Syanti Dewi mengepal tinju dan menggeleng kepala keras-keras. “Dia bukan manusia seperti itu! Aku cinta padanya, Ayah, Ibu. Aku cinta padanya, tidak mengertikah Ayah dan Ibu? Aku cinta padanya!”

“Hemmm, Syanti Dewi, ingatlah bahwa dia adalah seorang anak haram, tidak ketahuan siapa Ayahnya! Dan kau tahu siapa yang memberitahukan kepada kami akan hal itu? Ibunya sendiri!” Sri Baginda berkata marah.

“Aku tahu, aku pernah melihat Ibunya. Ayah, Ibu.... yang kucinta adalah orangnya, bukan silsilah keturunannya, bukan kedudukannya, bukan nama baik atau buruknya. Tidak mengertikah Ayah dan Ibu?”

Akan tetapi semua bantahan Syanti Dewi, segala pembelaannya percuma saja karena Tek Hoat telah pergi dan tidak ada seorang pun tahu kemana perginya. Beberapa kali Syanti Dewi hendak minggat dari istana untuk pergi menyusul dan mancari kekasihnya, akan tetapi selalu gagal karena Sri Baginda raja telah memerintahkan kepada para pengawal agar mereka melakukan penjagaan ketat dan tidak memperbolehkan siapapun juga memasuki istana puteri. Apalagi manusia, seekor kucing pun tidak akan mungkin masuk menerobos penjagaan ratusan orang pengawal yang berjaga siang dan malam itu! Syanti Dewi memprotes ayahnya, menangis, namun semua itu sia-sia belaka. Ayahnya tidak mengijinkan dia pergi.

Kemudian ayahnya memutuskan untuk mengawinkan puteri itu dengan Mohinta, putera dari Panglima Tua Sangita yang telah banyak jasanya.

“Mohinta adalah seorang panglima muda yang amat setia, tampan dan gagah, juga ayahnya adalah seorang yang setia kepada Bhutan,” demikian antara lain Sri Baginda membujuk puterinya. Selain kita semua tahu akan riwayat keluarganya, juga sejak kecil engkau telah mengenalnya karena dia adalah sahabatmu di waktu kecil. Hanya dialah yang dapat menyelamatkan namamu dan nama keluarga kita dari aib yang didatangkan oleh penjahat asing Ang Tek Hoat itu.”

“Ayah....!” Syanti Dewi hanya dapat menangis.

Akan tetapi setiap kali pernikahan direncanakan, Syanti Dewi selalu minta waktu dan minta mundur. Karena Sri Baginda juga mengenal watak puterinya yang keras, maka dia tidak berani memaksa, apalagi karena Panglima Mohinta yang mencinta puteri itu juga bersabar dan menanti sampai Sang Puteri tidak berduka lagi. Dia percaya bahwa kedukaan tidak akan berlangsung selamanya, maka panglima muda itu bersabar menanti. Betapa dia tidak akan sabar kalau mengingat bahwa selain dia akan dapat memiliki puteri yang amat cantik jelita itu, juga kelak isterinya itu akan menjadi Ratu Bhutan dan tentu saja hal itu berarti mengangkat dia menjadi orang yang paling tinggi kedudukannya di kerajaan itu?

Demikianlah, sampai empat tahun lamanya sejak Tek Hoat meninggalkan Bhutan, Syanti Dewi masih sering kali termenung seorang diri di dalam taman, di mana dahulu dia sering mengadakan pertemuan yang asyik dan mesra dengan Tek Hoat. Memang rasa sakit di hatinya sudah tidak begitu terasa lagi, luka itu sudah hampir kering, namun puteri itu belum dapat memulihkan kegembiraan hidupnya dan lebih suka menyendiri. Kalau dia sedang melamun seperti itu, dia lupa akan keadaan sekelilingnya, bahkan tidak merasakan lagi hawa dingin yang menyusup tulang!

Sementara itu, di luar pintu gerbang istana Bhutan juga terjadi hal yang amat menarik. Hawa udara yang amat dingin membuat orartg-orang segan keluar rumah dan lalu lintas di jalan-jalan raya juga sepi. Para penjaga yang kedinginan sudah mengenakan baju bulu dan topi bulu penutup telinga dan kepala, bahkan mereka juga membuat api unggun di tempat pernagaan untuk menambah hangat dan mengusir hawa dingin yang mencoba untuk menyusup dan menyerang kulit mereka melalui lengan baju dan leher baju. Api unggun bernyala merah, hampir sama dengan warna merah di langit barat yang mulai memudar, targanti warna kelabu yang gelap.

“Sssttttt, lihat dia itu....!” Tiba-tiba seorang penjaga menyentuh lengan kawannya yang sedang menambah kayu dalam api unggun, lalu menuding ke luar pintu gerbang. Kawannya menengok dan mengeluarkan suara suitan tertahan saking kagumnya. Suara ini sudah biasa bagi para penjaga, suara suitan tertahan yang menjadi tanda kekaguman kalau mereka melihat wanita cantik lewat di pintu gerbang. Karena itu, para penjaga yang jumlahnya lima belas orang, yang keisengan di waktu hawa sedingin itu, kini memperhatikan ke luar pintu gerbang, kepala mereka menjeguk ke luar dan mata mereka terbelalak memandang menembus kesuraman senja.

“Waduh cantiknya....!” kata seorang.

“Bukan main! Manis sekali....!”

“Tubuhnya.... amboiiiii....!”

“Mati aku.... lenggangnya....“

“Wab, dia memakai pakaian setipis itu dan tidak kelihatan kedinginan!” Seorang yang lebih teliti berkata dan barulah teman-temannya juga melihat kenyataan yang memang luar biasa ini.

“Dan tidak hujan tidak panas dia memakai payung!”

“Wah, wah.... sepatunya juga kain, bagaimana dia dapat bertahan dalam udara sedingin ini?”

“Cantik jelita, pakai payung malam-malam tidak hujan, sedingin ini berpakaian tipis tanpa merasa dingin, wah-wah, jangan-jangan dia bukan manusia !”

“Hihhh....!”

Semua orang mulai merasa seram dan untuk menabahkan hati, mereka meraba gagang senjata masing-masing dan kini lima belas orang itu sudah keluar semua dari gardu penjagaan. Komandan mereka, seorang pendek gemuk yang terkenal galak dan pemberani, sudah keluar pula dan memandang dengan alis berkerut, kumisnya yang tipis bergerak-gerak dan ini merupakan tanda bagi anak buahnya bahwa komandan mereka itu sedang tegang hatiya!

“Hemmm, mencurigakan. Anak-anak, siap!” Sang komandan memberi komando dan dia sendiri lalu menghadang di tengah pintu gerbang. Kebetulan sekali sangat sunyi saat itu, tidak ada orang lain yang lewat di pintu gerbang kecuali wanita itu.

Tidak salah penjaga yang sambat mati melihat lenggang itu. Memang bukan main! Seperti harimau lapar lenggangnya, lambat-lambat dan satu-satu kedua kaki itu bergantian melangkah maju dengan gerakan agak menyilang sehingga dari depan pun nampak jelas pinggang yang ramping itu meliuk-liuk dan sisi pinggul yang padat itu miring ke kanan kiri berirama! Lenggang itu seperti lenggang tarian! Wanita itu berjalan seperti orang menari saja, berirama dan begitu teratur indah! Lengan kirinya terayun manis di sisi tubuhnya dan siku lengan kanan yang memegang gagang payung itu pun bergerak-gerak mengikuti gerak tubuh ke kanan kiri. Bukan main! Setiap bagian tubuh itu seperti hidup dalam lenggang maut itu!

Wanita itu kini makin dekat dan makin jelaslah kelihatan bentuk wajah dan tubuhnya yang tertutup pakaian tipis dari sutera. Wajah yang aduhai! Manis seperti madu. Dagunya meruncing dan bibirnya yang selalu mengulum senyum itu bergerak-gerak lucu dan penuh daya pikat. Bibir bawah itu tak pernah diam, selalu bergerak dan tergetar seolah-olah mengandung penuh perasaan hati, mengandung gejolak perasaan yang menggerakkan bibir bawah dan cuping hidung yang tipis. Matanya agak lebar, jeli dan tajam pandangnya, kadang-kadang redup penuh rahasia dan seolah-olah sinar mata itu bersembunyi di balik bulu mata yang merupakan selubung atau tirai indah. Lesung pipit menghias pipi yang segar kemerahan seperti buah tomat masak.

Seorang dara yang amat cantik jelita, yang usianya tidak akan lebih dari sembilan belas tahun. Pakaiannya dari sutera tipis yang lemas sehingga seolah-olah mencetak bentuk tubuhnya, namun potongan pakaiannya rapi dan dari model terakhir dan terbuat dari sutera mahal. Payungnya juga indah sekali buatan selatan, dari sutera dan gagangnya berukir. Wajah yang amat cantik itu selalu tersenyum, mata yang sinarnya jernih itu seolah-olah mengajak semua orang bersendau-gurau tanpa kata.

Kalau saja para penjaga itu terdiri dari orang-orang yang mempunyai pandangan tajam, tentu mereka sudah dapat menduga bahwa dara yang cantik jelita ini, yang kelihatan begitu ayu dan lemah lembut, tentulah bukan orang sembarangan. Tanda-tandanya sudah nampak jelas. Dara ini aneh, tidak hujan, tidak panas memakai payung, ini menunjukkan bahwa dia suka bersikap aneh, sikap yang biasanya hanya dimiliki para kelana yang berilmu tinggi. Dara ini seorang diri saja melakukan perjalanan, padahal di masa itu bagi seorang wanita muda melakukan perjalanan seorang diri merupakan hal yang langka.

Kalau dara ini kelihatan membawa senjata jelas bahwa dia adalah seorang kang-ouw (kelana persilatan), akan tetapi tanpa senjata berani melakukan perjalanan seorang diri membayangkan keadaan seorang yang tentu sudah terlalu percaya kepada diri sendiri, sehingga tidak membutuhkan bantuan senjata! Ini pun biasanya hanya terdapat pada orang-orang yang berilmu tinggi sekali. Kemudian, lebih jelas lagi, dalam keadaan hawa udara sedingin itu sehingga para perajurit penjaga yang terlatih dan bertubuh kuat itu pun masih melindungi tubuh dengan baju tebal dan api unggun, dara itu hanya memakai pakaian sutera tipis dan berjalan enak-enak saja berlenggang kangkung memakai payung. Ini pun suatu keanehan luar biasa, ciri seorang yang tidak boleh digolongkan orang-orang biasa.

Akan tetapi, para penjaga itu seperti buta oleh kesombongan mereka sendiri. Terutama terdorong oleh gairah yang sudah dinyatakan oleh kecantikan wajah dan keindahan bentuk tubuh, apalagi setelah kini tercium bau semerbak harum yang datang dari dara itu, memancing sikap ugal-ugalan dari mereka.

Si komandan gendut pendek cepat berjalan menghampiri dan tubuhnya yang pendek itu seolah-olah menggelundung saking cepatnya gerakan kedua kakinya yang pendek. “Ehmmm, berhenti dulu, Nona!” katanya sambil mengangkat tangan ke atas dengan gerakan menghentikan dan tangan kirinya bertolak pinggang dengan aksi sekali.

Wajah di bawah payung itu berseri dan bibir merah itu merekah sedikit sehingga kelihatan benda putih seperti mutiara berkilau sebentar lalu tertutup lagi oleh bibir yang bergerak-gerakitu. Si Gendut menelan ludah, sampai berceguk bunyinya. Matanya seperti bergantung kepada bibir itu seperti seorang kehausan melihat buah anggur masak yang segar.

Dengan bahasa Bhutan yang tidak kaku, dara yang pakaiannya menunjukkan bahwa dia adalah orang Han dari timur itu menjawab, “Mengapa aku harus berhenti? Bukankah ini merupakan jalan umum?” Ketika bicara, bibirnya itu bergerak-gerak manis dan pinggang yang seperti batang pohon yang-liu tertiup angin itu dengan lemasnya meliuk-liuk.

Komandan gendut itu kembali menelan ludah dan pandang matanya menggerayangi seluruh tubuh orang, dari rambut yang hitm subur itu sampai ke kaki yang kecil mungil.

“Memang jalan umum, akan tetapi kami berhak menahan setiap orang yang mencurigakan.”

Senyum manis itu melebar dan menjadi makin manis. “Eh, kauanggap aku mencurigakan?”

“Engkau seorang wanita muda berjalan sendirian. Engkau mencurigakan dan engkau juga manis sekali menggairahkan.... eh, Nona.... kasihan sekali hawa begini dingin engkau jalan sendirian. Marilah, mari masuk ke dalam gardu penjagaan yang hangat dan kita mengobrol heh-heh....” Si Gendut menyeringai, nampak gigi yang panjang-panjang dan teman-temannya juga tersenyum menyeringai.

Dara itu tidak menjadi marah. Agaknya semuda itu dia telah pandai menguasai hatinya dan tidak mudah menjadi marah, sungguhpun pandang matannya tetap tersenyum dan dia berkata, “Aihh, Paman pengawal. Jangan begitu! Aku hanyalah seorang gadis perantau yang kebetulan lewat di sini, harap jangan menggangguku dan biarkan aku lewat.” Dia membujuk.

Melihat gadis itu tidak marah malah tersenyum, Si Gendut mendapat hati dan dia melangkah maju makin dekat dan tangannya bergerak hendak memegang lengan kiri gadis itu. Akan tetapi gadis itu mundur selangkah dan menarik tangannya sehingga pegangan itu luput.

“Ehemmmmm, Nona Manis. Engkau berpakaian seperti orang timur, engkau mencurigakan. Kalau engkau mau menemani aku di dalam gardu, aku masih bisa membiarkan kau lewat nanti. Kalau kau menolak, terpaksa aku akan menggeledah seluruh tubuhmu, kalau-kalau kau menyembunyikan sesuatu yang rahasia, heh-heh!”

“Ho-ho, dia memang menyembunyikan banyak rahasia yang hebat-hebat!”' terdengar seorang penjaga berkata dan tertawalah mereka semua. Si Gendut sambil menyeringai kembali mendekati gadis itu.

Tidak ada yang sadar bahwa kini sepasang mata yang indah itu mengeluarkan sinar yang anehisinar mata yang tidak lumrah manusia, mencorong dan mengandung wibawa yang luar biasa kuatnya, akan tetapi mulut yang manis itu masih saja tersenyum sehingga sepasang lesung pipit nampak mengapit mulut di kanan kiri, menambah kemanisan wajah itu.

Kembali dara jelita itu menggerakkan tubuh dan tangkapan tangan Si Gendut mengenai tempat kosong. “Hei, engkau ini manusia ataukah katak? Kaulihat engkau gendut bundar mirip katak!” Tiba-tiba dara itu berseru, suaranya yang halus merdu melengking nyaring, menusuk telinga semua penjaga yang sudah keluar dari dalam gardu penjagaan. “Heiiiii, kawan-kawan penjaga, dari mana kalian memperoleh katak gendut sebesar ini?” Dara itu menggerakkan tangan kirinya, dengan jari tangan terbuka tangan kiri itu seperti melakukan gerakan mendorong ke arah si komandan gendut dan melambai ke arah para penjaga, senyum manisnya tetap menghias bibirnya.

“Katak....?”

“Katak gendut....?”

“Katak....!

“Heiiiii! Ada katak....!”

“Dari mana datangnya katak raksasa ini?”

“Wah, jangan diserang! Lihat celananya.... eh, dia....!”

Semua penjaga terbelalak dan memandang dengan muka pucat ke arah seekor katak besar gendut yang mendekam di atas tanah di mana tadi si komandan gendut berdiri. Katak raksesa ini memakai pakaian si komandan, dan mendekam dengan sepasang mata terbelalak tak pernah berkedip.

Para penjaga menggosok-gosok mata mereka dan memandang lagi. Akan tetapi tetap saja, komandan mereka telah lenyap dan sebagai gantinya di tempatnya terdapat seekor katak raksasa yang memakai pakaian si komandan tadi! Tantu saja hal yang mustahil itu membuat mereka tidak percaya dan berulang kaii menggosok mata, namun mereka tidak mimpi dan memang komandan mereka telah berubah menjadi seekor katak besar! Dan selagi lima belas orang penjaga itu terlongong keheranan memandang kepada katak raksasa itu, Si Dara jelita melenggang dengan seenaknya melewati pintu gerbang, masuk ke halaman istana Raja Bhutan!

“Hei....!” seorang penjaga yang dapat menekan ketegangan hatinya menengok dan berseru ketika melihat gadis itu. Semua orang juga menengok dan dalam sesaat mereka bengong, mata mereka menjuling ketika dari belakang melihat pemandangan yang amat mempesonakan. Lenggang lemah gemulai seperti orang menari itu mengakibatkan dua bukit pinggul yang bulat padat dan terbentuk oleh pakaian sutera ketat itu bergerak menari-nari naik turun dan dalam gerakan ini terkandung kekuatan yang seolah-olah membetot semangat lima belas orang itu!

“Hei, tunggu dulu....!” Seorang penjaga yang sadar lebih dulu berteriak dan lari sambil memegang tombaknya erat-erat.

“Tangkap....!”

“Dia tentu siluman....!”

Lima belas orang itu yang kini teringat bahwa komandan mereka telah dikutuk menjadi raksasa oleh dara jelita yang mereka yakin tentu sebangsa siluman, kini lari mengejar dengan senjata di tangan.

Dara itu berhenti melenggang, tubuh atasnya masih tertutup payung yang dipanggul di atas pundaknya. Kini, payung itu diputar-putar, kemudian setelah lima belas orang itu mengejar dekat, dia membalikkan tubuhnya dan berkata, “Kalian ini sebetulnya mau apa sih?”

Lima belas orang itu tersentak kaget dan otomatis mereka menahan kaki mereka sampai ada yang hampir terjungkal. Semua mata memandang wajah dara itu dan semuanya menahan napas, mata mereka melotot sampai hampir meloncat keluar dari pelupuk mata. Muka mereka menjadi pucat dan tubuh mereka menggigil, dari tenggorokan mereka keluar suara ah-ah-uh-uh seolah-olah mereka semua mendadak telah menjadi gagu atau menjadi gila. Mereka adalah perajurit-perajurit penjaga Bhutan yang sudah biasa menghadapi bahaya melawan musuh dan rata-rata memiliki tenaga besar dan kepandaian bertempur, bukan laki-laki lemah dan penakut. Akan tetapi saat itu mereka menjadi ketakutan, bahkan ada yang saking ngerinya sampai terkencing-kencing, celana mereka basah tanpa mereka sadari! Siapa orangnya yang tidak akan merasa takut dan serem kalau melihat wajah wanita itu? Tadinya wanita itu demikian cantik jelita, seperti bidadari yang murah senyum manis, akan tetapi sekarang? Kalau berubah buruk saja masih tidak menakutkan, akan tetapi kini wajah itu “polos”, hanya merupakan seraut wajah polos berkulit halus dan rata, tidak ada mata hidung atau mulut, tidak ada tonjolan atau lekukan, halus mulus dan polos! Mereka bergidik. Tadi saja mereka sudah merasa ngeri dan ketakutan melihat komandan mereka berubah menjadi katak, sekarang lebih lagi ketika melihat wanita yang mereka sangka siluman itu menghadapi mereka dengan muka polos seperti itu!

