Si Tangan Sakti -1 | Kho Ping Hoo



Si Tangan Sakti -1 | Kho Ping Hoo
Kaisar Kian Liong adalah seorang di antara para kaisar Kerajaan Ceng atau Mancu yang paling terkenal. Dia bijaksana dan pandai walaupun, seperti sebagian besar para kaisar dan tokoh-tokoh besar dunia, dia memiliki pula sebuah kelemahan, yaitu mata keranjang terhadap wanita. Dalam pemerintahannya selama enam puluh tahun (1736-1796) kerajaannya mendapatkan banyak kemajuan sehingga namanya tercatat dengan tinta emas dalam buku sejarah. Tentu saja tentang semua pengalamannya sebagai laki-laki mata keranjang, sejak masih menjadi pangeran, sengaja tidak dicatat karena hal itu akan menjadi noda saja dalam sejarah raja-raja yang selalu diagungkan.

Ketika kaisar ini masih muda, masih menjadi seorang pangeran, dia dikenal pula sebagai seorang pangeran yang pandai bergaul, yang suka bergaul dengan rakyat jelata, bahkan mendekati tokoh-tokoh dunia persilatan sehingga namanya populer dan disuka, disebut Pangeran Bijaksana, Pangeran Mulia dan sebagainya.

Ketika dia masih pangeran, pada suatu hari dia melihat seorang wanita muda yang teramat cantik manis berkunjung ke istana bagian puteri, mengunjungi kakak perempuannya. Teringatlah dia bahwa wanita itu adalah Fu Heng, isteri dari Pangeran Kian Tong yang menjadi kakak tirinya karena berlainan ibu. Kalau dia merupakan putera permaisuri dan Pangeran Mahkota, Pangeran Kian Tong hanya puteri selir. Pangeran Kian Tong baru beberapa bulan menikah dan wanita cantik itulah isterinya, yang kini berkunjung kepada Puteri Can Kim, kakaknya yang memang menjadi sahabat baik isteri Pangeran Kian Tong itu.

Semenjak bertemu dengan kakak iparnya yang bernama Fu Heng itu, Pangeran Kian Liong menjadi tergila-gila. Biarpun dia dapat memperoleh gadis mana saja yang dikehendakinya, namun pada waktu itu, hanya bayangan kakak iparnya yang nampak di depan mata, siang malam! Tidur tak nyenyak, makan tak enak, begitulah keadaan pangeran putera mahkota itu. Hal ini segera diketahui oleh pembantunya yang setia, juga pelayannya, seorang thaikam (laki-laki kebiri) bernama Siauw Hok Cu.

“Pangeran, apakah yang mengganggu pikiran Paduka? Harap beritahukan kepada hamba, dan hamba yang akan melaksanakan segala perintah Paduka untuk dapat memenuhi segala kehendak Paduka.” kata thaikam itu.

Pangeran Kian Liong yang sedang rebahan itu bangkit duduk, memandang kepada pelayannya yang setia dan menghela napas panjang. “Hok Cu, engkau tidak tahu betapa hatiku merana karena rindu kepada seorang wanita.....”

Siauw Hok Cu tertawa, akan tetapi menutupi mulutnya dengan sikap sopan. “Sungguh lucu ucapan Paduka ini. Wanita mana di dunia ini yang tidak akan lari ke dalam pelukan Paduka kalau Paduka membuka lengan dan memanggilnya? Katakanlah, wanita mana yang Paduka rindukan, dan hamba akan segera menjemputnya dan mengajaknya ke sini.”

Akan tetapi pangeran itu tidak bergembira oleh kesanggupan pelayannya, bahkan menghela napas lagi. “Ah, engkau tidak tahu siapa wanita yang kurindukan itu, Hok Cu. Sekali ini, biar engkau pun tidak akan mampu menolongku dan aku akan mati tenggelam ke dalam kerinduanku yang begini menghimpit. Aaaiiihhh....!”

“Katakanlah, Pangeran. Wanita mana yang Paduka kehendaki? Biar ia puteri raja muda sekalipun, hamba sanggup melaksanakannya untuk Paduka!” kata Siauw Hok Cu penuh semangat.

“Kalau saja ucapanmu itu benar, Hok Cu. Akan tetapi sudahlah, lupakan saja, biarkan aku merana sendiri karena engkau tidak mungkin akan dapat membantuku sekali ini....”

“Katakanlah siapa wanita itu, Pangeran. Hamba bersumpah, kalau tidak bisa mendapatkan, nyawa hamba gantinya!” kata pula thaikam itu dengan penasaran.

“Benarkah?” Kini dalam mata pangeran itu bernyala sebuah harapan baru. “Nah, dengarlah. Wanita yang kurindukan itu adalah Nyonya Fu.”

“Nyonya Fu....?” tanya thaikam itu, tidak mengerti.

“Nyonya muda Fu Heng, kakak iparku, isteri Pangeran Kian Tong, pengantin baru itu!”

“Ya Tuhan....!” Wajah thaikam itu berubah pucat dan matanya terbelalak. “Tapi beliau adalah kakak ipar Paduka sendiri!”

Pangeran Kian Liong tersenyum pahit. “Benar, akan tetapi ia pun seorang wanita, bukan? Wanita yang amat cantik, amat manis, amat mulus, dan bagaimana dengan janjimu untuk mengganti dengan nyawamu, Hok Cu?”

Thaikam itu cepat mengangguk-anggukkan kepalanya sampai dahinya membentur lantai. “Akan hamba laksanakan, Peduka jangan khawatir, akan hamba carikan jalan!”

Tentusaja pangeran itu merasa gembira sekali. Pembantu utama yang menjadi pelayan pribadinya ini memang cerdik dan banyak akalnya. Biarpun di situ tidak terdapat orang lain, mereka berbisik-bisik ketika thiankam Siauw Hok Cu mengatur siasatnya.

Kurang lebih sepekan kemudian, sebuah kereta berhenti di halaman istana bagian putri dan wanita cantik Fu Heng turun dari kereta. Seorang dayang segera menyambutnya. Dayang itu mengaku sebagai pelayan pribadi Puteri Can Kim yang mengutusnya untuk menyambut Fu Heng.

“Puteri sedang menghadap Permaisuri dan hamba diutus menyambut Paduka,” katanya.

Wanita itu tersenyum dan bibirnya merekah dalam senyum manis sekali. “Terima kasih,” katanya sambil menggunakan saputangan untuk menghapus keringat yang membasahi lehernya. “Aihh, betapa panas hawanya,” ia mengeluh.

“Sang puteri tadi memerintahkan hamba untuk mengantar Paduka menanti di istana pondok merah di taman, di sana lebih sejuk dan hamba telah mempersiapkan bak mandi untuk Paduka agar Paduka merasa segar kembali setelah melakukan perjalanan dengan kereta dari tempat tinggal Paduka sampai ke sini.”

“Oohhh, terima kasih. Sang puteri sungguh baik hati sekali!” kata nyonya muda yang usianya baru sembilan belas tahun itu dengan gembira. Memang pondok merah di taman merupakan bangunan mungil indah dan saudara suaminya seringkali mengajak ia bersenang-senang di tempat itu. Nyonya muda itu lalu dikawal oleh beberapa dayang menuju ke ruang depan, kemudian rombongan itu memasuki taman dan pergi ke sebuah pondok cat merah yang indah mungil.

Tak lama kemudian, Nyonya muda itu telah mandi dengan air bunga yang harum, dilayani oleh para dayang dan setelah puas membersihkan tubuh dengan air yang sejuk segar, si cantik ini duduk di depan cermin, membereskan rambutnya yang panjang, hitam dan terurai lepas. Ia merasa nyaman sekali dan bersenandung kecil di depan cermin, mengagumi kecantikan diri sendiri. Dengan pakaian kimono sutera yang diberikan dayang kepadanya, ia dapat melihat bayangan tubuhnyadi cermin. Ia tidak sadar bahwa para dayang telah meninggalkannya dan bahwa ia kini seorang diri saja di dalam kamar yang indah dan lengkap itu. Kalau ia sedang bermain di istana, atas undangan Puteri Can Kim seperti sekarang ini, ia merasa amat gembira dan lupa akan kedukaan hatinya. Setelah ia menikah dengan Pangeran Kian Tong, wanita ini merasa kecewa dan menyesal sekali, membuat ia menahan kesedihannya. Suaminya itu ternyata berwajah buruk, sikapnya kasar dan sama sekali tidak menyenangkanhatinya. Ia merasa menyesal kenapa orang tuanya menjodohkan ia dengan seorang laki-laki seperti itu dan merasa menyesal mengapa sebelumnya ia tidak lebih dulu melihat calon suaminya. Malam pertama merupakan pengalaman yang membuat ia menggigil ngeri kalau mengenangnya kembali. Di sini, tempat yang nyaman ini, jauh dari suaminya, ia merasa aman dan juga gembira.

Tiba-tiba wajah yang cantik itu menjadi tegang, mata itu terbelalak memandang ke dalam cermin, mulutnya yang berbibir merah basah itu terbuka dan sisir itu terlepas dari tangannya. Kemudian, setelah melihat jelas bahwa pria yang muncul dari ambang pintu itu adalah Pangeran Mahkota, wajahnya berubah merah sekali dan tergopoh kedua tangannya mencoba untuk merapatkan kimono suteranya yang tipis. Makin dirapatkan, kain sutera itu semakin menonjolkan lekuk lengkung tubuhnya.

Fu Heng memutar tubuh di atas bangkunya, menghadapi pangeran yang berdiri memandang dengan kedua mata terpesona. “Pangeran.... mohon Paduka pergi.... pergilah atau saya akan menjerit....” katanya gagap.

Akan tetapi Pangeran Kian Liong bahkan menjatuhkan dirinya berlutut dengan sebelah kaki, mencabut pedangnya dan berkata sambil menempelkan pedang terhunus di lehernya sendiri. “Kalau engkau tidak mau menemaniku, menolak untuk menerima cintaku, biarlah aku membunuh diri di depan kakimu!”

Melihat pangeran mahkota itu bersikap dan berkata seperti itu, wajah yang cantik jelita itu menjadi pucat sekali. Kalau putera mahkota mati membunuh diri di depan kakinya, berarti bahaya maut bagi dirinya! Pula, pemuda yang tampan sekali ini adalah calon kaisar, merupakan orang ke dua setelah kaisar yang paling berkuasa. Mungkin tidak lama lagi pria ini akan menjadi kaisar!

“Harap.... Paduka.... jangan lakukan itu....” katanya berbisik.

Pangeran itu mengangkat muka dan memandang, sinar matanya bercahaya, wajahnya berseri. “Jadi engkau mau....?”

Wanita itu kini menundukkan muka, kedua pipinya merah sekali, juga sampai ke lehernya, membuat ia nampak semakin cantik. Biarpun mukanya menunduk,masih nampak ia menahan senyum tersipu dan kepalanya mengangguk perlahan.

Pangeran Kian Liong menahan dirinya agar tidak bersorak. Dia bangkit berdiri, menutupkan daun pintu, lalu memondong tubuh wanita itu dari atas bangku, membawanya ke pembaringan.

Samua ini tentu saja hasil siasat yang telah diatur oleh pembantunya, yaitu thaikam Siauw Hok Cu. Para dayang adalah kaki tangannya yang telah disuap.

Ketika akhirnya pangeran mahkota melepaskan kekasihnya keluar dari dalam pondok merah, Siauw Hok Cu sengaja menghampiri dua orang itu dan bersikap seperti orang yang terkejut sekali.

“Pangeran....! Nyonya muda....! Apa yang Paduka berdua lakukan ini? Kalau Pangeran Kian Tong mengetahui...., hamba sendiri juga akan celaka. Seisi istana akan mengetahui peristiwa ini....!”

Pangeran Kian Liong diam saja, akan tetapi nyonya muda itu dengan muka merah sekali, dan dengan tubuh gemetar dan kedua kaki menggigil segera berkata. “Ah, harap jangan beritahukan siapapun....” Ia memandang kepada thaikam itu, lalu menoleh kepada pangeran mahkota dengan sikap bingung, matanya yang jeli dan masih redup seperti orang mengantuk itu nampak ketakutan seperti mata kelinci bertemu harimau.

Pangeran Kian Liong pura-pura tidak tahu dan diam saja, membiarkan pembantunya melanjutkan siasatnya. “Baik, nyonya muda. Hamba tidak memberitahu kepada siapapun juga, tetapi hanya dengan satu syarat dan agar nyonya muda dapat berjanji untuk memenuhi syarat itu.”

Dengan ketakutan nyonya muda itu bertanya, suaranya gemetar dan bibirnya menggigil. “Apa.... syaratnya....?”

“Syaratnya adalah bahwa setiap kali Pangeran Mahkota merindukan Paduka dan memanggil, Paduka harus segera datang melayaninya. Maukah Paduka berjanji?” kata Siauw Hok Cu.

Kembali Fu Heng, wanita cantik itu, tersipu, akan tetapi sinar matanya nampak lega dan ia pun kini berkata lirih dengan suara mantap dan tidak lagi gemetar. “Aku berjanji!”

Setelah Kian Liong pergi meninggalkan pondok, barulah para dayang bermunculan. Akan tetapi mereka itu pura-pura tidak tahu apa yang telah terjadi dan mereka segera mengantar nyonya muda itu keluar ketika ia menyatakan hendak pulang.

Sebetulnya, tidak perlu Siauw Hok Cu menggunakan siasat pemerasan atau ancaman itu. Tanpa ancaman sekalipun, Fu Heng akan dengan suka rela, bahkan dengan bergembira, menyambut setiap ajakan Pangeran Kian Liong. Setelah merasakan curahan kasih sayang pangeran mahkota yang tampan, halus lembut, romantis dan berpengalaman itu, ia pun menjadi tergila-gila dan makin tidak suka melayani suaminya.

Demikianlah, hubungan gelap itu berkelanjutan dan dengan bantuan Siauw Hok Cu, pertemuan rahasia selalu terjadi antara Pangeran Kian Liong dan kakak iparnya. Di rumahnya, Fu Heng semakin jarang mau melayani suaminya.

Hubungan gelap itu membuahkan kandungan dan nyonya muda Fu Heng melahirkan seorang putera yang tentu saja bagi umum, bahkan bagi keluarganya, merupakan putera dari Pangeran Kian Tong. Akan tetapi dua orang kekasih itu yakin bahwa anak itu adalah keturunan Pangeran Kian Liong dari hasil hubungan rahasia mereka.

Hubungan rahasia antara mereka itu pun terputus setelah Fu Heng mengandung dan melahirkan anak. Dan rahasia itu tertutup rapat sampai pangeran mahkota menjadi kaisar. Anak laki-laki itu diberi nama Cia Yan atau Pangeran Cia Yan, dan mengingat bahwa anak itu adalah darahnya sendiri, ketika dia sudah menjadi kaisar, Pangeran yang menjadi Kaisar Kian Liong itu minta persetujuan kakaknya, yaitu Pangeran Kian Tong, untuk mengangkat Cia Yan sebagai puteranya. Tentu saja Pangeran Kian Tong setuju dan merasa girang dan bangga sekali karena dengan demikian, derajat Cia Yan akan naik beberapa kali lipat. Dari putera seorang pangeran menjadi putera kaisar!

Kini Kaisar Kian Liong telah menjadi seorang kakek yang tua. Usianya sudah tujuh puluh tujuh tahun. Pangeran Cia Yan, puteranya hasil hubungan dengan kakak iparnya itu, juga sudah berusia lima puluh tahun lebih, dan pangeran ini mempunyai pula seorang putera yang diberi nama Pangeran Cia Sun yang kini berusia dua puluh dua tahun.

Agaknya pangeran muda ini mewarisi sifat-sifat kakeknya, yaitu Kaisar Kian Liong. Bagi umum, tentu saja kaisar itu merupakan paman ayahnya, akan tetapi sesungguhnya adalah kakeknya yang aseli, ayah kandung ayahnya! Maka tidak mengherankan kalau dia mewarisi sifat dan wajah kakeknya. Pangeran Cia Bun ini tampan, lembut, pandai dan romantis seperti kakeknya! Bahkan lebih dari itu, dia berbakat baik dalam ilmu silat, juga suka sekali mempelajari ilmu silat. Di istana terdapat banyak jagoan-jagoan yang memiliki ilmu kepandaian silat tingkat tinggi dan sebagai seorang pangeran, mudah saja dia mendapatkan guru-guru yang pandai. Kini, dalam usia dua puluh dua tahun, Cia Sun merupakan seorang pangeran yang tampan, gagah, sastrawan, seniman dan sekaligus ahli silat yang tangguh.

Pada suatu hari, timbul keinginan hati Pangeran Cia Sun untuk pergi meninggalkan lingkungan istana ayahnya, pergi berkelana dengan bebas, tanpa pengawal, tanpa acara, tanpa upacara. Jiwa petualangannya memberontak dan dia ingin terbebas daripada semua ikatan peraturan kebangsawanannya yang dianggap amat mengikat. Ketika dia menghadap ayah ibunya untuk minta perkenan mereka ke dua orang tuanya ini tentu saja merasa khawatir, terutama sekali ibunya.

“Cia Sun, engkau hendak pergi ke mana? Kurang apakah di sini? Semua ada, segala keperluanmu tersedia, segala keinginanmu akan terkabul. Kenapa hendak merantau dan bersusah payah?” kata ibunya.

Cia Sun tersenyum kepada ibunya. Dia tahu bahwa ibunya amat menyayangi dan memanjakannya. “Ibu, ada sesuatu yang kurang di sini, yaitu kebebasan dari segala macam peraturan. Aku ingin merasakan seperti seekor burung rajawali yang terbang melayang di udara, bebas dan pergi ke manapun sekehendak hatinya. Jangan ibu khawatir, aku tidak akan pergi selamanya, hanya ingin merantau kurang lebih setahun untuk menambah pengetahuan, meluaskan pengetahuan melalui pengalaman.”

“Tapi, di luar sana banyak terdapat orang jahat, Nak.” kata pula ibunya, lupa bahwa puteranya adalah seorang ahli silat yang tangguh, bukan lagi seorang anak kecil yang lemah dan membutuhkan perlindungannya.

“Aku dapat menjaga diri, Ibu. Bahkan kalau ada penjahat, menjadi kewajibanku untuk membasminya agar negara menjadi aman dan kehidupan rakyat tidak akan terganggu.”

“Cia Sun, aku mengerti keinginan hatimu dan aku pun tidak berkeberatan,” kata ayahnya. “Akan tetapi ingatlah, ada satu hal yang penting harus kauketahui, yaitu bahwa engkau tidak boleh mengikatkan diri dengan seorang wanita lain. Engkau sudah kuusulkan untuk berjodoh dengan Si Bangau Merah!”

“Apa? Anakku akan dijodohkan dengan burung bangau merah?” isteri Pangeran Cia Yan berseru, matanya terbelalak memandang kepada suaminya dengan heran dan takut kalau-kalau suaminya mendadak menjadi sinting!

Ayah dan anak itu tertawa bergelak mendengar pertanyaan wanita itu.

“Jangan khawatir, aku belum gila. Masa anakku akan dijodohkan dengan burung bangau? Yang kumaksudkan dengan Si Bangau Merah adalah seorang gadis pendekar yang berjuluk Si Bangau Merah, puteri dari pendekar sakti Bangau Putih.”

“Ihhh! Kenapa serba bangau? Apakah tidak keliru menjodohkan anak kita dengan gadis dari keluarga itu? Jangan-jangan mukanya seperti bangau.”

Kembali ayah dan anak itu tertawa. “Ibu jangan khawatir, aku sudah mendengar akan nama besar Pendekar Bangau Putih, dan juga telah mendengar bahwa Si Bangau Merah adalah seorang pendekar wanita yang hebat, bukan saja berkepandaian tinggi akan tetapi juga cantik jelita.” Lalu dia berkata kepada ayahnya. “Ayah, bukan saya menolak atas usul ayah. Akan tetapi, di antara saya dan gadis itu belum pernah bertemu muka, belum pernah berkenalan, bagaimana begitu saja kami dapat dijodohkan? Saya yakin bahwa seorang gadis seperti Si Bangau Merah, tidak akan mau dijodohkan dengan seorang laki-laki yang belum pernah dilihatnya. Saya sendiri pun ragu-ragu apakah saya akan merasa cocok dengan gadis itu.”

Ayahnya tersenyum. “Pendekar Bangau Putih atau yang bernama Tan Sin Hong adalah seorang pendekar budiman dan aku mengenalnya dengan baik. Karena itulah maka pernah aku mengusulkan kepadanya agar anaknya dijodohkan dengan anakku. Dia tidak menolak, dan juga belum menerima begitu saja karena itu baru merupakan usul, bukan suatu pinangan resmi. Akan tetapi, akan bahagialah hatiku kalau akhirnya aku dapat berbesan dengan Tan-taihiap (pendekar besar Tan), maka aku pesan kepadamu agar dalam perantauanmu ini engkau tidak terikat oleh gadis lain.”

“Baiklah, Ayah. Aku memang suka bergaul dengan wanita, akan tetapi untuk menentukan jodoh, aku harus memilih-milih dan tidak mau sembarangan saja.”

Beberapa hari kemudian, berangkatlah Cia Sun meninggalkan rumah keluarganya yang berupa sebuah gedung istana yang indah dan mewah. Dia membawa buntalan pakaian, bekal uang, dan tidak ketinggalan sebatang pedang yang dimasukkan buntalan pakaian. Dia sendiri mengenakan pakaian seorang sastrawan yang tidak begitu mewah. Ketika dia keluar dari rumah lalu meninggalkan kota raja, orang yang melihatnya di jalan tentu tidak menduga bahwa dia adalah seorang pangeran, cucu kaisar! Dia kelihatan sebagai seorang pemuda sastrawan yang melakukan perjalanan, dari keluarga sedang saja, wajahnya tampan dan sikapnya lembut. Cia Sun memang tampan seperti Kaisar Kian Liong di waktu mudanya. Tubuhnya sedang dan tegap, wajahnya yang bulat bentuknya itu berkulit putih bersih sehingga alisnya yang lebat dan hitam nampak semakin jelas. Sepasang matanya tajam bersinar, hidungnya agak besar dan mulutnya selalu terhias senyum.

***

Siapakah yang dimaksudkan Pangeran Cia Sun ketika dia bicara tentang keluarga “bangau” itu? Pendekar Bangau Putih adalah Tan Sin Hong seorang pendekar sakti yang tinggal di kota Ta-tung sebelah barat kota raja. Tan Sin Hong berusia empat puluh satu tahun, dan dia seorang yang sederhana sehingga tidak akan ada yang menduga bahwa dialah yang berjuluk Pendekar Bangau Putih! Pakaiannya serba putih, dan pendekar budiman yang sikapnya ramah dan lembut ini memang memiliki ilmu kepandaian hebat. Dia mewarisi ilmu-ilmu dari orang-orang sakti yang berada di istana Gurun Pasir. Mendiang tiga orang gurunya, yaitu Wan Tek Hoat, Kao Kok Cu, dan Wan Ceng, telah merangkai sebuah ilmu gabungan mereka bertiga yang diberi nama Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih). Tan Sin Hong telah menguasai ilmu ini dengan sempurna, dan sukarlah mencari lawan yang akan mampu mengalahkan ilmunya itu. Selain itu, juga dia memiliki sebatang pedang pusaka yang ampuh, yaitu Cui-beng-kiam (Pedang Pengejar Arwah)!

