Suling Emas & Naga Siluman -1 | Kho Ping Hoo



Buku 1

Puncak-puncak gunung menjulang tinggi di sekeliling, berlumba megah menembus awan. Sinar matahari pagi merah membakar langit di atas puncak di timur, mengusir kegelapan sisa malam dan menyalakan segala sesuatu di permukaan bumi dengan cahayanya yang merah keemasan. Salju yang menutupi puncak-puncak tertinggi seperti puncak-puncak Yolmo Lungma (Mount Everest), Kancen Yunga, dan Kongmaa La, berkilauan dengan sinar merah matahari pagi, seolah-olah perut gunung-gunung itu penuh dengan emas murni. Daun-daun pohon yang lebat seperti baru bangkit dari tidur, nyenyak dibuai kegelapan malam tadi, nampak segar bermandikan embun yang membentuk mutiara-mutiara indah di setiap ujung daun dan rumput hijau. Cahaya matahari menciptakan jalan emas memanjang di atas air Sungai Yalu Cangpo yang mengalir tenang, seolah-olah masih malas dan kedinginan.

Sukarlah menggambarkan keindahan alam di Pegunungan Himalaya ini di pagi hari itu. Pagi yang cerah dan amat indah. Kata-kata tidak ada artinya lagi untuk menggambarkan keindahan. Kata-kata adalah kosong, penggambaran yang mati, sedangkan kenyataan adalah hidup, seperti hidupnya setiap helai daun di antara jutaan daun yang bergerak lembut dihembus angin pagi.

Seperti biasa, dari semenjak dahulu sekali sampai sekarang ini, yang bangun pagi-pagi mendahului sang surya hanyalah burung-burung, hewan-hewan, dan manusia-manusia petani yang miskin! Orang kaya di kota biasanya baru akan bangun dari kamar mewahnya kalau matahari sudah naik tinggi sekali!

Pegunungan Himalaya merupakan pegunungan yang paling hebat di seluruh dunia ini, paling luas, dan paling banyak memiliki puncak-puncak tertinggi di dunia. Memanjang dari barat ke timur sebagai tapal batas yang sukar diukur dan ditentukan letaknya dari Negara-negara India, Tibet, Nepal dan Bhutan. Pegunungan Himalaya memiliki banyak sekali gunung atau puncak-puncak yang amat tinggi, yang tertinggi dan di atas tujuh ribu meter adalah Puncak Dewi, Gurla Mandhayaf Gosainthan, Yolmo Lungma Kamet, Nanda Dhaula atau Giri, Chomo Lungma atau Mount Everest sebagai puncak tertinggi (8882 meter), dan Kancen (Kincin) Yunga. Itu adalah deretan raksasa-raksasa puncak yang amat tinggi di Pegunungan Himalaya. Dan di antara puncak-puncak dan lereng-lereng, di antara lembah-lembah yang amat curam, mengalirlah Sungai Yalu Cangpo atau yang juga dinamakan Sungai Brahmaputera.

Sungai Yalu Cangpo yang mengalir di daerah Tibet menciptakan tanah subur bagi para petani Tibet, sungguhpun mereka yang bekerja di sawah ladang itu hanyalah buruh-buruh tani belaka karena semua sawah ladang telah menjadi milik para tuan tanah dan para pembesar yang berkuasa di Tibet, di samping para pendeta yang memiliki kekuasaan besar sekali di negara ini.

Pagi itu, sebuah perahu yang ditumpangi tiga orang didayung meluncur lambat-lambat menentang aliran air, merayap perlahan di tepi di mana arus tidak begitu kuat. Mereka bertiga memakai pakaian tebal karena hawa amatlah dinginnya. Di sebelah tebing di mana perahu itu meluncur lewat, nampak belasan orang petani Tibet sedang bekerja mencangkul tanah. Sepagi itu mereka sudah bekerja, dan dari pinggang ke atas mereka bertelanjang sehingga narnpak otot-otot tubuh yang kekar karena terbiasa bekerja keras. Seorang di antara mereka, yang bertubuh kokoh kekar, menghentikan cangkulnya untuk melempangkan pinggang, mengurut punggung lalu menarik napas panjang.

“Sudah lelah? Heh-heh, mengapa tidak bernyanyi untuk melupakan kelelahan dan menambah semangat?” temannya menegur. Laki-laki yang bertubuh kokoh itu tersenyum, kemudian mengembangkan dada menghisap hawa udara sepenuh paru-parunya beberapa kali, dan tak lama kemudian terdengarlah suara nyanyiannya dalam bahasa Tibet. Suaranya nyaring, bergema sampai jauh ke lembah dan menyentuh permukaan air sungai, dan Si Penyanyi ini menengadah seolah-olah hendak mengadukan nasibnya dalam nyanyian itu kepada puncak-puncak yang menjulang tinggi menembus awan itu. Lagu yang dinyanyikannya adalah lagu tua yang amat disuka oleh para petani miskin.

“Wahai Yolmo Lungma yang tinggi!
Ahoi, Yalu Cangpo yang panjanq!
Dapatkah kalian memberi jawaban?

Kedua tangan ku kuat bekerja berat
namun tiada seperseratus yang di hasilkannya
menjadi bagianku untuk makan!

Aku punya hati
suaranya membeku di mulut,
telingaku disuruh tuli
mataku disuruh buta
nyawaku lebih murah daripada seekor domba!

Wahai, Yolmo Lungma
sembunyikan aku di puncakmu yang tinggi!

Ahaoi, Yalu Cangpo, tenggelamkan aku di airmu yang dalam!”

Tiga orang yang sedang mendayung perahu itu saling pandang. Suara nyanyian itu terdengar jelas oleh mereka yang berada di bawah dan karena orang yang bernyanyi tidak nampak dari perahu, maka terdengar menyeramkan, apalagi karena suara itu bergema di empat penjuru, dipantulkan oleh air dan dinding batu gunung. Akan tetapi tiga orang itu tentu saja tidak merasa takut, apalagi karena mereka segera mengenal lagu itu, sebuah lagu Tibet kuno yang pernah dilarang oleh pemerintah Tibet karena lagu itu pernah membakar semangat para petani miskin sehingga hampir menimbulkan pemberontakan. Akan tetapi, biarpun sekarang tidak ada lagi rakyat miskin di Tibet yang memberontak, lagu itu masih digemari oleh para petani.

Tiga orang dalam perahu ini merupakan tokoh-tokoh besar dari Kun-lun-pai. Pegunungan Kun-lun memang terkenal sebagal satu di antara tempat-tempat yang dihuni banyak orang pandai, pertapa-pertapa gemblengan, sungguhpun yang paling terkenal tentu saja adalah perkumpulan Kun-lun-pai yang merupakan satu di antara partai-partai persilatan terbesar. Tiga orang ini adalah tosu-tosu yang bertapa di lereng Pegunungan Kunlun-san. Mereka ini adalah tosu-tosu yang condong kepada aliran Im-yang. Yang seorang berusia enam puluh tahun berjuluk Hok Keng Cu, bertubuh jangkung kurus dengan mulut yang selalu tersenyum. Orang ke dua juga berusia sekitar enam puluh tahun, tubuhnya gendut tapi mukanya pucat, julukannya Hok Ya Cu, masih sute dari Hok Keng Cu. Sedangkan orang ke tiga masih lebih muda, usianya empat puluh lima tahun, wajahnya tampan dan tubuhnya tinggi tegap, pakaiannya sederhana dan di punggungnya tergantung sepasang pedang. Dia pun seorang tosu dari aliran lain, akan tetapi merupakan sahabat baik dari Hok Keng Cu dan Hok Ya Cu. Orang ke tiga ini bernama Ciok Kam, dan di dunia kang-ouw dia terkenal dengan julukan Hui-siang-kiam (Sepasang Pedang Terbang). Dari julukannya saja orang dapat menduga bahwa Hui-siang-kiam Ciok Kam ini tentu mahir ilmu pedang pasangan dan memiliki ginkang yang hebat. Dan memang demikianlah adanya.

Apakah yang menarik tiga orang pertapa Kun-lun-san ini untuk melakukan perjalanan sesukar dan sejauh itu, sampai di Pegunungan Himalaya lewat Sungai Yalu Cangpo? Bukan hanya mereka bertiga saja yang pada waktu itu nampak berkeliaran di daerah Pegunungan Himalaya. Sudah hampir sebulan lamanya, daerah Pegunungan Himalaya yang jarang dikunjungi orang itu ramai dengan datangnya banyak sekali orang-orang kang-ouw kenamaan, seolah-olah ada pesta besar di pegunungan itu yang menarik para tokoh kang-ouw di seluruh Tiongkok. Sesungguhnya bukan pesta yang menarik , para tokoh kang-ouw seperti besi semberani yang kuat menarik jarum-jarum halus itu, melakukan suatu berita yang datangnya dari kota raja tentang lenyapnya sebuah pedang pusaka yang disimpan di dalam kamar pusaka istana kerajaan!

Kurang lebih dua bulan yang lalu, terjadilah geger di kota raja karena pedang pusaka kerajaan, satu di antara pusaka-pusaka yang paling diagungkan telah lenyap tanpa bekas dari dalam gudang pusaka yang terjaga ketat oleh pasukan pengawal! Tidak terdengar suara sedikit pun, dan tidak kelihatan ada maling masuk, akan tetapi ketika seperti biasa seorang pengawal yang bertugas mengurus pusaka-pusaka itu memasuki gudang untuk memeriksa, pedang pusaka yang bernama Koai-liong-pokiam (Pedang Pusaka Naga Siluman) itu telah hilang dari tempatnya!

Tentu saja gegerlah kota raja. Pedang ini dianggap sebagai pusaka pelindung keagungan keluarga Kaisar! Maka dikerahkanlah pasukan di bawah pimpinan orang-orang pandai untuk mencari jejak pedang pusaka itu. Dan berita ini tentu saja segera tersiar keluar dan gegerlah dunia persilatan! Koai-liong-pokiam merupakan pedang pusaka yang dianggap memiliki wibawa melindungi keamanan atau keagungan keluarga Kaisar, akan tetapi di kalangan persilatan, di dunia kang-ouw, pedang itu dianggap sebagai pedang ajaib yang amat ampuh, yang dirindukan oleh seluruh tokoh persilatan karena pernah ada desas-desus bahwa siapa yang memiliki pedang itu, akan sukarlah ditandingi, sukar dikalahkan karena pedang itu ampuh bukan kepalang!

Maka, bukan hanya pasukan kerajaan saja yang sibuk melakukan penyelidikan untuk mencari pencurinya dan mengembalikan pedang Koai-liong-pokiam ke Istana, akan tetapi tokoh-tokoh kang-ouw mulai sibuk untuk mencari pedang itu. Tentu saja hanya sebagian di antara mereka yang berusaha mencari pedang untuk dikembalikan kepada Kaisar agar memperoleh hadiah, sedangkan sebagian besar pula ingin memperoleh pedang itu untuk dimilikinya sendiri!

Kemudian, sebulan yang lalu, tersiar berita yang mengejutkan dan menggegerkan lagi bahwa pedang pusaka itu dilarikan oleh pencurinya ke daerah Himalaya! Inilah yang menarik semua tokoh kang-ouw berbondong-bondong pergi mengunjungi daerah Pegunungan Himalaya untuk mengadu nasib memperebutkan pedang pusaka itu. Setidaknya, mereka akan memperoleh tambahan pengalaman dan daerah Himalaya memang merupakan tempat suci yang telah memiliki daya tarik besar bagi dunia persilatan!

Akan tetapi, dunia persilatan selalu terbagi menjadi dua kelompok, kelompok pertama terdiri dari partai-partai persilatan yang bersih dan para pendekar yang menjadi pendukung kebenaran dan keadilan, penentang kejahatan. Adapun kelompok ke dua terdiri dari partai-partai gelap dan para penjahat yang berkepandaian tinggi. Atau istilahnya, golongan putih dan golongan hitam, atau kaum bersih dan kaum sesat! Dan ketika tersiar berita tentang Koai-liong-pokiam, bukan hanya golongan putih yang geger, melainkan juga golongan hitam. Oleh karena itu, yang kini membanjiri daerah Himalaya bukan saja golongan putih bahkan lebih banyak pula golongan hitam atau kaum sesat! Inilah yang menyebabkan daerah Himalaya tiba-tiba menjadi daerah yang gawat dan berbahaya sekali. Semenjak kaum sesat membanjiri daerah ini, sudah banyak terjadi pembunuhanpembunuhan dan penghadangan-penghadangan mereka yang lewat di daerah itu, baik para pedagang mau pun para pemburu dan lain-lain. Daerah itu menjadi daerah rawan, bahkan kabarnya siapa saja yang berani lewat tentu akan diintai malaekat maut! Dengan adanya berita ini, hanya tokoh-tokoh besar yang berkepandaian tinggi saja yang berani melanjutkan perjalanan seorang diri, sedangkan mereka yang lebih kecil nyalinya lalu mencari kawan dan hanya dengan berkelompok mereka berani melanjutkan perjalanan mereka.

Tiga orang tosu dari Kun-lun-san inipun seperti yang lain-lain, tertarik oleh berita bahwa pedang pusaka Koai-liong-pokiam itu dilarikan oleh pencurinya ke daerah Himalaya, maka merekapun datang berkunjung dan melalui jalan air Sungai Yalu Cangpo. Perjalanan melalui air ini tidak begitu melelahkan, akan tetapi bahayanya tidak kalah besarnya. Apa lagi karena perjalanan itu menentang arus sungai! Namun, dengan bertiga mereka merasa cukup kuat untuk melanjutkan perjalanan dan pada hari itu mereka pagi-pagi sekali telah tiba dibawah tebing yang curam dan mendengar nyanyian petani Tibet dari atas tebing.

Mendengar nyanyian itu, Hok Keng Cu dan Hok Ya Cu hanya tersenyum. Mereka berdua sudah tidak asing dengan daerah Tibet karena sudah sering mereka melakukan perjalanan ke daerah ini. Akan tetapi Hui-siang-kiam Ciok Kam baru pertama kali ini melakukan perjalanan ke daerah pegunungan Himalaya. Bahkan dia sampai berada di situ pura karena terbawa oleh dua orang sahabatnya. Maka, tidak seperti kedua orang kawannya itu, baru sekali ini dia mendengar nyanyian yang nadanya penuh penasaran itu. Dia menarik napas panjang.

“Siancai....!” kata tosu muda ini.” Agaknya di ujung dunia yang manapun, kita selalu akan bertemu dengan manusia-manusia yang berkeluh kesah dan merasa hidupnya sengsara!” Dia dapat menangkap keluh-kesah dalam suara nyanyian itu.

“Ciok-toyu, itu adalah lagu rakyat petani Tibet yang kuno,” kata Hok Ya Cu menerangkan, lalu menterjemahkan lagu itu dalam bahasa Han.

“Lagu itu penuh keluhan, membuat aku penasaran saja “ Ciok Kam berkata seorang diri, lalu dia bangkit seorang diri di atas perahu, mengembangkan dadanya dan terdengarlah tosu muda ini bernyanyi, suaranya nyaring melengking karena didorong oleh tenaga khi-kang yang cukup kuat.

“Yolmo Lungma tinggi agung karena hening
Yalu Cangpo panjang tenang karena hening
manusia dengan segala kesibukannya
membuat gaduh, kacau dan sengsara,
sekali tidak puas selamanya tidak akan puas!

Aih.... sebelum hayat meninggalkan badan
tak mungkinkah mengenal kecukupan?”

“Ha-ha, Ciok-toyu, siapakah yang kau cela itu? Si penyanyi di atas itukah?” Hok Keng Cu bertanya.

Ciok Kam tosu menarik napas panjang “Sebagian juga mencela kita sendiri, To-heng. Bukankah karena ingin mencari kepuasan maka kita berada di sini?”

Sebelum dua orang temannya itu ada yang menjawab, tiba-tiba dari atas terdengar teriakan yang bergema ke bawah, “Ahooii.... kalian yang berada dibawah!”

Hui-siang-kiam Ciok Kam melihat ke atas dan ternyata yang berteriak itu adalah seorang laki-laki yang kelihatan kecil dari tempat curam itu, hanya nampak kepala dan kedua pundak saja, akan tetapi dia tidak mengerti apa yang dikatakannya karena orang itu bicara dalam bahasa Tibet.

Hok Keng Cu yang mengerti bahasa itu, segera berteriak dengan mengerahkan khi-kang sehingga suaranya bergema sampai ke atas tebing,

“Sobat, kau mau apakah?”

Orang di atas itu adalah si penyanyi tadi, dan kini dia berkata lagi, “Hati-hati, jangan lanjutkan perjalanan! Di lereng Kongmaa La ada Yeti sedang mengamuk! Sudah banyak orang dibunuhnya!

Hok Keng Cu dan Hok Ya Cu saling pandang dengan muka kelihatan terkejut, kemudian Hok Keng Cu menjawab nyaring, “Terima kasih atas pemberitahuanmu....” Lalu mereka melanjutkan pendayungan perahu mereka, diikuti pandang mata petani yang masih menjenguk ke bawah dari tebing yang amat tinggi itu.

“Ah, apakah yang dikatakan orang itu tadi?” tanya Ciok-tosu kepada dua orang sahabatnya. Hok Ya Cu lalu menjelaskan dan sepasang alis yang tebal dari tosu muda itu berkerut.

“Apa dan siapakah yang dinamakan Yeti itu?” tanyanya, “Kalau dia seorang sejahat itu, sebaiknya kita bertiga membasminya!”

“Ciok-toyu, engkau tidak tahu! Dia bukan manusia, kalau manusia, tentu dapat kita hadapi dengan kaki tangan kita!” kata Hok Keng Cu.

“Hemm, kalau begitu dia iblis?” tanya Ciok-tosu dengan heran.

“Bukan juga, kalau iblis dapat kita hadapi dengan kekuatan batin kita! Dia bukan manusia bukan iblis, melainkan seekor mahluk setengah manusia setengah binatang yang amat buas, dan memiliki kekuatan yang mujijat, tidak masuk akal!”

“Ehhh.... ?” Tosu muda itu makin kaget.

“Pinto (aku) rasa lebih baik kalau kita mengambil tempat pendaratan lain dan menjauhi, Kongmaa La itu, sungguhpun sebenarnya paling baik kalau mengambil jalan dari gunung itu di mana terdapat jalan buatan manusia yang mudah dilalui,” kata pula Hok Keng Cu.

“To-heng, pernahkah engkau berhadapan dengan Yeti itu?” tanya Ciok Kam.

Yang ditanya menggeleng kepala. “Pinto dan juga Sute belum pernah bertemu sendiri dengan Yeti.”

“Kalau begitu, mengapa Ji-wi To-heng sudah begitu takut menghadapinya? Baik dia itu manusia, atau iblis atau binatang, kalau membunuh banyak orang, adalah kewajiban kita untuk membasminya!”

“Kami tidak takut, To-yu, hanya kami rasa lebih baik kalau kita tidak mencari penyakit. Kami hanya pernah mendengar saja tentang Yeti itu, yang kabarnya tidak terlawan oleh orang yang betapa kuat dan pandaipun. Kabarnya, tenaganya melebihi seekor gajah India, kulitnya kebal terhadap segala macam senjata tajam dan kecepatan ,gerakannya tak masuk akal, dia mampu mendaki gunung es dengan kecepatan seperti terbang saja! Siapa orangnya mampu menandingi mahluk seperti itu?”

Hui-siang-kiam Ciok Kam mengerutkan alisnya, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi karena hatinya tertarik sekali. “Seperti apa macamnya, To-heng? Aku ingin sekali melihatnya,”

“Kami belum pernah melihatnya, hanya pendapat orang bermacam-macam. Ada yang bilang seperti biruang, ada yang bilang seperti monyet besar, ada yang bilang lagi seperti manusia. Yang jelas, dia berjalan dengan kedua kaki seperti manusia!”

Hening sejenak. Tiba-tiba Hui-siang-kiam Ciok Kam berseru, “Ahh, jangan-jangan mayat-mayat yang kita lihat terapung di atas air sungai itu adalah korban dia!”

Dua orang sahabatnya termenung dan mengangguk-angguk. Mereka pun sedang memikirkan hal itu dan membayangkan betapa sehari yang lalu mereka melihat tiga mayat manusia berturut-turut terapung di atas sungai dengan tubuh yang rusak-rusak dan luka-luka.

“Tadinya pinto mengira bahwa mereka itu korban kaum sesat yang kabarnya mengganas di daerah Himalaya, akan tetapi setelah pinto mendengar tentang Yeti yang mengamuk, siapa tahu dugaanmu benar To-yu.”

“Tapi.... di tubuh mayat-mayat itu terdapat tanda seperti mereka terkena sabetan pedang atau senjata tajam.” Ciok-tosu membantah.

“Kuku tangan Yeti kabarnya tidak kalah tajam dan kuatnya dari pada ujung pedang manapun juga!” kini Hok Ya Cu ikut bicara.

Mereka mendayung terus dan tidak berkata-kata lagi, tenggelam dalam pikiran masing-masing dan cerita tentang adanya Yeti mengamuk itu berkesan mendalam sekali dalam hati mereka. Matahari telah menampakkan diri dan sinarnya menyusup di antara daun-daun pohon yang tumbuh di kanan kiri tebing yang kini tidak begitu tinggi lagi, hanya setinggi belasan meter saja. Mulai nampak keindahan pemandangan, di kanan kiri sungai. Pohon-pohon raksasa dan semak-semak belukar yang sukar sekali ditembus manusia, dan jauh di kanan kiri menjulang puncak-puncak tinggi yang tertutup awan dan salju. Hawa masih dingin sungguhpun sinar matahari cukup cerah di pagi itu.

Disebelah kiri nampaklah sebuah gunung yang kuning kehijauan, berbeda dengan gunung lain di kanan kiri yang hijau biru kehitaman. Warna terang gunung disebelah kiri itu menyenangkan dan menimbulkan harapan, tidak menyeramkan seperti warna gunung-gunung lain yang membayangkan keliaran.

“Gunung apakah itu?” Ciok-tosu yang merasa tertarik menuding dan bertanya.

“Itulah Kongmaa La.... “ jawab Hok Keng Cu dengan suara lirih, seolah-olah dia merasa jerih, Ciok-tosu menengok dan melihat betapa dua orang sahabatnya itu memandang ke arah gunung itu pula dengan wajah agak pucat. Timbul rasa penasaran dalam hatinya. Dia tahu bahwa dua orang sahabatnya itu bukan orang lemah, meainkan sudah terkenal sebagai tokoh-tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi. Mengapa kini memperlihatkan sikap demikian takut dan pengecut? Sikap dua orang temannya itu tiba-tiba saja membangkitkan rasa penasaran dan semangat di dalam dadanya.

“Pinto mau mendarat di sana!” tiba-tiba dia berkata

“Ehh....?” Hok Keng Cu berseru.

“Berbahaya sekali, Ciok-Toyu!” seru Hok Ya Cu menyambung.

“Kalau Ji-wi To-heng tidak berani, biarlah pinto sendiri saja melanjutkan perjalanan lewat Kongmaa La!” Melihat dua orang sahabatnya itu saling pandang dan meragu untuk menjawabnya, Ciok-tosu menyambung. “Bukankah Ji-wi mengajak pinto untuk menjelajahi Himalaya dengan maksud mencari pencuri pedang pusaka Koai-liong-pokiam? Kalau kita takut bahaya, mana mungkin akan berhasil? Siapa tahu, berita tentang Yeti itu akan membawa kita kepada jejak si pencuri pedang pusaka!”

Mendengar ini, dua orang tosu itu terkejut saling pandang, mengangguk-angguk, kemudian Hok Keng Cu berkata. “Baiklah, kita mendarat dan melalui Kongmaa La!”

Hok Ya Cu hanya mengangguk saja, menyetujui ucapan suhengnya. Mereka lalu mendayung perahu ke tepi, mencari tempat pendaratan yang baik di kaki Gunung Kongmaa La itu. Di bagian ini memang tidaklah seliar bagian lain dan akhirnya mereka dapat mendarat, menarik perahu ke atas, lalu menyembunyikan perahu itu di dalam semak-semak.

***

“Ini namanya Lembah Arun!” kata Hok Keng Cu yang lebih berpengalaman dengan keadaan daerah Himalaya itu. Hok Ya Cu dan Ciok Kam memandang ke kanan kiri. Pemandangan alam di tempat itu sungguh menakjubkan sekali. Di sebelah kiri menjulang tinggi sebuah gunung yang puncaknya tertutup awan dan salju, dan di sebelah kanan, agak jauh lagi, juga menjulang tinggi puncak yang agaknya setengah tubuhnya tertutup” salju dan awan. Mereka berada di tengah-tengah, antara dua tiang dunia yang seperti menyangga atap langit itu. Menyaksikan kemegahan yang luar biasa ini, yang baru dilihatnya selama hidupnya, Ciok Kam menahan napas.

“Betapa hebatnya kekuasaan To!” dia menggumam, takjub dan terpesona oleh keindahan itu.

Memang indah! Hanya satu kata itu saja yang tepat. Indah! Tidak ada apa-apa lagi! Siapa gerangan mampu menggambarkan keindahan, keagungan, kebesaran yang demikian hebat? Yang dapat menggambarkan secara tepat hanyalah satu keadaan, yaitu HENING! Di dalam keheningan sajalah, di waktu hati dan pikiran tidak sibuk menilai dan membanding-banding dari sudut selera dan keuntungan diri pribadi, maka segala keindahan itu pun nampaklah jelas. Akan tetapi, sekali pikiran masuk dan menilai, membandingkan keindahan itu, berusaha mengabdikannya dalam ingatan, maka keindahan itu pun lenyaplah, hanya menjadi gambaran yang menimbulkan kesenangan belaka yang akhirnya akan membosankan!

