Si Tangan Sakti -7 | Kho Ping Hoo
Si Tangan Sakti -7 | Kho Ping Hoo
“Nona, sebaiknya engkau menyerah dan kami hadapkan kepada pangcu daripada tubuhmu yang mulus itu halus lecet-lecet dan mungkin terluka.”
Sinar mata Hui Eng mencorong marah. “Aku? Menyerah kepada kalian? Makanlah ini!” Pedangnya menyambar ganas. Dua orang anggauta Thian-li-pang yang memimpin rombongan itu merupakan murid yang sudah agak tinggi tingkatnya. Mereka terkejut melihat berkelebatnya sinar pedang yang menyambar, akan tetapi mereka masih dapat melempar tubuh ke belakang sehingga terhindar dari maut. Para anggauta Thian-li-pang sudah mengepung ketat dan menggerakkan senjata mereka mengeroyok gadis itu.
“Tar-tar-tarrr....!!” Sinar merah menyambar-nyambar dan bulu-bulu kebutan yang halus itu merobohkan empat orang pengeroyok. Hui Eng mengamuk. Pedang dan kebutannya menyambar-nyambar menjadi dua gulungan sinar putih dan merah, dan dalam waktu belasan jurus saja sudah ada belasan orang anggauta Thian-li-pang roboh!
“Semua mundur!” terdengar bentakan dan muncullah Siangkoan Kok! Datuk ini dengan muka merah karena marah menghadapi bekas puterinya, juga muridnya yang tadinya amat disayangnya. “Eng Eng, cepat menyerah!”
Akan tetapi Hui Eng memandang kepada orang yang dahulu dianggap guru dan ayahnya itu dengan mata mencorong. “Kenapa aku harus menyerah kepadamu? Aku tidak sudi!”
Siangkoan Kok melotot. “Eng Eng, lupakah engkau bahwa aku adalah gurumu, juga pernah menjadi ayahmu yang menyayangmu?”
“Aku tidak lupa, semuanya aku tidak lupa, juga betapa engkau dengan kejam hampir membunuhku, dan engkau membunuh pula sumoi Tio Sui Lan, membunuh pula isterimu yang pernah menjadi ibuku. Aku tidak lupa dan sekaranglah saatnya aku membalaskan semua itu!” Setelah berkata demikian, dengan nekat Hui Eng sudah menerjang maju menyerang datuk yang pernah menjadi guru dan ayahnya itu.
“Keparat, kalau begitu engkau tidak layak dikasihani!” bentaknya dan Siangkoan Kok menangkis, lalu balas menyerang. Guru dan murid itu segera saling serang dengan dahsyat dan terjadilah pertandingan yang amat seru karena keduanya menyerang untuk membunuh.
Melawan bekas gurunya sendiri itu saja Hui Eng sudah kewalahan, karena betapapun juga, semua ilmunya ia dapatkan dari Siargkoan Kok, sehingga semua gerakannya telah diketahui datuk itu. Biarpun ia mengenal pula gerakan lawan, akan tetapi ia kalah pengalaman dan ilmunya kalah matang. Apalagi kini muncul dua orang tosu dari Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai yang tanpa banyak cakap sudah maju membantu Siangkoan Kok. Hui Eng terdesak hebat dan ia hanya mampu memutar pedang dan kebutannya untuk menangkis saja, tidak mendapat kesempatan lagi untuk membalas serangan tiga orang lawannya.
Melihat kedua orang tosu yang membantunya itu menyerang dengan sungguh-sungguh, timbul kekhawatiran di hati Siangkoan Kok bahwa gadis itu akan roboh dan tewas, atau akan terluka berat. Hal ini tidak dikehendaki oleh Ouw-pangcu, juga dia sendiri tidak ingin melihat bekas murid dan puterinya itu tewas. Dia masih sayang kepada Eng Eng, bahkan kini, setelah gadis itu bukan lagi puterinya, timbul keinginan di hatinya untuk menarik gadis itu sebagai pengganti isterinya. Dia masih sayang kepada Eng Eng dan rasa sayang sebagai guru dan ayah itu dapat dialihkan menjadi kasih sayang seorang pria terhadap seorang wanita yang menjadi isterinya.
“Jangan lukai atau bunuh gadis ini. Kita tangkap hidup-hidup sesuai perintah pangcu!” kata Siangkoan Kok dan mendengar seruan ini, kedua orang tusu lalu mengubah gerakan mereka, tidak lagi menyerang dengan pedang mereka, melainkan menggunakan pedang untuk menangkis dan menyerang dengan totokan tangan kiri untuk merobohkan gadis itu tanpa membunuhnya.
Setelah melakukan perlawanan mati-matian, akhirnya Hui Eng terkena totokan dan roboh terkulai lemas! Siangkoan Kok cepat menelikungnya dan membawanya ke dalam, lalu memasukkannya ke dalam sebuah kamar tahanan yang terbuat dari besi. “Jaga baik-baik dan jangan sampai ia lolos!” pesannya kepada beberapa orang Thian-li-pang yang melakukan penjagaan. “Akan tetapi, siapa yang berani mengganggunya akan dihukum berat!”
Siangkoan Kok, Im Yang-ji dan Kui Thian-cu lalu meninggalkan tempat tahanan itu karena mereka sudah mendengar berita bahwa kini Ouw-pangcu sedang berusaha untuk menawan Si Bangau Merah.
Seperti juga Hui Eng, Sian Li melakukan penyelidikan melalui samping, perkampungan Thian-li-pang. Ia pun meloncati pagar dan sama sekali tidak mendapatkan perlawanan karena di balik pagar tembok itu tidak nampak seorang pun anggauta Thian-li-pang. Akan tetapi, tidak mudah untuk menjebak Si Bangau Merah. Ia cukup waspada dan melihat keadaan yang sepi itu, ia pun mgklum bahwa agaknya pihak musuh telah mengetahui akan kedatangannya dan sengaja mengosongkan tempat itu untuk memasang perangkap.
Dengan gin-kangnya yang sudah mencapai tingkat tinggi, Sian Li berkelebat dan menyelinap ke dalam sebuah taman kecil dan dari sini ia pun meloncat ke atas benteng dan bersembunyi di balik wuwungan. Gerakannya demikian cepatnya sehingga para anggauta Thian-li-pang yang mengawasinya kehilangan jejaknya. Bahkan Ouw Seng Bu yang diam-diam juga mengamatinya dari dalam, menjadi terkejut dan bingung karena Si Bangau Merah itu tidak nampak lagi.
Dari balik wuwungan, Sian Li mengintai ke bawah dan ia tersenyum mengejek ketika melihat beberapa orang anak buah Thian-li-pang mulai bermunculan dari tempat persembunyian mereka. Seperti telah diduganya, orang-orang Thian-li-pang telah mengetahui akan kedatangannya dan sengaja bersembunyi untuk membiarkan ia masuk ke dalam jebakan mereka. Akan tetapi karena ia lenyap bersembunyi di wuwungan, mereka mulai menjadi bingung dan ada yang keluar mencari-cari.
Sian Li mengambil jalan memutar dan melihat seorang anggauta Thian-li-pang mencari ke arah belakang dengan pedang di tangan dan orang itu melongok-longok, ia lalu bergerak mendekati dari atas. Setelah cukup dekat, Sian Li menggerakkan tangan kanannya dan sepotong genteng yang ia patahkan dari ujung wuwungan menyambar dan tepat mengenai tengkuk orang itu. Dia mengeluh, pedangnya terlepas dan roboh terkulai, pingsan.
Sian Li menanti beberapa lamanya. Setelah yakin tidak ada orang melihat penyerangnya itu, ia melayang turun dan menarik lengan orang yang tak mampu bergerak itu ke dalam sebuah ruangan kosong, dan ia menutupkan daun pintu ruangan itu.
Anggauta Thian-li-pang itu terkejut bukan main ketika totokannya punah dan dia siuman, dia melihat gadis berpakaian merah itu menodongkan pedang tajam yang menggigit kulit lehernya. Pedangnya sendiri!
“Kalau engkau tidak mengaku terus terang, pedang ini akan menembus tenggorokanmu!” Sian Li mendesis dan mata orang itu terbelalak, mukanya berubah pucat, apalagi ketika dia merasa perihnya kulit leher di mana ujung pedangnya sendiri menempel.
“Saya....saya mengaku terus terang....” katanya lirih.
“Hayo katakan di mana Sin-ciang Taihiap Yo Han? Jangan bohong!”
Orang itu semakin ketakutan. “Dia.... dia.... di tempat.... tahanan....”
Berdebar rasa hati Sian Li karena lega. Seperti telah diduganya. Ouw Seng Bu membohonginya. “Di mana tempat itu? Hayo antar aku ke sana!”
“Saya....saya tidak berani.... ahhh...!” Pedang itu menusuk, masuk ke kulit lehernya sampai setengah senti, mendatangkan rasa nyeri dan ketakutan hebat. Sedikit saja nona baju merah itu menusukkan pedang itu, tentu lehernya akan tembus dan matilah dia.
“Baik.... baik....” katanya.
Sian Li menarik pedangnya. “Hayo jalan dulu, awas, kalau engkau memberi tanda atau berteriak, akan kucincang tubuhmu.”
Dengan tubuh gemetar ketakutan, anak buah Thian-li-pang itu membawa Sian Li menyelinap melalui lorong kecil. Setiap kali melihat ada anak buah Thian-li-pang lainnya, orang itu ditarik oleh Sian Li untuk bersembunyi dan pedangnya menodong punggungnya. Akhirnya, setelah melalui jalan berliku-liku, orang itu membawa Sian Li memasuki ruangan bagian belakang. Bangunan di situ cukup besar dan mereka memasuki gang dan tiba di depan pintu sebuah kamar yang terbuat dari besi dan ada jerujinya yang kokoh kuat. Pintu kamar itu dipasangi rantai yang dikunci.
“Dia.... dia di sana....” Orang itu menuding ke dalam kamar tahanan itu. Sian Li menggerakkan tangan kirinya dan orang itu terkulai lemas, tak mampu bergerak lagi karena tertotok. Sian Li menghampiri jeruji pintu kamar itu dan melihat ke dalam. Jantungnya berdebar.
“Han-koko....!” Ia berseru, akan tetapi lirih karena tidak ingin membuat gaduh. Ia melihat Yo Han duduk bersila, membelakangi pintu. Ia memang tidak melihat wajah orang itu, akan tetapi perawakannya membuat ia mengenal pemuda itu, apalagi anak buah Thian-li-pang tadi mengatakan bahwa Yo Han ditawan di kamar itu.
“Han-koko....!” Ia memanggil lagi, akan tetapi orang yang bersila membelakanginya itu tidak menjawab, tidak bergerak. Agaknya Yo Han terluka parah dan sedang menghimpun hawa murni, maka tidak dapat menjawabnya, pikir Sian Li. Ia melihat betapa Yo Han menarik napas panjang dan menahan napas itu sampai lama.
Ah, Yo Han tentu terjebak musuh dan menderita luka, maka dapat tertawan, pikir Sian Li. Sekaranglah saatnya membebaskannya, karena kalau sampai Ouw Seng Bu dan sekutunya muncul, tidak akan mudah baginya untuk membebaskan kekasih hatinya itu.
“Han-koko, jangan khawatir, aku akan menolongmu!” katanya. Ia memperhitungkan bahwa kalau kamar tahanan itu dipasangi jebakan, tentu Yo Han akan memperingatkannya.
Sian Li mengeluarkan sulingnya. Suling itu hanya disaput emas, akan tetapi sebetulnya di sebelah dalamnya terbuat dari baja pilihan yang amat kuat. Ia mengerahkan tenaganya, tenaga gabungan Im-yang-sin-kang dari keluarga Pulau Es seperti yang ia pelajari dari Suma Ceng Liong, memutar sulingnya dengan ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) dan sinar emas menyambar ke arah lantai yang membelenggu daun pintu kamar tahanan itu.
“Tranggg.... trakkk!” Rantai itu patah dan Sian Li mendorong daun pintu kamar tahanan itu sehingga terbuka. Dengan cepat, namun hati-hati dan tidak kehilangan kewaspadaan, ia pun memasuki kamar tahanan itu. Pada saat itu terdengar suara gaduh di luar dan ketika ia menengok, nampak banyak anak buah Thian-li-pang memasuki rumah tahanan itu. Hemmm, ia telah ketahuan musuh, pikirnya. Ia harus cepat membebaskan Yo Han.
“Han-koko, mari kita pergi....” Ia menahan kata-katanya dan terbelalak ketika orang yang tadinya bersila membelakanginya itu meloncat ke depan, membalikkan tubuhnya dan ia berhadapan dengan Ouw Seng Bu! Kiranya, ketua Thian-li-pang itu yang tadi duduk bersila membelakanginya. Memang perawakan ketua baru ini mirip dengan perawakan Yo Han, dan agaknya sang ketua ini sengaja menyamar sehingga rambut yang dikucir bergantung dan melingkar leher itu pun sama, juga pakaiannya.
“Ha-ha-ha, Bangau Merah! Sudah kukatakan bahwa Yo Han telah berkhianat, dan dia telah mati di dalam sumur tua, dan engkau masih juga tidak percaya? Sekarang, lebih baik engkau menyerah dan membantu kami berjuang melawan penjajah, sesuai dengan nama besar keluargamu sebagai pendekar-pendekar yang gagah perkasa.”
“Keparat Ouw Seng Bu! Engkau tentu telah menjebak Han-koko! Sekarang aku harus membalas dendam kepadamu!” Setelah berkata demikian, Sian Li memutar suling dan menerjang maju. Akan tetapi, Ouw Seng Bu menghindar dengan loncatan ke kiri.
“Ha-ha-ha, engkau sudah terkepung dan masih bicara besar? Lihat di luar kamar ini anak buahku telah menghadang dan mengepung. Engkau tidak akan dapat lolos, Tan San Li. Melawan pun tidak ada gunanya karena kalau Yo Han saja tidak mampu menandingi aku, apa lagi engkau.”
“Jahanam busuk sombong!” Sian Li berteriak dan ia pun menyerang lagi dengan dahsyat. Diam-diam Ouw Seng Bu terkejut karena serangan Si Bangau Merah itu memang dahsyat dan kuat bukan main. Sulingnya berubah menjadi sinar emas yang mengeluarkan suara melengking-lengking aneh. Dia melompat ke tepi kamar, tangannya menekan tombol di dinding dan di dinding di belakangnya terbuka. Dia melompat masuk.
“Pengecut, hendak lari ke mana kau?” bentak Sian Li yang mengejar cepat. Ia pun ,meloncat masuk ke dalam kamar lain di mana Ouw Seng Bu sudah menunggu sambil tersenyum mengejek. Pemuda itu menggerak-gerakkan kedua lengan tangannya secara aneh dan terdengar bunyi tulang-tulangnya berkerotokan! Dia telah menghimpun tenaga dari ilmunya yang sesat, yaitu Bu-kek Hoat-keng yang salah latih. Dan kini wajahnya berubah, masih tampan, akan tetapi senyumnya yang tadinya ramah dan manis itu berubah menjadi wajah menyeringai yang amat menyeramkan, sadis dan dingin, matanya liar dan suara tawanya seperti setan tertawa. Ketika Sian Li melihat keadaan Ouw Seng Bu seperti itu, ia pun tahu bahwa pemuda ini adalah seorang yang tidak waras, atau miring otaknya! Ia tidak tahu bahwa keadaah itu merupakan akibat dari ilmu Bu-kek Hoat-keng yang salah latihan.
“Iblis gila!” bentaknya dan ia mengerang lagi dengan Sulingnya. Kamar yang ini berbeda dengan kamar tahanan di depan tadi. Dinding yang tadi terbuka menembus ke kamar tahanan kini sudah menutup kembali dengan sendirinya dan kamar ini lebih luas. Hantaman sulingnya ke arah kepala pemuda itu meloncat ke samping dan ketika suling itu mengejar dengan sambaran ke samping, dia menangkis dengan tangan kirinya.
“Takkk....!” Dua tenaga dahsyat bertemu dan akibatnya tubuh Sian Li terdorong ke belakang sampai tiga langkah. Gadis itu terkejut bukan main. Sulingnya yang ditangkis tadi tergetar hebat dan ada tenaga aneh yang amat dingin menyusup melalui suling dan tangannya dan tenaga itu amat kuat sehingga dia terdorong dan terhuyung. Baiknya ia masih mengerahkan. tenaga sin-kang untuk menolak pengaruh hawa dingin aneh itu.
“Ha-ha-heh-heh-heh!” Ouw Seng Bu terkekeh menyeramkan dan membusungkan dadanya. “Si Bangau Merah, engkau tidak akan menang melawan aku. Ilmuku yang amat hebat ini tidak dapat ditandingi siapapun juga dan sebentar lagi aku akan menjadi jagoan nomor satu di dunia, mengusai dunia kang-ouw, bahkan setelah menjatuhkan pemerintah penjajah Mancu, akulah yang layak dan pantas menjadi kaisar. Ha-ha-ha!”
“Gila, dia gila akan tetapi memiliki ilmu yang ajaib,” pikir Sian Li. Ia harus dapat merobohkan orang ini, kalau tidak, ia tentu akan celaka. Baru orang ini saja sudah demikian hebat, kalau para sekutunya datang mengeroyok, ia tahu bahwa ia tidak akan mampu menandingi mereka.
Sian Li mengeluarkan pekik melengking dan kini ia memutar suling emasnya, memainkan ilmu pedangnya yang paling ampuh, yaitu Ang-ho Sin-kun (Silat Bangau Merah) yang ia pelajari dari ayahnya, Pendekar Sakti Bangau Putih.
Sulingnya berubah menjadi sinar emas bergulung-gulung menyilaukan mata, dan tubuhnya juga lenyap berubah menjadi bayangan merah yang berkelebatan terbungkus sinar emas. Dari gulungan sinar emas itu mencuat sinar yang menyerang ke arah Ouw Seng Bu.
Akan tetapi sambil terkekeh-kekeh aneh, Ouw Seng Bu berdiri tegak dan kedua tangannya membuat gerakan-gerakan aneh, kadang diputar seperti baling-baling, dan dari kedua tangan itu menyambar hawa dahsyat yang membuat semua serangan Sian Li tertolak kembali, mental sebelum mengenai tubuh lawan! Ketika Ouw Seng Bu melangkah maju mendekat, hawa pukulan kedua tangannya semakin kuat sehingga kini gulungan sinar emas itu makin menyempit, tanda bahwa Si Bangau Merah terdesak oleh tenaga aneh itu.
Pada saat itu terdengar suara wanita, “Bu-ko, jangan bunuh atau lukai ia!”
Mendengar teriakan itu, Ouw Seng Bu terkekeh. “Heh-heh-heh, tidak, tidak, sayang, jangan khawatir!” Setelah berkata demikian, tiba-tiba dia meloncat ke belakang dan berlari keluar dari ruangan itu melalui sebuah lorong yang lebarnya sekitar dua meter dan panjang.