Isterinya juga seorang pendekar wanita yang amat lihai, bernama Kao Hong Li, berusia empat puluh tahun namun masih nampak cantik, ramping dan cekatan seperti seorang gadis saja. Wajahnya bulat telur dan matanya lebar. Kao Hong Li ini merupakan keturunan aseli dari Istana Pulau Es dan Istana Gurun Pasir, karena ayahnya adalah keturunan Gurun Pasir bernama Kao Cin Liong sedangkan ibunya keturunan Pulau Es bernama Suma Hui. Dapat dibayangkan betapa lihainya wanita ini.

Adapun puteri mereka, anak tunggal bernama Tan Sian Li. Gadis inilah yang di juluki Si Bangau Merah, karena ia menguasai ilmu silat Bangau Merah gubahan ayahnya, disesuaikan dengan kesukaannya memakai pakaian serba merah. Ilmu silat itu masih bersumber dari ilmu Pek-ho Sin-kun, dan setelah diadakan perubahan yang lebih sesuai dimainkan wanita, maka diberi nama Ang-ho-sin-kun (Silat Sakti Bangau Merah). Oleh karena itu, seperti ayahnya, maka julukan Si Bangau Merah sungguh tepat bagi Sian Li. Gadis berusia delapan belas tahun ini cantik jelita, wajahnya bulat telur seperti wajah ibunya, kulitnya putih mulus kemerahan, matanya lebar, hidungnya mancung dan mulutnya selalu tersenyum agak mengejek, dihias lesung pipi di kanan kiri. Manis sekali. Wataknya lincah jenaka dan galak seperti ibunya, pemikirannya mendalam dan cerdik seperti ayahnya. Dalam hal ilmu silat, gadis ini tentu saja lihai bukanmain. Ia telah mewarisi ilmu-ilmu dari ayahnya dan ibunya, bahkan ia pernah digembleng oleh kakaknya Suma Ceng Liong dan isterinya Kam Bi Eng, yaitu paman dari ibunya, selama lima tahun. Maka lengkaplah ilmu-ilmu dari tingkat tinggi yang dikuasai gadis berpakaian merah ini. Ilmu-ilmu dari Pulau Es, dari Gurun Pasir, dan dari Lembah Naga Siluman yang diwarisinya dari Kam Bi Eng isteri Suma Cin Liong! Semua itu masih ditambah lagi dengan ilmu pengobatan yang ia pelajari dari Yok-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Obat). Sian Li seolah-olah memiliki segala-galanya. Wajah cantik, ilmu kepandaian tinggi, dari keluarga para pendekar! Mau apa lagi?

Akan tetapi, tidak ada seorang pun di dunia ini yang tidak pernah kekurangan sesuatu dalam hidupnya! Kita dapat menyelidiki keadaan setiap orang manusia. Seorang kaisar sekalipun pasti tidak dapat berbahagia sepenuhnya, tidak dapat puas selengkapnya. Ada saja kekurangannya yang membuat seorang manusia kecewa dan tidak puas dengan keadaan dirinya. Orang miskin mengira bahwa orang kaya-raya hidup berbahagia dengan hartanya. Orang bodoh mengira bahwa orang terpelajar pandai hidup berbahagia dengan kepandaiannya. Orang biasa mengira bahwa orang berkedudukan tinggi hidup berbahagia dengan kedudukkannya. Namun, kalau kita melihat kenyataanya, lebih banyak terdapat orang kaya-raya mengalami banyak kepusingan karena hartanya, orang terpelajar menjadi angkuh dan congkak karena kependaiannya, orang berkedudukan tinggi menjadi pusing karena kedudukannya. Ini menunjukkan bahwa kita manusia sebagian besar menjadi boneka-boneka yang dipermainkan nafsu daya rendah. Ulah nafsu membuat kita selalu mengejar sesuatu yang tidak kita miliki, membuat kita selalu tidak puas dengan keadaan yang ada, menjangkau yang tidak ada. Nafsu mendorong kita mengejar sesuatu, kalau terdapat apa yang kita kejar, nafsu bukan mereda melainkan makin mengganas, mengejar yang lain lagi, sedangkan yang sudah terdapat menjadi hamba, mendatangkan bosan. Demikianlah terus-menerus. Hidup merupakan pengejaran sesuatu yang kita anggap akan dapat membahagiakan, sehingga sampai mati pun kita tidak dapat mengalami kebahagiaan yang selalu dikejar-kejar dan selalu berpindah ke sesuatu yang belum kita peroleh! Kalau sekali saat tidak ada lagi pengejaran, baru ada kemungkinan kita menemukan behwa kebahagiaan adanya bukan di seberang sana, bukan di masa depan, melainkan di saat ini!

Demikian pula dengan Sian Li. Gedis jelita ini, walau setiap hari nampak lincah gembira dan rajin memperdalam ilmu silat Ang-ho Bin-kun di bawah bimbingan ayahnya, namun kalau sudah berada di kamarnya di malam hari, ia seringkali duduk termenung di atas pembaringannya. Bahkan kadang ia hampir menangis. Sukar baginya untuk melupakan seorang pria yang menjadi idaman hatinya sejak ia masih kanak-kanak! Pria yang kini telah berusia dua puluh enam tahun itu bernama Yo Han. Dia dapat dibilang suhengnya sendiri, karena ketika kecilnya Yo Han mengaku suhu dan subo kepada ayah ibunya, walaupun ketika itu Yo Han hanya mempelajari teori ilmu silat ayah ibunya belaka, tidak mau melatih diri dengan ilmu silat. Akan tetapi kemudian mereka saling berpisah ketika ia berusia empat tahun dan suhengnya itu berusia dua belas tahun, perpisahan yang pernah membuat ia setiap hari rewel dan menangis.

Kemudian lewat tiga belas tahun, setelah ia menjadi seorang gadis remaja dan Yo Han menjadi pemuda dewasa, mereka saling berjumpa. Dan telah terjadi perubahan besar dalam diri Yo Han. Kalau dahulu, di waktu kecil dia tidak suka berlatih silat karena katanya ilmu silat hanya mendatangkan kekerasan dan permusuhan, kini dia telah menjadi seorang pendekar sakti yang amat lihai, bahkan yang dikenal orang-orang di wilayah barat sebagai Sin-ciang Tai-hiap (Pendekar Tangan Sakti)! Dan mereka saling mengenal dalam pertemuan yang mengharukan dan juga amat menggembirakan hati Sian Li. Sejak kecil ia menyayang Yo Han, dan kini setelah menjelang dewasa dan melihat bahwa Yo Han telah menjadi seorang pendekar budiman yang amat mengagumkan, tidaklah mengherankan kalau ia jatuh cinta. Walaupun ia dan Yo Han tidak pernah saling menyatakan isi hati yang mencinta, namun keduanya dapat merasakan dalam hati masing-masing bahwa mereka saling mencinta.

Setelah bertemu dengan Yo Han, Sian Li pulang diantar oleh Yo Han dan kedua orang tua Sian Li juga menyambut Yo Han dengan gembira dan kagum melihat pemuda yang di waktu kecilnya tidak suka berlatih silat itu kini telah menjadi seorang pendekar lihai. Namun, melihat keakraban hubungan antara puteri mereka dan Yo Han, suami isteri pendekar itu merasa khawatir. Mereka berdua tidak setuju kalau sampai puteri mereka saling jatuh cinta dengan Yo Han, tidak setuju kalau puteri mereka menjadi jodoh pemuda itu. Mereka tidak dapat melupakan bahwa biarpun ayah kandung Yo Han seorang pemuda petani yang jujur dan baik namun mendiang ibu kandungnya adalah sorang wanita tokoh sesat yang dahulu terkenal sebagai iblis betina dengan julukan Bi Kwi (Setan Cantik). Mereka merasa khawatir kalau-kalau Yo Han mewarisi watak ibunya yang tersesat. Itulah sebabnya maka suami isteri ini terang-terangan menyatakan kepada Yo Han bahwa Sian Li akan dijodohkan dengan Pangeran Cia Sun dari kota raja! Keterangan itu memukul hati Yo Han dan pemuda itu pun, untuk ke dua kalinya, meninggalkan keluarga Tan demi menjauhkan diri dan tidak mengganggu Sian Li!

Demikianlah, kadang-kadang, kalau teringat kepada Yo Han, Sian Li merasa rindu dan bersedih. Akan tetapi ayah ibunya menghiburnya dan mengatakan bahwa ayah ibunya akan mengajak ia pergi ke kota raja, untuk membantu Yo Han yang bertugas mencari adik misannya yang hilang diculik orang sejak berusia tiga tahun! Adik misan Yo Han itu bernama Sim Hui Eng, puteri dari suami isteri pendekar Sim Houw dan Can Bi Lan. Suami isteri pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu pun tidak berhasil menemukan kembali puteri mereka yang telah hilang selama dua puluh tahun! Dan sekarang pergi untuk mencoba membantu bibinya menemukan kembali puterinya yang hilang itu. Tentu saja Sian Li terhibur karena hendak diajak mencari Sim Hui Eng, bukan untuk menemukan gadis yang sama sekali belum pernah dikenalnya itu, melainkan karena ada harapan untuk berjumpa kembali dengan Yo Han!

Sebelum itu, Sian Li diharuskan memperdalam ilmu silatnya dan selama setahun, ia melatih diri dengan amat tekun, menguasai ilmu silat Ang-ho-sin-kun yang sengaja dirangkai ayahnya untuk dirinya. Tidak begitu sukar bagi Sian Li untuk menguasai ilmu ini, karena sebelumnya ia telah menguasai ilmu silat Pek-ho-sin-kun yang merupakan dasar dari Ang-ho-sin-kun.

Pada pagi hari itu, untuk yang terakhir kalinya Sian Li berlatih, ditunggui ayah dan ibunya sendiri. Ia bersilat memainkan Ang-ho-sin-kun. Demikian lincah gerakannya sehingga kadang-kadang tubuhnya tidak nampak dan yang kelihatan hanya bayangan merah yang berkelebatan cepat. Kadang-kadang kalau ia melakukan gerakan yang lambat, maka ia kelihatan seperti seorang penari yang pandai menarikan tari bangau yang indah. Ada gerakan burung bangau menyisir bulu, burung bangau berjemur dan burung bangau mengembangkan kedua sayap. Indah sekali gerakannya itu, akan tetapi di balik keindahan dan kelembutan ini tersimpan kekuatan dahsyat yang mengejutkan lawan yang kuat sekalipun.

Setelah selesai bersilat, Sian Li menghentikan gerakannya dan napasnya tidak memburu, hanya di leher dan dahinya saja agak basah oleh keringat. Ibunya segera menghampiri puterinya, mempergunakan sebuah handuk untuk mengusap keringat dari leher dan dahi puterinya tercinta.

“Bagus, gerakanmu sudah bagus, tidak ada lagi kulihat lowongan yang lemah!” Ayahnya memuji.

“Kepandaianmu kini lengkap dan lumayan, aku sendiri tidak akan mampu menandingimu,” kata ibunya dengan bangga dan ibu ini mencium kedua pipi puterinya.

“Kalau begitu kapan kita berangkat, Ayah?” Sian Li bertanya, wajahnya berseri gembira, matanya bersinar-sinar. Sin Hong sendiri kagum melihat puterinya. Isterinya adalah seorang wanita cantik, akan tetapi puteri mereka ini lebih cantik lagi. Apalagi dalam pakaian serba merah begitu. Hati pemuda mana yang takkan terpikat? Pangeran Cia Sun pasti akan jatuh cinta kalau bertemu dengan Sian Li.

Tan Sin Hong tertawa. “Ha-ha-ha, berangkat ke mana?” Dia menggoda, tentu saja tahu bahwa puterinya menagih janji.

“Aih, apakah Ayah sudah melupakan janjinya sendiri? Bukankah setahun yang lalu Ayah menjanjikan kepadaku untuk pergi mencari puteri paman Sim Houw, dimulai dari kota raja?”

“Ayahmu hanya menggodamu, Sian Li. Kita berangkat besok pagi-pagi, kami sudah bersiap dan berkemas,” kata Kao Hong Li.

Mendengar ucapan ibunya ini, Sian Li bersorak gembira. “Kalau begitu, aku pun akan berkemas, ibu!” dan gadis itu berlari ke kamarnya dengan sikap gembira bukan main.

Ayah dan ibu itu memandang ke arah puteri mereka dan tersenyum bahagia. “Dia sudah dewasa akan tetapi kadang-kadang masih kekanakan.” kata Tan Sin Hong.

“Usianya sudah delapan belas tahun, tentu saja sudah dewasa,” kata Kao Hong Li.

“Sekali ini kita akan mempertemukan ia dengan Pangeran Cia Sun. Kita matangkan urusan ini dengan keluarga Pangeran Cia Yan.”

“Mudah-mudahan mereka berjodoh.” kata isterinya, akan tetapi di dalam hatinya Kao Hong Li tidak yakin benar. Ia mengenal benar watak puterinya, Sian Li yang lincah gembira itu memiliki pendirian yang sekeras baja. Kalau puterinya itu tidak setuju untuk dijodohkan dengan seseorang, biar dengan pangeran sekalipun, tidak akan ada kekuatan di dunia ini yang akan mampu memaksanya. Aken tetapi tentu saja ia tidak mau merisaukan hati suaminya dengan pendapat hatinya ini dan hanya disimpannya saja.

Keluarga ini membuat persiapan, dan pada keesokan harinya pagi-pagi berangkatlah mereka bertiga menuju ke kota raja, menggunakan sebuah kareta yang ditarik dua ekor kuda.

Akan tetapi Sian Li melihat bahwa setelah tiba di perempatan, kereta yang mestinya berbelok ke utara menuju ke kota raja tidak dibelokkan ayahnya dan terus menuju ke timur. “He, apakah Ayah tidak salah jalan? Kota raja berada di sana!” katanya menuding ke kiri.

“Kita pergi ke dusun Hong-cun lebih dulu. Lupakah engkau akan perayaan ulang tahun paman Suma Ceng Liong?” kata ibunya.

Sian Li terbelalak, lalu berseru gembira. “Aih, kenapa Ayah dan Ibu tidak memberitahukan lebih dahulu? Aku sampai lupa! Tentu saja Kakek Suma Ceng Liong akan merayakan ulang tahunnya yang ke enam puluh, dan perayaan itu dipergunakan pula untuk mengumpulkan semua anggauta keluarga Pulau Es, Gurun Pasir, dan Lembah Gunung Naga!” Teringat akan itu, Sian Li gembira bukan main. Tidak saja ia akan dapat bertemu dengan kakek Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng, dua orang tua yang pernah menggemblengnya selama lima tahun, dan bertemu pula dengan para anggauta tiga keluarga besar, akan tetapi terutama sekali karena adanya kemungkinan ia berjumpa dengan Yo Han di sana!

Tan Sin Hong dan isterinya tertawa. Mereka memang ingin mengadakan kejutan maka tidak mengingatkan puteri mereka tentang itu dan benar saja, kini gadis itu gembira bukan main.

Perjalanan yang cukup jauh itu mereka lakukan dengan santai, seperti orang sedang pesiar sehingga tidak terasa lelah dan di sepanjang perjalanan mereka menikmati alam, berhenti di kota-kota yang ramai. Waktunya masih banyak dan biarpun dengan santai, mereka tidak akan terlambat.


***


“Berhenti....!” Teriakan itu lantang sekali dan tiga belas orang yang menghadang dan menghentikan kereta itu nampak bengis dan dari sikap, pakaian dan wajah mereka dapat diduga bahwa mereka tentulah orang-orang yang sudah biasa memaksakan kehendak mereka dengan kekerasan.

Melihat ada belasan orang menghadang di jalan pegunungan yang sunyi itu, Tan Sin Hong yang memegang kendali kuda, menghentikan dua ekor kuda itu dan kereta pun berhenti.

Kao Hong Li dan Tan Sian Li menjenguk dari jendela kereta dan dua orang wanita ini saling pandang. Mereka bahkan merasa heran melihat keberanian gerombolan itu yang berani menghadang mereka!

“Biarkan aku menghadapi mereka, Ibu. Ayah, jangan turun tangan, biar aku menghajar orang-orang jahat itu!”

Ayahnya tersenyum dan mengangguk. “Ingat, jangan sembarangan membunuh orang, Sian Li.”

“Jangan khawatir, Ayah. Aku tidak pernah melupakan semua nasihatmu, aku tidak akan membunuh mereka, hanya menghajar biar mereka jera!”

Sian Li turun dari atas kereta, sengaja tidak memperlihatkan kepandaiannya, turun dengan biasa saja seperti seorang gadis yang lemah. Ketika ada seorang gadis berpakaian serba merah turun dari kereta yang mereka hadang, dan gadis itu cantik jelita, tidak memegang senjata dan nampak lemah dengan langkahnya yang lembut menghampiri mereka, para perampok itu terheran-heran. Pemimpin mereka, seorang yang mukanya hitam dan tubuhnya seperti raksasa, segera melangkah maju menghadapi Sian Li, matanya memandang dengan melotot, seperti harimau kelaparan melihat datangnya seekor kelinci yang berdaging gemuk dan lunak.

“Aduh-aduh.... kiranya penumpang kereta adalah seorang bidadari merah yang cantik rupawan....” kata raksasa muka hitam itu. “Hari ini aku Hek-bin-gu (Kerbau Muka Hitam) bertemu bidadari, sungguh beruntung!” Mendengar ucapan si raksasa muka hitam itu, dua belas orang anak buahnya yang rata-rata juga kasar dan bengis, tertawa-tawa dan semua mata memandang kepada Sian Li seolah-olah hendak melahapnya.

Sian Li sengaja tersenyum semanisnya sehingga lesung pipi bermunculan di kanan kiri mulutnya. Wajahnya menjadi demikian manis sehingga tiga belas orang kasar itu tak dapat menahan air liur dan mereka menelan ludah, membuat kalamenjing di kerongkongan mereka bergerak naik turun.

“Kalian ini belasan orang menghadang perjalananku, ada urusan apakah?” tanyanya, bersikap polos dan tidak mengerti.

Si muka hitam menoleh kepada kawan-kawannya. “Haiii, dengar, kawan-kawan. Kita ini menghadang kereta bidadari ini mau apa? Hayo jawab, mau apa, ya? Ha-ha-ha-ha-ha!” Kembali mereka semua tertawa bergelak. Sian Li mengernyitkan hidungnya karena dari mulut tiga belas orang yang terbuka lebar itu keluar bau yang tidak sedap. Agaknya sebagian dari mereka telah minum banyak arak keras sepagi itu.

“Kalau kalian tidak mempunyai urusan denganku, mundurlah dan jangan menghalang jalan, keretaku akan lewat.” kata pula Sian Li.

Hek-bin-gu melangkah makin dekat. “Nona manis, tadinya kukira kereta ini tumpangi pembesar Mancu dan kalau demikian halnya, tentu keretanya kami rampas, orang-orangnya kami bunuh. Akan tetapi, karena engkau yang menjadi penumpang, biarlah kami sambut sebagai tamu agung dan mari engkau bersamaku bersenang-senang di puncak bukit.”

Sian Li mengerutkan alisnya, akan tetapi kemarahan hatinya ia tutupi dengan wataknya yang jenaka. “Hei, bukankah engkau ini kerbau, kerbau yang hitam pula mukanya? Bagaimana aku dapat bergaul dengan kerbau, apalagi yang hitam mukanya? Baru berdekatan saja, baunya sudah membuat aku hampir muntah. Menggelindinglah kalian pergi. Kalian ini perampok-perampok busuk, jangan mencoba untuk menakut-nakuti aku.”

Tentu saja sikap ini mengejutkan dan mengherankan tiga belas orang perampok itu. Nona ini kelihatan lembut dan lemah, akan tetapi kenapa begini tenang dan jelas sedikit pun tidak merasa takut menghadapi mereka? Hek-bin-gu bukan orang bodoh. Maka dia pun sudah dapat menduga bahwa agaknya nona cantik ini mempunyai andalan maka sikapnya demikian tabah. Biarpun demikian dia geli melihat sikap itu.

“Aih, Nona. Engkau tidak takut, berarti engkau berani melawanku?”

“Kenapa tidak berani? Orang macam engkau ini hanya bisa menakuti-nakuti anak kecil saja!”

Hek-bin-gu masih memandang rendah. Dia menanggalkan kancing bajunya, memperlihatkan dada dan lengan yang berotot. “Lihat, tubuhku empat kali lebih besar dan kuat daripadamu, bagaimana engkau akan mampu melawan aku?”

“Hemmm, betapapun besarnya sebuah gentong, kalau kosong bunyinya saja nyaring akan tetapi tidak ada gunanya.”

Kini Hek-bin-gu mulai marah. “Mari kita bertaruh! Kalau engkau dapat bertahan melawanku selama sepuluh jurus biarlah kubiarkan keretamu lewat. Kalau sebelum itu engkau dapat kuringkus, engkau harus mau menjadi isteriku!”

Sian Li tersenyum. “Begitukah? Bagaimana kalau sebelum sepuluh jurus engkau yang roboh?”

Si muka hitam tidak menjawab melainkan tertawa, diikuti dua belas orang kawannya. Mereka agaknya merasa geli membayangkan hal yang mereka anggap tidak mungkin terjadi itu.

“Ha-ha-ha-ha-ha, Toako kami ini kalah olehmu, nona manis? Mungkin dalam pertandingan bentuk lain, ha-ha-ha!” terdengar suara mereka dalam kelakar yang bermaksud mesum.

“Nona, kalau sampai aku Hek-bin-gu kalah sebelum sepuluh jurus olehmu, aku akan berlutut di depan kakimu!” kata si muka hitam.

“Bagus! Mulailah dan bersiaplah untuk berlutut menciumi tanah yang terkena tahi kudaku!” kata Sian Li, sama sekali tidak marah mendengar kelakar tadi karena memang ia tidak menangkap artinya. Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li, tentu saja mengerti akan makna kelakar mesum itu, akan tetapi mereka pun ingin melihat sepak terjang puteri tersayang mereka.

Hek-bin-gu melangkah maju semakin dekat dan bertambah muaklah rasa hati Sian Li karena bau yang penguk dan masam segera menerpa hidungnya. Ia menahan napas dan si kerbau muka hitam itu mengeluarkan bentakan nyaring, kedua lengannya yang besar panjang itu dikembangkan, jari-jari kedua tangan terbuka dan dia menerkam bagaikan seekor beruang menerkam mangsanya. Tentu saja dia mengira bahwa sekali terkam dia akan mampu menangkap dan mendekap gadis yang menggemaskan hatinya itu.

“Wuuuuuttttt....” Terkamannya mengenai tempat kosong dan hanya nampak bayangan merah berkelebat, tahu-tahu gadis itu telah lenyap dari depannya.

“Hahhh....?” Dia memutar tubuh dengan cepat, akan tetap mukanya disambut sepatu.

“Plakkk!”