Dalam keadaan hening, terasa sekali keagungan Sang Maha Pencipta dan ciptaan-Nya yang terbentang luas di alam maya pada, terasa sekali kemujijatan yang terkandung di dalam segala sesuatu, dari tumbuhnya setiap helai bulu dan rambut di tubuh kita sendiri seperti tumbuhnya pohon-pohon di hutan, dari setiap urat syaraf di tubuh kita sendiri seperti sumber-sumber air di bawah permukaan bumi sampai kepada kehebatan segala yang nampak di angkasa, awan, bulan, matahari, bintang-bintang. Dalam keheningan memandang semua itu, terasalah bahwa kita adalah bagian dari semua itu, tidak terpisah, sudah berada di dalam suatu ketertiban yang selaras dan ajaib. Namun sayang, kita terlalu sibuk dengan pikiran yang setiap saat mengejar-ngejar kesenangan yang sesungguhnya hampa itu, kesenangan sebagai pemuasan nafsu belaka. Kita tidak lagi menghargai semua keajaiban itu, kita hanya mampu menghargai bayangan-bayangan khayal, hanya tertarik akan nama-nama dan sebutan-sebutan belaka. Kita boleh cenderung untuk menggambarkan, menanamkan dan menyebut semua itu menjadi pengetahuan teoretis, menjadi bahan perdebatan dan percekcokan, mempertahankan pendapat masing-masing tentang yang maha besar itu! Betapa lucu namun menyedihkan. Kita lebih tertarik akan asapnya sehingga hanya mendapatkan abunya belaka tanpa menghiraukan apinya sehingga klta kehilangan cahaya dan apinya itu!

Tiga orang tosu itu sejenak terpesona oleh keindahan yang membentang luas di depan mata mereka itu sehingga mereka kehilangan suara untuk bicara lagi. Mereka lalu duduk di atas rumput dan rasa lapar membuat mereka membuka bekal roti kering mereka, lalu makan roti kering yang dicelup air jernih yang mereka dapat ambil sebanyaknya di tempat itu karena dari dinding batu-batu mengalir sumber-sumber air kecil yang amat jernih.

Lembah Arun berada di dalam wilayah Kerajaan Nepal Timur. Lembah Arun adalah lembah sungai yang paling curam di dalam dunia ini, suatu tempat yang indah namun terasing dari manusia dan keadaannya sungguh luar biasa, penuh dengan suasana keramat dan penuh rahasia, penuh dengan hutan-hutan indah namun liar tak pernah tersentuh tangan dan terinjak kaki manusia. Letaknya lembah ini di antara dua puncak yang tertinggi, yaitu Puncak Yolmo Lungma yang merupakan puncak tertinggi di dunia dan Puncak Kancen Yunga yang merupakan puncak nomor tiga tertinggi di dunia.

Di depan, adalah daerah gunung dan puncak Kongmaa La, yang merupakan daerah yang nampak berbeda dari jauh dengan gunung-gunung lain di sekeliling daerah Pegunungan Himalaya itu. Sambil makan dan minum secara sederhana itu, hanya roti kering dan air jernih, mereka bercakap-cakap. Akan tetapi aneh sekali, menghadapi kebesaran alam yang sedemikian agungnya, mereka merasa betapa suara mereka terdengar hambar dan ditelan keheningan yang demikian luas. Akhirnya mereka menghentikan percakapan sampai perut mereka terasa kenyang.

“Mari kita lanjutkan perjalanan. Matahari sudah naik tinggi dan kalau tidak ada halangan, sebelum senja kita dapat mencapai pondok batu di lereng depan itu, pondok kosong yang dulu menjadi tempat pertapaan seorang pertapa tua yang telah lama meninggal dunia. Hanya pondok itulah satu-satunya tempat yang baik untuk kita dapat melewatkan malam di daerah ini!” kata Hok Keng Cu yang sudah berpengalaman di tempat itu.

Mereka bangkit dan mulai berjalan menuju ke barat. Melihat suasana yang amat sunyi, mau tidak mau muncul kembali bayangan mahluk yang dinamakan Yeti itu di benak Ciok-tosu, maka dia lalu bertanya kepada Hok Keng Cu.

“To-heng, sebetulnya, apakah artinya Yeti itu?”

Hok Keng Cu mengerutkan alis memandang ke kanan kiri, seolah-olah merasa takut membicarakan mahluk itu. Siapa tahu kalau dibicarakan mahluk itu akan muncul di depan mereka! Akan tetapi karena dia tidak mau dianggap penakut, dengan lirih dia menjawab, “Yeti itu asalnya dari bahasa Tibet Yeh-teh. Yeh artinya daerah berbatu dan Teh artinya mahluk. Jadi Yeti dinamakan mahluk dari daerah berbatu oleh bangsa Tibet.”

Ciok Kam mengangguk-angguk, kagum akan pengetahuan kawannya itu. Akan tetapi dia masih penasaran dan bertanya lagi. “Mengapa dinamakan mahluk, apakah belum ada ketentuan dia itu sebenarnya apakah? Binatang, manusia, ataukah setan?”

“Sstt.... Toyu, hati-hatilah kalau bicara....!” Hok Ya Cu berbisik, mukanya berubah pucat.

“Tidak mengapa,” Hok Keng Cu berkata. “Ciok-toyu bukan bermaksud menghina melainkan karena memang ingin, sekali tahu. Dengarlah, Ciok-toyu, sebetulnya hampir tidak ada manusia yang dapat menceritakan dengan jelas bagaimana sesungguhnya Yeti itu. Yang masih hidup dan dapat bercerita, hanya melihat Yeti dari kejauhan saja, sedangkan yang pernah berhadapan muka selalu tentu.... tewas! Dan dari keterangan mereka yang melihatnya dari jauh ada yang mengatakan bahwa mahluk itu menyerupai seekor burung besar, dan ada pula yang mengatakan menyerupai seekor monyet besar. Akan tetapi semua mengatakan bahwa dia berjalan di atas kedua kaki seperti manusia dan bahwa tubuhnya tinggi besar menakutkan.”

Penggambaran tidak jelas tentang Yeti itu yang diucapkan dengan suara agak gemetar oleh Hok Keng Cu menimbulkan suasana menyeramkan sehingga mereka kini tidak banyak bicara lagi. Akan tetapi, suasana menyeramkan itu terhapus oleh keindahan yang makin mempesona ketika mereka mendaki makin tinggi. Memang luar biasa sekali kalau berdiri di suatu tebing dengan awan-awan bergerak di depan kaki. Seolah-olah dengan mengulurkan tangan saja orang akan dapat menangkap domba-domba putih berarak di angkasa itu! Hawa juga menjadi semakin dingin karena mereka makin mendekati puncak yang tertutup salju.

Mereka kini tiba di daerah yang berbatu. Batu-batu gunung yang hitam licin dan tajam sehingga biarpun tiga orang itu merupakan tokoh-tokoh persilatan yang berilmu tinggi, mereka harus melangkah dengan hati-hati kalau mereka tidak ingin sepatu mereka pecah-pecah oleh tusukan batu-batu runcing. Matahari telah naik semakin tinggi, mulai agak condong ke barat, membuat bayangbayang pendek di belakang mereka.

Mereka berjalan beriring-iringan, karena masing-masing harus memperhatikan batu-batu di bawah kaki mereka. Mereka berloncatan, berjingkat-jingkat, hati-hati sekali dan mengerahkan gin-kang sehingga tubuh mereka dapat bergerak ringan sekali, Hok Keng Cu sebagai penunjuk jalan berada paling depan, lalu disusul sutenya, baru kemudian Ciok-tosu berada paling belakang. Akan tetapi tosu termuda ini tidak pernah tertinggal, karena dalam hal gin-kang, dia lebih unggul daripada dua orang sahabatnya sehingga melalui jalan berbatu-batu itu tidak berapa sukar baginya. Tiba-tiba terdengar Hok Keng Cu berseru tertahan dan tosu tua ini berjongkok di atas batu besar, matanya menatap ke bawah, ke balik batu besar itu.

Hok Ya Cu dan Ciok Kam yang sudah mencium bau busuk, cepat menghampiri dan ketika dia memandang, ternyata di balik batu besar itu terdapat mayat dua orang pria yang sudah mulai membusuk! Melihat pakaian mereka, dua mayat itu tentulah dia orang ahli silat, dengan pakaian ringkas seperti pakaian para piauwsu atau kauwsu (pengawal barang atau guru silat), usia mereka sukar ditaksir karena muka itu sudah membengkak dan menghitam. Tak jauh dari situ nampak sebatang golok dan sebatang pedang menggeletak di antara batu-batu. Jelas nampak bahwa leher kedua orang itu terobek dan luka yang menganga itu sungguh mengerikan untuk dipandang.

“Lihat ini....!” Ciok-tosu berseru. Dua orang tosu tua itu menengok dan melihat betapa sahabat mereka itu telah mengambil pedang dan golok, mengacungkan kedua benda tajam itu. Mereka mendekat dan melihat bahwa dua buah senjata itu telah rompal dan rusak, seperti telah dipergunakan untuk membacok baja saja. Ciok-tosu mencoba mata pedang dan golok dengan jarinya dan mendapat kenyataan bahwa dua buah senjata itu terbuat dari logam yang cukup baik. Dia melempar kedua benda itu keras-keras ke atas batu. Terdengar suara nyaring yang mengejutkan dan nampak bunga api berpijar, tanda bahwa dua senjata itu memang cukup kuat. Namun dua buah senjata itu rompal dan rusak!

Mereka bertiga saling pandang dan sinar mata mereka masing-masing jelas mengucapkan suatu kata yang sama. Yeti! “Mari kita melanjutkan perjalanan!” akhirnya Hok Keng Cu berkata lirih. Suaranya jelas terdengar gemetar dan tidak lancar.

“Tapi.... tapi kita harus mengurus mayat-mayat ini....“ kata Ciok-tosu sambil memandang kepada dua mayat itu.

“Ah, kita tidak ada waktu, To-yun jangan sampai kita terlambat tiba di pondok batu itu. Pula, tempat ini penuh batu, mana mungkin mengubur mayat? Marilah!” Hok Keng Cu mendesak dan Ciok-tosu akhirnya menurut juga karena memang sukarlah mengubur mayat di tempat seperti itu. Hatinya sedih melihat mayat manusia berserakan seperti itu takterurus.

Bayang-bayang di belakang tubuh mereka makin memanjang ketika matahari makin condong ke barat, di depan mereka. Mereka kini tiba di daerah padang rumput dan wajah Hok Keng Cu nampak lega. “Kita sudah hampir sampai, di lereng sana itu. Mari cepat kita capai tempat itu dan berisitirahat!” Biarpun mulutnya tidak menyebut tentang Yeti namun dua orang teman seperjalanannya maklum bahwa tosu ini merasa lapang dadanya karena tidak ada mahluk mengerikan itu mengganggu mereka.

Akan tetapi, ketika mereka maju kurang lebih dua ratus meter lagi, tiba-tiba Hok Keng Cu yang berjalan di depan, meloncat ke belakang dan berseru, “Siancai....!”

Dua orang temannya cepat menghampiri dan mereka terbelalak. Tak jauh dari situ, tertutup rumput yang agak tinggi nampak berserakan beberapa tubuh manusia! Dan mereka semua telah menjadi mayat dan melihat darah yang masih berceceran di mana-mana mudah diketahui bahwa peristiwa pembunuhan atas diri mereka itu belum lama terjadi, mungkin baru beberapa jam yang lalu! Mereka mencari-cari dan menemukan tujuh buah mayat manusia di sekitar tempat itu. Semuanya terluka di leher dan perut atau dada, luka lebar seperti dibacok golok atau pedang yang tajam, dan hampir semua mayat itu matanya terbelalak lebar, seolah-olah mereka itu dilanda ketakutan hebat sebelum mereka tewas.

Ciok Kam sudah mencabut pedang pasangan dari punggung dan kini dengan kedua tangan memegang pedang dia berdiri memandang ke sekeliling. Bermacam perasaan mengaduk hati tosu muda ini. Ada perasaan gentar, akan tetapi juga ada perasaan penasaran dan marah. Dia maklum bahwa yang membuat orang-orang ini adalah sesuatu yang amat kuat, karena ketujuh orang ini pun semua merupakan orang-orang yang ahli dalam ilmu silat, melihat dari pakaian mereka dan juga dari senjata-senjata yang berserakan di tempat itu. Dan ini tidaklah mengherankan karena siapa lagi kalau bukan ahli-ahli silat yang berani datang ke daerah ini? Dan siapa lagi kalau bukan orang-orang kang-ouw yang datang ke situ dengan maksud yang sama, yaitu mencari pedang pusaka Koai-liong-pokiam? Dan ternyata tujuh orang kangouw ini mati begitu saja secara mengerikan sekali di tempat ini. Benarkah kalau begitu peringatan petani tadi bahwa tempat ini berbahaya, bahwa Yeti sedang mengamuk. Akan tetapi benarkah Yeti yang mengamuk?

“Hei, manusia atau mahluk jahat, keluarlah dan tandingi sepasang pedangku!” teriaknya.

Dua orang sahabatnya terkejut sekali. “Ciok-toyu, jangan begitu! Mari kita cepat pergi ke pondok itu sebelum terlambat!” seru Hok Keng Cu.

“To-heng, ada kejahatan macam ini dan kita diam saja malah melarikan diri? Tidak! Kurasa bukan Yeti yang melakukan ini, melainkan kaum sesat yang kabarnya banyak pula berkeliaran di daerah ini!” kata Ciok Kam yang sudah marah sekali melihat begitu banyak orang dibunuh.

“Ciok-toyu, engkau ikut bersama pinto, harap engkau menurut dan tidak usah menyusahkan pinto. Kalau kau tidak mau, biarlah pinto berdua pergi sendiri ke pondok!” kata Hok Keng Cu dan nada suaranya terdengar marah.

Ciok Kam sadar dan maklum bahwa dia memang telah terburu nafsu. Dua orang tosu sahabatnya itu adalah orang-orang pandai kalau sampai mereka nampak begitu ketakutan tentu ada sebabnya. Dia sendiri merasa kini bahwa sikapnya tadi terlalu lancang dan nekat, menurutkan kemarahan hati saja.

“Baiklah, To-heng, mari kita pergi!” katanya akan tetapi ketika dia mengikuti dua orang tosu itu, dia tetap memegang kedua pedangnya dalam keadaan siap tempur.

Akhirnya, dengan tergesa-gesa, Hok Keng Cu membawa dua orang teman seperjalanannya itu ke dinding gunung yang amat tinggi dan di situ terdapat sebuah pondok batu yang sebenarnya lebih mirip sebuah guha yang tertutup oleh sebuah batu besar. “Bantu pinto menggeser pintu batu ini!” katanya dan mereka bertiga mengerahkan tenaga mendorong batu bundar besar yang menutupi lubang guha. Hanya dengan pengerahan tenaga sekuatnya dari mereka bertiga, akhirnya perlahan-lahan batu bundar itu dapat digeser minggir dan terbukalah sebuah lubang guha yang cukup lebar. Mereka segera memasuki guha itu. Guha itu luas dan nampak burung-burung walet berseliweran di sebelah dalam.

“Batu itu dapat didorong menutup dari dalam. Kalau bahaya, kita tinggal menggesernya menutup lagi dan kita aman sudah.” kata Hok Keng Cu dengan nada suara lega. “Sekarang lebih dulu kita mengambil air untuk persediaan semalam ini. Juga kayu-kayu kering untuk membuat api unggun. Besok pagi-pagi kita melanjutkan perjalanan.”

Diam-diam Ciok-tosu tidak setuju dengan sikap yang amat takut-takut ini, akan tetapi dia tidak banyak bicara, lalu membantu dua orang temannya itu mencari air jernih di luar pondok batu guha, menampung air itu di gentong batu yang terdapat di dalam guha itu, juga mengumpulkan kayu kering secukupnya. Kemudian mereka bertiga duduk di dalam pondok, mengaso sambil menanti datangnya malam. Sinar matahari sore masih memasuki guha dari pintu yang terbuka itu.

“Besok pagi kita ke manakah?” Akhirnya Ciok Kam bertanya untuk menghilangkan kekesalan hatinya.

“Ke Lereng Gunung Yolmo Lungma yang disebut Lereng Awan Merah. Di sanalah pusat pertapaan, dan di sana kiranya kita akan dapat mencari keterangan tentang pedang pusaka itu. Tentu seorang di antara para pertapa ada yang tahu, pinto yakin bahwa ke sana pula perginya semua orang kang-ouw yang mengunjungi daerah ini untuk mencari pedang pusaka itu.”

“Masih jauhkah dari sini?”

“Tidak jauh lagi, perjalanan tiga hari menuju ke barat. Setelah tiba di kaki Yolmo Lungma akan nampak lereng di sebelah timur, di situ nampak dinding batu gunung yang kemerahan sehingga kalau tertimpa sinar matahari, warna merah memantul ke atas membuat awan-awan di atasnya agak kemerahan. Karena itulah dinamakan Lereng Awan Merah.”

“Mengapa banyak pertapa berkumpul di sana?”

“Karena daerah itu selain amat indah dan sejuk hawanya, juga memiliki tanah subur untuk ditanami sayur-sayuran.”

Malam pun tibalah. Mereka bertiga lalu menggeser batu penutup lubang itu dari dalam dan mereka merasa aman. Api unggun telah dinyalakan dan di bawah penerangan api unggun ini mereka makan roti tawar dan minum air yang mereka sediakan tadi. Sesudah itu, mereka mulai merebahkan diri untuk mengaso dan tidur. Api unggun bernyala di dekat mereka, antara mereka dengan pintu guha batu. Tak lama kemudian api unggun itu padam akan tetapi mereka tidak mengetahuinya karena mereka telah tidur pulas saking lelahnya.

Sinar matahari pagi telah menerobos melalul celah-celah kecil di tepi pintu batu yang masih menutup lubang guha ketika Ciok Kam terbangun dari tidurnya. Kebetulan dia tidur menghadap pintu dan sinar matahari yang kecil itu tepat menimpa mukanya. Dia menjadi silau, menggosok-gosok matanya dan merasa kaget karena sinar matahari kecil itu disangkanya dalam keadaan setengah sadar seperti mata seekor mahluk yang menakutkan! Akan tetapl dia segera sadar dan merasa geli sendiri, lalu bangkit duduk dan menggaruk-garuk mukanya di mana terdapat bintul-bintul kecil.

“Hem, di tempat seperti ini ada juga nyamuknya.” gerutunya. Tiba-tiba dia melihat betapa sinar kecil dari matahari yang dapat menyusup antara celah batu dan guha itu menjadi gelap, seperti ada sesuatu yang menghalanginya di depan pintu batu. Cepat Ciok Kam bangkit berdiri dan terbelalak memandang ke arah batu besar bundar itu. Ada orang di luar, pikirnya. Dan orang itu yang tadi lewat sehingga sejenak menggelapkan sinar itu. Kini sinarnya sudah masuk lagi dan dia memperhatikan. Pendengarannya yang terlatih baik segera dapat menangkap suara aneh di luar batu penutup guha itu. Suara gerakan-gerakan berat dan juga suara pernapasan yang membuat dia terbelalak, karena napas itu begitu berat dan panjang, mendengus-dengus! Bukan pernapasan manusia! Agaknya ada binatang buas di luar guha. Cepat dia mehghampiri dua orang tosu tua yang masih tidur itu, mengguncang-guncang mereka dan menggugah mereka dengan bisikan-bisikan tegang. “Lekas Ji-wi Toheng, bangunlah!”

Dua orang tosu itu terbangun dan terkejut, akan tetapi sebelum mereka bertanya, Ciok-tosu menuding ke arah pintu. Kini terdengar gerakan-gerakan yang lebih keras dan dua orang tosu itu sudah meloncat berdiri dengan mata terbelalak.

“Jangan khawatir, kita di sini aman, terlindung pintu bundar itu!” Hok Keng Cu berkata dan tangannya meraba sakunya. Tosu ini tidak membawa senjata, akan tetapi dia mempunyai senjata yang amat ampuh, yaitu sabuk sutera putih yang dililitkan di pinggang. Dia ahli main cambuk dan sabuk ini dapat dimainkan sebagai senjata cambuk untuk menotok jalan darah lawan. Sementara itu, Hok Ya Cu juga sudah mengeluarkan pedang tipis yang biasanya disembunyikan di bawah jubah pertapaannya. Ciok-tosu sudah mencabut sepasang pedangnya dan berdiri dengan hati berdebar. Mereka bertiga menanti dengan tegang, sama sekali tidak bergerak, seperti telah menjadi arca batu di dalam guha batu itu, mata mereka memandang ke arah batu bundar penutup guha, ke arah sinar kecil dari matahari yang menerobos masuk.

Tiba-tiba terdengar suara keras dan batu bundar yang amat besar dan berat itu bergerak! Tiga orang tosu itu terkejut dan melihat betapa celah-celah yang dimasuki sinar matahari itu makin membesar, Hok Keng Cu berteriak. “Cepat pertahankan pintu itu jangan sampai terbuka!” Mereka berloncatan ke dekat pintu, lalu tiga pasang tangan yang mengandung kekuatan sin-kang yang besar itu memegang dan mendorong kembali pintu batu ke kiri. Akan tetapi, ada kekuatan dahsyat dari luar yang menentang dan yang mendorong pintu itu ke kanan. Terjadilah adu kekuatan yang amat hebat, dilakukan dengan diam-diam di tempat yang asing dan aneh itu dalam suasana yang amat menyeramkan dan menegangkan. Terdengar suara dari luar, seperti suara singa menggereng atau harimau mengaum sehingga suara itu menggetarkan bumi sampai kedalam guha. Setelah terdengar suara dahsyat ini, tenaga yang mendorong batu bundar ke kanan semakin kuat! Tiga orang tosu itu mempertahankan, namun mereka ikut terdorong ke kanan! Celah-celah makin melebar dan lubang itu hampir nampak!

“Lepaskan dan terjang keluar! Di dalam tidak leluasa!” Hok Keng Cu tiba-tiba berseru setelah mendapat kenyataan bahwa tenaga mereka bertiga masih tidak mampu mempertahankan batu besar yang didorong terbuka dari luar itu.

Ketika tiga orang tosu itu menarik kembali tangan mereka, batu besar itu dengan cepat terdorong ke kanan dan terbukalah guha itu. Mereka agak silau oleh masuknya sinar matahari yang cerah, akan tetapi mereka sudah berloncatan keluar guha dan telah mempersiapkan senjata di tangan. Ketika tiba di luar dan membalik, mereka bertiga terbelalak dan wajah mereka pucat ketika mereka melihat mahluk yang berdiri di depan mereka.

Mahluk itu tingginya dua meter lebih, tubuhnya berbulu pendek kasar, bulu yang warnanya merah coklat kehitaman, dengan totol-totol putih di bagian dada. Bulu rambut tubuhnya yang kasar itu agak panjang di bagian kedua pundaknya, menutupi pundak seperti baju bulu. Mukanya agak rata, bersih tidak berambut, seperti muka monyet besar yang lebih mirip manusia daripada monyet. Mulutnya lebar, ketika itu menyeringai marah memperlihatkan gigi yang besar-besar seperti gigi manusia bentuknya, tidak bersihung. Kepalanya di bagian atas meruncing seperti bentuk kerucut. Kedua lengannya yang besar itu panjang sampai ke lutut, kedua pundaknya menurun seperti biasa terdapat pada pundak monyet besar. Akan tetapi mahluk ini tidak berekor dan lebih mendekati bentuk tubuh manusia daripada monyet atau biruang. Seluruh perawakannya membayangkan keadaan yang kokoh kuat seperti batu gunung! Akan tetapi yang menarik perhatian tiga orang tosu itu adalah sebatang pedang yang menancap di paha kanan mahluk ini. Sebatang pedang pendek yang mengkilap menusuk dari depan dan menembus paha kanan itu sampai ke belakang. Tidak nampak darah dekat tempat pedang itu menancap, agaknya sudah agak lama pedang itu menancap paha mahluk aneh ini.

“Yetiiii!” Akhirnya terdengar Hok Keng Cu berseru tertahan.

Mahluk ini melangkah maju sambil mengeluarkan suara gerengan aneh. Tiba-tiba Hok Ya Cu mengeluarkan bentakan nyaring dan pedang tipisnya menyambar ke arah leher mahluk itu.

“Aurgghh....!” Yeti itu mendengus dari, tenggorokannya dan dengan gerakan lamban namun mengeluarkan angin dahsyat, tangannya bergerak ke depan. Pedang di tangan Hok Ya Cu menabas ke arah lengan yang diangkat itu.

“Trakkkk!” Pedang itu terpental dan tangan Hok Ya Cu yang memegang pedang itu tergetar, membuat orangnya terhuyung ke belakang.

“Dia kebal!” kata Hok Ya Cu yang sudah menerjang pula, menggerakkan sabuk sutera yang sudah dilolosnya tali dari pinggangnya. Nampak sinar putih berkelebat panjang seperti seekor ular, dibarengi suara bercuitan amat kuatnya, menotok ke arah kedua mata mahluk itu secara bertubi-tubi!

Yeti itu agaknya tidak mau atau tidak dapat mengelak, hanya memejamkan kedua mata ketika ujung sabuk putih itu mematuk-matuk, dan seperti juga. pedang tadi, hanya terdengar suara “tak-tuk-tak-tuk!” seolah-olah ujung sabuk yang sudah menjadi kaku karena digerakkan dengan sin-kang itu bertemu dan menotok benda-benda keras melebihi baja! Yeti menjadi marah, kedua lengannya yang panjang itu menyambar ke depan dan Hok Keng Cu terpaksa menarik sabuknya karena dia maklum bahwa sekali sabuknya kena ditangkap, akan sukarlah menyelamatkan senjatanya itu.