“Hihhhhh.... hu-hu-huuhhhhh....“ Di antara mereka ada yang menggigil dan mengeluarkan suara seperti itu. Suara ini tak tertahankan lagi oleh mereka dan larilah mereka tunggang-langgang, jatuh bangun dan saling tabrak, kembali ke gardu mereka. Apalagi ketlka mereka melihat “katak raksasa” tadi sudah lenyap dan kini mereka melihat komandan mereka masih berdiri dengan mata terbelalak dan mulut masih menyeringai, kaku seperti arca!

Dara itu mengeluarkan suara ketawa ditahan, tubuhnya membalik lagi, payungnya berputaran dan lenggangnya yang mempesona dilanjutkan menuju ke arah istana.

“Hi-hik, orang-orang tolol....!” bisiknya sambil menggunakan tangan kirinya, melepaskan “kedok” atau topeng yang terbuat dari bahan semacam karet putih yang tadi dia pakai untuk menutupi mukanya sehingga membuat para penjaga lari terbirit-birit.

Tiba-tiba komandan jaga yang tadinya diam seperti patung itu bergerak dan berteriak, “Eh, orang-orang tolol! Mengapa kalian diam saja membiarkan dia masuk? Hayo kejar dan tangkap dia!” Komandan itu sendiri sudah mencabut pedangnya dan lari mengejar. Para anak buahnya terbelalak ngeri.

“Tapi.... tapi.... dia.... siluman”

“Siluman atau setan, kalau sampai dia memasuki istana, kita celaka!” Si komandan membentak dan para anak buahnya sadar. Mereka lalu berteriak-teriak sambil memegang sanjata dan mengejar, termasuk mereka yang celananya basah. Teringat akan tugas dan tanggung jawab, mereka terbangun semangatnya dan menjadi berani lagi.

“Kejar....!”

“Tangkaaapppp....!”

Berserabutan mereka lari mengejar. Dara itu mendengar teriakan-teriakan mereka, menengok, tersenyum mengejek dan tubuhnya mencelat ke depan, jauh sekali seolah-olah dia telah terbang saja! Terdengar suara ketawa halus merdu dan dengan beberapa lompatan lagi, tubuhnya meloncat ke atas pagar tembok istana dan lenyap.

“Siluman....!” Semua penjaga kembali bengong dan muka mereka berubah pucat.

“Celaka, dia masuk pagar tembok istana, kita harus melaporkan!” Si komandan yang masih belum sadar betapa dia tadi telah berubah menjadi katak raksasa, lalu cepat lari ke pintu depan istana untuk melaporkan peristiwa itu kepada para pengawal istana.

Gegerlah seluruh istana Kerajaan Bhutan dengan berita tentang siluman yang memasuki istana itu. Tentu saja sebagian besar orang tidak percaya, dan raja sendiri pun tidak percaya. Namun betapapun juga, para panglima mengerahkan pengawal-pengawal istana untuk melakukan penjagaan dan perondaan yang ketat untuk menjaga keselamatan keluarga istana raja. Juga para pendeta Buddha dikerahkan untuk mengusir “roh” jahat atau siluman yang mengganggu istana.

Kalau saja tidak ada pengerahan pendeta-pendeta untuk mengusir roh-roh jahat, kiranya tidak akan terjadi hal-hal yang menghebohkan. Malam itu juga, seorang pendeta Buddha yang terkenal sebagai seorang ahli roh-roh jahat dan siluman yang bernama Nalanda, seorang yang bertubuh tinggi besar, berusia lima puluh tahun berwajah angker dan serius, dengan membawa tempat pedupaan yang terisi dupa wangi mengebul, berjalan mengelilingi istana. Asap dupa mengebul dari tempat pedupaan, baunya semerbak sampai ke sudut-sudut, dan Pendeta Nalanda berkemak-kemik membaca mantera untuk mengusir roh jahat.

Pada saat itu, sesosok bayangan menyelinap di antara bayangan-bayangan gedung istana. Bayangan ini bukan lain adalah dara cantik jelita yang tadi telah menggegerkan luar istana. Kini payungnya telah ditutup dan dikempit di bawah ketiak kirinya, dan dengan gerakan kaki yang ringan dan gesit, tanda bahwa gadis “siluman” ini memiliki kepandaian tinggi, dan menyelinap ke sana ke mari mencari-cari. Dara itu sudah mulai kelihatan gelisah dan jengkel karena dia tidak mengenal jalan dan selalu tersesat bertemu dengan lorong buntu di komleks istana yang luas itu.

“Siaalan....!” Berulang kali dia mengumpat dan memandang ke kanan kiri, mencari-cari.

Tiba-tiba hidung yang cupingnya tipis itu bergerak-gerak, seperti hidung kelinci mencium bau harimau yang berbahaya, matanya berkilat dan kepalanya menoleh ke sana-sini mencari-cari sumber bau dupa harum itu yang makin lama makin keras. Akhirnya dia bergerak menyelinap di antara pot-pot bunga antik yang besar, bersembuyi di balik pot bunga dan mengintai ke arah Pendeta Nalanda yang melangkah datang perlahan-lahan dengan tangan memegang pedupaan yang mengebulkan asap putih dan bibirnya berkemak-kemik membaca mantera pengusir roh jahat.

Dara itu tersenyum geli. Sekelebat mata giginya yang putih seperti mutiara itu berkilat tertimpa cahaya lampu yang banyak bergantung di lorong-lorong istana. Dara itu mengerti mengapa pendeta ini membakar dupa dan berdoa mengusir roh jahat. Matanya yang cerdik itu berkilauan dan wajahnya yang jelita berseri gembira. Dia memperoleh seorang petunjuk jalan, pikirnya! Maka dengan gerakan yang ringan menandakan bahwa dia memiliki ginkang yang tinggi, dara itu lalu menyelinap dan membayangi pendeta itu dari belakang.

Pendeta Nalanda memasuki taman bunga istana, di istana bagian puteri yang terjaga ketat. Penjagaan di sekitar taman ini ketat bukan main dan dara cantik itu hanya bersembunyi di luar taman, akan tetapi dia dapat mengintai dari luar, melihat pendeta itu memasuki taman, tiba di tengah taman yang luas dan dari jauh dia melihat pendeta itu bicara kepada seorang wanita yang agaknya duduk di dalam taman, lalu pendeta itu mengelilingi taman dengan pedupaannya dan keluar lagi. Si Dara terus membayanginya dan akhirnya dia melihat pendeta itu memasuki sebuah kamar kosong, meletakkan pendupaan di atas lantai di tengah kamar, kemudian dia berjalan mengelilingi pendupaan, kedua tangan dirangkap di depan dada, mulutnya tiada hentinya berkemak-kemik membaca mantera.

Kemudian pendeta itu berdiri tegak di tengah kamar, pendupaan mengebul di dekat kakinya, dan terdengar dia berkata, “Wahai semua roh penasaran yang berkeliaran di sekitar istana Bhutan, dengarlah perintahku! Aku adalah yang terkasih, Pendeta Nalanda, yang telah memperoleh penerangan dan kekuasaan untuk mengusir kalian! Jangan kalian berani mendekati dan mengganggu istana, atau aku akan menggunakan kekuasaan untuk menghukum kalian!”

Ucapan itu dilanjutkan dengan doa-doa dan mantera lagi dan pada saat itulah, selagi Pendeta Nalanda. melakukan upacara pengusiran roh jahat, tibatiba saja pandang mata pendeta itu terbelalak menatap bayangan yang muncul dari pintu kamarnya! Bayangan seorang wanita yang cantik jelita, yang mengempit sebuah payunng! Pendeta yang selamanya menjadi pengusir roh ini hanya mengusir siluman-siluman dalam khayalnya saja, kini melihat pemandangan itu, merasa tengkuknya dingin dan tebal, semua bulu di tubuhnya, dan banyak memang bulu ini karena semua tubuhnya berbulu, berdiri satu-satu! Makin diperhebat doa dan manteranya, kulit di antara alisnya berkerut ketika dia memusatkan kekuatan batinnya. Akan tetapi, ketika dia melirik ke depan, “roh jahat” itu masih berdiri di situ, malah makin mendekat memasuki kamar dan tersenyum-senyum!

“Wahai, roh yang keras kepala!” bentaknya menudingkan telunjuknya ke arah hidung mancung “roh” itu. “Pergilah kau kalau tidak ingin merasakan ampuhnya pusakaku!”

“Roh” cantik itu tersenyum, manisnya bukan main, membuat tangan pendeta yang mencabut keluar sebatang pedang kayu itu gemetar. Tersenyum lagi dan mengerling dengan sikap menggoda dan mempermainkan.

“Sliuman jahat.... pedang pusakaku akan menghukummu!” Dengan suara gemetar pula pendeta Nalanda itu menggerakkan pedang kayu yang berbau harum itu, terbuat dari semacam kayu cendana yang berkhasiat melumpuhkan siluman, menusuk ke arah dada wanita cantik itu.

“Plakkkkk!” Sekali wanita itu menggerakkan tangannya, pedang kayu telah dirampasnya, kemudian pedang itu bergerak dua kali menotok dan tubuh pendeta yang tinggi besar itu jatuh bertekuk lutut!

Dara jelita itu terkekeh, menutupi mulutnya, kemudian menggunakan pedang kayu yang dia oles-oleskan abu pendupaan untuk mencoret-coret muka pendeta itu dengan arang hitam! Setelah melakukan kenakalan ini sambil tertawa, dia lalu merenggut lepas jubah pendeta itu, menyelimutkan di atas tubuhnya sendiri, menyambar kopyah pendeta dan menaruhnya di atas kepala, lalu diambilnya pendupaan itu dan keluarlah dia dari kamar itu, mengepit payung dan memegang pendupaan, lalu menuju ke taman istana yang tadi pernah dikunjungi oleh Pendeta Nalanda!

“Eh, Losuhu, kenapa kembali lagi?” Penjaga taman itu berseru heran dan menghadang di tengah pintu taman.

“Minggir, ada siluman di dalam taman!” kata dara itu dengan suara dibesarkan, dan dia cepat membaca mantera dengan ngawur dan berjalan masuk. Para penjaga sudah menjadi ketakutan mendengar itu, maka mereka tidak begitu memperhatikan di dalam kegelapan malam yang mulai tiba itu bahwa si pendeta kini tiba-tiba berubah kecil tubuhnya, dan kini mengempit payung di bawah ketiaknya!

Dara itu terus memasuki taman. Setelah para penjaga tidak kelihatan lagi, dia melemparkan pendupaan, kopyah dan jubah ke belakang semak-semak dan dia cepat menyelinap ke belakang pohon-pohon dan semak-semak, menuju ke tengah taman.

Seperti telah diceritakan di bagian terdahulu, pada saat itu Puteri Syanti Dewi tengah duduk melamun seorang diri di dalam taman, termenung memandangi bunga teratai merah di dalam empang. Bunga teratai.... engkau jauh lebih bahagia daripada manusia, demikian keluhan hati Sang Puteri. Dia teringat akan kekasihnya. Betapa sukarnya menjadi manusia. Kotor atau bersihnya manusia ditentukan oleh keadaan, oleh lingkungan, dan terutama oleh pendapat orang lain atau umum. Sebelum pergi meninggalkan Bhutan, Tek Hoat dikenal sebagai seorang pahlawan, seorang calon mantu raja, seorang yang patut dihormati dan dimuliakan. Akan tetapi sekali saja suara orang lain dijatuhkan, Tek Hoat menjadi orang yang direndaahkan.

“Tidak....!” bantah hatinya. “Bagiku, engkau masih bersih, Tek Hoat. Seperti bunga teratai itu biar direndam ke dalam lumpur masih tetap bersih dan cemerlang. Dan selamanya aku akan menganggapmu begitu“

Dia menghela napas panjang dan teringat akan pesan pendeta Nalanda tadi. Pendeta itu memasuki taman dan menasihati agar dia masuk ke kamarnya karena ada “hawa siluman” mengotori istana dan pendeta itu tengah berusaha untuk mengusir roh jahat. Akan tetapi Syanti Dewi tidak merasa takut! Puteri ini telah terlepas dari ketahyulan semenjak dia terjun di dunia bebas dahulu, setelah dia mengalami banyak sekali hal-hal hebat sehingga membuka matanya bahwa segala macam ketahyulan itu hanyalah kebohongan semata (baca Kisah Sepasang Rajawali). Dia telah mengalami hal-hal yang nyata, dan dalam keadaan bagaimanapun juga, dia tidak pernah mengalami hal-hal aneh seperti yang dipercaya oleh orang-orang yang suka menerima ketahyulan sebagai sesuatu yang benar. Maka, nasihat pendeta itu tidak dipedulikannya dan puteri ini masih saja duduk seorang diri di dalam taman itu.

“Selamat malam, Adinda Syanti Dewi!”

Puteri itu menengok dan hatinya berbisik mencela, “Hemmm, kalau memang di dunia ini ada siluman, dia inilah siluman bagiku.”

Akan tetapi Syanti Dewi adalah seorang yang berperangai halus, dan biarpun hatinya tidak senang kepada Panglima Mohinta yang tiba-tiba muncul itu, namun dia memaksa senyum dan menjawab, “Selamat malam, Panglima Mohinta.”

Mohinta menyeringai dan kumis tipisnya yang membuat wajahnya tampan menarik itu bergerak sedikit. Dia kecewa karena setiap kali mereka berduaan, puteri ini selalu menyebutnya “panglima”, dan hanya dalam pertemuan resmi yang disaksikan oleh keluarga istana saja puteri itu mentaati ayahnya dan menyebut “kakanda” kepada tunangannya ini! Sebutan “panglima” sungguh sama sekali tidak mesra, bahkan membayangkan kedudukan puteri itu yang lebih tinggi, seorang puteri yang bicara dengan seorang panglima kerajaan, seorang bawahan!

“Mengapa Adinda masih di sini? Hawa udara dingin sekali, Adinda bisa masuk angin.”

“Biarlah, Panglima Mohinta. Aku sedang menikmati malam sunyi di sini. Engkau datang menemuiku di sini ada urusan apakah?”

Kembali panglima muda itu menyeringai seperti orang sakit gigi. Betapa dingin sikap tunangannya ini, melebihi dinginnya hawa udara di waktu itu. “Saya.... saya.... hanya menjenguk, khawatir kalau Adinda sakit. Dan kabarnya.... hemmm.... ada siluman berkeliaran.... tadi Pendeta Nalanda memberi tahu....“

“Hemmm, apakah seorang panglima seperti engkau takut siluman? Aku sih tidak takut. Sudahlah, Panglima, tinggalkan aku sendiri menikmati kesunyian.”

Akan tetapi panglima itu tidak pergi, bahkan kini matanya memandang puteri itu dengan mesra. Alangkah cantiknya puteri tunanganya itu! Alangkah manis bibir itu, putih halus wajah dan leher itu! Dan Panglima Mohinta melangkah maju, lalu tanpa diminta dia duduk di atas bangku, di sisi Syanti Dewi.

“Adinda Syanti Dewi....“

“Panglima, aku ingin sendirian!”

“Aduhai, Adinda sayang. Bukankah sudah bertahun-tahun kita bertunangan? Kita adalah calon suami isteri. Apakah aku tidak boleh mendekati calon isteriku yang tercinta? Adinda Syanti, apakah engkau tidak kasihan kepadaku dengan menunda-nunda pernikahan kita?”

“Panglima, aku tidak ingin bicara tentang itu!”

“Adinda, itu adalah urusan kita berdua, urusan pribadiku dan pribadi....“

“Sudahlah. Kalau kau mau bicara tentang itu, bicara dengan Sri Baginda. Beliau sebagai Ayahku yang berhak membicarakan soal itu, bukan aku.”

“Adinda.... aku.... aku cinta padamu, sejak masih kanak-kanak. Sudah berapa ribu kalikah aku menyatakan ini....?”

“Sudah terlalu sering sampai membosankan!”

“Duhai, Adinda.... jangan begitu“

Panglima Mohinta memegang tangan Syanti Dewi dan diciuminya tangan itu sepenuh kasih sayang hatinya. Syanti Dewi menarik tangannya dan bangkit berdiri, mukanya menjadi merah dan matanya berkilat, dua titik air mata tergenang di matanya.

“Panglima, bukan aku tidak kasihan kepadamu. Akan tetapi.... aku tidak suka membicarakan hal itu. Pergilah!”

“Adinda.... Syanti Dewi, kaukasihanilah aku....!” Panglima itu kini menjatuhkan diri berlutut!

Pada saat itu, dara cantik jelita yang sejak tadi mengintai, perlahan-lahan bangkit dan keluar dari tempat sembunyinya, melangkah ringan sampai dekat. Syanti Dewi melihatnya, memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi Panglima Mohinta yang sedang mabuk asmara dan berlutut itu tidak melihatnya.

“Siapa kau....?” Syanti Dewi bertanya suaranya halus nyaring.

Panglima Mohinta menengok kaget dan pada saat itu, dara jelita itu melirik ke arah sebuah arca batu sebesar manusia di dekat empang, lalu tangannya yang agak tergetar bergerak ke arah Panglima Mohinta.

Syanti Dewi terbelalak pucat melihat sesuatu yang amat luar biasa. Dia melihat Panglima Mohinta memandang seperti orang bingung, kemudian panglima itu bangkit berdiri, menghampiri arca batu dan mencumbu-rayu arca itu, menyebutnya “Adinda Syanti Dewi”! Jelas bahwa Panglima Mohinta menganggap arca itu adalah dia dan kini panglima itu merayu arca, merangkul dan menciumi Wajah Syanti Dewi yang pucat menjadi merah sekali dan kembali dia memandang dara yang cantik dan aneh itu. Dara itu melangkah dekat menghampirinya, lalu mengedip-ngedipkan mata sambil tersenyum manis, berbisik, “Puteri, lupakah engkau padaku?”

Syanti Dewi memandang penuh selidik dan kini dia merasa pernah bertemu dengan dara cantik yang bersikap jenaka ini, akan tetapi dia tidak ingat lagi kapan dan di mana.

“Aku Siang In.... eh, yang dulu pernah membantumu.... guruku adalah See-thian Hoat-su yang pernah menolongmu “

Berseri wajah Syanti Dewi. “Aihhh, Si tukang sulap itu....?” teriaknya.

“Sssttttt....!” Dara itu tersenyum dan memberi isyarat ke arah Panglima Mohinta yang masih merayu arca. “Mari kita bicara di dalam. Aku sengaja datang untuk menjengukmu, Puteri Syanti Dewi.”