“Auhhhppp....!” Tubuhnya yang gempal itu terjengkang dan terbanting keras! Dua belas orang kawannya ternganga. Mereka tadi hanya melihat betapa gadis itu meloncat dengan kecepatan luar biasa ke atas, bagaikan seekor burung saja melayang di atas kepala Hek-bin-gu dan tiba di belakang raksasa muka hitam itu, pada saat Hek-bin-gu memutar tubuh, gadis itu telah meloncat ke atas lagi dan kakinya menyambut muka lawan dengan gerakan seekor burung bangau kalau akan hinggap di cabang pohon, dengan sebelah kaki lebih dahulu. Sebelah kaki itulah yang menyambut muka Hek-bin-gu, seolah muka itu hendak dijadikan landasan mendarat!

Hek-bin-gu mempunyai tubuh yang kuat dan kulitnya keras seperti kulit buaya, maka karena Sian Li hanya menendang biasa tanpa mengerahkan sin-kang, dia pun begitu terbanting sudah cepat meloncat bangkit lagi. Sejenak dia terbelalak, akan tetapi mukanya menjadi semakin hitam. Baru satu gebrakan saja, belum sejurus penuh, dia sudah terjengkang! Dia bukan manusia yang berani mengakui kelemahannya, maka dengan lebih ganas dia sudah menerjang lagi, kini menggunakan kedua tangan untuk mencengkeram. Entah apa jadinya kulit dan daging lunak seorang gadis kalau terkena cengkeraman sepuluh jari tangan yang membentuk cakar itu. Sebelah mata kiri Hek-bin-gu lebih hitam daripada kulit mukanya dan agak membengkak karena mata itu tadi kebagian sisi sepatu yang menonjol.

“Haiiittttt....!” Dia membentak dengan gaya seorang ahli silat atau jagoan yang pilih tanding.

“Wuuusssss....!” kembali dia kehilangan lawan dan hanya melihat bayangan merah berkelebat. Cengkeramannya luput dan dia melihat bayangan itu berada di sebelah kanannya. Cepat kakinya yang kiri melayang sambil memutar tubuhnya sehingga dia sudah mengirim tendangan ke arah tubuh Sian Li. Kakinya panjang dan besar, dan tendangan itu mengandung kekuatan otot yang besar.

Kembali tendangan itu luput dan sebelum kaki itu turun, Sian Li sudah meloncat ke depan, kakinya yang kanan bergerak menendang dan dari bawah kaki itu mendorong pinggul lawan. Karena pada saat itu kaki kiri Hek-bin-gu sedang melayang ke atas, maka ketika tubuhnya didorong kaki dari belakang, tanpa dapat dicegahnya lagi kaki kanannya ikut pula terangkat ke atas.

“Bluggggg....!” Seperti kerbau jatuh dari atas, tubuhnya menghantam tanah dengan pinggul terlebih dahulu dan debu pun beterbangan. Biarpun tubuhnya kebal, namun sekali ini Hek-bin-gu meringis kesakitan. Seperti patah-patah tulang punggungnya terbawah ketika berat badannya membuat tubuh itu menghantam tanah dengan kerasnya. Dan sekali lagi teman-temannya terbelalak, hampir tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Bagaimana mungkin gadis itu dalam dua gebrakan telah membuat orang terkuat diantara mereka dua kali terbanting jatuh?

Hek-bin-gu bukan sekadar heran saja, akan tetapi dia lebih merasa penasaran dan marah, tetap tidak mau mengakui bahwa dia kalah jauh dibandingkan lawannya. Sambil menggereng dia melupakan rasa nyeri di pinggulnya dia sudah bangkit kembali, menghampiri Sian Li. Tanpa disadarinya, jalannya agak terseok seperti kerbau pincang kaki belakangnya.

“Bocah setan, aku akan memukul pecah kepalamu!” Setelah berkata demikian, Hek-bin-gu menerjang dan menyerang. Sekali ini, dia bukan sekedar menubruk dan mencengkeram seperti dua kali serangan pertama, melainkan menyerang dengan jurus-jurus ilmu silat, memukul dan menendang.

Akan tetapi, begitu kepalan tangan kanannya yang besarnya tidak kalah oleh besarnya kepala Sian Li itu menyambar ke arah kepala Sian Li, gadis itu mengelak ke samping. Hek-bin-gu menyusulkan hantaman yang diseling tendangan, akan tetapi sekali lagi tubuh itu lenyap menjadi bayangan merah yang meluncur ke atas. Dia cepat mengangkat muka ke atas, siap menyambut tubuh yang meloncat ke atasnya itu, akan tetapi kembali dia kalah cepat. Kedua kaki Sian Li bergerak.

“Plak! Desss....!” Tubuh Hek-bin-gu terpelanting keras dan sekali ini, hidungnya bercucuran darah karena bukit hidungnya patah oleh tendangan kaki kiri Sian Li, sedangkan tendangan kaki kanan yang mengenai bawah telinga membuat dia tadi terpelanting dan terjungkal, dan membuat kepalanya nanar dan ketika dia merangkak bangun, dia melihat bumi di sekelilingnya berputar! Sekarang tahulah dia bahwa kalau dilanjutkan, dia akan semakin celaka, maka dalam keadaan masih pening dia berteriak kepada kawan-kawannya untuk mengeroyok!

Gerombolan itu kini menyadari bahwa mereka berhadapan dengan seorang gadis yang amat lihai walaupun kelihatan lemah lembut, maka mereka pun tidak malu-malu untuk mencabut senjata mereka dan mengepung gadis itu dengan bersenjata golok, ruyung atau pedang! Sinar senjata mereka berkilauan ketika tertimpa sinar matahari pagi. Melihat ini, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li tetap tenang-tenang saja, menonton akan tetapi turun dari kereta. Mereka berdua tahu bahwa puteri mereka hanya berhadapan dengan orang-orang kasar yang nampaknya saja bengis dan ganas, akan tetapi hanya gentong-gentong kosong yang tidak berisi apa-apa kecuali nafsu angkara murka. Mereka yakin bahwa puteri mereka akan mampu menghadapi pengeroyokan mereka.

Sian Li tersenyum mengejek dan memandang kepada Hek-bin-gu yang masih mencoba untuk bangun sambil merangkak. Karena dia belum dapat bangkit berdiri, hanya bisa merangkak, maka kini julukannya itu tepat sekali. Dia memang seperti seekor kerbau yang berjalan dengan empat buah kakinya.

“Hemmm, sudah kuduga bahwa engkau memang hanya seekor kerbau. Tentu saja engkau tidak akan memegang janji. Tapi aku akan memaksamu memenuhi janjimu berlutut dan mencium tahi kuda!” Tiba-tiba tubuhnya meloncat dan melewati kepala orang-orang yang mengepungnya.

Dua belas orang itu terkejut dan cepat mengejar, akan tetapi Sian Li telah tiba di belakang Hek-bin-gu. Kakinya menendang dan tubuh itu pun terdorong dan terbanting jatuh tepat di atas seonggok tahi kuda penarik kereta. Karena jatuhnya telungkup dan tahi kuda itu masih baru dan masih hangat, maka mukanya tepat menimpa tahi kuda itu. Tentu saja, biarpun dia masih nanar dan pening, Hek-bin-gu muntah-muntah dan menyumpah-nyumpah, menggunakan kedua tangan untuk membersihkan mukanya dari kotoran itu. Akan tetapi dia mengeluh kesakitan ketika tangannya menggaruk batang hidungnya yang patah. Bau kotoran itu yang memasuki mulut dan hidungnya tidak hanya membuat dia muntah-muntah, akan tetapi juga megap-megap karena sulit bernapas.

Dua belas orang anak buahnya menjadi marah sekali dan sambil berteriak-teriak mereka menyerbu, mengeroyok Sian Li seperti segerombolan anjing srigala mengepung seekor singa betina.

Sian Li sudah mengeluarkan sebatang suling yang disepuh emas dari ikat pinggangnya. Suling itu kecil saja, hanya sebesar ibu jari kaki, dan panjangnya tidak melebihi panjang lengan Sian Li dari siku ke ujung jari tangan. Suling itu pemberian Kam Bi Eng isteri kakek Suma Ceng Liong. Kemudian, begitu sulingnya digerakkan menghadapi pengeroyokan dua belas orang itu, nampak gulungan sinar emas yang mengeluarkan suara aneh, seperti orang bermain musik dengan suling, akan tetapi gulungan sinar emas itu menyambar-nyambar seperti seekor naga. Itulah ilmu pedang Liong-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Naga) yang merupakan gabungan dari ilmu Kim-siauw-kiam (Ilmu Pedang Naga Siluman)! Bukan main hebatnya ilmu ini. Ketika dari gulungan sinar emas itu mencuat sinar yang menyambar-nyambar ke arah para pengeroyoknya, terdengar teriakan-teriakan berturut-turut dan dua belas orang itu pun roboh satu demi satu. Ada yang tertotok lumpuh, ada yang terkena tendangan, ada yang patah tulang, ada yang babak belur karena terbanting. Tidak sampai dua menit, dua belas orang itu sudah roboh semua!

Melihat ini, Hek-bin-gu yang sudah dapat bangkit berdiri, tanpa mengenal malu lagi lalu menyeret tubuhnya melarikan diri, diikuti oleh dua belas orang temannya yang saling bantu, lari terbirit-birit dan terpincang-pincang, dengan muka ketakutan seperti dikejar setan.

Sian Li tertawa geli lalu menghampiri ayah ibunya. Kao Hong Li tersenyum, teringat akan kesukaannya mempermainkan orang-orang jahat di waktu mudanya. Akan tetapi puterinya ini lebih bengal dan ugal-ugalan lagi. Sedangkan Sin Hong mengerutkan alisnya memandang kepada puterinya.

“Kenapa, Ayah?” tanya Sian Li. “Kenapa Ayah tidak gembira melihat aku menghajar gerombolan jahat itu?”

“Hemmm, memang baik sekali engkau menghajar mereka tanpa membunuh mereka atau melukai berat. Akan tetapi engkau terlalu mempermainkan dan menghina orang. Yang kaulakukan terhadap Hek-bin-gu tadi agak keterlaluan. Kenapa tidak kaurobohkan saja dia dalam satu dua jurus agar dia tidak dapat melawan lagi?”

“Ayah, dia dan kawan-kawannya yang menghinaku, bukan aku. Memang baru puas hatiku kalau sudah mempermainkan mereka yang jahat itu agar mereka jera untuk menghina orang lagi.”

“Sudahlah,” kata Kao Hong Li karena tidak ingin melihat suaminya memarahi puteri mereka. “Sian Li kadang masih kekanak-kanakan. Eh, Sian Li, kenapa engkau tadi mempergunakan dan memaikan Liong-siauw Kiam-sut, bukankah hendak menguji ilmu silat Ang-ho Sin-kun? Dan kulihat engkau tidak pernah menggunakan tangan untuk menangkis atau merobohkan lawan.”

“Aih, apakah Ibu tidak tahu? Mereka bagitu kotor! Baunya saja membuat aku pening, seolah-olah aku tadi dikeroyok oleh belasan babi! Aku jijik untuk menggunakan tangan, maka aku hanya menggunakan kaki dan ketika mereka menggunakan senjata, aku memilih menggunakan sulingku. Kalau aku melawan dengan Ang-ho Sin-kun aku terpaksa menggunakan kedua tangan, dan kedua tanganku tentu akan bersentuhan dengan mereka. Ihh, aku tidak mau!”

Kembali Sin Hong mengerutkan alisnya. “Sian Li, sungguh tidak baik mempunyai watak setinggi itu. Jangan terlalu memandang rendah orang lain. Mereka pun manusia, walaupun mereka sedang sesat, kalau tanganmu kotor, bukankah dapat dicuci? Yang tidak mengerti tentu akan mengira engaku bertingkah dan banyak lagak.”

Ditegur ayahnya, Sian Li hanya cemberut akan tetapi tidak berani membantah. Ibunya yang melerai. “Aihhh, sudahlah. Engkau tidak tahu akan perasaan wanita. Kalau wanita merasa jijik, biar berdekatan pun sudah tidak suka, apalagi sampai bersentuhan. Jangan terlalu salahkan Sian Li. Orang-orang itu memang menjemukan!”

Sin Hong menghela napas panjang. Dia dapat memaafkan isterinya yang terlalu memanjakan dan membela Sian Li. Bagaimanapun juga Sian Li merupakan anak tunggal, tumpuan segala harapan dan penampung segala kasih sayang Kao Hong Li. Pula, memang orang-orang tadi merupakan gerombolan yang ganas dan mengingat akan kata-kata mereka yang mesum saja sudah cukup untuk membuat isterinya itu membunuh mereka!

“Mari kita lanjutkan perjalanan.” akhirnya Sin Hong berkata. Mereka naik kembali ke atas kereta dan Sin Hong menjalankan kereta menuju ke timur.

Menjelang tengah hari, mereka berhenti di lereng bukit berikutnya. Matahari amat panasnya dan mereka berhenti di bawah sebatang pohon besar yang teduh. Karena hari telah siang, Hong Li segera membuat api unggun untuk memasak daging dan roti kering yang mereka bawa sebagai bekal. Sin Hong sendiri beristirahat, melenggut di dalam kereta, membiarkan isteri dan puterinya mempersiapkan makan siang. Di tempat teduh itu, membuat orang mudah mengantuk dihembus angin semilir, dan perut pun mudah terasa lapar, apalagi setelah melakukan perjalanan setengah hari di daerah yang berbukit dan lengang itu.

Setelah masakan siap, mereka pun makan siang dengan makanan sederhana. Mereka minum air teh dan anggur yang mereka bawa, makan roti dan daging kering yang sudah dimasak dengan sayur asin. Tiga orang ini memang anggauta keluarga pendekar yang biasa bertualang, maka makan seperti itu malah terasa nyaman dan lezat.

Pada waktu mereka membersihkan segalanya dan sudah kembali naik kereta untuk melanjutkan perjalanan, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dari arah belakang. Mereka menengok dan tak lama kemudian nampaklah belasan orang menunggang kuda, membalapkan kuda ke arah mereka.

Sian Li mengepal tinju. “Kalau buaya-buaya itu yang datang mengejar, sekali ini akan kubasmi mereka!”

“Bersabarlah, Sian Li. Sabar pangkal ketenangan dan tenang modal kewaspadaan.” kata ayahnya. Mereka menanti sambil duduk di dalam kereta.

Setelah rombongan berkuda itu dekat, terdengar mereka berteriak-teriak dan benar saja seperti dugaan Sian Li, yang muncul adalah Hek-bin-gu bersama belasan orang anak buahnya tadi, akan tetapi sekali ini ditambah dengan tiga orang laki-laki berusia lima puluh tahun yang tidak kelihatan bengis, akan tetapi berwibawa. Mereka tidak tinggi besar dan bengis seperti Hek-bin-gu dan kawan-kawannya, bahkan ketiganya agak kurus, akan tetapi pedang yang tergantung di pinggang mereka mendatangkan kesan bahwa mereka adalah ahli-ahli pedang yang tidak boleh disamakan dengan Hek-bin-gu dan kawan-kawannya.

“Bocah setan, keluarlah dari kereta untuk menerima pembalasan kami!” Hek-bin-gu berteriak sambil mengamangkan tinjunya ke arah kereta.

Tiga orang laki-laki setengah tua itu dengan gerakan ringan meloncat turun dari atas kuda masing-masing yang segera dituntun anak buah gerombolan. Mereka berdiri berjajar dengan tegak, menghadap ke arah kereta.

“Siapakah Nona yang telah melukai anak buah kami? Silakan keluar, kami Tiat-liong Sam-heng-te (Tiga Saudara Naga Besi) tidak menerima begitu saja anak buah kami diperhina orang!” kata seorang di antara mereka yang tertua dan kumisnya kecil berjuntai ke bawah.

Sian Li meloncat turun dari atas kereta, menghadapi mereka. “Akulah yang menghajar mereka! Kalian mau apa?” bentaknya.

Melihat seorang gadis berpakaian merah yang usianya sekitar delapan belas tahun itu, tiga orang ini terheran-heran. Bocah ini yang telah menghajar Hek-bin-gu dan dua belas orang anak buahnya? Sukar dipercaya.

Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan di dekat nona baju merah itu telah berdiri seorang wanita lain yang cantik, usianya sekitar empat puluhtahun. Ia adalah Kao Hong Li yang berkata kepada puterinya. “Biarkan aku yang menghadapi mereka!”

“Tidak perlu, ibu, aku sendiri cukup menghajar mereka kalau mereka hendak membela gerombolan serigala itu.”

Kembali nampak bayangan berkelebat, bayangan putih dan Sin Hong telah berada di dekat isterinya. “Kalian mundurlah, biar sekarang ini aku sendiri yang melayani mereka!”

Ketika melihat Sin Hong, tiga orang itu terbelalak dan wajah mereka berubah pucat sekali. Si kumis kecil panjang dengan suara gemetar dan gagap bertanya, “Engkau.... engkau.... Pek-ho-eng (Pendekar Bangau Putih)....?”

Sin Hong tersenyum. “Benar, aku yang disebut Pendekar Bangau Putih....”

“Dan aku Pendekar Wanita Bangau Merah!” kata Sian Li dengan sikap menantang dan bertolak pinggang.

Sin Hong memandang puterinya. “Mereka ini adalah isteri dan puteriku. Siapakah Sam-wi (Anda Bertiga)? Dan apakah Sam-wi hendak membela gerombolan perampok itu?”

Tiga orang itu dengan muka pucat kini mengangkat kedua tangan ke depan dada dan membungkuk sampai dalam menghormat kepada Pendekar Bangau Putih dan anak isterinya. “Mohon Taihiap sudi memaafkan kami yang bermata buta tidak tahu bahwa Taihiap bertiga yang lewat di sini. Kami hanya mendengar laporan dari anak buah kami. Mereka memang bersalah dan patut dihajar!”

Setelah berkata demikian, tiga orang itu membalikkan tubuh menghadapi tiga belas orang anak buah itu dengan sikap marah sekali. Tiga belas orang yang tadi sudah babak belur oleh Sian Li, kini sudah turun dari atas kuda, siap menikmati bagaimana pimpinan mereka membalaskan penghinaan yang mereka derita dari nona baju merah.

“Bagus, ya? Kalian sungguh membuat kami malu. Kalian berani mengganggu Pendekar Bangau Putih, isteri beliau, dan puteri beliau Si Bangau Merah. Kalian tidak pantas hidup!” setelah berkata demikian, si kumis itu bersama dua orang saudaranya bergerak menerjang dan menghajar anak buah mereka sendiri dengan pukulan dan tendangan sampai tiga belas orang itu jatuh bangun dan mengerang kesakitan. Sungguh mereka tidak pernah menyangka sama sekali bahwa laporan mereka bukan membalaskan dendam mereka, bahkan membuat mereka ditambahi hajaran dari tiga orang pemimpin mereka. Yang paling parah dihajar adalah Hek-bin-gu. Si kumis itu memukuli dan menendanginya sampai dia muntah-muntah darah dan roboh pingsan. Dua belas orang yang lain juga dihajar setengah mati dan agaknya makin malu mereka, Tiat-liong Sam-heng-te itu tidak akan menghentikan amukan mereka terhadap anak buah sendiri sampai tiga belas orang itu mati konyol.

Tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan Sin Hong telah berada di dekat mereka sambil membentak. “Hentikan pukulan!”

Tiga orang itu menghentikan siksaan mereka dan mereka berdiri berjajar, membungkuk-bungkuk dengan hormat dan jerih kepada Sin Hong. Tan Sin Hong berkata dengan nada suara keren. “Kalian bertiga menghajar anak buah kaliankarena kalian melihat bahwa mereka mengganggu kami. Coba kalau yang diganggu bukan kami melainkan orang lain, tentu kalian sudah turun tangan membalaskan kekalahan mereka. Tidak perlu kalian membunuh mereka karena kalian juga tidak lebih baik daripada mereka.”

“Ayah, pemimpin sama dengan guru. Kalau muridnya jahat, gurunya tentu lebih jahat lagi!” kata Sian Li. “Biar kuhajar mereka bertiga!”

“Benar juga kata-katamu, Sian Li. Akan tetapi bagianmu sudah cukup. Biar aku yang akan menghajar mereka agar bertaubat. Nah, Tiat-liong Sam-heng-te, majulah kalian bertiga melawanku untuk membela anak buah kalian. Itu lebih jantan dan lebih bertanggungjawab daripada menghukum mereka padahal mereka adalah anak buah kalian sendiri!”

“Kami.... kami tidak berani!” kata tiga orang itu dengan muka semakin pucat. Tidaklah begitu mengherankan kalau tiga orang ini ketakutan setengah mati menghadapi Pendekar Bangau Putih. Tiga orang ini adalah sisa anak buah perkumpulan Tiat-liong-pang. Mereka ingat benar betapa pendiri Tiat-liong-pang sendiri yang berjuluk Siangkoan Lohan (Laki-laki Tua Siangkoan) yang amat tinggi ilmu kepandaiannya, tewas di tangan Si Bangau Putih ini, bahkan puteranya yang bernama Siangkoan Liong juga tewas di tangan pendekar ini. Pendiri Tiat-liong-pang itu bersama puteranya memiliki tingkat yang sepuluh kali lebih tinggi dari tingkat mereka, dan ayah dan anak itu tewas di tangan pendekar ini. Bagaimana mereka akan berani melawan Si Bangau Putih?

“Kalau kalian tidak berani melawan suamiku, biarlah melawan aku saja!” kata Kao Hong Li.

“Tidak, Ibu. Biar aku saja yang menghadapi mereka. Heiii, kalian yang julukannya demikian hebat, Tiga Saudara Naga Besi! Pilihlah seorang di antara kami bertiga. Kami tidak maju bertiga, hanya seorang dari kami yang maju. Nah, pilihlah, siapa yang akan kalian lawan? Kalau kalian dapat mengalahkan seorang di antara kami, sudah saja, kalian boleh pergi membawa anak buah kalian.”

“Kami.... kami tidak berani....” Mereka masih segan dan jerih terhadap Si Bangau Putih.

“Berani atau tidak kalian harus maju, atau.... kalian akan kuhajar begitu saja agar ikut merasakan penderitaan anak buah kalian!” kata pula Sian Li.

Tiga orang itu saling pandang. Agaknya mereka sudah tersudut dan tidak dapat menghindarkan diri lagi. Mereka tahu bahwa melawan Si Bangau Putih sama saja dengan bunuh diri. Tinggal isteri dan puteri pendekar itu. Bagaimanapun juga, tentu isterinya lebih pandai daripada puterinya, walaupun berjuluk Si Bangau Merah dan telah merobohkan tiga belas orang anak buah mereka. Kiranya kalau mengeroyok gadis remaja ini, tentu mereka masih sanggup bertahan, dan siapa tahu dapat menang sehingga mereka dapat keluar dengan tidak terlalu kehilangan muka.

“Baiklah kalau Lihiap memaksa, kami bertiga yang bodoh dan lemah mohon petunjuk Nona.” kata si kumis. Mereka bertiga memasang kuda-kuda dan tidak berani mencabut pedang karena kalau bertanding menggunakan pedang, kalau kalah tentu akibatnya akan lebih parah bagi mereka daripada kalau bertanding dengan tangan kosong. Pula, tidak percuma mereka menjadi bekas anggauta Tiat-liong-pang (Perkumpulan Naga Besi) karena mereka telah menguasai ilmu kekebalan dari Tiat-liong-pang yang membuat mereka berani menggunakan julukan Naga Besi. Betapapun kuatnya, tangan gadis remaja itu mustahil akan mampu menembus kekebalan mereka.