Sementara itu, Hok Ya Cu sudah menggerakkan pedangnya lagi, akan tetapi ke mana pun pedangnya menyerang, menusuk atau membacok, selalu terpental kembali sehingga tosu ini menjadi amat jerih. Ada pun Ciok Kam setelah melihat keadaan dua orang sahabatnya itu, segera mengeluarkan lengkingan panjang dan dia pun menerjang ke depan, sepasang pedangnya digerakkan sedemikian rupa sehingga membentuk sinar-sinar yang saling bersilang, kemudian menjadi dua gulungan sinar berkilauan yang menerjang Yeti itu dari kanan kiri. Bukan main indah dan hebatnya ilmu siang-kiam (sepasang pedang) dari tosu muda Kun-lun-pai ini!

Yeti itu menggeram ketika sinar-sinar pedang itu mengurungnya. Dia menggerakkan kedua tangannya dan setiap kali pedang itu bertemu dengan tangannya, maka pedang itu terpental dan akhirnya Ciok-tosu tidak dapat bertahan lagi dan terpaksa meloncat ke belakang karena selain semua bagian tubuh mahluk ini kebal dan keras bukan main, bahkan bulu-bulunya yang pendek kasar itu agaknya juga kuat seperti kawat-kawat baja tulen, dia juga merasa betapa kedua tangannya nyeri dan ketika dia meloncat mundur dan melihat kedua tangannya, ternyata ada bagian telapak tangannya yang pecah dan berdarah!

Ciok Kam merasa penasaran sekali. Paha kanan mahluk ini ditembus pedang yang masih menancap, berarti bahwa mahluk ini tidak seluruhnya kebal. Kalau pedang itu dapat menancap di paha, mahluk itu, mengapa kedua pedangnya tidak? Dia menerjang lagi dan kini sinar pedangnya yang bergulung-gulung mengarah paha mahluk itu.

“Trak-trak, tringgg....!”

“Aihhhh....!” Ciok-tosu menjerit dan mencelat ke belakang, memandang pedang di tangan kanannya yang telah buntung menjadi dua potong! Pedangnya itu tadi menyerang paha kanan mahluk itu dan tanpa disengaja, mahluk itu menggerakkan kaki dan pedangnya bertemu dengan pedang yang menancap di paha mahluk itu dan.... pedangnya buntung seperti terbuat dari pada tanah liat saja! Dan pedang di tangan kiri yang menusuk paha kiri mahluk itu terpental kembali!

“Dia kebal dan lihai, mari kita lari!” Hok Keng Cu berseru. Akan tetapi Ciok Kam yang merasa penasaran itu tidak mau lari. Mereka bertiga adalah tokoh-tokoh Kun-lun-san yang terkenal jagoan, masa kini mengeroyok seekor binatang aneh yang sudah terluka paha kanannya ini tidak mampu menang? Tiba-tiba Ciok Kam mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya melayang ke atas. Inilah keistimewaannya dan yang membuat dia dijuluki Hui-siang-kiam (Sepasang Pedang Terbang). Biarpun pedangnya tinggal sebatang, namun kini dengan meloncat sangat cepatnya, tubuhnya melayang ke atas dan dari atas dia menyerang dan menusukkan pedangnya ke arah ubun-ubun kepala mahluk itu! Jurusnya ini adalah jurus pilihan, dan jaranglah ada tokoh kang-ouw yang akan mampu menghindarkan diri dari serangan dahsyat ini.

Yeti itu menggereng, kedua tangannya melindungi kepala dan digerakkan sedemikian kerasnya sehingga ketika pedang itu menusuk, pedang dan orangnya kena ditamparnya dan tubuh Ciok-tosu terpental sampai beberapa meter jauhnya, menumbuk batang pohon dan terpelanting, terbanting ke atas tanah dan terus menggelundung masuk ke dalam jurang!

Melihat ini, Hok Keng Cu dan Hok Ya Cu marah sekali dan berbareng mereka itu menyerang dengan pedang dan sabuk sutera.

“Cratt!” Ujung sabuk sutera mengenai tepi mata kanan mahluk itu. Mahluk ini mengaum dan tangan kanannya yang panjang berbulu itu bergerak sedemikian cepatnya sehingga tahu-tahu pundak Hok Keng Cu karena dicengkeram. Kuku-kuku yang amat panjang, kuat tajam dan runcing melengkung itu meremukkan tulang pundak dan betapa pun tosu itu meronta, dia tak mampu melepaskan diri.

“Tidaaaak.... jangaaaaannn.....!” Tosu itu menjertt dan matanya terbelalak, akan tetapi mahluk itu sudah menggerakkan lengan kirinya dengan kuku-kuku diulur menusuk dan menggurat. Terdengar kain robek dan kukunya telah merobek kain berikut kulit dan daging tosu itu, dari ulu hati sampai ke pusar sehingga terobeklah perutnya dan isinya berantakan! Ketika dilepas, tubuh itu sudah tak bernyawa lagi dan mandi darah.

Hok Ya Cu terbelalak, mukanya pucat sekali dan dia menggigil. Maklum bahwa dia tidak akan mampu melawan mahluk itu, dia lalu membalikkan tubuhnya dan melarikan diri. Akan tetapi, dengan sekali lompat saja, mahluk yang kelihatannya lamban itu sudah mengejarnya dan sekali tangannya bergerak, jari-jari tangan yang kuat itu sudah menampar ke arah leher.

“Krekkk!” Tubuh Hok Ya Cu terpelanting dan roboh dengan tulang leher patah-patah. Tentu saja dia pun tewas seketika!

Yeti itu masih marah. Sepasang matanya kini menjadi kemerahan dan beringas. Dia mendengus-dengus, lalu melangkah, terpincang-pincang dan kaku karena paha kanannya tertembus pedang, memasuki guha. Di dalam guha dia mengamuk, mengobrak-abrik kayu-kayu bakar dan melempar-lemparkan batu-batu, setelah puas mengamuk lalu dia keluar dan biarpun terpincang-pincang, tubuhnya dapat dengan cepat mendaki lereng yang berbatu-batu, kemudian menuruni jurang dan lenyap ditelan semak-semak belukar.

Suasana menjadi sunyi sekali di tempat itu. Sunyi dan menyeramkan. Bau amis darah terbawa angin lalu, bercampur dengan bau daun-daun yang dihidupkan oleh sinar matahari pagi. Burung-burung yang tadinya seperti bersembunyi ketakutan, mulai menampakkan diri. Hanya beberapa macam burung yang tahan hidup di daerah dingin seperti Lembah Arun ini.

Mayat Hok Keng Cu telentang mengerikan. Matanya terbelalak dan perutnya terbuka. Mayat Hok Ya Cu rebah miring, kepalanya terputar dan matanya juga terbelalak ketakutan.

Kurang lebih dua jam kemudian, nampak sesosok tubuh merangkak-rangkak keluar dari dalam jurang. Itulah Ciok Kam Tosu! Ternyata dia belum tewas dan ketika dia terguliing ke dalam jurang dalam keadaan pingsan, ada semak-semak yang kebetulan menahan tubuhnya sehingga dia tidak sampai terjatuh ke dalam jurang yang seolah-olah tidak berdasar saking dalamnya itu. Dan karena dia pingsan, maka makhluk aneh itu tidak mendengar dia bergerak lagi dan mengira dia sudah mati maka meninggalkannya.

Ketika tiba di atas tebing jurang dan melihat keadaan dua orang sahabatnya, Ciok-tosu terbelalak, menghampiri mayat mereka dan menangislah tosu ini. Dengan hati penuh duka dia lalu menguburkan dua mayat sahabatnya itu. Sampai matahari turun ke barat, barulah dia selesai menggali lubang dan menguburkan mayat dua orang tosu Kun-lun-san itu. Tubuhnya terasa nyeri semua dan hampir kehabisan tenaga. Maka dengan terhuyung-huyung dia lalu kembali ke dalam guha, tanpa menutupkan batu bundar karena tenaganya sudah habis. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu malam itu dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ciok-tosu sudah berada di depan makam dua orang sahabatnya. Dia mengepal tinju dan mengamang-amangkan tinjunya itu ke jurusan puncak gunung.

“Mahluk biadab, aku bersumpah akan membalaskan kematian dua orang sahabatku!” Setelah berkata demikian Ciok Kam lalu pergi meninggalkan tempat itu, terus mendaki lereng itu menuju ke barat, membawa pedangnya yang tinggal sebuah dan juga membawa pedang Hok Ya Cu untuk melengkapi pedangnya sehingga kini dia mempunyai lagi sepasang pedang, sungguhpun ukuran dan beratnya tidak sama.

Alam di sekeliling, tempat itu masih indah seperti biasa, tidak terpengaruh oleh peristiwa itu. Akan tetapi bagi pandangan Ciok-tosu, sama sekali tidak berobah. Keindahan alam yang tadinya mempesona itu kini baginya berobah menjadi keadaan yang liar dan buas penuh ancaman maut, dan dipandangnya dengan sinar mata penuh dendam kebencian dan kemarahan di samping rasa takut yang besar.

Pada waktu itu, seperti telah diceritakan di bagian depan. Pegunungan Himalaya dibanjiri pengunjung yang terdiri dari orang-orang kang-ouw bermacam-macam golongan, baik dari golongan bersih maupun golongan sesat. Berbondong-bondong mereka datang mendaki Pegunungan Himalaya, ada yang datang dari timur langsung mendaki pegunungan itu, ada yang melalui Negara Bhutan atau Nepal, mendaki dari selatan, dan ada pula yang datang dari utara.

Pada suatu pagi, dari arah utara berjalan serombongan orang melalui dataran tinggi yang berlapis pasir, berjalan terseok-seok kelelahan menuju ke selatan. Mereka terdiri dari belasan orang dan melihat gerak-gerik mereka, kebanyakan dari mereka itu tentulah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, atau setidaknya merupakan ahli-ahli silat yang tidak gentar menghadapi kesukaran dan bahaya.

Memang demikianlah adanya. Dua belas orang di antara mereka adalah serombongan piauwsu (pengawal-pengawal bayaran) dari perusahaan ekspedisi Pek-i-piauw-kiok (Perusahaan Pengawalan Baju Putih). Baju mereka semua memang berwarna putih, dengan sulaman sebatang senjata rahasia Hui-to (pisau terbang) di dada kiri, sungguhpun celana mereka bermacam-macam warnanya. Sulaman pisau terbang itu bukan sekedar hiasan belaka karena memang semua anggauta Pek-i-piauw-kiok mempunyai keahlian melemparkan pisau sebagai senjata rahasia dengan lontaran cepat, kuat dan tepat.

Diantara dua belas orang ini terdapat pemimpinnya, seorang piauwsu yang usianya kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh kurus namun memiliki sepasang mata yang tajam dan gerak-geriknya menunjukkan bahwa dia adalah seorang ahli silat yang pandai dan seorang yang telah memiliki banyak pengalaman. Piauwsu ini adalah pemimpin Pek-i-piauw-kiok sendirli bernama Lauw Sek, dan julukannya adalah Toat-beng Hui-to (Pisau Terbang Pencabut Nyawa) karena memang dia seorang ahli yang pandai dalam penggunaan senjata ini dan dialah yang melatih semua anak buahnya sehingga mereka semua mahir melontarkan pisau terbang. Sebelas orang anak buahnya itu merupakan anggauta piauw-kiok pilihan yang rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi karena saat itu Lauw-piauwsu sedang melakukan tugas yang amat penting. Dia bersama sebelas orang anak buahnya bertugas mengawal pengiriman barang-barang berharga milik seorang pedagang dari Katmandu di Nepal yang dipikul oleh empat orang dan sebagian dipanggul pula oleh para anggauta piauw-kiok. Barang-barang berharga ini dikirim dari Ceng-tu di Se-cuan untuk dibawa ke rumah pedagang itu di Nepal dan tentu saja untuk biaya pengiriman dan pengawalan ini, si saudagar membayar mahal sekali kepada Lauw-piauwsu, Perjalanan itu amat jauh, sukar dan juga penuh bahaya dan hanya rombongan piauwsu seperti yang dipimpin oleh Lauw-piauwsu itu sajalah yang berani menerima pekerjaan berat itu.

Di dalam rombongan itu terdapat pula seorang gadis kecil bersama kakeknya yang sudah tua namun yang juga memiliki kekuatan yang mengagumkan. Kakek ini jelas memiliki kepandaian silat yang kuat, dapat dibuktikan dengan cara dia mendaki jalan-jalan yang sukar dan mendakl, dan kadang-kadang dia masih harus menggendong cucunya sambil membawa buntalan bekal mereka berdua. Gadis kecil itu berusia kurang lebih dua belas tahun, seorang gadis yang mungil dan manis, lincah jenaka dan memiliki watak bengal dan pemberani. Hanya di waktu melewati jurang-jurang yang berbahaya sajalah maka dia tidak membantah kalau kakeknya memondongnya. Akan tetapi kalau hanya melewati jalan-jalan kasar dan sukar saja tanpa ada bahaya mengancam, anak ini berjalan mendahului kakeknya. Sebentar saja anak perempuan itu dikenal oleh semua anggauta rombongan dan disebut Siauw Goat (Bulan Kecil). Memang, kelincahan anak itu, kejenakaan dan kegembiraannya, membuat dia seperti menjadi sang bulan yang menerangi kegelapan malam dan mendatangkan keindahan dengan suaranya yang nyaring, nyanyiannya yang merdu, tariannya yang gemulai dan gerak-geriknya yang lincah jenaka.

Tidak ada seorang pun di antara rombongan itu yang mengetahui nama selengkapnya dari Si Bulan Kecil. Mereka mendengar kakek itu menyebut “Goat” kepada anak perempuan itu, maka mereka lalu menyebutnya Siauw Goat. Bahkan anak itu pun hanya tersenyum manis saja disebut seperti itu, dan kalau ada yang iseng-iseng bertanya, dia pun mengaku bahwa namanya “Goat”. Kakek itu pendiam sekali, tidak pernah mau bicara kalau tidak perlu. Ketika ada orang menanyakan, dia hanya menjawab pendek bahwa namanya hanya terdiri dari satu huruf, yaitu “Kun”. Maka terkenallah dia sebagai Kun-lopek atau Kakek Kun! Semua orang menduga bahwa tentu ada rahasia yang menarik di balik riwayat kakek ini.

Selain Kun-lopek dan Siauw Goat, terdapat pula seorang sastrawan yang juga pendiam seperti kakek itu dan keadaannya lebih aneh lagi karena dia sama sekali tidak mau menerangkan namanya! Akan tetapi tidak ada orang yang berani mendesak untuk bertanya kepadanya, karena diam-diam Lauw-piauwsu, kepala rombongan pengawal bayaran itu yang berpengalaman dan bermata tajam, sudah membisikkan kepada semua orang bahwa sastrawan itu adalah seorang yang tentu memiliki kepandaian amat tinggi dan agaknya merupakan seorang di antara orang-orang kang-ouw yang datang ke Pegunungan Himalaya untuk mencari pedang kerajaan yang dicuri orang. Maka semua orang tidak ada yang berani banyak cakap, dan memandang kepada sastrawan itu dengan segan dan juga takut bukan tanpa kecurigaan. Namun, sastrawan itu tidak peduli, dia seperti tenggelam dalam lamunannya sendiri. Usianya masih muda, kurang lebih dua puluh tahun, wajahnya tampan dan sikapnya gagah biarpun gerak-geriknya amat halus. Semuda itu dia sudah kelihatan pendiam dan sering kali muram wajahnya, begitu serius seperti wajah seorang kakek saja! Pakaiannya sederhana, pakaian yang biasa dipakai oleh sastrawan atau orang yang bersekolah, dengan jubah yang agak longgar dan lebar. Dugaan Lauw-piauwsu dan sikap sastrawan muda ini yang amat pendiam membuat orang lain dalam rombongan itu tidak berani banyak bicara dengan dia.

Selain Kakek Kun, Siauw Goat dan sastrawan ini, terdapat pula beberapa orang pedagang, yang karena mendengar akan adanya orang-orang kang-ouw di Pegunungan Himalaya, tidak berani melakukan perjalanan tanpa teman dan ikut bersama rombongan piauwsu yang mereka andalkan, dengan membayar uang jasa sekedarnya. Jumlah para pedagang ini ada tiga orang sehingga dengan rombongan piauwsu, rombongan mereka semua berjumlah delapan belas orang ditambah pula empat orang pemikul barang-barang kawalan. Jadi semua ada dua puluh dua orang.

Tiga orang pedagang keliling itu adalah orang-orang yang bertubuh gendut-gendut dan mereka sudah mandi keringat karena sejak tadi jalan mendaki terus. Napas mereka juga sudah kempas-kempis. Beberapa kali sambil berjalan mereka minum air dari tempat air mereka, akan tetapi karena minum ini keringat mereka menjadi semakin membanjir keluar.

“Ahhh.... kami sudah lelah sekali.... apakah sebaiknya tidak mengaso dulu, Lauw-piauwsu?” seorang di antara mereka mengeluh.

“Paman dari tadi minum terus sih, maka banyak keringat dan badan menjadi semakin berat saja!” tiba-tiba Siauw Goat mencela sambil tersenyum menggoda.

Pedagang gendut itu pura-pura melotot. “Ah, kau Siauw Goat, aksi benar! Seolah-olah kau sendiri tidak lelah!”

Siauw Goat mencibirkan bibirnya yang mungil, lalu mengangkat dada dan bertolak pinggang. “Aku tidak selelah Paman! Buktinya, hayo kita berlomba lari!” tantangnya. Tentu saja yang ditantang hanya menyeringai. Jalan biasa di tempat pendakian itu sudah payah, apalagi diajak berlumba lari. Dan memang anak perempuan itu masih nampak gesit.

“Sedikit lagi.” kata Lauw-piauwsu, “kita mengaso di hutan depan sana itu.” Dia menuding ke depan dan memang di sebelah depan, masih agak jauh, nampak gerombolan pohon hijau lebat. Matahari sudah naik tinggi, panasnya memang tidak seberapa karena hawa di situ sejuk dan sinar matahari masih terlapis kabut, akan tetapi berjalan mendaki terus-menerus sejak tadi memang amat melelahkan dan pohon-pohon di depan itu seperti melambai-lambai membuat orang ingin lekas-lekas mencapai tempat itu untuk melempar diri di bawah pohon yang rindang.

Agaknya karena ingin memamerkan dan membuktikan bahwa dia tidak selelah pedagang gendut itu. Siauw Goat sudah berjalan cepat setengah berlarian menuju ke depan, karena dara ini pun senang sekali melihat hutan di depan itu setelah sejak kemarin mereka melalui daratan tinggi berpasir yang membuat langkah-langkah terasa berat karena kedua kaki selalu terpeleset di pasir yang lunak, apalagi karena jalannya terus mendaki. Selama sehari semalam sejak kemarin, mereka hanya melihat pasir saja, dengan beberapa tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohon yang kurus dan setengah kering. Maka, tentu saja sebuah hutan akan merupakan pemandangan baru yang amat menyegarkan.

“Hati-hatilah, Goat!” Kakek Kun berkata akan tetapi tidak melarang cucunya yang setengah berlari mendahului semua rombongan itu, Siauw Goat menoleh, tertawa manis kepada kakeknya.

“Jangan khawatir, Kong-kong!” katanya melambaikan tangan lalu melanjutkan larinya ke depan.

Kebetulan sekali Kakek Kun berjalan di dekat sastrawan muda itu. Sejak tadi sastrawan itu memandang ke arah gadis cilik yang berlarian ke depan, alisnya berkerut dan akhirnya, tanpa terdengar orang lain, dia berkata kepada kakek di sebelahnya itu dengan suara tenang dan halus, “Lopek salah sekali membawa cucu yang demikian muda dalam perjalanan yang sukar ini!” Suara itu tenang dan halus, juga lirih, akan tetapi penuh nada teguran sehingga kakek itu menoleh, sejenak menentang pandang mata sastrawan muda itu. Dua pasang mata bertemu pandang dan keduanya diam-diam terkejut. Sastrawan muda itu melihat sinar mata yang mencorong keluar dari sepasang mata kakek itu yang biasanya bermuram durja dan termenung saja, dan sebaliknya, kakek itu pun melihat sinar mata yang amat tajam menusuk dari mata pemuda sastrawan itu, jelas membayangkan pandang mata seorang yang “berisi”. Memang keduanya, dalam sikap mereka, yang pendiam dan tidak acuh, sudah saling mencurigai dan menduga bahwa masing-masing adalah orang yang diliputi rahasia dan bukan orang sembarangan, sungguhpun keduanya kelihatan seperti orang sastrawan muda dan seorang kakek yang keduanya lemah.

Sastrawan itu tiba-tiba merasa mukanya panas dan tahulah dia bahwa mukanya menjadi merah karena malu. Karena merasa seolah-olah sinar mata kakek yang mencorong itu menjawabnya dengan teguran. “Kau peduli apa?”

Akan tetapi karena merasa penasaran dan juga mengkhawatirkan keselamatan Siauw Goat yang mungil dan masih kecil itu, dan merasa bahwa dia sudah terlanjur mengajukan pertanyaan yang nadanya menegur, dia merasa kepalang-tanggung dan sastrawan itu melanjutkan kata-katanya dengan lirih tanpa terdengar orang lain, kini dengan sebuah pertanyaan. “Sesungguhnya, ke manakah Lopek hendak membawa cucu Lopek yang kecil itu? Tentu saja kalau boleh aku bertanya?”

Kembali mereka berpandangan dan beberapa lamanya kakek itu tidak mejawab, hanya melanjutkan langkahnya satu-satu dan perlahan-lahan, akan tetapi pandang matanya tak pernah meninggalkan wajah pemuda sastrawan itu. Kemudian terdengarlah dia menjawab, atau lebih tepat lagi berbalik dengan pertanyaan pula. “Dan ke mana engkau hendak pergi, orang muda?”

Sastrawan muda itu tersenyum. Selama dalam perjalanan ini, dia merahasiakan diri dengan angkuhnya, karena memang dia tidak ingin dikenal orang. Akan tetapi siapa kira, dan kini bertemu “batu” dan kakek ini ternyata tidak kalah angkuh olehnya! Buktinya, sebelum menjawab pertanyaannya, kakek ini bertanya lebih dulu, tanda bahwa kakek itu tidak akan menjawab sebelum dia menjawab lebih dulu! “Baiklah,” katanya lirih. “Jangan kaukira bahwa aku ke sini untuk mencari pedang kerajaan. Sama sekali bukan. Aku mendaki pegunungan ini untuk mencari isteriku yang pergi!”

Sepasang mata yang mencorong tajam itu tiba-tiba melunak, seolah-olah merasa kasihan mendengar ucapan ini, akan tetapi hanya sebentar dan kembali sinar mata kakek itu menjadi acuh tak acuh. Kemudian, dengan nada suara sama tak acuhnya, dia berkata sebagai jawaban dari pertanyaan sastrawan muda tadi. “Aku membawa cucuku karena dia tidak dapat kutinggalkan, dia tidak mempunyai siapa-siapa lagi selain aku!”

Sekarang sastrawan itu yang merasa kasihan, bukan kepada Si kakek melainkan kepada anak perempuan itu. Dia menoleh dan melihat anak itu masih berlari-lari dengan gembira, hampir tiba di hutan, “Mengapa diajak ke tempat seperti ini?” Dia mendesak.

“Untuk mencari musuh kami!” Jawaban itu singkat saja dan kini kakek itu mempercepat langkahnya, sengaja menjauh. Sastrawan itu kembali terkejut. Dia makin merasa yakin bahwa kakek itu tentu bukan orang sembarangan, sungguhpun sama sekali tidak pernah memperlihatkan kepandaiannya.

Siauw Goat telah tiba lebih dulu di tepi hutan. Melihat pohon-pohon raksasa yang berdaun lebat, hijau segar itu, dia gembira sekali dan terus berloncatan memasukinya. Tiba-tiba dia berhenti dan memandang ke depan. Di bawah sebatang pohon raksasa nampak seorang kakek rebah telentang di atas rumput tebal. Kakek ini seorang pengemis, itu sudah jelas. Pakaiannya penuh tambalan dan robek-robek di sana-sini, di dekatnya, bersandar di sebatang pohon, nampak sebatang tongkat bambu butut dan di bawahnya terdapat sebuah ciu-ouw (guci arak) kuningan butut, dan sebuah mangkok kosong yang sudah retak-retak pinggirnya. Jelaslah, dia adalah seorang pengemis tua yang sedang tidur. Melihat seorang kakek pengemis tidur di tepi hutan, di bawah pohon, di tempat yang liar dan sunyi tidak ada orangnya itu, tentu saja Siauw Goat menjadi terheran-heran. Biasanya, para jembel tentu berkeliaran di kota-kota di mana terdapat banyak orang kaya yang dapat memberi derma kepada mereka. Akan tetapi mengapa jembel tua ini berada di tempat sunyi seperti ini? Mau mengemis kepada siapa?

Siauw Goat adalah seorang anak perempuan yang hatinya perasa dan peka sekali, mudah tertawa, mudah marah, mudah kasihan, pendeknya segala macam perasaan mudah sekali menguasai hatinya. Melihat kakek jembel yang bertubuh kurus itu, segera timbul perasaan kasihan. Maka dia lalu menghampiri, dengan maksud memberi sekedar sumbangan karena dia mempunyai uang kecil di saku bajunya. Dia ingin memberi beberapa potong uang kecil kepada pengemis itu, lupa bahwa di tempat seperti itu, apakah gunanya uang? Dia sendiri pernah mengomel kepada kakeknya karena sama sekali tidak diberi kesempatan untuk jajan karena di sepanjang jalan tidak ada orang berjualan apa pun.