“Jangan lari!” bentak Sian Li yang mengejar. Terdengar suara keras dan jorong itu sudah tertutup dari depan dan belakang oleh pintu rahasia. Sian Li terkejut, merasa terjebak dalam lorong yang tertutup, akan tetapi karena Ouw Seng Bu masih berada di situ bersamanya, ia tidak takut dan memutar suling lebih cepat untuk menjaga agar orang itu tidak melarikan diri melalui sebuah pintu rahasia.
“Heh-heh-heh, engkau takkan dapat lolos, Bangau Merah!” kata Ouw Seng Bu. Tiba-tiba dari lantai lorong itu keluar asap kemerahan memenuhi lorong. Sian Li mencium bau harum menyengat dan tahulah ia bahwa asap itu mengandung racun pembius! Akan tetapi, tidak ada jalan keluar dan jalan satu-satunya hanya menyerang mati-matian pada lawan yang masih tertawa-tawa walaupun asap merah makin menebal. Gadis perkasa yang cerdik ini menyesal akan kebodohannya sendiri. Tentu saja, pikirnya. Ouw Seng Bu telah memakai obat penawar! Asap sudah terpaksa disedotnya ketika ia bernapas.
“Keparat keji, pengecut, curang....!” Ia menyerang lagi akan tetapi kepalanya terasa pening, pandang matanya berkunang dan ia pun roboh terkulai pingsan.
Ketika siuman kembali, Sian Li mendapatkan dirinya rebah di atas sebuahdipan. Ia melihat betapa kaki tangannya diikat rantai baja panjang. Cepat ia turun dari pembaringan itu dan mengerahkan tenaga sin-kang untuk mematahkan rantai kaki tangannya.
“Jangan, Sian Li. Jangan patahkan, rantai. kaki tanganmu.” terdengar suaraorang. Ia menengok dan melihat Hui Eng juga berada di kamar itu. Juga gadis ini dirantai kaki tangannya, dengan rantai panjang yang membuat ia mampu bergerak ke sana sini, mampu mempergunakan tangan kakinya akan tetapi rantai itu tidak sampai pintu kamar tahanan yang beruji.
“Ah, kiranya engkau pun sudah tertawan. Bagaimana dengan pang.... “ Sian Li teringat. Mereka berada di tangan pemberontak Thian-li-pang, sungguh berbahaya kalau mereka mengetahui bahwa Cia Sun adalah pangeran Mancu. “Di mana Sun-toako?”
“Entah, kami berpencar, bukan? Aku dikepung dan dikeroyok, tertangkap.”
“Tapi kenapa engkau melarang aku mematahkan rantai ini! Kurasa engkau pun akan mampu mematahkan rantai kaki tanganmu.”
“Agaknya aku akan mampu mematahkan rantai ini, akan tetapi apa gunanya? Mereka jelas tidak ingin membunuh kita, dan rantai ini bagaimanapun juga masih memberi kebebasan bergerak kepada kita. Dengan mematahkannya, belum berarti kita bebas. Kamar ini kokoh kuat dan terjaga kuat, juga mereka dapat mempergunakan perangkap untuk menangkap kita kembali. Kalau sampai mereka menggantikan rantai ini dengan belenggu yang membuat kita tidak mampu bergerak leluasa, bukankah hal itu lebih menyiksa? Kita harus tenang dan sabar, tidak menuruti kemarahan.”
Sian Li mengangguk membenarkan. “Mereka itu lihai, dan orang she Ouw itu agaknya miring otaknya. Dia itu gila, akan tetapi mempunyai ilmu seperti iblis sendiri. Belum pernah selama hidupku bertemu dengan lawan setangguh dengan ilmu seaneh itu.”
“Aku.... aku mengkhawatirkan pangeran....” kata Hui Eng lirih.
“Agaknya dia tidak seperti kita, tidak tertangkap. Mudah-mudah saja begitu karena kalau dia masih bebas, berarti kita masih mempunyai harapan akan dapat tertolong. Aku sekarang mengerti bahwa anggauta Thian-li-pang yang kutangkap tadi sengaja dipasang sebagai umpan perangkap. Mereka itu lihai dan licik sekali. Aku sekarang sungguh mencemaskan keadaan Han-koko.”
Mereka terdiam karena mendengar langkah kaki yang ringan menghampiri dari luar kamar tahanan. Muncullah Cu Kim Giok, gadis manis dengan mata indah, akan tetapi kini wajahnya agak muram dan matanya mengadung penyesalan.
“Hemmm, engkau sungguh tidak tahu malu masih berati muncul di depan kami!” Sian Li langsung menyambut dengan ucapan keras. “Ingin aku melihat wajah Paman Cu Kun Tek dan Bibi Pouw Li Sian yang gagah perkasa kalau melihat puterinya seperti ini, membantu orang-orang jahat!”
Cu Kim Giok memandang sedih. “Aihhh, tak kusangka akan begini jadinya. Sungguh, aku bersumpah, Sian Li, aku bukan orang yang membela orang jahat. Semua ini hanya salah sangka dari pihakmu saja. Aku berani tanggung bahwa Ouw Seng Bu adalah seorang yang gagah perkasa, seorang pendekar berjiwa pahlawan. Dia mau mengorbankan apa saja dengan perjuangan membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah. Salahkah aku kalau aku membantu perjuangan yang suci? Engkau terlalu berprasangka dan menganggap buruk. Tentang kematian Pendekar Tangan Sakti Yo Han, sungguh bukan kesalahan Ouw-toako. Aku sendiri menjadi saksi. Yo Han yang berusaha membunuhnya seperti yang telah dilakukan kepada para pimpinan Thian-li-pang, dan Ouw-koko hanya membela diri. Kalau Yo Han tidak tergelincir ke dalam sumur, dan tidak ditimbuni batu, tentu Ouw-koko yang tewas di tangannya. Percayalah Ouw-koko adalah seorang yang baik, seorang pendekar yang....”
“Gila! Ya, dia seorang yang miring otaknya, Kim Giok. Tidak tahukah engkau akan hal itu atau pura-pura tidak tahu? Cu Kim Giok, katakan kepada iblis gila Ouw Seng Bu itu bahwa kalau benar Han-koko tewas di tangannya, aku Tan Sian Li akan menggerakkan seluruh keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir untuk membalas dendam! Aku tidak akan berhenti berusaha sampai aku dapat memenggal lehernya dan membawa kepalanya dan hatinya untuk sembahyang kepada Han-koko!” Berkata demikian, karena membayangkan kematian Yo Han, kedua mata Sian Li menjadi basah dan suaranya gemetar, walaupun mengandung ancaman yang membuat Kim Giok merasa ngeri.
“Sian Li, engkau rela mengorankan apa pun untuk membela Yo Han, karena engkau menganggap dia benar dan mencintanya. Apakah aku tidak boleh membela orang yang kuanggap benar dan yang kucinta?” Dengan muka penuh kesedihan Kim Giok meninggalkan tempat itu dengan cepat dan kedua orang gadis perkasa itu masih sempat mendengar isak tangis yang dibawa lari gadis dari Lembah Naga Siluman itu.
“Sungguh aneh! Ia mencinta Ouw Seng Bu....!” kata Sian Li lirih.
“Ih, kenapa hal itu kauanggap aneh, Sian Li?” tanya Hui Eng, tersenyum.
“Akan tetapi Ouw Seng Bu itu orang gila! Iblis gila!”
Hui Eng tertawa geli dan Sian Li memandang heran. Memang nampak aneh dan lucu melihat gadis itu tertawa-tawa geli, padahal mereka berada dalam tawanan musuh dengan kaki tangan dipasangi rantai! Sungguh merupakan keadaan yang patut mendatangkan tangis, bukan tawa geli! Ini saja sudah membuktikan betapa tabah hati Sim Hui Eng, menghadapi keadaan yang gawat. Dan hal ini membesarkan pula hati Sian Li. Mempunyai seorang kawan sependeritaan setabah ini memang membesarkan hati.
“Hemmm, apa yang perlu ditertawakan? Apanya yang lucu?” tanya Sian Li.
“Engkau yang lucu,” kata Hui Eng. “Kenapa engkau seperti orang kebakaran jenggot melihat gadis itu mencinta Ouw Seng Bu?”
“Hushhh! Mana aku berjenggot?” cela Sian Li akan tetapi kini ia pun tertawa geli.
“Sian Li, cinta membuat orang yang kita cinta nampak selalu benar selalu baik, selalu menarik, sebaliknya benci membuat orang yang kita benci nampak selalu salah, selalu buruk, selalu menyebalkan. Buktinya, engkau ditunangkan dengan pangeran Cia Sun, engkau malah memilih Yo Han. Dan pangeran memilih aku, padahal ketika itu aku masih puteri ketua Pao-beng-pai yang memberontak terhadap kerajaan keluarganya. Dan aku pun memilih dia, padahal aku selalu tidak suka kepada penjajah Mancu, dan aku yakin, Yo Han juga tidak akan suka memilih lain gadis kecuali engkau. Nah, apa anehnya kalau sekarang gadis itu mencinta Ouw Seng dan menganggap dia selalu baik dan benar?”
Sian Li termenung. Kebenaran ucapan Hui Eng meresap ke dalam hatinya. Memang apa yang dikatakan Hui Eng patut direnungkan. Kita semua selalu mengambil kesimpulan, mempunyai pendapat tentang sesuatu berdasarkan penilaian kita, dan kita menentukan sesuatu sebagai baik atau buruk. Kita lupa bahwa sesuatu itu tidak ada yang abadi, tidak ada yang tetap dan selalu akan berubah-ubah. Kita tidak mungkin dapat menentukan seseorang itu baik atau buruk, karena si orang yang kita nilai itu sudah pasti akan mengalami perubahan, dan perubahan ini akan mendatangkan kesan berbeda-beda bagi kita, ada kalanya kita anggap baik dan ada kalanya pula kita anggap buruk. Orang yang hari ini kita anggap sebaik-baiknya orang, mungkin pada suatu saat kelak akan kita anggap seburuk-buruknya orang, demikian sebaliknya. Mengapa demikian? Pertama, karena tidak ada apa atau siapapun di dunia ini yang tidak mengalami perubahan. Dan kedua, karena pendapat tentang sesuatu berdasarkan penilaian, dan setiap penilaian, diakui atau pun tidak, disadari maupun tidak, selalu berdasarkan kepentingan si-aku, si penilaian. Penilaian muncul di mana ada pertimbangan untung rugi, disenangkan atau tidak disenangkan. Kalau seseorang atau sesuatu benda itu menguntungkan dan menyenangkan, bagaimana mungkin kita menilainya jelek dan jahat? Sebaliknya, kalau seseorang atau sesuatu itu merugikan dan tidak menyenangkan, sudah pasti kita menilainya tidak baik, tidak mungkin kita menilainya bagus atau baik.
Biarpun orang sedunia mengatakan bahwa seorang yang baik dan patut dipuji, akan tetapi kalau memusuhi kita, merugikan dan tidak menyenangkan kita, mungkinkah kita menilainya sebagai seorang yang baik dan patut dipuji? Sebaliknya, andaikata orang sedunia mencaci sebagai seorang yang jahat dan patut dikutuk, akan tetapi kalau baik terhadap kita, menguntungkan dan menyenangkan kita, dapatkah kita mengutuknya dan menilainya sebagai seorang yang jahat? Bahkan seorang kekasih yang dicinta setengah mati pun, dicinta karena dia menyenangkan kita, dipuja karena menguntungkan perasaan kita. Seandainya pada suatu hari dia itu melakukan sesuatu yang merugikan kita, tidak menyenangkan kita misalnya menipu kita, menyeleweng dengan orang lain, tidak mau melayani kita sebagai kekasih, dapatkah kita tetap menilainya baik dan mencintanya? Biasanya, cinta itu berubah menjadi benci! Mengapa? Karena benci itu merupakan akibat penilaian yang buruk terhadap seseorang! Kalau menyenangkan, dinilai baik dan dicinta, kalau sekali waktu tidak menyenangkan, dinilai buruk dan dibenci! Hujan tinggal tetap hujan, air yang jatuh dari atas, akan tetapi kalau hujan itu merupakan kita seperti banjir, menghalangi kesenangan, kita akan menganggapnya buruk dan mengomel. Kalau hujan itu datang dan kita anggap menyenangkan dan menguntungkan, seperti para petani yang mengharapkan datangnya air untuk sawah ladang mereka, maka kita akan menilainya baik dan hati kita senang, mulut tidak lagi mengomel dan cemberut, melainkan tertawa-tawa dan bersyukur! Demikianlah panggung sandiwara dalam kehidupan ini, lebih lucu dan konyol daripada panggung para pelawak. Kita dipermainkan nafsu yartg sudah menyusup ke dalam diri kita lahir batin, dan karena nafsu selalu mengejar kesenangan, maka timbullah suka duka dan penilaian baik buruk, persahabatan permusuhan dan segala macam kebalikan-kebalikan yang mendatangkan konflik lahir batin pula.
Dapatkah kita hidup tanpa menilai dan menerima kenyataan apa adanya? Apapun yang terjadi dan menimpa kehidupan kita merupakan suatu kenyataan hidup yang patut kita hadapi dengan segala kewaspadaan dan kesadaran bahwa segala sesuatu terjadi karena kehendak Tuhan! Tuhan Maha Pencipta. Seluruh isi alam maya pada ini adalah milik Sang Maha Pencipta, jadi Dialah yang menentukan segala. Kewajiban kita hanyalah berusaha, berikhtiar untuk mempertahankan hidup ini yang berarti membantu kodrat Tuhan yang telah menghidupkan kita, dan mengisi kehidupan ini agar hidup kita bermanfaat bagi diri sendiri, bagi kaluarga dan bagi lingkungan. Bermanfaat berarti tidak merusak. Dengan dengan pasrah, dengan menyerahkan kepada Tuhan yang mencipyakan kita, menyerah penuh keiklasan dan ketawakalan, barulah mungkin bagi kita untuk menerima segala yang terjadi dengan penuh kesadaran, dengan keyakinan bahwa segala sesuatu, pada akhirnya ditentukan oleh kekuasaannya.
“Aku mengerti sekarang, enci Eng, dan aku merasa kasihan kepada Kim Giok. Aku hampir yakin bahwa ia telah terbujuk, bahwa Ouw Seng Bu itu seorang yang tidak waras, orang gila yang teramat cerdik dan licik, juga memiliki ilmu silat yang aneh dan berbahaya sekali.”
“Kita lihat perkembangannya, adik Sian Li. Kita harus bersabar dan melihat apa yang akan mereka lakukan terhadap kita. Aku yakin mereka akan menghubungi kita, mungkin melalui Cu Kim Giok tadi. Tidak perlu kita bergerak dengan sia-sia, sebaiknya menanti datangnya kesempatan baru kita mematahkan rantai ini dan mencoba untuk lolos.”
Sian Li mengangguk, diam-diam merasa lega dan girang karena mempunyai teman seperti ini boleh diandalkan.
***
Gak Ciang Hun dan Gan Bi Kim tiba di kaki Bukit Naga. Terdapat sebuah kuil tua kosong di kaki bukit sebelah itu dan karena hari menjelang senja, mereka mengambil keputusan untuk melewatkan malam di kuil tua itu. Tadi mereka telah membeli bekal makanan dari dusun terakhir.
Di luar kuil tua yang tidak digunakan lagi itu, mereka berhenti dan terkejut melihat ada seorang tosu duduk bersila di bagian depan kuil. Ciang Hun yang sudah berpengalaman, tidak berani lancang dan dia menghampiri tosu itu. Bi Kim mengikutinya dari belakang, siap menghadapi, segala kemungkinan karena tahu bahwa mereka telah berada di daerah Bukit Naga.
“Harap Totiang memaafkan kami berdua. Karena kemalaman di perjalanan kami ingin melewatkan malam di kuil tua ini, kalau saja tidak mengganggu Totiang.”
“Siancai, silakan, Kongcu dan Siocia. kata pendeta itu dengan sikap acuh. Pada saat kedua orang muda itu hendak melangkah masuk, dari dalam keluar empat orang tosu lainnya dan tentu saja, hal ini membuat Ciang Hun terkejut.
“Ah, maafkap kami, Cu-wi To-tiang. Kiranya kuil ini sekarang menjadi tempat tinggal To-tiang sekalian?”
Tosu tertua yang tadi duduk bersila di luar berkata lembut, “Sama sekali bukan, Kongcu. Kami berlima juga sedang berteduh dan melewatkan malam di sini. Kuil ini kosong dan tidak dipergunakan lagi.”
“Ah, kalau begitu kebetulan dan terima kasih To-tiang.” Ciang Hun dan Bi Kim lalu membersihkan lantai di sudut ruangan depan karena ternyata hanya ruangan depan itu saja yang masih agak utuh dan bersih, sedangkan ruangan tengah dan belakang kuil itu sudah rusak dan kotor.
Lima orang tosu itu duduk bersila, dan dua orang muda di sudut itu lalu menyalakan lilin yang tadi mereka beli sehingga ruangan itu tidak menjadi gelap lagi. Malam tiba dan hawa udara amat dinginnya. Dua orang di antara para tosu itu lalu membuat api unggun dari kayu-kayu yang agaknya telah mereka cari dan kumpulkan siang tadi. Keadaan menjadi semakin terang oleh cahaya api unggun dan ada kehangatan di situ.
Bi Kim mengeluarkan buntalan makanan yang mereka beli tadi, dan dengan ramah dan hormat Ciang Hun dan Bi Kim menawarkan makanan kepada lima orang tosu itu.
“Cu-wi To-tiang mari silakan Cu-wi To-tiang makan malam bersama kami, kita makan seadanya, To-tiang.” kata Bi Kim.
“Silakan, To-tiang, kami akan gembira sekali untuk menjamu Cu-wi dengan makanan kami yang sederhana.” kata pula Ciang Hun.
“Siancai, Ji-wi adalah dua orang muda yang ramah dan baik. Terima kasih, Kongcu dan Siocia, kami tadi sudah makan dan tidak merasa lapar. Silakan Ji-wi makan, harap jangan sungkan-sungkan.” kata tosu tertua.
Karena maklum bahwa mereka berdua menghadapi perjalanan yang mungkin sukar dan membutuhkan banyak pengerahan tenaga, maka dua orang muda itu tidak sungkan-sungkan lagi dan mulai makan bak-pao dan dendeng yang tadi mereka beli sebagai bekal. Setelah mereka selesai makan, membersihkan mulut dan tangan dengan air yang mereka bawa, mereka diundang duduk dekat api unggun oleh para tosu. Dengan gembira dua orang muda itu duduk mengelilingi api unggun bersama lima orang pendeta itu.“Kalau pinto (saya) tidak salah lihat, Ji-wi bukanlah dua orang muda biasa, melainkan dua orang muda yang memiliki kepandaian silat. Bolehkah pinto mengetahui nama Ji-wi dan apa keperluan Ji-wi mendatangi daerah yang berbahaya ini?”