Siang In, dara itu, menggandeng tangan Syanti Dewi dan mereka berdua lalu melangkah keluar dari taman. Di pintu gerbang taman itu yang menghubungkah taman dengan gedung istana tempat yang ditinggali Syanti Dewi, nampak beberapa orang penjaga. Melihat ini, Syanti Dewi agak khawatir, akan tetapi kembali Siang In memberi isyarat dengan kedipan mata, kemudian dara yang masih menggandeng tangan Syanti Dewi sambil mengempit payung di bawah ketiak itu memegang ujung rambutnya yang panjang dan memasang sedikit ujung rambut itu melintang di bawah hidungnya, seolah-olah dia hendak memakai kumis seperti Panglima Mohinta. Kemudian, dengan lenggang gagah dan lucu sambil menggandeng Syanti Dewi, dia lewat di pintu.

“Heh, semua penjaga jangan lengah! Jaga yang baik dan teliti, mengerti?” bentaknya dengan suara dibesarkan dan menurut pendengaran Syanti Dewi, suara dara itu persis suara Panglima Mohinta!

Tujuh orang penjaga berdiri dalam barisan, tegak dan membusungkan dada. Pemimpin mereka menjawab “perintah” dara itu, “Siap, Panglima!”

Setelah mereka memasuki kamar Syanti Dewi, Siang In tertawa-tawa geli dan Syanti Dewi yang juga tersenyum geli akan tetapi keheranan itu bertanya, “Eh, apa yang telah kaulakukan tadi? Mengapa Panglima Mohinta merayu patung dan para penjaga itu menyebut engkau panglima?”

Siang In melempar payungnya ke atas meja, lalu menjatuhkan diri di atas dipan rendah yang penuh bantal dan meneliti kamar yang amat indah itu. “Aaahhhhh, nyamannya di kamar ini!” Dia mengeluh panjang dan memejamkan matanya sejenak, dipandang oleh Syanti Dewi yang masih tersenyum karena sikap lucu dara jelita itu.

“Hi-hik, masih mending merayu arca batu yang dingin daripada merayu seorang gadis yang bersikap dingin seperti engkau, Puteri! Dan para penjaga itu tentu saja mengira bahwa aku adalah panglima perayumu itu, hik-hik. Lucu, ya?”

“Tapi.... tapi mengapa bisa begitu? Bingung aku.... apa sih yang sebetulnya telah terjadi?”

“Aihhhhh.... kau tadi bilang sendiri bahwa guruku tukang sulap! Aku sebagai muridnya tentu saja pandai main sulap juga.”

Syanti Dewi terbelalak, kemudian tertawa dan merangkul dara cantik itu. Terdengar suara ha-ha-hi-hi keduanya tertawa dan baru sekarang selama bertahun-tahun ini Syanti Dewi dapat tertawa segembira itu karena hatinya geli bukan main. “Ah-he-heh-hi-hik, jadi kau.... hi-hik, kau tadi menggunakan sihir dan dia itu, panglima itu.... hik, hik, dia menganggap arca tadi?”

“Disangkanya engkau, maka dipeluk dan diciumnya, ah, dia tampan dan ganteng juga, eh!”

Syanti Dewi bersungut-sungut. “Huh, siapa sudi? Kalau aku yang dibegitukan, kutampar dia! Kusuruh tangkap pengawal dan kusuruh gantung....!”

“Ee-eeeiiiiittt, mengapa begitu? Puteri Syanti Dewi, aku mendengar dari luaran bahwa Panglima Mohinta itu adalah tunanganmu, bukan?”

Tiba-tiba hati puteri itu menjadi nelangsa lagi, diingatkan akan kenyataan yang tidak disukanya itu. Dia menjatuhkan diri di atas pembaringan, menelungkup dan menyembunyikan muka di bantal.

Siang In meloncat dan duduk mendekatinya, merangkul dan menariknya bangun. Pipi yang halus itu basah. Siang In tersenyum, menghibur dan menghapus air mata itu. Dua orang dara ini memang sama-sama cantik jelita, hanya bedanya, bagaikan bunga, Syanti Dewi adalah bunga halus yang terpelihara di dalam taman, kelihatan lembut dan lunak, sebaliknya Siang In seperti setangkai bunga di hutan, cantik jelita kuat, bebas, liar dan memiliki daya tarik tersendiri. Melihat kemesraan yang diperlihatkan Siang In, Syanti Dewi teringat akan adik angkatnya, yaitu Candra Dewi atau Ceng Ceng, yang amat dicintanya maka dia merangkul leher Siang In.

“Engkau cantik sekali, Puteri,” Siang In berkata.

Syanti Dewi mengambung pipi dara itu. “Terima kasih, Siang In, engkau pun manis sekali dan engkau mengingatkan aku kepada adik angkatku yang tercinta, Ceng Ceng.”

Sejenak mereka saling pandang, mengagumi kecantikan masing-masing. Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan bahwa puteri itu mempunyai seorang adik angkat yang bernama Lu Ceng atau Ceng Ceng, atau juga disebut Candra Dewi. Ceng Ceng kini telah menjadi isteri dari pendekar sakti yang terkenal sebagai Naga Sakti Gurun Pasir, yaitu Kao Kok Cu putera sulung dari Jenderal Kao Liang.

Dan siapakah dara cantik jelita, jenaka dan aneh yang bernama Teng Siang In itu? Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali juga diceritakan dengan jelas tentang dara ini yang pada waktu it baru berusia lima belas tahun. Teng Siang In adalah seorang dara berasal dari Lembah Pek-thouw-san (Gunung Kepala Putih), dan dia adalah puteri dari mendiang Yok-sian (Dewa Obat), seorang ahli pengobatan yang amat terkenal. Dalam keadaan sebatangkara, karena orang tuanya telah meninggal, dan juga encinya yang merupakan satu-satunya keluarganya juga mati terbunuh (baca Kisah Sepasang Rajawali), akhirnya dara jelita ini bertemu dengan seorang kakek aneh yang berilmu tinggi dan pandai ilmu sihir. Kakek itu bernama See-thian Hoat-su dan Siang In lalu diambilnya sebagai murid.

Selama empat tahun lamanya Siang In digembleng oleh gurunya itu, tidak hanya menerima pelajaran ilmu silat tinggi, melainkan juga menerima pelajaran ilmu sihir sehingga kini Siang In muncul sebagai seorang dara yang dewasa, cantik jelita, lihai ilmu silatnya dan lebih hebat lagi ilmu sihirnya!

Demikianlah sedikit riwayat Teng Siang In, dara cantik yang menggegerkan Bhutan karena begitu dia muncul, terjadilah geger dan tersiar berita bahwa Kerajaan Bhutan kemasukan siluman cantik!

Tidak lama setelah Syanti Dewi dan Siang In meninggalkan taman, sedikit demi sedikit buyarlah pengaruh sihir yang dilakukan oleh dara itu atas diri Panglima Mohita. Dapat dibayangkan betapa terkejut dan heran rasa hati panglima muda ini ketika dia sadar dan mendapatkan dirinya memeluk dan menciumi arca batu, sedangkan ketika dia menengok ke arah bangku, Puteri Syanti Dewi telah tidak berada di tempat itu lagi! Dia merasa serem dan ngeri, juga bingung. Sejenak dia memandang ke kanan kiri, mengingat-ingat dan tengkuknya terasa dingin, bulu tengkuknya meremang karena dia teringat akan berita tentang siluman! Tadi jelas bahwa Syanti Dewi duduk di bangku itu, dan dia berusaha untuk merayu tunangannya yang bersikap dingin itu. Entah bagaimana, dia tadi melihat seolah-olah Syanti Dewi menyambut cumbu rayunya, bahkan membalas pelukannya, dan membalas pula ciuman-ciumannya penuh gairah. Akan tetapi ternyata bahwa yang dipelukciumnya itu adalah arca batu yang kotor dan Syanti Dewi sudah lenyap!

“Uhhhhh....!” Panglima Mohinta menggigil dan meraba tengkuknya. Dia adalah seorang panglima muda yang berani, namun sekarang dia merasa ngeri dan takut juga berada seorang diri di dalam taman yang sepi itu. Penerangan di dalam taman itu yang hanya datang dari dua buah lentera yang tergantung di bawah pohon, tertiup angin bergerak-gerak, menghidupkan bayang-bayang di sekelilingnya, menambah serem keadaan. Suara belalang, jengkerik dan burung malam yang mengasyikkan bagi mereka, menambah serem suasana dan Panglima Mohinta yang pemberani itu kini bergegas setengah lari melangkah keluar dari taman.

“Siap....!” Teriakan dan gerakan tujuh orang penjaga taman itu membuat Panglima Mohinta hampir menjerit dan panglima muda ini terloncat kaget memandang kepada tujuh orang itu. Akan tetapi sebaliknya, tujuh orang penjaga itu pun memandang kepadanya dengan mata terbelalak penuh keheranan.

Panglima Mohinta mengerutkan alisnya. Mengapa mereka memandang kepadanya seperti itu? Adakah sesuatu yang aneh pada mukanya? Dia meraba-raba mukanya dan menghapus-hapus muka itu, kalau-kalau ada coreng-moreng di situ. Akan tetapi tujuh orang itu tetap saja memandang kepadanya dengan mata aneh dan bingung.

“Heh, kalian melihat apa?” bentaknya marah, hampir memukul kepala penjaga yang menjadi ketakutan.

“Ah, maaf, Panglima.... eh, kapankah Panglima masuk lagi ke taman? Baru saja kami melihat Panglima keluar“

“Heh, apa maksudmu? Bicara yang benar!” Panglima Mohinta membentak.

“Kami bertujuh baru saja melihat Panglima keluar, menggandeng Puteri memasuki istana dan.... dan panglima menggandeng Puteri dengan mesra, dan mengempit payung“

“Mengempit payung? Gilakah kalian?” Panglima Mohinta membentak, akan tetapi kembali tengkuknya terasa dingin karena dia sudah merasa ngeri.

Pada saat itu terdengar teriakan mengerikan dari istana. Panglima Mohinta dan para penjaga terlonjak kaget, akan tetapi, mereka dipimpin oleh panglima segera lari cepat ke arah istana dan di jalan mereka bertemu dengan para penjaga dan pengawal yang juga sudah berlari-larian menuju ke arah datangnya teriakan itu.

“Tolong.... aduhhh, tolooonggg.... si.... siluman.... ssssetannnnn....!” terdengar teriakan itu.

Ketika mereka semua tiba di tempat suara, ternyata yang berteriak-teriak itu adalah Pendeta Nalanda, pendeta tinggi besar yang tidak mengenakan jubah lagi, juga kopyahnya hilang dan sebagai gantinya, mukanya coreng-coreng hitam. Dia berteriak-teriak ketakutan, matanya terbelalak memandang ke kanan kiri.

Seorang pengawal cepat mengambil air, dan ketika pendeta yang akan diberi minum itu masih berteriak-teriak dan tidak mau minum, air itu disiramkan ke atas kepalanya yang gundul. Pendeta Nalanda gelagapan dan sadar.

“Ah.... eh.... ya ampun.... ada.... setan.... wanita cantik....” dia lalu menceritakan munculnya siluman cantik yang membuatnya tidak berdaya, merampas jubah dan kopyahnya, dan mencoreng mukanya dengan pedang kayu yang dilumuri abu pendupaan. Seorang siluman cantik yang memegang payung.

“Membawa payung?” Panglima Mohinta bertanya dengan mata terbelalak dan punggungnya terasa dingin. Tidak salah lagi, tentu ada siluman yang membawa payung, karena tadi pun para penjaga melihat dia membawa payung. Tentu siluman itu! Dan siluman itu menyamar sebagai dia menggandeng tangan Syanti Dewi!

“Celaka, kita harus melapor kepada Sri Baginda!” teriaknya dan dia bergegas memasuki istana.

Sementara itu, di dalam kamar Syanti Dewi, puteri itu masih tertawa-tawa bersama Siang In yang menceritakan betapa dia telah menggoda para penjaga.

“Apakah mereka di pintu gerbang tidak menyerangmu?” tanya Syanti Dewi dengan senyum lebar selalu menghias bibirnya, senyum yang selama ini hampir dilupakannya. Berdekatan dengan Siang In, mendengar penuturan dara itu, telah membuat Sang Puteri timbul kembali kegembiraannya dan membawa dia kembali ke alam bebas, alam liar seperti ketika dia berkelana dahulu.

“Tentu saja mereka mengejarku, dan aku cepat mengenakan sesuatu dan ketika mereka sudah dekat, aku membalik seperti ini....“

“Ihhhhh....!” Syanti Dewi menjerit, terbelalak menatap wajah yang tadinya begitu cantik manis, akan tetapi sekarang telah berubah menjadi wajah yang luar biasa mengerikan, wajah yang halus polos tanpa tonjolan, tanpa mata hidung atau mulut!

“Hik-hik, kau juga ngeri!” Siang In melepaskan kedoknya dan Syanti Dewi terkekeh-kekeh saking geli hatinya, mengambil kedok itu dari tangan Siang In dan memandanginya. Kedok itu hanya sehelai penutup muka seperti karet yang halus sekali, entah dibuat dari apa.

“Dan pendeta gundul yang lucu itu, hi-hik.”

“Kaumaksudkan Pendeta Nalanda? Kauapakan pula dia?” Syanti Dewi makin tertarik dan bertanya.

“Tidak apa-apa, hanya kucoreng-moreng mukanya.” Siang In lalu menceritakan pertemuannya dengan pendeta itu dan berderailah suara ketawa Syanti Dewi.

Dua orang dara yang sedang bergembira itu sama sekali tidak tahu bahwa pada saat itu, Sri Baginda Raja Bhutan sendiri sedang berdiri di luar kamar Syanti Dewi dengan mata terbelalak, terheran-heran mendengar suara ketawa puterinya. Tentu saja hati raja ini senang mendengar suara ketawa puterinya, suara yang beberapa tahun lamanya tidak pernah didengarnya lagi. Akan tetapi karena suara ketawa ini dilakukan puterinya yang berada sendirian di dalam kamar, tentu saja menimbulkan perasaan bimbang dan khawatir, juga ngeri. Hanya seorang gila saja yang tertawa-tawa geli seperti itu seorang diri saja di dalam kamar.

Empat orang pengawal Sri Baginda, dua orang kepala pendeta, dan Panglima Mohinta yang menemani raja juga terbelalak dan saling pandang penuh kengerian. Jelaslah bagi mereka yang sedang panik oleh berita siluman, bahwa Sang Puteri tentulah diganggu siluman!

“Syanti....! Buka pintu....!”

Ketukan pintu dan suara Sri Baginda ini membuat Syanti Dewi terlonjak kaget. Mukanya menjadi pucat ketika dia memandang kepada Siang In. Akan tetapi Siang In hanya tenang-tenang saja, malah tersenyum dan berbisik, “Bukalah pintu dan anggap saja aku tidak ada di kamar ini.”

Syanti Dewi bimbang. Dia khawatir sekali karena tentu Siang In akan ditangkap dan dihukum karena dianggap mengacau istana. Akan tetapi dengan gerakan kepala dan tangan Siang In mendesaknya untuk membuka pintu karena ketukan pada pintu makin gencar dan suara Sri Baginda makin mendesak.

Syanti Dewi melangkah, menghampiri pintu dan sekali lagi dia menengok dan dia melihat Siang In sudah duduk bersila di atas lantai dekat pembaringannya. Gadis itu tersenyum dan kelihatan tenang saja sehingga mau tak mau Syanti Dewi menjadi kagum dan juga terheran-heran. Dia menurunkan ganjal pintu dan membuka daun pintu. Serentak masuklah Sri Baginda yang ditemani oleh Panglim Mohinta, empat orang pengawal dan dua orang pendeta. Semua mata memandang ke seluruh kamar dan Syanti Dewi sudah menanti dengan hati berdebar akan seruan mereka melihat Siang In yang duduk bersila di lantai. Akan tetapi, aneh bin ajaib! Tidak ada seorang pun yang menyinggung-nyinggung kehadiran gadis asing itu di dalam kamarnya. Padahal dia melihat sendiri betapa semua mata tentu dapat melihat gadis itu yang masih duduk tersenyum setelah tadi tangan kiri nya diangkat dan digerakkan seperti memberi salam kepada mereka yang baru memasuki kamar!

“Syanti, dengan siapa engkau di kamarmu ini?” Sri Baginda bertanya sedangkan Panglima Mohinta berjalan hilir mudik dengan mata mencari-cari, bahkan kakinya lewat dekat sekali dengan tubuh Siang In.

“Tidak dengan siapa-siapa, Ayah. Saya sedang tidur, mengapa Ayah dan semua orang ini datang mengganggu dan membangunkan saya?” Syanti Dewi berkata engan nada suara tidak senang.

“Hemmm.... tidur? Akan tetapi tadi dari luar kami mendengar engkau tertawa-tawa, Syanti. Jangan engkau memhongi Ayahmu.”

“Sungguh saya sedang tidur dan kalau saya tertawa, agaknya itu terjadi dalam mimpi.”

“Ah, engkau mimpi? Mimpi apa? Bertemu dengan silum...., dengan siapa?” Sri Baginda yang sudah dicekam rasa ngeri yang meliputi seluruh istana itu bertanya.

Syanti Dewi menjadi bingung dan melirik ke arah Siang In. Gadis ini menudingkan telunjuknya ke arah Panglima Mohinta yang masih hilir mudik.

“Saya mimpi bertemu dengan.... Panglima Mohinta....“

“Ah, jadi Adinda mimpi bertemu dengan saya?” Panglima muda itu bertanya dengan wajah berseri.

Syanti Dewi mengangguk. “Di dalam mimpi, saya melihat.... Kakanda Mohinta menjadi seorang badut yang sangat lucu, maka saya tertawa....“

Wajah yang tadinya berseri itu berubah merah, dan Panglima Mohinta lalu menghampiri Siang In yang sedang duduk bersila, memandang penuh perhatian. Sri Baginda juga menujukan pandang matanya kepada Siang In sehingga jantung Syanti Dewi berdebar tegang. Agaknya mereka kini telah dapat melihat gadis itu, pikirnya khawatir.

“Syanti Dewi, sejak kapan ada kursi bagus ini di dalam kamarmu?” Sri Baginda tiba-tiba bertanya sambil menuding ke arah Siang In yang duduk bersila. Syanti Dewi terkejut dan terheran, akan tetapi segera dia teringat bahwa dara cantik itu adalah seorang ahli sulap agaknya, seperti gurunya, maka dia dapat menduga bahwa tentu Siang In menggunakan sihirnya pula sehingga orang melihatnya seperti sebuah kursi!

“Kursi....? Eh, inikah, Ayah? Ini adalah kursi hadiah yang saya terima dari seorang pelayan, katanya kursi antik.... “

“Memang bagus sekali, tentu enak diduduki....“ Panglima Mohinta kini menghampiri Siang In, siap untuk duduk di atas kepala gadis itu! Pantatnya sudah dipasang hendak duduk. Tentu saja Syanti Dewi menjadi cemas sekali dan Siang In tidak sudi membiarkan kepalanya diduduki orang. Cepat dia menggerakkan payungnya yang tadi telah disambarnya dari atas meja ketika rombongan raja masuk dan ujung payungnya digerakkan menyambut datangnya pantat yang hendak menduduki kepalanya.