“Kakek tua, bangunlah, kuberi derma padamu!” katanya lirih.

Dia melihat betapa wajah yang telentang itu membuka mata, hanya sebentar dan dara cilik itu melihat sepasang mata yang mengeluarkan sinar tajam seperti mata kakeknya, akan tetapi hanya sebentar mata itu terbuka, menatapnya, lalu terpejam kembali! Siauw Goat merasa penasaran. Jelas bahwa kakek ini tidak tidur, akan tetapi hanya tidak mempedulikan dia saja dan pura-pura tidur!

“Hei, Lo-kai....!” teriaknya sambil mengguncang-guncang pundak kakek itu untuk membangunkannya. Akan tetapi yang diguncang-guncang tetap tidur, bahkan kini terdengar dia mendengkur!

“Lo-kai (Pengemis Tua), kau tidak tidur, jangan bohongi aku!” Siauw Goat mencela dan terus mengguncangnya, namun tidak ada hasilnya.

“Hemm, kau sengaja mempermainkan aku, ya?” Siauw Goat meloncat berdiri, sepasang matanya yang jernih dan jeli itu bergerak-gerak mencari akal, deretan giginya yang putih menggigit bibir bawah. Rasa kasihan yang timbul melihat keadaan kakek pengemis itu sudah lenyap sama sekali, terganti oleh perasaan gemas dan marah karena merasa dia dipermainkan oleh pengemis tua itu! Dan kini Si Bengal ini sudah memutar-mutar otak untuk mencari akal, untuk membalas kakek yang mempermainkannya.

Dia tersenyum kecil dan menutup mulut dengan jari tangan kiri untuk menahan ketawa, kemudian dia mencabut sebatang rumput alang-alang yang tumbuh di bawah pohon itu. Dengan berjingkat-jingkat dia menghampiri lagi kakek pengemis yang kelihatan masih tidur mendengkur itu, dan menggunakan rumput ilalang yang panjang itu dia lalu mengkilik hidung kakek itu dengan ujung rumput yang runcing. Siauw Goat merasa yakin bahwa siapapun juga, kalau dikilik seperti itu, akan merasa geli dan pasti akan terbangun, apalagi kakek yang hanya pura-pura tidur ini.

“Ehh....?” Dia berbisik dengan hati kesal dan kedua alisnya berkerut. Sampai lelah tangannya, kakek itu tetap saja tidur mendengkur, seolah-olah sama sekali tidak merasakan kilikan ujung ilalang di sekitar hidungnya itu. Bahkan ketika ujung rumput itu memasuki lubang hidungnya, dia tetap tidak bergerak sedikit pun! Padahal, orang lain kalau dlkllik lubang hidungnya seperti itu, tentu tidak hanya akan bangun, akan tetapi juga dapat bersin.

Makin kesallah hati anak perempuan itu. “Ih, tidurnya seperti babi mati! Hanya akan terbangun kalau disiram air!” Teringat air, dara cilik itu bangkit berdiri dari jongkoknya dan memandang ke kanan kiri. Dia melihat rombongan itu sudah makin dekat. Dia harus cepat-cepat memaksa kakek ini bangun sebelum kong-kongnya dekat dan tentu kong-kongnya akan memarahinya. Dilihatnya ciu-ouw (guci arak) di dekat batang pohon itu lalu diambilnya. Dibukanya tutup guci dan hatinya girang melihat bahwa didalam guci masih ada araknya. Kalau tidak ada air, arak pun jadilah untuk memaksa Si Tua malas itu bangun, pikirnya. Maka dia lalu mendekati kakek jembel itu dan menuangkan arak dari guci ke arah muka Si Pengemis tua!

Tiba-tiba terjadi keanehan yang membuat Siauw Goat menahan seruannya. Dia merasa seperti ada tenaga yang menahan tangannya, dan ketika arak itu tertumpah keluar guci, arak itu secara aneh meluncur tepat ke dalam mulut Si Kakek jembel yang sudah terbuka dan terdengar suara celegukan ketika kakek itu minum arak yang memasuki mulutnya. Padahal, mulut itu tidak berada tepat di bawah guci sehingga arak itu meluncur miring! Seolah-olah arak itu tersedot oleh tenaga aneh sehingga dapat langsung memasuki mulut!

“Wah, kauhabiskan arakku, bocah setan!” Tiba-tiba guci arak itu berpindah tangan dan kakek pengemis yang sudah bangun duduk itu mengincar-incar ke dalam guci araknya yang sudah kosong karena memang araknya tinggal tidak banyak lagi dan semua telah diminumnya secara aneh tadi.

Siauw Goat menjadi marah. “Apa? Aku yang menghabiskan arakmu? Kakek jembel, jangan kau menuduh orang sembarangan, ya? Tak tahu malu, engkau sendiri yang minum habis arak itu, sekarang menuduh aku yang menghabiskan. Hih!”

“Guci itu berada di sana, apa bisa bergerak sendiri ke mulutku kalau tidak engkau setan cilik ini yang mengambilnya? Arak tinggal sedikit kuhemat-hemat, tahu-tahu sekarang kauhabiskan!”

Kakek jembel itu marah-marah dan bersikap seperti anak kecil.

“Ihh, kau galak dan tak tahu malu! Arak itu kau sendiri yang minum habis, mau marah kepadaku. Sudahlah, tadinya aku mau memberi derma uang, sekarang jangan harap ya? Aku tidak suka padamu!” Siauw Goat lalu membalikkan tubuh hendak pergi meninggalkan kakek pengemis itu. Akan tetapi baru kira-kira tiga meter melangkah, tiba-tiba tubuhnya tertahan sesuatu, seolah-olah ada dinding tak tampak yang menghalangnya untuk melangkah maju terus.

“Aha, kau hendak lari ke mana, bocah setan? Enak saja, sudah menghabiskan arak orang lalu mau pergi begitu saja. Engkau harus mengganti arakku!”

Siauw Goat tidak tahu bagaimana dia tidak mampu bergerak maju lagi. Akan tetapi anak ini semenjak kecil sudah banyak melihat keanehan-keanehan yang diperbuat oleh orang-orang pandai ilmu silat, oleh karena itu dia tidak merasa heran dan dia dapat menduga bahwa tentu kakek jembel ini seorang yang pandai dan yang sengaja mempergunakan kepandaian yang aneh untuk menahannya.

“Idihhh! Tak tahu malu! Mulut sendiri yang minum, perut sendiri yang menampung, orang lain yang disuruh bertanggung jawab. Mana bisa aku disuruh mengganti, pula mana aku punya arak? Aku tidak pernah minum arak!” teriaknya sambil membalikkan tubuh dan memandang kakek itu dengan sepasang matanya yang jernih tajam.

“Ha, kulihat engkau tidak datang sendiri. Rombonganmu tentu membawa arak untuk mengganti arakku!”

“Tidak! Biar mereka punya arak sekali pun, aku tidak sudi mengganti arak yang kauminum sendiri!” Siauw Goat yang mulai timbul kemarahan, dan kekerasan hatinya itu membentak.

“Huh, kalau begitu, harus kauganti dengan darahmu sebanyak arakku tadi!” pengemis itu berkata. Akan tetapi kelirulah dia kalau dia mengira dapat menakut-nakuti anak perempuan itu. Mendengar ucapan ini, sepasang mata itu makin terbelalak dan makin marah.

“Aihh! Kiranya engkau seorang jahat! Engkau tentu sebangsa siluman yang tidak hanya jahat akan tetapi juga kejam sekali suka minum darah manusia! Kongkong tentu akan membasmi siluman macam engkau!”

Kembali Siauw Goat hendak meninggalkan tempat itu, akan tetapi tetap saja dia tidak mampu menggerakkan kakinya, padahal pengemis itu hanya meluruskan tangan kiri saja ke arahnya dalam jarak tiga meter! Pada saat itu, rombongan telah tiba di situ dan yang paling depan adalah para piauwsu. Empat orang piauwsu yang berada paling depan, terkejut melihat Siauw Goat berdiri seperti patung dan meronta-ronta seperti tertahan sesuatu itu dan seorang kakek jembel yang duduk di bawah pohon menjulurkan tangan ke arah anak itu. Mereka adalah piauwsu-piauwsu yang berpengalaman dan mereka dapat menduga bahwa tentu anak perempuan itu berada di bawah kekuasaan Si Kakek Jembel sungguhpun mereka tidak tahu secara bagaimana dan mengapa. Mereka, seperti yang lain-lain, juga amat sayang dan suka kepada Siauw Goat, maka serentak empat orang ini meloncat ke dekat Siauw Goat.

“Kau kenapakah, Siauw Goat?”

“Kakek jembel itu.... aku.... aku tak dapat bergerak maju!” kata Siauw Goat yang meronta-ronta, seperti melawan tangan tak nampak yang memeganginya.

Empat orang itu lalu memegang kedua tangan Siauw Goat dengan maksud hendak melepaskannya, akan tetapi tiba-tiba ada tenaga luar biasa yang mendorong mereka dan betapa pun empat orang piauwsu itu mempertahankannya, tetap saja mereka terdorong dan jatuh tunggang-langgang seperti daun-daun kering tertiup angin keras. Melihat ini, terkejutlah Lauw-piauwsu. Dia tadi melihat betapa kakek pengemis itu hanya mendorongkan tangan kirinya ke depan dan empat orang anak buahnya telah terpelanting, tanda bahwa kakek itu telah melakukan pukulan jarak jauh dan ternyata tenaga sakti itu amatlah kuatnya. Di tempat seperti itu melihat orang menyerang anak buahnya, apalagi mereka telah mendengar bahwa di pegunungan ini sekarang banyak datang orang-orang dari kaum sesat, maka tentu saja Lauw-piauwsu segera menduga bahwa tentu kakek itu merupakan seorang tokoh kaum sesat yang sengaja menghadang dengan niat tidak baik. Apalagi melihat betapa Siauw Goat masih juga belum mampu bergerak, maka secepat kilat kedua tangannya itu masing-masing telah melontarkan masing-masing tiga batang pisau terbang sehingga secara berturut-turut ada enam buah pisau terbang menyambar-nyambar ke arah enam bagian tubuh yang berbahaya dari kakek jembel itu!

Sepasang mata kakek pengemis itu terbelalak dan ternyata dia memiliki mata yang lebar sekali, tangannya telah menangkap tongkat bambunya yang tersandar pada batang pohon di belakangnya dan begitu dia menggerakkan tongkat, nampak gulungan sinar menangkis cahaya-cahaya pisau terbang yang menyambar. Terdengar suara nyaring dan pisau-pisau terbang itu meluncur kembali dan menyerang pemiliknya dengan kecepatan yang luar biasa! Tentu saja Lauw-piauwsu terkejut bukan main. Akan tetapi sebagai seorang ahli pisau terbang, tentu saja dapat menghindarkan diri dari sambaran pisau-pisaunya sendiri. Tangan kanannya sudah mencabut sepasang siang-to (golok sepasang) yang kemudian dibagi dua dengan tangan kirinya dan dua gulungan sinar golok itu menyampok pisaunya yang runtuh ke atas tanah, lalu diambilnya dan disimpannya kembali ke pinggangnya.

Tiba-tiba terdengar suara Kakek Kun yang tenang namun berwibawa, “Tahan semua, jangan mencampuri urusan cucuku!” Seruan ini ditujukan kepada Lauw-piauwsu dan anak buahnya yang tentu saja sudah menjadi marah dan siap untuk mengeroyok. Mendengar seruan ini, Lauw-piauwsu lalu meloncat mundur dan memberi isyarat kepada semua anak buahnya untuk mundur. Dia sendiri diam-diam merasa kaget dan kagum karena ketika dia menangkis pisau-pisau terbangnya tadi, ketika golok-goloknya bertemu dengan pisau-pisau kecil itu, dia merasa betapa kedua tangannya kesemutan, tanda bahwa tenaga yang melontarkan pisau-pisaunya itu amatlah kuatnya. Padahal kakek itu hanya menangkis saja pisau-pisau itu dengan tongkat bambunya. Maka dapatlah, dibayangkan betapa lihainya jembel tua itu!

Kakek Kun kini melangkah maju, masih dalam jarak tiga meter dari cucunya. Dengan sepasang matanya yang mencorong, dia menatap ke arah kakek jembel yang masih duduk sambil tersenyum itu. Kemudian Kakek Kun mengangguk dan berkata kepada pengemis itu, “Sobat, kalau cucuku mempunyai kesalahan terhadapmu, anggaplah saja itu kelancangan anak-anak, perlukah engkau menanggapinya dengan serius? Kalau hendak berurusan, baiklah kau berurusan dengan aku sebagai kakeknya yang bertanggung jawab!”

Lauw-piauwsu dan orang-orangnya memandang dengan hati tegang dan juga dengan penuh keheranan. Baru sekarang mereka mendengar Kakek Kun bicara banyak dan begitu kakek ini mengeluarkan suara, mereka dapat mengenal ciri-ciri kegagahan seorang kang-ouw yang menghadapi segala bahaya dan ancaman dengan tenang dan dingin. Kakek Kun memang dapat melihat betapa cucunya berada dalam kekuasaan tenaga sakti dari pengemis tua itu, maka dia tidak mau menggunakan kekerasan dan melarang orang-orang lain menyerang pengemis itu karena hal ini dapat membahayakan cucunya.

Pengemis itu membalas pandang mata Kakek Kun, lalu mencorat-coret tanah di depannya dengan tangan kanan yang memegang tongkat, sedangkan tangan kirinya masih tetap diluruskan ke arah Siauw Goat yang masih berdiri tak mampu pergi. Kemudian dia berkata dengan suara bernada mengejek. “Kalau berada di dunia bawah sana, tentu saja aku Si Jembel Tua tidak akan sudi ribut-ribut dengan seorang anak kecil. Akan tetapi di sini, arak merupakan sebagian nyawaku. Arakku tinggal sedikit dihabiskan oleh anak lancang ini, maka sebelum arakku diganti, takkan kubebaskan dia!”

Suaranya penuh tantangan ditujukan kepada semua orang yang berdiri di depannya.

“Bohong! Dia bohong, Kong-kong! Sisa arak dalam gucinya itu dia minum sendiri sampai habis!” teriak Siauw Goat dengan marah.

Kakek Kun mengerutkan alisnya yang sudah putih dan matanya yang mencorong menyambar kepada wajah pengemis itu. “Cucuku tidak pernah membohong!” bentaknya.

Pengemis tua itu memandang kepada Siauw Goat. “Setan cilik, hayo kaukatakan siapa yang mengambil guci arakku dan menuangkan sisa araknya sampai habis!”

“Memang aku yang mengambil, aku yang menuangkan sisa araknya, akan tetapi kutuangkan semua ke dalam mulutmu! Hayo kausangkal kalau berani!” bentak Siauw Goat dengan sikap menantang.

“Tetap saja perbuatanmu membuat arakku habis, baik masuk perut ataupun masuk tanah. Engkau atau orang lain harus mengganti arakku!” kakek jembel itu berkeras, dengan sikap kukuh.

Tiba-tiba terdengar suara yang halus tenang. “Locianpwe, semua omongan baru benar kalau ada buktinya. Apakah. Locianpwe dapat membuktikan bahwa guci arakmu itu telah kosong?” Semua orang menoleh, juga pengemis tua itu dan yang bicara dengan tenang itu bukan lain adalah Si Sastrawan muda tadi, yang sudah berdiri dengan sikap tenang menghadapi pengemis tua itu.

“Tentu saja!” Pengemis tua itu berteriak. “Lihat, ini guci arakku kosong sama sekali!” Dia mengangkat guci arak yang kosong itu, mengarahkan mulut guci ke depan.

Tiba-tiba nampak sinar kuning emas meluncur dari tangan sastrawan itu dan tercium bau arak wangi. Semua orang terbelalak ketika melihat bahwa sinar kuning emas itu adalah arak yang muncrat keluar dari dalam guci arak yang dipegang oleh tangan kanan sastrawan itu dan arak itu terus meluncur ke depan, tepat sekali memasuki guci arak kosongnya yang dipegang oleh Si Pengemis tua! Demikian cepatnya peristiwa ini terjadi dan demikian kagum dan herannya semua orang sehingga suasana menjadi sunyi dan yang terdengar hanyalah percikan arak yang masuk ke dalam guci kakek jembel. Kakek itu pun terbelalak dan tersenyum lebar. Gucinya pun terisi arak dan kini sastrawan itu sudah menyimpan kembali gucinya dan sinar kuning emas itu pun lenyap.

“Saya telah mengganti arakmu, Locianpwe!” katanya tenang.

Kakek jembel itu mendekatkan mulut guci ke depan hidungnya, menyedot-nyedot dan terkekeh girang. “Wah, arak wangi dari Pao-teng kiranya! Hemm, wangi.... wangi!” Dan dia pun meneguk sekali, mengecap-ngecap bibirnya. “Hebat, arak tua yang lezat. Ha-ha-ha, anak baik, kau boleh pergi sekarang.” Dia menurunkan tangan kirinya dan Siauw Goat pun dapat bergerak. Anak ini lalu berlari mendekati kong-kongnya.

“Kong-kong, kaubunuhlah siluman jahat ini!” katanya merengek, menarik tangan kakeknya mendekati pengemis itu. Akan tetapi pengemis itu sudah merebahkan diri lagi, meringkuk miring seperti orang hendak tidur lagi, tanpa mempedulikan mereka semua!

Tentu saja Kakek Kun menjadi bingung dan ragu. Sebagai seorang yang berpemandangan luas, dia tahu bahwa kakek jembel itu adalah seorang kang-ouw yang pandai, dan kesalahannya terhadap cucunya tidaklah sedemikian hebatnya sehingga perlu dibunuh seperti diminta oleh cucunya. Maka dia menarik tangan Siauw Goat menjauhi pengemis itu. Siauw Goat yang bertolak pinggang dengan tangan kiri memandang kepada pengemis itu penuh kemarahan, tertarik pergi menjauh.

“Kong-kong, katamu kita harus bersikap gagah, kalau bertemu orang jahat atau siluman harus menentangnya. Jembel tua bangka ini jelas orang jahat atau siluman, mengapa Kong-kong tidak menghajarnya? Dia akan menjadi semakin besar kepala!”

Kembali Kakek Kun mengerutkan alisnya karena bingung. Dia tidak ingin mencari perkara dengan kakek jembel itu, akan tetapi kalau dia diam saja, tentu kakek pengemis itu akan memandang rendah kepadanya, dan dia akan menjadi buah tertawaan orang-orang lain.

“Sudahlah, perlu apa layani dia?” Akhirnya dia berkata. Ucapan ini membuat Si Kakek pengemis bangkit lalu dia tertawa bergelak, jenggotnya yang tidak teratur itu bergerak-gerak.

“Ha-ha-ha!” Kakek jembel itulah yang tertawa mendengar permintaan cucu kepada kakeknya itu. “Apakah aku ini dianggap lalat saja yang mudah dibunuh? Eh, engkau yang mempunyai cucu bengal itu, coba kauambil daun ini apakah dapat sebelum bicara tentang bunuh-membunuh!” Sambil berkata demikian, jembel tua itu mengambil sehelai daun pohon yang gugur. Daun yang sudah mulai menguning itu lalu dilontarkannya ke atas dan daun itu melayang naik. Akan tetapi kakek jembel itu tidak menurunkan tangannya dan tangan itu, seperti ketika dia “menahan” Siauw Goat tadi, diangkat dengan telapak tangan ke arah daun itu dan.... daun itu tidak dapat melayang turun, mengambang di udara seperti tertahan oleh suatu tenaga yang tidak nampak, kemudian daun itu melayang ke arah Kakek Kun!

Kakek Kun sejak tadi memandang tajam dan mengertilah dia bahwa kakek jembel itu memamerkan tenaga sin-kang yang dipergunakan untuk menyerangnya dengan daun itu, sungguhpun penyerangan itu hanya merupakan suatu ujian belaka.

“Hemm, cucuku memang masih kecil, akan tetapi engkau tak lain hanyalah seorang anak kecil pula yang bertubuh tua bangka!” kata Kakek Kun dan dia pun lalu meluruskan tangannya ke depan, ke arah daun yang melayang-layang ke arah dirinya itu.

Daun itu berhenti ditengah-tengah, tidak meluncur maju lagi, seolah-olah tertahan oleh tenaga lain yang datang dari kakek itu, bahkan terdorong mundur kembali ke arah kakek pengemis. Akan tetapi kakek pengemis itu menggetarkan tangannya dan kini daun itu berhenti di tengah-tengah di antara dua orang kakek. Mereka tidak bicara lagi, dan mata mereka ditujukan ke arah daun yang diam saja di udara seperti terjepit antara dua kekuatan dahsyat! Makin lama dua orang kakek itu makin diam dan lengan mereka yang diluruskan tergetar, makin lama makin menggigil dan dari kepala mereka mulai nampaklah uap putih! Inilah tanda bahwa keduanya saling mengerahkan tenaga untuk mencapai kemenangan dalam adu tenaga dalam yang amat dahsyat itu! Semua piauwsu yang dipimpin oleh Lauw-piauwsu itu memandang dengan mata terbelalak dan muka penuh ketegangan. Tingkat kepandaian mereka, bahkan tingkat kepandaian Lauw-piauwsu sendiri, tidaklah mencapai setinggi itu, akan tetapi mereka semua mengerti apa artinya pertandingan antara dua orang kakek ini. Baru sekarang Lauw-piauwsu dan semua anak buahnya sadar bahwa dua orang kakek itu benar-benar merupakan orang-orang yang memiliki tingkat kepandaian tinggi sekali!

Diam-diam sastrawan muda itu memandang pertandingan itu dengan kedua alis berkerut dan pandang mata penuh kekhawatiran. Hanya dialah yang tahu, di antara para anggauta rombongan itu, di samping dua orang kakek yang saling bertanding tenaga sin-kang, bahwa pertandingan itu mengandung bahaya yang amat hebat antara dua orang itu, keduanya terancam bahaya besar yang dapat menyeret nyawa mereka ke alam baka! Pertandingan itu sudah terlanjur, tenaga sin-kang mereka sudah terlanjur saling melekat dan sukar untuk ditarik kembali karena siapa yang menariknya kembali lebih dulu terancam bahaya dorongan hawa sin-kang lawan. Melanjutkannya pun berbahaya karena mereka memiliki tingkat tenaga sin-kang yang berimbang, dan kalau dilanjutkan maka keduanya akhirnya tentu akan kehabisan tenaga dan dapat terluka sendiri. Kalau keduanya mau menarik kembali tenaga dalam waktu yang bersamaan, agaknya mereka masih dapat tertolong, akan tetapi agaknya kedua orang kakek ini sama-sama memiliki kekerasan hati dan tidak ada yang mau mengalah!

“Ji-wi seperti dua orang anak kecil berebutan sehelai daun!” Tiba-tiba terdengar sastrawan itu berseru dari samping dia lalu menggerakkan tangan kanannya ke depan, mengarah tengah-tengah antara kedua orang kakek itu, yaitu ke arah daun yang masih mengambang di udara.

Dua orang kakek itu berseru kaget dan daun itu hancur-lebur, rontok berhamburan melayang ke bawah. Dua orang kakek itu sudah menarik tenaga masing-masing pada saat yang sama ketika keduanya merasa terdorong oleh tenaga yang luar biasa kuatnya dan mereka terhindar dari malapetaka. Kini mereka dengan mata terbelalak memandang kepada sastrawan itu yang berdiri dengan sikap tenang saja. Bahkan Kakek Kun sendiri tidak pernah menyangka bahwa sastrawan itu ternyata memiliki tenaga sin-kang yang demikian dahsyatnya, sungguhpun dia tahu bahwa sastrawan itu bukan orang sembarangan.

Kakek pengemis itu kini bangkit berdiri, tubuhnya kurus sekali dan tingginya sedang saja, tangan kanan memegang tongkat bambu dan tangan kiri memegang guci arak. Ujung tongkat bambunya kini menyentuh mangkok retak di bawah pohon dan mangkok itu melayang naik, lalu seperti seekor burung hidup saja mangkok itu menyambar turun dan menyusup ke dalam karung butut di atas punggungnya.

Tiba-tiba sastrawan itu berkata, suaranya seperti orang bernyanyi perlahan namun pandang matanya yang tajam ditujukan kepada kakek pengemis itu. “Arak untuk menghibur hati yang duka, mangkok untuk minta derma, dan tongkat untuk memukul anjing. Kalau arak untuk mabok-mabokan, mangkok untuk memaksa orang memberi makanan dan tongkat untuk memukul orang baik-baik, itu namanya menyeleweng dan tidak pantas menjadi pengemis!”

Mendengar ucapan itu, kakek pengemis terbelalak dan memandang penuh keheranan kepada Si Sastrawan dari kepala sampai ke kaki. Kemudian dia mengangguk-angguk, lalu berkata, “Bukankah itu ajaran terkenal dari Khongsim Kai-pang?”

“Khong-sim Kai-pang sekarang sudah tidak ada lagi.” jawab sastrawan itu. Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hati Kosong) adalah sebuah perkumpulan yang paling terkenal di jaman dahulu, merupakan perkumpulan yang paling terkenal di antara perkumpulan pengemis lain, dan ketuanya, yaitu keturunan orang she Yu yang amat lihai, dianggap sebagai tokoh besar dunia pengemis.

“Siapa tidak tahu akan hal itu? Akan tetapi, bukankah masih ada ketuanya yang terakhir, Sai-cu Kai-ong? Orang muda yang perkasa, apakah hubunganmu dengan Sai-cu Kai-ong?”