Karena yakin bahwa lima orang pendeta ini adalah orang-orang beribadat yang baik, maka Ciang Hun tidak merasa perlu untuk menyembunyikan keadaan mereka. “To-tiang, saya bernama Gak Ciang Hun dan nona ini adalah Gan Bi Kim. Kami berdua melakukan perjalanan ke sini untuk mencari seorang sahabat kami yang jejaknya menuju ke bukit ini.”
Tiba-tiba Gan Bi Kim berkata, “Mungkin sekali Cu-wi To-tiang ada yang melihat sahabat kami itu lewat di sini!”
“Aih, benar juga!” seru Ciang Hun girang. “Apakah Cu-wi To-tiang melihat sahabat kami itu lewat di sini? ia seorang gadis muda....”
“Pakaiannya serba merah?” potong seorang tosu.
“Benar, benar!” Ciang Hun berseru girang.
“Siancai, yang kalian cari itu bukankah Si Bangau Merah, nona Tan Sian Li?”
Dua orang muda itu hampir berteriak karena girangnya, “Benar sekali, To-tiang!” kata Gak Ciang Hun. “Apakah Totiang melihatnya? Di mana?” tanyanya dengan penuh gairah.
“Nanti dulu, kalau Ji-wi mengenal Si Bangau Merah, tentulah Ji-wi bukan orang-orang sembarangan. Kongcu she Gak? Hemmm....? pinto mendengar tentang Beng-san Siang-eng (Sepasang Garuda Beng-san), apakah hubungan Kongcu dengan para pendekar she Gak itu?”
“Saya adalah puteranya....”
“Ahhh! Sungguh kami merasa beruntung bertemu dengan putera Beng-san Siang-heng!”
“Kalau boleh kami mengetahui, siapakah Cu-wi To-tiang?” tanya Ciang Hun, kini memandang penuh perhatian.
Tosu tertua itu menghela napas panjang. “Pinto disebut Thian-tocu, seorang murid Bu-tong-pai dan empat orang ini adalah para sute pinto. Baru kemarin pinto berlima bertemu dengan Si Bangau Merah, bahkan ia yang mengobati. Pinto dari pukulan beracun. Karena masih belum pulih kekuatan pinto, maka kami berhenti di sini untuk memulihkan tenaga.”
“Lalu, ke manakah perginya adik Sian Li?” tanya Ciang Hun.
Tosu itu menghela napas panjang. “Kami khawatirsekali. Ia pergi mendaki Bukit Naga itu dan hendak berkunjung ke Thian-li-pang, padahal keadaan Thian-li-pang telah berubah sama sekali. Perkumpulan itu telah menyeleweng dan dipimpin oleh seorang ketua baru yang seperti Iblis. Kami sungguh mengkhawatirkan keselamatan pendekar wanita itu.”
“Totiang, apakah yang telah terjadi?” tanya Gan Bi Kim, ikut pula merasa khawatir mendengar ucapan tosu itu.
Thian-tocu lalu menceritakan semua pengalaman mereka berlima. Mereka sengaja mendatangi Thian-li-pang karena mendengar berita tentang sepak terjang Thian-li-pang yang menyeleweng, menundukkan para tokoh-tokoh kang-ouw dengan kekerasan, melakukan pemerasan.
“Bahkan lebih mengejutkan lagi adalah berita tentang terbunuhnya Pendekar Tangan Sakti Yo Han oleh ketua baru Thian-li-pang....”
“Ahhh....!! Benarkah itu, Totiang?” Ciang Hun berseru kaget.
“Kami pun tidak percaya. Ketika kami tanyakan hal itu kepada Ouw-pangcu, ketua baru Thian-li-pang, dia mengatakan bahwa Yo Han telah membunuhi para pimpinan Thian-li-pang, kemudian Yo Han juga menyerang dia. Dalam perlawanan yang dibantu anak buahnya, Yo Han tewas. Demikian keterangan Ouw pangcu. Kami tidak percaya sehingga terjadi perkelahian, akan tetapi ketua baru itu seperti iblis, lihai bukan main dan pinto terkena pukulan beracun darinya. Kami merasa kalah dan turun bukit, bertemu di jalan dengan Si Bangau Merah yang mengobati pinto. Kami sungguh mengkhawatirkan Si Bangau Merah yang hendak melakukan penyelidikan ke tempat berbahaya itu.”
“Kalau begitu, adik Sian Li terancam bahaya. Kita harus cepat ke sana, Kim moi!” kata Ciang Hun, khawatir sekali.
“Gak-taihiap, sebaiknya kalau kita berhati-hati menghadapi Thian-li-pang. Selain ketuanya amat lihai, juga kini Thian-li-pang bergabung dengan tokoh-tokoh sesat yang berilmu tinggi seperti. Siangkoan Kok bekas ketua Pao-beng-pai juga para tokoh Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai berada di sana. Sebaiknya kalau Ji-wi bersabar sampai lewat malam ini dan besok pagi-pagi barulah mendaki ke sana.”
“Kita?” Ciang Hun bertanya.
“Kongcu, melihat Ji-wi yang muda-muda begini bersemangat untuk membantu Si Bangau Merah, menentang bahaya dengan gagah berani, kami yang tua-tua merasa malu kalau hanya tinggal diam saja. Kami akan menemani Ji-wi membantu pendekar wanita Bangau Merah, walaupun kami tahu bahwa kekuatan kita ini tidak ada artinya dibandingkan kekuatan mereka yang mempunyai ratusan orang anak buah.”
“Kita tidak bermaksud menyerang Thian-li-pang, Totiang, hanya hendak menyelidiki kalau-kalau adik Sian Li terancam bahaya. Kita harus membantunya.”
“Kami siap membantu, Kongcu.”
Demikianlah, malam itu mereka lewatkan dengan beristirahat dan menghimpun tenaga karena siapa tahu, besok mereka akan menghadapi musuh dan bahaya yang harus ditentang.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ciang Hun, Bi Kim dan lima orang tosu Bu-tong-pai telah mendaki Bukit Naga. Mereka bergerak cepat akan tetapi dengan hati-hati sekali dan tosu-tosu itu yang memimpin pendakian karena mereka lebih mengenal daerah itu daripada kedua orang muda yang baru pertama kali itu berkunjung ke situ.
Akan tetapi gerak-gerik tujuh orang ini tidak terlepas dari pengintaian anak buah Thian-li-pang. Ouw Seng Bu maklum bahwa sebelum pemuda yang datang bersama Sian Li dan Hui Eng itu tertangkap, tentu Thian-li-pang akan terancam bahaya, apalagi ketika dia mendengar dari Siangkoan Kok bahwa pemuda itu adalah seorang pangeran Mancu! Maka dia memerintahkan anak buahnya untuk melakukan penjagaan tersembunyi dan siang malam harus melakukan pengamatan terhadap seluruh permukaan bukit itu.
Karena itu begitu tujuh orang itu mendaki bukit, para anak buah Thian-li-pang telah mengetahuinya dan diam-diam setiap gerak-gerik mereka telah diamati dan diikuti.
Sementara itu, di dalam rumah tahanan Cu Kim Giok kembali datang mengunjungi dua orang tawanan, Hui Eng dan Sian Li. Kini Sian Li telah dapat menekan kemarahan hatinya dan melihat munculnya Kim Giok, ia bertanya, suaranya tenang saja. “Kim Giok, apalagi yang hendak kaukatakan kepada kami?”
“Sian Li, engkau melihat sendiri betapa Thian-li-pang bersikap baik kepada kalian yang bahkan tidak dianggap sebagai musuh, melainkan sebagai tamu. Aku mengharap dengan sepenuh hatiku agar kalian berdua dapat melihat kenyataan bahwa Thian-li-pang sesungguhnya mengharapkan persahabatan dan kerja sama dengan kalian, bukan permusuhan.”
“Kim Giok, aku sekarang mengerti bahwa engkau saling mencinta dengan Ouw Seng Bu, maka engkau membantu dan membelanya. Aku tidak akan mempersoalkan baik buruknya Ouw-pangcu itu, akan tetapi kalau memang benar Thian-li-pang hendak berbaik dan bersahabat dengan kami, kenapa kami dijebak, dikeroyok dan ditahan di dalam kurungan ini? Kenapa kami tidak dibebaskan saja?
“Sian Li, percayalah, aku sudah minta-minta kepada pangcu agar kalian dibebaskan, akan tetapi dia mengajukan alasan kuat sehingga aku sendiri pun tidak berdaya karena alasannya memang tepat. Dia mengatakan bahwa di dalam perjuangan, kita harus dapat membedakan mena kawan mana lawan. Sekarang ini, kalian memperlihatkan sikap sebagai lawan, kalau kalian dibebaskan, sungguh amat berbahaya bagi perjuangan Thian-li-pang. Kalian lihai, dan kalian dapat mendatangkan bencana kepada kami, kecuali tentu saja kalau kalian suka bekerja sama dengan kami dan sama-sama berjuang menentang pemerintah penjajah Mancu. Karena itu, aku memohon kepada kalian, jangan memusuhi Thian-li-pang, jangan memusuhi Ouw-pangcu, jangan memusuhi kami. Sungguh aku bersumpah, kami tidak mempunyai niat buruk terhadap kalian, hanya ingin mengajak kalian bekerja sama.”
“Cu Kim Giok, tidak perlu engkau membujuk kami, tentu engkau sudah tahu bahwa kami tidak akan sudi bekerja sama dengan golongan sesat. Sebetulnya, melihat engkau membantu Ouw-pangcu, hatiku tidak rela, dan aku tidak ingin lagi bicara denganmu. Akan tetapi mengingat ayah ibumu, orang-orang yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, aku minta engkau berterus terang mengenai satu hal. Benarkah Yo Han telah tewas di sumur tua itu?”
Kim Giok menghela napas panjang. Jawaban itu memang sudah diduganya. Akan tetapi bagaimanapun juga, apa pun yang terjadi, ia akan tetap membela Seng Bu karena ia sudah benar-benar jatuh cinta kepada pemuda itu.
“Sian Li, dengan menyesal sekali terpaksa kukatakan bahwa memang benar Yo Han tewas di dalam sumur,” katanya lirih dan mendengar keterangan ini, Sian Li menahan jeritnya, mukanya menjadi pucat dan ia berdiri termangu seperti patung, kedua tangan yang dipasangi rantai pada pergelangannya itu menggenggam dan melihat keadaan Si Bangau Merah itu, Hui Eng bertanya kepada Cu Kim Giok dengan suara yang tegas.
“Cu Kim Giok, katakan terus terang, demi nama baik nenek moyangmu yang terkenal sebagai pendekar-pendekar besar Lembah Naga Siluman, apakah engkau melihat sendiri kematian Yo Han itu?”
Kini Cu Kim Giok memandang kepada Hui Eng dengan alis berkerut, “Hemmm, tidak perlu aku menjawab pertanyaanmu. Engkau sendiri adalah puteri ketua Paobeng-pai yang pernah mengacau dan memusuhi keluarga besar bahkan kemudian menurut ayahmu, engkau menjadi seorang pengkhianat dan anak yang durhaka. Aku mau bicara dengan Tan Sian Li, bukan denganmu!”
“Kim Giok, engkau tidak tahu dengan siapa engkau bicara. Ketahuilah bahwa enci Eng ini adalah Sim Hui Eng, puteri Paman Sim Houw yang hilang itu dan kini ia telah mengetahui siapa dirinya.”
“Ahhh....! “ Cu Kim Giok terkejut. “Kalau.... kalau begitu, kalian berdua harus mau bekerja sama, aku tidak ingin melihat kalian celaka. Aku mohon kepada kalian, terimalah uluran tangan Ouw Pangcu untuk bekerja sama dan berjuang, atau setidaknya, jangan memusuhi kami. Kalau kalian mau berjanji di depan pangcu, aku yang akan menanggung....”
“Sudahlah, Kim Giok. Sebaiknya kau jawab saja pertanyaan enci Hui Eng tadi. Apakah engkau melihat sendiri tewasnya Han-koko di sumur tua itu?” tanya Sian Li tak sabar.
“Ketika Yo Han datang, aku memang melihatnya, bahkan kami berkenalan. Dia pun bicara dengan baik-baik kepada Ouw-pangcu, kemudian dia bicara empat mata dengan Ouw-pangcu. Aku tidak tahu apa yang terjadi, akan tetapi tahu-tahu aku mendapatkan Ouw-pangcu sudah terluka parah terkena pukulan di dadanya, sedangkan para anggauta Thian-li-pang melempar-lemparkan batu ke dalam sumur tua, Barulah aku tahu bahwa Ouw-pangcu hampir terbunuh Yo Han dan karena bantuan para anak buah, Yo Han dapat didesak dan terjerumus ke dalam sumur. Para anggauta Thian-li-pang menimbuni sumur itu dengan batu karena maklum bahwa kalau Yo Han dapat keluar, tentu akan mengamuk dan semua orang dibunuhi.”
Keterangan bahwa Kim Giok tidak melihat sendiri kematian Yo Han, membuat hati Sian Li merasa lega kembali. Ia tetap tidak percaya bahwa Yo Han telah tewas. Lebih tidak percaya lagi bahwa Yo Han membunuhi para pimpinan Thian-li-pang dan berusaha membunuh Ouw Seng Bu. Ia mengenal pria yang dikaslhinya itu. Yo Han tidak mau membunuh orang, apalagi para pimpinan Thianli-pang di mana dia menjadi ketua kehormatan. Tidak masuk di akal semua berita itu, walaupun ia percaya bahwa puteri Lembah Naga Siluman ini tidak berbohong. Tentu gadis ini telah dipengaruhi Ouw Seng Bu dan tertipu!
Pada saat itu, dua orang pengawal masuk dan berkata kepada Cu Kim Giok dengan sikap hormat, “Nona, pangcu minta agar Nona suka menemuinya di ruangan dalam.” Sikap dan ucapan penjaga itu saja sudah membuktikan bahwa ketua baru Thian-li-pang amat menghormati gadisitu. Ia bukan dipanggil, melainkan diminta!
Cu Kim Giok menoleh kepada dua orang gadis tawanan, kemudian pergi meninggalkan tempat tahanan itu, diikuti dua orang penjaga dengan sikap hormat.
Setibanya di ruangan dalam, Ouw Seng Bu sudah menyambutnya dan kedua orang penjaga itu pun mengundurkan diri. “Ada urusan apakah, Bu-Ko?” tanya Kim Giok.
“Giok-moi, ada lagi orang-orang yang menyelidiki tempat kita dan kini mereka telah tertangkap.”
“Siapakah mereka?” Kim Giok mengerutkan alisnya. Di dalam hatinya ia merasa tidak setuju kalau Thian-li-pang menangkapi orang, apalagi kalau mereka yang ditawan itu tokoh-tokoh pendekar seperti Sian Li dan Hui Eng. Kalau sampai Thian-li-pang memusuhi para pendekar dan perkumpulan para pendekar di dunia persilatan, hal itu sungguh tidak baik dan tidak benar. Seluruh keluarganya tentu akan marah dan menyalahkan ia membantu perkumpulan yang memusuhi dunia persilatan dan menawani para pendekar.
“Lima di antara mereka adalah para tosu Bu-tong-pai yang tempo hari, dan dua yang lain adalah seorang pemuda dan seorang gadis. Bagaimana dengan hasil pembicaramu dengan Si Bangau Merah dan puteri Paman Siangkoan Kok tadi?”
Kim Giok mengerutkan alisnya. “Mereka masih belum mau berbaik, dan puteri Paman Siangkoan Kok itu ternyata adalah puteri dari Paman Sim Houw yang hilang dicullik orang ketika masih kecil. Ini menambah gawat keadaan, Koko, karena Paman Sim Houw adalah Pendekar Suling Naga yang sakti, pendekar besar tokoh di Lok-yang. Kalau ayah Sian Li, Pendekar Bangau putih dan Pendekar Suling Naga mengetahui puteri mereka ditawan di sini dan memusuhi kita, sungguh amat berbahaya bagimu, Koko. Lalu siapa pula dua orang pemuda dan gadis yang tertawan bersama lima orang tosu Bu-tong-pai itu?”
Ouw Seng Bu kelihatan muram dan berduka. “Giok-moi, sesungguhnya engkau sendiri pun tahu bahwa aku tidak pernah mencari perkara dan tidak pernah memusuhi mereka. Adalah mereka sendiri yang datang memusuhi Thian-li-pang. Aku pun merasa heran mengapa para pendekar itu tidak mau menyadari dan mereka bahkan berpihak kepada kerajaan Mancu, penjajah yang mencengkeram tanah air dan bangsa? Nah, cobalah engkau temui dua orang muda itu dan syukur kalau dapat membujuk mereka dan lima orang tosu, menyadarkan mereka akan pentingnya persatuan antara kita untuk membebaskan rakyat daripada cengkeraman penjajah.”
Kim Giok merasa lemas karena pekerjaan membujuk ini merupakan pekerjaan yang amat berat baginya. Akan tetapi, ia yakin bahwa kekasihnya benar, maka ia pun siap untuk membelanya.
Bagaimana lima orang Bu-tong-pai dan dua orang muda itu dapat tertawan? Seperti kita ketahui, Gak Ciang Hun, Gan Bi Kim dan lima orang tosu mendaki Bukit Naga untuk melakukan penyelidikan terhadap Thian-li-pang yang mereka curigai kebersihannya. Mereka tidak tahu bahwa gerak-gerik mereka telah diikuti oleh para anggauta Thian-li-pang. Seorang di antara para anggauta itu melapor kepada Seng Bu yang segera ditemani Siangkoan Kok, Im-yang-ji dan Kui Thian-cu, juga beberapa orang tokoh sesat lain yang telah bergabung, menyambut rombongan yang mendaki bukit itu.
Sebelum tiba di perkampungan Thian-li-pang, Gak Ciang Hun dan kawan-kawannya secara tiba-tiba saja sudah dikepung oleh puluhan orang Thian-li-pang dan mereka berhadapan dengan Ouw Seng Bu dan kawan-kawannya.
Dengan sikap hormat Seng Bu mengangkat tangan memberi hormat kepada lima orang tosu dan dua orang muda itu. “Selamat pagi Ngo-wi To-tiang dan kalian berdua sobat muda. Tidak tahu, entah angin baik apa yang meniup kalian datang ke sini. Kami harap saja Ngo-wi To-tiang telah menyadari bahwa akhirnya kita semua, tidak peduli dari golongan apa, mempunyai tekad yang sama, yaitu bersatu padu menghadapi penjajah Mancu dan mengusir mereka dari tanah air kita.”
Thian-tocu, tokoh Bu-tong-pai yang menjadi pemimpin rombongan tokoh Bu-tong-pai yang lima orang itu, membalas penghormatan Ouw Seng Bu dan berkata dengan sikap dan suara yang dingin, “Ouw-pangcu, kami berlima datang kembali bukan dengan maksud untuk menyerah, walaupun kami mengakui bahwa kami telah kaukalahkan dalam pertandingan. Kami bertemu dengan dua orang sahabat muda ini dan kami menemani mereka untuk berkunjung ke Thian-li-pang. Ketahuilah bahwa saudara muda ini adalah saudara Gak Ciang Hun, putera dari mendiang Beng-san Siang-eng, dan ini adalah nona Gan Hi Kim.”