“Cusssss.... aduhhhhh....!” Panglima Mohinta terloncat kaget ketika merasa betapa pantatnya ditusuk ujung payung. “Ehhh, kursimu ada pakunya, Adinda Syanti Dewi!” Akan tetapi diam-diam panglima ini bergidik ngeri karena dia tidak melihat ada paku di kursi itu!

Setelah melihat jelas bahwa kamar puterinya itu biasa saja dan tidak terdapat siluman di situ, Sri Baginda lalu berkata, “Syukurlah kalau tidak ada apaapa, anakku. Tidurlah dengan tenang.” Dia lalu keluar lagi dari kamar Puteri Syanti Dewi, diikuti oleh rombongannya setelah dua orang pendeta membaca doa untuk melindungi puteri dari gangguan siluman.

Setelah Syanti Dewi menutupkan kembali daun pintu kamarnya, dia dan Siang In tertawa-tawa lagi, akan tetapi Syanti Dewi menutupi mulutnya dan memberi isyarat kepada nona itu agar jangan tertawa keras. Kemudian, puteri yang kini sudah menemukan kembali kegembiraan hidupnya itu lalu menggandeng tangan Siang In, diajak duduk bersanding di atas pembaringan. Dia makin kagum melihat gadis ini yang masih amat muda akan tetapi sudah cantik sekali, berilmu tinggi dan aneh.

“Siang In, engkau sungguh hebat. Apakah engkau tadi mengubah diri dalam pandangan mereka, menjadi sebuah kursi?” tanya puteri itu, memandang kagum.

Siang In mengangguk dan cemberut. Mulutnya diruncingkan akan tetapi dia masih saja kelihatan manis, “Hampir sial aku, kepala ini hampir di duduki orang, biarpun orangnya tunanganmu yang tampan dan ganteng itu, Puteri....“

“Hushhh, jangan berkata demikian, aku.... aku benci padanya!”

“Eihhhhh? Aku mendengar bahwa Puteri Syanti Dewi kini bertunangan dengan Panglima Mohinta, dan melihat tadi rayuan maut di taman....“

“Sudahlah, Siang In.” Syanti Dewi menghela napas panjang. “Aku tidak ingin bicara tentang dia. Sekarang katakan, apakah kehendakmu maka engkau bersusah payah menggunakan kepandaian menempuh bahaya mencari aku di sini?”

“Aku sedang mencari seseorang, Puteri. Dan karena aku merasa bahwa aku telah mengenalmu, juga mengenal Panglima Jayin, maka aku lalu mampir. Aku mencari keterangan dulu dan mendengar bahwa engkau masih belum menikah, Puteri akan tetapi sudah bertunangan dengan Panglima Mohinta. Tentu saja aku tadinya merasa bingung dan heran, karena bukankah.... eh, pemuda aneh dan lihai bernama Ang Tek Hoat itu dahulu....“

Siang In tidak melanjutkan kata-katanya karena dia melihat betapa wajah yang cantik dari puteri itu menjadi pucat, matanya redup dan membayangkan kedukaan hebat dia menyebut nama pemuda itu.

“Adik yang baik.” Syanti Dewi kini memandang dara itu. “Apakah yang telah kaudengar tentang Ang Tek Hoat?”

“Aku dahulu mendengar bahwa Ang Tek Hoat berjasa besar di Bhutan, bahkan diangkat menjadi panglima dan dijadikan calon suamimu. Di mana dia sekarang dan mengapa engkau sekarang menjadi tunangan Panglima Mohinta?”

Ditanya begini, tiba-tiba Puteri Syanti Dewi menangis! Sudah terlalu lama dia tidak pernah menangis lagi, seolah-olah air matanya sudah mengering akan tetapi kegembiraan tadi, tertawa-tawa bersama Siang In tadi, agaknya juga mengembalikan pula kemampuannya untuk menangis.

Melihat puteri yang keadaan hidupnya dilimpahi kemuliaan itu agaknya menderita kesengsaraan batin, Siang In memegang tangannya dengan sikap menghibur dan berkata lembut, “Puteri, jangan terlalu membiarkan diri terseret oleh arus kesedihan. Segala kesukaran di dunia ini dapat diatasi dan untuk itu kita harus berusaha, tidak hanya cukup untuk ditangisi dan disedihkan belaka. Ceritakanlah kepada adikmu ini, apakah yang terjadi sehingga engkau terpisah dari Ang Tek Hoat dan menjadi tunangan panglima yang tidak kau cinta itu?” Dia mengangguk-angguk meyakinkan.

“Ceritakan dan aku akan menolongmu sedapat mungkin, Puteri.”

Karena baru sekarang dia bertemu dengan seorang yang memperhatikan nasibnya, yang tidak akan mungkin dilupakannya itu, timbul pula semangat Syanti Dewi dan berceritalah dia tentang kepergian Ang Tek Hoat dari Bhutan. Betapa kemudian dia dipaksa untuk menjadi tunangan Panglima Mohinta dan betapa sampai saat ini, setelah lewat empat tahun, dia selalu menolak kalau hendak dinikahkan karena sampai kini dia masih menanti Tek Hoat dan percaya akan cinta kasih pemuda itu.

“Aku tidak percaya kalau dia pergi begitu saja meninggalkan aku. Aku yakin pasti ada sesuatu terjadi. Kalau saja dia pergi berpamit, kalau saja aku tahu apa yang terjadi, dan andaikata dia memutuskan cinta secara terus terang, tentu aku tidak akan menderita dalam keadaan yang serba tidak menentu ini. Adik Siang In“ Puteri mengakhiri ceritanya.

Siang In mengerutkan alisnya. Dia adalah seorang dara yang sejak kecilnya biasa hidup bebas, tidak pernah terkekang, seperti seekor burung di udara. Boleh jadi, seperti juga burung yang bebas, kadang-kadang dia harus menderita kekurangan makan, menderita kepanasan dan kehujanan, namun semua itu tidak mengurangi kebahagiaan dari keadaan bebas. Tidak seperti Syanti Dewi yang andaikata seekor burung hidup di dalam sangkar, biarpun sangkar itu terbuat daripada emas dan dihias permata, biarpun di dalam sangkar itu penuh dengan makanan berlimpah.

“Puteri....“

“In-moi (Adik In), setelah semua isi hatiku kuceritakan padamu, engkau sudah kuanggap sebagai adikku sendiri, sebagai pengganti adik angkatku Ceng Ceng, maka janganlah kau menyebut Puteri lagi padaku. Sebut saja Enci (Kakak).”

“Baiklah Enci Syanti Dewi,” jawab Siang In sambil tersenyum dan wajahnya berseri. “Aihhhhh, siapa sangka aku akan mempunyai enci seorang puteri kerajaan! Begini, Enci Syanti Dewi. Terus terang saja, engkau terlalu lemah dalam hal ini. Mengapa selama bertahun-tahun ini engkau diam saja, menenggelamkan diri dalam air mata dan kedukaan? Mengapa engkau tidak mau bertindak?”

“Bertindak? Tindakan apa yang dapat dilakukan seorang wanita seperti aku? Dan Ayah mengambil keputusan itu tentu demi cintanya kepadaku, bagaimana aku dapat membantah kehendak Ayah?”

“Hemmm.... mencintamu? Terus terang saja, Enci, maafkan kata-kataku yang jujur dan mungkin tidak enak didengar ini. Akan tetapi.... jelas bahwa Ayahmu, Sri Baginda Raja itu, tidak mencintamu, Enci.”

Dengan wajahnya yang agak pucat dan matanya yang masih basah Syanti Dewi mengangkat mukanya memandang wajah Siang In penuh selidik. Kerut di keningnya menunjukkan bahwa dia sama sekali tidak setuju dengan pendapat nona itu.

“Bagaimana kau bisa mengatakan demikian, In-moi? Ayahku mencintaku karena aku anaknya dan seperti juga semua ayah di dunia ini, dia melakukan semua itu demi cintanya kepadaku.”

“Hemmm, pendapat yang kolot dan keliru, Enci Syanti. Tidak, Ayahmu, seperti juga kebanyakan ayah di dunia ini, pada hakekatnya hanya mencinta dirinya akan tetapi cinta pada dirinya sendiri ini tersembunyi dan ditutup-tutupi oleh dalih mencinta anak-anaknya! Semua tindakannya terhadap dirimu itu sama sekali bukan karena cintanya kepadamu, melainkan karena cintanya kepada diri sendiri!”

“Eh, bagaimana kau bisa bilang begitu Siang In?”

“Coba saja renungkan. Orang yang mencinta tentu selalu menunjukkan tindakan-tindakannya untuk membahagiakan dan menyenangkan orang yang dicinta, bukan?”

Syanti Dewi mengangguk.

“Nah, tindakan Ayahmu memisahkan engkau dengan Tek Hoat dan memaksamu berjodoh dengan Mohinta ini, apakah tindakan ini membahagiakan dan menyenangkan hatimu?”

“Tidak, akan tetapi dia maksudkan demi kebaikanku.”

“Itulah kepalsuanya, itulah tutup-tutupnya untuk menyembunyikan pamrih yang sesungguhnya. Sebetulnya semua itu dilakukan untuk menyenangkan hatinya sendiri! Betapa banyaknya, bahkan hampir semua, orang-orang tua yang menujukan segala tindakan demi untuk memenuhi kehendaknya sendiri, demi untuk menyenangkan diri sendiri. Akan tetapi mereka menggunakan dalih membahagiakan anak, pada si anak hanya dijadikan alat untuk dia mencapai keinginan hatinya itulah! Si anak tidak penting lagi, yang penting adalah rencananya untuk membahagiakan anak, sungguhpun pada hakekatnya si anak tidak bahagia dengan rencananya itu!”

“In-moi....!” Syanti Dewi berseru dengan mata terbelalak. “Apakah kau hendak mengatakan bahwa Ayahku jahat....?”

Dara itu menggeleng kepala, “Siapapun adanya dia itu, kalau dia masih belum sadar akan kepalsuan-kepalsuan yang dilakukan, dia tentu akan menganggap bahwa tindakanya itu benar belaka dan semua tindakan yang dianggap benar itu hanya akan mengakibatkan kesengsaraan dan kedukaan, seperti yang kau alami ini. Kau menganggap bahwa Ayahmu penuh cinta kasih terhadapmu. Enci, apakah tindakan cinta kasih menimbulkan kesengsara dan kedukaan?”

Syanti Dewi memegangi kedua pelipis kepalanya, dan menggeleng-geleng kepalanya. “Ah, aku tidak tahu.... semua kata-katamu membuat aku bingung sekali, Adik In! Habis, apa yang harus kulakukan?”

“Mengapa engkau menyiksa diri seperti ini? Kalau memang Enci mencinta Tek Hoat, dan kalau memang Enci yakin bahwa dia mencintamu....“

“Aku yakin benar akan cintanya!”

“Kalau begitu, tentu ada sesuatu yang memaksa dia meninggalkan Enci tanpa pamit!” “Kalau begitu, mengapa Enci tidak pergi meninggalkan sangkar ini dan mencari kekasih Eci itu, daripada menerima nasib dan makan hati karena harus menerima calon jodoh yang tidak Enci cinta?”

“Pergi....? Kaumaksudkan minggat dari istana?” Syanti Dewi berkata dengan nada suara sedih. “Aihhh, In-moi, engkau tidak tahu. Betapa sudah sering kali aku ingin lolos saja dari sini, akan tetapi sungguh tidak mungkin. Ayah selalu menjagaku dan istana ini siang malam dikepung oleh ratusan orang pengawal.”

“Hal itu tidak penting. Yang penting, maukah engkau meninggalkan tempat ini dan pergi mencari Tek Hoat?”

“Tentu saja aku mau!”

“Meninggalkan kedudukan Enci sebagai puteri raja, meninggalkan semua kemuliaan dan kemewahan ini, mungkin menempuh kesukaran dan kesengsaraan di jalan....?”

“Tentu aku mau dan aku berani menghadapi segala kesukaran, demi cintaku kepada Ang Tek Hoat.”

“Bagus!” Siang In berseru girang. “Itulah cinta! Kalau begitu, aku akan membantumu keluar dari sangkar emas ini, Enci.”

Syanti Dewi girang sekali dan dia merangkul dara itu. Sejenak mereka berangkulan, lalu Siang In berkata, “Harap engkau berkemas dan karena engkau belum berpengalaman dalam perantauan “

“Siapa bilang belum berpengalaman? In-moi, agaknya engkau lupa bahwa aku dahulu sudah merantau dan menghadapi segala macam kesukaran di dunia timur. Dan aku sama sekali tidak takut menghadapi kesukaran-kesukaran seperti itu.”

“Bagus, akan tetapi betapapun juga, engkau harus berkemas dan membawa bekal untuk biaya perjalananmu ke timur. Besok aku akan mencari akal untuk membawamu keluar dari sini dengan aman.”

Syanti Dewi lalu berkemas, hatinya girang sekali, wajahnya yang masih agak pucat itu berseri. Membayangkan betapa dia akan mengalami kesengsaraan dan kesukaran dalam mencari kekasihnya, mendatangkan semangat baginya. Ia rela menghadapi apa pun demi pertemuannya kembali dengan Tek Hoat! Dan malam itu, tidak seperti malam yang sudah, puteri ini tidur nyenyak dengan mulut tersenyum di samping Siang In.

Mereka tidak tahu bahwa setelah keluar dari kamar Syanti Dewi, Panglima Mohinta yang merasa curiga lalu mengerahkan jagoan-jagoan istana untuk mengurung dan menjaga kamar sang puteri. Panglima muda ini mendapat firasat bahwa ada bahaya mengancam diri tunangannya itu, maka dia mengerahkan pengawal-pengawal pilihan, bahkan dia sendiri pun melakukan pen jagaan di sekitar istana tunangannya.

Oleh karena penjagaan yang diperketat ini, tidaklah mengherankan ketika Siang In yang hendak memeriksa keadaan keluar dari kamar dan memasuki taman di waktu pagi sekali pada keesokan harinya, secara tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang yang membentak nyaring, “Siluman jahat!, jangan lari!”

Siang In terkejut. Tak disangkanya bahwa di taman itu ternyata terdapat penjaga-penjaga yang bersembunyi dan tahu-tahu dua orang penjaga yang agaknya memiliki kepandaian lumayan dan melihat pakaiannya berpangkat perwira, telah meloncat keluar dari semak-semak dan kini menodongkan pedang tajam runcing dari kanan kiri ke arah lambungnya!

Siang In tersenyum manis sekali sambil menoleh ke kanan kiri memandangi kedua orang perwira itu yang menjadi bengong juga ketika mendapat kenyataan bahwa yang mereka todong adalah seorang dara remaja yang sedemikian cantik jelitanya. Akan tetapi mereka telah mendapat pesan keras dari Mohinta dan dari Pendeta Nalanda bahwa mereka tidak boleh sekali-kali terbujuk dan tertipu oleh seorang dara remaja yang cantik, karena dia itu adalah siluman!

“Eh-eh, kalian ini mau apakah?” Siang In bertanya sambil tersenyum dan dari sepasang matanya yang indah jeli itu menyambar keluar sinar yang amat kuat dan aneh, sedangkan tangannya bergerak-gerak.

“Menyerahlah engkau, siluman, kalau tidak, pedang kami akan menembus tubuhmu!” bentak di sebelah kirinya.

“Berlututlah engkau!” perwira di sebelah kanannya membentak pula sambil menempelkan ujung pedangnya pada pinggang yang ramping itu.

Siang In tertawa dan berkata dengan suara meyakinkan, “Ihhh, kalian berdua ini apakah sudah gila? Mana pedang kalian? Dan mengapa kalian berdua memegang dan bermain-main dengan ular? Awas, kalian akan digigit oleh ular-ular itu!”

Dua orang perwira itu terkejut dan memandang pedang mereka. Wajah mereka menjadi pucat sekali, mata mereka terbelalak ketakutan dan mulut mereka berteriak-teriak ketika mereka melihat bahwa yang mereka pegang dan dipakai menodong tadi ternyata benar-benar bukanlah sebatang pedang melainkan seekor ular cobra! Mereka memegang ular itu pada ekornya dan kini ular itu membalik kepada mereka, lehernya menggembung dan mulutnya mengeluarkan desis mengerikan, matanya bersinar-sinar, siap untuk mematuk.

“Ihhhhh.... ularrrrr....!”

“Hiiiiihhhhh.... aih, celaka....!”

Mereka berdua berusaha untuk membuang ular-ular itu, akan tetapi celakanya, ekor ular yang mereka genggam itu agaknya sudah melekat di tangan mereka dan tidak dapat dilepaskan lagi! Tentu saja mereka menjadi makin ketakutan, apalagi ketika ular-ular itu makin mendekati muka mereka. Keduanya segera lari pontang-panting meninggalkan taman itu, diikuti suara ketawa merdu dari Siang In yang cepat kembali ke dalam istana Syanti Dewi.

Mata mereka terbelalak ketakutan dan mulut mereka berteriak-teriak ketika mereka melihat bahwa yang mereka pegang adalah seekor ular cobra!

“Siapakah yang berteriak-teriak itu dan mengapa engkau tertawa-tawa?” Syanti Dewi menyambut kedatangan dara itu dengan hati tegang.

“Dua orang pengawal. Wah, benar seperti yang kauceritakan, Enci, tempat ini penuh dengan penjagaan pengawal.”

“Habis, bagaimana kita dapat lolos dari sini? Apakah engkau tidak bisa mempergunakan ilmu sihirmu itu, In-moi?” Syanti Dewi makin gelisah ketika mendengar suara ribut-ribut di luar dan agaknya dua orang pengawal yang berteriak-teriak tadi sudah menyebarkan cerita tentang siluman cantik yang mempermainkan mereka.

Siang In duduk dan menopang dagunya yang manis itu, kedua alis matanya yang hitam kecil dan panjang melengkung seperti dilukis itu berkerut merut. Dia menggeleng kepala menjawab pertanyaan puteri itu. “Aku dapat mempengaruhi belasan orang dengan permainan sihir, akan tetapi sukar sekali mempengaruhi ratusan orang pengawal sekaligus, Enci. Pula di antara mereka terdapat banyak orang-orang yang berkemauan dan berbatin kuat sehingga belum tentu usahaku akan berhasil. Bagi aku sendiri, tentu saja dapat lolos dengan mudah. Akan tetapi kalau membawamu, kurasa akan sukar sekali hasilnya. Sebaiknya diatur begini saja, Enci. Aku akan menimbulkan geger, menggoda dan mempermainkan mereka, memancing mereka agar seluruh pengawal yang berjaga di sini akan tertarik ke suatu jurusan. Dalam saat itu, selagi semua pengawal ribut mengurungku, engkau meloloskan diri dari istana ini. Kemudian kita bertemu di luar istana dan aku selanjutnya akan membawamu melarikan diri. Bagaimana?”

Syanti Dewi mengangguk-angguk, kemudian dua orang dara itu mengatur rencana pelarian itu yang akan mereka lakukan malam nanti, Syanti Dewi menggambar peta dari istana itu dan memberi tahu di mana letaknya pintu rahasia dari mana dia akan meloloskan, dan Siang In mengatur rencana untuk menarik semua pengawal menjauhi pintu rahasia itu.