“Beliau pernah menjadi guruku.”

Mendengar jawaban ini, pengemis tua itu kelihatan terkejut dan cepat menjura. Jawaban itu menunjukkan bahwa pemuda ini bukan hanya menjadi murid tokoh pengemis besar itu, akan tetapi juga tentu telah mempelajari ilmu dari orang lain, maka jawabannya adalah “pernah menjadi guruku”.

“Aih, kiranya begitu! Sungguh lama sekali aku tidak berjumpa dengan Sai-cu Kai-ong yang amat kukagumi, dan kini bertemu dengan seorang muridnya yang perkasa, benar-benar merupakan pertemuan yang menggembirakan. Jangan khawatir, orang muda, aku Koai-tung Sin-kai selamanya tidak pernah meninggalkan kedudukan pengemis untuk berobah menjadi perampok, dan tongkat bututku ini tidak pernah salah memukul orang!” Kakek kurus itu tertawa.

Sastrawan itu memandang tajam. Tentu saja dia pernah mendengar nama Koai-tung Sin-kai Bhok Sun, seorang tokoh dunia pengemis yang amat terkenal, sebagai datuk kaum pengemis di dunia selatan di samping beberapa orang lagi tokoh-tokoh pengemis di daerah timur dan selatan. Maka dia pun menjura dengan hormat.

“Kiranya Locianpwe adalah Koai-tung Sin-kai yang terkenal. Saya percaya bahwa Locianpwe tidak pernah salah memukul orang, akan tetapi tadi hampir saja terjadi hal yang tidak menyenangkan antara teman segolongan sendiri. Sastrawan muda itu berani menggunakan sebutan segolongan karena dia mengenal nama kakek pengemis itu sebagai seorang tokoh koh kang-ouw yang bersih, sedangkan Kakek Kun ini, biarpun belum diketahuinya benar, dia percaya bukanlah seorang penjahat.

Koai-tung Sin-kai tertawa gembira. “Ha-ha-ha, semua gara-gara kekerasan hati, dan dibandingkan dengan kami dua orang tua yang keras hati, anak perempuan itu memiliki kekerasan hati yang jauh lebih hebat lagi!” Dia lalu menjura kepada Kakek Kun sambil berkata, “Sahabat, maafkan kesalahfahaman tadi. Engkau sungguh hebat dan membuat aku Koai-tung Sin-kai merasa takluk. Tidak tahu siapakah julukanmu?”

Kakek Kun mengerutkan alisnya, agaknya sukar untuk menjawab. Sementara itu, tiba-tiba Siauw Goat berkata dengan suaranya yang merdu dan nyaring. “Kong-kong, hati-hati, di balik air tenang ada ikan buasnya, di balik kulit halus ada ulatnya!”

Semua orang tentu saja mengerti apa yang dimaksudkan oleh gadis cilik ini, yang hendak memperingatkan kakeknya agar tidak tertipu oleh sikap manis pengemis tua itu karena dia masih saja merasa penasaran dan menganggapnya jahat. Akan tetapi kakek pengemis itu tertawa gembira mendengar ucapan itu.

“Hei, anak nakal, engkau pendendam benar, akan tetapi engkau pun membantuku untuk berkenalan dengan orang-orang gagah seperti murid Sai-cu Kai-ong dan kakekmu ini, tentu saja kalau dia tidak merasa terlalu tinggi untuk berkenalan dengan seorang jembel tua bangka seperti aku!”

Ucapan dan sikap kakek pengmis itu membayangkan ketinggian hatinya, sungguh tidak sesuai sama sekali dengan keadaan pakaiannya seperti seorang pengemis! Dan Kakek Kun sejenak memandang dengan sinar mata tajam dan mukanya berubah pucat, akan tetapi hal ini hanya dapat ditangkap oleh pandang mata sastrawan itu yang mengerutkan alisnya karena sastrawan ini dapat melihat bahwa kakek ini seperti merasa terpukul dan agaknya kakek ini menderita sekali. Padahal dia tahu bahwa dalam adu tenaga tadi, Kakek Kun tidak kalah kuat, maka tidak mungkin kalau terluka oleh adu tenaga tadi. Akan tetapi sekarang kakek itu menunjukkan gejala-gejala seperti orang yang menderita luka dalam yang amat hebat, sungguhpun hal itu agaknya hendak disembunyikan. Akan tetapi mengingat akan keangkuhan kakek ini, Si Sastrawan juga mengambil sikap tidak peduli.

Akhirnya terdengar kakek itu menggumam, “Orang-orang menyebutku Kakek Kun, dan aku tidak mencari musuh baru atau sahabat baru.” Setelah berkata demikian, dia membalikkan tubuhnya membelakangi pengemis itu dan terdengar dia batuk-batuk kecil lalu menggandeng tangan cucunya dan pergi dari situ.

Sejenak kakek pengemis itu memandang dengan mata terbelalak, mukanya lalu menjadi merah dan dia tertawa. “Ha-ha-ha, aku pun tidak ingin berdekatan dengan rombongan orang-orang tinggi hati dan besar kepala. Huhhh!” Kakek pengemis itu berkelebat dan sekali meloncat dia pun lenyap dari situ.

Semua orang terkejut, termasuk Lauw Sek. Kepala piauwsu ini sudah banyak melakukan perjalanan dan bertemu dengan orang-orang kang-ouw yang aneh-aneh, maka mengertilah dia bahwa pengemis tua itu benar-benar seorang yang pandai sekali dan untunglah bahwa orang pandai itu tidak bermaksud mengganggu barang-barang kawalannya. Juga dia merasa beruntung bahwa ada orang-orang sakti seperti Kakek Kun dan juga sastrawan muda itu dalam rombongannya.

“Kita mengaso di sini dulu.” katanya, lebih banyak ditujukan kepada tiga orang saudagar gendut itu. “Malam nanti kita dapat melewatkan malam di dalam hutan bambu, dan besok pagi-pagi kita menuruni lembah di depan itu dan tiba di dusun Lhagat, darimana kita akan melanjutkan pendakian ke Pegunungan Himalaya.”

Sambil mengeluarkan napas lega tiga orang saudagar itu mencari tempat teduh di bawah pohon, melepaskan beberapa kancing baju bagian atas lalu mengebutngebutkan kipas yang mereka bawa untuk mengeringkan peluh yang membasahi leher dan dada. Para pemikul barang kawalan rombongan piauwsu itu pun menurunkan pikulan mereka dan para piauwsu membuka buntalan mengeluarkan bekal makanan dan minuman. Sastrawan itu menyendiri agak jauh, duduk melamun dengan wajah yang seperti biasanya, agak sayu dan muram. Demikian pula Kakek Kun membawa cucunya, menjauh sedikit, duduk bersila dan seperti orang bersamadhi, sedangkan cucunya nampak makan bekal mereka roti kering sambil minum air jernih dari guci. Agaknya kakek itu mengomeli cucunya, karena bukti tidak seperti biasa, Siauw Goat juga menjadi pendiam dan agak murung, duduk saja dekat kakeknya, tidak seperti biasa lincah dan tak pernah mau diam. Setelah peristiwa yang baru saja terjadi, di mana sastrawan itu dan Kakek Kun memperlihatkan ilmu mereka yang tinggi, rombongan piauwsu itu menjadi jerih dan sungkan, tidak berani sembarangan menegur, apalagi bersikap sebagai sahabat-sahabat yang setingkat! Mereka bahkan mempunyai perasaan segan dan takut-takut. Dan agaknya Kakek Kun dan sastrawan itu juga merasa lebih senang kalau didiamkan saja, lebih senang tenggelam dalam lamunan mereka sendiri!

Setelah makan minum dan beristirahat, Lauw-piauwsu lalu menggerakkan lagi rombongannya. “Kita tidak boleh terlambat, sebelum gelap harus dapat tiba di hutan bambu di lembah itu karena sekeliling daerah ini hanya hutan bambu itulah tempat yang paling baik untuk melewatkan malam.” katanya dan semua orang tidak ada yang membantah, biarpun dari wajah mereka, tiga orang saudagar gendut itu mengeluh. Mereka adalah orang-orang yang tidak tahan menderita, hal itu karena mereka mengharapkan keuntungan berlipat ganda dari batu-batu permata di saku-saku baju mereka, yang akan mereka jual di Nepal atau Bhutan.

Memang amat luar biasa. Betapa manusia dapat menahan segala kesukaran, segala derita kalau dia sedang mengejar sesuatu yang dianggapnya akan mendatangkan kesenangan! Perjalanan itu amat melelahkan, jalannya naik turun dan kadang-kadang melalui daerah yang berbatu dan batu-batu yang runcing itu seperti hendak menembus sepatu, terasa oleh kulit telapak kaki. Akan tetapi menjelang senja, akhirnya dengan tubuh yang amat letih bagi tiga orang saudagar itu, tibalah mereka di hutan bambu yang dirmaksudkan oleh Lauw-piauwsu. Para piauwsu juga letih. Apalagi orang-orang yang memikul barang bawaan mereka itu, mereka mandi keringat ketika menurunkan barang-barang itu, menumpuknya di dekat rumpun bambu yang tinggi melengkung.

Tanah di hutan itu penuh dengan daun bambu kering sehingga enak diduduki, seperti duduk di atas kasur saja. “Hati-hati kalau malam nanti membuat api unggun.” kata Lauw-piauwsu. “Sekitar api unggun harus dibersihkan dari daun kering agar tidak menjalar dan menimbulkan kebakaran dalam hutan, walaupun hal itu agaknya tidak mungkin karena kurasa malam ini hawanya akan dingin dan lembab. Sebaiknya membuat satu api unggun besar dan kita duduk di sekelilingnya, agar lebih hangat dan lebih aman, dapat saling menjaga.”

Tiba-tiba terdengar suara teriakan yang mengejutkan dan seorang di antara para piauwsu yang tadi mencari ranting-ranting kering agak jauh dari situ berlari mendatangi dengan muka pucat dan napas memburu, kelihatan ketakutan sekali, kemudian terdengar dia berteriak dengan suara gagap. “Ada.... ada mayat....!”

Semua orang lalu memburu ke arah piauwsu itu menudingkan telunjuknya yang gemetar dan setelah mereka tiba di tempat itu barulah mereka tahu mengapa piauwsu itu, seorang yang biasa dalam pertempuran dan sudah sering kali melihat orang terbunuh, kelihatan begitu gugup dan ketakutan. Memang amat mengerikan sekali apa yang mereka lihat itu. Mayat-mayat berserakan, dalam keadaan menyedihkan karena tidak ada tubuh mereka yang utuh! Tubuh itu seperti “dirobek-robek”, bahkan ada yang kaki tangannya putus atau terlepas dari badan! Dan melihat betapa tempat itu masih berceceran darah yang mulai membeku dapat diduga bahwa pembunuhan itu terjadi di hari tadi. Ada lima mayat di tempat itu.

Tentu saja para piauwsu menjadi ribut, dan tiga orang saudagar gendut itu hampir saja pingsan, lari menjauhi dan muntah-muntah. Hanya sastrawan itu dan Kakek Kun yang tetap tenang, walaupun kakek itu melarang cucunya mendekat, kemudian membawa cucunya kembali dan menjauh dari tempat yang menyeramkan itu. Lauw-piauwsu lalu mengajak anak buahnya untuk mengganti sebuah lubang besar dan menguburkan lima mayat itu menjadi satu. Melihat ini, ada sinar mata kagum pada mata Kakek Kun yang mencorong itu dan dia mulai merasa suka kepada kepala piauwsu itu yang ternyata, dalam keadaan seperti itu, biarpun dia itu seorang yang biasa menggunakan kekerasan dan menghadapi tantangan hidup dengan golok di tangan, namun masih memiliki perikemanusiaan dan suka mengurus dan mengubur mayat orang-orang yang sama sekali tidak dikenalnya.

Dengan adanya lima mayat di dekat tempat itu, tentu saja suasana menjadi serem dan semua orang merasa amat tidak enak hatinya. Sastrawan muda yang sejak tadi termenung, kini bangkit berdiri dan melangkah pergi.

“Taihiap, engkau hendak ke manakah?” Lauw-piauwsu tidak dapat menahan hatinya dan bertanya sambil menghampiri sastrawan yang agaknya hendak pergi itu. Dia menyebut taihiap karena dia maklum bahwa sastrawan itu adalah seorang pendekar yang amat tinggi ilmunya. Sebelum peristiwa dengan kakek pengemis itu, dia selalu menyebutnya kongcu (tuan muda). Sastrawan muda itu berhenti melangkah dan menoleh.

“Pembunuh kejam itu tentu berada di sekitar sini, aku hendak menyelidiki.” katanya, lalu melanjutkan langkahnya. Lauw-piauwsu tidak berani bertanya lebih banyak lagi, bahkan hatinya merasa lega karena memang tadi pun dia sudah merasa curiga. Pembunuhan kejam itu belum lama terjadi dan memang kemungkinan besar pembunuhnya, siapa pun orangnya atau apa pun mahluknya, masih bersembunyi di sekitar hutan bambu ini. Dia bergidik mengingat ini dan setelah anak buahnya membuat sebuah api unggun yang besar dan semua orang mulai mengaso tanpa makan malam karena tidak ada yang dapat menelan makanan setelah melihat keadaan mayat-mayat itu, Lauw-piauwsu lalu mengatur para anak buahnya untuk melakukan penjagaan secara bergilir.

Malam itu suasananya sunyi sekali, sunyi yang amat menyeramkan. Suasana ini bukan hanya diciptakan oleh keadaan di dalam hutan bambu itu, yang memang amat menyeramkan, dengan bunyi daun-daun bambu terhembus angin, bergesekan dan diseling suara berdesirnya batang-batang bambu yang saling bergosokan, seperti tangis setan dan iblis tersiksa dalam neraka dongeng, melainkan terutama sekali disebabkan oleh perasaan ngeri dan takut yang menyelubungi hati rombongan itu.

Lewat tengah malam, di waktu keadaan amat sunyinya karena sebagian dari anggauta rombongan sudah tidur, sedangkan angin pun berhenti bertiup sehingga keadaannya amat sunyi melengang. Tiba-tiba terdengar pekik-pekik kesakitan. Tentu saja pekik yang merobek kesunyian itu mengejutkan semua orang. Bahkan mereka yang sudah tidur, tentu saja tidur dalam keadaan gelisah dan diburu ketakutan, serentak terbangun dan keadaan menjadi panik. Apalagi ketika mereka melihat dua di antara empat orang pemikul barang itu telah roboh mandi darah dan tak bergerak lagi, sedangkan dua orang piauwsu sudah luka-luka namun masih mempertahankan diri melawan dua orang laki-laki tinggi besar yang amat lihai! Ketika semua orang terbangun dan memandang, ternyata dua orang piauwsu itu pun tak sanggup mempertahankan diri lebih lama lagi. Mereka berdua ini bersenjata golok besar, akan tetapi mereka terdesak hebat oleh dua orang tinggi besar yang tidak memegang senjata, akan tetapi kedua tangan mereka memakai semacam sarung tangan yang mengerikan karena sarung tangan itu dipasangi lima buah jari tangan yang melengkung dan berkuku tajam kuat terbuat dari pada baja! Tubuh dua orang piauwsu itu sudah luka-luka dan mandi darah dan pada saat Lauw-piauwsu meloncat, dua orang piauwsu itu roboh dengan perut terbuka karena dicengkeram dan dikoyak oleh kuku-kuku baja itu. Mereka pun menjerit dan berkelojotan!

Toat-beng Hui-to Lauw Sek marah sekali dan kedua tangannya diayun. Nampak sinar-sinar berkilauan menyambar ke arah dua orang tinggi besar itu.

“Tring-tring-cring....!” Dua orang itu tidak mengelak, akan tetapi menggerakkan kedua tangan mereka dan enam batang hui-to yang menyambar mereka itu dapat mereka sampok runtuh semua! Pada saat itu, seorang piauwsu cepat menambah kayu pada api unggun sehingga keadaan menjadi terang.

“Kalian....!?” Lauw-piauwsu berteriak dengan mata terbelalak ketika dia kini mengenal wajah dua orang tinggi besar itu, yang tertimpa sinar api unggun. Semua orang pun menjadi terkejut dan terheran-heran karena dua orang tinggi besar itu bukan lain adalah dua di antara empat orang pemikul barang-barang dalam rombongan mereka! Dua di antara para pemikul barang-barang yang mereka tadinya hanya anggap sebagai orangorang kasar yang mengandalkan tenaga kasar untuk menjadi kuli angkut dan memperoleh hasil nafkah sekedarnya itu!

“Kalian.... anggauta Eng-jiauw-pang....?” Kembali Lauw-piauwsu berseru dengan keheranan masih mencekam hatinya.

“Ha-ha-ha!” Seorang di antara dua orang “kuli” itu tertawa. “Lauw-piauwsu, kami hanya menghendaki satu peti ini saja!” katanya sambil menepuk peti hitam yang sudah diikat di punggungnya. Peti kecil itu justru merupakan benda yang paling berharga di antara semua yang dikawalnya karena peti itu berisi batu-batu intan besar.

“Pek-i-piauw-kiok tidak pernah bermusuhan dengan Eng-jiauw-pang, harap kalian suka memandang persahabatan antara dunia liok-lim (rimba hijau) kangouw (sungai telaga) dan tidak mengganggu. Pada suatu hari tentu aku sendiri yang akan datang mengunjungi Eng-jiauw-pang untuk menghaturkan terima kasih.” kata Lauw Sek dengan tenang akan tetapi dengan kemarahan yang sudah mulai naik ke kepalanya. Diam-diam ketua Pek-i-piauw-kiok ini merasa menyesal sekali mengapa sampai “kebobolan” dan tidak tahu bahwa ada perampok dari perkumpulan perampok yang paling ganas di See-cuan menyamar sebagai dua orang kuli angkut barang! Memang dua orang kuli angkut ini baru pertama kali dipekerjakan, namun dengan perantaraan dua orang kuli lain yang kini telah tewas itu, dibunuh oleh dua orang anggauta Eng-jiauw-pang. Dia segera mengenal dua orang anggauta Eng-jiauw-pang begitu melihat cakar garuda di kedua tangan itu, yang merupakan sarung tangan dan senjata andalan dari para anggauta Eng-jiauw-pang yang tidak banyak jumlahnya akan tetapi yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi itu. Selama ini dia tidak pernah mau berurusan dengan fihak Eng-jiauw-pang dan perampok-perampok ini pun bukan perampok biasa, tidak pernah merampok barang-barang yang tidak berharga.

“Ha-ha-ha, antara perampok dan piauwsu, mana ada kerja sama yang adil? Kalau kalian berani main sogok seribu tail, tentu karena kalian ada untung sepuluh ribu tail! Sudahlah, kami sudah bersusah payah memangguli barang-barang ini, dan peti ini adalah upah kami!”

“Tidak mungkin kalian dapat melarikannya tanpa melalui mayatku!” Lauw-piauwsu membentak dan dia sudah menerjang maju dengan sepasang goloknya, diikuti anak buahnya yang hanya tinggal sembilan orang saja karena yang dua orang sudah terluka parah.

Terjadilah perkelahian yang amat hebat di bawah sinar api unggun yang kadang-kadang membesar kadang-kadang mengecil itu. Bayangan-bayangan yang dibuat oleh sinar api ini sungguh menambah seramnya keadaan karena seolah-olah banyak iblis dan setan ikut pula berkelahi, atau menari-nari kegirangan di antara mereka yang bertempur mati-matian.

Dua orang En-jiauw-pang itu memang lihai bukan main. Sepasang senjata mereka yang merupakan sarung tangan berkuku baja itu amat berbahaya dan biarpun mereka berdua dikeroyok oleh sepuluh orang piauwsu yang bersenjata tajam, namun mereka berhasil melukai pula empat orang! Namun, Lauw-piauwsu memutar sepasang goloknya secara cepat dan dibantu oleh sisa teman-temannya, dia berhasil mendesak dan mengepung ketat sehingga dua orang Eng-jiauw-pang itu kewalahan juga. Tiba-tiba seorang di antara mereka membentak keras, terdengar ledakan dan nampak asap kehijauan mengepul tebal.

“Awas asap beracun!” Lauw-piauwsu berseru dan anak buahnya berlompatan mundur. Dengan sendirinya kepungan itu berantakan dan dua orang Eng-jiauw-pang itu menggunakan kesempatan ini untuk melompat jauh ke belakang. Akan tetapi, tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan mereka melihat seorang kakek tua sudah berdiri di depan mereka! Kakek ini bukan lain adalah Kakek Kun yang berdiri dengan wajah bengis.

“Tinggalkan peti itu!” bentaknya.

“Kun-locianpwe, harap jangan mencampuri urusan Eng-jiauw-pang dan Pek-i-piauw-kiok!” seorang di antara mereka berseru marah.

“Hemm, aku tidak peduli apa itu Eng-jiauw-pang dan apa itu Pek-i-piauw-kiok. Aku melihat kalian melakukan kejahatan, maka dari mana pun kalian datang pasti akan kutentang!”

Dua orang itu membentak keras dari mereka menubruk dari kanan kiri, Kakek Kun cepat menangkis dan balas menyerang dengan pukulan dan tamparan yang juga dapat dielakkan dan ditangkis oleh dua orang Eng-jiauw-pang itu. Terjadilah pertempuran amat serunya dan kini keadaan menjadi terbalik. Kalau tadi dua orang Eng-jiauw-pang yang dikeroyok banyak itu mampu mendesak para pengepungnya, sebaliknya kini mereka mengeroyok seorang kakek dan merekalah yang terdesak hebat. Setiap tamparan yang keluar dari tangan kakek itu demikian ampuhnya sehingga kalau mereka tidak mampu mengelak dan terpaksa menangkisnya, mereka tentu terdorong dan terhuyung-huyung! Betapapun juga, dua orang perampok itu menjadi nekat karena tempat itu sudah dikepung lagi oleh Lauw-piauwsu dan teman-temannya, siap untuk menerjang kalau mereka berdua hendak melarikan diri. Pertempuran dilanjutkan dengan mati-matlan, namun setelah lewat lima puluh jurus lebih, setelah berkali-kali mengadu tenaga mereka dengan sin-kang dari Kakek Kun, akhirnya dengan tamparan-tamparannya yang mengandung tenaga sin-kang amat kuat itu Kakek Kun berhasil membuat mereka terpelanting dan mengaduh-aduh, sukar untuk bangkit kembali!

Lauw-piauwsu merampas kembali peti hitam itu dan dia sudah mengangkat golok untuk membunuh. Akan tetapi Kakek Kun berseru, “Jangan bunuh mereka yang sudah kalah!”

Dua orang perampok itu merangkak dan bangkit berdiri, memandang kepada Kakek Kun, tidak tahu harus marah ataukah harus berterima kasih! Mereka merasa digagalkan oleh kakek ini, akan tetapi sebaliknya, nyawa mereka pun tertolong olehnya! Mereka tadinya jerih terhadap Si Sastrawan, maka mereka selalu mencari kesempatan. Kini, sastrawan itu pergi menyelidiki pembunuh orang-orang dalam hutan itu, dan mereka turun tangan. Tak mereka sangka bahwa kakek yang pendiam dan tak acuh itu turun tangan mencampuri dan menggagalkan usaha mereka!

Melihat sinar mata kedua orang itu, Kakek Kun menggerakkan tangan dan menarik napas panjang, suaranya terdengar lirih sekali, “Pergilah.... pergilah....!”

Dua orang itu lalu mengangguk dan berjalan pergi menghilang ke dalam gelap. Lauw-piauwsu yang dapat merampas kembali peti hitam itu, cepat menghampiri Kakek Kun dan memberi hormat, “Kun-locianpwe telah menolong kami, sungguh besar budi Locianpwe dan kami menghaturkan banyak terima kasih....”

“Kong-kong....!” Siauw Goat berseru dan Lauw-piauwsu bersama para piauwsu lain terkejut melihat kakek itu terhuyung-huyung, kemudian dari mulut kakek itu tersembur darah segar.

“Kun-locianpwe....!” Lauw-piauwsu mendekat hendak menolong, akan tetapi kakek itu menggerakkan tangan, lalu menuntun cucunya mendekati api unggun di mana dia duduk bersila sebentar. Wajahnya pucat sekali, napasnya terengah-engah, akan tetapi makin lama pernapasannya makin baik dan normal kembali, sungguhpun wajahnya masih amat pucat.

“Kong-kong, kenapa melayani segala macam maling dan rampok? Kong-kong telah terluka parah, masih melayani segala jembel dan perampok busuk!” terdengar Siauw Goat mengomel. “Kongkong....!” Gadis cilik itu memegangi lengan kakeknya. Dia lebih mengenal kakeknya dan tahu bahwa kakeknya amat menderita. Lauw-piauwsu kembali mendekat dan dia melihat kakek yang disangkanya sudah sembuh itu kini merebahkan diri telentang di atas tanah bertilam daun-daun bambu, dekat api unggun. Siauw Goat berlutut didekatnya, nampak berduka dan alisnya berkerut seperti menunjukkan ketidaksenangan hatinya.

“Kun-Locianpwe, dapatkah saya membantu Locianpwe?” Lauw-piauwsu mendekati dan bertanya, sedangkan anak buahnya sibuk mengurus mereka yang terluka dalam pertandingan melawan dua orang perampok Eng-jiauw-pang tadi, sedangkan dua orang kuli angkut itu telah tewas.

Kakek itu tidak mehjawab dan Siauw Goat menunduk, memegangi tangan kakeknya dengan sikap amat berduka. Lauw-piauwsu makin mendekat, memperhatikan dan akhirnya dia memegang pergelangan tangan kakek itu. Denyut nadinya lemah sekali dan tahulah dia bahwa kakek ini telah pingsan! Maka dia lalu mengeluarkan obat gosok, membuka kancing baju kakek itu dan perlahan-lahan menggosok dadanya dengan obat gosok panas itu.