“Ah, kiranya Gak-enghiong yang datang berkunjung. Kami dari Thian-li-pang merasa mendapat kehormatan besar sekali dengan kunjungan Gak-enghiong dan nona Bi Kim. Kami memang sedang menghimpun tenaga dari seluruh penjuru tanah air untuk mengadakan persiapan menyerang penjajah Mancu dan mengusirnya. Kami mendengar bahwa keluarga Gak dari Beng-san merupakan pendekar-pendekar dan pahlawan-pahlawan besar yang tentu akan suka bekerja sama dengan kami untuk mengusir penjajah Mancu.”
Gak Ciang Hun sudah mendengar dari para tosu Bu-tong-pai betapa cerdik dan liciknya ketua baru Thian-li-pang itu dan kini begitu bertemu, ketua itu ternyata telah memperlihatkan dua macam kelihaiannya. Pertama, dia serombongannya tiba-tiba saja sudah dikepung, ini berarti bahwa sejak mendaki bukit, mereka telah diketahui dan dibayangi. Dan ke dua, begitu bertemu, ketua itu telah bersikap demikian ramah dan hormat sehingga dia sendiri andaikata belum mendengar dari para tosu, tentu akan terpikat hatinya oleh keramahan pemuda tampan itu. Akan tetapi karena sebelumnya dia sudah mendengar bahwa pemuda ini seorang yang palsu dan dikabarkan telah membunuh Yo Han, dia pun menyambut dingin saja.
“Pangcu, kami sengaja datang ke Thian-li-pang untuk mencari nona Tan Sian Li. Apakah ia berada di sini?”
“Ah, kaumaksudkan Si Bangau Merah? Benar, ia berada di sini, menjadi tamu kehormatan kami. Ia sudah menyatakan setuju untuk membantu kami, untuk bekerja sama menentang penjajah Mancu. Kalau Gak-enghiong ingin bertemu dengannya, mari, silakan masuk ke perkampungan kami!” kata Seng Bu dengan wajah cerah berseri.
Mendengar ini, Gak Ciang Hun dan Gan Bi Kim tercengang. Jawaban yang tidak mereka sangka sama sekali dan mereka berdua sudah merasa gembira.
Akan tetapi, Thian-tocu, tosu Bu-tong-pai itu sudah berkata dengan suara lantang.
“Ouw-pangcu, tidak perlu engkau membohongi Gan-taihiap dan kami. Kami sama sekali tidak percaya bahwa nona Tan Sian Li mau bekerja sama denganmu. Kami sudah berjumpa dengannya dan mendengar bahwa engkau telah membunuh Sin-ciang Tai-hiap Yo Han, bagaimana mungkin ia mau bekerja sama denganmu? Kalau kaukatakan bahwa engkau telah menjebaknya dan menawannya, kami akan lebih percaya!”
Wajah Seng Bu berubah merah dan matanya kini mencorong memandang kepada tosu Bu-tong-pai itu. Dia merasa heran bagaimana tosu ini dapat sembuh sedemikian cepatnya, padahal dia tahu benar bahwa tosu ini telah terkena tangan beracun sehingga terluka parah.
“Totiang, kalau pihakmu hendak menjadi antek penjajah Mancu dan tidak mau bekerja sama dengan kami para pejuang patriot bangsa, itu urusanmu. Akan tetapi jangan banyak mulut di sini. Kami pernah mengampuni kalian dan membiarkan kalian pergi. Apakah kini kalian minta mati?”
Perubahan sikap ketua Thian-li-pang ini membuat Gak Ciang Hun yang tadinya tertarik, menjadi terkejut dan tidak senang. Sikap ketua Thian-li-pang itu amatlah aneh. Baru saja wajahnya nampak tampan dan ramah ceria, akan tetapi kini kelihatan begitu bengis, dingin dan sadis, bahkan matanya yang mencorong itu mengandung nafsu membunuh yang mengerikan.
“Ouw-pangcu, agaknya membunuh merupakan pekerjaan biasa bagimu dan mungkin menjadi kegemaranmu. Kalau memang engkau merasa sebagai seorang yang gagah, jangan menyangkal perbuatanmu sendiri dan akui sajalah apa yang telah terjadi dengan nona Tan Sian Li. Kecuali kalau engkau memang pengecut, tidak berani mempertanggung-jawabkan perbuatanmu....”
“Tutup mulutmu, tosu jahanam!” Seng Bu membentak dan dia sudah menggerakkan tangannya menampar ke arah Thian-tocu sambil mengerahkan ilmunya yang dahsyat. Hawa beracun yang amat kuat menyambar ke arah tosu Bu-tong-pai itu.
Melihat ini, Gak Ciang Hun yang mengenal pukulan ampuh, meloncat ke depan dan menangkis dari samping untuk menolong, tosu itu.
“Dukkk....!!” Mendapat tangkisan ini, Seng Bu mengeluarkan seruan kaget dan dia mundur dua langkah, akan tetapi Gak Ciang Hun lebih kaget lagi karena dia sempat terhuyung! Padahal, putera pendekar kembar Gak ini memiliki tenaga sinkang yang amat kuat, pernah menerima pemindahan tenaga sinkang dari kakeknya, mendiang Bun-beng Lo-jin Gak Bun Beng! Akan tetapi, ketika menangkis, dia merasa betapa dari tangan ketua Thian-li-pang itu menyambar hawa dingin yang aneh sekali, yang membuat dia sampai terhuyung.
“Pangcu dari Thian-li-pang, kalau memang ucapan Thian-tocu Totiang tadi tidak benar, engkau berhak menyangkal, akan tetapi kalau benar, memang sepatulnya engkau berterus terang, bukan lalu menyerang seperti yang kaulakukan tadi! “ Ciang Hun menegur.
Senyum iblis muncul di mulut Ouw Seng Bu. “Heh-heh-heh, kami menerima kalian sebagai sahabat, akan tetapi kalau kalian menghendaki kekerasan baiklah. Seperti yang kami lakukan terhadap Si Bangau Merah, kami menawarkan persahabatan dan kerja sama, akan tetapi kalau kalian menolak dan bersikap memusuhi kami, terpaksa kami harus menawan kalian seperti yang telah kami lakukan terhadap Si Bangau Merah!”
Mendengar ini, Ciang Hun mengecutkan alisnya. “Pangcu, kami tidak menghendaki persahabatan, juga tidak mencari permusuhan. Akan tetapi kalau engkau telah menawan nona Tan Sian Li, kami menuntut agar engkau suka membebaskannya sekarang juga.
“Heh-hah, bagaimana kalau kami tidak mau membebaskannya?”
“Ouw Seng Bu, kalau engkau tidak mau membebaskan Tan-lihiap, kami akan mengadu nyawa denganmu!” bentak Thian-tocu marah. Lima orang tosu Bu-tong-pai itu sudah mencabut pedang mereka, siap untuk bertanding mati-matian untuk menolong Si Bangau Merah.
“Ouw-pangcu, kami harap engkau suka membebaskan nona Tan Sian Li, agar kami tidak harus menggunakan kekerasan.”
Siangkoan Kok yang sejak tadi mendengarkan saja, kini menjadi tidak sabar. “Pangcu, serahkan saja kepadaku untuk menelikung pemuda sombong ini!”
“Dan lima orang tosu Bu-tong-pai ini serahkan kepada kami!” kata Kui Thian-cu dan Im Yang-ji.
Ouw Seng Bu mengangguk dan para pembantunya itu segera bergerak menyerang. Lima orang tosu Bu-tong, Ciang Hun dan Bi Kim menggerakkan senjata mereka menyambut dan terjadilah perkelahian yang berat sebelah. Baru tiga orang pembantu Seng Bu itu saja, bekas ketua Pao-beng-pai, wakil Pek-lian-kauw dan wakil Pat-kwa-pai sudah merupakan lawan berat bagi lima orang tosu dan banyak anggauta Thian-li-pang tingkat tinggi yang melakukan pengeroyokan.
Akan tetapi, bagaimanapun juga Gak Ciang Hun adalah keturunan pendekar sakti, permainan pedangnya mantap dan kuat, tenaga sin-kangnya pun mampu menandingi lawan yang manapun sehingga Siangkoan Kok yang menandinginya, tidak dapat mendesaknya dengan cepat. Gan Bi Kim juga terdesak hebat oleh Kui Thian-cu yang mengejeknya, lima orang tosu kewalahan menghadapi pengeroyokan banyak anak buah Thian-li-pang.
Melihat betapa Siangkoan Kok belum juga mampu menundukkan Ciang Hun, Seng Bu menjadi tidak sabar lagi. Dia tahu bahwa bekas ketua Pao-beng-pai itu cukup tangguh dan tidak akan kalah, akan tetapi dia tidak ingin perkelahian itu berlangsung terlalu lama. Kalau sampai Kim Giok mengetahui, gadis itu tentu akan merasa tidak senang. Juga, tidak baik kalau mereka ini sampai terbunuh. Kalau dia dapat membujuk orang-orang yang lihai itu untuk bersekutu dengannya, hal itu akan amat menguntungkan dan memperkuat kedudukannya. Maka, dia pun segera meloncat ke depan dan menyerang Gak Ciang Hun dengan totokan jari tangannya, menggunakan ilmunya yang aneh, akan tetapi membatasi tenaganya agar jangan sampal melukai berat atau membunuh pemuda itu.
Dengan lengking yang aneh menyeramkan, Seng Bu menyerang dan Ciang Hun yang menghadapi Siangkoan Kok saja sudah merasa sibuk karena ilmu kepandaian kakek tinggi besar itu memang hebat, kini merasa ada sambaran angin dingin dari samping. Dia mengelak ke kiri dan pada saat itu, Siangkoan Kok menyerangnya dengan pedang, dibarengi pula dengan tamparan tangan kiri. Ciang Hun menangkis pedang lawan, memutar tubuh dan menyambut tamparan tangan kiri lawan itu dengan tangan kirinya pula.
“Trang.... plakkk!” Kedua tangan itu bertemu dan melekat dan pada saat itu, totokan kedua yang dilakukan Seng Bu tiba. Ciang Hun tidak mampu menghindar lagi dan dia pun roboh lemas terkena totokan ampuh jari tangan Seng Bu.
“Tangkap mereka, jangan bunuh!” teriaknya dan teriakan Seng Bu ini menolong. Gan Bi Kim yang sudah terdesak, juga lima orang tosu itu, akhirnya roboh dan hanya lima orang tosu itu yang luka-luka, namun bukan luka yang terlalu parah, sedangkan Gan Bi Kim juga roboh terkena totokan Im Yang-ji.
Demikianlah, lima orang tosu Bu-tong-pai, Ciang Hun, dan Bi Kim tertawan oleh Thian-li-pang dan mereka dimasukkan ke dalam sebuah kamar tahanan yang cukup lebar, tidak dirantai seperti halnya Sian Li dan Hui Eng, akan tetapi kamar tahanan itu berjeruji tebal dan kokoh kuat, sedangkan di depannya terdapat penjagaan yang ketat terdiri dari belasan orang anak buah Thian-li-pang.
***
Ketika Cu Kim Giok berdiri di depan jeruji kamar tahanan itu dan melihat Ciang Hun, wajahnya berubah agak pucat dan matanya terbelalak. Ia tidak begitu peduli melihat lima tosu Bu-tong-pai, Juga ia tidak mengenal gadis cantik yang ikut tertawan di kamar itu, akan tetapi ia segera mengenal Gak Ciang Hun yang pernah dijumpainya di dalam pesta pertemuan keluarga besar di rumah pendekar Suma Ceng Liong.
“Kau....?” serunya kaget. “Bukankah engkau.... saudara Gak Ciang Hun....?”
Ciang Hun memandang dingin. Dia sudah mendengar dari para tosu Bu-tong-pai tentang gadis itu.
“Hemmm.... dan engkau Cu Kim Giok, puteri paman Cu Kun Tek dan bibi Pouw Li Bian dari Lembah Naga Biluman. Sungguh mengherankan sekali melihat engkau di sini menjadi kaki tangan seorang jahat seperti Ouw Seng Bu, pangcu baru dari Thian-li-pang.”
Wajah Kim Giok berubah kemerahan. “Gak-twako!” serunya dengan nada protes. “Agaknya engkau pun sudah dipengaruhi lima orang tosu yang sombong ini. Ouw Seng Bu bukanlah seorang jahat. Dia ketua Thian-li-pang yang berjiwa pahlawan dan yang bertekad untuk mengusir penjajah Mancu dari tanah air!”
“Pahlawan yang bergaul dengan para penjahat dan golongan sesat dari Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai? Bukan orang jahat akan tetapi membunuh Sin-ciang Tai-hiap Yo Han, membunuhi para pimpinan Thian-li-pang, bahkan menawan Tan Sian Li? Dan engkau masih mengatakan dia tidak jahat?”
“Gak-twako, engkau salah mengerti! Yang membunuh para pimpinan Thian-li-pang adalah Yo Han, bahkan dia hendak membunuh Ouw-pangcu. Adapun Tan Sian Li terpaksa ditawan karena ia hendak membunuh Ouw-pangcu dan mengamuk. Juga Ouw-pangcu yang hampir dibunuh Yo Han sampai terluka parah, dan Yo Han terjerumus ke dalam sumur tua karena dikeroyok para anggauta Thian-li-pang yang membela ketuanya. Tentang pergaulan dengan para tokoh kang-ouw, hal ini adalah karena kita semua bersatu padu menghimpun kekuatan untuk menentang penjajah Mancu! Kalau tidak bersatu dengan semua golongan bagaimana mungkin penjajah Mancu dapat diusir dari tanah air? Harap engkau dapat memaklumi, Gak-twako. Dan sekali kalau engkau, enci ini, dan para tosu Bu-tong-pai suka bekerja sama dengan kami, berjuang bahu-membahu menentang penjajah Mancu.”
“Cukuplah, kami tahu bahwa engkau telah terbius oleh racun yang diberikan Ouw Seng Bu kepadamu sehingga engkau tidak lagi dapat melihat kenyataan, tidak dapat lagi, membedakan yang benar dan yang salah.” kata Ciang Hun marah.
“Sudahlah, Nona, pergilah dan jangan ganggu kami. Bujuk rayumu itu tidak ada gunanya. Kami hanya merasa menyesal sekali bahwa seorang gadis keturunan keluarga Lembah Naga Siluman seperti Nona ini sampai dapat ditipu dan dibius oleh seorang penjahat gila seperti Ouw Seng Bu!” kata Thian-tocu.
Kim Giok tidak dapat menahan lagi mendengar semua itu. Ia membalikkan tubuhnya dan meninggalkan tempat itu, wajahnya merah dan kedua matanya terasa panas menahan tangis. Ia merasa bingung sekali melihat betapa kekasihnya mempunyai semakin banyak musuh dari golongan para pendekar dan hal ini amat merisaukan hatinya. Setelah memasuki kamarnya sendiri, Kim Giok tidak dapat lagi menahan. tangisnya dan ia menelungkup di atas pembaringannya dan menangis. Terjadi perang di dalam batinnya. Mau tidak mau ia mempunyai kecondongan untuk membela dan mempercaya Sian Li, Hui Eng dan juga Ciang Hun. Akan tetapi perasaan ini ditentang oleh cinta dan kepercayaannya kepada Seng Bu. Seng Bu begitu baik kepadanya, begitu mencintanya dan menurut pendapatnya, kekasihnya itu seorang yang gagah perkasa dan bijaksana, dan merasa bahwa kekasihnya tidak salah, bahkan mendatangkan harapan besar bagi nusa bangsa untuk mengusir penjajah dari tanah air.
Sementara itu, Sian Li dan Hui Eng sudah menghentikan siu-lian mereka dan merasa tubuh mereka segar dan penuh kekuatan. Akan tetapi Hui Eng melihat kemuraman membayangi wajah Sian Li yang cantik. Ia tahu bahwa Si Bangau Merah itu tentu memikirkan Yo Han, maka ia pun menghibur.
“Adik Sian Li, tenangkan hatimu. Tidak baik dalam keadaan seperti ini membiarkan diri dicekam kerisauan, membuat kita menjadi lemah.” katanya lirih.
Sian Li mengangkat muka memandang wajah Hui Eng, lalu menghela napas panjang. “Engkau benar, enci Eng. Akan tetapi aku tidak pernah dapet melupakan Han-koko. Membayangkan dia berada dalam sumur yang ditimbuni batu.... ah, bagaimana hatiku takkan risau?”
“Kerisauan hatimu tidak akan menolong apa-apa, adik Sian Li, tidak ada manfaatnya sama sekali. Jangan biarkan hatimu ditekan kerisauan yang menegangkan dan percaya sajalah bahwa Tuhan tentu akan selalu menolong orang yang baik dan benar. Dan aku yakin bahwa Yo Han adalah orang yang berada di pihak benar. Kalau Tuhan tidak menghendaki dia mati, biarpun dia benar-benar berada di dalam sumur itu, aku yakin dia tidak akan mati. Yang penting sekarang memikirkan bagaimana kita dapat lolos dari sini dan melanjutkan penyelidikan kita tentang Yo-twako itu.”
“Akan tetapi bagaimana mungkin itu dilakukan, enci Eng? Kita dapat mematahkan rantai yang mengikat kaki tangan kita, akan tetapi kita tidak akan dapat membuka pintu besi dan beruji itu, terlalu kuat. Selain itu, para penjaga di luar tentu akan bertertak-teriak dan kalau Ouw Seng Bu datang bersama pera pembantunya, mereka itu terlalu banyak dan terlalu kuat bagi kita.”
“Tenangkan hatimu, adik Sian Li. Aku masih mempunyai harapan. Lupakah engkau kepada kanda Cia Sun?” kata Hui Eng dan kedua pipinya menjadi kemerahan ketika ia teringat kepada pangeran yang menjadi kekasihnya dan kini menjadi tumpuan harapannya itu.
“Ah, engkau benar, enci Eng. Melihat bahwa sampai sekarang Pangeran Cia Sun tidak nampak tertawan musuh, hal itu berarti bahwa dia masih bebas. Dan tidak mungkin Pangeran Cia Sun akan membiarkan saja gadis yang paling dicintanya di seluruh dunia tertawan musuh. Dia pasti berusaha untuk membebaskanmu, enci Eng.”
“Ihhh! Bukan hanya aku, akan tetapi engkau juga pasti akan dia usahakan agar dapat bebas.”
“Akan tetapi, enci Eng. Bagaimanapun juga, kita mengetahui bahwa dalam hal ilmu silat, pangeran tidaklah lebih lihai daripada engkau atau aku. Bagaimana mungkin dia dapat mengatasi Ouw Seng Bu dan para pembantunya yang lihai, dan anak buahnya yang cukup banyak?”