Sian Li tersenyum kepada ayah dan ibunya dan suami isteri itu terpaksa mengalah. Mereka mundur mendekati kereta dan berdiri di dekat kereta seperti tadi ketika menyaksikan puteri mereka berlaga melawan pengeroyokan Hek-bin-gu dan dua belas orang anak buahnya. Akan tetapi sekarang mereka lebih waspada karena mereka dapat menduga bahwa tiga orang laki-laki setengah tua itu sama sekali tidak boleh disamakan dengan tiga belas orang anak buahnya.

Melihat betapa tiga orang calon lawan itu tidak mencabut senjata, Sian Li tersenyum. Kini ia mendapat kesempatan untuk mencoba ilmunya yang khas untuk dirinya, yaitu Ang-ho Sin-kun. Tidak ada orang ke dua di dunia ini yang menguasai ilmu silat ini. Ayahnya sendiri yang merangkai ilmu ini, dan hanya ia seoranglah yang mempelajarinya. Kepada tiga laki-laki ini ia tidak mempunyai rasa muak yang berlebihan seperti terhadap tiga belas orang anak buah mereka tadi, karena tiga orang kakek ini selain bersikap halus, juga kelihatan bersih.

“Kalian mulailah, aku sudah siap siaga.” katanya dan ia pun memasang kuda-kuda dengan kaki kiri ditekuk lututnya dan diangkat ke atas melekat kaki kanan yang berdiri tegak, kedua tangan di pinggang dengan siku ditarik ke belakang, kepala menghadap ke depan dengan leher dijulurkan. Inilah sikap seekor burung bangau yang sedang berdiri, nampaknya melenggut atau mengantuk, namun sedikit pun tidak bergerak seperti arca dan sepasang mata itu tidak pernah melewatkan sesuatu dan dalam keadaan seperti itu, kalau ada ikan lewat dan menyangka kakinya yang kanan itu hanya sepotong kayu maka paruh itu akan meluncur ke dalam air dan tanpa dapat dihindarkan lagi ikan itu akan ditangkapnya!

Karena Sian Li seorang gadis yang berwajah cantik dan jenaka, dan mulutnya tersenyum-senyum, sepasang matanya melirik ke arah tiga orang itu seperti mata bangau mengintai gerakan tiga ekor ikan, maka ia nampak lucu.

Tiat-liong Sam-heng-te sudah tahu bahwa gadis ini lihai sekali, maka mereka pun tidak memandang rendah pasangan kuda-kuda yang nampak lucu dan tidak mereka kenal itu. Mereka lalu berpencar dan maju menghampiri Sian Li dari depan, kanan dan kiri. Kemudian, setelah si kumis mengeluarkan bentakan nyaring sebagai tanda dimulainya serangan mereka, tubuh mereka bergerak cepat dan mereka sudah melancarkan serangan yang cukup dahsyat ke arah tubuh Sian Li dari tiga jurusan. Enam buah lengan meluncur dan enam buah tangan menyerang gadis itu dari depan, kanan, kiri, atas dan bawah!

Kini Sian Li memainkan ilmu silat Ang-ho Sin-kun sepenuhnya. Tubuhnya mengelak ke kanan dengan lompatan seperti lompatan burung bangau sehingga serangan orang di sebelah kiri dan depan luput, dan serangan orang yang berada di kanannya, ia sambut dengan tangkisan lengannya.

“Duk-dukkk!” Penyerang itu terkejut setengah mati karena begitu lengannya ditangkis oleh lengan Sian Li, dia merasa betapa lengannya tergetar hebat. Dari kedua lengan yang tertangkis itu timbul getaran yang membuat isi dadanya juga terguncang sehingga dia cepat melangkah mundur. Kiranya gadis ini memiliki tenaga sin-kang yang amat hebat! Dua orang pengeroyok lain yang tadi hanya memukul tangan kosong, sudah berloncatan dan menyerang lagi dari kanan kiri, sedangkan orang ke tiga juga menyerang dari arah belakang. Sian Li bersikap tenang akan tetapi dengan gerakan yang gesit dan kuat, ia berkelebatan di antara tiga orang pengeroyoknya. Tubuhnya bagaikan bayangan saja, tak pernah dapat disentuh tiga orang pengeroyoknya yang mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian mereka untuk mengalahkan gadis berpakaian merah itu. Warna pakaian gadis itu yang serba merah memudahkan mereka mengikuti ke mana tubuh gadis itu berkelebat, akan tetapi juga membuat tiga orang lawannya bingung, akan tetapi juga setiap kali tangan gadis itu menangkis, mereka merasa betapa lengan mereka tergetar sampai ke pundak.

Sekali ini Sian Li yang hendak menguji ilmunya yang baru saja ia kuasai dengan baik, tidak main-main lagi dan dengan gerakan yang indah dan lincah namun yang mengandung tenaga dahsyat, ia melayani penyerangan tiga orang itu. Begitu ia mengubah daya tahan menjadi daya serang, maka berturut-turut ia merobohkan Tiat-liong Sam-heng-te dengan totokan, tamparan dan tendangan. Tidak sampai sepuluh jurus ia menyerang dan tiga orang pengeroyok itu sudah roboh.

Tiat-liong Sam-heng-te terkejut bukan main. Mereka memang sudah mengetahui bahwa Pendekar Bangau Putih adalah seorang pendekar sakti, dan mereka gentar menghadapinya. Akan tetapi baru sekarang mereka membuktikan sendiri bahwa puteri pendekar itu pun seorang yang amat tangguh.

“Kami mengaku kalah....” kata mereka dan mereka bangkit sambil menyeringai kesakitan.

“Mulai sekarang, kalian dan anak buah kalian jangan suka mengganggu pejalan yang lewat di sini. Untung kalian bertemu dengan kami, kalau bertemu dengan pendekar lain, mungkin kalian semua kini sudah tak bernyawa lagi.” kata Tan Sin Hong yang merasa girang dan puas melihat kemajuan puterinya.

Tiat-liong Sam-heng-te memberi hormat dan si kumis berkata, “Taihiap, kami tidak pernah mengganggu pelancong atau pedagang, tidak mau mengganggu rakyat. Kami hanya merampok pejabat Mancu yang lewat di sini.”

“Tidak semua pejabat merupakan orang jahat yang patut diganggu,” kata Sin Hong. “Pula, pekerjaan merampok merupakan kejahatan, tidak peduli siapapun yang kalian rampok. Lebih baik kembali ke jalan benar dan bekerja mencari nafkah tanpa mengganggu orang lain.”

“Akan tetapi, Taihiap.... kami tidak rela melihat tanah air dan bangsa kita dijajah orang Mancu dan....”

“Tidak perlu berlagak patriot dan pejuang!” Sin Hong membentak. “Kalau kalian patriot dan pejuang, kalian tidak akan melakukan perampokan! Jangan menggunakan kedok pejuang untuk menyembunyikan kejahatan kalian. Pejuang sejati tidak akan berbuat jahat!”

Tiga orang itu menundukkan muka, tidak berani bicara lagi. “Sudahlah, perlu apa bicara dengan orang-orang seperti ini? Mari kita melanjutkan perjalanan.” kata Kao Hong Li kepada suaminya. Mereka naik kembali ke dalam kereta dan kendaraan itu pun bergerak cepat meninggalkan belasan orang itu yang merasa lega karena biarpun mereka babak belur, namun tidak ada di antara mereka yang terbunuh. Dari mulut mereka tersebar berita tentang kehebatan Si Bangau Merah.

***

Dusun Hong-cun yang terletak di lembah Sungai Kuning, di luar kota Cin-an Propinsi Shantung adalah sebuah dusun yang tidak besar akan tetapi jauh lebih rapi dan bersih dibandingkan dusun-dusun lain. Penduduk dusun itu bekerja sebagai nelayan merangkap petani dan kehidupan mereka walaupun sederhana, namun cukup makmur. Sungai Kuning tidak pernah kekurangan ikan, dan lembah sungai itu memang memiliki tanah yang subur.

Pagi hari itu, suasana dusun Hong-cun berbeda dari biasanya. Suasananya meriah dan ini merupakan tanda bahwa di dusun itu terdapat sebuah keluarga yang sedang mengadakan pesta merayakan sesuatu. Di dusun yang penduduknya tidak terlalu padat, setiap kali ada sebuah keluarga mengadakan pesta merayakan sesuatu, maka suasana meriahnya meliputi seluruh dusun, seolah pesta itu merupakan pestanya orang sedusun. Apalagi yang sedang berpesta adalah keluarga Suma Ceng Liong! Biarpun di dusun itu sudah ada kepala dusun dan stafnya, namun Suma Ceng Liong dianggap sebagai sesepuh dusun itu, walaupun dia tidak tinggal di situ sejak kecil. Semua orang tahu belaka bahwa dia adalah seorang pendekar sakti yang tinggal di dusun sunyi itu menjauhi keramaian dan hidup tenteram bersama isterinya, Kam Bi Eng yang juga seorang pendekar wanita sakti. Suami isteri pendekar ini dihormati dan disayang seluruh penduduk dusun Hong-cun, karena mereka suka menolong, baik dengan pengobatan atau membantu orang yang sedang dilanda kekurangan walaupun mereka sendiri bukan orang kaya raya. Di samping itu, seluruh penduduk dusun maklum bahwa mereka dapat hidup tenang dan tenteram di dusun Hong-cun, tak pernah ada penjahat manapun berani datang mengganggu, hanya karena nama besar pendekar Suma Ceng Liong dan isterinya.

Siapa berani mengganggu pendekar ini yang merupakan keturunan langsung dari Pendekar Super Sakti dari Istana Pulau Es? Suma Ceng Liong adalah cucu mendiang Suma Han si Pendekar Super Sakti. Adapun isterinya juga bukan orang sembarangan pula. Kam Bi Eng adalah puteri pendekar sakti Kam Hong, ahli ilmu silat suling emas dan terkenal dengan Kim-siauw-kiam (Pedang Naga Siluman).

Mereka hanya mempunyai anak tunggal, seorang perempuan bernama Suma Lian yang kini telah ikut suaminya dan tinggal di Ping-san, sebelah selatan Pao-ting. Suami Suma Lian bernama Gu Hong Beng, seorang ahli silat pula, murid Suma Ciang Bun.

Kini, Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng tinggal berdua saja di dusun Hong-cun. Tadinya mereka ditemani seorang murid bernama Liem Sian Lun yang seolah menjadi anak angkat mereka pula. Namun sayang, murid mereka itu telah tewas dalam pertempuran ketika Liem Sian Lun bersama Tan Sian Li sebagai suheng dan sumoi, melakukan perjalanan ke Bhutan dan terlibat dalam pertempuran antara para pemberontak Tibet dengan pasukan Tibet. Mereka yang tadinya hidup berdua dan merasa kesepian setelah puteri mereka menikah dan pergi mengikuti suaminya, lalu muncul Liem Sian Lun yang kemudian menjadi tumpuan kasih sayang, dan tiba-tiba saja, pemuda itu tewas dalam pertempuran di luar pengetahuan mereka. Di sinilah nampak benar kekuasaan Tuhan yang mutlak atas kehidupan manusia. Betapapun pandai seseorang, kalau Tuhan tidak menghendaki, orang itu tidak mampu melaksanakan sesuatu sesuai yang dikehendakinya. Manusia berwenang mengatur, namun yang berwenang menentukan hanyalah kekuasaan Tuhan! Manusia hanya wajib berikhtiar, berusaha untuk berbuat sebaiknya dalam segala hal. Kematian Liem Sian Lun yang mendatangkan duka di hati Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng merupakan keputusan Tuhan. Kelahiran dan kematian sepenuhnya berada dalam kekuasaan Tuhan, merupakan rahasia Tuhan, merupakan hasil ciptaan Tuhan. Sepandai-pandainya manusia, hanya mampu menelusuri dan mempelajari proses terjadinya penciptaan itu, membantu dan memperlancar proses itu. Kita harus menyadari bahwa kita ini adalah hasil ciptaan Tuhan, bahwa kita berada di dunia ini adalah karena kehendak Tuhan, bukan karena kehendak kita. Tuhan telah menyertakan kepada kita segala macam perlengkapan yang serba sempurna, dari tubuh yang lengkap sampai hati dan akal pikiran. Tentu agar kita menjadi hasil ciptaan yang baik, yang berguna bagi kelancaran pekerjaan Tuhan.

Tuhan Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi setiap orang umat-Nya. Baik sesuatu itu dianggap menyenangkan atau pun menyusahkan bagi hati yang sudah bergelimang nafsu yang selalu ingin senang, namun kita boleh yakin bahwa segala hal yang menimpa diri kita dalam kehidupan ini sudah dikehendaki Tuhan dan merupakan yang terbaik bagi kita. Entah hal itu berupa hukuman ataupun anugerah sebagai pemetikan hasil dari pohon yang kita tanam sendiri melalui perbuatan yang lalu, maupun berupa ujian dan cobaan. Demikian besar kemurahan Tuhan kepada kita sehingga kita berwenang untuk memilih. Untuk menentukan sendiri langkah hidup kita dan bertanggungjawab atas langkah-langkah itu.

Pesta apakah yang pada pagi hari ini dirayakan keluarga Suma Ceng Liong yang kini hanya tinggal berdua di dalam rumah besar di dusun Hong-cun itu? Pesta perayaan ulang tahun yang ke enam puluh dari Suma Ceng Liong. Pesta sekali ini merupakan pesta yang khusus diadakan untuk “mengumpulkan tulang-tulang berserakan”, istilah yang dipakai Suma Ceng Liong untuk mengartikan bahwa pesta itu diadakan untuk mengumpulkan para anggauta keluarga yang terpisah di mana-mana seperti tulang-tulang berserakan. Dan mereka berdua memang memiliki rangkaian anggauta keluarga yang besar, terdiri dari keluarga Pulau Es, keluarga Gurun Pasir dan keluarga Lembah Naga Siluman! Tiga buah keluarga pendekar yang amat terkenal di dunia persilatan. Bukan hanya keluarga hubungan darah, akan tetapi juga saudara seperguruan.

Tentu saja yang lebih dahulu datang adalah puteri mereka sendiri, yaitu Suma Lian dan suaminya, Gu Hong Beng. Suma Lian sudah berusia empat puluh tahun dan suaminya berusia empat puluh lima tahun, akan tetapi mereka tidak dikaruniai seorang pun anak. Kenyataan ini pun menjadi bukti kekuasaan Tuhan. Suami isteri ini adalah pendekar-pendekar yang sehat, bahkan dapat dikatakan sehat lahir batin, dan pandai. Namun, betapapun mereka berikhtiar, dengan minum bermacam obat, karena agaknya Tuhan tidak menghendaki, namun ikhtiar mereka gagal dan setelah dua puluh tahun mereka menikah dan belum juga memperoleh anak, keduanya tidak lagi mengharapkan dan menerima kenyataan karena agaknya tadir Tuhan menghendaki bahwa mereka tidak mendapatkan keturunan.

Kemudian berturut-turut datanglah para tamu yang merupakan para anggauta tiga keluarga besar. Pertama urutan tamu dari keluarga Pulau Es adalah kakek Kao Cin Liong dan isterinya, Suma Hui. Pendekar tua ini sudah berusia tujuh puluh tujuh tahun dan isterinya enam puluh tujuh tahun, kemudian Suma Ciang Bun yang berusia enam puluh lima tahun bersama isterinya, Gangga Dewi yang berusia enam puluh satu tahun tiba dari Bhutan. Nyonya Gak yang bernama Souw Hui Lan, isteri mendiang saudara kembar Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, juga merupakan anggauta keluarga Pulau Es. Nyonya yang berusia lima puluh tujuh tahun ini datang bersama puteranya, Gak Ciang Hun yang berusia dua puluh sembilan tahun. Kemudian Tan Sin Hong bersama isterinya, Kao Hong Li, dan puteri mereka, Tan Sian Li, datang dan gadis ini mendapat sambutan hangat dari kakek Suma Ceng Liong dan nenek Kam Bi Eng, karena gadis ini merupakan cucu keponakan akan tetapi juga murid mereka selama lima tahun.

Dari fihak keluarga Istana Gurun Pasir diwakili oleh kakek Kao Cin Liong, kemudian Can Bi Lan yang kini datang bersama suaminya, Sim Houw. Keluarga Gurun Pasir memang hanya tinggal Kao Cin Liong dan sumoinya, yaitu Can Bi Lan yang dulu menjadi murid ayahnya. Can Bi Lan kini berusia empat puluh lima tahun dan suaminya, Sim Houw, sudah berusia enam puluh tahun. Tidak ada lagi anggauta keluarga Gurun Pasir, bahkan yang masih adapun sudah menikah dengan anggauta keluarga yang lain seperti Kao Cin Liong menikah dengan Suma Hui anggauta keluarga Pulau Es. Can Bi Lan menikah dengan Sim Houw anggauta keluarga Lembah Naga Siluman.

Anggauta keluarga Lembah Naga Siluman yang hadir tentu saja diwakili nyonya rumah, Kam Bi Eng, karena ibunya, yaitu nenek Bu Ci Sian isteri mendiang Kam Hong tidak hadir. Nenek itu tidak mau meninggalkan makam suaminya dan bertekad untuk menunggui makam itu sampai hayat meninggalkan badan. Kemudian muncul pula Cu Kun Tek dan isterinya, Pouw Li Sian. Suami isteri ini sudah berusia empat puluh lima tahun dan tiga puluh sembilan tahun. Mereka datang bersama puteri mereka yang bernama Cu Kim Giok, seorang gadis manis berusia delapan belas tahun. Tentu saja, sebagai puteri ayah dan ibu pendekar, Cu Kim Giok ini menjadi seorang gadis pendekar yang lihai.

Ada pula belasan orang yang pernah menerima bimbingan para tokoh itu sehingga dapat dianggap sebagai murid, datang pula menghadiri pesta perayaan ulang tahun yang khusus untuk keluarga itu. Suasana amat meriah pagi hari itu dan sungguh ini merupakan suatu pertemuan yang menggembirakan dan juga luar biasa. Demikian banyaknya pendekar-pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan hebat. Masing-masing dari mereka pernah menggemparkan dunia persilatan dengan kepandaian mereka, dan masing-masing memiliki ilmu andalan sendiri yang dahsyat.

Satu demi satu, para anggauta keluarga itu memberi selamat kepada Suma Ceng Liong yang merayakan hari ulang tahunnya, dan banyak pula yang memberi hadiah tanda mata yang aneh dan berharga. Ketika sedikitnya dua puluh orang penduduk dusun yang mewakili seluruh penduduk datang pula menghadiri, tentu saja Suma Ceng Liong menyambut mereka dengan gembira. Mereka datang mewakili para penduduk, tentu saja tidak enak kalau harus ditolak, walaupun pesta itu diadakan khusus untuk mengumpulkan anggauta keluarga. Mereka mendapatkan tempat sekelompok di samping, sedangkan para anggauta keluarga itu segera terlibat dalam percakapan hangat karena pertemuan itu merupakan pula pertemuan istimewa setelah bertahun-tahun mereka yang tadinya akrab saling berpisah. Suasana menjadi gembira dan hiruk-pikuk seperti pasar karena mereka saling bercakap-cakap satu kepada yang lain dengan suara gembira, apalagi para wanitanya. Suma Lian ketika bertemu dengan Pouw Li Sian saling rangkul bahkan sampai menangis saking terharu dan gembira hati mereka. Kedua orang wanita ini ketika kecil pernah menjadi saudara seperguruan, dibimbing oleh mendiang Bu Beng Lokai atau Gak Bun Beng, ayah dari mendiang dua orang saudara kembar Gak. Semenjak kedua orang wanita ini menikah, sembilan belas tahun yang lalu, mereka tidak pernah saling jumpa.

“Li Sian....!”

“Su-ci (Kakak Seperguruan) Lian!” Keduanya bertangisan dan ketika Suma Lian diperkenalkan kepada puteri sumoinya yang bernama Cu Kim Giok, ia merangkul gadis itu dan mencium kedua pipinya.

“Aih, aku sudah mempunyai keponakan sebesar dan secantik ini!” katanya dengan wajah berseri gembira. Kalau saja pertemuan ini terjadi beberapa tahun yang lalu, tentu Suma Lian akan menangis karena sedih melihat sumoinya sudah mempunyai anak sebesar itu sedangkan ia sendiri tidak mempunyai anak. Akan tetapi sekarang ia dan suaminya telah dapat menerima kenyataan dan keadaan sebagai kehendak Tuhan dan pertemuan ini tidak membangkitkan rasa kecewa, iri atau sedih, melainkan mendatangkan keharuan dan kegembiraan. Sebaliknya, Li Sian yang tahu bahwa sucinya tidak mempunyai anak, juga bersikap bijaksana dan tidak mau bicara tentang anak.

Pertemuan itu mendatangkan banyak kenangan bagi semua anggauta keluarga dan terdengar teriakan-teriakan gembira karena banyak di antara mereka yang mendapatkan kejutan mendengar mereka saling menceritakan keadaan dan pengalaman masing-masing selama mereka saling berpisah. Sungguh merupakan pesta yang meriah dan penuh kegembiraan, suatu pertemuan besar yang amat berhasil.

Sian Li juga bergembira dapat bertemu dan berkenalan dengan para anggauta keluarga yang selama ini hanya ia dengar nama besarnya saja dari ayah ibunya. Akan tetapi ada satu hal yang membuat ia merasa amat kecewa di dalam hatinya, yaitu bahwa Yo Han tidak nampak di situ. Akan tetapi ia adalah seorang gadis yang amat cerdik. Diam-diam ia mendekati Sim Houw dan Can Bi Lan yang sedang bercakap-cakap dengan tuan dan nyonya rumah, yaitu Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Antara Pendekar Suling Naga Sim Houw dan Kam Bi Eng terdapat hubungan yang dekat. Sim Houw adalah murid mendiang Kam Hong, ayah Kam Bi Eng. Maka, Kam Bi Eng masih terhitung sumoi (adik seperguruan) Sim Houw. Ketika empat orang itu melihat Sian Li menghampiri, mereka lalu menyambut dan mempersilakan gadis yang lincah jenaka dan peramah ini duduk bersama mereka.

“Paman Sim Houw, bagaimana kabarnya dengan puterimu? Apakah Paman dan Bibi sudah menemukan jejak enci Sim Hui Eng yang lenyap sejak masih kanak-kanak itu?”

Pertanyaan ini diajukan dengan sikap sungguh-sungguh dan penuh perhatian. Mendengar pertanyaan itu, Sim Houw dan Can Bi Lan saling pandang dengan alis berkerut dan Sim Houw menghela napas panjang.

“Sian Li, terima kasih atas perhatianmu. Akan tetapi kami berdua sudah tidak mengharapkan lagi akan dapat menemukan anak kami.”

“Aihhh! Paman dan Bibi sama sekali tidak boleh putus harapan!” Sian Li mencela.