Menjelang pagi Kakek Kun siuman dari pingsannya, menggerakkan pelupuk mata, lalu membuka, menatap sejenak kepada Siauw Goat yang masih duduk di dekatnya, kemudian menoleh dan memandang kepada Lauw-piauwsu yang juga tidak pernah meninggalkannya.

“Lauw-piauwsu....” katanya lemah.

“Bagaimana, Locianpwe? Apakah Locianpwe membutuhkan sesuatu?”

“Dekatkan telingamu....“ katanya semakin lemah. Ketika Lauw-piauwsu mendekatkan telinganya pada mulut tua itu, Kakek Kun berbisik-bisik menceritakan riwayatnya secara singkat. Bisikan-bisikan itu makan waktu lama juga, dan Lauw-piauwsu mendengarkan sambil mengangguk-angguk tanda mengerti, kadang-kadang matanya terbelalak seperti orang heran dan terkejut.

Setelah menceritakan semua riwayatnya kepada piauwsu itu, tiba-tiba tangan kanan kakek itu bergerak dan tahu-tahu tengkuk piauwsu itu telah dicengkeramnya. Lauw-piauwsu terkejut bukan main. Jari-jari tangan kakek yang sudah terluka parah dan amat berat dan gawat keadaannya itu ternyata amat kuat dan dia tahu bahwa kakek itu masih dapat membunuhnya dengan sekali terkam!

“Lauw-piauwsu, bersumpahlah bahwa semua itu tidak akan kauberitahukan orang lain, bahwa engkau akan merahasiakan keadaan kami. Bersumpahlah, kalau tidak terpaksa aku akan membawamu bersama untuk mengubur rahasia itu!”

Lauw Sek terkejut bukan main. Kakek ini sungguh orang luar biasa sekali, bukan hanya berilmu tinggi, memiliki riwayat yang aneh akan tetapi wataknya juga aneh, keras dan dapat bersikap ganas sekali. Cepat dia lalu membisikkan sumpahnya. “Saya, Lauw Sek, bersumpah untuk merahasiakan segala yang saya dengar dari Kun-locianpwe saat ini.”

Jari-jari tangan itu mengendur dan melepaskan tengkuk Lauw Sek yang dapat menarik napas lega kembali.

“Dan benarkah engkau bersedia menolong cucuku ini seperti yang kaujanjikan tadi?”

“Tentu saja, Locianpwe. Locianpwe telah menyelamatkan nyawa saya, maka sudah tentu saya akan suka membalas budi kebaikan Locianpwe dengan melakukan perintah apapun juga.” ,

“Hemm.... aku.... aku tidak pernah minta tolong orang.... hanya engkau yang kupercaya. Maka, kuserahkan Siauw Goat kepadamu, biarlah kau menyebut Siauw Goat saja karena namanya termasuk rahasia itu.... dan kau harus membantunya sampai dia bertemu dengan orang tuanya....“

“Baik, Locianpwe, akan saya kerjakan hal itu, betapa pun akan sukarnya.”

“Aku tidak minta tolong cuma-cuma.... ini.... coba tolong keluarkan henda dari saku bajuku, Goat-ji (Anak Goat)....”

Siauw Goat sejak tadi tidak bicara, hanya memandang saja ketika kakeknya berbisik-bisik dekat telinga Lauw Sek tanpa dia dapat mendengarkan jelas. Kini, dia lalu memenuhi permintaan kakeknya merogoh saku dan mengeluarkan sebuah kantong kain hitam.

“Lauw-piauwsu.... inilah biayanya engkau mengantar cucuku.... kukira lebih dari cukup....“ Dia menyerahkan kantung kain hitam itu.

“Kun-locianpwe! Saya sama sekali tidak mengharapkan upah!”

“Terimalah.... bukalah....” Suara kakek itu semakin melemah dan pandang matanya membuat Lauw Sek tidak berani membantah lagi. Dibukanya kantung kain hitam itu dan ternyata isinya hanya sebutir benda sebesar telur burung merpati. Akan tetapi ketika Lauw Sek memandang benda yang kini berada di atas telapak tangannya itu, dia terbelalak.

“Ini.... ini.... mutiara berharga sekali.... saya.... mana berani menerimanya....?” katanya gagap, terpesona oleh benda yang berkilauan biru itu.

“Kau.... mengenalnya....?”

Lauw Sek mengangguk. “Bukankah ini mutiara biru India yang hanya....”

“Sudahlah.... laksanakan permintaanku....” Kakek itu lalu dengan susah payah bangkit duduk bersila. Tangannya masih mampu menangkis ketika Lauw-piauwsu mencoba untuk membantunya. Akhirnya dia dapat duduk bersila, duduk dengan bentuk Bunga Teratai, yaitu duduk bersila dengan kedua kaki bersilang, kaki kiri telentang di atas paha kanan dan kaki kanan telentang di atas paha kiri. Ini adalah cara duduk terbaik untuk orang yang suka melakukan meditasi menghimpun kekuatan dan kini kakek itu duduk seperti ini sambil memejamkan kedua mata atau lebih tepat menundukkan pandang mata dengan pelupuk atas menutup, kedua tangannya terletak di atas kedua lutut, telentang.

Melihat ini, Lauw-piauwsu lalu mengundurkan diri untuk membantu teman-temannya yang masih sibuk mengurus kawan-kawan yang terluka. Akan tetapi, ketika matahari mulai mengirim sinarnya yang merah keemasan, membuat benang-benang sutera menerobos celah antara daun-daun bambu, dia mendengar teriakan Siauw Goat, “Kong-kong....!”

Dia cepat menghampiri dan melihat anak itu berlutut dan mendekap kedua tangan kakek itu yang masih duduk bersila seperti tadi akan tetapi kedua tangannya dirangkap di atas pergelangan kaki. Anak perempuan itu tidak menangis, hanya berlutut dan membenamkan mukanya di atas kaki kakeknya. Lauw Sek memandang wajah kakek itu, dia mengerutkan alisnya dan meraba pergelangan tangan kanan kakek itu untuk merasakan denyut nadinya.

Anak perempuan itu tidak menangis, hanya berlutut dan membenamkan mukanya di atas kaki kakeknya.

“Dia sudah meninggal dunia!”

Lauw Sek terkejut dan menoleh. Kiranya yang bicara itu adalah Si Sastrawan muda yang entah dari mana baru saja muncul dan begitu melihat wajah kakek itu telah berhenti bernapas. Dan memang sesungguhnyalah, Lauw Sek tidak dapat merasakan ada denyut nadi, maka dia lalu mengelus kepala Siauw Goat.

“Siauw Goat, kakekmu telah meninggal dunia dalam keadaan tenang, jangan kau berduka lagi, Nak.” Suara piauwsu ini agak gemetar karena dia merasa terharu sekali. Dia tahu bahwa kakek ini agaknya mengidap penyakit berat, dan ketika malam tadi menolongnya merobohkan dua orang perampok, agaknya kakek ini terlalu banyak mengerahkan tenaga sehingga luka di dalam tubuhnya makin parah dan mengakibatkan tewasnya.

Anak perempuan itu mengangkat mukanya. Mukanya pucat, sepasang matanya bersinar-sinar, akan tetapi tidak nampak dia menangis sungguhpun ada bekas air mata membasahi kedua mata dan pipinya. Dia sama sekali tidak terisak, bahkan kini dia mengepal tinju kanannya yang kecil sambil berkata, “Aku bersumpah untuk membalas kematian kakekku kepada Si Jembel tua bangka Koai-tung Sin-kai dan perkumpulan penjahat Eng-jiauw-pang!”

“Hemm, gadis cilik engkau lancang sekali! Koai-tung Sin-kai bukan....“

“Kau peduli apa?” Siauw Goat meloncat berdiri, bertolak pinggang menghadapi sastrawan yang tadi mencelanya. “Semalam Kong-kong yang sedang menderita luka parah telah terpaksa membantu para piauwsu menghadapi penjahat-penjahat perampok Eng-jiauw-pang dan engkau bersembunyi di mana? Sekarang setelah kakekku meninggal, engkau muncul dan pura-pura hendak menasehatiku. Bagus, ya?”

Sastrawan itu terbelalak, tersenyum urung dan mukanya berobah merah. Wah, anak ini luar biasa, pikirnya. Ketika dia mengangkat muka, dia melihat pandang mata semua orang ditujukan kepadanya, seolah-olah mereka itu mendukung teguran anak perempuan itu. “Aku menemukan jejak manusia salju dan mengikutinya semalam suntuk, akan tetapi tak berhasil menemukannya.” dia menggumam.

“Yeti....?” Lauw Sek berteriak dengan muka pucat dan semua piauwsu juga menjadi pucat mukanya, bahkan ada yang menggigil ketakutan dan memandang ke kanan kiri. “Di.... di mana.... dia....?” Lauw-piauwsu bukanlah seorang yang lemah, akan tetapi sebagai seorang piauwsu yang sering kali melalui daerah ini, tentu saja dia sudah mendengar banyak tentang manusia salju atau Yeti, betapa mahluk itu kalau sudah mengamuk amat berbahaya, tidak ada manusia di dunia ini yang mampu menandinginya. Maka tidak mengherankan kalau dia menjadi pucat ketakutan.

Sastrawan itu menggerakkan pundaknya. “Aku hanya menemukan jejak kakinya saja, dan jelas bahwa orang-orang yang terbunuh itu adalah korban-korbannya.”

“Tapi.... biasanya Yeti tidak pernah mengganggu manusia. Kecuali.... kalau dia lebih dulu diganggu. Tentu ada hal hebat dan aneh terjadi maka Yeti dapat mengamuk seperti itu, membunuh banyak orang dan melihat betapa para korban itu dikoyak-koyak jelaslah bahwa Yeti itu benar-benar sedang marah. Kita harus cepat melanjutkan perjalanan. Mari kita cepat mengubur jenazah Kakek Kun, lalu segera melanjutkan perjalanan ke dusun Lhagat!”

Semua orang lalu sibuk bekerja menggali sebuah lubang kuburan. Akan tetapi ketika mereka hendak mengubur kakek itu, ternyata tubuh kakek itu yang masih duduk bersila telah kaku dan tidak dapat ditekuk kaki tangannya agar dapat rebah telentang.

“Biarkan saja!” tiba-tiba Siauw Goat berkata lantang. “Kong-kong lebih suka tidur bersila, jangan ganggu jenazahnya!” Anak itu tidak tega melihat betapa para piauwsu berusaha untuk menarik-narik kaki tangan kong-kongnya.

Sastrawan muda itu hanya tersenyum saja dan mengangguk-angguk. Maka beramai-ramai para piauwsu lalu menggotong tubuh yang masih bersila itu, meletakkannya ke dalam lubang yang cukup dalam. Setelah Siauw Goat memberi hormat untuk yang terakhir kalinya dengan hio yang menjadi bekal para piauwsu, kemudian semua piauwsu juga memberi hormat, bahkan juga tiga orang saudagar gendut, kecuali Si Sastrawan, maka jenazah dalam lubang itu lalu ditimbuni tanah. Tidak terdengar tangis, akan tetapi sastrawan itu melihat betapa air matanya bercucuran dari kedua mata Siauw Goat yang berdiri tegak. Anak ini menangis, namun kekerasan hatinya membuat tidak ada isak keluar dari mulutnya.

“Luar biasa.... anak luar biasa....” Sastrawan muda itu menggumam kepada diri sendiri.

Setelah selesai penguburan itu, Siauw Goat lalu minta kepada Lauw Sek agar makam itu diberi tanda. Piauwsu itu kelihatan bingung. “Ah, tanda apa yang dapat dipakai di tempat ini? Kecuali batu-batu kecil ditumpuk.” Dia lalu memerintahkan orang-orangnya untuk mengumpulkan batu-batu. Akan tetapi tiba-tiba tampak sastrawan muda itu datang dan kedua tangannya yang diangkat ke atas kepala itu membawa sebongkah batu sebesar kerbau bunting! Semua orang memandang dengan kagum dan terkejut, akan tetapi dengan seenaknya sastrawan itu menurunkan batu perlahan-lahan ke depan makam baru. Tanpa berkata sesuatu dia lalu mundur lagi. Gadis cilik itu pun hanya memandang sejenak kepada Si Sastrawan, tanpa mengucapkan terima kasihnya karena dia masih mendongkol kepada sastrawan itu. Kalau semalam sastrawan itu berada di situ dan kakeknya tidak perlu harus menandingi para perampok, kakeknya belum tentu akan mati!

Rombongan itu lalu melanjutkan perjalanan, menuruni lembah, dari hutan bambu itu terus menurun, menuju ke dusun Lhagat. Rombongan melakukan perjalanan dengan agak tergesa-gesa dan pada wajah para piauwsu itu terbayang ketakutan setelah mereka mendengar cerita Si Sastrawan bahwa Yeti berkeliaran di daerah itu dan membunuh orang secara amat mengerikan. Mereka tidak banyak bicara selama dalam perjalanan ini, bukan hanya karena takut dan ngeri kepada Yeti, akan tetapi juga karena mereka masih menghormati kematian Kakek Kun dan berada dalam keadaan berkabung. Juga Siauw Goat yang biasanya lincah itu kini nampak pendiam, akan tetapi sepasang matanya kadang-kadang mengeluarkan sinar penuh api kemarahan.

Siauw Goat, Kong-kongmu meninggalkan pesan agar mulai saat ini aku menjadi walimu, mengamatimu, mengurusmu dan mengantarkan engkau untuk mencari orang tuamu.” di dalam perjalanan itu Lauw Sek mendekatinya dan berkata lirih. Gadis cilik itu mengangguk tanpa menjawab.

“Oleh karena itu, mulai sekarang, kuharap engkau suka menuruti segala petunjukku, karena aku merasa bertanggung jawab atas dirimu. Engkau tentu mengerti bahwa aku harus memenuhi segala janjiku kepada Kong-kong, Siauw Goat.” Gadis cilik itu mengangkat kepala dan memandang kepada wajah piauwsu itu dengan sinar mata penuh selidik, sinar mata yang amat tajam. Agaknya dia merasa puas dengan hasil penyelidikan sinar matanya, karena dia kembali mengangguk dan bibirnya bergerak perlahan, terdengar dia menjawab lirih. “Baiklah, Lauw-pek.”

Biarpun dia berjalan agak menyendiri dan agak jauh dari Siauw Goat, namun pendengaran yang tajam dari Si Sastrawan dapat menangkap percakapan lirih itu dari dia hanya tersenyum sendiri. Perjalanan dilanjutkan dengan secepat mungkin dan kini para piauwsu terpaksa membagi-bagi barang-barang bawaan yang dikawal karena sudah tidak ada lagi kuli-kuli angkut yang membantu mereka.

Lhagat adalah sebuah dusun yang besar, mirip sebuah kota yang dikitari gunung-gunung besar. Lhagat merupakan sebuah tempat di perbatasan yang selalu ramai karena tempat ini merupakan tempat pemberhentian dari mereka yang melakukan perjalanan dari Tibet ke Nepal atau India, atau sebaliknya. Juga merupakan tempat di mana orang-orang memperdagangkan barang-barang dagangan mereka dari negara masing-masing, pendeknya merupakan pasar bagi para pedagang dari berbagai negeri yang bertetangga.

Tempat perbatasan Lhagat ini dikepalai oleh seorang Kepala Daerah. Menurut pengakuannya, secara resmi. Lhagat termasuk wilayah atau daerah dari Negara Tibet. Akan tetapi, karena tempat ini amat jauh dari kota-kota lain, juga amat terpencil dan berada di antara gunung-gunung yang amat luas dan liar, sedangkan tetangganya hanya dusun-dusun kecil terpencil di sana-sini, maka Kepala Daerah itu memerintah tempat ini seperti seorang raja kecil saja! Semua hal termasuk keamanan, pajak, dan peraturan-peratuan menjadi wewenangnya, bahkan Kepala Daerah ini mempunyai pasukan sendiri. Akan tetapi dia terkenal sebagai seorang pembesar atau kepala daerah yang bijaksana, karena Kepala Daerah ini maklum bahwa tempatnya merupakan sumber penghasilan yang besar dengan adanya pusat perdagangan jual beli antara pedagang-pedagang berbagai negeri itu. Dari mereka ini dia memperoleh bantuan berupa pungutan derma semacam pajak yang diberikan secara suka rela oleh para pedagang yang tentu saja mendapatkan banyak keuntungan dari perdagangan mereka.

Pada hari-hari biasa yang lalu, Lhagat merupakan tempat yang tenang dan tenteram, keramaian yang ada hanya keramaian dagang yang tidak segan-segan membuang sebagian dari pada keuntungan mereka untuk bersenang-senang. Akan tetapi pada waktu itu, ada semacam ketegangan yang hebat mencekam hati penduduk Lhagat, membuat semua wajah nampak muram dan ketakutan. Ada dua peristiwa terjadi dan inilah yang membuat para penghuni kehilangan kegembiraannya. Yang pertama adalah orangorang asing yang membanjiri Lhagat. Orang-orang asing dengan pakaian dan sikap aneh-aneh dan biarpun sebagian besar mereka itu mengaku pelancong dan pedagang, namun sikap mereka amat mencurigakan karena yang mengaku pelancong lebih mirip jago-jago silat sedangkan yang mengaku pedagang tidak membawa barang dagangan melainkan membawa-bawa segala macam senjata tajam dan aneh-aneh! Jelaslah bahwa mereka itu adalah petualang-petualang, orang-orang kang-ouw dan berkumpulnya mereka pada suatu saat di tempat itu tentu telah terjadi hal-hal yang amat hebat. Hal ini saja belum meninggalkan kecemasan bagi para penduduk Lhagat. Yang membuat mereka ketakutan adalah peristiwa ke dua, yaitu banyaknya mayat-mayat ditemukan di sekitar Lhagat, di lembah-lembah, di gunung-gunung, di rawa-rawa dan di hutan-hutan. Hampir setiap hari datang laporan kepada Kepala Daerah tentang adanya mayat-mayat yang ditemukan oleh para pelancong itu atau oleh para pemburu, pedagang dan juga para penggembala setempat. Dan selalu mayat-mayat itu ditemukan dalam keadaan mengerikan, tubuh mereka koyak-koyak. Biarpun peristiwa ini dihubungkan dengan dongeng tentang manusia salju yang mengamuk, namun para penghuni Lhagat tetap saja menyalahkan para pendatang asing itu, dan memandang mereka dengan sinar mata tidak senang.

“Yeti tidak pernah mengamuk dan membunuhi manusia.” kata seorang kakek penghuni aseli Lhagat. “Selama hidupku belum pernah mendengar ada Yeti mengamuk karena mahluk itu bukan sebangsa binatang buas pemakan bangkai. Kalau ada Yeti mengamuk, kalau memang benar Yeti yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu, maka tentu ada sebabnya, tentu dia dibikin marah dan siapa lagi yang berani membikin marah Yeti kecuali orang-orang asing itu?”

Inilah sebabnya mengapa kota atau dusun yang biasanya ramai meriah itu kini nampak muram dan sunyi, wajah para penghuni membayangkan kegelisahan. Dalam suasana seperti itulah rombongan Lauw-piauwsu memasuki Lhagat. Rombongan Pek-i-piauw-kiok tentu saja sudah dikenal oleh penghuni Lhagat, bahkan Kepala Daerah sendiri memiliki hubungan baik dengan Lauw-piauwsu, maka kedatangan rombongan ini tentu saja disambut dengan gembira karena biasanya rombongan ini membawa saudagar-saudagar dan siapa pun yang datang bersama rombongan ini tentu saja tidak dicurigai. Maka, biarpun hotel-hotel sudah penuh, tempat yang disebut dusun itu banyak mempunyai hotel karena banyaknya pedagang dari luar daerah yang berdatangan, tidaklah sukar bagi rombongan Lauw-piauwsu untuk memperoleh tempat penginapan. Banyak penghuni yang menawarkan tempatnya untuk Lauw-piauwsu, akan tetapi Lauw-piauwsu yang membawa dua orang teman yang terluka itu lebih suka tinggal menumpang di rumah samping milik Kepala Daerah yang dengan senang hati menerima kedatangan Lauw-piauwsu dan rombongannya.

Lauw-piauwsu menyuruh anak buahnya yang tinggal sembilan orang itu untuk melanjutkan perjalanan ke perbatasan Nepal yang tidak berapa jauh lagi dari Lhagat dan melalui jalan yang sudah aman dan baik, dan dari perbatasan ini nanti barang-barang kawalan milik pedagang Katmandu itu akan dioper oleh kafilah atau rombongan penyambut dari pedagang itu sendiri, Lauw-piauwsu sendiri bersama Siauw Goat dan dua orang anak buahnya yang terluka tinggal di rumah samping gedung kepala daerah sambil merawat dan mengobatkan dua orang yang terluka itu.

Tiga orang saudagar gendut yang ikut dalam rombongan, sudah memisahkan diri setelah membayar biaya pengawalan kepada Lauw-piauwsu dan mereka sudah melupakan kesengsaraan dan ketakutan yang mereka derita dalam perjalanan itu. Kini dengan muka penuh senyum mereka mulai memperdagangkan barang-barang berharga mereka di pasar dengan keuntungan yang berlipat ganda. Juga sastrawan muda itu sudah tidak nampak lagi, tanpa mengucapkan terima kasih kepada Lauw-piauwsu, karena memang dia tidak merasa menumpang, hanya “kebetulan” saja melakukan perjalanan bersama rombongan itu.

Lauw-piauwsu mendengar dari para perajurit penjaga gedung kepala daerah bahwa para pelancong asing itu tertunda keberangkatan mereka di Lhagat. Semua orang tidak dapat melanjutkan perjalanan karena pada waktu itu terdapat badai salju mengamuk, dan biasanya badai seperti ini makan waktu dua tiga pekan. Siapa yang berani melanjutkan perjalanan ke daerah Himalaya pada waktu badai mengamuk berarti ingin mati konyol. Karena hambatan inilah maka Lhagat menjadi semakin penuh saja, karena orang-orang kang-ouw makin banyak membanjir datang, sedangkan yang sudah berada di situ tidak dapat pergi karena adanya badai salju itu. Maka kini hampir semua rumah menerima tamu! Keadaan ini ditambah dengan laporan-laporan tentang ditemukannya mayat-mayat disekitar daerah Lhagat, cukup membuat penghuni dusun atau kota itu menjadi panik.

Apalagi ketika mereka mendengar kabar bahwa Kepala Daerah yang tentu saja amat mengkhawatirkan adanya kematian-kematian aneh itu, sudah mengutus sepasukan perajurit untuk melakukan penyelidikan dan telah tiga hari lamanya pasukan itu berangkat, sampai kini belum ada kabar beritianya! Mereka semua kini menanti-nanti dengan gelisah.

Karena Lauw-piauwsu sibuk merawat dua orang anak buahnya, maka Siauw Goat memperoleh banyak kesempatan untuk menyendiri. Akan tetapi dara cilik ini agaknya telah reda kedukaannya karena kematian kakeknya dan dia bahkan mendapatkan kembali kelincahan dan kegembiraannya.

“Lauw-pek, kapan kita melanjutkan perjalanan?” berkali-kali dia bertanya.

“Sabarlah, Siauw Goat. Dua orang paman yang luka itu sudah hampir sembuh dan nanti kalau para pamanmu piauwsu itu sudah kembali, kita akan melanjutkan perjalanan memenuhi pesan kakekmu. Pula, sekarang terdapat badai salju, tak seorang pun yang akan mampu melakukan perjalanan karena badai itu berbahaya sekali.”

Siauw Goat tidak banyak membantah karena dia yang banyak berkeliaran keluar sudah mendengar jelas tentang hal itu, bahkan dia sudah mempunyai banyak sekali kenalan dan sudah banyak mengobrol dengan para penghuni dusun Lhagat. Dia dikenal sebagai Goat-siocia (Nona Goat) dan sebagai puteri angkat Lauw-piauwsu!

“Lauw-pek, aku ingin mempunyai busur dan anak panah, ada kulihat dijual orang busur dan anak panahnya yang baik di ujung dusun.”

Lauw Sek memandang dengan alis berkerut dan penuh keheranan. “Busur dan anak panah? Untuk apa?”

“Untuk mempersenjatai diri! Bukankah perjalanan yang akan kita tempuh penuh bahaya? Aku dapat melindungi diri sendiri dengan senjata itu.”

“Ah, apakah engkau bisa mempergunakan busur dan anak panah, Siauw Goat?”

“Engkau lihat saja nanti, Lauw-pek. Mari kita membeli sebuah busur dan beberapa batang anak panah untukku!”

Lauw Sek tersenyum mengangguk dan mereka lalu pergi ke tempat orang menjual senjata yang banyak diperjual-belikan di situ karena para pemburu sering kehilangan anak panah dan selalu membutuhkan cadangan baru. Lauw Sek lalu memilihkan sebatang busur yang tidak terlalu besar dan berat, dan segebung anak panah yang belasan batang jumlahnya. Giranglah hati Siauw Goat. Dia segera mengalungkan tempat anak panah itu di pundaknya.