Sehari itu Siang In tidak lagi pernah keluar dari kamar sang puteri dan memang sudah lama Syanti Dewi tidak pernah membolehkan pelayan-pelayannya untuk menemaninya di dalam kamar. Semenjak Tek Hoat lolos dari istana, puteri ini lebih suka menyendiri sehingga pelayan-pelayannya hanya memasuki kamarnya di waktu perlu saja. Dengan demikian, lebih leluasalah bagi Siang In untuk bersembunyi di dalam kamarnya.

Malam itu hawanya masih dingin seperti malam-malam yang lewat. Udara yang dingin ditambah cuaca yang gelap membuat suasana yang sudah seram karena dongeng-dongeng yang tersiar tentang gangguan siluman, dongeng yang dari mulut ke mulut mengalami perubahan dan penambahan banyak sekali, menjadi makin menyeramkan. Hampir seluruh penghuni Kota Raja Bhutan yang semua telah mendengar akan gangguan siluman itu, tidak ada yang berani keluar dari rumah masing-masing. Mereka menerima dengan penuh kepercayaan berita angin yang mengatakan bahwa malam itu iblis, setan dan siluman-siluman berkeliaran mencari mangsa! Demikian pula para penghuni istana sendiri juga sejak senja hari sudah menyembunyikan diri di dalam kamar masing-masing.

Tentu saja keadaan para penghuni itu sebaliknya dengan keadaan para pengawal yang bertugas berjaga. Setelah malam tiba penjagaan diperketat dan mereka lebih waspada lagi menjaga daripada di waktu siang, karena mereka semua mempunyai dugaan bahwa di waktu malam tentu siluman akan lebih mengganas lagi. Kini bahkan Panglima Mohinta sendiri mengatur dan mengepalai penjagaan, seolah-olah istana menghadapi ancaman serbuan musuh yang besar jumlahnya. Keadaan di sekeliling istana itu seperti dalam perang saja karena sedikitnya ada tiga ratus orang pengawal dikerahkan oleh Mohinta untuk menjaga seluruh istana, terutama sekali sekeliling istana kecil yang menjadi tempat tinggal Syanti Dewi.

Keadaan sunyi sekali di sekeliling istana. Suasana yang sunyi dan mencekam hati ini membuat para penjaga juga merasa ngeri dan mereka bahkan tidak berani membuat suara keras untuk memecahkan kesunyian malam, seolah-olah suara keras hanya mengundang datangnya siluman! Mereka bicara bisik-bisik dan membuat api unggun sebesarnya, karena selain api unggun itu dipergunakan untuk mengusir hawa dingin dan menimbulkan kehangatan, juga menurut kata para pendeta, api dapat menjauhkan segala macam siluman. Juga mereka berusaha untuk membicarakan urusan lain tanpa menyebut-nyebut tentang siluman, karena ada kepercayaan di antara mereka bahwa setan tidak boleh disebut-sebut, karena kalau disebut-sebut biasanya suka datang! Demikian hebatnya dongeng tentang gangguan setan dan kepercayaan tentang tahyul menghimpit hati mereka sehingga para pengawal yang biasanya galak dan pemberani itu, kini berubah menjadi seperti sekelompok anak kecil yang ketakutan.

Panglima Mohinta sendiri, diiringkan oleh dua orang pendeta, yaitu Pendeta Nalanda dan seorang pendeta lain yang terus berkemak-kemik membaca doa, dan empat orang perwira pengawal, tiada hentinya hilir mudik dari gardu ke gardu, untuk memberi semangat kepada para pengawal yang berjaga.

Malam makin larut dan keadaan makin serem. Dari balik pintu kamar, Siang In yang sudah siap melakukan siasatnya untuk meloloskan Puteri Syanti Dewi dari istana, mengintai ke luar. Dilihatnya banyak sekali pengawal berjaga di luar dalam keadaan terpencar. Dia mengintai dari balik jendela. Sama saja. Taman di luar kamar itu pun penuh dengan pengawal-pengawal yang menjaga ketat. Tidak mungkin dia dapat keluar dari pintu atau jendela tanpa diketahui orang. Dan menggunakan sihirnya pun akan berbahaya karena tentu ada di antara mereka yang tidak terpengaruh dan akan dapat melihatnya. Dia tidak boleh memperlihatkan diri di dekat kamar Sang Puteri karena hal itu akan menimbulkan kecurigaan dan akan mempersulit lolosnya Syanti Dewi karena tentu kamar itu tidak akan ditinggalkan para penjaganya.

“Bagaimana....?” Syanti Dewi mendekati dan berbisik ketika melihat Siang In yang telah mengintai dari jendela itu berdiri termenung. Puteri ini sudah berpakaian ringkas dan sebuah buntalan terisi bekal pakaiannya sudah dia siapkan di atas meja.

“Sssttttt,.... banyak penjaga di luar. Aku akan keluar melalui genteng,” bisik Siang In.

Dara ini masih mengempit payungnya dan dia lalu menjejakkan kakinya di atas lantai dan tubuhnya mencelat ke atas, ke arah langit-langit dan dengan payungnya dia menusuk langit-langit dan bergantungan di situ. Dari bawah, Syanti Dewi memandang penuh kagum dan dia teringat kepada Ceng Ceng, adik angkatnya yang juga memiliki kepandaian hebat seperti Siang In. Sementara itu, Siang In telah berhasil membobol langit-langit, kemudian setelah dia menoleh ke bawah dan memberi kedipan mata yang lucu kepada Syanti Dewi, tubuhnya menyelinap ke atas dan lenyap.

Dengan hati-hati sekali Siang In membuka genteng dan menyelinap ke luar. Kemudian dia mempergunakan ilmunya dan berkelebat cepat sekali di atas genteng.

“He.... apa itu....?” terdengar seruan dari bawah. Agaknya ada seorang pengawal yang sempat melihat bayangan berkelebat cepat.

Siang In segera mendekam di wuwungan yang tinggi, bersembunyi sambil memasang telinga mendengarkan. Ada gerakan-gerakan kaki orang di bawah.

“Mana? Tidak ada apa-apa!” terdengar orang lain mencela.

“Akan tetapi aku melihat bayangan orang berkelebat di atas genteng. Sungguh aku berani sumpah!”

“Hemmm, mana ada orang mampu menghilang? Kecuali setan.... ihhhhh....!”

“Sssttttt, jangan bicara yang bukan-bukan. Kita harus waspada.”

Siang In terus mendekam. Maklumlah dia bahwa kalau dia muncul begitu saja, betapapun cepatnya dia menggunakan ginkang untuk meloncat, para pengawal yang sudah memasang mata penuh perhatian di atas genteng itu akan dapat melihatnya. Dia mencari akal dan tersenyumlah gadis yang cerdik ini. Dipatahkannya sepotong genteng dan dia lalu menyambitkan tiga patahan genteng berturut-turut ke arah belakangnya. Potongan-potongan genteng itu menimbulkan suara berisik ketika menimpa pot-pot bunga di bagian depan bangunan itu. Tentu saja semua pengawal terkejut dan semua orang menoleh ke tempat itu sehingga tidak ada seorang pun yang memperhatikan atau melihat ketika Siang In cepat sekali meloncat dan terus berlari dan akhirnya melayang turun ke dalam taman.

Dengan hati lega Siang In menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak di dalam taman itu. Dia telah berhasil meninggalkan kamar Syanti Dewi tanpa diketahui orang dan kini akan menuju ke kandang kuda seperti yang telah direncanakan di dalam kamar Sang Puteri. Dari peta yang dibuat oleh Syanti Dewi, kini dia telah hafal akan keadaan dan lorong-lorong di kompleks istana itu.

“Heiiiii, berhenti....!”

Siang In terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa ada dua orang pengawal yang bersembunyi di belakang batang pohon besar sehingga hampir saja dia bertumbukan dengan mereka.

“Srat! Srattt!” Dua orang pengawal itu telah mencabut pedang masing-masing.

“Aihhhhh, mengapa kalian demikian galak? Mengagetkan orang saja!” Siang In tersenyum manis bukan main, suaranya pun merdu dan genit, matanya bersinar-sinar sehingga kedua orang pengawal itu terpesona dan dalam waktu beberapa detik tidak mampu bergerak hanya menatap wajah yang cantik jelita itu dengan bengong.

Waktu yang hanya beberapa detik ini cukuplah sudah bagi Siang In. Dua kali payungnya bergerak dan dua orang itu roboh tanpa dapat mengeluarkan suara atau berkutik lagi karena mereka telah tertotok secara tepat sekali oleh ujung payung di tangan Siang In yang cepat sudah menyelinap maju. Kini dia berlaku hati-hati sekali sehingga dia tidak sampai ketahuan oleh para penjaga lain. Akhirnya tibalah dia di bagian kandang kuda dan gudang rumput, di sebelah belakang istana. Dia menyelinap dan mengintai. Dilihatnya ada empat orang penjaga di dalam gudang rumput, maka dia lalu menyambar lampu minyak yang tergantung di samping gudang, kemudian dia bersenandung!

Tentu saja empat orang penjaga yang sedang melewatkan malam dingin dengan bermain kartu, karena mereka ini pun menerima perintah agar malam itu mereka tidak tidur, menjadi terheran-heran mendengar senandung yang merdu itu. Suara wanita di tempat itu? Sungguh aneh.

“Aih, kiranya di antara kalian ada yang mempunyai simpanan wanita di sini, ya?” penjaga yang gendut tertawa. “Hayo, siapa yang menyimpan wanita yang sekarang bersenandung itu?”

“Aih, suaranya begitu merdu....” kata penjaga yang kurus.

“Aku tidak mempunyai kenalan wanita di sini,” kata yang ke tiga.

“Aku pun tidak....“ kata yang ke empat.

“Kalau begitu.... siapa....“ Mereka saling pandang dan mata mereka terbelalak karena teringatlah mereka akan dongeng tentang siluman cantik.

“Jangan-jangan dia....?”

“Ahhhhh, mana ada siluman pandai bersenandung semerdu itu. Apapun adanya dia, mari kita ke luar menyelidiki. Suaranya terdengar dekat, agaknya di depan gudang,” kata Si Gendut yang menjadi pemimpin dan keluarlah empat orang itu, berindap-indap keluar dari gudang, tangan mereka memegang tombak garpu yang biasanya dipakai untuk menumpuk rumput kering.

Akan tetapi baru saja mereka tiba di luar pintu gudang dan celingukan karena tidak melihat sesuatu, dari jendela gudang itu ada lentera yang dilemparkan ke dalam gudang. Lentera menimpa tumpukan rumput kering dan tentu saja dalam sekejap mata rumput kering itu terbakar! Empat orang itu terkejut mendengar suara api di belakang mereka.

Cepat mereka menengok ke dalam gudang dan melihat api sudah berkobar besar di dalam gudang itu. Mereka terkejut dan juga merasa ngeri. Kalau saja mereka tadi belum keluar, agaknya akan sukar meloloskan diri dari api yang tentu mudah berkobar memakan rumput kering itu.

“Kebakaran....!”

“Tolonggg.... kebakaran....!”

Segera mereka memukul kentongan sambil berteriak-teriak dan sebentar saja suara kentongan dan berita kebakaran di gudang kandang kuda itu sudah terdengar di seluruh kompleks istana. Apalagi ketika semua kuda telah terlepas dari kandangnya dan kini berlarian ke sana-sini karena ketakutan melihat api. Tentu Siang In pula yang telah melepaskan kuda-kuda itu dengan membuka pintu-pintu kandang dan mencambuki binatang-binatang itu ke luar kandang mereka.

Panik dan gegerlah seluruh istana! Orang-orang berlari ke sana-sini, berserabutan dan bingung.

“Jangan panik! Jangan tinggalkan tempat penjagaan masing-masing!” Panglima Mohinta dibantu oleh beberapa orang perwira berlari ke sana-sini menenangkan para pengawal.

Akan tetapi tetap saja terjadi kepanikan hebat, bukan hanya karena kebakaran itu, melainkan kepanikan lain yang terjadi mulai dari taman di belakang kamar Syanti Dewi. Selagi para pengawal di sekitar taman itu yang jumlahnya paling banyak ada lima puluh orang yang tadinya berada di mana-mana dan kini berkumpul, menjadi agak bingung mendengar teriakan-teriakan kebakaran dan bunyi kentongan, tiba-tiba di tempat gelap muncul seorang wanita muda yang amat cantik, yang tersenyumsenyum kepada mereka dari jauh dan melambaikan tangan.

“Itu dia.... siluman itu!” teriak seorang diantara mereka yang pernah bertemu dengan Siang In. “Lihat dia membawa payung!”

Mendengar ini, para pengawal yang merasa tabah karena terdiri dari banyak orang itu berlari menghampiri. Akan tetapi Siang In tertawa terkekeh lalu membalikkan tubuhnya dan lari menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak. Gerakannya amat ringan dan cepat, lincah bukan main sehingga untuk beberapa lamanya dia dapat bermain kucing-kucingan dengan mereka, kadang-kadang menghilang bersembunyi di balik semak-semak atau di balik pohon-pohon, bahkan kadang-kadang dia meloncat seperti seekor burung terbang ke dalam pohon dan ketika beberapa orang pengawal yang mencarinya lewat di bawah pohon, dia melempari mereka dengan buah-buah mentah lalu melompat ke lain pohon dan berlari lagi.

Dengan gangguan-gangguan ini, Siang In berhasil membikin kacau lima puluh orang itu dan kini mereka semua tercurah perhatiannya kepada Siang In yang sebentar muncul sebentar lenyap itu. Bahkan Siang In kini lari tidak begitu cepat meninggalkan taman, tentu saja dikejar oleh semua pengawal yang seolah-olah kini berlumba untuk menangkap siluman yang amat cantik jelita itu. Siang In sengaja memperlambat larinya dan membiarkan dirinya hampir tersusul. Setelah dia mendengar suara derap para pengawal itu dekat di belakangnya, tiba-tiba dia berhenti, membalik sambil mengeluarkan suara melengking nyaring yang tidak menyerupai suara manusia. Begitu dia membalik, semua pengejarnya terbelalak ngeri melihat wajah yang putih polos, wajah setan tanpa mata hidung mulut! Dan selagi mereka bengong dengan muka pucat, Siang In menubruk ke depan, menggerakkan payungnya dan robohlah enam orang sambil mengaduh-aduh karena ujung payung itu secara nakal sekali telah menusuk pundak dan paha mereka, tidak membahayakan namun cukup mendatangkan rasa nyeri.

“Hi-hi-hik!” Siang In tertawa lagi sambil membalikkan dan melanjutkan larinya, makin menjauhi taman. Tentu saja para pengawal segera mengejarnya dengan marah.

Berhasiliah Siang In mengacaukan para pengawal dan Syanti Dewi yang sudah siap dan mendengar keributan kebakaran, maklum bahwa saat baginya sudah tiba. Memang tanda kebakaran itu merupakan isyarat baginya untuk mulai meloloskan diri. Maka puteri ini lalu cepat keluar dari kamarnya melalui jendela dan hal ini bukanlah merupakan hal yang sukar baginya karena Syanti Dewi bukanlah seorang puteri yang lemah, melainkan seorang yang telah mempelajari ilmu silat pula sehingga lolos dari jendela merupakan pekerjaan yang mudah. Dia mendengar suara ribut-ribut di taman itu, maka tahulah dia bahwa Siang In sedang “mengerjakan” para pengawal yang berjaga di taman. Maka dia lalu menyelinap di belakang pohon, mengintai dari tempat gelap dan setelah suara teriakan para pengawal makin menjauhi taman, tanda bahwa Siang In yang cerdik itu sudah berhasil memancing mereka ke luar dari taman, Sang Puteri cepat berlari menyelinap di antara kegelapan pohon-pohon di taman, membawa buntalannya dan terus menuju ke luar taman melalui jalan rahasia yang menembus ke pinggir tembok kota raja!

Sementara itu, Siang In dengan lincahnya mempermainkan para pengawal yang kini makin banyak berdatangan dan mengepungnya. Ketika para pengejarnya belum begitu banyak, dia dapat menggunakan sihirnya yang mempengaruhi para pengejarnya. Kadang-kadang dia berdiri begitu saja di dekat pohon dan mereka yang mengejarnya tidak melihatnya karena mereka melihat gadis itu seperti sebatang pohon dan melewatinya begitu saja. Kadang-kadang ketika mereka sudah mengepung gadis itu, tiba-tiba saja gadis itu lenyap berubah menjadi asap atau “terbang” begitu saja ke angkasa di depan mata mereka! Tentu saja semua ini hanyalah pengaruh sihir yang dikerjakan oleh Siang In dan menguasai pikiran mereka semua. Akan tetapi ketika yang mengejarnya makin banyak, sihir Siang In tidak begitu manjur lagi! Ada sebagian yang melihat dia “terbang” sehingga menjadi bengong, akan tetapi sebagian lagi yang tidak terpengaruh, melihat gadis itu sebetulnya hanya menyelinap saja untuk melarikan diri dan mereka ini terus mengejar, dan tentu saja perbuatan mereka ini sekaligus menyadarkan mereka yang terkena pengaruh sihir.

Mulai sibuklah Siang In berlari ke sana ke mari dikejar oleh para pengawal yang dipimpin oleh Panglima Mohinta sendiri. “Kejar! Tangkap dia!” Mohinta berteriak-teriak ketika melihat betapa gadis itu kadang-kadang melawan dan merobohkan para pengeroyok dengan gerakan silat yang amat hebat.

Mulailah Siang In mencari kesempatan untuk meloloskan diri. Menurut perhitungannya, saat ini Syanti Dewi tentu telah lolos. Akan tetapi celaka baginya, kini tiga ratus orang pengawal memusatkan kekuatan untuk mengurungnya dan tidak memberi kesempatan baginya untuk keluar dari dalam lingkungan istana! Kemanapun dia lari, tentu dia bertemu dengan pasukan pengawal yang amat banyak jumlahnya! Dan dia tidak akan mungkin terus bermain kucing-kucingan seperti itu, karena kalau sampai malam berganti pagi dan dia masih berada di istana, dia akan celaka! Ilmu silatnya dan ilmu sihirnya tidak mungkin dapat dia pergunakan menghadapi bala tentara Bhutan yang tentu akan dikerahkan untuk menangkapnya! Kemarin masih ada Syanti Dewi yang melindungi dan menyembunyikannya, akan tetapi sekarang, para pengawal sudah menduga bahwa dia hanyalah seorang manusia biasa yang pandai ilmu sihir. Bahkan kini Mohinta telah mengundang jago-jago ilmu sihir yang banyak terdapat di Bhutan untuk menandinginya sehingga ketika dia mencoba menggunakan sihirnya ketika dia bertemu dengan sepasukan pengawal yang ditemani seorang pendeta, sihirnya melempem dan tidak berhasil sama sekali! Hanya berkat ilmu silatnya yang cukup tinggi sajalah dia mampu lolos!