Can Bi Lan berkata. “Kami tidak putus harapan, Sian Li. Akan tetapi ingatlah anak kami itu sudah hilang selama dua puluh tahun! Andaikata kami dapat bertemu dengannya sekalipun, kami tidak akan dapat mengenalinya lagi. Kami tidak menyesal karena agaknya Thian (Tuhan) telah menghendaki demikian. Yang kami sesalkan hanya bahwa kami tidak dapat yakin apakah ia masih hidup ataukah sudah mati. Kami hanya dapat mendoakan agar kalau ia masih hidup, ia akan hidup berbahagia, dan kalau ia sudah mati, semoga mendapat tempat yang layak.”

Biarpun ucapan ini dikeluarkan tidak dengan suara sedih, namun Sian Li dapat menangkap kedukaan yang amat mendalam, yang membuatnya terharu dan tidak mampu berkata-kata lagi. Tadinya ia bermaksud mendekati mereka dan memancing perihal lenyapnya Sim Hui Eng untuk mencari keterangan tentang Yo Han. Tidak tahunya pertanyaannya itu telah membuka kembali luka di hati ayah dan ibu itu!

Suma Ceng Liong segera berkata. “Aihhh, kita manusia memang merupakan mahluk-mahluk yang lemah dan tidak berdaya. Dalam keadaan seperti ini, satu-satunya hal yang dapat kita lakukan setelah segala ikhtiar kita gagal, hanyalah berdoa dan menyerahkan kepada kekuasaan Tuhan! Tidak ada hal yang mustahil bagi kekuasaan Tuhan. Segala apa pun dapat saja terjadi kalau Tuhan menghendaki. Oleh karena itu, sikap putus harapan secara tidak langsung merupakan sikap yang kurang yakin akan kekuasaan Tuhan. Kalau Tuhan menghendaki, bukan tidak mungkin suatu saat kalian akan dapat bertemu kembali dengan puteri kalian.”

“Sim-suheng, apa yang dikatakan suamiku memang benar sekali. Justeru karena kalian belum melihat bukti dan kenyataan bahwa puteri kalian telah meninggal dunia, hal itu berarti bahwa mungkin sekali ia masih hidup. Dan kalau ia masih hidup, bukan mustahil sekali waktu kita akan dapat bertemu dengannya.” kata Kam Bi Eng.

“Nah, benar bukan apa yang kukatakan tadi, Paman dan Bibi!” seru Sian Li, mendapat “angin” dan mendapat kesempatan untuk menyampaikan niat hatinya, yaitu bicara tentang Yo Han. “Tidak perlu putus harapan, apalagi sekarang ada Sin-ciang Tai-hiap (Pendekar Tangan Sakti) yang berusaha mencari puteri kalian itu!”

“Sin-ciang Tai-hiap?” Mereka berempat berseru heran.

“Aih, Paman dan Bibi, juga Kakek dan Nenek lupa akan Si Tangan Sakti Yo Han? Percayalah, sekali Han-koko turun tangan, aku yakin enci Hui Eng pasti akan dapat ditemukan!” Sian Li berkata dengan bangga.

Kini teringatlah mereka semua. “Aih, Sian Li! Bagaimana engkau dapat begitu yakin bahwa Yo Han akan dapat menemukan puteri mereka yang hilang sudah dua puluh tahun itu?” Suma Ceng Liong mencela, menganggap gadis itu terlalu yakin akan hal yang amat sulit dilaksanakan itu. Kalau tidak ada kemurahan Tuhan, tidak ada mujijat Tuhan, bagaimana dapat menemukannya kembali?

“Ahhh, Kakek tidak percaya? Menurut ayah dan ibu, Han-koko memang memiliki sesuatu yang mujijat, semacam indera ke enam. Ketika aku masih kecil dan aku diculik oleh Ang I Moli, ayah dan ibu sendiri tidak berhasil mencarinya. Akan tetapi Han-koko yang baru berusia belasan tahun tahu-tahu muncul di depan penculik itu dan minta agar aku dikembalikan kepada ayah ibu dan dia sendiri menyerahkan diri menjadi gantinya.”

“Hemmm, pernah aku mendengar ayah ibumu bercerita tentang itu, akan tetapi tadinya kusangka bahwa hal itu hanya kebetulan saja.” kata Suma Ceng Liong.

“Bukan kebetulan,” bantah Sian Li. “Memang Han-koko mempunyai kelebihan dari orang lain. Dia memang aneh sekali. Di waktu kecilnya, dia sama sekali tidak mau berlatih silat, membuat ayah dan ibu sampai marah dan kecewa. Selama menjadi murid ayah dan ibu, dia hanya mempelajari teorinya saja akan tetapi tidak suka berlatih silat. Bahkan dia membenci ilmu silat. Katanya dahulu, dia menganggap ilmu silat sebagai suatu bentuk kekerasan yang membuat orang menjadi jahat, suka bermusuhan dan suka membunuh. Ketika kecil dia tidak mau belajar silat, tapi setelah dewasa, tahu-tahu dia menjadi Sin-ciang Tai-hiap. Apakah itu tidak aneh? Tapi, kenapa dia tidak datang sekarang? Apakah dia tidak dikirimi undangan?”

Suma Ceng Liong tertawa. “Kami tidak melupakan dia karena dia adalah murid orang tuamu. Akan tetapi tidak ada seorang pun mengetahui di mana dia sekarang. Bagaimana kami dapat mengirim undangan?”

“Betul juga....” kata Sian Li. “Akan tetapi dia dahulu sudah tahu akan perayaan ini. Kenapa dia tidak muncul dan di mana dia sekarang?” pertanyaan ini ditujukan kepada diri sendiri karena tidak ada seorang pun yang dapat menjawabnya.

Pada saat itu, semua orang yang duduknya agak di depan, menengok ke luar sehingga menarik perhatian mereka yang berada di sebelah dalam. Tak lama kemudian, semua orang, termasuk Suma Ceng Liong dan isterinya, juga Sian Li, ikut pula memandang ke luar. Memang ada yang menarik di luar pekarangan sana. Para penduduk yang ikut menonton di luar nampak memberi jalan kepada serombongan orang yang datang. Ada selosin orang laki-laki yang bertubuh kokoh kuat berpakaian seragam abu-abu dan empat orang gadis cantik mengenakan pakaian dengan warna menyolok. Ada yang serba kuning, serba biru, serba hitam dan serba putih. Empat orang gadis ini berjalan di kanan kiri sebuah joli tertutup tirai yang dipikul empat orang laki-laki anggauta pasukan yang selosin dan berpakaian abu-abu itu. Joli berada di tengah-tengah, seolah-olah dikawal selosin orang laki-laki dan empat orang gadis itu. Orang yang berjalan paling depan memegang sebuah tombak yang ujungnya dipasangi sehelai bendera. Dasar bendera itu berwarna kuning polos dan di tengahnya ada huruf BENG (TERANG) dari benang sutera merah yang indah dan gagah. Tanpa ragu, dengan langkah tegap, rombongan itu memasuki pekarangan dan berhenti di depan tangga ruangan depan yang dipenuhi tamu. Semua orang memandang dengan heran karena tidak ada yang mengenal dari mana dan siapa rombongan itu. Bendera itu pun tidak mereka kenal. Hanya Kao Cin Liong, orang tertua di antara mereka semua, yang memandang dengan alis berkerut dan dia pun menghampiri tuan rumah, lalu berbisik kepada Suma Ceng Liong. Suma Hui juga mengikuti suaminya dan mendekati adiknya.

“Hanya ada sebuah partai yang kiranya dapat memakai tanda bendera seperti itu, yaitu Pao-beng-pai (Partai Pembela Terang).”

“Akan tetapi partai itu tidak pernah terdengar lagi sekarang,” kata Suma Hui.

“Pao-beng-pai? Partai macam apakah itu?” tanya Suma Ceng Liong kepada cihunya (kakak iparnya), yaitu suami dari encinya yang dahulu pernah menjadi panglima perang dan memiliki banyak sekali pengalaman.

“Pao-beng-pai itu partai yang berusaha untuk menegakkan kembali Kerajaan Beng yang sudah jatuh dengan pemberontakan terhadap pemerintah yang sekarang.” kata Kao Cin Liong.

Mereka berhenti bicara dan pada saat itu, seorang di antara para anggauta pasukan berpakaian abu-abu itu berteriak lantang. “Kami utusan dari Pao-beng-pai mohon bertemu dengan pimpinan dari keluarga Pulau Es, keluarga Gurun Pasir, dan keluarga Lembah Naga Siluman yang kini sedang berkumpul di sini!”

Semua orang terkejut mendengar ini. Suma Ceng Liong lalu minta kepada suami encinya, yaitu Kao Cin Liong sebagai orang tertua yang berada di situ, untuk mewakili seluruh keluarga dan menerima pengunjung yang baru datang. Karena jelas bahwa rombongan itu ingin bertemu dengan pimpinan ketiga keluarga, bukan dengan tuan rumah, Kao Cin Liong yang menjadi orang tertua di situ, tidak keberatan untuk mewakili seluruh keluarga. Di dalam hatinya dia merasa heran sekali. Mau apa orang-orang Pao-beng-pai ini mencari mereka? Kalau hendak mencari gara-gara, mungkin orang-orang Pao-beng-pai itu sudah gila. Siapakah di dunia ini begitu gila mencari perkara dengan para pendekar dari tiga keluarga besar yang saat itu berkumpul di situ?

Kakek yang sudah berusia tujuh puluh tujuh tahun itu melangkah maju ke depan rombongan itu. Para anggauta pasukan kecil yang berada di depan membuat gerakan menyibak ke kanan kiri sehingga kakek itu kini berhadapan dengan joli yang tirainya masih tertutup. Semua orang memandang dari belakang kakek Kao Cin Liong dan suasana menjadi hening sekali karena semua orang memperhatikan.

“Kami sedang berkumpul di sini mengadakan pertemuan keluarga dan kami tidak mempunyai pimpinan. Karena aku kebetulan yang tertua, maka para anggauta keluarga kami minta agar aku mewakili mereka. Nah, apakah yang dikehendaki Pao-beng-pai dengan kunjungan tiba-tiba dan tanpa diundang ini? Di antara kami tidak ada yang mempunyai urusan dengan Pao-beng-pai.” Suara kakek itu cukup berwibawa walaupun sikapnya tenang sekali. Bahkan dua belas orang anggauta pasukan yang tadinya nampak keren dan kokoh kuat itu kini nampak gentar menghadapi sikap kakek itu yang demikian tenang, berwibawa dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri. Tadinya mereka mengira bahwa setiap orang di dunia persilatan akan menjadi jerih melihat bendera tanda pengenal partai mereka. Siapa tahu kakek ini bersikap seolah mereka hanya sebagai pengganggu biasa saja yang tidak dikenal!

Seperti anak-anak ayam yang mencari perlindungan kepada induknya, mereka semua memandang ke arah joli dan si pemegang bendera segera berkata dengan suara lantang, jelas dimaksudkan agar didengar oleh semua orang karena kalau hanya ditujukan kepada penumpang joli, tidak perlu dia berteriak selantang itu.

“Nona yang mulia! Pihak tuan rumah telah datang menyambut, silakan Nona yang mulia keluar untuk bicara dengan dia!”

Tentu saja semua orang menjadi semakin tertarik. Siapakah yang mereka sebut sebagai nona yang mulia itu? Dengan penuh perhatian mereka semua kini memandang ke arah joli yang sejak tadi tidak bergerak, dan yang oleh para pemikulnya sudah diturunkan ke atas tanah. Tirai itu pun sejak tadi tidak pernah bergoyang. Ketika empat orang penggotong joli tadi menurunkannya, nampaknya begitu ringan seolah penumpang joli itu teramat ringan, ataukah empat orang pemanggul itu yang amat kuat?

Kini tirai dari sutera hijau itu bergoyang sedikit dan agaknya ini merupakan isyarat bagi empat orang gadis pendamping joli untuk cepat menghampiri depan joli. Mereka menyingkap tirai itu dan ketika melakukan ini, mereka berempat membungkuk sampai dalam dan yang berpakaian kuning berkata penuh hormat. “Silakan, Siocia (Nona Muda)!”

Semua orang memandang dan ternyata yang duduk di joli itu adalah seorang wanita muda yang cantik dan bersikap agung. Gadis ini mengenakan pakaian berkembang dan cerah, dan ia nampak anggun dancantik. Ia duduk dengan tegak seperti seorang puteri atau seorang ratu dan sedikit pun tidak merasa gentar atau canggung walaupun banyak pasang mata yang tajam dan mencorong mengamatinya. Usianya sukar diketahui dengan pasti karena pembawaannya menunjukkan bahwa ia bukan remaja lagi, cukup dewasa dan tentu sudah ada dua puluh tahun. Rambutnya yang digelung tinggi di atas kepala, dan rambut itu dihias sebuah tiara kecil yang berkilauan karena terhias intan permata. Matanya yang tajam seolah dapat menembus dan menjenguk isi dada orang. Akan tetapi kecantikannya itu amat dingin. Keanggunannya mengandung keangkuhan. Dingin dan angkuh ini nampak di sudut-sudut bibirnya yang tersenyum sinis. Tangan kirinya memegang sebuah hud-tim (kebutan) yang biasa dipegang seorang pendeta atau pertapa, kebutan pengusir lalat dan nyamuk. Akan tetapi kebutan ini indah, dengan gagang terbuat daripada emas dan kebutan itu sendiri terbuat dari benang yang mengkilap, entah benang apa, berwarna kemerahan seperti ternoda darah.

Setelah menyapu ruangan itu dengan lirikan matanya yang tajam, ia kini memandang kepada Kao Cin Liong dan bibirnya bergerak, senyumnya semakin merekah dan semakin sinis. Lalu kakinya melangkah turun dari joli, dengan gerakan sopan seperti seorang puteri yang menjaga setiap gerakan agar nampak anggun dan sopan. Setelah ia turun dari joli dan berdiri berhadapan dengan Kao Cin Liong, nampak tubuhnya yang ramping, dengan pinggang yang kecil seperti pinggang lebah hitam, dan pinggulnya yang besar menonjol. Ia berdiri dengan tegak dan anggun seperti seorang ratu dihadap para hulubalangnya.

“Kiranya Jenderal Kao Cin Liong yang menjadi wakil.” katanya, suaranya lembut akan tetapi terasa begitu dingin dan datar tanpa nada dan irama. Seperti igauan orang dalam mimpi!

Namun, kalimat pendek ini mengejutkan semua orang, terutama sekali kakek itu. Bagaimana gadis yang sama sekali tidak dikenalnya ini tahu bahwa dia pernah menjadi panglima?

“Hemmm, sekarang tidak lagi menjadi jenderal, Nona. Siapakah Nona?” Kakek ini sudah merasa kalah penampilan, karena gadis itu sudah mengenal namanya akan tetapi dia sama sekali belum mengenalnya, bahkan bertemu pun baru sekali ini.

“Aku biasa dipanggil Siocia (Nona), tak pernah memiliki nama. Biarpun sekarang engkau bukan lagi jenderal, akan tetapi engkau pernah menjadi panglima Kerajaan Mancu, bukan?” Jelas sekali bagi para anggauta keluarga besar yang berkumpul di situ bahwa ketika mengucapkan kata Mancu, gadis itu nampak menghina sekali. Mereka pun tidak merasa heran karena biarpun belum pernah berurusan dengan orang-orang Pao-beng-pai yang selalu bergerak secara rahasia, mereka pernah mendengar bahwa partai itu adalah partai yang menentang pemerintah Mancu.

“Sudahlah, tidak perlu kita mempersoalkan apakah aku pernah menjadi panglima, juga apakah Nona mempunyai nama atau tidak. Yang penting sekarang, apa maksud kedatangan Nona sebagai utusan Pao-beng-pai? Seperti kami katakan tadi, kami tidak pernah mempunyai urusan dengan Pao-beng-pai, maka apa maksud kunjungan Nona ini?” kata kakek Kao Cin Liong dengan suara yang tetap tenang penuh kesabaran. Sebagian anggauta keluarga itu sudah ada yang melotot dan marah, akan tetapi tentu saja mereka tidak berani mengganggu kakek Kao Cin Liong yang mewakili mereka.

Gadis itu menggerakkan tangan kirinya dan ujung kebutannya bergerak seolah ia mengusir lalat yang datang mendekatinya, lalu kembali senyumnya mekar penuh ejekan. “Apa maksud kunjunganku? Panglima Kao Cin Liong, sudah lama sekali Pao-beng-pai mendengar bahwa tiga keluarga besar Pulau Es, Gurun Pasir, dan Lembah Naga memiliki banyak pendekar yang pandai, yang tidak memandang sebelah mata kepada kelompok dan aliran lain di dunia persilatan. Juga bahwa ketiga keluarga itu berwatak tinggi hati, suka mencampuri urusan aliran lain, tidak segan menggunakan kepandaian mengalahkan kelompok lain, dan yang lebih tidak menyenangkan lagi, mereka menjadi antek-antek bangsa Mancu yang berarti membantu kekuasaan para penjajah. Nah, karena itulah Pao-beng-pai ingin sekali membuktikan sendiri apakah berita tentang kegagahan mereka itu benar, atau hanya omong kosong saja.”

Mendengar ucapan itu, Kao Hong Li dan Tan Sian Li sudah bergerak maju sambil mengepal tinju, akan tetapi Tan Sin Hong yang sejak tadi sudah waspada melihat keadaan isteri dan puterinya, yang dia tahu keduanya memiliki watak keras dan galak, cepat menangkap lengan mereka dan memberi isyarat dengan geleng kepala.

“Ayah mewakili kita semua, jangan diganggu,” bisiknya. Kao Hong Li teringat, demikian pula Sian Li maka ibu dan anak ini menahan kemarahannya dalam hati. Sebagai pihak pemilik rumah yang kedatangan tamu, tidak pantas kalau mereka maju mengganggu Kao Cin Liong yang mewakili mereka semua.

Kakek Kao Cin Liong tersenyum memandang ucapan gadis yang berani itu. Diam-diam dia terheran dan terkejut. Bagaimana seorang gadis semuda ini berani mengeluarkan kata-kata keras mencela tiga keluarga besar, padahal para anggauta keluarga lengkap berada di situ? Biar semua datuk persilatan di dunia kang-ouw, para datuk sesat sekalipun tidak mungkin akan berani senekat itu! Andaikata Pao-beng-pai mengirim seluruh pimpinan berikut anak buahnya sekalipun, menghadapi seluruh keluarga ini mereka akan sama dengan ombak samudera ganas yang menghantam bukit karang, akan hancur lebur dengan sendirinya. Apakah gadis ini miring otaknya, ataukah sudah bosan hidup dan mencari cara membunuh diri yang dapat dianggap gagah? Dia mengelus jenggotnya yang sudah putih semua.

“Bu-beng Sio-cia (Nona Tanpa Nama), kalau Pao-beng-pai ingin membuktikan sendiri berita tentangan kegagahan keluarga kami, lalu apa yang kaukehendaki dengan kunjungan ini?”

“Aku mewakili Pao-beng-pai sepenuhnya, dan atas nama Pao-beng-pai aku menantang tokoh yang paling tinggi ilmu kepandainnya dari ketiga keluarga untuk mengadu kepandaian. Aku tahu, bahwa aku mendatangi gua penuh singa dan naga, dan kalian semua bisa maju dan membunuhku. Akan tetapi hal itu hanya akan membuktikan bahwa kalian hanyalah para pengecut, bukan orang gagah....”

“Tutup mulutmu yang busuk, iblis betina tanpa nama!” Tiba-tiba Kao Hong Li yang terkenal galak itu sudah meloncat maju ke depan wanita itu. “Berani engkau mengeluarkan kata-kata menghina ayahku dan seluruh keluarga kami? Bocah sombong macam engkau hendak menantang kami? Majulah, aku yang akan mewakili semua keluarga untuk menghajarmu!”

Gadis muda itu tersenyum mengejek, lalu mengeluarkan dengus dari hidung, memandang rendah. “Engkau ini puteri Panglima Kao Cin Liong? Tentu engkau yang bernama Kao Hong Li. Bibi muda, kepandaianmu masih terlalu rendah. Kenapa tidak menyuruh suamimu saja, Si Bangau Putih Tan Sin Hong ini, untuk mewakilimu? Aku ingin bertanding dengan tokoh paling tangguh dari tiga keluarga besar, bukan dengan orang yang ilmu kepandaiannya masih tanggung-tanggung.”

Kembali semua orang terheran. Wanita muda ini agaknya mengenal para anggauta tiga keluarga besar itu. Tidak salah lagi, pikir mereka, tentu gadis sombong itu sebelumnya telah mempelajari keadaan mereka, wajah dan nama mereka, dan mungkin sekali mendapat keterangan jelas tentang ilmu yang mereka miliki masing-masing. Sikap gadis itu telah membakar hati para pendekar wanita yang berada di tempat itu.

“Biarkan aku saja yang menghadapinya!” terdengar bentakan nyaring dan nampak bayangan berkelebat ketika Can Bi Lan meloncat ke dekat Kao Hong Li.

Gadis itu memandang penuh perhatian. “Hemmm, engkau tentu yang bernama Can Bi Lan berjuluk Siauw-kwi (Setan Kecil). Sebaiknya kalau suamimu yang maju, bukan engkau. Kulihat suamimu Pendekar Suling Naga Sim Houw juga berada di sini. Kalau dia barulah ada harganya untuk melawan aku!”

“Wah, bocah sombong, agaknya otakmu tidak waras!” terdengar bentakan dan tubuh Kam Bi Eng berkelebat cepat mendekati gadis itu. “Hayo engkau cepat menggelinding pergi dari sini, atau aku yang akan menghancurkan mulutmu yang lancang!”

Gadis itu memandang kepada Kam Bi Eng penuh perhatian, lalu menoleh dan memandang kepada Suma Ceng Liong. “Bagus, bibi Kam Bi Eng keturunan keluarga Suling Emas dan Naga Siluman! Lebih baik lagi kalau suamimu yang maju karena sudah lama aku mendengar nama besar Suma Ceng Liong, keturunan langsung dari Pendekar Sakti Pulau Es!”

“Ibu, biarkan aku yang menghajarnya!” Suma Lian meloncat dekat pula dengan mata mencorong marah.

“Tidak, sebaiknya aku saja yang menghadapinya!” terdengar teriakan yang dibarengi berkelebatnya bayangan merah dan Sian Li sudah pula berada di situ. Nyonya Gak atau Souw Hui Lian, Suma Hui, yang sudah tua, bahkan juga Gangga Dewi dan para murid perempuan yang hadir di situ, semua maju, mempersiapkan diri untuk melawan tamu yang kurang ajar itu.

Gadis itu kini tertawa. Tawanya lepas dan tidak menutupi mulutnya sehingga nampak deretan giginya yang rapi dan bersih. “Ha-ha-ha, agaknya para pendekar wanita tiga keluarga besar masih memiliki semangat dan galak-galak. Akan tetapi aku tetap menghendaki orang terkuat yang maju menandingiku karena aku hanya akan menantang seorang saja, kecuali tentu saja kalau kalian hendak mengeroyokku.”