“Kukira dia tidak sebodoh itu, hanya mengandalkan tenaga sendiri. Bagaimanapun juga, dia seorang pangeran dan tentu tidak akan sukar baginya untuk mendapatkan bantuan pasukan yang terdekat, bukan? Kalau dia mengerahkan pasukan yang besar, tentu gerombolan penjahat yang berkedak pejuang ini dapat dibasmi.”
“Engkau benar, enci Eng. Akan tetapi, bayangan itu sungguh tidak mengenakkan hatiku. Kalau pasukan pemerintah yang datang menolong, bukankah itu sama artinya dengan kita berpihak kepada penjajah?
“Adik Sian Li, kita harus dapat melihat kenyataan dan dapat mempertimbangkan dengan adil. Kalau Thian-li-pang merupakan sekelompok pejuang, segolongan pendekar yang berjiwa patriot, apakah kita sampai menentang mereka dan menjadi tawanan mereka? Ingat, bahwa kalau pasukan pemerintah benar-benar dikerahkan pangeran Cia Sun untuk menggempur Thian-li-pang, yang digempur adalah gerombolan penjahat, bukan perkumpulan pejuang sejati.” Ia berhenti sebentar, lalu melanjutkan penuh keyakinan. “Aku mengenal baik Pangeran Cia Sun. Harus kuakui bahwa dia seorang pangeran Mancu, akan tetapi dia tidak berjiwa penjajah, bahkan dia menghormati para pejuang dan tidak akan mencampuri urusan pemberontak para pejuang. Kalau tidak begitu, bagaimana mungkin dia sampai menjadi adik angkat Sin-ciang Tai-hiap Yo Han?”
Sian Li tersenyum. Tentu saja gadis itu akan membela mati-matian Pangeran Cia Sun, kekasihnya, tunangan dan calon suaminya. Akan tetapi, pembelaan itu pun bukan hanya ngawur dan ia tak dapat membantah kebenaran apa yang diucapan Hui Eng.
“Mudah-mudahan Pangeran Cia Sun cepat muncul dengan bala bantuannya, enci Eng. Aku ingin cepat bebas dan mencari Han-ko. Kalau perlu, akan kubongkar dengan tanganku sendiri batu-batu yang menimbuni sumur tua itu.”
Mereka menerima suguhan makan malam yang dimasukkan melalui lubang di antara jeruji baja. Ternyata Ouw Seng Bu tetap memperlakukan mereka dengan baik. Hidangan yang disuguhkan cukup mewah, bahkan ada pula minuman anggur segar. Mereka berdua tidak menolak dan makan sampai kenyang untuk menjaga kondisi tubuh mereka, kemudian mereka bersamadhi lagi mengumpulkan kekuatan agar selalu siap menghadapi segala kemungkinan. Diam-diam mereka pun dapat menduga bahwa berkat adanya Cu Kim Giok di situ, maka agaknya Ouw Seng Bu bersikap lunak kepada mereka.
Menyerah dengan penuh kepasrahan, penuh kepercayaan akan kekuasaan Tuhan, dan berdaya upaya sekuat tenaga dan kemampuan yang ada merupakan dua persyaratan hidup yang tak boleh dipisahkan dan tidak boleh pula diabaikan kita. Hanya menyerah saja tanpa berupaya, atau hanya berupaya saja tanpa penyerahan dengan keimanan kepada Tuhan, tidaklah lengkap dan tidak pula benar. Kita hidup sebagai hasil ciptaan Tuhan yang sempurna dan lengkap, dan semua perlengkapan yang pada kita ini memang diikut-sertakan kita agar dapat kita pergunakan untuk keperluan hidup. Panca indera kita, tangan kaki kita, hati akal pikiran, semua itu merupakan perlengkapan sempurna yang sudah sepatutnya kita pergunakan, kita kerjakan demi kelangsungan hidup ini, demi kesejahteraan, demi kebahagiaan hidup. Namun, di samping daya upaya ini, kita harus yakin sepenuhnya bahwa segala sesuatu baru dapat terjadi apabila ditentukan oleh kekuasaan Tuhan! Menyerah saja tanpa usaha, sama saja dengan mempersekutu Tuhan. Kalau perlu kita lapar, kita harus makan dan untuk bisa makan kita harus mencari makanan itu. Hanya menyerah saja tanpa makan, tidak mungkin kita terbebas dari rasa lapar. Akan tetapi, mencari makanan saja tanpa penyerahan kepada Tuhan, kita dapat dibawa menyeleweng oleh nafsu sehingga kita mudah melakukan penyelewengan, misalnya mengambil kebutuhan kita itu dari orang lain, mencuri, merampok dan sebagainya. Maka, kedua syarat itu tidak terpisahkan, yaitu, pada lahirnya kita berusaha sekuat kemampuan kita, pada batinnya kita menyerah kepada kekuasaan Tuhan. Kalau sudah begini, lengkaplah sudah. Berhasil atau tidaknya usaha kita, kita serahkan kepada Tuhan. Yang terpenting, kita berusaha sekuat kemampuan kita! Kalau sudah begini, berhasil atau gagal tidak membuat kita terlalu mabuk atau terlalu kecewa, karena kita maklum sepenuhnya bahwa segala kehendak Tuhan pun jadilah! Kita hanya dapat bersyukur akan kekuasaan Tuhan. Tuhan Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui, tahu apa yang terbaik bagi kita. Mungkin di dalam suatu kenyataan yang bagi hati akal pikiran kita merupakan kegagalan, tersembunyi suatu hikmah, tersembunyi suatu berkah demi kebaikan kita. Dalam kehidupan kita ini, betapa banyaknya berkah Tuhan bersembunyi di balik pengalaman yang kita anggap menguntungkan atau tidak menyenangkan.
Demikian pula dengan Yo Han. Biarpun menurut hati akal pikiran dia tertimpa malapetaka, terkubur hidup-hidup di dalam sumur tua, suatu hal yang amat tidak menyenangkan, juga yang mengancam keselamatan nyawanya, namun pemuda ini sama sekali tidak tenggelam ke dalam keputusan, tidak terseret ke dalam kedukaan. Kekuatan seperti yang dimiliki Yo Han ini dapat kita miliki, yaitu kalau kita memiliki kepasrahan dengan penuh kesabaran dan keikhlasan, dengan iman yang sepenuhnya, sehingga kita yang sepenuhnya percaya bahwa apa pun yang terjadi, tidak lepas dari kehendak Tuhan!Yo Han terbebas dari kematian, tertimbun atau tertimpa batu, kemudian, dia terbebas pula dari bahaya kelaparan ketika dapat menemukan jamur yang dapat dimakan. Kini, dia berusaha sekuat tenaga untuk mencari jalan keluar tanpa sedikit pun pernah mengurangi penyerahannya kepada Tuhan. Andaikata Tuhan menghendaki bahwa dia akan tewas, dia sudah siap setiap saat.
Dengan amat giat dan tekun, Yo Han mencari jalan keluar dengan menggali lubang-lubang yang sempit, mencari jalan keluar. Sebuah demi sebuah batu dia lepaskan, melanjutkan gerakannya merayap dalam lubang terowongan yang kecil sempit itu. Setiap hari, bahkan dalam gelap pun dia bekerja, hanya berhenti kalau dia memerlukan istirahat untuk menghimpun tenaga baru atau kalau dia lapar dan mengantuk.
Akhirnya, pada suatu siang, ketekunan yang penuh penyerahan itu mendatangkan hasil yang sama sekali di luar dugaannya. Ada sinar terang di depan. Dia merayap terus, menyingkirkan batu-batu penghalang lubang sempit itu dan akhirnya, ternyata lubang terakhir yang merupakan lorong amat panjang itu membawa dia muncul di tepi sebuah tebing jurang, di lereng bukit!
“Terima kasih, Tuhan!” Yo Han berlutut dengan sepenuh hati merasa bersyukur akan kemurahan Tuhan yang telah membebaskannya dari dalam bumi yang seolah menghimpitnya itu! Kemudian, dia duduk bersila setelah makan jamur menghimpun kekuatan dan menjelang sore, dia mulai mencari jalan menuruni tebing yang curam itu.
Malam gelap membuat Yo Han terpaksa menghentikan usahanya dan dia melewatkan malam di tebing jurang. Pada keesokan harinya, pagi-pagi setelah terang tanah, dia melanjutkan usahanya menuruni tebing itu. Dia harus segera kembali ke Thian-li-pang dan mengadakan pembersihan di sana. Dia sekarang mengerti bahwa Ouw Seng Bu telah berkhianat, telah membunuhi para pimpinan Thian-li-pang dan mengangkat diri sendiri menjadi ketua. Dan pemuda yang aneh itu, yang memiliki ilmu aneh pula, telah mengajak golongan sesat untuk bersekutu. Thian-li-pang telah diselewengkan dia harus bertindak. Dialah yang bertaggung jawab. Dia teringat akan pesan mendiang kakek Ciu Lam Hok, gurunya, agar dia membersihkan Thian-li-pang dan mengembalikan Thian-li-pang kepada cita-cita semula, yaitu perkumpulan orang-orang berjiwa patriot, dan pendekar sejati yang berjuang untuk membebaskan bangsa dari penjajahan. Mejadi pembela bangsa bukan pengganggu keamanan rakyat, bukan menjadi penjahat!
***
“Giok-moi.... kenapa engkau menangis....?” Suara yang lembut dan sentuhan halus pada pundaknya membuat Kim Giok terkejut. Ia bangkit duduk dan melihat Seng Bu sudah duduk di tepi pembaringannya, dan kini pemuda itu merangkul pundaknya.
“Koko....aku.... aku merasa gelisah sekali....”
Seng Bu menarik gadis itu ke dadanya dan mengelus rambutnya yang halus. “Giok-moi tersayang, kenapa engkau gelisah? Bukankah di sini ada aku yang selalu siap untuk melindungimu dan membahagiakan hatimu?” Dia mengusap dahi gadis itu dengan bibirnya. “Apakah yang telah terjadi, sayangku.”
“Koko, betapa hatiku tidak akan gelisah dan risau? Ketika aku mencoba untuk membujuk Sian Li dan Hui Eng, aku hanya mendapat teguran, ejekan dan penghinaan. Ketika aku menemui tawanan baru itu, ternyata pemuda itu adalah twako Gak Ciang Hun, dan aku pun di sana menerima celaan dan makian. Ahhh, Koko, sungguh aku merasa malu dan bersedih sekali....”
“Kalau begitu, biar kuhajar mereka, kusiksa mereka yang berani menghina dan mengejekmu!”
Kim Giok memegang lengan pemuda itu. “Jangan, Koko! Bukan begitu maksudku. Aku gelisah dan risau karena aku merasa bimbang. Kenapa mereka menolak berjuang bersama kita? Mengapa mereka menganggap engkau bersalah dan jahat?”
Rangkulan Seng Bu semakin erat, dan dia berbisik dekat telinga gadis itu. “Giok-moi, apakah engkau tidak percaya kepadaku? Tentu saja mereka memusuhiku karena mereka semua itu memihak Yo Han, tidak tahu bahwa Yo Han telah berubah, telah membunuhi para pemimpin Thian-li-pang, bahkan hampir saja membunuhku. Engkau tahu sendiri betapa aku hampir mati, Giok-moi. Kalau engkau pun seperti mereka, tidak percaya kepadaku, habislah sudah harapan hidupku. Engkaulah satu-satunya orang yang memberi harapan kepadaku. Biar seluruh manusia di dunia ini tidak percaya kepadaku dan memusuhiku, akan kuhadapi dan kulawan mereka yang memusuhiku!”
“Koko....” Kim Giok yang kurang pengalaman itu terbuai oleh kemesraan kata-kata yang diucapkan Seng Bu. “Aku akan selalu berpihak padamu, membelamu dan setia kepadamu.”
“Terima kasih, Giok-moi, aku cinta padamu, Giok-moi, aku cinta padamu sepenuh jiwa ragaku.” Ucapan ini menggetar penuh perasaan dan baru saat itulah Seng Bu benar-benar bicara dari lubuk hatinya. Memang dia jatuh cinta kepada Kim Giok, walaupun cintanya bergelimang nafsu berahi, cintanya timbul karena baginya, tidak ada gadis yang lebih cantik menggairahkan daripada Kim Giok. Dengan tubuh gemetar, dia mendekap dan mencium pipi dan bibir gadis itu.
Kim Giok agak terkejut dan ia dengan halus melepaskan diri dari rangkulan. Ia sendiri kalau mau jujur, merasa senang dengan perlakuan penuh kemesraan itu, akan tetapi karena hatinya memang sedang risau, ia pun tidak ingin melanjutkan kemesraan yang membuat jantungnya berdebar keras itu.
“Koko, aku ingin bicara padamu.”
Seng Bu tersenyum. “Ehhh? Bukankah sudah sejak tadi kita bicara?” Dia hendak merangkul lagi akan tetapi Kim Giok menolak dengan tangannya.
“Aku tidak main-main dan harap engkau bersungguh-sungguh, Bu-ko. Aku minta kepadamu agar engkau suka membebaskan mereka bertiga, yaitu Sian Li, enci Hui Eng, dan Gak-twako. Kalau engkau tidak membebaskan mereka, hatiku akan selalu merasa risau. Maukah engkau, Koko?”
Seng Bu mengerutkan alisnya dan sejenak dia menatap wajah kekasihnya. penuh selidik. “Giok-moi, tidak salahkah apa yang kudengar ini? Engkau minta kepadaku agar aku membebaskan orang-orang yang memusuhi aku dan yang hendak membunuhku?” Dia tersenyum, akan tetapi senyumnya masam. “Itu berarti melepaskan tiga ekor harimau yang akan selalu mengancam keselamatanku, keselamatan kita, bahkan akan menggagalkan usaha perjuangan kita. Itukah yang kaukehendaki.”
“Tentu saja tidak, Koko. Aku akan mengajukan syarat kepada mereka, kuminta mereka berjanji tidak memusuhimu kalau kita bebaskan mereka.”
“Itu berbahaya sekali, Giok-moi.Ingat, masih ada seorang lagi dari mereka yang lolos, yaitu Pangeran Cia Sun. Dia merupakan ancaman besar bagi kita selama dia masih belum tertangkap. Setelah dia tertawan, baru kita bicarakan lagi tentang permintaanmu itu. Percayalah padaku, Giok-moi. Bukankah selama ini aku tidak pernah berbohong kepadamu dan kuperintahkan anak buah kita agar memperlakukan para tawanan itu dengan baik?” Kembali Seng Bu meraih dan merangkul, hendak mencium dan hendak merebahkan gadis itu ke atas pembaringan. Kim Giok meronta dan melepaskan diri, meloncat turun dari pembaringan, memandang kepada kekasihnya dengan alis berkerut.
“Koko, apa yang kaulakukan ini?”
“Giok-moi, kita saling mencinta dan aku tahu, aku selalu sibuk dengan pekerjaan ini. Aku.... aku ingin.... memiliki dirimu sepenuhnya. Giok-moi....” Pemuda itu hendak merangkul lagi, akan tetapi Kim Giok melangkah mundur menghindar.
“Bu-ko, kita tidak boleh kita belum menikah!”
“Giok-moi, kasihanilah aku. Kita pasti akan menikah, akan tetapi aku harus meminangmu dulu kepada orang tuamu dan hal itu akan makan waktu lama. Aku ingin memiliki dirimu sepenuhnya, sekarang....”
“Tidak, aku tidak mau!”
“Giok-moi....!” Seng Bu menjulurkan kedua tangannya, akan tetapi Kim Giok meloncat keluar dari dalam kamar itu, dikejar kekasihnya. Sebetulnya, Seng Bu bukanlah seorang pemuda yang gila wanita, bukan pula hamba nafsu berahi. Akan tetapi, dia sungguh-sungguh jatuh cinta kepada Kim Giok dan dia takut kehilangan gadis itu yang agaknya kini meragu dan bahkan minta agar para tawanan dibebaskan. Kalau dia dapat menggauli Kim Giok sekarang, tentu gadis itu terikat kepadanya dan tidak akan lepas lagi dari tangannya, bahkan akan lebih kuat dan patuh kepadanya. Karena itu, sikapnya sekarang seperti hendak memaksa Kim Giok menyerahkan diri lebih dipengaruhi perhitungan yang menguntungkan dirinya daripada sekedar terseret nafsu berahi.
Kim Giok berlari keluar dari bangunan itu, dikejar oleh Seng Bu yang tentu saja tidak hendak berlaku kasar, hanya mengejar untuk membujuk kekasihnya.
“Giok-moi, tunggu....!” serunya sambil tertawa karena merasa betapa kekasihnya itu seperti mengajaknya bermain kejar-kejaran seperti kanak-kanak saja.
Pada saat itu, terdengar suara terompet dan tambur, disusul kegaduhan luar biasa di bawah puncak. Beberapa orang anak buah Thian-li-pang berlari-larian dan ketika Kim Giok dan Seng Bu yang berhenti berlari memandang, nampak Kui Thian-cu, Im Yang-ji dan Siangkoan Kok datang pula berlarian.
“Ah, celaka, Pangcu!” kata Im Yang-ji dengan muka pucat. Tosu Pat-kwa-pai yang tinggi kurus ini nampak gugup.
“Apa yang terjadi? Kenapa kalian begitu panik?” Seng Bu bertanya.
“Pangcu, pasukan besar pemerintah telah mengepung kita dari empat penjuru!” kata pula Im Yang-ji.
“Jahanam!” Seng Bu berseru marah dan matanya mulai mencorong aneh sehingga Kim Giok yang melihatnya menjadi terkejut. Dalam keadaan marah seperti itu, Seng Bu seolah telah berubah, wajahnya bengis, pandang matanya mencorong dan otaknya mendadak saja menjadi cerdik dan licik sekali. “Im Yang-ji Totiang, dan Kui Thian-cu Totiang, kalian cepat atur pasukan kalian masing-masing menyambut musuh dari sayap kanan dan kiri. Dan engkau, paman Siangkoan, cepat atur barisan Thian-li-pang kita, bagi menjadi dua untuk mempertahankan depan dan belakang. Aku akan menangkap para tawanan untuk dijadikan sandera, karena aku yakin Pangeran Cia Sun berdiri di belakang penyerbuan ini!”
Tiga orang pembantu itu segera pergi melakukan perintah dan Seng Bu hendak berlari masuk, agaknya sudah lupa sama sekali kepada Kim Giok.
“Koko, jangan!” Kim Giok melompat dan gadis ini sudah berdiri menghadang Seng Bu.
“Giok-moi, minggirlah kau!” bentak Seng Bu marah, matanya yang mencorong itu sama sekali sudah tidak mengandung sinar kasih sayang, melainkan kebengisan dan kemarahan.
“Tidak, Bu-koko! Engkau tidak boleh membuat mereka bertiga menjadi sandera. Bahkan setelah pasukan pemerintah menyerang, jelas bahwa mereka tidak mempunyai hubungan dengan itu karena mereka berada di sini sebagai tawanan, maka kita sudah seharusnya membebaskan mereka sekarang juga. Mungkin mereka akan menyadari dan membantu kita untuk melawan pasukan pemerintah.”