Napasnya agak terengah dan keringatnya sudah membasahi seluruh tubuhnya ketika Siang In menyelinap ke dalam sebuah ruangan kosong untuk beristirahat sejenak mengumpulkan kekuatan dan mencari akal. Akan tetapi baru saja dia masuk dan menghapus peluh dengan saputangan, muncul seorang laki-laki tinggi besar berpakaian panglima yang gagah sekali. Orang ini sudah setengah tua, usianya kurang lebih empat puluh lima tahun, tubuhnya tegap dan gagah, tangannya memegang sebatang golok. Melihat laki-laki ini, Siang In terkejut, akan tetapi juga girang dan wajahnya berseri.

“Paman Jayin....!”

Panglima itu memang Panglima Jayin, seorang panglima yang setia kepada Kerajaan Bhutan dan di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan betapa panglima ini yang telah berhasil membawa pulang Syanti Dewi dari timur, dan panglima ini masih terhitung suheng dari Ceng Ceng karena dia pernah menerima gemblengan dari kakek pendekar wanita itu.

Panglima Jayin terkejut dan heran mendengar dara muda yang cantik, yang disangka siluman dan dikejar-kejar ratusan orang pengawal itu, menyebutnya paman. Panglima ini baru saja tiba dari tugasnya ke luar kota raja dan begitu mendengar bahwa istana dikacau oleh seorang gadis lihai yang disangka siluman, dia bergegas pergi ke istana dan ikut pula mencari “siluman” itu. Panglima ini adalah seorang yang sudah berpengalaman. Tentu saja dia tidak percaya bahwa istana diganggu siluman. Dia menduga bahwa tentulah yang mengganggu atau mengacau itu seorang tokoh kang-ouw atau seorang penjahat. Bahkan tadinya dia menduga bahwa yang mengacau adalah Ang Tek Hoat, akan tetapi dugaan ini dilenyapkan oleh berita bahwa pengacau atau siluman itu adalah wanita. Dengan kecerdikannya, Panglima Jayin tidak ikut mengejar-ngejar dengan ribut, melainkan dia menyelinap ke tempattempat sunyi karena dia mempunyai perhitungan bahwa orang jahat itu yang dikejar-kejar tentu akan mencari tempat-tempat sunyi untuk beristirahat. Perhitungannya itu ternyata cocok sekali, dan dengan girang dia melihat seorang dara menyelinap masuk ke dalam ruangan kosong itu. Akan tetapi terkejut dan terheranlah dia ketika dara asing yang dia yakin tentulah si pengacau itu langsung saja menyebutnya paman!

Sejenak mereka berpandangan dan dara itu tersenyum manls, senyum kekanak-kanakan yang manis akan tetapi penuh dengan sifat menggoda seperti seorang anak nakal. “Eh, Paman Panglima Jayin, sudah lupa lagikah engkau kepadaku?” kembali dara itu berkata ramah sambil tersenyum.

Kini ada sesuatu pada diri dan sikap lucu dan nakal dari dara itu yang mengingatkan kepada panglima ini bahwa dia memang pernah bertemu dengan dara ini, akan tetapi dia sudah lupa lagi kapan dan di mana. “Nona, siapakah engkau?”

“Aku adalah Teng Siang In, murid dari See-thian Hoat-su. Kami pernah membantu kalian ketika dahulu mengawal Syanti Dewi ke Bhutan.

Jayin teringat dan dia mengangguk-angguk. “Ah, kiranya Nona! Akan tetapi apakah Nona pula yang menggegerkan istana dan dianggap sebagai siluman?”

“Hi-hik, inilah yang disangka siluman!” Siang In mengeluarkan kedok dan sekali tangannya mengusap muka, mukanya berubah menjadi polos mengerikan.

Jayin terbelalak lalu tersenyum. “Aih, Nona sungguh nakal sekali! Apa perlunya Nona mempermainkan kami dan mengacau istana?”

Siang In sudah melepaskan kedoknya lagi dan kini dengan sikap serius, sungguh tidak pantas bagi wajahnya yang cantik namun jenaka sifatnya itu, dia berkata, “Paman Jayin, apakah engkau tidak kasihan kepada Puteri Syanti Dewi? Apakah dulu Paman bersusah payah membawanya pulang ke Bhutan hanya untuk menyiksanya sehingga dia akan mati tenggelam dalam kedukaan seperti seekor burung dalam sangkar?”

“Eh, apa maksudmu berkata seperti itu, Nona?” Jayin bertanya marah dengan alis berkerut.

“Hemmm, jangan kau pura-pura tidak tahu, Paman. Tidak tahukah engkau bahwa Puteri Syanti Dewi setiap hari berduka, bahwa Sang Puteri masih mencinta Tek Hoat dan sama sekali tidak mencinta Mohinta? Tidak tahukah Paman akan hal itu?”

Jayin terkejut dan sejenak dia tak dapat menjawab. Akhirnya dia menghela napas dan berkata, “Tentu saja aku tahu, Nona. Aku tidak buta, akan tetapi apakah yang dapat kulakukan?”

“Paman Jayin, dahulu engkau adalah seorang gagah perkasa yang budiman, yang amat sayang kepada Syanti Dewi. Apakah sekarang Paman sudah berubah? Apakah Paman tidak ingin melihat dia berbahagia?”

“Bagaimana saya dapat membuat dia berbahagia?”

“Dengan membiarkan dia lolos dari istana untuk pergi mencari dan berkumpul kembali dengan kekasihnya, yaitu Ang Tek Hoat.

“Hemmm.... apakah kau menganjurkan aku berkhianat?”

“Siapa yang suruh kau berkhianat? Terus terang saja Paman Jayin, dahulu aku menganggapmu sebagai teman. Akan tetapi sekarang, aku sedang berusaha meloloskan Puteri Syanti Dewi dari istana. Bahkan sekarang pun dia sudah lolos. Kalau engkau hendak menghalangi, hemmm.... terpaksa aku akan menganggap engkau sebagai musuh!” Berkata dengan demikian, gadis yang cerdik itu sudah siap dengan payungnya, akan tetapi sesungguhnya ini hanya aksi belaka, karena dia sama sekali tidak ingin melukai panglima ini, dan yang dla persiapkan adalah kekuatan sihirnya karena kalau perlu dia akan menguasai panglima ini dengan sihirnya.

Panglima Jayin tercengang. Tahulah dia sekarang mengapa gadis ini mengacau istana. Dan semenjak Tek Hoat pergi tanpa pamit dari Kota Raja Bhutan, kemudian melihat keadaan Sang Puteri, memang di dalam hati panglima yang setia ini sudah timbul penyesalan hebat. Akan tetapi tentu saja dia tidak berdaya untuk membantu Syanti Dewi. Dan sekarang, secara tidak terduga-duga, muncul nona ini yang hendak menolong Syanti Dewi. Kalau dia menghalangi, sama saja artinya dengan dia hendak memaksa Syanti Dewi hidup menderita selamanya!

Pada saat itu, terdengar suara hiruk-pikuk dari jauh yang makin lama makin mendekati tempat itu.

“Dia tadi berkelebat ke sini!” “Cari sampai dapat!”

“Geledah semua tempat, semua tempat kosong!”

Jayin dan Siang In masih saling berpandangan. “Kau yakin Puteri telah lolos dari istananya?” tiba-tiba Jayin bertanya.

“Sudah pasti!”

“Kalau begitu, aku akan memancing mereka menjauhimu menuju ke istana Syanti Dewi di utara dan kau dapat melarikan diri ke bagian selatan. Cepat kau temani Sang Puteri dan bantulah dia agar bertemu dengan kekasihnya agar dia hidup berbahagia.”

Siang In tersenyum dan menjura. “Sungguh engkau habat, Paman! Sudah kusangka bahwa engkau memang seorang yang gagah perkasa dan budiman.”

“Sudahlah selamat berpisah....!” kata Jayin.

“Mari selidiki di dalam sini!” terdengar suara Mohinta tiba-tiba.

“Heiiiii, siluman! Kau hendak lari ke mana?” Tiba-tiba Jayin membentak marah, dengan golok terhunus dia menyerbu ke luar, mengejutkan Mohinta dan para anak buahnya.

“Eh, Paman. Panglima!” Mohinta berseru.

“Mohinta! Cepat, siluman itu lari ke sana! Eh, kenapa kalian mengejar-ngejar di sini? Celaka! Tentu siluman itu akan menculik Sang Puteri! Dan kalian meninggalkan istana Sang Puteri! Celaka aku melihat siluman itu tadi lari ke arah istana Sang puteri!” Jayin mendahului yang lain-lain, melompat dan lari ke arah istana Syanti Dewi. Mohinta terkejut dan baru teringat, maka dia pun lalu berlari cepat mengejar Jayin, diikuti oleh para pengawal.

“Ini adalah pancingan!” Sambil berlari Panglima Jayin berseru. “Siluman itu memancing kalian meninggalkan penjagaan di istana Sang Puteri. Betapa bodohnya kalian!”

“Celaka....!” Mohinta menjadi pucat dan mempercepat larinya ke arah istana kecil itu. Seperti berlomba lari saja mereka menuju ke istana, langsung ke kamar Sang Puteri dan memang semua pengawal yang menjaga di situ telah lari tadi mengejar Siang In.

Mohinta bernapas lega melihat pintu kamar Sang Puteri masih terkunci dari dalam.

“Ah, syukur Adinda Syanti Dewi masih di dalam, tentu masih tidur nyenyak,” katanya sambil tersenyum lega.

“Bodoh! Coba ketuk, buka! Siapa tahu....!” Jayin melangkah maju dan mengetuk pintu perlahan-lahan sambil memanggil. Akan tetapi tidak ada jawaban dari dalam. Ketukan diperkeras dan akhirnya pintu itu digedor-gedor oleh Mohinta yang sudah menjadi pucat sekali mukanya. Namun tetap saja tidak ada jawaban.

“Bongkar pintunya!” Jayin yang bersikap seperti orang kebingungan itu memerintah. Pintu kamar dibongkar, dipaksa terbuka dan mereka menyerbu ke dalam Kosong!

“Celaka....! Adinda.... Adinda Syanti Dewi....!” Panglima Mohinta mencari-cari dalam kamar itu, lalu menjenguk keluar jendela, akan tetapi keadaan di luar jendela pun sunyi.

“Nah, apa kataku tadi!” Panglima Jayin marah-marah. “Sungguh tolol kalian semua, dapat dipancing meninggalkan tempat ini oleh penjahat. Jelas bahwa penjahat itu menyamar sebagai siluman, mengacau dan membakar kandang agar semua pengawal terpancing ke sana, kemudian dia dengan leluasa telah masuk ke dalam kamar ini dan menculik Sang Puteri.”

“Aduh, Paman Panglima Jayin, bagaimana baiknya sekarang?” Panglima Mohinta yang merasa cemas dan duka itu mengeluh.

“Agaknya tidak mungkin penjahat, dapat melarikan Sang Puteri keluar dari lingkungan istana. Mohinta, kauperkuat penjagaan di sekitar istana, jangan sampai ada orang dapat keluar atau masuk. Aku sendiri akan melaporkan hal ini kepada Sri Baginda sekarang juga!”

Mohinta cepat mengerahkan semua pasukan untuk berjaga-jaga dan mencari-cari, akan tetapi tentu saja tanpa hasil karena pada saat itu, Syanti Dewi dan Siang In telah pergi jauh meninggalkan tembok tebal yang mengurung Kota Raja Bhutan.

Gegerlah istana Bhutan. Sri Baginda menjadi marah sekali dan juga amat gelisah memikirkan puterinya yang untuk kedua kalinya diculik orang. Dahulu, kurang lebih lima tahun yang lalu, Sang Puteri bersama Ceng Ceng juga lenyap, sampai setahun lebih baru berhasil ditemukan. Sekarang, Sang Puteri lenyap pula, bahkan sekarang lenyap dari dalam kamarnya! Maka, ketika Panglima Mohinta mohon perkenan Sri Baginda untuk pergi mencari Sang Puteri, Sri Baginda menyetujuinya. Panglima Mohinta lalu mengumpulkan jagoan-jagoan dari Bhutan, tokoh-tokoh yang berilmu tinggi untuk menemaninya pergi mencari jejak Sang Puteri Syanti Dewi.

Keadaan Syanti Dewi benar-benar seperti seekor burung yang tadinya terkurung dalam sangkar kini terlepas dari kurungan, terbang bebas di udara. Kesehatannya pulih kembali, dalam waktu satu bulan saja melakukan perjalanan, wajahnya sudah menjadi segar kemerahan, sepasang matanya yang tadinya sayu kini bersinar-sinar penuh semangat dan gairah hidup dan biarpun pakaiannya tidak seindah dan semewah ketika dia berada di istana, namun hal ini sama sekali tidak mengurangi kecantikannya, bahkan dia kelihatan segar dan cantik sekali, dengan mata bersinar, mulut tersenyum dan wajah berseri-seri.

Dia telah berhasil menyelinap keluar dari tembok kota raja setelah bertemu dengan Siang In di tempat yang telah dijanjikan oleh mereka, dan berkat kelihaian Siang In, Sang Puteri dapat dibawa keluar tembok kota dan dengan cepat mereka melarikan diri ke timur.

Memang bukan perjalanan yang mudah yang mereka tempuh selama sebulan ini. Naik turun gunung-gunung yang tinggi dan liar, masuk keluar hutan-hutan yang amat besar dan gelap. Namun, karena di sampingnya ada Siang In, pula karena memang puteri ini pernah mempelajari ilmu silat dan telah banyak mengalami hal-hal yang hebat, maka perjalanan ini tidaklah terlalu sukar dan sengsara baginya. Sebaliknya malah, dia benar-benar merasa seperti hidup baru, merasa gembira dan penuh harapan yang muluk-muluk, yaitu harapan untuk dapat bertemu kembali dengan pria yang dicintanya, ialah Ang Tek Hoat.

Makin akrab saja hubungan di antara dua orang dara yang sifat dan wataknya bagaikan bumi dan langit itu. Syanti Dewi adalah seorang wanita yang berwatak lembut, halus budi, halus perasaan, pandai mengekang perasaan, dan memiliki keagungan seseorang puteri. Sebaliknya, Teng Siang ln adalah seorang wanita yang berwatak periang jenaka, bahkan bengal dan suka menggoda orang, suka tertawa, jujur, polos dan tidak begitu mempedulikan tentang peraturan dan sopan santun, perasaannya mengeras oleh gemblengan hidup, dan biarpun dia termasuk seorang dara yang suka berpakaian indah dan suka pula bersolek, namun pada dasarnya dia amat sederhana.

Betapapun besar perbedaan watak antara mereka, namun mereka dapat segera menjadi sahabat yang akrab sekali. Syanti Dewi benar-benar merasa seolah-olah dia mendapatkan pengganti Ceng Ceng! Memang ada persamaan antara Ceng Ceng dan Siang In, persamaan dalam hal watak periang, agak binal dan jujurnya. Akan tetapi Ceng Ceng tidaklah sebinal Siang In! Betapapun juga, dengan adanya Siang In di sampingnya, perjalanan yang amat sukar itu tidak terasa oleh Syanti Dewi dan dia dalam waktu sebulan itu saja sudah mengenal benar-benar watak Siang In. Biarpun kelihatan binal dan terpengaruh oleh keindahan yang membawa keanehan, kadang-kadang kelihatan keras, namun pada hakekatnya dara ini memiliki watak yang amat baik, setia dan jujur!

“Enci Syanti, ajari aku nyanyian yang kemarin kaunyanyikan ketika kita mandi di telaga itu! Kau sudah berjanji“

Mereka duduk beristirahat di sebuah hutan yang amat indah. Hutan itu berada di pegunungan yang jauh dari dusun-dusun, hutan yang liar dan tentu amat jarang terinjak kaki manusia. Akan tetapi ternyata alam memiliki daya cipta yang tak dapat terukur oleh otak manusia. Pohon-pohon besar kecil tumbuh dengan subur dan amat nyeni seolah-olah diatur saja, berkelompok dan memiliki keindahan sendirl-sendiri yang khas, namun juga merupakan suatu kesatuan yang amat indah, yang tak terpisahkan. Agaknya, sebatang pohon saja dipindahkan, akan hambarlah keindahan kesatuan itu. Kembang-kembang dan rumput-rumput seolah-olah tumbuh di tempat yang memang sudah semestinya, begitu serasi, begitu cocok sehingga suasana di hutan itu menjadi indah membahagiakan hati.

Dua orang dara yang sadar atau tidak terpengaruh oleh keindahan yang membahagiakan itu dan yang kini beristirahat melepaskan lelah di bawah sebatang pohon besar, merasa gembira pula dan bercakap-cakap dengan asyiknya sampai terdengar Siang In minta diajari nyanyian.

“Adikku yang manis, engkau sudah begini pandai, mempunyai banyak macam ilmu-ilmu yang aneh-aneh, akan tetapi kulihat engkau masih selalu haus akan pelajaran-pelajaran. Betapa rajinnya engkau, In-moi.” Syanti Dewi memuji sambil meletakkan tangannya ke atas pundak dara itu.

Siang In tersenyum. “Selama ini, aku hanya mempelajari hal-hal yang kasar saja, Enci. Ilmu silat, ilmu memukul orang. Huh! Dan ilmu sihir, ilmu menipu orang. Wah, tidak ada yang baik dan hanya bisa menyusahkan orang lain saja. Akan tetapi engkau sebagai seorang puteri benar-benar memiliki banyak kepandaian yang dapat menyenangkan orang lain, dan aku ingin sekali mempelajarinya, Enci.”

“Akan tetapi, aku mempelajari segala macam kepandaian nyanyi, tari, bermain musik dan lain-lain itu bukan untuk menyenangkan sembarang orang, adikku. Aku bukannya ingin menjadi seorang penari atau penyanyi umum“

“Aku tahu, Enci. Tentu engkau hanya mau bernyanyi atau menari di depan orang yang kaucinta. Bukankah begitu?”

Dengan kedua pipinya berubah merah, Syanti Dewi mengangguk.

“Aku pun demikian, Enci. Aku minta diajar bernyanyi, karena. aku suka mendengar senandungmu kemarin itu, dan aku.... hemmm, aku pun tidak akan sembarangan memamerkan nyanyian di depan orang lain!”

Wajah itu berseri dan mata yang halus pandangnya itu menatap wajah Siang In penuh selidik. Akan tetapi yang dipandang hanya tersenyum saja.

“Aihhh, kalau begitu engkau juga sudah mempunyai seorang pilihan hati, seorang kekasih, adikku!”

Siang In menggeleng kepala. “Belum, Enci. Pilihan hati.... hemmm, ya, mungkin saja, siapa tahu.... akan tetapi kekasih? Belum! Enci dengan Ang Tek Hoat, nah, itu baru namanya kekasih, karena saling mencinta.”

Tiba-tiba pandang mata Syanti Dewi berubah, penuh kekhawatiran. “Adikku yang manis, apakah.... apakah cintamu hanya sepihak....?”

Kembali Siang In menggeleng dan tersenyum. “Tidak ada cinta, baik dari fihak mana pun, Enci. Aku sendiri tidak tahu benar apakah aku telah mencinta seseorang. Banyak memang pria yang menyatakan cinta padaku, baik melalui pandangan matanya, melalui rayuannya....“

“Aku percaya. Engkau sungguh cantik jelita seperti bidadari!”