“Jahanam sombong, sambutlah seranganku!” Suma Lian sudah menerjang dengan dahsyat ke arah gadis itu. Ia tidak dapat menahan kemarahannya lagi, maka begitu berteriak memberi tanda penyerangan, ia sudah menyerang dengan totokan jari tangannya. Terdengar suara bersuitan ketika tangannya bergerak, menunjukkan betapa kuatnya tangan yang melakukan serangan totokan itu. Itulah ilmu Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) yang amat lihai.

“Hemmm, bagus!” Gadis itu berseru lembut dan tiba-tiba saja tubuhnya melesat cepat bagaikan kilat dan ia sudah melayang ke belakang, ke tempat terbuka yang lebih luas sambil tadi menghindarkan diri dari totokan maut. “Di sini lebih luas, mari kita main-main sebentar. Engkau tentu yang bernama Suma Lian, bukan? Namamu cukup terkenal, pantas untuk menjadi lawanku. Mari!”

Suma Lian yang berusia empat puluh tahun itu adalah puteri Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Selain telah mewarisi ilmu-ilmu dari ayah bundanya, juga bersama Pouw Li Sian ia pernah digembleng oleh Bu Beng Lo-kai atau Gak Bun Beng. Agaknya di antara semua anggauta keluarga wanita yang hadir di situ pada saat itu, Suma Lian merupakan orang yang paling tangguh. Si Bangau Merah Tan Sian Li pun masih belum setinggi ia tingkat kepandaiannya dan agaknya hal ini diketahui pula oleh gadis tamu yang aneh itu maka ia suka menerima Suma Lian menjadi lawannya.

Suma Lian meloncat ke depan gadis itu dan semua orang memandang dengan hati tegang dan penuh perhatian karena biar gadis itu tidak mau memperkenalkan nama dan mengaku tidak bernama, namun dari gerakan silatnya, para pendekar itu ingin mengenal alirannya. Mereka tahu bahwa Pao-beng-pai merupakan partai pemberontak yang menentang pemerintah seperti halnya Thian-li-pang, Pat-kwa-pai, Pek-lian-kauw dan yang lain, akan tetapi Pao-beng-pai bukan perkumpulan silat maka para tokohnya memiliki ilmu silat dari bermacam aliran.

Dua orang wanita itu kini saling berhadapan dalam keadaan siap siaga. Suma Lian, dalam usia empat puluh tahun, masih nampak cantik dan ramping, dan selama ini ia tidak pernah bosan untuk berlatih silat bersama suaminya. Karena ia pun seorang pendekar wanita yang berpengalaman, ia dapat menduga bahwa gadis yang bersikap sombong berani menentang para anggauta tiga keluarga besar, tentu mempunyai kepandaian yang dapat diandalkan. Oleh karena itu, ia pun bersikap hati-hati dan diam-diam ia pun sudah mengerahkan tenaga Swat-im Sin-kang (Tenaga Sakti Inti Salju) ke dalam kedua lengannya.

Gadis itu bersikap tenang, kini tidak mengeluarkan kata-kata lagi, matanya mencorong memandang lawan, mulutnya masih tersenyum dingin dan sinis, namun jelas nampak bahwa ia pun tidak berani main-main. Agaknya ia memang telah memperoleh keterangan yang cukup mengenai para anggauta keluarga, dan ia maklum bahwa yang dihadapinya adalah pendekar wanita anggauta keluarga Pulau Es yang amat tangguh.

Gadis itu bersikap tenang sekali. Melihat lawan bertangan kosong, ia pun melemparkan kebutannya kepada gadis baju kuning yang tadi mengawalnya. Kebutan itu meluncur bagaikan anak panah ke arah gadis baju kuning, mengejutkan semua orang karena seolah-olah gadis itu menyerang pembantunya sendiri! Akan tetapi, gadis baju kuning dengan tenang namun sigap menjulurkan tangan dan ia sudah berhasil menjepit gagang kebutan itu dengan jari telunjuk dan jari tengah! Diam-diam para pendekar menjadi semakin heran. Kalau si baju kuning itu, yang agaknya hanya merupakan pelayan, memiliki kemampuan seperti itu, mudah diduga bahwa nona majikannya tentu jauh lebih lihai. Gadis itu kini membetulkan ikat sabuk sutera di pinggangnya, menggulung kedua lengan baju sampai ke siku sehingga nampak kedua lengannya yang kecil panjang dan berkulit halus.

“Suma Lian, aku sudah siap. Keluarkan semua kepandaianmu!” Gadis itu menantang.

“Iblis betina sombong, engkau yang datang, engkau yang menantang, engkau pula yang boleh bergerak lebih dulu!” Suma Lian membentak dengan pasangan kuda-kuda tegak dengan kedua lengan menyilang di depan dada, sepasang matanya mencorong di antara kedua tangan yang dibuka jari-jarinya.

“Awas, aku mulai menyerang, ha-ha-hi-hi-hi....!” Gadis itu tertawa dan suara tawanya makin lama semakin meninggi. Dua belas orang pengawalnya dan empat orang pelayan wanitanya mengambil sesuatu dan menyumbat sepasang telinga masing-masing dengan benda kecil itu.

Suma Lian terkejut ketika merasakan getaran yang amat kuat menyusup ke dalam tubuhnya. Tahulah keturunan keluarga Pulau Es ini bahwa gadis itu bukan sekedar tertawa, melainkan telah melakukan penyerangan seperti yang dikatakan tadi, penyerangan melalui getaran suara tawa! Ilmu macam ini, menggunakan getaran suara untuk menyerang lawan, merupakan ilmu yang hanya mampu dilakukan oleh orang yang telah memiliki sin-kang (tenaga sakti) yang amat kuat. Suma Lian sendiri adalah puteri Suma Ceng Liong, keturunan Pulau Es yang selain lihai ilmu silatnya, juga memiliki ilmu sihir dari nenek moyangnya. Tentu saja Suma Lian sudah pernah mempelajari ilmu ini dan menguasai kekuatan sihir. Maka, menghadapi serangan lawan melalui getaran suara tawa, ia cepat mengerahkan tenaga melindungi diri dan “menutup” pendengarannya dari dalam, memandang gadis yang tertawa itu dengan senyum mengejek. Para anggauta keluarga para pendekar yang hadir di situ, juga mengerahkan sin-kang dan mereka semua mampu menangkis getaran suara tawa itu. Akan tetapi, belasan orang tetangga yang masih hadir sebagai tamu, tersiksa sekali. Mereka mencoba untuk menutupi telinga dengan kedua tangan, namun agaknya getaran itu menembus tangan yang menutupi telinga dan di antara mereka sudah ada yang terjungkal pingsan. Melihat ini, Suma Lian membentak dengan suara lantang penuh wibawa, mengerahkan kekuatan sihirnya.

“Iblis betina, hentikan tawamu yang tidak ada gunanya itu!”

Dan suara tawa itu pun terhenti. Si gadis nampak kaget dan maklum bahwa tawanya tidak mempengaruhi lawan maupun para anggauta keluarga lainnya, hanya merobohkan orang-orang yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan keluarga itu.

“Kamu anak kecil sombong! Kaukira dengan sedikit ilmu hitam itu engkau akan dapat menakut-nakuti kami?” bentak Suma Lian dan nyonya ini pun membalas dengan serangan tamparan tangan kiri. Terdengar bunyi angin menyambar dahsyat dan gadis itu cepat mengelak, lalu membalas dengan pukulan ke arah dada Suma Lian. Pukulan ini dielakkan pula oleh Suma Lian dan segera terjadi perkelahian seru antara kedua orang wanita cantik itu.

Semua pendekar menonton dengan penuh keheranan. Mereka semua tahu betapa lihainya Suma Lian. Wanita ini sudah mempelajari banyak ilmu silat yang tinggi dan dahsyat. Ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es ditambah ilmu-ilmu dari Lembah Naga Siluman. Dan tidak tanggung-tanggung Suma Lian mengeluarkan ilmu-ilmu itu. Ia sudah mengeluarkan beberapa jurus dari ilmu silat Hong-in Bun-hoat (Silat Sastra Angin dan Awan), Sin-coa-kun (Silat Ular Sakti), bahkan menggunakan ilmu totokan Coa-kut-ci dan Toat-beng-ci (Jari Penembus Tulang dan Jari Pencabut Nyawa) namun anehnya, gadis itu seolah-olah mengenal semua jurus itu dan mampu mengelak atau menangkis. Ketika para pendekar memperhatikan dasar gerakan yang dipergunakan gadis cantik wakil Pao-beng-pai itu, mereka merasa heran. Gerakan silat gadis itu sukar dikenal dasarnya karena mengandung dasar banyak macam aliran silat. Yang jelas kekokohan kuda-kuda Siauw-lim-pai terdapat di situ, juga kelincahan gerakan silat Bu-tong-pai. Akan tetapi, gerakan kedua tangan ketika mengelak dan balas menyerang, jelas bukan dari kedua aliran itu, dan cara penyerangan yang tiba-tiba dan licik berbahaya itu menunjukkan adanya pengaruh ilmu dari golongan sesat! Namun, ternyata gadis itu lihai bukan main. Ilmu silatnya yang campuran sukar dikenal, dan agaknya sedikit banyak ia telah mengenal jurus-jurus silat yang dipergunakan Suma Lian untuk menyerangnya sehingga ia mampu mengelak atau menangkis dengan tepat. Sementara itu, dalam hal tenaga sin-kang dan keringanan tubuh, ia tidak berada di bawah tingkat Suma Lian! Hal ini saja sudah amat mengagumkan dan mengherankan hati para pendekar yang berada di situ.

Pendekar Bangau Putih Tan Sin Hong dan Suma Ceng Liong, dan juga Pendekar Suling Naga Sim Houw, tiga orang di antara para pendekar yang memiliki ilmu kepandaian paling tinggi di antara mereka semua, diam-diam merasa heran dan terkejut. Pada jaman itu, kiranya sukar mencari seorang gadis muda yang akan mampu menandingi ilmu kepandaian Suma Lian. Bahkan Tan Sian Li yang disebut Si Bangau Merah oleh semua anggauta keluarga, yang dikagumi sebagai anggauta keluarga termuda yang telah memiliki ilmu kepandaian tinggi, agaknya masih belum dapat menandingi Suma Lian. Akan tetapi, gadis muda yang hanya dikenal sebagai Nona Tanpa Nama itu bukan saja mampu menandingi, bahkan kini mulai mendesak Suma Lian dengan ilmu silat yang aneh. Ia melakukan dorongan-dorongan atau pukulan jarak jauh yang amat dahsyat, yang mendatangkan angin seperti gelombang samudra sedang membadai. Suma Lian mengerahkan tenaga dari Pulau Es untuk menahan dorongan-dorongan itu, namun agaknya ia masih kalah kuat sedikit sehingga setiap kali terjadi bentrokan tenaga sakti, jelas bahwa pasangan kuda-kuda kaki Suma Lian tergeser ke belakang sedikit, sedangkan kuda-kuda kaki gadis cantik itu masih tetap teguh.

“Haiiiiittttt....!” Tiba-tiba gadis itu menyerang lagi dengan kedua tangan didorongkan, akan tetapi kini ia mengubah kuda-kuda kakinya dan menekuk kedua lutut sehingga tubuhnya merendah seperti berjongkok, pinggulnya yang besar menonjol dan hampir menyentuh tanah. Gerakan ini aneh sekali, akan tetapi dari kedua tangannya menyambar angin dahsyat ke arah perut Suma Lian.

Suma Lian yang sudah cukup pengalaman itu dapat mengenal serangan dahsyat yang berbahaya. Akan tetapi kalau ia mengelak terus, hal itu akan membuktikan bahwa ia tidak berani mengadu tenaga dan membuat ia nampak terdesak. Maka, wanita yang keras hati dan pemberani itu tidak mau mengalah. Ia pun mengerahkan tenaga gabungan dari Tenaga Sakti Inti Api dan Tenaga Sakti Inti Salju dari Pulau Es. Biarpun kepandaiannya dalam pengerahan sin-kang ini belum setingkat ayahnya, namun dibandingkan tokoh-tokoh wanita keturunan keluarga Pulau Es, Suma Lian sudah merupakan yang terkuat. Ia mengerahkan tenaga gabungan itu dan menyambut serangan lawannya dengan dorongan kedua tangannya pula.

Benturan dahsyat antara dua tenaga sakti tak dapat dihindarkan pula. Tidak nampak oleh mata memang, dan dua pasang tangan itu terpisah tidak kurang dari dua meter, namun keduanya seperti mendorong dinding yang kokoh kuat. Tubuh Suma Lian nampak terguncang, sedangkan gadis itu masih tak bergerak, bahkan bibirnya mengembangkan senyum mengejek. Keduanya tak pernah mengendurkan tenaga, dan sebentar saja nampak betapa Suma Lian berkeringat dan dari kepalanya mengepul uap.

Melihat ini, semua orang merasa tegang dan khawatir. Sebagai ahli-ahli silat tinggi, mereka maklum bahwa adu tenaga sin-kang itu sudah mencapai titik yang gawat. Seorang di antara mereka akan terancam maut, dan agaknya Suma Lian yang berada di fihak terancam. Akan tetapi mereka tidak berani turun tangan melerai, karena hal itu bahkan amat berbahaya bagi kedua orang wanita perkasa yang sedang mengadu tenaga itu.

Akan tetapi, seorang yang memiliki tingkat lebih tinggi seperti Suma Ceng Liong, melihat bahaya maut mengancam puterinya, segera meloncat ke depan, mengerahkan tenaga dan menggunakan kedua tangannya untuk melerai.

Kakek perkasa berusia enam puluh tahun ini menggunakan gerakan yang disebut Mendorong Bukit Kanan Kiri, kedua tangannya dikembangkan dan didorongkan dari samping ke arah tengah-tengah di antara dua orang wanita yang sedang mengadu tenaga sin-kang itu.

Bagaikan angin badai meniup dua batang pohon yang kokoh, tenaga itu membuat kedua orang yang sedang bertanding itu terdorong dan kehilangan keseimbangan. Tenaga mereka yang tadi saling tekan itu terlepas, dan akibatnya Suma Lian terpelanting dan gadis itu terdorong ke belakang. Suma Lian cepat menggulingkan tubuhnya dan ia dapat meloncat bangun dengan muka agak pucat dan napas terengah, sedangkan gadis itu ketika terdorong ke belakang, membuat gerakan jungkir-balik yang indah sampai tiga kali, baru tubuhnya melayang turun dan berdiri tegak. Suma Lian terbebas dari ancaman bahaya, namun dari akibat dorongan kekuatan sin-kang Suma Ceng Liong yang melerai, semua orang tahu bahwa dalam adu tenaga sakti tadi, Suma Lian berada di pihak yang terdesak.

Gadis itu menatap wajah Suma Ceng Liong dengan sinar mata mencorong, kulit wajahnya memerah karena marah, mulutnya tersenyum sinis dan tangan kanan bertolak pinggang, telunjuk tangan kiri diluruskan menuding ke arah muka pendekar itu.

“Pendekar besar Suma Ceng Liong tidak malu melakukan pengeroyokan?” Ia berkata mengejek.

Di waktu mudanya, Suma Ceng Liong adalah seorang yang lincah gembira dan bahkan agak ugal-ugalan. Akan tetapi kini dia sudah berusia enam puluh tahun tentu saja tidak seperti dahulu, walaupun dia masih berwatak gembira. Melihat sikap gadis itu yang menuduhnya melakukan pengeroyokan dia hanya tersenyum.

“Bu-beng Sio-cia, aku tidak melakukan pengeroyokan, hanya melerai. Puteri kami Suma Lian sudah kalah olehmu. Nah, sekarang engkau mau apa lagi? Masih penasaran dan ingin menantang seorang di antara kami?” Biarpun kata-kata itu membuat pengakuan akan kekalahan Suma Lian, namun juga mengandung penawaran kalau-kalau gadis itu masih mau menantang lagi, dan semua orang juga tahu bahwa menghadapi Suma Lian, gadis itu hanya lebih unggul sedikit. Jelas kalau melawan Suma Ceng Liong atau lain tokoh yang setingkat, ia tidak akan mampu menang.

“Seperti kukatakan tadi, aku datang mewakili Pao-beng-pai untuk membuktikan kehebatan nama besar para pendekar tiga keluarga Pulau Es, Lembah Naga, dan Gurun Pasir. Aku hanya bertanding satu kali saja, kecuali kalau kalian hendak mengeroyokku! Aku hanya ingin meninggalkan pesan bahwa Pao-beng-pai adalah perkumpulan para patriot yang tidak rela melihat tanah air dan bangsa dijajah oleh orang-orang biadab Mancu. Sebaliknya, tiga keluarga besar kalian hanya terdiri dari antek dan penjilat penjajah asing! Selamat tinggal!” Gadis itu membalikkan tubuh, dengan sikap angkuh sekali hendak memasuki jolinya, sedangkan dua belas orang laki-laki dan empat orang gadis cantik sudah siap di kanan kiri joli seperti pasukan pengawal.

Ia pun menerima kembali kebutannya dari tangan gadis pakaian kuning yang menyerahkan kebutan itu sambil memberi hormat. Sikap gadis itu tiada ubahnya seorang puteri istana, sedangkan para pengikutnya amat menghormatinya.

Sejak tadi, Tan Sian Li sudah terbakar hatinya. Kalau saja tidak ditahan ayah ibunya, sudah sejak tadi sebelum Suma Lian maju, ia sendiri sudah menerjang gadis itu. Kini, mendengar ucapan gadis itu yang dianggapnya amat menghina tiga keluarga besar, mana mungkin Sian Li mampu menahan diri? Dadanya seperti meledak rasanya, dan sebelum ayah ibunya melarangnya, ia sudah meloncat ke atas dan bagaikan seekor burung bangau merah, tubuhnya meluncur ke arah gadis depan joli itu dan mulutnya membentak garang, “Iblis betina sombong! Sambut seranganku!”

Akan tetapi gadis itu memberi isyarat dan empat orang gadis cantik yang menjadi pengawalnya itulah yang menyambut Sian Li. Mereka berempat maju bersama dan tangan mereka menyambut dorongan tangan Sian Li dari atas.

“Dukkk!” Sian Li terpaksa berjungkir balik untuk mematahkan daya dorongan tenaga empat orang yang digabung itu, dan ia pun melayang turun. Hatinya semakin panas. Gadis sombong itu menyuruh empat orang pelayan mewakilinya, seolah-olah gadis itu menganggap ia tidak cukup berharga untuk menjadi lawannya!

“Jangan mengganggu nona kami yang mulia!” kata si baju kuning yang agaknya merupakan pemimpin dari mereka berempat. Mereka sudah mengepung Sian Li dan menghadang Sian Li, melindungi nona mereka. Melihat ini, Sian Li marah bukan main.

“Minggir! Apakah kalian sudah bosan hidup?” bentak Sian Li galak.

“Sian Li, jangan membunuh orang!” Ayahnya memperingatkan.

Tiba-tiba gadis cantik di depan joli itu tertawa renyah. Suara tawanya merdu sehingga nampak aneh dan mengerikan karena suara tawa seperti itu sepatutnya dikeluarkan oleh wajah yang ramah dan periang, bukan oleh wajah yang biarpun cantik namun dingin itu.

“Heh-heh-heh, ingin kulihat apakah engkau mampu membunuh empat orang pelayanku?”

Ditantang seperti itu, Sian Li membentak, “Iblis betina, engkau boleh sekalian maju mengeroyokku, akan kurobohkan kalian semua!” Setelah berteriak demikian, Sian Li menerjang ke depan, disambut oleh empat orang gadis pelayan yang berpakaian menyolok masing-masing mewakili satu warna itu.

Setelah bergebrak, barulah Sian Li dan semua pendekar mengetahui bahwa empat orang gadis pelayan itu bukanlah pelayan biasa saja, melainkan empat orang yang telah menguasai ilmu silat tinggi dan menjadi lawan yang amat tangguh! Mereka itu, terutama sekali si baju kuning, memiliki gerakan yang cepat seperti empat ekor burung walet, dan rata-rata memiliki sin-kang yang cukup kuat.

Ternyata gadis tanpa nama wakil Pao-beng-pai itu tidak membual ketika menertawakan Sian Li. Empat orang pelayannya memang lihai bukan main. Mereka adalah gadis-gadis berbakat yang agaknya telah digembleng secara khusus. Hal ini tidaklah aneh karena mereka berempat adalah empat orang pilihan dari pasukan wanita Pao-beng-pai, mewakili empat dari tujuh kelompok warna yang ada.

Diam-diam Sian Li juga terkejut dan merasa kecelik. Tadi ia memang memandang rendah kepada empat orang pelayan itu, walaupun ia tidak berani memandang rendah kepada gadis cantik Pao-beng-pai yang tadi ia lihat sendiri mampu menandingi bibinya, Suma Lian. Kini, ia sendiri merasa repot ketika empat orang pengeroyoknya, bergerak cepat sehingga nampak mereka itu menjadi empat macam bayangan dengan warna menyilaukan mata berkelebatan di sekeliling dirinya. Mereka pun melakukan serangan bertubi-tubi secara teratur sekali, bergiliran dan setiap kali Sian Li membalas serangan mereka, kalau mereka tidak mampu mengelak, maka mereka mempersatukan tenaga untuk menangkisnya! Dengan demikian, serangan Sian Li selalu gagal dan ia pun dihujani serangan yang membuat ia cukup repot. Dan yang lebih menyakitkan hatinya, suara tawa merdu itu sering terdengar olah gadis Pao-beng-pai itu memperhatikan jalannya pertandingan dan menertawakannya!

Panaslah rasa hati Sian Li. Kalau sejak tadi ia belum mampu mendesak empat orang pengeroyoknya dan memperoleh kemenangan, hal itu adalah karena peringatan ayahnya agar ia tidak membunuh orang. Maka, ia pun menahan diri, menahan sebagian tenaganya dan tidak pula mengeluarkan semua kepandaiannya. Kini, mendengar suara tawa itu, tiba-tiba ia mengubah gerakannya dan mulai memainkan ilmu andalannya, yaitu Ang-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Merah). Tubuhnya melayang ke atas dan bagaikan seekor burung bangau, ia menyambar turun dan menyerang empat orang pengeroyoknya dengan gerakan indah, seindah gerakan burung bangau dan karena pakaiannya serba merah, maka memang tepat sekali ia dijuluki Si Bangau Merah kalau memainkan ilmu itu. Ilmu yang amat indah gerakannya ini mengandung kekuatan dahsyat dan kini empat orang pelayan wanita Pao-beng-pai itu nampak terkejut. Mereka berusaha menahan diri dengan menggabungkan tenaga, namun tetap saja mereka kalah kuat dan empat orang itu pun terpelanting seperti diserang angin badai dan mereka terbanting roboh. Mereka tidak tewas, tidak pula terluka parah, akan tetapi dari sudut bibir mereka nampak darah, tanda bahwa mereka telah menderita luka-luka dalam walaupun tidak parah. Hal ini adalah karena tadi Sian Li masih menahan tenaganya, mengingat akan pesan ayahnya tadi.

Dengan senyum mengejek kini Sian Li menghadapi gadis Pao-beng-pai dan menantangnya. “Iblis betina, sekarang engkau majulah kalau memang engkau memiliki keberanian!”