“Minggir, Giok-moi! Kalau mereka tidak boleh dijadikan sandera, mereka bahkan harus dibunuh agar berkurang musuh kita.”
“Bu-ko, musuh kita adalah penjajah Mancu, bukan anggauta keluarga besar para pendekar!” kata Cu Kim Giok dan kini Koai-liong-pokiam telah terhunus di tangannya. “Aku tidak memperkenankan siapapun membunuh para tawanan itu!”
Mendengar ini, tiba-tiba Ouw Seng Bu tertawa, dan suaranya tawanya sungguh mendirikan bulu roma, mengerikan. “Haha-ha-ha-ha, kiranya engkau pun kini menjadi musuhku, Giok-moi? Engkau kucinta sepenuh jiwa ragaku, engkau pun memusuhi aku? Engkau tega sekali, Giokmoi....” dan laki-laki ini pun menangis! Kim Giok sampai menjadi bengong dan baru sekarang ia dapat menduga bahwa pria yang dicintanya ini adalah seorang yang miring otaknya.
“Ha-ha-ha,” Seng Bu tertawa lagi. “Engkau hendak membela mereka?” Dia pun berteriak kepada sekelompok anak buahnya yang berlari dekat. “Heiii, kalian! Cepat suruh bakar tempat tahanan. Sekarang juga, cepat!”
“Baik, Pangcu!” sahut mereka dan mereka pun berlarian ke arah rumah tahanan.
“Tidaaak, jangan....!” Kim Giok melompat ke depan untuk mengejar dan mencegah anak buah Thian-li-pang itu melakukan pembakaran.
“Cu Kim Giok, engkau musuh kami!” terdengar bentakan Seng Bu dan dia pun sudah meloncat lalu langsung mengirim pukulan ketika tubuhnya dan tubuh Kim Giok masih melayang di udara.
Karena tidak menduga bahwa pria yang dikasihinya itu akan menyerangnya, juga karena serangan aneh itu datangnya amat cepat, membawa angin dingin, maka biarpun Kim Giok berusaha melakukan gerakan poksai (salto) untuk menghindar, tetap saja lambungnya terkena pukulan itu.
“Aughhh....!” Kim Giok mengeluh dan tubuhnya terkulai, jatuh ke atas tanah. Ia rebah miring dan merasa betapa lambungnya seperti dimasuki benda dingin sekali, seperti sebongkah air beku dan dadanya sesak, pandang matanya berkunang.
“Giok-moi.... kekasihku.... Giok-moi....!” Seng Bu menangis dan dia menghampiri tubuh yang roboh miring itu. Akan tetap pada saat itu, terdengar suara yang membuat Seng Bu terkejut seperti disengat binatang berbisa dan tengkuknya terasa dingin dan tebal saking ngeri dan takutnya.
“Ouw Seng Bu, pengkhianat keji manusia berhati iblis!” Suara Yo Han. Cepat Seng Bu membalikkan tubuhnya dan dia sudah berhadapan dengan Yo Han! Dia merasa seperti dalam mimpi dan menatap wajah Yo Han dengan mata terbelalak. Apalagi mendengar suara gaduh pertempuran yang menunjukkan bahwa pasukan pemerintah sudah menyerbu ke dalam perkampungan Thian-li-pang.
Sementara itu, Kim Giok mengangkat mukanya dan ia terbelalak melihat api telah membakar rumah tahanan. Melihat api mulai berkobar, seakan timbul semangat dan kekhawatirannya. Ia meloncat dan dengan pedang di tangan, ia seperti melupakan rasa nyeri di lambungnya. Ia berlari menuju ke rumah tahanan itu, tidak mempedulikan lagi kepada Seng Bu.
Setelah tiba di dekat rumah tahanan itu, dia melihat beberapa orang anggauta Thian-li-pang sedang membakar bagian samping rumah tahanan yang sudah mulai berkobar. Dengan marah Kim Giok menggerakkan pedangnya dan empat orang anggauta Thian-li-pang roboh. Dua orang lagi yang menjadi terkejut melihat tunangan ketua mereka mengamuk, tahu bahwa calon nyonya ketua itu kini menjadi musuh. Mereka menggerakkan golok, akan tetapi mereka pun segera terpelanting mandi darah, menjadi korban pedang Koai-liong Po-kiam di tangan gadis dari Lembah Naga Siluman itu. Kim Giok tidak mempedulikan berkobarnya api, dengan cepat ia meloncat masuk, menyelinap dan berlari menuju ke kamar tahanan. Ia melihat betapa Sian Li dan Hui Eng telah dapat mematahkan rantai yapg membelenggu kaki tangan mereka dan mereka berdua kini sedang berusaha sekuat tenaga untuk menjebol jeruji baja dengan menarik dan membetot-betot, namun agaknya usaha ini tidak akan membawa hasil. Juga di bagian ujung sana, di mana Gak Ciang Hun, Gan Bi Kim dan lima orang tosu ditahan, terdengar suara gaduh ketika mereka mendorong-dorong pintu baja kamar tahanan mereka.
Dengan sisa tenaga terakhir, Kim Giok menyambut empat orang anggauta Thian-li-pang yang agaknya hendak meninggalkan ruangan yang mulai terbakar itu. Mereka adalah para penjaga sebelah dalam dan ia tahu bahwa kunci kamar-kamar tahanan itu pasti berada di tangan mereka. Pedangnya berkelebat menyambar-nyambar dan robohlah empat orang itu. Kim Giok memeriksa pakaian mereka dan menemukan gelang besi yang digantungi beberapa buah kunci. Cepat ia menghampiri kamar tahanan di mana Sian Li dan Hui Eng sejak tadi memandangnya dengan sinar mata penuh harapan dan kegembiraan. Tentu saja mereka berdua merasa gembira sekali bahwa pada saat terakhir, ternyata Kim Giok menunjukkan bahwa ia tetap seorang puteri sepasang pendekar dari Lembah Naga Siluman yang gagah perkasa!
Setelah Kim Giok berhasil membuka kunci pintu dan menarik daun pintu baja terbuka, ia pun terhuyung. Ia menyerahKan gelang kunci kepada Sian Li sambil berpegang kepada jeruji.
“Cepat.... bebaskan mereka.... di ujung sana....!” Dan ia pun terkulai roboh.
“Kim Giok....!” Sian Li berseru dan cepat merangkulnya. Kepada Hui Eng ia berkata, “Enci Eng, cepat bebaskan tawanan di ujung sana, bahkan kalau masih ada yang lain, bebaskan mereka semua.”
Hui Eng menerima kunci dan tak lama kemudian ia sudah membuka pintu kamar tahanan di mana Ciang Hun dan lain-lain dikeram.
Sian Li masih memeriksa keadaan Kim Giok dan terkejutlah ia ketika melihat lambung gadis itu terdapat tanda menghitam dan sekali raba saja tahulah ia bahwa isi perut gadis itu telah menderita luka yang agaknya tidak mungkin disembuhkan lagi.
“Kim Giok....!” Ia merangkul, penuh keharuan. Biarpun gadis yang terluka parah itu tidak menerangkan, Sian Li sudah dapat menduga bahwa tentu Kim Giok terpukul oleh Ouw Seng Bu ketika gadis ini nekat hendak membebaskan ia dan Hui Eng. Hanya yang membuat ia heran, bagaimana Kim Giok tetap masih dapat membebaskannya, padahal pukulan itu saja merupakan pukulan maut yang mematikan.
“Sian Li.... mintakan ampun.... kepada ayah ibu....” Kim Giok mengeluh dan terkulai.
“Sian Li, cepat kita harus meninggalkan tempat ini. Kebakaran mulai membesar dan sebentar lagi tidak akan ada jalan keluar,” kata Hui Eng yang datang bersama Gak Ciang Hun, Gan Bi Kim dan lima orang tosu Bu-tong-pai.
Sian Li memandang dan Ciang Hun juga berkata, “Benar, adik Sian Li, kita harus cepat pergi. Ah, bukankah itu adik Cu Kim Giok? Kenapa ia?”
Sian Li menjawab dengan suara gemetar, “Gak-twako.... tanpa pertolongan Kim Giok, kita semua akan hangus dan mati terbakar. Ia yang menolong kita membukakan pintu tahanan dan ia.... ia telah tewas. Mari, bantu aku membawanya keluar, Twako.”
Tanpa diminta untuk ke dua kalinya, Ciang Hun sudah mengangkat tubuh yang masih hangat dan lemas itu, memondong dan membawanya ke luar bersama yang lain.
Melihat di luar sudah terjadi pertempuran hebat antara anak buah Thian-li-pang melawan pasukan pemerintah yang menyerbu masuk, Sian Li menyerahkan jenazah Kim Giok agar ditunggu oleh lima orang tosu Bu-tong-pai yang masih menderita luka-luka, sedangkan ia sendir bersama Hui Eng, Ciang Hun dan Bi Kim lalu mengamuk, membantu pasukan menyerbu para anggauta Thian-li-pang sehingga mereka itu cerai-berai dan banyak yang jatuh.
“Aku harus mencari Seng Bu!” teriak Sian Li dengan marah.
“Aku akan mencari Siangkoan Kok!” kata pula Hui Eng.
Akan tetapi, mereka melihat Siangkoan Kok dan dua orang tosu pembantu, yaitu Im Yang-ji tokoh Pat-kwa-pai dan Kui Thian-cu tokoh Pek-lian-kauw, mengamuk dan membuat para perajurit dan perwira yang mengeroyok menjadi kocar-kocir dan banyak perajurit yang roboh. Hui Eng yang melihat Siangkoan Kok mengamuk, segera mencabut pedangnya dan menyerang bekas ayah angkatnya, juga gurunya itu. Memang Ouw Seng Bu tidak merampas senjata para tawanan itu sehingga kini mereka dapat mempergunakan senjata masing-masing. Melihat gadis itu nekat menyerang bekas ketua Pao-beng-pai yang lihai itu, Sian Li merasa khawatir dan ia pun sudah menerjang maju membantu Hui Eng mengeroyok Siangkoan Kok. Adapun Gak Ciang Hun dan Gan Bi Kim sudah membantu para perwira dan perajurit yang mengeroyok dua orang tosu dari Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw.
Siangkoan Kok yang terkejut sekali melihat para tawanan sudah lolos, terpaksa mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk menghadapi dua orang gadis yang tangguh itu. Tingkat kepandaian bekas puteri dan muridnya itu sudah hampir menyusulnya, sedangkan Si Bangau Merah juga merupakan seorang wanita yang amat lihai, maka dia pun harus mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk membela diri.
Jumlah pasukan yang menyerbu amatlah banyaknya sehingga orang-orang Thian-li-pang menjadi kewalahan dan terdesak hebat. Tiba-tiba muncul Cia Sun yang memimpin sebuah regu perajurit pilihan dan melihat betapa kekasihnya sudah bertanding melawan Siangkoan Kok dibantu Tan Sian Li, dia pun segera memerintahkan para perwira dan perajurit yang memiliki kepandaian untuk ikut pula mengeroyok. Pertandingan berat sebelah itu tidak berlangsung terlalu lama. Biarpun mereka bertiga berhasil merobohkan banyak perajurit, namun Siangkoan Kok, Im Yang-ji, dan Kui Thian-cu setelah menderita banyak luka-luka, akhirnya roboh. Siangkoan Kok tewas dengan dada tertembus pedang di tangan Hui Eng. Im Yang-ji dan Kui Thian-cu juga tewas dengan tubuh penuh luka.
Cia Sun gembira sekali melihat Hui Eng selamat. “Adik Sian Li, di sana kulihat kakak Yo Han sedang bertanding melawan Ouw Seng Bu.”
Sian Li mengeluarkan suara seperti sorak gembira mendengar ini dan ia pun berlari cepat menuju ke arah yang ditunjuk Cia Sun diikuti oleh yang lain. Setelah tiba di tempat yang dimaksudkan, mereka tertegun menyaksikan sebuah pertandingan yang luar biasa hebatnya. Ketika ada yang hendak bergerak membantu Yo Han, Sian Li cepat berkata, “Jangan ada yang bergerak, Han-koko tidak akan kalah dan dia tidak senang kalau dibantu dengan pengeroyokan.” Mendengar ucapan ini, semua orang maklum dan mereka menonton dengan kagum dan juga tegang, kecuali Sian Li yang percaya sepenuhnya bahwa kekasih hatinya tidak akan kalah.
Pertemuan antara Yo Han dan Ouw Seng Bu tentu saja membuat ketua Thian-li-pang itu terkejut setengah mati. Wajahnya menjadi pucat, matanya terbelalak, akan tetapi perlahan-lahan wajah itu berubah merah dan matanya menjadi mencorong liar penuh kebencian dan kemarahan.
“Kau....???!!” Seng Bu berseru dan suaranya terdengar dingin dan tajam mengiris jantung, mulutnya kini membentuk senyum menyeringai yang amat bengis. Yo Han sendiri merasa bulu tengkuknya berdiri. Orang ini tidak waras, pikirnya.
“Ouw Seng Bu, kenapa engkau membunuh Lauw Pangcu dan para pimpinan Thian-li-pang?”
Seng Bu merasa tidak perlu lagi merahasiakan semua perbuatannya dan dia tertawa.”Ha-ha-ha, mereka itu tidak ada gunanya, membuat Thian-li-pang menjadi lemah saja. Thian-li-pang harus menjadi yang terkuat, harus dapat mengajak seluruh kekuatan untuk menghancurkan penjajah Mancu. Mereka itu orang-orang lemah!”
“Ouw Seng Bu, engkau membunuh mereka dan menguasai Thian-li-pang, bukan demi perjuangan melainkan untuk mencari kedudukan tinggi. Engkau bersekutu dengan golongan sesat, engkau membiarkan anak buah Thian-li-pang melakukan perbuatan jahat. Bahkan engkau secara tak tahu malu dan curang sekali menjebak aku ke dalam sumur. Heran sekali kenapa engkau, murid Lauw Pangcu yang dahulu amat dipercaya dan baik, mendadak berubah seperti iblis? Apakah engkau telah menjadi gila?”
“Yo Han, semua orang Thian-li-pang memujamu. Kau lalu menjadi sombong. Kaukira hanya engkau yang telah menguasai Bu-kek Hoat-keng? Ha-ha-ha, aku pun telah menguasainya dan aku akan membunuhmu untuk kedua kalinya!” Setelah berkata demikian, Ouw Seng Bu menyerang dengan gerakan yang aneh dan dahsyat sekali. Dam-diam Yo Han merasa heran dan terkejut mendengar bahwa orang ini telah menguasai Bu-kek Hoat-keng, dan melihat serangan yang luar biasa itu. Yang membuat dia heran adalah mengenal gerakan tangan Seng Bu ketika menyerangnya. Memang itu adalah gerakan dari Bu-kek Hoat-keng!
Karena merasa heran, Yo Han ingin sekali melihat lebih banyak lagi gerakan itu dan dia pun mengelak cepat tanpa membalas, membiarkan Seng Bu menyerang lagi bertubi-tubi. Dan tidak salah lagi, jurus-jurus yang dimainkan Seng Bu ketika menyerangnya adalah ilmu Bu-kek Hoat-keng, akan tetapi semakin lama, semakin aneh saja perkembangan jurus-jurus itu. Hebatnya, serangan itu mengandung hawa dingin yang aneh karena ketika satu kali dia menangkis, tangannya yang bertemu lengan lawan itu terasa panas! Pukulan Seng Bu itu mengandung hawa beracun yang amat ganas! Berbahaya sekali bagi lawan dan tidak mengherankan kalau Lauw Kang Hui dan yang lain-lain tewas di tangan Seng Bu. Dia sendiri kalau tidak menguasai Bu-kek Hoat-keng, tentu akan terpengaruh hawa beracun itu.
Seng Bu yang merasa bahwa dia telah memiliki ilmu yang tak terkalahkan, makin berbesar hati melihat Yo Han tak pernah membalas dan hanya lebih banyak mengelak dan berloncatan untuk menghindarkan serangan-serangannya. Akan tetapi dia pun merasa penasaran melihat dia belum juga berhasil. Dia harus dapat membunuh Yo Han secepatnya agar dia mendapatkan kesempatan untuk melarikan diri, karena dia melihat betapa banyaknya pasukan pemerintah menyerbu perkampungan Thian-li-pang itu. Maka, dia segera berteriak memanggil anak buahnya dan sedikitnya dua puluh orang anak buah Thian-li-pang kini menggunakan senjata mereka mengepung dan mengeroyok Yo Han!
Yo Han maklum bahwa Seng Bu mencari kesempatan melarikan diri dan hal ini haruslah dicegah. Maka, dia pun tidak pernah meninggalkan atau menjauhi Seng Bu. Dia mulai menggunakan ilmunya untuk menyerang dan menutup jalan keluar Seng Bu, sedangkan para anak buah Thian-li-pang yang mengepung dan mengeroyoknya dengan ragu-ragu dan gentar, dia robohkan dengan tendangan dan tamparan saja, tidak membuat mereka terluka parah.
“Para anggauta Thian-li-pang, cepat kalian ajak teman-teman untuk melarikan diri! Jangan hiraukan lagi Ouw Seng Bu yang menyeret kalian ke dalam penyelewengan!” beberapa kali Yo Han berseru.
“Kelak aku sendiri yang akan membangun kembali Thian-li-pang!” kembali Yo Han berseru. Terjadi kebimbangan dalam hati para anggauta Thian-li-pang. Mereka yang memang berwatak jahat dan lebih senang dipimpin Seng Bu karena di bawah bimbingan Seng Bu mereka dapat melampiaskan nafsu dan keserakahan mereka secara bebas, tidak mempedulikan seruan Yo Han ini dan mereka tetap melakukan perlawanan dan setia kepada Seng Bu. Akan tetapi, lebih banyak lagi angauta yang hanya terpaksa mentaati ketua baru itu, dan kini para anggauta ini segera menyampaikan pesan kepada kawan-kawan sehaluan dan mereka pun mulai berserabutan mencari lubang untuk meloloskan diri dari penyerbuan pasukan pemerintah.
Mendengar teriakan Yo Han dan melihat betapa anak buahnya yang mengeroyok Yo Han terpelanting ke kanan kiri sehingga dia tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk meloloskan diri dari Yo Han, Seng Bu menjadi marah dan nekat.
“Yo Han, engkau harus mati di tanganku!” bentaknya dan dia pun menyerang lagi sambil mengeluarkan teriakan yang menyeramkan, bukan teriakan manusia lagi melainkan teriakan iblis. Dan pada saat itulah Sian Li dan para tokoh lain muncul dan menjadi penonton.
Yo Han juga melihat mereka dan hatinya berdebar girang bukan main melihat Sian Li dalam keadaan sehat dan selamat. Dia pun mengenal Hui Eng dan Cia Sun, membuat hatinya menjadi semakin girang bahwa adik angkatnya itu telah bersatu dengan kekasihnya. Akan tetapi hanya sebentar dia dapat melirik ke arah Sian Li dan yang lain-lain karena dia harus memperhatikan lawannya yang ternyata amat tangguh dan memiliki ilmu silat yang amat aneh itu.