“Mari kita coba anak panahku, Lauw-pek.” katanya gembira dan mereka lalu pergi ke tempat sunyi. “Lihat, aku akan memanah batang pohon itu!” $iauw Goat berkata lagi sambil menuding ke arah sebatang pohon yang tidak lebih besar dari tubuhnya sendiri. Cepat sekali dia sudah mengambil dua batang anak panah, tahu-tahu sudah dipasang di busurnya dan terdengar tali gendewa menjepret dan dua batang anak panah itu meluncur cepat dan menancap tepat di tengah-tengah batang pohon, berjajar dengan rapinya! Diam-diam Lauw Sek kagum juga. Memang anak ini bukan pembual, pikirnya. Ilmunya memanah memang boleh juga dan dapat diandalkan sebagai pelindung dirinya kalau bertemu dengan orang jahat. Pantaslah kalau diingat bahwa anak ini adalah cucu dari seorang kakek lihai seperti mendiang Kakek Kun.

“Bagus!” Lauw Sek memuji sambil tertawa. “Kiranya engkau ahli memanah, Siauw Goat. Aku girang melihat ini, dan hatiku merasa lebih aman karena engkau pandai menjaga diri. Akan tetapi jangan engkau sembarangan mempergunakan anak panah untuk melukai orang.”

Siauw Goat menghampiri pohon itu dan mencabut dua batang anak panahnya lalu disimpannya kembali ke tempat anak panah yang tergantung di punggungnya. “Aku tahu, Lauw-pek. Dan pula, anak panah ini pun hanya kupergunakan apabila perlu dan terdesak saja. Sebelum mempergunakan itu busur ini pun sudah cukup baik untuk kupakai menjaga diri.”

Ucapan ini makin menggirangkan hati Lauw Sek karena dia tahu bahwa selain pandai memanah, gadis cilik ini tentu pandai bermain silat menggunakan busur itu sebagai senjata, dan hal ini pun tidak mengherankan mengingat akan kepandaian kakeknya. Dia kagum karena menggunakan busur sebagai senjata bukankah hal yang mudah dan harus dipelajari secara khusus, berbeda dengan senjata-senjata lain seperti pedang, golok, tombak atau toya misalnya.

Akan tetapi pada keesokan harinya Lauw-piauwsu menjadi bingung sekali ketika dia tidak melihat anak perempuan itu di kamarnya. Bahkan para pelayan mengatakan bahwa pagi-pagi sekali anak perempuan itu telah pergi meninggalkan tempat itu membawa busur dan anak panah. Lauw-piauwsu segera mencarinya, akan tetapi biarpun dia bertanya-tanya dan berputar-putar di daerah dusun, tetap saja dia tidak dapat menemukan Siauw Goat. Tentu saja hatinya merasa khawatir sekali. Apalagi keadaan makin gawat saja dengan berita-berita tentang adanya banyak orang yang kedapatan mati dalam keadaan mengerikan.

Akhirnya Lauw-piauwsu bertemu dengan seorang penduduk yang melihat Siauw Goat. “Dia pagi tadi ikut bersama pasukan keluar dari pintu gerbang!”

Mendengar ini Lauw-piauwsu mengerutkan alisnya. Pasukan itu adalah pasukan yang diutus oleh Kepala Daerah untuk menyusul pasukan pertama yang sudah tiga hari tidak ada kabar beritanya! Mau apa anak itu ikut dengan rombongan pasukan,yang bertugas menyusul pasukan pertama itu? Teringat akan janjinya kepada Kakek Kun, Lauw Sek merasa tidak enak sekali dan karena keadaan kedua orang temannya yang terluka kini sudah mendingan, dia lalu pergi pula untuk menyusul dan mencari Siauw Goat.

Ke mana perginya anak perempuan itu? Memang benar seperti apa yang didengar oleh Lauw Sek dari penghuni Lhagat itu. Siauw Goat yang banyak kenalan itu. mendengar bahwa Kepala Daerah mengirim pasukan untuk mencari pasukan pertama yang sudah tiga hari pergi untuk menyelidiki tentang kematian-kematian aneh yang terjadi di sekitar Lhagat. Mendengar ini, hati Siauw Goat tertarik sekali dan diam-diam dia lalu membujuk komandan pasukan itu untuk diperkenankan ikut! Sang Komandan, seperti juga orang-orang lain, suka kepada gadis cilik yang lincah ini, apalagi dia tahu bahwa gadis cilik ini adalah “puteri angkat” dari Lauw-piauwsu yang telah dikenalnya, bahkan yang kini tinggal di rumah samping dari gedung Kepala Daerah. Oleh karena itu dengan senang hati komandan itu menerima permintaan Siauw Goat dan demikianlah, pagi-pagi benar Siauw Goat sudah bangun, membawa gendewa dan anak panahnya lalu ikut dengan rombongan pasukan itu keluar dari Lhagat untuk menyusul dan mencari pasukan pertama.

Biarpun hati Lauw Sek sudah tidak begitu khawatir lagi setelah mendengar bahwa Siauw Goat ikut bersama pasukan, namun dia tetap keluar dari dusun itu untuk mencarinya. Adalah menjadi kewajibannya seperti dijanjikan kepada mendiang Kakek Kun untuk menjaga Siauw Goat. Kalau sampai terjadi sesuatu dengan anak itu, dia akan merasa menyesal selama hidupnya! Lauw Sek berlari cepat mengejar rombongan pasukan yang menuju ke barat. Dia telah ketinggalan beberapa jam lamanya. Menjelang tengah hari, ketika dia tiba di puncak sebuah bukit, dan memandang ke bawah ke arah barat, nampaklah olehnya serombongan orang. Hatinya berdebar tegang karena dia mengenal orang yang berpakaian seragam. Yang membuatnya tegang dan khawatir adalah ketika dia melihat mereka itu menggotong mayat beberapa orang! Larilah Lauw Sek dan baru hatinya merasa lapang ketika dia mengenal Siauw Goat berada di antara mereka. Dara cilik ini masih memegang busur dan dia berjalan dengan langkah tegap di samping komandan pasukan, sedangkan anak buah pasukan itu ternyata menggotong mayat-mayat sebanyak tujuh orang!

“Siauw Goat....!” Lauw Sek memanggil girang sambil berlari menghampiri.

“Lauw-pek, engkau mau ke mana?” tanya gadis cilik itu.

Lauw Sek memandang dengan mata terbelalak, menahan kemarahannya. “Ke mana lagi kalau tidak mencarimu, anak nakal? Kenapa engkau pergi tanpa pamit?”

Siauw Goat tersenyum. “Habis, kalau pamit tentu Lauw-pek tidak akan menyetujui.”

Komandan itu cepat menghampiri Lauw Sek. “Ah, Lauw-piauwsu, jadi puterimu ini tidak memberitahu bahwa dia ikut bersama kami? Ah, maafkan kami, kami kira dia sudah memberl tahu dan....”

“Sudahlah, syukur tidak terjadi sesuatu dengan dia. Dan mayat-mayat ini....“ dia tidak melanjutkan karena pandang matanya mengenal sepatu dan pakaian seragam pada mayat-mayat itu maka mengertilah dia bahwa mayat-mayat itu adalah mayat-mayat para perajurit pasukan pertama yang tiada kabar beritanya itu! Ternyata mereka juga telah menjadi korban, entah korban Yeti seperti yang dikabarkan orang, entah korban apa.

“Kami menemukan mereka di lereng bukit di sana, hanya ada tujuh orang yang telah tewas, sedangkan sisanya semua berada di dalam jurang yang amat curam, tak mungkin diambil lagi mayat-mayat mereka yang berada di dasar jurang itu.” kata komandan pasukan sambil menarik napas panjang.

“Siapa.... yang melakukan itu!” tanya Lauw Sek, pertanyaannya yang sia-sia karena sebetulnya semua orang, juga dia, menduga keras bahwa tentulah semua pembunuhan itu dilakukan oleh Yeti!

Komandan itu mengangkat pundak, lalu berkata lirih. “Kami tidak menemukan siapa-siapa di sana, hanya melihat jejak kaki yang besar dan dalam....“

“Jejak....”

“Yeti, Pek-pek! Sudah pasti jejak mahluk kejam itu! Aku sudah minta kepada paman-paman ini untuk melanjutkan perjalanan mencari mahluk itu, akan tetapi mereka tidak mau dan lebih dulu hendak membawa pulang mayat-mayat itu. Aku ingin bertemu dengan dia, dan akan kuhabiskan panahku untuk membunuhnya!”

“Hushh, Siauw Goat, jangan lancang bicara kau!” Lauw-piauwsu berkata dan dia merasa serem, memandang ke kanan kiri.

“Apakah Pek-pek juga takut terhadap Yeti yang jahat itu?” Hemm, kalau Kong-kong masih hidup, tentu kong-kong akan mencarinya dan membunuhnya agar dia tidak lagi membunuhi banyak orang.”

Diam-diam Lauw Sek kagum sekali kepada anak perempuan ini dan mengertilah dia mengapa anak ini minta dibelikan busur dan anak panah. Kiranya diam-diam anak itu marah kepada Yeti yang membunuh banyak orang dan ketika terbuka kesempatan, dia ikut bersama pasukan itu dengan harapan untuk dapat membunuh Yeti! Akan tetapi, keberanian yang nekat dari anak ini kelak dapat membuat repot kalau dia mengantar anak ini mencari orang tuanya, pikirnya. Maka di sepanjang perjalanan kembali ke Lhagat, Lauw Sek mengomeli Siauw Goat dan memesan dengan keras bahwa anak itu selanjutnya tidak boleh pergi tanpa pamit.

“Siauw Goat, engkau tahu bahwa akulah yang bertanggung jawab atas keselamatanmu, maka engkau tidak boleh pergi begitu saja tanpa sepengetahuanku. Mengerti?”

Melihat wajah yang marah dan suara yang kaku itu, mulut kecil mungil itu merengut dan dia tidak menjawab, hanya mengangguk kaku. Selanjutnya, Siauw Goat tak pernah mau bicara lagi dalam perjalanan itu sampai mereka memasuki dusun Lhagat, disambut dengan wajah pucat oleh semua orang yang melihat mayat-mayat para perajurit keamanan itu dan mendengar tentang kematian seluruh pasukan pertama secara mengerikan dan juga aneh. Makin paniklah orang-orang di situ, dan kini mereka membicarakan Yeti dengan suara berbisik-bisik, seolah-olah takut kalau-kalau mahluk iblis itu akan muncul kalau namanya disebut-sebut dengan keras.

Ratap tangis terdengar di Lhagat hari itu ketika keluarga para perajurit yang tewas itu menangisi kematian mereka. Penduduk merasa prihatin dan juga diam-diam marah sekali. Kaum tua di Lhagat masih tetap berpendapat bahwa semua ini adalah gara-gara para orang kang-ouw yang berdatangan di Lhagat. Tentu di antara mereka itu ada yang mengusik Yeti sehingga mahluk yang oleh para penghuni Lhagat dianggap dewa penjaga gunung salju itu kini mengamuk dan membunuh orang tanpa pilih bulu lagi. Maka kaum tua ini lalu mendesak kepala daerah untuk melakukan upacara sembahyang agar dewa itu berhenti mengamuk.

Akan tetapi di kalangan orang kang-ouw yang berada di Lhagat, diam-diam merasa curiga. Mungkinkah Yeti yang mengamuk? Seorang atau seekor Yeti saja? Ataukah ada rahasia tersembunyi di balik pembunuhan-pembunuhan itu? Mereka semua tahu bahwa kini banyak tokoh-tokoh besar kaum sesat juga berada di daerah itu untuk mencari dan memperebutkan pedang pusaka yang dicuri orang dari dalam istana. Dan pembunuh-pembunuhan seperti itu hanya dapat dilakukan oleh golongan sesat, tentu saja kalau bukan Yeti pelakunya.

Siauw Goat yang agak marah karena terus diomeli oleh Lauw-piauwsu, tidak mau ikut pulang melainkan memasuki sebuah warung yang pemiliknya telah menjadi kenalan baiknya. Melihat gadis cilik itu kelihatan marah, Lauw-piauwsu hanya menarik napas panjang saja dan maklum bahwa dia sungguh memperoleh tugas yang amat berat dari mendiang Kakek Kun. Gadis cilik ini sukar sekali dikendalikan!

Masuknya Siauw Goat ke dalam restoran kecil itu disambut oleh pemilik warung dan para pelayannya dengan senyum gembira. “Heii, Goat-siocia! Kami dengar engkau ikut bersama rombongan pasukan yang menemukan mayat-mayat itu! Ceritakanlah kepada kami!” teriak Si Pemilik Warung.

“Ceritakan apa lagi!” kata Siauw Goat dengan nada tak senang. “Mereka semua telah mati oleh iblis terkutuk Yeti itu!”

“Siocia....!” Semua orang terkejut dan memandang kepada dara cilik itu dengan mata terbelalak dan muka pucat. Yeti dianggap dewa penunggu Gunung Salju oleh mereka, merupakan mahluk yang sakti dan dapat memberkahi atau mengutuk mereka. Dan kini gadis cilik itu seenaknya saja menamakan dewa itu iblis terkutuk!

Melihat sikap ini, Siauw Goat menjadi makin mendongkol. Betapa semua orang takut kepada Yeti, bahkan Lauw-piauwsu juga ketakutan! Dia lalu membusungkan dadanya yang masih belum penuh betul itu, lalu berkata, “Tunggu saja, kalau aku bertemu dengan Yeti si iblis terkutuk, aku akan menghabiskan semua anak panahku untuk membunuhnya!”

Semua orang menjadi semakin kaget, dan pada saat itu terdengar suara ketawa seorang laki-laki di sudut warung. Laki-laki ini sedang minum arak dari sebuah cawan, agaknya dia setengah mabok. Kepalanya bergoyang-goyang ketika dia tertawa dan berkata, “Ha-ha, omongan bau kentut busuk, bau kentut busuk....!”

Semua orang menahan ketawanya. Tentu saja yang dimaksudkan oleh Si Pemabok itu adalah omongan Siauw Goat yang dianggap kentut busuk alias omong kosong. Dan memang semua orang menganggapnya omong kosong. Gadis cilik seperti ini menantang Yeti dan bersumbar akan membunuhnya? Akan tetapi Siauw Goat menjadi marah bukan main mendengar ejekan itu. Secepat kilat dia telah memasang sebatang anak panah pada busurnya dan sekali busurnya menjepret, anak panah itu menyambar ke arah Si Pemabok.

“Tringgg!” Cawan di tangan Si Pemabok itu tepat terkena anak panah dan terlepas dari tangannya. Arak muncrat dan menyiram mukanya.

“Ehhh....?” Si Pemabok bangun dan memandang kepada Siauw Goat dengan marah. “Berani engkau....?” .

Akan tetapi beberapa orang pelayan memegang pundaknya dan berkata, “Ssttt.... kau sudah mabok rupanya. Pulanglah, A-kauw, kau lupa bahwa dia ini adalah Goat-siocia puteri Lauw-piauwsu. Pergilah....!”

Ternyata nama Lauw-piauwsu sudah amat terkenal di Lhagat dan akhirnya Si Pemabok dapat dibujuk-bujuk meninggalkan warung itu, sedangkan Siauw Goat masih berdiri tegak sambil tangan kirinya bertolak pinggang dan tangan kanan memegang busurnya.

“Hemm, engkau makin angkuh saja....!” Tiba-tiba terdengar suara halus. Siauw Goat cepat memutar tubuhnya menengok ke arah suara itu dan ternyata di sudut yang lain duduk seorang sastrawan muda yang pernah dikenalnya. Hatinya sedang kesal, maka bertemu dengan orang yang pernah dikenalnya, bahkan yang diketahuinya merupakan seorang yang berilmu tinggi, maka gembiralah hatinya, lupa bahwa dahulu dia juga sering kali mendongkol kepada sastrawan muda itu.

“Eh, kau di sini?” tegurnya seperti menegur seorang kawan sebaya saja, dan Siauw Goat dengan wajah yang manis berseri lalu berloncatan menghampiri. Sikap yang demikian lincah, senyum yang demikian manis dan wajah yang berseri-seri itu tidak mungkin membuat hati orang tinggal beku. Sastrawan muda itu pun menahan senyumnya dan setelah mereka saling berpandangan, sastrawan muda itu lalu bangkit berdiri dan berkata. “Duduklah, dan kalau engkau suka, mari makan dan minum denganku.”

“Kalau suka? Tentu saja! Aku haus sekali dan.... wah, perutku lapar bukan main, agaknya....“ dia menengok ke arah pemilik warung dan pelayannya, lalu melanjutkan dengan kesengajaan yang nakal. “agaknya aku bisa menghabiskan seekor Yeti panggang saus tomat sekarang ini!”

Tentu saja wajah pemilik warung dan para pelayannya amat lucu untuk dipandang, dan sastrawan muda itu pun hampir tak kuat menahan senyumnya. “Lopek, tambahkan lagi bakminya, daging panggang dan.... eh, Siauw Goat, apa engkau suka minum arak?”

Gadis cilik itu menggeleng kepala. “Untuku teh panas saja!” Dia pun lalu duduk dan tak lama kemudian gadis cilik ini sudah makan minum sambil mengobrol dengan asyiknya bersama sastrawan itu. Kalau tadi dia tidak mempedulikan permintaan pemilik warung dan para pelayan, kini dengan sukarela tanpa diminta dia menceritakan pengalamannya ketika dia mengikuti rombongan pasukan dan menemukan mayat-mayat dari pasukan pertama di bukit itu.

“Wah, jejak kaki itu besar dan dalam sekali, Paman! Agaknya itulah jejak kaki Yeti. Apakah dulu Paman juga pernah melihatnya?”

Cara gadis cilik ini bicara amat ramah dan seolah-olah dia bicara dengan seorang pamannya sendiri, membuat sastrawan itu pun merasa gembira dan sebutan paman yang demikian akrab itu membuatnya tersenyum. Selama dalam perjalanan, belum pernah Siauw Goat melihat orang ini tersenyum maka ketika melihat wajah tampan itu tersenyum, dia kagum dan memandang dengan bengong.

“Hei, apa yang kaupandang?” sastrawan itu berseru.

“Wajahmu! Engkau.... tampan sekali kalau tersenyum, Paman! Kenapa engkau tidak mau sering tersenyum atau tertawa, sebaliknya selalu muram saja yang menyelimuti ketampananmu?”

Sepasang mata yang biasanya muram dan mencorong aneh itu kini terbelalak. Kejujuran dan kepolosan watak gadis cilik ini amat menarik hatinya, juga mengejutkan. Perlahan-lahan wajah yang muram itu berseri. “Engkau pun manis sekali, Siauw Goat.”

Gadis cilik itu mengangguk! Agaknya dia pun sudah yakin akan kemanisan wajahnya, yakin akan dirinya sendiri seperti sudah diperlihatkan tadi ketika dia memanah cawan dari tangan Si Pemabok tadi. Kalau tidak yakin kepada diri sendiri tentu dia akan merasa ragu dan takut kalau-kalau panahnya meleset dan mengenal tubuh orang itu!

“Paman, engkau tentu seorang siucai (sastrawan), bukan? Pakaianmu itu....”

Pria itu hanya mengangguk sambil tersenyum.

“Biarlah kupanggil engkau Paman Sastrawan! Namamu tidak dapat diberitahukan orang lain, bukan?”

Kembali pria itu terkejut. Bocah ini sungguh bermata tajam dan agaknya mampu menjenguk isi hatinya. “Bagaimana engkau bisa menduga begitu?”

Siauw Goat mengangguk-angguk. “Engkau seperti mendiang kakekku, selalu menyelimuti diri dengan rahasia dan keanehan. Kau tahu bahkan namaku pun dirahasiakan, setidaknya, nama lengkapku dan aku hanya boleh memperkenalkan diri dengan nama Goat saja, yang hanya merupakan sebutan. Dan nama kakek hanya diperkenalkan sebagai Kun saja. Biarlah, aku pun tidak akan mendesak untuk bertanya siapa namamu, karena andaikata kauberikan pun, tentu itu nama palsu. Akan tetapi, boleh aku bertanya, engkau hendak pergi ke mana, Paman?”

Ditanya demikian, sastrawan itu termangu-mangu, lalu menarik napas panjang dan berkata, “Ke mana, ya? Entahlah, aku sendiri tidak tahu. Aku pergi tanpa tujuan tempat tertentu, hanya merantau saja. Sudah puluhan propinsi kulalui, ratusan kota kukunjungi, ribuan dusun kujelajahi. Entah sudah berapa ratus buah gunung kudaki, ratusan batang sungai kuseberangi....“

“Aihh senangnya....!” Siauw Goat berseru lalu menengadah seperti orang yang membayangkan semua itu dengan wajah berseri dan bibir yang mungil kemerahan itu tersenyum!

Sastrawan itu memandang heran. “Apanya yang senang?”

“Tidak senangkah engkau?”

“Entahlah....“

“Tentu senang sekali.” tiba-tiba dia menggerakkan tangan, telunjuk kirinya yang kecil menuding ke luar jendela warung, ke arah seekor burung yang sedang beterbangan di angkasa. “Lihat, engkau seperti burung itu! Alangkah senangnya, terbang bebas lepas tanpa ada yang mengikat!”

Sastrawan itu memandang sebentar, lalu dia menatap wajah mungil itu sambil berkata. “Siauw Goat, engkau agaknya tidak mendengar keluhan burung itu....”

“Apa? Dia hanya berkicau riang! Apakah dia mengeluh, dan apa yang dikeluhkannya?”

“Dengar baik-baik. Kalau dia sudah kelelahan terbang, kepanasan, kehujanan, akhirnya dia mengeluh, merindukan sebuah sarang di mana dia dapat beristirahat dengan tenang dan aman....“

“Ohhh.... ahhh.... benarkah itu, Paman?” Gadis itu termenung, agaknya kata-kata sastrawan itu menimbulkan kebimbangan di dalam hatinya. Dia sendiri selama ini membayangkan betapa bahagianya hidup bebas lepas seperti burung di udara, akan tetapi ternyata sastrawan yang hidup seperti burung ini agaknya merasakan kebahagiaan itu, bahkan agaknya merindukan rumah, merindukan ikatan!

Memang selama manusia belum dapat bebas dalam arti yang sebenarnya, dia akan selalu merindukan sesuatu yang tidak atau belum ada! Tidaklah mengherankan apabila manusia yang tinggal di tepi laut merindukan keindahan alam pegunungan, sebaliknya mereka yang tinggal di lereng gunung merindukan keindahan pantai lautan! Manusia yang belum bebas selalu menganggap keadaan orang lain lebih menyenangkan daripada keadaan diri sendiri, milik orang lain lebih menarik daripada miliknya sendiri, dan selanjutnya. Pendeknya, yang terbaik dan terindah itu selalu berada di SANA, sedangkan yang berada di SINI selalu membosankan, buruk dan tidak seindah yang di sana! Hanya kalau orang sudah benar-benar bebas daripada permainan pikiran yang mengejar kesenangan, kalau sudah bebas dari bayanganbayangan kesenangan masa lalu yang menjadi kenangan, bebas dari penilaian, bebas dari perbandingan, maka dia dapat membuka mata dan memandang dengan wajar, memandang dengan waspada dan dengan penuh perhatian, sepenuh perhatiannya, kepada apa adanya di saat ini! Dan kalau sudah dapat memandang seperti itu, setiap saat terhadap apa yang ada, tanpa dikotori perbandingan dan penilaian, maka batin tidak lagi digoda oleh bayangan-bayangan yang hanya mendatangkan pengejaran kesenangan dan akhirnya menuntun kita kepada kebosanan, kekecewaan dan kesengsaraan. Hanya kalau mata kita terbuka dan mengamati apa adanya setiap saat, maka akan nampaklah segala yang ada pada apa adanya itu. Dan apabila dalam penglihatan hasil pengamatan ini masih ada ini baik dan menyenangkan”, “Itu buruk dan tidak menyenangkan”, maka pengamatan itu pun akan menjadi kotor dan ternoda karena yang berkata baik atau buruk, itu bukan lain adalah pikiran yang selalu menjangkau kesenangan!

Maka, dapatkah kita mengamati segala sesuatu yang terjadi, baik di luar maupun di dalam diri, mengamati segala macam benda di luar kita dan segala macam gerak-gerik tubuh kita, kata-kata kita, pikiran kita, tanpa penilaian, tanpa perbandingan dan hanya pengamatan saja yang ada, tanpa adanya si aku atau pikiran yang mengamati? Pengamatan seperti ini bebas dari baik buruk atau susah senang, pengamatan seperti ini melahirkan tindakan-tindakan wajar yang tidak dipengaruhi untung rugi. Pengamatan seperti ini adalah bebas, dan hanya dalam kebebasan inilah cinta kasih dapat menembuskan sinarnya.

“Paman Sastrawan, kalau memang engkau merasa bosan merantau bebas seperti seekor burung, kenapa tidak kau hentikan saja?” Siauw Goat memang seorang anak yang cerdik, maka kini dia mendesak pemuda sastrawan itu.

“Karena aku tidak mungkin berhenti, aku harus mencari....”

“Mencari apa? Mencari siapa?”

“Mencari isteriku....”

“Eh....?” Siauw Goat memandang dengan matanya yang bening tajam.

Sastrawan itu menarik napas panjang. Anak perempuan itu demikian menarik hatinya dan merupakan satu-satunya orang yang selama bertahun-tahun ini dapat menggerakkan hatinya. Sehingga dia mau bicara tentang dirinya. Kini dia berkata dengan nada suara berat. “Sudah hampir lima tahun aku mencarinya.... ke seluruh kolong langit.... dan aku sudah hampir putus asa....”

“Isterimu kenapa, Paman? Bagaimana mungkin seorang isteri lari darimu? Siapa dia dan siapa namanya, bagaimana macamnya? Biar aku bantu mencari!”

Menghadapi pertanyaan bertubl-tubi itu, sastrawan muda ini menahan senyum. Dia sudah sadar lagi dan kini hanya menggeleng kepala.