Gadis itu mendengus. “Huh, aku sudah satu kali bertanding, cukuplah. Lain kali masih banyak waktu untuk memberi hajaran kepada bocah sombong macam kamu!” Setelah berkata demikian, gadis itu memasuki joli dan memberi isyarat kepada para pengawalnya. Empat orang pemikul joli segera mengangkat joli itu dan pergi dari situ dikawal oleh delapan orang pria yang lain bersama empat orang pelayan wanita yang terluka berat setelah tadi kalah oleh Sian Li.

“Heiii, tunggu kau iblis betina!” Sian Li hendak mengejar.

“Sian Li, tahan....!” Sin Hong berseru dan gadis itu terpaksa menahan diri dan tidak jadi mengejar, membiarkan rombongan itu pergi dengan cepatnya. Karena merasa kecewa dan penasaran, ia pun menoleh untuk memandang kepada ayahnya. Semua orang juga memandang ke arah rombongan yang menjauh. Ketika ia menengok memandang ayahnya itulah Sian Li melihat wajah Suma Lian yang pucat dan agak kehijauan. Sebagai seorang ahli pengobatan, murid Yok-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Obat) pertapa di bukit Liong-san, sekali pandang saja Sian Li terkejut.

“Bibi Suma Lian, engkau keracunan....!” katanya sambil menghampiri wanita perkasa itu. Semua orang menengok dan memandang, terkejut melihat wajah Suma Lian. Akan tetapi Suma Lian tidak merasakan sesuatu.

“Celaka, ini tentu akibat adu tenaga dengan gadis tadi!” kata Suma Ceng Liong.

“Biar kukejar gadis itu untuk minta obat pemunah racunnya!” kata Gu Hong Beng yang mengkhawatirkan keadaan isterinya.

“Jangan!” cegah Suma Lian, maklum bahwa kalau ia sendiri tidak mampu menandingi gadis itu, apalagi suaminya yang tingkat kepandaiannya tidak lebih tinggi darinya.

“Harap Bibi jangan khawatir, aku dapat mengobati Bibi.” kata Sian Li setelah ia memegang nadi tangan Suma Lian. “Mari kita ke kamar, Ibu, aku minta Ibu suka membantu dan memperkuat tenaga sin-kangku.” katanya kepada ibunya, Kao Hong Li. Tiga orang wanita ini lalu memasuki rumah, masuk ke kamar.

Setelah membuka baju atasnya, Suma Lian duduk bersila di atas pembaringan dan Sian Li bersila di belakangnya, bersama ibunya. Atas petunjuk Sian Li, ibunya membantunya dengan menempelkan tangan di punggung Suma Lian, bersama anaknya mengerahkan sin-kang dan menyalurkan ke dalam tubuh Suma Lian. Setelah beberapa lama getaran tenaga ibu dan anak ini menyusup ke dalam tubuh Suma Lian melalui punggungnya, Sian Li berbisik lirih. “Bibi, gerakkan kedua lenganmu melakukan jurus Sepasang Tangan Menyangga Langit, kerahkan tenaga sin-kang keluar melalui telapak kedua tangan Bibi.”

Suma Lian yang merasa betapa hawa yang hangat dan kuat memasuki tubuhnya melalui punggung, segera mengikuti petunjuk Sian Li. Ia menggerakkan kedua lengannya dan mendorong ke atas dengan kedua telapak tangan terbuka. Ada angin pukulan yang keluar dari kedua telapak tangannya. Sampai tiga kali, atas anjuran Sian Li, ia melakukan gerakan itu dan Sian Li menghentikan penyaluran tenaganya, minta ibunya melepaskan tangannya pula.

Ketika Kao Hong Li memandang ke arah wajah Suma Lian, ia girang sekali melihat wajah itu tidak lagi pucat kehijauan, melainkan sudah kembali kemerahan. Akan tetapi sepasang alis Suma Lian berkerut karena sekarang ia merasakan sedikit kenyerian pada dadanya. Ketika ia memberitahukan ini kepada Sian Li, gadis itu tersenyum.

“Itulah bekas pengaruh hawa beracun, Bibi. Akan tetapi sekarang hawa beracun itu sudah keluar dan bahaya sudah lewat. Kalau Bibi menelan tiga butir pil ini, tentu rasa nyeri itu akan lenyap.” Sian Li mengeluarkan sebuah botol dan mengambil tiga butir pil dari dalam botol, menyerahkannya kepada Suma Lian yang tanpa ragu segera menelannya.

“Hebat, obatmu manjur sekali, Sian Li.” katanya tak lama kemudian sambil merangkul Sian Li.

“Mari kita keluar, mereka semua tentu sedang menanti dengan khawatir, Bibi.” kata Sian Li.

Semua orang bergembira melihat Suma Lian keluar dari kamar dalam keadaan sehat dan sudah sembuh. Mereka memuji ilmu pengobatan Sian Li yang manjur. Sebetulnya, hampir semua di antara mereka akan mampu menyembuhkan Suma Lian yang tidak terluka parah. Akan tetapi cara yang mereka pergunakan hanya cara seorang ahli silat, bukan cara seorang ahli pengobatan seperti Sian Li. Cara seorang ahli silat dapat dikata hanya ngawur, mengandalkan kekuatan sin-kang untuk mengusir racun dalam tubuh orang yang terluka. Hal ini bahkan kadang dapat membahayakan si penderita.

Pesta ulang tahun itu dilanjutkan, dan para tetangga yang menjadi tamu juga merasa lega bahwa gangguan rombongan gadis cantik tadi dapat diatasi. Suasana menjadi gembira kembali. Akan tetapi setelah pesta selesai dan para tamu meninggalkan tempat itu, keluarga itu sendiri masih berkumpul dan mereka membicarakan gadis wakil Pao-beng-pai yang lihai tadi.

Mereka semua merasa heran dan penasaran mengapa Pao-beng-pai, yang selama ini tidak pernah ada urusan dengan mereka, kini tiba-tiba memperlihatkan sikap memusuhi mereka.

Melihat semua anggauta tiga keluarga besar merasa penasaran, Kao Cin Liong mengangkat kedua tangan minta agar mereka semua diam. Kemudian dia berkata. “Mungkin aku dapat menerangkan mengapa Pao-beng-pai bersikap seperti itu.”

Semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian, dan Kao Cin Liong lalu menceritakan dugaannya. “Sesuai dengan namanya, Pao-beng-pai (Partai Pendukung Terang) muncul setelah Kerajaan Beng jatuh dan kekuasaan diganti oleh Kerajaan Ceng, yaitu pemerintah yang sekarang. Seperti yang kuketahui dan dengar, mula-mula Pao-beng-pai terdiri dari para patriot, orang-orang gagah yang tidak rela melihat tanah air dan bangsa dijajah oleh bangsa Mancu yang mendirikan Dinasti Ceng sekarang ini. Mereka berjuang untuk mendirikan kembali Kerajaan Beng, dan berusaha untuk memberontak dan menjatuhkan pemerintah Ceng. Pada mulanya, gerakan ini dipimpin oleh orang-oreng pandai, bekas keluarga kaisar Kerajaan Beng dan para pejabatnya. Namun, berkali-kali gerakan itu gagal dan dihancurkan oleh pasukan pemerintah Ceng yang jauh lebih kuat. Akhirnya, tidak terdengar lagi gerakan Pao-beng-pai dan dianggap bahwa partai itu telah hancur dan telah mati.”

“Akan tetapi kenapa sekarang muncul lagi Pao-beng-pai yang memusuhi kita?” tanya Suma Hui, isterinya dan semua orang mengangguk karena pertanyaan itu muncul pula dalam hati mereka.

“Aku sendiri baru tahu sekarang, akan tetapi sikap mereka itu agaknya mudah diduga. Kita semua tahu bahwa tiga keluarga kita selalu merupakan golongan yang menentang para penjahat atau golongan sesat. Kalau sekarang Pao-beng-pai memusuhi kita, padahal dahulu, ketika masih dipimpin para patriot Heng tidak, hal ini berarti bahwa sekarang Pao-beng-pai bangkit kembali dipimpin oleh golongan sesat. Dan ada kemungkinan lain melihat betapa gadis tadi memaki kita sebagai antek pemerintah penjajah Mancu, yaitu bahwa di samping memiliki pimpinan dari golongsn sesat, juga Pao-beng-pai yang sekarang masih menentang pemerintah Mancu dan mereka menganggap kita sebagai musuh, bukan hanya karena kita menentang golongan sesat, akan tetapi juga karena tak dapat disangkal lagi, keluarga kita pernah membantu pemerintah Kerajaan Ceng.” Kao Cin Liong berhenti dan menghela napas panjang.

“Akan tetapi, di antara kita sekarang tidak ada yang membantu pemerintah!” Gak Ciang Hun berseru penasaran.

“Memang benar, akan tetapi kita harus mengakui bahwa keluarga kita pernah terlibat dengan pemerintah Mancu sekarang ini. Kita tahu bahwa pendiri keluarga Pulau Es, yaitu mendiang kakek Suma Han, walaupun tidak pernah membantu pemerintah Mancu, namun beliau menikah dengan puteri Mancu sehingga keturunan beliau sekarang ini berdarah campuran dan masih dapat dikata keturunan ibu Mancu. Kenyataan ini agaknya yang membuat keluarga Pulau Es dianggap sebagai antek Mancu oleh Pao-beng-pai.”

Mereka yang merasa sebagai keturunan keluarga Pulau Es, saling pandang dan tidak dapat membantah kenyataan itu, walaupun dalam hati mereka merasa penasaran. Biarpun nenek mereka seorang puteri Mancu, namun mereka tidak pernah membantu pemerintah penjajah Mancu!

“Sekarang tentang keluarga Gurun Pasir,” kata pula Kao Cin Liong melanjutkan. “Memang keluarga Gurun Pasir tidak ada pula yang membantu Kerajaan Ceng sekarang ini, akan tetapi dahulu, ketika aku masih muda, aku pernah menjadi seorang panglima Kerajaan Mancu. Hal yang membuat aku sampai kini merasa menyesal walaupun tugasku dahulu meredakan pemberontakan di daerah perbatasan yang dilakukan oleh suku-suku bangsa lain. Akan tetapi, kemudian aku menyadari tidak baiknya pekerjaanku itu dan aku mengundurkan diri. Semenjak itu, tidak ada lagi keturunan kita yang bekerja pada pemerintah Mancu. Tentu saja kita selalu menentang golongan sesat, dan mungkin sekali inilah yang menyebabkan Pao-beng-pai memusuhi kita.”

“Pendapat paman Kao Cin Liong memang masuk di akal,” kini Cu Kun Tek berkata. Pendekar yang tinggi besar dan gagah ini dahulu berwatak keras sekali, akan tetapi sekarang, setelah dia menjadi suami Pouw Li Sian dan usianya juga sudah empat puluh lima tahun, dia bersikap tenang. “Akan tetapi mengapa pula Pao-beng-pai tadi menyinggung keluarga kami?”

Kao Cin Liong memandang kepada pendekar dari Lembah Naga Siluman itu lalu berkata. “Keluarga Lembah Naga Siluman memang tidak pernah ada yang membantu pemerintah Ceng, akan tetapi anggauta keluarga ini memiliki kaitan dan hubungan yang erat melalui pernikahan dan perguruan dengan keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir, juga selain itu, para anggauta keluarga Lembah Naga Siluman juga selalu menentang golongan sesat. Tidak mengherankan kalau dimasukkan dalam daftar musuh oleh Pao-beng-pai.”

“Kalau begitu, Pao-beng-pai hanyalah perkumpulan penjahat yang memakai kedok perjuangan, seperti halnya Pek-lian-kauw dan lain-lain!” kata Kao Hong Li.

Ayahnya menghela napas panjang. “Ini baru dugaan saja, belum ada buktinya. Melihat gadis tadi, ia seperti bukan seorang penjahat, akan tetapi jelas bahwa ilmu silatnya lihai dan ia tentu murid orang-orang yang pandai, yang agaknya sedikit banyak telah meneliti keadaan ilmu keluarga kita semua.”

Demikianlah, para pendekar itu ramai membicarakan Pao-beng-pai yang berani mati membikin kacau pesta mereka. Para pendekar yang muda merasa penasaran, akan tetapi mereka yang lebih tua bersikap tenang, bahkan menasihati yang muda agar tidak tergesa mengambil tindakan.

“Sebaiknya kalau kita bersikap waspada saja dan tidak mengambil tindakan sendiri-sendiri,” kata Sim Houw yang selalu bersikap tenang itu. “Bagaimanapun juga, kalau Pao-beng-pai melakukan gerakan memusuhi pemerintah Ceng hal itu bukan urusan kita. Kalau kita memusuhi mereka, dapat saja mereka menuduh bahwa kita benar-benar membela pemerintah. Hal ini tentu akan mendatangkan heboh di dunia persilatan. Sudah untung tadi tidak terjadi hal yang lebih hebat dan kita sudah mampu memperlihatkan bahwa kita tidak boleh dibuat permainan oleh mereka. Kalau mereka tetap memusuhi kita, tentu saja harus kita hadapi. Akan tetapi kalau mereka tidak lagi memusuhi kita, kita lupakan saja apa yang tadi terjadi dan menganggap itu hanya ulah kesombongan seorang gadis Pao-beng-pai yang tidak tahu diri.”

Para tokoh tua membenarkan pendapat Sim Houw. Akan tetapi isterinya, Can Bi Lan, mengerutkan alisnya dan ia pun mengeluarkan pendapatnya. “Aku melihat dari sikap gadis tadi bahwa ia amat membenci keluarga kita. Hal ini kurasakan amat janggal. Biarpun ia bersikap sombong, hal itu kurasa karena kebenciannya kepada kita. Akan tetapi ia tidak seperti golongan sesat pada umumnya, bahkan sepak terjangnya teratur dan para anak buahnya demikian sopan dan hormat kepadanya seolah ia seorang puteri kerajaan saja. Karena kebenciannya yang meluap itulah kukira ia sengaja mendatangi pesta ini. Melihat tingkat kepandaiannya yang sudah cukup tinggi, tidak mungkin ia begitu tolol untuk menantang kita selagi semua anggauta keluarga kita berkumpul. Tentu keberaniannya terdorong kebencian yang amat besar.”

“Atau mungkin juga ia sengaja diutus oleh Pao-beng-pai untuk melakukan penyelidikan sampai di mana kekuatan kita.” kata Kam Hi Eng, isteri Suma Ceng Liong.

Demikianlah, para anggauta tiga keluarga besar itu sampai jauh malam membicarakan gadis Pao-beng-pai itu, menduga-duga dan merasa heran karena peristiwa itu memang amat aneh dan mencurigakan. Kalau ada pihak golongan sesat datang memusuhi seorang dua orang di antara mereka, hal itu tidaklah aneh karena memang mereka selalu menentang kejahatan. Akan tetapi, seorang gadis muda berani mendatangi dan menantang seluruh anggauta tiga keluarga besar selagi mereka berkumpul, sungguh ini hanya dapat dilakukan oleh seorang gila yang tentu saja tidak lagi mengenal apa artinya takut. Dan gadis itu bersikap demikian tenangnya! Gadis itu merasa yakin bahwa orang-orang gagah dari ketiga keluarga itu sudah pasti tidak akan mengeroyoknya, dan agaknya kunjungannya itu telah direncanakan dengan perhitungan yang masak. Memang, andaikata yang menghadapi gadis tadi Suma Ceng Liong atau Sim Houw, atau Tan Sin Hong, tiga orang tokoh yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu gadis itu tidak akan menang, akan tetapi siapapun di antara tiga orang pendekar ini sudah pasti pula tidak akan mau melukai apalagi membunuh seorang gadia muda yang menjadi lawan mereka. Hal ini agaknya sudah diperhitungkan oleh gadis Pao-beng-pai itu maka ia berani menantang sedemikian nekatnya.

Sampai jauh malam baru para anggauta tiga keluarga besar itu beristirahat di kamar masing-masing yang sudah dipersiapkan oleh Suma Ceng Liong dan isterinya.

Pada keesokan harinya, terjadi lagi keributan di rumah yang penuh dengan tamu yang bermalam di situ. Keributan itu terjadi ketika Kao Hong Li mencari puterinya ke sana sini dan bertanya-tanya dengan wajah khawatir apakah ada di antara para anggauta keluarga yang melihat gadis itu. Namun, tak seorang pun melihatnya dan Kao Hong Li menjatuhkan diri dengan lemas di atas kursi, wajahnya muram dan khawatir sekali. Tan Sin Hong menghiburnya.

“Sudahlah, anak kita bukan lagi anak kecil yang perlu diasuh. Ia sudah dewasa, dan ia pun sudah memiliki ilmu kepandaian yang cukup untuk menjaga diri sendiri.”

“Tapi anak kita belum berpengalaman dan kalau ia ceroboh dan kurang waspada, dapat terancam bahaya.” Isterinya membantah.

Semua anggauta kini berkumpul dan bertanya-tanya apa yang telah terjadi.

Kao Hong Li menghela napas dan memperlihatkan sehelai surat kepada kakek Kao Cin Liong. “Lihat Ayah, cucumu telah pergi, meninggalkan surat ini. Bagaimana baiknya? Hatiku merasa gelisah sekali, apalagi mengingat akan peristiwa yang baru kemarin terjadi.”

Dengan tenang Kao Cin Liong menerima surat cucunya itu, lalu membacanya dengan suara cukup keras agar terdengar oleh semua anggauta keluarga yang mendengarkan. Dalam suratnya itu dengan singkat Sian Li memberi tahu kepada ayah dan ibunya bahwa ia pergi untuk membantu Yo Han dalam usahanya mencari Sim Hui Eng, puteri dari Sim Houw dan Can Bi Lan yang hilang sejak kecil itu. Juga ia ingin melakukan penyelidikan terhadap Pao-beng-pai. “Harap Ayah dan Ibu jangan khawatir, aku akan bersikap waspada dan hati-hati.” demikian ia mengakhiri suratnya.

“Aih, anak itu, kenapa demikian nekat!” seru Can Bi Lan. “Biarpun kami berterima kasih sekali kepada Sian Li akan tetapi ke mana ia akan mencari anak kami? Kami berdua sendiri pun sudah hampir putus harapan karena bertahun-tahun mencari tak pernah berhasil!”

“Memang sejak kecil anak kami itu keras hati dan keras kepala!” kata Kao Hong Li. “Bagaimanapun juga, ia masih belum matang benar biarpun kepandaiannya sudah lumayan. Bagaimana ia akan mampu menghadapi kecurangan dan kelicikan orang-orang di dunia kang-ouw, terutama golongan sesat?”

Mendengar ucapan keponakannya ini, Suma Ceng Liong tertawa. “Ha-ha-ha, Hong Li, kenapa engkau begitu memandang ringan puterimu sendiri? Ingat, ia adalah Si Bangau Merah Tan Sian Li! Kurasa benar ucapan suamimu bahwa ia sudah cukup mampu untuk menjaga diri sendiri dan tentang pengalaman, lupakah engkau ketika ia pergi ke Bhutan mengikuti pamanmu Suma Ciang Bun dan bibimu Gangga Dewi? Tenangkanlah hatimu, dan biarkan puterimu meluaskan pengalaman dan menambah pengetahuan.”

Gangga Dewi mengangguk-angguk dan dengan lembut wanita keturunan puteri Bhutan ini berkata. “Benar apa yang dikatakan adik Suma Ceng Liong, Sian Li telah memiliki kemampuan besar untuk menjaga diri. Biarpun ia keras hati, namun ia tidak ceroboh, ia cukup waspada dan pula ia juga cerdik.” Mendengar ini, Suma Ciang Bun mengangguk-angguk membenarkan.

Setelah para tokoh tua dalam keluarga itu menghibur dan menenangkan hati Kao Hong Li, tiba-tiba terdengar suara lantang dari Gak Ciang Hun. “Ibu, apakah ibu mengijinkan kalau aku pergi mencari dan membantu adik Sian Li untuk mencari adik Sim Hui Eng yang hilang dan menyelidiki Pao-beng-pai?”

Semua orang merasa heran mendengar ini dan mereka semua menoleh kepada ibu dan anak itu. Mendengar pertanyaan puteranya yang tiba-tiba itu wajah Nyonya Gak atau Souw Hui Lian menjadi kemerahan. Ia tahu benar apa yang berada dalam hati puteranya, maka ia pun mengangguk dan menjawab singkat. “Engkau sudah dewasa, aku tidak berhak lagi melarangmu melakukan apa saja asal apa yang kaulakukan itu baik dan benar, Ciang Hun.”

Pemuda itu kelihatan girang bukan main dan cepat dia memberi hormat kepada ibunya. “Terima kasih, Ibu. Kalau begitu, aku akan pergi sekarang juga. Para Locianpwe, para Paman dan Bibi, saya mohon diri!” Tanpa menanti jawaban lagi, pemuda itu lalu melangkah keluar dari rumah itu dengan cepat setelah dia menyambar sebuah buntalan yang ternyata sudah dia persiapkan sejak dia mendengar akan kepergian Sian Li pagi tadi!

Tan Sin Hong dan Kao Hong Li saling pandang. Mereka berdua adalah orang-orang berpengalaman, maka tanpa diberi penjelasan sekalipun, peristiwa tadi dapat mereka terka apa artinya. Mereka dapat menduga bahwa Gak Ciang Hun agaknya jatuh cinta kepada puteri mereka. Bukan karena mereka tidak setuju karena Gak Ciang Hun juga merupakan seorang pendekar gagah perkasa keturunan Beng-san Siang-eng yang merupakan anak murid keluarga Pulau Es pula. Akan tetapi mereka sudah mengambil keputusan untuk menjodohkan puteri tunggal mereka dengan Pangeran Cia Sun. Maka, dengan lirih Kao Hong Li berkata. “Sian Li sebetulnya tidak boleh pergi sekarang karena kami bertiga sedang bermaksud pergi ke kota raja, untuk meresmikan pertunangan anak itu dengan Pangeran Cia Sun.”

“Pangeran....?” Kao Cin Liong memandang puterinya dengan alis berkerut. “Engkau akan bermenantukan seorang pangeran? Kenapa engkau tidak pernah memberitahu kami?” Tentu saja kakek ini merasa terkejut, karena baru saja mereka semua dimaki sebagai antek-antek Kerajaan Mancu. Mereka semua menyangkal karena memang mereka tidak lagi bekerja untuk Kerajaan Mancu, dan sekarang, puterinya menyatakan bahwa ia hendak bermenantukan seorang pangeran Mancu!

Tentu saja Tan Sin Hong dan isterinya tahu apa yang dipikirkan kakek itu. Sin Hong cepat membantu isterinya. “Ayah, kami memang belum memberitahu karena hal itu belum resmi. Kami pernah bertemu dan berkenalan dengan Pangeran Cia Yan dan dalam pertemuan itulah kami saling mufakat untuk menjodohkan kedua orang anak itu. Sebetulnya, dari sini kami bertiga hendak berkunjung ke kota raja untuk mengukuhkan itu.”

“Tapi....tapi kenapa seorang pangeran....?” Kao Cin Liong berkata lirih. Dia tentu saja tahu siapa Pangeran Cia Yan. Yaitu putera angkat Kaisar Kian Liong, maka dengan sendirinya Pangeran Cia Sun adalah cucu kaisar!