“Hyaaattt....!!” Seng Bu nekat melihat munculnya para tawanan. Tahulah dia bahwa dia harus membela diri mati-matian dan tidak ada jalan keluar kecuali dia dapat membunuh Yo Han. Sambil mengeluarkan bentakan nyaring, dia menyerang dengan gencar, kedua tangannya melakukan pukulan dengan cara mendorong dengan telapak tangan, dan dari kedua tangannya itu menyambar hawa yang dingin seperti es, dan nampak pula uap hitam membiru keluar dari kedua telapak tangan itu.
“Hemmm....!!” Yo Han mengelak dan menampar dari samping. Lawannya agaknya mengenal gerakan serangan ini dan dapat mengelak dengan baik, lalu membalas dengan dorongan tangan kanan. Diam-diam Yo Han semakin heran. Dia mengenal benar gerakan kaki tangan Seng Bu itu.
Datang lagi serangan dahsyat dari Seng Bu yang mengerahkan seluruh tenaganya dalam setiap serangan. Yo Han merasa aneh. Dia yakin bahwa gerakan-gerakan itu benar ilmu Bu-kek Hoat-keng seperti yang pernah dipelajarinya dari kakek Ciu Lam Hok. Bagaimana mungkin Seng Bu dapat mempelajarinya? Kakek itu telah meninggal, dan semua coret-moret di dalam lorong sumur tua telah dihapus. Dia tidak tahu bahwa kakek Ciu Lam Hok pernah membuat coret-moret lain di sumur ke dua, yang ditemukan Seng Bu, catatan ilmu itu yang tidak lengkap sama sekali dan yang telah dipelajari dengan keliru oleh Seng Bu. Yo Han mengenal semua gerakan itu, akan tetapi ilmu Bu-kek Hoat-keng yang dipelajarinya mempungai daya mengembalikan setiap pukulan lawan. Bu-kek Hoat-keng bukan pukulan untuk merobohkan orang, melainkan mempunyai daya tolak yang luar biasa sehingga serangan yang bagaimana hebat pun, akan membalik kepada penyerangnya sendiri. Akan tetapi, gerakan yang mirip Bu-kek Hoat-keng dan dimainkan Seng Bu ini memiliki daya serang yang demikian dahsyatnya, mengandung hawa maut dan beracun! Kalau dia sendiri mempergunakan tenaga Bu-kek Hoat-keng, tentu pukulan aneh dari Seng Bu itu akan membalik dan mana mungkin ada manusia dapat bertahan kalau terkena pukulan sehebat itu? Dia tidak ingin membunuh Seng Bu, walaupun dia tahu bahwa Seng Bu telah membunuh Lauw Kang Hui dan para pimpinan lain dan pemuda itu telah membawa Thian-li-pang menyeleweng. Dia ingin menyadarkan Seng Bu dan membuat pemuda itu bertaubat. Tidak ada istilah terlambat untuk bertaubat selagi manusianya masih hidup.
Akan tetapi, justeru karena dia tidak mau membunuh lawan, maka perkelahian itu menjadi amat seru dan juga tidak mudah bagi Yo Han untuk menundukkan lawannya. Karena dia memiliki ilmu Bu-kek Hoat-keng yang asli, tentu saja tingkatnya lebih tinggi dibandingkan Seng Bu. Bu-kek Hoat-keng yang dimiliki dan dikuasai Seng Bu telah menjadi ilmu sesat yang amat keji dan berbahaya, sedangkan yang dikuasai Yo Han adalah ilmu yang mengandung keajaiban, yang memiliki daya menolak semua kekuatan jahat, bahkan menolak semua hawa beracun. Namun, karena Yo Han tidak bermaksud membunuh, tidak membalas serangan lawan dengan jurus ampuh mematikan, dan bahkan dia tidak mau menggunakan tenaga menolak balik serangan Seng Bu, maka perkelahian itu menjadi ulet dan lama. Seng Bu mengerahkan seluruh tenaganya, namun semua hawa sakti yang keluar dari tubuhnya, bagaikan batu besar dilempar ke dalam telaga saja ketika dipakai menyerang Yo Han, semua tenaga itu tenggelam dan tidak mendatangkan akibat apa pun. Setiap kali Yo Han menangkis, tangan Seng Bu tergetar hebat dan seperti lumpuh. Seng Bu tidak tahu bahwa kalau Yo Han menggunakan tenaga sakti dari Bu-kek Hoat-keng, maka tenaganya bukan hanya tenggelam, melainkan membalik dan seolah dia memukul dirinya sendiri.
Bagi mereka yang menonton perkelahian itu, tentu saja nampak amat seru dan menegangkan. Sian Li sampai bermandi peluh menyaksikan perkelahian itu karena tidak kelihatan kekasihnya unggul, walaupun juga tidak nampak terdesak. Agaknya kedua orang itu memiliki ilmu dan kekuatan yang serupa dan setingkat!
“Haaaiiihhhhh....!!” Kembali Seng Bu menyerang, sekali ini tubuhnya mencelat ke atas, bagaikan seekor burung garuda dia menyambar turun dengan kedua tangan dijulurkan lurus ke depan, dengan pengerahan tenaga sepenuhnya ke arah kedua telapak tangannya yang berwarna kehitaman dan mengeluarkan uap hitam.
Melihat serangan maut yang amat berbahaya ini, Sian Li mengepal tangan kanannya dan memandang dengan mata terbelalak. Sebagai seorang ahli ilmu silat Ang-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Merah), ia tahu betapa besar bahayanya serangan seperti itu, karena di dalam ilmu silatnya terdapat pula jurus penyerangan sambil melayang seperti itu.
Akan tetapi Yo Han juga mengenal jurus yang berbahaya ini dan tahulah dia bahwa Seng Bu sudah nekat dan hendak mengadu nyawa! Dengan tenang saja Yo Han sudah mengambil keputusan bahwa dia harus cepat menundukkan Seng Bu dan merobohkannya, walaupun tidak harus membunuhnya. Pemuda ini agaknya sudah miring otaknya, maka kalau dibiarkan lolos dan membawa pergi ilmunya yang sesat, akan merupakan bahaya besar bagi umum, terutama sekali bagi dunia kang-ouw. Dia harus dapat berusaha menyadarkannya atau merampas ilmu sesat itu. Bagaikan seekor burung walet, tiba-tiba tubuh Yo Han juga mencelat ke atas menyambut serangan Seng Bu. Melihat ini, Seng Bu mengeluarkan suara tawa aneh karena dia girang dan yakin sekali ini akan mampu membunuh Yo Han. Dengan pengerahan seluruh tenaganya, dia menggunakan kedua tangannya mendorong ke arah tubuh Yo Han.
“Wuuuttt....!” Seng Bu terkejut karena tiba-tiba tubuh itu lenyap dari depannya dan kedua tangannya menghantam udara kosong. Maklum bahwa dia terkecoh, dia berusaha membuat gerakan jungkir balik seperti yang dilakukan Yo Han dengan cepat ketika mengelak tadi, namun terlambat. Dari sebelah atasnya, Yo Han telah menggunakan tangan yang dimiringkan untuk memukul punggung Seng Bu.
“Desss....!!” Seng Bu mengeluarkan keluhan lirih dan tubuhnya terbanting ke atas tanah. Yo Han menyusul dengan melayang turun. Akan tetapi, dapat dibayangkan kagetnya hati Pendekar Tangan Sakti ini ketika tiba-tiba tubuh yang tadinya terbanting roboh itu, telah bergerak meloncat bangun dan menyambut Yo Han yang baru saja turun itu dengan dorongan kedua tangan, dahsyat bukan main karena Seng Bu mengerahkan seluruh tenaga terakhir dalam serangan mendadak ini. Ternyata Seng Bu memiliki kekuatan luar biasa sehingga pukulan Yo Han tadi seolah tidak terasa olehnya!
Tidak ada lain jalan bagi Yo Han kecuali dia juga menyambut dengan kedua tangannya didorongkan ke depan.
“Wuuuttt.... plakkk!” Dua pasang tapak tangan itu bertemu dan melekat! Yo Han merasa betapa ada hawa yang amat dingin menyerangnya. Akan tetapi, dia mengerahkan tenaga panas dan kini Seng Bu yang merasa betapa kekuatannya terdorong oleh tenaga yang dahsyat sekali. Dia mempertahankan dan terjadilah dorong mendorong dengan menggunakan ilmu yang sama, yaitu Bu-kek Hoat-keng, akan tetapi kalau ilmu yang dikuasai Yo Han murni, sebaliknya yang dikuasai Seng Bu merupakan ilmu sesat yang timbul karena keliru latihan.
Dari kepala Yo Han mengepul uap putih, sebaliknya dari kepala Seng Bu mengepul uap hitam. Seng Bu mendengus-dengus, muka dan lehernya sudah penuh keringat dan perlahan-lahan, tenaganya mengendur sedangkan hawa panas dari tapak tangan Yo Han mulai memasuki dirinya melalui kedua tapak tangannya.
Yo Han merasa mendapatkan kesempatan. Dia harus menggunakan tenaga saktinya untuk mendorong keluar hawa beracun itu dari tubuh Seng Bu, dan merusak pusat penghimpunan sin-kang agar selanjutnya Seng Bu tidak dapat lagi mempergunakan ilmu sesatnya itu. Dia sudah mengambil keputusan bahwa itulah satu-satunya jalan untuk memaksa Seng Bu kembali ke jalan benar, yaitu dengan mengadakan kekuatan yang akan mendorongnya melakukan kekejian. Kalau Seng Bu sudah tidak memiliki kekuatan yang dapat dia andalkan, tentu dia tidak akan mampu merajalela lagi.
Sian Li, Hui Eng, Ciang Hun, Cia Sun, dan Bi Kim yang maklum apa artinya adu tenaga sin-kang antara kedua orang muda yang lihai itu, menonton dengan hati tegang. Terutama sekali Sian Li. Gadis ini maklum bahwa dalam adu tenaga sin-kang seperti itu, berarti adu nyawa, dan kalau sampai kekasihnya kalah dalam adu tenaga sin-kang ini, ia tahu bahwa Seng Bu pasti tidak segan-segan untuk membunuhnya. Untuk membantu, ia tidak mau karena hal itu akan merendahkan Yo Han dan tidak sesuai dengan watak pendekar. Maka, wajahnya sudah mulai pucat karena ia merasa gelisah sekali.
“Jangan takut, dia pasti menang,” terdengar Hui Eng berbisik di sampingnya dan Sian Li mengangguk, berterima kasih karena ia pun tahu bahwa Hui Eng cukup lihai untuk dapat menduga yang tepat, menghilangkan keraguannya sendiri.
Dan memang ucapan Hui Eng itu bukan sekedar hiburan kosong belaka. Gadis lihai ini sudah melihat betapa Seng Bu terdesak hebat dalam adu tenaga itu, membuat uap tebal menghitam keluar dari kepalanya, matanya mendelik dan keringatnya membasahi muka dan leher, juga nampak betapa tubuh Seng Bu mulai menggigil.
Seng Bu maklum bahwa dia tidak akan menang, akan tetapi dia pun tidak mau menyerah. Masih dikerahkan tenaganya yang terakhir dan dia seperti mendengar suara tulang patah di dalam dadanya, dan dia pun melangkah mundur, kedua tangannya ditarik lepas dari tangan Yo Han dan menggunakan kedua tangan untuk menekan dadanya yang terasa nyeri. Dia pan muntahkan darah segar, terhuyung ke belakang.
“Ouw Seng Bu, masih ada kesempatan hidup bagimu. Pergi, berobat dan bertaubatlah!” kata Yo Han lembut.
Dengan mata mendelik penuh kebencian Seng Bu memandang kepada Yo Han, kemudian, dia masih nekat hendak mengerahkan tenaga dan menyerang lagi. Akan tetapi begitu dia mengerahkan tenaga sin-kang, isi dada perutnya seperti diremas, membuat dia mengeluh dan terhuyung, dan dia memandang kepada Yo Han dengan mata terbelalak bingung.
“Seng Bu, engkau tidak akan dapat menggunakan tenaga berbuat kejahatan lagi. Bertaubatlah!” kata Yo Han lembut dan dalam suaranya terkandung perasaan iba.
Mendengar ini, tahulah Seng Bu bahwa sudah habis baginya, habis segalanya.
Dia teringat secara mendadak kepada Cu Kim Giok, gadis yang dicinta dan mencintanya, dan di dalam lubuk hatinya timbul penyesalan yang amat mendalam. Dia mengeluarkan keluhan panjang lalu tubuhnya membalik dan dia sudah berlari menuju ke tempat tahanan yang kini berkobar dimakan api. Yo Han dan semua orang mengejarnya.
Ketika Seng Bu melihat lima orang tosu Bu-tong-pai, berdiri dan tak jauh dari situ rebah sesosok tubuh, ia tersentak kaget mengenal tubuh Kim Giok yang dicarinya. Tanpa mempedulikan apa pun, dia berseru memanggil, “Giok-moi....!!” Dan, dia pun menubruk mayat gadis itu.
“Giok-moi ah, Giok-moi....!” Dia meratap dan menangis. Yo Han dan yang lain-lain sudah tiba di situ.
“Ouw Seng Bu iblis busuk, tak perlu lagi engkau pura-pura menangis! Simpan saja air mata buayamu itu, karena Kim Giok tewas oleh pukulanmu. Engkaulah yang telah membunuhnya, kenapa engkau kini pura-pura menangis?” tegur Sian Li gemas dan marah.
Mendengar ucapan Sian Li, tangis Seng Bu semakin menjadi-jadi. Seperti anak kecil dia menangis dan meratap, sesenggukan. “Giok-moi.... Kim Giok.... ampunkan aku.... ampunkan aku....” demikian ratapnya berulang kali, kemudian tanpa diduga-duga oleh semua orang, tiba-tiba dia menggerakkan tangan kanannya, meringis menahan nyeri ketika mengerahkan tenaga terakhir dan tangan itu menyambar dan mencengkeram ubun-ubun kepalanya sendiri. Terdengar suara tulang patah dan dia pun roboh dan tewas di atas jenazah Kim Giok yang masih hangat.
Semua orang terbelalak, akan tetapi mereka tidak mampu berbuat apa-apa. “Mungkin inilah yang terbaik....” kata Yo Han halus penuh rasa haru dan iba.“Kakak Yo Han, untung engkau dapat muncul dalam keadaan selamat, kalau tidak.... sukar aku membayangkan apa yang akan terjadi dengan kami semua,” kata Cia Sun.
Yo Han memandang kepada adik angkatnya itu sambil mengerutkan alisnya dan suaranya memang lembut, namun penuh teguran ketika dia berkata, “Ciasiauwte, kenapa engkau melanggar janji, mengerahkan pasukan pemerintah untuk menyerbu perkumpulan pejuang?”
Wajah Cia Sun berubah kemerahan. “Ahhh, Twako. Aku sama sekali bukan mengerahkan pasukan untuk menyerbu perkumpulan pejuang, melainkan terpaksa mengerahkan pasukan untuk menolong Eng-moi dan nona Sian Li dari tangan penjahat!
Hui Eng segera maju membela. “Dia benar! Tanpa datangnya pasukan yang menyerbu perkumpulan Thian-li-pang yang sudah menjadi gerombolan penjahat itu, mungkin kami sekarang telah tewas.”
Sian Li sudah maju dan memegang lengan Yo Han dengan mesra. “Han-koko, mereka itu benar. Pangeran mengerahkan pasukan bukan hanya untuk menyelamatkan kami berdua, bahkan untuk mencoba menolongmu yang dikabarkan tewas dalam sumur.”
Yo Han termangu. Kalau Sian Li sudah memberi kesaksiannya, tentu dia tidak meragukan lagi kebenarannya. “Kalau begitu, mari kita pergi dari sini dan bicara di luar tempat ini.” Dia memandang kepada gadis yang tewas di samping Seng Bu dan bertanya, “Siapakah nona yang tewas ini?”
“Han-koko, ia bukan orang lain. Ia adalah puteri Paman Cu Kun Tek dari Lembah Naga Siluman.” kata Sian Li.
Yo Han terbelalak. “Ahhh....!”
“Ia yang telah membebaskan kami dari rumah tahanan yang terbakar. Tanpa bantuannya, kami semua tentu sudah terbakar mati di dalam kamar tahanan.” kata pula Sian Li, lalu ia menunjuk kepada lima orang tosu, Gak Ciang Hun dan Gan Bi Kim. “Lima orang Totiang ini dari Pu-tong-pai, dan ini kakak Gak Ciang Hun dan enci ini....”
“Aku sudah mengenal Yo-taihiap dengan baik, adik Sian Li.”
“Benar apa yang dikatakan saudara Yo Han, kita bicara saja di luar. Biar kubawa jenazah nona Cu Kim Giok ini keluar.” Dia lalu memondong jenazah itu.
“Mari ikut aku. Aku yang akan membukakan jalan keluar.” kata Cia Sun. Dia pun berjalan diikuti mereka semua dan para perwira atau perajurit tentu saja tidak berani menghalangi pangeran ini keluar dari perkampungan Thian-li-pang diikuti lima orang tosu Bu-tong-pai, Gak Ciang Hun yang memondong jenazah Cu Kim Giok, Yo Han, Sian Li, Bi Kim, dan Hui Eng.
Setelah tiba di kaki bukit, barulah mereka berhenti dan menurut usul Gak Ciang Hun yang disetujui pula oleh mereka semua, lima orang tosu Bu-tong-pai yang lebih mengetahui akan urusan itu, diminta agar memilihkan sebidang tanah yang baik untuk mengubur jenazah Cu Kim Giok. Semua orang membantu menggali lubang dan dengan upacara sederhana namun khidmat yang dipimpin oleh Thian-tocu tosu dari Bu-tong-pai. Setelah selesai pemakaman yang dilakukan tanpa ada yang bicara, akhirnya mereka mendapat kesempatan untuk duduk di dekat makam dalam sebuah lingkaran dan barulah mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing. Seperti dengan sendirinya, Sian Li duduk di dekat Yo Han dan pandang mata Sian Li bersinar-sinar penuh kebahagiaan karena akhirnya ia dapat bertemu dan berkumpul dengan pria yang sejak kecil telah dicintanya itu. Hui Eng juga duduk di dekat Cia Sun, sedangkan Bi Kim duduk di dekat Ciang Hun. Bergantian mereka menceritakan pengalaman mereka.
Yo Han merasa lega dan gembira ketika mendengar bahwa Hui Eng yang tadinya dianggap sebagai puteri Siangkoan Kok, ternyata adalah gadis yang selama ini dicarinya, yaitu puteri Liong-siauw Kiam-hiap (Pendekar Pedang Suling Naga) Sim Houw yang hilang diculik orang sejak kecil. Apalagi sekarang Hui Eng telah menemukan jodohnya, yaitu adik angkatnya, Pangeran Cia Sun yang dia tahu adalah seorang pangeran Mancu yang berjiwa pendekar. Makin besar rasa bahagia hatinya ketika dia melihat bahwa Gan Bi Kim, cucu keponakan gurunya yang oleh nenek Ciu Ceng dijodohkan dengannya itu nampak akrab dan saling mencinta dengan Gak Ciang Hun.