Siapakah sebenarnya sastrawan muda ini? Pernah dia mengaku kepada Koai-tung Sin-kai Bhok Sun bahwa Sai-cu Kai-ong adalah gurunya. Dari pengakuan ini para pembaca cerita JODOH SEPASANG RAJAWALI tentu akan dapat mengenalnya atau menduga siapa adanya sastrawan muda ini.

Sastrawan muda yang berwajah tampan gagah dan bertubuh jangkung tegap ini bernama Kam Hong. Dia adalah keturunan terakhir dari keluarga Suling Emas yang pernah menggegerkan dunia persilatan. Semenjak kecil Kam Hong sudah menjadi yatim piatu dan dia dirawat oleh seorang kakek sakti berjuluk Sin-siauw Seng-jin (Manusia Dewa Suling Sakti) yang sebetulnya merupakan keturunan dari seorang hamba dari Suling Emas dan kakek inilah yang secara rahasia menyimpan kitab-kitab peninggalan Suling Emas, menyimpannya untuk kelak diserahkan kepada yang berhak yaitu Kam Hong sebagai keturunan langsung dari pendekar sakti Suling Emas. Ketika dia masih kecil sekali, Kam Hong telah ditunangkan dengan seorang anak perempuan yang merupakan keturunan langsung dari keluarga Yu, yaitu yang dahulu menjadi sahabat baik Suling Emas dan menjadi pendiri dari perkumpulan pengemIs Khong-sim Kai-pang. Kemudian, Sin-siauw Seng-jin menyerahkan Kam Hong kepada Sai-cu Kai-ong untuk digembleng, sedangkan Yu Hwi, cucu dari Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek yang telah ditunangkan dengan Kam Hong itu sebaliknya oleh kakeknya diserahkan kepada Sin-siauw Seng-jin untuk dididik. Jadi, dua orang kakek ini telah saling menukar cucu dan momongan masing-masing untuk digembleng, dengan maksud agar keturunan Suling Emas itu memperoleh ilmu-ilmu yang tinggi dan juga agar dapat tersembunyi karena Suling Emas mempunyai banyak musuh-musuh yang selalu berusaha untuk membasmi keturunannya.

Akan tetapi Yu Hwi, cucu dari Sai-cu Kai-ong yang diserahkan kepada Sin-siauw Seng-jin itu diculik orang dan penculiknya itu bukan orang sembarangan, melainkan Hek-sin Touw-ong Si Raja Maling Sakti Hitam yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan dia menculik anak itu bukan dengan niat buruk, bahkan dia mengambil anak perempuan itu sebagai muridnya yang terkasih!

Peristiwa ini menimbulkan hal-hal yang lucu dan menarik seperti yang dapat diikuti dalam cerita JODOH SEPASANG RAJAWALI. Dalam cerita itu dituturkan betapa setelah mereka menjadi dewasa, akhirnya Kam Hong dapat bertemu dengan Yu Hwi yang telah dijodohkan kepadanya oleh dua orang kakek itu. Akan tetapi Yu Hwi yang sebelumnya oleh gurunya diberi nama Kang Swi Hwa dan berjuluk Ang-siocia, agaknya tidak mau menerima perjodohan itu apalagi karena dalam perantauannya dia tadinya menyamar sebagai pria dan ketika dia terluka dan pingsan, Kam Hong yang menolongnya pernah membuka bajunya dan melihat rahasianya bahwa dia seorang dara yang menyamar pria, maka peristiwa ini membuatnya merasa malu dan mendongkol kepada Kam Hong. Maka, ketika ia diberitahu bahwa dia adalah cucu Sai-cu Kai-ong bernama Yu Hwi dan bahwa dia telah dijodohkan sejak kecil kepada Kam Hong, dan menjadi marah lalu melarikan diri minggat!

Demikianlah riwayat singkat dari Kam Hong. Pemuda ini kemudian mempelajari ilmu-ilmu peninggalan dari nenek moyangnya, yaitu Suling Emas. Dan memang dia berbakat sekali maka akhirnya dia dapat menguasai semua ilmu-ilmu itu, membuat Sin-siauw Seng-jin menjadi girang bukan main. Ilmu-ilmu itu amat sukar, dan Sin-siauw Seng-jin sendiri yang sudah selama puluhan tahun berusaha menguasainya, tetap gagal sungguhpun dengan latihan-latihan itu dia telah merupakan seorang tokoh puncak di dunia persilatan. Kini, pemuda keturunan Suling Emas itu mampu menguasai seluruh ilmu itu! Dan tentu saja, dengan ilmu-ilmu yang amat hebat ini. Kam Hong kini menjadi seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian yang sukar diukur tingginya, bahkan Sin-siauw Seng-jin sendiri, maupun bekas gurunya sendiri. Sai-cu Kai-ong, kini bukan tandingannya! Akan tetapi, biarpun dia memiliki ilmu kepandaian bun (sastra) dan bu (silat) yang amat tinggi, namun di dalam hati Kam Hong menderita. Telah bertahun-tahun dia berusaha mencari Yu Hwi, mencari tunangannya atau yang bahkan telah dilakukan sebagai isterinya di depan Siauw Goat itu, namun hasilnya sia-sia belaka.

Kam Hong sendiri belum yakin benar apakah dia mencinta Yu Hwi, juga dia tidak tahu apakah tunangannya itu mencintanya, sungguhpun mudah dugaannya bahwa tentu Yu Hwi tidak mencintanya, bahkan membencinya melihat betapa dara itu melarikan diri ketika diberitahu bahwa antara mereka telah ada ikatan perjodohan. Akan tetapi, ikatan jodoh itu telah ditentukan oleh kedua fihak wali mereka semenjak mereka masih kanak-kanak, oleh karena itu, dia tidak mungkin dapat memutuskannya begitu saja! Janji antara keluarga merupakan hal yang harus dipegang teguh, karena menyangkut kehormatan dan nama keluarga! Apalagi kalau dia mengingat bahwa antara keluarga Kam, yaitu keluarga Suling Emas dan keluarga Yu, yaitu keluarga para ketua Khong-sim Kai-pang, terdapat hubungan yang amat baik. Ikatan perjodohan yang sudah ditentukan oleh kedua kakek yang mewakili dua keluarga itu adalah urusan kehormatan, maka bagaimanapun juga harus dipegang teguh, harus dilaksanakan. Oleh karena itulah maka dia mati-matian mencari Yu Hwi tunangannya itu dan akan dicarinya terus sampai dapat, ke mana pun dia harus pergi.

Kenekatan Kam Hong dalam mencari Yu Hwi itu sama sekali bukan terdorong oleh cintanya karena dia sendiri belum tahu apakah dia mencinta dara yang ditunangkan kepadanya itu, melainkan terdorong oleh kebiasaan atau tradisi atau kebudayaan atau pandangan umum pada waktu itu yang dianggapnya benar dan baik. Dan bukan Kam Hong saja yang berkeadaan seperti itu. Bahkan sampai sekarang pun, kehidupan kita penuh dengan pengaruh-pengaruh yang datang dari tradisi, kebiasaan, kebudayaan atau pandangan umum ini. Semua itu membentuk kita menjadi manusia-manusia yang tidak bebas, yang terikat oleh ketentuan-ketentuan itu, membuat kita menjadi manusia-manusia robot yang bergerak menurut apa yang telah digariskan oleh tradisi, oleh kebiasaan, oleh kebudayaan atau oleh pandangan umum itu. Kita ingin dianggap benar, dianggap baik sesuai dengan ketentuan-ketentuan itu. Segala perbuatan yang dilakukan menurut contoh-contoh ketentuan yang dianggap baik, maka jelas perbuatan itu adalah palsu adanya. Kalau seorang melakukan sesuatu yang DIANGGAPNYA baik, maka di balik perbuatan yang dilakukannya itu terkandung pamrih, yaitu agar dianggap baik oleh orang lain atau dirinya sendiri! Setiap perbuatan yang didasari dengan cinta kasih adalah spontan, tidak dinilai sebagai baik atau buruk, pikiran tidak mencampuri, dan si pelaku bahkan tidak ingat bahwa dia melakukan suatu perbuatan yang baik.

Tradisi atau kebiasaan yang dinamakan pandangan atau pendapat umum telah kita terima sebagai garis ketentuan hidup, membelenggu kita lahir batin sehingga kita hidup seperti pelawak-pelawak yang bermain di atas punggung! Kita tidak berani menanggalkan itu semua karena kita takut akan pandangan orang, takut akan pendapat umum, dan takut kalau-kalau kita akan terasing. Terutama sekali kita takut karena dengan menanggalkan itu semua kita akan menjadi kosong dan tidak berarti apa-apa lagi! Betapa hidup kita hanya merupakan gerakan-gerakan kebiasaan itu kita mencandu dan merasakan kesenangan dan keenakan palsu, seperti halnya keenakan orang merokok atau minum arak. Keenakan itu timbul karena kecanduan, karena kebiasaan, dan di balik keenakan itu terdapat pengrusakan terhadap diri sendiri tanpa kita sadari lagi, karena kita mabok oleh keenakan itu.

Semua panca indera kita telah tumpul kecanduan oleh kebiasaan yang ditanamkan kepada kita semenjak kita masih kecil. Baik penciuman, penglihatan, pendengaran, selera dan segalanya telah dibentuk sedemikian rupa oleh kebiasaan ini. Oleh karena bentukan-bentukan inilah maka selera setiap bangsa selalu berbeda-beda, baik dalam hal penciuman, penglihatan, pendengaran dan sebagainya, dipengaruhi oleh kebiasaan, oleh keadaan setempat dan sekeliling. Kita akan merasa terganggu oleh sesuatu bunyi musik yang asing bagi kita, padahal orang-orang dari mana musik itu berasal akan menari-nari karena bagi mereka suara itu amat merdu dan enak didengar. Kita mungkin akan muntah untuk makan sesuatu yang menjadi makanan kegemaran bangsa lain, dan sebagainya. Jadi enak tidak enak, baik buruk bukan terletak pada suara kita, atau pada makanan itu, melainkan ditentukan oleh selera yang telah dibentuk semenjak kita lahir.

Mendengar penuturan Kam Hong, Siauw Goat merasa tertarik dan entah bagaimana dia merasa amat kasihan kepada sastrawan itu! Ketika pertanyaan tidak terjawab, dan melihat betapa pemuda itu hanya tersenyum saja, senyum yang baginya merupakan sesuatu yang menyembunyikan tangis, Siauw Goat bertanya lagi, “Siapakah namanya, Paman? Dan siapa namamu?”

Kini Kam Hong menatap wajah gadis cilik itu. Baru dia merasa heran mengapa dia begini tertarik kepada anak ini, mengapa kalau selama ini dia merahasiakan keadaan dirinya, kini secara terbuka dia menceritakan tentang tunangannya kepada Siauw Goat? Apakah yang menyebabkan dia percaya dan tertarik? Apakah mata yang bening dan polos itu? Apakah mulut yang kecil mungil dengan bibir merah merekah seperti sekuntum bunga yang masih menguncup itu? Ataukah ada suara yang merdu itu? Ataukah karena dia merasa kasihan mengingat betapa anak ini ditinggal mati kakeknya dan hidup sebatang kara di dunia?

“Siauw Goat, aku sendiri sudah hampir melupakan namaku. Kalau kuberitahukan maukah kau berjanji untuk merahasiakan namaku dan nama isteriku?”

Siauw Goat mengangguk. “Aku bersumpah untuk merahasiakannya, Paman. Kong-kong sendiri pun selalu merahasiakan keadaan keluarga kami.”

“Baiklah, kuberitahukan kepadamu sebagai satu-satunya orang yang mengenal namaku yang selama bertahun-tahun ini kurahasiakan. Aku she Kam dan bernama Hong, sedangkan isteriku itu she Yu bernama Hwi.”

“Kam Hong dan Yu Hwi.... akan kuingat baik-baik nama-nama itu Paman.”

Tiba-tiba mereka tertarik oleh munculnya empat buah tandu yang digotong oleh orang-orang yang bertubuh kekar. Setiap tandu digotong oleh empat orang dan pintu tandu itu tertutup tirai sutera berwarna-warni, ada yang merah ada yang hijau atau kuning. Tentu saja iring-iringan empat buah tandu ini menarik perhatian orang dan ketika para penggotong tandu itu berhenti di depan rumah makan itu, Kam Hong dan Siauw Goat memandang dengan penuh perhatian.

“Turunkan tandu!” tiba-tiba terdengar suara merdu seorang wanita yang duduk di dalam tandu pertama. Mendengar ini, empat orang penggotong tandu pertama itu menurunkan tandu di atas tanah, dan tiga tandu lain yang berada di belakang juga diturunkan oleh para penggotongnya. Agaknya tandu pertama ini merupakan tandu pimpinan! Tirai-tirai empat buah tandu itu tersingkap dari dalam dan semua orang yang memandang, terutama kaum prianya, menahan napas dan mata mereka terbelalak penuh kagum memandang kepada empat orang wanita yang cantik-cantik! Kini wanita yang duduk ditandu terdepan keluar dari tandu dan tiga orang yang lain juga mengikutinya. Makin kagumlah semua orang melihat bahwa selain berwajah cantik-cantik, juga mereka itu memiliki tubuh langsing menarik. Akan tetapi wajah-wajah yang cantik jelita ini memiliki sepasang mata yang sinarnya tajam sekali, berkilat, dan wajah itu pun kelihatan dingin dan angkuh, sedikit pun tidak mengandung senyum. Lebih lagi di punggung mereka nampak gagang pedang dan sikap mereka demikian gesit dan gagah sehingga mudah diduga bahwa wanita-wanita cantik ini bukanlah wanita-wanita lemah. Oleh karena itu, pandang mata kagum dari para pria yang berada di sekitar warung itu mengandung perasaan segan.

Empat orang wanita itu berkumpul di depan warung, memandang ke kanan kiri penuh selidik. Ketika itu, Kam Hong dan Siauw Goat telah selesai makan dan mereka sudah keluar dari warung. Melihat Kam Hong dan Siauw Goat yang membawa busur dan anak panah, seorang di antara empat wanita itu, yang paling muda, kurang lebih dua puluh lima tahun usianya sedangkan yang lain-lain sekitar tiga puluhan, dan yang berpakaian baju hijau, melangkah maju dan bertanya kepada Kam Hong, nada suaranya ketus dan angkuh sekali seperti seorang nona majikan bertanya kepada pelayannya. “Eh, apakah kamu melihat dua orang anak laki-laki kembar yang usianya sekitar empat belas tahun lewat di dusun ini?”

Semenjak melihat munculnya empat orang wanita itu, di dalam hatinya Siauw Goat sudah merasa tidak suka. Dia menganggap empat orang wanita itu sombong dan angkuh sekali. Kini mendengar seorang di antara mereka mengajukan pertanyaan kepada Kam Hong dengan lagak seperti itu, muka Siauw Goat telah menjadi merah karena marah. Selagi Kam Hong memandang dengan tak acuh, agaknya merasa enggan untuk menjawab, Siauw Goat sudah melompat maju ke depan wanita baju hijau itu, menudingkan ujung busurnya ke arah hidung wanita itu sambil membentak. “Huah, engkau menyapa orang dengan ah-ah-eh-eh, lagakmu seperti ratu saja! Manusia tak tahu sopan santun macam engkau ini tidak berharga bicara dengan pamanku!”

Wanita cantik berbaju hijau itu memandang kepada Siauw Goat dengan mata berapi-api dan alisnya yang bagus bentuknya itu, dengan bantuan penghitam alis, agak berkerut dan sejenak dia hanya memandang dengan mata tajam bersinar-sinar. Akan tetapi, Siauw Goat juga membalas pandang mata itu dengan sama tajamnya, bahkan mengandung tantangan!

“Bocah siluman, mulutmu busuk. Kalau kau besar engkau tentu menjadi iblis, lebih baik kuenyahkan sekarang!” kata wanita baju hijau itu yang sudah marah kedua pipinya karena marah dan malu mendengar dia dimaki-maki seorang anak perempuan di depan umum.

Tentu saja Siauw Goat menjadi seperti api yang disiram minyak, makin berkobarlah kemarahannya. Dengan sepasang mata terbuka lebar dan lalu memaki-maki. “Engkaulah siluman rase, siluman kucing, siluman anjing! Engkaulah iblis busuk yang harus dibasmi dari permukaan bumi!” Setelah berkata demikian, Siauw Goat sudah menggerakkan busurnya, menyerang dengan cepat. Wanita itu terkejut dan marah melihat betapa ujung busur itu menusuk ke arah tenggorokannya kemudian dibalik karena tidak mengenai sasaran dan menusuk ke bawah pusar! Dan saat itu, tangan kiri Siauw Goat sudah maju mencengkeram ke arah buah dadanya!

“Cih, Iblis kecil ini benar jahat!” teriaknya melihat serangan-serangan yang dianggapnya kasar dan selain berbahaya juga tidak patut. Tangan kirinya mengibas dan dari tangan kiri itu menyambar hawa pukulan yang membuat Siauw Goat terpelanting! Wanita baju hijau itu sudah marah sekali dan dengan sinar mata penuh benci dia sudah melangkah maju dan menyusulkan pukulan tangan kanan, juga pukulan jarak jauh mengandung tenaga sin-kang yang dahsyat. Serangkum angin menyambar ke arah kepala Siauw Goat yang masih telentang di atas tanah.

“Tahan dulu!” Tiba-tiba Kam Hong berkata halus dan dia pun menggerakkah tangan ke depan, menangkis pukulan itu. Dua hawa pukulan sin-kang bertemu dan akibatnya wanita baju hijau itu terhuyung ke belakang!

Wanita baju hijau itu terkejut bukan main! Dia tadi merasa betapa tenaganya bertemu dengan tenaga yang amat kuatnya, yang membuat dadanya tergetar dan cepat dia menarik kembali tenaganya dan akibatnya dia terhuyung seperti disambar angin taufan. Wajahnya menjadl pucat dan dia memandang kepada sasterawan itu dengan mata terbelalak.

Wanita di dalam tandu terdepan, yang berusia tiga puluh tahunan, mempunyai tahi lalat di dagu, berbaju kuning dan yang memiliki wajah paling manis di antara mereka berempat, juga melihat gerakan tadi dan dia memandang tajam kepada Kam Hong. Melihat sastrawan yang nampak lemah dan yang kini menunduk dengan sikap menyembunyikan diri itu, Si “Baju Kuning menarik napas panjang.

“A-ciu, jangan membikin ribut!” tegurnya kepada Si Baju Hijau, dan dengan isyarat tangan, dia memasuki tandu, diikuti oleh Si Baju Hijau A-ciu dan dua orang temannya. Empat buah tandu lalu digotong oleh para penggotong yang bertubuh kuat itu dan mereka pun pergi dari depan warung yang mulai dipenuhi penonton itu.

“Siluman dia! Hemm, lain kali akan kuhajar dia!” Siauw Goat berkata penasaran sambil bangun dan mengebut-ngebutkan bajunya yang kotor. Para penonton diam-diam merasa geli akan tetapi juga kagum kepada anak perempuan yang bandel dan tidak mengenal takut ini. Agaknya Siauw Goat juga tahu bahwa orang-orang diam-diam mentertawakannya, maka setelah mengerling satu kali kepada Kam Hong dia lalu pergi dengan langkah lebar untuk kembali ke tempat pemondokan Lauw-piauwsu.

Kam Hong sendiri lalu pergi dari situ tanpa menarik perhatian orang karena perbuatannya ketika menangkis pukulan wanita baju hijau itu dilakukan dengan tenaga sin-kang jarak jauh sehingga orang tidak melihat dia bergerak untuk bertanding. Tidak ada yang tahu betapa pemuda ini diam-diam membayangi empat buah tandu yang digotong keluar dusun itu lagi setelah wanita-wanita itu di sepanjang jalan bertanya-tanya tentang “dua orang anak laki-laki kembar”.

***

Ketika terdengar berita bahwa badai salju sudah mereda, mulailah dusun Lhagat mengalami kesibukan-kesibukan. Mereka yang menamakan dirinya pelancong-pelancong dan pedagang-pedagang mulai berkemas karena mereka sudah harus menanti sampai beberapa hari lamanya, tertunda perjalanan mereka karena adanya badai salju itu. Kini, badai salju telah berlalu atau setidaknya mereda. Hal ini ditandai dengan mereda dan kecilnya angin dingin yang bertiup keras dalam beberapa hari ini melalui Lhagat, dari arah selatan dan barat.

Rombongan Lauw-piauwsu yang mengantarkan barang-barang kawalan sampai ke perbatasan Nepal telah kembali dengan selamat ke Lhagat. Tugas mereka telah selesai. Dua orang piauwsu yang luka-luka oleh dua orang perampok Eng-jiauw-pang itu pun sudah-sembuh kembali.

Oleh karena itu, Lauw-piauwsu juga ikut berkemas dan setelah membuat persiapan yang cukup lengkap, membekali setiap anggauta rombongan dengan baju-baju bulu yang amat tebal karena mereka akan melalui daerah yang dingin dan di liputi salju, berangkatlah rombongan ini. Anak buah Pek-i-piauw-kiok itu sebetulnya sudah harus kembali ke Ceng-tu, akan tetapi karena Lauw-piauwsu telah berjanji kepada mendiang Kakek Kun untuk mengantarkan Siauw Goat mencari orang tuanya, maka Lauw-piauwsu mengerahkan anak buahnya untuk membantunya mengawal anak perempuan itu melakukan perjalanan yang amat sukar ini. Selain untuk membalas budi Kakek Kun yang telah menyelamatkan para piauwsu dari serangan perampok Eng-jiauw-pang, juga Lauw-piauwsu telah menerima sebutir batu permata yang amat mahal harganya, dan memang kalau benda itu diuangkan, maka jumlahnya sudah lebih dari cukup untuk membayar biaya pengawalan yang bagaimana sukar dan jauh sekalipun!

Lauw-piauwsu membelikan baju bulu yang mahal dan tebal untuk Siauw Goat, dan dia pun tadinya hendak membeli tandu untuk Siauw Goat. Akan tetapi mungkin karena teringat kepada wanita-wanita naik tandu yang dibencinya itu, Siauw Goat menolak keras, “Lauw-pek aku bukan orang lumpuh, dan aku masih kuat berjalan sendiri. Aku tidak sudi naik tandu seperti penderita cacad, atau seperti.... seperti.... pengantin!” Semua piauwsu tertawa mendengar penolakan ini dan demikianlah, ketika rombongan itu berangkat, Siauw Goat ikut berjalan bersama mereka.

Anak perempuan ini, seperti mungkin semua anak remaja di seluruh dunia ini, merasa gembira sekali begitu melakukan perjalanan ke alam bebas itu. Kegembiraannya muncul kembali dan dia kadang-kadang mendahului rombongan, kadang-kadang agak ketinggalan karena dia mengagumi pemandangan alam yang amat indah di sepanjang perjalanan. Lauw-piauwsu menjadi sibuk mengikutinya terus karena piauwsu ini tidak ingin kalau sampai terjadi sesuatu kepada gadis cilik yang dikawalnya itu.

Jalan pendakian pada gunung pertama yang puncaknya tertutup salju itu mulai ramai dengan orang-orang yang juga melakukan pendakian. Orang-orang kang-ouw yang berpakaian macam-macam dan yang hanya dikenal oleh Lauw-piauwsu dari sikap, sinar mata dan gerak-gerik mereka yang gesit, mulai melakukan perjalanan cepat seolah-olah mereka berlumba dalam mengejar sesuatu. Sering kali ada rombongan yang mendahului rombongan Lauw-piauwsu yang berjalan seenaknya itu. Lauw-piauwsu serombongan tidak hendak mencari apa-apa, tidak tergesa-gesa dan biarpun Lauw-piauwsu juga mendengar tentang pedang pusaka yang lenyap dari istana kerajaan dan yang kabarnya dilarikan pencurinya ke daerah Himalaya ini, namun dia sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk memperoleh pedang pusaka itu.

Setelah melakukan perjalanan setengah hari lebih, rombongan piauwsu yang mengawal Siauw Goat ini tiba di lereng gunung. Hawa semakin dingin dan mulai banyak terdapat salju. Sisa-sisa badai salju masih nampak jelas. Banyak pohon yang tidak berdaun lagi tumbang, ada bagian di mana salju menumpuk seperti bukit, ada pula bagian yang bercelah seperti jurang. Semuanya ini dibuat oleh badai yang mengamuk selama berhari-hari itu.

Menjelang senja, rombongan ini melihat seorang pengemis atau orang yang berpakaian pengemis rebah dan tidur begitu saja di atas tanah tertutup salju, dengan pakaian tipis yang sudah robek di sana-sini pula! Dapat dibayangkan dinginnya! Sedangkan Siauw Goat yang sudah memakai baju bulu tebal saja masih merasa dingin, apalagi harus tidur di atas salju dengan pakaian tipis. Bisa beku kiranya! Orang itu mungkin gila, atau sudah sekarat? Semenjak pertemuannya dengan pengemis tua Koai-itung Sin-kai, terdapat perasaan kurang senang dalam hati Siauw Goat terhadap orang yang memakai pakaian rombeng seperti pengemis.

“Jembel lagi! Menjemukan!” Tiba-tiba Siauw Goat berkata dengan suara bernada kesal. “Ssttt, Siauw Goat....!” Lauw-piauwsu menegur dengan alis berkerut. Ketua piauwkiok ini maklum bahwa di tempat itu banyak terdapat orang-orang kang-ouw dan dia dapat menduga bahwa pengemis yang tidur begitu saja dengan pakaian tipis di atas salju tentulah seorang tokoh kang-ouw yang lihai pula. Mendengar teguran ini, Siauw Goat hanya cemberut akan tetapi tidak membantah dan diam saja.

Bersambung ke buku 2