Mendengar ini, Kao Hong Li yang menjawab ayahnya. “Kalau seorang pangeran kenapa, Ayah? Kami tidak melihat kedudukannya, melainkan melihat manusianya. Pangeran Cia Yan adalah seorang pangeran yang baik, dan kami sudah melihat dan menyelidiki keadaan Pangeran Cia Sun. Dia seorang pemuda yang gagah dan tampan, juga ahli sastra dan ahli silat, sehingga cocok untuk menjadi suami Sian Li.”

Kao Cin Liong menghela napas panjang dan tidak mampu menjawab lagi. Terlalu menentang perjodohan cucunya dengan seorang pangeran Mancu, hanya akan membuka kenyataan pahit bahwa keluarga Pulau Es sendiri adalah keturunan Mancu dari pihak ibu! Dia tidak menentang orang Mancu, tidak menentang manusianya, hanya merasa tidak enak karena justeru orang Mancu yang kini menjajah tanah air dan bangsanya.

Semantara itu, tentu saja diam-dian, Nyonya Gakmengeluh. Ia tahu bahwa puteranya jatuh cinta kepada Sian Li dan tentu saja mengharapkan gadis baju merah itu menjadi isterinya, dan kini ia sendiri mendengar dari orang tua gadis itu bahwa Sian Li akan dijodohkan dengan seorang pangeran! Ia pun hanya menyerah dan hatinya merasa yakin bahwa perjodohan berada di tangan Tuhan! Kalau memang anakku berjodoh dengan Si Bangau Merah, apa pun rintangannya, kelak pasti akan dapat menjadi suami isteri juga.

Selama beberapa hari, berangsur-angsur para anggauta keluarga meninggalkan rumah Suma Ceng Liong dan akhirnya, di rumah itu hanya tinggal Suma Ceng Liong berdua isterinya, Kam Bi Eng. Suami isteri yang sudah mulai tua ini duduk termenung seperti patung, dan merasa kehilangan sekali. Baru saja rumah mereka demikian cerah meriah dengan adanya para anggauta keluarga, dan kini rumah itu menjadi kosong dan sunyi. Makin sedih hati mereka ketika mereka teringat kepada Liem Sian Lun, murid mereka yang telah tewas ketika pemuda itu melakukan perjalanan bersama Sian Li ke Bhutan. Murid mereka itu, menurut keterangan Sian Li, tewas ketika dua orang muda itu terlibat dalan urusan pemberontakan yang terjadi di daerah Tibet dan Sian Lun terbunuh oleh para pemberontak. Tentu saja suami isteri ini sama sekali tidak tahu, sama sekali tidak pernah menduga bahwa murid mereka tersayang itu sebetulnya telah melakukan penyelewengan sehingga tewas akibat ulah sendiri. Sian Li tidak menceritakan tentang penyelewengan Sian Lun itu atas bujukan Yo Han yang menjaga agar suami isteri ini tidak merasa menyesal.

“Kita harus mengambil seorang murid lagi!” tiba-tiba Suma Ceng Liong berkata kepada isterinya.

“Ah, ke mana kita harus mencari? Tidak banyak terdapat anak yang berbakat, bertulang dan berdarah baik, juga berwatak baik. Juga, sebaiknya murid itu kita didik sejak masih kecil, seperti Sian Lun.” Kam Bi Eng tiba-tiba menjadi sedih ketika teringat kepada Sian Lun.

“Kita harus mencari,” kata suaminya. “Telah puluhan tahun kita mempelajari ilmu sehingga dapat menguasai beberapa macam ilmu silat. Kini kita sudah semakin tua. Apakah semua ilmu yang kita pelajari dengan susah payah ini akan kita bawa ke liang kubur? Sayang sekali! Kita harus mewariskan kepada seorang murid yang pantas.”

“Hemmm, kurasa kata-katamu itu kurang tepat. Bukankah kita berdua sudah menurunkan ilmu-ilmu kita kepada Suma Lian, bahkan juga kepada Si Bangau Merah Tan Sian Li? Sayang sekali anak kita itu sampai sekarang tidak mempunyai keturunan, kalau ada, tidak akan susah-susah kita mencari murid. Cucu-cucu kita sendiri akan kita warisi ilmu-ilmu kita.”

“Benar, akan tetapi baik Suma Lian maupun Sian Li, keduanya bukan hanya menerima ilmu-ilmu dari kita. Mereka juga mempunyai guru-guru lain. Aku ingin seorang murid yang hanya menguasai ilmu-ilmu kita berdua, dan aku ingin menggabung ilmu-ilmu silat kita agar kelak dapat diteruskan dan dikembangkan oleh seorang murid yang berbakat.” Pendekar itu menarik napas panjang.

Isterinya tersenyum. “Baiklah, aku setuju saja dan kita perlahan-lahan mencari seorang murid. Akan tetapi kita harus waspada dalam memilih, karena sekali kita salah pilih dan mengajarkan ilmu-ilmu kita kepada seorang murid yang kelak menjadi seorang penjahat, maka nama kita akan ternoda selamanya.”

Suaminya mengangguk-angguk. “Kita berdua akan mencari, kalau perlu kita merantau ke mana saja sampai menemukan seorang murid yang cocok. Bagaimana pendapatmu?”

Isterinya memandang dengan wajah berseri. “Setuju! Sudah terlalu lama kita kesepian di sini, melakukan perantauan akan menyegarkan semangat. Kita kunjungi keluarga, juga sahabat-sahabat lama, sekalian mendengarkan berita tentang Pao-beng-pai.”

***

Lembah bagian barat dari Kui-san (Gunung Setan) merupakan lembah yang amat liar dan sukar dikunjungi orang biasa. Lembah ini selain mempunyai banyak hutan liar yang dihuni binatang-binatang buas, juga terkenal banyak ularnya yang berbisa dan terdapat pula penjahat-penjahat yang berbahaya karena para penjahat yang menjadi buronan pemerintah maupun buronan para pendekar, kalau sudah memasuki lembah ini lalu lenyap dan sukar ditangkap. Di lembah itu terdapat jurang-jurang yang curam dan berbahaya, juga terdapat rawa-rawa yang berbisa, bahkan di beberapa tempat terdapat lumpur maut, yaitu rawa berlumpur yang dapat menyedot siapa saja yang terjatuh ke dalamnya. Sekali kaki terperosok ke dalam lumpur maut ini, jangan harap akan dapat selamat kalau tidak tertolong orang lain yang menariknya keluar. Kalau malam tiba, tempat di sekitar lembah itu gelap dan menyeramkan, terdengar suara-suara aneh seolah-olah laksana iblis berpesta pora di situ. Karena ini, maka lembah ini disebut Ban-kwi-kok (Lembah Selaksa Racun)!

Akan tetapi, kalau ada orang yang memiliki kepandaian, kemampuan dan keberanian sedemikian tingginya sehingga berani dan mampu memasuki lembah, dia akan ternganga keheranan kalau melihat di bagian paling dalam dari lembah itu. Di dataran yang tinggi dan terkepung hutan-hutan liar sehingga tidak nampak dari luar, terdapat bagian tanah yang amat indah dan subur. Tempat ini diatur secara rapi oleh tangan-tangan ahli. Petak rumput hijau segar dan bersih diseling rumpun bunga-bunga yang beraneka warna. Pohon-pohon buah yang lebat dengan buahnya. Petak rumput itu luas sekali dan di sebelah sana nampak berdiri sebuah bangunan yang anggun dan megah. Orang yang berhasil memasuki lembah sampai di tempat itu tentu akan merasa seperti dalam mimpi. Bangunan itu pantasnya berada di kota raja, milik pangeran atau pembesar tinggi. Selain megah dan besar, juga gedung itu terawat baik, nampak bersih. Halaman depan gedung itu pun bersih dan terawat baik.

Ada sesuatu yang aneh pada gedung itu, keanehan yang mengerikan. Yaitu, gedung yang jelas terawat baik dan megah itu seperti rumah hantu saja, sunyi melengang tidak nampak seorang pun manusianya, tidak pula terdengar kesibukan atau suara apa pun dari sana. Seperti rumah kosong saja, padahal melihat perawatannya, tidak mungkin rumah gedung itu kosong. Untuk merawat dari petak rumput, halaman, taman dan gedung itu saja setiap hari dibutuhkan tenaga belasan orang!

Pagi hari itu cuaca amatlah cerahnya. Hawa udara juga hangat oleh matahari pagi dan sejuk oleh bersilirnya angin gunung yang membawa keharuman bunga-bunga yang sedang mekar, daun-daun dan rumput hijau. Ada pula keharuman tanah yang baru digali atau dicangkul, yang datang dari belakang gedung di mana terdapat sebuah kebun yang subur. Matahari mulai naik di sebelah timur, dan hawa udara menjadi semakin hangat, cuaca semakin cerah, namun masih saja tempat itu sunyi lengang.

Di lereng sebelah bawah, tak jauh dari situ, tiba-tiba saja burung-burung yang berada di sebuah hutan, beterbangan sambil mengeluarkan bunyi seperti ketakutan. Juga suara monyet-monyet di pohon-pohon besar cecowetan sambil berloncatan dari dahan ke dahan dengan kacau menunjukkan bahwa mereka juga ketakutan. Semak-semak bergerak, terdengar bunyi ranting kering patah terinjak, daun-daun kering tersaruk kaki dan ternyata yang membuat burung-burung dan kera ketakutan itu adalah tiga orang laki-laki yang mencari jalan di hutan itu. Seorang yang berjalan paling depan memegang sebatang golok dan dengan benda tajam ini dia membabati semak belukar yang menghadang jalan. Memang hutan itu liar dan tidak nampak adanya lorong atau jalan setapak sekalipun karena memang tidak pernah ada manusia berani lewat di situ. Terlalu besar bahayanya. Karena itulah, maka tiga orang ini terpaksa harus membuka jalan baru. Beberapa kali mereka itu menemui jalan buntu. Akan tetapi, ternyata mereka bukanlah orang-orang lemah. Baru kenyataan bahwa mereka bertiga berani memasuki daerah Lembah Selaksa Setan saja sudah membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang yang berkepandaian dan kuat.

Ketika mereka berhasil membabat rumpun alang-alang yang lebat dan tinggi, mereka tiba di tempat yang membuat mereka saling pandang dan terheran-heran, juga penasaran. Dari rumpun belukar yang bekas dibabat, mereka mengenal tempat itu, tempat yang tadi pernah mereka lewati. Kiranya perjalanan mereka hanya berkeliaran di hutan itu, berputar-putar dan tidak pernah dapat keluar dari hutan!

“Hemmm, kita tersesat jalan!” kata orang terdepan yang memegang golok. “Tadi pun kita sudah lewat di sini.”

“Sudah tiga kali kita kembali ke tempat yang pernah kita lewati. Kapan kita akan dapat keluar dari hutan keparat ini?” orang kedua mengomel.

“Jelas bahwa hutan ini bukan hanya hutan liar, akan tetapi memang agaknya sudah diatur sehingga merupakan semacam jebakan. Kita harus berhati-hati,” kata orang pertama yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam.

“Kita adalah tamu-tamu yang diundang, bagaimana mereka berani menghina kita dengan membuat jebakan dalam hutan ini?” orang ke dua bertanya penasaran. Dia bertubuh pendek gendut dan agaknya sudah kepayahan melakukan perjalanan jauh dan sukar itu. Perutnya yang gendut merupakan beban yang amat berat baginya.

“Kalian tenang dan bersabarah,” kata orang ke tiga yang tinggi kurus bermuka kuning. “Kita sendiri yang bersalah, kita tergesa-gesa memasuki daerah ini tanpa menanti datangnya penjemput. Karena kelancangan kita itu maka pihak tuan rumah sengaja membiarkan kita berkeliaran dan tersesat di sini.”

Tiga orang itu berhenti melangkah, kebingungan. Mereka adalah tiga orang yang berusia kurang lebih lima puluh tahun dan melihat dandanan mereka, mudah diduga bahwa mereka adalah golongan orang-orang kang-ouw, petualang-petualang yang hidup berlandaskan kekerasaan dan mengandalkan tebalnya kulit kerasnya tulang dan lihainya ilmu silat.

“Hemmm, seperti apa sih kehebatan orang-orang Pao-beng-pai, maka berani memandang rendah kita?” si muka hitam mengomel lagi.

“Ssttt, Ji-te (Adik ke Dua), jangan ribut,” cela orang pertama yang kurus tinggi bermuka kuning dan berkumis kecil berjuntai ke bawah. “Kita adalah tamu dan karena kita telah mencari jalan sendiri, kita harus dapat menemukan sarang mereka. Biar aku menyelidiki lagi dari atas pohon.” Dia lalu meloncat ke atas, menangkap dahan pohon paling bawah dan dengan cekatan seperti seekor monyet dia berloncatan dari dahan ke dahan, makin tinggi di pohon besar itu. Dia melihat-lihat dari atas pohon dan tiba-tiba dia berteriak.

“Ahhh, bukan main....! Betapa megahnya sarang mereka....! Itu, di sana sarang mereka, besar dan megah sekali!”

Si muka hitam dan si gendut yang berada di bawah, tertarik dan mereka pun cepat memanjat pohon itu dan dari atas pohon, mereka melihat gedung yang besar dan megah itu. Tidak jauh lagi nampaknya dari situ, sebuah bangunan besar yang nampaknya sunyi saja, tidak nampak ada orang di sana.

“Mari kita cepat ke sana, aku sudah haus dan lelah sekali!” kata si gendut yang segera menyerosot turun dari pohon. Mereka lalu melangkah lagi, membabat rumpun semak belukar menuju ke arah di mana tadi mereka melihat gedung itu berada. Ketika akhirnya semak belukar terakhir mereka babat, tiba-tiba di depan mereka nampak hamparan rumput dan melihat ini, si gendut girang sekali.

“Wah, sekarang baru enak jalannya!” katanya dan dia pun hendak lari ke depan, akan tetapi baru saja kakinya menginjak hamparan rumput, kaki itu terjeblos ke bawah, diikuti kaki ke dua dan dia pun sudah terperosok ke dalam lumpur tertutup rumput sampai sepinggang dalamnya! Si gendut terbelalak kaget dan ketakutan, apalagi merasa betapa tubuhnya tersedot dari bawah, makin dalam masuk ke dalam lumpur.

“Tolooonggg...., Twako..... Ji-ko, tolong....!” Dia berkaok seperti seekor babi disembelih, matanya melotot penuh kengerian, mukanya pucat sekali. Melihat ini, si muka hitam terkejut dan cepat dia berjongkok di tepi kubangan lumpur tertutup rumput itu dan menjulurkan lengan kanannya. Dalam keadaan penuh ketakutan itu, si gendut menyambar tangan kakak seperguruan atau kakak segerombolan itu dan menangkap tangan, memegangi dengan kedua tangannya lalu dia pun menarik sekuatnya dengan maksud untuk menarik tubuhnya keluar dari dalam lumpur.

Akan tetapi, terjadilah hal yang mengejutkan hati mereka ketika si muka hitam yang tinggi besar itu berteriak karena dia terbetot dan tak dapat dielakkannya lagi, dia pun terjatuh ke dalam lumpur di sebelah si gendut! Kiranya, tenaga tarikan si gendut ditambah dengan tenaga sedotan lumpur itu terlalu kuat bagi si muka hitam yang hanya berjongkok, yang mengira bahwa dengan mudah dia akan mampu menarik saudaranya itu keluar dari kubangan lumpur.

“Tolong.... Twako (Kakak Tertua) tolong....!” kini si muka hitam juga berteriak-teriak ketakutan karena tubuhnya yang berat ditambah rontaannya membuat tubuhnya cepat sekali amblas sampai ke pinggang! Adapun si gendut sudah terbenam sampai ke dada.

Melihat ulah kedua orang saudaranya, si kumis tipis yang bertubuh tinggi kurus itu mengerutkan alisnya. Dia mendongkol dan kecewa sekali. Mereka bertiga di dunia kang-ouw berjuluk Tiat-liong Sam-heng-te (Tiga Kakak Beradik Naga Besi), akan tetapi kedua orang adiknya yang sudah berpengalaman itu kini berulah seperti kakak-kanak yang masih hijau dan bodoh!

“Tenang, jangan bergerak kalau kalian tidak ingin mampus!” bentaknya mendongkol. Mendengar bentakan kakak mereka, kedua orang itu sadar dan mereka pun kini berdiam diri, sama sekali tidak bergerak sehingga tubuh mereka tidak cepat-cepat terbenam semakin dalam dan mereka melintangkan kedua lengan dengan tangan terbuka sehingga kedua lengan dan tangan yang dibuka jari-jarinya itu sedikit banyak dapat melawan sedotan lumpur dan menahan tubuh mereka tidak cepat-cepat terbenam. Sementara itu, orang pertama dari Tiat-liong Sam-heng-te segera mencari sepotong dahan pohon yang cukup panjang dan kuat, mengikat ujung kayu itu dengan sabuknya yang kuat dan panjang, melibatkan ujung ikat pinggang itu kepada sebatang pohon yang besar, lalu dia melemparkan dahan itu ke dekat kedua orang adiknya yang menyambutnya dengan girang sekali. Kini kedua orang itu menarik tubuh mereka sambil berpegang kepada dahan kayu, dibantu si kumis tipis, dan biarpun dengan susah payah melawan sedotan lumpur, akhirnya mereka berdua berhasil juga keluar dari kubangan lumpur dan rebah menelungkup di atas tanah di tepi kubangan, terengah-engah dan ketika mereka berdua saling pandang, mereka tertawa bergerak saking gembira dan lega hati mereka, juga karena lucu melihat betapa mereka kini menjadi seperti setan lumpur.

“Kalian sungguh ceroboh dan kurang hati-hati, juga bersikap demikian penakut sehingga kehilangan ketenangan.” Sang kakak mengomel.

“Aih, maafkan kami, Twako. Menghadapi lawan manusia, kami tidak akan gentar, akan tetapi siapa orangnya tidak akan merasa ngeri menghadapi sedotan lumpur itu? Membuat kita merasa tak berdaya seperti boneka dan melihat kematian merayap begitu dekat dan berangsur-angsur, perlahan-lahan tapi pasti. Hihhh, masih ngeri kalau kukenangkan kembali!” kata si gendut.

“Hemmm, kubangan lumpur ini memang berbahaya sekali, Twako. Jebakan ini sungguh licik dan kejam bukan main. Huhhh!” kata si muka hitam.

“Sudahlah, mari kita lanjutkan perjalanan. Dari atas tadi, gedung itu terletak di sana. Akan tetapi, biar aku yang berjalan di depan untuk menjaga kalau-kalau ada jebakan lain.” kata si kumis tipis dan kini dia pun berjalan di muka sebagai pemimpin, sedangkan dua orang adiknya yang masih terbungkus lumpur itu mengikuti dari belakang.

Memang tidak terdapat jebakan berbahaya lagi, akan tetapi kembali mereka terpaksa berhenti melangkah karena mereka tiba di tepi jurang yang dalamnya tak dapat dilihat atau diukur! Jurang itu demikian curam sehingga dasarnya tidak nampak, tertutup rumput alang-alang yang tebal. Membayangkan diri terguling jatuh ke dalam jurang itu cukup membuat bulu tengkuk meremang. Mereka mencari-cari jalan lain. Akan tetapi sama sekali tidak ada! Perjalanan mereka sama sekali mati, terputus oleh jurang yang curam itu. Kalau hendak mengunakan kepandaian melompati jurang pun tidak mungkin, karena jurang itu lebar sekali dan untuk dapat mencapai tepi di seberang, hanya dapat dilakukan kalau mereka bersayap dan dapat terbang. Membelok ke kiri atau ke kanan, berarti memasuki hutan lagi dan mereka menyimpang dari arah di mana gedung itu berada! Jalan buntu.

“Jahanam! Kita diundang hanya untuk dipermainkan!” si gendut mengomel dan mengepal tangan. Dia merasa tidak enak sekali karena kini lumpur yang menempel di tubuhnya mulai mengering dan tubuh terasa kaku dan gatal-gatal.

“Keparat memang, kalau tahu begini, aku tidak sudi datang!” kata pria si muka hitam dan tiba-tiba dia menampar lehernya. Darah muncrat ketika seekor lintah yang gemuk terguncet pecah. Kiranya seekor lintah menempel dan menghisap darah di lehernya tanpa dirasakannya! Dia bergidik dan menyumpah-nyumpah, ditertawakan si gendut yang merasa lucu. Memang penderitaan sendiri terasa ringan tiba-tiba kalau si penderita melihat orang lain lebih menderita darinya. Sebaliknya, keuntungan sendiri nampak tiba-tiba menjadi kecil tak berarti kalau yang untung itu melihat orang lain mendapat keuntungan yang lebih besar darinya. Demikian sifat dan watak seseorang yang dikuasai nafsu, dicengkeram perasaan iri dan dengki.

Kembali si tinggi kurus berkumis tipis mengerutkan alisnya dan menegur kedua orang adiknya yang kasar. “Jangan sembarangan bicara kalian! Kita berada di daerah kekuasaan Pao-beng-pai!” Lalu dia memandang ke seberang sana, memasang kedua tangan seperti corong di kanan kiri mulutnya, kemudian mengerahkan khi-kang dan berteriak lantang.

“Saudara pimpinan Pao-beng-pai! Kami tiga saudara Tiat-liong Sam-heng-te sudah tiba di sini memenuhi undangan Pao-beng-pai! Kami mohon penunjuk jalan!”

Suara itu lantang dan bergema karena diteriakkan oleh si kumis tipis dengan pengerahan khi-kang, dan gemanya terdengar dari sekeliling tempat itu.

“Tiat-liong Sam-heng-te, aku sudah berada di sini untuk menjadi penunjuk jalan.” tiba-tiba terdengar suara lembut dan mereka bertiga terkejut sekali karena ketika mereka menengok ke arah suara di belakang mereka, ternyata di situ telah berdiri seorang wanita cantik! Munculnya wanita ini seperti setan saja, sama sekali tidak mereka lihat atau dengar, tahu-tahu telah di situ, tersenyum manis. Wanita ini masih muda, paling banyak dua puluh lima tahun usianya, berpakaian serba putih dan wajahnya demikian cantik sehingga muncul di tempat seperti itu, sepatutnya ia seorang siluman, bukan manusia!

Si gendut pendek tercengang, lalu dia tersenyum menyeringai memperlihatkan giginya yang juga pendek-pendek besar seperti perutnya, dan berkata. “Nona manis, engkau ini bidadari, siluman ataukah manusia?”

Si tinggi kurus memandang marah kepada adiknya, akan tetapi gadis berpakaian putih itu tersenyum ramah. “Aku adalah manusia biasa, aku seorang di antara perajurit Pao-beng-pai yang diutus untuk menjemput Sam-wi (Anda Bertiga).”

“Bukan main!” kata si muka hitam yang tadi terpesona dan baru sekarang dapat mengeluarkan suara. “Apakah semua perajurit Pao-beng-pai cantik-cantik jelita seperti engkau ini, Nona!”

Gadis itu menggeleng kepala. “Nanti engkau akan melihatnya sendiri, harap Sam-wi suka mengikuti aku.”

“Nanti dulu!” teriak si gendut. “Bagaimana aku dapat bertemu dengan mereka kalau badan dan pakaianku kotor seperti ini!”

Bersambung ke buku 2