Kini giliran Yo Han menceritakannya dan semua orang, terutama sekali Sian Li yang merasa ngeri dan kadang mengeluarkan seruan tertahan sambil memegang lengan Yo Han, mendengarkan dengan penuh ketegangan dan kengerian.
“Sian-cai...., sungguh menakjubkan sekali mendengar betapa dalam keadaan yang agaknya sudah tidak ada harapan itu, ternyata Yo-taihiap masih dapat meloloskan diri! Mengagumkan sekali!”
Yo Han tersenyum melihat pandang mata mereka semua penuh kagum kepadanya. “Totiang, dan Cu-wi (Saudara sekalian), harap jangan memuji aku. Sesungguhnya, aku sendiri sudah meragukan apakah aku akan mampu keluar dari dalam sumur yang sudah ditutup dari luar itu. Namun, dalam keadaan apa pun juga, sebelum hayat meninggalkan badan, aku tidak akan pernah putus asa. Di atas segala kekuatan di dunia ini, ada suatu kekuatan yang maha kuat, maha kuasa, dan maha mengetahui! Aku hanya menyerah kepada kekuasaan itu, yakni kekuasaan Tuhan Sang Maha Pencipta. Aku yakin sepenuhnya bahwa kekuasaan itu menyerap sampai ke manapun, bahkan di dalam tanah itu pun kekuasaanNya bekerja dengan sempurna. Oleh karena itu, selama badan ini masih mampu bergerak, aku harus berusaha sekuat kemampuan untuk mempertahankan hidup ini, didasari penyerahan yang mutlak kepada kekuasaan itu.”
“Kekuasaan itulah To....” Thian-tocu menggumam.
“Saya kira memang tepat ucapan Totiang. To yang dimaksudkan itulah hukum Alam, atau Kekuasaan Tuhan yang selalu bekerja dan bergerak tiada hentinya, tak pernah menyimpang sedikit pun dari ketepatannya, seperti timbul tenggelamnya matahari dan bulan, seperti gerakan ombak samudera ke kanan kiri yang tiada berkesudahan. Karena penyerahan mutlak kepada Yang Maha Mengetahui, Yang Maha Kuasa itulah maka tidak ada rasa gelisah atau takut sedikit pun. Dan ketenangan ini amat menguntungkan kita dalam menghadapi peristiwa apa saja.
Demikianlah, dengan tekun dan tak mengenal menyerah kepada kesulitan, dengan pasrah kepada Tuhan, akhirnya kekuatan dari kekuasaan Tuhan itu yang menuntunku sehingga dapat lolos dari ancaman maut di perut bumi.”
Semua orang terkesan dan suasana menjadi sunyi.
“Han-ko, bagaimana si Seng Bu itu dapat memiliki ilmu kepandaian sehebat itu? Bukankah dia pula yang telah membunuh para pimpinan Thian-li-pang, kemudian dia menjatuhkan fitnah bahwa engkau yang telah membunuh mereka. Ketika melawannya, aku merasakan betapa hebat tenaganya, dan melihat dia bertanding denganmu tadi, sungguh menegangkan dan menggelisahkan. Bagaimana seorang murid Thian-li-pang dapat memiliki ilmu kepandaian sehebat itu, Koko?”
Yo Han menghela napas panjang. “Agaknya hal itu akan tetap merupakan rahasia yang tak terpecahkan, Li-moi. Aku sendiri ketika bertanding dengannya, merasa heran dan terkejut bukan main karena aku mengenal ilmunya sebagai ilmu yang pernah kupelajari. Padahal ilmu itu tidak pernah dipelajari orang lain dan yang menguasainya hanyalah mendiang suhu sebagai penemunya dan aku sebagai muridnya. Entah bagaimana, agaknya Seng Bu dapat pula mempelajari ilmu itu, hanya saja.... ilmu yang dikuasainya itu mempunyai perbedaan bumi langit dengan ilmuku. Ilmu itu menjadi sesat dan berbahaya sekali, mengandung hawa beracun yang dahsyat. Kalau tidak salah perhitunganku, agaknya dia secara kebetulan, entah bagaimana, telah menemukan dan mempelajari ilmu itu, akan tetapi tanpa bimbingan, dia mempelajarinya secara keliru sehingga tanpa disengaja, dia telah menguasai ilmu yang menjadi sesat dan dahsyat, dan mungkin saja karena penguasaan ilmu itu, dia menjadi berubah dan tidak waras lagi.”
“Aku ikut merasa menyesal sekali, Twako. Bagaimanapun juga, aku telah membantu hancurnya Thian-li-pang, padahal engkau tentu tahu bahwa aku tidak pernah memusuhi para pejuang.” kata Cia Sun.
“Bukan salahmu, Cia-te. Thian-li-pang telah diselewengkan menjadi gerombolan jahat yang bersekutu dengan golongan sesat. Biarlah kelak aku akan mencoba menyusunnya kembali menjadi perkumpulan para pejuang yang sehat dan berjiwa pendekar, seperti pesan mendiang suhu. Sekarang, apa yang akan kalian lakukan?”
“Siancai, kami berlima mohon diri, karena kami sudah terlalu lama meninggalkan Bu-tong-san, Yo-taihiap.” kata Thian-tocu. Lima orang tosu itu bangkit dan memberi hormat, dibalas oleh enam orang muda itu.
“Ngo-wi To-tiang dari Bu-tong-pai sungguh merupakan sahabat yang amat baik, membelaku sampai hampir menjadi korban kekejaman Ouw Seng Bu.”
“Sian-cai....,Yo-taihiap tentu sudah mengerti sepenuhnya bahwa orang-orang seperti kita ini, tidak pernah membela seseorang maupun memusuhi seseorang. Yang kita bela adalah kebenaran dan yang kita tentang adalah kejahatan. Bukankah begitu, Taihiap?” kata Thian-tocu.
Yo Han dan yang lan-lain memandang kagum dan mereka semua mengangguk menyetujui. “Kalau begitu terima kasih dan selamat jalan, Totiang.”
“Sampai jumpa, Yo-taihiap dan suadara sekalian.” Lima orang tosu itu lalu pergi meninggalkan tempat itu.
Setelah lima orang tosu itu pergi, enam orang muda itu saling pandang. “Nah, sekarang tiba saatnya bagi kita untuk saling berpisah,” kata Yo Han sambil memandang kepada Sian Li. “Aku bersama adik Sian Li akan pergi ke rumah orang tua, Li-moi, akan tetapi aku mengharap bantuan adik Cia Sun untuk menemani kami. Terus terang saja, seperti yang mungkin telah kalian ketahui, kami berdua sudah bertekad untuk hidup bersama sebagai suami isteri, padahal, oleh orang tuanya, Li-moi telah dijodohkan dengan adik Cia Sun. Oleh karena itu, aku membutuhkan bantuan Cia-te untuk menemani kami agar Cia-te yang memberi penjelasan kepada paman Tan Sin Hong berdua.”
“Tentu, tentu saja aku akan menemani kalian!” seru Cia Sun gembira. “Akan tetapi, sebelum itu, aku minta kepada kalian semua untuk menemani aku dulu bersama adik Hui Eng. Aku hendak mengantarkan Eng-moi kepada orang tuanya di Lok-yang. Mengingat bahwa Eng-moi pernah bertemu dengan ayah ibu kandungnya dalam keadaan yang tidak menyenangkan di rumah pendekar Suma Ceng Liong, maka tentu pertemuan itu akan terasa canggung. Kalau ada kalian semua yang ikut dan membantu memberi kesaksian dan penerangan, tentu akan lebih menyenangkan. Terutama sekali, aku juga mohon bantuan Yo-toako untuk membicarakan urusan kami berdua kepada orang tua Eng-moi.”
Yo Han tersenyum memandang kepada Hui Eng yang menjadi merah kedua pipinya dan menundukkan kepalanya. “Aku mengerti, Cia-te, dan agaknya kita memang saling membutuhkan. Aku yakin Gak-twako tidak akan keberatan untuk ikut pula ke Lok-yang membantu adik Sim Hui Eng.”
“Ah, tentu saja!” kata Gak Ciang Hun dan dia pun nampak tersipu dan salah tingkah. “Bahkan aku pun.... hemmm.... aku pun atau maksudku kami berdua, aku dan adik Gan Bi Kim, amat membutuhkan bantuanmu, Yo-siauwte. Aku pun ingin berterus terang saja. Aku sudah mendengar dari adik Bi Kim bahwa oleh neneknya, ia telah ditunangkan denganmu, Yo-te, akan tetapi kenyataannya sekarang, engkau saling mencinta dengan adik Sian Li, sedangkan adik Bi Kim.... ah, kami berdua saling mencinta dan sudah mengambil keputusan untuk berjodoh. Nah, tanpa bantuan Yo-te, bagaimana kami berdua akan berani menghadapi keluarganya?”
Kini enam orang itu saling pandang dan meledaklah tawa mereka. Sian Li yang memang berwatak lincah jenaka itu tidak menyembunyikan tawanya karena geli hatinya. “Hi-hik-hik, alangkah lucunya! Agaknya memang kita berenam ini sudah ditakdirkan untuk saling bantu dan harus melakukan perjalanan bersama. Betapa menggembirakan! Kita saling kait mengait, saling membutuhkan bantuan!”
Yo Han mengangguk-angguk. “Memang aneh, dan agaknya memang Tuhan menghendaki demikian! Aku ditunangkan dengan Gan Bi Kim, akan tetapi adik Bi Kim berjodoh dengan Gak-twako dan aku berjodoh dengan Li-moi yang ditunangkan dengan Cia-te, sedangkan Cia-te berjodoh dengan Sim Hui Eng yang selama ini kita semua mencarinya! Baiklah, sekarang diatur begini saja. Pertama-tama kita semua pergi ke rumah orang tua adik Sim Hui Eng, karena bagaimanapun juga, peristiwa bertemunya kembali adik Eng dengan ayah ibunya merupakan hal yang amat membahagiakan dan penting sekali. Nah, setelah dari sana, kita tinggalkan dulu adik Eng bersama orang tuanya, dan Cia-te ikut dengan kami untuk menemui orang tua Li-moi. Setelah itu, aku meninggalkan dulu Li-moi di rumah orang tuanya dan aku menemani Gak-twako untuk berkunjung ke rumah adik Gan Bi Kim. Dengan demikian semua urusan akan menjadi beres!”
Demikianlah, tiga pasang kekasih itu lalu mulai melakukan perjalanan berantai itu untuk saling bantu. Mula-mula mereka berenam pergi berkunjung ke Lok-yang.
Pendekar Suling Naga Sim Houw dan isterinya, Can Bi Lan, menyambut kedatangan mereka dengan gembira dan juga terheran-heran karena mereka mengenal Hui Eng sebagai gadis Pao-beng-pai yang pernah membikin kacau pertemuan keluarga besar di rumah Suma Ceng Liong. Akan tetapi, keheranan mereka berubah menjadi kejutan yang luar biasa ketika mereka mendengar bahwa gadis itu bukan lain adalah Eng Eng, atau Sim Hui Eng, anak kandung mereka! Mula-mula mereka merasa sukar untuk percaya, akan tetapi setelah Yo Han, Sian Li, dan Pangeran Cia Sun bercerita, ditambah lagi bukti tanda tahi lalat hitam di pundak kiri dan noda merah di ibu jari kaki di telapak kaki kanan, Can Bi Lan menubruk puterinya sambil menjerit dan menangis. Terjadilah pertemuan yang amat mengharukan hati dan sukar dilukiskan betapa bahagia rasa hati Sim Houw dan Can Bi Lan ketika mereka dapat menemukan kembali puteri mereka yang hilang sejak kecil itu.
Setelah suasana keharuan mereda, dengan hati-hati Yo Han dan Sian Li menceritakan tentang hubungan kasih sayang antara Hui Eng dan Cia Sun, dan tentang semua pengalaman mereka, tentang pembelaan Cia Sun kepada Hui Eng.
Mula-mula, suami isteri itu tertegun. Mereka menemukan kembali puteri mereka, akan tetapi juga mendengar bahwa puteri mereka berjodoh dengan seorang pangeran Mancu? Akan tetapi, suami isteri ini memang bijaksana. Mendengar betapa pangeran calon mantu mereka itu adik angkat Pendekar Tangan Sakti Yo Han, juga dipuji-puji sebagai bekas calon suami Si Bangau Merah Tan Sian Li, juga bahwa pangeran itu berjiwa pendekar, tidak memusuhi para pejuang dan tidak setuju pula dengan penindasan, mereka pun dapat menerima dengan hati lapang.
Pada keesokan harinya Yo Han dan Sian Li, Ciang Hun dan Bi Kim, mengajak Cia Sun untuk melanjutkan perjalanan dan meninggalkan dulu Hui Eng bersama orang tuanya. Cia Sun berjanji kepada keluarga itu untuk segera minta kepada ayah ibunya untuk mengajukan pinangan secara resmi. Kemudian, Cia Sun mengikuti Yo Han dan Sian Li mengunjungi orang tua Si Bangau Merah, yaitu Pendekar Bangau Putih Tan Sin Hong yang tinggal di Ta-tung sebelah barat Peking.
Sekali ini, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li menerima puteri mereka dengan gembira dan mereka berdua bahkan merasa berbahagia sekali ketika mendengar keterangan mereka semua tentang pembatalan pertalian jodoh antara puteri mereka dengan Cia Sun yang dengan jujur mengakui bahwa dia saling mencinta dengan Sim Hui Eng. Kini suami isteri ini dapat menerima pinangan Yo Han dengan rasa syukur karena bagaimanapun juga sebetulnya mereka pun amat menyayang Yo Han yang kini ternyata telah menjadi seorang pendekar sakti yang bernama besar sebagai Pendekar Tangan Sakti. Suami isteri ini pun ikut merasa gembira mendengar bahwa puteri keluarga Sim yang hilang itu telah ditemukan kembali, bahkan akan menjadi jodoh Pangeran Cia Sun, bekas calon mantu mereka.
Dari rumah orang tua Sian Li, Yo Han mengikuti Gak Ciang Hun dan Gan Bi Kim ke kota raja. Juga Pangeran Cia Sun hendak pulang ke kota raja untuk minta kepada orang tuanya meminang Sim Hui Eng.
Keluarga pembesar Gan Seng, juga nenek Ciu Ceng, menyambut pulangnya Gan Bi Kim dengan gembira pula. Mereka agak tercengang ketika mendengar pengakuan Gan Bi Kim bahwa ia telah memutuskan pertalian jodohnya dengan Yo Han, karena Yo Han telah berjodoh dengan gadis lain. Akan tetapi mereka pun merasa lega ketika diperkenalkan dengan Gak Ciang Hun sebagai pemuda yang dipilih Bi Kim sebagai calon jodohnya. Apalagi Yo Han ikut bicara dan memberi penjelasan bahwa sebelum bertemu Bi Kim, sebetulnya dia sudah memiliki pilihan hati. Keluarga itu bahkan merasa bangga mendengar bahwa calon mantu mereka, Gak Ciang Hun, adalah keturunan pendekar besar yang mempunyai nama harum di dunia persilatan.
Demikianlah, tiga pasangan kekasih ini tidak menemui halangan apa pun dalam urusan perjodohan mereka. Pihak orang tua telah menerima dengan senang hati dan pinangan resmi dilakukan, bahkan pernikahan tiga pasang mempelai ini dirayakan dalam tahun itu juga.
Cia Sun mengajak isterinya, Sim Hui Eng, tinggal di kota raja, dan sekali waktu keduanya juga tinggal di rumah mertuanya di Lok-yang. Gak Ciang Hun mengajak isterinya, Gan Bi Kim tinggal di Beng-san, bekas tempat tinggal orang tuanya, yaitu di puncak Telaga Warna yang indah.
Yo Han sendiri bersama isterinya, Tan Sian Li, melakukan perjalanan bulan madu jauh ke Lembah Naga Siluman, untuk menyampaikan berita duka tentang kematian Cu Kim Giok kepada keluarga Cu. Berita itu tentu saja disambut dengan tangis oleh Cu Kun Tek dan Pouw Li Sian, dan mereka mendengarkan keterangan Yo Han dan Sian Li tentang puteri mereka, dan menerima pesan terakhir Kim Giok melalui Sian Li untuk mohon ampun kepada ayah ibunya. Biarpun hati mereka terasa hancur karena kematian puteri mereka, namun setidaknya mereka terhibur juga bahwa pada saat terakhir, puteri mereka sadar dan bertindak sesuai dengan jiwa kependekaran keluarga mereka. Puteri mereka, Cu Kim Giok, tewas sebagai seorang pendekar wanita yang membela kebenaran. Juga mereka tidak merasa penasaran karena pembunuh. puteri mereka, yaitu ketua Thian-li-pang Ouw Seng Bu, telah menemui ajalnya pula.
Kemudian Pendekar Tangan Sakti Yo Han bersama isterinya, Si Bangau Merah Tan Sian Li berkunjung ke Bukit Naga dan di tempat itu, dibantu oleh isterinya, Yo Han menghimpun kembali perkumpulan Thian-li-pang. Para anggauta lama yang semula memang tidak setuju dengan kesesatan Thian-li-pang dikumpulkan dan perkumpulan itu pun didirikan kembali dengan jumlah anggauta yang kecil. Akan tetapi di bawah bimbingan Yo Han, Thian-li-pang bangkit kembali menjadi perkumpulan para pendekar pejuang yang terkenal bersih dan di kemudian hari, Thian-li-pang memegang peran penting dalam perjuangan rakyat menentang kekuasaan penjajah Mancu.
Sampai di sini berakhirlah kisah Pendekar Tangan Sakti dengan harapan pengarang mudah-mudahan kisah ini ada manfaatnya bagi para pembacanya. Seperti tercatat dalam sejarah, setahun lebih kemudian (1796), Kaisar Kian Liong meninggal dunia dan tahta kerajaan Ceng dipimpin oleh Kaisar Cia Cing, putera Kaisar Kian Liong. Kaisar Cia Cing memerintah selama dua puluh empat tahun (1796 - 1820), kemudian dilanjutkan puteranya, Kaisar Tao Kuang (1820 - 1850). Akan tetapi semenjak wafatnya Kaisar Kian Liong, kerajaan Mancu ini mulai kehilangan pamornya dan kejayaannya mulai memudar. Pemberontakan terjadi di mana-mana, ditambah lagi dengan masuknya kekuatan asing barat (orang kulit putih) yang mulai menancapkan kuku kekuasaan mereka di daratan Cina. Sampai jumpa di lain kisah.
T A M A T
Lereng Lawu, medio Maret 1986.
Label:
Kho Ping Hoo,
Si Tangan Sakti