“Tidak ada sepersepuluhmu dalam kecantikan, Enci. Akan tetapi kalau hanya seperti itu cinta yang diagung-agungkan itu, seperti para pria yang menyatakan cinta melalui pandang mata atau rayuan mulut penuh nafsu itu, hihhh....“ Siang In bergidik. “Lebih baik aku tidak mengenal cinta!”

Syanti Dewi memandang tajam. “Hemmm.... jangan engkau berkata begitu, In-moi. Kalau benar engkau belum mempunyai kekasih, habis siapa yang kaucari-cari itu? Dulu di Bhutan engkau pernah bilang bahwa engkau datang ke Bhutan mencari seseorang siapakah dia itu yang kaucari-cari?”

Terjadi perubahan, akan tetapi hanya pada sinar mata dara itu yang tiba-tiba menjadi bersinar-sinar seperti orang gembira, akan tetapi juga bisa jadi seperti orang marah. Dia mengangguk. “Memang aku mencari seseorang yang tadinya kusangka berada di Bhutan atau sekitarnya. Akan tetapi mungkin aku salah sangka dan dia mungkin tidak berada di barat.

“Siapakah dia, In-moi? Mungkin saja aku mengenalnya dan tahu di mana dia berada.”

“Enci mengenalnya, tentu. Dia adalah Suma Kian Bu“

“Ehhh....? Dia....?” Sejenak puteri itu termenung teringat akan pemuda gagah perkasa, putera Majikan Pulau Es yang jatuh cinta kepadanya itu! Seorang pemuda hebat dan andaikata di dunia ini tidak ada Ang Tek Hoat, betapa akan mudahnya jatuh cinta kepada seorang sepertli Suma Kian Bu!

“Tahukah Enci di mana adanya dia?”

Syanti Dewi dalam keadaan masih termenung menggeleng kepalanya. “Aku tidak tahu, tentunya di Pulau Es, di ternpat tinggal orang tuanya, In-moi, Suma Kian Bu adalah seperti kakakku sendiri, seperti saudaraku sendiri. Katakanlah mengapa engkau mencari dia? Kuharap saja tidak ada permusuhan antara kalian“

Siang In menggeleng kepalanya. “Tidak ada permusuhan apa-apa “

“Kalau begitu kalian saling mencinta! Wah, syukurlah !”

“Juga tidak, Enci. Tidak ada permusuhan, juga tidak ada ikatan itu karena selama ini kami tidak pernah saling jumpa, hanya ada sedikit penasaran dan aku ingin sekali bertemu dengan dia untuk menanyakan suatu hal agar rasa penasaran di hatiku dapat lenyap.”

“Syanti Dewi mengerutkan alisnya dan merasa khawatir. “Penasaran? Urusan apakah itu yang membuat engkau penasaran, adikku? Bolehkah aku mengetahuinya? Aku khawatir sekali....”

“Ah, tidak apa-apa, Enci Syanti. Hanya rasa penasaran karena suatu perbuatan yang dia lakukan kepadaku, lima tahun yang lalu.” jawab Siang In dan tiba-tiba wajahnya berubah merah.

Tentu saja puteri itu menjadi makin penasaran. “In-moi, perbuatan apakah yang dia lakukan kepadamu sampai membuatmu penasaran? Atau.... engkau kurang percaya kepadaku untuk memberitahu....“

“Ah, mengapa tidak percaya, Enci Syanti Dewi?” Siang In merangkul. “Tidak ada rahasia perbuatan itu hanyalah.... eh, lima tahun yang lalu dia.... eh, dia pernah mencium bibirku.”

“Ihhh....!” Syanti Dewi terkejut bukan main! Dara ini menceritakan hal seperti itu demikian jujurnya, seolah-olah itu “bukan apa-apa”!

“Kenapa kau terkejut, Enci?” Siang In memandang penuh selidik.

“Tidak apa-apa....“ Syanti Dewi mengatur napasnya yang agak memburu. “Hanya.... kalau sudah begitu.... berarti kalian saling mencinta.”

Siang In menggeleng kepala. “Bagaimana engkau dapat memastikan begitu?”

“Ya.... karena.... pria yang mau mencium seperti itu, berarti dia mencinta, dan kau kalau kau mau menerima ciuman itu, berarti engkau pun mencintanya.”

“Hemmm.... aku tidak tahu apakah aku cinta padanya, dan aku tidak tahu pula apakah dia cinta padaku. Akan tetapi, terus terang saja, ciuman itu membuat aku sering kali tidak bisa tidur, Enci Syanti.”

Syanti Dewi menutupi mulutnya, menahan ketawa. Anak ini benar-benar jujur bukan main, pikirnya dengan hati terharu. Jujur dan polos, murni bagaikan setangkai mawar hutan yang mulus tak pernah ternoda.

“Itulah tandanya bahwa kau jatuh cinta kepada Kian Bu koko, adikku.”

“Ah, tidak. Belum tentu. Aku tidak yakin apakah aku cinta padanya. Aku sering kali membayangkan ciuman itu, memang, akan tetapi dengan hati penasaran. Maka aku ingin sekali bertemu dengan dia untuk menanyakan artinya, untuk bertanya kepadanya mengapa lima tahun yang lalu itu dia menciumku seperti itu!”

Syanti Dewi menggeleng-geleng kepalanya. Selama hidupnya baru sekarang dia bertemu dengan seorang gadis seperti Siang In, juga dalam kitab-kitab lama belum pernah dia bertemu dengan cerita tentang seorang gadis seperti Siang In!

“Jadi jauh-jauh engkau bersusah-payah mencari Kian Bu koko, hanya untuk bertanya tentang itu?”

“Benar, akan tetapi sudahlah, Enci. Hatiku menjadi tidak enak dan kecewa karena kenyataannya perjalananku sia-sia belaka, tidak dapat bertemu dia. Baiknya aku bertemu denganmu dan dapat membantumu lolos dari sangkar emas di istana Bhutan itu. Sekarang kauajarkan lagu yang kaunyanyikan kemarin itu.”

“In-moi, lagu itu adalah lagu lama dari Bhutan, dan sebetulnya untuk menyanyikannya harus diiringi musik dan dinyanyikan sannbil menari.”

“Bagus sekali! Aku pun senang menari, bahkan aku pernah belajar menari, Enci. Biar kauajarkan sekalian tariannya.”

“Musiknya?”'

“Asal kauajarkan pada aku iramanya, dapat digantikan dengan irama ketukan batu.”

Syanti Dewi tertawa. Memang, inti dari musik adalah iramanya, dan andaikata tidak ada alat musik, asal iramanya dibunyikan dengan tepuk tangan, ketukan batu apa pun jadilah! Dia lalu mengajarkan iramanya yang sederhana saja seperti semua irama dari segala macam musik di dunia ini.

“Lagu ini bernama HARAPAN JUMPA KEKASIH. Nah, kau iringilah dengan irama yang baik dan teratur, dan dengarkan nyanyiannya, lihat gerak tariannya kalau kau ingin mempelajarinya.”

Terdengarlah ketukan-ketukan batu berirama di dalam hutan itu, kemudian terdengarlah suara halus merdu dari Syanti Dewi yang bernyanyi sambil menari. Kata-kata dalam Lagu itu memang tepat sekali dengan keadaan dan suara hati Sang Puteri sendiri.

“Kekasih telah lama pergi
tak tahu bila akan jumpa kembali
namun hati pantang membeku
tak mengenal putus harapan

selama hayat dikandung badan
cintaku tak pernah padam
jika tiada kesempatan jumpa di dunia
di akhirat kita akan saling bersua
harapan jumpa kekasih
kubawa sampai mati.”

“Hebat, Enci! Hebat sekali, baik nyanyiannya maupun tariannya. Cepat, kau yang mengiringi dengan irama, selagi aku masih ingat.”

Gembira bukan main hati kedua orang dara itu dan ketika Siang In belajar menyanyi dan menarikan lagu Harapan Jumpa Kekasih itu, Syanti Dewi yang bengong dan kagum! Kiranya di samping kepandaian silat dan sihirnya yang hebat, dara ini pun memiliki suara yang nyaring merdu seperti burung kenari, dan tubuhnya yang padat ramping itu memang telah jelas memiliki gerakan yang lemas dan lemah gemulai sehingga ketika dia menari, benar-benar amat indah dan mengandung daya pikat yang mempesonakan. Gerak-gerik tarian Syanti Dewi mengandung kehalusan dan masih terselubung oleh tradisi sopan santun yang telah mendarah daging dalam diri puteri itu, akan tetapi tidak demikian dengan Siang In. Gadis ini bebas dari segala ikatan tradisi, gerakannya wajar dan tidak terkekang maka setiap anggauta tubuhnya seolah-olah “hidup” dan menari-nari sehingga menimbulkan daya tarik yang menggairahkan!

Demikianlah, dengan asyiknya dua orang dara itu menari dan bernyanyi di dalam hutan. Siang In belajar penuh semangat, kadang-kadang Syanti Dewi turun tangan mengajarnya bagaimana harus menggerakkan tangan dan jari-jari tangan yang benar, bagaimana harus menggerakkan kaki melangkah. Puteri itu memberi petunjuk dengan penuh ketelitian dan Siang In makin gembira mempelajarinya sampai akhirnya dia dapat menangkap inti dari nyanyian dan tarian itu. Sejak kecil, Siang In mempelajari ilmu silat dan sesungguhnya orang yang berbakat pula mempelajari ilmu tari, karena di dalam gerakan ilmu silat memang terkandung inti gerakan ilmu tari pula. Oleh karena itu, dengan mudah saja dara yang memang bertubuh ramping dan lemas ini menguasai tarian Harapan Jumpa Kekasih itu.

Tiba-tiba Siang In menangkap tangan Syanti Dewi dan ditariknya puteri itu menyelinap ke balik semak-semak belukar yang tinggi. Tentu saja puteri itu terkejut bukan main, akan tetapi melihat Siang In memberi isyarat dengan jari tangan ke depan mulut, dia pun tidak berani bertanya dan maklum bahwa tentu ada sesuatu yang tidak beres. Melihat pandang mata Siang In ditujukan ke barat, dia pun menoleh dan kini setelah dia memusatkan perhatiannya, dia pun mendengar lapat-lapat derap kaki kuda datang dari jurusan itu.

Tidak lama mereka menanti. Derap kaki kuda makin keras dan segera kelihatan belasan orang penunggang kuda membalapkan kuda lewat di hutan itu dan dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Syanti Dewi ketika melihat bahwa rombongan berkuda itu dipimpin oleh Panglima Mohinta! Seketika wajahya menjadi pucat dan tangannya yang memegang tangan Siang In menggigil. Disangkanya bahwa dia telah terlepas dari bahaya karena telah meninggalkan Bhutan selama satu bulan. Siapa kira, ternyata dia dikejar dan kini para pengejarnya telah tiba di situ!

Setelah derap kaki kuda itu menghilang ke jurusan timur, barulah Syanti Dewi bernapas lega dan Siang In berkata, “Aihhh, tak kusangka monyet-monyet itu akan dapat menyusul secepat itu. Dan tunanganmu sendiri yang mengepalai pasukan pengejar.”

“Dia bukan tunanganku! Jangan menyebut-nyebut lagi dia sebagai tunanganku, In-moi. Engkau tahu bahwa tunanganku adalah Ang Tek Hoat!”

“Maaf, Enci Syanti. Sekarang kita tidak boleh lalai. Mereka telah mengejar, tentu mereka telah mendengar tentang kita dari dusun terakhir yang kemarin dulu kita lewati untuk membeli roti kering. Kalau mereka nanti tiba di dusun depan dan tidak mendengar tentang kita, tentu mereka akan kembali lagi dan mencari kita di sepanjang jalan.”

“Tapi mereka hanya belasan orang banyaknya. Dengan kepandaianmu....“

“Hemmm, apakah engkau tidak melihat pendeta lama jubah kuning yang tadi menunggu kuda di samping tunang.... eh, Panglima Mohinta itu?”

“Ya, aku melihatnya dan aku belum pernah melihat dia sebelumnya. Siapa dia dan mengapa, In-moi?”

“Ketika lewat tadi, aku melihat sinar matanya dan tentu dia itu seorang jagoan undangan. Agaknya dari Tibet dan melihat sinar matanya, aku dapat menduga bahwa dia tentu seorang yang lihai dan tidak mudah dipengaruhi oleh kekuatan sihir. Tentu saja aku tidak takut kepada mereka, akan tetapi aku harus melindungimu, Enci. Dan agaknya akan sukarlah kalau aku harus melawan mereka sambil melindungimu. Aku tidak ingin melihat usaha kita gagal setelah kita berhasil pergi sejauh ini dari Bhutan. Mari kita mengambil jalan lain saja, bukan jalan umum.”

“Terserah kepadamu, In-moi.”

Siang In lalu mengubah rencana perjalanannya, tidak melanjutkan melalui jalan umum ke timur melainkan membelok ke utara melalui jalan liar, naik turun gunung dan jurang yang amat liar akan tetapi yang menjamin mereka bahwa pasukan berkuda itu tidak akan mungkin dapat mencari jejak mereka. Siasat Siang In berhasil baik. Memang tepat perhitungannya. Ketika Mohinta dan anak buahnya tiba di dusun depan dan mereka tidak mendengar adanya dua orang gadis itu lewat di dusun ini, Mohinta dan kawan-kawannya segera kembali dan mencari-cari di dalam hutan di mana dua orang tadi bernyanyi dan menari. Akan tetapi Mohinta kehilangan jejak mereka dan terpaksa dia membawa rombongannya terus mengejar dan mencari ke timur. Mohinta dapat menduga bahwa tentu Syanti Dewi akan berusaha mencari bekas kekasihnya, Ang Tek Hoat, maka dengan mencari pemuda itu, dia percaya akhirnya akan dapat pula menemukan Syanti Dewi.

Setelah melakukan perjalanan yang amat jauh, sukar dan melelahkan, namun mereka berdua selalu berada dalam keadaan gembira, terutama sekali karena watak jenaka dan periang dari Siang In telah menular kepada Syanti Dewi, akhirnya pada suatu senja mereka tiba di kaki sebuah diantara pegunungan yang mempunyai banyak puncak. Itulah Pegunungan Lu-liang-san yang menjadi tapal batas Propinsi Shen-si di barat, Ho-nan di selatan, dan Shan-si di utara.



Lebih dari sepekan mereka berdua melakukan perjalanan melalui air Sungai Wei-ho, dan di kota Sian, yaitu ibukota Propinsi Shen-si, mereka mendarat dan melakukan perjalanan darat. Tujuan mereka adalah Kota Raja Peking di utara. Setelah berjalan beberapa hari lamanya, pada senja hari itu mereka tiba di kaki puncak dan mereka memandang ke atas puncak di mana nampak sebuah kota yang dikelilingi tembok, mereka merasa lelah sekali karena anehnya, setelah melakukan perjalanan sehari lamanya mereka tidak juga bertemu dengan kbta atau dusun! Baru sekarang mereka melihat kota di puncak bukit itu, dan di depan agak jauh nampak mengalir Sungai Kuning yang amat lebar.

“Hari sudah gelap dan sudah dua hari kita tidak makan nasi,” kata Siang In, “Kalau melanjutkan ke depan, kita terhalang Sungai Kuning yang lebar. Bagaimana kalau kita naik ke puncak itu? Kelihatannya di atas itu adalah sebuah kota kuno yang besar dan kita bisa mencari penginapan di sana dan makan sepuasnya di rumah makan.”

Syanti Dewi yang merasa sudah lelah sekali itu mengangguk. “Terserah kepadamu, In-moi. Aku setuju saja. Hanya lain kali lebih baik kita melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki saja. Perjalanan melalui air yang telah kita tempuh, demikian enak dan membikin malas sehingga begitu diganti dengan perjalanan darat, kaki ini menjadi seperti mau patahpatah rasanya. Padahal, sebelum itu, dipakai berjalan sampai sebulan lebih tidak apa-apa.”

Siang In tersenyum dan menggandeng puteri itu. “Kasihan engkau, Enci Syanti, dan kasihan kedua kakimu yang mungil itu. Biasanya pergi dekat saja engkau tentu menggunakan joli atau kereta, dan biasanya kalau terasa capai, tentu ada pelayan-pelayan yang memijatinya. Sayang, kalau ada Tek Hoat, tentu“

“Hushhh, genit kau....!” Syanti Dewi mencubit lengan Siang In dan dara ini menjerit-jerit minta ampun. Dengan kelakar itu Siang In berhasil membuat puteri itu melupakan kelelahannya dan mereka bersendau-gurau sambil mendaki jalan naik ke puncak itu.

Sungguh kasihan kedua orang dara cantik jelita itu. Mereka tertawa-tawa bersendau-gurau, membayangkan bahwa mereka akan tiba di sebuah kota atau dusun besar di mana mereka akan dapat melepaskan lelah di rumah penginapan, mandi air hangat dan makan masakan yang lezat-lezat. Mereka sama sekali tidak pernah menyangka bahwa mereka itu seolah-olah dua ekor anak domba yang berdaging empuk dan yang sedang menuju ke gua yang penuh dengan harimau dan naga!

Tempat apakah yang dikurung tembok di atas puncak itu? Bagi wilayah itu, bahkan hampir semua orang kang-ouw di Propinsi-propinsi Shan-si, Ho-nan dan Shen-si, tempat itu sudah amat terkenal, disegani dan tidak sembarangan orang kang-ouw berani mendatangai tempat itu, apalagi sejak beberapa tahun akhir-akhir ini. Puncak bukit itu merupakan daerah berbahaya dan gawat, bahkan di sekitar itu, orang-orang tidak lagi berani tinggal sehingga dusun-dusun ditinggalkan orang. Inilah sebabnya mengapa selama sehari perjalanan Siang In dan Syanti Dewi tidak pernah melihat kota atau dusun.

Puncak itu dinamakan puncak Hwee-liong (Naga Api) dan yang kelihatan seperti dusun itu sesungguhnya adalah sekelompok bangunan yang dikurung dinding tembok yang kuat seperti benteng saja. Tempat itu menjadi markas sebuah perkumpulan yang amat terkenal, yaitu Perkumpulan Liong-sim-pang (Perkumpulan Hati Naga). Yang menjadi ketuanya, atau lebih tepat menjadi pemiliknya karena sesungguhnya perkumpulan itu didirikan oleh seorang yang amat kaya raya, adalah seorang lakl-laki yang terkenal dengan julukan Hwa-i-kongcu (Pemuda Baju Kembang), bernama Tang Hun dan memang dia merupakan keturunan terakhir dari keluarga Tang yang kaya raya dan seolah-olah sejak turun-temurun menjadi raja kecil yang menguasai semua tanah di daerah itu.

Mengapa pemuda bernama Tang Hun ini sampai mendirikan Perkumpulan Liong-sim-pang? Karena selain kaya raya dia pun sejak kecil suka sekali akan ilmu silat, bahkan kini ia terkenal sebagai seorang yang amat tangguh dan lihai, apalagi setelah sejak beberapa tahun ini dia berguru kepada seorang nenek hitam yang kini tinggal di puncak itu sebagai seorang yang dipuja-puja. Semenjak berguru kepada nenek hitam ini kabarnya kepandaian Hwa-i-kongcu menjadi hebat bukan main karena selain silat nenek itu amat tinggi, juga terutama sekali nenek itu seorang ahli sihir yang menurunkan sebagian dari kepandaian ini kepada muridnya itu! Dan selain dia sendiri amat lihai, juga Hwa-i-kongcu mempunyai pembantu-pembantu yang sakti dan setia.

Sebagai seorang majikan atau ketua dari sebuah perkumpulan, apalagi karena amat kaya raya, tentu saja Hwa-i-kongcu membentuk pasukan sebagai anak buah Liong-sim-pang. Anak buahnya berjumlah lima puluh orang, dan cata-rata memiliki kepandaian lumayan, karena mereka yang masuk menjadl anggauta harus lulus melalui ujian tertentu. Bahkan setelah menjadi anak buah Liong-sim-pang mereka ini mendapat pendidikan khusus dari para pembantu Hwa-i-kongcu.

Melihat namanya, perkumpulan ini didirikan oleh Tang Hun dengan maksud mengangkat diri sendiri sebagai majikan atau ketua perkumpulan orang-orang gagah yang berhati naga! Akan tetapi, sudah menjadi kelajiman di dunia bagian mana pun juga, baik dalam bentuk pangkat, kedudukan, dan kepintaran, harta benda, maupun kekuatan, selalu mendatangkan kekuasaan dan kekuasaan inilah yang menimbulkan kesombongan, kesewenang-wenangan dan penindasan. Maka tidak lama kemudian, nama Liong-simpang menjadi tersohor dan ditakuti orang karena para anak buahnya mengandalkan kekuasaan itu untuk menang sendiri terhadap fihak lain.

Hwa-i-kongcu Tang Hun sendiri tentu saja merasa dirinya terlalu tinggi untuk melakuan hal-hal yang remeh. Dia sudah kaya raya, maka tidak pernah dia melakukan pemerasan atau merampas harta. Akan tetapi, dia memiliki kesenangan lain, yaitu wanita cantik! Dengan menggunakan berbagai jalan, baik menggunakan kekayaannya, atau ketampanannya, atau kalau perlu kepandaiannya, dia mengumpulkan banyak wanita cantik di dalam gedungnya dan celakanya, pemuda mata keranjang dan hidung belang ini adalah seorang pembosan sehingga kumpulan wanita di gedungnya selalu berganti. Yang sudah membosankan, dan biasanya hal ini takkan pernah terjadi lebih dari beberapa bulan saja, lalu dipulangkan begitu saja dan dia mulai berkeliaran mencari penggantinya. Kamar-kamarnya selalu penuh dengan wanita cantik yang jumlahnya paling sedlkit ada sepuluh orang!

Hwa-i-kongcu sendiri biarpun usianya sudah tiga puluh tahun namun dia kelihatan amat muda, seperti seorang pemuda yang usianya baru dua puluh tahun, wajahnya tampan dan selalu putih karena dibedaki dengan bedak harum. Dia pesolek sekali, dengan pakaian seperti seorang sastrawan yang selalu berwarna-warni dan berbunga-bunga, pakaian dari sutera yang mahal dan mewah. Karena kelihatan masih amat muda, tampan dan ganteng, kaya raya, pandai ilmu sastra dan silat, maka tentu saja dengan mudah dia dapat memikat hati wanita-wanita cantik. Akan tetapi, begitu wanita-wanita itu berhasil diperolehnya dan dibawa ke dalam gedungnya, wanita-wanita itu menyesal bukan main dan barulah mereka sadar bahwa mereka telah memasuki neraka karena pria yang tampan itu memiliki watak yang amat aneh dan kejam, yang suka menyiksa wanita demi untuk memuaskan nafsu berahinya dan menganggap wanita hanya sebagai barang permainan belaka, sebagai pemuas nafsu belaka!

Sampai berusia tiga puluh tahun, Hwa-i-kongcu ini tidak pernah menikah. Hal ini adalah karena dia berwatak pembosan dan terutama sekali karena dia amat tinggi hati, merasa bahwa di dunia ini tidak ada wanita yang cukup berharga untuk menjadi isterinya yang sah! Semua wanita itu hanya mau menjadi barang permainanhya untuk sementara saja.

Demikianlah, di luar kesadaran atau dugaan mereka, kini Siang In dan Syanti Dewi sedang mendaki bukit itu menuju ke tempat seperti itu! Tentu saja para penjaga di atas tembok yang seperti benteng itu sudah melihat akan adanya dua orang yang mendaki bukit, maka sepasukan anak buah Liong-sim-pang yang jumlahnya selosin orang segera bergegas turun dari puncak untuk menghadang dua orang yang berani lancang naik ke puncak itu.

Siang In dan Syanti Dewi sudah tidak bergurau lagi karena mendaki jalan naik itu cukup melelahkan, membuat mereka terutama Syanti Dewi menjadi kecapaian, keringatnya membasahi seluruh tubuh dan nafasnya agak memburu.

“Ihhhhh....“ Puteri itu mengeluh. “Kelihatan dekat, kalau dijalani kenapa tidak juga sampai-sampai!”

Siang In tertawa. “Enci, kita sudah melewati gunung-gunung yang jauh lebih tinggi dan sukar daripada bukit kecil ini, akan tetapi kau tidak pernah, mengeluh. Hal itu adalah karena kau tergesa-gesa ingin lekas-lekas tiba di puncak itu maka menjadi lama dan kelihatan jauh....“

Tiba-tiba Siang In menghentikan kata-katanya, memegang tangan puteri itu dan menghentikan langkahnya. Syanti Dewi terkejut dan memandang ke depan. Tampak olehnya serombongan orang berjalan cepat turun dari atas. Bukan rombongan orang, melainkan sepasukan orang karena mereka itu berjalan dengan berbaris rapi seperti pasukan saja! Dan pakaian mereka juga seragam. Setelah mereka datang agak dekat, nampaklah bahwa pakaian mereka itu seragam dengan baju kuning dan celana hitam, dan di dada mereka terdapat lukisan seekor naga.

Syanti Dewi menjadi gelisah dan memegang tangan Siang In, akan tetapi gadis ini hanya tersenyum dan berkata lirih. “Tenanglah, Enci, biar aku menghadapi badut-badut itu.”

Pasukan itu berhenti di depan mereka dan Si Tinggi Kurus yang agaknya menjadi komandan pasukan menyerukan aba-aba dan mereka lalu berpencar menghadang ke depan dua orang dara itu, berdiri berjajar memenuhi jalan. Mereka memandang dengan mata terbelalak, terheran-heran ketika melihat bahwa dua orang yang naik dan mereka curigai itu ternyata adalah dua orang dara yang memiliki bentuk badan dan wajah yang aduhai! Sampai bengong mereka memandang, karena sesungguhnya, selama mereka hidup, belum pernah mereka bertemu dengan dua orang dara yang begini cantik jelitanya! Seolah-olah dua orang bidadari yang baru turun dari kahyangan!.

Melihat dua orang wanita cantik, komandan pasukan segera pasang aksi. Dia mengebut-ngebutkan pakaian seragamnya, membusungkan dadanya yang tipis sehingga tubuhnya menjadi melengkung seperti huruf S atau seperti seekor ular sendok bergaya kemudian melangkah maju dengan langkah seorang jenderal dan dia berdehem dua kali sebelum bicara. Suaranya lantang dibesar-besarkan akan tetapi tetap saja sumbang karena memang si jangkung ini suaranya kecil parau.

“Heiiiii! Kalian dua orang Nona Muda siapakah, dari mana dan hendak ke mana?” Si jangkung ini bertanya dengan suara mengandung nada-nada seperti orang bernyanyi, nyanyian sumbang!

Melihat lagak orang ini, mau tidak mau Syanti Dewi merasa geli hatinya dan dia menutupi mulutnya untuk menyembunyikan senyumnya. Akan tetapi Siang In tersenyum lebar, bahkan tidak menahan suaranya terkekeh kecil. Inilah perbedaan antara dua orang dara cantik itu. Syanti Dewi sejak kecil sudah dikurung oleh semacam kebiasaan, tradisi, dan sopan santun sehingga setiap gerak-geriknya terbentuk oleh suasana di dalam istana. Di lain fihak, Siang In sudah biasa hidup bebas, maka dia tidak merasa kurang sopan untuk tersenyum atau tertawa sesuka hatinya.

“Kami adalah dua orang pelancong, dari belakang hendak ke depan, hik-hik!” Siang In menjawab sambil terkekeh.

“Ha-ha-ha, Nona ini lucu!”

“Lucu dan manis, heh-heh.”

“Kedua-duanya cantik jelita!”

“Hussshhh, diam kalian!” Si jangkung membentak ke belakangnya dan para anak buahnya berhenti bicara. Sungguhpun mereka masih menyeringai gembira dan pandangan mata mereka kadangkadang melayang mengagumi wajah dua orang dara itu, kemudian pandang mata mereka meraba-raba ke seluruh anggauta tubuh yang menggairahkan Itu. Hal ini terasa sekali oleh Syanti Dewi yang cepat menundukkan muka dengan alis berkerut.

“Nona, jangan kau main-main! Kalian berdua berhadapan dengan Jiu Koan, seorang tokoh Liong-sim-pang! Hayo lekas mengaku baik-baik, jangan sampai aku terhadap kalian dua orang dara-dara muda bertindak kasar.”

“Nanti dulu, mengaku ya mengaku, akan tetapi kalian ini mau apakah? Kami tidak melakukan apa-apa yang merugikan kalian, mengapa kalian menghadang perjalanan kami? Kami hendak pergi ke kota di puncak itu

“Ha-ha-ha-ha-ha!” Semua anggota pasukan tertawa dan Siang In mengerutkan alisnya, lalu memandang ke arah kota berdinding tebok itu.

“Mengapa kalian tertawa!?” tanyanya.

“Di atas itu bukan kota Nona, melainkan markas dari perkumpulan kami, Liong-sim-pang. Dan kalian berdua telah melanggar wilayah kami, tentu saja kami menghadang kalian” kata pula si jangkung bernama Jiu Koan dan mengaku tokoh Liong-sim-pang itu. Padahal tentu saja dia hanya seorang petugas rendahan yang paling tinggi berpangkat kopral.

Siang In dan Syanti Dewi saling pandang dan merasa terkejut dan kecewa. Kiranya mereka telah salah duga! Akan tetapi mendengar bahwa mereka itu adalah anak buah perkumpulan yang bernama Hati Naga, dia merasa dadanya lapang.

Hati Naga berarti keberanian, dan hanya orang-orang gagah saja yang mau menggunakan nama seperti itu. Dan orang gagah tentu bukan orang-orang jahat. Maka cepat dia menjura dan berkata, “Aih, kalau begitu harap Cu-wi (Anda Sekalian) suka memaafkan kami yang salah terka dan salah jalan. Kami kira yang di atas itu sebuah kota atau dusun. Setelah kami mengetahui akan kesalahan kami, biarlah kami kembali dan harap maafkan kaii.”

“Eh-eh, nanti dulu, Nona!” Jiu Koan membentak ketika melihat Siang In dan Syanti Dewi hendak pergi dan membalikkan tubuh mereka. Dia memberi isyarat dan dua belas orang pasukannya itu berpencar lalu membentuk lingkaran mengurung dua orang dara itu.

“Hemmm.... kalian mau apa?” Siang In tersenyum menyembunyikan kemarahannya dibalik senyum manis.

“Kalian sudah melanggar wilayah kami, tidak boleh begitu saja sebelum ikut dengan kami untuk menghadap Kongcu.”

“Hemmm, siapa itu Kongcu?” tanya Siang In.

“Kongcu adalah majikan dan ketua kami.”

“Kongcu pasti akan senang sekali melihat kalian, heh-heh!”

“Tentu saja, dan kita akan mendapatkan hadiah!”

Mereka tertawa-tawa dan lenyaplah keyakinan di hati Siang In bahwa dia berhadapan dengan anggauta-anggauta perkumpulan orang gagah. Lagak mereka ini tiada bedanya dengan penjahat-penjahat kecil atau sebangsa perampok liar saja.

“Kalau kami tidak mau?” tanyanya.

“Ha-ha, mau tidak mau kalian harus ikut bersama kami, jawab Jiu Koan.

Siang In melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke arah hidung Jiu Koan dan bertanya, “Eh, siapa namamu tadi? Jiu Koan?”

“Benar.”

“Jadi engkau ini seorang jagoan Liong-sim-pang? Nah, sekarang begini saja orang she Jiu. Kalau kau memang jagoan, aku tantang kau untuk bertanding. Kalau aku kalah, biar kami akan menyerah dan ikut bersama kalian ke atas sana. Akan tetapi kalau aku menang kalian harus membiarkan aku pergi. Bagaimana?”

Jiu Koan memandang dengan mata terbelalak. Gadis ini menantangnya? Akan tetapi dia seorang yang cerdik pula. Kalau gadis ini berani menantangnya, agaknya gadis yang membawa payung ini memiliki kepandaian dan kalau dia mempertaruhkan kebebasan mereka, amatlah berbahaya. Akan tetapi gadis ke dua itu, yang kelihatan lemah lembut, tentu tidak bisa silat.

“Baik, akan tetapi karena kalian berdua, maka haruslah kalian berdua pula yang maju, masing-masing melawan seorang pembantuku dan aku. Kalau kalian berdua menang, blarlah kalian boleh pergi. Akan tetapi, seorang saja yang kalah, dia harus ikut kami ke atas untuk menghadap Kongcu.”

“Baiklah, jawab Siang In sambil berkedip kepada Syanti Dewi yang ingin membantu. “Kauajukan jagomu biar dilawan temanku ini.” Dan dia menggunakan ilmunya, sehingga hanya Syanti Dewi saja yang mendengar bisikannya, “Enci, kaulawanlah saja, aku akan membantumu dan tidak mungkin kau kalah.”

Syanti Dewi mengangguk. Memang dia telah mempelajari ilmu, bahkan ilmu silatnya pernah memperoleh kemajuan hebat ketika dia memperoleh petunjuk-petunjuk dari pendekar sakti Gak Bun Beng beberapa tahun yang lalu (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali). Akan tetapi selama bertahun-tahun ini, dia tidak pernah berlatih karena semangatnya seperti telah hilang terbawa pergi oleh Tek Hoat. Maka, untuk bertanding tentu saja gerakannya kaku dan memang puteri ini bukan seorang yang suka berkelahi!

Jiu Koan lalu memberl isyarat dan majulah seorang laki-laki tinggi besar bermata lebar, usianya tentu belum ada empat puluh tahun dan kedua lengannya nampak penuh dengan lingkaran otot-otot besar karena dengan bajunya digulung sebatas siku. Dia ini tersenyum menyeringai, agaknya girang sekali memperoleh kesempatan untuk bertanding melawan dara cantik seperti bidadari itu. Sudah terbayang dalam benaknya betapa dia akan memperoleh kesempatan untuk memeluk dara itu.



Syanti Dewi merasa agak ngeri berhadapan dengan raksasa ini, akan tetapi dia pun bersiap sedia dan memasang kuda-kuda. Ketika Si Tinggi Besar meliihat betapa dara cantik ini dapat memasang kuda-kuda ilmu silat, dia bersikap hati-hati dan berkata, “Nona manis, lebih baik kau menyerah dan mengaku kalah.”

“Tidak perlu banyak cakap, majulah!” Syanti Dewi berkata.

“Ha-ha, hendak kulihat apakah kau akan mampu bergerak dalam dekapanku!” Raksasa itu tertawa dan menubruk cepat sekali ke arah Syanti Dewi. Puteri ini terkejut, tak disangkanya orang tinggi besar itu dapat bergerak demikian cepatnya. Namun dia dapat mengelak dengan meloncat ke kanan sambil mengirim tendangan ke arah lambung lawan. Dalam perjalanan yang jauh ini, puteri Bhutan itu sengaja memakai sepatu kulit yang dipasangi besi di ujungya, maka tendangannya itu bukanlah tidak berbahaya.

“Ehhh!” Lawannya berseru kaget juga karena hampir saja lambungnya tercium sepatu. Dia mengelak sambil berusaha menangkap kaki itu, akan tetapi Syanti Dewi sudah menarik kembali kakinya. Raksasa itu kini menyerang dengan marah, tidak lagi hanya berusaha menangkap Sang Puteri, melainkan juga menggunakan pukulan dan tendangan bertubi-tubi. Karena kaki dan tengannya memang besar dan panjang, repot jugalah Syanti Dewi mengelak ke sana ke mari.

“Kau hendak lari ke mana sekarang?” Raksasa itu berseru keras, tangan kanannya diulur untuk mencengkeram ke arah rambut kepala Syanti Dewi. Puteri ini cepat merendahkan tubuh mengelak, dan selagi dia membalas dengan pukulan ke arah muka raksasa itu, lawannya sama sekali tidak menangkis atau mengelak, agaknya akan menerima pukulan itu begitu saja, akan tetapi kedua tangannya kini mencengkeram ke arah kedua buah dada Sang Puteri!

“Aihhhg....!” Syanti Dewi menjerit dan cepat melempar tubuh ke belakang. Dia berjungkir-balik dan terbebas dari serangan yang kasar itu, akan tetapi karena kurang latihan, ketika berjungkir-balik itu tubuhnya terhuyung-huyung hampir jatuh. Kesempatan itu dipergunakan oleh Si raksasa untuk menyerbu ke depan. Pada saat itu, Siang In menggerak-gerakkan tangannya ke arah Si raksasa dan berseru, “Laki-laki tidak sopan jangan main curang dan kurang ajar!” Suaranya melengking nyaring dan mengandung daya tarik luar biasa sehingga Si raksasa itu memandang kepadanya. Inilah kesalahannya karena begitu dia bertemu pandang dengan dara itu, otomatis dia telah terjatuh ke dalam pengaruh sihir Siang In.

“Eh.... eh.... mana....?” Raksasa itu bingung karena secara tiba-tiba saja dia tidak melihat lagi dara cantik yang menjadi lawannya.

“Plak! Plak!” Dua kali pipinya ditampar orang, ditampar oleh tangan yang tidak kelihatan sampai menjadi merah terasa panas dan dia terhuyung ke belakang.

Syanti Dewi sendiri merasa telapak tangannya panas ketika menampar muka orang itu. Dia melihat lawannya berdiri bingung dan tahulah puteri ini bahwa Siang In mulai membantunya, maka dia lalu melangkah maju, dan memukul ke arah dada orang dengan tinju tangannya yang kecil.

“Buk-buk-bukkk!” Tiga kali dia memukul dan raksasa itu berteriak kaget dan terhuyung-huyung lagi ke belakang. Semua temannya menjadi bengong. Apa yang terjadi dengan raksasa itu? Tadi jelas tampak oleh mereka bahwa nona cantik itu yang terdesak hebat, kenapa kini kawan mereka itu seperti orang bingung dan dengan mudah saja ditampar dan ditonjok?

Bersambung ke buku 3